pembahasan pengawet

Upload: jessita-ryosuke

Post on 20-Jul-2015

156 views

Category:

Documents


1 download

TRANSCRIPT

6

2. PEMBAHASAN

2.1. Aktivitas Antimikrobia Alami Bahan yang digunakan adalah bawang putih, jahe, dan teh hitam. Bawang putih dan jahe diekstrak dengan alkohol selama 10 menit, teh hitam diekstrak dengan 100 ml air panas selama 10 menit. Air digunakan karena merupakan pelarut yang paling umum digunakan untuk mengekstrak. Dan alkohol digunakan karena alkohol merupakan pelarut organik. Hal ini sesuai dengan teori yang dikemukakan oleh Boyd (1984), bahwa air merupakan pelarut yang paling umum digunakan untuk mengekstrak komponen dari tanaman terutama daun-daunan (teh hitam). Menurut Baum & Bowen (1972), ekstraksi merupakan suatu proses untuk memisahkan suatu komponen dari campuran baik berupa larutan maupun suspensi dengan menggunakan pelarut. Proses ini sering digunakan sebagai sarana untuk memisahkan suatu senyawa organik dari larutan atau suspensi sehingga dapat digunakan pada tahap selanjutnya. Dalam pembuatan bawang putih dan jahe dilakukan tahap penghalusan bahan, tahap ini bertujuan untuk memperluas bidang sentuh saat dilakukan ekstraksi dengan air panas dan alkohol.

Menurut Boyd (1994), uji sensifitas antimikrobia kualitatif dilakukan melalui difusi cakram. Prinsip dasar uji difusi cakram adalah standar konsentrasi dari mikroorganisme diletakkan pada media agar, dimana diletakkan cakram yang berisi antimikrobia yang telah diketahui potensinya. Pertumbuhan mikroorganisme dihambat oleh antimikrobia, yang diikuti inkubasi yang sesuai. Hal ini ditunjukkan dengan zona diameter penghambatan yang seimbang yang dapat diterima mikroorganisme. Keseimbangan ini didasarkan pada standarisasi dari variabel tertentu yaitu agar, tipe cakram, antimikrobia, dan mikroorganisme yang digunakan. Hal ini sesuai dengan percobaan dimana untuk menguji efektifitas antimikroba digunakan metode kertas cakram dicelupkan pada masing-masing larutan bahan selama berbagai variasi waktu. Lalu kertas cakram diambil secara aseptis dengan penjepit dan dimasukkan ke dalam media secara aseptis. Juga didukung oleh Chedea et al. (2011), bahwa aktivitas mikrobia ditunjukkan dengan zona diameter yang terbentuk disekitar kertas cakram yang diukur dengan besaran millimeter.

7

Media yang digunakan sebagai substrat pertumbuhan adalah media Natrium Agar (NA). Media ini merupakan substrat yang sesuai bagi beberapa jenis mikrobia khususnya bakteri, karena media ini mengandung beberapa komponen seperti pepton, ekstrak tanaman, agar dan komponen lain yang tidak diketahui yang berperan dalam pertumbuhan mikrobia (Pleczar & Reid, 1958). Masing-masing media ini dibuat kemudian diplatting dalam cawan petri steril, NA untuk menumbuhkan bakteri, cawan petri kemudian diinkubasikan dalam inkubator dan dilakukan pengamatan setelah 24 jam.

Pada media NA diinokulasikan bakteri E.coli. Dari hasil pengamatan yang dilakukan setelah inkubasi 24 jam, didapatkan pada media NA yang diberi kertas cakram yang mengandung antimikrobia dari bawang putih menunjukkan aktivitas antimikrobianya dengan terbentuk zona bening disekitar cakram. Hal ini dikarenakan pada ekstrak bawang putih terdapat senyawa antimikrobia yaitu allisin dan alliin, serta akrolein yang bersifat bakteriostatik (penghambat pertumbuhan bakteri) bagi Bacillus spp dan Escherichia coli (Hirasa & Takemara, 1998). Oleh sebab itu E.coli tidak tumbuh di sekitar kertas cakram karena pertumbuhannya terhambat oleh senyawa antimikrobia yang terdapat dalam bawang putih. Semakin lebar zona jernihnya berarti semakin kuat aktivitasnya dalam menghambat pertumbuhan bakteri. Penelitian lain menemukan bahwa pada ekstrak kulit pinus (P. pinea) juga mengandung senyawa antimikrobia yang dapat menghambat pertumbuhan bakteri S. aureus. Ekstrak kulit pinus mengandung senyawa katekin, epikatekin, taxifolin dan asam fenolik yang mampu menghambat laju pertumbuhan mikroorganisme patogen (KOCABAfi, 2008). Pada kelompok 1 dengan bahan bawang putih menghasilkan zona bening sebesar 0.63 mm, sedangkan pada kelompok 2 dengan bahan yang sama menghasilkan zona bening sebesar 0.16 mm. Jahe mempunyai senyawa antimikrobia yaitu gingerols dan shogaols (Amrita, 2009). Pada hasil pengamatan, diperoleh zona bening dari cakram yang mengandung senyawa antimikrobia dari jahe pada kelompok 3 sebesar 0.38 mm, dan pada kelompok 4 dengan bahan yang sama sebesar 0.13 mm. Pada teh hitam terdapat senyawa antimikrobia yang disebut tannin (Yulia, 2006). Pada percobaan ini, diperoleh zona bening pada kelompok 5 yang menggunakan bahan teh hitam sebesar 0.33 mm dan kelompok 6 sebesar 0.25 mm. Selain itu cakram yang direndam pada larutan ekstrak teh hitam berwarna kuning

8

kecoklatan, yang mana warna ini merupakan pigmen yang terekstrak dari teh hitam (Yulia, 2006).

Dari data didapatkan bahwa pada ketiga bahan dengan media NA, zona bening yang terbentuk pada media paling besar adalah pada bahan bawang putih dengan 0.63 mm dan 0.16 mm, yang berarti bawang putih merupakan bahan yang paling baik untuk menghambat pertumbuhan mikrobia dibanding jahe dan teh hitam. Jahe menghasilkan zona bening cukup besar yaitu 0.38 dan 0.13 mm, dan teh hitam yang terkecil yaitu 0.33 dan 0.22 mm. Kemampuan aktivitas antimikrobia dipengaruhi oleh beberapa faktor yaitu jenis tumbuhan penghasil, jenis mikrobia, media ekstraksi, bagian tumbuhan dan pemanenan (Kunarto, 2003). Aktivitas antimikrobia juga dipengaruhi oleh larutan perendam bahan, dikarenakan selain bawang putih dan jahe sendiri, alkohol juga memiliki kemampuan dalam membunuh mikrobia. Hal ini didukung oleh Suriawiria (2002), bahwa komponen pada bawang putih, bawang merah, kunyit, dan semua rempah-rempah memiliki fungsi yang sama dengan alkohol, yakni dapat menghambat atau membunuh mikroba. Sedangkan pada teh hitam yang direndam dengan air panas, efektivitas antimikrobianya berkurang. Hal ini mungkin dikarenakan dengan pemanasan resiko kehilangan senyawa volatil lebih tinggi.

2.2. Pengawetan dengan Curing Pengasinan (curing) daging merupakan salah satu cara pengawetan daging dengan melakukan pemberian bahan-bahan preservatif seperti garam (NaCl), Na-nitrat, Nanitrit, dan bahan lain yang dapat menambah cita rasa. Curing memiliki tiga tujuan utama, yaitu pengawetan (preservation), rasa (flavor), dan warna (color) (Shiddieqy, 2006).

Dalam percobaan, daging direndam dalam larutan nitrat untuk kelompok 1 dan 2 , nitrit untuk kelompok 3 dan 4, nitrat-nitrit untuk kelompok 5 dan 6. Hal ini berarti, metode curing yang digunakan adalah metode curing basah, di mana curing dibagi menjadi 2 yaitu curing kering dan basah. Curing basah dilakukan dengan cara melarutkan curing agent dalam air kemudian merendam daging dalam air yang berisi curing agent tersebut (Hayes, 1995).

9

Menurut Pearson & Dutson (1987), selain berperan sebagai penstabil dari warna dan flavor, nitrit memberikan efek sebagai pengawet pada daging. Kontribusi khusus dari nitrit adalah menghambat mikroorganisme patogen yang menyebabkan pembusukan. Nitrit menghambat pertumbuhan mikroorganisme pembusuk dari berbagai macam mikroorganisme khususnya bakteri anaerobik dan aerobik yang membentuk spora. Selain nitrit, larutan yang digunakan sebagai curing dalam praktikum adalah larutan nitrat. Sodium nitrat dapat membunuh bakteri yang berbahaya, selain itu dapat memberikan aroma / flavor yang khas, menstabilkan warna merah, dan membantu mencegah ketengikan (Schroepfer, 2001). Selama proses curing berlangsung, garam nitrat akan direduksi menjadi nitrit oleh bakteri. Kemudian nitrit akan bereaksi dengan pigmen daging menimbulkan warna merah yang diinginkan, sekaligus untuk menghambat pertumbuhan bakteri (Fachruddin, 1997). Larutan curing lainya adalah kombinasi antara larutan nitrat dan nitrit. Pengawet yang dikombinasikan akan memberikan spektrum yang lebih luas, meningkatkan aktivitas antimikroba karena adanya efek adisi, dan konsentrasi masing-masing-masing pengawet lebih sedikit karena adanya efek sinergis. Tujuan dari kombinasi pengawet adalah mengurangi efek samping pengawet terhadap sifat fisik bahan pangan dan bahan pengawet yang satu dengan yang lain bisa saling melengkapi karena setiap bahan pengawet memiliki kekurangan dan kelebihan (Frazzier & Weshoff, 1988).

Dari hasil pengamatan, diketahui bahwa walaupun setelah direndam dalam larutan curing, masih terdapat mikroorganisme yang tumbuh. Ini dikarenakan selama proses, curing dilakukan dalam kondisi suhu ruang. Seharusnya dilakukan dalam refrigerator di mana suhunya antara 0-10oC karena pada suhu ruang akan meningkatkan resiko pembusukan oleh mikroorganisme (Lawrie, 1991).

Pada praktikum, ini terdapat banyak data yang tidak valid yaitu pada jumlah koloni kelompok 1 pada faktor pengenceran 10-3 hari ke-1, kelompok 2 semua pengenceran, kelompok 3 hari ke-0 dan hari ke-1 dengan faktor pengenceran 10-4, kelompok 4 hari ke-0 dan ke-1, kelompok 5 hari ke-0 dan ke-1, dan kelompok 6 hari ke-0, hari ke-1 juga tidak valid karena tidak tumbuh koloni mikroorganisme yang dapat dihitung. Ini karena

10

pada metode cawan seharusnya koloni yang dapat dihitung hanya antara 30-300. Metode ini didasarkan pada anggapan bahwa setiap sel yang dapat hidup akan berkembang menjadi satu koloni. Salah satu sebab kesalahan atau kegagalannya adalah pada proses pengencerannya. Pengenceran merupakan salah satu faktor yang menyebabkan kegagalan dalam perhitungan jumlah koloni dimana larutan pengencer yang digunakan harus steril sehingga tidak menyebabkan hilangnya kemampuan tumbuh sel. Dimana metode ini dilakukan dengan cara menuangkan sampel dan menyebarkannya pada media agar yang sudah memadat. pengenceran yang biasa dilakukan dengan menggunakan perhitungan desimal yaitu 1:10, 1:100, 1:1000, dan seterusnya atau 1:100, 1:10000, 1:1000000 dan seterusnya (Fardiaz, 1992). Selain itu juga merupakan kesalahan praktikan dimana kerjanya kurang aseptis, yaitu tidak menggunakan masker atau lupa menyemprotkan alkohol pada meja dan tangan. Karena banyaknya data yang tidak valid maka pada percobaan pengawetan dengan curing ini hasilnya tidak dapat dibandingkan. Seharusnya diperoleh hasil bahwa campuran nitrit dan nitrat adalah yang paling efektif, kemudian larutan nitrit, baru kemudian larutan nitrat. Tetapi dalam penggunaannya, nitrit lebih banyak dipakai sebagai pengganti nitrat karena mempunyai efek yang lebih besar dalam pengolahan (Hayes, 1995).

Dari hasil pengamatan, diketahui bahwa daging yang sudah diberi perlakuan curing, warnanya berubah menjadi merah muda atau pink. Ini karena myoglobin, pigmen yang terdapat dalam daging sapi diikat oleh nitrit dan nitrat. Hasil akhir dari daging yang diberi proses curing akan mempunyai aw yang rendah, tekstur yang agak keras, warna merah jambu yang terang yang disebabkan karena pembentukan nitrosylmyoglobin, dan flavor akibat perubahan enzimatik dan kimiawi pada lemak, protein, dan karbohidrat (Ang, 1999). Warna yang dihasilkan setelah proses curing adalah warna merah jambu atau pink pada daging (Anonymous, 2003). Setelah direbus warna pink pada daging hilang dan menjadi coklat muda, tingkatan warna coklat muda tergantung pada larutan perendam daging. Daging yang direndam dalam larutan nitrat warnanya sangat pucat, sedangkan daging pada larutan perendam nitrit dan nitrit-nitrat warnanya cenderung cerah.

11

Berdasarkan perbandingan warna daging yang diperoleh setelah perebusan pada saat praktikum menunjukkan bahwa kelompok 1,2,4 dan 6 dagingnya berwarna pucat. Sementara pada kelompok 3 dan 5 dagingnya berwarna cerah. Penyebab terjadinya perbedaan warna pada daging adalah waktu pembelian daging, umur daging dan perebusan daging tersebut. Kelompok 1 dan 5 menggunakan daging frozen yang berarti daging tersebut sudah diawetkan supaya waktu penyimpanan (shelf life) lebih lama. Kelompok 6 menggunakan daging kemarin. Sedangkan kelompok 2, 3,dan 4 menggunakan daging segar yang berarti daging tersebut baru saja disembelih dari induknya sehingga belum ada teknik pengawetan dan akan ditumbuhi banyak mikroba, maka produk akan mudah rusak dibandingkan dengan daging kemarin maupun daging frozen. Selain itu, umur daging juga berbeda. Menurut teori Soeparno (1992), pada umumnya daging anak sapi/ sapi muda berwarna agak pucat kelabu putih sampai merah pucat dan menjadi tua sedangkan pada daging sapi tua berwarna merah pucat. Kemudian, waktu perebusan daging juga mempengaruhi warna daging yaitu perebusan sekitar 8-10 menit untuk mencapai daging yang matang. Bila perebusan terlalu lama, dapat menyebabkan warna daging lebih pucat.

Metode pencawanan yang digunakan adalah spread plate karena media dipadatkan dulu di dalam cawan petri steril, kemudian baru diinokulasikan mikroorganisme yang ingin ditumbuhkan. Teknik pencawanan ada berbagai macam. Salah satunya adalah Spread plate. Pada metode ini, terlebih dahulu dibuat agar cawan kemudian sebanyak 0,1 ml atau 1 ml sampel yang telah diencerkan dipipet pada permukaan agar tersebut, lalu diratakan (Fardiaz, 1992).

Dari percobaan ini, dapat diketahui bahwa ada beberapa hal yang mempengaruhi proses curing, seperti metode yang dipakai, larutan curing yang dipakai, ketebalan daging, bentuk potongan daging, ada atau tidaknya tulang, ada atau tidaknya lemak, keaseptisan ketika melakukan proses curing, dan juga temperatur di mana proses terjadi. Potongan daging, ketebalan, dan lemak mempengaruhi kecepatan penetrasi larutan curing. Jika daging tebal, maka waktu yang digunakan dapat diperpanjang. Temperatur curing biasanya 0-5oC (Anonymous, 2003).

12

2.3. Pengawetan dengan Gula-Garam Bahan pangan yang berasal dan hewan seperti daging, susu, telur dan ikan dalam keadaan segar adalah kelompok bahan pangan yang paling mudah rusak (perishable foods). Dalam waktu beberapa jam saja pada suhu kamar, jika tidak segera dimasak, bahan pangan dari kelompok ini akan rusak atau busuk. Air yang terkandung dalam bahan pangan merupakan salah satu faktor penyebab kerusakan bahan pangan. Air yang terikat kuat secara kimia sulit digunakan mikroba untuk hidupnya. Oleh karena itu, dengan menambahkan gula, garam, dan senyawa sejenis lainnya jumlah yang cukup dapat mengikat air tersebut, dan makanan menjadi awet meskipun kandungan airnya masih cukup tinggi (Anonimous, 2008). Mikroba yang aktif kira-kira mengandung 80% air. Jika bakteri, ragi atau kapang ditempatkan di dalam larutan garam maupun gula yang pekat dengan kadar air 30-40% maka air dalam sel akan keluar menembus membran dan mengalir ke dalam larutan garam atau gula (osmosis). Keadaan ini disebut sel mikroba mengalami plasmolisis dan akan mengalami hambatan dalam perkembangbiakkannya. Sebenarnya sukrosa tidak memiliki aktivitas antimikrobia secara langsung. Bagaimanapun juga, pada konsentrasi rendah, senyawa ini merupakan sumber nutrien bagi banyak mikroorganisme (Jager, 1997).

Garam adalah senyawa kimia yang terdiri atas ion asam dan ion basa, sehingga mekanisme umum dari garam ini dalam membunuh mikroorganisme yaitu bahwa garam ini mampu terdisosiasi dalam cairan yang ada dalam sel maka titik isotonis sel menurun sehingga secara tidak langsung merusak dinding sel mikrobia. Kerusakan dinding sel ini menyebabkan kematian mikroorganisme. Berbagai jenis garam yang sering digunakan dalam pengawetan produk makanan adalah garam benzoat, garam propionat, garam sorbat dan sebagainya. Fungsi lain dari penambahan garam untuk membunuh mikroorganisme yang terjadi secara sederhana bisa pula sama dengan gula yaitu pada konsentrasi tinggi menyebabkan plasmolisis (Moeljanto, 1994). Penggaraman merupakan salah satu cara pengawetan dengan cara pengurangan kandungan air dalam tubuh bahan pangan sampai batas tertentu sehingga bakteri tidak dapat hidup maupun berkembang. Proses pengurangan kadar air terjadi karena air dalam bahan pangan melarutkan kristal garam atau mengencerkan larutan garam sehingga larutan tersebut meresap ke dalam daging sampai tercapai keseimbangan tekanan osmosis antara cairan

13

di dalam dengan cairan di luar tubuh daging. Larutan garam yang lebih pekat akan menyebabkan air di dalam tubuh mikroorganisme akan terus keluar sehingga cairan di dalam sel akan semakin kental dan proteinnya akan menggumpal atau terjadi denaturasi (Sudibjono, 1996).

Berdasarkan hasil pengamatan, disetiap kelompok selalu terdapat koloni spreader, yaitu pada kelompok 1 pengawetan hari ke-1, kelompok 2 hari ke-0 dan ke-1, kelompok 3 pada hari ke-0, kelompok 4 pada hari ke-0 dan ke-1, kelompok 5 pada hari ke-0, dan kelompok 6 pada hari ke-0 dan ke-1. Karena banyak diperoleh hasil koloni spreader maka kerja pengawet tidak dapat dibandingkan secara maksimal. Hal ini mungkin juga disebabkan oleh kesalahan praktikan di mana kerjanya kurang aseptis, yaitu tidak menggunakan masker, tidak dekat api, lupa menyemprotkan alkohol, dan lain sebagainya, sehingga memungkinkan media sudah terkontaminasi.

Pada percobaan pengawetan dengan gula garam ini, media yang hampir tidak ditumbuhi oleh koloni mikroorganisme adalah daging dengan larutan perendam 5% gula dan 20% garam pada kelompok 3, yang mana jumlah CFU/ml sebanyak 1x104. Maka dapat disimpulkan bahwa larutan gula garam yang paling optimal untuk mengawetkan bahan pangan adalah dengan kadar gula 5% dan garam 20%. Larutan gula atau garam menghisap hampir semua air dari mikroorganisme tersebut, dan membuat mereka mengalami dehidrasi, akibatnya mereka mengkerut dan selanjutnya mati atau lumpuh (Anonim, 2007).

14

3. KESIMPULAN

Antimikrobia merupakan senyawa yang mampu menghambat dan membunuh mikrobia yang berasal dari senyawa metabolit mikrobia, senyawa kimia dan bahan lain.

Zona bening menunjukkan adanya aktivitas antimikrobia. Pertumbuhan mikroorganisme dipengaruhi oleh substrat yang sesuai, pH, oksigen, suhu dan adanya senyawa kimia penghambat. Bawang putih paling baik dalam menghambat pertumbuhan mikrobia, kemudian jahe, dan yang terakhir teh hitam. Curing merupakan proses tradisional yang didasarkan pada kombinasi dari garam (NaCl), nitrat, dan nitrit. Dalam penggunaannya, nitrit lebih banyak dipakai sebagai pengganti nitrat karena mempunyai efek yang lebih besar dalam pengolahan Curing seharusnya dilakukan dalam refrigerator di mana suhunya antara 0-10oC karena pada suhu ruang akan meningkatkan resiko pembusukan oleh

mikroorganisme Campuran nitrit dan nitrat adalah yang paling efektif, kemudian larutan nitrit, baru nitrat. Faktor-faktor yang mempengaruhi proses curing, seperti metode yang dipakai, larutan curing yang dipakai, ketebalan daging, bentuk potongan daging, ada/tidaknya tulang, ketebalan lemak, keaseptisan ketika melakukan proses curing, serta temperatur di mana proses terjadi. Kadar gula yang rendah biasa digunakan oleh berbagai macam mikroorganisme sebagai sumber energi Kadar gula yang terlalu banyak dapat menjadi faktor penghambat. Garam menyebabkan kerusakan dinding sel mikroorganisme yang mana menyebabkan kematian mikroorganisme Garam pada jumlah yang tinggi menyebabkan plasmolisis Larutan 5% gula dan 20% garam paling optimal dalam mengawetkan bahan pangan.

15

Semarang, 28 Maret 2012 Praktikan,

Assisten dosen : 1.Yosephine Agustina

Ong, Jessita S.R. 10.70.0014

16

4. DAFTAR PUSTAKA

Amrita, Venugopal ; Dasani Sonal ; Rai Shalini. (2009). Antibacterial Effect of Herbs and Spices Extract on Escherichia coli. Electronic Journal of Biology, 2009, Vol. 5(2): 40-44 Ang, C.Y.W. ; K. Liu & Y.W. Huang. (1999). Asian Foods, Science, & Technology. Technomic Publishing Co.Inc. Anonim. 2007. Gula Sebagai Pengawet. http://www.kayadansehat.blogspot.com/2007/10/gula-sebagai-pengawet.html. Diakses tanggal 25 Maret 2012. Anonimous. (2008). Bahan Tambahan Pangan. http://www.ilmupangan.com/index.php?option=com_content&task=view&id=41&Itemi d=1. Diakses tanggal 25 Maret 2012. Anonymous. (2003). A Few Words about Cures by Allied Kenco Sales. http://www.alliedkenco.com/info_curing_of_meat_and_poultry_produ.htm. Diakses tanggal 25 Maret 2012. Baum, S. J. & W. R. Bowen. (1972). Exercise in Organic and Biological Chemistry. The Macmillan Company. New York. Boyd, R. F. (1984). General Microbiology. Times Mirror. Morgy College Publishing. New York. Chedea, Veronica Sanda ; Cornelia Braicu ; Flore Chirila ; Ciprian Ober ; Carmen Socaciu. (2011). Antibacterial Action of an Aqueous Grape Seed Pholyfenolic Extract. African Journal of Biotechnology Vol. 10(33), pp. 6276-6280 Fachruddin, L. (1997). Membuat Aneka Dendeng. Kanisius. Yogyakarta. Fardiaz, S. (1992). Mikrobiologi Pangan 1. PT. Gramedia Pustaka Utama. Jakarta. Frazier, W. C & Weshoff, D. C. (1988). Food Microbilogy 4th ed. Mc Graw Hill Book Co. Singapore. Hayes, P.R. (1995). Food Microbiology & Hygiene. Chapman & Hall Madras. London.

17

Hirasa, K. & M. Takemara. (1998). Spice Science & Technology. Lion Corporation. Tokyo. KOCABAfi, E. Esin HAMEfi ; zlem YEfiL ELKTAfi ; Mge fiLETEN ; Fazilet VARDAR SUKAN. (2008). Antimicrobial Activity of Pine Bark Extract and Assessment of Potential Application in Cooked Red Meat. GIDA (2008) 33 (3) : 123127 Kunarto, B. (2003). Formulasi Mikrokapsul Oleoresin Daun Sirih (Piper betle L.) dan Sifat Antibakteri pada Lumpia Selama Penyimpanan. Sainteks vol X no. 4. Lawrie, R.A. (1991). Meat Science Fifth Edition. Pergamon Press. Tokyo. Moeljanto. (1994). Pengawetan dan Pengolahan Hasil Perikanan. Penebar Swadaya. Jakarta. Pearson, A. M. & T. R. Dutson. (1987). Advance in Meat Research Vol 3 Restructured Meat and Poultry Products. Van Nostrand Reinhold Company, Inc. New York. Pelczar, J. R & R. D. Reid. (1958). Microbiology. McGraw Hill Book Company, Inc. New York. Schroepfer, M. (2001). Curing and Smoking Meat and Poultry. http://www.ext.missouri.edu/pubs/foodnut/09745.html. Diakses tanggal 25 Maret 2012. Shiddieqy M. I. (2006). Mengawetkan Daging tanpa Formalin. http://www.pikiranrakyat.com/cetak/2006/012006/05/cakrawala/lainnya06.htm. Diakses tanggal 25 Maret 2012. Soeparno 1992. Ilmu dan teknologi daging. UGM Press. Yogyakarta Sudibjono. (1996). Peranan Garam pada Proses Pencoklatan Ikan Asin. Sainsteks Vol. III No.3. Semarang. Suriawiria, Unus. 2002. Chlorella Natural Medicine Algae. Jakarta. Yulia, Rita. (2006). Kandungan Tanin & Potensi Anti Streptococcus mutans Daun Teh Var.assamica pada Berbagai Tahap Pengolahan. Fakultas Matematika & Ilmu Pengetahuan Alam. Institut Pertanian Bogor. Bogor.

18

5. LAMPIRAN

5.1 Jurnal 5.2. Gambar 5.2.1. Aktivitas Antimikrobia alami

Gambar 1. Kelompok 1 (bawang putih) Gambar 4. Kelompok 4 (jahe)

Gambar 2. Kelompok 2 (bawang putih) Gambar 6. Kelompok 6 (teh hitam)

Gambar 3. Kelompok 3 (jahe) 5.3. Perhitungan 5.3.1. Perhitungan Pengawetan dengan Curing C1 Hari ke- 0 = 6 x x 10 = 600000 CFU/ ml.

7

Hari ke- 1 = 30 x C2 Hari ke- 0 = spreader Hari ke- 1 = spreader C3 Hari ke- 0 = spreader Hari ke- 1 = 16 x C4 Hari ke- 0 = spreader Hari ke- 1 = spreader C5 Hari ke- 0 = spreader Hari ke- 1 = spreader C6 Hari ke-0 = spreader Hari ke- 1 = 0

x 10 = 3000000 CFU/ ml.

x 10 = 160000 CFU/ ml.

5.3.2. Perhitungan Pengawetan dengan Gula Garam C1 Hari ke- 0 = 6 x Hari ke- 1 = 81 x C2 Hari ke- 0 = spreader Hari ke- 1 = 51 x C3 Hari ke- 0 = spreader Hari ke- 1 = 1 x C4 Hari ke- 0 = spreader Hari ke- 1 = spreader x 10 = 10000 x 10 = 5100000 x 10 = 60000 x 10 = 8100000

8

C5 Hari ke- 0 = spreader Hari ke- 1 = 36 x x 10 = 360000

C6 Hari ke- 0 = spreader Hari ke- 1 = 7 x x 10 = 70000