pelaksanaan perjanjian jaminan fidusia pada pt bank bri

Upload: indra-wahyudi

Post on 07-Jul-2015

1.476 views

Category:

Documents


5 download

TRANSCRIPT

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Permasalahan Dalam rangka pembangunan ekonomi Indonesia, bidang hukum yang minta perhatian serius dalam pembinaan di antaranya adalah bidang hukum jaminan.1 Hukum Jaminan memiliki kaitan yang erat dengan bidang hukum benda dan perbankan. Dibidang perbankan kaitan ini terletak pada fungsi perbankan yakni penghimpun dan penyalur dana bagi masyarakat, yang salah satu usahanya adalah memberikan kredit. Kredit merupakan faktor pendukung bagi pembangunan ekonomi. Ini berarti perkreditan mempunyai arti penting dalam berbagai aspek pembangunan, seperti perdagangan, perindustrian, perumahan, transportasi, dan sebagainya.2 Perkreditan memberikan dukungan kepada ekonomi lemah dan para pengusaha dalam mengembangkan usahanya. Bagi perbankan, setiap kredit yang disalurkan kepada pengusaha selalu mengandung resiko. Oleh karena itu, perlu unsur pengamanan, yang merupakan salah satu prinsip dasar dalam pemberian kredit di samping unsur keseimbangan dan keuntungan. Bentuk pengamanan kredit dalam praktek perbankan dilakukan dengan pengikatan jaminan. Salah satu jenis jaminan kebendaan yang dikenal dalam hukum positif adalah jaminan fidusia, sebagai lembaga jaminan atas benda bergerak, jaminan fidusia banyak dipergunakan oleh masyarakat bisnis. Pada awalnya fidusia didasarkan kepada yurisprudensi, sekarang jaminan fidusia sudah diatur dalam undang-undang tersendiri.31 Sri Soedewi Masjchoen Sofwan, Hukum Jaminan di Indonesia Pokok-Pokok Hukum Jaminan dan Jaminan Perorangan, Bina Usaha: Yogyakarta, 1980, hal. 1. 2 H. Tan Kamelo, Hukum Jaminan Fidusia Suatu Kebutuhan Yang Didambakan, Alumni: Bandung, 2004, hal. 1 3 Jaminan Fidusia diatur dalam UU No. 42 Tahun 1999, sebelumnya diatur dalam UU No. 16 Tahun 1985 dan UU No. 4 Tahun 1992.

1

2 Istilah Fidusia barasal dari bahasa Belanda, yaitu fiducie dan dalam bahasa Inggris disebut fiduciary transfer of ownership, yang artinya kepercayaan. Dalam berbagai literatur, fidusia lazim disebut dengan istilah Fiduciare eigendom overdract (FEO) yaitu penyerahan hak milik berdasarkan kepercayaan. Dalam Bahasa Belanda disebut juga dengan Zekerheids eigendom artinya hak milik sebagai kepercayaan. Fidusia, menurut asal katanya berasal dari kata fides yang berarti kepercayaan. Sesuai dengan arti kata, maka hubungan hukum antara debitur (pemberi fidusia) dan kreditur (penerima fidusia) merupakan hubungan hukum yang berdasarkan kepercayaan. Pemberi fidusia percaya bahwa penerima fidusia mau mengembalikan hak milik barang yang telah diserahkan, setelah dilunasi utangnya. Sebaliknya penerima fidusia percaya bahwa pemberi fidusia tidak akan menyalahgunakan barang jaminan yang berada dalam kekuasaannya. Menurut Mahadi fidusia berasal dari bahasa latin yang artinya kepercayaan tehadap seseorang atau sesuatu, pengharapan yang besar. Juga ada kata fido yang merupakan kata kerja yang berarti mempercayai seseorang atau sesuatu.4 Subekti menjelaskan arti kata fiduciair adalah kepercayaan yang diberikan secara bertimbal balik oleh satu pihak kepada yang lain, bahwa apa yang keluar ditampakkan sebagai pemindahan milik, hanya suatu jaminan saja untuk suatu utang.5 Fidusia adalah suatu istilah yang berasal dari hukum Romawi, yang memiliki dua pengertian yakni sebagai kata kerja dan kata sifat. Sebagai kata benda, istilah fidusia mempunyai arti seorang yang diberi amanah untuk mengurus4 Mahadi, Hak Milik dalam Hukum Perdata Nasional, Proyek BPHN: 1981, hal. 61. 5 R. Subekti, Jaminan-Jaminan untuk Pemberian Kredit Menurut Hukum Indonesia, Alumni: Bandung, 1982, hal. 76.

3 kepentingan pihak ketiga dengan itikad baik, penuh ketelitian, bersikap hati-hati dan berterus terang. Orang yang diberi kepercayaan dibebani kewajiban melakukan perbuatan untuk kemanfaatan orang lain. Sebagai kata sifat istilah fidusia menunjukkan pengertian tentang hal yang berhubungan dengan kepercayaan (trust). Di dalam Pasal 1 angka (1) Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 Tentang Jaminan Fidusia dijumpai, pengertian fidusia yaitu: Pengalihan hak kepemilikan suatu benda atas dasar kepercayaan dengan ketentuan bahwa benda yang hak kepemilikannya dialihkan tersebut tetap dalam penguasaan pemilik benda. Pengertian pengalihan hak kepemilikan adalah pemindahan hak

kepemilikan dari pemberi fidusia kepada penerima fidusia atas dasar kepercayaan, dengan syarat bahwa benda yang menjadi objeknya tetap berada di tangan pemberi fidusia. Jadi fidusia itu merupakan suatu cara pemindahan hak milik dari (debitur) berdasarkan adanya perjanjian pokok (perjanjian utang piutang) kepada kreditur, tetapi yang diserahkan hanya haknya saja secara yuridis levering dan hanya dimiliki oleh kreditur secara kepercayaan saja (sebagai jaminan utang debitur), barangnya tetap dikuasai oleh debitur. Bentuk rincian dari constitutum Prossesorium (penyerahan kepemilikan benda tanpa penyerahan fisik benda sama sekali), fidusia ini pada prinsipnya dilakukan melalui proses tiga fase yaitu: Fase I: Fase perjanjian obligatoir (obligatoir overeenskomst) Yaitu berupa perjanjian pinjam uang dengan jaminan fidusia antara pihak pemberi fidusia dengan pihak penerima fidusia. Fase II: Fase perjanjian kebendaan (zakelijke overeenskomst) Yaitu perjanjian berupa penyerahan hak milik dari debitur kepada kreditur, dalam hal ini dilakukan dengan penyerahan hak milik tanpa penyerahan fisik benda (constitutum prossessorium).

4

Fase III: Fase perjanjian pinjam pakai Dalam hal ini benda objek fidusia yang hak miliknya sudah berpindah kepada pihak kreditur dipinjampakaikan kepada pihak debitur, sehingga praktis benda tersebut, setelah diikat dengan jaminan fidusia tetap saja dikuasai secara fisik oleh pihak debitur.6 Perkembangan fidusia dapat dilihat dari sejak lahirnya fidusia, pengakuan

fidusia dalam yurisprudensi sampai diaturnya jaminan fidusia dalam undang-undang. Pada awalnya, lembaga fidusia dikenal dalam hukum Romawi dengan nama Fidusia Cum Creditore dengan nama lengkapnya adalah Fiducia Cum Creditore Contracta yang berarti janji kepercayaan yang dibuat dengan kreditur, dikatakan bahwa debitur akan mengalihkan kepemilikan atas suatu benda kepada kreditur sebagai jaminan atas utangnya dengan kesepakatan bahwa kreditur akan mengalihkan kembali kepemilikan tersebut kepada debitur apabila utangnya sudah dibayar lunas. Dengan fiducia cum creditore ini maka kewenangan yang dimiliki oleh kreditur akan lebih besar yaitu sebagai pemilik atas barang yang diserahkan sebagai jaminan. Debitur percaya bahwa kreditur tidak akan menyalahgunakan wewenang yang diberikan itu. Kekuatannya hanya terbatas pada kepercayaan secara moral saja dan bukan kekuatan hukum yang pasti. Debitur tidak akan dapat berbuat apa-apa jika kreditur tidak mau mengembalikan hak milik atas barang yang diserahkan sebagai jaminan. Pada putusan Hooge Raad (HR) dalam perkara Aw de Haan V. Heinken Bierbrouwerij Maafschappij tanggal 25 Januari 1929 fidusia telah diakui sebagai lembaga jaminan dengan objek benda berupa inventaris perusahaan. Putusan Hooge Raad tersebut merupakan awal bagi perkembangan hukum fidusia di Belanda. Fidusia ini adalah lembaga jaminan yang lahir dari hasil penemuan hukum oleh hakim (recthvinding), sebagai akibat dari sempitnya pengaturan gadai6 Munir Fuady, Jaminan Fidusia, Citra Aditya Bakti: Bandung, 2003, hal. 5-6.

5 (pand) dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.7 Menurut Sri Soedewi latar belakang timbulnya jaminan fidusia adalah Karena ketentuan undang-undang yang mengatur tentang lembaga gadai (pand) mengandung banyak kekurangan, tidak memenuhi kebutuhan masyarakat dan tidak dapat mengikuti perkembangan masyarakat.8 Dan Menurut Salim HS gadai mempunyai beberapa hambatan untuk memenuhi kebutuhan masyarakat yang meliputi: 1. Adanya asas inbezitstelling Asas ini mensyaratkan bahwa kekuasaan atas bendanya harus pindah/berada pada pemegang gadai, sebagaimana yang diatur dalam pasal 1152 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. Ini merupakan hambatan yang berat bagi gadai atas benda-benda bergerak berujud, karena pemberi gadai tidak dapat menggunakan benda-benda tersebut untuk keperluannya. 2. Gadai atas surat-surat piutang Kelemahan dalam pelaksanaan gadai atas surat-surat piutang ini karena: 1. Tidak adanya ketentuan tentang cara penarikan dari piutang-piutang oleh si pemegang gadai. 2. Tidak adanya ketentuan mengenai bentuk tertentu bagaimana gadai itu harus dilaksanakan, misalnya mengenai cara pemberitahuan tentang adanya gadai piutang-piutang tersebut kepada si debitur surat utang. 3. Ketiadaan kepastian berkedudukan sebagai kreditur terkuat, sebagaimana tampak dalam hal membagi hasil eksekusi, kreditur lain, yaitu pemegang hak privilege dapat berkedudukan lebih tinggi dari pada pemegang gadai.9 Menurut Munir Fuady ada beberapa hal yang mendasari lahirnya jaminan fidusia, antara lain: 1. Dalam praktek terdapat kasus dimana benda yang menjadi objek jaminan utang adalah tergolong benda bergerak tetapi pihak debitur enggan menyerahkan kekuasaan atas benda tersebut kepada kreditur, sementara kreditur tidak mempunyai kepentingan bahkan kerepotan jika benda7 Menurut Pasal 1512 KUHPerdata, Dalam Perjanjian Gadai, Objek Gadai Harus Berada Dalam Kekuasaan Kreditur. 8 Sri Soedewi Mascjhoen Sofwan, Beberapa Masalah Pelaksanaan Lembaga Jaminan Khususnya Fidusia di Dalam Praktek dan Pelaksanaannya di Indonesia, Fakultas Hukum Universitas Gajah Mada, Yogyakarta: 1977, hal. 115-116. 9 Salim HS, Perkembangan Hukum Jaminan di Indonesia, Raja Grafindo Persada, Jakarta: 2004, hal. 57-58.

6 tersebut diserahkan kepadanya. Karena itu dibutuhkan suatu bentuk jaminan utang yang objeknya benda bergerak tetapi tanpa menyerahkan kekuasaan atas benda itu kepada kreditur. Inilah yang disebut dengan jaminan fidusia. Adanya hak atas tanah tertentu yang tidak dapat dijaminkan dengan hak tanggungan, misalnya hak pakai atas tanah. Sehingga hak pakai atas tanah tersebut diikat dengan jaminan fidusia. Ada benda-benda yang sebenarnya termasuk benda-benda bergerak tetapi mempunyai sifat-sifat seperti benda tidak bergerak sehingga pengikatannya dengan gadai dirasa tidak cukup, terutama karena adanya kewajiban menyerahkan kekuasaan dari jaminan tersebut. Karena itu jaminan fidusia menjadi pilihan. Perkembangan kepemilikan atas benda-benda tertentu tidak selamanya dapat diikuti oleh perkembangan hukum jaminan, sehingga ada hak-hak atas benda yang sebenarnya tidak bergerak tetapi tidak dapat diikatkan dengan hipotik. Adakalanya pihak kreditur dan debitur tidak keberatan agar diikatkan jaminan utang berupa gadai, tetapi benda yang dijaminkan karena sesuatu hal tidak dapat diserahkan kepemilikannya kepada kreditur, misalnya saham yang belum dicetak sertifikatnya. Karena itu timbul fidusia saham.10

2. 3.

4.

5.

Dengan adanya berbagai kelemahan di atas, dalam praktik timbul lembaga baru yaitu fidusia. Selain fakta di atas yang melatar belakangi lahirnya UU No. 42 Tahun 1999 tentang Fidusia berdasarkan keadaan sekarang, tercantum dalam konsiderannya yaitu: 1. Kebutuhan yang sangat besar dan terus mengikat bagi dunia usaha atas tersedianya dana, perlu diimbangi dengan adanya ketentuan hukum yang jelas dan lengkap yang mengatur mengenai lembaga jaminan. 2. Pengaturan lembaga jaminan fidusia masih didasarkan pada yurisprudensi. 3. Dalam rangka memberi kepastian hukum dan perlindungan hukum bagi pihak yang berkepentingan Di Indonesia, kasus jaminan fidusia untuk pertama kali diputus oleh Mahkamah Agung (MA) dalam perkara Bataafsche Petroleum Maatschappij (BPM) v. Pedro Clignett tanggal 18 Agustus 1932 dengan objek fidusia adalah10 Munir Fuady, op. cit., hal. 2-3.

7 benda bergerak/mobil. Hooggerechtschof dengan arrestnya tanggal 16 Februari 1933 menetapkan bahwa hak grant (grant recht) dapat dijadikan objek jaminan fidusia. Dalam bidang perundang-undangan, perkembangan objek fidusia dapat dilihat setelah berlakunya Undang-Undang Pokok Agraria. Menurut Undang-Undang Pokok Agraria, hak-hak atas tanah yang dapat dijadikan objek jaminan dengan hak tanggungan adalah hak milik, hak guna bangunan dan hak guna usaha.11 Dalam surat Direktur Jenderal Agraria No.D1133/73/3/73 tanggal 26 Maret 1973 dikatakan bahwa hak pakai tidak dapat dibebankan dengan hipotik (sekararang hak tanggungan). Sebagai jalan keluarnya dipergunakan lembaga fidusia. Demikian juga fidusia dapat dibebankan atas bangunan di atas tanah hak sewa.12 Menurut Undang-Undang Nomor 16 Tahun 1985 Tentang Undang-Undang Rumah Susun, objek fidusia adalah rumah susun atau satuan rumah susun yang didirikan diatas tanah hak pakai atau tanah negara.13 Dalam UU No. 4 Tahun 1992 Tentang Perumahan dan Pemukiman, objek fidusia adalah rumah, tidak diatur secara rinci apakah rumah itu didirikan di atas suatu jenis hak atas tanah tertentu.14 Berbeda halnya dengan Undang-Undang Rumah Susun yang menegaskan objek jaminan fidusia dengan melihat hak atas tanah, dalam Undang-Undang Perumahan dan Pemukiman No. 4 Tahun 1992 yang diutamakan sebagai jaminan utang adalah rumah terlepas dari hak atas tanah. Sejak keluarnya UU No. 4 Tahun 1996 Tentang Hak Tanggungan, ketentuan fidusia dalam Undang-Undang Rumah11 Lihat Pasal 25, 39, dan Pasal 33 UU No. 5 Tahun 1960. 12 Sumardi Mangunkusumo, Fidusia Bangunan-Bangunan Di Atas Tanah Hak Sewa, (1972) Hukum dan Keadilan No. 3 Tahun ke III, Juni: hal. 2. 13 Lihat Pasal 12 dan 13 UU No. 16 Tahun 1985. 14 Lihat Pasal 15 dan Penjelasannya UU No. 4 Tahun 1992.

8 Susun dicabut dan diganti dengan lembaga hak tanggungan, sedangkan fidusia dalam Undang-Undang Perumahan dan Pemukiman masih berlaku.15 Selanjutnya dalam Undang-Undang No. 42 Tahun 1999 Tentang Jaminan Fidusia, tidak dinyatakan secara tegas benda-benda apa saja yang dapat dijadikan jaminan utang dengan pembebanan fidusia. Hanya saja diberlakukan ruang lingkup berlakunya Undang-Undang Jaminan Fidusia.16 Berdasarkan Pasal 1 angka (2) Undang-Undang No. 42 Tahun 1999 Tentang Jaminan Fidusia dinyatakan bahwa: Jaminan fidusia adalah hak jaminan atas benda bergerak baik yang berwujud maupun yang tidak berwujud dan benda tidak bergerak, khususnya bangunan yang tidak dapat dibebani hak tanggungan sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang nomor 4 tahun 1996 Tentang Hak Tanggungan, yang tetap berada dalam penguasaan pemberi fidusia, sebagai agunan bagi pelunasan utang tertentu, yang memberikan kedudukan yang diutamakan kepada penerima fidusia terhadap kreditur lainnya. Jadi dapat diketahui bahwa benda-benda yang dapat dijadikan jaminan utang dengan pembebanan fidusia meliputi benda bergerak dan benda tidak bergerak. Benda tidak bergerak yang dimaksudkan ialah bangunan yang tidak dapat dibebani dengan hak tanggungan yaitu bangunan di atas tanah hak milik orang lain. Sebelum berlakunya UU Nomor 42 Tahun 1999 Tentang Jaminan Fidusia, yang menjadi objek jaminan fidusia adalah benda bergerak yang terdiri dari benda dalam persediaan (inventory), benda dagangan, piutang, peralatan mesin dan kenderaan bermotor. Dengan berlakunya Undang-Undang Jaminan Fidusia, maka objek jaminan fidusia diberikan pengertian yang luas, yang antara lain terdapat dalam ketentuan Pasal 1 angka 4, Pasal 9, Pasal 10 dan Pasal 20. Benda-benda15 Lihat Pasal 27 UU No. 4 Tahun 1992. 16 Lihat Pasal 2 dan 3 UU No. 42 Tahun 1999, Bandingkan dengan Pengaturan Objek Hak Tanggungan dalam Pasal 4 UU No. 4 Tahun 1992.

9 yang menjadi objek jaminan fidusia adalah: 1. Benda itu harus dapat dimiliki dan dialihkan secara hukum 2. Benda berwujud dan benda tidak berwujud, termasuk piutang 3. Benda bergerak dan tidak bergerak yang tidak dapat diikat dengan hak tanggungan 4. Benda tidak bergerak yang tidak dapat diikat dengan hipotik 5. Dapat atas satu satuan atau jenis benda dan lebih dari satu jenis atau satuan benda 6. Termasuk hasil dari benda yang telah menjadi objek fidusia dan juga hasil klaim asuransi objek jaminan fidusia tersebut. 7. Benda persediaan (inventory). Hukum benda adalah sub sistem dari sistim hukum perdata nasional di satu sisi dan di sisi lain hukum adat adalah salah satu komponen dalam penyusunan hukum perdata nasional. Oleh karena itu penyusunan hukum benda harus memperhatikan prinsip-prinsip hukum adat. Hal ini penting mengingat penjelasan Pasal 3 UU No. 42 Tahun 1999 Tentang Jaminan Fidusia yang isinya adalah: Bangunan di atas tanah milik orang lain yang tidak dapat dibebani dengan hak tanggungan berdasarkan UU No. 4 Tahun 1996 Tentang Hak Tanggungan, dapat dijadikan objek jaminan fidusia dan Pasal 1 angka (4) UU No. 42 Tahun 1999 Tentang Jaminan Fidusia yang isinya: Benda adalah segala sesuatu yang dapat dimiliki dan dialihkan, baik yang berwujud maupun yang tidak berwujud, yang terdaftar maupun yang tidak terdaftar, yang bergerak maupun yang tak bergerak yang tidak dapat dibebani hak tanggungan atau hipotik. Fidusia memiliki arti penting dalam memenuhi kebutuhan kredit bagi masyarakat, khususnya perusahaan kecil dan menengah sangat membantu usaha

10 debitur. Oleh karena itu, kehadirannya dapat memberikan manfaat ganda. Debitur masih dapat menguasai barang jaminan untuk keperluan usaha sehari-hari, pihak perbankan lebih praktis mempergunakan prosedur pengikatan fidusia. Bank tidak perlu menyediakan tempat khusus barang jaminan seperti pada lembaga gadai (pand).17 Dalam perjanjian gadai, barang jaminan harus diserahkan kepada kreditur sesuai dengan pasal 1150 ayat 2 Kitab Undang Undang Hukum Perdata yang isinya: Gadai adalah suatu hak yang diperoleh seorang berpiutang atas suatu barang bergerak yang diserahkan kepadanya oleh seorang berutang atau oleh seorang lain atas namanya . Dengan syarat gadai tersebut barang jaminan tidak dapat lagi menunjang usaha debitur. Dan Bagi bank dapat menimbulkan masalah mengenai tempat penyimpanan, khususnya bank-bank di kota besar, karena tidak adanya gudang-gudang yang cukup luas yang mereka miliki.18 Akibat pengaturan gadai yang terlalu sempit, fidusia lahir untuk mengisi kekosongan hukum jaminan melalui putusan pengadilan atas desakan kebutuhan masyarakat. Dalam UU No. 10 Tahun 1998 (UU Tentang Perubahan atas UU No. 7 Tahun 1992 Tentang Perbankan) Pasal 8 dan penjelasannya dinyatakan bahwa pemberian kredit selalu mengandung resiko. Salah satu cara mengatasi resiko adalah menetapkan jaminan (collateral) dalam analisis pemberian kredit. Jaminan yang diminta bank dapat berupa jaminan pokok berupa barang proyek (tanah dan bangunan, mesin-mesin, persediaan, piutang dagang/hak tagih, dan lain-lain) sedangkan jaminan tambahan adalah harta kekayaan debitur. Agunan tambahan adalah agunan yang tidak termasuk di dalam batasan agunan17 Sri Soedewi Masjchoen Sofwan, op. cit., hal. 75. 18 J. Satrio, Hukum Jaminan, Hak-Hak Jaminan Kebendaan, Citra Aditya Bakti: Bandung, 2002, hal. 149.

11 pokok tersebut di atas. Sebagai contoh: aktiva tetap diluar proyek yang dibiayai, surat berharga, garansi risiko, jaminan pemerintah, lembaga penjamin dan lain-lain. Hukum jaminan yang bersumber dari Kitab Undang-Undang Hukum Perdata mengandung prinsip bahwa harta kekayaan debitur menjadi jaminan utang untuk segala perikatan yang dibuat19. Untuk menutupi kelemahan itu, perlu diperjanjikan secara khusus benda-benda tertentu dari debitur yang diikat sebagai jaminan utang. Secara teoritis, jika seorang pemberi fidusia wanprestasi, objek jaminan fidusia dapat dieksekusi, kalau harga jual melebihi utang debitur, kreditur fidusia wajib mengembalikan kelebihan uang sisa penjualan kepada debiturnya. Sebaliknya apabila hasil eksekusi tidak mencukupi untuk membayar utang, debitur tetap bertanggungjawab atas sisa utang tersebut.20 Menurut pihak bank, apabila ternyata objek jaminan fidusia tidak mencukupi untuk membayar utang, bank dapat menyita barang-barang lain milik debitur. Selain jaminan fidusia bank meminta jaminan lainnya yang diikat dengan surat kuasa memasang hak tanggungan atau surat kuasa menjual atas hak tanggungan, hak milik atau jaminan yang bersifat perorangan. Tidak logis bahwa benda jaminan fidusia tidak mencukupi untuk menutupi pembayaran utang debitur karena pada saat perjanjian kredit dengan pengikatan jaminan fidusia, pihak bank telah melakukan analisis faktor agunan terhadap debitur. Nilai agunan lebih besar dari pinjaman kredit yang diberikan yaitu sebesar 50%. Oleh karena itu tidak sepantasnya kreditur meminta penyitaan atas benda-benda lainnya milik debitur. Namun asas hukum jaminan dan doktrin hukum perdata menyatakan bahwa semua harta debitur memikul beban untuk19 Prinsip Hukum Jaminan tercantum dalam Pasal 1131 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. 20 Lihat Pasal 34 UU No. 42 Tahun 1999.

12 melunasi utangnya kepada kreditur, sampai terpenuhi semua utangnya. Dalam kasus jaminan PT Bank BRI (Persero) Tbk dengan nasabahnya pada pengadilan negeri padangsidimpuan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap, hakim telah membatalkan eksekusi jaminan yang tidak disebutkan dalam perjanjian pokok dan juga disebabkan penjualan benda jaminan yang tidak sesuai dengan harga pasar pada saat itu. Hakim berpendapat bahwa walaupun debitur dinyatakan wanprestasi, sita dibatalkan dengan alasan tidak sah dan melawan hukum. Pendapat lain menyatakan seharusnya yang boleh diminta

pertanggugjawaban hanya sebatas benda jaminan yang disebutkan dalam perjanjian pokok dengan alasan bahwa ketika membuat perjanjian kredit, pihak bank sudah menaksir bahwa benda agunan lebih tinggi nilainya dari jumlah pinjaman yang diberikan Secara teori jaminan tambahan lebih dahulu dieksekusi, jika belum cukup untuk membayar utang sidebitur dapatlah dilakukan eksekusi terhadap jaminan pokok, dalam proses eksekusi penjualan dilakukan sesuai dengan harga pasar yang wajar, sehingga debitur tidak dirugikan. Perjanjian jaminan fidusia adalah perjanjian yang muncul karena adanya perjanjian kredit bank (perjanjian pokok). Apabila debitur wanprestasi, bank dapat mengambil pelunasan utang dari hasil penjualan barang jaminan. Dalam praktik ada kecendrungan bahwa objek jaminan fidusia akan dikuasai oleh bank, jika debitur terbukti melakukan wanprestasi. Jika terjadi kepailitan pada debitur, bagaimana status barang jaminan fidusia?, apakah kreditur diakui sebagai kreditur separatis murni seperti yang dimaksud dalam pasal 27 ayat (3) Undang-Undang Jaminan Fidusia dan bagaimana dengan asas-asas hukum yang dipakai sehingga tidak tumpang tindih

13 dengan asas hukum kebendaan lainnya. Berdasarkan uraian diatas masih diperlukan penelitian lebih lanjut mengenai pelaksanaan perjanjian jaminan fidusia dan perlindungan hukum bagi debitur pemberi fidusia dan kreditur penerima fidusia pada PT Bank BRI (Persero) Tbk cabang Padangsidimpuan. Hal inilah yang mendorong penulis untuk mengadakan penelitian yang akan ditulis dalam sebuah tesis dengan judul: Pelaksanaan Perjanjian Jaminan Fidusia Pada PT Bank BRI (Persero) Tbk Cabang Padangsidimpuan. B. Rumusan Permasalahan Berdasarkan latar belakang diatas, permasalahan yang menjadi kajian penulis dalam melakukan penelitian ini adalah: a. Bagaimana pelaksanaan perjanjian jaminan fidusia pada PT Bank BRI (Persero) Tbk cabang Padangsidimpuan? b. Bagaimana perlindungan hukum terhadap debitur pemberi fidusia dan kreditur penerima fidusia pada PT Bank BRI (Persero) Tbk cabang Padangsidimpuan? C. Tujuan Penelitian 1. Tujuan Teoritis Sesuai dengan latar belakang dan rumusan masalah di atas maka penelitian ini bertujuan: a. Untuk mengetahui pelaksanaan perjanjian jaminan fidusia pada PT Bank BRI (Persero) Tbk cabang Padangsidimpuan. b. Untuk mengetahui perlindungan hukum terhadap debitur pemberi fidusia dan kreditur penerima fidusia pada PT Bank BRI (Persero) Tbk cabang

14 Padangsidimpuan. 2. Tujuan Praktis Untuk memahami pelaksanaan perjanjian jaminan fidusia dan perlindungan hukum bagi debitur pemberi fidusia dan kreditur penerima fidusia yang berlangsung pada lingkungan PT Bank BRI (Persero) Tbk Cabang

Padangsidimpuan. D. Manfaat Penelitian Manfaat yang diharapkan dari penelitian ini adalah: 1. Manfaat secara teoritis, yang diharapkan dari penelitian ini adalah: a. Merupakan sumbangan pemikiran dan informasi bagi akademis serta bahan perbandingan bagi para peneliti lainnya yang hendak melaksanakan penelitian lanjutan, terhadap pelaksanaan perjanjian jaminan fidusia. b. Merupakan sumbangan pemikiran dalam rangka pembahasan hukum, agar para pembuat undang-undang tidak saja memperhatikan hal-hal yang idiil dalam pelaksanaan perjanjian jaminan fidusia tetapi juga kendala-kendala yang dihadapi di lapangan. 2. Manfaat secara praktis a. Merupakan sumbangan pemikiran bagi pengembangan ilmu pengetahuan hukum perdata, khususnya dalam bidang hukum jaminan fidusia. b. Disamping itu penelitian ini diharapkan akan dapat memberikan masukan bagi pembentuk undang-undang dan juga kepada pihak PT Bank BRI (Persero) Tbk dalam melaksanakan bisnisnya sehingga benar-benar sesuai dengan hukum yang berlaku dan memenuhi tuntutan masyarakat.

15

E. Kerangka Teoritis dan Konseptual. 1. Kerangka Teoritis Teori yang dipakai adalah perubahan masyarakat harus diikuti oleh perubahan hukum.21 Hukum berkembang sesuai dengan perkembangan kebutuhan masyarakat. Perubahan masyarakat dibidang hukum jaminan harus berlangsung secara teratur dan diikuti dengan pembentukan hukum jaminan fidusia berjalan dari kebiasaan kemudian diakui dalam yurisprudensi dan akhirnya ditetapkan dalam undang-undang tersendiri. Teori yang tepat dipakai sebagai pendukung teori perubahan masyarakat adalah teori sistem. Menurut Lawrerence M. Friedmann, Suatu sistem hukum terdiri dari 3 unsur yaitu: Struktur (structure), substansi (substance), dan budaya hukum (legal Culture).22 Suatu sistem adalah kumpulan asas-asas yang terpadu, yang merupakan landasan, di atas mana dibangun tertib hukum.23 Berdasarkan teori sistim ini, dapat dirumuskan bahwa sistem hukum jaminan kebendaan adalah kumpulan asas-asas hukum yang merupakan landasan, tempat berpijak di atas mana tertib hukum jaminan kebendaan itu dibangun. Jadi dengan ikatan asas-asas hukum tersebut, berarti hukum jaminan kebendaan merupakan suatu sistem. Mariam Darus Badrulzaman dalam Workshop Hukum Jaminan Tahun 1993 di Medan yang dikutip oleh Tan Kamelo, mengemukakan sejumlah asas-asas hukum jaminan yang objeknya benda sebagai berikut: Pertama, asas hak kebendaan (real right). Sifat hak kebendaan adalah21 Satjipto Rahardjo, Hukum dan Masyarakat, Angkasa: Bandung, 1984, hal. 102. 22 Lawrence M. Friedmann, American Law, W.W Norton dan Company: New York London, 1984, hal. 5-6. 23 Mariam Darus Badrulzaman, Mencari Sistem Hukum Benda Nasional, Alumni: Bandung, 1983, hal. 15.

16 absolute, artinya hak ini dapat dipertahankan pada setiap orang. Pemegang hak benda berhak menuntut setiap orang yang mengganggu haknya. Sifat lain dari hak kebendaan adalah droit de suite, artinya hak kebendaan mengikuti bendanya dalam tangan siapapun ia berada. Di dalam karakter ini terkandung asas hak yang tua didahulukan dari hak yang muda (droit de preference). Jika beberapa kebendaan diletakkan di atas suatu benda, berarti kekuasaan hak itu ditentukan oleh urutan waktunya. Selain itu, sifat hak kebendaan adalah memberikan wewenang yang kuat kepada pemiliknya, hak itu dapat dinikmati dialihkan, dijaminkan, disewakan. Kedua, asas assesoir artinya hak jaminan ini bukan merupakan hak yang berdiri sendiri (zelfstandingrecht), tetapi ada dan hapusnya bergantung (accssotium) kepada perjanjian pokok. Ketiga, hak yang didahulukan artinya hak jaminan merupakan hak yang didahulukan pemenuhannya dari piutang lain. Keempat asas asesi yaitu perlekatan antara benda yang ada diatas tanah dengan tapak tanahnya. Kelima, asas pemisahan horizontal yaitu dapat dipisahkan benda yang ada di atas tanah dengan tanah yang merupakan tapaknya. Keenam, asas terbuka artinya ada publikasi sebagai pengumuman agar masyarakat mengetahui adanya beban yang diletakkan di atas suatu benda. Ketujuh, asas spesifikasi/pertelaan dari benda jaminan. Kedelapan, asas mudah dieksekusi.24 Dengan demikian, Undang-Undang Jaminan Fidusia sebagai sub sistem hukum jaminan kebendaan tidak boleh bertentangan satu sama lainnya, kesatuan jaminan fidusia sebagai sub sistem hukum jaminan kebendaan harus diterapkan terhadap kumpulan unsur-unsur yuridis seperti peraturan hukum jaminan fidusia, asas hukum dan pengertian hukumnya. .

Pemberian jaminan fidusia merupakan penyediaan bagian harta pemberi fidusia untuk jaminan pemenuhan kewajibannya, artinya pemberi fidusia melepaskan hak pemilikan secara yuridis untuk sementara. Penyerahan secara yuridis artinya benda jaminan masih dapat dipergunakan oleh pemberi fidusia agar bisnisnya tetap berjalan. Jadi dengan demikian dalam perjanjian jaminan fidusia, konstruksi yang terjadi adalah pemberian jaminan fidusia bertindak sebagai pemilik manfaat, sedangkan penerima fidusia sebagai pemilik yuridis.2524 H. Tan Kamelo, op. cit., hal. 19-20. 25 Ibid., hal. 22.

17 Berbeda halnya dengan objek fidusia (Pasal 1 angka 2 Undang-Undang No. 42 Tahun 1999), benda jaminan dalam hak tanggungan adalah hak atas tanah berupa hak milik, hak guna usaha, hak guna bangunan dan hak pakai atas tanah negara. Pembedaan hak tanggungan dapat juga dilakukan terhadap hak atas tanah berikut bangunan, tanaman dan hasil karya yang merupakan satu kesatuan dengan tanah dan milik pemegang hak atas tanah tersebut.26 Secara konseptual hak tanggungan hanya dibebankan atas tanah saja, dan benda-benda yang ada di atasnya memiliki hukum sendiri, ini berarti Undang-Undang Hak Tanggungan menganut asas pemisahan horizontal. Pengecualian asas ini hanya dimungkinkan apabila bangunan/rumah yang ada di atas tanah tersebut adalah kepunyaan dari pemilik hak atas tanah. Pengecualian semacam ini dibenarkan dalam teori hukum. Dalam Undang-Undang Pokok Agraria, antara tanah dan bangunan/rumah yang ada di atasnya adalah terpisah dan ini sesuai dengan asas pemisahan horizontal yang dianut dalam hukum adat. Seiring dengan perkembangan hukum, pembedaan pada benda tidak didasarkan pada benda bergerak dan benda tidak bergerak lagi, seperti yang terdapat dalam hukum perdata tetapi didasarkan pada benda terdaftar dan tidak terdaftar dalam hukum jaminan. Pendaftaran benda diatur dalam Peraturan Pemerintah (PP) No. 10 Tahun 1961 yang diubah dengan PP No. 24 Tahun 1997, pendaftaran kenderaan bermotor, pendaftaran kapal laut, pendaftaran pesawat terbang dan lain sebagainya. Dalam jaminan hipotik yang menjadi objek adalah kapal yang beratnya paling sedikit 20 m3 dan telah terdaftar (Pasal 314 Kitab Undang-Undang Hukum Dagang). Hipotik juga dapat dibebankan atas pesawat udara dan helikopter yang telah memiliki tanda pendaftaran dan kebangsaan Indonesia. Penekanan objek26 Lihat Pasal 4 jo Penjelasan Umum angka (6) UU No. 4 Tahun 1996.

18 hipotik terletak pada aspek pendaftaran dari kapal, pesawat udara dan helikopter. Ini menunjukkan bahwa pendaftaran memberikan fungsi yuridis untuk menetapkan benda tersebut dianggap sebagai benda tidak bergerak yang menjadi objek hipotik. Sebagai konsekuensinya jika pesawat udara, helikopter itu tidak terdaftar tentunya tidak dapat dibebani dengan jaminan hipotik dan alternatif yang dapat diterapkan adalah lembaga gadai (pand) dan jaminan fidusia. Dengan menggunakan lembaga gadai atas kapal, pesawat dan helikopter tentunya barang jaminan harus diserahkan kepada kreditur pemegang gadai (Pasal 1152 ayat (2) Kitab Undang-Undang Hukum Perdata), dan ini sangat merugikan debitur, alternatif jaminan yang lebih menguntungkan untuk kapal, pesawat udara dan helikopter yang tidak terdaftar adalah jaminan fidusia (Pasal 31 UU No. 42 Tahun 1999). Fidusia sebagai salah satu jaminan adalah unsur pengaman kredit bank, yang dilahirkan dengan didahului oleh perjanjian kredit bank. Ini Menunjukkan jaminan fidusia memiliki karakter assessoir (tambahan). Sebagai hak kebendaan, jaminan fidusia mempunyai hak didahulukan terhadap kreditur lain (droit de preferent) untuk mengambil pelunasan piutangnya atas hasil eksekusi benda jaminan fidusia. Hak untuk mengambil pelunasan ini mendahului kreditur-kreditur lain. Bahkan sekalipun pemberi fidusia dinyatakan pailit atau dilikuidasi (Pasal 27 UU No. 42 Tahun 1999), hak didahulukan dari penerima fidusia tidak hapus karena benda yang menjadi objek jaminan fidusia tidak termasuk dalam harta pailit pemberi fidusia. Dengan demikian penerima fidusia tergolong dalam kelompok kreditur separatis. Dalam Pasal 33 Undang-Undang Jaminan Fidusia dinyatakan bahwa setiap janji yang memberi kewenangan kepada penerima fidusia untuk memiliki benda

19 yang menjadi objek jaminan fidusia apabila debitur cidera janji, batal demi hukum. Dengan demikian objek jaminan fidusia tidak menjadi bagian harta pailit penerima fidusia oleh karena hak kepemilikan atas objek jaminan fidusia tersebut diperolehnya semata-mata sebagai jaminan Hak kebendaan jaminan fidusia baru lahir pada tanggal dicatatnya jaminan fidusia dalam buku daftar fidusia dan sekaligus untuk memenuhi asas publisitas. Karena itu konsekuensi yuridis adalah kalau jaminan fidusia tidak dicatatkan dalam buku daftar fidusia berarti hak jaminan fidusia bukan merupakan hak kebendaan yang memiliki sifat kebendaan tetapi memiliki karakter perorangan akibatnya kreditur fidusia tidak dapat dilindungi dengan asas droit de suite dan berkedudukan sebagai kreditur konkuren bukan kreditur preferen. Proses pembuatan jaminan fidusia harus dilakukan secara sempurna mulai dari tahap perjanjian kredit, pembuatan akta jaminan fidusia oleh notaris dan diikuti dengan pendaftaran akta jaminan fidusia pada kantor pendaftaran fidusia. Tahapan proses perjanjian fidusia tersebut memiliki arti yang berbeda sehingga memberi karakter tersendiri dengan segala akibat hukumnya. 2. Kerangka Konseptual Dalam rangka penelitian ini, perlu dirumuskan serangkaian defenisi operasional sebagai berikut: a. Pelaksanaan adalah: perihal (perbuatan, usaha dan sebagainya)

melaksanakan (rancangan dan sebagainya)27 b. Perjanjian adalah: suatu hubungan hukum antara pemberi fidusia dengan penerima fidusia yang terjadi di lingkungan perbankan dan notaris dalam27 Kamus Umum Bahasa Indonesia, W.J.S. Poerwadarminto, Balai Pustaka, Jakarta, 1988. hal. 553.

20 bentuk tertulis. c. Jaminan adalah: setiap yang diberikan oleh debitur kepada kreditur guna menjamin dipenuhinya utang. d. Fidusia adalah: Pengalihan hak kepemilikan suatu benda atas dasar

kepercayaan dengan ketentuan bahwa benda yang hak kepemilikannya dialihkan tersebut tetap dalam penguasaan pemilik benda.28 Jadi yang dimaksud dengan Pelaksanaan Perjanjian Jaminan Fidusia Pada PT Bank BRI (Persero) Tbk Cabang Padangsidimpuan adalah analisa terhadap pelaksanaan perjanjian jaminan fidusia serta perlindungan hukum terhadap pemberi dan penerima fidusia pada PT Bank BRI (Persero) Tbk cabang Padangsidimpuan F. Methode Penelitian 1. Pendekatan Penelitian Penelitian yang dilakukan merupakan penelitian dengan metode penelitian hukum empiris (socio legal research),29. Penelitian ini dilakukan untuk mendapatkan data primer berkenaan dengan hal yang terjadi sesungguhnya dilapangan dan dihubungkan dengan data sekunder yang diperoleh dari kasus jaminan pada pengadilan negeri Padangsidimpuan dan data yang diperoleh dari Bank BRI cabang Padangsidimpuan.. Penelitian ini bersifat deskriptif (descriptive research),30 yaitu suatu penelitian yang bertujuan untuk melukiskan tentang sesuatu hal di tempat/daerah tertentu dan pada saat tertentu. Penelitian yang bertujuan membuat deskripsi atau28 Lihat Pasal 1 angka (1) UU No. 42 Tahun 1999. 29 Bambang Sunggono, Metodologi Penelitian Hukum, Raja Grafindo Persada, Jakarta: 2003, hal. 43. 30 Bambang Waluyo, Penelitian Hukum Dalam Praktek, Sinar Grafika, Jakarta: 2002, hal. 8-9.

21 menggambarkan secara sistematis mengenai fakta yang ada di lapangan yang berhubungan dengan objek penelitian yaitu pelaksanaan perjanjian jaminan fidusia. 2. Metode Pengambilan Sampel atau Teknik Sampling Sampel adalah sebahagian dari anggota populasi yang diamati guna mewakili keadaan populasi. Teknik sampling dalam penelitian ini adalah purpossive sampling yakni diambil dengan sengaja sesuai dengan kebutuhan. Teknik purpossive sampling ditujukan terhadap pegawai PT Bank BRI (Persero) Tbk cabang Padangsidimpuan yang menangani kredit, hakim yang pernah menangani fidusia, dan notaris yang pernah menangani fidusia mitra PT Bank BRI (Persero) Tbk cabang Padangsidimpuan, dengan cara melakukan wawancara secara langsung dengan informan untuk mendapatkan sebanyak-banyaknya informasi yang ingin diperoleh dalam penelitian ini. 3. Teknik Pengumpulan Data Penelitian ini adalah merupakan penelitian empiris. Data yang dikumpulkan pada penelitian ini adalah data primer dan data sekunder. Data primer merupakan data yang diperoleh dari hasil wawancara langsung dengan informan yaitu kepala bagian administari, bagian marketing, dan anggota bagian administrasi pada PT Bank BRI (Persero) Tbk cabang Padangsidimpuan, notaris M dan notaris L mitra kerja PT Bank BRI (Persero) Tbk cabang Padangsidimpuan, dan hakim pengadilan negeri Padangsidimpuan yang pernah menangani fidusia untuk mendapatkan gambaran yang lebih jelas tentang masalah yang akan diteliti. Alat yang digunakan dalam pengumpulan data adalah pedoman wawancara (interview guide) yang telah dipersiapkan terlebih dahulu.

22 Data sekunder merupakan data yang diperoleh melalui literatur atau pustaka dan dokumen-dokumen yaitu berupa kasus jaminan fidusia yang telah diputus oleh pengadilan negeri Padangsidimpuan tahun 1992 yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap, Surat Edaran BRI 2004, perjanjian membuka kredit dan perjanjian penyerahan hak milik secara kepercayaan (fidusia barang) menurut format PT Bank BRI (Persero) Tbk cabang Padangsidimpuan. 4. Teknik Analisis Data Data yang didapat di lapangan berupa data primer dianalisis secara kualitatif, dengan melakukan penafsiran terhadap data tersebut. Selanjutnya menyederhanakan data menjadi informasi yang dapat digunakan dalam menjelaskan permasalahan. Kemudian dikelompokkan sesuai dengan masalah, ditunjang dengan data sekunder dan ditafsirkan dengan menghubungkan konsepkonsep dan pendapat pakar yang dianut dalam kerangka teoritis. Akhirnya ditarik kesimpulan guna menjawab masalah penelitian 5. Jalannya Penelitian Penelitian di lapangan menemui banyak kesulitan terutama dalam mendapatkan data dari PT Bank BRI (Persero) Tbk, menurut pegawai PT Bank BRI (Persero) Tbk banyak data yang sifatnya rahasia sehingga tidak dapat diperoleh, terutama data nasabah yang mengambil kredit pada PT Bank BRI (Persero) Tbk cabang Padangsidimpuan.

23 BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Pengertian Jaminan Istilah Jaminan merupakan terjemahan dari bahasa Belanda, yaitu Zekerheid atau cautie. Zekerheid atau cautie mencakup secara umum cara-cara kreditur menjamin dipenuhi tagihannya, di samping tanggung jawab umum debitur terhadap barang-barangnya. Istilah jaminan juga dikenal dengan agunan, yang dapat dijumpai dalam Pasal 1 angka 23 Undang-Undang No. 10 Tahun 1998 Tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 Tentang Perbankan, defenisi agunan adalah: Jaminan tambahan diserahkan nasabah debitur kepada bank dalam rangka mendapatkan fasilitas kredit atau pembiayaan berdasarkan prinsip syariah. Agunan dalam konstruksi ini merupakan jaminan tambahan (accessoir). Tujuan agunan adalah untuk mendapatkan fasilitas dari bank, yang diserahkan oleh debitur kepada bank. Dalam Seminar Badan Pembinaan Hukum Nasional yang diselenggerakan di Yogyakarta, disimpulkan pengertian jaminan adalah: Menjamin dipenuhinya kewajiban yang dapat dinilai dengan uang yang timbul dari suatu perikatan hukum.31 Defenisi di atas hampir sama dengan defenisi yang dikemukakan oleh M. Bahsan yang berpendapat bahwa jaminan adalah: Segala sesuatu yang diterima kreditur dan diserahkan debitur untuk menjamin suatu utang piutang dalam masyarakat.32

31 Mariam Darus Badrulzaman, Bab-bab Tentang Creditverban, Gadai, dan Fiducia, Cet. IV, Alumni: Bandung, 1987, hal. 227. 32 M. Bahsan, Penilaian Jaminan Kredit Perbankan Indonesia, Rejeki Agung: Jakarta, 2002, hal. 148. 24

24 B. Jenis Jaminan 4 Jaminan pada dasarnya dapat dibedakan menjadi 2 macam, yaitu: 1. Jaminan perorangan (personal/coorporate guarantee) diatur dalam pasal 1820-1864 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. 2. Jaminan Kebendaan Dalam Seminar Badan Pembinaan Hukum Nasional yang diselenggarakan di Yogyakarta dihasilkan suatu rumusan bahwa jaminan kebendaan mempunyai ciri-ciri kebendaan dalam arti memberikan hak mendahului di atas benda-benda tertentu dan mempunyai sifat melekat dan mengikuti benda yang bersangkutan. Sedangkan jaminan perorangan tidak memberikan hak mendahului atas bendabenda tertentu, tetapi hanya dijamin oleh harta kekayaan seseorang lewat orang yang menjamin pemenuhan perikatan yang bersangkutan. Seperti ditegaskan dalam Pasal 1820 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata yaitu: Penanggungan adalah suatu persetujuan dengan mana seorang pihak ketiga guna kepentingan si kreditur mengikatkan diri untuk memenuhi perikatannya si debitur manakala orang itu sendiri tidak memenuhinya. Sri Soedewi Masjhoen memberikan pengertian jaminan kebendaan yaitu: Jaminan yang berupa hak mutlak atas suatu benda, dengan ciri-ciri mempunyai hubungan langsung atas benda tertentu, dapat dipertahankan terhadap siapapun, selalu mengikuti bendanya dan dapat dialihkan. Sedangkan jaminan perorangan adalah jaminan yang menimbulkan hubungan langsung pada perorangan tertentu, hanya dapat dipertahankan terhadap debitur tertentu, terhadap harta kekayaan debitur umumnya.33 Jaminan kebendaan dapat digolongkan menjadi 4 macam, yaitu: 1. Gadai (pand), yang diatur di dalam Bab 20 Buku II Kitab UndangUndang Hukum Perdata.33Sri Soedewi Masjhoen, Hukum Jaminan di Indonesia Pokok-Pokok Hukum dan Jaminan Perorangan, op. cit., hal. 46-47.

25 2. Hak tanggungan, diatur di dalam UU Nomor 4 Tahun 1996. 3. Jaminan Fidusia, diatur dalam UU Nomor 42 Tahun 1999. 4. Jaminan hipotik atas kapal laut dan pesawat udara. Menurut Soebekti jaminan perorangan (immateril) adalah: Suatu perjanjian antara seorang berpiutang (kreditur) dengan seorang ketiga, yang menjamin dipenuhinya kewajiban si berutang (debitur).34 Yang termasuk jaminan perorangan adalah: 1. Penanggung (borg) adalah orang lain yang dapat ditagih. 2. Tanggung menanggung, yang serupa dengan tanggung renteng. 3. Akibat hak dari tanggung renteng pasif, hubungan hak bersifat ekstren, hubungan hak antara para debitur dengan pihak lain (debitur). Hubungan hak bersifat intern, hubungan hak antara sesama debitur itu satu dengan yang lainnya. 4. Perjanjian garansi Pasal 1316 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, yaitu bertanggung jawab guna kepentingan pihak ketiga. Fungsi jaminan perorangan ini adalah sebagai jaminan/agunan tambahan seperti dimaksud dalam penjelasan Pasal 8 UU Perbankan No. 7 Tahun 1992. Pihak ketiga sebagai penjamin adalah: 1. Pengurus yang sekaligus menjadi pemegang saham atau

pengendali perusahaan debitur. 2. Perusahaan yang menjadi pemegang saham atau pengendali perusahaan debitur. Cara pengikatan jaminannya dibuat dengan akta notariil. Dalam Jaminan perorangan ini pengurus yang menjadi penjamin34 R. Soebekti, op. cit., hal. 17.

26 disyaratkan, misalnya untuk menyerahkan agunan berupa tanah/rumah tinggal yang dimilikinya baik untuk pemberian kredit baru dan tambahan, atau untuk kredit yang berjalan. Dalam hal penjamin adalah perusahaan maka dimintakan Company Guarantee yang harus dilampiri dengan rincian harta kekayaan perusahaan sebagaimana tertuang dalam laporan keuangan perusahaan. Secara yuridis penjamin tidak dapat dipaksa untuk menyerahkan daftar harta kekayaannya. Meskipun penjamin menyerahkan daftar harta kekayaannya, hak bank atas harta kekayaan penjamin tetap hanya terbatas pada jumlah dan syarat tertentu. Sebaiknya kewajiban untuk menyerahkan daftar harta kekayaan penjamin dilakukan secara kasuistis. Di luar negeri lembaga jaminan dibagi menjadi 2 macam yaitu: 1. Lembaga jaminan dengan menguasai bendanya (possessorium security) 2. Lembaga jaminan tanpa menguasai bendanya Lembaga jaminan dengan menguasai bendanya adalah suatu lembaga jaminan, yang benda jaminannya berada pada penerima jaminan. Lembaga jaminan ini dibagi menjadi enam macam: 1. Pledge or pawn, yaitu benda yang dijaminkan berada di tangan pemegang gadai 2. Lien, yaitu hak untuk menguasi bendanya sampai utang yang berkaitan dengan benda tersebut dibayar lunas 3. Mortgage with possession, yaitu pembebanan jaminan (hipotek) atas benda bergerak. Lembaga ini belum dikenal di Indonesia 4. Hire Purchase, yaitu perjanjian antara penjual sewa dan pembeli sewa, dan hak milik atas barang tersebut baru beralih setelah pelunasan yang terakhir 5. Conditional sale (pembelian bersyarat), yaitu perjanjian jual beli dengan syarat bahwa pemindahan hak atas barang baru terjadi setelah syarat dipenuhi, misalnya jika harga dibayar lunas 6. Credit sale, ialah jual beli di mana peralihan hak telah terjadi pada saat penyerahan meskipun harga belum dibayar lunas.35 Lembaga jaminan dengan tidak menguasai bendanya adalah suatu lembaga35 Salim HS, op. cit., hal. 26.

27 jaminan, dimana benda yang menjadi objek jaminan tidak berada atau tidak dikuasai oleh penerima jaminan. Yang termasuk lembaga jaminan ini adalah: 1. Mortage, yaitu pembebanan atas benda tak bergerak atau sama dengan hipotik. 2. Chattel Moetgage, yaitu mortgage atas benda-benda bergerak. Umumnya ialah mortgage atas kapal laut dan kapal terbang dengan tanpa menguasai bendanya. 3. Fiduciary transfer of ownership, yaitu perpindahan hak milik atas kepercayaan yang dipakai sebagai jaminan utang. 4. Leasing, yaitu suatu perjanjian dimana si peminjam (leassee) menyewa barang modal untuk usaha tertentu dan jaminan angsuran tertentu.36 Penggolongan ini bertujuan memudahkan debitur untuk membebani hakhak yang digunakan dalam pemasangan jaminan, dengan opsi jenis jaminan yang berlaku untuk mendapatkan fasilitas kredit pada lembaga perbankan atau pegadaian. C. Sifat Perjanjian Jaminan Pada dasarnya perjanjian kebendaan dibedakan menjadi 2 macam, yaitu perjanjian pokok dan perjanjian tambahan (accesoir). Perjanjian pokok merupakan perjanjian untuk mendapatkan fasilitas kredit dari lembaga perbankan atau lembaga keungan non bank (perjanjian utang piutang). J. Satrio dengan mengutip pendapat Rotten mengemukakan bahwa: perjanjian pokok adalah perjanjian-perjanjian, yang untuk adanya mempunyai dasar yang mandiri.37 Perjanjian pokok ini dijumpai dalam perjanjian kedit bank. Dalam Pasal 1 angka 11 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 Tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 Tentang Perbankan dijumpai pengertian kredit yaitu: Penyediaan uang atau tagihan yang dapat dipersamakan dengan itu, berdasarkan persetujuan atau kesepakatan pinjam meminjam antara bank dengan36 Ibid., hal. 27. 37 J. Satrio, op. cit., hal. 54.

28 pihak lain yang mewajibkan pihak peminjam untuk melunasi utangnya setelah jangka waktu tertentu dengan pemberian bunga. Munir Fuady memberikan pengertian perjanjian accessoir adalah perjanjian yang tidak mungkin berdiri sendiri, tetapi mengikuti/membuntuti perjanjian lainnya yang merupakan perjanjian pokok.38 Menurut Gunawan Widjaya dan Ahmad Yani perjanjian assesoir adalah suatu bentuk perjanjian atau/perikatan bersyarat, yang pelaksanaannya atau kebatalannya digantungkan pada pemenuhan atau ketiadaan pemenuhan dari suatu syarat, kondisi atau keadaan dalam perjanjian dasar yang menjadi dasar dari pembentukannya.39 Perjanjian assesoir tidak dapat dan tidak mungkin berdiri sendiri. Meskipun tidak sepenuhnya benar, dalam berbagai hal, pengalihan hak atas prestasi dalam perjanjian dasar dari pihak kreditur kepada pihak ketiga membawa serta akibat hukum beralihnya perjanjian assesoir kepada pihak ketiga yang menerima pengalihan hak berdasarkan perjanjian dasar tersebut.40 Perjanjian accessoir adalah perjanjian yang bersifat tambahan dan dikaitkan dengan perjanjian pokok. Perjanjian accessoir ini dijumpai dalam perjanjian dengan pembebanan jaminan, seperti perjanjian gadai, perjanjian hak tanggungan, perjanjian fidusia, perjanjian hipotik, perjanjian jaminan pribadi, dan perjanjian jaminan perusahaan. D. Pengakuan Fidusia Dalam Undang-Undang Untuk Kepastian Hukum Secara umum diterima prinsip bahwa segala peristiwa hukum yang belum

38 Munir Fuady, op. cit., hal. 19. 39 Gunawan Widjaya dan Ahmad Yani, Jaminan Fidusia, Raja Grafindo Persada: Jakarta, 2000, hal. 48. 40 Ibid., hal. 49.

29 mendapat pengaturan dalam undang-undang belum memiliki kepastian hukum. Sebaliknya apabila peristiwa hukum itu telah mendapat pengukuhan dalam undang-undang sudah dianggap memiliki kepastian hukum. Secara logika kepastian hukum itu tidak cukup hanya demi undang-undang atau sampai pada tahap pelaksanaan undang-undang saja, tetapi tidak dipungkiri bahwa awal dari kepastian hukum itu dimulai dengan pembentukan undang-undang dan juga pelaksanaannya dalam praktek di lapangan. Pemerintah telah banyak membentuk perundang-undangan yang baru untuk dapat mendukung pembangunan yang sesuai dengan perkembangan masyarakat, baik yang bersifat publik maupun yang privat. Undang-undang dibuat untuk memberikan perlindungan kepada manusia dan memelihara ketertiban dalam masyarakat. Namun dalam perkembangannya, terjadi kontraversial antara materi hukum yang menunjukkan adanya peningkatan. Tetapi tidak diimbangi dengan adanya kepastian hukum dalam pelaksanaanya. Undang-undang merupakan kumpulan norma-norma hukum yang

dilandasi oleh prinsip-prinsip hukum. Agar norma hukum itu dapat melindungi kepentingan manusia dan menciptakan ketertiban dalam masyarakat maka undang-undang itu harus dilaksanakan. Melalui pelaksanaan itu undang-undang dapat ditegakkan, walaupun dalam penegakannya mengalami hambatan. Salah satu tujuan dari penegakan hukum adalah menciptakan kepastian hukum. Dengan kepastian hukum kepentingan manusia akan terlindungi dan ketertiban akan dapat terwujud dalam masyarakat. Apakah kepastian hukum itu dapat terwujud? Dalam suatu undang-undang, kepastian hukum meliputi dua hal yakni:

30 1. Kepastian perumusan norma dan prinsip hukum yang tidak bertentangan satu dengan lainnya baik dengan pasa-pasal dalam undang-undang itu maupun dengan pasal-pasal di luar undang-undang itu. 2. Kepastian dalam melaksanakan norma-norma dan prinsip hukum undangundang tersebut.41 Jika perumusan norma dan prinsip hukum itu sudah memiliki kepastian hukum tetapi hanya berlaku secara yuridis saja, kepastian hukum itu tidak pernah menyentuh kepada masyarakat. Meskipun suatu undang-undang sudah

mempunyai kepastian hukum belum menjamin, bahwa dalam pelaksanaan tidak ada masalah. Apakah kepastian hukum yang sudah tercipta dalam undang-undang itu akan efektif ketika undang-undang dilaksanakan?. Menurut teori hukum, berlakunya suatu kaidah hukum itu dapat dilihat dari tiga aspek yakni aspek yuridis, sosiologis dan filosofis.42 Pelaksanaan suatu undang-undang dapat dipaksakan oleh negara, tetapi dapat pula diterima dan diakui oleh masyarakat. Jadi, secara sosiologis, keefektifan suatu kepastian hukum yang tercantum dalam undang-undang apabila undang-undang tersebut sudah dilaksanakan dan diterima oleh masyarakat. Apabila norma hukum dalam undang-undang itu belum pernah dilaksanakan atau dalam pelaksanaannya mengalami hambatan, tidak dapat dikatakan bahwa kepastian hukum telah berjalan secara sempurna. Dengan demikian, persoalan kepastian hukum merupakan suatu hal yang terletak pada substansi undangundangnya, aparatur pelaksana hukum, warga masyarakat dan fasilitas yang tersedia untuk pelaksanaan undang-undang tersebut.41 H. Tan Kamelo, op. cit., hal. 117. 42 Soerjona Soekanto dan Mustafa Abdullah, Sosiologi Hukum dalam Masyarakat, Rajawali:: Jakarta, 1987, hal. 13.

31 Salah satu gejala tersebut dapat dilihat dari pengaturan fidusia dalam perundang-undangan. Lembaga fidusia merupakan suatu gejala hukum yang memberikan keuntungan bagi pemakainya khususnya untuk melancarkan pengembalian kredit dan juga tidak melemahkan potensi penerima kredit. Di Indonesia, perkembangan fidusia cukup menggembirakan para pemakainya, karena pada mulanya diatur dalam yurisprudensi kemudian mendapat pengakuan dalam Undang-Undang Nomor 16 Tahun 1985 Tentang Rumah Susun. Pengaturan lembaga fidusia dalam Undang-Undang Rumah Susun tersebut masih bersifat sumir, tetapi cukup memberikan kepastian hukum khususnya tentang pengertian dan objek fidusia. Dalam Undang-Undang Rumah Susun, fidusia diartikan sebagai hak jaminan yang berupa penyerahan hak atas benda berdasarkan kepercayaan yang disepakati sebagai jaminan bagi pelunasan piutang kreditur.43 Dalam rumusan ini tidak dijelaskan kedudukan kreditur sebagai kreditur pereferents, juga tidak jelas tentang sifat penyerahan yang menjadi ciri khas dari fidusia yakni benda yang dialihkan tetap berada pada pemberi fidusia. Dan juga tidak dijelaskan tentang apa yang dialihkan kepada pemegang fidusia karena itu juga merupakan hal yang penting yakni kepemilikan yang berupa hak bukan bendanya. Tidak dijelaskan apakah hak jaminan fidusia yang diatur dalam UndangUndang Rumah Susun objeknya hanya berlaku pada hak pakai atas tanah negara khusus rumah susun dan hak milik satuan rumah susun.44 Atau juga berlaku atas bangunan bertingkat/flat di luar rumah susun.43 Pasal 1 angka 8 UU No. 16 Tahun 1985. 44 A.P Parlindungan, Konsep Rancangan Undang-Undang Hak Tanggungan dan Gadai, Seminar Nasional Agraria ke-3: Medan, 1990.

32 Hak milik atas satuan rumah susun dapat dijaminkan melalui hipotik apabila dibangun di atas tanah hak milik atau hak guna bangunan, dan dijaminkan melalui lembaga jaminan fidusia apabila dibangun di atas tanah hak pakai atas tanah negara. 45 Hal ini membuktikan bahwa Undang-Undang No. 16 Tahun 1985 Tentang Rumah Susun pada prinsipnya menganut asas pemisahan horizontal sebagai implementasi dari asas yang dianut dalam Undang-Undang No. 5 Tahun 1960 yaitu Undang-Undang Pokok Agraria. Pengecualian dari asas pemisahan horizontal dalam Undang-Undang Rumah Susun adalah dengan menunjuk lembaga jaminan hipotik atas tanah beserta rumah susun di atasnya. Menurut pembentuk Undang-Undang No. 16 Tahun 1985 Tentang Rumah Susun, penggunaan fidusia terhadap hak pakai atas tanah negara adalah untuk menampung kebutuhan masyarakat, mengingat fidusia merupakan lembaga jaminan yang hidup dan dalam kenyataannya diperlukan oleh masyarakat, oleh karena itu fungsinya adalah untuk memenuhi kebutuhan masyarakat. Dengan demikian dapat ditafsirkan objek fidusia terhadap hak pakai atas tanah negara dalam Undang-Undang No. 16 Tahun 1985 itu hanya bersifat temporer. Menurut Maria Sumardjono yang dikutip oleh Tan Kamelo, penjaminan dengan fidusia tidak dijumpai dengan pembebanan rumah susun atau hak milik satuan rumah susun.46 Jadi dapat disimpulkan bahwa kepastian hukum jaminan fidusia dalam UndangUndang Rumah Susun secara empiris belum terwujud. Pengakuan fidusia dalam UU No. 4 Tahun 1992 Tentang Perumahan dan Pemukiman (UUPP) dijumpai pada Pasal 15, dinyatakan bahwa pemilikan rumah dapat dijadikan jaminan utang dengan jaminan fidusia. Pembebanan fidusia atas

45 Lihat Pasal 13 UU No. 16 Tahun 1985. 46 H. Tan Kamelo, op. cit., hal. 123.

33 rumah dalam Pasal 15 Undang-Undang Perumahan dan Pemukiman ada dua cara: 1. Pemilik rumah bukan pemilik hak atas tanah dengan izin pemilik hak atas tanah. 2. Pemilik rumah oleh pemilik hak atas tanah. Objek fidusia adalah rumah bukan hak atas tanah. Dalam undang-undang ini tidak dijelaskan bagaimana status hak atas tanah. Hal ini menunjukkan bahwa Undang-Undang Perumahan dan Pemukiman menganut asas pemisahan horizontal. Prinsip horizontal semakin jelas dengan adanya pernyataan dalam Pasal 1 Undang-Undang No. 4 Tahun 1992 yang memberikan perumusan pengertian rumah tanpa mengaitkan dengan hak atas tanah, dan dalam Pasal 6 Undang-Undang No. 4 Tahun 1992 diatur tentang pembangunan rumah di atas tanah milik orang lain. Setelah keluarnya Undang-Undang No. 4 Tahun 1996 Tentang Hak Tanggungan (UUHT), ketentuan hak jaminan yang diatur dalam Undang-Undang Rumah Susun dinyatakan tidak berlaku lagi.47 Tetapi tidak dinyatakan berlaku juga pada Undang-Undang Perumahan dan Pemukiman. Hal ini dapat dipahami sebab Undang-Undang Hak Tanggungan bertitik tolak dari hak atas tanah, sedangkan Undang-Undang Perumahan dan Pemukiman menekankan hak jaminan atas rumah/bangunan. Jadi jelas bahwa objeknya berbeda. Persoalan objek fidusia mengenai tanah belum terdaftar telah diatur dalam Undang-Undang Hak Tanggungan yakni dengan menggunakan Surat Kuasa Memasang Hak tanggungan (SKMHT), yang diikuti dengan pembuatan Akta Pemberian Hak Tanggungan (APHT) selambat-lambatnya tiga bulan setelah

47 Lihat Pasal 27 UU No. 4 Tahun 1996.

34 diberikan.48 Pengaturan fidusia secara parsial tidak memberikan kepastian hukum sehingga perlu diatur secara unifikasi dalam bentuk undang-undang tersendiri. Upaya tersebut terwujud dalam UU No. 42 Tahun 1999 dengan nama Jaminan Fidusia. 1. Perjanjian Fidusia Dalam perjanjian pinjam meminjam atau utang piutang kita menghendaki agar barang agunan dijadikan jaminan fidusia, maka caranya adalah dengan membuat perjanjian fidusia terlebih dahulu. Bentuk perjanjian fidusia wajib dibuat dengan akta otentik, yang dibuat dihadapan notaris.49 Berdasarkan Pasal 2 Undang-Undang Jaminan Fidusia, suatu perjanjian yang dapat menggunakan fidusia sebagai bentuk jaminannya adalah semua perjanjian yang berkaitan dengan suatu benda yang dapat dibebani dengan jaminan fidusia. Perjanjian dengan jaminan fidusia merupakan perjanjian yang bersifat assesoir (perjanjian ikutan/tambahan). Dari suatu perjanjian pokok (perjanjian utang piutang), yang menimbulkan kewajiban bagi para pihak untuk memenuhi suatu prestasi yang berupa memberikan sesuatu, berbuat sesuatu atau tidak berbuat sesuatu yang dapat dinilai dengan uang. Konsekuensi dari perjanjian assesoir ini adalah apabila perjanjian pokok tidak sah atau tidak berlaku secara hukum, perjanjian fidusia sebagai perjanjian assesoir juga ikut menjadi batal dan apabila perjanjian pokok yaitu utang piutang telah lunas dengan sendirinya perjanjian tambahan tersebut hapus. 2. Pembebanan Fidusia dan Fidusia Ulang Pembebanan fidusia diatur dalam Pasal 4 sampai Pasal 10 Undang-Undang48 Lihat Pasal 15 Ayat 4 UU NO. 4 Tahun 1996. 49 Lihat pasal 5 ayat 1 UU No. 42 Tahun 1999.

35 jaminan Fidusia No. 42 tahun 1999, yang dapat dilakukan dengan menggunakan instrumen yang disebut dengan Akta Jaminan Fidusia. Akta jaminan fidusia ini dibuat dalam bentuk akta otentik, yang dibuat dihadapan notaris dengan menggunakan bahasa Indonesia. Menurut pasal 6 Undang-Undang Jaminan Fidusia, akta ini antara lain harus berisikan hal-hal: a. Identitas pihak pemberi dan penerima fidusia b. Data perjanjian pokok yang dijamin fidusia c. Uraian mengenai benda yang menjadi objek jaminan fidusia d. Nilai penjaminan dan e. Nilai benda yang menjadi objek jaminan fidusia Utang yang pelunasannya dijaminkan dengan jaminan fidusia adalah: 1. Utang yang telah ada 2. Utang yang akan ada dikemudian hari (kontinjen), tetapi telah diperjanjikan dan jumlahnya sudah tertentu. Misalnya utang yang timbul dari pembayaran yang dilakukan oleh kreditur untuk kepentingan debitur dalam rangka pelaksanaan garansi bank. 3. Utang yang dapat ditentukan jumlahnya pada saat eksekusi berdasarkan suatu perjanjian pokok yang menimbulkan

kewajiban untuk dipenuhi, misalnya utang bunga atas perjanjian pokok yang jumlahnya akan ditentukan kemudian. Yang dimaksud dengan fidusia ulang adalah atas benda yang sama yang telah dibebankan fidusia, dibebankan fidusia sekali lagi. Walaupun dalam Undang-Undang Jaminan Fidusia ini terlihat, ada beberapa pasal yang seolah-olah saling bertentangan namun mengenai fidusia ulang ini dapat disimpulkan bahwa pada prinsipnya tidak dapat dibenarkan. Hal ini secara tegas diatur dalam Pasal 17

36 Undang-Undang Jaminan Fidusia yang isinya adalah Pemberi fidusia dilarang melakukan fidusia ulang terhadap benda yang menjadi objek jaminan fidusia yang sudah didaftar. Karena Undang-Undang Jaminan Fidusia masih menganut prinsip fidusia sebagai peralihan hak milik (secara kepercayaan) bukan hanya sebagai jaminan utang. Fidusia ulang oleh pemberi fidusia, baik debitur maupun penjamin pihak ketiga, tidak dimungkinkan atas benda yang menjadi objek jaminan fidusia karena hak kepemilikan atas benda tersebut telah beralih kepada penerima fidusia. Ada satu kemungkinan fidusia dapat diberikan kepada lebih dari satu pihak adalah kemungkinan yang diberikan berdasarkan Pasal 8 Undang-Undang Jaminan Fidusia yang isinya adalah: Jaminan fidusia dapat diberikan kepada lebih dari satu penerima fidusia atau kepada kuasa atau wakil dari penerima fidusia tersebut. Dari penjelasan Pasal 8 Undang-Undang Jaminan Fidusia tersirat bahwa yang dimaksud adalah pemberian fidusia kepada lebih dari satu kreditur dalam bentuk pemberian kredit konsorsium atau sindikasi. Maksudnya fidusia diberikan secara bersama-sama pada waktu yang bersamaan dan semua kreditur saling mengetahui adanya dua atau lebih kreditur tersebut.

3. Pendaftaran Fidusia Pendaftaran jaminan fidusia diatur dalam Pasal 11 sampai dengan Pasal 18 Undang-Undang No. 42 Tahun 1999 Tentang Jaminan Fidusia dan Peraturan Pemerintah Nomor 86 Tahun 2000 Tentang Tata Cara Pendaftarana Jmaminan Fidusia dan Biaya Pembuatan Akta Jaminan Fidusia. Peraturan Pemerintah ini

37 terdiri dari atas 4 bab dan 14 Pasal. Hal-hal yang diatur dalam Peraturan Pemerintah ini meliputi pendaftaran fidusia, tata cara perbaikan sertifikat, perubahan sertifikat, pencoretan pendaftaran, dan penggantian sertifikat. Dalam Pasal 11 Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 Tentang Jaminan Fidusia ditentukan bahwa benda, baik yang berada di dalam wilayah negara Republik Indonesia maupun benda yang berada di luar wilayah negara Republik Indonesia yang dibebani jaminan fidusia wajib didaftarkan. Untuk pertama kalinya kantor pendaftaran fidusia didirikan di Jakarta dengan wilayah kerja mencakup seluruh wilayah Republik Indonesia. Kantor Pendaftaran Fidusia berada dalam lingkup tugas Departemen Kehakiman dan Hak Azasi manusia. Tujuan pendaftaran fidusia adalah: 1. Untuk memberikan kepastian hukum kepada para pihak yang berkepentingan. 2. Memberikan hak yang didahulukan (preferen) kepada penerima fidusia terhadap kreditur lain. Ini disebabkan jaminan fidusia memberikan hak kepada pemberi fidusia untuk tetap menguasai objek jaminan fidusia berdasarkan kepercayaan.50 Pendaftaran fidusia dilakukan terhadap hal-hal: 1. Benda objek jaminan fidusia yang berada di dalam negeri (pasal 11 ayat 1 Undang-Undang No. 42 Tahun 1999). 2. Benda objek jaminan fidusia yang berada di luar negeri (pasal 11 ayat 2 Undang-Undang No. 42 tahun 1999). Terhadap perubahan isi Sertifikat Jaminan Fidusia (pasal 16 ayat 1 Undang-Undang No. 42 tahun 1999). Pada pokoknya pendaftaran jaminan fidusia adalah sebagai berikut: a. Pendaftaran jaminan fidusia dilakukan di Kantor Pendaftaran Fidusia dengan wilayah kerja mencakup seluruh wilayah negara Republik Indonesia dan50 Salim HS, Perkembangan Hukum Jaminan di Indonesia, Raja Grafindo Persada: Jakarta, 2004, hal. 82.

38 berada di lingkup tugas Departemen Kehakiman dan Hak Asasi Manusia; b. Permohonan pendaftaran jaminan fidusia dilakukan secara tertulis dan dalam Bahasa Indonesia oleh penerima fidusia, kuasa atau wakilnya dengan melampirkan pernyataan pendaftaran jaminan fidusia: c. Pernyataan pendaftaran jaminan fidusia memuat: 1) Identitas pemberi dan penerima fidusia 2) Tanggal, nomor akta jaminan fidusia, nama, dan tempat kedudukan notaris yang membuat akta jaminan fidusia; 3) Data perjanjian pokok yang dijamin fidusia; 4) Uraian mengenai benda yang menjadi objek jamnan fidusia; 5) Nilai jaminan; 6) Nilai benda yang menjadi objek jaminan fidusia. Pasal 2 ayat 4 PP No. 86 Tahun 2000, permohonan pendaftaran jaminan fidusia dilengkapi dengan: a. Salinan akta notaris tentang pembebanan jaminan fidusia; b. Surat kuasa atau surat pendelegasian wewenang untuk melakukan pendaftaran jaminan fidusia; c. Bukti pembayaran biaya pendaftaran jaminan fidusia. Kantor pendaftaran fidusia akan mencatat jaminan fidusia dalam Buku Daftar Fidusia pada tanggal yang sama dengan tanggal penerimaan permohonan pendaftaran dan kemudian menerbitkan dan menyerahkan kepada penerima fidusia, sertifikat jaminan fidusia pada tanggal yang sama dengan tanggal penerimaan permohonan pendaftaran. Ketika mencatat dalam buku daftar fidusia, petugas pendaftaran hanya berwenang melakukan pengecekan data dan tidak

39 berwenang melakukan penilaian terhadap kebenaran data yang dicantumkan dalam pernyatan pendaftaran jaminan fidusia. Dengan dikelurkannya Keputusan Presiden nomor 139 Tahun 2000 tanggal 30 September 2000, di setiap wilayah ibukota propinsi dibentuk Kantor Pendaftaran Fidusia, yang terletak dalam lingkup Departemen Kehakiman dan Hak Asasi Manusia. Judul Sertifikat Jaminan Fidusia dicantumkan kata-kata DEMI

KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA. Makna dari pencantuman kata-kata tersebut adalah bahwa Sertifikat Jaminan Fidusia mempunyai kekuatan eksekutorial yang sama dengan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap. Sehingga apabila debitur wanprestasi, maka penerima fidusia mempunyai hak untuk menjual benda yang menjadi objek jaminan fidusia atas kekuasaannya sendiri (pasal 15 ayat 2 dan 3 UU Jaminan Fidusia). Jaminan fidusia lahir pada tanggal yang sama dengan tanggal dicatatnya jaminan fidusia dalam buku daftar fidusia. Jika terjadi kekeliruan penulisan dalam sertfikat jaminan fidusia yang telah diterima pemohon, dalam waktu 60 hari setelah menerima sertifikat itu, pemohon memberitahukan kepada Kantor Pendaftaran Fidusia untuk diterbitkan sertifikat perbaikan. Sertifikat perbaikan memuat tanggal yang sama dengan tanggal sertifikat semula.51 Sertifikat jaminan fidusia dapat saja mengalami

perubahan terhadap substansi, antara lain perubahan objek jaminan fidusia, perubahan penerima fidusia, perubahan perjanjian pokok dan perubahan nilai jaminan. Adanya kewajiban melakukan pendaftaran jaminan fidusia merupakan51 Lihat Pasal 5 ayat (1) PP No. 86 Tahun 2000.

40 suatu perwujutan dari asas publisitas. Dengan adanya publikasi terhadap jaminan utang, kreditur maupun khalayak ramai mempunyai akses untuk mengetahui berbagai informasi yang berhubungan dengan jaminan utang tersebut. Dengan adanya pendaftaran fidusia, diharapkan agar pihak debitur terutama debitur yang tidak beritikat baik, tidak dapat lagi membohongi/menipu kreditur atau calon debitur dengan memfidusiakan sekali lagi atau bahkan menjual benda objek jaminan tanpa sepengetahuan kreditur. Asas publisitas secara tersirat tercantum pada pasal 18 UU Jaminan Fidusia, yaitu: Segala keterangan mengenai benda fidusia yang menjadi objek jaminan fidusia yang ada pada Kantor Pendaftaran Fidusia terbuka untuk umum. E. Asas-Asas Hukum Jaminan Fidusia Salah satu unsur yuridis dalam sistem hukum jaminan adalah asas hukum. Ini menunjukkan pentingnya asas hukum dalam suatu perundang-undangan. Istilah asas merupakan terjemahan dari bahasa Latin principium, bahasa Inggris principle dan bahasa Belanda beginsel, yang artinya dasar yaitu sesuatu yang menjadi tumpuan berpikir atau berpendapat. Asas hukum bukan suatu perintah hukum yang konkrit yang dapat dipergunakan terhadap peristiwa hukum yang konkrit dan tidak memiliki sanksi yang tegas. Dalam peraturan-peraturan (pasalpasal) dapat ditemukan aturan yang mendasar berupa asas hukum yang merupakan cita-cita dari pembentuknya. Undang-Undang Jaminan Fidusia tidak mencantumkan dengan tegas asas-asas jaminan fidusia yang menjadi asas fundamen dari pembentukan norma hukumnya. Tan Kamelo melalui proses analitis mengemukakan asas-asas hukum jaminan fidusia yang terdapat dalam UndangUndang Jaminan fidusia adalah:

41 Pertama, asas bahwa kreditur penerima fidusia berkedudukan sebagai kreditur preferens. Kedua, Asas bahwa jaminan fidusia tetap mengikuti benda yang menjadi objek jaminan fidusia dalam tangan siapapun benda tersebut berada (droit de suite atau zaakgevolg).Ketiga, asas bahwa jaminan fidusia merupakan perjanjian ikutan yang lazim disebut asas asesoritas, keberadaan jaminan fidusia ditentukan oleh perjanjian utama atau principal. Keempat, asas bahwa jaminan fidusia dapat diletakkan atas utang yang baru akan ada (kontinjen). Kelima, asas bahwa jaminan fidusia dapat dibebankan terhadap benda yang akan ada. Keenam, asas bahwa jaminan fidusia dapat dibebankan terhadap bangunan/rumah yang terdapat di atas tanah milik orang lain (asas pemisahan horizontal).Ketujuh, asas bahwa jaminan fidusia berisikan uraian secara detail terhadap subjek dan objek jaminan fidusia. Kedelapan, asas bahwa pemberi jaminan fidusia harus orang yang memilki kewenangan hukum atas objek jaminan fidusia. Kesembilan, asas bahwa jaminan fidusia harus didaftar ke kantor pendaftaran fidusia (asas publikasi). Kesepuluh, asas bahwa benda yang dijadikan objek jaminan fidusia tidak dapat dimiliki oleh kreditur penerima jaminan fidusia sekalipun hal itu diperjanjikan (asas pendakuan).Kesebelas, asas bahwa jaminan fidusia memberikan hak prioritas kepada kreditur penerima jaminan fidusia yang terlebih dahulu mendaftarkan ke kantor pendaftaran fidusia dari kreditur yang mendaftar kemudian. Keduabelas, asas bahwa yang tetap menguasai benda jaminan harus mempunyai itikad baik. Ketigabelas, asas bahwa jaminan fidusia mudah dieksekusi.52 Asas preferens ini dapat dilihat dari pasal 1 angka 2 dan Pasal 27 UU Jaminan Fidusia. Dalam Pasal 27 ini dijelaskan bahwa hak yang didahulukan adalah hak penerima fidusia untuk mengambil pelunasan piutangnya atas hasil eksekusi benda yang menjadi objek jaminan fidusia. Berbeda halnya dengan gadai yang tidak tegas menyatakan kreditur yang

diutamakan dari kreditur lainnya. Akan tetapi hak untuk diutamakan yang dimiliki oleh penerima fidusia tidak mengurangi kedudukan untuk

didahulukan terhadap piutang-piutang negara menurut ketentuan-ketentuan hukum yang berlaku sama52 H. Tan Kamelo, op. cit., hal. 169-170.

42 halnya dengan ketentuan yang berlaku kepada hak tanggungan. Asas droit de suite atau zaakgevolg, pengakuan asas ini menunjukkan bahwa jaminan fidusia merupakan hak kebendaan dan bukan hak perorangan, dengan begitu hak jaminan fidusia dapat dipertahankan terhadap siapapun juga dan barhak untuk menuntut siapa saja yang mengganggu hak tersebut. Dalam asas droit de suite terdapat prinsip yang tua didahulukan dari yang muda berdasarkan urutan waktunya. Hal ini perlu dalam memberikan kepastian hukum bagi kreditur pemegang fidusia untuk memperoleh pelunasan utang dari hasil penjualan objek jaminan fidusia apabila debitur pemberi fidusia melakukan

wanprestasi. Bahkan ketika benda jaminan fidusia berada pada pihak ketiga. Hak kebendaan jaminan fidusia baru lahir pada tanggal dicatatnya jaminan fidusia dalam buku daftar jaminan fidusia. Karena itu, konsekwensi yuridis adalah pemberlakuan asas droit de suite baru diakui sejak tanggal pencatatan jaminan fidusia dalam buku daftar fidusia. Maksud penegasan ini adalah kalau jaminan fidusia ini tidak dicatatkan dalam buku daftar fidusia berarti hak jaminan fidusia bukan merupakan hak kebendaan melainkan memilki karakter hak perorangan. Akibatnya, bagi pihak ketiga adalah tidak dihormatinya hak jaminan fidusia dari kreditur pemegang jaminan fidusia. Apabila terjadi peralihan benda jaminan fidusia, kreditur pemegang

43 jaminan fidusia hanya berkedudukan sebagai kreditur konkuren tidak dapat dilindungi berdasarkan asas droit de suite (tidak didahulukan dari kreditur lain) Asas droit de suite ini tidak berlaku pada semua objek jaminan fidusia, ada pengecualian yaitu terhadap objek jaminan fidusia berupa benda persediaan. Tetapi Undang-Undang Jaminan Fidusia tidak menjelaskan apa yang dimaksud dengan benda persediaan tetapi hanya dijelaskan apa yang tidak termasuk benda persediaan yaitu: mesin produksi, mobil pribadi, atau rumah pribadi yang menjadi objek jaminan fidusia.53 Dalam Undang-Undang Jaminan Fidusia dijelaskan bahwa sebelum Undang-Undang Jaminan Fidusia No. 42 Tahun 1999 dibentuk benda yang menjadi objek jaminan fidusia adalah benda bergerak yang terdiri dari benda dalam persediaan (inventory), benda dagangan, piutang, peralatan mesin, dan kendraan bermotor.54 Jadi belum ada kejelasan tentang benda persediaan yang dimaksud oleh Undang-Undang Jaminan Fidusia. Menurut Tan kamelo benda persediaan adalah benda yang diuraikan dalam suatu daftar secara detail, spesifik baik mengenai jumlah maupun jenisnya.55 Debitur pemberi jaminan fidusia dapat mengalihkan benda persediaan sesuai dengan cara dan prosedur yang lazim dalam dunia perdagangan. Misalnya, dengan cara menjual kepada pihak ketiga, peralihan ini adalah sah dan pembeli adalah pemilik yang sempurna. Pada prinsipnya, pemberi jaminan fidusia dilarang untuk mengalihkan, menggadaikan, atau menyewakan kepada pihak lain objek jaminan fidusia, kecuali terhadap objek jaminan fidusia yang berupa benda persediaan. Asas assesoir, asas ini mempunyai arti bahwa keberadaan

53 Penjelasan Pasal 23 ayat (2) UU No. 42 Tahun 1999. 54 Penjelasan Umum angka 3 UU No. 42 Tahun 1999. 55 H.Tan Kamelo, log. cit.

44 jaminan fidusia ditentukan oleh perjanjian pokok yaitu perjanjian utang piutang yang melahirkan utang yang dijamin dengan jaminan fidusia. Dalam Undang-Undang Jaminan Fidusia , asas assesoir ini secara tegas dinyatakan dalam Pasal 4 Undang-Undang Jaminan Fidusia No. 42 Tahun 1999 yang isinya adalah: Jaminan Fidusia merupakan perjanjian ikutan dari suatu perjanjian pokok yang menimbulkan kewajiban bagi para pihak untuk memenuhi suatu prestasi. Sesuai dengan asas assesoir ini hapusnya jaminan fidusia ini juga ditentukan oleh hapusnya utang atau karena pelepasan hak atas jaminan fidusia oleh penerima jaminan fidusia dan musnahnya benda yang menjadi objek jaminan fidusia.56 Jadi Jaminan Fidusia ini merupakan perjanjian yang lahir dari perjanjian pokok yaitu perjanjian utang piutang. Asas ini juga dianut dalam perjanjian hak tanggungan. Pencantuman asas ini adalah untuk menghilangkan keragu-raguan mengenai karakter jaminan fidusia yang bersifat assesoir dan bukan perjanjian yang berdiri sendiri. Sebelum lahirnya Undang-Undang Jaminan Fidusia No. 42 Tahun 1999 hal ini sempat meragukan bagi dunia bisnis. Asas ini membawa konsekuensi hukum terhadap pengalihan hak atas piutang dari pemegang jaminan fidusia lama kepada pemegang jaminan fidusia yang baru. Hal ini berarti terjadi pemindahan hak dan kewajiban dari pemegang fidusia yang lama kepada pemegang fidusia yang baru, dengan syarat bahwa pemegang fidusia yang baru mendaftarkan perbuatan hukum (cessie) tersebut ke56 Pasal 25 UU No. 42 Tahun 1999.

45 kantor pendaftaran fidusia.57 Asas bahwa jaminan fidusia dapat diletakkan atas utang yang baru akan ada (kontinjen). Artinya pada saat dibuatnya akta jaminan fidusia, utang tersebut belum ada, tetapi sudah diperjanjikan sebelumnya dalam jumlah tertentu. Asas ini adalah untuk menampung aspirasi hukum dalam dunia bisnis perbankan, misalnya hutang yang timbul dari pembayaran yang dilakukan oleh kreditur untuk kepentingan debitur dalam rangka pelaksanaan garansi bank.58 Asas bahwa jaminan fidusia dapat dibebankan terhadap benda yang akan ada. Asas ini telah diakui setelah keluarnya UndangUndang No. 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia yang intinya adalah jaminan fidusia dapat dibebankan atas benda yang akan ada.59 Undang-Undang No. 42 Tahun 1999 tidak hanya menetapkan objek jaminan terhadap benda yang akan ada, bahkan memberikan aturan terhadap piutang yang akan ada juga dapat dibebani dengan jaminan fidusia yang sebenarnya mengandung pengertian yang sama sebab piutang yang akan ada juga benda yaitu benda tidak berwujud untuk itu sebenarnya pengaturan piutang yang ada ini tidak perlu lagi. Perbedaan yang perlu ditegaskan adalah mengenai objek jaminan pada barang perniagaan dengan barang yang akan ada. Barang perniagaan objek jaminan fidusia sering terjadi sedangkan barang yang akan ada pergantian itu57 Pasal 19 UU No. 42 Tahun 1999. 58 Lihat Penjelasan Pasal 7 huruf b UU No. 42 Tahun 1999. 59 Lihat Pasal 9 UU No. 42 Tahun 1999.

46 tidak terjadi dengan cepat seperti: taksi-taksi sebagai objek jaminan fidusia. Pengaturan asas ini adalah untuk mengantisipasi perkembangan dunia bisnis dan sekaligus dapat menjamin kelenturan objek jaminan fidusia yang tidak hanya terpaku pada benda yang sudah ada. Perwujutan asas ini merupakan penuangan cita-cita masyarakat dalam bidang hukum jaminan. Asas bahwa jaminan fidusia dapat dibebankan terhadap bangunan/rumah yang terdapat di atas tanah milik orang lain. Dalam ilmu hukum asas ini disebut dengan asas pemisahan horizontal. Dalam pemberian kredit bank, dapat menampung pihak pencari kredit khususnya pelaku usaha yang tidak memiliki tanah tetapi memiliki hak atas bangunan/rumah. Biasanya hubungan hukum antara pemilik tanah dan pemilik bangunan adalah perjanjian sewa. Asas bahwa jaminan fidusia berisikan uraian secara detail terhadap subjek dan objek jaminan fidusia. Subjek fidusia yang dimaksudkan adalah identitas para pihak yakni pemberi dan penerima jaminan fidusia, sedangkan objek jaminan yang dimaksud adalah data perjanjian pokok yang dijamin dengan fidusia, uraian mengenai benda jaminan fidusia, nilai penjaminan dan nilai benda yang menjadi objek jaminan. Dalam hukum disebut asas spesialitas atau pertelaan.60 Asas bahwa pemberi jaminan fidusia harus orang yang memiliki kewenangan hukum atas objek jaminan fidusia. Kewenangan hukum tersebut harus sudah ada pada saat60 Lihat Pasal 6 UU No. 42 tahun 1999.

47 jaminan fidusia didaftarkan ke kantor fidusia. Asas ini sekaligus menegaskan bahwa pemberi jaminan fidusia

bukanlah orang berwenang berbuat. Dalam Undang-Undang No. 42 Tahun 1999 asas ini tidak secara tegas diatur, berbeda dengan pengaturan dalam hak tanggungan yang mengatur secara tegas dalam Pasal 8 Undang-Undang Hak tanggungan. Asas bahwa jaminan fidusia harus didaftar ke kantor pendaftaran fidusia. Dalam ilmu hukum disebut dengan asas publikasi.61 Dengan dilakukannya pendaftaran akta jaminan fidusia, berarti perjanjian fidusia lahir dan momentum tersebut menunjukkan perjanjian jaminan fidusia adalah perjanjian kebendaan. Asas publikasi ini melahirkan kepastian hukum bagi kreditur. Asas bahwa benda yang dijadikan objek jaminan fidusia tidak dapat dimiliki oleh kreditur penerima jaminan fidusia meskipun hal itu diperjanjikan.62 Asas ini disebut asas pendakuan. Asas bahwa jaminan fidusia memberikan hak prioritas kepada kreditur penerima fidusia yang terlebih dahulu mendaftarkan ke kantor pendaftaran fidusia daripada kreditur mendaftarkan kemudian Asas bahwa pemberi jaminan fidusia yang tetap menguasai benda jaminan harus mempunyai itikat baik. Dengan asas ini diharapkan bahwa pemberi jaminan fidusia wajib memelihara benda jaminan, tidak mengalihkan, menyewakan dan yang

61 Lihat pasal 12 UU No. 42 Tahun 1999. 62 Lihat Pasal 1 ayat (3) dan Pasal 33 UU No. 42 Tahun1999.

48 menggadaikannya kepada pihak lain. Asas bahwa jaminan fidusia mudah dieksekusi.63 Kemudahan pelaksanaan eksekusi dilakukan dengan mencantumkan irahirah Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa pada sertifikat jaminan fidusia. Dengan titel eksekutorial ini menimbulkan konsekuensi yuridis bahwa jaminan fidusia mempunyai kekuatan yang sama dengan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum yang tetap. Dalam penjualan benda jaminan fidusia, selain melalui titel

eksekutorial, dapat juga dilakukan dengan cara melelang secara umum dan dibawah tangan. F. Jaminan Fidusia sebagai Jaminan Kebendaan merupakan sub Sistem Hukum Jaminan Pengertian sistem secara umum, sistem hukum dan sistem hukum jaminan sangat diperlukan untuk memperoleh pemahaman yang lebih mendalam. Istilah sistem dalam bahasa Yunani systema, Belanda systeem, Inggris system. yang artinya keseluruhan yang terdiri dari pada macam-macam bagian, Menurut Tan Kamelo, kata sistem secara garis besar dapat dikelompokkan dalam dua hal yaitu: 1. Pengertian sistem sebagai entitas, sesuatu wujud benda (abstrak maupun konkrit termasuk konseptual) 2. Penegertian sistem sebagagi suatu methode atau tata cara.64

63 Lihat Pasal 15 UU No. 42 Tahun 1999. 64 H. Tan Kamelo, op. cit., hal. 145.

49 Pengertian sistem yang menjadi acuan dalam kerangka analisis jaminan fidusia adalah sistem dalam arti entitas, memiliki tatanan tertentu yang menunjukkan suatu struktur yang tersususn atas komponen-komponen atau bagianbagian yang berkaitan satu dengan lainnya untuk mencapai tujuan. Secara sederhana sistem diartikan sekumpulan unsur, seperti manusia, benda-benda, konsep-konsep, yang berhubungan untuk mencapai tujuan bersama. Dan secara etimologi sistem adalah seperangkat unsur yang berkaitan yang bekerjasama untuk membentuk suatu kesatuan. Para ahli hukum merumuskan pengertian sistem sebagai berikut: Suatu sistem adalah suatu susunan atau tatanan yang teratur, suatu keseluruhan yang terdiri atas bagian-bagian yang berkaitan satu sama lain, tersusun menurut suatu rencana atau pola, hasil dari pemikiran, untuk mencapai tujuan.65 Suatu sistem adalah suatu kesatuan yang bersifat kompleks, yang terdiri dari bagian-bagian yang berhubungan satu sama lain yang bekerja bersama secara aktif untuk mencapai tujuan pokok dari kesatuan tersebut.66 Dari dua pengertian sistem diatas dapat dipahami bahwa penekanan arti sistem terletak pada keterkaitan antara unsur-unsur atau bagian-bagian dan kerjasama dari unsurunsur/bagian-bagian untuk mencapai tujuan. Teori sistem ini adalah aliran yang paling penting dalam positivisme hukum, yang intinya bahwa hukum adalah suatu stelsel dari aturan yang berkaitan satu sama lain secara organis, secara piramida dari norma-norma yang terbentuk secara hirarkhi. Setelah makna sistem, perlu juga dijelaskan pengertian sistem hukum65 Subekti, Perbandingan Hukum Perdata, Pradya Paramita: Jakarta, 1983, hal. 99. 66 Satjipto Rahardjo, Ilmu Hukum, Alumni: Bandung, 1986, hal. 88.

50 yakni kumpulan asas-asas hukum yang terpadu, yang merupakan landasan, di atas mana dibangun tertib hukum.67 Menurut Sudikno sistem hukum adalah: suatu kesatuan yang terdiri unsur-unsur yang mempunyai interaksi satu sama lain dan berinteraksi sama lain dan bekerjasama untuk mencapai tujuan kesatuan hakiki terbagi-bagi dalam bagian-bagian, di dalam mana setiap masalah persoalan menemukan jawaban atau penyelesaiannya.68 dari satu dan atau

Pengertian sistem hukum di atas dapat dianalisa bahwa sistem hukum adalah peraturan hukum, asas-asas hukum yang menjadi fundamental dan pengertian-pengertian hukum. Unsur sistem hukum dibangun di atas tertib hukum, sehingga terdapat kehamonisan dan dapat dihindarkan tumpang tindih antara masing-masing sistem tersebut. Kalau ada konflik antar unsur-unsur sistem hukum, penyelesaiannya ada dalam sistem hukum itu sendiri. Rumusan sistem hukum di atas hanya dilihat dari segi komponen substansi hukum saja. Padahal komponen sistem hukum (element of legal system) meliputi tiga hal yakni: structur (sturucture), substansi (substance), dan budaya hukum (legal culture).69 Tan Kamelo menjelaskan bahwa yang dimaksud oleh Fiedmann dengan ketiga unsur tersebut adalah: 1. Struktur hukum adalah jumlah dan ukuran pengadilan, jurisdiksi dan cara-cara banding dari satu pengadilan kepada pengadilan lainnya. Struktur juga dapat berarti bagaimana badan pembuat undang-undang diatur dan sebagainya. 2. Substansi hukum diartikan sebagai aturan-aturan yang berlaku, normanorma, dan pola-pola prilaku manusia di dalam sistem. 3 Budaya hukum adalah sikap masyarakat terhadap hukum dan sistem hukum kepercayaan-kepercayaan, nilai-nilai, pandangan-pandangan pikiran-pikiran, harapan-harapan, hal ini adalah merupakan bagian dari budaya umum yang berkenaan dengan sistem67 Mariam Darus Badrulzaman, loc. cit. 68 Sudikno Mertokusumo, Mengenal Hukum, Liberty: Yogyakarta, 1988, hal. 102. 69 Lawrence M. Friedmann, log. cit.

51 hukum. Budaya hukum dengan perkataan lain adalah iklim dari pikiran sosial dan kekuatan sosial yang menentukan bagaimana hukum digunakan, dihindarkan atau disalahgunakan. Tanpa budaya hukum, sistem hukum adalah tidak berdaya-ibarat ikan mati yang terletak dalam sebuah keranjang, bukan ikan yang hidup berenang di laut.70 Jadi dalam perkembangannya, hukum sebagai sistem mempunyai tiga aspek. Ketiga aspek tersebut adalah sebagai berikut yakni: 1. Substansi hukum adalah peraturan-peraturan yang dipakai oleh para pelaku hukum pada waktu melakukan perbuatan-perbuatan serta hubunganhubungan hukum. 2. Struktur hukum adalah pola yang memperlihatkan tentang bagaimana hukum itu dijalankan menurut ketentuan formalnya yakni memperlihatkan bagaimana pengadilan, pembuat hukum dan lainlain badan serta proses hukum itu berjalan dan dijalankan. 3. Kultur hukum adalah unsur yang terpenting dalam sistem hukum yakni tuntutan dan permintaan. Tuntutan datangnya dari rakyat atatu para pemakai jasa hukum. Di belakang tuntutan itu, kecuali didorong oleh kepentingan, terlihat juga faktor-faktor seperti ide, sikap, keyakinan, harapan dan pendapat mengenai hukum. Kultur hukum mengandung potensi untuk dipakai sebagai sumber informasi guna menjelaskan sistem hukum.71 Berdasarkan pendapat teori sistem di atas, yang sangat menentukan berjalan atau tidaknya suatu peraturan hukum adalah budaya hukum masyarakatnya. Budaya hukum masyarakat bergantung kepada budaya hukum anggota-anggotanya yang dipengaruhi oleh latar belakang pendidikan,

lingkungan, posisi dan kedudukan, bahkan kepentingan-kepetingannya. Karena masyarakat hukum itu berubah-ubah dari waktu ke waktu, konsep budaya hukum substantive memerlukan unsur yang dinamis. Jadi jelas bahwa hukum tidak dapat70 H. Tan Kamelo, op. cit., hal. 150-151. 71 Satjipto Rahardjo, op. cit., hal. 166-167.

52 dilihat semata-mata sebagai perwujudan atau pencerminan dari konsep-konsep dan peraturan hukum. Hukum dalam realitas pernyataannya harus dilihat sebagai perwujudan atau pencerminan dari stuktur masyarakat. Pembangunan sistem hukum yang ideal adalah menetapkan prosedur yang jelas kepada para penegak hukum dalam rangka menerapkan atau menjalankan hukum dengan menyediakan sarana dan prasarana yang cukup, juga meliputi penataan aturan hukum yang pasti adil dan benar. Sistem hukum juga harus dibangun untuk mendidik dan mengarahkan perilaku masyarakat agar mematuhi hukum sesuai dengan cita-cita hukum yang diharapkan. Dengan perubahan paradigma sistem hukum, dapat dikatakan pembangunan hukum berarti pembaharuan tata hukum yang mencakup tiga koponen yakni komponen substansi hukum disebut juga tata hukum eksternal yang terdari dari (perundang-undangan, hukum tidak tertulis termasuk hukum adat dan yurisprudensi) serta tatanan hukum internal (asas-asas hukum) yang mengutuhkannya, komponen kelembagaan hukum yang terdiri atas berbagai organisasi publik dengan para pejabatnya (legislatif, eksekutif, yudikatif), dan komponen budaya hukum yang mencakup sikap prilaku para pejabat dan warga masyarakat berkenaan dengan komponen-komponen lainnya dengan proses-proses penyelenggaraan kehidupan masyarakat berhukum.72 Berdasarkan hal tersebut di atas, dapat dijelaskan bahwa sistem hukum jaminan merupakan sub sistem dari sistem hukum benda, sedangkan sistem hukum benda adalah sub sistem dari sistem hukum perdata. Demikian pula sistem hukum perdata merupakan sub sistem hukum nasional. Dengan pendekatan sistem hukum yang demikian, dapat dikatakan sistem hukum jaminan yang akan dibentuk harus memperhatikan aspek-aspek sistem hukum nasional yaitu substansi, struktur, sarana dan prasarana serta budaya hukum tersebut, peranan sistem hukum jaminan dalam pembangunan hukum dapat diwujudkan.

72B. Arief Sidharta, Peranan Praktisi Hukum dalam Perkembangan Hukum di Indonesia, Jurnal Hukum No. 1: 1999, Pusat Penelitian Perkembangan Hukum Lembaga Penelitian Universitas Padjajaran Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, hal. 14.

53

54 BAB III HASIL PENELITIAN DAN ANALISIS A. Keadaan Umum Tempat Penelitian Bank Rakyat Indonesia (BRI) didirikan pada tanggal 16 Desember 1895 oleh seorang Patih Banyumas bernama Raden Bei Aria Wirjaatmadja, dengan nama Hulp Spaarbank der Inlandssche Besturrs Ambtenaren (Bank Bantuan dan Simpanan Milik Pegawai Pangreh Praja Berkebangsaan Pribumi) yang merupakan bank perkreditan rakyat yang pertama di Indonesia. Dalam perjalanan 53 sejarah bank ini telah mengalami beberapa kali perubahan nama, yaitu berdasarkan Surat Keputusan Ratu Belanda No. 118 tanggal 10 Juli 1912, Staatsbld 1912 No. 392, berubah nama menjadi Centrale Kas Voor het Volscredietwezen. Selanjutnya berdasarkan Staatbld No. 82 dengan ordonansi tanggal 19 Februari 1934 tentang Bepalingen Betreffende de Algemeene Volkscredietbank, terjadi perubahan menjadi Algemeene Volkscredietbank atau AVB.73 Pada masa pendudukan Jepang di Indonesia antara tahun 1942-1945, Pemerintah Jepang menutup semua bank termasuk AVB. Namun pada tanggal 3 Oktober 1942, AVB dengan cabangnya di Jawa dan Madura kembali dibuka dengan nama Syomin Gink (Syomin = Rakyat, Ginko = Bank). Syomin Ginko secara resmi menjadi Bank Rakyat Indonesia berdasarkan Peraturan Pemerintah No. 1 Tanggal 22 Februari 1946 dengan wilayah kerja di seluru Indonesia. Dengan dikeluarkannya PP ini maka BRI menjadi bank pemerintah pertama di Indonesia.74 Berdasarkan ketentuan Undang-Undang No. 41 Tahun 1960 dalam Lembaran Negara No. 28/1960 tanggal 26 Oktober 1960, tiga buah bank yaitu BRI, Bank Tani dan Nelayan (BTN) serta Nederlansche Handels Maatschappij73 BRI 2006, Laporan Tahunan BRI Tahun 2005, Bank Rakyat Indonesia: Jakarta, 2006, hal. 1. 74 Ibid.

55 (NHM) dilebur menjadi sebuah lembaga perbankan baru bernama Bank Koperasi Tani dan nelayan (BKTN). Bank ini bertujuan untuk membent