repository.unhas.ac.id › ... › 5003 › skripsimithafixnew.docx?sequ…  · web...

185
ANALISIS KEMAMPUAN KEUANGAN DAERAH DALAM PELAKSANAAN OTONOMI DAERAH TAHUN 2007-2011 DI KOTA MAKASSAR Skripsi untuk memenuhi sebagian Persyaratan untuk mencapai derajat Sarjana S-1 Program Studi Ilmu Pemerintahan Oleh Ermitha Savitry E12108288 i

Upload: others

Post on 25-Feb-2020

2 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

ANALISIS KEMAMPUAN KEUANGAN DAERAH DALAM PELAKSANAAN OTONOMI DAERAH

TAHUN 2007-2011 DI KOTA MAKASSAR

Skripsiuntuk memenuhi sebagian Persyaratan

untuk mencapai derajat Sarjana S-1

Program Studi Ilmu Pemerintahan

OlehErmitha Savitry

E12108288

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIKUNIVERSITAS HASANUDDIN

MAKASSAR2013

i

LEMBAR PENGESAHAN

Skripsi

ANALISIS KEMAMPUAN KEUANGAN DAERAH DALAM PELAKSANAAN OTONOMI DAERAH

TAHUN 2007-2011 DI KOTA MAKASSAR

Yang dipersiapkan dan disusun oleh:ERMITHA SAVITRY

E12108288

telah dipertahankan di depan panitia ujian skripsipada tanggal 27 Mei 2013

Telah senyetujui oleh:

Pembimbing I Pembimbing II

Dr. Hasrat Arief Saleh, MS. Dr. Indar Arifin, M.SiNIP. 19511011 198003 1 002 NIP. 19630407 198903 2 003

Mengetahui:

Ketua Jurusan Ilmu Politik/PemerintahanFakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik

Universitas Hasanuddin

Dr. H. A. Gau Kadir, MANIP. 19500117 198003 1 002

ii

LEMBAR PENERIMAAN

Skripsi

ANALISIS KEMAMPUAN KEUANGAN DAERAH DALAM PELAKSANAAN OTONOMI DAERAH

TAHUN 2007-2011 DI KOTA MAKASSAR

yang dipersiapkan dan disusun oleh:

Ermitha SavitryE12108288

telah di perbaikidan dinyatakan telah memenuhi syarat oleh panitia ujian skripsi

pada Program Studi Ilmu PemerintahanFakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Hasanuddin

Makassar, pada Hari Senin tanggal 27 Mei 2013

Menyetujui:

Panitia Ujian

Ketua : Dr. Hasrat Arief Saleh, MS. (...............................)

Sekretaris : A. Murfhi, S. Sos, M. Si. (...............................)

Anggota : Dr. H. A. Gau Kadir, MA. (...............................)

Anggota : Dr. Indar Arifin, M. Si. (...............................)

Anggota : Dra. Hj. Nurlinah, M.Si. (...............................)

Pembimbing I : Dr. Hasrat Arief Saleh, MS. (...............................)

Pembimbing II : Dr. Indar Arifin, M. Si. (...............................)

iii

KATA PENGANTAR

Segala puji dan syukur kepada Allah SWT yang telah melimpahkan

cahaya segala maujud yang bergantung pada-Nya sehingga skripsi yang

berjudul “Analisis Kemampuan Keuangan Daerah dalam Pelaksanaan

Otonomi Daerah Tahun 2007-2011 di Kota Makassar” ini, dapat penulis

selesaikan.

Penulis sangat menyadari bahwa didalam penyusunan skripsi ini

masih jauh dari harapan pembaca sebagaimana tulisan-tulisan ilmiah

yang lainnya, baik dari segi teknik penulisan maupun dari segi isinya.

Untuk itu, dengan segala kerendahan hati dan pengetahuan yang terbatas

penulis siap menerima saran dan kritik yang membangun dengan

penyempurnaan sebuah karya ilmiah.

Pada kesempatan yang baik ini pula, penulis tak lupa menyampaikan

rasa terima kasih kepada kedua orang tuaku tercinta, ibunda Dra.

Ermaida, M.Hum (Almh) yang merupakan “perpustakaan pertamaku”

yang tidak sempat melihat ananda meraih gelar sarjana, atas curahan

seluruh cinta dan kasih sayangnya, serta untaian doa yang tiada henti

yang sampai kapanpun penulis tidak akan bisa membalasnya. Ayahanda

Burthan, SE yang senantiasa memberikan nasehat, kasih sayang, serta

cucuran keringat dan pengorbanannya yang harus membesarkan penulis

seorang diri. Maafkan jika ananda sering menyusahkan, merepotkan dan

melukai perasaan ibundan dan ayahanda. Semoga Allah SWT selalu

iv

menerangi jalanmu dan memberikan keselamatan dunia akhirat. Amin.

Saudara-saudaraku Hikma Ratna Sari, S.H., Nurul Aliah, dan Muhammad

Fadhil Ramadhan yang senantiasa menjadi sumber spirit bagi penulis.

Penulis juga dengan tulus ingin menyampaikan terima kasih dan

penghargaan yang setinggi-tingginya kepada Dr. Hasrat Arief Saleh, MS.

selaku Pembimbing I sekaligus Penasehat Akademik penulis yang tidak

pernah letih dan selalu melowongkan waktunya dalam membimbing

penulis dan Ibu Dr. Indar Arifin, M.Si selaku Pembimbing II yang telah

mendorong dan mengarahkan penulis hingga penyelesaian skripsi ini.

Rasa terima kasih yang sebesar-sebesarnya juga penulis haturkan

kepada:

1. Bapak Prof. Dr. dr. Idrus A. Paturusi, Sp. BO. FICS, selaku Rektor

Universitas Hasanuddin.

2. Bapak Prof. Dr. Hamka Naping, MA selaku Dekan Fakultas Ilmu Sosial

dan Ilmu Politik Universitas Hasanuddin beserta seluruh stafnya.

3. Bapak Dr. H. A. Gau Kadir, MA selaku Ketua Jurusan Ilmu Politik

Pemerintahan FISIP UNHAS beserta seluruh stafnya.

4. Bapak Ahdi Abidin Malik selaku Kepala Sub Bagian Verifikasi dan

Pembukuan Pemerintah Kota Makassar dan Bapak Iswady selaku

Kepala Sub Bagian Keuangan Dinas Pendapatan Dearah Kota

Makassar serta segenap jajaran Pemerintah Kota Makassar, terima

kasih atas segala bantuan yang telah diberikan selama penulis

melaksanakan penelitian.

v

5. Segenap Dosen pengajar dan staf pegawai di lingkungan FISIP

UNHAS khususnya Program Studi Ilmu Pemerintahan yang telah

memberikan ilmu dan bantuan kepada penulis.

6. Segenap keluarga kecil mahasiswa ilmu pemerintahan angkatan 2008,

Glasnost: Rara, Farid, Eka, Fonna, Icha, Hijrah, Indah, Vanty, Avri,

Tyana, Anca, Amin, Olle’, Ashar, Aan, Fahri, Fitri, Nandar, Haswan,

Anjar, Wandy, Dayat, Miskat, Kukuh, Rini, Dina, Desi, Laila, Ayu,

Akram, Lutfi, Firman, Akmal, Gafur, Dedi, Bandi, Edi, Yayat, Erlangga,

Reksa, Kia, Aswardi, Herwin, Emi, Enal, Zahra, Kirah, Alfred, Aya,

Sufriyadi, Asrul, Chaca, Satriah, Agus, Echa, Uki, dan tidak lupa

kepada Anita selaku kepala suku. Terima kasih atas kebersamaan

selama ini, dan tetap manjadi “satu generasi satu perjuangan”.

7. Keluargaku di Bumi Orange HIMAPEM FISIP UNHAS, Konstitusi 03,

Kybernologi 04, Revolusioner 05, Rezpublica 06, Renaissance 07,

Aufklarung 09, Volkgeist 10, Enlightment 11, terima kasih karena telah

berbagi kebersamaan selama ini.

8. Teman-teman KKN Gelombang 82 Kabupaten Enrekang Kecamatan

Angggeraja Kelurahan Tanete, khususnya kepada Bust, Ochi, Kak

Hajrah, Azhar, Rey, Boim, dan Herson, serta kepada Ibu Nursiah,

S.Pd., Itha, Ayyu’, dan Inna yang telah menjadi keluarga penulis selama

melaksanakan KKN. Kebersamaan kalian akan menjadi sejarah yang

tak akan lekang oleh zaman dan tak akan pudar oleh waktu.

vi

9. _______________ untuk teman-teman, saudara(i) yang banyak

membantu penulis dalam penyelesaian studi ini, namun lupa

menyebutkan nama. Ruang kosong ini sengaja penulis buat untuk yang

memberikan andil namun penulis lupa menyebutkannya. Silahkan tulis

namanya karena penulis sengaja kosongkan untuk diisi.

Teristimewa penulis haturkan rasa cinta dan terima kasih sedalam-

dalamnya kepada Ahmad, S.T. yang senantiasa menemani dan

memberikan dukungan moril kepada penulis dalam kebersamaan selama

ini.

Selain itu, penulis juga mengucapkan permohonan maaf dari hati

yang terdalam jika penulis telah banyak melakukan kesalahan dan

kekhilafan, baik dalam bentuk ucapan maupun tingkah laku, semenjak

penulis menginjakkan kaki pertama kali di Universitas Hasanuddin hingga

selesainya studi penulis. Semua itu adalah murni dari penulis sebagai

manusia biasa yang memiliki keterbatasan pengetahuan. Adapun

mengenai kebaikan-kebaikan penulis, itu semata-mata datangnya dari

Allah SWT, karena segala kesempurnaan hanyalah milik-Nya.

Akhirnya penulis berharap bahwa apa yang disajikan dalam skripsi

ini dapat bermanfaat bagi perkembangan ilmu pengetahuan. Semoga

kesemuanya ini dapat ibadah di sisi-Nya. Amin.

Makassar, 2013

Penulis

vii

ABSTRAKSI

Ermitha Savitry, NIM E 12108288. Analisis Kemampuan Keuangan Daerah dalam Pelaksanaan Otonomi Daerah Tahun 2007-2011 di Kota Makassar, di bawah bimbingan Dr. Hasrat Arief Saleh, MS. dan Dr. Indar Arifin, M.Si.

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui tingkat perkembangan kemampuan keuangan Kota Makassar dalam rangka mendukung pelaksanaan otonomi daerah dan konstribusi Pendapatan Asli Daerah terhadap Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah Kota Makassar tahun anggaran 2007-2011. Jenis penelitian adalah kuantitatif kualitatif (mixed method). Dimana, penelitian kuantitaif menggunakan beberapa rasio keuangan, yaitu: rasio kemandirian keuangan daerah, rasio derajat desentralisasi fiskal, rasio indeks kemampuan rutin, rasio keserasian, dan rasio pertumbuhan, sedangkan penelitian kualitatif membantu interpretasi hubungan antara variabel dan mengungkapkan alasan bagi hubungan-hubungan itu serta menjelaskan faktor-faktor yang mendasari hubungan yang terbangun.

Tipe penelitian adalah deskriptif dimana akan diuraikan dan dianalisis permasalahan penelitian. Peneliti berusaha memaparkan peristiwa dan kejadian yang menjadi pusat perhatiannya, kemudian peristiwa tersebut dideskripsikan menggunakan Indeks Kemampuan Keuangan sebagai alat analisis.

Hasil penelitian, rasio kemandirian keuangan daerah yang memperoleh hasil rata-rata sebesar 18,30% atau berada pada pola hubungan instruktif. Rasio derajat desentralisasi fiskal dan rasio indeks kemampuan rutin yang menunjukkan kemampuan keuangan daerah masih kurang, yaitu sebesar 15,39% dan 24,99%. Pada rasio keserasian, pengeluaran belanja rutin lebih besar dibandingkan dengan belanja pembangunan dengan gap sebesar 25,60%. Rasio pertumbuhan, secara keseluruhan mengalami pertumbuhan yang negatif, karena peningkatan pendapata asli daerah dan total pendapatan daerah tdak diikuti oleh pertumbuhan belanja pembangunan, tetapi diikuti oleh pertumbuhan belanja rutin. Konstribusi PAD terhadap APBD, masih kurang, yaitu sebesar 15,39%. Dengan melihat hasil analisis tersebut, perkembangan kemampuan keuangan Kota Makassar dalam rangka pelaksanaan otonomi daerah dianggap masih kurang.

viii

ABSTRACT

Ermitha Savitry. NIM E 12108288. Analysis of Financial Capability in the Regional Autonomy Implementation Year 2007-2011 in the city of Makassar, under the guidance of Dr. Hasrat Arief Saleh, MS. and Dr. Indar Arifin, M.Sc.

This study aims to determine the level of development of the financial capacity of Makassar in order to support the implementation of regional autonomy and Local Revenue Contribution to the Budget Revenue and Expenditure Makassar fiscal year 2007-2011. Forms of research is quantitative qualitative (mixed method). Where, quantitative research uses several financial ratios, namely: the ratio of the regional of financial independence, the degree of fiscal decentralization ratio, the ratio of routine capability index, the ratio of the harmony, and the growth ratio, while the interpretation of qualitative research helps reveal the relationship between the variables and the reasons for those relationships and explain factors underlying the relationship that is built up.

Types of research is descriptive which will be described and analyzed research problems. Researchers tried exposing the events and happenings at the center of attention, then the event described using Financial Capability Index as a tools of analysis.

The results of the study, the ratio of the regional of financial independence obtained an average yield of 18.30% on the pattern of relationships are instructive. The ratio of the degree of fiscal decentralization and routine capability index ratio shows the ability of local finance is less, amounting to 15.39% and 24.99%. In harmony ratio, routine expenditure is greater than the gap of development expenditure amounted to 25.60%. The ratio of growth, overall experience negative growth, due to an increase in local revenue and total revenue not followed by construction spending growth, but it is followed by the growth of expenditures. Local Revenue Contribution to the Budget Revenue and Expenditure, still less, amounting to 15,39%. By looking at the results of the analysis, development of the financial ability of the city of Makassar in the implementation of regional autonomy were deemed to be lacking.

ix

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL.............................................................................. i

LEMBAR PENGESAHAN................................................................... ii

LEMBAR PENERIMAAN.................................................................... iii

KATA PENGANTAR............................................................................ iv

ABSTRAKSI....................................................................................... viii

ABSTRACT........................................................................................ ix

DAFTAR ISI........................................................................................ x

DAFTAR TABEL................................................................................. xiii

DAFTAR GAMBAR............................................................................. xv

DAFTAR LAMPIRAN.......................................................................... xvi

BAB I PENDAHULUAN..................................................................... 1

1.1. Latar Belakang Penelitian.................................................. 1

1.2. Rumusan Masalah............................................................. 8

1.3. Tujuan Penelitian............................................................... 8

1.4. Manfaat Penelitian............................................................. 9

BAB II TINJAUAN PUSTAKA............................................................ 10

2.1. Otonomi Daerah................................................................ 10

2.1.1. Pengertian Otonomi Daerah................................. 10

2.1.2. Tujuan Otonomi Daerah........................................ 12

2.1.3. Konsep Dasar Otonomi Daerah............................ 15

2.2. Kebijakan Pengelolaan Keuangan Daerah........................ 17

2.3. Sistem Hubungan Keuangan Pusat dan Daerah............... 20

x

2.3.1. Desentralisasi Fiskal............................................. 21

2.3.2. Konsep Perimbangan Keungan Pusat-Daerah..... 24

2.3.3. Kemampuan Keuangan Daerah........................... 26

2.4. Kerangka Konseptual........................................................ 29

BAB III METODE PENELITIAN......................................................... 30

3.1. Lokasi Penelitian............................................................... 30

3.2. Tipe Penelitian................................................................... 30

3.3. Jenis dan Sumber Data..................................................... 31

3.4. Teknik Pengumpulan Data................................................. 33

3.5. Defenisi Operasional......................................................... 36

3.5.1. Kemampuan Keuangan Daerah............................. 36

3.5.1.1. Rasio Kemandirian Keuangan Daerah..... 36

3.5.1.2. Rasio Derajat Desentralisasi Fiskal.......... 37

3.5.1.3. Rasio Indeks Kemampuan Rutin.............. 38

3.5.1.4. Rasio Keserasian..................................... 39

3.5.1.5. Rasio Pertumbuhan................................. 39

3.5.2. Pendapatan Asli Daerah......................................... 39

3.6. Metode Analisis Data......................................................... 40

3.6.1. Rasio Kemampuan Keuangan Daerah................... 40

3.6.2. Konstribusi Pendapatan Asli Daerah terhadapAnggaran Penerimaan dan Belanja Daerah........... 46

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN.......................... 48

4.1. Deskripsi Umum Lokasi Penelitian.................................... 48

4.1.1. Profil Kota Makassar............................................... 48

xi

4.1.2. Visi dan Misi Kota Makassar................................... 50

4.1.3. Kondisi Perekonomian Daerah............................... 53

4.1.4. Kondisi Pemerintahan di Kota Makassar................ 54

4.1.5. Kondisi Strategis Kota Makassar............................ 55

4.1.6. Strategi dan Arah Kebijakan Daerah....................... 59

4.2. Hasil Penelitian.................................................................. 59

4.2.1. Tingkat Kemampuan Keuangan Daerah dalam Pelaksanaan Otonomi Daerah Tahun 2007-2011 di Kota Makassar.................................................... 60

4.2.1.1. Rasio Kemandirian Keuangan Daerah. . . 62

4.2.1.2. Rasio Derajat Desentralisasi Fiskal........ 71

4.2.1.3. Rasio Indeks Kemampuan Rutin............ 74

4.2.1.4. Rasio Keserasian.................................... 80

4.2.1.5. Rasio Pertumbuhan................................ 85

4.2.2. Konstribusi Pendapatan Asli Daerah terhadapAnggaran Penerimaan dan Belanja Daerah tahun2007-2011 dalam Menunjang PelaksanaanOtonomi Daerah di Kota Makassar......................... 88

4.2.2.1. Intensifikasi Sumber-Sumber PAD.......... 96

4.2.2.2. Ekstensifikasi Sumber-Sumber PAD....... 98

4.2.2.3. Sumber-Sumber PAD Kota Makassar.. . . 98

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN................................................. 102

5.1. Kesimpulan........................................................................ 102

5.2. Saran................................................................................. 105

DAFTAR PUSTAKA............................................................................ 107

LAMPIRAN......................................................................................... 111

xii

DAFTAR TABEL

Tabel 1.1 Skala Interval Rasio Kemandirian Keuangan Daerah..... 37

Tabel 1.2 Skala Interval Derajat Desentralisasi Fiskal.................... 38

Tabel 1.3 Skala Interval Indeks Kemampuan Rutin........................ 38

Tabel 1.4 Skala Interval Rasio Kemandirian Keuangan Daerah..... 41

Tabel 1.5 Skala Interval Derajat Desentralisasi Fiskal.................... 43

Tabel 1.6 Skala Interval Indeks Kemampuan Rutin........................ 44

Tabel 4.1 Sumber Pendapatan dari Pihak Ekstern (BantuanPemerintah Pusat/Provinsi + Pinjaman).......................... 65

Tabel 4.2 Perhitungan Rasio Kemandirian Keuangan Kota Makassar Tahun Anggaran 2007-2011............................ 67

Tabel 4.3 Perhitungan Rasio Derajat Desentralisasi Fiskal Kota Makassar Tahun Anggaran 2007-2011.................... 72

Tabel 4.4 Pengeluaran Rutin Kota Makassar Tahun Anggaran 2007-2001....................................................... 76

Tabel 4.5 Perhitungan Rasio Indeks Kemampuan Rutin KotaMakassar Tahun Anggaran 2007-2011............................ 78

Tabel 4.6 Komponen Belanja Pembangunan Kota Makassar Tahun Anggaran 2007-2011............................................ 82

Tabel 4.7 Perhitungan Rasio Keserasian Kota Makassar Tahun Anggaran 2007-2011............................................ 82

Tabel 4.8 Perhitungan Rasio Pertumbuhan Kota MakassarTahun Anggaran 2007-2011............................................ 86

Tabel 4.9 Komposisi Pendapatan Asli Daerah Kota MakassarTahun Anggaran 2007-2001............................................ 90

xiii

Tabel 4.10 Rekapitulasi Target dan Realisasi Pendapatan AsliKota Makassar Tahun Anggaran 2007-2011.................... 93

Tabel 4.11 Konstribusi Pendapatan Asli Daerah terhadapTotal Pendapatan APBD Kota Makassar Tahun Anggaran 2007-2011....................................................... 93

xiv

DAFTAR GAMBAR

Gambar 2.1 Latar Belakang Pengaturan Keuangan Daerah............. 18

Gambar 2.2 Kerangka Teori Pelaksanaan Desentralisasi Fiskal....... 22

Gambar 2.3 Kerangka Konseptual.................................................... 29

Gambar 4.1 Hasil Perhitungan Rasio Kemandirian Keuangan Kota Makassar Tahun Anggaran 2007-2011................. 68

Gambar 4.2 Hasil Perhitungan Rasio Derajat Desentralisasi Fiskal Kota Makassar Tahun Anggaran 2007-2011....... 73

Gambar 4.3 Hasil Perhitungan Indeks Kemampuan Rutin Kota Makassar Tahun Anggaran 2007-2011.......................... 79

Gambar 4.4 Hasil Perhitungan Rasio Keserasian Kota MakassarTahun Anggaran 2007-2011.......................................... 84

Gambar 4.5 Hasil Perhitungan Rasio Pertumbuhan KotaMakassar Tahun Anggaran 2007-2011.......................... 88

xv

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1 Laporan Target dan Realisasi APBD Tahun 2007

Lampiran 2 Laporan Target dan Realisasi APBD Tahun 2008

Lampiran 3 Laporan Target dan Realisasi APBD Tahun 2009

Lampiran 4 Laporan Target dan Realisasi APBD Tahun 2010

Lampiran 5 Laporan Target dan Realisasi APBD Tahun 2011

Lampiran 6 Daftar Pernyataan Wawancara

Lampiran 7 Dokumentasi Wawancara

Lampiran 8 Surat Izin Penelitian

xvi

BAB I

PENDAHULUAN

Dalam menjalankan otonomi daerah, pemerintah daerah dituntut

untuk dapat menjalankan roda pemerintahan yang efektif, efisien, dan

mampu mendorong peran masyarakat dalam meningkatkan pemerataan

dan keadilan dengan mengembangkan seluruh potensi yang dimiliki oleh

masing-masing daerah. Keberhasilan otonomi daerah tidak terlepas dari

kemampuan dalam bidang keuangan.

1.1. Latar Belakang Penelitian

Dalam rangka pelaksanaan otonomi daerah, sesuai dengan

Undang-Undang Nomor 32 tahun 2004 jo Undang-Undang Nomor 12

tahun 2008 tentang Pemerintah Daerah dan Undang-Undang Nomor 33

tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan

Pemerintah Daerah, serta Peraturan Pemerintah Nomor 58 tahun 2005

tentang Pengelolaan Keuangan Daerah. Dituntut kemandirian Pemerintah

Daerah dalam pembiayaan penyelenggaraan pemerintah dan

pembangunan. Anggaran belanja rutin maupun pembangunan tidak lagi

berasal dari pusat, tetapi lebih banyak berasal dari sumber-sumber daerah

sendiri. Hal ini berarti pemerintah daerah memiliki tanggungjawab yang

lebih besar dalam pengelolaan keuangan daerah.

Dalam Penjelasan Umum UU No. 32 Tahun 2004 dinyatakan

bahwa penyelenggaraan fungsi pemerintahan daerah akan terlaksana

1

secara optimal apabila penyelenggaraan urusan pemerintah diikuti

dengan pemberian sumber-sumber penerimaan yang cukup kepada

daerah, dengan mengacu kepada Undang-Undang tentang Perimbangan

Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah, dimana

besarnya disesuaikan dan diselaraskan dengan pembagian kewenangan

antara Pemerintah dan Daerah. Semua sumber keuangan yang melekat

pada setiap urusan pemerintah yang diserahkan kepada daerah menjadi

sumber keuangan daerah. Oleh karena itu, Pemerintah Daerah harus

lebih jeli dan tanggap memandang dan mengoptimalkan pemanfaatan

potensi daerah sebagai pendapatan daerah.

Kriteria penting untuk mengetahui secara nyata kemampuan

daerah dalam mengatur dan mengurus rumah tangganya adalah

kemampuan self-supporting bidang keuangan1. Faktor keuangan

merupakan faktor yang esensial dalam mengukur tingkat kemampuan

daerah dalam melaksanakan otonominya. Dimana daerah mampu

membiayai penyelenggaraan pemerintahan daerahnya dengan tingkat

ketergantungan kepada pemerintah pusat mempunyai proporsi yang

semakin mengecil.

Keuangan daerah merupakan sumber daya yang dominan dalam

menopang kemampuan otonomi daerah. Hampir tidak ada satupun

kegiatan pemerintah di daerah yang tidak memerlukan biaya. Oleh sebab

1 Kaho, Josef Riwu. 1991. Prospek Otonomi Daerah di Negara Republik Indonesia: Identifikasi Beberapa Faktor yang Mempengaruhi Penyelenggaraannya. Jakarta: CV. Rajawali.

2

itu pengelolaan keuangan daerah merupakan satu variable yang penting

dalam kerangka pelaksanaan otonomi daerah dan pemerintahan di

daerah pada umumnya2.

Menurut S. Pamudji dalam Kaho, bahwa Pemerintah Daerah tidak

akan dapat melaksanakan fungsinya dengan efektif dan efisien tanpa

biaya yang cukup untuk memberikan pelayanan dan pembangunan3.

Kemampuan keuangan daerah dalam era otonomi daerah sering

diukur dengan menggunakan kinerja PAD. Besar-kecilnya penerimaan

PAD seringkali dihubungkan dengan keberhasilan daerah dalam

menjalani otonomi daerah. Pajak dan Retribusi daerah (yang merupakan

komponen penyumbang PAD terbesar) seyogyanya mampu membiayai

belanja pemerintah daerah (Kuncoro, 2007)4.

Hal ini pula yang menjadi penyebab munculnya permasalahan di

daerah, seperti: masih adanya arogansi pemerintah pusat yang hingga

kini belum menyerahkan kewenangan pengelolaan sumber daya alam

kepada daerah. Sikap pemerintah pusat yang demikian ini sangat

menyulitkan departemen keuangan untuk menghitung secara pasti berapa

2 Djaenuri, Aries, dkk. 2003. Sistem Pemerintahan Daerah. Jakarta: Pusat Penerbitan Universitas Terbuka.

3 Kaho, Josef Riwu. 1991. Prospek Otonomi Daerah di Negara Republik Indonesia: Identifikasi Beberapa Faktor yang Mempengaruhi Penyelenggaraannya. Jakarta: CV. Rajawali.

4 Adi, Priyo Hari. 2012. Jurnal Studi Pembangunan Interdisiplin Vol. XXI, No. 1. Kemampuan Keuangan Daerah dalam Era Otonomi dan Relevansinya dengan Pertumbuhan Ekonomi (Studi Pada Kabupaten dan Kota se Jawa – Bali). (Online) (http://priyohari.files.wordpress.com/2009/06/kemampuan-keuangan-daerah-dan-relevansi.pdf diakses tanggal 10 Oktober 2012).

3

penghasilan yang didapati dalam pengelolaan sumber daya alam di

daerah.

Selain itu, berkaitan dengan pajak, salah satunya yaitu Pajak

Penghasilan (PPh), dimana selama ini daerah telah memberikan fasilitas

yang ikut mendukung kelancaran usaha penyediaan sarana, perizinan dan

situasi usaha yang kondusif, namun selama ini daerah tidak memperoleh

“bagi hasil pajak” dari hasil penerimaannya. Berdasarkan UU No. 17 tahun

2000 daerah akan memperoleh bagian 20%, hanya sebagai objek pajak

perorangan, namun sebagai objek badan usaha, daerah tidak

memperolehnya. Perusahaan besar belum memberikan konstribusi apa-

apa kecuali ekses keberadaannya di daerah dan resiko sosial yang

dialami masyarakat setempat.5

Dampak dari munculnya permasalahan diatas adalah daerah akan

tetap selalu menggantungkan diri pada bantuan pemerintah pusat yang

tentunya tidak menguntungkan bagi pemerintah pusat karena daerah

dianggap sebagai beban, dan bagi pemerintah daerah sendiri hal ini

merupakan faktor yang menghambat kemandirian daerah dalam

mengurus rumah tangganya sendiri. Daerah akan kesulitan dalam

mengelola sumber-sumber Pendapatan Asli Daerah (PAD).

Pengukuran tingkat kemampuan keuangan daerah yang banyak

dilakukan saat ini antara lain dengan melihat rasio antara PAD dengan

APBD. Prinsipnya, semakin besar sumbangan PAD kepada APBD akan

5 Haris, Syamsuddin. 2007. Desentralisasi dan Otonomi Daerah: Desentralisasi, Demokratisasi, dan Akuntabilitas Pemerintah Daerah. Jakarta: LIPI Press.

4

menunjukkan semakin kecil ketergantungan daerah kepada pemerintah

pusat. satu hal yang perlu dicatat adalah peningkatan PAD bukan berarti

daerah harus berlomba-lomba membuat pajak baru, tetapi diharapkan

daerah memiliki tingkat kejelian yang tinggi dan kemampuan dalam

melihat dan memanfaatkan sumber-sumber potensial yang dimiliki.

Sebaliknya, ketidakmampuan pemerintah daerah dalam melihat dan

memanfaatkan sumber-sumber pendapatan potensial yang ada dapat

mengakibatkan rendahnya kemampuan keuangan daerah yang pada

akhirnya akan menghambat kelancaran pelaksanaan otonomi daerah.6

Kota Makassar merupakan kota terbesar keempat di Indonesia dan

terbesar di Kawasan Timur Indonesia (KTI). Sebagai salah satu daerah

otonom yang terdiri dari 14 kecamatan dan 143 kelurahan7, Makassar juga

memiliki sumber pendapatan yang potensial untuk dioptimalkan

pemberdayaannya. Sebagai kota, Makassar memiliki beberapa potensi

yang dapat dijadikan sumber penerimaan Pendapatan Daerah, yaitu: (1)

PAD yang terdiri dari Pajak Daerah, Retribusi Daerah, Hasil Perusahaan

Milik Daerah, Hasil Pengelolaan Kekayaan Daerah yang Dipisahkan, dan

Lain-lain Pendapatan Asli Daerah Yang Sah. (2) Dana Perimbangan yang

terdiri dari Bagi Hasil Pajak, Bagi Hasil Bukan Pajak, Dana Alokasi Umum,

6 Bella, Rohana. 2002. Potensi Objek Pendapatan Asli Daerah (Retribusi) Kota Makassar. Makassar: Badan Penelitian dan Pengembangan Daerah Provinsi Sulawesi Selatan.

7 Badan Pusat Statistik. 2010. Makassar Dalam Angka 2010. Makassar: Badan Pusat Statistik Kota Makassar.

5

Dana Alokasi Khusus, dan Bagi Hasil Pajak dan Bantuan Keuangan dari

Pemerintah Provinsi. (3) Lain-lain Pendapatan Yang Sah8.

Total Pendapatan Asli Daerah Kota Makassar tahun 2009 sebesar

Rp 170.698.725.818,79. Pada tahun 2010 meningkat menjadi

Rp 210.068.212.205,64 atau sebesar 18,74% jika dibandingkan dengan

tahun 2009. Kemudian pada tahun 2011 sebesar Rp 351.692.552.587,60

atau meningkat 40,27% dari tahun sebelumnya. Total dana perimbangan

pada tahun 2009 sebesar Rp 833.834.215.606 tahun 2010 sebesar

Rp 861.280.547.227 dan tahun 2011 sebesar Rp 905.873.927.525. Jika

dipersentasekan, maka total dana perimbangan dari tahun 2009 ke tahun

2010 meningkat sebesar 3,19% dan pada tahun 2011 meningkat lagi

sebesar 4,92% dari total dana perimbangan tahun 2010. Sedangkan total

lain-lain pendapatan yang sah pada tahun 2009 sebesar

Rp 211.184.779.475 tahun 2010 sebesar Rp 380.188.360.973,21 atau

meningkat sebesar 44,45%. Dan pada tahun 2011 meningkat menjadi

sebesar Rp 417.004.035.010,37 atau naik sebesar 19,28% dari total lain-

lain pendapatan yang sah pada tahun 2010.9

Berdasarkan tren diatas, dapat dilihat bahwa terjadi peningkatan

jumlah dari tahun ke tahun dalam kurun waktu 2009-2011 baik dari jumlah

PAD, Dana Perimbangan, dan Lain-lain Pendapatan yang Sah Kota

Makassar.

8 Laporan Keterangan Pertanggungjawaban Walikota Makassar Tahun 2006 dipubli-kasikan pada http://makassarkota.go.id/download/lkpj_2006_30_maret_2006.pdf.

9 Dinas Pendapatan Daerah Kota Makassar, APBD Kota Makassar tahun 2009-2011. Data diolah. 2012

6

Sebagai daerah otonom, Kota Makassar melaksanakan urusan

desentralisasi, yang terdiri dari 26 (dua puluh enam) urusan wajib, dan 5

(lima) urusan pilihan. Untuk melaksanakan kebijakan urusan tersebut Kota

Makassar melaksanakan program-program dan kegiatan-kegiatan sebagai

wujud dari operasionalisasi urusan desentralisasi. Salah satu urusan wajib

pemerintah Kota Makassar yang dibiayai oleh APBD pada tahun 2009

adalah Urusan Kependudukan dan Catatan Sipil, dengan uraian program:

1) Program Pelayanan Administrasi Perkantoran dengan alokasi anggaran

Rp. 650.740.000 realisasi fisik 95,26%; 2) Program Peningkatan Sarana

dan Prasarana Aparatur alokasi anggaran sebesar Rp. 798.679.000

realisasi fisik 99,88%; 3) Program Peningkatan Disiplin Aparatur dengan

alokasi anggaran Rp. 26.400.000 realisasi fisik 100%; 4) Program

Peningkatan Pengembangan Sistem Pelaporan dengan alokasi anggaran

sebesar Rp. 50.000.000 realisasi fisik 100%; dan 5) Program Penataan

Administrasi Kependudukan dengan nilai alokasi anggaran sebesar

Rp. 5.991.524.150,- realisasi fisik 99,99%.10

Dengan adanya urusan wajib dan urusan pilihan sebagai dampak

dari adanya urusan desentralisasi, maka dibutuhkan kejelian dalam

melihat dan mengolah sumber-sumber pendapatan daerah yang ada di

Kota Makassar. Dari situlah kita dapat melihat apakah pemerintah Kota

Makassar sudah mampu mengoptimalkan tiap-tiap sumber pendapatan

10 Pemerintah Kota Makassar. Informasi Laporan Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah (ILPPD) Kota Makassar Tahun 2009. (Online) (http:// makassar kota.go.id/ download/ ilppd2009 .pdf diakses tanggal 17 Agustus 2012).

7

yang ada untuk mempercepat atau mendukung pelaksanaan otonomi

daerah.

Berdasarkan uraian diatas, penulis tertarik untuk melakukan

penelitian dengan judul: “ANALISIS KEMAMPUAN KEUANGAN

DAERAH DALAM PELAKSANAAN OTONOMI DAERAH TAHUN 2007-

2011 DI KOTA MAKASSAR”.

1.2. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang di atas, maka rumusan masalah yang

akan dibahas dalam penelitian ini adalah:

1. Bagaimana tingkat kemampuan keuangan daerah dalam pelaksanaan

otonomi daerah tahun 2007-2011 di Kota Makassar?

2. Bagaimana konstribusi Pendapatan Asli Daerah terhadap Anggaran

Pendapatan dan Belanja Daerah tahun 2007-2011 dalam menunjang

pelaksanaan Otonomi Daerah di Kota Makassar?

1.3. Tujuan Penelitian

Tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini adalah:

1. Untuk mendeskripsikan tingkat kemampuan keuangan daerah dalam

pelaksanaan otonomi daerah tahun 2007-2011 di Kota Makassar.

2. Untuk mendeskripsikan sejauh mana konstribusi Pendapatan Asli

Daerah terhadap Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah tahun

2007-2011 dalam menunjang pelaksanaan Otonomi Daerah di Kota

Makassar.

8

1.4. Manfaat Penelitian

Manfaat yang diharapkan dari penelitian ini adalah:

1. Secara akademis, penelitian ini bertujuan untuk memberikan

sumbangan bagi pengembangan ilmu pemerintahan, khususnya

pengembangan penelitian yang berbasis kuantitatif kualitatif (mixed).

Lebih jauh, penelitian ini diharapkan dapat memberikan gambaran

tentang kemampuan keuangan daerah dalam mendukung

pelaksanaan otonomi daerah di Kota Makassar.

2. Secara praktis, diharapkan dapat menjadi masukan bagi pemerintah

Kota Makassar dalam penyelenggaraan pemerintahan dalam melihat

sumber-sumber pendapat daerah yang ada di Kota Makassar.

9

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

Pada bagian ini akan dipaparkan berbagai konsep dan teori yang

dijadikan sebagai alat analisis terhadap masalah yang diangkat dalam

skripsi ini.

2.1. Otonomi Daerah

2.1.1. Pengertian Otonomi Daerah

Otonomi atau autonomy berasal dari bahasa Yunani, autos yang

berarti sendiri dan nomous yang berarti hukum atau peraturan. Dengan

demikian, otonomi pada dasarnya memuat makna kebebasan dan

kemandirian. Koesoemahatmadja (1979) berpendapat bahwa otonomi itu

mengandung arti perundangan (bestuur). Lebih jauh diungkapkan CW.

Van der Pat “Autonomie betehent ander dan Het word zon daen

Vermdeden regehing en bestuur van Eigen zaken, van wat de grond wet

noemt ligen huishording” (otonomi itu berarti peraturan dan pemerintahan

dari urusan sendiri). Bayu Suryaningrat (1980) berpedapat bahwa otonomi

berarti mengatur sendiri, melaksanakan pemerintahan sendiri.

Dari beberapa pendapat diatas, dapat disimpulkan bahwa otonomi

adalah menyelenggarakan pemerintahan sendiri. Dalam pengertian

menyelenggarakan pemerintahan sendiri ini terkandung unsur hak dan

wewenang. Tanpa adanya hak dan wewenang suatu lembaga tidak akan

dapat melaksanakan pemerintahan sendiri. Atas dasar itu dapat

10

disimpulkan bahwa pengertian otonomi adalah hak dan wewenang

menyelenggarakan pemerintahan sendiri.11

Menurut Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang

Pemerintah Daerah Pasal 1 ayat 5, “Otonomi daerah adalah hak,

wewenang, dan kewajiban daerah otonom untuk mengatur dan mengurus

sendiri urusan pemerintah dan kepentingan masyarakat setempat sesuai

dengan peraturan perundang-undangan”. Dari pengertian itu, dapat

diartikan bahwa otonomi daerah merupakan kemerdekaan atau

kebebasan menentukan aturan sendiri berdasarkan perundang-undangan,

dalam memenuhi kebutuhan daerah sesuai dengan potensi dan

kemampuan yang dimiliki oleh daerah.

Pengertian otonomi dapat juga ditemukan dalam literature Belanda,

dimana otonomi berarti pemerintahan sendiri (zelfregering) yang oleh Van

Vollenhoven dibagi atas zelfwetgeving (membuat undang-undang sendiri),

zelfuitvoering (melaksanakan sendiri), zelfrechtspraak (mengadili sendiri),

dan zelfpolitie (menindaki sendiri) (Sarundajang, 2005).

Sarundajang (2005) juga menyatakan bahwa otonomi daerah pada

hakekatnya adalah:

a. Hak mengurus rumah tangga sendiri bagi suatu daerah otonom. Hak

tersebut bersumber dari wewenang pangkal dan urusan-urusan

pemerintah (pusat) yang doserahkan kepada daerah. Istilah sendiri

11 Djaenuri, dkk. 2003. Sistem Pemerintahan Daerah. Jakarta: Pusat Penerbitan Universitas Terbuka.

11

dalam hak mengatur dan mengurus rumah tangga merupakan inti

keotonomian suatu daerah.

b. Dalam kebebasan menjalankan hak mengurus dan mengatur rumah

tangga sendiri, daerah tidak dapat menjalankan hak dan wewenang

otonominya itu diluar batas-batas wilayah daerahnya.

c. Daerah tidak boleh mencampuri hak mengatur dan mengurus rumah

tangga daerah lain sesuai dengan wewenang pangkal dan urusan

yang diserahkan kepadanya.

d. Otonomi tidak membawahi otonomi darah lain, hak mengatur dan

mengurus rumah tangga sendiri tidak merupakan hak mengatur dan

mengurus rumah tangga daerah lain.

2.1.2 Tujuan Otonomi Daerah

Pelaksanaan otonomi daerah tidak terlepas dari keberadaan Pasal

18 Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945. Pasal tersebut

yang menjadi dasar penyelenggaraan otonomi dipahami sebagai

normatifikasi gagasan-gagasan yang mendorong pemakaian otonomi

sebagai bentuk dan cara menyelenggarakan pemerintahan daerah.

Otonomi yang dijalankan tetap harus memperhatikan hak-hak asal usul

dalam daerah yang bersifat istimewa.

Sejalan dengan hal itu, Soepomo dalam Ladjin (2008) mengatakan

bahwa otonomi daerah sebagai prinsip berarti menghormati kehidupan

regional menurut riwayat, adat dan sifat-sifat sendiri dalam kadar Negara

kesatuan. Tiap daerah mempunyai historis dan sifat khusus yang

12

berlainan dari riwayat dan sifat daerah lain. Oleh karena itu, pemerintah

harus menjauhkan segala urusan yang bermaksud akan menguniformisir

seluruh daerah menurut satu model.

Menurut Sarundajang (2005), tujuan pemberian otonomi daerah

setidak-tidaknya akan meliputi 4 (empat) aspek sebagai berikut:

a. Dari segi politik adalah untuk mengikutsertakan, menyalurkan inspirasi

dan aspirasi masyarakat, baik untuk kepentingan daerah sendiri,

maupun untuk mendukung politik dan kebijaksanaan nasional dalam

rangka pembangunan dalam proses demokrasi di lapisan bawah.

b. Dari segi manajemen pemerintahan, adalah untuk meningkatkan

dayaguna dan hasil guna penyelenggaraan pemerintahan, terutama

dalam memberikan pelayanan terhadap masyarakat dengan

memperluas jenis-jenis pelayanan dalam berbagai bidang kebutuhan

masyarakat.

c. Dari segi kemasyarakatan, untuk meningkatkan partisipasi serta

menumbuhkan kemandirian masyarakat, dengan melakukan upaya

pemberdayaan (empoerment) masyarakat, sehingga masyarakat

makin mandiri, dan tidak terlalu banyak tergantung pada pemberian

pemerintah serta memiliki daya saing yang kuat dalam proses

pertumbuhannya.

d. Dari segi ekonomi pembangunan adalah untuk melancarkan

pelaksanaan program pembangunan guna tercapainya kesejahteraan

rakyat yang makin meningkat.

13

Martin dalam Paturusi (2009) mengemukakan bahwa tujuan utama

otonomi daerah pada era otonomi daerah telah tertuang dalam kebijakan

desentralisasi sejak tahun 1999, yakni:

a. Pembebasan pusat, meksudnya membebaskan pemerintah pusat dari

beban-beban tidak perlu mengenai urusan domestic sehingga ia

berkesempatan mempelajari, memahami, merespons berbagai

kecenderungan global dan mengambil manfaat daripadanya. Pada

saat yang sama sangat diharapkan pemerintah pusat lebih mampu

berkonsentrasi pada kebijakan makro nasional dari yang bersifat

strategis.

b. Pemberdayaan lokal atau daerah. Alokasi kewenangan pemerintah

pusat ke daerah maka daerah akan mengalami proses pemberdayaan

yang signifikan. Artinya ability (kemampuan) prakarsa dan kreativitas

daerah akan terpacu sehingga kapasitasnya dalam mengatasi

berbagai masalah domestic akan semakin kuat.

c. Pengembalian trust (kepercayaan) pusat ke daerah. Desentralisasi

merupakan simbol lahirnya kepercayaan dari pemerintah pusat ke

daerah. Hal ini dengan sendirinya mengembalikan kepercayaan

kepada pemerintah dan masyarakat daerah.12

Dalam penyelenggaraan otonomi daerah, daerah mempunyai

kewajiban:

12 Paturusi, Idrus A, dkk. 2009. Hasil Penelitian. Esensi dan UrgensitasPeraturan Daerah dalam Pelaksanaan Otonomi Daerah. (Online) (http://senatorindonesia.org/ lawcenter.public/documents/files/ESENSI%20DAN%20URGENSITAS%20PERATURAN%20DAERAH%20DALAM%20PELAKSANAAN%20OTONOMI%20DAERAH%20_UNHAS.pdf diakses tanggal 5 April 2012).

14

a. melindungi masyarakat, menjaga persatuan, kesatuan, dan

kerukunan nasional, serta keutuhan Negara Kesatuan Republik

Indonesia;

b. meningkatkan kualitas kehidupan masyarakat;

c. mengembangkan kehidupan demokrasi;

d. mewujudkan keadilan dan pemerataan;

e. meningkatkan pelayanan dasar pendidikan;

f. menyediakan fasilitas pelayanan kesehatan;

g. menyediakan fasilitas sosial dan fasilirtas umum yang layak;

h. mengembangkan sistem jaminan sosial;

i. menyusun perencanaan dan tata ruang daerah;

j. mengembangkan sumber daya produktif di daerah;

k. melestarikan lingkungan hidup;

l. mengelola administasi kependudukan;

m. melestarikan nilai sosial budaya;

n. membentuk dan menerapkan peraturan pperundang-undangan

sersuai dengan kewenangannya, dan

o. kewajiban lain yang diatur dalam peraturan perundang-undangan.13

2.1.3. Konsep Dasar Otonomi Daerah

Menurut Ryaas Rasyid dalam Syamsuddin Haris (2007:10), konsep

dasar otonomi daerah yang melandasi lahirnya Undang-undang Nomor 22

13 Pasal 22 Undang-undang Nomor 32 tahun 2004.

15

tahun 1999 dan Undang-undang 25 tahun 1999, dan menjadi tonggak

lahirnya otonomi daerah dan desentralisasi, yaitu:

a. penyerahan sebanyak mungkin kewenangan pemerintahan dalam

hubungan domestik pada daerah. Selain bidang keuangan dan

moneter, politik luar negeri, pertahanan, keagamaan, serta beberapa

bidang kebijakan pemerintahan yang bersifat strategis nasional, semua

bidang pemerintahan lain dapat didesentralisasikan;

b. penguatan peran DPRD dalam pemilihan dan penetapan kepala

daerah. Kewenangan DPRD dalam menilai keberhasilan atau

kegagalan kepemimpinan kepala daerah harus dipertegas.

Pemberdayaan dan penyaluran aspirasi masyarakat harus dilakukan;

c. pembangunan tradisi politik yang lrebih sesuai dengan kultur setempat

demi menjamin tampilnya kepemimpinan pemerintahan yang

berkualitas tinggi dengan tingkat akseptabilitas yang tinggi pula;

d. peningkatan efektivitas fungsi-fungsi pelayanan eksekutif melalui

pembenahan organisasi dan institusi yang dimiliki agar lebih sesuai

derngan ruang lingkung kewenangan yang telah didesentralisasikan,

setara dengan beban tugas yang dipikul, selaras degan kondisi

daerah, serta lebih responsive terhadap kebutuhan daerah.

e. peningkatan efisiensi administrasi keuangan daerah serta pengaturan

yang jelas atas sumber-sumber pendapatan Negara dan daerah,

pembagian revenue dari sumber penerimaan yang terkait dengan

16

kekayaan alam, pajak, retribusi, tata cara, serta syarat untuk pinjaman

dan obligasi daerah;

f. perwujudan desentralisasi fiscal melalui pembesaran alokasi subsidi

dari pemerintah pusat yang bersifat block grant, pengaturan

pembagian sumber-sumber pendapatan daerah, pemberiaan

keleluasaan kepada daerah untuk menetapkan prioritas

pembangunan, serta oprtimalisasi upaya pemberdayaan masyarakat

melalui lembaga swadaya pembangunan yang ada; dan

g. pembinaan dan pemberdayaan lembaga-lembaga dan nilai-nilai lokal

yang bersifat kondusif terhadap upaya memelihara harmoni sosial dan

solidaritas sosial sebagai satu bangsa.

2.2. Kebijakan Pengelolaan Keuangan Daerah

Kebijakan pengelolaan keuangan daerah disesuaikan dengan

situasi dan kondisi serta potensi daerah dengan berpedoman pada

Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah

dan Undang-Undang No. 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan antara

Pemerintah Pusat dan Daerah dan Peraturan Pemerintah Nomor 105

Tahun 2000 Tentang Pengelolaan dan Pertanggungjawaban Keuangan

Daerah. Berdasarkan Peraturan Perundang-undangan tersebut, maka

dapat dikemukakan bahwa kebijakan umum pengelolaan keuangan

daerah antara lain sebagai berikut:

17

UU Pajak dan Reribusi DaerahUU Pemerintahan Daerah

UU Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah

Pelayanan Publik Transparansi dan Akuntabilitas Pengelolaan Keuangan Daerah

MONEY FOLLOW FUNCTIONPOWER SHARING

1. Dalam mengalokasikan anggaran baik rutin maupun pembangunan

senantiasa berpegang pada prinsip-prinsip anggaran berimbang dan

dinamis serta efisien dan efektif dalam meningkatkan produktivitas.

2. Anggaran rutin diarahkan untuk menunjang kelancaran tugas

pemerintah dan pembangunan.

3. Anggaran pembangunan diarahkan untuk meningkatkan sector-sektor

secara berkesinambungan dalam mendukung penyempurnaan

maupun perbaikan sarana daan prasarana yang dapat menunjang

peningkatan pembangunan dan kemasyarakatan dengan

memperhatikan skala prioritas14.

Gambar 2.1

Latar Belakang Pengaturan Keuangan Daerah15

Menurut Peraturan Perundang-Undangan Nomor 105 Tahun 2000

tentang Pengelolaan dan Pertanggungjawaban Keuangan Daerah, dalam

14 Nordiawan, Deddi. 2008. Akuntansi Sektor Publik. Jakarta: Salemba Empat.

15 Sarundajang, S.H. 2005. Babak Baru Sistem Pemerintahan Daerah. Jakarta: Kata Hasta Pustaka.

18

Pasal 1 disebutkan bahwa keuangan daerah adalah semua hak dan

kewajiban dalam rangka penyelenggaraan pemerintahan daerah yang

dapat dinilai dengan uang termasuk didalamnya segala bentuk kekayaan

yang berhubungan dengan hak dan kewajiban daerah tersebut dalam

kerangka Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD).

Disisi lain keuangan daerah adalah sebagai alat fiskal pemerintah

daerah, merupakan bagian integral dari keuangan Negara dalam

mengalokasikan sumber-sumber ekonomi, memeratakan hasil

pembangunan dan menciptakan stabilitas ekonomi selain stabiliats sosial

politik. Peranan keuangan daerah semakin penting, selain karena

keterbatasan dana yang dapat dialihkan ke daerah berupa Dana Alokasi

Umum (DAU) dan dana Alokasi Khusus (DAK), tetapi juga karena makin

kompleksnya persoalan yang dihadapi daerah dan pemecahannya

membutuhkan partisipasi aktif masyarakat daerah. Selain itu, peranan

keuangan daerah yang makin meningkat akan mendorong terwujudnya

otonomi daerah yang nyata dan bertanggungjawab (Radianto dalam

Farian (2010)).

Untuk menyelenggarakan otonomi daerah yang luas, nyata dan

bertanggungjawab diperlukan kewenangan dan kemampuan untuk

menggali sumber keuangan sendiri yang didukung oleh perimbangan

keuangan antara pemerintah pusat dan daerah yang merupakan prasyarat

dalam sistem pemerintahan daerah. Sehubungan dengan itu, maka

daerah hendaknya memiliki kewenangn yang luas dan kamampuan yang

19

optimal untuk menggali dan mengembangkan potensi sumber

keuangannya sendiri.

Mengenai pentingnya pengelolaan keuangan daerah, J. Wajong

dalam Kaho (2010:68) menyatakan:

1. bahwa pengendalian keuangan mempunyai pengaruh yang begitu

besar pada hari kemudia penduduk sedaerah, sehingga kebijaksanaan

yang ditempuh pada melakukan kegiatan irtu dapat menyebabkan

kemakmuran atau kelemahan, kejayaan atau kejatuhan penduduk

daerah itu;

2. bahwa kepandaian mengendalikan daerah tidak akan memberikan

hasil yang memuaskan dan abadi, tanpa cara pengendalian keuangan

yang baik, terlebih lagi tanpa kemampuan melihat ke muka dengan

penuh kebijaksanaan, yang harus diarahkan pada melindungi dan

memperbesar harta daerah, dengan mana semua kepentingan

masyarakat sedaerah sangat berhubungan erat;

3. bahwa anggaran adalah alat utama pada pengendalian keuangan

daerah, sehingga rencana anggaran yang di perhadapkan pada DPRD

haruslah tepat dalam bentuk dan susunannya dengan memuat

rancangan yang dibuat berdasarkan keahlian dengan pandangan

kemuka yang bijaksana.

2.3. Sistem Hubungan Keuangan Pusat dan Daerah

Belakangan ini ada kecenderungan yang terjadi di seluruh dunia

akan tuntutan terhadap peningkatan kewenangan daerah dalam

20

melaksanakan kebijakan ekonomi. Tuntutan ini didukung oleh alasan

bahwa permasalahan yang terjadi di daerah sedemikian kompleks dan

multidimensional sehingga tidak mungkin diatasi dengan suatu terapi yang

bersifat terpusat. Selain itu disadari bahwa span of control pemerintah

pusat sangat terbatas, sehingga kebijakan yang dibuat menjadi tidak

efektif dan efisien.

2.3.1. Desentralisasi Fiskal

Menurut Saragih (2003:83), desentralisasi fiscal adalah suatu

proses distribusi anggaran dari tingkat pemerintahan yang lebih tinggi

kepada pemerintahan yang lebih rendah untuk mendukung fungsi atrau

tugas pemerintahan dan pelayanan publik sesuai dengan banyaknya

kewenangan bidang pemeritahan yang dilimpahkan.

Dalam pelaksanaan desentralisasi fiskal, prinsip (rules) money

should follow function merupakan salah satu prinsip yang harus

diperhatikan dan dilaksanakan. Artinya, setiap penyerahan atau

pelimpahan wewenang pemerintahan membawa konsekuensi pada

anggaran yang diperlukan untuk melaksanakan kewenangan tersebut.

Dalam kebijakan fiskal, dana perimbangan merupaka inti dari

desentralisasi fiskal. Kebijakan desentralisasi fiskal selalu berkorelasi

dengan persoalan kebijakan fiskal nasioanal dalam APBN. Oleh sebab itu,

kebijakan desentralisasi fiskal dalam mendukung otonomi daerah juga

21

sedikitr banyak bergantung pada kebijakan APBN dan kebijakan ekonomi

makro.16

Berikut adalah kerangka teori atau landasan teoritis pelaksanaan

desentralisasi fiskal di Indonesia.

Gambar 2.2

Kerangka Teori Pelaksanaan Desentralisasi Fiskal17

Berdasarkan gambar diatas, maka landasan teoritis pelaksaan

desentralisasi fiskal terdiri dari empat bagian, yaitu:

1. Dasar pelaksanaan desentralisasi fiskal (Oates, 1999):

a. Negara yang luas wilayahnya tidak dapat melakukan sentralisasi.

b. Sentralisasi menyebabkan ketimpangan dan ketidakadilan.

c. Kebutuhan daerah lebih dikenal dan diketahui oleh orang yang

tinggal didalamnya.

16 Prof. Roy W. Bahl dalam Saragih, Juli Panglima. 2003. Desentralisasi Fiskal dan Keuangan Daerah dalam Otonomi. Jakarta: Ghalia Indonesia

17 Departemen Keuangan Republik Indonesia. Jurnal: Desentralisasi Fiskal. (Online) (www.djpk.depkeu.go.id/document.php diakses tanggal 17 Agustus 2012).

22

Alasan melakukan transfer (Jun Ma

(1997) dan Anwar Shah (1994))

Dasar pelaksanaan desentralisasi fiskal

(Oates, 1999)

KERANGKA KONSEPSI/LAN-

DASAN TEORITIS DESETRALISASI

FISKAL

Dasar penentuan transfer (Hyman P.

Minsky, 1994)

Kriteria tranfer (Jun Ma (1997) dan Anwar

Shah (1994))

d. Desentralisasi fiskal dan otonomi daerah lebih efisien dari manfaat

dan pembiayaan.

2. Alasan melakukan transfer (Jun Ma (1997) dan Anwar Shah (1994)):

a. Vertical fiscal imbalances.

b. Horizontal fiscal imbalances.

c. Spill-over effects.

d. Stabilization objectives.

3. Kriteria transfer (Jun Ma (1997) dan Anwar Shah (1994))

a. Daerah dapat melaksanakan tugas yang direncanakan dari revenue

adequacy.

b. Formula tidak mendorong terjadinya defisit anggaran.

c. Formula berbanding lurus dengan kebutuhan fiskal dan berbanding

terbalik dengan kapasistas fiskal daerah.

d. Transparansi dan stabilitas.

4. Dasar penentuan transfer (Hyman P. Minsky, 1994)

a. Alokasi pusat ke daerah ditentukan fiscal capacity, dan/atau fiscal

reed.

b. Kapasitas fiskal mencerminkan potensi kemampuan daerah

mendanai jasa-jasa yang harus disediakan pemerintah.

c. Kebutuhan fiskal menunjukkan total pengeluaran yang dibutuhkan

daerah.

d. Formula transfer umumnya menggunakan fiscal gap sebagai indikasi

menentukan besaran transfer.

23

2.3.2. Konsep Perimbangan Keuangan Pusat-Daerah

Sistem hubungan keuangan pusat dan daerah merupakan suatu

mekanisme distribusi sejumlah dana anggaran dari pemerintah pusat

kepada daerah dalam kerangka otonomi daerah. Konsep perimbangan

keuangan pusat dan daerah adalah konsekuensi dari adanya

tanggungjawab yang bersifat derivatif dari kebijakan otonomi daerah.

Artinya, semakin banyak kewenangan yang dilimpahkan, maka

kecenderungan semakin besar biaya yag dibutuhkan oleh daerah.18

Menurut K. Davey hubungan keuangan pusat dan daerah dapat

dilakukan melaui beberapa pendekatan:

a. Pendekatan kapitalis. Berdasarkan pendekatan ini, hubungan antara

pemerintah pusat dan daerah dibidang keuangan adalah atas dasar

kuasi komersial. Disini pemerintah pusat mengadakan investrasi di

daerah, berpatungan dengan pemerintah daerah. Pemerintah daerah

diberikan kewenangan untuk mengelola namun keunungan yang

diperoleh sebagian menjadi hak pusat dan sebagian lagi menjadi hak

daerah sesuai dengan besarnya modal yang ditanam dan

perimbangan manajemennya.

b. Pendekatan sumber pendapatan. Pendekatan ini didasarkan pada

sebagian pendapatan dari sumber-sumber pendapatan oleh pusat

kepada daerah. Pemberian ini dapat berupa kewenangan mengelola

sumber-sumber pendapatan tertentu sepenuhnya yang diserahkan

18 Ibid

24

kepada daerah atua kewenangan menikmati sebagian (persentase)

dari punguta yang dilaukan oleh daerah atas nama pusat.

c. Pendekatan belanja. Pendekatan ini didasarkan pada kebutuhan

pengeluaran biaya-biaya untuk proyek atau untuk membiayai kegiatan

rutin pemerintah daerah. Ada beberapa persyaratan dalam pendekatan

ini, yaitu subsidi pemerintah pusat diberikan dengan

mempertimbangkan kemampuan dan alokasi bantuan pada masing-

masing daerah dan kebutuhan biaya-biaya pembangunan tidak boleh

ada perbedaan yang mencolok dengan tahun-tahun sebelumnya.

d. Pendekatan komprehensif. Pendekatan ini didasarkan pada pemberian

wewenang kepada daerah untuk mengelola sumber-sumber

pendapatan sendiri guna membiayai pengeluaran-pengeluaran daerah

dan mencoba untuk mempertemukan antra sumber-sumber

pendapatan dan target belanja. Selanjutnya dikemukakan pula bahwa

sumber-sumber pendapatan yang boleh dikelola sepenuhnya

merupakan sumber Pendapatan Asli Daerah (PAD). Apabila untuk

membiayai pegeluaran-pengeluaran daerah itumasih kurang (dan

biasanya memang sangat kurang), maka kekurangannya itu akan

disubsidi pusat.19

Menurut Machfud Sidik dalam Rahim (2008), perimbangan

keuangan antara pusat dan daerah yang ideal adalah apabila setiap

tingkat pemerintah dapat independen dibidang keuangan untuk

membiayai pelaksanaan tugas dan wewenang masing-masing. Hal ini 19 Nordiawan, Deddi. 2008. Akutansi Sektor Publik. Jakarta: Salemba Empat.

25

berarti subsidi dan bantuan dari pemerintah pusat yang selama ini sebagai

sumber utama dalam APBD mulai kurang konstribusinya dan yang

menjadi sumber utamanya adalah pendapatan dari daerahnya sendiri.

Sedangkan menurut Koswara dalam Muluk Khairul (2009:25), ciri

utama yang menunjukkan suatu daerah otonom mampu berotonomi

terletak pada kemampuan keuangan daerahnya, artinya daerah otonom

harus memiliki kewenangan dan kemampuan untuk menggali sumber-

sumber keuangan sendiri. Sedangkan ketergantungan pada bantuan

pemerintah pusat harus seminimal mungkin, sehingga PAD harus menjadi

bagian sumber keuangan terbesar yang didukung oleh kebijakan

pembagian keuangan pusat dan daerah sebagai prasyarat mendasar

sistem pemerintahan negara.

2.3.3. Kemampuan Keuangan Daerah

Sehubungan dengan pentingnya posisi keuangan, keuangan daerah

sebagai salah satu indikator untuk mengetahui kemampuan daerah dalam

mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri. Dengan

dikeluarkannya undang-undang tentang Otonomi Daerah, membawa

konsekuensi bagi daerah yang akan menimbulkan perbedaan antar

daerah yang satu dengan yang lainnya, terutama dalam hal kemampuan

keuangan daerah, antara lain (Nataluddin, 2001:167):

a. Daerah yang mampu melaksanakan otonomi daerah.

b. Daerah yang mendekati mampu melaksanakan otonomi daerah.

c. Daerah yang sedikit mampu melaksanakan otonomi daerah.

26

d. Daerah yang kurang mampu melaksanakan urusan otonomi daerah.

Selain itu ciri utama yang menunjukkan suatu daerah mampu

melaksanakan otonomi daerah adalah sebagai berikut (Nataluddin,

2001:167):

a. Kemampuan keuangan daerah, artinya daerah harus memiliki

kewenangan dan kemampuan untuk menggali sumber-sumber

keuangan, mengelola dan menggunakan keuangan sendiri yang cukup

memadai untuk membiayai penyelenggaraan pemerintahannya.

b. Ketergantungan kepada bantuan pusat harus seminimal mungkin agar

Pendapatan Asli Daerah (PAD) harus menjadi bagian sumber

keuangan terbesar, yang didukungoleh kebijakan perimbangan

keuangan pusat dan daerah, sehingga peranan pemerintah daerah

menjadi lebih besar.

Berkaitan dengan hakekat otonomi daerah yaitu berkaitan dengan

pelimpahan wewenang pengambilan keputusan kebijakan, pengelolaan

dana publik dan pengaturan kegiatan dalam penyelenggaraan pemerintah

dan pelayanan masyarakat, maka peranan data keuangan daerah sangat

dibutuhkan untuk mengidentifikasi sumber-sumber pembiayaan daerah

serta jenis dan besar balanja yang harus dikeluarkan agar perencanaan

keuangan dapat dilaksanakan secara efektif dan efisien. Data keuangan

daerah yang memberikan gambaran statistik perkembangan anggaran

dan realisasi, baik penerimaan maupun pengeluaran dan analisa

terhadapnya merupakan informasi yang penting terutama untuk membuat

27

kebijakan dalam pengelolaan keuangan daerah untuk melihat

kemampuan/kemandirian daerah (Yuliati, 2001:22).

Secara konseptual, pola hubungan antara pemerintah pusat dan

daerah harus dilakukan sesuai dengan kemampuan keuangan daerah

dalam membiayai pelaksanaan pemerintahan dan pembangunan,

walaupun pengukuran kemampuan keuangan daerah ini akan

menimbulkan perbedaan. Paul Hersey dan Kenneth Blanchard

memperkenalkan “Hubungan Situasional” dalam pelaksanaan otonomi

daerah (dalam Nataluddin, 2001:168-169):

a. Pola Hubungan Instruktif, peranan pemerintah puasat lebih dominan

dari pada kemandirian pemerintah daerah (daerah yang tidak mampu

melaksanakan otonomi daerah).

b. Pola Hubungan Konsultif, campur tangan pemerintah pusat sudah

mulai berkurang, karena daerah dianggap sedikit lebih mampu

melaksanakan otonomi.

c. Pola Hubungan Partisipatif, peranan pemerintah pusat semakin

berkurang, mengingat daerah yang bersangkutan tingkat

kemandiriannya mendekati mampu melaksanakan urusan otonomi.

d. Pola Hubungan Delegatif, campur tangan pemerintah pusat sudah tidak

ada karena daerah telah benar-benar mampu dan mandiri dalam

melaksanakan urusan otonomi daerah.

2.4. Kerangka Konseptual

28

Konsep Otonomi DaerahKeuangan Daerah

Indeks Kemampuan Keuangan (IKK)(BAPPENAS)

Pelaksanaan Otonomi Daerah berdasarkan Kemampuan Keuangan Daerah

Secara lebih jelasnya untuk melihat bagaimana alur penelitian,

dapat lihat pada:

Gambar 2.3

Kerangka Konseptual

Dari kerangka konseptual, yang menjadi objek penelitian yaitu

pelaksanaan otonomi daerah di Kota Makasaar yang ditinjau dari aspek

kemampuan keuangan daerah sesuai dengan konsep otonomi daerah dan

aturan keuangan daerah. Indikator yang digunakan dalam pengukuran

tersebut adalah Indeks Kemampuan Keuangan yang digunakan oleh

Badan Perencanaan dan Pembangunan Nasional.

Hubungan konsep otonomi daerah dan keuangan daerah dijadikan

landasan utama untuk mengukur tingkat kemandirian daerah dalam

membiayai penyelenggaraan pemerintahan daerahnya sehinggga dapat

meminimalisir tingkat ketergantungan terhadap pusat. Dimana, semakin

besar tingkat kemandirian suatu daerah terhadap pemerintah pusat, maka

dapat dianggap daerah tersebut berhasil melaksanakan otonomi daerah.

BAB III

29

METODE PENELITIAN

Penelitian ini menggunakan metode deskriptif dimana akan diuraikan

dan dianalisis permasalahan penelitian. Pendekatan yang dipergunakan

dalam penelitian ini adalah pendekatan kualitatif dengan pendalaman

fakta melalui pendekatan kuantitatif yang merupakan suatu paradigma

penelitian untuk mendeskripsikan peristiwa, perilaku orang atau suatu

keadaan pada tempat tertentu secara rinci dan mendalam dalam bentuk

narasi.

3.1. Lokasi Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan di Kota Makassar dengan memperoleh

data melalui Dinas Pendapatan Daerah (Dispenda) Kota Makassar,

Bagian Verifikasi dan Pembukuan Pemerintah Kota Makassar, dan Badan

Pusat Statistik (BPS) Kota Makassar.

3.2. Tipe Penelitian

Penelitian deskriptif adalah penelitian yang berusaha

mendeskripsikan suatu gejala, peristiwa, kejadian yang terjadi pada saat

sekarang. Penelitian deskriptif memusatkan perhatian kepada pemecahan

masalah-masalah aktual sebagaimana adanya pada saat penelitian

dilaksanakan. Dalam pendidikan, penelitian deskriptif lebih berfungsi untuk

pemecahan praktis dari pada pengembangan ilmu pengetahuan.

Peneliti berusaha memotret peristiwa dan kejadian yang menjadi

pusat perhatiannya, kemudian menggambarkan atau melukiskannya

30

sebagaimana adanya, sehingga pemanfaatan temuan penelitian ini

berlaku pada saat itu pula yang belum tentu relevan bila digunakan untuk

waktu yang akan datang. Tidak menuntut adanya perlakuan atau

manipulasi variabel, karena gejala dan peristiwanya telah ada dan peneliti

tinggal mendeskripsikannya.20

3.3. Jenis dan Sumber Data

Jenis penelitian ini adalah kuantitatif kualitatif (mixed). Metode

kualitatif dan kuantitatif dapat digabungkan bahkan mempunyai kelebihan-

kelebihan jika dibandingkan dengan menggunakan satu metode saja.

Peneliti dapat menggunakan kekuatan-kekuatan metode tambahan untuk

mengatasi kelemahan metode lainnya. Selain itu, penggunaan metode

lebih dari satu dimaksudkan sebagai sarana konfirmasi, jika hanya dengan

satu metode peneliti menganggap temuan riset kurang valid, maka perlu

ada metode lain untuk konfimasi lebih lanjut sehingga menghasilkan

temuan-temuan riset yang lebih valid.21

Bryman dalam Brannen (1996), menjelaskan sejumlah cara

penggabungan penelitian kuantitatif dan kualitatif yang telah dibukukan

diperoleh kesimpulan tentang pendekatan-pendekatan yang teridentifikasi,

yaitu:

20 Soendari, Tjutju. 2012. Metode Penelitian Deskriptif. (Online) (http://file.upi.edu/Direktori/FIP/JUR._PEND._LUAR_BIASA/195602141980032-TJUTJU_SOENDARI/Power_Point_Perkuliahan/Metode_PPKKh/Penelitian__Deskriptif.ppt_%5BCompatibility_Mode%5D.pdf. Diakses tanggal 04 Maret 2013).

21 Sarwono, Jonathan. 2011. Mixed Methods: Cara Menggabung Riset Kuantitatif dan Riset Kualitatif secara Benar. Jakarta: Elex Media Komputindo.

31

a. Logika ‘triangulasi’. Temuan-temuan dari suatu jenis studi dapat di cek

pada temuan-temuan yang diperoleh dari jenis studi yang lain,

misalnya, hasil-hasil penelitian kualitatif dapat di cek pada studi

kuantitatif. Tujuannya secara umum adalah untuk memperkuat

kesahihan temuan-temuan.

b. Penelitian kualitatif membantu penelitian kuantitatif. Penelitian kualitatif

dapat membantu menberikan informasi dasar tentang konteks dan

subjek, dan membantu konstruksi skala.

c. Penelitian kuantitaif membantu penelitian kualitatif. Biasanya, ini berarti

penelitian kuantitatif membantu dalam hal pemilihan subjek bagi

peneliti kualitatif.

d. Penelitian kuantitatif dan penelitian kualitatif digabungkan untuk

memberikan gambaran umum. Penelitian kuantitatif dapat digunakan

untuk mengisi kesenjangan-kesenjangan yang muncul dalam studi

kualitatif

e. Struktur dan proses. Penelitian kuantitatif terutama efisien pada

penelusuran ciri-ciri ‘struktural’ kehidupan sosial, sementara studi-studi

kualitatif biasanya lebih kuat dalam aspek-aspek operasional.

Kekuatan ini dapat dihadirkan bersama-sama dalam satu studi.

f. Masalah kegeneralisasian. Kelebihan beberapa fakta kuantitaif dapat

membantu menyederhanakan fakta ketika seringkali tidak ada

kemungkinan menggeneralisasi (dalam arti statistik) temuan-temuan

yang diperoleh dari penelitia kualitatif.

32

g. Penelitian kualitatif dapat membantu interpretasi hubungan antara

variabel. Penelitian kuantitatif dengan mudah member jalan bagi

peneliti untuk menentukan hubugan antara variabel, tetapi seringkali

lemah ketika ia hadir untuk mengungkap alasan-alasan bagi

hubungan-hubungan itu. Studi kualitatif dapat digunakan untuk

membantu menjelaskan faktor-faktor yang mendasari hubungan yang

terbangun.

Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data primer dan

data sekunder. Data primer diperoleh bersumber dari hasil wawancara,

sedangkan data sekunder berasal data keuangan APBD Kota Makassar

tahun anggaran 2007-2011. APBD tersebut diperoleh dari beberapa

instansi pemerintah terkait, dalam hal ini diperoleh dari Dinas Pendapatan

Daerah dan Sub Bagian Verifikasi dan Pembukuan Pemerintah Kota

Makassar.

3.4. Teknik Pengumpulan Data

Teknik pengumpulan data adalah merupakan usaha untuk

mengumpulkan bahan-bahan yang berhubungan dengan penelitian yang

dapat berupa data, fakta, gejala, maupun informasi yang sifatnya valid

(sebenarnya), realible (dapat dipercaya), dan objektif (sesuai dengan

kenyataan).

Dalam melakukan pengumpulan data, penulis menghimpun data

primer untuk mendukung penelitian serta melakukan pencarian data

sekunder, baik yang berupa catatan-catatan, laporan-laporan, dokumen-

33

dokumen, maupun literatur yang ada hubungannya dengan masalah

penelitian ini.

Data primer adalah data yang diperoleh langsung dari sumbernya,

baik orang-orang yang telah ditetapkan menjadi informan maupun kondisi

riil yang didapat langsung di lokasi penelitian dengan cara melakukan

observasi dan wawancara. Dalam rangka pengumpulan data ini, penulis

menggunakan teknik pengumpulan data antara lain sebagai berikut :

a. Studi lapang (field research)

Studi lapang yang dimaksudkan penulis yaitu langsung melakukan

penelitian pada lokasi atau objek yang telah ditentukan. Teknik

pengumpulan data studi lapang ditempuh dengan cara sebagai berikut :

1. Observasi. teknik ini dilakukan dengan jalan mengamati dan mencatat

secara langsung di lokasi penelitian atas gejala-gejala yang ada

kaitannya dengan objek yang diteliti. Dari hasil ini kita dapat

memperoleh gambaran yang jelas tentang masalahnya dan petunjuk

yang dibutuhkan.

2. Wawancara, dimana terjadi proses interaksi dan komunikasi antara

pewawancara dengan responden atau informan untuk memperoleh

gambaran tentang masalah yang terdapat dalam rumusan masalah.

3. Dokumentasi. Teknik ini bertujuan melengkapi teknik observasi dan

teknik wawancara mendalam.

b. Studi kepustakaan (library research)

34

Penelitian pustaka merupakan teknik pengumpulan data melalui

teks-teks tertulis maupun soft copy seperti buku e-book artikel-artikel

dalam jurnal, laporan, makalah, tesis dan skripsi yang dipublikasikan

pemerintah dan lain-lain. Bahan pustaka yang berupa soft copy tersebut

biasanya diperoleh dari sumber-sumber internet yang dapat diakses

secara online. Pengumpulan data melalui studi pustaka menjadi bagian

yang penting dalam penelitian ketika peneliti menuliskan untuk melakukan

kajian pustaka dalam menjawab rumusan masalahnya. Pendekatan studi

pustaka sangat umum dilakukan dalam penelitian karena peneliti tidak

perlu mencari data dengan terjun langsung ke lapangan tetapi cukup

dengan mengumpulkan dan menganalisis data yang tersedia dalam

pustaka.

Data sekunder adalah data yang diperoleh secara tidak langsung,

yaitu dengan cara mengutip atau mencatat dari dokumen-dokumen yang

berupa data statistik, arsip, gambar, maupun grafik dari Pemerintah

Daerah, perusahaan ataupun sumber lainnya yang valid, seperti Laporan

Realisasi Anggaran, Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah, Laporan

Keterangan Pertanggungjawaban Walikota, dan sebagainya. Dokumen

yang dipilih harus memiliki kredibiltas yang tinggi.

3.5. Defenisi Operasional

Untuk memberikan suatu pemahaman agar memudahkan penelitian

ini maka penulis memberikan beberapa batasan penelitian, dan fokus

35

penelitian ini yang dioperasionalkan melaui beberapa indikator sebagai

berikut.

3.5.1. Kemampuan Keuangan Daerah

Kemampuan keuangan daerah artinya kemampuan daerah untuk

menggali sumber-sumber keuangan, mengelola dan menggunakan

keuangan sendiri yang cukup memadai untuk membiayai

penyelenggaraan pemerintahannya dengan meminimalisir ketergantungan

terhadap pemerintah pusat.

Indikator dari pengukuran tingkat kemampuan Kota Makassar

dalam pelaksanakaan otonomi daerah tahun 2007-2011, digunakan

Indeks Kemampuan Keuangan (IKR) yang ditetapkan oleh Badan

Perencanaan dan Pembangunan Nasional (BAPPENAS) 22 berupa:

3.5.1.1. Rasio Kemandirian Keuangan Daerah

Rasio Kemandirian= Pendapatan Asli Daerah(PAD)Bantuan Pemerintah Pusat /Provinsi+Pinjaman

x100%

Tabel 3.1

Skala Interval Rasio Kemandirian Keuangan Daerah

Kemampuan Keuangan Daerah

RKKD Pola Hubungan

22 Badan Perencanaan dan Pembangunan Nasional, Direktorat Pengembangan Otonomi Daerah. 2003. Peta Kemampuan Keuangan Provinsi dalam Era Otonomi Daerah: Tinjauan atas Kinerja PAD, dan Upaya Yang Dilakukan Daerah. (Online) (www.bappenas.go.id/get-file-server/node/2511/ diakses tanggal 17 Agustus 2012).

36

Rendah Sekali 0,00% - 25,00% Instruktif

Rendah 25,01% - 50,00% Konsultatif

Sedang 50,01% - 75,00% Partisipatif

Tinggi 75,01% - 100% Delegatif

Sumber : Wulandari (2001: 20)

3.5.1.2. Rasio Derajat Desentralisasi Fiskal

TP PADt= PADt−(PADt−1)PADt−1

x100%

Dimana:

TP PADt = Tingkat pertumbuhan PAD tahun berjalan

PADt = PAD tahun berjalan

PADt-1 = PAD tahun sebelumnya

Untuk mengukur Derajat Desentralisasi Fiskal (DDF):

DDF= PADtTPDt

x100%

Dimana:

DDF = Derajat Desentralisasi Fiskal

PADt = Total PAD tahun t

TPDt = total Penerimaan Daerah tahun t

Tabel 3.2

Skala Interval Derajat Desentralisasi Fiskal

% Kemampuan Keuangan

37

Daerah0,00 - 10,00 Sangat Kurang

10,01 - 20,00 Kurang

20,01 - 30,00 Cukup

30,01 - 40,00 Sedang

40,01 - 50,00 Baik

>50,00 Sangat Baik

Sumber : Wulandari (2001: 22)

3.5.1.3. Rasio Indeks Kemampuan Rutin

IKR= PADTotal Pengeluaran Rutin

x 100%

Dimana:

IKR = Indeks Kemampuan Rutin

PAD = Pendapatan Asli Daerah

Tabel 3.3

Skala Interval Indeks Kemampuan Rutin

% Kemampuan Keuangan Daerah0,00 - 20,00 Sangat Kurang

20,01 - 40,00 Kurang

40,01 - 60,00 Cukup

60,01 - 80,00 Baik

80,01 – 100 Sangat Baik

Sumber : Wulandari (2001: 22)

3.5.1.4. Rasio Keserasian

Rasio BelanjaOperasional=Total BelanjaOperasiTotal Belanja APBD

38

Rasio BelanjaModal=Total Belanja ModalTotal Belanja APBD

3.5.1.5. Rasio Pertumbuhan

r=Pn−PoPo

x 100%

Dimana:

Pn = Data yang dihutung pada tahun ke-n

Po = Data yang dihitung pada tahun ke-0

R = Pertumbuhan

3.5.2. Pendapatan Asli Daerah (PAD)

PAD adalah penerimaan yang diperoleh daerah dari sumber-sumber

dalam wilayah sendiri yang dipungut berdasarkan Peraturan Daerah

sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku23.

Konstribusi PAD sangat berpengaruh terhadap ketergantungan kepada

bantuan pusat, dimana perintah daerah harus minimalisir ketergantungan

tersebut sehingga PAD menjadi bagian sumber keuangan terbesar, yang

didukung oleh kebijakan perimbangan keuangan pusat dan daerah.

Indikator konstribusi PAD terhadap APBD tahun 2007-2011 dalam

menunjang pelaksanaan otonomi daerah di Kota Makassar adalah:

K=∑ PAD

∑ APBDx 100%

Dimana:

23 Djaenuri, Aries, dkk. 2003. Sistem Pemerintahan Daerah. Jakarta: Pusat Penerbitan Universitas Terbuka.

39

K = Konstribusi PAD

∑ PAD = Jumlah nilai keseluruhan dari Pendapatan Asli Daerah (PAD)

∑ APBD = Jumlah nilai keseluruhan dari Anggaran Pendapatan dan

Belanja Daerah Kota Makassar (dalam Rupiah)

3.6. Metode Analisis Data

Metode analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah

dengan menggunakan Indeks Kemampuan Keuangan (IKR) yang

ditetapkan oleh Badan Perencanaan dan Pembangunan Nasional

(BAPPENAS) berupa rasio keuangan daerah yang diukur dengan

menggunakan beberapa rasio, yaitu:

3.6.1. Rasio Kemampuan Keuangan Daerah

a. Rasio Kemandirian Keuangan Daerah

Kemandirian keuangan daerah (otonomi fiscal) menunjukkan

kemampuan penerintah darah dalam membiayai sendiri kegiatan

pemerintahannya. Kemandirian keuangan daerah ditunjukkan oleh besar

kecilnya PAD dibandingkan dengan pendapatan daerah yang berasal dari

sumber lain, misalnya bantuan dari pemerintah pusat (DAU dan DAK)

maupun dari pinjamin. Rasio kemandirian dapat diformulasikan sebagai

berikut:

Rasio Kemandirian= Pendapatan Asli Daerah(PAD)Bantuan Pemerintah Pusat /Provinsi+Pinjaman

x100%

Rasio ini menggambarkan tingkat ketergantungan daerah terhadap

sumber dana ekstern. Semakin tinggi rasio kemandirian, berarti tingkat

40

ketergantungan daerah terhadap bantuan pihak ekstern (terutama

pemerintah pusat dan provinsi) semakin rendah, demikian pula

sebaliknya.

Rasio kemandirian juga menggambarkan tingkat partisipasi

masyarakat dalam pembangunan daerah. Semakin tinggi rasio

kemandirian, semakin tinggi partisipasi masyarakat dalam membayar

pajak dan retribusi daerah yang merupakan komponen utama pendapatan

asli daerah. Semakin tinggi masyarakat membayar pajak dan retribusi

daerah menggambarkan bahwa timgkat kesejahteraan masyarakat

semakin tinggi (Mahmudi, 2010:142).

Tolak ukur rasio kemandirian keuangan daerah dapat dijelaskan

dengan menggunakan skala seperti dalam tabel di bawah ini:

Tabel 3.4

Skala Interval Rasio Kemandirian Keuangan Daerah

Kemampuan Keuangan Daerah

RKKD Pola Hubungan

Rendah Sekali 0,00% - 25,00% Instruktif

Rendah 25,01% - 50,00% Konsultatif

Sedang 50,01% - 75,00% Partisipatif

Tinggi 75,01% - 100% Delegatif

Sumber: Wulandari (2001: 20)

Jika, RKKD (Rasio Kemandirian Keuangan Daerah) menurun

maka, hal ini menunjukkan kemandirian keuangan daerah cenderung

menurun walaupun PAD meningkat sebab, peningkatannya lebih lambat

dibandingkan dengan peningkatan bantuan dan sumbangan. Semakin

41

sedikit sumbangan dari pusat, semakin tinggi derajat kemandirian suatu

daerah yang menunjukkan bahwa daerah tersebut semakin mampu

membiayai pengeluarannya sendiri tanpa bantuan dari pemerintah pusat.

Adapun Pola hubungan keuangan daerah tersebut dapat

diinterpretasikan sebagai berikut:

1) Pola Hubungan Instruktif: peranan pemerintah pusat lebih dominan

dari pada kemandirian pemerintah daerah (Daerah tidak mampu

melaksanakan otonomi daerah).

2) Pola Hubungan Konsultatif: campur tangan pemerintah pusat sudah

mulai berkurang, karena daerah dianggap sedikit lebih mampu

melaksanakan otonomi.

3) Pola Hubugan Partisipatif: peranan pemerintah pusat semakin

berkurang, mengingat daerah yang bersangkutan tingkat

kemandiriannya mendekati mampu melaksanakan urusan otonomi.

4) Pola Hubungan Delegatif: campur tangan pemerintah pusat sudah

tidak ada, karena daerah telah benar-benar mampu dan mandiri dalam

melaksanakan urusan otonomi daerah.

b. Rasio Derajat Desentralisasi Fiskal

Menurut Ulum (2009) untuk mengukur tingkat pertumbuhan

Pendapatan Asli Daerah (PAD) dan APBD untuk memperoleh kondisi

keuangan daerah adalah sebagai berikut:

TP PADt= PADt−(PADt−1)PADt−1

x100%

42

Dimana:

TP PADt = Tingkat pertumbuhan PAD tahun berjalan

PADt = PAD tahun berjalan

PADt-1 = PAD tahun sebelumnya

Untuk mengukur Derajat Desentralisasi Fiskal (DDF):

DDF= PADtTPDt

x100%

Dimana:

DDF = Derajat Desentralisasi Fiskal

PADt = Total PAD tahun t

TPDt = total Penerimaan Daerah tahun t

Berdasarkan hasil perhitungan kedua rumus diatas, maka

digunakan skala interval untuk mengetahui kemampuan keuangan.

Tabel 3.5

Skala Interval Derajat Desentralisasi Fiskal

% Kemampuan Keuangan Daerah

0,00-10,00 Sangat Kurang

10,01-20,00 Kurang

20,01-30,00 Cukup

30,01-40,00 Sedang

40,01-50,00 Baik

>50,00 Sangat Baik

Sumber: Wulandari (2001: 22)

Semakin tinggi kemandirian suatu daerah menunjukkan bahwa

daerah tersebut semakin mampu membiayai pengeluarannya sendiri

43

tanpa bantuan dari pemerintah pusat. Apabila dipadukan dengan derajat

desentralisasi fiskal yang digunakan untuk melihat konstribusi PAD

terhadap pendapatan daerah secara keseluruhan, maka akan terlihat

kinerja keuangan daerah secara utuh.

c. Rasio Indeks Kemampuan Rutin

Indeks Kemampuan Rutin (IKR) dapat dihitung dengan

menggunakan rumus sebagai berikut:

IKR= PADTotal Pengeluaran Rutin

x 100%

Tabel 3.6

Skala Interval Indeks Kemampuan Rutin

% Kemampuan Keuangan Daerah

0,00-20,00 Sangat Kurang

20,01-40,00 Kurang

40,01-60,00 Cukup

60,01-80,00 Baik

80,01-100 Sangat Baik

Sumber : Wulandari (2001: 22)

Dalam penelitian ini, pengeluaran rutin diperoleh dari bagian

belanja operasi, hal ini dikarenakan adanya perubahan peraturan

mengenai kelompok belanja dalan Peraturan Menteri Dalam Negeri

Nomor 24 Tahun 2005 dan Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 13

Tahun 2006.

d. Rasio Keserasian

44

Keserasian ini menggambarkan bagaimana pemerintah daerah

memprioritaskan alokasi dananya pada belanja rutin dan belanja

pembangunan secara optimal. Semakin tinggi presentase dana yang

dialokasikan untuk belanja rutin berarti presentase belanja pembangunan

yang digunakan untuk menyediakan sarana prasarana ekonomi

masyarakat cenderung semakin kecil. Secara sederhana rasio keserasian

ini dapat diformulasikan sebagai berikut (Mahmudi, 2010:143):

Rasio BelanjaOperasional=Total BelanjaOperasiTotal Belanja APBD

Rasio BelanjaModal=Total Belanja ModalTotal Belanja APBD

e. Rasio Pertumbuhan

Rasio pertumbuhan menggambarkan seberapa besar kemampuan

pemerintah daerah dalam mempertahankan dan meningkatkan

keberhasilan yang dicapai dari periode ke periode lainnya. Pertumbuhan

APBD dilihat dari berbagai komponen penyusun APBD yang terdiri dari

Pendapatan Asli Daerah, Total Pendapatan Daerah, Belanja rutin dan

Belanja Pembangunan (Mahmudi, 2010:145):

r=Pn−PoPo

x 100%

Dimana:

Pn = Data yang dihutung pada tahun ke-n

Po = Data yang dihitung pada tahun ke-0

45

R = Pertumbuhan

Apabila semakin tinggi nilai PAD, TPD dan Belanja Pembangunan

yang diikuti oleh semakin rendahnya Belanja Rutin, maka

pertumbuhannya adalah positif. Artinya bahwa daerah yang bersangkutan

telah mampu mempertahankan dan meningkatkan pertumbuhannya dari

periode satu ke periode yang berikutnya. Selanjutnya jika semakin tinggi

nilai PAD, TPD, dan Belanja Rutin yang diikuti oleh semakin rendahnya

Belanja Pembangunan, maka pertumbuhannya adalah negatif. Artinya

bahwa daerah yang bersangkutan belum mampu mempertahankan dan

meningkatkan pertumbuhannya dari periode yang satu ke periode yang

berikutnya.

3.6.2. Konstribusi Pendapatan Asli Daerah terhadap Anggaran

Pendapatan dan Belanja Daerah Kota Makassar

Untuk menganalisis konstribusi Pendapatan Asli Daerah terhadap

APBD tahun 2007-2011 dalam menunjang pelaksanaan otonomi daerah di

Kota Makassar, maka digunakan rumus:

K=∑ PAD

∑ APBDx 100%

Dimana:

K = Konstribusi PAD

∑ PAD = Jumlah nilai keseluruhan dari Pendapatan Asli Daerah (PAD)

46

∑ APBD = Jumlah nilai keseluruhan dari Anggaran Pendapatan dan

Belanja Daerah Kota Makassar (dalam Rupiah)

Untuk mengetahui berapa besarnya Konstribusi Pendapatan Asli

Daerah terhadap Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah dalam

menunjang pelaksanaan Otonomi Daerah di Kota Makassar digunakan

rumus diatas. Sedangkan untuk mengetahui perkembangan dalam tahun

anggaran 2007-2011, maka konstribusi PAD dihitung tiap tahunnya dan

dilihat persentasenya dari tahun ke tahun (2007-2011).

BAB IV

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

47

Pada bab ini diuraikan gambaran secara umum tentang lokasi

penelitian, yang diuraikan secara deskriptif tentang keadaan geografis,

demografi, keadaan ekonomi, kondisi pemerintahan, kondisi strategis dan

arah kebijakan daerah, serta juga akan dibahas mengenai sumber-sumber

pendapatan asli daerah Kota Makassar. Bab ini juga menyajikan

pembahasan dari hasil penelitian yang meliputi tingkat kemampuan

keuangan daerah yang berupa hasil-hasil perhitungan rasio beserta

analisisnya, dan konstribusi pendapatan asli daerah terhadap APBD Kota

Makassar tahun anggaran 2007-2011.

4. 1. Deskripsi Umum Lokasi Penelitian

4.1.1. Profil Kota Makassar

Kota Makassar memiliki posisi yang sangat strategis,

kerena terletak di tengah-tengah kepulauan Indonesia dan

secara ekonomis daerah ini memiliki keunggulan komparatif dan

kompetitif, dimana Kota Makassar berada di selat Makassar yang

merupakan salah satu jalur pelayaran internasional. Disamping

sebagai titik simpul transportasi laut dan udara, Kota Makassar

bukan hanya sebagai pusat pelayanan dan pengembangan

distribusi jasa dan perdagangan dan Kawasan Timur Indonesia

(KTI) tetapi merupakan “Living Room” yaitu sebagai tempat yang

aman tenteram, damai sangat kondusif sebagai tempat tinggal

dan berinvestasi serta melakukan berbagai aktivitas.

48

Kota Makassar secara geografis terletak di antara 119

24’17’38’’ Bujur Timur dan 5º8’6’19’’ Lintang Selatan, Kondisi

klimatologi Kota Makassar berdasarkan pencatatan Stasiun

Meteorologi Maritim Paotere pada tahun 2009 secara rata-rata

kelembaban udara sekitar 81,5 %, rata-rata kecepatan angin 5,2

knot.

Kota Makassar sendiri berdekatan dengan sejumlah kabupaten

yakni: Sebelah Utara berbatasan dengan Kabupaten Maros,

Sebelah Barat berbatasan dengan Selat Makassar, Sebelah Timur

berbatasan dengan Kabupaten Maros, Sebelah Selatan

berbatasan dengan Kabupaten Gowa. Secara administratif

Pemerintahan Kota Makassar terbagi atas 14 Kecamatan dan

143 Kelurahan dengan luas wilayah 175,77 km dan jumlah

penduduk sebanyak 1.339.374 jiwa. Luas wilayah tersebut

didasarkan pada Peraturan Pemerintah Nomor 51 Tahun 1971

tentang Perubahan Batas-batas Kegiatan Daerah Kotamadya

Makassar dan Kabupaten Gowa, Maros dan Pangkajene dan

Kepulauan dalam Lingkup Daerah Provinsi Sulawesi Selatan.

Dari gambaran selintas mengenai lokasi dan kondisi geografis

Makassar, memberi penjelasan bahwa secara geografis, kota Makassar

memang sangat strategis dilihat dari sisi kepentingan ekonomi maupun

politik. Dari sisi ekonomi, Makassar menjadi simpul jasa distribusi yang

tentunya akan lebih efisien dibandingkan daerah lain. Memang selama ini

49

kebijakan makro pemerintah yang seolah-olah menjadikan Surabaya

sebagai home base pengelolaan produk-produk draft kawasan Timur

Indonesia, membuat Makassar kurang dikembangkan secara optimal.

Padahal dengan mengembangkan Makassar, otomatis akan sangat

berpengaruh terhadap peningkatan kesejahteraan masyarakat di

Kawasan Timur Indonesia dan percepatan pembangunan. Dengan

demikian, dilihat dari sisi letak dan kondisi geografis Makassar memiliki

keunggulan komparatif dibanding wilayah lainnya di kawasan Timur

Indonesia. Saat ini Kota Makassar dijadikan inti pengembangan wilayah

terpadu Mamminasata.24

4.1.2. Visi dan Misi Kota Makassar

Visi merupakan wujud atau bentuk masa depan yang diharapkan.

Rumusan visi mencerminkan kebutuhan yang fundamental dan sekaligus

merefleksikan dinamika pembangunan dari berbagai aspek. Dalam

konteks itu, Kota Makassar telah menetapkan Visi tahun 2025

sebagaimana tertuang dalam Rencana Pembangunan Jangka Panjang

daerah Kota Makassar dengan rumusan, yakni: “Makassar sebagai Kota

Maritim, Niaga, Pendidikan, Budaya dan Jasa yang Berorientasi Global,

Berwawasan Lingkungan dan Paling Bersahabat”. 25

24 Pemerintah Kota Makassar. 2009. Geografis Makassar. (Online) (http://bahasa. makassarkota.go.id/index.php?option=com_content&view=article&id=85 diakses tanggal 06 Desember 2012).

25 Sirajuddin, Ilham Arief dan Guntur, Soepomo. 2008. Penyampaian Visi dan Misi. (Online) (http://makassarkota.go.id/download/visi-misi-iasmo.pdf diakses tanggal 06 Desember 2012).

50

Selanjutnya Visi jangka panjang tersebut perlu dijabarkan dalam

Visi lima tahunan Pemerintah Kota Makassar, sebagai upaya mewujudkan

visi jangka panjang dan sikap konsistensi Pemerintah Kota, sehingga

tercipta kesinambungan arah pembangunan. Memperhatikan kewenangan

otonomi daerah sesuai Undang-Undang Nomor 32 tahun 2004 serta

memperhatikan perkembangan lingkungan strategis dengan posisi

Makassar sebagai Kota Maritim, sebagai simpul kegiatan Niaga dan

Pendidikan di Kawasan Timur Indonesia, serta dengan dukungan nilai-

nilai budaya yang menjunjung tinggi harkat dan martabat manusia, maka

dirumuskan Visi Pemerintah Kota Makassar tahun 2010 adalah:

“Makassar sebagai Kota Maritim, Niaga, Pendidikan yang Bermartabat

dan Manusiawi”.

Visi tersebut di atas mengandung makna:

a. Terwujudnya kota Maritim yang tercermin pada tumbuh

berkembangnya budaya bahari dalam kegiatan sehari–hari dan dalam

pembangunan yang mampu memanfaatkan daratan maupun perairan

secara optimal dengan tetap terprosesnya peningkatan kualitas

lingkungan hidupnya;

b. Terwujudnya atmosfir perniagaan yang aman, lancar dan mantap bagi

pengusaha kecil, menengah maupun besar;

c. Terwujudnya atmosfir pendidikan yang kondusif dalam arti adil dan

merata bagi setiap golongan dan lapisan masyarakat, yang relevan

dengan dunia kerja, yang mampu meningkatkan kualitas budi pekerti

51

dan relevan dengan pengembangan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi

(IPTEK);

d. Terwujudnya Makassar sebagai kota maritim, niaga dan pendidikan ini

dilandasi oleh martabat para aparat Pemerintah Kota, warga kota dan

pendatang yang manusiawi dan tercermin dalam peri kehidupannya

yang menjaga keharmonisan hubungan manusia dengan Tuhan,

hubungan manusia dengan manusia dan hubungan manusia dengan

alam.

Berdasarkan Visi Pemerintah Kota Makassar Tahun 2010 tersebut

di atas yang pada hakekatnya diarahkan untuk mendukung terwujudnya

Visi Kota Makassar Tahun 2005-2025, maka dirumuskan Misi Pemerintah

Kota Makassar Tahun 2010 sebagai berikut;

a. Mengembangkan kultur maritim dengan dukungan infrastruktur bagi

kepentingan lokal, regional, nasional dan internasional.

b. Mendorong tumbuhnya pusat-pusat perniagaan melalui optimalisasi

potensi lokal;

c. Mendorong peningkatan kualitas manusia melalui pemerataan

pelayanan pendidikan, peningkatan derajat kesehatan dan

kesejahteraan masyarakat;

d. Mengembangkan apresiasi budaya dan pengamalan nilai-nilai agama

berbasis kemajemukan masyarakat;

e. Mengembangkan sistem pemerintahan yang baik, bersih dan

berwibawah melalui peningkatan profesionalisme aparatur;

52

f. Mendorong terciptanya stabilitas, kenyamanan dan tertib lingkungan;

dan

g. Peningkatan infrastruktur kota dan pelayanan publik.

Dalam hal kesimanbungan pembangunan, maka rumusan visi

“Makassar Kota Dunia Berlandaskan Kearifan Lokal” merupakan visi Kota

Makassar tahun 2014 yang merujuk pada visi jangka panjang Kota

Makassar tahun 2005-2025. 26

4.1.3. Kondisi Perekonomian Daerah

Sejalan dengan perkembangan kota Makassar, kegiatan ekonomi

juga semakin pesat, ini ditandai dengan meningkatnya jumlah perusahaan

perdagangan yang sekarang telah mencapai 14.584 unit usaha yang

terdiri dari 1.460 perdagangan besar, 5.550 perdagangan menengah dan

7.574 perdagangan kecil. Kemudian terdapat 21 industri besar dan 40

industri sedang yang terkonsentrasi di kecamatan Biringkanaya dan

konsentrasi industri besar kedua terdapat di kecamatan Tamalanrea dan

kecamatan Panakkukang masing-masing 5 unit. Sementara itu kawasan

perdagangan utama kota Makassar terdapat di Pasar Sentral (Makassar

Mall) sebagai pusat dan wilayah Panakkukang dan Daya sebagai sub

pusat pelayanan selain itu terdapat beberapa Mall dan kawasan

perdagangan Somba Opu, sedangkan JI. Jend. Sudirman, Jl. DR.

Ratulangi cenderung untuk berubah menjadi kawasan perdagangan.

26 Pemerintah Kota Makassar. Informasi Laporan Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah (ILPPD) Kota Makassar Tahun 2009. (Online) (http:// makassar kota.go.id/ download/ ilppd2009 .pdf diakses tanggal 17 Agustus 2012).

53

4.1.4. Kondisi Pemerintahan di Kota Makassar

Makassar dalam sejarahnya telah menjadi bagian dari masyarakat

dunia. Demikian halnya saat ini dan kecenderungan ke depan akan tetap

menjadi bagian dari masyarakat dunia yang tengah memasuki era

globalisasi yang ditandai dengan tingkat kompetisi yang semakin ketat

pada satu sisi, namun memberi peluang terjadinya sinergitas antar daerah

pada sisi lainnya.

Bersamaan dengan globalisasi tersebut, kecenderungan lain yang

dihadapi adalah semangat otonomi daerah sebagai konsekuensi

perubahan paradigma dari sentralisasi ke desentralisasi. Kecenderungan

yang demikian ini memberi peluang bagi pengembangan potensi masing-

masing daerah, interkoneksitas antar daerah, dan sekaligus dapat

menciptakan persaingan antar daerah.

Bagi Kota Makassar, dua kecenderungan di atas dapat mendorong

pengembangan dan pemanfaatan potensi kota karena memiliki potensi

sumberdaya manusia dan ketersediaan berbagai infrastruktur kota.

Namun demikian, juga dapat menciptakan beban karena dalam

keadaannya Makassar juga dihadapkan pada masalah perkotaan yang

cukup kompleks. Diantara masalah tersebut yang cukup mendasar

adalah; kulitas manusia yang masih relatif terbatas, potensi ekonomi yang

belum berkembang secara optimal, kualitas dan ketersediaan infrastruktur

kota yang masih terbatas dibandingkan dengan dinamika kebutuhan

54

masyarakat serta tuntutan atas penyelenggaraan tata pemerintahan yang

baik (good governance).27

4.1.5. Kondisi Strategis Kota Makassar

Kondisi strategis mencakup kondisi lingkungan internal, eksternal,

dan organisasi. Lingkungan internal berpengaruh terhadap kinerja

pembangunan secara umum dapat dikendalikan secara langsung. Untuk

mengoptimalkan kekuatan dan mengalisa kelemahan dalam menunjang

perumusan kebijakan, program dan pelaksanaan kegiatan.

Kekuatan yang dimiliki oleh Kota Makassar adalah:

a. Jumlah sumber daya manusia yang cukup memadai;

b. Letak geografis wilayah yang sangat strategis dan sebagai ibukota

provinsi;

c. Potensi sumber daya alam, khususnya kelautan dan perikanan yag

memadai;

d. Tersedianya infrastruktur sosial ekonomi yang memadai;

e. Potensi usaha perdagangan dan jasa yang memadai;

f. Potensi modal transportasi yang memadai;

g. Suasana politik yang stabil, kearifan sosial yang berakar pada nilai-

nilai budaya dan agama yang kuat.

27 Peraturan Daerah Kota Makassar Nomor 9 Tahun 2006 tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) Kota Makassar Tahun 2005-2010.

55

Kelemahan yang masih dimiliki oleh Kota Makassar adalah:

a. Pemerataan pelayanan pendidikan, kesehatan dan lapangan kerja

belum memadai;

b. Potensi sumber daya kelautan dan perikanan belum dikelola secara

optimal;

c. Kebersihan dan keindahan kota belum memdai sebagai tempat hunian

yang indah, bersih, dan menarik;

d. Kualitas sumber daya manusia dibidang industri dan jasa masih

rendah;

e. Pertumbuhan Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) untuk

mendukung PAD belum memadai;

f. Struktur ekonomi terutama keterkaitan antar bidang lapangan usahan

masih lemah dan rentan terhadap persaingan global;

g. Pelayanna publik belum maksimal;

h. Daya saing produk unggulan kota yang masih lemah;

i. Sistem informasi dan komunikasi yang belum memadai dalam

menghadapi perdagangan bebas;

j. Lemahnya penegakan hukum dan kurangnya jaminan keamanan

dalam berbagai kehidupan masyarakat;

k. Pembinaan politik dan produk legislasi daerah serta penegakan HAM

secara proporsional belum optimal;

l. Kelembagaan pemerintah dan masyarakat belum berkembang dengan

baik;

56

m. Partisipasi masyarakat dalam pembangunan yang belum optimal; dan

n. Masih terbatasnya infrastruktur publik.

Lingkungan eksternal dalam hal ini adalah faktor lingkungan yang

dapat berpengaruh terhadap kinerja pembangunan daerah dan secara

umum tidak dapat dikendalikan, disatu sisi merupakan peluang yang

dapat dimanfaatkan dan pada sisi lain merupakan tatangan yang harus

dihadapi.

Peluang yang dapat dimanfaatkan oleh Kota Makassar adalah:

a. Posisi Kota Makassar sebagai salah satu pusat perdagangan dan jasa

di Kawasan Timur Indonesia (KTI) termasuk pembangunan bidang

kelautan dan perikanan;

b. Terbukanya perdagangan bebas yang memungkinkan produk

unggulan Kota Makassar mendapatkan pasar yang lebih luas;

c. Adanya kerjasama antar daerah khususnya kawasan Maros,

Makassar, Sungguminasa, dan Takalar (MAMMINASATA) yang

mendukung pengembangan daerah dan kegiatan ekonomi antar

daerah;

d. Komitmen pemerintah pusat terhadap percepatan pembangunan di

KTI;

e. Otonomi yang luas memungkinkan pemerintah daerah

mengembangkan, mengelola dan meningkatkan daya saing daerah;

dan

57

f. Aksesibiitas Kota Makassar yang terbuka untuk interkoneksitas

regional, nasional dan internasional.

Kelemahan yang perlu diperbaiki oleh Kota Makassar adalah:

a. Kualitas aparatur yang belum professional; dan

b. Sumber daya financial belum cukup memadai, baik yang bersumber

dari PAD maupun penerimaan dari pemerintah pusat dalam

penyelenggaraan pemerinrahan, pembangunan dan pembinaan

kemasyarakatan.

Tantangan lingkungan organisasi yang perlu dihadapi adalah:

a. Dinamika masyarakat Kota Makassar yang heterogen, menuntut

kepemimpinan yang proaktif, responsive dan konsisten;

b. Masyarakat Kota Makassar yang maju menuntut pelayanan

transparan, konsisten dan akuntabel;

c. Perkembangan lingkungan strategis mengarah pada perdagangan

bebas, menuntut kemampuan mekanisme pelayanan publik sesuai

standar International Standart Organization (ISO);

d. Dinamika kelembagaan pemerintah yang tinggi menuntut kemampuan

bagi aparat dalam melaksanakan pengawasan, pembinaan dan

fasilitasi;

e. Kebijakan pemerintah pusat masih sentralistik dan kurang konsisten

menyulitkan pemerintah kota dalam mengelola pelayanan secara

efisien dan efektif; dan

f. Urbanisasi yang cukup tinggi.

58

4.1.6. Strategi Dan Arah Kebijakan Daerah

Dalam mengembang Misi untuk mencapai Visi yang telah

ditetapkan, maka Pemerintah Kota Makassar menetapkan strategi dasar

pembangunan yakni “Meningkatkan pelayanan yang efesien dan efektif

untuk mendukung terciptanya kepemerintahan yang baik, mempercepat

terwujudnya Kota Makassar sebagai pusat keunggulan pengembangan

ekonomi berbasis ilmu pengetahuan dan teknologi yang intinya

mengembangkan sumber daya manusia yang lebih berkualitas”.

Sesuai dengan strategi dasar tesebut, maka dalam Rencana

Startegis (Renstra) yang telah disempurnakan menjadi Rencana

Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) Pemerintah Kota

Makassar, dirumuskan pokok-pokok kebijakan yang menjadi acuan dalam

menetapkan program dan kegiatan dalam memberikan pelayanan kepada

masyarakat yaitu:

a. Pembangunan Kualitas Manusia;

b. Pembangunan Daya Saing Ekonomi Daerah;

c. Pengembangan Kawasan , Tata Ruang dan Lingkungan;

d. Pembangunan Pemerintahan dan Pelayanan Publik; dan

e. Pembangunan Politik Hukum dan HAM.

4.2. Hasil Penelitian

Dalam rangka pelaksanaan otonomi daerah dan penguatan

kapasitas fiskal daerah, Pemerintah Daerah diberi kewenangan yang lebih

besar untuk mewujudkan kemandirian keuangan melalui desentralisasi

59

fiskal yang diatur dengan peraturan perundang-undangan. Beberapa

peraturan yang terkait langsung dengan hal tersebut adalah Undang-

Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, Undang-

Undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara

Pemerintah Pusat dan Daerah.

4.2.1. Tingkat Kemampuan Keuangan Daerah dalam Pelaksanaan

Otonomi Daerah Tahun 2007-2011 di Kota Makassar

Analisis rasio keuangan terhadap realisasi APBD dilakukan untuk

meningkatkan kualitas pengelolaan keuangan daerah. Disamping

meningkatkan kuantitas pengelolaan keuangan daerah, analisis rasio

terhadap realisasi APBD juga dapat digunakan sebagai alat untuk menilai

efektivitas pelaksanaan otonomi daerah. Sebab kebijakan ini yang

memberikan keleluasaan bagi pemerintah daerah untuk mengelola

keuangan daerahnya seharusnya bisa meningkatkan kinerja keuangan

daerah yang bersangkutan.

Rasio keuangan yang digunakan dalam pembahasan pada bab ini

adalah rasio-rasio yang merupakan penjabaran dari Indeks Kemampuan

Keuangan (Bappenas:2003), yang terdiri atas: Rasio Kemandirian

Keuangan Daerah, Rasio Derajat Desentralisasi Fiskal, Rasio Indeks

Kemampuan Rutin, Rasio Keserasian dan Rasio Pertumbuhan Keuangan

Pemerintah Daerah Kota Makassar tahun anggaran 2007-2011, sehingga

dapat diketahui bagaimana kecendurungan yang terjadi tiap tahunnya

dalam kurun waktu lima tahun terakhir.

60

Data yang digunakan adalah data yang berasal dari arsip dokumen

pada bagian verifikasi dan pembukuan kantor pemerintah Kota Makassar

(Balai Kota) yang berupa data Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah

(APBD) dan Laporan Realisasi Anggaran (LRA) untuk tahun anggaran

2007-2011. Dari hasil APBD dan LRA tersebut nantinya akan diketahui

bagaimana kinerja keuangan Kota Makassar selama lima tahun anggaran

tersebut.

APBD merupakan rencana pelaksanaan semua pendapatan daerah

dan semua belanja daerah dalam rangka pelaksanaan desentralisasi

dalam tahun anggaran tertentu. Dengan demikian, pemungutan semua

penerimaan daerah dalam rangka pelaksanaan desentralisasi bertujuan

untuk memenuhi target yang ditetapkan dalam APBD.

Laporan Realisasi Anggaran Kota Makassar merupakan laporan

yang mengungkapkan kegiatan keuangan pemerintah kota yang

menunjukkan ketaatan terhadap APBD. Laporan Realisasi Anggaran

menyajikan ikhtisar sumber, aplikasi dan penggunaan sumber daya

ekonomi yang dikelola oleh pemerintah kota dalam satu periode

pelaporan. Dalam Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 13 Tahun 2006

tentang Pedoman Pengelolaan Keuangan Daerah, disebutkan unsur yang

dicakup dalam Laporan Realisasi Anggaran terdiri dari:

a. Pendapatan adalah semua penerimaan kas daerah yang menambah

ekuitas dana dalam periode tahun anggaran yang bersangkutan yang

61

menjadi hak pemerintah daerah, dan tidak perlu dibayar kembali oleh

pemerintah daerah.

b. Belanja adalah semua pengeluaran kas daerah yang mengurangi

ekuitas dana dalam periode tahun anggaran yang bersangkutan, dan

tidak akan diperoleh kembali pembayarannya oleh pemerintah daerah.

c. Pembiayaan adalah setiap penerimaan yang perlu dibayar kembali

dan/atau pengeluaran yang akan diterima kembali, baik pada tahun

anggaran yang bersangkutan maupun tahun-tahun anggaran

berikutnya, yang dalam penganggaran pemerintah daerah terutama

dimaksudkan untuk menutupi defisit atau memanfaatkan surplus

anggaran.

Hasil perhitungan dan analisis beberapa Rasio keuangan terhadap

APBD Kota Makassar tahun anggaran 2007-2011:

4.2.1.1. Rasio Kemandirian Keuangan Daerah

Konsekuensi pembebanan tugas dan tanggung jawab ke daerah

yang semakin besar, kepada daerah telah diserahkan sumber pendanaan

yang terus meningkat secara signifikan dari tahun ke tahun, melalui

skema transfer. Hal ini dapat dilihat berdasarkan hasil perhitungan sumber

pendapatan dari pihak ekstern yaitu berupa bantuan dari pemerintah

pusat atau provinsi ditambah dengan pinjaman.

Kemandirian keuangan daerah merupakan kemampuan pemerintah

daerah dalam meningkatkan pendapatan asli daerah (PAD) seperti pajak

daerah, retribusi dan lain-lain. Oleh karena itu, otonomi daerah dan

62

pembangunan daerah bisa diwujudkan hanya apabila disertai kemandirian

keuangan yang efektif. Ini berarti bahwa pemerintahan daerah secara

finansial harus bersifat independen terhadap pemerintah pusat dengan

jalan sebanyak mungkin menggali sumber-sumber PAD seperti pajak,

retribusi dan sebagainya serta mengoptimalkan sumber-sumber PAD

yang telah ada.

Rumus yang digunakan untuk menghitung rasio ini adalah:

Rasio Kemandirian= Pendapatan Asli Daerah(PAD)Bantuan Pemerintah Pusat /Provinsi+Pinjaman

x100%

Nordiawan (2008:48) mengemukakan bahwa Dana Perimbangan

adalah dana yang bersumber dari pendapatan APBN yang dialokasikan

kepada daerah untuk mendanai kebutuhan daerah dalam rangka

pelaksanaan desentralisasi. Latar belakang lain adanya transfer dana

pusat ke daerah ini antara lain untuk mengatasi ketimpangan fiskal vertikal

(antara pusat dan daerah), mengatasi ketimpangan fiskal horizontal, serta

guna mencapai standar pelayanan untuk masyarakat.

Ketimpangan fiskal horizontal muncul akibat tidak seimbangannya

kapasitas fiskal daerah dengan kebutuhan fiskalnya. Dengan kata lain,

kemampuan daerah untuk menghasilkan pendapatan asli daerah tidak

mampu menutupi kebutuhan belanja daerah. Sesuai dengan PP No 55

tahun 2005 pasal 2, “Dana perimbangan mencakup Dana Bagi Hasil,

Dana Alokasi Umum, dan Dana Alokasi Khusus”. Jumlah dana

perimbangan ditetapkan setiap tahun dalam APBN.

63

Pembagian dana untuk daerah melalui bagi hasil berdasarkan

daerah penghasil cenderung menimbulkan ketimpangan antar daerah

dengan mempertimbangkan kebutuhan dan potensi daerah. Alokasi DAU

bagi daerah yang potensi fiskalnya besar namun kebutuhan fiskalnya kecil

akan memperoleh alokasi DAU yang relatif kecil. Sebaliknya daerah yang

memiliki potensi fiskalnya kecil namun kebutuhan fiskalnya besar akan

memperoleh alokasi DAU yang relatif besar. Dengan maksud melihat

kemampuan APBD dalam membiayai kebutuhan-kebutuhan daerah dalam

rangka pembangunan daerah yang dicerminkan dari penerimaan umum

APBD dikurangi dengan belanja pegawai.

Ketimpangan ekonomi antara satu provinsi dengan provinsi lain tidak

dapat dihindari dengan adanya desentralisasi fiskal. Disebabkan oleh

minimnya sumber pajak dan Sumber Daya Alam yang kurang dapat digali

oleh Pemerintah Daerah. Untuk menanggulangi ketimpangan tersebut,

Pemerintah Pusat berinisiatif untuk memberikan subsidi berupa DAU

kepada daerah. Bagi daerah yang tingkat kemiskinannya lebih tinggi, akan

diberikan DAU lebih besar dibanding daerah yang kaya dan begitu juga

sebaliknya.

Rincian tentang komponen sumber-sumber pendapatan dari pihak

ekstern berupa bantuan bantuan pemerintah pusat/provinsi, ditambah

dengan jumlah pinjaman (jika ada) yang diperoleh oleh pemerintah Kota

Makassar pada Tabel 4.1.

64

Tabel 4.1

Sumber Pendapatan dari Pihak Ekstern (Bantuan Pemerintah Pusat/Provinsi + Pinjaman)

dalam satuan Rupiah

KETERANGAN 2007 2008 2009 2010 2011Bagi Hasil Pajak 104.874.361.567,00 123.593.538.166,00 142.662.186.490,00 170.552.155.100,00 124.804.208.709,00Bagi Hasil Bukan Pajak 4.200.977.834,00 2.336.954.029,00 721.325.116,00 708.265.127,00 1.690.398.816,00

Dana Alokasi Umum 583.842.000.000,00 643.328.392.000,00 647.299.704.000,00 644.266.427.000,00 718.481.320.000,00Dana Alokasi Khusus 8.535.000.000,00 19.993.000.000,00 43.151.000.000,00 45.753.700.000,00 60.898.000.000,00Otonomi Khusus - - - - -Dana Penyesuaian 5.078.559.200,00 5.272.789.600,00 68.965.037.000,00 190.426.514.332,00 262.927.499.880,00Pendapatan Bagi Hasil Pajak 83.268.013.643,00 128.139.956.935,00 115.012.318.875,00 155.704.122.541,21 166.494.273.845,37

Pendapatan Bagi Hasil Lainnya - - - - -

Pendapatan Hibah 1.552.414.980,00 3.087.582.000,00 1.559.018.800,00 650.445.600,00 970.971.485,00Pendapatan Dana Darurat - 3.000.000.000,00 - 100.000.000,00 -

Pendapatan Lainnya 13.698.400.000,00 57.387.453.984,47 25.648.404.800,00 31.364.688.800,00 40.611.289.800,00JUMLAH 805.049.727.224,00 986.139.666.714,47 1.045.018.995.081,00 1.239.526.318.500,21 1.376.877.962.535,37

Sumber: Laporan Realisasi Anggaran Kota Makassar Tahun Anggaran 2007-2011

65

Dari Tabel 4.1 terlihat bahwa jumlah pendanaan yang bersumber

dari pihak ekstern meningkat setiap tahun, dimana Dana Alokasi Umum

(Dana Perimbangan) merupakan sumber pendanaan terbesar.

Komponen Dana Alokasi Umum merupakan komponen penyumbang

terbesar terhadap pendapatan dari pihak ekstern. Hal ini dipengaruhi oleh

bobot daerah, yang dinilai berdasarkan indeks penduduk, indeks luas

daerah, indeks harga bangunan, dan indaks kemiskinan relatif yang

dikemudian dibagi 4 (empat) dan dikalikan dengan pengeluaran daerah

rata-rata. Berbeda dengan pemberian Dana Alokasi Khusus (DAK) yang

hanya mempertimbangkan untuk pembiayaan kebutuhan yang bersifat

khusus, misalnya kebutuhan beberapa jenis prasarana baru,

pembangunan jalan di kawasan terpencil, dan sebagainya.

Komponen terbesar kedua adalah dana penyesuian. Dana

penyesuaian adalah dana yang dialokasikan untuk membantu daerah

dalam rangka melaksanakan kebijakan tertentu Pemerintah dan DPR

sesuai peraturan perundangan, yang terdiri atas dana insentif daerah,

Dana Tambahan Penghasilan Guru Pegawai Negeri Sipil Daerah (PNSD),

dana-dana yang dialihkan dari Kementerian Pendidikan Nasional ke

Transfer ke Daerah, berupa Tunjangan Profesi Guru dan Bantuan

Operasional Sekolah (BOS), Dana Penyesuaian Infrastruktur Daerah, dan

sebagainya.

Hasil perhitungan Rasio Kemandirian Keuangan Daerah dapat dilihat

dalam Tabel 4.2 dan Gambar 4.1.

66

Tabel 4.2

Perhitungan Rasio Kemandirian Keuangan Kota Makassar Tahun Anggaran 2007-2011

No TA Total Pendapatan (Rp)

Pendapatan Asli Daerah%

Bantuan Pemerintah Pusat/Prov + Pinjaman

%Rasio

Kemandirian

Pola Hubu-nganRp Perkem

bangan Rp Perkembangan

1 2007 941.668.824.309,59 136.619.097.085,59 - 14,51% 805.049.727.224,00 - 85,49% 16,97% Instruktif2 2008 1.141.051.558.673,86 154.911.891.959,39 11,81% 13,58% 986.139.666.714,47 18,36% 86,42% 15,71% Instruktif

3 2009 1.215.717.720.899,79 170.698.725.818,79 9,25% 14,04% 1.045.018.995.081,00 5,63% 85,96% 16,33% Instruktif

4 2010 1.449.662.649.590,85 210.136.331.090,64 18,77% 14,50% 1.239.526.318.500,21 15,69% 85,50% 16,95% Instruktif

5 2011 1.728.570.515.122,97 351.692.552.587,60 40,25% 20,35% 1.376.877.962.535,37 9,98% 79,65% 25,54% Konsultatif

Rata-Rata 204.811.719.708,40 20,02% 15,39% 1.090.522.534.011,01 12,42% 84,61% 18,30% Instruktif

Sumber: Data diolah, 2013

67

Gambar 4.1

Hasil Perhitungan Rasio Kemandirian Keuangan Kota Makassar

Tahun Anggaran 2007-2011

2007 2008 2009 2010 20110.00%

10.00%20.00%30.00%40.00%50.00%60.00%70.00%80.00%90.00%

100.00%

14.51% 13.58% 14.04% 14.50%20.35%

85.49% 86.42% 85.96% 85.50%79.65%

16.97% 15.71% 16.33% 16.95%25.54%

PAD Bantuan Pemerintah Pusat/ProvinsiRasio Kemandirian

TAHUN ANGGARAN

PERSENTASE

Menurut hasil perhitungan dan Gambar 4.1, selama lima tahun

terakhir rasio kemandirian keuangan daerah Kota Makassar, hanya pada

tahun kelimalah (tahun 2011) yang mencapai hasil sebesar 25,54%

dengan pola hubungan konsultatif. Pola hubungan ini menggambarkan

bahwa campur tangan pemerintah pusat sudah mulai berkurang, karena

daerah dianggap sedikit lebih mampu melaksanakan otonomi daerah.

Akan tetapi, apabila dilihat secara keseluruhan maka dapat disimpulkan

bahwa rasio kemandirian keuangan daerah selama lima tahun pada Kota

Makassar memiliki rata-rata tingkat kemandirian masih rendah dan dalam

kategori kemampuan keuangan kurang dengan pola hubungan instruktif

yaitu peranan pemerintah pusat sangat dominan dari pada daerah. Hal ini

68

dapat dilihat dari rasio kemandirian yang dihasilkan masih berkisar antara

0,00% - 25,00%. Rasio kemandirian yang masih rendah mengakibatkan

kemampuan keuangan daerah Kota Makassar dalam membiayai

pelaksanaan pemerintahan dan pembangunan masih sangat tergantung

pada penerimaan dari pemerintah pusat.

Kemandirian keuangan daerah menjadi sangat penting, baik dari sisi

pendapatan (revenue), maupun dari sisi pengeluaran (expenditure) agar

Pemerintah Daerah memiliki kemampuan yang lebih kuat untuk

mendesain dan melaksanakan kegiatan-kegiatan yang bersifat stimulan

bagi peningkatan kesejahteraan rakyat sesuai dengan aspirasi dan

karakteristik masyarakatnya masing-masing.

Sejalan dengan hal tersebut, Pemerintah Kota Makassar terus

menerus menggiatkan upaya mengoptimalkan peningkatan pendapatan

daerah, khususnya Pendapatan Asli Daerah (PAD), karena menajemen

pemungutan PAD berada di dalam ranah kebijakan Pemerintah Daerah

sendiri, berbeda dengan Dana Perimbangan yang kebijakannya

merupakan domain Pemerintahan Pusat.

Rasio kemandirian yang masih rendah dapat disebabkan pada

sumber penerimaan daerah dan dasar pengenaan biaya, tampaknya

Pendapatan Asli Daerah masih belum dapat diandalkan bagi daerah untuk

otonomi daerah, karena relatif rendahnya basis pajak/retribusi yang ada di

daerah dan kurangnya pendapatan asli daerah yang dapat digali oleh

pemerintah daerah. Hai ini dikarenakan sumber-sumber potensial untuk

69

menambah Pendapatan Asli Daerah masih dikuasai oleh pemerintah

pusat, sedangkan untuk basis pajak yang cukup besar masih dikelola oleh

pemerintah pusat, yang di dalam pemungutan/pengenaannya

berdasarkan undang-undang/peraturan pemerintah, dan daerah hanya

menjalankan serta akan menerima bagian dalam bentuk dana

perimbangan. Dana perimbangan itu sendiri terdiri dari: Bagi Hasil Pajak,

Bagi Hasil Bukan Pajak/Sumber Daya Alam, Dana Alokasi Umum, Dana

Alokasi Khusus, dan penerimaan lainnya.

Iswady (Kepala Sub Bagian Keuangan Dinas Pendapatan Daerah

Kota Makassar) mengatakan bahwa:

“Meningkatnya sumber pendapatan dari bantuan pusat berupa dana transfer atau dana perimbangan didasarkan pada indikator penentuan besarnya penerimaan yang diterima oleh suatu daerah. Indikatornya, salah satunya yaitu jumlah penduduk. Penduduknya Kota Makassar tiap tahunnya terus bertambah, ruas wilayah walaupun tidak bertambah tetap dimasukkan dalam komponen perhitungan pemberian dana perimbangan, ada juga yang memasukkan pulau-pulau yang dimiliki daerah, berapa jumlah Pegawai Negeri Sipil (PNS) karena sebagian besar Dana Perimbangan atau dana transfer yang diterima dari pemerintah pusat yang dibelanjakan daerah untuk membayar gaji PNS. Jadi kalau gaji PNS bertambah, otomatis biasanya ada juga penambahan terkait dengan dana transfer dari pemerintah pusat. Jadi kalau trendnya bertambah, iya pasti. Trendnya bertambah bisa juga mengindikasikan bahwa tingkat ketergantungan daerah terhadap pusat tidak bisa lepas. Tapi sedapat mungkin, kedepannya pemerintah kota berharap ketergantungan tersebut dapat berkurang dan juga pasti menjadi harapan pemerintah pusat. Besarnya dana transfer ke daerah, artinya daerah itu masih membutuhkan pemerintah pusat dalam hal pembiayaan untuk memenuhi kebutuhan rutinnya” (Wawancara, 23 Januari 2013)

Untuk mengatasi hal tersebut, pemerintah daerah harus mampu

mengoptimalkan penerimaan dari potensi pendapatannya yang telah ada.

Inisiatif dan kemauan pemerintah daerah sangat diperlukan dalam upaya

70

meningkatkan PAD. Pemerintah daerah harus mencari alternatif-alternatif

yang memungkinkan untuk dapat mengatasi kekurangan pembiayaannya,

dan hal ini memerlukan kreatifitas dari aparat pelaksana keuangan daerah

untuk mencari sumber-sumber pembiayaan baru baik melalui program

kerjasama pembiayaan dengan pihak swasta dan juga program

peningkatan PAD misalnya pendirian BUMD sektor potensial maupun

penyertaan modal keperusahaan daerah dengan mendapatkan imbalan

berupa deviden.

Hal ini sesuai pula dengan Kebijakan Umum Anggaran di bidang

Pendapatan Daerah Tahun 2011 yang tetap diarahkan pada upaya

peningkatan pendapatan daerah melalui optimalisasi pengelolaan

pendapatan daerah sesuai potensi dan kewenangan yang ada

berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku,

dengan tetap mengedepankan pertimbangan aspek keadilan dan

kemampuan masyarakat.

4.2.1.2. Rasio Derajat Desentralisasi Fiskal

Desentralisasi fiskal daerah menunjukkan seberapa besar

ketergantungan pemerintah daerah terhadap pemerintah pusat dalam

membiayai pembangunan. Untuk mengetahui seberapa besar tingkat

ketergantungan tersebut maka dilakukan dengan menggunakan ukuran

apa yang disebut Derajat Desentralisasi Fiskal.

Rasio Derajat Desentralisasi Fiskal dapat dihitung dengan

menggunakan rumus sebagai berikut:

71

DDF= PADtTPDt

x100%

Dimana:

DDF = Derajat Desentralisasi Fiskal

PADt = Total PAD tahun t

TPDt = total Penerimaan Daerah tahun t

Hasil perhitungan Rasio Derajat Desentralisasi Fiskal dapat dilihat

dalam tabel 4.3 berikut ini:

Tabel 4.3

Perhitungan Rasio Derajat Desentralisasi Fiskal Kota Makassar

Tahun Anggaran 2007-2011

Tahun PAD TPD%

Kemampuan

Anggaran (Rp) (Rp) Keuangan

2007 136.619.097.085,59 941.668.824.309,59

14,51

% Kurang

2008 154.911.891.959,39 1.141.051.558.673,86

13,58

% Kurang

2009 170.698.725.818,79 1.215.717.720.899,79

14,04

% Kurang

2010 210.136.331.090,64 1.449.662.649.590,85

14,50

% Kurang

2011 351.692.552.587,60 1.728.570.515.122,97

20,35

% Cukup

Rata-rata15,39

% Kurang

Sumber: Data diolah, 2013

72

Kemampuan keuangan daerah Kota Makassar berdasarkan hasil

perhitungan rasio derajat desentralisasi fiskal menunjukkan masih

kurangnya penerimaan yang diperoleh berdasarkan pendapatan asli

daerah apabila dibandingkan dengan Total Pendapatan Daerah (TPD).

Hal ini dapat dilihat pada Tabel 4.3, kemampuan keuangan berdasarkan

rasio derajat desentraslisasi fiskal pada tahun 2007-2010 masih kurang,

karena msih berada pada interval 10,01% - 20,00%, sedangkan pada

tahun 2011 mengalami peningkatan persentase menjadi 20,35% yang

menggambarkan bahwa kemampuan keuangan daerah dianggap cukup.

Berdasarkan jumlah rata-rata rasio derajat desentralisasi fiskal,

kemampuan keuangan Kota Makassar masih berada pada tingkat

kemampuan yang kurang, yaitu sebesar 15,39% dan berada pada kisaran

10,01% - 20,00%.

Gambar 4.2

Hasil Perhitungan Rasio Derajat Desentralisasi Fiskal

Kota Makassar Tahun 2007-2011

73

2007 2008 2009 2010 2011

0.00%

5.00%

10.00%

15.00%

20.00%

25.00%

14.51%13,58% 14.04%14.50%

20.35%

Derajat Desentral-isasi Fiskal

TAHUN ANGGARAN

PERSENTASE

Rendahnya perolehan persentase yang dimiliki oleh Kota Makassar

menunjukkan bahwa pemerintah kota belum mampu membiayai

pengeluarannya sendiri dengan kata lain, masih sangat tergantung pada

pemerintah pusat. Apabila hasil dari rasio derajat desentralisasi fiskal ini

dipadukan dengan hasil perhitungan rasio kemandirian, maka akan terlihat

jelas bahwa konstribusi PAD terhadap total pendapatan daerah secara

keseluruhan masih relatif kecil, maka kinerja keuangan daerah dinilai

masih sangat rendah.

Kemandirian fiskal daerah merupakan salah satu aspek yang sangat

penting dari otonomi daerah secara keseluruhan. Manfaat dari

kemandirian adalah mendorong peningkatan partisipasi prakarsa dan

kreativitas masyarakat dalam pembangunan serta akan mendorong

pemerataan hasil-hasil pembangunan (keadilan) di seluruh daerah dengan

memanfaatkan sumber daya serta potensi yang tersedia di daerah.

74

Dari hal tersebut diatas kemandirian fiskal daerah menggambarkan

kemampuan pemerintah daerah dalam meningkatkan Pendapatan Asli

Daerah (PAD) seperti pajak daerah, retribusi dan lain-lain. Karena itu

otonomi daerah dan pembangunan daerah bisa diwujudkan hanya apabila

disertai kemandirian fiskal yang efektif. Ini berarti bahwa pemerintahan

daerah secara finansial harus bersifat independen terhadap pemerintah

pusat dengan jalan sebanyak mungkin menggali sumber-sumber PAD

seperti pajak, retribusi dan sebagainya.

4.2.1.3. Rasio Indeks Kemampuan Rutin

Indeks Kemampuan Rutin (IKR) dapat dihitung dengan

menggunakan rumus sebagai berikut:

IKR= PADTotal PengeluaranRutin

x 100%

Dalam penelitian ini, pengeluaran rutin atau belanja rutin diperoleh

dari bagian belanja operasi. Hal ini dikarenakan adanya perubahan

peraturan mengenai kelompok belanja dalam Peraturan Menteri Dalam

Negeri Nomor 13 Tahun 2006 yang kemudian diubah kedalam Peraturan

Menteri Dalam Negeri Nomor 59 Tahun 2007 tentang Pedoman

Pengelolaan Keuangan Daerah. Berikut adalah rincian komponen

pengeluaran/belanja rutin Kota Makassar yang disajikan pada Tabel 4.4:

75

Tabel 4.4

Pengeluaran Rutin Kota Makassar Tahun Anggaran 2007-2011

URAIAN TAHUN ANGGARAN2007 2008 2009 2010 2011

Belanja Pegawai 491.041.460.780,00 622.133.925.689,00 700.509.945.216,00 817.595.928.244,00 1.072.077.237.541,94 Belanja Bunga 1.243.438.329,28 - - 2.119.727.019,67 - Belanja Subsidi 4.424.916.654,00 1.728.066.825,00 1.125.000.000,00 - - Belanja Hibah 3.500.000.000,00 61.598.935.217,00 23.304.715.000,00 25.175.607.000,00 35.577.984.849,00 Belanja Bantuan Sosial 38.710.373.487,00 32.654.139.261,00 17.473.958.777,01 26.232.596.600,00 27.177.912.236,00 Belanja Bagi Hasil kepada Prov./Kab./Kota & Pem. Desa - - - - -

Belanja Bantuan Keuangan kepada Prov./Kab./Kota & Pemerintah Desa

- - - - -

Belanja tidak terduga - - - 751.300.000,00 2.025.601.360,00 Total Pengeluaran Rutin 538.920.189.250,28 718.115.066.992,00 742.413.618.993,01 871.875.158.863,67 1.136.858.735.986,94

Sumber: Data diolah, 2013

76

Dalam Permendagri Nomor 59 Tahun 2007 tentang Perubahan

Atas Permendagri No.13 tahun 2006 tentang Pedoman Pengelolaan

Keuangan Daerah diungkapkan pengertian belanja daerah, yaitu

“belanja daerah adalah kewajiban pemerintah daerah yang diakui

sebagian pengurang nilai kekayaan bersih”. Dari pengertian tersebut,

maka dapat disimpulkan bahwa belanja daerah adalah semua

pengeluaran pemerintah daerah pada suatu periode anggaran yang

berupa arus kas aktiva keluar.

Dengan telah diberikannya wewenang untuk mengelola keuangan

daerah, maka Belanja Rutin diprioritaskan pada optimalisasi fungsi dan

tugas rutin perangkat daerah, termasuk perangkat dinas-dinas yang telah

dan akan dilimpahkan kepada Pemerintah Daerah.

Dari Tabel 4.4, komponen terbesar dari pengeluaran rutin Kota

Makassar tahun anggaran 2007-2011 adalah Belanja Pegawai. Dimana,

belanja pegawai mengalami peningkatan secara signifikan. Merujuk pada

hasil wawancara dengan Ahdi Abidin Malik selaku Kepala Sub Bagian

Verifikasi dan Pembukuan pemerintah Kota Makassar, yang berpendapat:

“Dampak dari masih tingginya belanja rutin dikarenakan untuk pemerintah kota belum ada remunerasi atau tambahan gaji lainnya. Remunerasi adalah imbalan atau gaji. Dalam konteks Reformasi Birokrasi, pengertian Remunerasi adalah penataan kembali sistem penggajian yang dikaitkan dengan sistem penilaian kinerja. Selain itu, terjadi kecenderungan di setiap SKPD atau satuan kerja lebih memperbanyak kegiatan. Dari kegiatan tersebut terdapat honor sehingga menyebabkan pemerintah kota menghabiskan anggaran lebih banyak untuk belanja pegawai daripada belanja pembangunan atau belanja modal dikarenakan hal itu. Sebenarnya, untuk lebih teknisnya BAPPEDA lebih mengetahuinya. Karena kami di keuangan dapat menyimpulkan seperti itu karena melihat Daftar Pelaksanaan Anggaran yang dianggarkan, terdapat

77

banyak kegiatan yang diprogramkan oleh SKPD dalam upaya mendapatkan honor atau tambahan gaji” (Wawancara, 18 Januari 2013).

Senada dengan pendapat Ahdi Abidin Malik, Iswady (Kepala Sub

Bagian Keuangan Dinas:

“Kalau kita berpikir jumlah Pegawai Negeri Sipil (PNS) Kota Makassar sebesar 14.000 orang, yang kemudian penghitungan gaji yang diberikan sebanyak 13 (tiga belas) bulan, karena adanya gaji 13 (tiga belas). Kalau tidak salah untuk belanja pegawai sudah mencapai Rp 800.000.000.000 – Rp 900.000.000.000. Inilah yang menyebabkan tingginya belanja rutin pemerintah Kota Makassar” (Wawancara, 23 Januari 2013).

Berikut adalah hasil perhitungan rasio Indeks Kemampuan Rutin

(IKR) Kota Makassar tahun anggaran 2007-2011:

Tabel 4.5

Perhitungan Rasio Indeks Kemampuan Rutin Kota Makassar

Tahun Anggaran 2007-2011

Tahun PAD Pengeluaran Rutin%

KemampuanAnggara

n (Rp) (Rp) Keuangan

2007 136.619.097.085,59 538.920.189.250,28 25,35% Kurang2008 154.911.891.959,39 718.115.066.992,00 21,57% Kurang2009 170.698.725.818,79 742.413.618.993,01 22,99% Kurang2010 210.136.331.090,64 871.875.158.863,67 24,10% Kurang

2011 351.692.552.587,60 1.136.858.735.986,94 30,94% Kurang

Rata-Rata 24,99% Kurang Sumber: Data diolah, 2013

Kemampuan daerah dalam membiayai pembangunan masih sering

mengalami kendala berupa rendahnya kemampuan daerah dalam

meningkatkan PADnya. Indikator rendahnya kemampuan daerah ini dapat

dilihat dari Indeks Kemampuan Rutin (IKR) daerah, yang diperoleh dari

78

besarnya perubahan PAD terhadap pengeluaran rutin daerah dalam

persentase tahun yang sama.

Dari tabel 4.5, dapat disimpulkan bahwa Indeks Kemampuan Rutin

selama lima tahun pada pemerintahan Kota Makassar masih dalam skala

yang kurang, karena masih berada dalam skala interval antara 20,01% -

40,00% yaitu sebesar 24,99% (rata-rata IKR) dan ini berarti bahwa

Pendapatan Asli Daerah (PAD) mempunyai kemampuan yang kurang

untuk membiayai pengeluaran rutin, hal ini terjadi karena PAD Kota

Makassar sangat kecil jika dibandingkan dengan nilai belanja rutin, dan

selama ini lebih banyak tergantung pada sumber keuangan yang berasal

dari pemerintah pusat.

Gambar 4.3

Hasil Perhitungan Indeks Kemampuan Rutin Kota Makassar

Tahun Anggaran 2007-2011

2007 2008 2009 2010 2011

0.00%5.00%

10.00%15.00%20.00%25.00%30.00%35.00%

25.35%21.57% 22.99% 24.10%

30.94%

Indeks Kemampuan Rutin

TAHUN ANGGARAN

PERSENTASE

Berdasarkan Gambar 4.3, maka terlihat bahwa terjadi penurunan

indeks kemampuan rutin pada tahun 2008 yang kemudian terus

79

meningkat sampai dengan tahun 2011. Namun, walaupun trendnya terus

mengalami peningkatan, kemampuan keuangan daerah Kota Makassar

masih dinilai kurang. Penerimaan PAD yang tiap tahunnya meningkat,

namun faktanya hal ini belum mampu menutupi belanja rutin yang ada.

Menurut Iswadi:

“Trend PAD terus meningkat, meskipun sesungguhnya pemeritah kota belum mampu secara penuh dari PAD untuk menutup seluruh belanja daerah. Karena kalau tidak salah untuk belanja pegawai sudah mencapai Rp 800.000.000.000 – Rp 900.000.000.000, sedangkan PAD kota Makassar masih berkisar di angka Rp 351.000.000.000. Untuk menutup gaji pegawai saja belum mampu, apalagi untuk membangun jalan, belanja kantor. Jadi kita masih berharap ada sumber-sumber pendapatan lain diluar PAD, seperti dari Dana Alokasi Umum yang diberikan oleh pemerintah pusat untuk menutup belanja pegawai, sehingga PAD digunakan untuk belanja modal, pembangunan jalan” (Wawancara, 23 Januari 2013).

Dari kedua hasil wawancara diatas, maka pemerintah Kota

Makassar perlu mengupayakan penghematan untuk Belanja Rutin non

Pegawai dengan cara memprioritaskan pembiayaan terhadap belanja

yang benar-benar urgen disertai dengan peningkatan disiplin anggaran

untuk menekan tingginya nilai belanja rutin.

4.2.1.4. Rasio Keserasian

Rasio keserasian yang digunakan dalam analisis ini menggunakan

rumus sebagai berikut:

Rasio BelanjaOperasional=Total BelanjaOperasiTotal Belanja APBD

Rasio BelanjaModal=Total Belanja ModalTotal Belanja APBD

80

Belanja Operasional yang kemudian dalam Permendagri Nomor 59

Tahun 2007 disebut sebagai belanja rutin, yang telah dibahas pada rasio

Indeks Kemampuan Rutin (IKR), dan belanja modal yang kemudian

diubah menjadi belanja pembangunan.

Belanja Pembangunan disusun atas dasar kebutuhan nyata

masyarakat sesuai dengan tuntutan dan dinamika yang berkembang

untuk meningkatkan pelayanan dan kesejahteraan masyarakat yang lebih

baik. Dalam pembangunan daerah, masyarakat perlu dilibatkan dalam

proses perencanaannya, sehingga kebutuhan mereka dapat dijabarkan

dalam kebijakan-kebijakan yang akan ditetapkan berdasarkan prioritas

dan kemampuan daerah.

Belanja pembangunan terdiri dari dua komponen, yaitu:

1. Belanja barang dan jasa. Belanja ini merupakan semua pengeluaran

Pemerintah Daerah yang tidak berhubungan secara langsung dengan

aktivitas atau pelayanan publik. Kelompok belanja barang dan jasa

terdiri atas: Belanja barang dan belanja pemeliharaan yang merupakan

pengeluaran pemerintah daerah untuk penyediaan barang dan jasa dan

pemeliharaan barang daerah yang tidak berhubungan langsung dengan

pelayanan publik.

2. Belanja Modal merupakan pengeluaran Pemerintah Daerah yang

manfaatnya melebihi satu tahun anggaran dan akan menambah aset

atau kekayaan daerah dan selanjutnya akan menambah belanja seperti

biaya operasi dan pemeliharaan.

81

Dibawah ini, akan dipaparkan nilai-nilai dari tiap komponen belanja

pembangunan yang tertera pada Tabel 4.6.

82

Tabel 4.6

Komponen Belanja Pembangunan Kota Makassar Tahun Anggaran 2007-2011

Uraian 2007 2008 2009 2010 2011Belanja Barang dan Jasa

196.024.572.009,00

236.173.194.110,75

301.449.071.321,00

329.417.215.928,50

406.495.617.941,29

Belanja Modal 139.940.456.318,40

185.705.181.402,47

197.180.578.338,00

178.674.669.904,00

168.523.776.058,00

Belanja Pembangunan

335.965.028.327,40

421.878.375.513,22

498.629.649.659,00

508.091.885.832,50

575.019.393.999,29

Sumber: Data diolah, 2013

Tabel 4.7Perhitungan Rasio Keserasian Kota Makassar Tahun Anggaran 2007-2011

No Tahun Anggaran

Total Belanja Realisasi Belanja Rutin Realisasi Belanja Pembangunan Rasio

Belanja Rutin

Rasio Belanja Pembangunan

(Rp) Rp Perkembangan Rp Perkem

bangan1 2007 874.885.217.577,68 538.920.189.250,28 - 335.965.028.327,40 - 61,60% 38,40%2 2008 1.139.993.442.505,22 718.115.066.992,00 24,95% 421.878.375.513,22 20,36% 62,99% 37,01%3 2009 1.241.043.268.652,01 742.413.618.993,01 3,27% 498.629.649.659,00 15,39% 59,82% 40,18%4 2010 1.379.967.044.696,17 871.875.158.863,67 14,85% 508.091.885.832,50 1,86% 63,18% 36,82%5 2011 1.711.878.129.986,23 1.136.858.735.986,94 23,31% 575.019.393.999,29 11,64% 66,41% 33,59%

Rata-Rata 62,80% 37,20%Sumber: Data diolah, 2013

83

Berdasarkan Undang-undang Nomor 32 dan 33 Tahun 2004,

implikasi dari pemberian kewenangan otonomi ini menuntut daerah untuk

melaksanakan pembangunan di segala bidang, terutama untuk

pembangunan sarana dan prasarana publik (public services).

Pembangunan tersebut diharapkan dapat dilaksanakan secara mandiri

oleh daerah baik dari sisi perencanaan, pembangunan, serta

pembiayaannya. Pembangunan yang dilaksanakan akan banyak

memberikan manfaat bagi daerah, diantaranya:

1. Meningkatkan kualitas dan kuantitas pelayanan masyarakat.

2. Mendorong perkembangan perekonomian daerah.

3. Mendorong peningkatan pembangunan daerah di segala bidang.

4. Meningkatkan taraf hidup dan kesejahteraan masyarakat.

5. Meningkatkan pendapatan asli daerah.

6. Mendorong kegiatan investasi

Banyaknya manfaat yang diperoleh apabila pelaksanaan belanja

pembangunan dapat dilaksanakan secara mandiri ternyata belum mampu

dirasakan oleh pemerintah Kota Makassar. Hal ini terbukti dengan hasil

perhitungan rasio keserasian Kota Makassar tahun anggaran 2007-2011

yang menunjukkan masih rendahnya rasio belanja pembangunan apabila

dibandingkan dengan rasio belanja rutin. Dimana, hasil rata-rata dari rasio

belanja pembangunan sebesar 37,20% dan rata-rata rasio belanja rutin

sebesar 62,80%, terdapat gap sebesar 25,60%. Berikut adalah gambar

yang menunjukkan perbedaan jumlah tersebut.

84

Gambar 4.4

Hasil Perhitungan Rasio Keserasian Kota Makassar

Tahun Anggaran 2007-2011

2007 2008 2009 2010 20110.00%

10.00%

20.00%

30.00%

40.00%

50.00%

60.00%

70.00%61.60% 62.99%

59.82%63.18%

66.41%

38.40% 37.01%40.18%

36.82%33.59%

Rasio Belanja Rutin Rasio Belanja Pembangunan

TAHUN ANGGARAN

PERSENTASE

Pendapat Ahdi Abidin Malik setelah melihat ketimpangan yang

tergambar pada Gambar 4.4 adalah:

“Ketimpangan yang terjadi antara belanja rutin dan belanja pembangunan disebabkan tingginya belanja pegawai terutama dikarenakan banyaknya kegiatan dari dinas-dinas dan belanja pegawai untuk gaji PNS. Untuk belanja modal atau pembangunan memang terbatas, hanya di fokuskan pada bidang pendidikan, pekerjaan umum, dan kesehatan yang dibiayai dari Dana Alokasi Khusus (DAK)” (Wawancara, 18 Januari 2013).

Sesuai dengan UU No 33 Tahun 2004 pasal 10 disebutkan bahwa

yang menjadi sumber-sumber pembiayaan untuk pembangunan daerah

(capital investment) antara lain berasal dari PAD dan Dana Perimbangan

yang diterima oleh daerah-daerah dari Pemerintah Pusat. Dana

Perimbangan itu sendiri terdiri dari Dana Bagi Hasil, Dana Alokasi Umum

85

(DAU), Dana Alokasi Khusus (DAK). Selain itu juga ada sumber lain yang

berasal dari pembiayaan berupa pinjaman Daerah.

Meskipun terdapat banyak sumber-sumber pembiayaan untuk

pembangunan daerah berdasarkan UU No 33 Tahun 2004 pasal 10,

namun faktanya pemerintah Kota Makassar yang lebih condong pada

ekonomi kerakyatan belum memperhatikan pembangunan daerah,

walaupun belanja pembangunan naik meskipun relatif kecil. Hal ini

dikarenakan keterbatasan dana yang dimiliki oleh pemerintah kota

sehingga pemerintah kota lebih berkonsentrasi pada pemenuhan belanja

rutin yang mengakibatkan belanja pembangunan untuk pemerintah Kota

Makassar kecil atau belum terpenuhi.

4.2.1.5. Rasio Pertumbuhan

Rasio pertumbuhan (growth ratio) mengukur seberapa besar

kemampuan Pemerintah daerah dalam mempertahankan dan

meningkatkan keberhasilan yang telah dicapai dari periode ke periode

berikutnya. Rumus yang digunakan untuk menghitung Rasio pertumbuhan

adalah sebagai berikut :

r=Pn−PoPo

x 100%

Dimana:

Pn = Data yang dihutung pada tahun ke-n

Po = Data yang dihitung pada tahun ke-0

R = Pertumbuhan

86

Tabel 4.8

Perhitungan Rasio Pertumbuhan Kota Makassar

Tahun Anggaran 2007-2011

No Keterangan

Tahun Anggaran2007 2008 2009 2010 2011

1 PAD 136.619.097.085,59

154.911.891.959,39

170.698.725.818,79

210.136.331.090,64

351.692.552.587,60

Pertumbuhan - 11,81% 9,25% 18,77% 40,25%2 Total Pendapatan 941.668.824.309,5

9 1.141.051.558.673,8

6 1.215.717.720.899,7

9 1.449.662.649.590,8

5 1.728.570.515.122,9

7 Pertumbuhan - 17,47% 6,14% 16,14% 16,14%

3 Belanja Rutin 538.920.189.250,28

718.115.066.992,00

742.413.618.993,01

871.875.158.863,67

1.136.858.735.986,94

Pertumbuhan - 24,95% 3,27% 14,85% 23,31%

4 Belanja Pembangunan

335.965.028.327,40

421.878.375.513,22 498.629.649.659,00 508.091.885.832,50 575.019.393.999,29

Pertumbuhan - 20,36% 15,39% 1,86% 11,64%

Sumber: Data diolah, 2013

87

Berdasarkan hasil perhitungan pada tabel 4.8 kondisi

pertumbuhan APBD Kota Makassar dapat disimpulkan bahwa APBD

pada tahun anggaran 2007-2011 menunjukkan pertumbuhan rata-rata

yang negatif. Hal ini diakibatkan pertumbuhan nilai PAD dan total

pendapatan daerah tidak diikuti oleh pertumbuhan belanja

pembangunan. Artinya, pemerintah Kota Makassar belum mampu

mempertahankan dan meningkatkan pertumbuhannya dari periode

yang satu ke periode berikutnya yang disebabkan masih fluktuatifnya

pertumbuhan belanja pembangunan, dan belanja rutin yang terus

bertambah sejak tiga tahun belakangan (tahun 2009-2011).

Dengan mengetahui pertumbuhan masing-masing komponen

sumber pendapatan dan pengeluaran, maka dapat dilakukan evaluasi

terhadap potensi-potensi daerah yang perlu mendapat perhatian. Semakin

tinggi persentase pertumbuhan setiap komponen pendapatan dan

pengeluaran, maka semakin besar kamampuan Pemerintah daerah dalam

mempertahankan dan meningkatkan keberhasilan yang dicapai dari setiap

periode.

Untuk lebih jelasnya, dibawah ini disajikan gambar yang

menunjukkan pertumbuhan APBD yang dilihat dari berbagai komponen

penyusunan APBD yang terdiri dari PAD, total pendapatan daerah,

belanja rutin, dan belanja pembangunan.

88

Gambar 4.5

Hasil Perhitungan Rasio Pertumbuhan Kota Makassar

Tahun Anggaran 2007-2011

2007 2008 2009 2010 20110.00%

5.00%

10.00%

15.00%

20.00%

25.00%

30.00%

35.00%

40.00%

45.00%

0.00%11.81%

9.25%

18.77%

40.25%

0.00%

17.47%

6.14%

16.14% 16.14%

0.00%

24.95%

3.27%

14.85%

23.31%

0.00%

20.36%15.39%

1.86%11.64%

PAD Total PendapatanBelanja Rutin Belanja Pembangunan

TAHUN ANGGARAN

PERSENTASE

4.2.2. Konstribusi Pendapatan Asli Daerah terhadap Anggaran

Pendapatan dan Belanja Daerah Tahun Anggaran 2007-2011

dalam Menunjang Pelaksanaan Otonomi Daerah di Kota

Makassar

Penyerahan otonomi tidak lepas dari kemampuan daerah dalam

mengelola dan menggali sumber–sumber pendapatan daerah itu sendiri,

baik yang bersumber dari Pendapatan Asli Daerah, Dana Perimbangan,

serta penerimaan sumbangan dan bantuan lainnya. Pembinaan sumber-

sumber pendapatan daerah selalu diupayakan dengan menggali potensi

89

serta senantiasa mengadakan pengawasan terhadap sumber-sumber

pendapatan daerah yang ada.

Setiap Negara dengan wilayah yang luas membutuhkan suatu

sistem Pemerintahan daerah yang efektif. Sistem ini diperlukan tidak saja

sebagai alat untuk melaksanakan berbagai program Pemerintah di

daerah, tetapi juga alat bagi masyarakat setempat agar dapat berperan

serta dalam menentukan prioritas untuk pembangunan daerahnya sendiri.

Oleh karena itu Pemerintah Daerah Kota Makassar berupaya

meningkatkan penerimaan Pendapatan Asli Daerah yang bersumber dari

berbagai sektor seperti hasil dari pajak daerah, retribusi daerah, hasil

perusahaan milik daerah dan hasil pengelolaan kekayaan daerah serta

lain–lain pendapatan asli daerah yang sah. Dengan demikian

meningkatnya Pendapatan Asli Daerah dapat memberikan indikasi yang

lebih baik bagi kemampuan keuangan daerah dalam mengatur dan

mengurus rumah tangganya sendiri terutama dalam pelaksanaan tugas-

tugas pelayanan kepada masyarakat serta percepatan dan peningkatan

pembangunan dalam segala bidang di daerahnya masing–masing.

Meskipun terdiri dari empat sumber, hingga saat ini hanya Pajak

Daerah dan Retribusi Daerah yang menyumbang secara siginifkan

terhadap total penerimaan PAD suatu Daerah. Sementara sumber yang

berasal dari BUMD dan Lain PAD yang sah masih belum berperan,

dimana hal tersebut dapat dicermati pada tabel berikut:

90

Tabel 4.9

Komposisi Pendapatan Asli Daerah Kota Makassar Tahun Anggaran 2007-2011

dalam satuan Rupiah

Komposisi PAD Kota Makassar

2007 2008 2009 2010 2011

Jumlah % Jumlah % Jumlah % Jumlah % Jumlah %Pajak Daerah 85.996.524.046,00 62,95% 98.318.693.736,00 63,47% 115.223.338.976,00 67,50% 133.551.818.679,00 63,55% 270.547.821.316,00 76,93%

Retribusi Daerah 37.972.419.441,05 27,79% 40.966.229.794,00 26,44% 39.980.839.820,00 23,42% 59.729.103.725,43 28,42% 62.043.147.863,00 17,64%

Laba Usaha Daerah 368.467.109,00 0,27% 380.297.269,45 0,25% 276.742.541,75 0,16% 656.945.784,35 0,31% 575.342.523,60 0,16%

Laba Lembaga Keuangan Bank 3.326.820.624,00 2,44% 3.789.308.418,77 2,45% 5.270.210.267,48 3,09% 4.910.068.081,64 2,34% 5.469.680.606,00 1,56%

Laba Lembaga Keuangan Non Bank

223.989.042,54 0,16% 187.900.000,00 0,12% 118.800.000,00 0,07% 250.800.000,00 0,12% 310.177.018,00 0,09%

Lain-Lain Pendapatan Asli Daerah Yang Sah

8.730.876.823,00 6,39% 11.269.462.741,17 7,27% 9.828.794.213,56 5,76% 11.037.594.820,22 5,25% 12.746.383.261,00 3,62%

Jumlah PAD 136.619.097.085,59 100,00% 154.911.891.959,39 100,00% 70.698.725.818,79 100,00% 210.136.331.090,64 100,00% 351.692.552.587,60 100,00%Rata-Rata 27.323.819.417,12 - 30.982.378.391,88 - 34.139.745.163,76 - 42.027.266.218,13 - 70.338.510.517,52 -

Sumber: APBD Kota Makassar TA 2007-2011, Data Diolah, 2013.

91

Komponen terbesar dalam penerimaan PAD Kota Makassar adalah

pajak daerah. Kota Makassar sendiri memiliki 10 (sepuluh) jenis pajak

daerah. Walaupun jumlah jenis pajak tergolong banyak, tapi

pengelolaannya belum maksimal. Hal ini dibenarkan oleh Ahdi Abidin

Malik yang berpendapat bahwa:

“Wajib pajak dan wajib retribusi belum memiliki kesadaran membayar pajak. Misalnya saja kita anggarkan, Hotel A kita targetkan Rp 1.000.000.000, biasanya mereka cuma membayar 50-60% maksimal dari yang dianggarkan. Jarang ada yang membayar 100%. Makanya kita anggarkan tinggi, misalnya Hotel A itu Rp 3.000.000, yang biasanya mereka bayar uma Rp 1.500.000.000” (Wawancara, 18 Januari 2013).

Senada dengan Ahdi Abidin Malik, menurut Iswadi:

“Tingkat pertisipasi masyarakat tiap tahunnya pasti mengalami peningkatan, tetapi ada beberapa masyarakat yang belum mampu membayar pajak secara tepat waktu dan tepat jumlah karena membayar pajak itu harus tepat waktu dan tepat jumlah. Kalau tidak tepat waktu, berarti kena denda. Kalau tidak tepat jumlah, maka dihitung dendanya dan diterbitkan Surat Ketetapan Pajak Daerah Kurang Bayar. Biasanya terdapat kesalahan-kesalahan perhitungan dari wajib pajak yang menghitung sendiri pajaknya yang biasanya ditemukan dalam hal pembayaran pajak sehingga menimbulkan kurang bayar. Ada juga yang tidak tepat waktu. Harusnya dibayar bulan ini, tapi dibayar bulan depannya” (Wawancara, 23 Januari 2013).

Untuk basis pajak yang dianggap milik pemerintah Kota Makassar

namun masih dikuasai oleh pemerintah pusat, Ahdi Abidin Malik selaku

kepala sub bagian verifikasi dan pembukuan mengatakan bahwa:

“Saat ini, sama skali tidak ada basis pajak yang semestinya milik kota makassar yang masih dikuasai oleh pemerintah pusat, semua PAD, bahkan PBB dan BPHTB semuanya sudah dikelolah oleh masing pemerintah daerah/kota” (Wawancara, 18 Januari 2013).

Pernyataan berbeda dikeluarkan oleh Iswady selaku kepa sub

bagian Keuangan Dinas Pendapatan Kota Makassar. Ia berpendapat:

92

“Basis pajak yang sifatnya besar itu yang masih dikuasai pemerintah pusat misalnya PPH 21, kalau misalnya orang terima honorkan kalau PNS itu terima honor dipotong pajaknya sebesar 15%. Itu masuk kedalam pajak pusat. Pusat yang kalau honor kita dipotong 15% itu 15%nya langsung kepusat. Pusat nantinya yang bagi hasilkan ke kita. Jika ada sumber-sumber pajak daerah yang masih dikelolah oleh pemerintah pusat yang belum diserahkan ke daerah, entah apa pertimbangannya. Mungkin juga suatu saat akan diserahkan ke daerah dan mungkin juga suatu saat akan di tarik lagi ke pusat. Kan ada yang seperti itu sudah diserahkan ke daerah, tetapi ditarik lagi ke pusat, tergantung kebijakannya dari pemerintah pusat seperti apa. Kalau dianggap itu belum mampu mengelelolah pajak itu, maka pajak itu akan ditarik kembali. Kalau dianggap sudah mampu dan lebih maksimal kalau daerah yang kelolah misalnya kalau pemerintah pusat yang kelolah mungkin pendapatan pajaknya sekitar 10m kalau daerah yang kelolah ternyata bisa naik sampai Rp 15.000.000.000 – Rp 20.000.000.000. Maka pajak itu akan diserahkan kepada daerah. Banyak pertimbangan-pertimbangan kenapa sebuah objek pendapatan itu bisa diserahkan kepada daerah atau bisa di tarik kembali” (Wawancara, 23 Januari 2013).

Perbedaan pendapat ini terjadi karena menurut Ahdi Abidin Malik,

sebaiknya pemerintah kota lebih mengoptimalkan dan menertibkan

pemungutan pajak-pajak daerah yang ada saat ini sehingga dapat lebih

meningkatkan pendapatan dari sumber-sumber yang telah ada,

sedangkan menurut Iswady, pelimpahan wewenang kepada daerah untuk

memungut PPh 21 dapat menjadi salah satu sumber pendapatan yang

cukup potensial yang nantinya akan mempengaruhi penerimaan

pendapatan asli daerah pemerintah kota Makassar.

Adapun rekapitulasi mengenai target dan realisasi penerimaan

Pendapatan Asli Daerah Kota Makassar tahun anggaran 2007-2011

sebagai berikut:

93

Tabel 4.10

Rekapitulasi Target dan Realisasi Pendapatan Asli Daerah Kota

Makassar Tahun Anggaran 2007-2011

Tahun Target Realisasi %2007 125.936.173.075,00 136.626.469.085,59 108,48 2008 145.466.209.400,00 154.911.891.959,39 106,49 2009 176.628.387.000,00 170.698.725.819,79 96,642010 216.928.890.000,00 210.145.729.430,00 96,872011 345.335.311.000,00 351.692.552.588,00 101,84

Sumber: Dispenda Kota Makassar, Data diolah, 2013

Tabel 4.11

Konstribusi Pendapatan Asli Daerah terhadap Total Pendapatan

APBD Kota Makassar Tahun Anggaran 2007-2011

No TATotal

Pendapatan APBD (Rp)

Pendapatan Asli Daerah %Rp Perkembangan

1 2007 941.668.824.309,59 136.619.097.085,59 - 14,51%

2 20081.141.051.558.673,8

6154.911.891.959,3

9 11,81% 13,58%

3 20091.215.717.720.899,7

9170.698.725.818,7

9 9,25% 14,04%

4 20101.449.662.649.590,8

5210.136.331.090,6

4 18,77% 14,50%

5 20111.728.570.515.122,9

7351.692.552.587,6

0 40,25% 20,35%

Rata-Rata204.811.719.708,4

0 20,02% 15,39%

Sumber: APBD Kota Makassar TA 2007-2011, Data Diolah, 2013.

Dari tabel, dapat diliat PAD mengalami peningkatan secara signifikan

dalam empat tahun terakhir. Meskipun trend PAD meningkat seiring

dengan adanya diskresi dari pemerintah pusat untuk menyerahkan

beberapa sumber-sumber pendapatan yang tadinya dikuasai oleh

94

pemerintah pusat yang kemudian diserahkan kepada pemerintah daerah

untuk menagih, menarik beberapa jenis pajak sudah diserahkan kepada

daerah, sehingga trend PAD meningkat, meskipun demikian tetap saja

PAD Kota Makassar belum mampu menutup seluruh belanja daerah.

Rata-rata jumlah PAD yang telah dicapai oleh pemerintah Kota

Makassar menurut Iswadi merupakan:

“Suatu pencapaian yang cukup memuaskan. Dari sisi persentase, itu sudah mengcover karena berdasarkan perhitungan ini sudah mencapai 15% dari total APBD. Tadinya itu hanya dibawah 10%, masih satu digit. PAD Kota Makassar dari struktur pendapatan itu beberapa tahun belakangan masih berkisar satu digit dari total pendapatan, seperti 9%-10%” (Wawancara, 23 Januari 2013)

Rendahnya konstribusi PAD terhadap Total Pendapatan APBD,

mengharuskan pemerintah kota lebih memperketat aturan yang ada, serta

lebih lihai mencari sumber-sumber pendanaan alternatif. Salah satunya

adalah pendirian Badan Usaha Milik Daerah (BUMD) yang berbentuk

Perusahaan Daerah.

Pendirian BUMD merupakan bagian dari PAD. Penyertaan modal ke

perusahaan daerah diatur melalui peraturan daerah. Pemerintah kota atau

pemeritah daerah tidak serta merta langsung saja membentuk

perusahaan daerah dan menyertakan modalnya. Tidak seperti itu, namun

pemerintah kota/daerah harus melalui mekanisme persetujuan anggota

DPRD melalui peraturan daerah. Jadi, akan disetujui/digodok dulu di

DPRD apakah memang layak pemerintah kota/daerah menginvestasikan

uangnya. Uang ini adalah uang rakyat. Kalau uang milik rakyat ingin

dibelanjakan harus minta izin sama yang mewakili rakyat, yaitu DPRD jadi

95

harus ada persetujuan dari DPRD dan kemudian disertakan kedalam

perusahaan daerah. Pada saat disertakan keperusahaan daerah itulah

pemerintah kota berharap bahwa modal yang disertakan dapat kembali

dalam bentuk deviden. Defenisi deviden itu baru bisa dikembalikan

apabila perusahaan daerah tersebut memperoleh keuntungan. Ketika

terjadi kerugian, maka akan ditanggung bersama.

Ahdi Abidin Malik berpendapat:

“Sumber-sumber lainnya untuk meningkatkan PAD, sebetulnya di Kota Makassar masih banyak. Kita ambil saja contoh retribusi parkir. Parkir yang tidak terakomodir dengan baik. Artinya, secara logika satu mobil harus membayar retribusi sebesar Rp 1000, berapa jumlah mobil yang ada di Makassar. Tapi mungkin pengelolaannya belum optimal. karena biasanya kita targetkan Rp 500.000.000 dan tidak pernah tercapai 100%, paling setengahnya saja, lebihnya tidak tau kemana. Padahal kita sudah memiliki bentuk range nya yang sebetulnya bisa mencapai Rp 1.000.000.000, namun kita memakai batas setengahnya, yaitu Rp 500.000.000 tapi tetap tidak tercapai juga. Jadi menurut saya, kendalanya adalah teknisnya kebawah yang pemungutnya. Kesadarannya belum ada. Biasa ada yang memberi karcis, dan ada yang tidak. Jadi kemarin waktu rapat bagian keuangan mengatakan, jangan coba memberi uang parkir apabila tidak ada karcisnya. Namun, faktanya menurut sebagian orang hanya karena uang seribu terjadi pertengkaran?. Padahal itu adalah kesalahan. Mungkin situlah letak kesalahannya. Supaya kita tidak gampang dimainkan. Sedangkan dari sisi BUMD sektor potensial, yaitu: parkir, terminal, pasar, rumah potong hewan. Menurut saya sementara sudah cukup, namun pemerintah kota telah mencoba menyertakan modalnya keperusahaan daerah. Hasil yang diperoleh adalah deviden yang dicanangkan pemerintah kota masih sangat rendah. Pemerintah kota sempat menggulirkan bantuan dana penyertaan modal ke rumah potong hewan sebesar Rp 1.500.000.000, sedangkan konstribusinya ke pemerintah kota hanya kurang lebih Rp 200.000.000. Sangat tidak masuk akal jumlahnya. Oleh karena itu, untuk sementara penyertaan modal ke perusahaan daerah dihentikan dan dialihkan kearah ekonomi kerakyatan” (Wawancara, 18 Januari 2013).

96

Sesuai dengan Kebijakan Umum Anggaran di bidang Pendapatan

Daerah Tahun 2011 yang tetap diarahkan pada upaya peningkatan

pendapatan daerah melalui optimalisasi pengelolaan pendapatan daerah

sesuai potensi dan kewenangan yang ada berdasarkan ketentuan

peraturan perundang-undangan yang berlaku, dengan tetap

mengedepankan pertimbangan aspek keadilan dan kemampuan

masyarakat.

Optimalisasi pengelolaan pendapatan daerah dilakukan dengan

mensinergikan program intensifikasi dan ekstensikasi sumber-sumber

pendapatan daerah. Intensifikasi difokuskan pada upaya peningkatan

kualitas pelayanan pajak dan retribusi daerah, penyederhanaan birokrasi,

peningkatan tertib administrasi, penegakan sanksi, peningkatan

komunikasi dan informasi kepada masyarakat serta reformasi sistem

perpajakan daerah sebagai salah satu tujuan implementasi Peraturan

Daerah Provinsi Sulawesi Selatan Nomor 10 tahun 2010 tentang Pajak

Daerah. Sedangkan ekstensifikasi difokuskan pada upaya penyesuaian

regulasi atas pengelolaan retribusi daerah menyusul ditetapkannnya

Undang- Undang No.28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi

Daerah.

4.2.2.1. Intensifikasi Sumber-Sumber PAD

Intensifikasi adalah upaya peningkatan PAD melalui proses

optimalisasi pengelolaan sumber-sumber pendapatan daerah yang

97

selama ini telah dikelola oleh pemerintah daerah. Pada tahun 2011,

intensifikasi pengelolaan PAD meliputi:

a. Peningkatan kualitas pelayanan, antara lain melalui peningkatan dan

pengembangan pelayanan Samsat Unggulan, pemanfaatan teknologi

informasi dalam pelayanan Pajak Daerah dan sistem pelaporan Pajak

Daerah, dan penyederhanaan sistem dan prosedur pelayanan Pajak

Daerah dan Retribusi Daerah.

b. Peningkatan sarana dan prasarana, antara lain melalui renovasi dan

pengembangan kantor dan sarana pelayanan untuk meningkatkan

kenyamanan masyarakat dalam membayar Pajak dan Retribusi

Daerah.

c. Peningkatan kualitas SDM, melalui pelatihan maupun bimbingan teknis

tentang pengelolaan pendapatan daerah.

d. Peningkatan tertib administrasi pemungutan Pajak Daerah dan

Retribusi Daerah pada seluruh SKPD pengelola PAD.

e. Koordinasi yang intensif dan efektif, yaitu dengan meningkatkan

kerjasama dengan seluruh SKPD pengelola pendapatan, termasuk

dengan instansi vertikal dalam hal intensifikasi Dana Bagi Hasil dan

Pendapatan Lain-Lain yang Sah.

f. Peningkatan ketaatan masyarakat dalam memenuhi kewajibanya

membayar Pajak Daerah melalui sosialisasi, peningkatan pengawasan

dan penegakan sanksi.

98

4.2.2.2. Ekstensifikasi Sumber-Sumber PAD

Ekstensifikasi merupakan upaya peningkatan pendapatan Daerah

melalui perluasan dan/atau penambahan obyek dan subyek sumber-

sumber pendapatan Daerah. Pada tahun 2011 upaya ekstensifikasi yang

dilakukan antara lain dengan:

a. menerapkan secara efektif Peraturan Daerah provinsi Sulawesi Selatan

Nomor 10 Tahun 2010 tentang Pajak Daerah, yang antara lain

menetapkan:

1. Penambahan objek.

2. Peningkatan tarif pajak.

b. penyusunan, pembahasan dan penetapan 3 (tiga) peraturan daerah di

sektor retribusi daerah, yaitu Perda No.9 Tahun 2011 tentang Retribusi

Jasa Umum, Peraturan Daerah Nomor 10 tahun 2011 tentang Retribusi

Perizinan Tertentu, dan Peraturan Daerah No.1 tahun 2011 tentang

Retribusi Jasa Usaha.

4.2.2.3 Sumber-Sumber Pendapatan Asli Daerah Kota Makassar

Sumber-sumber Pendapatan Asli Daerah (PAD) Kota Makassar,

terdiri dari:

1. Pajak Daerah, yaitu terbagi atas:

a. Pajak Hotel.

b. Pajak Restoran.

c. Pajak Hiburan.

d. Pajak Reklame.

99

e. Pajak Penerangan Jalan.

f. Pajak Galian Golongan C.

g. Pajak Parkir

h. Pajak Air Bawah Tanah.

i. Pajak Sarang Burung Walet.

j. Pajak BPHTB

2. Retribusi Daerah, antara lain:

a. Retribusi Pelayanan Kesehatan.

b. Retribusi Pelayanan Persampahan/Kebersihan.

c. Kartu Tanda Penduduk dan Akta Catatan Sipil.

d. Retribusi Pelayanan Pemakaman dan Pengabuan Mayat.

e. Retribusi Penyediaan/Penyedotan Kakus.

f. Retribusi Parkir Ditepi Jalan Umum.

g. Pengujian Kendaraan Bermotor.

h. Retribusi Penggunaan Alat Pemadam.

i. Pengujian Kapal Perikanan.

j. Retribusi Pemakaian Kantor Daerah.

k. Retribusi Tempat Pelelangan Ikan.

l. Retribusi Terminal.

m.Retribusi Rumah Potongan Hewan.

n. Retribusi Tempat Rekreasi dan Olah Raga.

o. Retribusi Penyeberangan diatas Air.

p. Retribusi Izin Mendirikan Bangunan.

100

q. Retribusi Izin Gangguan (Surat Izin Tempat Usaha).

r. Retribusi Izin Trayek.

s. Retribusi Ketenagakerjaan.

t. Retribusi Industri dan Perdagangan.

u. Retribusi Informasi dan Komunikasi.

v. Retribusi Bidang Koperasi.

w. Retribusi Jasa Ketatausahaan.

x. Retribusi Izin Jasa Konstruksi.

y. Retribusi Izin Tempat Penjualan Minuman Beralkohol.

z. Retribusi Anjungan Pantai Losari.

3. Pendapatan Hasil Kekayaan Daerah Yang Dipisahkan, terdiri atas:

a. Bagian Laba Usaha Daerah:

1) Perusahaan Daerah Air Minum.

2) Perusahaan Daerah BPR.

3) Perusahaan Daerah Pasar Makassar Raya.

4) Perusahaan Daerah Kebersihan.

5) Perusahaan Daerah RPH.

6) Perusahaan Daerah Parkir.

7) Perusahaan Daerah Terminal.

b. Laba Lembaga Keuangan Bank:

1) Bank BPD Sulawesi Selatan.

101

c. Bagian Laba Lembaga Keuangan Non Bank:

1) PT Kima.

2) PT GMTD.

4. Lain-Lain Pendapatan Asli Daerah Yang Sah yang terdiri dari:

a. Hasil Penjualan Aset Daerah yang Tidak Dipisahkan.

b. Jasa Giro.

c. Penerimaan TP / TGR.

d. Angsuran Cicilan Kendaraan Bermotor.

e. Lain-lain Pendapatan yang Sah.

f. Kompensasi atas Penyediaan Fasilitas Sosial dan Fasilitas Umum.

g. Royalti Pulau Kayangan.

h. Hasil Operasional Kapal Perikanan.

102

BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

Pada bab sebelumnya telah diuraikan hasil penelitian dan

pembahasan tentang tingkat kemampuan keuangan daeah dalam

pelaksanaan otonomi daerah tahun anggaran 2007-2011 di Kota

Makassar. Dalam Bab ini akan dikemukakan beberapa kesimpulan serta

saran-saran yang berhubungan dengan hasil penelitian tersebut.

5.1. Kesimpulan

Dari hasil penelitian dan hasil analisis data dapat diambil kesimpulan

sebagai berikut :

1. Tingkat kemampuan keuangan daerah Kota Makassar dalam

pelaksanaan otonomi daerah tahun anggaran 2007-2011 dianggap

masih kurang. Hal ini dapat dilihat berdasarkan hasil perhitungan

rasio:

a. Rasio kemandirian keuangan daerah selama lima tahun terakhir

yang menghasilkan jumlah rata-ratanya sebesar 18,30% dengan

pola hubungan yang instruktif. Dari hasil tersebut, tergambar

dengan jelas masih besarnya ketergantungan pemerintah Kota

Makassar terhadap sumber-sumber dana bantuan dari pihak

ekstern, baik dari pemerintah pusat maupu dari pemerintah

provinsi, dengan komponen bantuan terbesar adalah Dana Alokasi

Umum (DAU) dan Dana Penyesuaian.

103

b. Rasio Derajat Desentralisasi Fiskal, selama 5 (lima) tahun

menunujukkan angka rata-rata sebesar 15,39% dengan

kemampuan keuangan yang tergolong kurang. Hasil ini

menunjukkan bahwa pemerintah Kota Makassar belum mampu

membiayai pengeluarannya sendiri. Pemerintah Kota Makassar

masih bergantung kepada pemerintah pusat dalam hal pembiayaan

pengeluaran.

c. Berdasarkan kemampuan PAD untuk membiayai pengeluaran rutin

daerah, yang sering disebut juga dengan Rasio IKR (Indeks

Kemampuan Rutin) rata-rata hanya sebesar 24,99% dengan pola

kemampuan keuangan yang masih berada dalam interval 20,01% -

40,00% yang dinilai kurang. Artinya, PAD Kota Makassar belum

mampu membiayai belanja rutin yang dilakukan oleh pemerintah

kota.

d. Berdasarkan hasil perhitungan rasio keserasian, pemerintah Kota

Makassar masih lebih memprioritaskan belanja rutin daripada

belanja pembangunan. Hasil rata-rata dari rasio pembangunan

sebesar 37,20% dan rasio belanja rutin sebesar 62,80%. Terdapat

kesenjangan sebesar 25,60%. Angka-angka ini menunjukkan

bahwa pemerintah kota belum memperhatikan pembangunan

daerah. Hal ini disebabkan keterbatasan dana yang dimiliki oleh

pemerintah kota sehingga pemerintah kota lebih berkonsentrasi

104

pada pemenuhan belanja rutin dan penghematan pada belanja

lainnya.

e. Berdasarkan rasio pertumbuhan (growth ratio), PAD Kota Makassar

mengalami pertumbuhan ditiap periode tahun anggaran (2007-

2011), Total Pendapatan Daerah juga mengalami pertumbuhan

pada tiga tahun terakhir (2009-2011), sama halnya dengan belanja

rutin yang juga mengalami pertumbuhan pada tahun 2009-2011,

namun belanja pembangunan mengalami penurunan dari tahun

2008-2010 yang kemudian mengalami kenaikan pada tahun 2011.

Dari hasil perhitungan tersebut, dapat disimpulkan bahwa kondisi

pertumbuhan APBD Kota Makassar menunjukkan rata-rata yang

negatif, karena pertumbuhan PAD dan TDP tidak diikuti oleh

pertumbuhan belanja pembangunan, melainkan diikuti oleh belanja

rutin. Berdasarkan Rasio Pertumbuhan, secara keseluruhan

mengalami Konstribusi Pendapatan Asli Daerah Kota Makassar

terhadap Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah tahun

anggaran 2007-2011 dinilai masih sangat rendah, yaitu 15,39%

2. Konstribusi Pendapatan Asli Daerah terhadap Anggaran Pendapatan

dan Belanja Daerah Kota Makassar dalam menunjang pelaksanaan

otonomi daerah tahun anggaran 2007-2011 masih relatif kecil.

Berdasarkan hasil perhitungan konstribusi PAD, hasil rata-rata yang

diperoleh adalah sebesar 15,39%. Artinya, rata konstribusi PAD

terhadap APBD selama lima tahun hanya sebesar 15,39%. Angka

105

yang sangat rendah, namun merupakan angka tertinggi pencapaian

konstribusi PAD, karena sebelumnya, hasil rata-rata hanya berkisar

satu digit, yaitu berada 9,00%-10,00%. Rendahnya konstribusi PAD

terhadap Total Pendapatan APBD, mengharuskan pemerintah kota

lebih memperketat aturan yang ada, serta lebih lihai mencari sumber-

sumber pendanaan alternatif. Salah satunya adalah pendirian Badan

Usaha Milik Daerah (BUMD) sektor potensial yang berbentuk

Perusahaan Daerah.

Pemerintah Kota Makassar harus berupaya peningkatan pendapatan

daerah melalui optimalisasi pengelolaan pendapatan daerah sesuai

potensi dan kewenangan yang ada berdasarkan ketentuan peraturan

perundang-undangan yang berlaku, dengan tetap mengedepankan

pertimbangan aspek keadilan dan kemampuan masyarakat.

Optimalisasi pengelolaan pendapatan daerah dilakukan dengan

mensinergikan program intensifikasi dan ekstensikasi sumber-sumber

pendapatan daerah.

5.1. Saran

Berdasarkan hasil analisis data dan kesimpulan tentang kinerja

keuangan Pemerintah kota Makassar, penulis mencoba mengajukan

beberapa saran. Saran-saran tersebut adalah sebagai berikut:

1. Pelaksanaan otonomi daerah sebagaimana dinyatakan dalam UU

Nomor 32 tahun 2004 sebagai revisi dari UU Nomor 22 tahun 1999,

sangat diperlukan kemandirian keuangan daerah agar tingkat

106

ketergantungan keuangan daerah kepada pemerintah pusat dapat

dikurangi melalui intensifikasi Pendapatan Asli Daerah yang dilakukan

oleh masing-masing daerah.

2. Mengingat terbatasnya jumlah dan jenis sumber-sumber Pendapatan

Asli Daerah, maka diperlukan penyerahan beberapa sumber

keuangan nasional yang potensial untuk dikelola dan dipungut sendiri

oleh daerah dan menjadi penerimaan PAD.

3. Penelitian ini hanya menganalisis beberapa komponen dalam

perkembangan APBD, diharapkan untuk penelitian selanjutnya dapat

menganalisis seluruh komponen yang terdapat dalam APBD sehingga

akan lebih lengkap.

4. Penelitian ini hanya menggunakan beberapa model analisis rasio

keuangan, untuk penelitian selanjutnya diharapkan dapat

menggunakan seluruh model analisis rasio keuangan sehingga hasil

analisisnya lebih lengkap dan menyeluruh.

5. Penelitian ini hanya dilakukan pada tahun anggaran 2007-2011 di

Kota Makassar saja, diharapkan untuk penelitian selanjutnya obyek

penelitiannya dilakukan dibeberapa kota sehingga terdapat

perbandingan antara kota yang satu dengan kota yang lain.

107

DAFTAR PUSTAKA

Adi, Priyo Hari. 2012. Jurnal Studi Pembangunan Interdisiplin Vol. XXI, No. 1. Kemampuan Keuangan Daerah dalam Era Otonomi dan Relevansinya dengan Pertumbuhan Ekonomi (Studi Pada Kabupaten dan Kota se Jawa – Bali). (Online) (http:// priyohari.files.wordpress.com/2009/06/kemampuan-keuangan-daerah-dan-relevansi.pdf diakses tanggal 10 Oktober 2012).

Badan Perencanaan dan Pembangunan Nasional, Direktorat Pengembangan Otonomi Daerah. 2003. Peta Kemampuan Keuangan Provinsi dalam Era Otonomi Daerah: Tinjauan atas Kinerja PAD, dan Upaya Yang Dilakukan Daerah. (Online) (www.bappenas.go.id/get-file-server/node/2511/ diakses tanggal 17 Agustus 2012).

Badan Pusat Statistik. 2010. Makassar Dalam Angka 2010. Makassar: Badan Pusat Statistik Kota Makassar.

Bastian, Indra. 2007. Audit Sektor Publik. Jakarta: Salemba Empat.

Bella, Rohana. 2002. Potensi Objek Pendapatan Asli Daerah (Retribusi) Kota Makassar. Makassar: Badan Penelitian dan Pengembangan Daerah Provinsi Sulawesi Selatan.

Brannen, Julia. 1996. Memadu Metode Penelitian Kualitatif & Kuantitatif. Samarinda: Pustaka Pelajar.

Djaenuri, Aries, dkk. 2003. Sistem Pemerintahan Daerah. Jakarta: Pusat Penerbitan Universitas Terbuka.

Farian, Endi. 2010. Skripsi. Analisis Perkembangan Kemampuan Keuangan Daerah dalam Mendukung Pelaksanaan Otonomi Daerah di Kabupaten X. (Online) (http://gudangmakalah. blogspot.com/2009/08/skripsi-analisis-perkembangan-kemampuan.html diakses tanggal 1 Desember 2011).

Halim, Abdul. 2009. Problem Desentralisasi dan Keuangan Pemerintahan Pusat-Daerah Peluang dan Tantangan dalam Pengelolaan Sumber Daya Daerah. Yogyakarta: Sekolah Pascasarjana UGM.

108

Haris, Syamsuddin. 2007. Desentralisasi dan Otonomi Daerah: Desentralisasi, Demokratisasi, dan Akuntabilitas Pemerintah Daerah. Jakarta: LIPI Press.

Kaho, Josef Riwu. 1991. Prospek Otonomi Daerah di Negara Republik Indonesia: Identifikasi Beberapa Faktor yang Mempengaruhi Penyelenggaraannya. Jakarta: CV. Rajawali.

______________. 2010. Prospek Otonomi Daerah di egara Republik Indonesia (Identifikasi Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Penyelenggaraan Otonomi Daerah). Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.

Ladjin, Nurjanna. 2008. Tesis. Analisis Kemandirian Fiskal di Era Otonomi Daerah (studi kasus di Provinsi Sulawesi Tengah). (Online) (http://eprints.undip.ac.id/18492/1/NURJANNA LADJIN.pdf di akses tanggal 16 April 2012).

Laporan Keterangan Pertanggungjawaban Walikota Makassar Tahun 2006. (Online) (http://makassarkota.go.id/download/lkpj_2006_ 30_maret_2006.pdf di akses tanggal 16 April 2012).

Mahmudi. 2010. Buku Seri Membudayakan Akuntabilitas Publik: Analisis Laporan Keuangan Pemerintah Daerah Panduan bagi Eksekutif, DPRD, dan Masyarakat dalam Pengambilan Keputusan Ekonomi, Sosial, dan Politik. Yogyakarta: Unit Penerbit dan Percetakan Sekolah Tinggi Ilmu Manajemen YKPN.

Muluk, Khairul. 2009. Peta Konsep Desentralisasi dan Pemerintahan Daerah. Malang: ITS Press.

Nataluddin. 2001. Potensi dana perimbangan pada pemerintahan daerali di Propinsi Jambi, Manajemen Keuangan Daerah. Yogyakarta: UPP YKPN.

Nordiawan, Deddi. 2008. Akuntansi Sektor Publik. Jakarta: Salemba Empat.

Paturusi, Idrus A, dkk. 2009. Hasil Penelitian. Esensi dan Urgensitas Peraturan Daerah dalam Pelaksanaan Otonomi Daerah. (Online) (http://senatorindonesia.org/lawcenter.public/docu ments/files/ESENSI%20DAN%20URGENSITAS%20PERATURAN%20DAERAH%20DALAM%20PELAKSANAAN%20OTONOMI%20DAERAH%20_UNHAS.pdf diakses tanggal 5 April 2012).

109

Pemerintah Kota Makassar. Informasi Laporan Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah (ILPPD) Kota Makassar Tahun 2009. (Online) (http:// makassar kota.go.id/ download/ ilppd2009 .pdf diakses tanggal 17 Agustus 2012).

Peraturan Daerah Provinsi Sulawesi Selatan. 2010. Peraturan Daerah Nomor 10 tahun 2010 tentang Pajak Daerah.

Peraturan Pemerintah RI. 2000. Peraturan Pemerintah Nomor 105 Tahun 2000 Tentang Pengelolaan dan Pertanggungjawaban Keuangan Daerah.

Peraturan Menteri Dalam Negeri RI. 2007. Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 59 Tahun 2007 tentang Perubahan Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 13 Tahun 2006 tentang Pedoman Pengelolaan Keuangan Daerah. Bandung: Fokusmedia.

Rosidin, Utang. 2010. Otonomi Daerah dan Desentralisasi. Bandung: CV Pustaka Setia.

Saragih, Juli Panglima. 2003. Desentralisasi Fiskal dan Keuangan Daerah dalam Otonomi. Jakarta: Ghalia Indonesia.

Sarwono, Jonathan. 2011. Mixed Methods: Cara Menggabung Riset Kuantitatif dan Riset Kualitatif secara Benar. Jakarta: Elex Media Komputindo.

Soendari, Tjutju. 2012. Metode Penelitian Deskriptif. (Online) (http://file.upi.edu/Direktori/FIP/JUR._PEND._LUAR_BIASA/195602141980032-TJUTJU_SOENDARI/Power_Point_Perkulia han/Metode_PPKKh/Penelitian__Deskriptif.ppt_%5BCompatibility_Mode%5D.pdf. Diakses tanggal 04 Maret 2013).

Ulum, Ihyaul. 2009. Audit Sektor Publik Suatu Pengantar. Malang: Bumi Aksara.

Undang-Undang RI. 2009. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah.

Undang-Undang RI. 2004. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah.

110

Undang-Undang RI. 2004. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pusat dan Daerah.

Wulandari, Anita. 2001. Kemampuan Keuangan Daerah. Jurnal Kebijakan dan Adminislrasi Publik Vol 5 No 2 November. (Online) (http://www.scribd.com/doc/101754251/JAUJ-Vol-09-No-2-Desember-2011 diakses tanggal 17 Agustus 2012).

Yuliati. 2001. Analisis Kemampuan Keuangan Daerah dalam menghadapai Otonomi Daerah, Manajemen Keuangan Daerah. Yogyakarta: UPPYKPN.

111