pemanfaatan “komakas” dan “diary speech” untuk membangun...

15
Pemanfaatan “Komakas” dan “Diary Speech” untuk Membangun Budaya Literasi di Sekolah Dasar dengan Perpustakaan Minim Fasiltas PENGANTAR Pendidikan merupakan eskalator untuk membangun sumber daya manusia yang berkualitas. Suatu bangsa yang dihuni oleh masyarakat terdidik mampu menjadi bangsa besar, seperti Jepang, Singapura, Korea selatan, Finlandia dan lain-lain. Keberhasilan mereka dalam dunia pendidikan nyatanya mampu merubah tatanan negara tersebut sehingga menjadi bangsa yang maju, dan disegani dalam berbagai bidang. Walaupun mereka tidak memiliki sumber daya alam yang besar seperti Indonesia, pembangunan sumber daya manusia mampu merubah bangsa tersebut ke arah yang lebih baik. Oleh sebab itu dunia pendidikan harus mendapat perhatian paling besar oleh semua pihak. Keberhasilan pendidikan suatu bangsa tidak lepas dari kebiasaan masyarakat dalam membaca. Kenyataanya minat baca masyarakat Indonesia masih sangat rendah dibandingkan negara lain, padahal membaca merupakan jalan menuju perubahan sosial. Apabila masalah ini tidak segera diatasi bagaimana mungkin bangsa Indonesia beranjak dari titik buntu tersebut. Membangun budaya literasi memang tidak semudah membalikkan telapak tangan dan membutuhkan kesadaran semua pihak, baik keluarga, sekolah maupun masyarakat. Sekolah sebagai tonggak pendidikan formal memiliki peranan penting dan vital dalam membangun budaya literasi. Gerakan Literasi Sekolah sudah disahkan oleh Menteri Pendidikan sebagai salah satu upaya dalam membangun budaya literasi. Namun kenyataannya hal tersebut masih terkendala oleh banyak hal. Perpustakaan sekolah yang seharusnya menjadi wadah untuk menyalurkan hasrat membaca anak-anak, nyatanya tidak mampu menampung rasa ingin tahu mereka akan informasi. Di daerah banyak sekali perpustakaan yang minim fasilitas buku sehingga bahan bacaan yang menarik sulit didapat oleh siswa. Oleh sebab itu, penulis memberikan gagasan untuk membangun budaya literasi di Sekolah Dasar dengan “KOMAKAS” dan “DIARY SPEECH”. “KOMAKAS” sendiri merupakan singkatan dari koran dan majalah bekas. Mengingat banyak sekali koran dan majalah bekas yang hanya tertumpuk di loakan, padahal koran dan majalah bekas bisa dimanfaatkan. Sedangkan “DIARY SPEECH” adalah langkah lanjutan dalam membangun budaya literasi, karena literasi tidak hanya sebatas membaca, namun lebih kompleks yang mana di dalamnya memuat menulis, menyimak dan berbicara.

Upload: vunguyet

Post on 16-Mar-2019

226 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Pemanfaatan “Komakas” dan “Diary Speech” untuk Membangun Budaya

Literasi di Sekolah Dasar dengan Perpustakaan Minim Fasiltas

PENGANTAR

Pendidikan merupakan eskalator untuk membangun sumber daya manusia

yang berkualitas. Suatu bangsa yang dihuni oleh masyarakat terdidik mampu

menjadi bangsa besar, seperti Jepang, Singapura, Korea selatan, Finlandia dan

lain-lain. Keberhasilan mereka dalam dunia pendidikan nyatanya mampu merubah

tatanan negara tersebut sehingga menjadi bangsa yang maju, dan disegani dalam

berbagai bidang. Walaupun mereka tidak memiliki sumber daya alam yang besar

seperti Indonesia, pembangunan sumber daya manusia mampu merubah bangsa

tersebut ke arah yang lebih baik. Oleh sebab itu dunia pendidikan harus mendapat

perhatian paling besar oleh semua pihak.

Keberhasilan pendidikan suatu bangsa tidak lepas dari kebiasaan

masyarakat dalam membaca. Kenyataanya minat baca masyarakat Indonesia

masih sangat rendah dibandingkan negara lain, padahal membaca merupakan

jalan menuju perubahan sosial. Apabila masalah ini tidak segera diatasi

bagaimana mungkin bangsa Indonesia beranjak dari titik buntu tersebut.

Membangun budaya literasi memang tidak semudah membalikkan telapak tangan

dan membutuhkan kesadaran semua pihak, baik keluarga, sekolah maupun

masyarakat.

Sekolah sebagai tonggak pendidikan formal memiliki peranan penting dan

vital dalam membangun budaya literasi. Gerakan Literasi Sekolah sudah disahkan

oleh Menteri Pendidikan sebagai salah satu upaya dalam membangun budaya

literasi. Namun kenyataannya hal tersebut masih terkendala oleh banyak hal.

Perpustakaan sekolah yang seharusnya menjadi wadah untuk menyalurkan hasrat

membaca anak-anak, nyatanya tidak mampu menampung rasa ingin tahu mereka

akan informasi. Di daerah banyak sekali perpustakaan yang minim fasilitas buku

sehingga bahan bacaan yang menarik sulit didapat oleh siswa.

Oleh sebab itu, penulis memberikan gagasan untuk membangun budaya

literasi di Sekolah Dasar dengan “KOMAKAS” dan “DIARY SPEECH”.

“KOMAKAS” sendiri merupakan singkatan dari koran dan majalah bekas.

Mengingat banyak sekali koran dan majalah bekas yang hanya tertumpuk di

loakan, padahal koran dan majalah bekas bisa dimanfaatkan. Sedangkan “DIARY

SPEECH” adalah langkah lanjutan dalam membangun budaya literasi, karena

literasi tidak hanya sebatas membaca, namun lebih kompleks yang mana di

dalamnya memuat menulis, menyimak dan berbicara.

Penulis berharap semoga gagasan ini dapat digunakan oleh banyak pihak,

baik sekolah, tenaga pendidik ataupun masyarakat luas, khususnya Sekolah

Dasar dengan perpusatakaan minim fasilitas sehingga budaya literasi disekolah

bisa berjalan optimal.

Kebumen, 10 November 2016

Penulis

MASALAH

Pendidikan merupakan cikal bakal lahirnya peradaban yang maju dari suatu

bangsa. Bagaimana sebuah negara akan berjalan tergantung pada keberhasilan

pendidikan. Namun banyak orang salah mengartikan pendidikan, masyarakat

masih menganggap bahwa pendidikan hanya sebatas gelar sehingga banyak

orang mengejar gelar tapi tidak memahami hakikat pendidikan itu sendiri. Tidak

heran jika banyak sekali sarjana yang menambah jumlah pengangguran di

Indonesia. Padahal pendidikan bukan hanya tentang gelar namun lebih kepada

pengalaman dan pengamalan yang didapat.

Permasalahan kompeks seperti kemiskinan, kriminalitas, dan

pengangguran sudah mengakar sejak dahulu. Masalah tersebut belum mampu

diselesaikan dengan tepat. Bahkan menurut Prasetyo (dalam Suherman, 2009: 3)

menjelaskan bahwa selain menghasilkan pengangguran terbanyak, ternyata

sekolah juga adalah lembaga yang paling produktif dalam memproduksi

kekerasan dan kejahatan. Kenyatannya sekolah tidak mampu menjadi tempat

pemupukkan karakter yang efektif. Perlu adanya komitmen yang tinggi bagi

segenap unsur sekolah untuk mewujudkan sekolah menyenangkan dan aman.

Kebanyakan sekolah di Indonesia belum mampu menjadi wadah yang

efektif sebagai spot for social changing atau tempat perubahan sosial sebab

sekolah belum mampu menyentuh ranah pemikiran siswa. Seperti sebuah

ungkapan bahwa anda adalah apa yang anda pikirkan. Pola pikir yang terbentuk di

kepala berasal dari segala sesuatu yang dilihat, didengar dan dibaca. Seseorang

akan memiliki ide atau gagasan yang cemerlang jika mampu menyerap informasi

yang banyak dan tepat. Guna mewujudkan hal tersebut, dibutuhkan instrumen

utama yaitu membaca.

Indonesia memiliki sejarah yang panjang tentang budaya baca.

Berdasarkan penelitian, pada saat abad ke-21 dimulai, 9 dari 10 orang Indonesia

sudah melek huruf. Namun, dijelaskan lebih lanjut bahwa “The challenge for

Indonesia now is to maintain and expand these basic skills through the increased

publication and distribution of textbook, newspaper, and other reading materials,

and through improved training and working condition for Indonesians responsible

for postliteracy instruction” (Lowenberg, 2000). Pernyataan tersebut menjelaskan

bawah tantangan Indonesia yakni bagaimana mempertahankan dan memperluas

kemampuan baca tulis melalui peningkatan publikasi dan distribusi buku teks,

koran, dan bahan bacaan lainnnya serta melalui pelatihan dan kondisi pekerjaan

sebagai tanggung jawab orang Indonesia terhadap petunjuk literasi. Sekarang ini

Indonesia bukanlah bangsa yang terbelakang karena sebagian besar

penduduknya sudah bisa baca tulis. Namun budaya membaca di Indonesia masih

sangat rendah, hal tersebut disebabkan oleh faktor kultural masyarakat yang lebih

suka mendengarkan dan menonton dari pada membaca.

Menurut penelitian PIRLS tahun 2011, minat baca di Indonesia berada di

level rendah meksi pada rentang tahun 2006 hingga 2011 mengalami

peningkatan, tapi tidaklah signifikan (Suryaman, 2012). Berdasarkan studi yang

dilakukan oleh Central Connecticut State University pada bulan Maret 2016 yang

lalu tentang “Most Littered Nation in The World”, Indonesia menduduki peringkat

ke-60 dari 61 negara terkait minat membaca. Namun dari segi komponen

infrastruktur, Indonesia menempati peringkat ke-34 (Kompas.com, 29 Agustus

2016). Rendahnya minat baca di Indonesia juga diperkuat oleh temuan dari IEA

(International Association for The Evaluation of Educational Achievement),

Indonesia menduduki peringkat ke 31 dari 32 negara yang berpartisipasti tentang

minat baca (Elley, 1992). Tidak hanya itu, studi yang dilakukan oleh PISA

(Programme For International Student Assesment), menujukkan pada tahun 2009

Indonesia menduduki peringkat ke-57 dari 65 negara peserta

(http://litbang.kemdikbud.go.id/index.php/survei-internasional-pisa, 06 November

2016).

Begitu banyak studi atau penelitian yang menunjukkan minat baca di

Indonesia begitu rendah. Bahkan dari tahun ke tahun tidak ada perubahan yang

signifikan. Tentunya hal tersebut sangat memprihatinkan. Rendahnya minat baca

masyarakat Indonesia disebabkan oleh berbagai hal, tak terkecuali mahalnya

bahan bacaan. Oleh sebab itu keberadaan perpustakaan seharusnya bisa menjadi

solusi, baik perpustakaan umum ataupun perpustakaan sekolah.

Terkait dengan perpustakaan yang seharusnya menjadi jantung sekolah,

fakta di lapangan justru memprihatinkan. Begitu banyak perpustakaan sekolah

yang tidak terkelola dengan baik, entah dari segi buku-buku yang tidak lengkap,

tidak adanya ruang baca yang nyaman, perpustakaan sekolah tidak memiliki

pustakawan/pustakawati tersendiri sehingga peletakan buku pun asal. Bahkan

buku-buku di sekolah, khususnya Sekolah Dasar jarang diperbaharui. Dikutip dari

Kompas, sebagian besar koleksi buku di perpustakaan Sekolah Dasar merupakan

buku-buku lama yang terbit sebelum tahun 2004. Jarang sekali ditemukan buku

cerita, buku tentang teknologi yang mudah dipahami siswa. Terlebih sejak

dijalankannya program BOS dan BOP, sekolah-sekolah tidak lagi memperoleh

sumbangan buku dari pemerintah pusat. Sedangkan dana BOS lebih banyak

dialokasikan untuk pembelian sarana prasarana sekolah, alat bantu kegiatan

belajar mengajar dan lain-lain (dalam Suherman, 2009) .

Keberadaan perpustakaan sekolah yang menyenangkan masih jauh dari

impian, terutama Sekolah Dasar negeri yang hanya mengandalkan dana dari

pemerintah. Berbeda dengan sekolah swasta yang boleh memungut dana dalam

jumlah besar dari wali siswa. Apabila kondisi perpustakaan dan bahan bacaan

yang minim masih saja terpelihara maka menumbuhkan minat baca di sekolah

akan menjadi hal yang sulit dan panjang penyelesaiannya.

Memperbaiki kondisi perpustakaan sekolah yang sudah carut marut dan

menumbuhkan minat baca siswa memang tidak bisa instan. Membeli buku baru

dalam jumlah besar pun tidak bisa seketika. Oleh sebab itu dibutuhkan langkah

signifikan dan konsisten yaitu dengan menyediakan bahan bacaan yang menarik,

di luar buku-buku yang ada di perpustakaan.

PEMBAHASAN DAN SOLUSI

Kualitas sumber daya manusia akan menentukan kemajuan suatu bangsa

Sudah banyak negara seperti Jepang, Korea Selatan, Finlandia yang berhasil

membangun manusia berkarakter melalui budaya literasi. Terwujudnya

masyarakat lliterat sangat menentukan perubahan kesejahteraan masyarakat

suatu bangsa. Oleh sebab itu, Indonesia terus berkomitmen membangun

masyarakat literat, sebagaimana amanat dalam Undang-Undang Sistem

Pendidikan Nasional No. 20 Tahun 2003 Pasal 4 (5) menyebutkan bahwa untuk

mencerdaskan bangsa dilakukan melalui pengembangan budaya baca, tulis, dan

hitung bagi segenap warga masyarakat (UU Sisdiknas No. 20, 2003:4).

Membangun masyarakat yang berbudaya membaca merupakan tanggung jawab

semua pihak.

Budaya tumbuh dari akal pikiran manusia dan menjadi sesuatu yang

mengakar dalam kehidupan manusia. Budaya sendiri tidak bersifat tetap, artinya ia

dapat berubah seiring perubahan peradaban suatu masyarakat. Menurut Jenks

(2013:11), kebudayaan adalah sebuah kategori sosial; kebudayaan dipahami

sebagai seluruh cara hidup yang dimiliki oleh sekelompok masyarakat. Membaca

dapat menjadi budaya masyarakat jika kita menyadari pentingnya membaca.

Budaya membaca lahir dari pola pikir manusia yang kemudian menjadi cara hidup

masyarakat.

Kemampuan membaca begitu penting karena mempengaruhi pola pikir dan

tingkah laku serta sangat berpengaruh terhadap masa depan. Sukirno (2014:4)

menyatakan bahwa jika membaca menjadi mudah dan cepat, kemungkinan besar

siswa akan menyelesaikan tugas mereka. Jika pemahaman mereka meningkat,

mereka mendapat nilai lebih baik dan belajar lebih cepat. Menurut Fransk Smith

(dalam Suparno, 2010:1.7), kualitas pengalaman membaca ini akan sangat

mempengaruhi kesuksesannya dalam menulis. Menurut Kagan (2015)

menyebutkan “the students were less likely to be good comprehenders when they

viewed themselves unsuccessful in writing”. Siswa memiliki kemungkinan kecil

bisa menjadi pemaham yang baik ketika mereka melihat diri mereka sendiri tidak

berhasil dalam menulis. Berdasarkan pendapat para ahli tersebut, kemampuan

membaca sangatlah penting dan harus mendapat perhatian utama sebab

memberikan pengaruh besar terhadap kemampuan berbahasa lainnya dan

bahkan kehidupan sosial.

Perhatian pemerintah terhadap minat baca sebenarnya sudah berjalan

sejak pemerintahan Presiden Soekarno. Namun, barulah pada tahun 2015 lalu

Pemerintah mencanangkan Gerakal Literasi Sekolah (GLS) yang mana sekolah

harus mampu menumbuhkan minat baca siswa sehingga terwujud budaya literasi

di sekolah. Pengertian literasi dalam konteks GLS adalah kemampuan

mengakses, memahami, dan menggunakan sesuatu secara cerdas melalui

berbagai aktivitas, antara lain membaca, melihat, menyimak, menulis, dan/atau

berbicara (Kemendikbud, 2016:2). Definisi yang serupa juga diberikan oleh

National Institute for Literacy, literasi merupakan kemampuan individu membaca,

menulis, berbicara, menghitung dan memecakan masalah pada tingkat keahlian

yang diperlukan dalam pekerjaan, keluarga dan masyarakat

(http://wikipendidikan.blogspot.co.id, 06 November 2016). Berdasarkan pengertian

tersebut dapat disimpulkan bahwa kemampuan literasi tidak hanya sebatas

kemampuan baca-tulis namun lebih kompleks. Kemampuan literasi mencangkup

ranah kontekstual dimana seseorang mampu menggunakan segenap kemampuan

untuk memecahkan masalah dalam hidupnya. Namun, kemampuan dasar untuk

membangun literasi yang harus dimiliki adalah kemampuan membaca. Tingkat

pemahaman membaca yang baik akan mempengaruhi kemampuan menulis,

menyimak, dan berbicara sehingga dapat mempengaruhi pola pikir.

Membangun budaya literasi tidaklah mudah, lingkungan sangat

berpengaruh terhadap perkembangan budaya literasi. Dalam forum tanya jawab

tentang “Perlukah Membaca Nyaring”, Neni mengatakan bahwa kegiatan literasi

seharusnya dimulai di rumah, terutama oleh orang tua (dalam Sukirno, 2013:5).

Keluarga merupakan madrasah pertama dan utama seorang anak, menanamkan

suatu budaya akan lebih mudah jika karakter yang baik sudah terbentuk di dalam

keluarga. Menurut penggagas gerakan “Indonesia Mengajar”, Anies Baswedan

budaya membaca hadir jika ada kebiasaan membaca, kebiasaan itu ada jika ada

rencana membaca secara rutin. Selain itu untuk menjadikan membaca sebagai

budaya memerlukan beberapa tahapan yaitu mengajarkan anak membaca, lalu

membiasakan anak membaca hingga menjadi karakter, setelah itu barulah

menjadi budaya (Kompas.com, 29 Agustus 2016). Membangun budaya membaca

dibutuhkan komitmen, terutama di lingkungan sekolah. Selain sarana dan

prasarana, guru sebagai ujung tombak pendidikan harus kreatif dalam

mewujudkan budaya literasi di sekolah.

Lingkungan sekolah yang mampu melahirkan budaya literasi harus

dibangun, bukan serta merta jadi dan hanya mengandalkan satu orang ataupun

pasrah terhadap keadaan. Kendala utama yang banyak dialami oleh Sekolah

Dasar adalah kondisi perpustakaan yang jauh dari layak sebagai taman baca, tak

hanya masalah buku yang minim juga kurangnya perhatian terhadap keidealan

sebuah perpustakaan. Kebanyakan perputakaan Sekolah Dasar tidak memiliki

pustakawan/pustakawati sendiri sehingga tidak terurus. Namun sebenarnya

masalah perpustakaan minim fasiltas ini bisa diatasi dengan melihat paradigma

lain untuk membangun budaya literasi di Sekolah Dasar.

Hal utama untuk membangun budaya literasi adalah pembiasaan

membaca, dalam hal ini membaca bisa dari berbagai sumber, baik majalah, koran,

media elektronik, internet dan lain-lain. Selama ini banyak sekali koran-koran dan

majalah bekas yang hanya diloakan begitu saja. Padahal koran dan majalah

bekas bisa dimanfaatkan sebagai sumber bacaan anak-anak. Sebagaimana yang

telah dijelaskan di atas, literasi bukan sebatas kemampuan membaca tapi juga

menulis, menyimak dan berbicara. Guna mengotimalkan program budaya literasi

di Sekolah Dasar, selain membaca rutin juga perlu digalakkan “Diary Speech”.

Oleh sebab itu “Komakas” dan “Diary Speech” merupakan dua program

berkesinambungan yang perlu dilakukan untuk membangun budaya literasi di

Sekolah Dasar.

Komakas

“Komakas” merupakan singkatan dari koran dan majalah bekas. Koran dan

majalah bekas di Indonesia seringkali hanya dibuang begitu saja, bahkan koran

bekas lebih banyak dimanfaatkan oleh penjual makanan untuk membungkus

makanan. Majalah pun hanya ditumpuk dan dibeli oleh tukang rongsok atau

diloakan. Padahal, di beberapa negara yang sudah mengakar budaya literasinya

seperti Jepang, koran bekas pun sangat berharga untuk dibaca. Inilah satu hal

kecil yang menjadi perbedaan mencolok masyarakat Indonesia.

Terdapat begitu banyak surat kabar nasional maupun lokal, seharusnya

ketersediaan sumber bacaan bisa dimanfaatkan. Namun konten atau isi surat

kabar harus tetap diawasi dan disortir oleh guru karena lingkup sasaran adalah

siswa Sekolah Dasar. Jangan sampai siswa menemukan bacaan yang belum

layak mereka baca. Media koran bisa dimanfaatkan oleh siswa kelas tinggi. Lain

halnya dengan kelas rendah.

Siswa kelas rendah memiliki kecenderungan kemampuan membaca lebih

rendah dibanding siswa kelas tinggi. Mereka juga lebih menyukai sesuatu yang

bergambar dan berwarna. Oleh sebab itu, guna mengatasi ketersediaan buku

menarik yang terbatas, memanfaatkan majalah bekas adalah cara yang tepat.

Namun majalah yang boleh dibaca hanyalah majalah anak-anak, seperti majalah

Bobo, Junior, Mombi dan lain-lain. Konten majalah anak sudah disesuaikan

dengan kebutuhan dan taraf berpikir siswa Sekolah Dasar. Oleh sebab itu majalah

merupakan media yan tepat, bahkan siswa kelas tinggi pun suka membaca

majalah anak. Jadi majalah bekas bisa digunakan oleh siswa kelas rendah

maupun tinggi.

Dalam hal in siswa diberikan bahan bacaan berupa koran dan majalah

bekas, mereka diberi kebebasan untuk memilih bacaan. Sesuai dengan ketentuan

Gerakan Literasi Sekolah, waktu minimal membaca lima belas menit sebelum

pembelajaran dimulai. Asalkan rutin kegiatan membaca beberapa menit ini dapat

berpengaruh besar terhadap kemampuan membaca. Berdasarkan penelitian

Anderson dkk, membaca bebas dapat meningkatkan kemampuan membaca pada

siswa (dalam Santoso, 2011:2.9).

Kegiatan pembiasaan membaca buku harus ditindak lanjuti dengan

melakukan self control. Self control atau kontrol diri ialah kegiatan mandiri siswa

untuk memastikan bahwa mereka membaca buku setiap hari selama 15 menit

sebelum pembelajaran. Siswa diajarkan untuk mandiri dan jujur dengan mencatat

buku yang sudah mereka baca. Catatan tersebut disebut jurnal baca. Adapun

format jurnal baca bisa mengikuti buku Panduan Gerakan Literasi di Sekolah

Dasar sebagai berikut, ataupun membuat format lain yang serupa.

No. Hari/tanggal Jam Judul Buku/sumber Nama Pengarang Nomor Halaman

*sumber: Panduan Gerakan Literasi di SD halaman 15

Berdasarkan buku Panduan Gerakan Literasi di Sekolah Dasar, pada tahap

pembiasaan sebelum siswa membaca, guru membaca nyaring suatu bacaan yang

menarik. Hal tersebut bertujuan untukmemotivasi siswa membaca, membuat

peserta didik dapat membaca dan gemar membaca, memberikan pengalaman

baca yang menyenangkan, membangun komunikasi antara guru dan peserta

didik, guru/pustakawan/kepala sekolah menjadi teladan membaca (kemendikbud,

2016:10). Tidak hanya siswa yang membuat jurnal baca, guru pun demikian.

Adapaun formatnya bisa mengikuti panduan atau membuat format sendiri yang

serupa.

No Hari/tanggal Judul Buku Nama Pengarang/Ilustrator

*Sumber: Panduan Gerakan Literasi Sekolah di SD halaman 13

Baik siswa maupun guru sama-sama membuat jurnal baca. Hal tersebut

menunjukkan bahwa guru juga agent of literacy (agen literasi) yang bersedia

membaca. Kalau gurunya saja tidak bersedia membaca, bagaimana mungkin guru

bisa meminta siswannya membaca. Siswa Sekolah Dasar adalah peniru yang baik

dan handal, sebaiknya mereka melihat guru sebagai figur yang mampu memberi

tauladan. Jika guru meminta siswa untuk membaca sebelum pembelajaran maka

guru harus memberikan contoh. Apabila masih ada waktu beri kesempatan untuk

berdiskusi tentang buku yang sudah mereka baca.

Diary Speech

Diary Speech berasal dari bahasa Inggris yang berarti buku harian

berbicara. Kemampuan literasi juga berkaitan dengan kemampuan berbahasa

lainnya. Kemampuan menulis sangat ditentukan oleh kemampuan membaca.

Namun jika menulis tidak dibiasakan maka harapan memiliki tulisan yang baik

tidak bisa terwujud. Salah satu pendekatan dalam pembelajaran menulis adalah

pendekatan frekuensi, yakni banyaknya latihan mengarang, sekalipun tidak

dikoreksi (seperti buku harian atau surat), akan membantu meningkatkan

kerampilan menulis seseorang (Suparno, 2010: 1.14). Oleh sebab itu melatih

siswa menulis buku harian secara rutin sangatlah penting dan mampu

meningkatkan kemampuan menulis mereka secara perlahan.

Setelah mereka belajar menulis buku harian secara rutin, untuk

mengembangkan kemampuan menyimak dan bebicara siswa, saatnya “Diary

Speech” atau buku harian berbicara. Setelah siswa menulis buku harian selama

satu minggu, ada satu hari dimana mereka diberikan kesempatan untuk

menceritakan satu hari atau satu cerita paling berkesan dalam satu minggu yang

telah mereka tulis, entah itu cerita menyenangkan ataupun kesedihan. Kegiatan

bercerita tentang apa yang mereka alami sendiri lebih mudah dan dapat melatih

keterampilan berbicara. Selain itu mereka juga berlajar mendengarkan orang lain

berbicara, kemampuan menyimak pun terasah. Kegiatan tersebut juga melatih

siswa untuk menghargai orang lain yang sedang berbicara sehingga rasa empati

di dalam diri tumbuh.

Kegiatan “Diary Speech” bisa dilakukan dimana saja, misal di halaman

sekolah, tidak harus di dalam kelas karena ruang belajar tak terbatas pada

ruangan yang tersekat. Belajar di luar kelas jauh lebih menyenangkan karena lebih

leluasa berekspresi. Siswa dan guru bisa duduk membentuk lingkaran. Sebelum

siswa bercerita sebaiknya guru bercerita terlebih dahulu untuk membangkitkan

minat bercerita mereka, karena guru adalah contoh (teacher as model). Dalam

penunjukkan siswa yang bercerita bisa menggunakan permainan sehingga

terkesan tidak monoton dan menyenangkan, lebih santai sehingga siswa tidak ada

beban. Misalnya, guru bisa menggunakan permainan “do mi ka do”, tebak kata

dengan ketentuan alfabet tertentu ataupun permainan lainnya. Setelah beberapa

anak bercerita, guru mengajak diskusi tentang apa yang sudah siswa ceritakan,

misal hikmah dari peristiwa yang sudah ia alami. Hal tersebut berguna untuk

membangun daya berpikir kritis dan memahami manfaat menulis dan bercerita.

Penulis biasanya menggunakan permainan “Heaven-Hell” atau “Surga-

Neraka”. Siswa duduk melingkar kemudian mereka diurutkan sesuai dengan

alfabet. Siswa pertama mengucapkan “surga” (tangan kanan dibunyikan)

kemudian “neraka” (tangan kiri dibunyikan). Selanjutnya ia menyebutkan satu

huruf (misal B) berarti siswa yang berhuruf B harus menyebutkan kata berawalan

huruf B dengan tema tertentu (misal profesi). Permainan dilanjutkan dengan si B

melakukan gerakan “surga-neraka” lagi dan menyebutkan satu huruf lain,

kemudian kegiatan pun berlangsung sama. Siswa yang tidak dapat menebak kata

harus maju ke depan untuk bercerita. Kelebihan permainan ini selain

menyenangkan juga melatih konsentrasi dan kreatifitas siswa serta melatih

mereka berpikir kritis.

Program “Komakas” dan “Diary Speech” merupakan program

berkesinambungan, dimana keduanya harus berjalan beriringan. Keberhasilan

program tersebut sangat bergantung pada guru sebagai fasilitator sebab

kelengkapan dan kemenarikan bahan bacaan sangat tergantung pada kepedulian

guru. Guru sebaiknya mengganti atau menambah bahan bacaan minimal dua

minggu sekali supaya siswa tidak jenuh. Selain itu dalam kegiatan diary speech

guru harus mampu bercerita dengan menarik sehingga tumbuh keinginan siswa

untuk bercerita secara begantian. Tentunya komitmen guru begitu dibutuhkan.

Besarnya komitmen guru untuk membangun budaya literasi sangat menentukan

keberhasilan budaya literasi di Sekolah Dasar.

KESIMPULAN DAN HARAPAN

Berdasarkan uraian artikel di atas, untuk mengoptimalkan budaya literasi di

Sekolah Dasar dengan Perpustakaan minim fasilitas, penulis menyimpulkan

beberapa hal sebagai berikut.

1. Guru harus bisa berpikir out of the box untuk mengatasi masalah minimnya

buku-buku di perpustakaan sekolah.

2. Memanfaatkan koran bekas dan majalah bekas adalah hal yang sangat

berguna untuk menambah referensi bacaan siswa.

3. Konten atau isi koran bekas dan majalah anak bekas harus tetap diawasi,

harus sesuai dengan kebutuhan dan mampu meningkatkan kemampuan

berpikir kritis.

4. Budaya literasi bisa hadir apabila ada pembiasaan.

5. Menulis buku harian secara rutin dapat melatih kemampuan menulis siswa.

6. Berlatih bercerita pengalaman yang mereka alami sangat memudahkan

pengembangan kemamuan berbicara siswa.

7. Komitmen guru sangat berperan besar dalam membangun budaya literasi di

sekolah Dasar.

8. Dibutuhkan peran serta aktif semua stakeholder sekolah dan masyarakat.

Adapun harapan penulis sebagai berikut.

1. Penulis berharap semua stakeholder sekolah memiliki komitmen yang kuat

untuk membangun budaya literasi di Sekolah Dasar sebab sebaik apapun

suatu program, tanpa adanya komitmen dari pihak yang bertanggungjawab

maka segalanya tidak akan berjalan baik.

2. Budaya literasi lebih optimal jika Tri Pusat Pendidikan yang meliputi keluarga,

lingkungan dan sekolah bisa bekerjasama untuk membangun budaya literasi.

Oleh karena itu penulis berharap, semua pihak memiliki kesadaran untuk

bertanggungjawab terwujudnya budaya literasi.

3. Penulis berharap sekolah lebih memperhatikan ketersediaan buku-buku yang

menarik dan menyediakan perpstakaan sebagai taman baca yang

menyenangkan.

4. Semoga tulisan ini bisa menjadi referensi bagi banyak pihak, entah golongan

akademisi, tenaga pendidik ataupun masyarakat luas.

DAFTAR PUSTAKA

Elley, Warwick B. 1992. How in The World Do Student Read? IEA Study of

Reading Literacy. United State: US Departmet of Education.

Jenks, Chris. 2013. Culture Study Kebudayaan. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Kagan, Hasan Keskin. 2015. The Relationship Between Dimentions of Writing

Motivation and Reading Comprehension. Turkey: Duzce University.

Retrieved from http://www.academicjournals.org/journal/ERR/article-full-

text-pdf/937DEDC51916.

Lowenberg, Peter. 2000. Writing and Literacy in Indonesia. San Jose University:

Studie in Linguistic Science Vo. 30 Number 1. Retrieved from

http://citeseerx.ist.psu.edu/viewdoc/download?doi=10.1.1.178.8175&rep=r

ep1&type=pdf.

Santoso, Puji dkk. 2011. Materi dan Pembelajaran Bahasa Indonesia SD. Jakarta:

Universitas Terbuka Press.

Sukirno. 2014. Terampil Membaca Nyaring. Yogyakarta: Pustaka Pelajar

Suherman. 2009. Perpustakaan sebagai Jantung Sekolah. Bandung: MQS

Publisher.

Suparno, Mohamad Yunus. 2010. Keterampilan Dasar Menulis. Jakarta:

Universitas Terbuka Press.

Staidi, Hari, Mahdiansyah, Mamam Suryaman, Erika Afiani, Rahmawati. 2012.

Analisis Hasil Belajar Peserta Didik dalam Literasi Membaca melalui Studi

Internasional PIRLS 2011. Jakarta: Pusat Penelitian Pendidikan Badan

Penelitian dan Pengembangan Kementerian Pendidikan dan

Kebudayaan.

Undang-Undang Republik Indonesia. 2003. UU Sistem Pendidikan Nasional No 20

tahun 2003. Diambil dari http://sindikker.dikti.go.id/dok/UU/UU20-2003-

Sisdiknas.pdf.

Utama, Dewi Faizah dkk. 2016. Panduan Gerakan Literasi Sekolah di Sekolah

Dasar. Jakarta: Dikdasmen Kementerian Pendidikan dan kebudayaan.

http://edukasi.kompas.com/read/2016/08/29/07175131/minat.baca.indonesia.ada.

di.urutan.ke-60.dunia (diunduh pada 6 November 2016 pukup 20.00).

http://litbang.kemdikbud.go.id/index.php/survei-internasional-pisa (diunduh pada 6

November 2016).

http://wikipendidikan.blogspot.co.id/2016/03/pengertian-definisi-makna-literasi.html

(diunduh pada 6 November 2016 pukul 20.25).