pembangunan dh dalam konteks pembangunan nasional
TRANSCRIPT
PEMBANGUNAN DAERAH DALAM KONTEKS PEMBANGUNAN NASIONAL1
Disadur oleh: Slamet SugihartoWidyaiswara Utama
A. DARI EKONOMIKA NASIONAL KE EKONOMIKA DAERAH
Hampir semua metode analisis daerah secara agregat didasarkan pada teori dan
alat analisis yang dikembangkan bagi perekonomian nasional. Hal itu terjadi karena
perekonomian nasional dan daerah bisa dianggap tersusun dari komponen fundamental
yang sama dan jenis-jenis hubungan yang sama diantara komponen tersebut. Pada
kenyataannya, banyak kekuatan-kekuatan penting yang bekerja cenderung agak lain,
setidaknya pada urutan besarnya jika bukan pada kondisi alamiah esensialnya, pada level
nasional dan daerah.
Sebagai contoh, kita tahu bahwa perdagangan antar negara cenderung muncul
ketika kedua belah pihak memperoleh keuntungan dari perdagangan itu karena adanya
keunggulan komparatif ataupun keunggulan absolut. Suatu negara mungkin memiliki
keunggulan produksi sebagai akibat dari ketersediaan sumber daya alam, sumber daya
manusia atau kelembagaan yang unik, karakteristik lokasi yang strategi, atau dikarenakan
sumberdaya ekonomi khusus lainnya. Semakin besar keunggulan konparatif secara
nasional dalam produksi bidang tertentu yang memiliki permintaan (demand)dari luar,
maka spesialisasi dan perdagangan akan semakin menguntungkan, dan biasanya akan
semakin besar pula volume perdagangannya.
Prinsip tersebut basa bermanfaat sebagai pondasi untuyk memahami perdagangan
antar daerah sebagaimana perdagangan antar negara. Meskipun demikian kita tahu bahwa
dalam setiap kasus, perdagangan luar daerah memainkan peran yang lebih besar dalam
perekonomian suatu daerah dibanding dalam perekonomian suatu negara. Mengapa
1
demikian? Apakah halangan perdagangan yang ada diantara negara-negara yang tidak
ada atau tidak sama seriusnya pada level daerah?
Yang pertama adalah jarak antar negara partner dagang, dan akibatnya yaitu
biaya transportasi perdagangan, biasanya lebih besar pada perdagangan antar negara
dibanding antar daerah dalam negara yang sama.Disamping itu, pertimbangan pertahanan
dan politik yang bukan merupakan faktor penghambat di level daerah, seringkali
mendorong suatu negara untuk tetap memelihara kemampuan produksi yang semestinya
lebih murah jika dibeli di pasar internasional.
Selanjutnya, kebijakan full-employment secara nasional, perbedaan budaya,
xenophobia, masalah neraca pembayaran dan nilai tukar matauang, kelambanan proses
administratif, dan hambatan perdagangan lainnya di tingkat nasional, biasanya tidak ada
atau kecil intensitasnya dalam perdagangan antar daerah dalam satu negara. Lagi pula,
sebuah negara memiliki alat hukum: tarif, kuota, dan alat kelembagaan lainnya yang tak
dimiliki daerah, untuk memaksakan hambatan perdagangan ketika hal itu dianggap paling
menguntungkan.
Dengan sedikitnya hambatan alamiah dan kelembagaan, daerah cenderung
melakukan spesialisasi dan melakukan perdagangan antar daerah. Tetapi tidak hanya
barang yang bergerak secara lebih bebas antar daerah dari pada antar negara, tetapi juga
faktor produksi yang secra alamiah tidak menetap, seperti modal, tenaga kerja, ide, dan
teknologi akan bergerak lebih bebas. Semua itu memberi perekonomian daerah kualitas
keterbukaan yang lebih dibanding dengan perekonomian nasional. Implikasi ekonomi
dari keterbukaan yang menjadi karakteristik perekonomian daerah cukup luas, Lagi-lagi
hal tersebut bisa dipahami dengan memulainya dari pemahaman ekonomi nasional.
Sebagai contoh adalah pengetahuan mengenai cara menetapkan pendapatan
nasional. Dalam model pasar komoditas tradisional dari pendapatan nasional suatu
perekonomian, secara kasar sama dengan Pendapatan Nasional Bruto, diperoleh dari, dan
sama dengan jumlah keseluruhan 4 tipe pengeluaran: pengeluaran konsumsi domestik,
2
pengeluaran investasi domestik swasta, pengeluaran pemerintah domestik, dan ekspor
neto (ekspor dikurangi impor). Peningkatan dalam jumlah tertentu dari salah satu tipe
pengeluaran tersebut dengan segera menyebabkan pendapatan dan produksi akan
meningkat dengan jumlah yang sama, bahkan karena pengeluaran sama dengan produk
sama dengan pendapatan, per definisi mereka akan meningkat dalam jumlah yang sama.
Tetapi pada akhirnya, terkait dengan proses ‘income multiplication’, peningkatan
pengeluaran awal mengakibatkan pendapatan (dan produk) meningkat lebih besar lagi.
Peningkatan pendapatan awal dilipat gandakan menjadi pendapatan lagi
dikarenakan pendapatan itu akan dibelanjakan oleh siapapun yang memperolehnya.
Pengeluaran kembali ini menghasilkan pendapatan tambahan bagi yang lainnya.
Pendapatan tambahan itu juga dibelanjakan. Dan ini juga akan menghasilkan tambahan
pendapatan lagi, demikian seterusnya.
Tetapi hanya sebagian dari pendapatan yang dibelanjakan yang menghasilkan
tambahan pendapatan: sisanya digunakan untuk pajak, tabungan, pembelian barang
impor, dikirim ke luar negeri, dll. Pengeluaran seperti itu tidak menghasilkan tambahan
pendapatan domestik, dan dianggap sebagai ‘kebocoran’ dari arus pembentukan
pendapatan. Karena suatu porsi selalu ‘bocor’ keluar dari setiap ronde pengeluaran,
jumlah pendapatan yang dihasilan dalam setiap ronde menjadi semakin sedikit hingga
akhirnya menghilang. Tabel 1 memperlihatkan contoh proses ‘income multiplication’.
Bayangkan bahwa sesuatu menyebabkan peningkatan ekspor menghasilkan
pendapatan ‘baru’ sebersar Rp 100 (diperlihatkan pada baris pertama Tabel 1).
Bayangkan juga bahwa orang cenderung membelanjakan 60% dari pendapatannya untuk
membeli barang dan jasa satu sama lain, karenanya menghasilkan pendapatan tambahan,
sementara 40% merupakan pengeluaran yang dianggap sebagai kebocoran dari arus yang
menghasilkan pendapatan. Jadi dalan putaran pertama pengeluaran dihasilkan tambahan
penghasilan sebesar Rp 60. Ketika Ketika pendapatan itu dibelanjakan dalam putaran ke
1 Disadur dari Regional and Local Economic Analysis for Practitioners, 4th edition, karangan Avrom Bendavid-Val, terbitan PRAEGER New York, 1991, Bab 1 Regional Development in the National Context.
3
dua, 49% bocor, sehingga hanya dihasilkan pendapatan tambahan sebesar Rp 36.
Demekian seterusnya.
PUTARAN JUMLAH PENGELUARAN
JUMLAH YANG BOCOR (40%)
PENDAPATAN YANG DICIPTAKAN
PertamaKe duaKe tigaKe empatKe limaKe enamKe tujuh---TOTAL
Rp 100 60 36 22 13 8 5 - - -Rp 250
Rp 40 24 14 9 5 3 2 - - -Rp 100
Penjualan ekspor: Rp 100 Rp 60 Rp 36 Rp 22 Rp 13 Rp 8 Rp 5 Rp 3 - - - Rp 250
Akhirnya, dalam ilustrasi di Tabel 1, ketika seluruh Rp 100 telah bocor ke luar,
dan tak ada lagi yang harus dibelanjakan kembali, maka pendapatan total sebesar Rp 250
telah dihasilkan: Rp 100 dari pendapatan asli dan Rp 150 dari hasil putaran pembelanjaan
kembali. ‘Multiplier’ dalam kasus ini dihitung sebesar 2,5, yang berarti bahwa setiap
peningkatan awal pendapatan akan dilipatgandakan sampai menjadi 2,5 kali peningkatan
awalnya. ‘Multipleir’ secara aritmatika ditentukan dengan membagi angka 1 dengan
bagian yang bocor ke luar. Pada Tabel 1, bagian yang bocor adalah 40%, dan 1 dibagi 0,4
adalah 2,5.
Semakin kecil bagian yang bocor akan semakin besar ‘multiplier’nya. Sebaliknya,
semakin besar pengeluaran yang bocor untuk pajak, impor, tabungan, dan yang sejenis,
maka akan semakin kecil pula ‘mulyiplier’ dan pendapatan yang ditimbulkannya. Hal itu
merupakan salah satu alasan mengapa sebagian besar pemerintah tingkat nasional
berupaya meningkatkan ekspor dan mengurangi impor. Pelipatgandaan (‘multiplication’)
pendapatan berada pada jantung proses pertumbuhan perkonomian nasional maupun
perekonomian daerah.
4
Ketika kita memperhatikan faktor-faktor yang mempengaruhi tingkat pengeluaran
dan faktor-faktor yang mempengaruhi nilai ‘multiplier’, kita akan menemukan perbedaan
yang signifikan antara perekonomian nasional dengan daerah. Pada hampir semua negara
konsumsi domestik ditentukan sebagian besar oleh seberapa banyak yang dimiliki
masyarakat untuk dibelanjakan dan seberapa besar kemauan mereka untuk
membelanjakannya pada barang dan jasa lokal; di daerah, hal itu ditambah lagi dengan
kemauan masyarakat untuk membelanjakannya di daerahnya sendiri dan pada produk
daerah sendiri. Pada sebagian besar negara, investasi domestik oleh swasta ditentukan
terutama oleh ketersediaan modal dan daya tarik relatif untuk melakukan investasi, di
tingkat daerah faktor itu ditambah lagi dengan daya tarik untuk investasi di daerah
tersebut.
Pengeluaran pemerintah secara nasional ditentukan oleh otoritas internal dalam
sistem; sementara pengeluaran pemerintah daerah bisa ditentukan sebagian besar oleh
otoritas du luar daerah yang bersangkutan. Ekspor dari suatu negara dapat di dorong dan
impor dapat di cegah dengan berbagai cara yang tersedia bagi pemerintah tingkat
nasional. Pemerintah daerah biasanya tidak memiliki perangkat kebijakan tersebut.
Tambahan lagi, kebanyakan kebocoran dari aliran penghasil pendapatan, seperti pajak
dan tabungan, tidak ‘hilang’ dari perekonomian nasional. Pajak dan tabungan tahun ini
bisa kembali sebagai pengeluaran pemerintah atau investasi pada tahun berikutnya. Hal
itu tidak selalu terjadi di level daerah.
Memang, model penentuan pendapatan nasional konvensional dikembangkan dari
pandangan yang hampir abstrak tentang perekonomian dan sistem yang kurang lebihnya
tertutup dimana pendapatan ditentukan terutama oleh apa yang berkembang di dalam, dan
tingkat bunga, pengeluaran pemerintah, investasi, tabungan, multiplier, dst., terjadi di
tempat tanpa ruang. Sebaliknya, sangatlah jelas, pendapatan pada suatu daerah tertentu
lebih ditentukan oleh apa yang terjadi di luar batas daerah bersangkutan dari pada apa
yang terjadi di dalam daerah tersebut.
5
Tingkat bunga yang tinggi secara nasional bisa berakibat pelarian modal dari
suatu daerah. Suatu nilai multiplier yang tinggi di tingkat nasional bisa terjadi dari faktor
yang menyebabkan multiplier untuk daerah tertentu menjadi rendah. Suatu daerah
menghadapi masalah politik dan alokasi sumberdaya yang berbeda dengan tingkat
nasional, karena mereka harus bersaing dengan daerah lain dalam negara yang sama atau
luar negeri. Suatu daerah bisa kehilangan pendapatan dan sumber daya ke daerah lain
dan sebaliknya dalam derajat yang tak pernah terjadi di level negara yang berdaulat.
B. IMPLIKASI BAGI PERENCANAAN PEMBANGUNAN DAERAH
Pemahaman mengenai perbedaan antara perekonomian nasional dengan daerah
mengarahkan kita kepada tiga implikasi utama terhadap perencanaan pembangunan
daerah. Yang pertama adalah bahwa perencanaan pembangunan daerah yang realistik
memerlukan suatu pemahaman mengenai hubungan daerah tersebut dengan lingkungan
nasionalnya di mana daerah itu berada, prinsip keterkaitan (linkage) keduanya
berinteraksi, dan konsekuensi akhir yang disebabkan keterkaitan tersebut bagi daerah
yang bersangkutan.
Yang ke dua adalah bahwa apa yang kelihatannya baik bagi perekonomian
nasional belum tentu baik bagi daerah, dan apa yang baik bagi daerah belum tentu
dianggap baik di tingkat nasional. Sebagai suatu ilustrasi, misalnya suatu pabrik yang
mengolah hasil pertanian didirikan di wilayah pedesaan yang sebelumnya mengirim hasil
pertaniannya ke sebuah kota yang jauh untuk diproses. Pendirian pabrik itu membuka
lapangan kerja di luar sektor pertanian bagi tenaga kerja di wilayah itu dan meningkatkan
pertumbuhan dengan menghapus kebutuhan untuk ‘mengimpor’ produk yang dihasilkan
pabrik tersebut. Dan karenanya akan memberikan manfaat bagi pendapatan daerah.
Meskipun demikian transfer pemrosesan ke wilayang penyangga (hinterland) bisa
menyebabkan PHK bagi pekerja wilayah perkotaan yang dibayar tinggi; dan melelui efek
terbalik multiplier akan menyebabkan turunnya GNP. Lebih jauh, pekerja wilayah
perkotaan yang dibayar tinggi yang terkena PHK beserta keluarganya akan membebani
lebih berat lagi anggaran untuk pelayanan secara nasional.
6
Hal itu tidak berarti bahwa kepentingan daerah selalu saja bertentangan dengan
nasional. Hal itu hanya menunjukkan bahwa dalam perencanaan pembangunan daerah,
realitas pembangunan nasional harus dipertimbangkan. Hal itu semakin penting ketika
dukungan pemerintah pusat sangat diperlukan dalam penerapan perencanaan
pembangunan daerah.
Implikasi ke tiga bagi perencanaan pembangunan daerah adalah bahwa perangkat
kelembagaan yang tersedia bagi pembangunan daerah (otoritas dan badan pengambilan
keputusan dan administrasi) pada umumnya jelas berbeda antara yang ada di daerah
dengan yang ada di level nasional; dan pada setiap kasus derajad kontrol atas perangkat
tersebut juga sangat berbeda. Sebagai contoh: pada level nasional, realokasi sumber daya
untuk pembangunan bisa diwujudkan dengan mencetak uang dan menggunakannya untuk
investasi pembangunan. Hal itu akan memicu inflasi dan pengurangan permintaan atas
sumber daya untuk produksi barang konsumsi.
Mudah untuk dilihat bahwa, entah lebih baik atau lebih buruk, kebijaksanaan
yang demikian tidak bisa dilakukan di level daerah. Lebih lanjut, kebijakan yang bisa
dilaksanakan di daerah seperti pengurangan pajak dan biaya untuk aktivitas tertentu
cenderung kurang efektif di tingkat daerah daripada di level nasional karena kebijakan
kompetitif dari daerah lain dan kemampuan sumber daya untuk bergerak bebas melalui
perbatasan antar daerah yang lebih terbuka.
Semua implikasi itu membawa satu pesan tunggal: daerah adalah entitas yang
unik; mereka merupakan bagian yang lebih kecil dari suatu keseluruhan yang lebih besar,
baik secara ekonomi maupun administratif.Sebagian besar perangkat perencanaan yang
tersedia di level nasional tidak tersedia di level daerah. Perencanaan pembangunan daerah
yang efektif membutuhkan konsistensi dalam memastikan perbedaan antara apa yang
harus dilakukan dan apa yang bisa dilakukan, memanfaatkan sebaik mungkin sumber
daya pembangunan yang bisa diakses, dan memanfaatkan informasi yang baik yang
7
tersedia pada level daerah dikarenakan kedekatan antara perencana dengan objek
perencanaannya.
8