pemahaman istri pelaku gugat cerai terhadap …e-repository.perpus.iainsalatiga.ac.id/5003/1/bab i,...
TRANSCRIPT
i
PEMAHAMAN ISTRI PELAKU GUGAT CERAI TERHADAPAKIBAT HUKUMNYA
(Studi Kasus di Kecamatan Susukan Kabupaten Semarang)
SKRIPSI
Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syaratguna Memperoleh Gelar Sarjana dalam Hukum Islam
Oleh:Muhammad Nur Kholis
NIM : 21113003
JURUSAN HUKUM KELUARGA ISLAMFAKULTAS SYARI’AH
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN)SALATIGA
2018
ii
iii
KEMENTERIAN AGAMA INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN) SALATIGA
FAKULTAS SYARI’AHJl. Nakula Sadewa V No.9 Telp.(0298) 3419400 Fax 323433 Salatiga 50722
Website : http://syariah.iainsalatiga.ac.id/ E-mail : [email protected]
iv
v
MOTTO
إذا رأیت الرجل ینافسك في الدنیا فنافسھ في اآلخرة
Bila engkau melihat seseorang mengunggulimudalam masalah dunia, maka unggulilah dia
dalam masalah akhirat.
”Hidup Sederhana Itu Pilihan
Sederhana Itu Bentuk Syukur”
vi
PERSEMBAHAN
Skripsi ini penulis persembahkan kepada:
Orang tuaku tercinta, Bapak Royani dan Ibu Sunarsih yang selalumemanjatkan doa-doa terbaiknya untuk keberhasilan anak-anaknya,yang selalu memberikan kasih sayang yang tulus, yang tak henti-hentinya memberikan perhatian dan selalu mengajarkan artikehidupan kepada anak-anaknya.
Kakak-kakakku, Mas Zaenal, Mbak Dayah, Mas Fatkur yang selalumenjadi kakak-kakak terbaikku, serta adikku Suci yang selalumemberikan candatawa yang terkadang juga bikin gemes, semogaselalu menjadi adik kebanggaan.
Nenekku, Mbah Kuroh yang selalu memberikan wejangan-wejangannya, yang selalu memberikan dan mengajarkan artikesederhanaan hidup.
Budheku, Budhe Muti yang sering menanyakan bagaimanaperkuliahku, yang selalu mendoakan aku agar menjadi orang yangsukses, yang selalu menasehatiku.
Dosen-dosen dan seluruh tenaga pengajar fakultas syariah khususnyaJurusan Hukum Keluarga Islam.
Rekan-rekan, sahabat-sahabatku Jurusan Hukum Keluarga Islamtahun 2013 yang telah bersama-sama berjuang menuntut ilmu, yangselalu memberikan kenangan indah nan manis dalam setiapkebersamaan.
Orang-orang yang telah memberikan perhatian dan dorongansemangat kepadaku, yang tak bisa aku sebutkan satu persatu. Sukronkatsir.....
vii
ABSTRAK
Kholis, Muhammad Nur. 2018. Pemahaman Istri Pelaku Gugat Cerai TerhadapAkibat Hukumnya (Studi Kasus di Kecamatan Susukan KabupatenSemarang). Skripsi. Fakultas Syariah. Jurusan Hukum KeluargaIslam. Institut Agama Islam Negeri. Pembimbing Dra. SitiMuhtamiroh, M.SI.
Kata Kunci: Pemahaman, Gugat Cerai, Akibat Hukum
Penelitian ini dilatarbelakangi adanya tingkat perceraian yang tinggi diKecamatan Susukan Kabupaten Semarang khususnya perceraian yang diajukanoleh istri terhadap suaminya (gugat cerai). Suatu perceraian memiliki akibathukum bagi kedua belah pihak antara suami dan istri berupa hak dan kewajiban.Dalam KHI secara jelas menyebutkan akibat hukum perceraian karena cerai talakyaitu berkaitan dengan pemberian nafkah iddah, mut’ah, nafkah anak, hak asuhanak yang menjadi kewajiban suami dan menjadi hak istri, sedangkan akibathukum gugat cerai tidak disebutkan secara jelas baik dalam Undang-UndangPerkawinan maupun Kompilasi Hukum Islam. Tujuan penelitian ini adalah untukmengetahui faktor-faktor gugatan perceraian, pemahaman istri pelaku gugat ceraiterhadap akibat hukumnya dan bagaimana upaya yang dilakukan istri terhadapakibat hukum perceraian.
Dalam melakukan penelitian, penulis secara langsung terjun ke lapanganuntuk mengetahui pemahaman istri pelaku gugat cerai terhadap akibat hukumperceraian. Jenis penelitian ini adalah penelitian kualitatif untuk mengungkapgejala secara menyeluruh melalui pengumpulan data, penulis menggunakanpendekatan sosiologis dan normarif. Pendekatan sosiologis digunakan untukmengetahui seberapa besar pemahaman istri pelaku gugat cerai terhadap akibathukum perceraian dan pendekatan normatif digunakan untuk mengetahuiketentuan-ketentuan akibat hukum perceraian.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa faktor gugatan perceraiandisebabkan karena faktor ekonomi, faktor suami yang meninggalkan istri dantidak diketahui keberadaanya, faktor perselingkuhan, faktor kekerasan dalamrumah tangga, faktor adanya tindak pidana yang dilakukan oleh suami, faktorkesalahpahaman serta kurangnya perhatian dan kasih sayang. Selain itu, istripelaku gugat cerai di Kecamatan Susukan tidak memahami betul akibat hukumperceraian. Di sisi lain, terdapat informan yang memahami adanya prosedur upayahukum untuk memperoleh kembali haknya, namun keseluruhan informan tidak
viii
menggunakan upaya hukum tersebut untuk menuntut haknya kepada mantansuaminya.
KATA PENGANTAR
Rasa puji syukur yang dalam penulis haturkan kehadirat Allah SWT, yang
telah memberikan rahmat, ridho dan karunia-Nya, sehingga penulis dapat
menyelesaikan penulisan skripsi ini sesuai dengan yang diharapkan. Rasa syukur
kehadirat Allah atas segara nikmat selama proses penulisan skripsi tak lupa
penulis shaturkan kepada-Nya.
Sholawat dan salam Allah semoga tetap tercurahkan kepada nabi
akhiruzzaman, Nabi Muhammad SAW yang senantiasa menjadi suri tauladan bagi
penulis dan syafaatnya yang diharapkan penulis di akhirat nanti.
Penulisan skripsi ini disusun untuk diajukan sebagai salah satu persyaratan guna
memperoleh gelar Sarjana Hukum (SH), Fakultas Syariah, Jurusan Hukum
Keluarga Islam, Institut Agama Islam Negeri Salatiga yang berjudul:
“Pemahaman Istri Pelaku Gugat Cerai terhadap Akibat Hukumnya (Studi Kasus di
Kecamatan Susukan Kabupaten Semarang)”. Dalam menyusun penulisan skripsi
ini, penulis mengakui bahwa penulisan skripsi tidak dapat diselesaikan tanpa
adanya bantuan dan arahan dari berbagi pihak. Oleh karena itu penulis terima
kasih yang sebanyak-banyaknya, ungkapan terima kasih terkadang tak bisa
mewakili kata-kata, namun perlu kiranya penulis mengucapkan terima kasih
kepada:
1. Bapak Dr. Rahmat Hariyadi, M.Pd., selaku rektor
IAIN Salatiga.
2. Ibu Dr. Siti Zumrotun, M.Ag., selaku Dekan
Fakultas Syariah IAIN Salatiga.
3. Bapak Sukron Ma’mun, S.HI., M.Si., selaku
Ketua Jurusan Hukum Keluarga Islam di IAIN Salatiga.
ix
4. Ibu Dra. Siti Muhtamiroh, M.SI., selaku Doden
Pembimbing yang telah memberikan pemahaman, saran, arahan dan
bimbingannya dengan kesabarannya demi terselesainya skripsi penulis yang
sesuai dengan apa yang diharapkan.
5. Bapak dan Ibu Dosen selaku staf pengajar dan
seluruh Pegawai Fakultas Syari’ah yang tak bisa penulis sebut satu persatu
yang selalu memberikan ilmunya sehingga penulis dapat menyelesaikan
skripsi ini dengan lancar.
6. Ayah dan Ibu selaku orang tua yang sangat
penulis cintai, yang telah memberikan doa, ridho dan restunya dalam setiap
langkah penulis menuntut ilmu sampai tahap menyelesaikan tugas skripsi ini.
7. Rekan-rekan Jurusan Hukum Keluarga Islam
angkatan 2013 yang telah mengukir kebesamaan dalam menuntut ilmu,
memberikan warna dan cerita selama menempuh pendidikan di Fakultas
Syari’ah IAIN Salatiga.
Semoga Allah SWT membalas atas semua amal kebaikan mereka
dengan balasan yang sepantasnya dan lebih dari apa yang telah mereka berikan
kepada penulis, dengan untaian doa Jazakumullahu Khoiran Jaza, Jaza
Kumullahu Khairan Katsiran, dan senantiasa mendapatkan maghfiroh dan
rahmat-Nya. Amin.
Penulis menyadari sepenuhnya bahwa penulisan ini masih jauh dari
sempurna, baik dari segi metodologi, penggunaan bahasa, isi, maupun analisanya,
sehingga kritik dan saran yang konstruktif sangat penulis harapkan untuk
kebaikan kedepannya.
Akhirnya, penulis berharap semoga skripsi ini dapat memberikan
manfaat khususnya bagi penulis sendiri dan umumnya bagi pembaca.
x
Salatiga, 23 Maret 2018
Penulis
DATAR ISI
COVER ................................................................................................................ i
NOTA PEMBIMBING ...................................................................................... ii
PENGESAHAN .................................................................................................. iii
PERNYATAAN KEASLIAN ........................................................................... iv
MOTTO ............................................................................................................... v
PERSEMBAHAN .............................................................................................. vi
ABSTRAK .......................................................................................................... vii
KATA PENGANTAR ........................................................................................viii
DAFTAR ISI ....................................................................................................... x
DAFTAR LAMPIRAN ..................................................................................... xiii
DAFTAR TABEL ............................................................................................. xiv
BAB I PENAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah ........................................................................... 1
B. Fokus Penelitian ........................................................................................
7
C. Tujuan Penelitian ......................................................................................
8
xi
D. Kegunaan Penelitian ................................................................................ .
8
E. Telaah Pustaka ..........................................................................................
9
F. Penegasan Istilah .....................................................................................
13
G. Metode Penelitian ....................................................................................
14
H. Sistematika Penulisan ..............................................................................
20
BAB II TINJAUAN UMUM PERNIKAHAN DAN GUGATAN
PERCERAIAN
A. Definisi Pernikahan .................................................................................
22
B. Anjuran Nikah .........................................................................................
24
C. Rukun dan Syarat Nikah ..........................................................................
26
D. Konsep Perkawinan dalam Undang-Undang Perkawinan .......................
30
xii
E. Konsep Perkawinan dalam Kompilasi Hukum Islam ..............................
34
F. Gugatan Perceraian dan Akibat Hukumnya .............................................
41
1. Gugatan Perceraian
............................................................................ 41
2. Akibat Hukum terhadap Gugatan Perceraian
.................................... 44
BAB III DATA HASIL PENELITIAN
A. Gambaran Umum Kecamatan Susukan ...................................................
48
1. Kondisi dan Potensi Geografis
.......................................................... 48
2. Kondisi Demografis Kecamatan Susukan
......................................... 49
3. Kondisi Transportasi, Pendidikan, Kesehatan,
Keagamaan, dan Ekonomi Masyarakat Kecamatan Susukan
....................................... 51
4. Visi Misi dan Struktur Organisasi Kecamatan
Susukan ................... 56
xiii
B. Profil Keluarga Pelaku Gugat Cerai ........................................................
60
C. Faktor-Faktor Perceraian .........................................................................
64
D. Pemahamn Istri Pelaku Gugat Cerai terhadap Akibat Hukumnya ..........
66
E. Upaya Hukum yang Dilakukan Istri untuk Mendapatkan Hak-Hak Istri
Kembali ................................................................................................... 69
F. Latar Belakang dan Duduk Perkara Gugatan Perceraian ........................
70
BAB IV ANALISIS PEMAHAMAN ISTRI PELAKU GUGAT CERAI
TERHADAP AKIBAT HUKUMNYA
A. Faktor-Faktor Gugatan Perceraian Istri terhadap Suami .........................
78
B. Pemahaman Istri Pelaku Gugat Cerai terhadap Akibat Hukumnya .........
82
C. Upaya Hukum Istri untuk Memperoleh Haknya Kembali .......................
88
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan ..............................................................................................
90
xiv
B. Saran ........................................................................................................
92
C. Penutup ....................................................................................................
93
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN-LAMPIRAN
DAFTAR RIWAYAT HIDUP
xv
DAFTAR LAMPIRAN
1. Surat Penunjukan Pembimbing skripsi
2. Surat Ijin Penelitian
3. Daftar Nilai SKK
4. Lembar Konsultasi Skripsi
5. Daftar Riwayat Hidup
6. Daftar Pertanyaan Responden
7. Surat Putusan Gugatan Perceraian
xvi
DAFTAR BAGAN DAN TABEL
1. Tabel 1
2. Bagan 1
3. Tabel 2
4. Tabel 3
5. Tabel 4
6. Tabel 5
7. Tabel 6
8. Tabel7
9. Tabel 8
10. Tabel 9
11. Tabel 10
12. Tabel 11
13. Tabel 12
14. Tabel 13
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Manusia merupakan makhluk ciptaan Allah yang paling sempurna
dibandingkan dengan ciptaan Allah lainnya, manusia dianugerahi akal
untuk berpikir dan hawa nafsu. Sebagai makhluk sosial manusia
diciptakan di muka bumi ini berpasang-pasang, sebagaimna firman Allah
dalam QS. An-Nahl (16): 72 :
ورزقكم جكم بنین وحفدةا وجعل لكم من أزوجأزوللھ جعل لكم من أنفسكمٱو
للھ ھم یكفرونٱطل یؤمنون وبنعمت البٱأفبت لطیبٱمن
‘’Bagi kalian Allah menciptakan pasangan-pasangan (istri-istri) dari jeniskalian sendiri, kemudian dari istri-istri kalian itu Dia ciptakan bagi kaliananak cucu keturunan, dan kepada kalian Dia berikan rezeki yang baik-baik.” (QS. An-Nahl (16): 72).
Selain ayat di atas, masih banyak ayat-ayat Al-Quran yang
menunjukkan bahwa manusia diciptakan berpasang-pasang di antaranya :
QS. At-Taubah (9): 71, QS. Ar-Rum (30): 21, QS. Adz-Dzariyat (51): 49,
QS. Yaa Sin (36): 36. Hal tersebut menunjukkan bahwa antara laki-laki
dan perempuan telah mempunyai pasangannya masing-masing. Di dalam
menemukan pasangannya tersebut, baik laki-laki maupun perempuan
dituntut untuk selalu berikhtiar, berusaha dan berdoa, tidak hanya
menunggu pasangan tersebut datang dengan sendirinya. Pasangan-
pasangan tersebut antara laki-laki dan perempuan tentunya harus terikat
2
dalam sebuah ikatan yang dapat menghalalkan hubungan di antara
keduanya yaitu dalam sebuah ikatan perkawinan yang sah.
Di dalam Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan
(UUP) dalam pasal 1 disebutkan bahwa perkawinan merupakan ikatan
lahir batin antara seorang pria dan seorang wanita sebagai suami istri
dengan tujuan membentuk keluarga atau rumah tangga yang bahagia dan
kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Pengertian tersebut lebih
menitikberatkan pada tujuan perkawinan yang didasarkan kepada
Ketuhanan Yang Maha Esa, sedangkan dalam Kompilasi Hukum Islam
(KHI) pasal 2 menyebutkan pernikahan adalah akad yang sangat kuat atau
miitsaqaan gholiidhon untuk mentaati perintah Allah dan
melaksanakannya merupakan ibadah. Berbeda dengan Undang-Undang
Perkawinan, pengertian perkawinan dalam Kompilasi Hukum Islam ini
menitikberatkan bahwa akad perkawinan adalah akad atau perjanjian yang
sangat kuat yang mengikat antara seorang laki-laki dan seorang
perempuan, sebagai perwujudan ibadah kepada Allah SWT. Firman Allah
dalam QS. Ar Rum: 21:
إلیھا وجعل بینكم مودةاا لتسكنوجأن خلق لكم من أنفسكم أزوۦتھومن ءای
رونیتفكلقومتلك الیإن فى ذورحمة
“Dan di antara tanda-tanda kekuasaanNya ialah Dia menciptakanuntukmu istri-istri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung danmerasa tenteram kepadanya, dan dijadikanNya diantaramu rasa kasih dansayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapattanda-tanda bagi kaum yang berpikir.” (QS. Ar-Rum (30): 21).
3
Dalam ayat tersebut sangat jelas bahwa dengan adanya suatu
perkawinan yang merupakan penyatuan dua insan dalam sebuah
kehidupan rumah tangga dimaksudkan agar keduanya merasa tentram dan
saling mengasihi, ayat tersebut selaras dengan tujuan sebuah perkawinan
dalam Undang-Undang Perkawinan pasal 1 yaitu mewujudkan keluarga
yang bahagia dan kekal serta Kompilasi Hukum Islam pasal 3 yaitu untuk
mewujudkan rumah tangga yang sakinah, mawaddah, warahmah. Sebuah
perkawinan tidak hanya menjadi ladang berkasih sayang atau saling
bersandar di antara keduanya, melainkan banyak tujuan mulia dibalik
sebuah perkawinan, di antaranya:
1. Menjaga keturunan
2. Menjaga kehormatan
3. Menjaga pergaulan
4. Menjaga pandangan dan masih banyak tujuan lain.
Tujuan mulia di dalam perkawinan tersebut menjadikan semakin sempurna
syari’at Islam dengan adanya anjuran perkawinan.
Perkawinan merupakan sebuah akad yang pada hakikatnya tidak
terdapat batasan terhadap akad tersebut, akad perkawinan adalah
perjanjian yang bersifat abadi, namun di dalam menjalani sebuah rumah
tangga tentunya banyak hal yang perlu diperhatikan untuk menjaga
keutuhan dan keharmonisan rumah tangga tersebut, tidak sedikit sebuah
perkawinan yang berakhir dengan perceraian. Berdasarkan data yang
dikeluarkan oleh Kementrian Agama pada tanggal 20 Januari 2015, angka
4
perceraian dalam kurun lima tahun terakhir terus mengalami peningkatan.
Jumlah kasus perceraian yang diputus Pengadilan Tinggi Agama seluruh
Indonesia pada 2014 mencapai 382.231, naik sekitar 131.023 kasus
dibanding tahun 2010 sebanyak 251.208 kasus. Sementara itu berdasarkan
data yang telah dikeluarkan oleh Direktori Putusan Mahkamah Agung
tertanggal 28 Desember 2017 dalam kasus perdata agama terdapat jumlah
putusan sebanyak 3.364 putusan, dimana kasus perceraian menempati
urutan pertama dengan jumlah putusan sebanyak 919, kemudian waris
Islam sebanyak 636 putusan, harta bersama 101 putusan, hibah 17
putusan, ekonomi syari’ah 13 putusan, sengketa perkawinan 11 putusan
dan wasiat 5 putusan. Hal tersebut memberikan gambaran bahwa
perceraian di Indonesia dalam perdata agama memiliki angka tertinggi
dibandingkan dengan kasus-kasus perdata agama lainnya.
Syari’at Islam secara jelas menerangkan bahwa talak adalah hak
mutlak suami. Suami berhak menjatuhkan talak kapan dan di mana saja
yang dia kehendaki kecuali dalam keadaan tertentu yang dilarang oleh
syara’ seperti dalam keadaan ihram atau sholat, baik dengan saksi ataupun
tanpa saksi, baik dengan sindiran ataupun secara terang-terangan, semua
itu dapat menyebabkan jatuhnya talak kepada istri (Saifullah, 2015: 34).
Penjatuhan talak suami kepada istri juga harus melihat kondisi dan
keadaan istri, dalam keadaan tertentu seperti ihram dan shalat suami
dilarang untuk menjatuhkan talak kepada istri. Berbeda dengan hukum
Islam , hukum yang berlaku di Indonesia kedudukan suami dan istri dalam
5
rumah tangga dan dalam pergaulan di masyarakat adalah seimbang (pasal
31 (1) UUP), sebagaimana pula pasal 79 (3) KHI bahwa baik suami dan
istri berhak melakukan perbuatan hukum, termasuk mengajukan gugatan
perceraian kepada suami.
Penjatuhan talak suami kepada seorang istri yang mengakibatkan
perceraian tidak akan mengurangi hak-hak yang harus diperoleh istri
ketika bercerai, sebagaimana pasal 149 KHI bahwa bilamana perkawinan
putus karena talak, maka suami wajib :
1. Memberikan mut’ah yang layak kepada bekas istrinya
2. Memberi nafkah, maskah dan kiswah selama masa iddah
3. Melunasi mahar yang masih terhutang seluruhnya dan separoh apabila
qobla al dukhul
4. Memberi biaya hadhanah untuk anak-anak yang belum mencapai
umur 21 tahun.
Berbanding terbalik dengan hal tersebut, ketika seorang istri yang
mengajuakan gugatan perceraian kepada suami, maka hak-hak yang harus
diterima oleh istri menjadi berkurang, dalam pasal 158 KHI disebutkan
bahwa nafkah mut’ah diberikan oleh bekas suami dengan syarat:
a) belum ditetapkan mahar bagi istri ba’da al dukhul.
b) perceraian itu atas kehendak suami.
Berdasarkan pasal tersebut maka seorang istri yang mengajukan gugatan
perceraian kepada seorang suami tentunya tidak mendapatkan haknya
tersebut. Di dalam peraturan yang menjadi pedoman hakim di Pengadilan
6
Agama yaitu Kompilasi Hukum Islam dalam pasal 158 dengan jelas
menerangkan bahwa adanya pengurangan hak yang semestinya harus
diterima oleh seorang istri.
Dalam hal ini penulis mencoba melakukan penelitian di Kecamatan
Susukan yang mana masih banyak perceraian yang terjadi antara suami
dan istri. Hal tersebut dapat dilihat dari data yang telah dikeluarkan oleh
Kantor Urusan Agama Kecamatan Susukan tahun 2016-2017 sebagai
berikut :
Tabel 1
Tabel Nikah Rujuk Cerai Kecamatan Susukan
NO BULAN NIKAHCERAITALAK
GUGAT CERAI
1 Januari 50 1 4
2 Februari 10 5 17
3 Maret 31 3 5
4 April 34 0 0
5 Mei 33 5 5
6 Juni 12 4 6
7 Juli 62 0 0
8 Agustus 28 8 13
9 September 66 0 0
10 Oktober 9 8 10
11 November 23 0 0
7
12 Desember 49 5 13
JUMLAH 407 39 73
Sumber: Data Nikah Rujuk Kecamatan Susukan
Kecamatan Susukan merupakan kecamatan yang banyak berdiri
pondok pesantren yang mensyiarkan syari’at-syari’at Islam sebagai bentuk
dakwah Islam kepada masyarakat, yang membuat kehidupan masyarakat
yang lebih lebih agamis, namun di sisi lain masih banyak ditemui
perceraian yang dilakukan oleh istri kepada suami, apakah istri memahami
akibat hukum dari gugat cerai dan dengan judul " PEMAHAMAN ISTRI
PELAKU GUGAT CERAI TERHADAP AKIBAT HUKUMNYA” (Studi
Kasus di Kecamatan Susukan Kabupaten Semarang) untuk dijadikan
skripsi.
B. Fokus Penelitian
Sebagai pokok permasalahan (basic question) yang berangkat dari
latar belakang masalah, maka penulis mengambil beberapa hal yang akan
dijadikan sebagai fokus penelitian sebagai berikut:
1. Apakah faktor-faktor penyebab gugatan perceraian istri kepada suami
di Kecamatan Susukan?
2. Bagaimanakah pemahaman istri pelaku gugat cerai terhadap akibat
hukumnya?
3. Bagaimana upaya yang dilakukan istri terhadap akibat hukum tersebut?
8
C. Tujuan Penelitian
Berdasarkan fokus penelitian di atas, maka tujuan penelitian ini
adalah sebagai berikut:
1. Mengetahui faktor-faktor penyebab perceraian yang diajukan oleh istri
(gugat cerai).
2. Mengetahui tingkat pemahaman istri terhadap perceraian dan akibat
hukumnya.
3. Mengetahui langkah-langkah hukum yang diupayakan oleh seorang
istri untuk mendapatkan hak-haknya kembali terhadap akibat hukum
gugat cerai.
D. Kegunaan Penelitian
Kegunaan penelitian ini adalah:
1. Secara Teoritis
Hasil penelitian ini diharapkan mampu memberikan ide dan
sumbangsih pemikiran pengetahuan hukum tentang dampak sebuah
gugatan perceraian istri terhadap suaminya bagi pengembangan
khasanah dan ilmu pengetahuan.
2. Secara Praktis
a. Bagi Peneliti
Menambah ilmu pengetahuan dan wawasan serta
pembentukan pola berpikir dalam menganalisa bagaimana
pengetahuan seorang istri terhadap akibat hukum dari sebuah
gugatan perceraian yang dilakukannya.
9
b. Bagi Mahasiswa
Memberikan wawasan dan pemahaman hukum kepada
mahasiswa sebagai bahan informasi untuk penelitian lebih lanjut.
c. Bagi Masyarakat
1. Memberikan pemahaman kepada masyarakat khususnya
kepada seorang istri akan pentingnya menjaga perkawinan
demi terwujudnya keluarga yang sakinah, mawaddah,
warahmah.
2. Memberikan informasi mengenai akibat hukum yang timbul
dari sebuah gugatan perceraian yang dilakukan istri terhadap
suaminya.
3. Mampu memberikan dampak yang positif dan mengurangi
tingkat perceraian perkawinan khususnya di Kecamatan
Susukan.
E. Telaah Pustaka
Berdasarkan berbagai sumber yang telah penulis telusuri, tidak
terdapat skripsi yang secara spesifik membahas tingkat pemahaman istri
pelaku gugat cerai terhadap akibat hukumnya. Berdasarkan penelusuran
yang dilakukan oleh penulis telah ditemukan beberapa jurnal dan
penelitian yang membahas gugat cerai, di antaranya:
Jurnal Puslitbang Kehidupan Keagamaan yang ditulis oleh Kustini
dan Nur Rofiah dengan judul “Gugatan Perempuan atas Makna
Perkawinan”. Bagi masyarakat Indonesia, perkawinan tidak hanya
10
mengandung komitmen antara suami dengan istri tetapi juga komitmen
antara suami istri dengan Tuhan Yang Maha Esa. Dengan demikian,
perkawinan tidak hanya dipandang sebagai perjanjian sosial yang
mengandung tanggung jawab kepada masyarakat dan negara, melainkan
juga perjanjian spiritual yang mengandung nilai-nilai agama atau
ketuhanan. Meskipun berbeda dengan definisi perkawinan Fiqh klasik
yang menitikberatkan definisi nikah pada relasi fisik khususnya relasi
seksual suami istri, namun cara pandang atas perkawinan yang mengaitkan
dengan nilai-nilai ritual dan sakral agama sebagaimana ada dalam Undang-
Undang Perkawinan justru sejalan dengan istilah al-Quran yang menyebut
perkawinan sebagai Mitsaqan Ghalizhan (perjanjian kokoh) sejalan
dengan konsep sakinah, mawadda, warahmah dalam al-Qur’an (keluarga
harmonis) yaitu sebuah keluarga yang seluruh anggota keluarga merasa
tenang dan tentram, tidak ada kekerasan, hak dan kewajiban seluruh
anggota keluarga terpenuhi dengan baik, dan juga sejalan dengan hadist
yang mengaitkan relasi suami-istri dengan konsep ketaqwaan pada Tuhan
Yang Maha Esa. Di masyarakat beragama seperti Indonesia, norma agama
sejatinya selalu mewarnai kehidupan perkawinan, dan selalu ada hubungan
antara sistem keagamaan dengan sistem keluarga, sehingga apapun yang
terjadi dalam kehidupan perkawinan merupakan implementasi atas
pemahaman keagamaan terkait perkawinan.
Selanjutnya Nurhasanah dan Rozalinda (Kafa’ah: Jurnal Ilmiah
Kajian Gender Vol. 4 No. 2 Tahun 2014) dalam tulisannya yang berjudul
11
“Persepsi Perempuan Terhadap Perceraian: Studi Analisis Terhadap
Meningkatnya Angka Gugatan Cerai di Pengadilan Agama Padang”
persepsi perempuan terhadap perceraian adalah cerai bukan merupakan hal
yang tabu dan memalukan. Cerai merupakan solusi untuk menyelesaikan
permasalahan atau konflik berkepanjangan yang terjadi di dalam
keluarganya. Cerai bukan sesuatu yang menakutkan, dan mengajukan
gugatan cerai adalah hak perempuan yang diberikan oleh Undang-undang.
Terjadinya perubahan persepsi perempuan tersebut terhadap perceraian
disebabkan oleh beberapa faktor, yaitu: meningkatnya tingkat pendidikan
perempuan, perempuan semakin sadar hukum, adanya peluang berkarir
bagi perempuan, dan perubahan stigma masyarakat terhadap perempuan
yang bercerai. Perubahan persepsi perempuan terhadap perceraian pada
peningkatan angka gugatan cerai dipengaruhi oleh teknologi informasi
seperti media massa, baik media cetak maupun media elektronik,
melemahnya lembaga perkawinan dan lunturnya pandangan perempuan
terhadap perkawinan dan melemahnya pemahaman nilai-nilai agama di
kalangan perempuan.
Selain jurnal terdapat juga beberapa skripsi yang membahas
mengenai gugatan perceraian yang diajukan oleh istri, di antaranya:
Skripsi yang disusun oleh Fredy Wahyu Suharyanto, dalam
skripsinya yang berjudul “Analisa Yuridis Cerai Gugat Terhadap Suami
Di Pengadilan Agama Sidoarjo” Universitas Pembangunan Nasional
“Veteran” Jawa Timur Fakultas Hukum. Alasan yang dapat dijadikan istri
12
untuk melakukan cerai gugat adalah karena adanya tindak kekerasan suami
terhadap istri dalam rumah tangga serta perselisihan, pertengkaran dan
jarang memberikan nafkah kepada isteri. Penelitian ini bertujuan untuk
mengetahui gambaran pelaksanaan dan pertimbangan hakim mengenai
cerai gugat di Pengadilan Agama Sidoarjo. Dalam penelitian ini, penulis
menggunakan jenis penelitian yuridis normatif yaitu pendekatan dilakukan
secara statute approach atau pendekatan perundang-undangan yang
dilakukan dengan isu hukum yang sedang ditangani. Hasil penelitian dapat
disimpulkan bahwa cerai gugat yang dilakukan istri kepada suami di
Pengadilan Agama Sidoarjo disebabkan adanya faktor internal dan
eksternal diantaranya suami tidak bertanggung jawab baik ekonomi,
meninggalkan kewajiban, poligami tidak sehat, penganiayaan, dan
gangguan pihak ketiga yang tidak diharapkan dan suami mengalami krisis
moral. Namun dalam Putusan ke 5 sampling Pengadilan Agama Sidoarjo.
Majelis Hakim dalam memutus perkara berdasarkan pertimbangan
kemashlahatan dengan menghindari bahkan menghilangkan kemadharatan
yang mukin akan timbul, baik untuk Penggugat dan Tergugat maupun
keluarga keduanya dan anak keturunannya dengan tidak menyebutkan
secara vulgar alasan kekerasan suami terhadap istri dalam rumah tangga
sebagai alasan utama perceraian ini, tetapi lebih memilih perselisihan dan
pertentangan secara terus menerus sebagai alasan perceraian tersebut.
13
F. Penegasan Istilah
Sebelum memulai dalam penyusunan skripsi ini, penulis perlu
kemukakan bahwa judul skripsi ini adalah : Pemahaman Istri Pelaku
Gugat Cerai terhadap Akibat Hukumnya (Studi Kasus Di Kecamatan
Susukan Kabupaten Semarang).
Untuk menghindari kesalahan penafsiran dan kesalahpahaman
terhadap pemahaman serta pengertian yang keliru, maka penulis akan
kemukakan pengertian dan penegasan judul skripsi sebagai berikut:
1. Pemahaman adalah berasal dari kata paham yang diartikan sebagai
mengerti benar atau tahu benar. Pemahaman dapat diartikan sebagai
proses, perbuatan, cara untuk mengerti benar atau mengetahui benar.
Seseorang dapat dikatakan paham mengenai sesuatu apabila orang
tersebut sudah mengerti benar mengenai hal tersebut (KBBI).
2. Istri adalah berasal dari bahasa Sanskerta yaitu stri yang memiliki arti
salah seorang pelaku pernikahan yang berjenis kelamin wanita.
Seorang wanita biasanya menikah dengan seorang pria dalam suatu
upacara pernikahan sebelum diresmikan statusnya sebagai seorang istri
dan pasangannya sebagai seorang suami (Wikipedia Bahasa
Indonesia).
3. Gugat cerai adalah mengadukan perkara untuk memutus hubungan
suami istri (KBBI). Dalam KHI Pasal 73 ayat 1 telah menetapkan
secara bahwa dalam perkara gugat cerai, yang bertindak sebagai
penggugat adalah istri, sedangkan suami ditempatkan sebagai tergugat.
14
Dengan demikian masing-masing mempunyai jalur tertentu dalam
upaya menuntut perceraian. Jalur suami melalui upaya cerai talak dan
jalur istri melalui gugat cerai.
4. Hukum adalah peraturan yang berupa norma dan sanksi yang dibuat
dengan tujuan untuk mengatur tingkah laku manusia, menjaga
ketertiban, keadilan, mencegah terjadinya kekacauan.
G. Metode Penelitian
1. Jenis dan Pendekatan Penelitian
Penelitian ini merupakan jenis penelitian lapangan (field
research) yaitu penelitian yang terjun langsung ke lapangan guna
mengadakan penelitian pada objek yang dibahas yaitu bagaimana
tingkat pemahaman istri yang menjadi pelaku gugat cerai terhadap
akibat hukum yang timbul akibat perbuatan hukum yang dilakukannya.
Selain itu penelitian ini termasuk penelitian kualitatif yang bertujuan
untuk mengungkapkan gejala secara menyeluruh melalui pengumpulan
data di lapangan dan memanfaatkan diri peneliti sebagai instrumen
kunci.
Penelitian kualitatif merupakan prosedur penelitian yang
menghasilkan data deskriptif, ucapan atau tulisan dan perilaku yang
dapat diamati dari orang-orang (subjek) itu sendiri (Salim, 1991:781).
Penelitian kualitatif dimaksudkan untuk memahami fenomena tentang
apa yang dialami oleh subjek penelitian misalnya perilaku, persepsi,
motivasi, tindakan, dll., secara holistic dan dengan cara deskriptif
15
dalam bentuk kata-kata dan bahasa, pada suatu konteks khusus yang
alamiah dan dengan memanfaatkan berbagai metode ilmiah (Moleong,
2009:6).
Sedangkan dalam penelitian ini penulis menggunakan metode
pendekatan sosiologis dan normatif , pendekatan sosiologis digunakan
untuk mengetahui seberapa besar pemahaman istri-istri pelaku gugat
cerai terhadap akibat hukum yang timbul atas perbuatan hukum
tersebut yang terjadi di masyarakat khususnya di Kecamatan Susukan
Kabupaten Semarang, sedangkan pendekatan normatif digunakan
untuk mengetahui akibat-akibat hukum yang timbul atas perbuatan
hukum.
2. Kehadiran Peneliti
Kehadiran peneliti dalam suatu penelitian merupakan hal yang
utama dan penting keberadaannya, identitas seorang peneliti harus
diketahui secara jelas oleh informan agar tidak terjadi kesalahpahaman
antara keduanya. Peneliti bertindak secara langsung sebagai instrumen
dan pengumpul data yang mendatangi dan menggali informasi
mengenai objek penelitian.
3. Lokasi Penelitian
Penelitian ini dilakukan di wilayah Kecamatan Susukan,
Kabupaten Semarang. Peneliti memilih lokasi ini karena di wilayah
Kecamatan Susukan merupakan wilayah yang memiliki angka
perceraian yang cukup tinggi di Pengadilan Agama Kota Salatiga.
16
Kecamatan Susukan merupakan kecamatan yang dapat dikatakan
sebagai wilayah kecamatan yang berbasis pondok pesantren karena di
Kecamatan Susukan banyak berdiri pondok pesantren yang tentunya
berbasis Islam. Sehingga hal ini sangat menarik untuk diteliti ketika di
wilayah Kecamatan Susukan yang banyak berdiri pondok pesantren
namun dalam sisi lain juga memiliki angka perceraian yang cukup
tinggi.
4. Sumber Data
Sumber data yang digunakan oleh penulis dalam penulisan
skripsi ini meliputi:
a. Data primer merupakan data yang pokok dan utama yang
digunakan dalam penulisan skripsi, dalam hal ini data primer
diperoleh secara langsung dari para pelaku gugat cerai yang tinggal
di Kecamatan Susukan.
b. Data sekunder yaitu data tambahan atau data yang digunakan untuk
melengkapi data primer. Data sekunder dapat berwujud data
dokumentasi atau data laporan yang tersedia. Dalam hal ini peneliti
menggunakan Undang-Undang No. 1 tahun 1974 tentang
Perkawinan dan Kompilasi Hukum Islam sebagai sebagai sumber
data resmi serta buku-buku dan artikel yang membahas mengenai
perkawinan dan perceraian, data sekunder juga dapat diperoleh dari
keluarga, kerabat, tokoh agama, tokoh masyarakat dan masyarakat
yang tinggal di sekitar tempat tinggal pelaku gugat cerai.
17
5. Prosedur Pengumpulan Data
Pengumpulan data merupakan prosedur yang sistematik dan
standar untuk memperoleh data yang diperlukan. Pengumpulan data
tidak lain dari suatu proses pengadaan data primer untuk keperluan
penelitian (Nazir, 1988: 211).
Peneliti menggunakan beberapa metode dalam pengumpulan data,
yaitu:
a. Metode Observasi
Metode observasi atau metode pengamatan secara langsung
merupakan metode pengumpulan data dengan cara pengamatan
secara langsung terhadap objek penelitian. Dalam hal ini penulis
gunakan sebagai langkah awal untuk mengetahui dan mendapatkan
data mengenai objek penelitian yaitu gugatan perceraian istri
terhadap suaminya
b. Metode Wawancara
Metode wawancara atau metode interview merupakan suatu
dialog yang dilakukan oleh pewawancara untuk memperoleh
informasi dari terwawancara (Arikunto, 1998: 115).
Wawancara merupakan kegiatan pengumpulan data yang
dilakukan dengan bertatapan langsung dengan responden, sama
seperti menggunakan daftar pertanyaan (Daniel, 2002: 143).
Wawancara dilakukan dengan cara tanya jawab secara lisan
dengan berpedoman pada susunan pertanyaan yang telah disusun
18
sebelumnya untuk menggali informasi terhadap masalah-masalah
yang ada.
Dalam hal ini wawancara dilakukan terhadap para istri
pelaku gugat cerai, keluarga pelaku di Kecamatan Susukan.
Wawancara dilakukan terhadap pelaku gugat cerai secara acak di
Kecamatan Susukan.
c. Metode Dokumentasi
Metode dokumentasi yaitu mencari data mengenai hal-hal
atau variable yang berupa catatan, transkrip, buku, surat kabar,
majalah dan sebagainya. Metode ini sumber datanya masih tetap
dan belum berubah. Dengan metode ini yang diamati adalah bukan
benda hidup tetapi benda mati (Arikunto, 1998: 236).
Dokumen dapat berisi tentang deskripsi-deskripsi,
penjelasan-penjelasan, daftar-daftar, cetakan hasil komputer,
contoh-contoh objek dari sistem informasi. Adapun dokumen yang
digunakan oleh penulis dapat berbentuk foto-foto atau gambar
statistik tingkat perceraian ataupun foto saat berlangsungnya
sidang gugat cerai.
6. Analisis Data
Data mentah yang telah dikumpulkan oleh penulis tidak akan
ada gunanya jika tidak dianalisa. Analisa data merupakan hal yang
amat penting dalam metode ilmiah, karena dengan analisalah data
19
tersebut dapat diberi arti dan makna yang berguna dalam memecahkan
masalah penelitian (Nazir, 1988: 405).
Dalam analisis ini penulis menggunakan analisis deskriptif
yang mendeskripsikan tentang tinjauan hukum Islam dan perundang-
undangan di Indonesia tentang dampak atau akibat hukum yang
ditimbulkan atas perbuatan hukum yaitu gugatan perceraian.
7. Pengecekan Keabsahan Data
Pengecekan keabsahan data dimaksudkan untuk menghindari
adanya kekeliruan atau kesalahan yang terlewati oleh penulis. Dalam
hal ini penulis menggunakan teknik triangulasi untuk mengecek
keabsahan data. Teknik triangulasi adalah teknik pemeriksaan data
yang memanfaatkan sesuatu yang lain dalam membandingkan hasil
wawancara terhadap objek penelitian (Moleong, 2009:330).
Dalam pengecekan keabsahan data di sini dilakukan dengan
cara membandingkan observasi atau pengamatan langsung dengan
wawancara terhadap para informan, selain itu juga dapat dilakukan
dengan membandingkan berbagai dokumen dan mencari informasi dari
berbagai pihak yaitu pelaku gugat cerai, keluarga dan masyarakat
sekitar.
8. Tahap-tahap Penelitian
Penelitian ini dilakukan dengan melalui berbagai tahapan.
Tahap pertama yaitu tahap pra lapangan, di mana penulis menentukan
20
topik penelitian, mencari informasi tentang ada atau tidaknya praktek
gugat cerai.
Tahap selanjutnya yaitu peneliti terjun langsung ke lapangan
atau lokasi penelitian untuk mencari data infoman dan pelaku serta
melakukan observasi, dokumentasi dan wawancara terhadap informan
yaitu pelaku gugat cerai.
Tahap terakhir yaitu penyususnan laporan dengan cara
menganalisis data atau temuan dari penelitian kemudian
memaparkannya dengan narasi deskriptif dengan pendekatan normatif.
H. Sistematika Penulisan
Untuk memudahkan dalam pembahasan dan pemahaman yang
lebih lanjut dan jelas dalam membaca penelitian ini, maka disusunlah
sistematika penulisan skripsi. Skripsi ini secara garis besar terdiri dari tiga
bagian: bagian awal, bagian inti dan agian akhir.
Pada bagian awal skripsi berisi tentang: sampul, lembar berlogo,
judul, persetujuan pembimbing, pengesahan kelulusan, pernyataan
keaslian tulisan, motto dan persembahan, kata pengantar, abstrak, daftar
isi, daftar gambar, dan daftar lampiran.
Bagian inti skripsi menguraikan lima bab, yaitu:
Bab I Pendahuluan, yang mana di dalamnya menguraikan tentang:
latar belakang masalah, fokus penelitian, tujuan penelitian, kegunaan
penelitian, penegasan istilah, metode penelitian yang berisi tentang
pendekatan dan jenis penelitian, kehadiran peneliti, lokasi penelitian,
21
sumber data, prosedur pengumpulan data, analisis data, pengecekan
keabsahan data, tahap-tahap penelitian dan sistematika penulisan.
Bab II menguraikan tentang tinjauan umum mengenai perkawinan
dan gugatan perceraian, pengertian perkawinan, konsep perkawinan
menurut Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 dan Kompilasi Hukum Islam
(KHI), gugatan perceraian istri terhadap suami, akibat hukum yang
ditimbulkan atas gugatan perceraian.
Bab III menguraikan tentang hasil penelitian mengenai
pemahaman istri pelaku gugat cerai terhadap akibat hukumnya, alasan-
alasan mengajukan gugatan perceraian, pemahaman istri tentang
perkawinan, gambaran umum Kecamatan Susukan.
Bab IV menguraikan tentang analisa hasil penelitian pemahaman
istri pelaku gugat cerai terhadap akibat hukumnya dalam perspektif
normatif, analisa mengenai faktor-faktor atau alasan-alasan dalam
mengajukan gugatan perceraian serta analisa upaya yang dilakukan istri
pelaku gugat cerai terhadap akibat hukum perceraian.
Bab V Penutup menguraikan tentang kesimpulan dan saran
Pada bagian akhir skripsi ini berisi tentang daftar rujukan, lampiran-
lampiran, riwayat hidup penulis.
22
BAB II
TINJAUAN UMUM PERNIKAHAN DAN GUGATAN PERCERAIAN
A. Definisi Perkawinan
Menurut Hukum Perkawinan Islam (munakahat), kata-kata
perkawinan merupakan alih bahasa dari istilah nikah atau tazwij. Nikah
menurut bahasa berarti: kumpul, setubuh dan akadnya. Sedangkan
menurut syara’ nikah dipakai hanya dalam arti akadnya sebagaimana
dalam Kitab Fathul Bari (IX / 84) “baik di dalam Al Quran dan As
Sunnah, pemakaian kata-kata nikah itu hanya dalam arti akadnya, kecuali
dalam satu ayat saja yaitu QS. An Nisa’: 6”. Para ulama’ pada umumnya
memberi arti nikah lebih cenderung dikaitkan dengan tujuan utama
perkawinan itu sendiri, yakni halalnya persetubuhan (Rahman, tt: 14).
Dalam bahasa Arab kata “nikah” diartikan add-dhamm (berkumpul
atau bergabung) dan al-ikhtlat (bercampur), sedangkan menurut istilah
nikah adalah akad yang ditetapkan syara’ untuk membolehkan bersenang-
senang antara laki-laki dan perempuan dan menghalalkan bersenang-
senangnya perempuan dan laiki-laki (Gazaly, 2006: 8).
Imam Madzhab Syafi’i menjelaskan bahwa nikah merupakan suatu
akad yang dengannya menjadi halal hubungan seksual antara pria dengan
wanita, sedangkan menurut arti majazi nikah diartikan sebagai hubungan
seksual. Nikah merupakan akad yang menjadikan halal hubungan kelamin
antara pria dan wanita (Ibrahim, 1971: 65).
23
Dalam pengertian hukum keluarga perkawinan merupakan suatu
hal yang mempunyai akibat yang luas di dalam hubungan hukum antara
suami dan istri, dengan perkawinan itu timbul suatu ikatan yang berisi hak
dan kewajiban (Afandi, 1997:93).
Dalam perundang-undangan di Indonesia yaitu Undang-Undang
No. 1 Tahun 1974 dalam pasal 1 dijelaskan bahwa perkawinan adalah
ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai istri
dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan
kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Dalam Kompilasi Hukum
Islam (KHI) dalam pasal 2 disebutkan pengertian perkawinan menurut
Islam adalah pernikahan, yaitu akad yang sangat kuat atau mitsaqan
ghalizhan untuk mentaati perintah Allah dan melaksanakannya merupakan
ibadah.
Dari beberapa pengertian di atas jelas bahwa pernikahan
merupakan suatu bentuk akad yang menjadikan halalnya hubungan antara
laki-laki dengan perempuan yang sebelumnya dilarang oleh syari’at.
Pernikahan salah satu sunnatullah yang umum berlaku pada semua
makhluk Tuhan, baik pada manusia, hewan maupun tumbuh-tumbuhan.
Pernikahan atau perkawinan adalah suatu cara yang dipilih Allah sebagai
jalan bagi manusia untuk berkembang biak, beranak dan kelestarian
hidupnya, setelah masing-masing pasangan siap melakukan peranan yang
positif dalam mewujudkan tujuan perkawinan (Sabiq, 1990: 9).
24
B. Anjuran Nikah
Islam sebagai agama yang suci memerintahkan manusia untuk
berbuat baik dengan cara yang baik dan dibenarkan oleh syari’at. Nikah
merupakan solusi untuk menghalalkan hubungan suami istri untuk
menghindari perzinaan yang dilarang oleh agama. Nikah sebagai salah
satu sunnah para Nabi dan petunjuknya yang mereka itu merupakan tokoh-
tokoh yang wajib diikuti jejaknya (Sabiq, 1990: 12). Allah SWT telah
berfirman dalam QS. Adz-Dzariyat: 49:
رونومن كل شيء خلقنا زوجین لعلكم تذك
“Dan segala sesuatu Kami ciptakan berpasang-pasangan supaya kamu
mengingat kebesaran Allah.”( QS. Adz-Dzariyat (51): 49).
Dalam hadits Nabi terdapat pula perintah untuk melangsungkan
perkawinan. Dalam Islam pernikahan (nikah) merupakan sunnah Nabi dan
anjuran kepada manusia supaya terhindar dari perbuatan zina. Nabi
bersabda dalam sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Imam Muslim :
واحصن اغض للبصرفانھ كم الباءة فلیتزوجمعشر الشباب من استطاع منیا
ومن لم یستطع فعلیھ بالصوم فانھ لھ وجاء. فرجلل
“Hai para pemuda, barang siapa di antara kamu yang sudah mampumenikah, maka nikahlah, karena sesungguhnya nikah itu lebih dapatmenundukkan pandangan dan lebih dapat menjaga kemaluan. Dan barangsiapa yang belum mampu, maka hendaklah ia berpuasa, karena berpuasaitu baginya (menjadi) pengekang syahwat”.(HR. Muslim) (Bahriesj, 1984:192).
25
Dalam kaidah usul fiqh, suatu perintah dapat menunjukkan
beberapa makna hukum yang mengikat pada manusia, pada mulanya nikah
itu hukumnya boleh (mubah) yaitu bagi laki-laki yang tidak terdesak oleh
alasan-alasan yang mewajibkan segera kawin atau karena alasan-alasan
yang mengharamkan untuk kawin, hukum nikah yang awalnya mubah
dapat berubah menjadi wajib, sunnah, makruh dan bahkan haram
menyesuaikan dengan kondisi manusia itu sendiri.
Bagi yang sudah mampu kawin, nafsunya telah mendesak dan
takut terjerumus dalam perzinaan wajiblah dia kawin, karena manjauhkan
diri dari yang haram adalah wajib, sedang untuk itu tidak dapat dilakukan
kecuali dengan jalan pernikahan (Sabiq, 1990: 22). Sebagaimana pula
perkataan yang diucapkan oleh Qurtuby: “orang bujang yang sudah
mampu kawin dan takut dirinya dan agamanya jadi rusak, sedang tak ada
jalan untuk menyelamatkan diri kecuali dengan kawin, maka tak ada
perselisihan pendapat tentang wajibnya ia kawin”. Adapun bagi orang
yang nafsunya telah mendesak lagi mampu kawin, tetapi masih mampu
untuk menahan dirinya untuk tidak berbuat zina maka sunnahnya dia
kawin, nikah baginya lebih utama dari bertekun diri dalam ibadah. Nikah
menjadi makruh apabila seseorang yang lemah syahwat dan tidak mampu
memberi belanja istrinya, walaupun tidak merugikan istri karena ia kaya
dan tidak mempunyai keinginan syahwat yang kuat. Adapun nikah yang
haram hukumnya yaitu bagi seseorang yang tidak mampu memenuhi
nafkah batin dan lahirnya kepada istrinya serta nafsunya pun tidak
26
mendesak, maka haram ia kawin (Sabiq, 1990: 25). Dalam beberapa
pendapat ulama’ pernikahan yang haram hukumnya apabila dimaksudkan
untuk menyakiti salah satu pasangannya.
C. Rukun dan Syarat Nikah
Dalam Ensiklopedi Hukum Islam dikemukakan bahwa rukun
adalah suatu unsur yang merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari
suatu perbuatan atau lembaga yang menentukan sah atau tidak sahnya
perbuatan tersebut dan ada atau tidak adanya perbuatan tersebut
(Djubaidah, 2010: 91). Rukun dapat pula diartikan sebagai sesuatu yang
harus ada yang menentukan sah atau tidaknya suatu pekerjaan (ibadah)
dan sesuatu itu termasuk dalam rangkaian pekerjaan itu, seperti mengusap
rambut untuk waktu wudhu dan takbirotul ihram untuk shalat (Gazaly,
2006: 46).
Dari beberapa pengertian di atas jelas bahwa rukun merupakan
sesuatu yang melekat dan menjadi bagian pada rangkaian sebuah
perbuatan hukum, rukun menentukan sah atau tidak sahnya perbuatan
hukum tersebut. Sedangkan syarat adalah suatu yang mesti ada yang
menentukan sah atau tidaknya suatu pekerjaan (ibadah), tetapi sesuatu itu
tidak termasuk dalam rangkaian pekerjaan itu (Tihami, 2010: 12). Syarat
dapat diartikan pula sebagai hal-hal yang melekat pada masing-masing
unsur yang menjadi bagian dari suatu perbuatan hukum atau peristiwa
hukum (Djubaidah, 2010: 92). Suatu pernikahan yang tidak memenuhi
salah satu dari syarat-syarat yang ada, maka pernikahan tersebut menjadi
27
fasid, sedangkan pernikahan yang tidak memenuhi salah satu dari rukun-
rukun yang ada, maka pernikahan tersebut menjadi bathil, pernikahan
yang dihukumi fasid dan bathil maka sama-sama tidak sah (Rahman, tt:
49). Rukun dan syarat-syarat perkawinan merupakan dasar bagi sahnya
perkawinan, jika rukun dan syarat perkawinan terpenuhi maka perkawinan
menjadi sah dan menimbulkan adanya segala kewajiban dan hak-hak
perkawinan (Sabiq, 1990: 78).
Dalam Undang-Undang Perkawinan pasal 6 sampai 12 telah
menjelaskan mengenai syarat-syarat perkawinan. Sedangkan dalam
Kompilasi Hukum Islam, rukun dan syarat perkawinan diatur dalam pasal
14 sampai 29. Pasal 14 Kompilasi Hukum Islam disebutkan bahwa untuk
melakukan perkawinan harus ada:
1. Calon suami
Seorang calon suami harus memenuhi syarat:
a. Beragama Islam
b. Laki-laki
c. Jelas orangnya
d. Dapat memberi persetujuan, tidak terpaksa dan atas kemauannya
sendiri
e. Tidak terdapat halangan perkawinan atau bukan merupakan
mahram dari calon istri
f. Mencapai batas umur untuk melangsungkan perkawinan yaitu 19
tahun (Pasal 7 Undang-Undang Perkawinan)
28
2. Calon istri
Seorang calon istri harus memenuhi syarat:
a. Beragama Islam
b. Perempuan
c. Jelas orangnya
d. Dapat dimintai persetujuan baik secara lisan, tertulis ataupun
isyarat
e. Tidak terdapat halangan perkawinan
f. Mencapai batas umur untuk melangsungkan perkawinan yaitu
sekurang-kurangnya 16 tahun (Pasal 7 Undang-Undang
Perkawinan)
3. Wali nikah
Wali adalah suatu ketentuan hukum yang dapat dipaksakan
kepada orang lain sesuai dengan bidang hukumnya. Wali ada yang
bersifat umum dan khusus, yang khusus meliputi perwalian terhadap
manusia dan harta benda, perwalian dalam perkawinan berkenaan
dengan manusia (Sabiq, 1982:7).
Syarat untuk dapat menjadi wali:
a. Beragama Islam
b. Laki-laki
c. Merdeka
d. Baligh
e. Berakal sehat
29
4. Dua orang saksi
a. Beragama Islam
b. Laki-laki
c. Baligh
d. Adil
e. Tidak tuna rungu atau tuli
f. Hadir dalam akad nikah
g. Dapat mengerti maksud akad
5. Ijab dan qabul
Untuk terjadinya akad yang mempunyai akibat-akibat hukum
pada hubungan suami dan istri haruslah memenuhi syarat-syarat
sebagai berikut:
a. Kedua belah pihak sudah tamyiz, bila salah satu pihak gila atau
masih kecil dan belum tamyiz (membedakan benar dan salah),
maka pernikahannya tidaklah sah.
b. Ijab qabul dalam satu majelis, yaitu ketika mengucapkan ijab qabul
tidak boleh diselingi dengan kata-kata lain.
c. Hendaklah ucapan qabul tidak menyalahi ucapan ijab, kecuali
kalau lebih dari ucapan ijabnya sendiri yang menunjukkan
pernyataan persetujuan lebih tegas.
d. Pihak-pihak yang melakukan akad harus dapat mendengarkan
pernyataan masing-masing dengan kalimat yang maksudnya
menyatakan terjadinya pelaksanaan akad nikah (Sabiq, 1990:49).
30
D. Konsep Perkawinan dalam Undang-Undang Perkawinan No. 1 Tahun
1974
Undang-Undang Perkawinan merupakan salah satu produk hukum
yang memiliki legalitas di dalam herarki perundang-undangan di
Indonesia. Undang-undang ini tentunya berlaku bagi semua warga negara
Indonesia, yang mana dalam setiap pembentukan Undang-undang
mengandung unsur filosofis, yuridis dan sosiologis. Undang-Undang
Perkawinan bertujuan untuk mewujudkan keluarga yang bahagia dan
bersifat kekal.
Undang-undang ini terdiri atas 14 Bab termasuk Ketentuan
Peralihan dan Ketentuan Penutup dan 67 pasal. Prinsip-prinsip dan
ketentuan-ketentuan yang tertuang dalam Undang-Undang Perkawinan
yang juga dijabarkan dalam Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun 1975
sebagai penjelasan Undang-Undang Perkawinan tersebut adalah sebagai
berikut:
1. Pengertian perkawinan disebutkan sebagai ikatan lahir batin antara
seorang pria dan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan
membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal
berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Pengertian perkawinan
tersebut lebih berorientasi pada tujuan perkawinan yaitu perkawinan
yang bahagia, sejahtera dan abadi yang didasarkan kepada Ketuhanan.
2. Suatu perkawinan dapat dikatakan sah apabila dilakukan menurut
hukum masing-masing agama dan kepercayaan serta harus dicatatkan.
31
Pasal 2 Undang-Undang Perkawinan ini menegaskan bahwa
perkawinan yang dilakukan oleh sepasang calon suami istri yang
berbeda agama maka salah satu antara suami istri harus menanggalkan
agamanya dan tunduk dalam agama yang sama. Pencatatan setiap
perkawinan dimaksudkan untuk melindungi perkawinan tersebut demi
menjaga hak-hak suami dan istri.
3. Undang-Undang Perkawinan pada prinsipnya mengandung asas
monogami, namun Undang-undang ini mengizinkan seorang suami
untuk beristri lebih dari satu dengan ketentuan-ketentuan yang harus
dipenuhi dan disertai alasan-alasan suami untuk beristri lebih dari satu.
Sebagaimana pasal 4 (2) Undang-Undang Perkawinan yang
menyebutkan bahwa suami dapat beristri lebih dari seorang apabila:
a. Istri tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai istri.
b. Istri mendapat cacat badan atau penyakit yang tidak dapat
disembuhkan.
c. Istri tidak dapat melahirkan keturunan.
4. Dalam mengajukan permohonan untuk beristri lebih dari seorang,
maka seorang suami harus memenuhi syarat-syarat sebagai berikut:
a. Mendapat persetujuan dari istri.
b. Adanya kepastian suami untuk menjamin keperluan-keperluan
hidup istri dan anak-anak mereka.
c. Adanya jaminan suami untuk berlaku adil.
32
5. Pasal 7 Undang-undang ini memberikan batasan umur bagi seseorang
yang akan melangsungkan perkawinan, yang mana batas umur pihak
laki-laki yaitu 19 tahun dan pihak perempuan yaitu 16 tahun.
Pembatasan umur dimaksudkan untuk menentukan bahwa antara pihak
laki-laki dan perempuan benar-benar telah siap jiwa raga untuk
mengarungi rumah tangga bersama-sama dan mewujudkan tujuan
perkawinan yang bahagia tanpa berakhir dengan perceraian.
Perkawinan yang dilakukan di bawah batas umur yang telah
ditentukan, maka juga mengakibatkan laju kelahiran yang lebih tinggi
jika dibandingkan batas umur yang lebih tinggi.
6. Di dalam mewujudkan tujuan perkawinan, Undang-undang ini
menganut prinsip mempersulit perceraian, untuk memungkinkan
perceraian maka harus disertai alasan-alasan tertentu dan harus
dilakukan di depan sidang pengadilan.
7. Kedudukan dan hak istri adalah seimbang dengan kedudukan dan hak
suami baik dalam hubungan pergaulan masyarakat maupun dalam
kehidupan rumah tangga, sehingga dengan demikian segala sesuatu
dalam keluarga dapat dirundingkan dan diputuskan secara bersama-
sama.
8. Undang-Undang Perkawinan juga mengatur ketentuan pencegahan
perkawinan apabila tidak memenuhi syarat-syarat perkawinan. Pihak-
pihak yang dapat mengajukan pencegahan perkawinan yaitu para
keluarga dalam garis lurus ke atas dan ke bawah, saudara, wali nikah,
33
wali, pengampu dari salah satu pihak mempelai dan pihak-pihak yang
berkepentingan.
9. Perkawinan yang telah dilangsungkan dan di kemudian hari ditemukan
adanya persyaratan yang tidak terpenuhi maka terdapat pihak-pihak
yang dapat mengajukan pembatalan perkawinan.
10. Kedua calon mempelai dapat melakukan perjanjian perkawinan
sebelum perkawinan dilangsungkan, hal ini diatur dalam Bab V pasal
29 Undang-Undang Perkawinan, dalam penjelasan pasal tersebut
perjanjian perkawinan tidak termasuk taklik talak.
11. Hak dan kewajiban suami istri sebagai berikut:
a. Suami istri berkewajiban untuk menegakkan rumah tangga yang
menjadi sendi dasar dalam susunan masyarakat.
b. Suami bertindak sebagai kepala keluarga dan istri bertindak
sebagai ibu rumah tangga.
c. Masing-masing pihak berhak melakukan perbuatan hukum.
d. Suami istri wajib saling mencintai, menghormati, setia dan
memberi bantuan lahir batin untuk menjaga keharmonisan
keluarga.
e. Suami wajib melindungi istrinya dan memenuhi segala keperluan
hidup berumah tangga sesuai dengan kemampuannya.
f. Istri wajib mengatur urusan rumah tangga dengan sebaik-baiknya.
12. Putusnya perkawinan dalam Undang-undang ini disebutkan dapat
terjadi karena kematian, perceraian dan atas keputusan pengadilan.
34
Dalam pasal 39 (2) ditegaskan bahwa untuk melakukan perceraian
harus terdapat alasan yang menunjukkan bahwa suami istri tidak dapat
hidup rukun sebagai suami istri. Alasan-alasan perceraian tersebut
adalah sebagai berikut:
a. Salah satu pihak berbiat zina menjadi pemabuk, pemadat, penjudi
dan lain sebagainya yang sukar disembuhkan.
b. Salah satu pihak meninggalkan yang lain selama 2 tahun berturut-
turut tanpa izin pihak lain dan tanpa alasan yang sah atau karena
hal lain di luar kemauannya.
c. Salah satu pihak mendapatkan hukuman penjara 5 tahun atau
hukuman yang lebih berat setelah perkawinan berlangsung.
d. Salah satu pihak melakukan kekejaman atau penganiayaan berat
yang membahayakan terhadap pihak yang lain.
e. Salah satu pihak mendapat cacat badan atau penyakit yang
mengakibatkan tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai
suami atau istri.
f. Antara suami dan istri secara terus-menerus terjadi perselisihan dan
pertengkaran dan tidak ada harapan untuk hidup rukun lagi dalam
rumah tangga.
13. Harta yang diperoleh selama perkawinan merupakan harta bersama
dan apabila terjadi perceraian maka suami istri dapat bertindak atas
persetujuan bersama.
E. Konsep Perkawinan dalam Kompilasi Hukum Islam
35
Dalam kamus-kamus dan ensiklopedi Indonesia tidak dapat
menemukan istilah “kompilasi” di dalamnya yang menunjukkan bahwa
hingga sekarang kata tersebut masih belum diterima secara meluas dalam
bahasa Indonesia. Kompilasi berasal dari bahasa Latin yaitu “compilare”
yang berarti mengumpulkan bersama-sama. Kompilasi merupakan suatu
kegiatan pengumpulan dari berbagai bahan tertulis yang diambil dari
berbagai buku atau tulisan mengenai suatu persoalan tertentu. Jadi konsep
perkawinan Kompilasi Hukum Islam yaitu konsep perkawinan yang
disusun dari berbagai sumber buku atau tulisan hukum Islam (kitab-kitab
fiqh) (Abdurrahman, 11:1992).
Di dalam menghimpun sumber-sumber hukum Islam, Kompilasi
Hukum Islam merujuk pada kitab-kitab fiqh sebagai pedoman, di
antaranya:
1. Al Bajuri
2. Fathul Muin dengan Syarahnya
3. Syarqawi Alat Tahrir
4. Qulyubi atau Muhalli
5. Fathul Wahab dengan Syarahnya
6. Tuhfah
7. Targhibul Musytaq
8. Qawaninusy Syar’iyah Lissayyid Usman bin Yahya
9. Qawaninusy Syar’iyah Lissayyid Shodaqah Dakhlan
10. Syamsuri lil Fara’idl
36
11. Bughyatul Mustarsyidin
12. Al Fiqh ‘Alal Madzahibil Arba’ah
13. Mughnil Muhtaj
Dalam Kompilasi Hukum Islam hukum perkawinan diatur dalam
buku 1 yang terdiri dari 19 bab dan 170 pasal keseluruhan. Ditinjau dari
materi muatan dalam Kompilasi Hikum Islam banyak duplikasi dengan
apa yang diatur dalam Undang-Undang Perkawinan No. 1 Tahun 1974
atau Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun 1975 mengingat Kompilasi
Hukum Islam juga mengatur ketentuan-ketentuan yang bersifat prosedural.
Namun di sisi lain juga terdapat hal-hal baru yang belum termuat dalam
Undang-Undang Perkawinan namun ditemukan dalam Kompilasi Hukum
Islam.
Pengertian perkawinan dalam pasal 1 Kompilasi Hukum Islam
adalah pernikahan, yaitu akad yang sangat kuat atau miitsaaqan
gholiidhan untuk mentaati perintah Allah dan melaksanakannya
merupakan ibadah. Pengertian tersebut tentunya berbeda dengan
pengertian perkawinan dalam Undang-Undang Perkawinan, dalam
Kompilasi Hukum Islam pengertian perkawinan lebih ditekankan kepada
suatu akad atau perjanjian ikatan lahir batin yang sangat kuat, yang mana
akad ini akan menyatukan dua insan manusia antara laki-laki dan
perempuan untuk menjadi pasangan suami istri yang sah. Dalam
pengertian perkawinan juga disebutkan untuk mentaati perintah Allah dan
sebagai bentuk ibadah kepada-Nya, hal ini menunjukkan bahwa
37
perkawinan dilaksanakan sebagai wujud rasa taqwa atau ketaatan seorang
hamba kepada pencipta-Nya yang dinilai sebagai salah satu bentuk ibadah
kepada-Nya.
Tujuan perkawinan disebutkan dalam pasal 3 Kompilasi Hukum
Islam yaitu perkawinan bertujuan untuk membentuk rumah tangga yang
sakinah, mawaddah dan rahmah. Dalam hal pelaksanaan perkawinan, di
dalam Kompilasi Hukum Islam menyebutkan beberapa hal teknis yang
harus diperhatikan, yaitu:
a. Perkawinan dapat dikatakan sah apabila dilakukan sesuai dengan
hukum Islam. Hal ini menunjukkan suatu penegasan yang sangat
aspiratif dan cukup tepat, mengingat bahwa hukum Islam sebagai salah
satu acuan dalam menentukan keabsahan suatu perkawinan
(Abdurrahaman, 1992: 68).
b. Perkawinan harus dicatat dan dilangsungkan dibawah pengawasan
Pegawai Pencatat Nikah, ini dimaksudkan untuk terjaminnya
ketertiban perkawinan bagi masyarakat. Kata “harus” dalam
pencatatan perkawinan menunjukkan suatu kewajiban menurut
pengertian hukum Islam, dengan demikian perkawinan tersebut
mempunyai kekuatan hukum dan dengan dilangsungkannya
perkawinan tersebut di bawah Pegawai Pencatat Nikah maka
perkawinan tersebut dapat dibuktikan dengan Akta Nikah. Oleh karena
itu mencatatkan perkawinan merupakan suatu kewajiban bagi mereka
yang akan melangsungkan perkawinan.
38
c. Sebelum melangsungkan perkawinan, dalam Kompilasi Hukum Islam
disebutkan adanya peminangan, meskipun di dalam Undang-Undang
Perkawinan tidak diatur perihal peminangan, namum peminangan
merupakan suatu hal yang telah menjadi suatu hukum adat, selain itu
peminangan cukup banyak dibicarakan dalm kitab-kitab Fiqh. Seorang
perempuan yang telah dalam pinangan seorang laki-laki, maka laki-
laki lain dilarang untuk meminang perempuan tersebut. Dalam pasal
13 Kompilasi Hukum Islam disebutkan bahwa peminangan belum
menimbulkan akibat hukum, dengan kata lain kedua belah pihak masih
berhak untuk memutuskan hubungan peminangan.
d. Hal lain yang perlu diperhatikan selain memenuhi rukun dan syarat
perkawinan yaitu adanya persetujuan dari kedua calon mempelai, hal
ini tentunya selaras dengan ketentuan dalam pasal 6 Undang-Undang
Perkawinan, namun dalam kompilasi diatur secara lebih lengkap dan
lebih teknis.
e. Dalam perkawinan ada kaitannya dengan mahar atau banyak dikenal
dengan istilah mas kawin, ketentuan ini diatur tersendiri dalam
kompilasi, meskipun dalam Undang-Undang Perkawinan tidak
mengaturnya. Mahar merupakan suatu kewajiban calon mempelai laki-
laki untuk menyerahkan dan membayarkan mahar kepada calon
mempelai istri yang mana jumlah, bentuk dan jenisnya berdasarkan
kesepakatan kedua belah pihak. Mahar merupakan pemberian wajib
seorang laki-laki kepada calon istrinya, bukan suatu pembelian atau
39
ganti rugi (Sabiq, 1982: 44). Dalam kompilasi ditekankan bahwa
kewajiban memberikan mahar kapada calon istri bukanlah merupakan
rukun dalam perkawinan.
f. Perjanjian perkawinan merupakan persoalan yang juga diatur
ketentuannya dalam Kompilasi Hukum Islam, yaitu dalam pasal 45
sampai 52 yang mana ketentuan ini lebih banyak jika dibandingkan
dengan Undang-Undang Perkawinan. Dalam pasal 45 Kompilasi
dijelaskan bahwa kedua calon mempelai dapat mengadakan perjanjian
perkawinan dalam bentuk:
1. Taklik talak.
2. Perjanjian lain yang tidak bertentangan dengan Hukum Islam.
Perjanjian taklik talak bukanlah perjanjian yang wajib diadakan
dalam setiap perkawinan, namun apabila perjanjian taklik talak
diadakan dalam suatu perkawinan maka perjanjian tersebut tidak dapat
dibatalkan atau dicabut kembali.
Perjanjian perkawinan selain taklik talak yaitu berkenaan
kedudukan harta dalam perkawinan. Kedua belah pihak diberi
kebebasan untuk membuat perjanjian perkawinan dengan ketentuan
tidak bertentangan dengan hukum Islam, perjanjian tersebut kemudian
hanya disahkan oleh Pegawai Pencatat Nikah, perjanjian perkawinan
tersebut dapat dicabut atas kesepakatan suami dan istri serta harus
didaftarkan kepada Kantor Pegawai Pencatat Nikah tempat perkawinan
dilangsungkan.
40
g. Akibat hukum dalam sebuah perkawinan yaitu timbulnya hak dan
kewajiban antara suami dan istri, untuk menjaga keutuhan dan
keharmonisan keluarga tentunya hak dan kewajiban harus dapat
terpenuhi satu sama lain. Hak dan kewajiban antara suami istri terdiri
atas:
1. Hak istri atas suami
2. Hak suami atas istri
3. Hak bersama
Masing-masing suami istri jika menjalankan kewajibannya dan
memperhatikan tanggung jawabnnya maka terwujudlah ketentraman
dan ketenangan hati sehingga sempurnalah kebahagiaan suami istri
tersebut (Sabiq, 1982: 43). Hak bersama suami istri merupakan hak
yang dapat digunakan secara bersama-sama atau hak istri yang juga
merupakan haknya suami. Hak bersama tersebut di antaranya yaitu
halal untuk saling bergaul dan mengadakan hubungan kenikmatan,
haram melakukan pernikahan, hak saling mendapatkan waris akibat
dari ikatan perkawinan yang sah, sahnya menasabkan anak kepada
suaminya, dan hak untuk saling berlaku baik. Hak istri terhadap suami
meliputi hak kebendaan (mahar dan nafkah) serta hak rohaniah yaitu
hak untuk mendapatkan keadilan serta tidak boleh membahayakan
istri. Dalam memenuhi hak dan kewajiban, seorang suami ataupun istri
harus mendahulukan kewajibannya untuk dapat menuntut haknya.
41
Ketentuan yang ada dalam Kompilasi Hukum Islam mengenai hak dan
kewajiban pasangan suami istri lebih luas ketentuannya dari pada apa
yang diatur dalam Undang-Undang Perkawinan, ketentuan tersebut
diatur dalam pasal 77 sampai 86 Kompilasi Hukum Islam.
Konsep perkawinan dalam Hukum Kompilasi Islam mempunyai
ketentuan yang lebih kompleks, hal ini dikarenakan Hukum Kompilasi
Islam bersifat ketentuan khusus yang mengatur perkawinan bagi orang
yang beragama Islam, berbeda halnya dengan Undang-Undang
Perkawinan No. 1 Tahun 1974 yang bersifat umum.
F. Gugatan Perceraian dan Akibat Hukumnya
1. Gugatan Perceraian
Gugatan perceraian merupakan gugatan yang diajukan oleh
istri atau kuasanya pada Pengadilan Agama, yang daerah hukumnya
mewilayahi tempat tinggal penggugat kecuali istri meninggalkan
tempat kediaman bersama tanpa izin suami. Hal tersebut tertuang
dalam pasal 132 Kompilasi Hukum Islam, dalam perihal gugatan
perceraian istri bertindak sebagai penggugat atau pemohon dan suami
bertindak sebagai tergugat atau termohon.
Di dalam Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang
Perkawinan tidak membedakan pengertian antara cerai talak dan gugat
cerai, dalam Undang-undang tersebut dijelaskan bahwa putusnya
perkawinan karena gugatan perceraian dapat diajukan oleh suami atau
istri, tentunya hal ini dikarenakan Undang-Undang Perkawinan tidak
42
hanya mengatur perkawinan bagi orang-orang yang beragama Islam
namun bersifat menyeluruh. Sedangkan dalam Kompilasi Hukum
Islam pasal 114 menyebutkan bahwa putusnya perkawinan yang
disebabkan karena perceraian dapat terjadi karena talak atau
berdasarkan gugatan perceraian. Pengertian talak dijelaskan dalam
pasal 117 Kompilasi Hukum Islam yaitu ikrar suami dihadapan sidang
Pengadilan Agama yang menjadi salah satu sebab putusnya
perkawinan.
Dalam syari’at Islam putusnya perkawinan selain karena
adanya talak yang dijatuhkan oleh suami kepada istrinya, dapat pula
disebabkan karena khulu’ dan fasakh yang dapat diajukan oleh istri
kepada suaminya.
Khulu’ (al khulu’) dalam bahasa Indonesia diartikan sebagai
gugatan cerai atas kehendak istri dengan membayarkan ‘iwadl
(penebus) kepada suami. Istilah khulu’ diartikan sebagai permintaan
seorang istri kepada suaminya untuk melepaskan dirinya dari ikatan
pernikahan (Nakamura, 1991: 38). Sedangkan menurut syariat, para
ulama’ mengatakan bahwa khulu’ ialah terjadinya perceraian antara
suami dan istri dengan keridhoan dari keduanya dengan pembayaran
yang diserahkan istri kepada suaminya (Abidin, 1999: 86). Menurut
jumhur fuqoha’ (ahli fiqh) menyatakan bahwa khulu’ adalah termasuk
talak, Imam Maliki dan Hanafi berpendapat bahwa khulu’ sama halnya
dengan fasakh, sedangkan Imam Syafi’i berpendapat bahwa khulu’
43
termasuk fasakh, khulu’ merupakan kata-kata sindiran yang
mengakibatkan suami menghendaki adanya talak, maka talak pun
terjadi (Abidin, 1999: 93). Dalam KHI pasal 161 menyebutkan bahwa
perceraian yang dilakukan dengan jalan khulu’ mengurangi jumlah
talak dan tidak dapat dirujuk.
Sedangkan fasakh adalah putusnya perkawinan melalui
pengadilan yang disebabkan sesuatu yang diketahui setelah
melangsungkan pernikahan, misalnya adanya suatu penyakit yang
muncul setelah pernikahan yang menyebabkan pihak lain tidak dapat
merasakan arti dan hakikat sebuah perkawinan dan tidak
memungkinkan untuk mencapai tujuan pernikahan. Fasakh juga bisa
dikarenakan perkawinan yang telah dilangsungkan mempunyai cacat
hukum. Pada hakikatnya fasakh adalah hak yang diberikan kepada
suami maupun istri. Perceraian yang diakibatkan fasakh tidak
mengurangi bilangan jumlah talak suami, karena fasakh tidak termasuk
bagian dari talak (Abidin, 1999: 82). Para ulama’ telah bersepakat
bahwa apabila antara suami dan istri telah saling mengetahui adanya
kecacatan antara salah satu pihak sebelum pernikahan, dan salah satu
pihak telah menunjukkan kerelaan maka tidak ada hak baginya untuk
meminta fasakh dengan alasan kecacatan tersebut.
Putusnya sebuah perkawinan tentunya membawa akibat hukum
bagi kedua belah pihak, antara suami dan istri. Dalam pasal 113
44
Kompilasi Hukum Islam menentukan putusnya perkawinan dapat
dikarenakan:
1. Kematian
2. Perceraian
3. Atas putusan pengadilan
Dalam pasal selanjutnya disebutkan bahwa putusnya
perkawinan yang dikarenakan perceraian dapat terjadi karena talak
atau berdasarkan gugatan perceraian, suatu perceraian hanya dapat
dilakukan didepan sidang Pengadilan Agama setelah pengadilan
tersebut tidak berhasil untuk mendamaikan kedua belah pihak
(Abdurrahman, 1992: 76).
Gugatan perceraian merupakan gugatan yang diajukan oleh
istri kepada suaminya disertai alasan-alasan yang menguatkan gugatan
tersebut. Dalam kompilasi ketentuan tentang gugatan perceraian diatur
dalam pasal 132 sampai 148, sebagaimana juga diatur dalam Undang-
Undang No.7 tahun 1989 tentang Peradilan Agama yaitu pasal 73
sampai 86.
2. Akibat Hukum Gugatan Perceraian
Akibat hukum dari sebuah perceraian berkaitan erat dengan hak
dan kewajiban yang harus dikerjakan dan diterima kedua belah pihak.
Akibat hukum karena putusnya perkawinan yang disebabkan karena
talak, dalam pasal 149 kompilasi disebutkan seorang suami wajib:
45
1. Memberikan mut’ah yang layak kepada bekas istrinya baik berupa
uang atau benda, kecuali bekas istri tersebut qobla al dukhul;
2. Memberi nafkah, maskan dan kiswah kepada bekas istri selama
dalam iddah, kecuali bekas istri telah dijatuhi talak bain atau
nusyuz dan dalam keadaan tidak hamil;
3. Melunasi mahar yang masih terutang seluruhnya, dan setengah
apabila qobla al dukhul;
4. Memberi biaya hadhanah untuk anak-anaknya yang belum
mencapai umur 21 tahun.
Dalam gugatan perceraian yang diajukan oleh istri kepada
suaminya, yang mana perceraian terjadi atas kehendak istri, maka
terdapat hak mut’ah yang hilang yang semestinya diterima oleh istri.
Hal ini dikarenakan mut’ah diberikan kepada istri apabila perceraian
terjadi atas kehendak suami (Abdurrahman, 1992: 152).
Ketentuan lain mengenai hak yang seharusnya diterima oleh
istri kaitannya gugatan perceraian yaitu hak untuk tetap mendapatkan
nafkah selama berlangsungnya proses gugatan perceraian dan hak
untuk mendapatkan nafkah iddah selama masa tunggu untuk terjadinya
rujuk atau tidak. Dalam pasal 156 KHI dijelaskan mengenai akibat
putusnya perkawinan karena perceraian ialah:
1. Anak yang belum mumayyiz berhak mendapatkan hadhanah
(pengasuhan) dari ibunya, kecuali bila ibunya telah meninggal
dunia, maka kedudukannya digantikan oleh:
46
a. Wanita-wanita dalam garis lurus ke atas dari ibu
b. Ayah
c. Wanita-wanita dalam garis lurus ke atas dari ayah
d. Saudara perempuan dari anak yang bersangkutan
e. Wanita-wanita sedarah menurut garis samping dari ibu
f. Wanita-wanita kerabat sedarah menurut garis samping dari
ayah
2. Anak yang sudah mumayyiz berhak memilih untuk mendapatkan
hadhanah dari ayah atau ibunya
3. Apabila pemegang hadhanah ternyata tidak dapat menjamin
keselamatan jasmani dan rohani anak, meskipun biaya nafkah dan
hadhanah telah dicukupi maka atas permintaan kerabat yang
bersangkutan Pengadilan Agama dapat memindahkan hak
hadhanah kepada kerabat lain yang mempunyai hak hadhanah
pula.
4. Semua biaya hadhanah dan nafkah anak menjadi tanggungan ayah
menurut kemampuannya, sekurang-kurangnya sampai anak
tersebut dewasa dan dapat mengurus diri sendiri (21 tahun).
5. Bilamana terjadi perselisihan mengenai hadhanah dan nafkah
anak, Pengadilan Agama memberikan putusannya berdasarkan
poin (1), (2), (3), dan (4).
47
6. Pengadilan dapat pula dengan mengingat kemampuan ayahnya
menetapkan jumlah biaya untuk pemeliharaan dan pendidikan
anak-anak yang tidak turut padanya.
Berdasarkan beberapa akibat putusnya perkawinan yang
dikarenakan perceraian di atas, maka suami ataupun istri harus dapat
mengetahui dan memahami hal tersebut, tentunya untuk menjaga ikatan
perkawinan tetap terjaga dan untuk mewujudkan perkawinan yang bersifat
kekal.
48
BAB III
DATA HASIL PENELITIAN
A. Gambaran Umum Kecamatan Susukan
1. Kondisi dan Potensi Geografis
Kecamatan Susukan merupakan salah satu dari lima kecamatan
yang ada di Kabupaten Semarang dengan bentang alam merupakan
areal dataran, perbukitan dan pegunungan serta memiliki kemiringan
beragam. Kecamatan Susukan terletak pada 7.14’ Lintang Selatan dan
110.41’ Bujur Timur, dengan ketinggian daerah ± 516 m dari
permukaan laut. Luas wilayah Kecamatan Susukan tercatat 4.886.60
Ha. Kecamatan Susukan memiliki batas-batas wilayah :
a. Sebelah Utara : Kecamatan Suruh
b. Sebelah Timur : Kecamatan Boyolali
c. Sebelah Selatan : Kecamatan Kaliwungu
d. Sebelah Barat : Kecamatan Tengaran dan Kab. Boyolali
Kecamatan Susukan terbagi menjadi 13 Desa yaitu Badran,
Timpik, Tawang, Bakalrejo, Ketapang, Susukan, Sidoharjo, Gentan,
Muncar, Ngasinan, Koripan, Kenteng dan Kemetul. Luas Desa dan
jarak Desa ke Kecamatan dapat dilihat dalam tabel berikut:
Tabel 2
Luas dan Jarak Kelurahan ke Kecamatan Susukan
NO KELURAHANLUAS PER DESA
(Ha)
JARAK KE. KEC
(Km)
49
1 Badran 195,4 6,90
2 Timpik 728,6 4,40
3 Tawang 688,1 8,40
4 Bakalrejo 395 6,5
5 Ketapang 316 2
6 Susukan 228,2 0,1
7 Sidoharjo 202 1
8 Gentan 465 3,80
9 Muncar 240,7 13,50
10 Ngasinan 217,4 12,10
11 Koripan 559,1 3,80
12 Kenteng 482,6 5,80
13 Kemetul 168,5 6,80
JUMLAH 4.886,6
Sumber: Kecamatan Susukan Dalam Angka 2015
2. Kondisi Demografis Kecamatan
Penduduk merupakan objek pembangunan sekaligus juga
subyek pembangunan. Oleh karena itu data kependudukan sangat
dibutuhkan dalam penyususnan perencanaan pembangunan. Jumlah
penduduk Kecamatan Susukan adalah sebanyak 49.118 jiwa terdiri
dari:
a. Penduduk laki-laki : 24.706 Jiwa
b. Penduduk perempuan : 24.412 Jiwa
50
c. Sex ratio : 99,42
d. Kepadatan : 884 Jiwa/Km2
Sebaran pendudukan dalam setiap desa dapat dilihat dalam tabel
berikut:
Tabel 3
Rekapitulasi Jumlah Penduduk Kecamatan Susukan
NO DESA LAKI-LAKI PEREMPUAN JUMLAH
1 BADRAN 883 858 1,741
2 TIMPIK 2,606 2,578 5,184
3 TAWANG 2,538 2,495 5,033
4 BAKALREJO 2,382 2,272 4,654
5 KETAPANG 2,379 2,335 4,714
6 SUSUKAN 1,601 1,645 3,246
7 SIDOHARJO 1,411 1,415 2,826
8 GENTAN 3,124 3,097 6,221
9 MUNCAR 1,266 1,224 2,490
10 NGASINAN 1,037 946 1,983
11 KORIPAN 2,399 2,471 4,870
12 KENTENG 2,266 2,255 4,521
13 KEMETUL 814 821 1,635
JUMLAH TOTAL 24,706 24,412 49,118
Sumber: Rekapitulasi Jumlah Penduduk Berdasarkan JenisKelamin. Tanggal 29-01-2018
51
3. Kondisi Transportasi, Pendidikan, Kesehatan, Keagamaan dan
Ekonomi Masyarakat Kecamatan Susukan
a. Aspek Sarana dan Prasarana Transportasi
Sarana dan prasarana transportasi di Kecamatan Susukan
belum memadai. Angkutan umum untuk menuju desa-desa di
wilayah Kecamatan Susukan hanya menjangkau desa sekitar jalan
provinsi itupun dalam jumlah yang sangat terbatas, namun untuk
menjangkau desa-desa yang cukup jauh dari jalan provinsi tersedia
jasa angkutan ojek yang tersedia di pangkalan-pangkalan jalan
provinsi. Kondisi jalan provinsi dan jalan kabupaten telah mulai
diperbaiki dengan konstruksi beton cor maupun aspal, demikian
halnya dengan jalan-jalan poros desa yang juga telah mulai
diperbaiki dengan konstruksi beton cor.
b. Aspek Sarana dan Prasarana Pendidikan
Guna menunjang pendidikan anak dan remaja di
Kecamatan Susukan telah tersedia beberapa lembaga pendidikan,
baik yang berstatus swasta ataupun negeri sebagai berikut:
Tabel 4
Sarana dan Prasarana Pendidikan Kecamatan Susukan
NO URAIAN JUMLAH LEMBAGA
1 TK / RA 32
2 SD / MI 43
3 SMP / MTS 10
52
4 SMA 5
5 SMK 5
6 SLB 1
7 PONPES 13
8 MADIN 24
Tabel 5
Tingkat Pendidikan Masyarakat Kecamatan Susukan
No Tingkat Pendidikan Jumlah
1 Belum Sekolah 10.895
2 Tamat SD 16.299
3 Tamat SLTP 8.673
4 Tamat SLTA 7.939
5 Tamat D-1 / D-2 79
6 Tamat D-3 360
7 Tamat S-1 1.104
8 Tamat S-2 75
Sumber: Rekapitulasi Jumlah Penduduk Berdasarkan Pendidikan.Tanggal 29-01-2018
c. Aspek Sarana dan Prasarana Kesehatan
Kesehatan adalah salah satu perioritas dalam pembangunan
di Kabupaten Semarang. Untuk mewujudkan pembangunan,
pemerintah harus memperhatikan layanan kesehatan di samping
pendidikan. Maka dalam perencanaan pembangunan di Kabupaten
53
Semarang juga memperhatikan pemerataan layanan kesehatan.
Pada tabel 3 berikut ini adalah data fasilitas atau sarana kesehatan
di Kecamatan Susukan:
Tabel 6
Sarana dan Prasarana KesehatanKecamatan Susukan
NO SARANA KESEHATAN JUMLAH KETERANGAN
1 PUSKESMAS 1
2 PUSKESMAS PEMBANTU 4
3 PUSKESDES 8
4 POSYANDU 92
Sumber: Kecamatan Susukan Dalam Angka 2015
d. Aspek Sosial dan Keagamaan
Kesejahteraan masyarakat di Kecamatan Susukan pada
umumnya sudah baik, hal itu erat kaitannya dengan kondisi
ekonomi dan keagamaan masyarakat sekitar. Budaya kerukunan
dalam berbagai bidang kehidupan sosial kemasyarakatan sangat
baik, rasa solidaritas dan gotong royong antar sesama warga yang
merupakan ciri khas budaya masyarakat pedesaan masih sangat
terjaga.
Kondisi keagamaan masyarakat Kecamatan Susukan
sangatlah beragam, mayoritas masyarakat Kecamatan Susukan
adalah pemeluk agama Islam, namun juga terdapat pemeluk-
54
pemeluk agama ataupun kepercayaan lain selain Islam. Namun
rasa saling mengahargai terhadap perbedaan kepercayaan antar
warga sangatlah tinggi sehingga di Kecamatan Susukan jarang
ditemukan konflik yang disebabkan karena permasalahan
perbedaan agama. Berikut adalah tabel yang menunjukkan jumlah
pemeluk agama ataupun kepercayaan di Kecamatan Susukan:
Tabel 7
Jumlah Penduduk Berdasarkan Agama
No Agama/Kepercayaan Jumlah
1 Islam 48.384
2 Kristen 161
3 Katholik 21
4 Budha 546
5 Kepercayaan Lain 6
Sumber: Rekapitulasi Jumlah Penduduk Berdasarkan Agama.Tanggal 29-01-2018
e. Aspek Perekonomian
Mata Pencaharian Masyarakat Kecamatan Susukan dapat
dilihat pada tabel berikut:
Tabel 8
55
Jumlah Penduduk Berdasarkan Pekerjaan
No Sektor Jumlah
1 Belum / Tidak Bekerja 12.032
2 Mengurus RumahTtangga 3.747
3 Pegawai Negeri Sipil 435
4 Perdagangan 315
5 Petani / Pekebun 6.835
6 Karyawan Swasta 8.626
7 Buruh Harian Lepas 3.545
8 Buruh Tani / Perkebunan 367
9 Dosen / Guru 326
10 Wiraswasta 4.942
Sumber: Rekapitulasi Jumlah Penduduk Berdasarkan Pekerjaan.Tanggal 29-01-2018
Dari tabel tersebut dapat dilihat bahwa masyarakat Kecamatan
Susukan memiliki beragam profesi untuk memenuhi kebutuhan
ekonominya, sebagian besar masyarakat Kecamatan Susukan adalah
berprofesi sebagai karyawan swasta, namun yang berprofesi sebagai
56
petani ataupun pekebun dan wiraswasta juga memiliki jumlah yang
cukup banyak.
4. Visi Misi dan Struktur Organisasi Kecamatan Susukan
a. Visi Kecamatan Susukan
Visi merupakan pandangan jauh ke depan, ke mana dan
bagaimana instansi pemerintah harus dibawa dan berkarya agar
konsisten dan dapat eksis, antisipatif , inovatif serta produktif. Visi
adalah suatu gambaran yang menantang tentang keadaan masa
depan, berisikan cita dan citra yang ingin diwujudkan oleh Instansi
Pemerintah. Visi Kecamatan Susukan dapat dijabarkan sebagai
berikut:
‘’TERWUJUDNYA PELAYANAN PRIMA MENUJU
KECAMATAN SUSUKAN YANG MAJU DDAN
SEJAHTERA”
Pemahaman atas pernyataan visi tersebut mengandung
makna menciptakan pelayanan optimal dengan terjalinnya sinergi
yang dinamis antara seluruh aparatur Kecamatan Susukan dengan
seluruh Pemerintah Desa serta masyarakat dalam merealisasikan
seluruh peran dan fungsi masing-masing secara terpadu dan
berkelanjutan. Secara filosofi visi tersebut dapat dijabarkan melalui
makna yang terkandung di dalamnya, yaitu:
1) Pelayanan Prima adalah segala kegiatan pelayanan yang
dilaksanakan oleh penyelenggara pelayanan publik (Kecamatan
57
Susukan) harus dinamis dan meningkat sesui dengan harapan
masyarakat atau pelanggan.
2) Maju adalah mencapai keadaan yang lebih baik, setara atau
lebih baik dari tempat lain, dari sisi pelayanan pemerintah,
pembangunan dan kemasyarakatan.
3) Sejahtera adalah menggambarkan derajat kehidupan
masyarakat yang meningkat dengan terpenuhinya kebutuhan
dasar pendidikan, kesejahteraan, keamanan, sarana prasarana
publik, sosial dan religius.
b. Misi kecamatan Susukan
Untuk mewujudkan Visi Kecamatan Susukan di masa
mendatang, maka ditetapkan Misi sebagai berikut :
1) Meningkatkan Kualitas Pelayanan Publik Dan Kinerja
Pelayanan
Misi ini adalah untuk menciptakan suatu pemerintahan
yang mampu memberikan pelayanan yang berkualitas kepada
masyarakat dengan ditopang oleh sumber daya aparatur yang
memiliki kompetensi dalam memberikan pelayanan optimal
kepada masyarakat.
2) Meningkatkan Kinerja Pembangunan Yang Berbasis Pada
Masyarakat Dan Berwawasan Lingkungan
Misi ini digunakan untuk menciptakan suatu sistem
pembangunan yang bersumber pada inisiatif, prakarsa antara
58
pemerintah dan masyarakat serta berorientasi pada kelestarian
lingkungan. Agar visi dan misi dapat dilaksanakan dengan
baik, maka harus diketahui apa yang menjadi kekuatan dan
kelemahan organisasi dengan melalui analisa lingkungan, baik
terhadap kondisi eksternal maupun kondisi internal organisasi.
c. Fungsi dan Struktur Organisasi Kecamatan
Struktur organisasi pemerintahan kecamatan sesuai
Peraturan Daerah Kabupaten Semarang Nomor 4 Tahun 2011
tentang Perubahan atas Peraturan Daerah Kabupaten Semarang
Nomor 20 Tahun 2008 tentang Organisasi dan Tata Kerja
Kecamatan dan Kelurahan di Kabupaten Semarang sebagai
berikut:
1) Camat
2) Sekretaris Camat
3) Seksi Tata Pemerintahan
4) Seksi Pembangunan dan Pemberdayaan Masyarakat dan Desa
5) Seksi Ketentraman dan Ketertiban Umum
6) Seksi Kesejahteraan Rakyat
7) Kelompok Jabatan Fungsional
Struktur Organisasi Kecamatan dapat dilihat dalam bagan berikut :
Bagan 1
Bagan Struktur Organisasi Kecamatan Susukan
Camat
59
Sumber: Perda Kabupaten Semarang No. 4 Tahun 2011
Adapun rincian tugas pokok sebagai berikut :
a) Camat melaksanakan kewenangan pemerintahan yang
dilimpahkan oleh bupati untuk menangani sebagian urusan
otonomi daerah.
b) Sekertaris camat melaksanakan sebagian tugas Camat di
sebagian bidang penyusunan perencanaan, pengelolaan
administrasi keuangan, administrasi umum dan administrasi
kepegawaian.
c) Kasi Tata Pemerintahan melaksanakan sebagian tugas Camat di
bidang tata pemerintahan.
d) Kasi Pembangunan, Pemberdayaan Masyarakat dan Desa
melaksanakan sebagian tugas Camat di bidang pembangunan,
pemberdayaan masyarakat dan desa.
KasiKesejahteraanRakyat
Kasi ketentramandan KetertibanUmum
Sekertaris camat
KasiPembangunan danpembangunn
Kelompok JabatanFungsional
Kasi TataPemerintahan
60
e) Kasi Kesejahteraan Rakyat melaksanakn sebagian tugas Camat
di bidang kesejahteraan rakyat.
f) Kasi Ketentraman dan Ketertiban Umum melaksanakan
sebagian tugas Camat di bidang ketentraman dan ketertiban
umum.
B. Profil Keluarga yang Melakukan Gugat Cerai
1. Ibu Mutia dan Bapak Triyanto
Dia tinggal di Dusun Galangan Rt 04/05, Desa Gentan,
Kecamatan Susukan, berumur 46 tahun dan berprofesi sebagai buruh
tani yang penghasilannya tidak tetap dan tidak menentu, latar belakang
pendidikannya adalah Sekolah Dasar (SD), yang mana pada saat itu
kondisi ekonomi membuat Ibu Mutia tidak dapat melanjutkan
pendidikan kejenjang yaang lebih tinggi, sedangkan suaminya bernama
Bapak Triyanto yang telah berumur 45 tahun dan bekerja sebagai
buruh harian lepas, latar belakang pendidikannya adalah Sekolah
Dasar (SD) , sebelum menikah Ibu Mutia adalah seorang karyawan di
sebuah perusahaan yang menghantarkan beliau berkenalan dengan
suaminya tersebut, dia dan suami melangsungkan pernikahan pada usia
21 tahun dan suaminya 22 tahun, pernikahan Ibu Mutia dengan
suaminya berlangsung pada tanggal 14 Juni 1993 dan hidup bersama-
sama selama kurang lebih 20 tahun dan dikaruniai 2 orang anak.
2. Ibu Siti Puji Astutik dan Bapak Sutanto
61
Dia tinggal di Dusun Krasaksari Rt 02/07, Desa Koripan,
Kecamatan Susukan, berumur 23 tahun dan pendidikan terakhirnya
adalah Sekolah Menengah Atas (SMA), suami Ibu Puji adalah Bapak
Sutanto yang berumur 35 tahun, memiliki latar belakang pendidikan
Sekolah Menengah Pertama (SMP) dan berprofesi sebagai pedagang.
Setelah lulus dari sekolah, Ibu Puji memutuskan untuk bekerja dan
berselang beberapa tahun kemudian Ibu Puji memutuskan untuk
melangsungkan pernikahan dengan Bapak Sutanto yang menjadi
teman kerjanya, meskipun usia mereka terpaut tiga belas tahun namun
tidak menghalangi mereka untuk membangun sebuah keluarga, setelah
kurang lebih satu bulan berkenalan, mereka pun memutuskan untuk
menikah, Ibu Puji melangsungkan pernikahan pada umur 20 tahun dan
suaminya 33 tahun, dan pernikahan tersebut berlangsung pada tanggal
31 Mei 2015, dan selama pekawinan beliau dikaruniai seorang anak
laki-laki.
3. Ibu Sulistyowati dan Bapak Firman Syah
Ibu Sulistyowati bekerja sebagai karyawati konveksi, tinggal di
Dusun Bulu Rt 05/05, Desa Gentan, Kecamatan Susukan, umur Ibu
Sulis adalah 29 tahun, pendidikan terakhirnya adalah Sekolah
Menengah Kejurusan (SMK). Dia melangsungkan perkawinannya di
usia 23 tahun dan suaminya di usia 24 tahun, suami Ibu Sulis adalah
seorang wiraswasta yang merupakan lulusan dari Sekolah Menengah
Atas (SMA), pernikahan mereka berlangsung pada tanggal 22 Maret
62
2012. Selama berkawinannya yang kurang lebih tiga tahun, Ibu
Sulistyowati telah dikaruniai seorang anak laki-laki.
4. Ibu Sri Rahayu dan Bapak Dwi Ismanta
Ibu Sri Rahayu merupakan sosok perempuan yang berumur 23
tahun, bekerja sebagai seorang karyawati di sebuah perusahaan yang
bergerak di bidang tekstil, dia tinggal di Dusun Kauman Rt 01/06,
Desa Timpik, Kecamatan Susukan, pendidikan terakhirnya adalah
Sekolah Lanjutan Tingkat Atas (SLTA) yang berada di desa tersebut,
sedangkan suaminya adalah Bapak Dwi Ismanta yang berusia satu
tahun lebih tua dari Ibu Sri, latar belakang pendidikannya adalah
Sekolah Dasar (SD) dan bekerja sebagai buruh serabutan, Ibu Sri
memutuskan untuk menikah di usia yaitu 20 tahun dan suami berusia
21 tahun, pernikahannya berlangsung pada 22 Maret 2015 dan telah
dianugerahi seorang anak laiki-laki.
5. Ibu Ida Nur Janah dan Bapak Sukiran
Ibu Ida bertimpat tinggal di Dusun Petak Rt 03/01, Desa
Sidoharjo, Kecamatan Susukan, usianya 48 tahun, pendidikannya
adalah seorang Sarjana (S1) dari sebuah Perguruan Tinggi di
Kabupaten Semarang. Sedangkan suaminya adalah Bapak Sukiran
yang berusia 50 tahun yang merupakan teman kuliah Ibu Ida, dia
merupakan seorang lulusan Sarjana (S1) dari Perguruan Tinggi yang
sama dengan Ibu Ida dan berprofesi sebagai karyawan swasta. Pada
tanggal 30 Januari 1988 Ibu Ida melangsungkan pernikahan dengan
63
Bapak Sukiran di usia 20 tahun dan suami berusia 22 tahun, selama
perkawinannya yang kurang lebih selama 18 tahun, Ibu Ida telah
dikaruniai tiga orang anak laki-laki.
6. Ibu Ayu Anis Utmawati dan Bapak Juni Agus Triyanto
Ibu Anis berdomisili di Dusun Tawang 4 Rt 02/04, Desa
Tawang, Kecamatan Susukan. Semula dia tinggal di Kecamatan
Banyumanik, Kota Semarang yang kemudian berdomisili di rumah
kakaknya di Dusun Tawang 4, pendidikan terakhir Ibu Anis adalah
Sekolah Menengah Umum (SMU), di usia muda yaitu 18 tahun Ibu
Anis melangsungkan pernikahan dengan Bapak Agus yang pada saat
itu berusia 21 tahun, yang berpendidikan Sekolah Menengah Pertama
(SMP), suaminya merupakan seorang karyawan dari sebuah pabrik
roti, pernikahan tersebut berlangsung pada tahun 2012. Selama
perkawinannya yang kurang lebih selama 5 tahun, Ibu Anis dan
suaminya telah dikaruniai seorang anak laki-laki yang telah menginjak
usia lima tahun.
7. Ibu Erna Mulyani dan Bapak Sabar Subagio
Dia tinggal di Dusun Dalaman Rt 27/07, Desa Kenteng,
Kecamatan Susukan. Ibu Erna berusia 29 tahun, pendidikan
terakhirnya adalah Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama (SLTP). Ibu
Erna melangsungkan pernikahannya yaitu di tahun 2010 yang mana
pada saat itu usianya adalah 22 tahun dan suami berusia 41 tahun. Dia
menikah dengan seorang laki-laki yang bernama Bapak Sabar,
64
berprofesi sebagai seorang terapi dan merupakan seorang lulusan dari
Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama (SLTP) , perkenalan Ibu Erna
berawal ketika dia melakukan pengobatan terapi dengan laki-laki
tersebut, meskipun usia antara Ibu Erna dengan sumainya terpaut
cukup jauh yaitu 19 tahun namun bukan menjadi hambatan untuk tetap
menjalin komunikasi dan membangun rumah tangga dengannya.
Selama perkawinannya yang kurang lebih empat tahun, Ibu Erna dan
suami telah dikaruniai seorang anak laki-laki. Selama perkawinannya
beliau juga pernah menjadi seorang Tenaga Kerja Wanita (TKW) di
Taiwan untuk membantu perekonomian keluarganya.
8. Ibu Dwi Lestari dan Bapak Joko Wahyudi
Ibu Dwi merupakan sosok perempuan yang berprofesi sebagai
wiraswasta, berpendidikan Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama (SLTP),
dia tinggal di Dusun Krajan Rt13/03, Desa Kemetul, Kecamatan
Susukan, usianya telah menginjak 32 tahun. Suaminya bernama Bapak
Joko yang bekerja sebagai wiraswasta dan memiliki latar belakng
pendidikan yang sama dengan Ibu Dwi, suaminya telah menginjak usia
34 tahun. Pada tahun 2005 tepatnya tanggal 02 Februari antara Ibu
Dwi dan Bapak Joko melangsungkan pernikahan, di mana usia Ibu
Dwi pada saat itu adalah 20 tahun dan suami berusia 22 tahun. Selama
menjalani biduk rumah tangga yang kurang lebih 10 tahun, Ibu Dwi
dan suami telah dianugerahi seorang anak perempuan dan seorang
anak laki-laki.
65
C. Faktor- Faktor Perceraian
Setiap perceraian antara suami dan istri tentunya selalu disebabkan
oleh faktor-faktor yang mendorong terjadinya perceraian, dengan adanya
faktor-faktor tersebut suami atau istri dapat mengajukan cerai talak
ataupun gugat cerai ke Pengadilan Agama. Faktor perceraian merupakan
masalah yang menjadi penyebab kerusakan atau putusnya sebuah
perkawinan, penyebab perceraian tentunya sangat beragam. Permasalahan
yang muncul dalam sebuah rumah tangga merupakan hal yang wajar,
karena menyatukan dua insan dalam sebuah ikatan yang suci bukanlah hal
yang mudah jika tidak didasarkan pada tujuan yang sama. Permasalahan
yang muncul tentunya harus diselesaikan bersama-sama untuk menjaga
keharmonisan dan keutuhan dalam berumah tangga. Berikut ini adalah
tabel yang menunjukkan faktor –faktor penyebab gugatan perceraian yang
dilakukan istri kepada suaminya berdasarkan beberapa responden di
Kecamatan Susukan.
Tabel 9
Faktor-Faktor Perceraian Pelaku Gugat Cerai
NO NAMA FAKTOR PERCERAIAN
1 Ibu Mutia Ekonomi
Terdapat pihak ketiga yang telah dinikahi
2 Ibu Siti Puji Astutik Terjadi kesalahpahaman, istri diduga
mempunyai pihak ketiga namun dalam
kenyataannya tidak benar sehingga suami
66
meninggalkannya
3 Ibu Sulistyowati Terdapat pihak ketiga
Terdapat tindak pidana yang dilakukan
oleh suami
4 Ibu Sri Rahayu Ekonomi
Tidak bertanggung jawab dalam memberi
nafkah
5 Ibu Ida Nur Janah Terdapat pihak ketiga
Suami pergi meninggalkannya tanpa kabar
hingga puluhan tahun
6 Ibu Ayu Anis. U Tidak mampu mencukupi ekonomi
Tidak ada perhatian dan kasih sayang
Percekcokan dan perselisihan
7 Ibu Erna Mulyani Suami pergi tanpa memberi kabar
Komunikasi yang terputus
Kekerasan dalam rumah tangga
Adanya unsur penipuan
8 Ibu Dwi Lestari Ekonomi
Tidak bertanggung jawab
Tidak dapat memenuhi kebutuhan
Sering pergi tanpa kabar secara berulang-
ulang tanpa kejelasan
67
D. Pemahaman Pelaku Gugat Cerai terhadap Akibat Hukumnya
Pemahaman terhadap suatu tindakan hukum merupakan suatu hal
yang semestinya harus diketahui dan dimengerti oleh setiap warga negara
Indonesia termasuk di dalamnya mengenai akibat-akibat hukum dari
sebuah tindakan hukum. Hal ini dimaksudkan agar pelaku tindakan hukum
tersebut mengetahui akibat-akibat hukum yang diterimanya serta untuk
menghindari hal-hal yang justru dapat merugikannya. Akibat hukum dari
sebuah tindakan hukum tentunya dapat berupa hak atau kewajiban yang
harus diterima atau harus dikerjakan. Gugatan perceraian merupakan
sebuah tindakan hukum yang mana seorang istri menjadi subjek atau
orang yang berperan aktif atas tindakan hukum yang dilakukannya. Tabel
berikut ini menunjukkan pemahaman istri pelaku gugat cerai di terhadap
akibat hukumnya Kecamatan Susukan serta akibat hukum yang
diterimanya adalah sebagai berikut:
Tabel 10
Pemahaman Istri Terhadap Akibat Hukum Gugatan Perceraian dan Akibat
Hukumnya
Pemahaman Mengenai Akibat
Hukum Gugatan PerceraianNo Nama
Mengetahui Tidak
1 Ibu Mutia - Tidak
2 Ibu Siti Puji Astutik - Tidak
68
3 Ibu Sulistyowati - Tidak
4 Ibu Sri Rahayu - Tidak
5 Ibu Ida Nur Janah - Tidak
6 Ibu Ayu Anis. U - Tidak
7 Ibu Erna Mulyani - Tidak
8 Ibu Dwi Lestari - Tidak
Ketidakpahaman istri pelaku gugat cerai terhadap akibat hukumnya
disebabkan oleh beberapa faktor, di antaranya:
1. Tingkat pendidikan yang rendah
2. Kurangnya sosialaisasi mengenai akibat hukum perceraian
3. Tingkat kesadaran hukum yang rendah
Tabel 11
Akibat Hukum Pelaku Gugat Cerai
No NamaNafkahIddah
NafkahMut’ah
HakHadhanah
NafkahAnak
1 Ibu Mutia - -
2 Ibu Siti Puji Astutik - - -
3 Ibu Sulistyowati - - -
4 Ibu Sri Rahayu - - -
5 Ibu Ida Nur Janah - - -
6 Ibu Ayu Anis. U - - -
7 Ibu Erna Mulyani - - -
69
8 Ibu Dwi Lestari - -
E. Upaya Hukum yang Dilakukan Istri untuk Mendapatkan Hak-
Haknya Kembali
Dalam sebuah kasus gugat cerai ataupun cerai talak, terdapat hak-
hak istri yang dapat dimintakan kepada suami dengan melalui prosedur
hukum. Di dalam Undang-Undang Nomor 7 tahun 1989 mengenai
Peradilan Agama memberikan hak untuk mengajukan gugatan komulasi,
yaitu istri dapat mengajukan gugatan perceraian secara komulasi dengan
penguasaan anak, nafkah anak, nafkah istri dan harta bersama suami istri,
atau dapat diajukan sesudah putusan perceraian memperoleh kekuatan
hukum tetap. Seperti halnya istri, suami juga dapat mengajukan
permohonan talak yang dikomulasikan dengan permohonan penguasaan
anak, nafkah anak, nafkah istri dan harta bersama atau dapat diajukan
setelah pelaksanaan ikrar talak suami kepada istri. Pada tabel berikut
menunjukkan pemahaman istri di Kecamatan Susukan terhadap upaya
hukum untuk mendapatkan hak-haknya dan tindakan upaya hukum yang
dilakukannya.
Tabel 12
Pemahaman dan Upaya Hukum yang Dilakukan Istri
No NamaPaham Tentang
Upaya Hukum
Upaya Hukum
Komulasi
1 Ibu Mutia Tidak - Tidak -
70
2 Ibu Siti Puji Astutik - Paham Tidak -
3 Ibu Sulistyowati Tidak - Tidak -
4 Ibu Sri Rahayu Tidak - Tidak -
5 Ibu Ida Nur Janah Tidak - Tidak -
6 Ibu Ayu Anis. U - Paham Tidak -
7 Ibu Erna Mulyani - paham Tidak -
8 Ibu Dwi Lestari Tidak - Tidak -
F. Latar Belakang dan Duduk Perkara Gugatan Perceraian
1. Ibu Mutia
Pada tahun 1993 Ibu Mutia melangsungkan pernikahannya
dengan suaminya yang dicatatkan oleh Pegawai Pencatat Nikah Kantor
Urusan Agama Kecamatan Simo, Kabupaten Boyolali. Setelah
pernikahan Ibu Mutia memutuskan untuk tinggal bersama keluarga
suaminya di Desa Gentan, Kecamatan Susukan selama tiga tahun.
Kemudian Ibu Mutia dan suami membangun rumah di wilayah
tersebut yang kemudian menjadi rumah kediaman bersama selama 20
tahun. Selama pernikahan Ibu Mutia telah dikaruniai 2 orang anak
laki-laki, yang mana anak tersebut sekrang ikut bersama Ibu Mutia.
Seiring berjalannya waktu hubungan suami istri antara Ibu Mutia
dengan suaminya mulai goyah yang disebabkan perselisihan dan
perbedaan pendapat, hingga pada bulan Januari 2016 antara Ibu Mutia
dengan suaminya pisah rumah, dia tetap tinggal di rumah kediaman
71
bersama dan suaminya tinggal bersama orang tuanya. Selama pisah
rumah suaminya tidak pernah memperdulikan atau mengurusi Ibu
Mutia, suami pun juga tidak memberikan nafkah kepada Ibu Mutia
yang masih menjadi kewajibannya.
2. Ibu Siti Puji Astutik
Pada bulan Mei 2015 Pegawai Pencatat Nikah Kantor Urusan
Agama Kecamatan Susukan telah mencatat pernikahan yang
dilangsungkan oleh Ibu Puji dengan suaminya. Setalah menikah Ibu
Puji bersama suamiya tinggal secara berpindah-pindah, terkadang
tinggal di rumah orang tua suaminya dan kadang juga tinggal di rumah
orang tuanya sendiri. Terakhir tinggal bersama yaitu di rumah orang
tua Ibu Puji selama 6 bulan. Selama perkawinannya telah dikaruniai
seorang anak laki-laki yang ikut bersama Ibu Puji. Terjadinya
kesalahapahaman anatara suaminya dengan Ibu Puji mengakibatkan
goyahnya hubungan rumah tangga mereka, hingga pada bulan
November tahun 2015 Ibu Puji dan suami pisah rumah, suami pulang
kerumah orang tuanya di Ampel dan Ibu Puji tetap tinggal di rumah
orang tuanya di Susukan. Selama pisah rumah suaminya tidak pernah
memperdulikan atau mengurusi Ibu Puji, suami pun juga tidak
memberikan nafkah kepada Ibu Puji yang masih menjadi
kewajibannya.
3. Ibu Sulistyowati
72
Ibu Sulis melangsungkan pernikahannya dengan suaminya yaitu
pada bulan Maret tahun 2012 yang dicatat oleh Pegawai Pencatat
Nikah Kantor Urusan Agama Kecamatan Susukan. Setelah
melangsungkan pernikahan, Ibu Sulis tinggal bersama suaminya di
Lampung selama kurang lebih satu tahun, kemudian pindah ke rumah
orang tua Ibu Sulis di Susukan selama tiga tahun, selama
perkawinannya telah dikaruniai seorang anak laki-laki yang lahir pada
tahun 2014 dan sekarang anak tersebut ikut bersama Ibu Sulis. Pada
pertengahan tahun 2016 ketentraman rumah tangga Ibu Sulis mulai
goyah, hingga pada bulan Januari tahun 2017 antara Ibu Sulis dan
suaminya pisah rumah, suami berada di Lapas II A Ambarawa dan Ibu
Sulis tinggal bersama orang tuanya. Akibat suaminya berada di Lapas
maka secara otomatis suami tidak dapat mengurusi dan memberi
nafkah kepada Ibu Sulis, keberadaan suami di Lapas II A Ambarawa
merupakan kedua kalinya, sebelumnya suami Ibu Sulis berda di Lapas
II A Boyolali.
4. Ibu Sri Rahayu
Pada bulan Maret 2015 Ibu Sri melangsungkan pernikahan
dengan suaminya yang dicatatkan oleh Pegawai Pencatat Nikah Kantor
Urusan Agama Kecamatan Susukan. Setelah menikah Ibu Sri
bertempat tinggal secara berpindah-pindah, baik di rumah orang tua
suaminya maupun di rumah orang tuanya sendiri, sebelum berpisah
dengan suaminya terakhir bertempat tinggal di rumah orang tua Ibu Sri
73
selama kurang lebih tiga bulan. Selama perkawinannya Ibu Sri dan
suami telah hidup bersama-sama selayaknya suami istri dan telah
dianugerahi seorang anak laki-laki, anak tersebut sekarang berada di
bawah asuhan Ibu Sri. Pada masa-masa awal penikahannya,
ketentraman dan keharmonisan rumah tangga antara beliau dengan
suaminya tidak terwujud, yang mana sering terjadi perselisihan dan
pertengkaran yang secara terus menerus yang disebabkan karena Ibu
Sri merasa bahwa suaminya kurang memberikan rasa tanggung jawab
sebagai kepala keluarga dan tidak bisa mencukupi kebutuhan ekonomi
keluarga. Hal tersebut terjadi secara terus menerus hingga pada
puncaknya antara Ibu Sri dan suaminya pisah rumah, suami pulang ke
rumah orang tuanya yang berada di Desa Badran sedangkan Ibu Sri
tetap berada di rumah orang tuanya, pisah rumah tersebut berlangsung
selama dua tahun hingga pada akhirnya dia memutuskan untuk
menggugat cerai suaminya. Selama pisah rumah suami Ibu Sri sudah
tidak memperdulikan dan mengurusi serta tidak memberikan nafkah
wajib kepadanya.
5. Ibu Ida Nur Janah
Pada bulan Januari 1988 antara Ibu Ida dan suaminya
melangsungkan pernikahannya di Kecamatan Susukan yang telah
dicatat oleh Pegawai Pencatat Nikah Kantor Urusan Agama setempat.
Setelah menikah Ibu Ida ikut bersama suami tinggal di rumah orang
tua suaminya di Kendal kurang lebih selama satu tahun, kemudian Ibu
74
Ida dan suaminya memutuskan untuk pindah ke rumah orang tua Ibu
Ida yang berada di Kecamatan Susukan kurang lebih selama 18 tahun,
namun selama berada di rumah orang tua Ibu Ida, suami jarang berada
di rumah, hingga puncaknya pada pertengahan tahun 2007 suami Ibu
Ida pergi tanpa izin, tidak diketahui kemana perginya, tidak diketahui
keberadaannya serta tidak kembali. Ibu Ida telah berusaha untuk
mencari keberadaan suaminya baik di tempat kerja maupun di rumah
orang tuanya, namun tidak berhasil. Selama perkawinannya Ibu Ida
telah dianugerahi tiga orang anak laki-laki yang lahir pada tahun 1989,
1991, 1994. Mengingat anak-anaknya yang masih kecil pada saat itu
Ibu Ida memutuskan untuk bertahan dan mengharap suaminya dapat
kembali, namun pada akhirnya di tahun 2016 Ibu Ida mengajukan
gugatan perceraian kepada suaminya yang tak kunjung kembali.
6. Ibu Ayu Anis Utmawati
Ibu Ayu dan suaminya melangsungkan pernikahannya
dihadapan dan dicatat oleh Pegawai Pencatat Nikah Kantor Urusan
Agama Kecamatan Banyumanik pada tahun 2012. Setelah menikah
antara Ibu Ayu dan suaminya hidup secara rukun, harmonis dan
tinggal bersama di rumah orang tua suami di Banyumanik selama
kurang lebih lima tahun. Selama pernikahannya Ibu Ayu dikaruniai
seorang anak laki-laki yang telah berumur lima tahun, anak tersebut
sekarang bersama Ibu Ayu. Semenjak anak lahir, mulailah terjadi
perselisihan dan percekcokan secara terus menerus yang disebabkan
75
oleh berbagai faktor, hingga pada awal tahun 2017 Ibu Ayu diusir dari
rumah dan dalam keadaan terpaksa Ibu Ayu pun pulang kerumah
kakaknya yang berada di Desa Tawang Kecamatan Susukan. Keadaan
yang seperti ini membuat rumah tangga Ibu Ayu semakin tidak
membaik, beliau semakin mengalami tekanan batin dan menderita,
selama pisah rumah suami sudah tidak memperdulikan dan mengurusi
serta tidak memberi nafkah wajib kepada Ibu Ayu, setelah lima bulan
berlalu akhirnya Ibu Ayu memutuskan untuk menggugat cerai suami
karena merasa sudah tidak sanggup lagi untuk meneruskan hubungan
rumah tangganya dan tidak ada jalan lain kecuali bercerai, meskipun
kedua pihak keluarga sudah berulang kali untuk menasehati namun
tidak berhasil.
7. Ibu Erna Mulyani
Ibu Erna telah melangsungkan pernikannya dengan suaminya di
Kecamatan Mangkang, Kota Semarang dan telah dicatat oleh Pegawai
Pencatatn Nikah Kantor Urusan Agama setempat, pernikahan tersebut
berlangsung pada pertengahan tahun 2010. Setelah menikah Ibu Erna
dan suami bertempat tinggal di rumah orang tuanya Ibu Erna kurang
lebih selama dua tahun, selama perkawinan Ibu Erna dikaruniai
seorang anak laki-laki. Namun sejak awal tahun 2013 mulailah terjadi
perselisihan dan pertengkaran yang terus menerus yang sulit untuk
didamaikan, Ibu Erna yang terkadang mengingatkan suaminya agar
tidak lalai dalam tanggung jawab, namun terkadang menimbulkan
76
pertengkaran, hingga pada puncaknya pertengahan tahun 2014 suami
meninggalkan rumah kediaman bersama tanpa sepengetahuan Ibu
Erna, Ibu Erna pun juga memutuskan untuk kembali ke rumah orang
tuanya di Desa Kenteng. Selama pisah tersebut suami tidak
memperdulikan dan tidak pernah memberikan apapun sebagai nafkah
kepada Ibu Erna yang masih menjadi istrinya. Ibu Erna telah berusaha
untuk mengajak suami kembali ke rumah kediaman bersama dan
membina rumah tangga kembali namun suami selalu menolak.
Akhirnya Ibu Erna mengajukan gugatan perceraian kepada suami pada
tahun 2016.
8. Ibu Dwi Lestari
Pada awal tahun 2005 Ibu Dwi dan suami melangsungkan
pernikahan dihadapan dan dicatat oleh Pegawai Pencatat Nikah Kantor
Urusan Agama Kecamatan Susukan. Setelah menikah Ibu Dwi ikut
bersama suami tinggal di rumah orang tua suami di salah satu desa di
Kecamatan Kaliwungu selama kurang lebih 10 tahun 1 bulan hidup
secara rukun dan harmonis. Selama waktu tersebut telah dianugerahi
seorang anak perempuan dan seorang anak laki-laki, kedua anak
tersebut sekarang tinggal bersama Ibu Dwi. Ketentraman rumah tangga
Ibu Dwi mulai goyah yaitu pada awal tahun 2015 yang mana sering
terjadi pertengkaran dan perselisihan yang dikarenakan suami kurang
memberikan tanggung jawab kepada keluarga. Hal tersebut terjadi
terus menerus hingga pada puncaknya yaitu bulan September 2015,
77
Ibu Dwi memutuskan untuk pisah rumah dengan suaminya dan
kembali ke rumah orang tuanya di Desa Kemetul dan suaminya tetap
tinggal di Kaliwungu. Hal tersebut berlangsung selama dua tahun
hingga Ibu Dwi mengajukan gugatan perceraian yaitu pada akhir 2017
dan masih dalam keadaan pisah rumah. Selama pisah rumah tersebut
suami tidak pernah memperdulikan dan mengurusi keluarganya serta
tidak memberikan nafkah wajib kepada beliau.
Tabel 13
Kutipan Nomor Akta Nikah dan Nomor Salinan Putusan
No NamaKutipan Akta
Nikah Nomor
Salinan Putusan
Nomor
1 Ibu Mutia 134/43/VI/1993
Kec. Simo
0709/Pdt.G/2017/P
A. Sal
2 Ibu Siti Puji Astutik 0174/43/V/2015
Kec. Susukan
0707/Pdt.G/2017/P
A. Sal
3 Ibu Sulistyowati 122/50/III/2012
Kec. Susukan
0644/Pdt.G/2017/P
A. Sal
4 Ibu Sri Rahayu 0083/12/III/2015
Kec. Susukan
0806/Pdt.G/2017/P
A. Sal
5 Ibu Ida Nur Janah 31/431/I/1988
Kec. Susukan
0996/Pdt.G/2016/P
A. Sal
6 Ibu Ayu Anis. U 0567/042/IX/201
2 Kec.
Banyumanik
0484/Pdt.G/2017/P
A. Sal
7 Ibu Erna Mulyani 679/16/VII/2010
Kec. Mangkang
1197/Pdt.G/2016/P
A. Sal
8 Dwi Lestari 71/02/II/2005 0972/Pdt.G/2017/P
78
Kec. Susukan A. Sal
BAB IV
ANALISIS PEMAHAMAN ISTRI PELAKU GUGAT CERAI
TERHADAP AKIBAT HUKUMNYA
A. Faktor-Faktor Gugatan Perceraian Istri terhadap Suami
Hubungan perkawinan dapat putus karena disebabkan beberapa hal
salah satunya yaitu karena perceraian, baik perceraian yang diajukan oleh
suami kepada istri (cerai talak) ataupun sebaliknya (gugat cerai). Di dalam
mengajukan suatu perceraian maka harus disertai alasan-alasan yang
menjadi faktor penyebab ketidakharmonisan dan ketidakrukunan
hubungan perkawinan.
Di dalam Undang-Undang Perkawinan No. 1 Tahun 1974 pasal 39
(2) ditegaskan bahwa untuk melakukan perceraian harus disertai alasan
yang menunjukkan bahwa suami istri tidak dapat hidup rukun sebagai
suami istri. Alasan-alasan perceraian tersebut diantaranya:
1. Salah satu pihak berbiat zina menjadi pemabuk, pemadat, penjudi dan
lain sebagainya yang sukar disembuhkan.
2. Salah satu pihak meninggalkan yang lain selama 2 tahun berturut-turut
tanpa izin pihak lain dan tanpa alasan yang sah atau karena hal lain di
luar kemauannya.
79
3. Salah satu pihak mendapatkan hukuman penjara 5 tahun atau hukuman
yang lebih berat setelah perkawinan berlangsung.
4. Salah satu pihak melakukan kekejaman atau penganiayaan berat yang
membahayakan terhadap pihak yang lain.
5. Salah satu pihak mendapat cacat badan atau penyakit yang
mengakibatkan tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai suami
atau istri.
6. Antara suami dan istri secara terus-menerus terjadi perselisihan dan
pertengkaran dan tidak ada harapan untuk hidup rukun lagi dalam
rumah tangga.
Sedangkan dalam Kompilasi Hukum Islam pasal 116 menyebutkan
bahwa perceraian dapat terjadi karena alasan-alasan sebagai berikut:
1. Salah satu pihak berbuat zina, menjadi pemabuk, pemadat, penjudi dan
lain sebagainya yang sukar disembuhkan.
2. Salah satu pihak meninggalkan yang lain selama 2 tahun berturut-turut
tanpa izin pihak lain dan tanpa alasan yang sah atau karena hal lain di
luar kemauannya.
3. Salah satu pihak mendapatkan hukuman penjara 5 tahun atau hukuman
yang lebih berat setelah perkawinan berlangsung.
4. Salah satu pihak melakukan kekejaman atau penganiayaan berat yang
membahayakan terhadap pihak yang lain.
80
5. Salah satu pihak mendapat cacat badan atau penyakit yang
mengakibatkan tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai suami
atau istri.
6. Antara suami dan istri secara terus-menerus terjadi perselisihan dan
pertengkaran dan tidak ada harapan untuk hidup rukun lagi dalam
rumah tangga.
7. Suami melanggar taklik-talak.
8. Peralihan agama atau murtad yang menyebabkan ketidakrukunan
dalam rumah tangga.
Adapun sighat taklik-talak diatur dalam Peraturan Menteri Agama
No. 2 Tahun 1990 yang isinya adalah:
1. Meninggalkan istri tersebut dua tahun berturut-turut.
2. Atau tidak memberi nafkah wajib kepadanya tiga bulan lamanya.
3. Atau menyakiti badan atau jasmani istri.
4. Atau membiarkan (tidak memperdulikan) istri selama enam
bulan lamanya.
Kasus gugatan perceraian yang dilakukan istri terhadap suaminya
di Kecamatan Susukan berdasarkan tabel 9 menunjukkan bahwa seorang
istri di dalam mengajukan gugatan perceraian menyertakan lebih dari satu
alasan perceraian.
Faktor ekonomi dan tidak bertanggung jawab dalam memenuhi
nafkah menjadi faktor penyebab tertinggi terjadinya gugatan perceraian
yaitu dengan empat kasus. Faktor ekonomi yang menyebabkan gugatan
81
perceraian tersebut karena suami tidak bekerja, suami bekerja namun tidak
dapat mencukupi kebutuhan istri serta suami bekerja namun tidak mau
mencukupi kebutuhan istri (pelit). Hal ini mengakibatkan terjadinya
perselisihan dan pertengkaran yang menyebabkan hubungan suami istri
menjadi tidak harmonis. Dalam Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 pasal
34 (1) secara tegas menyebutkan bahwa suami berkewajiban untuk
melindungi dan menjaga serta memenuhi segala keperluan dan kebutuhan
istrinya sesuai dengan kemampuannya. Berdasarkan pasal tersebut seorang
suami haruslah menyadari akan tanggung jawabnya untuk bekerja dan
memberikan nafkah kepada istrinya. Menafkahi keluarga dengan benar
adalah salah satu kewajiban utama seorang kepala keluarga dan dengan
inilah dia disebut pemimpin bagi keluarganya. Allah SWT telah berfirman
dalam Al Qur’an QS. An Nisa’ (4): 34 yang berbunyi:
الرجال قوامون على النساء بما فضل اللھ بعضھم على بعض وبما أنفقوامن
أموالھم
“Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum perempuan, oleh karenaAllah telah melebihkan sebagian mereka (laki-laki) atas sebagian yanglain (perempuan), dan karena mereka (laki-laki) telah menafkahkansebagian dari harta mereka”. (QS an-Nisa’ (4): 34).
Selain karena faktor ekonomi, gugatan perceraian istri terhadap
suami di Kecamatan Susukan juga disebabkan karena faktor suami yang
meninggalkan istri, faktor ini merupakan faktor tertinggi setelah faktor
ekonomi yaitu dengan tiga kasus. Di dalam mempertahankan keutuhan
rumah tangganya para istri telah berusaha mencari keberadaan suami, baik
ke tempat kerjanya ataupun ke rumah orang tuanya namun tidak ada
82
hasilnya. Faktor ini tentunya sangat bertentangan dengan Undang-Undang
Perkawinan pasal 31 (3) yang menyebutkan bahwa suami adalah kepala
keluarga. Sebagai suami seharusnya mampu menjaga dan mengayomi
keluarganya sebagai wujud rasa tanggung jawab, bukan menelantarkannya
tanpa suatu kejelasan dan kepastian. Dengan suami meninggalkan istrinya
tanpa kejelasan melebihi batas waktu yang telah ditentukan maka suami
telah melanggar sighat taklik talak.
Faktor selanjutnya yaitu karena adanya pihak ketiga
(perselingkuhan) yaitu dengan tiga kasus. Yang dimaksud dengan pihak
ketiga yaitu seseorang yang menjadi kekasih atau menjalin hubungan
dengan pihak suami. Dari tiga kasus tersebut terdapat satu kasus
perselingkuhan yang telah melangsungkan pernikahan secara sirri atau
tanpa persetujuan dari istri sahnya.
Kemudian terdapat faktor-faktor lain yaitu adanya kekerasan dalam
berumah tangga, adanya tindak pidana yang dilakukan oleh suami yang
mengakibatkan suami dipenjara, adanya kesalahpahaman serta kurangnya
perhatian dan kasih sayang dari suami. Keseluruhan faktor tersebut
menyebabkan sering terjadinya perselisihan dan pertengkaran secara terus
menerus yang berakibat pada perceraian.
B. Pemahaman Istri Pelaku Gugat Cerai terhadap Akibat Hukumnya
Pemahaman istri terhadap akibat hukum dari sebuah perceraian
tentunya sangat erat kaitannya dengan pemahaman istri terhadap peraturan
perundang-undangan tentang perkawinan, baik Undang-Undang No. 1
83
Tahun 1974 tentang Perkawinan maupun Hukum Kompilasi Islam. Di
dalam Undang-Undang No. 12 Tahun 2011 tentang Peraturan Perundang-
Undangan pasal 81 menjelaskan bahwa setiap peraturan perundang-
undangan yang telah diundangkan dalam lembaran negara maka setiap
orang dianggap telah mengetahuinya. Dari penjelasan pasal tersebut maka
masyarakat dituntut untuk bersikap aktif di dalam mencari dan memahami
Undang-undang mengenai perbuatan hukum yang dilakukannya.
Suatu perbuatan hukum yang bersifat hukum pidana maupun
perdata tentunya mempunyai sebuah akibat hukum yang menyertai
perbuatan hukum tersebut. Dalam perkawinan terdapat hak dan kewajiban
yang dimiliki oleh suami maupun istri, begitu juga dalam suatu perceraian
baik yang diajukan oleh suami maupun istri tentunya juga terdapat hak dan
kewajiban yang ditimbulkan sebagai suatu akibat hukum dari perceraian.
Pemahaman istri pelaku gugat cerai di Kecamatan Susukan mengenai
akibat hukum dari sebuah perceraian tidak begitu dipahami secara
menyeluruh dan bahkan terdapat responden yang tidak mengetahui sama
sekali. Berdasarkan pada tabel 10 menunjukkan bahwa dari 8 istri yang
mengajukan gugatan perceraian kepada suaminya tidak terdapat seorang
pun yang mengetahui akibat hukum gugatan perceraian, sehingga dalam
mengajukan gugatan perceraian, istri selaku penggugat tidak menuntut dan
tidak menerima hak-haknya yang telah dijamin oleh Undang-undang, para
istri pelaku gugat cerai lebih memilih untuk mengesampingkan dan
84
mengabaikan akibat hukum perceraian dan lebih menginginkan untuk
segera menyelesaikan dan mengakhiri hubungan perkawinannya.
Dalam gugatan perceraian yang diajukan oleh istri terhadap suami
terdapat beberapa hak yang seharusnya diterima ataupun dapat dituntut
kepada suami, ketentuan mengenai akibat hukum dari gugatan perceraian
diatur secara lebih lengkap dalam Kompilasi Hukum Islam jika
dibandingkan dengan Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang
Perkawinan.
Beberapa hak yang dapat dituntut oleh istri kepada suaminya
akibat gugatan perceraian menurut Kompilasi Hukum Islam, di antaranya:
1. Selama proses berlangsungnya gugatan perceraian, istri selaku
penggugat dapat mengajukan permohonan kepada pengadilan Agama
berupa:
a. Menentukan nafkah yang harus ditanggung oleh suami.
b. Menentukan hal-hal yang perlu untuk menjamin terpeliharanya
barang-barang yang menjadi hak bersama suami istri atau barang-
barang yang menjadi hak istri ataupun suami.
2. Nafkah iddah yaitu nafkah yang diberikan dalam waktu tunggu yang
dapat memungkinkan untuk kedua belah pihak dapat rujuk kembali.
3. Nafkah Mut’ah
Menurut madzhab Syafi’i mengutip dari Zakariya al-Anshari dalam
kitabnya Asna al-Mathalib Syarhu Raudl ath-Thalib menjelaskan
bahwa mut’ah secara bahasa berarti kesenangan, sedangkan secara
85
istilah mut’ah adalah nama yang digunakan untuk menyebut harta-
benda yang wajib diberikan laki-laki (mantan suami) kepada
perempuan (mantan isteri) karena ia menceraikannya. Selama istri
tidak berbuat nusyuz maka istri tetap berhak untuk mendapatkan
mut’ah dari mantan suaminya, meskipun perceraian bukan berasal dari
suami.
4. Hak hadhanah yaitu hak untuk memelihara dan mengasuh anak yang
belum mumayyiz.
5. Hak untuk mendapatkan nafkah hadhanah untuk anak-anak yang
belum mencapai umur 21 tahun.
Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan penulis sesuai dalam
tabel 11 menunjukkan bahwa terdapat hak-hak yang tidak diterima oleh
para istri yang seharusnya diberikan kepadanya setelah perceraian.
Berdasarkan tabel 8 keseluruhan responden menyatakan tidak menerima
nafkah iddah, kemudian hanya terdapat seorang responden yang menerima
nafkah mut’ah yaitu Ibu Mutia, pada tabel 8 juga menunjukkan bahwa
keseluruhan responden mendapatkan hak hadhanah anak, namun hanya
terdapat seorang responden yang menerima nafkah hadhanah anak dari
mantan suaminya yaitu Ibu Dwi Lestari.
Ketentuan pemberian nafkah iddah suami kepada istri termuat
dalam Kompilasi Hukum Islam pasal 149 sebagai akibat dari cerai talak,
namun di dalam buku II Pedoman Teknis Pengadilan Agama ditentukan
bahwa apabila gugatan cerai yang diajukan oleh istri dengan alasan adanya
86
kelalaian tanggung jawab atau kekerasan suami, maka hakim secara ex
officio dapat menetapkan nafkah iddah dan nafkah mut’ah. Sedangkan
mengenai nafkah mut’ah juga diatur dalam Kompilasi Hukum Islam pasal
149 sebagai akibat dari cerai talak, dan diatur lebih spesifik dalam pasal
158 dan 159 KHI. Pasal 158 KHI menyebutkan bahwa mut’ah diberikan
suami kepada istri apabila belum ditetapkannya mahar bagi istri ba’da al
dukhul dan perceraian tersebut atas kehendak suami, namun dalam pasal
159 KHI disebutkan adanya pemberian mut’ah sunnat yang diberikan
suami kepada istri tanpa syarat sebagaimana dalam pasal 158 KHI.
Undang-Undang Perkawinan pasal 41 menjelaskan bahwa pemeliharaan
anak merupakan kewajiban dari kedua orang tua, namun apabila terdapat
perselisihan dalam hak penguasaan anak, maka pengadilan dapat
memutuskannya. Sedangkan dalam KHI hak hadhanah diberikan kepada
seorang ibu apabila anak tersebut belum mumayyiz dan anak tersebut
berhak menentukan untuk mendapatkan hadhanah dari bapak atau ibunya
apabila sudah mumayyiz. Untuk pembiayaan atau nafkah hadhanah anak
Undang-Undang Perkawinan pasal 41 (b) membebankan kewajiban
tersebut kepada bapak (suami), namun apabila tidak dapat memenuhinya
maka ibu (istri) juga ikut memikul biaya tersebut, sementara itu dalam
KHI pasal 156 (d) bahwa semua biaya atau nafkah hadhanah menjadi
tanggungan ayah (suami) sesuai dengan kemampuannya, sekurang-
kurangnya sampai anak tersebut dewasa dan mampu mengurusi diri
87
sendiri (21 tahun), apabila terjadi perselisihan maka pengadilan dapat
memberikan putusannya.
Selama proses perceraian baik suami maupun istri sudah tidak
tinggal secara bersama-sama, bahkan sebelum istri mengajukan gugatan
perceraian, salah satu pihak telah memutuskan untuk meninggalkan pihak
yang lain, hal tersebut dikarenakan sering terjadinya pertengkaran dan
percekcokan antara keduanya. Dalam Kompilasi Hukum Islam pasal 136
(1) dijelaskan bahwa selama proses perceraian Pengadilan Agama dapat
mengizinkan antara suami dan istri untuk tidak tinggal dalam satu rumah
berdasarkan pertimbangan bahaya yang mungkin ditimbulkan. Namun
selama proses perceraian suami tetap berkewajiban untuk memberikan
nafkah wajib kepada istrinya meskipun sudah tidak tinggal dalam satu
rumah. Pengadilan Agama dapat menentukan nafkah yang harus
ditanggung oleh suami selama proses perceraian. Selama proses perceraian
berlangsung, keseluruhan responden menyatakan bahwa tidak
mendapatkan nafkah wajib dari suaminya.
Hal yang menyebabkan istri selaku penggugat tidak mendapatkan
haknya dari sebuah gugatan perceraian yaitu dikarenakan ketidakpahaman
mereka terhadap akibat hukum dari perceraian, sehingga dalam
mengajukan gugatan perceraian para istri pelaku gugat cerai tersebut tidak
menuntut haknya kepada mantan suaminya, selain itu di dalam proses
perceraian yang seharusnya dihadiri oleh kedua belah pihak yaitu istri dan
suami, namun dalam kasus-kasus gugatan perceraian yang diajukan oleh
88
istri di Kecamatan Susukan hanya dihadiri oleh pihak penggugat yaitu
istri sehingga majelis hakim tidak dapat menuntut pihak tergugat untuk
memberikan kewajibannya yang menjadi hak istri. Dari keseluruhan kasus
yang diteliti oleh penulis di Kecamatan Susukan , hanya terdapat satu
kasus gugatan perceraian yang dihadiri oleh kedua belah pihak yaitu
gugatan perceraian yang diajukan oleh Ibu Mutia dan hal inilah yang
membuat Ibu Mutia bisa mandapatkan nafkah muta’ah.
C. Upaya Hukum yang Dilakukan Istri untuk Memperoleh Haknya
Kembali
Upaya hukum adalah upaya yang diberikan oleh Undang-undang
kepada seseorang atau badan hukum untuk dalam hal tertentu melawan
putusan hakim. Upaya hukum diberikan sebagai jalan bagi pihak-pihak
terkait untuk menuntut suatu keadilan atas suatu perbuatan hukum. Dalam
kasus perceraian baik cerai talak maupun gugat cerai terdapat suatu upaya
hukum untuk menuntut pihak lain, dalam perceraian erat kaitannya dengan
tuntutan berupa nafkah anak, nafkah iddah, nafkah mut’ah, dan hak
hadhanah anak. Dalam kasus cerai talak yang diajukan oleh suami kepada
istrinya, maka istri dapat mengajukan upaya hukum gugatan rekonvensi
yaitu gugatan yang diajukan oleh tergugat sebagai gugatan balasan
terhadap gugatan penggugat yang diajukan penggugat kepadanya
(Harahab, 2007 : 468). Gugatan rekonvensi ini dapat diajukan oleh istri
untuk menuntut suami atas nafkah anak, nafkah iddah, nafkah mut’ah dan
hak hadhanah. Dalam hal ini istri tidak perlu membuat tuntutan baru akan
89
tetapi cukup dengan mengajukan gugatan balasan bersama-sama dengan
jawabannya terhadap gugatan lawan.
Selain itu dalam cerai talak maupun gugat cerai, Undang-Undang
No. 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama telah memberikan hak yang
sama baik kepada suami maupun istri untuk mengajukan gugatan komulasi
yaitu menuntut atas hak hadhanah anak, nafkah anak, nafkah mut’ah dan
nafkah iddah untuk istri. Pengajuan gugatan komulasi ini dapat dilakukan
setelah perceraian memperoleh kekuatan hukum tetap ataupun diajukan
secara bersama-sama dalam mengajukan gugat cerai maupun cerai talak.
Dalam Undang-Undang Perkawinan, Kompilasi Hukum Islam dan
Undang-Undang Peradilan Agama telah menjamin terpenuhinya hak dan
kewajiban antara suami dan istri setelah perceraian.
Pemahaman istri pelaku gugat cerai di Kecamatan Susukan
terhadap upaya hukum untuk memperoleh hak-haknya setelah perceraian,
hanya dipahami oleh beberapa responden, pada tabel 12 menunjukkan
bahwa dari delapan responden hanya terdapat tiga responden yang
memahami adanya prosedur upaya hukum dari sebuah perceraian. Namun
keseluruhan responden baik yang memahami maupun tidak mengenai
upaya hukum komulasi, tidak terdapat responden yang mengajukan upaya
hukum tersebut. Hal ini disebabkan karena :
1. Sebagian besar responden tidak mengetahui upaya hukum tersebut.
2. Banyak responden yang tidak berlama-lama berurusan dengan proses
perceraian, mereka ingin segera mengakhiri hubungan perkawinan
90
dengan suaminya, tanpa memperdulikan hak yang melekat pada
dirinya.
3. Dengan mengajukan upaya hukum komulasi proses perceraian lebih
lama sehingga menguras waktu dan energi.
Dengan demikan banyak kasus gugatan perceraian istri kepada
suaminya di Kecamatan Susukan, di mana istri tidak memperoleh hak
semestinya sebagaimana yang telah ditetapkan dalam Undang-undang.
BAB V
PENUTUP
A. KESIMPULAN
Setelah menguraikan dan menganalisis hasil penelitian dengan
pendekatan sosiologis normatif, maka penulis menyimpulkan beberapa hal
yang menjadi fokus penelitian pada penulisan skripsi ini yaitu:
1. Gugatan perceraian yang diajukan oleh istri terhadap suaminya di
Kecamatan Susukan yaitu dilatarbelakangi oleh beberapa faktor, faktor
tertinggi dalam gugatan perceraian di Kecamatan Susukan yaitu:
a. Faktor ekonomi, di mana para suami tidak dapat mencukupi
kebutuhan hidup keluarganya yang disebabkan karena suami tidak
bekerja, suami bekerja namun tidak dapat mencukupi kebutuhan
istri serta suami bekerja namun tidak mau mencukupi kebutuhan
istri (pelit).
91
b. Faktor dari pihak suami yang meninggalkan istrinya tanpa
memberikan suatu kejelasan dan kepastian, dan istri tidak
mengetahui keberadaan suaminya.
c. Faktor adanya perselingkuhan (WIL).
d. Faktor kekerasan dalam berumah tangga.
e. Faktor adanya tindak pidana yang dilakukan oleh suami yang
mengakibatkan suami dipenjara.
f. Faktor kesalahpahaman serta kurangnya perhatian dan kasih
sayang dari suami.
Keseluruhan faktor tersebut menyebabkan sering terjadinya
perselisihan dan pertengkaran secara terus menerus yang berakibat
pada perceraian, pengajuan gugatan perceraian dengan alasan-alasan
tersbut telah sesuai dengan ketentuan-ketentuan baik yang tercantum
dalam Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun 1975 pasal 19, Kompilasi
Hukum Islam pasal 116 maupun adanya ketidakrelaan istri karena
suami telah melanggar sighat taklik talak.
2. Pemahaman istri terhadap akibat hukum dari sebuah perceraian yang
berupa nafkah iddah, nafkah mut’ah, hak hadhanah dan nafkah anak
yang menjadi haknya karena putusnya perkawinan tidak dipahami
seutuhnya, bahkan dapat dikatakan bahwa istri pelaku gugat cerai di
Kecamatan Susukan tidak mengetahui dan memahami akibat hukum
dari sebuah perceraian. Akibat dari ketidakpahaman tentang akibat
92
hukum dari perceraian, maka istri tersebut tidak mengajukan tuntutan
terhadap hak-haknya kepada suaminya. Selain karena faktor
ketidakpahaman istri terhadap akibat hukum perceraian,
ketidakhadiran suami selaku tergugat dalam proses persidangan juga
menjadi faktor istri tidak dapat menerima hak-haknya sebagaimana
ketentuan dalam Undang-undang.
3. Adanya upaya hukum untuk memperoleh hak-hak istri akibat dari
sebuah perceraian tidak serta merta dilakukan oleh para istri pelaku
gugat cerai di Kecamatan Susukan, hal ini dikarenakan:
a. Sebagian besar responden tidak mengetahui adanya prosedur upaya
hukum tersebut.
b. Banyak responden yang tidak ingin berlama-lama berurusan
dengan proses perceraian dan menginginkan untuk segera
mengakhiri hubungan perkawinan dengan suaminya, tanpa
memperdulikan hak yang melekat pada dirinya.
c. Dengan mengajukan upaya hukum komulasi, proses perceraian
lebih lama sehingga menguras waktu dan energi.
Dalam kasus cerai talak, istri dapat mengajukan gugatan
rekonvensi (gugatan balasan), sedangkan dalam kasus gugat cerai istri
terhadap suami, istri selaku penggugat dapat mengkomulasikan
gugatannya dengan penguasaan anak, nafkah anak, nafkah istri (iddah
dan mut’ah) serta harta bersama suami istri sebagaimana yang telah
93
diatur dalam Undang-Undang No. 7 Tahun 1989 tentang Peradilan
Agama pasal 66 (5) dan pasal 86 (1).
B. SARAN
Pada bagian akhir penulisan skripsi ini, penulis mencoba
memberikan saran kepada pihak-pihak terkait dengan harapan dapat
memberikan dampak yang positif yang membangun ke arah yang lebih
baik.
1. Kepada Kantor Urusan Agama
a. Sebagai lembaga yang berwenang dalam bidang perkawinan,
penyuluhan kepada masyarakat mengenai akibat hukum perceraian
juga perlu diberikan supaya masyarakat dapat memahami akibat
hukum perceraian tersebut.
b. Mampu berperan aktif dalam upaya pencegahan perceraian di
masyarakat.
c. Melakukan pembinaan kepada masyarakat yang telah
melangsungkan pernikahan, khususnya masyarakat yang
melakukan pernikahan di usia muda.
2. Kepada Masyarakat
a. Sebelum perceraian terjadi, alangkah baiknya antara kedua belah
pihak keluarga suami dan istri untuk menyatukan kembali dan
mencarikan solusi terhadap permasalahan yang dihadapi pasangan
suami istri tersebut.
94
b. Meningkatkan kesadaran terhadap hak dan kewajiban antara suami
dan istri serta rasa tanggung jawab untuk mencapai tujuan
pernikahan yang sakinah, mawaddah dan rahmah
c. Di samping memahami hak dan kewajiban dalam pernikahan,
memahami hak dan kewajiban yang timbul dari sebuah perceraian
juga perlu dipahami sepenuhnya oleh pasangan suami istri
d. Pasangan suami istri perlu meningkatkan wawasan terhadap nilai-
nilai agama khususnya tentang hukum perkawinan.
C. PENUTUP
Alkhamdulillahirobbil’alamin, segala puji bagi Allah Yang Maha
Esa, yang telah melimpahkan karunia-Nya, sehingga penulis dapat
menyelesaikan penulisan skripsi ini.
Tak lupa penulis menghaturkan banyak terima kasih yang tulus
kepada semua pihak terutama kepada dosen pembimbing yang telah
membimbing dengan sabar, serta memberikan arahan dan koreksinya
dalam penulisan skripsi ini.
Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari sempurna,
maka dari itu penulis mengharapkan kritik dan saran dari semua pihak.
Akhirnya semoga skripsi ini bermanfaat dan menambah khasanah
pengetahuan yang baru, baik bagi penulis, pembaca maupun bagi
masyarakat.
95
Salatiga, 23 Maret 2018
Penulis
DAFTAR PUSTAKA
Abdurrahman. 1992. Kompilasi Hukum Islam Di Indonesia. Jakarta: Akademika
Pressindo.
Afandi, Ali. 1997. Hukum Waris, Hukum keluarga Dan Hukum Pembuktian.
Jakarta: PT Rineka Cipta.
Abidin, Slamet Dkk. 1999. Fiqih Munakahat. Bandung: Cv Pustaka Setia.
Arikunto, Suharsimi. 1998. Prosedur Penelitian (Suatu Pendekatan Praktik).
Jakarta: Rineka Cipta.
Bahriesj, Husein. 1987. Himpunan Hadits Shahih Muslim. Surabaya: Al Ikhlas.
Daniel, Mochtar. 2002. Metode Penelitian Sosial Ekonomi. Jakarta: Bumi Aksara.
Departemen Agama RI. 2002. Mushaf Al Quran Terjemah (Edisi Tahun 2002).
Depok: Al Huda.
96
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan RI. 1995. Kamus Besar Bahasa
Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka.
Djubaidah, Eneng. 2010. Pencatatan Perkawinan dan Perkawinan Tidak Dicatat.
Jakarta: Grafika.
Ghazaly, Abdurrahman. 2006. Fiqh Munakahat. Jakarta: Kencana.
Moleong, Lexy J. 2009. Metode Penelitian Kualitatif. Bandung: PT Remaja
Rosdakarya.
Nakamura, Hisako. 1991. Perceraian Orang Jawa. Yogyakarta: Gajah Mada
University Pres.
Nazir, Moh. 1988. Metode Penelitian. Jakarta: Ghalia Indonesia.
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 9 Tahun 1975 Tentang
Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974.
Rahman, Kholil. Tt. Hukum Perkawinan Islam Di Indonesia. Semarang:
Walisongo Press.
Saifullah, Muhammad dkk. 2015. Hukum Islam Solusi Permasalahan Keluarga.
Yogyakarta UII Pres.
Sabiq, Sayyid. 1990. Fikih Sunnah 6. Bandung: PT Alma’arif.
Sabiq, Sayyid. 1982. Fikih Sunnah 7. Bandung: PT Alma’arif.
Sabiq, Sayyid. 1987. Fikih Sunnah 11. Bandung: PT Alma’arif.
Tihami & Sahrani. 2010. Fiqh Munakahat. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama.
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan.
97
Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan Peraturan
Perundang-Undangan.
Harahab, Yahya. 2007. Gugatan, persidangan, Penyitaan, Pembuktian, dan
Putusan Pengadilan. Jakarta: Grafika.
CURRICULUM VITAE
A. Data Pribadi
Nama : Muhammad Nur Kholis
Tempat, Tanggal Lahir : Kab. Semarang, 23 Juli 1994
Alamat : Karang Asem Rt. 01/06, Ketapang, Susukan
No. Telpn : 085641142851
Jenis kelamin : Laki-laki
Agama : Islam
Kewarganegaraan : Indonesia
Status : Belum Menikah
Email : [email protected]
Hobi : Makan Nasgor
B. Pendidikan Formal
RA : RA Dharma Wanita (1999-2001)
SD : Ketapang 01 (2001-2007)
MTsN : MTsn Susukan (2007-2010)
MAN : Man Suruh (2010-1013)
IAIN SALATIGA : Hukum Keluarga Islam (2013-2018)
C. Pengalaman Berorganisasi
Forsap (Forum Santri Pelajar) (2007-2010)
OSIS Man Suruh (2011-2012)
HMJ Hukum Keluarga Islam (2015-2016)
DEMA Fak. Syariah (2016-2017)
DATA OBSERVASI DAN WAWANCARA
Sebelum melakukan wawancara antara penulis dengan responden, penulis
terlebih dahulu menyusun daftar pertanyaan agar tidak menyimpang dari tujuan
penelitian dan mendapatkan jawaban sesuai dengan rumusan masalah (fokus
penelitian) dalam skripsi ini. Selanjutnya penulis mendatangi alamat responden
yang telah direkomendasikan oleh pihak-pihak terkait. Sebelum wawancara
dimulai penulis memperkenalkan diri terlebih dahulu dan memberitahu maksud
dan tujuan kedatangan penulis kerumah responden, selanjutnya penulis
menanyakan kepada responden mengenai identitas responden di dalam penulisan
skripsi ini salah satunya adalah penulisan nama terang atau cukup inisial
responden. Di akhir wawancara, penulis meminta beberapa dokumen yang terkait
dengan penelitian penulis di antaranya yaitu surat akta nikah dan surat putusan
perceraian .
Daftar pertanyaan observasidan wawancara sebagai berikut:
FAKTOR PERCERAIAN
1. Bagaimanakah asal mula bisa
berkenalan kenal dengan
suami?
2. Kapan Ibu melangsungkan
pernikahan?
3. Berapa lama Ibu menjalani
proses rumah tangga sebelum
akhirnya memutuskan untuk
bercerai?
4. Apakah faktor-faktor yang
membuat Ibu untuk menggugat
cerai suami?
5. Kapan Ibu mengajukan gugatan
perceraian ke Pengadilan
Agama?
PEMAHAMAN TERHADAP AKIBAT HUKUM PERCERAIAN
1. Apakah Ibu mengetahui akibat
hukum perceraian?
2. Apakah Ibu mendapatkan
nafkah selama pisah rumah
selama proses perceraian?
3. Apakah Ibu mendapatkan
nafkah mut’ah dan nafkah iddah
setelah perceraian?
4. Apakah hak hadhanah (hak
asuh anak) berada di Ibu dan
apakah suami memberikan
nafkah anak?
UPAYA HUKUM YANG DILAKUKAN
1. Apakah Ibu mengetahui
maksud sebuah upaya hukum?
2. Apakahada upaya hukum yang
Ibu lakukan?
DAFTAR NILAI SKK
NAMA : M. NUR KHOLIS
NIM : 211 13 003
FAKLTAS : SYARI’AH
JURUSAN : HUKUM KELUARGA ISLAM
No Jenis KegiatanWaktu
KegiatanJabatan Nilai
1 Sertifikat Pelatihan Advokasi
Membangun ahasiswa Cerdas, Peduli &
Sadar Sebagai Agen Of Change
23-24 Mei
2014
Peserta 3
2 Sertifikat Kuliah Umum
Peran Partai Politik Islam Dalam Pentas
Politik Nasional Untuk Mewujudkan
Indonesia Emas
19
September
2016
Peserta 2
3 Sertfikat Workshop Legal Drafting
Membentuk Pemuda Sebagai Agen
Pengawal
17
November
2015
Peserta 3
4 Sertifikat Workshop
Pelatihan Naib Dalam Mengawali
Bahtera Mahligai Rumah Tangga
8 Juni
2015
Panitia 3
5 Sertifikat Seminar Nasional
Perlindungan Hukum Terhadap Usaha
Mikro Menghadapi Pasar Bebas ASEAN
2014 Peserta 6
6 Sertifikat Library User Education
Pendidikan Pemakai Perpustakaan
16
September
2013
Peserta 2
7 Piagam
Workshop Imsakiyah Ramadhan 1436 H
Jurusan AS, HES dan HTN
13 Mei
2013
Peserta 2
8 Sertifikat Seminar 25 Juni Peserta 2
Menelaah Praktek HAM dan Kebebasan
Beragam di Indonesia
2015
9 Sertifikat Seminar Nasional
Hak Gender Kaum Difabel Dalam
Perspektif Sosiologi Dan Hukum Islam
24
Desember
2015
Panitia 8
10 Sertifikat Dialog Interaktif dan Edukatif
Diaspora Pendidikan Politik: Pancasila
Sebagai Landasan Berpolitik, Berbangsa
Dan Bernegara
2
November
2015
Peserta 2
11 Sertifikat Bedah buku
Agama Baha’i Dalam Lintasan Sejarah
Di Jawa Tengah
26 April
2016
Peserta 2
12 Sertifikat Seminar Nasional
Problematika Hakim dan Peradilan
Rekontruksi Ideal Sistem Peradilan di
Indonesia
22
September
2016
Peserta 8
13 Sertifikat Seminar Quovadis Fakultas
syari’ah
Menindaklanjuti Keputusan PMA No. 33
Tahun 2016
3
Desember
2016
Peserta 2
14 Sertifikat OPAK STAIN Salatiga 2013
Rekonstruksi Paradigma Mahasiswa
Yang Cerdas, Peka Dan Peduli
26-27
Agustus
2013
Peserta 3
15 Sertifikat Opak syari’ah 2013
Revitalisasi Intelektualitas & Spiritualitas
Mahasiswa Menuju Kemajuan Indonesia
29 Agustus
2013
Peserta 3
16 Sertifikat Seminar Nasional
Analisis Metode Imsakiyyah Yang
Berkembang Di Indonesia
2 Juni
2016
Panitia 8
17 Sertifikat OPAK Fakultas Syari’ah 22-23 Panitia 3
Membangun Integritas Mahasiswa
Fakultas Syari’ah Sebagai Bekal Menjadi
Ilmuan Dan Praktisi Hukum Yang
Religius Dan Profesional
Agustus
2016
18 Surat Keputusan (SK) Dekan Fakultas
Syari’ah
OPAK Fakultas Syariah IAIN Salatiga
2016
01 Agustus
2016
Sie
Humas
4
19 Surat keputusan (SK) Ketua Jurusan
Ahwal Al Syakhsiyyah
Pengangkatan Pengurus HMI Jurusan
Ahwal Al Syakhsiyyah 2015
01 Juni
2015
Ketua 6
20 Surat Keputusan (SK) Dekan Fakultas
Syari’ah IAIN Salatiga
Pengangkatat Pengurus Dewan
Mahasiswa(DEMA) Fakultas Syariah
2016
24 Maret
2016
Devisi
Wacana
4
21 Sertifikat MAPABA
Rekontruksi Mental Mahasiswa Dalam
Kerangka Pergerakan
17-19
Oktober
2014
Panitia 3
22 Sertifikat Gebyar Seni Qur’aniyy Umum
ke VI Jawa Tengah
Aktualisasi Makna dan Syi’ar Al Quran
sebagai Sumber Inspirasi
05
November
2014
peserta 2
23 Sertfikat Kuliah Umum
Kontribusi Fatwa-Fatwa DSN MUI
terhadap Perkembangan Hukum Ekonomi
Syari’ah di Indonesia
8 Mei
2017
Peserta 2
24 Sertifikat Training Pembuatan Makalah
Leembaga Dakwah Kampus (LDK)
18
September
Peserta 3