pembahasan biopur repaired)
TRANSCRIPT
PEMURNIAN PARSIAL ENZIM PROTEASE DARI EKSTRAK
KASARNYA
I. Tujuan
Mempelajari proses purifikasi enzim protease dari ekstrak kasarnya dengan
menggunakan pengendapan dengan etanol, dialisis, dan Gel Permeation
Chromatography (GPC).
II. Dasar Teori
1. Enzim
Protein merupakan salah satu komponen penyusun sel yang penting bagi
makhluk hidup. Senyawa yang penting tersebut merupakan suatu senyawa organik
yang tersusun atas asam amino yang membentuk ikatan peptida dan menjadi suatu
rantai yang linear. Ikatan peptida merupakan ikatan antara gugus karboksil
dengan gugus amina yang terdapat pada residu asam amino. Ada 20 jenis asam
amino yang menyusun seluruh protein yang ada di muka bumi ini. Salah satu
protein yang penting adalah enzym.
Enzym adalah suatu senyawa protein yang merupakan biomolekul dan
memiliki peranan sebagai katalis. Senyawa ini sangat penting bagi makhluk
hidup, karena hampir semua reaksi yang terjadi didalam makhluk hidup dapat
berjalan dengan adanya enzim. Enzim bekerja layaknya seperti katalis yaitu
dengan cara menurunkan energi aktivasi, akan tetapi karena dihasilkan dari
makhluk hidup maka disebut juga sebagai biokatalis. Karena kemajuan teknologi
maka enzim juga digunakan sebagai penghasil antibiotik, deterjen, pelunak
daging, dll.
Enzim memiliki sifat yang sangat spesifik, artinya satu jenis enzim hanya
mengkatalis satu jenis reaksi. Semakin murni suatu enzim maka semakin besar
nilai aktivitas spesifiknya (sangat spesifik). Sehingga harga dari suatu enzim
tergantung dari tingkat kemurniannya dimana semakin murni suatu enzim maka
semakin tinggi harga enzim tersebut. Untuk mendapatkan enzim yang cukup
murni, maka diperlukan pemurnian (purifikasi) enzim.
Protease adalah enzim yang memiliki aktivitas proteolisis (memecah protein).
Protease dapat digolongkan menjadi 6 kelompok besar (major) berdasarkan
perbedaan pada sisi aktif katalitik dan kondisi aksi mereka. Keenam golongan ini
adalah serin protease, threonin protease, sistein protease, asam aspartat protease,
metaloprotease dan asam glutamat protease. Pemanfaatan protease dalam industri
pangan diantaranya adalah untuk mengurangi kekeruhan dalam industri bir,
mengurangi gluten pada industri roti, dan untuk menggumpalkan susu pada
industri keju. Enzim protease dapat diperoleh dari jaringan tanaman, hewan,
maupun mikroba.
Protein merupakan suatu molekul yang tidak stabil. Karena enzim merupakan
molekul protein maka enzim juga tidak stabil dan mudah rusak. Ada beberapa
faktor yang dapat mengganggu kestabilan enzim, faktor-faktor tersebut adalah :
Oksigen
Logam berat
Perubahan kondisi fisik (pelelehan dan pembekuan berulang-ulang)
Pelarutan
Perubahan kondisi larutan
Pemaparan pada enzim degradatif
Suhu tinggi (ekstrim)
Oleh karena itu perlu dilakukan beberapa tindakan untuk menjaga kestabilan
enzim. Tindakan-tindakan tersebut contohnya :
Tidak melakukan vortex dengan keras dalam menghomogenkan
larutan enzim
Disimpan pada suhu dingin agar enzim tidak bekerja
2. Purifikasi protein
Purifikasi protein adalah suatu metode untuk memurnikan suatu protein dari
campuran kasarnya. Langkah-langkah umum yang dilakukan untuk memurnikan
adalah melakukan pengendapan dengan garam/etanol (berbagai
konsentrasi/fraksinasi), dialisis (untuk memurnikan enzim dari garam/etanol), dan
pemisahan dengan kromatografi (umumnya menggunakan GPC/ Gel Permeation
Chromatography). Bradford test, casein assay, dan pembacaan langsung pada
280nm merupakan uji-uji yang dilakukan untuk mengetahui keberadaan protein
dan menghitung aktivitas enzim.
Pengendapan merupakan langkah pertama yang dilakukan dalam pemurnian
enzim. Langkah ini dapat dilakukan dengan cara menambahkan garam berupa
amonium sulfat atau dengan menambahkan etanol. Baik pengendapan dengan
garam maupun dengan menggunakan etanol, prinsip yang terjadi adalah sama
yaitu salting out. Salting out adalah suatu metode pemisahan protein dari senyawa
yang lain berdasarkan prinsip bahwa protein kurang larut pada air pada kondisi
kadar garam tinggi. Protein menjadi kurang larut karena garam yang ditambahkan
menarik air yang mengelilingi molekul protein, sehingga molekul protein menjadi
bergerombol dan mengendap. Pada penambahan etanol, prinsip yang terjadi juga
sama, yaitu etanol menarik air yang mengelilingi molekul protein sehingga
protein menjadi bergerombol dan mengendap.
Gambar. Proses pengendapan dengan menggunakan garam Ammonium Sulfat
Jadi, untuk etanol konsepnya sama seperti peran amonium sulfat seperti
gambar di atas.
+ (NH4)2SO4
Langkah selanjutnya adalah membersihkan zat pengendap protein dengan cara
di dialisis. Dialisis adalah proses pemisahan molekul berdasarkan prinsip
perbedaan gradien (konsentrasi) dengan cara berdifusi melalui membran
semipermeabel. Dialisis yang dilakukan ini konsepnya sama seperti dialisis pada
bidang kesehatan (hemodialisis merupakan salah satu contohnya). Dialisis
dilakukan dengan memasukkan sampel yang akan dimurnikan ke dalam tabung
dialisis. Tabung dialisis merupakan tabung yang semipermeabel yang terbuat dari
selulosa atau selofan.
Gambar. Proses dialisis
Gambar diatas merupakan ilustrasi proses dialisis. Sampel yang berisi larutan
protein dimasukkan ke tabung dialisis. Tabung dialisis ini memiliki pori-pori yang
dapat dimasuki oleh garam(ion-ion) dan air sedangkan protein tidak dapat
melewati pori-pori ini. Lalu masukkan tabung dialisis ke dalam buffer dengan
volume yang banyak dan di stirer selama beberapa jam, sehingga terjadi
pergerakan molekul, dimana molekul kecil dapat keluar masuk melalui membran
semipermeabel. Pergerakan molekul terus terjadi sampai konsentrasi molekul
yang di dalam tabung mengalami kesetimbangan dengan molekul di luar tabung
(konsentrasi di dalam tabung sama dengan di luar). Ketika proses ini dilakukan
berulang ulang (berkali-kali dilakukan penggantian buffer dengan buffer yang
tidak mengandung garam) maka terjadi beberapa kali kesetimbangan, dimana
setiap terjadi kesetimbangan maka konsentrasi garam yang berada di dalam
tabung dialisis semakin rendah.
Proses dialisis ini dilakukan dengan menggunakan buffer. Karena apabila
dilakukan dengan menggunakan aquades maka proteinnya bisa terdenaturasi.
Aquades memiliki kandungan garam yang sangat rendah bila dibandingkan
dengan buffer, karena kandungan garam yang sangat rendah maka dapat terjadi
perubahan pH dan hal tersebut akan mengakibatkan protein terdenaturasi.
Kadangkala protein bisa mengalami pengendapan setelah didialisis. Jika terjadi
pengendapan, larutan protein dapat di sentrifuge agar tidak mengganggu jalannya
proses selanjutnya, seperti tahap Gel Permeation Chromatography (GPC) dimana
adanya partikel yang sangat besar dapat menyumbat pori2 di gel atau dapat
mengganggu proses Ion Exchange Chromatography karena partikulat tersebut
dapat menyumbat kolom sehingga kromatografi tidak dapat berjalan dengan baik.
Terkadang enzim bisa kehilangan aktivitasnya setelah didialisis, jadi ada baiknya
jika sebelum didialisis diuji aktivitasnya dulu kemudian setelah didialisis diuji lagi
untuk dibandingkan.
Setelah dialisis, kromatografi merupakan langkah selanjutnya. Kromatografi
yang dilakukan pada praktikum ini adalah Gel permeation chromatography atau
GPC. GPC merupakan teknik separasi berdasarkan ukuran molekul. Teknik ini
sering digunakan untuk menentukan berat molekul (BM). Pada proses separasi ini
molekul yang besar tidak dapat memasuki pori-pori dari gel sehingga molekul
yang besar keluar lebih cepat dari pada molekul yang kecil, karena molekul-
molekul kecil dapat masuk ke pori-pori gel sehingga menempuh jarak yang lebih
jauh dari pada molekul besar.
Berat Tyrosin per ml larutan uji x Vlarutan uji
MrTyrosin x tinkubasi x Vekstrak enzim
GAMBAR. Proses Gel Permeation Chromatography (GPC)
3. Pengujian aktivitas enzim
Aktivitas enzim protease diukur berdasarkan banyaknya tyrosin yang
dilepaskan dari kasein karena degradasi proteolytik oleh enzim. Satu unit aktivitas
enzim (EU) menunjukkan banyaknya produk (mol asam amino) yang
dilepaskan per menit per ml larutan/ekstrak enzim pada kondisi percobaan yang
dilakukan.
Aktifitas Enzim per ml ekstrak =
(μmol. menit-1)
Aktifitas per ml ekstrakBerat Protein per ml ekstrak
Aktifitas Spesifik =
(μmol. μg-1.menit-1)
di mana:
Berat Tyrosin per ml larutan uji = ditentukan dengan uji aktifitas (µg)
V = volume ekstrak yang digunakan untuk uji
aktivitas (ml)
tinkubasi = waktu inkubasi (menit)
Berat Protein per ml ekstrak = ditentukan dengan metode Bradford (µg)
Aktivitas enzim protease dapat diuji antara lain dengan metode Casein assay.
Casein assay merupakan suatu uji aktivitas enzim protease dengan menggunakan
kasein sebagai substratnya. Casein akan di uraikan oleh enzim protease menjadi
asam amino-asam amino penyusunnya. Kemudian dilakukan pengukuran dengan
cara spektroskopi UV pada 275nm. Pada panjang gelombang tersebut, absorbansi
yang terbaca adalah absorbansi dari asam amino yang memiliki cincin benzen.
Pada praktikum ini yang diukur adalah asam amino tirosinnya. Dipilih asam
amino tirosin karena hampir semua protein terdapat asam amino tirosin sebagai
penyusunnya.
4. Pengujian kadar protein
Uji Bradford adalah prosedur analitik spektroskopi yang digunakan untuk
menentukan konsentrasi protein di dalam suatu larutan. Uji Bradford merupakan
uji kolorimetri (Serapan dilakukan pada panjang gelombang UV visible) yang di
dasarkan pada serapan warna dari pewarna coomassie blue yang berikatan dnegan
protein. Pewarna Coomassie mendonasikan free photon ke bagian protein yang
dapat mengalami ionisasi. Sehingga terjadi gangguan pada struktur alami protein
yang kemudian kantung hidrofob dari protein menjadi terekspos. Kantung ini
berikatan dengan gaya van der waals dengan pewarna coomasie. Sehingga gugus
amino yang bermuatan positiv dapat bertemu dengan pewarna yang bermuatan
negatif sehingga terjadi ikatan yang kuat (interaksi ionik). Akibatnya, komplek
protein dengan pewarna coomasie (kompleks warna biru) menjadi stabil dan
kompleks inilah yang memberikan serapan ketika diukur.
Keuntungan dari penggunaan metode ini adalah bahan kimia yang dapat
mengganggu jalannya uji sini lebih sedikit bila dibandingkan dengan metode lain,
ujinya cepat bila dibandingkan dengan lowry, dan molekul kompleks yang
terbentuk stabil. Kekurangan dari metode ini adalah garis linear yang terbentuk
hanya memiliki range yang pendek, sehingga sering dilakukan pengenceran untuk
pengukuran.
III. Alat dan bahan
Alat
pH meter
Spektrofotometer
Waterbath
Mikro sentrifuge
Sentrifuge
Hot plate stirrer
Tabung selofan
Timbangan analitik
Mikropipet
Gelas ukur 10 ml, 50 ml, 100ml
Pipet ukur
Pipet volume
Pipet tetes
Labu takar 10 ml, 50 ml, 100 ml,1000 ml
Botol putih 100 ml
Botol putih 50 ml
Botol fial 10 ml
Beker glass 50ml, 100ml, 1000ml, 2000ml
Magnetic Bar
Kuvet
Penjepit kayu
Bahan
Ekstrak kasar enzim protease
Etanol 96%
Buffer phosphat pH 5,6,7,8,9
Substrat kasein
1,2 M TCA
Reagen Coomasie Brillian Blue
Larutan pencuci tabung selofan (10 mM Na2CO3 dan 1 mM EDTA)
NaCl 0,1 M dalam buffer phosphat pH 7
NaCl 1 M dalam buffer phosphat pH 7
Etanol 50%
Larutan tirosin
Sephadex G-100
III. Tetapan Alam
Asam asetat :
Nama IUPAC : asam asetat atau asam ethanoik
Formula : CH3COOH
MR : 60,05 g/mol
Density : 1.049 g·cm−3 (l) 1.266 g·cm−3 (s)
Melting point 16.5 °C (289.6 K, 61.6 °F)
Boiling point 118.1 °C (391.2 K, 244.5 °F)
pKa 4.76 pada suhu 25 °C
Viscosity 1.22 mPa·s pada 25 °C
Cairan atau kristal tak berwarna
Sodium hydroksida
Nama IUPAC : NaOH
Densitas : 2,1 g/cm3
MR : 39,997 g/mol
Melting point : 318oC
Boiling point : 1390oC
Larut dalam air
Sodium bicarbonat
Nana IUPAC : sodium hidrogen karbonat
BM : 84,007 g/mol
Bentuk : bubuk putih
Larut dalam air
Densitas : 2,159 g/cm3
Melting point : + 50oC
Kalsium klorida
Molecular formula : CaCl2; CaCl2.2H2O Dihydrate; CaCl2.4H2O Tetrahydrate;
CaCl2.6H2O Hexahydrate
Molar mass : 110.99 g/mol, anhydrous; 147.02 g/mol dehydrate;183.04
g/mol, tetrahydrate;219.08 g/mol, hexahydrate
Padatan putih atau tidak berwarna
Density : 2.15 g/cm³, anhydrous; 0.835 g/cm³, dehydrate; 1.71 g/cm³,
hexahydrate
Melting point : 772 °C (anhydrous)
Boiling point : >1600 °C
Solubility dalam air 74.5 g/100 ml (20 °C)
EDTA
Properties Molecular formula C10H16N2O8
Density 0.86 g/cm³
Melting point 237-245 °C (dec.)
Ethanol
Molecular formula : CH3CH2OH
Molar mass : 46.06844(232) g/mol
Cairan tak berwarna
Density : 0.789 g/cm³, liquid
Melting point : −114.3 °C (158.8 K)
Boiling point : 78.4 °C (351.6 K)
Larut dalam air
pKa 15.9
Viscosity 1.200 mPa·s (cP) pada 20.0 °C
Momen Dipol 5.64 fC·fm (1.69 D) (gas)
TrisCl
Molecular formula : CCl3COOH
Molar mass : 163.4 g/mol
Padatan putih
Density : 1.63 g/cm³, solid
Melting point 57 °C
Boiling point 196 °C
larut dalam air
Acidity (pKa) 0.77[1]
Structure Dipole moment 3.23 D
Natrium Klorida
Molecular formula Na Cl
Molar mass 58.44277 g/mol
Kristal atau bubuk putih atau tak berwarna
Density 2.16 g/cm³, solid
Melting point 801 °C
Boiling point 1465 °C (1738 K)
Solubility dalam air 35.9 g/100 mL (25 °C)
Casein
Fosfoprotein predominat yang merupakan 80% protein pembentuk susu dan
keju.
Casein tidak tergumpalkan karena panas.
Terendapkan oleh karena asam dan enzim rennet
Tersusun dari prolin serta tidak ada ikatan disulfide.
Titik isoelektrik 4.6.
Protein yang murni tidak larut dalam air, larutan garam
Terdispersi dalam basa dan larutan garam seperti natrium oksalat dan natrium
asetat
IV. Cara Kerja
Tahap presipitasi etanol
1. Ke dalam 50 mL larutan ekstrak kasar enzim yang telah direndam dalam
penangas es dimasukkan Etanol 96% secara perlahan–lahan sambil diaduk
dengan pengaduk magnetic sampai prosentase kejenuhan yang dikehendaki.
2. Larutan selanjutnya disentrifugasi dengan kecepatan 4000 rpm selama 30
menit.
3. Pelet yang mengandung endapan enzim kemudian dilarutkan dengan buffer
pH optimum Secukupnya (sampai larut).
Larutan Ekstrak Protein
+Supernatan
+ Etanol Absolut (Kejenuhan 39%, 57%, 70%, 80%,90%)
Pelet
Mencari Aktivitas Spesifik tertinggi
Supernatan Aktvitas Spesifik Tertinggi
Karakterisasi pH Optimum Awal
Uji Casein Assay + Uji Bradford
Dialisis
Supernatan Hasil Dialisis
Sentrifuge
Larutkan buffer pH Optimum
Supernatan Hasil Dialisis Uji Casein Assay + Uji Bradford
Kromatografi
Fraksi Hasil Kromatografi
Uji Casein Assay + Uji BradfordFraksi yang mengandung protein
Ukur absorbansi pada 280nm
4. Dilakukan pengujian terhadap aktivitas dan kadar proteinnya pada masing–
masing tahap presipitasi.
NB : pengendapan dengan etanol 96% dilakukan secara bertingkat yaitu pada
kejenuhan 39%, 57%, 70%, 80%,90%.
Tahap preparasi / pencucian tabung dialysis
1. Mendidihkan larutan pencuci yang mengandung 10 mM Na2CO3 dan 1 mM
EDTA (pelarut air) dalam bekker glass
2. Tabung dialisis dimasukkan dalam larutan yang mendidih tersebut dengan
menggunakan pinset secara hati – hati
3. Setelah 30 menit tabung dikeluarkan secara hati – hati dengan menggunakan
pinset
4. Tabung dibilas dengan akuades bagian luar dan dalam tabung (selama
proses pencucian menggunakan sarung tangan)
5. Tabung dialisis dapat digunakan berulang kali setelah dibilas dengan air dan
disimpan pada 40 C dalam larutan pencuci yang sama
NB : Tabung dialisis tidak boleh dipegang oleh tangan.
Tahap Preparasi Larutan / Reagen
NO JENIS REAGEN/LARUTANVOLUME YANG
DIBUAT
10,01 M Tris HCl pH 8 mengandung 10 mM CaCl2 (0,0735 g dalam 50 mL
H2O)
50 ml
21,2 M Asam tri kloro asetat(TCA, Mr = 163.4; 19,6 g dalam 100 mL
H2O)
50 ml
3 Substrat kasein( 1 g kasein dilarutkan dalam 20 ml 0,01 M Tris HCl pH
8 mengandung 10 mM CaCl2 (0,0735 g dalam 50 mL H2O) ditambah 6
ml NaOH 0,2 M setelah itu pH diaddjust ke pH 8 dengan penambahan
asam asetat 0,2 M dan larutan diaddkan dengan Tris HCl sampai 50
50 ml
mL, larutan dibagi dalam bentuk aliquot dan disimpan di suhu –200C)
4 20 mg comassie brilliant blue dilarutkan dalam 10 ml etanol 95 % 10 ml
5 Asam phosphat 85 % 20 ml
6 Larutan standar BSA 2 mg/ml 5 ml
7Larutan pencuci tabung dialisis (10 mM NaHCO3 dilarutkan dalam 1
mM EDTA pH 8 volume diaddkan sampai 100 mL)
200 ml
8 Larutan penyimpan tabung dialisis EDTA 1 mM pH 8 100 ml
9 Buffer phospat untuk dialisis sesuai pH optimum 2 L*
10 Buffer phospat untuk kolom kromatografi sesuai pH optimum 40 ml*
11 NaCl 0,1 M dalam buffer phosphat sesuai pH optimum 30 ml*
12 NaCl 0,1 M dalam buffer phosphat sesuai pH optimum 30 ml*
13 Larutan tyrosin (18.1 mg tyrosin dalam 100 ml 0.2 M HCl) 10 ml**
Bahan yang perlu ditimbang.diukur:
1. Tris Base (Mr= 121,14) 50 mL
M = (G/Mr)/V 50 mL = 0,05 L
0,01 M = (G/121,14)/0,05 L G= berat M= konsentrasi
G= 0,06057 g V= volume
Timbang 0,06057 g Tris Base dan 0,0735 CaCl2, adjust pH sampai 8 dengan HCl
2. Asam tri kloro asetat 1,2 M (Mr= 163,4) 50 mL
G = M.V.Mr = 1,2 . 0,05 . 163,4 = 9,8 g
Timbang 9,8 g TCA, larutkan sampai 50 mL
3. 0,2 M NaOH (Mr= 40) 6 mL untuk larutan kasein:
G = 0,2 . 6 . 40 = 0,03 g
4. 1 mM EDTA (Mr: 292,24) dalam 300 mL
G = 0,001 . 0,3 . 292,24 = 0.087672 g
5. 10 mM NaHCO3 (Mr: 84) 200 mL
G = 0,01 . 0,2 . 84 = 0,168 g
6. Buffer Fosfat 0,1 M pH 7
NaH2PO4 0,1 M : 13,945 g dalam 1 L
Na2HPO4 0,1 M : 26,8295 g dalam 1 L
Campur NaH2PO4 dan Na2HPO4 dengan perbandingan 39:61, lalu adjust pH sampai
7
7. 0,1 M BaCl2 (Mr: 137)
G= 0,1 . 0,05 . 137 = 0,685 g
Tahap dialisis
1. Memasukkan fraksi yang memiliki aktivitas optimum ke dalam tabung
dialisis yang salah satu ujungnya telah disimpul /diikat.
2. Setelah ¾ dari volume tabung terisis maka ujung yang lain diikat juga.
3. Tabung dialisis berisi larutan enzim protease direndam dalam larutan 0,1 M
buffer pH optimum sambil diaduk perlahan dengan pengaduk magnetik dan
dilakukan pada suhu 40 C dengan dua kali penggantian buffer setiap 2 jam.
4. Larutan ekstrak ini dikeluarkan dari tabung dialisis dan diukur volume
ekstrak tersebut
5. Dilakukan penukuran terhadap aktivitas protease dan kadar proteinnya
Tahap kromatografi
1. Membuat kolom yaitu dengan menimbang 0,5 g serbuk sephadex G – 100
dibuburkan dengan buffer pH 8 secukupnya
2. Memasukkan kedalam tabung dengan diameter kira – kira 1 cm
3. Membilas dengan buffer yang sama hingga kolom terpacking dengan baik
(gel terbentuk dengan homogen, bebas gelembung udara dan ketinggian
permukaan gel konstan)
4. Memasukkan perlahan – lahan 0,3 mL larutan protein yang akan dimurnikan
5. Melakukan elusi dengan gradien NaCl 0,1 M s/d 1 M dalam larutan buffer yang
sama. Komposisi eluent :
Eluent
Komposisi
Lar. Nacl 0,1 M Lar. NaCl 1,0M
1 0 5
2 1 4
3 2 3
4 3 2
5 4 1
6 5 0
6. Menampung fraksi setiap 1 mL
7. Ukur Absorbansi langsung pada 280nm untuk mengetahui apakah pada
fraksi tersebut terdapat protein atau tidak
8. Lakukan uji aktivitas protein pada fraksi yang memberikan serapan cukup
tinggi
Uji casein assay
1. Sebanyak 0,8 mL substrat kasein ditambahkan 0,2 mL larutan ekstrak
protease dan buffer 1,4 mL larutan buffer pH = 8
2. Campuran diinkubasi pada suhu 550 C selama 30 menit dan reaksi
dihentikan dengan melakukan penambahan 1 mL larutan TCA 1,2 M.
3. Sampel kemudian di sentrifuse dengan kecepatan 6000 rpm selama 5 menit
4. Ambil supernatan
5. Melakukan pengukuran absorbansi supernatant pada panjang gelombang
275 nm
NB : Blanko dibuat dengan perlakuan yang sama, kecuali larutan protease
ditambahkan ke dalam substrat setelah penambahan TCA.
Uji Bradford
1. Sebanyak 50 µl sampel dimasukkan ke dalam tabung reaksi dan
ditambahkan 2,5 ml reagen Bradford.
2. Divortex dan diamkan pada suhu kamar selama 10 menit.
3. Lalu ukur serapan pada 595nm.
NB : Blanko dibuat dengan cara yang sama dan sampel 50 µl diganti dengan air
atau buffer yang sesuai.
VIII. Pembahasan
Enzim merupakan suatu produk biomolekul karena sebagian besar komponen
penyusun enzim adalah protein. Protein (protos yang berarti ”paling utama") adalah
senyawa organik kompleks yang mempuyai bobot molekul tinggi yang merupakan
polimer dari monomer-monomer asam amino yang dihubungkan satu sama lain dengan
ikatan peptida. Peptida dan protein merupakan polimer kondensasi asam amino dengan
penghilangan unsur air dari gugus amino dan gugus karboksil. Jika bobot molekul
senyawa lebih kecil dari 6.000, biasanya digolongkan sebagai polipeptida.
Enzim dapat mengkatalisis berbagai macam reaksi kimia. Akan tetapi setiap enzim
memiliki sifat yang sangat spesifik, artinya satu jenis enzim hanya dapat mengkatalis satu
jenis reaksi kimia tertentu. Pada reaksi enzimatis, enzim dapat mengubah suatu molekul
( substrat ) menjadi molekul lain yang berbeda ( produk ). Energy dan proses yang
dibutuhkan untuk mengubah substrat menjadi produk melalui reaksi enzimatis, pada
banyak kasus, jauh lebih kecil dan sederhana apabila dibandingkan dengan reaksi
kimiawi biasa ( tanpa bantuan enzim ). Karena itu, saat ini enzim telah banyak digunakan
dalam industri kimia dan industri-industri lain yang sangat membutuhkan katalis spesifik
dalam proses produksinya.
Salah satu enzim yang saat ini sangat banyak digunakan dalam industry, baik
pangan maupun non pangan adalah enzim protease. Protease merupakan kelompok enzim
proteolisis yang dapat menghidrolisis ikatan peptida yang menghubungkan asam amino
yang satu dengan asam amino yang lain pada rantai polipeptida. Dalam industri pangan
protease digunakan untuk menggumpalkan susu pada industri keju, mengurangi gluten
pada industri roti, dapat membantu memecah protein pada gandum dan menjernihkan bir
pada industri pembuatan bir, dan banyak ditambahkan pada makanan bayi untuk
mempermudah proses pencernaan protein. Dalam industry non pangan, protease
digunakan dalam campuran detergen dan pembersih lensa kontak (softlens) untuk
menghilangkan protein yang mungkin terdapat pada lensa kontak. Protein yang terdapat
pada lensa kontak dapat memicu inveksi mata.
Berdasarkan tempat aktifnya, protease dapat diklasifikaasikan menjadi
endocellular protease dan eksocellular protease. Endocellular protease merupakan
protese yang dihasilkan dan digunakan di dalam sel, contoh: lisozim. Eksocellular
protease merupakan protease yang aktif di luar sel. Eksocellular protease disintesis di
dalam sel kemudian ditransport keluar sel. Protease jenis ini banyak dihasilkan oleh
bakteri, terutama bakteri decomposive. Untuk memperoleh endocellular protease, perlu
dilakukan pelisisan sel sehingga protease yang terdapat di dalam sel dapat terekstrak.
Sedangkan eksocellular protease dapat diperoleh langsung dari media tumbuh bakteri,
tanpa memerlukan pelisisan sel karena protease tersebut disekresikan keluar sel oleh
bakteri. Pada tahap ini ekstrak protease yang didapat, baik endocellular protease maupun
eksocellular protease, masih berupa ekstrak kasar karena didalam larutan ekstrak tersebut
masih terdapat banyak campuran protein lain selain protease.
Untuk memperoleh ekstrak protease murni maka perlu dilakukan proses
purifikasi lebih lanjut. Langkah yang umum dilakukan untuk purifikasi protein adalah
pengendapan, dilanjutkan dengan dialysis, dan penyempurnaan purifikasi dengan
kromatografi.
Terdapat beberapa metode presipitasi protein. Metode yang umum digunakan
adalah presipitasi dengan induksi garam. Pada kondisi larutan garam yang rendah,
kelarutan protein cenderung meningkat yang disebut dengan istilah salting in. Namun
pada saaat konsentrasi garam terlarut tinggi, kelarutan protein akan turun dengan cepat
sehinggga protein mengendap. Fenomena ini disebut salting out. Metode lain adalah
dengan menambahkan bahan organik terlarut. Penambahan bahan organik ke dalam
medium dapat menurunkan konstanta dielektrik pelarut, maka kelarutan protein akan
menurun sehingga akan diperoleh precipitate. Metode yang ketiga adalah dengan
mengubah pH larutan protein yang menyebabkan perbedaan muatan pada gugus
fungsional pada protein (Wikipedia, 2009).
Protein seperti asam amino bebas memiliki titik isoelektrik yang berbeda-beda.
Titik Isoelektrik (TI) adalah daerah pH tertentu dimana protein tidak mempunyai selisih
muatan atau jumlah muatan positif dan negatifnya sama, sehingga tidak bergerak ketika
diletakkan dalam medan listrik. Pada pH isoelektrik (pI), suatu protein sangat mudah
diendapkan karena pada saat itu muatan listriknya nol.
Pada percobaan ini kami melakukan pengendapan dengan menggunakan etanol.
Protein dapat larut dalam larutan ekstrak kasar karena molekul protein dikelilingi oleh
molekul pelarut, dalam hal ini air. Etanol yang ditambahkan akan menarik molekul air,
dengan sedikitnya molekul pelarut di sekitar protein, kelarutan protein akan berkurang,
sehingga protein akan berkumpul melalui interaksi elektrostatik dan gaya dipol, sehingga
mengendap.
Proses pengendapan ini dilakukan secara bertahap dengan menggunakan berbagai
level persentase etanol untuk memfraksinasi protein dalam larutan. Setiap jenis protein
memiliki tingkat kelarutan yang berbeda-beda. Kelarutan protein dipengaruhi beberapa
faktor, yaitu pH, suhu, kekuatan ionik dan konstanta dielektrik pelarutnya. Protein yang
kurang larut dalam larutan ekstrak akan dapat mengendap dengan keberadaan etanol pada
persentase yang rendah dalam larutan ekstrak. Sebaliknya, untuk mengendapkan protein
yang semakin larut dalam larutan ekstrak diperlukan peningkatan persentase etanol dalam
larutan tersebut. Jadi pada setiap tahap akan diperoleh endapan protein. Protein yang
terendapkan kemudian akan diuji aktivitasnya dan ditentukan kadar proteinnya. Namun
sebelum melakukan pengujian, pH optimum enzim harus diketahui terlebih dahulu agar
enzim dapat mencapai aktivitas optimum ketika dilakukan uji aktivitas dengan metode
casein assay.
Casein assay merupakan suatu uji aktivitas enzim protease dengan menggunakan
kasein sebagai substratnya. Casein akan di uraikan oleh enzim protease menjadi asam
amino-asam amino penyusunnya. Kemudian dilakukan pengukuran dengan cara
spektroskopi UV pada 275 nm. Pada panjang gelombang tersebut, absorbansi yang
terbaca adalah absorbansi dari asam amino yang memiliki cincin benzen. Pada praktikum
ini yang diukur adalah asam amino tirosinnya. Dipilih asam amino tirosin karena hampir
semua protein terdapat asam amino tirosin sebagai penyusunnya.
Uji casein assay dilakukan dengan cara mencampurkan 0,8 ml substrat kasein
dengan 0,4 ml larutan ekstrak protease ( pada penentuan pH optimum larutan ekstrak
yang digunakan adalah ekstrak kasar ) dan 1,4 ml larutan buffer pH optimum. Untuk
menentukan pH optimum enzim maka diperlukan beberapa pengujian dengan
menggunakan buffer dengan variasi pH yang berbeda, yaitu buffer pH 6, 7, 8, dan 9.
Campuran tersebut kemudian diinkubasi pada suhu 55oC selama 30 menit. Setelah 30
menit reaksi dihentikan dengan penambahan 1 ml larutan TCA 1,2 M. Blanko
diperlakukan sama, kecuali penambahan larutan protease ke dalam substrat kasein
dilakukan setelah penambahan larutan TCA. TCA ( Tri Kloro Acetic ) merupakan asam
asetat dengan tambahan tiga gugus Cl-. Asam asetat sendiri bersifat asam, dan
penambahan tiga gugus Cl- akan meningkatkan keasaman hingga dapat mecapai pH 0.
Pada pH yang sangat asam ini semua protein yang terdapat dalam larutan ( enzim dan
substrat kasein ) akan terdenaturasi sehinggga membentuk endapan. Sampel kemudian
disentrifugasi dengan kecepatan 6000 rpm selama 5 menit untuk memisahkan denaturan
protein dari larutan yang hanya mengandung asam-asam amino hasil proteolitik kasein
oleh protease. Selain dengan sentrifugasi, pemisahan dapat juga dilakukan dengan
menggunakan corong gelas dan kertas saring. Supernatan yang diperoleh kemudian
diukur dengan spektroskopi UV pada 275 nm relatif terhadap blanko.
Kurva standar untuk casein assay dapat dibuat dengan cara membuat beberapa kali
pengenceran larutan induk tyrosin ( minimal 10 kombinasi pengenceran ). Setiap larutan
kemudian diuji dengan cara yang sama seperti pada prosedur pengujian sampel di atas,
tetapi ekstrak protease diganti dengan larutan induk standar yang telah diencerkan. Pada
percobaan ini kami tidak membuat sendiri standar tyrosin. Kami menggunakan kurva
standar tyrosin yang terdapat pada lampiran VIII modul praktikum. Persamaan regresi
linier yang diperoleh dari data pada kurva standar adalah Y = 0,0075X – 0,0308. Dengan
memasukkan nilai absorbansi ke dalam Y, maka akan diketahui kadar tyrosin ( μg/ml )
yang terdapat dalam larutan uji.
Penentuan kadar protein ( uji kuantitatif protein ) dapat dilakukan dengan
menggunakan empat metode spektroskopik untuk mengukur konsentrasi protein dalam
larutan. Metode pertama adalah pengukuran kandungan protein dengan menggunakan
absorbansi sinar UV. Metode kedua hingga keempat yaitu uji Lowry, uji
copper/bicinchoninic dan uji Bradford dilakukan berdasarkan pada perubahan warna.
Akan tetapi walaupun salah satu atau lebih dari tiga metode ini sering dilakukan secara
rutin di laboratrium biokimia, namun karena beberapa alasan, tak satupun dari prosedur
diatas dapat memberikan data kadar protein yang benar - benar valid. Absorbansi sinar
UV membutuhkan protein murni yang diketahui nettonya. Uji Lowry dan
copper/bicinchoninic didasarkan pada reduksi Cu2+ menjadi Cu1+ oleh amida.
Metode lowry dan copper/bicinchoninic lebih akurat dari pada pengukuran
langsung dengan sinar UV, namun kedua uji ini dapat dipengaruhi oleh berbagai larutan
biokimia terlarut seperti deterjen, lipids, buffer dan agen pereduksi. Uji ini juga
membutuhkan berbagai seri larutan standard yang masing-masing memiliki konsentrasi
yang berbeda. Uji didasarkan pada equilibrium antara tiga bentuk pewarna Comassie
Blue G. Dalam kondisi asam, pewarana Comassie Blue G paling stabil dalam bentuk
doubly-protonated red (Stoscheck, 1990).
Uji penentuan kadar protein yang kami gunakan adalah uji yang terakhir, yaitu
uji Bradford. Uji Bradford banyak dilakukan karena bahan kimia yang digunakan yang
dapat mengganggu jalannya uji pada metode Bradford lebih sedikit bila dibandingkan
dengan metode lain, ujinya juga relatif cepat, dan kompleks molekul yang terbentuk
stabil. Kekurangan dari metode Bradford adalah garis yang terbentuk pada kurva regrasi
linier memiliki range yang pendek, sehingga harus sering dilakukan pengenceran untuk
pengukuran dengan spektofotometri untuk memperoleh range yang lebih lebar.
Reagen Bradford dibuat dengan melarutkan 25 mg coomasine brilliant blue
dalam 12,5 ml etanol 95% (v/v). Setelah itu ditambahkan asam fosfat 85% (w/v) dan
larutan diencerkan dengan aquades hingga volume 250 ml.
Uji Bradford dilakukan dengan cara memasukkan 50 μl sampel ke dalam tabung
reaksi dan menambahkan 2,5 ml reagen Bradford, divortex, dan didiamkan dalam suhu
kamar selama ± 10 menit. Serapan dari larutan yang diperoleh kemudian dibaca pada
panjang gelombang 595 nm. Blanko dibuat dengan cara yang sama, tetapi 50 μl sampel
diganti dengan 50 μl buffer atau aquades.
Uji Bradford menggunakan prosedur analitik spektroskopi dimana serapan
dilakukan pada panjang gelombang UV visible. Uji Bradford didasarkan pada observasi
bahwa absorbansi maksimum untuk larutan akan berubah atau bergeser dari 465 nm
sampai 595 nm saat ikatan dengan protein terjadi, karena itu panjang gelombang yang
digunakan adalah 595 nm (Stoscheck, 1990). Uji Bradford merupakan uji kolorimetri
yang di dasarkan pada serapan warna dari pewarna coomassie brilliant blue yang
berikatan dengan protein. Pewarna Coomassie mendonasikan free photon ke bagian
protein yang dapat mengalami ionisasi. Sehingga terjadi gangguan pada struktur alami
protein yang kemudian menyebabkan kantung hidrofob dari protein menjadi terekspos.
Kantung ini berikatan dengan gaya van der waals dengan pewarna coomasie. Sehingga
gugus amino yang bermuatan positiv dapat bertemu dengan pewarna yang bermuatan
negatif sehingga terjadi ikatan yang kuat (interaksi ionik). Akibatnya, komplek protein
dengan pewarna coomasie (kompleks warna biru) menjadi stabil dan kompleks inilah
yang memberikan serapan ketika diukur.
Kurva standar untuk uji Bradford dapat dibuat dengan cara membuat beberapa kali
pengenceran larutan induk standar bovine serum albumin ( BSA ) dengan konsentrasi 2
mg/ml ( minimal 6 kombinasi pengenceran ). Setiap larutan kemudian diuji dengan cara
yang sama seperti pada prosedur pengujian sampel di atas, tetapi ekstrak protease diganti
dengan larutan induk standar yang telah diencerkan. Pada percobaan ini kami tidak
membuat sendiri standar BSA. Kami menggunakan kurva standar BSA yang terdapat
pada lampiran VII modul praktikum. Persamaan regresi linier yang diperoleh dari data
pada kurva standar adalah Y = 0,0006X + 0,016. Dengan memasukkan nilai absorbansi
ke dalam Y, maka akan diketahui kadar protein ( μg/ml ) yang terdapat dalam larutan uji.
Data berat tyosin per ml larutan uji dari uji aktivitas dapat digunakan untuk
menghitung nilai aktivitas enzim per ml ekstrak. Aktivitas enzim merupakan suatu alat
ukur untuk mengetahui keberadaan enzim yang aktif. Aktivitas enzim adalah banyaknya
produk yang dihasilkan oleh enzim yang terdapat dalam larutan uji tiap satuan waktu
pada kondisi percobaan. Kondisi percobaan dalam praktikum ini adalah lama waktu
inkubasi, yaitu 10 menit. Larutan uji pada percobaan kami mengandung 0,8 ml substrat
kasein, 0,4 ml larutan ekstrak protease, 1,4 ml larutan buffer pH 8, dan 1 ml larutan TCA
1,2 M, sehingga total larutan uji adalah 3,6 ml.
Dengan mengetahui jumlah aktivitas enzim per ml ekstrak maka kami dapat
menghitung aktivitas total enzim, yaitu banyaknya produk yang terdapat dalam larutan
ekstrak. Aktivitas total enzim dihitung dengan cara mengkalikan aktivitas enzim per ml
ekstrak dengan total volume larutan ekstrak.
Data berat protein per ml ekstrak yang diperoleh dari uji Bradford dapat
digunakan untuk menentukan aktivitas spesifik enzim. Aktivitas spesifik enzim
merupakan aktivitas enzim per mikrogram total protein. Aktivitas spesifik menyatakan
jumlah produk yang dihasilkan oleh enzim, pada waktu tertentu dan dibawah kondisi
tertentu, per mikrogram enzim.
Persen yield merupakan aktivitas pada ekstrak kasar dibagi aktivitas enzim
setelah ekstraksi dengan etanol dikali 100%. Faktor purifikasi merupakan aktivitas
spesifik ekstrak awal dibagi aktivitas spesifik ekstrak setelah penambahan etanol. Protein
total merupakan jumlah total protein yang terdapat pada ekstrak. Protein total dapat
dihitung dengan cara mengalikan protein per ml ekstrak dengan volume ekstrak.
pH Absorbansi
6 0,022
7 0,076
8 0,119
9 0,05
Dengan membandingkan nilai aktivitas spesifik enzim dari setiap tahapan
ekstraksi maka akan dapat diketahui pada ekstrak yang mana yang terdapat protease
paling banyak. Persentase etanol absolut dalam ekstrak yang kami tingkatkan pada setiap
tahapan ekstraksi adalah:
A. Ekstrak kasar ( 0% etanol )
Ekstrak kasar yang kami peroleh dari asisten, kami sisihkan 50 ml untuk
proses ekstraksi dengan etanol absolut. Sedangkan sisanya kami gunakan untuk uji
protein, uji aktivitas, dan penentuan buffer pH optimum.
Absorbansi yang kami peroleh pada berbagai variasi pH:
Berdasarkan data di atas, dapat kami simpulkan bahwa buffer pH optimum
protease kami ada pada pH 8 karena pada pH tersebut protease melakukan aktivitas
yang maksimal dalam menghidrolisis kasein sehingga terdapat banyak asam amino
yang terlepas dari rantai polipeptidanya. Hal ini tampak dari tingginya nilai
absorbansi yang mengindikasikan tingginya konsentrasi asam amino tyrosin dalam
larutan yang diuji. Jadi untuk uji aktivitas enzim pada proses selanjutnya, larutan
buffer yang kami gunakan adalah larutan buffer pH 8.
Larutan ekstrak kasar enzim diukur kadar proteinnya dengan metode
Bradford untuk mengetahui jumlah protein awal yang terkandung dalam ekstrak.
Nilai absorbansi yang diperoleh dari pengukuran spektroskopi pada uji Bradford
adalah 0,154 ( absorbansi pada pengenceran 10 kali ). Dengan memasukkan nilai
absorbansi ke dalam persamaan regresi kurva standar BSA diketahui kadar protein
yang terdapat pada ekstrak kasar adalah 2738.466057 μg/ml ( tanpa pengenceran ).
Larutan ekstrak kasar enzim diuji aktivitasnya dengan casein assay untuk
mengetahui kadar tyrosin awal untuk yang terkandung dalam ekstrak kasar. Nilai
absorbansi yang diperoleh dari pengukuran spektroskopi pada uji aktivitas adalah
0,119 ( absorbansi pada pengenceran 3 kali ). Dengan memasukkan nilai absorbansi
ke dalam persamaan regresi kurva standar BSA diketahui berat tyrosin per ml yang
terdapat pada ekstrak kasar adalah 51.76363472 μg/ml ( tanpa pengenceran ).
B. Kandungan etanol 39%
Prosedur yang seharusnya kami lakukan pada praktikum untuk ekstraksi tahap
pertama adalah meneteskan sedikit demi sedikit etanol ke dalam 50 ml larutan
ekstrak kasar enzim yang telah direndam dalam penangas es (4oC) hingga mencapai
tingkat kejenuhan etanol 60% (v/v). Untuk membuat larutan dengan tingkat
kejenuhan etanol 60%, dibutuhkan penambahan etanol sebanyak 75 ml. Akan tetapi
ketika volume etanol yang ditambahkan mencapai 32 ml, larutan ekstrak tampak
keruh, sehingga kami memutuskan menghentikan penambahan etanol dan
melakukan sentrifugasi. Persentase etanol dalam larutan dapat dihitung
menggunakan rumus:
Persentase etanol (v/v) yang terdapat dalam larutan setelah penambahan 32 ml etanol
adalah:
Volume etanol
Volume etanol + volume ekstrakX 100%
3232 + 50 X 100% = 39%
Kekeruhan yang terjadi dalam larutan ekstrak terjadi karena makin sedikit
molekul pelarut yang berinteraksi dengan protein akibat penambahan etanol yang
menyebabkan kelarutan protein berkurang sehingga protein-protein akan berinteraksi
secara hidrofobik, berkumpul, dan mengendap. Pengendapan juga dibantu dengan
sentrifuge karena protein bersifat koloid di dalam larutan.
Dari hasil sentrifugasi, kami memperoleh pellet dan volume supernatant
sebanyak 57 ml. Proses pengendapan dilanjutkan dengan penambahan 20 ml etanol
ke dalam supernatant, kemudian larutan supernatant disimpan dalam kulkas pada
suhu 4oC selama semalam atau lebih. Penyimpanan dalam suhu dingin (4oC)
bertujuan untuk menjaga agar enzim berada dalam keadaan yang inaktif, aktivitas
enzim dapat ditekan selama masa penyimpanan, sehingga enzim masih dapat
memberikan nilai aktivitas pada uji aktivitas enzim yang dilakukan beberapa minggu
setelah proses ekstraksi. Selain itu, pendinginan juga dapat mempercepat proses
pengendapan. Pellet yang kami peroleh kemudian disimpan di dalam kulkas untuk
dilakukan uji aktivitas dan penentuan kadar protein. Untuk uji aktivitas dan kadar
protein, pellet dilarutkan dalam 50 ml buffer pH 8. Sisa larutan pellet setelah
dilakukan kedua uji tersebut kemudian disimpan di dalam kulkas pada suhu 4oC.
Karena persentase etanol yang terdapat dalam ekstrak kasar adalah 39%, maka
dapat kami asumsikan bahwa etanol yang terdapat dalam 57 ml supernatant adalah:
Penambahan 20 ml etanol pada supernatant akan merubah persentase
kandungan etanol dalam supernatant menjadi 57%. Persentase etanol pada
supernatant setelah penambahan 20 ml etanol dapat dihitung dengan rumus:
C. Kandungan etanol 57%
39100 X 57 = 28,243 ml
28,243 + 20 57 + 20 X 100% = 57%
Vol etanol awal + vol etanol yang ditambahkan
Vol supernatant + vol etanol yang ditambahkanX 100%
Supernatan dengan kandungan etanol 57% yang disimpan pada ekstraksi tahap
pertama, ketika dikeluarkan dari kulkas supernatan tampak keruh dan di bagian
bawah beaker glass tampak adanya endapan putih. Untuk memisahkan endapan yang
terbentuk maka kami melarutkan kembali endapan yang terbentuk dan melakukan
sentrifugasi pada 4000 rpm selama ± 20 menit. Volume supernatan yang kami
peroleh dari hasil sentrifugasi ini sebanyak 69 ml. Volume etanol yang terdapat
dalam supernatan adalah :
Persentase etanol kemudian dinaikkan menjadi 70% untuk proses
pengendapan lebih lanjut, volume etanol yang perlu ditambahkan sebanyak:
Supernatan kemudian disimpan pada 4oC selama semalam atau lebih. Ketika pellet
akan digunakan untuk uji aktivitas dan penentuan kadar protein, kami melarutkan
pellet dengan 50 ml buffer pH 8. Sisa larutan pellet setelah dilakukan uji disimpan di
dalam kulkas pada suhu 4oC.
D. Kandungan etanol 70%
Volume supernatan dengan persentase etanol 70% yang disimpan di dalam
kulkas adalah 99 ml. Larutan tersebut ketika dikeluarkan dari kulkas tampak keruh
dan terbentuk endapan berwarna kuning. Endapan kuning yang terbentuk tidak dapat
larut walaupun telah diaduk, sehingga kami memutuskan hanya mensentrifugasi
larutan keruh pada 4000 rpm selama ± 10 menit, sementara endapan kuning yang
tersisa kami larutkan dengan 1,4 ml buffer pH 8.
Setelah dilakukan sentrifugasi, kami memperoleh pellet berwarna putih dan 92
ml supernatan. Volume etanol yang terdapat dalam supernatan adalah :
57100 X 69 = 39,33 ml
39,33 + X 69 + X X 100% = 70
29,9 ml=X
70100 X 92 = 64,4 ml
Persentase etanol kemudian dinaikkan untuk proses pengendapan lebih lanjut,
volume etanol yang perlu ditambahkan untuk menaikkan persentase etanol dalam
larutan hingga 80% adalah:
Setelah ke dalam supernatan ditambahkan 46 ml etanol, larutan tersebut
kemudian disimpan pada suhu 4oC selama beberapa hari. Pellet putih yang terbentuk
juga kami larutkan dengan 1,4 ml buffer pH 8. Larutan pellet putih dan pellet kuning
tersebut kemudian kami uji aktivitas dan kadar proteinnya.
E. Kandungan etanol 80%
Supernatan dengan kandungan etanol 80% yang telah disimpan pada suhu 4oC
tampak keruh. Untuk memisahkan endapan yang terbentuk maka kami
mensentrifugasi supernatan pada kecepatan 4000 rpm selama ± 10 menit sehingga
diperoleh pellet dan 131 ml supernatan. Pellet kami larutkan dengan 8 ml buffer pH
8 untuk uji aktivitas dan penentuan kadar protein. Sisa larutan pellet kemudian
disimpan dalam kulkas pada suhu 4oC.
Di dalam 131 ml supernatan dengan persentase etanol 80% terdapatetanol
sebanyak:
Untuk proses ekstraksi tahap selanjutnya, diperlukan persentase etanol 90%
dalam supernatan. Untuk menaikkan persentase kandungan etanol hingga 90%
diperlukan penambahan etanol sebanyak:
64,4 + X 92 + X X 100% = 80
46 ml=X
80100 X 131 = 104,8 ml
131 ml =X
104,8 + X 131 + X X 100% = 90
Supernatan yang telah ditambahkan 131 ml etanol kemudian disimpan di dalam
kulkas pada suhu 4oC selama semalam atau lebih.
F. Kandungan etanol 90%
Supernatan dengan kandungan etanol 90% yang telah disimpan di dalam
kulkas pada praktikum sebelumnya tampak sedikit keruh. Untuk memisahkan
endapan yang terbentuk maka supernatan kami sentrifugasi pada 4000 rpm selama ±
10 menit. Dari hasil sentrifugasi kami memperoleh pellet dan 243 ml supernatan.
Untuk uji aktivitas dan penentuan kadar protein, pellet kami larutkan dalam 8 ml
buffer. Sisa larutan pellet setelah dilakukan kedua uji tersebut kemudian disimpan
dalam lemari pendingin pada suhu 4oC.
Pada praktikum ini ekstraksi terakhir dilakukan pada saat persentase etanol
dalam supernatan mencapai 90%. Untuk mengetahui apakah di dalam supernatan
masih terdapat protein atau tidak maka kami memutuskan untuk melakukan uji
aktivitas dan penentuan kadar protein pada supernatan. Absorbansi untuk penentuan
kadar protein nol. Hal ini menunjukkan di dalam supernatant sudah tidak ada lagi
protein yang larut dalam supernatant. Tetapi kami memperoleh nilai absorbansi
0.012 untuk uji aktivitas. Dengan memasukkan nilai absorbansi ke dalam Y pada
persamaan Y = 0,0075X – 0,0308 maka diketahui tyrosin yang terdapat dalam
supernatan adalah 5.706666667 μg/ml. Nilai absorbansi ini kami duga bukan berasal
dari aktivitas protese, karena tidak ada lagi protease yang terdapat dalam supernatant
sehingga seharusnya tidak ada aktivitas proteolitik yang terjadi saat dilakukan uji
aktivitas. Munculnya nilai absorbansi dapat terjadi akibat adanya sisa-sisa partikel
endapan setelah ditambahkan TCA yang lolos pada saat penyaringan. Adanya
partikel endapan dapat memberikan nilai absorbansi pada saat larutan diukur dalam
spektrofotometer.
Ketika kami membandingkan data yang kami peroleh melalui perhitungan
manual pada ekstrak 39%, 57%, 70% endapan putih, 70% endapan kuning, 80%, dan
90%, nilai aktivitas spesfik dan aktivitas total untuk ekstrak 70% endapan putih adalah
nol. Tidak adanya nilai aktivitas tersebut terjadi karena kami tidak melakukan uji
aktivitas karena minimnya larutan pellet yang kami miliki saat itu. Kami melarutkan
pellet 70% hanya dengan 1,4 ml larutan buffer pH 8. Saat itu kami hanya mengasumsikan
larutan yang kami buat hanya untuk uji aktivitas dan penentuan kadar protein saja,
sedangkan untuk GFC hanya dibutuhkan sedikit sekali larutan, yaitu 300 μl saja. Untuk
uji penentuan kadar protein sebenarnya hanya dibutuhkan 100 μl larutan ekstrak ( untuk
blanko dan pengujian ). Tetapi kami kurang hati-hati saat mengambil sampel sehingga
ada sekit sampel yang tercecer, kami juga melakukan kesalahan pada saat mengeset
angka pada pipet mikro, sehingga sampel ekstrak yang kami gunakan untuk uji Bradford
adalah 0,5 ml untuk uji dan 0,5 ml untuk blanko. Ketika menyadari kesalahan tersebut
kami membuang larutan tersebut dan melakukan pengujian ulang Bradford dengan
takaran yang benar. Sisa sampel setelah uji Bradford sudah sangat sedikit sehingga tidak
mungkin dapat digunakan untuk uji aktivitas.
Aktivitas spesifik tertinggi terdapat pada larutan pellet pada ekstrak 39% etanol
diikuti dengan aktivitas spesifik pada ekstrak 80%. Berdasarkan data tersebut maka kami
memutuskan untuk melakukan dialysis dengan menggunakan lalutan pellet hasil ekstrak
39%, tetapi ketika kami mengeluarkan larutan pellet yang telah beberapa minggu
disimpan di dalam kulkas pada suhu 4oC tersebut tampak adanya endapan kristal putih.
Kami memisahkan Kristal yang terbentuk dari buffer pelarutnya dengan cara menuang
langsung larutan tersebut ke dalam beaker glass yang baru. Volume larutan yang didapat
setelah pemisahan dengan endapan adalah 45 ml.
Endapan Kristal yang tetap berada pada beaker pertama kemudian kami larutkan
dalam 5 ml buffer pH 8. Pada kedua larutan tersebut kemudian kami lakukan uji aktivitas
dan penentuan kadar protein. Dari kedua data tersebut dapat kami hitung aktivitas
spesifik kedua larutan. Aktivitas spesifik larutan pellet lebih besar dari pada aktivitas
spesifik supernatant.
Walaupun aktivitas spesifik larutan pellet 39% lebih besar dari pada aktivitas
spesifik supernatannya, kami memutuskan tidak menggunakan kedua larutan ini untuk
proses dialysis. Dialysis kami lakukan pada larutan pellet hasil ekstraksi 80%, yang
memiliki aktivitas spesifik terbesar kedua, dengan pertimbangan jumlah protein total
yang terdapat pada larutan pellet 39% hanya 1933 μg sementara jumlah protein total yang
terdapat dalam larutan pellet hasil ekstraksi 80% adalah 15000 μg. Ketika dilakukan GFC
dikhawatirkan tidak semua protein akan terelusi dengan sempurna. Beberapa protein akan
terikat kuat dengan kolom sehingga apabila pada larutan dengan jumlah protein yang
sedikit dilakukan GFC maka kandungan protein yang terdapat dalam setiap fraksi hasil
GFC akan semakin sedikit. Rendahnya kandungan protein pada fraksi menyebabkan
aktivitasnya tidak terdeteksi dan memberikan nilai absorbansi yang kecil ketika dilakukan
uji penentuan kadar protein. Hal ini tentu saja dapat menyebabkan galat yang signifikan
pada hasil percobaan.
Aktivitas spesifik merupakan aktivitas total dibagi protein total. Aktivitas spesifik
digunakan sebagai acuan untuk menentukan ekstrak yang akan didialisis. Semakin besar
nilai aktivitas enzim menunjukkan semakin besar aktivitas total enzim yang terdapat
dalam ekstrak dan semakin kecil jumlah protein yang terkandung dalam ekstrak. Jika
jumlah enzim sedikit tetapi aktivitasnya besar maka dapat disimpulkan sebagian besar
protein yang terdapat pada ekstrak tersebut merupakan protease sehingga memiliki
aktivitas proteolitik yang tinggi ketika diuji aktivitasnya.
Dialysis merupakan suatu metode yang digunakan untuk memisahkan molekul
berdasarkan prinsip perbedaan gradient konsentrasi. Dialysis dilakukan dengan cara
memasukkan sampel yang akan dimurnikan ke dalam tabung dialysis yang telah diikat
salah satu ujungnya hingga terisi ± ¾ bagian tabung.
Preparasi tabung dialysis dilakukan dengan cara memasukkan tabung dialysis ke
dalam 200ml larutan pencuci yang mendidih. Larutan pencuci mengandung 10 mM
NaHCO3 dan 1mM EDTA pH 8. NaHCO3 dapat mengecilakan pori-pori tabung dialysis
sehingga dapat menahan molekul protein tetap berada di dalam tabung. EDTA berperan
untuk mengkelat kemungkinan adanya ion logam yang terdapat pada tabung dialysis.
Adanya ion logam tertentu dapat merusak enzim. Setelah ± 30 menit, tabung dikeluarkan
dan dibilas dengan aquades. Tabung dialysis dapat digunakan berulang-ulang setelah
dibilas dengan air suling dan disimpan pada 4oC dalam larutan 1mM EDTA.
Pada umumnya tabung dialysis terbuat dari selulosa atau selofan yang bersifat
semipermeabel. Ujung tabung yang lain kemudian diikat rapat dan tabung dimasukkan ke
dalam larutan buffer pH 8 0,1 M sebanyak 500 ml sambil diaduk perlahan dengan
pengaduk magnetic selama beberapa jam pada suhu 4oC. pengadukan selama beberapa
jam dimaksudkan untuk mempercepat homogenisasi kesetimbangan larutan yang ada di
dalam maupun di luar tabung selofan. Proses dialysis harus dilakukan menggunakan
buffer untuk menjaga kestabilan enzim dan dilakukan pada suhu yang dingin untuk
menjaga agar aktivitas enzim dapat ditekan sampai seminimal mungkin. Namun suhu
yang digunakan tidak boleh terlalu dingin karena pada suhu yang terlalu rendah dapat
menaikkan viskositas larutan sehingga homogenisasi kesetimbangan larutan akan berjalan
lambat, dan pada suhu yang lebih rendah lagi dapat menyebabkan kristalisasi larutan
yang akan berdampak pada kerusakan enzim.
Gambar. Proses perpindahan molekul melalui membrane semipermeabel saat dialysis.
Ketika tabung dialysis yang telah berisi ekstrak protease dimasukkan ke dalam
larutan buffer, akan terjadi perpindahan molekul pada kedua larutan akibat gradient
konsentrasi yang berbeda dengan cara difusi melewati membrane semipermeabel.
Molekul yang dapat melewati membrane semipermeabel ini hanyalah molekul-molekul
yang berukuran kecil ( etanol, garam mineral, maupun pengotor lain yang mungkin
terdapat dalam larutan ekstrak ) dan air sedangkan molekul protein tidak dapat keluar
melewati membrane karena ukurannya yang terlalu besar.
Proses dialysis seharusnya dilakukan secara berulang kali untuk dapat
menghilangkan larutan pengekstrak dan pengotor yang mungkin terdapat dalam larutan
ekstrak secara maksimal. Tetapi kami hanya melakukan satu kali proses dialysis karena
kami menggunakan pengekstrak etanol. Etanol memiliki bentuk cair dan sangat larut
dalam air sehingga lebih mudah dikeluarkan dari larutan ekstrak jika dibandingkan
dengan garam ammonium sulfat yang memerlukan beberapa kali tahap dialysis.
Volum hasil dialysis yang kami peroleh adalah 7 ml. larutan dialysis ini
kemudian kami uji aktivitas dan penentuan kadar proteinnya untuk membandingkan
aktivitas spesifik dan protin total sebelum dan sesudah GFC.
Proses setelah dialisis adalah GFC. GFC ( Gel Filtration Chromatography )
merupakan teknik separasi berdasarkan ukuran molekul. Pada proses separasi ini molekul
yang berukuran kecil akan memasuki pori-pori dari gel, sedangkan molekul yang
berukuran lebih besar tidak dapat memasuki pori-pori gel karena perbedaan ukuran yang
cukup jauh antara pori dengan molekul. Akibatnya molekul yang berukuran besar akan
bergerak melalui celah-celah dari pori gel sehingga jarak tempuh molekul yang berukuran
besar lebih pendek dari pada jarak tempuh yang harus dilalui molekul dengan ukuran
kecil karena setiap pori umumnya membentuk labirin yang cukup panjang. Teknik ini
sering digunakan untuk menentukan berat molekul (BM). Pada GFC molekul besar akan
lebih terelusi keluar dari pada molekul yang kecil.
Pemilihan matriks untuk proses kromatografi filtrasi gel didasarkan atas range
berat molekul dari protein yang akan dipisahkan. Volume kolom/gel dari matriks
konvensional yang digunakan untuk pemurnian enzim sebaiknya berkisar 30-100 kali
volume sampel yang akan diload. Jika kemasan awal dari matrik yang akan digunakan
berupa serbuk kering maka perlu dilakukan proses pengembangan / hidrasi dulu sebelum
digunakan. Matriks yang akan digunakan disuspensikan terlebih dahulu dalam solvent
dan dikondisikan pada suhu yang akan digunakan untuk proses kromatografi.
Pengkondisisan suhu sangat penting untuk proses fraksinasi, terutama pada fraksinasi
protein karena struktur protein yang kurang stabil. Rentang suhu tertentu dapat
menyebabkan protein terdenaturasi atau terenaturasi. Perbedaan suhu antara kolom
dengan sampel juga dapat memicu terbentuknya gelembung udara yang akan
mengganggu jalannya GFC. Kebanyakan protein stabil pada suhu kamar dan suhu
rendah. Pada saat mensuspensikan serbuk sebaiknya tidak menggunakan megnetic bar
karena dapat merusak struktur asli matrik. Gel yang telah jadi harus tetap terisi buffer
atau eluen walaupun pada saat tidak digunakan karena gel yang kering akan mudah rusak
( retak ) dan mempengaruhi pemisahan dan laju alir.
Matriks atau fasa diam yang digunakan dalam GFC biasanya berupa polimer
( dextran, agarosa, atau poliakrilamid ). GFC yang kami gunakan menggunakan matriks
sephadex. Sephadex adalah merek dagang dari cross-linked dextran gel.
Matriks dibuat dengan cara mendidihkan 0,5 gram serbuk sephadex G-100 dalam
15 ml buffer pH 8 hingga membentuk bubur. Bubur sephadex kemudian disimpan selama
± 24 jam untuk proses hidrasi ( pengembangan gel ). Setelah gel mengalami hidrasi, gel
0,8 ml per 10 menit
dimasukkan ke dalam kolom kromatografi. Ekuilibrasi atau pembilasan kolom dilakukan
dengan buffer yang sama hingga gel ter-packing dengan baik. Gel yang ter-packing
dengan baik adalah gel yang terbentuk dengan homogen, bebas gelembung udara, dan
ketinggian permukaan gel konstan dan rata. Adanya gelembung udara dapat mempercepat
laju molekul yang berukuran kecil. Keberadaan udara akan memperkecil jarak tempuh
molekul yang berukuran kecil. Permukaan gel yang tidak rata akan menghasilkan
fraksinasi/pemisahan yang juga tidak rata sehingga akan menyulitkan proses
penampungan. Setelah ketinggian buffer tinggal 1-2 mm di atas permukaan gel
dimasukkan sampel.
Ketinggian buffer diusahakan seminimal mungkin saat sampel akan dimasukkan
karena apabila buffer terlalu tinggi maka akan terdapat rentang waktu tertentu agar semua
sampel dapat kontak pada permukaan gel. Sampel yang kontak dengan permukaan gel
lebih dini akan lebih dulu terfraksinasi, dan sampel yang kontak dengan permukaan gel
setelah beberapa waktu, fraksinya akan mencemari fraksi-fraksi lain dari sampel awal.
Laju alir saat pada proses GFC harus diset tidak boleh terlalu cepat. Apabila laju
alirnya terlalu cepat menyebabkan protein tidak terpisah dengan sempurna, atau dapat
pula terjadi jarak antara fraksi yang satu dengan fraksi yang lain terlalu dekat sehingga
menyulitkan proses penampungan. Laju alir dapat dihitung dengan cara:
Diameter kolom adalah 1,1 cm dan laju alir linier = 5 maka laju alirnya:
=
=
Konsentrasi dari elektolit dalam solvent yang digunakan tidak boleh melebihi 0,2
M untuk meminimalisasi terjadinya ikatan antara matriks dengan protein akibat dari gaya
elektostatis dan gaya tarik van der walls.
Luas penampang X Laju alir linier
6
r2 X Laju alir linier
6
22/7 . 0,552 X 5
6
Untuk fraksinasi menggunakan GFC dibutuhkan 300 μl ekstrak yang telah
didialisis. Ekstrak dimasukkan melalui dinding kolom agar tidak mengubah permukaan
gel. Dinding kolom kemudian dibilas dengan buffer/eluen untuk membilas sisa sampel.
Eluen yang digunakan untuk mengelusi sampel memiliki komposisi:
Eluent
Komposisi
Lar. Nacl 0,1 M Lar. NaCl 1,0M
1 0 5
2 1 4
3 2 3
4 3 2
5 4 1
6 5 0
Masing- masing eluen dengan komposisi diatas dibuat sebanyak 5 ml. Setiap eluen
dimasukkan secara bertahap dan setiap fraksi berisi ± 1ml eluen yang keluar dari kolom.
Tujuan pemberian eluen dengan komposisi yang berbeda adalah untuk memberikan
beberapa rentang gradien konsentrasi karena beberapa protein hanya dapat terelusi/ dapat
larut dalam gradien konsentrasi eluen tertentu, sehingga jika eluen yang digunakan hanya
memiliki satu konsentrasi saja maka besar kemungkinan terdapat protein – protein lain
yang masih berada di dalam kolom karena tidak dapat larut dalam eluen yang digunakan.
Total fraksi yang kami peroleh dari GFC adalah 30 fraksi. Setiap fraksi kemudian diukur
absorbansinya pada 280 nm. Panjang gelombang 280 nm digunakan untuk mendeteksi
protein.
Data absorbansi 280 nm dapat digunakan untuk menentukan protein per ml
ekstrak ( μg ) pada setiap fraksi dengan bantuan kurva standar dialisis. Standar dialisis
dibuat dengan mengukur absorbansi larutan dialisis pada 280 nm. Karena pada larutan
dialisis tersebut telah diukur kadar proteinnya dengan metode Bradford pada 275 nm,
maka dapat kami asumsikan jumlah protein per ml ekstrak yang terdapat dalam larutan
dialisis adalah sama yaitu 1533,333333 μg/ml. Larutan dialisis tersebut kemudian
diencerkan lagi beberapa kali dan diukur absorbansinya pada 280 nm, jumlah protein per
ml ekstraknya ditentukan dengan membagi protein per ml ekstrak larutan dialisis tanpa
pengenceran dengan jumlah pengenceran yang dilakukan. Data pengenceran larutan
dialisis yang kami lakukan:
Gambar. Kurva standar dialisis
Kurva standar dialisis di atas memiliki slope = 0,002996226 dan intercept =
0,08351413731929750000. Dengan mengurangkan absorbansi dengan intercept dan
membagi hasilnya dengan slope maka akan diperoleh data protein per ml ekstrak. Apabila
Pengenceran AbsorbansiProtein per ml
ekstrak (µg)
1 1,06 1533,333333
10 0,542 153,3333333
15 0,391 102,2222222
17 0,344 90,19607843
20 0,334 76,66666667
25 0,256 61,33333333
dilakukan pengenceran saat absorbansi maka data tersebut dikalikan dengan jumlah
pengenceran.
Dari ketiga puluh fraksi yang kami peroleh hanya fraksi ke-6 hingga fraksi ke-13
dan fraksi ke-28 saja yang menghasilkan absorbansi yang cukup tinggi pada 280 nm.
Fraksi-fraksi tersebut kemudian diuji aktivitasnya, namun pada fraksi 9, 12, 13, dan 28
tidak terdapat aktivitas protein, sehingga dapat disimpulkan protein yang terdapat pada
fraksi – fraksi tersebut bukanlah enzim. Ekstrak protease terdapat pada fraksi ke-6 karena
aktivitas spesifik tertinggi terdapat pada fraksi tersebut. Jumlah protein total semua fraksi
448,9564. Jika dibandingkan dengan jumlah protein total larutan dialysis, yaitu
10733,333333 maka dapat dikatakan banyak protein yang hilang saat dilakukan GFC.
Hilangnya protein tersebut mengkin karena adanya ikatan van der walls ataupun ikatan
elektrostatik yang kuat antara matriks dengan protein sehingga protein tidak dapat larut
dalam eluen.
Gambar. Kurva aktivitas spesifik setiap fraksi yang diperoleh dari GFC
IX. Kesimpulan
Prinsip purifikasi protein dengan etanol adalah salting out. Salting out adalah
suatu metode pemisahan protein dari senyawa yang lain berdasarkan prinsip
bahwa protein kurang larut pada air pada kondisi kadar garam tinggi. Protein
menjadi kurang larut karena garam yang ditambahkan menarik air yang
mengelilingi molekul protein, sehingga molekul protein menjadi bergerombol
dan mengendap. Pada penambahan etanol, prinsip yang terjadi juga sama, yaitu
etanol menarik air yang mengelilingi molekul protein sehingga protein menjadi
bergerombol dan mengendap.
Dialysis merupakan suatu metode yang digunakan untuk memisahkan molekul
berdasarkan prinsip perbedaan gradient konsentrasi dengan cara berdifusi melalui
membrane semipermeabel.
GPC merupakan teknik separasi berdasarkan ukuran molekul. Pada proses
separasi ini molekul yang besar tidak dapat memasuki pori-pori dari gel
sehingga molekul yang besar keluar lebih cepat dari pada molekul yang kecil,
karena molekul-molekul kecil dapat masuk ke pori-pori gel sehingga menempuh
jarak yang lebih jauh dari pada molekul besar.
Aktivitas spesifik digunakan sebagai acuan untuk menentukan ekstrak yang akan
didialisis. Semakin besar nilai aktivitas enzim menunjukkan semakin besar aktivitas
total enzim yang terdapat dalam ekstrak dan semakin kecil jumlah protein yang
terkandung dalam ekstrak. Jika jumlah enzim sedikit tetapi aktivitasnya besar maka
dapat disimpulkan sebagian besar protein yang terdapat pada ekstrak tersebut
merupakan protease sehingga memiliki aktivitas proteolitik yang tinggi ketika diuji
aktivitasnya.
Protease terdapat pada fraksi ke-6 GFC.
Kadar
(µg/ml)Absorbansi1000,
07642000,12213000,17
794000,24755000,30826
000,36957000,4039800
0,4653
Kadar
(µg/ml)Absorbansi18,11
0,122136,220,234954,3
30,345272,440,523490,
550,6546108,660,76961
26,770,9403144,881,03
96162,991,2144181,11,
3103
Lampiran
Kurva standar BSA – metode bradford
Kurva standar tyrosin – 275 nm
Laporan Praktikum Purifikasi
Bioproduk
Disusun oleh :
Yulia Mega Sari T (7061007)
Sugiantoro (7061816)
Fakultas Teknobiologi
Universitas Surabaya
2009
Daftar pustaka
www.encorbio.com protocols AM-SO4.htm
http://www.answers.com/topic/dialysis
http://en.wikipedia.org/wiki/Cellophane
http://www.bio.mtu.edu/campbell/bl482/lectures/lec5/482w51.htm
http://en.wikipedia.org/wiki/Bradford_protein_assay
http://en.wikipedia.org/wiki/Casein_assay
http://en.wikipedia.org/wiki/Enzym
http://en.wikipedia.org/wiki/Gel permeation chromatography/sephadex
http://en.wikipedia.org/wiki/Gel_permeation_chromatography
http://en.wikipedia.org/wiki/Protease
http://en.wikipedia.org/wiki/Sephadex
http://www.sigmaaldrich.com/life-science/proteomics/protein-
chromatography.html
http://web.mit.edu/course/3/3.082/www/team1s/background/GPC.html
http://www.enzymeessentials.com/HTML/protease.html