pedagogia - repository.unpak.ac.id · english phonology adalah salah satu mata kuliah yang dianggap...

75
ISSN P :1693-5799 ISSN E: 2460-2175 Volume 8 Nomor 2 Tahun 2016 Pelindung: Ketua Yayasan Pakuan Siliwangi Pengarah: Rektor Universitas Pakuan PimpinanUmum: Drs. Deddy Sofyan, M.Pd. Penyunting Ahli : Prof. Dr. H. Yus Rusyana Dr. Entis Sutisna, M.Pd. Dr. Eri Sarimanah, M.Pd. Drs. H. Dadang Kurnia, M.Pd. Drs. Aam Nurjaman, M.Pd. Dra. Atti Herawati, M.Pd. Suhendra, S.Pd., M.Pd. Dr. Surti Kurniasih, M.Si. Elly Sukmanasa, M.Pd. Pemimpin Redaks: Dr. Rais Hidayat, M.Pd. Sekretaris Redaksi: Istiqlaliah N.H., M.Pd. Redaktur Pelaksana: Gusnadi, S.Pd., M.Pd. Asih Wahyuni, M.Pd. Poppy Sofia, S.Pd. Rina Rosdiana, M.Pd. Siti Chodijah, M.Pd. Dra. Hj. Susi Sutjihati, M.Pd. Aip M. Irfan, M.Si. Suci Siti Lathifah, M.Pd. Sandi Budiana, M.Pd. Dr. Yuyun Elizabeth Patras, M.Pd. Rukmini Handayani, M.Pd. Tata Usaha/Sirkulasi: Ahmad Syarif, M.Pd. Alamat Redaksi: Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Pakuan Jalan Pakuan Kotak Pos 452 Tlp. 0251 8375608 Fax 0251 8375608 Terbit Pertama Tahun 2004 Frekwensi Terbit 6 bulanan STRUKTUR ORGANISASI JURNAL PEDAGOGIA BERDASARKAN SURAT KEPUTUSANDEKAN FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN UNIVERSITAS PAKUAN NOMOR :5080/SK/D/FKIP/VIII/2015 PEDAGOGIA Jurnal Ilmiah Pendidikan

Upload: dophuc

Post on 15-Mar-2019

234 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: PEDAGOGIA - repository.unpak.ac.id · English Phonology adalah salah satu mata kuliah yang dianggap sulit oleh mahasiswa karena mahasiswa diminta untuk menghafalkan teori-teori yang

ISSN P :1693-5799 ISSN E: 2460-2175Volume 8 Nomor 2 Tahun 2016

Pelindung: Ketua Yayasan Pakuan Siliwangi

Pengarah: Rektor Universitas Pakuan

PimpinanUmum:Drs. Deddy Sofyan, M.Pd.

Penyunting Ahli : Prof. Dr. H. Yus RusyanaDr. Entis Sutisna, M.Pd.Dr. Eri Sarimanah, M.Pd.

Drs. H. Dadang Kurnia, M.Pd.Drs. Aam Nurjaman, M.Pd.Dra. Atti Herawati, M.Pd.

Suhendra, S.Pd., M.Pd.Dr. Surti Kurniasih, M.Si.Elly Sukmanasa, M.Pd.

Pemimpin Redaks:Dr. Rais Hidayat, M.Pd.

Sekretaris Redaksi:Istiqlaliah N.H., M.Pd.

Redaktur Pelaksana:Gusnadi, S.Pd., M.Pd.Asih Wahyuni, M.Pd.

Poppy Sofia, S.Pd.Rina Rosdiana, M.Pd.Siti Chodijah, M.Pd.

Dra. Hj. Susi Sutjihati, M.Pd.Aip M. Irfan, M.Si.

Suci Siti Lathifah, M.Pd.Sandi Budiana, M.Pd.

Dr. Yuyun Elizabeth Patras, M.Pd.Rukmini Handayani, M.Pd.

Tata Usaha/Sirkulasi:Ahmad Syarif, M.Pd.

Alamat Redaksi:Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Pakuan

Jalan Pakuan Kotak Pos 452 Tlp. 0251 8375608 Fax 0251 8375608Terbit Pertama Tahun 2004Frekwensi Terbit 6 bulanan

STRUKTUR ORGANISASI JURNAL PEDAGOGIA BERDASARKAN SURAT KEPUTUSANDEKAN FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN

UNIVERSITAS PAKUAN NOMOR :5080/SK/D/FKIP/VIII/2015

PEDAGOGIAJurnal Ilmiah Pendidikan

Page 2: PEDAGOGIA - repository.unpak.ac.id · English Phonology adalah salah satu mata kuliah yang dianggap sulit oleh mahasiswa karena mahasiswa diminta untuk menghafalkan teori-teori yang
Page 3: PEDAGOGIA - repository.unpak.ac.id · English Phonology adalah salah satu mata kuliah yang dianggap sulit oleh mahasiswa karena mahasiswa diminta untuk menghafalkan teori-teori yang

ISSN P :1693-5799 ISSN E: 2460-2175Volume 8 Nomor 2 Tahun 2016

PEDAGOGIA Jurnal Ilmiah Pendidikan

DAFTAR ISI

Nomor ISSN................................................................................................................................................ iSusunan Redaksi ......................................................................................................................................... iDaftar Isi .................................................................................................................................................... ii

1. MENINGKATKAN KEMAMPUAN MAHASISWA DALAM MENGIDENTIFIKASI DIPHTHONG MELALUI TEKNIK PENGAJARAN DRIM BERBASIS LESSON STUDY

Deddy Sofyan, Mursidah Rahmah, Istiqlaliah Nurul Hidayati, Abdul Rosyid ...................................... 380

2. ANALISIS KETERAMPILAN GENERIK MAHASISWA MELALUI METODE DEMONSTRASI PADA MATA KULIAH PENDIDIKAN LINGKUNGAN HIDUP Suci Siti Lathifah, Atik Setiawan ............................................................................................................ 385

3 PENINGKATAN HASIL BELAJAR MATEMATIKA TENTANG PECAHAN MELALUI PENDEKATAN MATEMATIKA REALISTIK DI KELAS IV

Ratih Purnamasari ................................................................................................................................... 392

4 TEACHING SPEAKING TO YOUNG LEARNERS THROUGH STORYTELLING: A CASE STUDY AT PRIMARY SCHOOL Asih Wahyuni .......................................................................................................................................... 399

5 PENGEMBANGAN KEMAMPUAN MENULIS MELALUI TEKNIK COPY THE MASTER Resyi Abdul Gani, Rina Rosdiana ........................................................................................................... 408

6 PENINGKATAN KEMAMPUAN MENYIMAK PADA PELAJARAN BAHASA INGGRIS DENGAN METODE PEMBELAJARAN KONTEKSTUAL DI SEKOLAH DASAR KELAS 2

Nur Latifah ............................................................................................................................................. 416

7 THE RELATIONSHIP BETWEEN LEARNING MOTIVATION, PORTFOLIO BASED ASSESSMENT, AND STUDENTS’ WRITING ABILITY

Lungguh Halira Vonti ............................................................................................................................. 424

8 PENYELENGGARAAN OTONOMI PENDIDIKAN DAN TANGGUNG JAWAB PEMERINTAH PADA SISTEM PENDIDIKAN NASIONAL DI INDONESIA

Bernadain D. Polii ................................................................................................................................... 430

9 FACTORS AFFECTING EFL LEARNERS IN LEARNING ENGLISH PRONUNCIATION Abdul Rosyid .......................................................................................................................................... 436

10 PENINGKATAN KETERAMPILAN MENULIS PUISI MELALUI PENDEKATAN WHOLE LANGUAGE

Wildan Fauzi Mubarock .......................................................................................................................... 444

Page 4: PEDAGOGIA - repository.unpak.ac.id · English Phonology adalah salah satu mata kuliah yang dianggap sulit oleh mahasiswa karena mahasiswa diminta untuk menghafalkan teori-teori yang

ISSN P :1693-5799 ISSN E: 2460-2175Volume 8 Nomor 2 Tahun 2016

Page 5: PEDAGOGIA - repository.unpak.ac.id · English Phonology adalah salah satu mata kuliah yang dianggap sulit oleh mahasiswa karena mahasiswa diminta untuk menghafalkan teori-teori yang

Pedagogia, Volume 8 Nomor 2 Tahun 2016

380MENINGKATKAN KEMAMPUAN MAHASISWA

MENINGKATKAN KEMAMPUAN MAHASISWA DALAM MENGIDENTIFIKASI DIPHTHONG MELALUI

TEKNIK PENGAJARAN DRIM BERBASIS LESSON STUDY

Deddy Sofyan1*, Mursidah Rahmah1, Istiqlaliah Nurul Hidayati1, Abdul Rosyid1

1Dosen Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Pakuan*Korespondensi: [email protected]

ABSTRAKEnglish Phonology adalah salah satu mata kuliah yang dianggap sulit oleh mahasiswa karena mahasiswa diminta untuk menghafalkan teori-teori yang berkaitan dengan cara pengucapan kata-kata dalam Bahasa Inggris. Untuk memecahkan permasalahan ini, tim dosen bersepakat untuk melaksanakan pembelajaran dengan menggunakan model “DRIM” (dictating, reading, identifying, modeling). Penelitian ini dilaksanakan dalam empat siklus melalui program Lesson Study. Model pembelajaran ini terdiri dari: 1) tahapan dictating, mahasiswa mendengarkan kata-kata dosen lalu menuliskan apa yang mereka dengar. 2) Tahapan reading, mahasiswa diberi teks yang berisi kata-kata yang mengandung diftong. Tahapan-tahapan tersebut dilaksanakan sebelum dosen menerangkan materi untuk mengukur kemampuan dasar mahasiswa. 3) Tahapan identifying. Pada tahapan ini, mahasiswa diminta untuk mengidentifikasi teks yang diberikan dan mencari kata-kata yang mengandung diftong. Setelah faham dengan diftong dan cara melafalkannya, tahapan terakhir adalah 4) tahapan modeling. Pada tahapan modeling, mahasiswa diminta untuk mencontohkan cara membaca kata-kata yang mengandung diftong dengan benar lalu diikuti oleh teman-teman lainnya. Dengan menggunakan model pembelajaran ini, manfaat yang diambil adalah a) memberikan latihan yang cukup banyak dan bervariasi, b) mengembangkan sikap hati-hati dalam mendengarkan/menyimak, serta c) menumbuhkan percaya diri siswa/mahasiswa untuk memberikan contoh yang benar bagi teman-teman yang lainnya.

Kata-kata Kunci: metode pembelajaran DRIM, diftong, Classroom Action Research, Lesson Study

ABSTRACTEnglish Phonology is one of the subjects that is considered difficult to learn. Students assume that it is difficult since they have to memorize theories related to English pronunciation. To solve this problem, a team of lecturers agreed to apply a learning model called “DRIM” (dictating, reading, identifying, and modeling). The research was conducted within four cycles through Lesson Study program. The learning model consists of: 1) dictating, students listen to and write the sentences recited by the lecturer; 2) Reading, the students are given a text containing words with diphthongs. Those steps are done before the lecturer explains the material on diphthongs to diagnose students’ ability to recognize diphthongs; 3) Identifying, the students are asked to identify the given text and find words containing diphthongs After the students have understood the diphthongs and known how to pronounce them, the last step is 4) modeling. In modeling step, the students are asked to recite some words containing diphthongs and have other students repeat. By applying the model, the advantages that can be taken are as follows: a) giving more exercises and more various activities, b) improving listening skill, and c) growing students’ self- confidence to give examples to their other classmates.

Keywords: DRIM learning technique, diphthongs, Lesson Study

PENDAHULUANSalah satu bidang ilmu yang terkait dengan

kemampuan berbahasa terutama kemampuan berkomunikasi lisan adalah English Phonology. Bidang ilmu ini mengakaji bunyi bahasa Inggris secara detail, tidak hanya bagaimana cara memproduksi bunyi, tapi juga semua hal yang terkait dengan bunyi tersebut. Program studi Pendidikan

Bahasa Inggris yang ada di Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan, Universitas Pakuan memasukkan kajian ilmu ini sebagai salah satu mata kuliah yang wajib diampu mahasiswa semester 3. Hal ini dilakukan agar mahasiswa tidak hanya cakap dalam praktik berbahasa, tapi juga menguasai teori tentang bahasa itu sendiri.

Akan tetapi, kajian dalam ilmu English

Page 6: PEDAGOGIA - repository.unpak.ac.id · English Phonology adalah salah satu mata kuliah yang dianggap sulit oleh mahasiswa karena mahasiswa diminta untuk menghafalkan teori-teori yang

Pedagogia, Volume 8 Nomor 2 Tahun 2016

381 MENINGKATKAN KEMAMPUAN MAHASISWA

Phonology yang bersifat teoritis sulit dipahami oleh mahasiswa. Hal ini terlihat dari nilai akhir mahasiswa yang kurang memuaskan. Atas dasar inilah tim pengampu mata kuliah English Phonology mengembangkan kegiatan pembelajaran dengan harapan dapat meningkatkan pemahaman serta kepekaan mahasiswa terhadap materi dalam mata kuliah tersebut.

Permasalahan dalam studi ini dibatasi pada materi Diphthong pada mata kuliah English Phonology yang diberikan kepada mahasiswa semester 3 Pendidikan Bahasa Inggris. Studi ini bertujuan untuk meningkatkan kemampuan mahasiswa dalam mengidentifikasi diphthong melalui DRIM (dictating, Reading, Identifying, Modelling) berbasis kegiatan lesson study.

English PhonologyMata kuliah English Phonology merupakan

salah satu mata kuliah yang diberikan kepada mahasiswa semester 3 program studi pendidikan Bahasa Inggris. Mata kuliah yang merupakan rumpun dari kajian Linguistics ini terfokus pada pembahasan teori tentang bunyi; dimulai dari segmental phonnemes seperti vowel, diphthong dan consonant, serta kajian tentang suprasegmental phonemes yang meliputi stress, intonation dan tone. Pada mata kuliah ini, mahasiswa dituntut tidak hanya sekedar mampu mengidentifikasi dan melafaklan bunyi dengan benar, tapi juga memahami unsur-unsur lain yang terkait dengan produksi bunyi tersebut, seperti alat ujar yang digunakan serta bagaimana proses produksi bunyi tersebut terjadi.

Pembelajaran diphthong Sebagaimana tersebut diatas, diphthong

adalah salah satu bagian dari segmental phonemes. Menurut Gordon (1961), diphthong adalah “a sound composed of two vowels and pronounced in a close succession within the limits of a syllable”. Dapat diterjemahkan bahwa diphthong adalah bunyi yang terdiri dari dua vowels dan diucapkan sebagai satu suku kata. Hewing (2000: 34) menyebut diphthong sebagai ‘a combination of vowel sounds’. Dari dua definisi tersebut dapat disimpulkan bahwa diphthong merupakan bunyi yang berasal dari dua buah vowels. Bunyi diphthong dalam bahasa Ingris yang berjumlah 8, diklasifikasikan menjadi 3 (Gordon: 1961). Klasifikasi diphthong tersebut adalah;

Vertical Diphthongs Bunyi diphthong yang termasuk dalam kategori ini adalah /ei/ pada kata they, make, baby; dan /ou/ seperti yang terdapat pada kata go, home.

Diagonal Diphthongs Tiga bunyi diphthong yang termasuk kategori ini adalah /ai/ pada kata my, idea; /oi/ pada kata joy, boy, oil; dan /au/ pada kata thousand, allow.

Centering Diphthongs Tiga bunyi diphthongs terakhir yang masuk dalam kategori ini antara lain /ɪə/ seperti pada kata here, near, clear; /eə/ seperti pada kata vary, bear, fair; dan /uə/ seperti pada kata tour, pure dan sure.

Pembelajaran Diphthong dengan DRIM (Dictating, Reading, Identifying, Modelling )

Dalam proses pembelajaran diphthong, ada beberapa teknik yang dapat diterapkan; antara lain menggunakan phonemic chart, reading activities, listening activities (Hewing: 2000); drilliing (Hewing: 2000; Larsen and Freeman: 2000); listen and imitate, phonetic training, recitation, minimal pair drills, tongue twister (Murcia, et.al: 1996); imitating (Orion: 1989). Semua teknik pembelajaran tersebut bertujuan untuk membuat pembelajar bahasa mampu menguacapkan bunyi diphthong dengan benar. Akan tetapi, tujuan pembelajaran diphthong di mata kuliah English Phonology, sebagaimana dijelaskan di bagian sebelumnya, tidak hanya sekedar membuat mahasiswa mampu mengucapkan, tapi juga mampu mengidentifikasi serta menyebutkan kata-kata yang memiliki bunyi tersebut. Dengan demikian, pembelajaran diphthong dilakukan dengan menggabungkan empat kegiatan yang berbeda yakni dictating, reading, identifying dan modelling.

Menurut Davis dan Rivolucri (1988) ‘dictation is a process of decoding sound and recode them in writing’. Dalam proses ini, pembelajar melakukan proses mendengarkan sebuah kata yang didikte, memproses kata tersebut dalam pikirannya, kemudian menuliskan kata tersebut. Lebih jauh lagi, selama proses ini, pembelajar juga akan megidentifikasi unsur bahasa atau lingusitik dari setiap kata, frasa atau kalimat yang didiktekan.

Page 7: PEDAGOGIA - repository.unpak.ac.id · English Phonology adalah salah satu mata kuliah yang dianggap sulit oleh mahasiswa karena mahasiswa diminta untuk menghafalkan teori-teori yang

Pedagogia, Volume 8 Nomor 2 Tahun 2016

382MENINGKATKAN KEMAMPUAN MAHASISWA

Hal ini sebagaimana disampaikan oleh Hirokazu (2014) pada artikel hasil penelitiannya berjudul Effectiveness of Dictation in Improving English Listening Ability of Japanese High School Students. Dalam pembelajaran diphthong, proses ini dapat menstimulasi pembelajar untuk menghubungkan pengetahuan dasar mereka tentang bunyi diphthong dengan kata atau kalimat yang mereka dengar dan harus mereka tuliskan.

Proses yang bisa dilakukan setelah menyelesaikan dictating adalah proses reading. Hewing (2000: 22) berpendapat bahwa proses reading bisa diintegrasikan untuk pembelajaran pronunciation, terutama jika proses membaca itu dilakukan dengan suara lantang atau reading aloud. Hal ini senada dengan pendapat Murcia (1996) dan didukung oleh sebuah penelitian yang dilakukan oleh Wirirayat (2000). Penelitian yang dilakukan dengan partisipan siswa salah satu sekolah menengah pertama di Thailand menemukan bahwa kemampuan pronunciation para siswa meningkat setelah mendapatkan pembelajaran dengan proses reading. Hal ini dapat menjadi landasan ilmu terkait pembelajaran diphtong melalui proses reading.

Proses reading dalam pembelajaran ini memiliki fungsi melatih pembelajar untuk mengucapkan kata-kata yang memiliki bunyi diphthong dan juga membuat pembelajar mampu mengidentifikasi kata-kata yang memiliki bunyi diphthong. Pada proses identifying, mahasiswa diminta untuk mencari dan menggaris bawahi kata-kata yang memiliki bunyi diphthong.

Tiga teknik pertama yang diterapkan dikelas dilengkapi dengan teknik yang keempat, yakni modelling. Pada proses ini, pembelajar diminta untuk membaca kata-kata yang telah diidentifikasi dan kemudian membuat kalimat menggunakan kata-kata tersebut.

METODE PENELITIANMetode yang digunakan adalah penelitian

tindakan kelas (classroom action research) agar peningkatan kesadaran mahasiswa dalam mengenali diftong dengan model pembelajaran DRIM dapat tercapai melalui siklus-siklus pembelajaran yang telah dirancang sesuai dengan prosedur pelaksanaan Lesson Study.

Kegiatan lesson study ini dibagi menjadi tiga tahap yaitu plan, do dan see. Tahap plan merupakan

proses dimana tim dosen model berkumpul untuk membuat lesson design dan course design mata kuliah English Phonology, juga mendiskusikan model pembelajaran yang akan dipakai, bahan ajar, materi, alat peraga, dan perbaikan untuk siklus berikutnya. Tahap do dibagi menjadi dua kegiatan yaitu acting dan observing. Dosen model melakukan pengajaran dan tim dosen melakukan observasi. Kemudian pelaksanaan lesson study ini diakhiri dengan kegiataan see yang merupakan refleksi dari kegiatan do.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Kegiatan PlanKegiatan Plan selalu dilaksanakan sebelum

pelaksanaan Open Lesson. Dalam kegiatan ini, tim dosen berembuk mengenai pembuatan course design and lesson design. Untuk mata kuliah English Phonology ini, tim dosen juga mendiskusikan model pembelajaran yang akan dilaksanakan dalam open lesson serta hal-hal yang harus diperbaiki dari siklus satu ke siklus berikutnya.

Tim dosen merencanakan bahwa open lesson yang pertama akan diawali dengan dictation. Dictation dilaksanakan dengan diawali oleh dosen yang mengucapkan beberapa kata dalam bahasa Inggris lalu mahasiswa menulis apa yang mereka dengar dari dosen. Setelah melaksanakan dictation, dosen membagikan sebuah teks yang didalamnya mengandung diftong.

Tahapan berikutnya adalah dosen menerangkan materi dengan jelas dan meminta mahasiswa untuk melihat kembali teks yang sudah diberikan kemudian melakukan identifikasi (identification) atas diftong yang ditemukan. Setelah yakin bahwa kata-kata yang mereka dapat dari teks tersebut mengandung diftong, dosen meminta perwakilan mahasiswa untuk menjadi model (modeling) dan mencontohkan kepada mahasiswa lain cara pengucapan diftong yang benar.

Model pembelajaran DRIM ini direncanakan digunakan untuk keempat siklus, sementara materi yang diajarkan berbeda. Pada siklus satu, materi mencakup pengenalan terhadap diftong dan diftong vertical. Sedangkan pada siklus dua, materi mencakup diftong diagonal dan diftong memusat (centering diphthong). Dikarenakan materi diftong dapat diselesaikan dalam dua kali pertemuan, maka

Page 8: PEDAGOGIA - repository.unpak.ac.id · English Phonology adalah salah satu mata kuliah yang dianggap sulit oleh mahasiswa karena mahasiswa diminta untuk menghafalkan teori-teori yang

Pedagogia, Volume 8 Nomor 2 Tahun 2016

383 MENINGKATKAN KEMAMPUAN MAHASISWA

dua siklus terakhir dilaksanakan di kelas yang berbeda dan materi berulang seperti siklus satu dan dua. Terlampir lesson design untuk open lesson English Phonology.

Kegiatan DoSetelah merencanakan open lesson, kegiatan

berikutnya adalah kegiatan do. Kegiatan do ini terbagi menjadi dua yakni acting dan observing. Pada tahap ini, tim dosen model melaksanakan setiap tahap pembelajaran sesuai dengan course design dan lesson design yang telah dibuat sebelumnya pada tahap plan. Setiap siklus dilaksanakan sesuai dengan rencana dan hasil dari setiap siklus selalu meningkat. Berikut pemaparan persiklus:

Pada siklus pertama, dosen model mengaplikasikan rangkaian model pembelajaran DRIM. Pembelajaran diawali dengan dictation. Pada tahap dictation, dosen menyebutkan beberapa kata yang mengandung diftong, lalu mahasiswa diminta untuk menuliskan apa yang diucapkan oleh dosen di buku tulis mereka. Terlihat masih banyak mahasiswa yang melakukan kesalahan dalam penulisan kata-kata tersebut. Sebagian besar mahasiswa (80%) menuliskan diftong ketika mendengar diftong. Padahal, tidak semua kata yang pengucapannya mengandung diftong ditulis dengan vokal ganda.

Setelah melaksanakan dictation, dosen membagikan teks kepada mahasiswa dan meminta mereka membaca dalam hati. Beberapa menit kemudian, dosen meminta perwakilan siswa untuk membaca teks tersebut dengan nyaring. Beberapa siswa masih membuat kesalahan walaupun sebagian dari mereka sudah benar dalam pengucapannya karena dosen mengizinkan mereka untuk mengecek kamus.

Tahapan berikutnya adalah dosen menerangkan materi diftong yang dimulai dari definisi hingga ke pengklasifikasian diftong berdasarkan posisi vocal pada penampang lidah. Identifikasi adalah tahapan berikutnya setelah mendengarkan pemaparan dosen. Setelah memaparkan materi, dosen meminta mahasiswa untuk mengecek sekali lagi teks yang diberikan dan mengidentifikasi kata-kata yang mengandung diftong. Setelah yakin dengan cara pengucapan masing-masing kata yang mengandung diftong, dosen meminta perwakilan mahasiswa untuk mengucapkan kata-kata tersebut dengan pelafalan yang benar dan meminta mahasiswa

lain untuk mengikuti mahasiswa tersebut. Setelah berhasil dengan kata-kata, mahasiswa menggunakan kata-kata tersebut untuk membuat kalimat dan melafalkannya kembali dengan diikuti oleh teman-temannya di kelas. Tahapan ini dinamakan modeling.

Pada siklus ke dua, tidak terjadi perubahan model pembelajaran. Dosen hanya mengganti kata-kata yang digunakan dalam dicatation serta mengganti teks yang digunakan untuk reading. Materi diftong pun berbeda. Pada siklus pertama, materinya adalah pengenalan terhadap diftong dan pengenalan terhadap vertical diphthong sedangkan pada pertemuan kedua, materi yang dibahas adalah diagonal dan centering diphthongs. Urutan tahapan dalam model pembelajran pun masih DRIM (dictation, reading, identification, dan modeling).

Pada siklus ke-tiga, pelaksanaan open lesson dilaksanakan di kelas yang berbeda karena materi mengenai diftong dapat diselesaikan dalam dua pertemuan. Siklus pertama dan kedua dilaksanakan di kelas III A sementara siklus ketiga dan keempat dilaksanakan di kelas IIIC.

Pada siklus ke-empat, open lesson dilaksanakan di kelas III C kembali. Model pembelajaran yang dilakukan adalah DRIM dan materi yang diajarakan adalah diftong diagonal dan diftong memusat (centering diphthong).

Kegiatan SeeKegiatan ‘see’ selalu dilakukan setelah

kegiatan open lesson berakhir. Kegiatan ‘see’ dihadiri oleh dosen model, tim dosen mata kuliah English Phonology, moderator, notulen, dan para observer. Dalam kegiatan ‘see’, para observer memaparkan hasil observasinya dan dosen model pun melakukan refleksi. Berikut adalah penjabaran kegiatan ‘see’ pada akhir setiap siklus:

Pada siklus 1, terdapat observer yang menangkap bahwa ada mahasiswa yang tidak konsentrasi sehingga ia tidak dapat menuliskan beberapa kata yang didktekan oleh dosen. Pada tahapan reading, nampak semua mahasiswa membaca teks yang diberikan dosen, demikian juga saat dosen memberikan materi, mayoritas mahasiswa memberikan perhatian penuh pada penjelasan dosen. Namun saat mengidentifikasi, kata-kata yang dapat teridentifikasi oleh mahasiswa memiliki jumlah yang bervariasi. Para observer menilai bahwa mahasiswa cukup antusias saat melaksanakan tahapan demi

Page 9: PEDAGOGIA - repository.unpak.ac.id · English Phonology adalah salah satu mata kuliah yang dianggap sulit oleh mahasiswa karena mahasiswa diminta untuk menghafalkan teori-teori yang

Pedagogia, Volume 8 Nomor 2 Tahun 2016

384MENINGKATKAN KEMAMPUAN MAHASISWA

tahapan dalam model pembelajaran DRIM.Pada tahapan see untuk siklus 2, yang

menjadi konsentrasi para observer adalah LKM yang dibuat oleh tim dosen. Menurut para observer, kata-kata yang digunakan dalam LKM masih rancu dan harus diperbaiki.

Siklus tiga dilaksanakan di kelas 3C. Pembelajaran dapat dilaksanakan dengan baik. Saat pelaksanaan tahap modeling, mahasiswa di kelas 3C sangat antusias. Banyak diantara mereka yang bersedia menjadi model untuk melafalkan diftong dan menuliskan kalimat yang mengandung diftong serta mengucapkannya.

Pada siklus 4, LKM telah diperbaiki sesuai dengan saran para observer sehingga tidak ada kendala yang dihadapi pada siklus keempat. Semua tahapan DRIM dapat dilaksanakan dengan baik dan hasil evaluasi pun menunjukkan nilai rata-rata kelas adalah 76.

SIMPULANPembelajaran teori mengenai diftong dapat

dilaksanakan dengan baik menggunakan model pembelajaran DRIM. Melalui model pembelajaran DRIM, mahasiswa tidak hanya mendengarkan penjelasan dosen, tetapi terlebih dahulu menerka tulisan dari kata-kata yang diucapkan dosen (dicatation) dan hal ini dapat membuat mahasiswa menjadi lebih hati-hati dalam mendengarkan dan mahasiswa pun dapat merefleksi bahwa dirinya masih memiliki pengetahuan yang terbatas mengenai vocabulary dan pronunciation.

Saat melaksanakan tahapan membaca (Reading) mahasiswa bukan saja membaca konten, tetapi juga belajar membaca dengan pelafalan yang benar. Setelah membaca, mahasiswa menyimak penjelasan dosen lalu kembali berlatih dengan mencoba menemukan kata-kata yang mengandung diftong di dalam teks (Identification) dan hal ini pun menguji kehati-hatian siswa dalam hal pelafalan.

Setelah melakukan beberapa kali latihan, akhirnya siswa dapat mengembangkan kepercayaan dirinya untuk memberikan contoh cara pelafalan diftong yang benar bahkan membuat kalimat dengan kata-kata yang mengandung diftong dan menlafalkan keseluruhan kalimat tersebut di depan teman-teman sekelasnya.

Dengan demikian manfaat dari model pembelajaran DRIM adalah: 1) memberikan latihan yang cukup banyak dan bervariasi, 2) mengembangkan sikap hati-hati dalam mendengarkan/menyimak, serta 3)menumbuhkan percaya diri siswa/mahasiswa untuk memberikan contoh yang benar bagi teman-teman yang lainnya.

DAFTAR PUSTAKARust, Frances and Clark, Christopher. (2015). How

to do Action Reseacrh in Your Classroom. Chicago: TNLI Metlife.

Hewings, Martin. (2004). Pronunciation Practice Activities. A Resource Book for Teaching English Pronunciation. UK: Cambridge University Press.

Celce-Murcia, M., et al. (1996). Teaching Pronunciation: A Reference for Teachers of English to Speakers of Other Languages. Cambridge: Cambridge University Press

Davis, M. and M. Rinvolucri. (2002). Dictation, New Methods New Possibilities. UK: Cambridge. University Press

Page 10: PEDAGOGIA - repository.unpak.ac.id · English Phonology adalah salah satu mata kuliah yang dianggap sulit oleh mahasiswa karena mahasiswa diminta untuk menghafalkan teori-teori yang

Pedagogia, Volume 8 Nomor 2 Tahun 2016

385 ANALISIS KETERAMPILAN GENERIK MAHASISWA

ANALISIS KETERAMPILAN GENERIK MAHASISWA MELALUI METODE DEMONSTRASI PADA MATA KULIAH PENDIDIKAN

LINGKUNGAN HIDUP

Suci Siti Lathifah1,*, Atik Setiawan2

1Dosen Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Pakuan. *Korespondensi: [email protected]

2Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan UNPAK

ABSTRAKPenelitian ini bertujuan untuk mendapatkan gambaran mengenai keterampilan generik mahasiswa melalui metode demontrasi pada mata kuliah Pendidikan Lingkungan Hidup. Penelitian dilakukan di Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Pakuan pada Program Studi Pendidikan Guru Sekolah Dasar dengan sampel sebanyak 80 orang dalam 2 kelas. Keterampilan generik mahasiswa dijaring melalui instrumen berupa lembar observasi dalam kegiatan kelompok dan digunakan pula tes keterampilan generik mahasiswa secara individu melalui soal essai. Hasil penelitian menunjukan bahwa keterampilan generik mahasiswa adalah “cukup”. Hal tersebut terlihat dari rata-rata keterampilan generik mahasiswa secara kelompok dan individu (73,06 % dan 71,13%). Keterampilan generik dalam pengamatan langsung mahasiswa dalam kegiatan kelompok dan individu adalah “baik” (78,90% dan 74,20%), keterampilan mahasiswa dalam kerangka logika di kegiatan kelompok dan individu adalah “cukup” (67,23% dan 68,56%), keterampilan mahasiswa dalam mengetahui sebab akibat dari suatu permasalahan yang ada di dalam kegiatan kelompok adalah “cukup” (70,45%) sedangkan secara individu adalah “baik” (77,11%), keterampilan mahasiswa pemodelan dalam kegiatan kelompok adalah “baik” (75,70%) sedangkan secara individu adalah “cukup” (56,90%), dan keterampilan inferansi mahasiswa pada kegiatan kelompok dan individu adalah “cukup” (73,06% dan 71,13%). Respons mahasiswa terhadap pembelajaran dengan metode demonstrasi ini adalah positif. Pembelajaran dengan metode demonstrasi bermanfaat bagi mahasiswa karena membantu dalam mempelajari PLH sehingga cocok untuk diterapkan dalam pembelajaran PLH yang diharapkan dapat lebih bersifat aplikatif.

Kata kunci : Keterampilan generik, Metode demonstrasi, Pendidikan Lingkungan Hidup

ABSTRACTThe research is aimed at describing human generic skill through demonstration method in the subject of living environment. It was conducted to 80 students from 2 classes of Primary School Teacher Training Department at the Faculty of Teacher Training and Educational Sciences at Pakuan University. The students’ generic skill was gained through an instrument which was an observational sheet when they did a group activity and was also gained through an individual written test. The research result shows that the students’ generic skill is “adequate. It can be seen from the mean score of the students’ generic skills both in group and also individually (73.06 % and 71.13%). The generic skill which was directly observed in group and individually can be categorized as “good” (78.90% and 74.20%), students’ skill in logical frame both in group and individually was “adequate” (67.23% and 68.56%), students’ skill in knowing cause and effect of a problem in group activity was “adequate” (70.45%) while individually was “good” (77.11%), students’ skill in modeling in group activity was “good” (75,70%) while individually was “adequate” (56.90%), and inference skill of the students in both group and individually was “adequate” (73.06% and 71.13%). Students’ response through the learning activity using demonstration method was positive. The learning using demonstration method is advantageous for the students since it can help them learn living environment. Therefore, it is recommended to apply the method in living environmental education class.

Keywords: generic skills, demonstration method, Living Environmental Education

Page 11: PEDAGOGIA - repository.unpak.ac.id · English Phonology adalah salah satu mata kuliah yang dianggap sulit oleh mahasiswa karena mahasiswa diminta untuk menghafalkan teori-teori yang

Pedagogia, Volume 8 Nomor 2 Tahun 2016

386ANALISIS KETERAMPILAN GENERIK MAHASISWA

PENDAHULUANBelajar mengajar adalah suatu kegiatan yang

bernilai edukatif. Nilai edukatif mewarnai interaksi yang terjadi antara pendidik dengan peserta didik. Interaksi yang bernilai edukatif dikarenakan kegiatan belajar mengajar yang dilakukan, diarahkan untuk mencapai tujuan tertentu yang telah dirumuskan sebelum pengajaran yang dilakukan. Pendidik dengan sadar merencanakan kegiatan pengajarannya secara sistematis dengan memanfaatkan segala sesuatunya guna kepentingan pengajaran.Untuk itu pendidik haruslah pandai dalam memilih dan menggunakan metode-metode pembelajaran mana yang akan digunakan dan disesuaikan dengan materi yang akan diberikan sesuai karakteristik peserta didik.Selain kemampuan untuk mengaplikasi metode dan strategi pembelajaran, dalam proses pelaksanaan tugas pengajaran seorang pendidik harus memperhatikan banyak hal. pemilihan media adalah sesuai dengan tujuan pembelajaran atau kompetensi yang ingin dicapai. Salah satu metode yang efektif dalam proses pembelajaran adalah metode demontrasi. Hamalik (1986 : 56) menjelaskan bahwa demonstrasi adalah percontohan atau pertunjukkan tentang cara membuat atau melayani. Metode demonstrasi adalah cara penyajian bahan pelajaran dengan meragakan atau mempertunjukan kepada siswa proses, situasi atau benda tertentu yang sedang dipelajari (Djamarah 2002 : 102). Hermawan mengatakan Demonstrasi merupakan metode yang efektif. Sebab membantu siswa untuk mencari jawaban dengan usaha sendiri berdasarkan fakta atau data yang benar (Hermawan 2007 : 98 ). Disamping itu dalam Hermawan (2007 : 96) juga menyebutkan tentang kelebihan metode demonstrasi sebagai berikut: a). Dapat membuat pengajaran menjadi lebih jelas dan lebih kongkret, sehingga menghindari verbalisme (pemahaman secara kata-kata atau kalimat) b). siswa lebih mudah memahami apa yang dipelajari c). Proses pengajaran lebih menarik d) siswa dirangsang untuk aktif mengamati, menyesuaikan antara teori dengan kenyataan, dan mencoba melakukan sendiri.

Berdasarkan kelebihan di atas diharapkan metode demontrasi ini juga dapat melatih peserta didik agar dapat mempunyai salah satu keterampilan harus dikuasainya yaitu keterampilan generik. Keterampilan generik merupakan keterampilan dasar yang dapat ditumbuhkan ketika peserta didik menjalani proses belajar. Menurut Kamsah (2004),

keterampilan generik merupakan keterampilan-keterampilan yang dapat digunakan sebagai aplikasi dari pengetahuan. Keterampilan atau kemampuan generik dikenal pula dengan sebutan kemampuan kunci, kemampuan inti (core skill /core ability), kemampuan esensial, dan kemampuan dasar (Rahman, 2008). Keterampilan generik antara lain meliputi keterampilan: komunikasi, kerja tim, pemecahan masalah, inisiatif dan usaha (initiative and enterprise), merencanakan dan mengorganisasi, menejemen diri, keterampilan belajar, dan keterampilan teknologi (Gibb, 2002). Menurut Carrick Institute for Learning and Teaching in Higher Education (2007), keterampilan generik yang dikaitkan dengan pendidikan universitas melingkupi keterampilan tingkat tinggi dalam hal komunikasi tertulis, komunikasi lisan, berpikir kritis dan analitis, pemecahan masalah, bekerjasama, belajar mandiri, melek informasi, keterampilan interpersonal, serta etika dan nilai-nilai. Oleh karena keterampilan generik relatif bebas dari disiplin ilmu, maka keterampilan-keterampilan ini seharusnya juga dimiliki oleh lulusan universitas.

Pendidikan Lingkungan Hidup (PLH) sebagai salah satu mata perkuliahan di program studi pendidikan guru sekolah dasar. Mata kuliah ini diadakan karena adany muatan lokal PLH di sekolah. Diselenggarakannya mata kuliah ini juga merupakan salah satu upaya yang dapat dilakukan untuk meningkatkan pemahaman dan kecintaan masyarakat terhadap lingkungannya. Karena itu untuk memahaminya diperlukan metode yang sesuai dan mendukung dalam mengembangkan keterampilan mahasiswa yang nantinya akan menjadi guru di sekolah dasar. Berdasarkan latarbelakang tersebut maka penulis tertarik untuk mengetahui keterampilan generik mahasiswa dengan metode demonstrasi pada mata kuliah Pendidikan Lingkungan Hidup.

Adapun rumusan masalah pada penelitian ini adalah“Bagaimanakah keterampilan generic mahasiswa melalui metode demonstrasi pada matakuliah Pendidikan Lingkungan Hidup?”.Penelitian ini bertujuan untuk (1) Memperoleh gambaran mengenai keterampilan pengamatan langsung mahasiswa melalui metode demonstrasi pada pembelajaran PLH, (2) Memperoleh gambaran mengenai keterampilan kerangka logika mahasiswa melalui metode demonstrasi pada pembelajaran

Page 12: PEDAGOGIA - repository.unpak.ac.id · English Phonology adalah salah satu mata kuliah yang dianggap sulit oleh mahasiswa karena mahasiswa diminta untuk menghafalkan teori-teori yang

Pedagogia, Volume 8 Nomor 2 Tahun 2016

387 ANALISIS KETERAMPILAN GENERIK MAHASISWA

PLH(3) Memperoleh gambaran keterampilan sebab akibat mahasiswa melalui metode demonstrasi pada pembelajaran PLH, (4) Memperoleh gambaran mengenai keterampilan pemodelan melalui metode demonstrasi pada pembelajaran PLH (5) Memperoleh gambaran mengenai keterampilan inferensi mahasiswa melalui metode demonstrasi pada pembelajaran PLH (6) Mengetahui respon mahasiswa terhadap pembelajaran dengan metode demonstrasi. Diharapkan penelitian ini dapat memberikan gambaran bagaimana menggunakan metode demonstrasi dalam pembelajaran PLH sehingga dapat melatih keterampilan generik mahasiswa.

METODE PENELITIANJenis penelitian yang digunakan adalah

deskriptif. Penelitian dilakukan untuk membuat pencandraan atau gambaran secara sistematis, factual dan akurat mengenai fakta-fakta mengenai keterampilan generic mahasiswa dalam pembelajaran Pendidikan Lingkungan Hidup. Populasi dari penelitian ini adalah seluruh keterampilan generic mahasiswa Prodi Pendidikan Guru Sekolah Dasar FKIP UNPAK, kemudian diambil sampel sebanyak 80 orang dengan teknik cluster random sampling.

Data yang dikumpulkan dalam penelitian ini terdiri atas dua jenis data, yaitu data kualitatif dan data kuantitatif. Pengumpulan data kualitatif keterampilan generik mahasiswa yang terlihat selama dalam kelompok menggunakan lembar observasi, sedangkan untuk respon mahasiswa diketahui dengan menggunakan angket. Adapun data kuantitatif diperoleh melalui tes tertulis (essai) untuk mengungkap keterampilan generik mahasiswa secara individu

Setelah seluruh data di peroleh, maka dilakukan pengolahan data (analisis data) dengan rincian sebagai berikut:1. Skor yang diperoleh dari rubrik penilaian lembar

observasi serta tes yang mencerminkanin dikator-indikator keterampilan generik dikategorikan berdasarkan persentasi skor perolehan mahasiswa menurut Arikunto (1998: 246). Adapun pengklasifikasian tersebut adalah sebagai berikut:

Tabel 1.Klasifikasi Keterampilan Generik Mahasiswa berdasarkan Persentase Skor

Perolehan MahasiswaPersentase (%) Kategori

76-100 Baik56-75 Cukup40-55 Kurang baik0-39 Tidak baik

(Arikunto, 1998:246)

Adapun rumus yang digunakan untuk mengkategorikan keterampilan generik mahasiswa digunakan rumus sebagai berikut:

Skor mahasiswa = skor jawaban mahasiswa x 100 % skor ideal

2. Untuk melakukan penghitungan persentase tanggapan mahasiswa yang diperoleh dari angket digunakan rumus sebagai berikut:

Persentase ya = ∑ mahasiswa menjawab ya x 100 %∑ mahasiswa

HASIL DAN PEMBAHASAN Pada pembelajaran PLH ini tidak semua

materi menggunakan metode demonstrasi. Adapun materi-materi yang menggunakan metode demonstrasi dalam proses pembelajarannya adalah materi Lingkungan Air, Lingkungan Udara, Lingkungan Tanah, dan Sumber Daya Alam. Pada materi Lingkungan Air didemonstrasikan proses terjadinya peristiwa kondensasi dan pengaruh asam serta suhu terhadap ikan mas, pada materi Lingkungan Udara didemonstrasikan dampak hujan asam terhadap tumbuhan dan bahan bangunan serta dampak asap rokok terhadap jangkrik, pada materi Lingkungan tanah didemontrasikan cara membuat pupuk kompos, sedangkan untuk materi Sumber Daya Alam didemonstrasikan cara sederhana membuat listrik dari buah lemon.

Dalam pembelajaran dengan metode demontrasi dosen terlebih dahulu menyampaikan materi perkuliahan, kemudian mendemonstrasikan kegiatan yang akan dipraktikan diawali dengan menjelaskan tujuan dari apa yang akan didemontrasikan. Lalu mengenalkan kepada mahasiswa alat dan bahan yang akan digunakan,

Page 13: PEDAGOGIA - repository.unpak.ac.id · English Phonology adalah salah satu mata kuliah yang dianggap sulit oleh mahasiswa karena mahasiswa diminta untuk menghafalkan teori-teori yang

Pedagogia, Volume 8 Nomor 2 Tahun 2016

388ANALISIS KETERAMPILAN GENERIK MAHASISWA

selanjutnya dosen memperagakan di depan kelas langkah-langkah dalam percobaan. Selama dosen memperagakan mahasiswa diminta untuk memperhatikan dengan seksama. Setelah dosen memperagakan, dosen meminta dari setiap kelompok untuk kembali memperagakan di depan kelas dan setelah mereka memperagakan dosen mengajukan pertanyaan langsung kepada mahasiswa yang berkaitan dengan yang telah mereka peragakan. Pada saat ini keterampilan generik mahasiswa secara berkelompok diamati dan dilakukan penilaian dengan menggunakan lembar observasi. Setelah semua kelompok secara bergantian mendemonstrasikan, dosen bersama-sama dengan mahasiswa membuat kesimpulan dari materi perkuliahan yang telah dipelajari, dan bertanya jawab untuk mengecek kembali pemahaman dari mahasiswa. Kegiatan perkuliahan diakhiri dengan tes formatif dengan menggunakan soal essai untuk mengetahui keterampilan generik setiap individu mahasiswa. Berikut ini rata-rata nilai keterampilan generik mahasiswa.:

Gambar 1. Persentase Keterampilam Generik Mahasiswa secara Kelompok

Berdasarkan gambar 1 di dapatkan bahwa persentase keterampilan mahasiswa secara kelompok dalam pengamatan langsung lebih tinggi (78,90 %) dan persentase terendah adalah kerangka logika (67,23%). Dengan rata-rata perolehan persentase keterampilan generik dalam kategori cukup (73,06%). Hal ini ternyata berbeda dengan persentase keterampilan generik mahasiswa secara individu. Persentase tertinggi yaitu keterampilan inferemsi (78,90%) sedangkan keterampilan pemodelan dengan persentase terendah (56,90%) dan rata-rata persentase yaitu 71,1% dalam ketegori sedang seperti pada gambar 2 di bawah ini :

Gambar 2. Persentase Keterampilan Generik Mahasiswa secara Individu

Berdasarkan data pada gambar 1 dan 2 pembelajaran dengan metode demonstrasi telah dapat melatih keterampilan generik mahasiswa walaupun rata-rata persentase dalam kategori cukup (73,06% dan 71,13%). Hal ini disebabkan pada pembelajaran dengan menggunakan metode demontrasi mahasiswa diminta untuk mengamati dengan cermat apa yang didemonstrasikan oleh dosen, lalu kemudian diminta kembali secara berkelompok untuk memperagakannya kembali. Dengan ini mahasiswa tidak hanya memperhatikan saja tapi juga ikut dirangsang untuk berlatih keterampilan yang mereka. Sudjana berpendapat (2008: 154) bahwa proses pembelajaran harus dipandang sebagai stimulus yang dapat menantang untuk melakukan kegiatan belajar sedangkan Purwanto (2002: 84) menyatakan bahwa belajar sebagai suatu hasil latihan atau pengalaman.

Disamping memperagakan kembali yang dilakukan oleh dosen, mahasiswa pun berdiskusi mengenai berbagai pertanyaan yang ditanyakan oleh dosen berkaitan dengan apa yang sudah diperagakannya. Pada saat inilah satu dengan yang lain antar anggota kelompok saling bekerjasama bertukar pikiran. Selain itu dengan lebih banyak berdiskusi , memungkinkan kepada mahasiswa untuk mengembangkan penalaran, pemikiran kritis dan kreatif, serta kemampuan memberikan pertimbangan dan penilai (Munandar, 1999: 84). Pendidik sebagai fasilitator harus bersifat terbuka dan menerima gagasan-gagasan dari semua siswa. Sebagai fasilitator pendidik harus berusaha menghilangkan ketakutan dan kecemasan peserta didik yang menghampat pemikiran dan pemecahan masalah secara kreatif. Peran pendidik sebagai fasilitator membantu menciptakan suasana kelas yang aman dimana peserta didik merasa dirinya diterima dan dihargai. Hal ini salah satu pendorong berkembangnya berbagai keterampilan (Munandar,

Page 14: PEDAGOGIA - repository.unpak.ac.id · English Phonology adalah salah satu mata kuliah yang dianggap sulit oleh mahasiswa karena mahasiswa diminta untuk menghafalkan teori-teori yang

Pedagogia, Volume 8 Nomor 2 Tahun 2016

389 ANALISIS KETERAMPILAN GENERIK MAHASISWA

1999: 81). Sebagaimana dikemukakan oleh Meyers (Tiwari et al., 2000: 2) bahwa lingkungan belajar yang kondusif dalam pengembangan berpikir kritis akan menstimulus minat siswa, menciptakan diskusi yang bermakna, menyampaikan pemikiran dan pandangan terhadap yang lain, dan menciptakan suasana yang mendukung dan terpercaya. Belajar berpikir yang baik ikut meningkatkan daya mengingat, kalau mahasiswa tidak dilatih berpikir kritis, maka pembelajaran di sekolah kurang bermakna bagi mahasiswa kerena tidak menghasilkan perkembangan yang maksimal. Sebagaimana yang diungkapkan Ausubel (Winkel, 1996: 361) bahwa belajar bermakna hasilnya lebih berakar, dan berguna dalam meningkatkan kemampuan bernalar mahasiswa. Untuk dapat menciptakan suatu pembelajaran yang bermakna, dapat dilakukan dengan mengarahkan mahasiswa pada suatu kemampuan untuk dapat mengkonstruk pengetahuannya. Dengan demikian maka mahasiswa dituntut untuk dapat lebih aktif dalam pembelajarannya. Disamping itu dikemukakan oleh Adisendjaja (2010:6) bahwa dalam proses pembelajarannya, PLH jangan dijadikan sebagai topik hafalan tetapi harus dikaitkan dengan dunia nyata yang dihadapinya sehari-hari (kontekstual).

Dan dalam metode demontrasi mahasiswa diminta untuk memperhatikan apa yang didemonstrasikan oleh dosen, kemudian memperagakaanya untuk diselanutnya dilakukan tanya jawab dengan demikian kemampuan berfikir mahasiswa terlatih. Sebagaimana yang telah diungkapkan oleh Hartono (2006) untuk mengembangkan pembelajaran yang berorientasi keterampilan generik, pembelajaran harus memiliki karakteristik-karakteristik: (1) mengkondisikan siswa untuk aktif berpikir, (2) terjadi layanan bimbingan individual, (3) memanfaatkan keunggulan komputer. Adapun respon mahasiswa terhadap pembelajar dengan metode demontrasi sebagian besar menyatakan respon positif. Sebagain besar dari mereka sepakat bahwa pembelajaran dengan metode demonstrasi dapat meningkatkan keterampilan generik mereka dan pembelajaran berlangsung menyenangkan, seperti yang terdapat pada gambar 3 di bawah ini :

Gambar 3. Grafik Respon Mahasiswa terhadap

Metode Demonstrasi

Keterangan :1 Apakah kamu menyukai mata kuliah PLH?2 Menurut kamu, apakah mata kuliah PLH penting

untuk diajarkan?Apakah menurut kamu mata kuliah PLH sulit dipahami?

4 Apakah metode pembelajaran yang biasa diterapkan oleh dosen pada pembelajaran PLH adalah ceramah?

5 Jika tidak, Apakah kamu pernah melakukan kegiatan pembelajaran dengan metode demontrasi sebelumnya?

6 Apakah kamu pernah melakukan kegiatan observasi lapangan?

7 Apakah kamu merasa senang dengan metode pembelajaran demonstrasi melalui kegiatan pemodelan cara praktikum seperti yang telah dilakukan?

8 Apakah kamu pernah mendemonstrasikan hasil diskusi kelompokmu ?

9 Apakah kegiatan-kegiatan tersebut membantu kamuuntuk mempelajari PLH?

10 Apakah pembelajaran tersebut melatih kamuuntuk memiliki berbagai keterampilan generik ?

11 Apakah kamu merasa sulit untuk dalam mendemostrasikan kegiatan hasil diskusimu ?

12 Apakah kamu menghadapi kesulitan dalam mencari alasan atau sebab-akibat dari hasil demontrasi ?

13 Apakah kamu mudah dalam membuat kesimpulan dari hasil yang telah didemonstrasikan ?

14 Apakah menurut kamu kegiatan tersebut bermanfaat bagi kamu?

15 Apakah kegiatan pembelajaran tersebut cocok untuk diterapkan pada pembelajaran PLH?

Respon positif mereka disebabkan karena dengan metode demontrasi mahasiswa mempunyai pengalaman belajar yang mengasyikan. Pengalaman

Page 15: PEDAGOGIA - repository.unpak.ac.id · English Phonology adalah salah satu mata kuliah yang dianggap sulit oleh mahasiswa karena mahasiswa diminta untuk menghafalkan teori-teori yang

Pedagogia, Volume 8 Nomor 2 Tahun 2016

390ANALISIS KETERAMPILAN GENERIK MAHASISWA

belajar siswa dalam proses pembelajaran sangat penting, makin aktif siswa secara intelektual, manual, dan sosial, tampaknya makin bermakna pengalaman belajar siswa (Rustaman, 2003:87). Lebih lanjut Meyers (Tiwari et al., 2000: 2) mengemukakan bahwa minat siswa sangat penting untuk memfokuskan perhatian mereka, dan hal ini dapat muncul melalui pendekatan pembelajaran yang berorientasi pada masalah. Melibatkan mahasiswa dalam proses diskusi hal ini menjadikan keterampilan sebab akibat dan inferansi mahasiswa terasah karena mahasiswa dapat mencari tahu berbagai hal tidak hanya dari dosen sebagai pengajar tetapi dia bisa dapatkan juga dari teman sebaya, sedangkan dengan mengalami langsung proses pembelajaran secara aktif mahasiswa menjadi lebih terampil dalam mengasah keterampilan generik mereka. Hal ini sejalan dengan yang dikemukakan oleh Hermawan (2007 : 96) bahwa kelebihan metode demonstrasi yaitu: a). Dapat membuat pengajaran menjadi lebih jelas dan lebih kongkret, sehingga menghindari verbalisme (pemahaman secara kata-kata atau kalimat) b). siswa lebih mudah memahami apa yang dipelajari c). Proses pengajaran lebih menarik d) siswa dirangsang untuk aktif mengamati, menyesuaikan antara teori dengan kenyataan, dan mencoba melakukan sendiri.

SIMPULAN Berdasarkan hasil penelitian diperoleh

kesimpulan bahwa keterampilan generik mahasiswa melalui melalui metode demonstrasi adalah “cukup”. Hal tersebut terlihat dari rata-rata keterampilan generik mahasiswa secara kelompok dan individu (73,06% dan 71,13%). Dari kelima indikator keterampilan yang diukur dapat disimpulkan bahwa secara individu keterampilan inferensimendapatkan persentase tertinggi yaitu 78,90 dengan kategori “baik” dan secara kelompok persentase tertinggi yaitu keterampilan pengamatan langsung yaitu 78,90% dengan kategori baik.Respons mahasiswa terhadap pembelajaran dengan metode demonstrasi ini adalah positif. Pembelajaran melalui metode demonstrasi bermanfaat bagi mahasiswa karena membantu mahasiswa dalam mempelajari PLH sehingga cocok untuk diterapkan dalam pembelajaran PLH yang diharapkan dapat lebih bersifat aplikatif.

SARANSebagai saran untuk penelitian selanjutnya yang relevan, maka peneliti menyarankan beberapa hal yang harus diperhatikan, antara lain yaitu:1. Untuk dosen pembelajaran dengan metode

demonstrasi hendaknya secara berkesinambungan dapat dilaksanakan pada materi lain dengan modifikasi atau variasi lainnya. Hal tersebut selain untuk meningkatkan aktivitas mahasiswa dalam pembelajaran, juga sebagai sarana untuk melatih keterampilan generik bagi mahasiswa.

2. Bagi mahasiswa untuk dapat memudahkan dalam melakukan pembelajaran dengan metode demonstrasi, hendaknya mahasiswa dapat mencari lebih banyak informasi mengenai suatu permasalahan pada materi yang dipelajari, sehingga akan lebih membantu dalam menemukan solusi dari suatu permasalahan dan akan lebih membantu dalam penguasaan indikator-indikator di dalam keterampilan generik. Selain itu, mahasiswa sebaiknya lebih teliti dan cermat dalam membaca serta memahami soal, sehingga mahasiswa dapat menjawab secara spesifik sesuai dengan apa yang ditanyakan pada soal tersebut.

3. Bagi peneliti selanjutnya, dalam menerapkan pembelajaran dengan metode demonstrasi untuk dapat mengembangkan berbagai instrumen untuk indikator-indikator lainnya keterampilan generik secara lebih spesifik.

DAFTAR PUSTAKAAdisendjaja. (2010). ”Bagaimana Mengajarkan

Pendidikan Lingkungan Hidup”. [Online]. Tersedia: http://file.upi.edu// [20 Januari 2013]

Arikunto, S. (1998). Dasar-dasar Evaluasi Pendidikan (Edisi Revisi.). Jakarta: Bumi Aksara.

Carrick Institute for Learning and Teaching in Higher Education. (2007). Assessing Generic Skills. Tersedia: http:// www.biaoassess.au.edu. [19 Maret 2012].

Djamarah, Syaiful B. (2002). Strategi Belajar - Mengajar. Jakarta : PT. Rineka Cipta

Gibb, J. (2002). The Collection of research reading on generic skill in VET. Australia: Australian Learning and Teaching Council.

Hamalik, Oemar. (1986). Media Pendidikan. Bandung : Alumni

Hartono.(2006). Pembelajaran Fisikan Modern bagi mahasiswa calon Guru. Disertasi Doktor pada

Page 16: PEDAGOGIA - repository.unpak.ac.id · English Phonology adalah salah satu mata kuliah yang dianggap sulit oleh mahasiswa karena mahasiswa diminta untuk menghafalkan teori-teori yang

Pedagogia, Volume 8 Nomor 2 Tahun 2016

391 ANALISIS KETERAMPILAN GENERIK MAHASISWA

sPs UPI : tidak diterbitkan.Hermawan, Asep H. dkk. (2007). Belajar dan

Pembelajaran SD. Bandung : Upi PressKamsah.(2004). Developping generic skill in

classroom environment. Malaysia: University Technology of Malaysia.

Munandar, U.C.S. (1999). Mengembangkan Bakat dan Kreatifitas Anak Sekolah. Jakarta: PT. Gramedia Widiasarana Indonesia.

Purwanto, N. (2002). Psikologi Pendidikan. Bandung: Rosda

Rahman, T. (2008). Pengembangan program pembelajaran praktikum untuk meningkatkan keterampilan generik calon guru biologi. Disertasi UPI. Tidak diterbitkan.

Rustaman, N. Dirjosoemarto, S., Ahmad Y., Yudianto, S.A., Rochintaniawati, D., Nurjhani, M., dan Subekti, R., (2003). Strategi Belajar Mengajar Biologi. Bandung. Jurusan Biologi FPMIPA Universitas Pendidikan Indonesia.

Sudjana, N. (2009). Dasar-Dasar Proses Belajar Mengajar. Bandung: Sinar Baru Algensindo.

Tiwari,A., et al. (2000). Enhancing Students’ Critical Thinking through Problem-Based Learning. [Online]. Tersedia: http://teaching.polyu.edu.hk// [19 Januari 2013]

Winkel, S. (1996). Psikologi Pengajaran. Jakarta: Grafindo

.

Page 17: PEDAGOGIA - repository.unpak.ac.id · English Phonology adalah salah satu mata kuliah yang dianggap sulit oleh mahasiswa karena mahasiswa diminta untuk menghafalkan teori-teori yang

Pedagogia, Volume 8 Nomor 2 Tahun 2016

392PENINGKATAN HASIL BELAJAR MATEMATIKA

PENINGKATAN HASIL BELAJAR MATEMATIKA TENTANG PECAHAN MELALUI PENDEKATAN MATEMATIKA REALISTIK DI KELAS IV

Ratih Purnamasari1,*

1Dosen Program Studi PGSD FKIP Universitas Pakuan*Korespondensi: [email protected]

ABSTRAKTujuan dari penelitian ini adalah untuk meningkatkan hasil belajar matematika tentang pecahan melalui penerapan pendekatan realistik. Penelitian ini dilaksanakan di SDN Cilendek Timur 2 Bogor, dengan subjek penelitian berjumlah 24 orang. Metode penelitian yang digunakan adalah metode penelitian Tindakan Kelas dengan model dari Kemmis dan Taggart yang terdiri dari tahap: perencanaan, tindakan, observasi, dan refleksi. Penelitian ini ditempuh dalam tiga siklus. Hasil penelitian menunjukkan adanya peningkatan hasil belajar siswa tentang pecahan. Pada siklus I, persentase jumlah siswa yang nilainya melebihi atau sama dengan 70 sebesar 12,5%, pada siklus II mencapai 56,5%, dan pada siklus III mencapai 92%. Aktivitas guru dan siswa sesuai langkah-langkah pembelajaran dengan pendekatan realistik mencapai 92,5% pada akhir siklus III. Sehingga dapat disimpulkan bahwa penerapan pendekatan realistik dapat meningkatkan hasil belajar siswa tentang pecahan. Oleh sebab itu, disarankan kepada guru untuk menggunakan pendekatan realistik sebagai salah satu alternatif dalam pembelajaran matematika, khususnya tentang pecahan.

Kata kunci: pendekatan matematika realistik, hasil belajar, penelitian tindakan kelas

ABSTRACTThe aim of the research is to improve the learning outcome of mathematics on fraction through the application of realistic approach. The research was conducted to 24 students of the fourth grade at SDN Cilendek Timur 2 Bogor. The research method employed was Classroom Action Research with the model Kemmis and Taggart which consists of four steps: planning, acting, observing, and reflecting. The research was undergone in three cycles. The result research shows that there is improvement of the learning result on fraction. In the first cycle, the percentage of students getting the score of 70 or higher was 12.5%, in the second cycle, it reached 56.5%, and in the third cycle it was 92%. The students and teacher’s activities were in accordance with realistic approach reaching 92.5% at the end of the third cycle. Therefore, it can be inferred that the application of realistic approach is able to improve students’ learning outcome on fraction. Thus it is recommended that teachers use realistic approach as one of the alternatives to teach mathematics, especially on fraction.

Keywords: realistic mathematical approach, learning outcome, classroom action research.

Dari sekian banyak KD yang ada dalam KTSP, menurut hasil wawancara terhadap guru kelas IV di SDN Cilendek Timur 2 Bogor, KD tentang pecahan merupakan salah satu dari konsep yang sulit dipahami oleh siswa. Ada banyak faktor yang menyebabkan sulitnya siswa dalam memahami KD tentang pecahan. Dari sekian banyak faktor penyebab, faktor guru dinilai paling dominan diantara faktor-faktor yang lain. Guru sampai hari ini masih aman dengan pendekatan teacher center. Metode yang digunakan pun baik dalam membelajarkan

PENDAHULUAN Mata pelajaran matematika perlu diberikan

kepada semua peserta didik mulai dari Sekolah Dasar (SD) untuk membekali peserta didik dengan kemampuan berpikir logis, analitis, sistematis, kritis, dan kreatif, serta kemampuan bekerjasama. Kompetensi tersebut diperlukan agar peserta didik dapat memiliki kemampuan memperoleh, mengelola, dan memanfaatkan informasi untuk bertahan hidup pada keadaan yang selalu berubah, tidak pasti, dan kompetitif.

Page 18: PEDAGOGIA - repository.unpak.ac.id · English Phonology adalah salah satu mata kuliah yang dianggap sulit oleh mahasiswa karena mahasiswa diminta untuk menghafalkan teori-teori yang

Pedagogia, Volume 8 Nomor 2 Tahun 2016

393 PENINGKATAN HASIL BELAJAR MATEMATIKA

pecahan maupun konsep yang lain hanya berkutat pada ceramah dan ekspositori. Akibatnya siswa tidak mampu menemukan konsepnya sendiri.

Oleh sebab itu, dalam pembelajaran matematika khususnya tentang pecahan perlu ada upaya penerapan pendekatan pembelajaran yang tepat agar siswa tidak lagi merasa sulit apalagi takut pada matematika. Salah satu pendekatan matematika yang dapat digunakan yaitu pendekatan realistik. Artikel ini disusun dengan tujuan memberikan gambaran bagaimana pendekatan realistik dapat meningkatkan hasil belajar siswa tentang pecahan.

METODE PENELITIANPenelitian ini dilaksanakan di SDN Cilendek

Timur 2, semester II tahun pelajaran 2012-2013. Metode penelitian yang digunakan adalah metode penelitian Tindakan Kelas (PTK) dengan model dari Kemmis dan Taggart yang terdiri dari tahap-tahap: a). perencanaan, b). tindakan, c). observasi, dan d). refleksi. Penelitian ini ditempuh dalam tiga siklus. Siklus pertama dan kedua terdiri atas dua pertemuan, sedangkan siklus ketiga terdiri atas satu pertemuan. Proses pengumpulan data melalui tes kemampuan siswa, wawancara, catatan lapangan dan hasil dokumentasi.

Pengukuran validitas diuji dengan menggunakan rumus Pearson Product Moment sedangkan realibilitasnya dihitung dengan menggunakan rumus KR-21. Teknik analisis data yang digunakan meliputi analisis data dengan statistika deskriptif dan analisis data secara kualitatif.

HASIL PENELITIANPada siklus I, pelaksanaan pembelajaran

oleh guru masih memiliki banyak kekurangan. Meski begitu, pada siklus II guru sudah mampu mengoptimalkan kinerjanya yang berimbas pula pada optimalnya keaktifan siswa. Keoptimalan itu makin sempurna manakala tindakan telah memasuki siklus III. Peningkatan kinerja guru ternyata berdampak positif terhadap keaktifan siswa pada setiap siklusnya. Siswa beraktifitas sesuai dengan apa yang telah dilakukan oleh guru. Misalnya saja ketika guru tidak mengarahkan siswa untuk mengaitkan konsep yang sedang dipelajari dengan konsep matematika yang lain, maka siswa pun tidak melakukannya. Begitupula ketika guru tidak berhasil mengkondisikan siswa untuk menjelaskan jawaban

dengan menggambar jawaban pada papan tulis, maka siswapun tidak melakukannya. Hal ini juga dapat dilihat apabila dibuat persentase tahapan pendekatan realistik yang telah dilaksanakan guru pada lembar observasi dengan yang telah dilaksanakan oleh siswa pada setiap siklusnya, sebagai berikut:

Tabel 4.8 Nilai pengamatan pembelajaran dengan pendekatan realistik pada setiap siklus

Aspek Penilaian Presentasi Nilai PerolehanSiklus I Siklus II Siklus III

Aktivitas guru pada pembelajaran realistik

75 % 90 % 95 %

Aktivitas siswa pada pembelajaran realistik

65 % 80 % 90%

Apabila disajikan dalam bentuk diagram akan terlihat sebagai berikut:

Grafik 4.1. Persentase aktivitas guru dan siswa

Berdasarkan grafik di atas, terjadi peningkatan aktivitas guru dan siswa mulai dari siklus I sampai siklus III. Peningkatan yang terjadi rata-rata 7% untuk guru, sedangkan untuk siswa rata-rata peningkatan sebesar 8%. Cukup kecil untuk sebuah nilai peningkatan. Meski begitu presentase awal, baik siswa maupun guru menunjukkan kerja yang positif. Terlihat bahwa guru sebelum tindakan berusaha mempersiapkan diri sebaik mungkin sehingga pada siklus I guru sudah mampu mencapai keberhasilan yang cukup tinggi yaitu 75%. Hal itu juga berdampak pada aktivitas siswa yang sejak siklus I sudah mencapai 65 %. Artinya guru sudah berhasil melaksanakan 13 tahapan pembelajaran dari 20 tahapan yang ada pada pembelajaran realistik. Dari tabel di atas dapat terlihat bahwa ketika guru mengalami peningkatan kinerja maka keaktifan siswa juga meningkat. Data ini membuktikan betapa pentingnya peran guru dalam sebuah pembelajaran. Meski begitu guru bukan bertugas mentransfer ilmu melainkan hanya menjadi fasilitator saja.

Page 19: PEDAGOGIA - repository.unpak.ac.id · English Phonology adalah salah satu mata kuliah yang dianggap sulit oleh mahasiswa karena mahasiswa diminta untuk menghafalkan teori-teori yang

Pedagogia, Volume 8 Nomor 2 Tahun 2016

394PENINGKATAN HASIL BELAJAR MATEMATIKA

Karena apabila guru menjadi pentransfer ilmu maka keaktifan siswa justru akan menurun.

Selain berpengaruh terhadap keaktifan siswa ternyata peningkatan kinerja guru juga memiliki dampak positif terhadap hasil belajar siswa. Berdasarkan hasil tes pada setiap siklus, hasil belajar siswa tentang pecahan sebagai berikut:

Tabel 4.8 Data hasil belajar pecahan siswa pada tiap siklus

Data Siklus I Siklus II Siklus III TargetJmlh % jmlh % jmlh % 80%

siswa mencapai nilai ≥ 70

Pencapaian nilai ≥ 70

3 12,5 13 56,5 22 92

Pencapaian nilai < 70

21 87,5 10 43,5 2 8

Apabila dibuat dalam bentuk grafik dapat terlihat sebagai berikut:

Grafik 4.2. Hasil belajar siswa tentang pecahan

Berdasarkan grafik di atas, terjadi peningkatan hasil belajar siswa tentang pecahan. Peningkatan terjadi pada perolehan nilai siswa yang mencapai KKM. Pada siklus I, persentase jumlah siswa yang nilainya melebihi atau sama dengan 70 sebesar 12,5%, pada siklus II mencapai 56,5%, dan pada siklus III mencapai 92%. Peningkatan yang terjadi cukup tinggi, yakni mencapai 43,5 % dari siklus I ke siklus II, dan 36 % dari siklus II ke siklus III. Rata-rata peningkatan sebesar 39,7 %. Sementara itu, hal sebaliknya terjadi pada perolehan nilai siswa yang kurang dari 70. Pada siklus I nilai yang kurang dari 70 sangat tinggi, yaitu mencapai 87,5%, sedangkan pada siklus II dan siklus III menurun menjadi 43,5% dan 8 %. Dari data tersebut dapat terlihat bahwa pada saat kinerja guru siklus I ke siklus II meningkat, kemudian keaktifan siswa juga meningkat, maka hasil belajar siswa pun meningkat. Hal yang sama juga terjadi pada siklus ke III. Hasil belajar siswa meningkat seiring dengan meningkatnya kinerja guru dan keaktifan siswa.

Peningkatan itu terjadi karena pada siklus II guru telah sukses melaksanakan rencana perbaikan pada siklus I, diantaranya:dalam aspek pemahaman konsep, pada saat berkeliling membimbing kelompok, guru sudah mengarahkan siswa untuk mengaitkan konsep pecahan yang sedang dipelajari dengan konsep matematika yang lain dan dengan kehidupan sehari-hari. Misalkan dalam membagi kue tiruan guru memahamkan siswa bahwa dalam membagi kue harus sama. Supaya sama pada saat membagi, siswa bisa membagi dengan menghitung derajatnya (kue berbentuk lingkaran). Selain itu, masih dalam aspek pemahaman konsep, guru mengkondisikan siswa agar menjelaskan jawaban kelompok dengan bantuan gambar pada papan tulis. Misalnya dengan cara meminta bantuan siswa yang bisa menggambar, untuk menggambarkan jawaban kelompok di papan tulis. Dalam aspek pembagian kelompok siswa terdiri atas siswa pandai dan kurang pandai serta adanya penjelasan di awal pembelajaran tentang tugas-tugas setiap anggota dalam kelompok. Dalam aspek pengerjaan LKS, guru sudah menjelaskan dengan perlahan supaya siswa memahami maksud soal dengan baik dan memberikan kesempatan lebih banyak untuk bertanya dengan memberikan giliran kelompok untuk bertanya. Terakhir dalam aspek presentasi, guru akan menuntun siswa untuk berbicara di depan kelas dan lebih memotivasi siswa untuk bertanya, memberikan pendapat dan menyanggah jawaban teman dengan menunjuk tiap kelompok secara bergiliran dan guru memberikan contoh bagaimana cara melakukannya.

Begitupula yang terjadi pada siklus III. Pada siklus III hasil belajar siswa juga meningkat, hal ini disebabkan karena guru telah mampu melaksanakan rencana perbaikan pada siklus II.

Untuk meyakinkan data yang diperoleh dari hasil observasi dan tes siklus, maka dilakukan perbandingan lagi dengan catatan lapangan dan hasil wawancara pada setiap siklus. Berdasarkan hasil catatan lapangan yang telah dibuat disimpulkan bahwa pada siklus I guru masih memiliki banyak kekurangan. Pada siklus II kekurangan itu berkurang dan pada siklus III kekurangan guru sangat sedikit. Sehingga dapat dikatakan meski guru tidak melaksanakan poin tersebut siswa tidak terlalu terpengaruh. Salah satu diantaranya adalah ketika guru tidak memberikan alat peraga berupa benda sebenarnya, karena pada pendekatan realistik

Page 20: PEDAGOGIA - repository.unpak.ac.id · English Phonology adalah salah satu mata kuliah yang dianggap sulit oleh mahasiswa karena mahasiswa diminta untuk menghafalkan teori-teori yang

Pedagogia, Volume 8 Nomor 2 Tahun 2016

395 PENINGKATAN HASIL BELAJAR MATEMATIKA

memang alat peraga tidak harus benda sebenarnya, namun yang lebih penting adalah alat peraga itu bisa digunakan siswa untuk memahami konsep.

Hasil wawancara juga membuktikan bahwa data yang didapat dapat dipercaya, karena pada siklus I siswa menyatakan belum merasa siap dengan kerja kelompok dan belum terbiasa melaporkan jawaban. Namun pada siklus II siswa menyatakan sudah merasa nyaman dan pada siklus III siswa sudah mulai menikmati setiap tahapan dalam pembelajaran realsitik.Dari hasil triangulasi data dapat disimpulkan bahwa ada kesesuaian data antara hasil observasi, hasil tes siklus, catatan lapangan dan hasil wawancara terhadap siswa.

PEMBAHASANBeberapa faktor yang berpengaruh

terhadap meningkatnya hasil belajar siswa adalah minat, motivasi, kreatifitas, kemampuan kognitif, dan peran guru sebagai fasilitator. Penelitian dengan penerapan pendekatan matematika realistik menunjukkan bahwa minat dan motivasi siswa dalam menyelesaikan setiap permasalahan sangat tinggi pada setiap siklusnya. Hal ini terjadi karena dalam pendekatan matematika realistik terdapat prinsip penggunaan konsteks. Dalam prinsip ini guru memberikan masalah kontekstual dalam pembelajaran.

Prinsip lain dalam pendekatan matematika realistik yang juga menyebabkan tingginya minat dan motivasi siswa adalah penggunaan model. Dalam prinsip penggunaan model siswa diberi alat perga sehingga mereka menggunakan alat peraga itu untuk membangun konsep mereka. Siswa bebas memanipulasi alat peraga sesuai dengan apa yang mereka pikirkan. Hasil wawancara selama penelitian membuktikan bahwa siswa merasa senang ketika mereka mendapatkan alat peraga.

Prinsip pemanfaatan konstruksi siswa dan prinsip interaktivitas juga memiliki andil dalam meningkatkan minat dan motivasi diantaranya siswa menjadi termotivasi untuk menampilkan laporan yang lebih bagus dari teman-temannya yang lain. Pemanfaatan konstruksi siswa telah mampu membangkitkan aktivitas anak dengan melatih siswa bekerja sendiri atau turun aktif selama pembelajaran berlangsung. Fakta ini sesuai dengan pendapat dari Suwangsih. Ia mengatakan bahwa pembelajaran harus memperhatikan beberapa hal diantaranya:

1). Menyesuaikan bahan pelajaran yang diajarkan dengan dunia anak (kontekstual),

2). Pembelajaran dapat dilakukan dengan cara mudah ke yang sukar atau dari konkret ke abstrak,

3). Menggunakan alat-alat peraga/media pembelajaran yang sesuai, baik benda nyatanya atau tiruan, dan

4). Membangkitkan aktivitas anak dengan melatih siswa bekerja sendiri atau turun aktif selama pembelajaran berlangsung, maka siswa akan memiliki minat yang tinggi ketika mempelajari konsep matematika. (Suwangsih. E, Tiurlina: 2006)

Peningkatan minat dan motivasi juga ditimbulkan oleh prinsip pendekatan realistik yang lain yaitu prinsip keterkaitan yang mampu membantu siswa dalam menyelesaikan masalah dengan menghubungkan pengetahuan-pengetahuan siswa yang telah ada dengan konsep yang sedang dipelajari.

Namun dari semua prinsip yang sangat berperan dalam peningkatan minat, motivasi, kreatifitas, serta kemampuan kognitif siswa, dalam penelitian terbukti, bahwa yang menjadi kunci keberhasilan dari peningkatan itu adalah prinsip realistik yang terakhir yaitu, prinsip bimbingan. Apabila peran guru sebagai pembimbing tidak terlaksana maka kemungkinan besar prinsip-prinsip yang lain tidak bisa terlaksana pula.

Dalam uraian analisis data terlihat bahwa peningkatan kinerja guru berakibat terhadap peningkatan keaktifan siswa sekaligus berakibat terhadap meningkatnya hasil belajar siswa.

Hasil penelitian juga membuktikan pendapat dari Hans (Wijaya, Ariyadi, 2012:20) mengatakan bahwa belajar matematika akan berhasil apabila pembelajaran matematika dibuat sebagai aktivitas manusia atau “mathematics is a human activity”. Penelitian dengan pendekatan pembelajaran terbukti membuat matematika menjadi serangkatan aktivitas siswa, dari mulai memahami masalah, menyelesaikan masalah, melaporkan jawaban penyelesaian dan menyimpulkan jawaban. Hal ini membuktikan bahwa matematika bukanlah satu kumpulan aturan atau sifat-sifat yang sudah lengkap yang harus siswa pelajari, matematika bukan merupakan suatu subjek yang siap saji untuk siswa, melainkan suatu pelajaran yang dinamis yang dapat

Page 21: PEDAGOGIA - repository.unpak.ac.id · English Phonology adalah salah satu mata kuliah yang dianggap sulit oleh mahasiswa karena mahasiswa diminta untuk menghafalkan teori-teori yang

Pedagogia, Volume 8 Nomor 2 Tahun 2016

396PENINGKATAN HASIL BELAJAR MATEMATIKA

dipelajari dengan dengan cara mengerjakannya.Ausubel (Dahar, Ratna Wilis, 2011:95)

berpendapat bahwa belajar adalah proses yang bermakna. Belajar bermakna adalah suatu proses dikaitkannya informasi baru pada konsep-konsep yang relevan yang yang terdapat dalam struktur kognitif seseorang.Ausubel berharap dengan belajar bermakna siswa mampu menguasai ilmu pengetahuan secara bermakna tidak hanya sekedar hafalan yang miskin makna.

Penelitian yang telah dilaksanakan membuktikan bahwa kebermaknaan konsep matematika merupakan konsep utama dari pendekatanmatematika realistik. Proses belajar siswa hanya akan terjadi jika pengetahuan (knowledge) yang dipelajari bermakna bagi siswa. Suatu pengetahuan akan menjadi bermakna bagi siswa jika proses pembelajaran dilaksanakan dalam suatu konteks atau permasalahan realistik. (Wijaya, Ariyadi, 2012:20)

Menurut Gravemeijer (Fauzan, Ahmad, 2000:35) ada 3 kunci utama desain pembelajaran RME yaitu: guided reinvention through progressive mathematization, didactical phenomenology,and self developed modelsor emergent models. Pada prinsip Guided reinvention through progressive mathematization, siswa melalui topik-topik yang disajikan harus diberi kesempatan untuk mengalami proses yang sama membangun dan menemukan kembali ide-ide dan konsep-konsep secara matematika. Siswa diberi kesempatan untuk merasakan situasi dan jenis masalah kontekstual yang memiliki berbagai kemungkinan solusi. Setelah itu dilanjutkan dengan matematisasi prosedur pemecahan masalah yang sama, serta perancangan rute belajar sedemikian rupa, sehingga siswa menemukan sendiri konsep-konsep atau hasil. Dalam hal ini guru bertindak sebagai motivator. Dalam istilah Zoltan Dornyei sebagai “The good enough motivator” (Donyei, zoltan, 2001:135). Berdasarkan hasil penelitian apabila guru menjadi motivator yang baik maka siswa akan merespon dengan baik pula.

Prinsip yang kedua yaitu didactical phenomenology atau fenomena yang bersifat mendidik. Fenomena pembelajaran menekankan pentingnya masalah kontekstual untuk memperkenalkan topik-topik matematika kepada siswa. Masalah kontekstual ini dipilih dengan

pertimbangan: (1) aspek kecocokan aplikasi yang harus diantisipasi dalam pengajaran: dan (2) kecocokan dampak dalam proses re-invention, artinya prosedur, aturan atau model matematika yang harus dipelajari oleh siswa tidaklah disediakan dan diajarkan oleh guru, tetapi siswa harus berusaha menemukannya dari masalah kontekstual tersebut. Dan yang lebih penting lagi adalah dalam penelitian terbukti bahwa Prinsip Self developed modelsor emergent models atau pengembangan model sendiri berfungsi menjembatani jurang antara pengetahuan informal dengan pengetahuan formal. Siswa mengembangkan model sendiri sewaktu memecahkan soal-soal kontekstual. (Sumitro, Nopem Kusumaningtyas, 2008:208)

Dengan demikian hasil penelitian ini mendukung hasil penelitian pendahuluan di beberapa negara yang menunjukkan bahwa pembelajaran menggunakan pendekatan realistik, sekurang-kurangnya dapat membuat: matematika menjadi lebih menarik, relevan, dan bermakna, tidak terlalu formal dan tidak terlalu abstrak, mempertimbangkan tingkat kemampuan siswa, menekankan belajar matematika pada “learning by doing”, memfasilitasi penyelesaian masalah matematika dengan tanpa menggunakan penyelesaian (algoritma) yang baku serta menggunakan konteks sebagai titik awal pembelajaran matematika. (Suherman, Erman, 2003:143)

Selain itu, hasil penelitian ini juga mendukung hasil penelitian tentang pembelajaran realistik yang pernah dilakukan di Indonesia Beberapa diantaranya Hasil penelitian yang dilakukan oleh Yuliati. Dalam laporan penelitiannya, Yuliati (Yuliati, Siti Rohmi, 2003:22) menuliskan bahwa pada dasarnya siswa sekolah dasar menganggap pelajaran matematika sangat penting untuk dipelajari dan mengaharapkan guru lebih banyak memberikan contoh dalam kehidupan sehari-hari. Hal ini membuktikan bahwa pembelajaran realistik memang sesuai dengan harapan siswa.

Sedangkan menurut Supriyatin (Supriyatin, Kris Yuda, 2005:39), penerapan pendekatan realistik pada pembelajaran matematika merupakan sutau upaya yang dilakukan guru untuk meningkatkan kemampuan siswa dalam memahami matematika dengan menggunakan dunia nyata (real word) sebagai titik pangkal permulaan. Untuk permulaan pengembangan konsep-konsep dan gagasan

Page 22: PEDAGOGIA - repository.unpak.ac.id · English Phonology adalah salah satu mata kuliah yang dianggap sulit oleh mahasiswa karena mahasiswa diminta untuk menghafalkan teori-teori yang

Pedagogia, Volume 8 Nomor 2 Tahun 2016

397 PENINGKATAN HASIL BELAJAR MATEMATIKA

matematika dalam bentuk masalah-masalah kontekstual pada situasi belajar-mengajar agar pembelajaran bermakna bagi siswa.

Selanjutnya, hasil penelitian yang dilakukan oleh Gunadijaya (Gunadijaya, Padmo, 2007:33) tentang hasil belajar Matematika melalui pendekatan Realistik di kelas III Sekolah Dasar. Hasil penelitiannya menunjukkan bahwa pembelajaran matematika dengan menggunakan pendekatan realistik mampu meningkatkan hasil belajar matematika tentang pemahaman bilangan pecahan. Pendekatan realistik mampu mengubah anggapan umum bahwa matematika merupakan mata pelajaran yang sulit dan sangat tidak menyenangkan bagi siswa, menjadi pelajaran yang menarik dan menyenangkan.

Sementara itu, Herawati (Sholekhah, Herawati, 2009:98) juga melaporkan bahwa pembelajaran matematika dengan PMRI dapat meningkatkan hasil belajar matematika siswa kelas II SD 3 Bantul dengan nilai rata-rata tes hasil belajar siswa pada siklus I adalah 71.96 dan pada siklus II adalah 81.83, sehingga selisihnya adalah 9.87. Tentunya hasil tersebut bukan hanya sekedar meningkatnya angka-angka pada setiap siklus tapi itu membuktikan bahwa siswa sudah mulai menyukai matematika sehingga ia mampu memahami matematika dengan baik yang berujung pada hasil belajar yang meningkat.

SIMPULAN1. Pembelajaran matematika melalui pendekatan

matematika realistik dapat meningkatkan hasil belajar matematika siswa tentang pecahan di kelas IV SDN Cilendek Timur 02 Kota Bogor. Pada siklus I, persentase jumlah siswa yang hasil belajar pecahannya mencapai atau melebih KKM sebanyak 12,5%. Pada siklus II dan III persentasenya meningkat menjadi 56,5% dan 92%.

2. Prinsip penggunaan konteks, dilaksanakan oleh guru dengan memberikan masalah tentang pecahan yang terkait dengan kehidupan sehari-hari siswa sehingga siswa mampu memahami masalah dengan baik.

3. Prinsip penggunaan model, dilaksanakan guru dengan menyediakan alat peraga kue tiruan. Melalui kue tiruan siswa dapat mencari berbagai model penyelesaian masalah.

4. Prinsip pemanfaatan hasil konstruksi siswa, dilakukan pada saat setiap siswa harus melaporkan jawaban kelompoknya. Setelah semua kelompok maju ke depan, siswa menyimpulkan model-model yang dihasilkan oleh semua kelompok yang kemudian diarahkan oleh guru menjadi model-model formal. Melalui aktivitas ini, selain siswa terlatih untuk berbicara di hadapan teman-temannya, juga terlatih untuk menganalisis pendapat-pendapat temannya, sehingga mampu membuat sebuah kesimpulan.

5. Prinsip interaktivitas muncul ketika guru mengkondisikan pembelajaran dalam bentuk kelompok, sehingga terjadi interaktivitas, baik siswa dengan kelompoknya, siswa dengan kelompok lain, maupun siswa dengan guru. Interaksi memungkinkan siswa memiliki banyak informasi yang akan menambah pengetahuan mereka.

6. Prinsip keterkaitan dilaksanakan guru dengan mengarahkan siswa pada saat menyelesaikan masalah untuk mengaitkan masalah dengan konsep matematika lain yang telah mereka ketahui dan dengankehidupan sehari-hari. Hal ini berakibat positif terhadap kemampuan siswa dalam menyelesaikan masalah. Dengan mengaitkan pembelajaran dengan konsep lain dan dengan kehidupan sehari-hari siswa menjadi lebih mudah dalam mendapatkan penyelesaian masalah.

7. Prinsip bimbingan dilaksanakan guru dengan senantiasa membimbing siswa dari mulai kegiatan pendahuluan sampai kegiatan penutup. Bimbingan dilakukan sampai siswa mendapatkan penyelesaian atas masalah yang diberikan. Bimbingan dari guru memungkinkan siswa terhindar dari rasa bosan. Sebaliknya dengan bimbingan dari guru siswa memiliki motivasi yang tinggi dalam menyelesaikan masalah

DAFTAR PUSTAKADahar, Ratna Wilis. 2011.Teori-Teori Belajar &

Pembelajaran. Jakarta: ErlanggaDornyei, Zoltan. 2001. Motivational Strategies In

The Language Classroom. USA: Cambridge University Press

Fauzan,Ahmad. 2000. Applying realistic mathematics education (rme) in teaching

Page 23: PEDAGOGIA - repository.unpak.ac.id · English Phonology adalah salah satu mata kuliah yang dianggap sulit oleh mahasiswa karena mahasiswa diminta untuk menghafalkan teori-teori yang

Pedagogia, Volume 8 Nomor 2 Tahun 2016

398PENINGKATAN HASIL BELAJAR MATEMATIKA

geometry in indonesian primary schools. Dutch: Print Partners Ipskamp

Gunadijaya, Padmo “Peningkatan Hasil Belajar Matematika dalam Pemahaman Bilangan Pecahan Melalui Pendekatan Realistik di Kelas III SDN Gedong 01 Pagi Pasar Rebo”. Jakarta Timur, Skripsi. Jakarta:FIP UNJ: 2007

Sholekhah, Herawati. “Meningkatkan Hasil Belajar Matematika dengan Pendidikan Matematika Realistik Indonesia kelas II SD 3 Bantul” Bantul, Yogyakarta, Skripsi. Yogyakarta: FST UIN Sunankalijaga:2009.

Suherman, Erman dkk. 2003. Strategi Pembelajaran Matematika Kontemporer. Bandung: Jurusan Pendidikan Matematika, FPMIPA, UPI:.

Sumitro, Nopem Kusumaningtyas. “Pembelajaran Matematika Realistik Untuk Pokok Bahasan Kesebangunan Di Kelas III SMP Negeri 3 Porong”. Paradigma, Tahun XIII, No.25, Januari-Juni 2008.

Suwangsih. E, Tiurlina. 2006. Model Pembelajaran Matematika SD. Bandung: UPI PRESS

Wijaya, Ariyadi. 2012. Pendidikan Matematika Realistik Suatu Alternatif Pendekatan Pembelajaran Matematika. Yogyakarta: Graha Ilmu.

Yuliati, Siti Rohmi. “Matematika SD yang Dikehendaki Guru, Murid dan Orang tua, “Laporan Penelitian (Jakarta:LPM UNJ-Pemda DKI, 2003).

PENULISRatih Purnamasari, M.Pd, Dosen Program Studi Pendidikan Guru Sekolah Dasar, FKIP Universitas Pakuan

Page 24: PEDAGOGIA - repository.unpak.ac.id · English Phonology adalah salah satu mata kuliah yang dianggap sulit oleh mahasiswa karena mahasiswa diminta untuk menghafalkan teori-teori yang

Pedagogia, Volume 8 Nomor 2 Tahun 2016

399 TEACHING SPEAKING TO YOUNG LEARNERS

TEACHING SPEAKING TO YOUNG LEARNERS THROUGH STORYTELLING: A CASE STUDY AT PRIMARY SCHOOL

Asih Wahyuni1*

A Lecturer of English Education Study Program, FKIP Universitas Pakuan *Correspondence: [email protected]

ABSTRACTRecently, many primary schools in Indonesia have focused their English language teaching mainly on the students’ ability to speak in English. The primary schools provide students with storytelling which promote their speaking ability. This research aims to portray the storytelling activity in the teaching of speaking that the teacher conducted involving primary school students and to find out the ways how the teacher sets up each of those activities. This study was conducted at one International Primary School in Bandung. The participants of this study were one teacher and the students at the primary 1 up to primary 4 consisting of 44 students. This study employed a case study design. Three instrumentations were used to gain data. The data were analyzed qualitatively in accordance with the two research questions. The validation of the data was conducted through triangulation. The findings revealed that the teacher applied storytelling in the teaching of speaking to the primary schools students (classes 1 up to 4). In conducting the classroom activities, the teacher has provided meaningful and purposeful activities which have followed the three dimensions of learning a target language. The activities to some extent were relevant to young learners’ learning characteristics and their constructed knowledge. Moreover, the research showed that the teacher organized the classroom activities through 1) teaching a class as a whole, 2) organizing group work and 3) organizing oral performance. In organizing the classroom activities, the teacher has promoted the students’ ability to communicate their ideas and thought in English.

Keywords: classroom activities, teacher’s strategies, storytelling

ABSTRAKSekolah-sekolah dasar di Indonesia telah memfokuskan pengajaran bahasa Inggris dengan menitikberatkan pada kemampuan para siswa untuk dapat berkomunikasi. Pihak Sekolah menyelenggarakan aktivitas kelas yang memperkembangkan kemampuan berbicara siswa melalui storytelling. Penelitian ini bertujuan untuk mengambarkan aplikasi storytelling yang diselenggarakan oleh guru dalam pengajaran berbicara kepada para murid sekolah dasar dan untuk menginvestigasi bagaimana cara guru mengorganisasi aktivitas tersebut. Penelitian ini telah dilaksanakan di satu Sekolah Dasar berstandar Internasional di Bandung. Partisipan dari penelitian ini adalah seorang guru bahasa Inggris dan murid kelas 1 sampai kelas 4 yang berjumlah 44 siswa. Peneitian ini menggunkan desain studi kasus dan menggunakan 3 (tiga) instrument pengumpulan data. Data dalam penelitian ini di analisis secara kualitatif dan kuantitatif untuk menjawab 2 (dua) pertanyaan penelitian. Validasi dalam penelitian ini telah menggunakan trianggulasi. Hasil penelitian menyatakan bahwa guru mengaplikasikan storytelling dalam pengajaran berbicara kepada anak-anak. Dalam menyelenggarakan storytelling di kelas, guru telah menyediakan aktivitas yang berdaya guna dan berdaya nilai yang telah berkorelasi terhadap tiga dimensi pengajaran bahasa. Aktivitas tersebut, sejauh ini, telah berelevansi terhadap karakteristik anak dalam belajar bahasa dan berkesesuaian terhadap tingkat keberpengetahuan anak. Lebih lanjut, hasil penelitian menunjukkan bahwa guru mengorganisasi kelas aktivitas melalui 1) teaching a class as a whole, 2) organising group work, dan 4) work organising oral performance. Dalam mengorganisasikan kelas aktivitas tersebut di atas, guru telah memperkembangkan kemampuan berbicara siswa untuk mengkomunikasikan buah piker dan ide-ide meraka dalam bahasa Inggris.

Kata kunci: aktivitas dalam kelas, strategi guru, story telling

Page 25: PEDAGOGIA - repository.unpak.ac.id · English Phonology adalah salah satu mata kuliah yang dianggap sulit oleh mahasiswa karena mahasiswa diminta untuk menghafalkan teori-teori yang

Pedagogia, Volume 8 Nomor 2 Tahun 2016

400TEACHING SPEAKING TO YOUNG LEARNERS

BACKGROUND OF THE STUDYLearning to speak English fluently is

one of the greatest challenges for young learners. For young learners, having the ability to speak in English is the main concern of their English learning (Pinter, 2006). They tend to measure their speaking capability by their fluency when they can speak with their friends or their teacher in English. Likewise, young learners interaction through verbal communication with others are considered by most teachers as an indicator of the success in learning speaking of English. Consequently, in many countries, the teaching of speaking to young learners is mainly intended to encourage the primary students to be able to communicate instantly with others on the basis of their constructed knowledge (Brewster, et.al, 2003:8). It indicates that there is the teaching of speaking to young learners arisen. There, many primary schools in Indonesia provide their students with classroom activities which promote their speaking ability.

Conducting meaningful and purposeful classroom activities in the teaching of speaking to young learners has in-depth discussion among young learner practitioners. Brewster et.al (2003:98), for instance, acknowledge that primary teacher can do this by using a wide kind of activities that actively support students’ understanding and guide their intention to specific parts of the spoken text. This could include the use of suitable activity-teaching techniques, for instance, games, role-play, storytelling and so forth (Scott and Ytreberg, 1990). Fortunately, the government also support this idea with the realese of government decree number 24 year of 2006. In the decree it is stated that the main concern of speaking competence standard for elementary school students is students’ proficiency in English language use. It covers students’ ability in uttering short phrase and sentence in simple ways (www.kemdiknas.go.id). From the decree above, it can be concluded that the teaching of speaking to primary student is intended to facilitate students to get a lot of speaking activities which are relevant to their constructed knowledge. Thus, accomplished English teacher for young learners should know how to facilitate children learn speaking of English (Musthafa, 2010).

Moreover, as regards on the dimensions of learning English for young learners, English

teacher for young learners should also consider three dimensions of learning a target language. The dimensions cover children should have a great deal of exposure to, engagement in and support for the language they are learning (Musthafa, 2010). Therefore, if the learning speaking of English is to be as effective as expected, accomplished English teacher for young learners should know how to facilitate how students learn speaking of English (Musthafa, 2010). This thought leads to a verdict on the use of meaningful and purposeful classroom activity that plays an essential role in the teaching of speaking to young learners. Thus, this study is focused to get a picture of the teaching of speaking at primary school through storytelling. In addition, this study portrays how the teacher organises the classroom activity conducted. Hopefully the finding of this study will provide possible information for the practical use of storytelling in the teaching of speaking to young learners.

METHODOLOGYAs indicated explicitly in introduction, this

study employed qualitative approach (Thomas, 2003). The approach was employed to portray the teaching activity through storytelling and the ways of the activity was organised. In terms of its covered, this study used a case study (Meriam, 1998) since the study was bounded on site and participant, covering one International Primary School and one primary English teacher. Thus, this case study was related to what being investigated in the present study to portray the storytelling activity conducted by the teacher in the teaching of speaking to you learners and investigate the teacher’s strategies in conducting the activity holistically (Yin, 2011).

This study was conducted at one International Primary School in Bandung. The reasons of selecting this school were ELT practices and accessibility. Regarding the ELT practices, this was a primary school in where the school has introduced the teaching of speaking to young learners since year of 2007. Since the school began its teaching-learning in the year 2007, consequently, it has just four grades of student level (namely primary 1, primary 2, primary 3 and primary 4). Additionally, the school was chosen as the research site since the school made a feasibility of conducting this study there. The school welcomed the study. The school has also

Page 26: PEDAGOGIA - repository.unpak.ac.id · English Phonology adalah salah satu mata kuliah yang dianggap sulit oleh mahasiswa karena mahasiswa diminta untuk menghafalkan teori-teori yang

Pedagogia, Volume 8 Nomor 2 Tahun 2016

401 TEACHING SPEAKING TO YOUNG LEARNERS

built a good rapport with researcher before, during and after the study. Thus, the data could be gathered easily (Alwasilah, 2000).

This school is named “International” since it uses International curriculum in addition to the national one. It joins the Cambridge University Curriculum Singapore in terms of teaching and learning module. Likewise, this school is like other private primary schools in Indonesia. It adopts the government curriculum, which allows the school to have English as a local content or extra curriculum study. According to the Head of Planning and Standardisation Affairs, this school provided speaking as a separated subject for the students, because of the need of the students’ potential. This idea comes from the school experience base when it was conducting the teaching of speaking to the students. The school acknowledged that the most students who have ability to speak English start learning speaking from the early age. Thus, this school attempted to provide teaching and learning speaking beginning from the first grade.

Moreover, to promote the effective language learning, there was English as a part of the school vision and mission. The school also has vision and mission that the teaching English is intended to reveal English oriented towards quality, effectiveness and with characteristic dignity which refers to the National Education Department. Thus, the students would have a secure environment to use English in activities. The students could have a field trip study, an English competition such as spelling bee, mini-drama, and so forth. There are also many facilities to promote the students in learning speaking, such as storybooks, computer, internet, in-focus and teaching aids.

The participants of this study were one English teacher and students of four classes (namely primary 1, primary 2, primary 3 and primary 4). The reasons for choosing these participants were that 1) the teacher has applied teaching speaking to young learners for years, besides that 2) she was just the one teacher who taught speaking at those four classes, and 3) the students of four classes are students who have been taught by the teacher. Therefore, the participants may represent area of this study (Holliday, 2005).

The data for this study were gathered through three instruments, including classroom observations,

documentations and interviews with the teacher. The following are the discussion.

Classroom ObservationThe classroom observations were conducted

to investigate out the story telling activity in the teaching of speaking to young learners. It was also intended to find out the ways of the teacher organised the activity throughout the teaching. The classroom observations were conducted over a period of 12 meetings during April to May 2011 for the entire four classes. The first class of thirteen children namely primary 1 (four boys and nine girls) was observed from the beginning April to the middle of May and it was in three-time observations. The second class of ten children namely primary 2 (two boys and nine girls) was observed from the beginning April to the end of May and it was in three-time observations. The third class of twelve children namely primary 3 (five boys and seven girls) was observed from the beginning April to the end of Maya and it was in three-time observations. And, the fourth class of nine children namely primary 4 (six boys and three girls) was observed from the beginning April to the end of May and it was in three-time of observations.

The observations were conducted directly to the classroom activities. It aimed to observe that the researcher can notice directly the process of teaching and learning during the classroom activities (Brewster et.al, 2003). These observations were carried out by the researcher herself and were recorded by a video camera. It aimed to record the teacher and students’ interaction briefly. Additionally, in these observations, the researcher acted out as a passive participant observer who did not intervene the teaching and learning process. As means, the processes of teaching and learning were not manipulated.

Furthermore, to enrich data from observations, observation sheets were used as long as classroom observation. In order to get in depth description on several characteristics or activities presented to the subjects of this study, this study used a self-checklist type in collecting data as suggested by Brewster et.al (2003). In terms of the self-checklist which used, this study adopted and adapted the instrument of observation on the teacher’s ability in conducting the teaching and learning process. This sheet has been widely used

Page 27: PEDAGOGIA - repository.unpak.ac.id · English Phonology adalah salah satu mata kuliah yang dianggap sulit oleh mahasiswa karena mahasiswa diminta untuk menghafalkan teori-teori yang

Pedagogia, Volume 8 Nomor 2 Tahun 2016

402TEACHING SPEAKING TO YOUNG LEARNERS

since then in simulating on micro teaching task on the learning and teaching course in the English Education Department of Indonesia University of Education years 2010/2011. It covered about what has been heard, seen, experienced, and thought in the course of collecting and reflecting the data (Fraenkel and Wallen, 2007).

DocumentationsDocumentations stand in this study as an

encapsulated example of how does the teacher conduct and complete a form of classroom practice through storytelling. In terms of documentations gained in this study, this study analysed the lesson plans, teaching media (worksheet and materials). Further, these were employed to identify the relation of source of media on the teaching and learning process towards classroom speaking activity through. These sources were periphery which will be matched with observations and also became an essential part of triangulation data (Cresswell and Clark, 2007).

InterviewsThese interviews were conducted in order to

support the data gathering related to the storytelling in the teaching of speaking to young learners. The interviews were employed to identify what activities and strategies that the teacher applied during the teaching-learning speaking to young learners through storytelling. The open-ended interviews were applied in this study to gain supporting data. The interviews had done through recording. The processes of recording used recorder. The interviews were employed in formally and informally. The formal interview was in the form of semi-structured questions at the end of the research. On the other hands the informal interviews were taken for 12 times after the class sessions in which these interviews had formed several ongoing interviews within the observations. The ongoing interviews were intended to investigate the teacher’s aim in implementing particular instructional events dealing with the classroom activities in the teaching of speaking. These ongoing interviews were kinds of helpfulness as the teacher’s answers on the ongoing interviews assisted the researcher with the answer for two research questions for this study. Particularly, these interviews were conducted dealt with the actual

practices teacher did, for instance when the teacher applied such an instruction regarding her students grade. In sum, the results of the interviews were conducted to crosscheck the other data revealed. Finally, the data collection, then, were transcribed as the data for analysis (Creswell, 1994).

Having gathered data through three instrumentations, therefore, there were three groups of data collected in this study; group data from observations, teaching documents, and interviews. The data, further, were analyzed using mixed method data analysis to address the two research questions. Overall, this study applied six activities for data analyses. To address the two research questions which stated in Chapter I, these activities involved transcribing the video, coding the data, categorizing the data, presenting the data, interpreting the data and making the conclusion. What follows are discussions on the stages of data analyses.

Firstly, the data result from classroom observations were transcribed and analyzed. In so doing, teacher instructions and her behaviours were analyzed to potray the storytelling activities, strategies, material or media selection that the teacher employed throughout the classroom practices. Then, the data were categorized to and interpreted to answer the two research questions. After analyzing the storytelling applied in the teaching of speaking for each class, the findings were analysed to find out the relevance of each step with the theories as discussed in Chapter II, such as the theories of classroom activities, young learners’ learning characteristic and their constructed knowledge, teacher’s strategies in the teaching of speaking and so forth. Furthermore, the documentations collected were analysed. The reliable documentations of this study were lesson plan/teaching scenario, teaching materials/media, teacher comments and report to the students’ achievement. This study intended those documentations to see how the activities and strategies of teaching, and media selection used for the classroom activities in teaching of speaking to young learners. Then, the documentations were analyzed by using content analysis as proposed by Merriam (1998:116). This analysis covered three activities. Firstly, the data from the documentations were described on the content of documents. Then, it led the researcher to code the data and interpret the finding of data collection based on the theory.

Page 28: PEDAGOGIA - repository.unpak.ac.id · English Phonology adalah salah satu mata kuliah yang dianggap sulit oleh mahasiswa karena mahasiswa diminta untuk menghafalkan teori-teori yang

Pedagogia, Volume 8 Nomor 2 Tahun 2016

403 TEACHING SPEAKING TO YOUNG LEARNERS

Furthermore, the data from interviews were also transcribed. Then, it also constructed an interview summary form. This form covered practical details about the time and details about the content emerging theme which covered the kinds of classroom activities the teacher conducted and the teaching strategies the teacher applied in the teaching of speaking to young learners.

Overall, the data findings were analyzed based on the theories which reviewed in this study. Additionally, in this study, the data collection and analysis took place simultaneously. The researcher carried out data analyses as the research progresses, it was needed to interpret the data so that it could gain an understanding of what is going on and get visual details on the data collected. Further, these data analyses were presented in a condensed body of information. And then, summing up and recommendations were conducted as the last data analysis stages.

Subsequently, regarding the belief that conclusions about an object are more valid if the results of different analyses support one another, this study used data triangulation. The triangulation was employed in order to enhance the validity of the data obtained in each technique and to build a system of interconnected data between three different instrument aspects of same thing.

In brief, the methodology which described above blend the theories from Alwirght (1988), Cresswell (1994), Merriam (1998), Alwasilah (2000), Brewster et.al (2003), Holliday (2005), Frankael and Wallen (2007), Cresswell and Clark (2007), Knight and Smith (XX), Meier and Henderson (2007), Emilia (2008), Schunk (2009), Heighem and Crocker (2009), Richards (2010), Dawson (2009), Yin (2011).

RESULT AND DISCUSSIONAs discussed in the theory covered,

storytelling is a kind of classroom activity that can be conducted by a teacher in the teaching of speaking. In this study, it could be seen that the teacher conducted storytelling in the teaching of speaking for the primary 1 (25%), primary 2 (50%) and primary 4 (25%). In implementing the storytelling in these three classes, the teacher employed two types of leaning, including the teacher told the students a story and the teacher asked the students to tell her

about their story.Regarding the data from observation, for

instance, concerning the storytelling activity for the primary 1, it could be seen the teacher told a simple story within the teaching of speaking. The teacher conducted the storytelling to expose some language usage in context. It could also be inferred from the data that the teacher provided students a lot of speaking engagement through storytelling. The activity seemed bring enjoyable and meaningful activities for students while they were learning language usage in context. The excerpt following illustrates the discussion above.

T : “Primary One, Ms. Nicole is going to read a story about pet. Sit down properly ya!”.

(T pauses the teaching instruction and starts the story)

T : “Sam, the Cat. Jill has a brown cat. Her cat name is Sam.

“Do you have pets?” (T pauses the story and has a question as regards with the topic)

S1 : “Ya, cat, Ms. I have cat, Ms.” (T is miming cat at students during the story)

T : “woow, you have a cat, Edry? Mioww (T produces cat’s sound effect)

Ss : “Mioooow” (Ss imitates the teacher in producing cat’s sound effect)

S1 : “Ya, I have a cat”(Observation#Primary1)

The data from the excerpt above shows that the teacher taught language usage through storytelling. By exposing the clause ‘Jill has a brown cat’, the teacher taught grammar, particularly the use of verb possession ‘has’, in context and in meaningful way. Such treatment, as stated by Gass and Selinker (2008), is suggested in the pace of children learning English since teaching grammar in subconscious way facilitate children internalise the language pattern in use. It, therefore, gives students example of words use. It is also relevant with Wright’s proposition (1995:6-8) that stories might be used to introduce basic vocabulary such as family, animals, food, and so on. In addition, in telling the stories the teacher used mimes and sound effect to emphasise some vocabularies. Such treatment, as stated by Cameron (2001), helps the students developing meaning of word since the teacher involved students learning words through the

Page 29: PEDAGOGIA - repository.unpak.ac.id · English Phonology adalah salah satu mata kuliah yang dianggap sulit oleh mahasiswa karena mahasiswa diminta untuk menghafalkan teori-teori yang

Pedagogia, Volume 8 Nomor 2 Tahun 2016

404TEACHING SPEAKING TO YOUNG LEARNERS

concept of syntagmatic association. It could also be seen that the teacher asked a question at the beginning story time. Therefore, in terms of addressing an interaction question from the beginning lesson, it seemed the teacher has followed the suggestion by Musthafa (2010) regarding his dimension of learning a language –engagement principle.

However, there were different instructional events deals with conducting storytelling activity in the teaching of speaking for primary 2 and primary 4. For the two classes, the teacher asked the students to tell their own stories. For instance, for the primary 2, the teacher asked students to tell a dream they had. The students were asked to tell the worst or best dream of each one. It can be shown in the excerpt below:

T : “Have you ever had dream at a night time?”Ss : “Yes, bad dream.. good dream.”Ss : “I have Ms.. I have.. bad dream.. good dream”.T : “Ok, I’m going to take you in circle, in turn to

talk about your dream. Ok, Reyhan, you first. Can you tell me about your dream.”

(Observation#Primary2)

From the data above, it could be seen that the teacher provided the student with learning experience dealing with how to convey their thought, idea and feeling through story. Such treatment is categorized by Wright (1995:21) as area fluency since students in the activity were encouraged to attempt to express their ideas and experiences even if they can only use single words or short phrases. It is also relevant to the dimension of learning as proposed by Musthafa (2010) who states that children learning a language need a lot of speaking engagement in the class so they will get language experience. It leads to a conclusion that the storytelling is compatible with young learner’s characteristics in which children learn from direct experience (Scott and Ytreberg, 1990; Wright, 1995; Brewster et.al, 2003; Paul, 2003; Musthafa, 2008).

As illustrated as above, the data from documentary also revealed that the teacher used storytelling as a kind of classroom activity in the teaching of speaking. The data revealed also that the teacher conducted the storytelling for several objectives, for instance, ‘Students will become more fluent by ever increasing their range of active

vocabulary’ (see Appendix 5). Such objective, as stated by Wright (1993) and Cameron (2001), provides important position to help students understand and further develop their vocabularies through the activity. Such objective is also suggested by Brown (2001:149-151) who mentioned that lesson plan should contain goals and a list of objective that should be achieved by the students at the end of the lesson. Making a good planning is important in the teaching activity (Moon, 2009) as the teacher will enable an effective classroom takes place.

Likewise, the data from interview also supports the discussion from the two data above. The data from teacher’s interview infers that the teacher used the storytelling on the teaching of speaking. The following excerpt can be seen as evidence to the discussion above.

Actually I like to do some activities in my classes. Sometimes, .... telling a story. Of course, I did those activities with put consideration on their class level and their characteristics as language learner.

(Interview#5)

From the teacher’s answer above, it can be inferred that the teacher was knowledgeable enough about classroom activity in the teaching of speaking to young learners. It also can be seen that the teacher corresponded the activity with the students’ characteristic and their class level. Concerning the children’s characteristic, such activity is in line with some scholars who propose that proposing suitable classroom activities are required for the effective teaching of speaking to young learners (Scott and Ytreberg, 1990; Reiser and Dick, 1996; Pinter, 2006; Suyanto, 2006; Musthafa, 2008). Thus, it can be concluded that the use of storytelling in the teaching of speaking is relevant to the ELT for young learner principle as discussed by many experts.

This result has discussed the storytelling activities which were conducted by the teacher in the teaching of speaking. The findings revealed that the storytelling activity was relevant to the young learners’ learning characteristic and their constructed knowledge. It leads to a verdict of an appropriate classroom activity in the teaching of speaking to young learners. Moreover, based on the findings; the teacher, in this study, seemed to follow

Page 30: PEDAGOGIA - repository.unpak.ac.id · English Phonology adalah salah satu mata kuliah yang dianggap sulit oleh mahasiswa karena mahasiswa diminta untuk menghafalkan teori-teori yang

Pedagogia, Volume 8 Nomor 2 Tahun 2016

405 TEACHING SPEAKING TO YOUNG LEARNERS

the two dimensions of children learning language while she was conducting the storytelling activity. The two dimensions are exposure to and engagement in the language students are learning. It escorts to the conclusion that the storytelling activity was conducted by the teacher in the teaching of speaking to the primary students in this school.

The following illustrates how storytelling activity was organised by the teacher during the teaching of speaking. In the storytelling activity, the teacher organised story telling activities through two strategies, which are: teaching a class as a whole and organising oral performance.

Teaching a Class as WholeHaving observed over a period 12 meetings,

the teacher applied whole class teaching for several purposes. The purposes are 1) giving explanations and instruction, 2) managing activities, and 3) getting students in the lesson.

In term of giving explanations and instruction and managing activities, the data from observation indicated that the strategies applied at the beginning, mid- and closing of the activities. In this case, throughout the storytelling, the teacher performed the strategies in informing the activity students will do. As examples, the following except presents what the teacher said in applying a whole-class teaching at the beginning lesson and at the mid-activity.

T: “Primary One, Ms. Nicole is going to read a story about pet. Sit down properly ya!”.

(Observation#Primary1)

T: “Ok, I’m going to take you in circle, in turn to talk about your dream.

(Observation#Primary2)

The excerpt above reveals that teacher applied teaching a class as a whole to introduce the lesson (Harmer, 2007; Musthafa, 2008) and to manage students’ behaviour (Scott and Ytreberg, 1990, Brester et.al, 2003). In this case, to manage students’ behaviour teacher organised students’ seating arrangement. She asked the students sit on the chair around her. This strategy is appropriate to provide support for students’ learning since having pupils sit on their chair around the teacher, teacher has a sure that students can see her and the

illustrations and can hear it clearly (Wright, 1995; Brewster et.al, 2003; Gebhard, 2006; Harmer, 2007). It leads to a conclusion that the teacher used teaching a class as a whole to set up the activity.

Moreover, in term of getting student’s attention to the stories, the data form observation also indicates that the teacher applied teaching a class as a whole. The following excerpt shows how the teacher drove her students’ intention to the story. The teacher read a story entitled ‘Sam, the Cat’

T : “Sam, the Cat. Jill has a brown cat. Her cat’s name is Sam.

“Do you have pets?” (T pauses the story and has a question as regards with the topic)

S1 : “Ya, cat, Ms. I have cat, Ms.”T : “woow, you have a cat, Edry? MiowwwwSs : “Mioooow”

(Observation#Primary1)

What the teacher did in this part made the students get intention to the lesson. The extract above shows that by pausing and looking at students and then adjusting a question, the students become subconscious that the teacher was gaining their intention. It is suitable to be employed in the young learner classes since asking question gives further support for pupils’ understanding to relate what they hear to what they have in their real-life (Brewster et. al, 2003:196). This thought is in line with Musthafa (2008) who states that children learn best through direct experience. The experience plays essential role in children growth where they can relate what they hear to what they have in their home. Additionally, having applied teaching a class as a whole in the opening stage, it seemed that the teacher is following the suggestion from Gebhard (1996) and Harmer (2007) regarding the setting up activity premise.

Moreover, in terms of the influence of applying teaching a class as a whole, from the researcher’s note, the pupils looked to pay interest and enjoy to the story during teacher was applying such strategy. What follow is a note from the researcher’s note illustrates the discussion above.

Throughout telling story, the students pay attention to the story time. The students respond by answering what the teacher asks, for instance: “Ya, cat, Ms. I have cat, Ms”, “miooooow”. (Fieldnote#Primary1)

Page 31: PEDAGOGIA - repository.unpak.ac.id · English Phonology adalah salah satu mata kuliah yang dianggap sulit oleh mahasiswa karena mahasiswa diminta untuk menghafalkan teori-teori yang

Pedagogia, Volume 8 Nomor 2 Tahun 2016

406TEACHING SPEAKING TO YOUNG LEARNERS

According to Scott and Ytreberg’ (1990) proposition, whole class teaching provides secure environment for children to talk and to share what they felt and thought. It can be seen that the data above approves what Scott and Ytreberg stated. It is also in line with Musthafa (2008) who affirms that a whole class activity is suitable for young learners since it provide an activity in which all students are doing the same thing at the same time. It also leads to a conclusion that the teacher took part as model (Musthafa, 2008) and facilitator during the activity.

Organising Oral PerformanceAs regards with the second strategy teacher

used, it can be seen that the teacher set up the storytelling through organising oral performance. Through this strategy, the teacher asked students to perform a simple story they had. It was found on the teaching of speaking through storytelling to the primary 2 and primary 4. The following excerpt is an example to the discussion above.

T : ...... Ok, Reyhan, you first. Can you tell me about your dream.”

(Ss make a lot of noise) T : “Everybody listen to Reyhan tells about his

dream.” (Reyhan starts his story)S1 : “I have a bad dream. When, I look at the

window. There is a woman. Face is (giving sacary mimes)

T : “with scary face?” (T scaffolds Reyhan)S1 : “Yaa.. And I ....”T : “Screamed?”S1 : “Ya and then I felt down.”T : “Ooh..very scary dream, I think..... : ...... Now Hera, your next. Everybody listen

to Hera” (Hera gets her line) S2 : “Yaa. I have dream.”T : “Ya. You had a dream?”S2 : “I cook with my big family. When I cook I

see celebrity, beautiful celebrity come to my home.

T : “What’s the celebrity name?”S2 : “I don’t know”T : “Ooh. You didn’t ask the name of the

celebrity?”S2 : “Ya.. i don’t ask. And she cook with my

family. I cook with celebrity many foodT : “Wow, that’s a great dream”S2 : “And then when I cook with celebrity, my

sister weak up and it’s finish.”T : “Ooooooh...”S1 : “I got a question. What food did you cook?”T : “Ohh, wonderful question”S2 : “many”T : “Hmm, many kinds of food?”S2 : “Ya, many kinds”S3 : “I got question too. Where does you cook?”

(Mia also asks question to Hera)T : “Where did you cook?”S2 : “Yes, in Garut”.T : “In Garut?”S2 : “yes”T : “wonderful. Thank you Hera”

(Observation#Primary2)

From the excerpt, it can be seen that the students seem enthusiast to perform their story as they used their face to mime what they talked. From their performance of using miming and their body language, it seems that they were enthusiastic to tell their story. The excerpt also shows that they ignored the errors they made. It indicates that the strategy teacher used made the students had experience to use language which might be best showed through the activity like storytelling. It is in line with Kayi (2006) who stated that teacher providing time for students telling their own story will stimulate them to convey their thought since children love telling stories (Wright, 1993; Paul, 2003; Suyanto, 2008; Musthafa, 2008).

The case that the teacher applied teaching a class as whole and organising oral performance implies that she set up the activity to motivate children in learning. What the teacher did in this activity is also supported with the data from interview. The following extract is what the teacher said when she was asked about the strategy in organising the storytelling activity.

Usually, I organized the whole class to get them involving in the lesson. In storytelling, I usually asked them to tell their own story to the class, and then I told a simple story for them, while telling a simple story I did also a question-answer activity.

(Interview#11)

Page 32: PEDAGOGIA - repository.unpak.ac.id · English Phonology adalah salah satu mata kuliah yang dianggap sulit oleh mahasiswa karena mahasiswa diminta untuk menghafalkan teori-teori yang

Pedagogia, Volume 8 Nomor 2 Tahun 2016

407 TEACHING SPEAKING TO YOUNG LEARNERS

From the extract above, it can be inferred that the teacher attempted to give purposeful activity for the students. It can be implied that she corresponded the teaching strategies to the teaching principles since each of the strategy provides certain objective such to organize pupils to speak to and to interact with their friends and teacher in classroom and other speaker of the language about their lives or their world (Pinter, 2006:56).

BIBLIOGRAPHYAllwright, D. (1988). Observation in the Language

Classroom. London and New York: Longman.Alwasilah, A. C.. (2000). Pokoknya Kualitatif.

Jakarta: Pustaka Jaya.Brewster, J., Ellis, G., and Girard, D. (2003). The

Primary English Teacher’s Guide. England: Penguin English.

Creswell, J. W. (1994). Research Design: Qualitative & Quantitative Approaches. London: Sage Publications.

Creswell, J. W., and Clark, Vicki L Piano. (2007). Designing and Conducting Mixed Methods Research. US: Sage Publications, Inc.

Dawson, C. (2009). Introduction to Research Methods: A Practical Guide for Anyone Undertaking a Research Project. United Kingdom: How To Books Ltd.

Emilia, E. (2008). Menulis Tesis dan Disertasi. Bandung: CV. Alfabeta.

Fraenkel and Wallen. (2007). How to Design and Evaluate Research in Education. Singapore: McGraw-Hill.

Heigham, J., Crocker, A. R. (2009). Qualitative Research in Applied Linguistics. London: Palgrave Macmilan.

Holliday, A. (2005). Doing and Writing Qualitative Research. London: Sage Publication Ltd.

Knight, S. L and Smith, R. G. (XX). Observational Research in U.S Classrooms. Cambridge.

Meier, D. R. & Henderson, B. (2007). Learning from Young Children in the Classroom: The Art and Science of Teacher Researcher. New York and London: Teacher Collage Press.

Meriam, S. B. (1998). Qualitative Research and Case Study Applications in Education. San Fransisco: Jossey-Bass Inc.

Musthafa, B. (2008). Teaching English to Young Learners: Principles and Techniques. Bandung: UPI.

Musthafa, B. (2010). Teaching English to Young Learners in Indonesia: Essential Requirements. EDUCATIONIST, Vol. IV No. 2 Juli 2010: 120-125.

Pinter, A. (2006). Teaching Young Language Learners. NY: Oxford University Press.

Schunk, D. H. (2009). Learning Theories: An Educational Perspective. Fifth Edition. London: Pearson Education LTD.

Thomas, R. M. (2003). Blending Qualitative & Quantitative Research Methods in Theses and Dissertations. California: Corwin Press, Inc.

Yin, R. K. (2011). Qualitative Research from Start to Finish. New York: The Guilford Press.

Page 33: PEDAGOGIA - repository.unpak.ac.id · English Phonology adalah salah satu mata kuliah yang dianggap sulit oleh mahasiswa karena mahasiswa diminta untuk menghafalkan teori-teori yang

Pedagogia, Volume 8 Nomor 2 Tahun 2016

408PENGEMBANGAN KEMAMPUAN MENULIS

PENGEMBANGAN KEMAMPUAN MENULIS MELALUI TEKNIK COPY THE MASTER

Resyi Abdul Gani1, Rina Rosdiana2

1Dosen Program Studi PGSD FKIP Universitas Pakuan2Dosen Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesis FKIP Universitas Pakuan

ABSTRAKUntuk mengetahui hasil belajar dan aktivitas siswa serta proses pembelajaran yang baik diperlukan pemilihan teknik pembelajaran yang dipandang tepat, maka dilakukanlah pengembangan pembelajaran dengan penggunaan teknik copy the master untuk mahasiswa semester V Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia. Data yang diperoleh dianalisis secara deskriptif kualitatif. Hasil pembelajaran pada materi mengenai penulisan karangan deskripsi ekspositoris menunjukkan perolehan hasil belajar yang baik yaitu 75, 45 %. Pada pembelajaran dengan materi penulisan karangan deskripsi impresionistik rata-rata hasil belajar 79,13 %. Selain itu, data penggunaan bahasa yang memanfaatkan penggunaan majas dan dan pengimajian 100 % menggunakan pencitraan. Presentasi penggunaan pencitraan yang paling kuat adalah penglihatan 100 %. Pendengaran 50 %, peraba 50 % perasa 65 %, penciuman 50 %, hal tersebut menunjukkan pula kemampuan penulisan deskripsi sudah memanfaatkan penggunaan bahasa yang dapat memperkuat tulisan berupa karangan deskripsi tersebut. Hal lainnya lagi adalah kesesuaian tulisan dengan model yang dipilih sudah menampakkan tulisan yang secara struktur, konsep dan gaya penyajian sudah relevan dengan model yang dipilih. Hasil belajar ini berkorelasi pula dengan data dari hasil angket dan wawancara. Respon positif mahasiswa dalam pembelajaran menunjukkan 100 % mahasiswa tertarik, mudah mengerti, termotivasi, mendorong kerja sama, tanggung jawab dan mandiri, media yang digunakan menarik, serta pembelajaran menyenangkan. Sementara itu 95,65 % bahan ajar mudah dipahami dan evaluasi sesuai, LKM pun dapat menstimulasi pembelajaran 91,30 %. Hal ini menunjukkan bahwa pembelajaran dengan teknik copy the master lebih menyenangkan, materi mudah dipahami, lebih efektif dan mengesankan.

Kata kunci: Keterampilan Menulis, Paragraf, Deskripsi Ekspositoris, Eskripsi Impresionistik

ABSTRACTTo find out the students’ learning outcome and activity in the learning process, an effective learning technique needs to be chosen. Therefore, the learning process development is done using the technique of copy the master to the fifth semester students in the Indonesian Language and Literature Study Program. The data gained was analyzed descriptively with qualitative approach. The learning outcome on expositoric descriptive shows “good” result (75.45 %). On impressionistic descriptive essay, the average score was 79.13 %. Besides that, the data showing that the students used imagining is 100 %. The percentage of imagining use from the strongest to the weakest is sight (100 %), Hearing (50%), sensing (50%), tester (65%), smelling (50%), it also shows the ability to write a description that has used strengthening language. Another thing is the consistence between the writing and the model chosen that are structured and relevant way. This learning outcome is correlated with the data gained from the questionnaires and interviews. Students’ positive response in the class shows that 100% of the students were interested, understood easily, motivated, promoted cooperation, responsible, and independent. The media used was interesting and the learning process was exciting. Besides that, 95.65% of the material is understandable and correlates with the evaluation. The worksheet is stimulating (91.30%). It shows that the learning process using copy the master technique is more exciting, easy to understand, more effective, and memorable.

Keywords: writing skill, paragraph, expositoric descriptive, impressionistic descriptive

Page 34: PEDAGOGIA - repository.unpak.ac.id · English Phonology adalah salah satu mata kuliah yang dianggap sulit oleh mahasiswa karena mahasiswa diminta untuk menghafalkan teori-teori yang

Pedagogia, Volume 8 Nomor 2 Tahun 2016

409 PENGEMBANGAN KEMAMPUAN MENULIS

PENDAHULUANKegiatan menulis di kalangan mahasiswa masih

belum mendapat perhatian dan penyediaan waktu yang memadai dalam pengembangannya. Tentu saja hal tersebut sangat disayangkan, karena kegiatan menulis adalah kegiatan yang produktif. Kegiatan yang dapat mengasah dan melatih keterampilan menuangkan gagasan, ide, perasaan dalam bentuk tertulis. Apalagi bila ditekuni lebih jauh, dari kegiatan menulis dapat menghasilkan income kalau ditekuni dengan mendalam.

Dinyatakan pula oleh Haryadi (1995:165) bahwa beberapa penelitian mengungkapkan bahwa kemampuan menulis di kalangan kaum terpelajar (termasuk tentu saja mahasiswa) masih belum menggembirakan. Saran yang ditawarkan salah satunya berkaitan dengan bahan pengajaran. Selama ini bahan pengajaran untuk menulis sangatlah terbatas. Beberapa buku yang ada biasanya lebih menekankan pada penyajian teori daripada memberikan contoh-contoh.

Untuk memperbaikinya perlu diupayakan agar bahan pengajaran mampu memberikan contoh yang sebanyak-banyaknya tentang berbagai bentuk karangan. Salah satu cara yang dapat ditempuh adalah memberikan surat kabar sebagai bahan tambahan. Ada dua pemikiran yang mendasarinya, yaitu (1) surat kabar mudah diperoleh dan harganya relatif murah, (2) surat kabar memuat berbagai bentuk karangan yang menyajikan beragam informasi.

Salah bentuk karangan atau wacana yang terdapat dalam surat kabar adalah karangan eksposisi, argumentasi dan narasi. Dan, salah satu modelnya dalam surat kabar adalah karangan artikel yang terdapat dalam Kompas Anak (terbitan Minggu).

Smith (1981) dalam Soeparno (2003) mengatakan bahwa pengalaman belajar menulis yang dialami siswa di sekolah tidak terlepas dari kondisi mahasiswanya sendiri. Umumnya mahasiswa tidak dipersiapkan untuk terampil menulis dan mengajarkannya. Karena itu, mahasiswa hendaknya belajar merasakan kesulitan siswa yang sering dihadapi ketika menulis. Mahasiswa yang memahami kesulitan yang sering dihadapi ketika menulis akan berpendapat menulis karangan itu tidak sekali jadi.

Lebih jauh Semi mengungkapkan tentang siapa penulis artikel itu. Menurutnya menulis artikel boleh-boleh siapa saja, tidak dibatasi. Berarti

mahasiswa pun bisa menulis artikel walaupun dia juga memiliki pekerjaan lainnya. Sebenarnya, semua orang memilki kesempatan untuk menjadi penulis asal dia memang berminat menjadi penulis. Dalam kenyataannya, banyak orang yang mau dan ingin menjadi penulis. Orang yang biasa bergelut sehari-hari dengan membaca koran atau majalah, ingin suatu ketika tulisannya dibaca orang, tetapi yang selalu menjadi masalah ialah bagaimana menulis apa yang mau ditulis.

Among Kurnia Ebo (2005:2) menguatkan hal ini. Ia menyatakan bahwa siapa pun bisa menjadi penulis di media massa, tak peduli status sosialnya apa. Menjadi penulis tidak harus seoarang sarjana. Karena itu, siapa pun Anda berhak menjadi penulis.

Namun menurut Ebo mengapa masih banyak yang mengatakan bahwa menulis itu sulit? Jawaban atas pertanyaan itu sebenarnya sederhana, yakni karena tidak setiap orang tahu cara menulis. Inilah masalahnya. Orang yang belum tahu caranya cendrung mengatakan tidak bisa menulis. Padahal, kalau cara menulis itu sudah diketahui, ia pasti akan segera berubah pikiran dengan mengatakan bahwa menulis itu gampang. Minimal, tidak sesulit yang dibayangkan sebelumnya.

Menguasai siswa membuat karangan dengan judul tertentu dan dengan disertai petunjuk-petunjuk praktis cara menulisnya adalah contoh pembelajaran menulis yang menekankan pada hasilnya bukan pada prosesnya. Tentu saja, bila dilihat dari prosesnya, pembelajaran menulis menuntut kerja keras mahasiswa untuk membuat pembelajaran di kelas menjadi kegiatan yang menyenangkan, sehingga mahasiswa tidak merasa dipaksa untuk dapat membuat karangan, tetapi justru sebaliknya mahasiswa akan merasa senang karena diajak dosen untuk mengarang atau menulis.

Sehubungan dengan hal tersebut, perlu diupayakan suatu kegiatan yang intensif dalam rangka mengembangkan kemampuan mahasiswa dalam menulis. mahasiswa diberi kegiatan pengembangan dengan model tertentu. Diharapkan model pengembangan tersebut dapat menumbuhkan kecintaan mahasiswa pada kegiatan menulis sekaligus mengembangkan keterampilannya dalam menulis. Mahasiswa yang mencintai tulis-menulis diharapkan dapat menularkannya kepada para temannya, siswanya jika sudah menjadi guru, sehingga diharapkan pula siswa memilki kecintaan

Page 35: PEDAGOGIA - repository.unpak.ac.id · English Phonology adalah salah satu mata kuliah yang dianggap sulit oleh mahasiswa karena mahasiswa diminta untuk menghafalkan teori-teori yang

Pedagogia, Volume 8 Nomor 2 Tahun 2016

410PENGEMBANGAN KEMAMPUAN MENULIS

pada menulis dan mereka merasa senang melakukan kegiatan menulis.

Bentuk model pengembangan tulisan yang direncanakan dikembangkan kepada para mahasiswa adalah teknik copy the master (meniru model). Teknik ini dilatihkan dalam beberapa tahapan awal pengembangan karangan dan dilakukan dalam beberapa kali pertemuan.

Diperlukan latihan yang intensif untuk mengembangkan kemampuan (mahasiswa) dalam menulis. Hal itu sangatlah beralasan karena terdapat banyak mitos tentang pembelajaran menulis. Di antara mitos yang perlu kita perhatikan adalah: 1) Menulis itu mudah. Teori menulis atau mengarang, memang mudah. Gampang dihapal. Tetapi menulis atau mengarang bukanlah sekedar teori, melainkan keterampilan. Bahkan ada seni atau art di dalamnya. Teori hanyalah alat untuk mempercepat pemilikan kemampuan sesorang dalam mengarang. 2) Kemampuan menggunakan unsur mekanik tulisan inti dari menulis, 3) Menulis itu harus sekali jadi, dan 4) Orang yang tidak menyukai dan tidak pernah menulis dapat mengajarkan kemampuan menulis.

Dengan demikian, dalam pembelajaran menulis (Bahasa Indonesia) diperlukan teknik pembelajaran yang tepat, sehingga penguasaan keterampilan menulis dapat dicapai. Ada banyak teori mengenai teknik pengajaran menulis. Satu di antaranya yaitu teknik yang tepat dapat mendorong para guru untuk terampil menulis dan nantinya dapat melatihkan secara sederhana kepada para siswanya di sekolah masing-masing.

Oleh karena itu agar siswa dan guru mempunyai kemampuan menulis artikel yang memadai, maka guru dituntut mengetahui dan mengalami jenis-jenis tulisan dan cara mengajarkannya kepada siswa. Untuk mengetahui kemampuan mahasiswa dalam menulis dan penguasaan mahasiswa tentang teknik pembelajaran menulis, maka penelitian ini dipandang perlu untuk dilaksanakan.

Berdasarkan latar belakang diatas, terdapat beberapa pertanyaan mengenai pembelajaran menulis. (1) Bagaimana pengembangan gagasan pada artikel mahasiswa Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia FKIP Universitas Pakuan?, (2) Apakah penguasaan teknik pembelajaran menulis karangan yang dipergunakan guru selama ini telah dapat meningkatkan kemampuan menulis karangan para siswa?, (3) Apakah bentuk teknik copy the

master dalam pembelajaran menulis efektif untuk diterapkan dalam meningkatkan hasil menulis karangan para guru?

Karangan merupakan bentuk komposisi. Karangan dibedakan pula dengan tulisan. Hal ini diungkapkan Parera dalam buku Menulis Tertib dan Sistematik. Menurutnya proses penulisan harus dibedakan antara penulisan ilmiah dan penulisan umum. Walaupun kedua bentuk penulisan itu dibedakan, akan tetapi syarat-syarat pengembangannya pada umumnya sama. Komposisi yang mengarah kepada penulisan ilmiah, disebut tulisan ilmiah. Tulisan ilmiah dari komposisi yang mengarah kepada karangan umum itulah yang kemudian disebut karangan.

Keraf (1995:7) mengungkapkan bahwa karangan eksposisi adalah suatu bentuk wacana yang berusaha menguraikan suatu objek sehingga memperluas pandangan atau pengetahuan pembaca. Wacana ini digunakan untuk menjelaskan wujud dan hakikat suatu objek. Dalam karangan ini informasi dapat dijelaskan apa adanya atau dapat pula dengan mengembangkannya sehingga menjadi luas dan mudah dipahami.

Senada dengan pendapat Keraf, Akhadiah (1986:32) pun mengungkapkan mengenai karangan eksposisi. Eksposisi atau paparan merupakan karangan yang berusaha menerangkan atau menjelaskan sesuatu yang dapat memperluas pengetahuan seseorang yang membaca tulisan tersebut.

Karangan eksposisi adalah jenis tulisan yang memaparkan sejumlah informasi. Hal tersebut sejalan dengan Mulyati, dkk. (2009:7.18) mengemukakan bahwa eksposisi adalah jenis tulisan yang memaparkan atau menjelaskan sejumlah pengetahuan atau informasi dengan tujuan agar pembaca mendapat pengetahuan atau informasi tentang sesuatu dengan jelas. Tulisan eksposisi biasanya memuat data, fakta, atau proses terjadinya sesuatu. Jenis tulisan ini sering juga disebut tulisan paparan.

Berdasarkan beberapa teori dapat disintesiskan bahwa karangan eksposisi dalah suatu karangan yang memberikan penjelasan atau informasi yang bertujuan memperluas pengetahuan dan pandangan pembaca.

Media massa memiliki fungsi mencerdaskan masyarakat dengan bebagai ilmu pengetahuan yang kompeten di bidangnya. Tabroni (2007:90)

Page 36: PEDAGOGIA - repository.unpak.ac.id · English Phonology adalah salah satu mata kuliah yang dianggap sulit oleh mahasiswa karena mahasiswa diminta untuk menghafalkan teori-teori yang

Pedagogia, Volume 8 Nomor 2 Tahun 2016

411 PENGEMBANGAN KEMAMPUAN MENULIS

mengemukakan bahwa Artikel dapat diartikan sebagai tulisan lengkap yang dimuat dalam surat kabar atau majalah. Yang dimaksudkan lengkap disini adalah mengandung judul, pendahuluan, penyajian masalah, pembahasan, dan penutup (kesimpulan). Dalam arti itu, artikel hampir sama bentuknya dengan makalah atau kertas kerja yang sering disampaikan dalam suatu pertemuan. Jika makalah ditulis lalu disajikan di media massa cetak, maka makalah itu bisa dinamakan artikel.

Deskripsi merupakan salah satu jenis karangan yang menggambarkan suatu peristiwa atau kejadian dengan pemanfaatan pengimajian. Mengenai deskripsi ini, Ismail Marahimin (2005:33) mengungkap dengan jelas tentang deskripsi ini. Deskripsi adalah pemaparan atau penggambaran dengan kata-kata tentang suatu benda, tempat suasana atau keadaan. Lebih lanjut dijelaskannya seorang penulis deskripsi mengharapkan pembacanya, melalui tulisannya dapat “melihat” apa yang dilihatnya, dapat mendengar apa yang didengarnya, “mencium bau” yang diciumnya, “mencicipi” apa yang dimakannya, “merasakan” apa yang dirasakannya, serta sampai pada “kesimpulan” yang sama dengannya. Dari sini dapat disimpulkan bahwa deskripsi merupakan hasil dari observasi melalui pancaindra yang disampaikan dengan kata-kata.

Dalam bukunya tersebut, deskripsi dibagi dua jenis, yaitu deskripsi ekspositori adalah yang sangat logis, yang isinya biasanya merupakan daftar rincian, semuanya, atau yang menurut penulisnya hal-hal yang penting-penting saja, yang disusun menurut sistem dan urut-urutan logis objek yang diamati itu. Setiap benda, setiap tempat, setiap suasana tentu mempunyai logika urut-urutan tersendiri. Jika mengamati benda pastilah ada urut-urutan logisnya, misalnya dari depan kemudian ke belakang.

Jenis deskripsi lainnya adalah deskripsi impresionistis. Deskripsi impresionistis menggambarkan impresi atau kesan penulisnya atau untuk menstimulasi pembacanya. Jenis deskripsi ini lebih menekankan impresi atau kesan penulisnya ketika melakukan observasi atau ketika menuliskan impresi tersebut.

Berdasarkan beberapa teori dapat disintesiskan. Dalam deskripsi ekspositoris dipakai urut-urutan logika atau urutan-urutan peristiwa objek yang dideskripsikan, tetapi dalam deskripsi impresionistik

yang dipakai adalah urutan kuat lemahnya kesan pada suatu peristiwa atau objek. Dalam tulisan deskripsi yang diungkap adalah fakta bukan realita.

Ismail Marahimin (2005) Dalam Bukunya Menulis Secara Populer mengemukakan bahwa bila kita belajar melukis cara Barat, kita belajar garis dan bentuk dulu, kemudian anatomi, persefktif, warna, dan sebagainya menurut urut-urutan yang sesuai dengan pendirian guru yang mengajar. Konon di Cina pada zaman dahulu tidak demikian halnya. Orang yang menjadi pelukis akan diberi sebuah lukisan yang sudah jadi dan baik, biasanya yang dibuat oleh seorang master, yaitu ahli melukis atau pelukis terkenal. Sang calon pelukis disuruh meniru lukisan master tadi, sampai sebisa-bisanya, semirip mungkin. Sesudah sepuluh duapuluh kali mencoba, sang murid akan mendapat sebuah master baru untuk ditiru. Begitulah seterusnya sampai sang calon pelukis itu bisa melukis sendiri, dan mulai menemukan bentuk yang khas yang sesuai dengan bentuk kepribadiannya. Teknik ini biasanya dinamakan Copy the Master, yang artinya meniru lukisan seorang ahli.

Pelajaran menulis pun mengenal metode ini. Pada dasarnya metode ini menuntut dilakukannya latihan-latihan sesuai dengan master yang diberikan. (Marahimin, 2005: 11). Lebih lanjut diungkapkan bahwa yang coba ditulis oleh mahasiswa berdasarkan model yang dibaca terlebih dahulu oleh mahasiswa, dilihat isi dan bentuknya, dianalisis, serta dibuatkan kerangkanya, serta dilakukan hal-hal lain yang perlu, baru sesudah itu tiba waktunya untuk menulis. Yang dituliskan tidak sama persis seperti modelnya. Yang di-copy adalah keraangkanya atau idenya, atau bahkan juga cara atau tekniknya. Berikut modelnya, deskripsi Ruangan, Pola Observasi menurut Pengembangan Spasi.

METODOLOGI PENELITIANPenelitian ini dilaksanakan di Program Studi

Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia FKIP Universitas Pakuan Bogor pada mata kuliah Penulisan Ilmiah Populer. Penelitian dilaksanakan pada semester VII tahun akademik 2013, yaitu pada bulan Desember 2012 – Februari 2013. Penentuan waktu penelitian disesuaikan dengan jadwal mata kuliah Penulisan Ilmiah Populer.

Penelitian ini menggunakan metode kualitatif yang mengacu kepada pandangan naturalistik

Page 37: PEDAGOGIA - repository.unpak.ac.id · English Phonology adalah salah satu mata kuliah yang dianggap sulit oleh mahasiswa karena mahasiswa diminta untuk menghafalkan teori-teori yang

Pedagogia, Volume 8 Nomor 2 Tahun 2016

412PENGEMBANGAN KEMAMPUAN MENULIS

berdasarkan pertimbangan bahwa penelitian ini bermaksud meneliti dan mengkaji secara mendalam peristiwa atau kejadian dalam seting penelitian yang alami, penelitian yang memotret apa adanya berdasarkan peristiwa yang terjadi. Moleong, mengungkapkan bahwa penelitian kualitatif merupakan penelitian yang menggunakan latar alamiah, dengan maksud menafsirkan penomena yang terjadi dan dilakukan dengan jalan melibatkan berbagai metode penelitian yang ada. Metode yang biasanya dimanfaatkan adalah wawancara, pengamatan, dan pemanfaatan dokumen.

Metode penelitian ini dipilih dengan alasan untuk menghasilkan data atau keadaan mengenai objek yang diteliti dengan benar dan didukung data atau fakta empiris. Pemilihan metode kualitatif ini bertujuan untuk mengungkap berbagai informasi kualitatif atau menghasilkan data kualitatif.

Di bawah ini beberapa karakteristik yang berhubungan langsung dengan esensi penelitian kualitatif adalah: 1) penelitian kualitatif berlangsung dalam latar alamiah, tempat kejadian dan perilaku manusia berlangsung, 2) penelitian kualitatif berbeda asumsi-asumsinya dengan desain kuantitatif, teori dan hipotesis tidak secara apriori diharuskan, 3) peneliti adalah instrumen utama penelitian dalam pengumpulan data, 4) data yang dihasilkan bersifat deskriptif, dalam kata-kata, 5) fokus diarahkan kepada persepsi dan pengalaman partisipan, 6) proses sama pentingnya dengan produk, perhatian peneliti diarahkan kepada pemahaman bagaimana berlangsungnya kejadian, 7) penafsiran dalam pemahaman idiografis, perhatian kepada partikular, bukan kepada membuat generalisasi, 8) memunculkan desain, peneliti mencoba merekonstruksikan penafsiran dan pemahaman dengan sumber data manusia, 9) mengandalkan kepada tacit knowledge (intuitive and felt knowledge), maka data tidak dapat dikuantifikasikan karena apresiasi terhadap nuansa dari majemuknya kenyataan, dan 10) objektivitas dan kebenaan dijunjung tinggi, namun kriterianya berbeda karena derajat keterpercayaannya didapat melalui verifikasi berdasar koherensi, wawasan, dan manfaat.

Dalam penelitian ini, peneliti mencatat dan merekam semua informasi yang tampak, informasi yang digali melalui dokumentasi. Tujuannya untuk dapat mendeskripsikan data kemampuan mahasiswa dalam mengembangkan gagasan pada karangan

eksposisi dalam kemasan artikel populer. Data yang akan dikumpulkan dalam penelitian

ini adalah karangan deskripsi ekspositoris dan deskripsi impresionistik berupa artikel populer.

Data penelitian yang dikumpulkan dalam penelitian ini berupa informasi dalam bentuk kata-kata, kalimat, dan paragraf yang termuat dalam dokumen. Seperti yang diungkapkan Moleong bahwa dalam penelitian kualitatif sumber data utama adalah ‘kata-kata’ dan ‘tindakan, selebihnya adalah data tambahan seperti dokumen, dan lain-lain. Sumber pemerolehan data yang berupa berbagai macam informasi diperoleh tersebut diperoleh dari informan, yaitu mahasiswa. Dalam hal ini sumber data adalah mahasiswa semester VII pada Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia yang mengambil mata kuliah Penulisan Ilmiah Populer. HASIL PENELITIAN

Berikut ini akan disajikan hasil persentasi kemampuan menulis karangan deskripsi ekspositoris.

Hasil pembelajaran keterampilan menulis dengan teknik copy the master adalah sebagai berikut:

Nilai Menulis Deskripsi Ekspositoris

Berdasarkan grafik di atas, tampak bahwa penguasaan materi tentang penulisan deskripsi ekspositorik berada pada kategori baik (kisaran rentang 60 – 90). Penilaian pada saat postes ini mengukur keterampilan menulis karangan deskripsi ekspositorik. Persentase pencapaian menunjukkan 79,13 % mahasiswa mampu menulis karangan deskripsi ekspositorik.

Penilaian didasarkan pada kriteria penilaian menulis eksposisi. Penekanaan pada pengembangan gagasan, pengembangan deskripsi, bahasa yang digunakan (gaya bahasa yang digunakan), dan pencitraan pada karangan deskripsi. Berikut

Page 38: PEDAGOGIA - repository.unpak.ac.id · English Phonology adalah salah satu mata kuliah yang dianggap sulit oleh mahasiswa karena mahasiswa diminta untuk menghafalkan teori-teori yang

Pedagogia, Volume 8 Nomor 2 Tahun 2016

413 PENGEMBANGAN KEMAMPUAN MENULIS

disajikan contoh karangan deskripsi pada karangan mahasiswa.

Berikut ini contoh data Deskripsi EkspositorisKamarku tidak begitu besar. Cukuplah untuk menaruh semua perlengkapanku yang begitu penuh dengan alat-alat elektronik dan boneka-boneka. Dindingnya yang berwarna hijau selalu memberikan keteduhan kepada di saat aku lelah menjalankan aktivitas seharian. Aku teringat pada tirai merah muda di depan pintu yang selalu menyambutku saat aku hendak masuk ke kamar. Saat memasukinya yang pertamaaku lihat adalah pembaringanku yang paling nyaman adalah pembaringanku yang paling nyaman. Tempat tidur kecil yang hanya cukup untukku itu terlihat begitu penuh dengan boneka-boneka kesayanganku yang mau tidak mau aku harus rela berbagi Penggunaan majas data 11) Lelah menghampiriku saat aku baru saja masuk

ke dalam bus antarkota yang akan membawaku menuju rumah.

2) Tirai merah muda di depan pintu yang selalu menyambutku saat aku hendak masuk kamar.

3) Tirai itu seolah-olah melambai kepadaku mengajakku untuk masuk

4) Novel-novel yang biasa menyelamatkanku dari kebosanan.

Penggunaan pencitraan pada data 11) Dindingnya yang berwarna hijau selalu

memberikan keteduhan kepadaku di saat aku lelah menjalankan aktivitas seharian

2) … seprai berwarna merah muda dan selimut bernada senada pula terlihat rapi di sisi yang lain.

Penggunaan Pencitraan pada Data 21) Temanku mengeluarkan kunci dari saku celana

pendeknya dan memasukkan kunci tersebut ke lubang kunci di pintu kamarnya, memutarnya dan seketika terdengar suara ‘klik’ dua kali.

2) Ketika kakiku mulai melangkah Aspek kemampuan menganalisis karangan

deskripsi ekspositoris menyangkut pengembangan gagasan, pengimajian, majas, pengembangan spasi (ruang). Berkaitan dengan hasil analisis aspek-aspek pengembangan karangan deskripsi. Dapat disimpulkan bahwa siswa mampu menulis karangan deskripsi dengan menggunakan teknik copy the master.

Berikut ini nilai karangan deskripsi impresionistik.

Nilai Karangan Deskripsi Impresionistik

Berdasarkan grafik di atas, tampak bahwa penguasaan materi tentang penulisan karangan deskripsi impresionistik berada pada kategori baik (kisaran rentang 60 – 84). Penilaian pada saat postes ini mengukur keterampilan menulis karangan deskripsi ekspositoris. Persentase pencapaian menunjukkan 76,45 % mahasiswa mampu menulis karangan deskripsi impresionistik.

Data lain yang diperoleh pada saat penerapan teknik copy the master pada mata kuliah menulis ilmiah populer adalah angket respon mahasiswa. Berikut ini data respon mahasiswa berdasarkan hasil angket.

Page 39: PEDAGOGIA - repository.unpak.ac.id · English Phonology adalah salah satu mata kuliah yang dianggap sulit oleh mahasiswa karena mahasiswa diminta untuk menghafalkan teori-teori yang

Pedagogia, Volume 8 Nomor 2 Tahun 2016

414PENGEMBANGAN KEMAMPUAN MENULIS

Proses pembelajaran dengan teknik copy the master pada pembelajaran keterampilan menulis, berdasarkan angket respon mahasiswa menunjukkan perubahan sikap yang positif. Respon positif mahasiswa dalam pembelajaran menunjukkan 100 % mahasiswa tertarik, mudah mengerti, termotivasi, mendorong kerja sama, tanggung jawab dan mandiri, 95 % mahasiswa menyatakan media yang digunakan menarik, 77 % menyatakan pembelajaran menyenangkan. Sementara itu 82% evaluasi sesuai, 82% LKM pun dapat menstimulasi 95 % menyatakan pembelajaran menyenangkan.

PEMBAHASANBerdasarkan hasil penelitian Proses

pembelajaran dengan teknik copy the master pada pembelajaran menulis ilmiah populer. Respon mahasiswa menunjukkan perubahan sikap yang positif. Respon positif mahasiswa dalam pembelajaran rata-rata hasil belajar menulis dan pencapaian hasil belajar 79,13 % pada pembelajaran menulis karangan deskriptif. Hasil belajar ini berkorelasi pula dengan data dari hasil angket dan wawancara. Respon positif mahasiswa dalam pembelajaran menunjukkan 100 % mahasiswa tertarik, mudah mengerti, termotivasi, mendorong kerja sama, tanggung jawab dan mandiri, media yang digunakan menarik, serta pembelajaran menyenangkan. Sementara itu 95,65 % bahan ajar mudah dipahami dan evaluasi sesuai, LKM pun dapat menstimulasi pembelajaran 91,30 %.

Berikut Tabel Respons Mahasiswa Pada Pembelajaran Menulis :

Data di atas menunjukkan perubahan sikap yang positif dari mahasiswa yang berarti bahwa pembelajaran dengan teknik copy the master dapat mengembangkan keterampilan menulis mahasiswa. Sejalan dengan Smith (1981) dalam Soeparno (2003) yang mengemukakan bahwa pengalaman belajar menulis yang dialami siswa di sekolah tidak terlepas dari kondisi mahasiswanya sendiri. Umumnya mahasiswa tidak dipersiapkan untuk terampil menulis dan mengajarkannya. Karena itu, mahasiswa hendaknya belajar merasakan kesulitan siswa yang sering dihadapi ketika menulis. Mahasiswa yang memahami kesulitan yang sering dihadapi ketika menulis akan berpendapat menulis karangan itu tidak sekali jadi.

Berdasarkan uraian di atas menunjukkan bahwa pembelajaran dengan teknik copy the master lebih menyenangkan, materi mudah dipahami, lebih efektif dan mengesankan.

SIMPULANKemampuan mahasiswa Program Studi

Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia Universitas Pakuan, mengembangkan gagasan dalam menulis karangan dengan menggunakan teknik copy the master sudah sesuai. Karangan yang dibuat berjenis deskripsi. Mahasiswa sudah membuat tulisan seperti model yang mereka tiru polanya. Pengembangan gagasan sudah mengarah ke pendeskripsian. Ciri pengembangan yang digunakan oleh mahasiswa adalah penggunaan kata-kata atau frasa yang memperlihatkan pencitraan, baik itu penglihatan, pendengaran, perasa/peraba, penciuman, dan pencecapan.

Pemahaman terhadap teknik Copy The Master terimplikasi dalam pengembangan gagasan dalam penulisan artikel mahasiswa Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia, FKIP

Page 40: PEDAGOGIA - repository.unpak.ac.id · English Phonology adalah salah satu mata kuliah yang dianggap sulit oleh mahasiswa karena mahasiswa diminta untuk menghafalkan teori-teori yang

Pedagogia, Volume 8 Nomor 2 Tahun 2016

415 PENGEMBANGAN KEMAMPUAN MENULIS

Universitas Pakuan. Hal ini menandakan bahwa mahasiswa dapat mengembangkan gagasannya dalam karangan deskripsi dengan meloihat model atau contoh, pengembangan gagasan sangat memadai untuk karaangan desktipsi dengan menggunakan pola urutan spasial. Tulisan mahasiswa dilihat dari pengembangan sebuah karangan sudah sangat baik. Ada pengembangan dari tulisan mahasiswa dalam hal jumlah paragraf dan pengembangan isi tulisan.

DAFTAR PUSTAKAArifin, Zaenal dan S. Amran Tasai. 2006.Cermat

Berbahasa Indonesia: untuk Perguruan Tinggi. Jakarta: Akapres.

Akhadiah, Sabarti dkk. 1999. Pembinaan Keterampilan Menulis. Jakarta: Erlangga.

Depdikbud. 1996. Pedoman Pengindonesiaan Nama dan Kata Asing.

Handono, Suryo. “Pengorganisasian dan Penilaian Pembelajaran keterampilan Menulis”. Dalam Seranta Bahasa dan Sastra 4: Kumpulan Tulisan Ilmiah Bahasa Provinsi Jawa Tengah. (Semarang: Pusat Bahasa, Depdiknas, 2009) h. 2

Haryadi. 1995. “Pengaruh Surat Kabar Terhadap Kemampuan Menulis” dalam Ragam Bahasa Jurnalistik dan Pengajaran Bahasa Indonesia. Semarang: Citra Almamater.

Keraf, Gorrys. 1988. Komposisi. Ende: Nusa Indah.Suparno dan Muhammad Yunus. 2003. Keterampilan

Dasar Menulis. Jakarta: UT.Marahimin, Ismail. 2005, Menulis Populer. Jakarta:

Pustaka Jaya.Moleong, Lexy J. 2005. Metodologi Penelitian

Kualitatif. Bandung: Remaja Rosda Karya. Mulyati. Yeti. 2009 “Pembelajaran Bahasa Indonesia

yang Berorientasi Bahasa dan Kompetensi Bahasa” dalam Bahasa dan Sastra dalam Perspektif Pendidikan. Dadang S. Anshori dan Sumiyadi, Editor. Bandung: Jurusan PBS Indonesia, FPBS UPI.

Semi, M. Atar. Menulis Efektif. 1995. Padang: Angkasa Raya.

Suparno dan Muhammad Yunus. 2003. Keterampilan Dasar Menulis. Jakarta: UT.

Parera. 1988. Menulis Tertib dan Sistematis. Jakarta: Erlangga.

*)Seluruh penulis adalah dosen PBS Indonesia, FKIP, Universitas Pakuan.

Page 41: PEDAGOGIA - repository.unpak.ac.id · English Phonology adalah salah satu mata kuliah yang dianggap sulit oleh mahasiswa karena mahasiswa diminta untuk menghafalkan teori-teori yang

Pedagogia, Volume 8 Nomor 2 Tahun 2016

416PENINGKATAN KEMAMPUAN MENYIMAK

PENINGKATAN KEMAMPUAN MENYIMAK PADA PELAJARAN BAHASA INGGRIS DENGAN METODE PEMBELAJARAN

KONTEKSTUAL DI SEKOLAH DASAR KELAS 2

Nur Latifah1

1Mahasiswa Pascasarjana Program Studi Pendidikan Dasar, Universitas Negri Jakarta

ABSTRAKTujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui cara penerapan metode kontekstual untuk meningkatkan kemampuan menyimak siswa pada pembelajaran bahasa inggris. Subjek penelitian siswa kelas II yang berjumlah 37 orang. Penelitian ini merupakan penelitian tindakan dengan menggunakan model Kemmis dan Mc Taggart, dilakukan dalam dua siklus. Setiap siklus terdiri dari tahap perencanaan, implementasi tindakan, pengamatan, dan refleksi tindakan. Proses pengumpulan data melalui tes kemampuan menyimak siswa, dan non tes berupa hasil observasi pelaksanaan metode pembelajaran melalui metode kontekstual menggunakan lembar pengamatan aktivitas guru dan siswa, wawancara, catatan anekdot dan hasil dokumentasi. Hasil penelitian menunjukkan adanya peningkatan kemampuan menyimak siswa, baik dari aspek konseptual, prosedural, maupun pemecahan masalah dengan menggunakan metode kontekstual. Hal ini dibuktikan dengan nilai rata-rata kemampuan menyimak siswa pada siklus I yaitu 64,86; meningkat pada siklus II mencapai 97,29. Aktivitas guru dan siswa sesuai langkah-langkah pendekatan ini mencapai 100% pada akhir siklus II.

Kata Kunci: Metode Pembelajaran kontekstual, Kemampuan Menyimak, PTK (Penelitian Tindakan Kelas)

ABSTRACTThe aim of the research is to find out the application of contextual method to improve students’ listening skill in an English class. The subject of the research was second grade students, as many as 37 people. The research is a classroom action research using the model of Kemmis and Mc Taggart, conducted in two cycles. Each cycle consists of planning, implementation, observation, and reflection. The process of data collection was by listening test. Another instrument used was a non-test instrument which was the observational result of teaching using contextual method such as the observational sheets of the teacher and the students, notes, and documentation. The research result shows that there is improvement in students’ listening skill, in the aspects of conceptual, procedural, and problem solving with contextual method. It is proven by the average score of listening test in the first cycle which 64.86; it improved in the second cycle reaching 97.29. The activity of the teacher and the students are in accordance with the approach and they reached 100% at the end of the second cycle.

Keywords: Contextual Learning Method, Listening Skill, Classroom Action Research

PENDAHULUANBahasa adalah sarana komunikasi yang

penting bagi manusia. Melalui bahasa, seseorang dapat menyampaikan ide atau gagasan kepada orang lain. Keterampilan berbahasa sangat penting dimiliki oleh setiap manusia karena bahasa seseorang mencerminkan pikirannya. Semakin terampil seseorang dalam berbahasa, maka semakin jelas pula jalan pikiran orang tersebut.

Bahasa Inggris memiliki peran yang sangat penting dewasa ini, karena bahasa Inggris

merupakan bahasa ilmu pengetahuan dan teknologi, pendidikan, perdagangan, diplomasi, dan pergaulan dengan bahasa-bahasa lain. Persaingan dalam era globalisaai saat ini menuntut setiap individu untuk mengembangkan kemampuan berkomunikasi dalam bahasa Inggris. Proses pembelajaran bahasa Inggris akan jauh lebih efektif apabila dimulai pada usia dini. Menanggapi hal tersebut pemerintah mengeluarkan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No. 28 tahun 1990 tentang Pendidikan Dasar dan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No. 19 tahun 2005

Page 42: PEDAGOGIA - repository.unpak.ac.id · English Phonology adalah salah satu mata kuliah yang dianggap sulit oleh mahasiswa karena mahasiswa diminta untuk menghafalkan teori-teori yang

Pedagogia, Volume 8 Nomor 2 Tahun 2016

417 PENINGKATAN KEMAMPUAN MENYIMAK

tentang Standar Nasional Pendidikan yang memberi peluang diberikannya bahasa Inggris bagi siswa sekolah dasar sebagai mata pelajaran muatan lokal.

Memiliki kemampuan bahasa Inggris secara lisan maupun tulisan merupakan salah satu kemampuan yang sangat menentukan dalam memperoleh lapangan pekerjaan. menurut Sudjana (2007:63) kemampuan adalah sesuatu yang dimiliki oleh individu untuk melakukan tugas atau pekerjaan yang dibebankan kepadanya. Bila seorang memiliki kemampuan berbahasa Inggris, ia akan mendapatkan posisi yang lebih baik di tempat ia bekerja. Jadi, dapat dikatakan bahwa kemampuan berbahasa Inggris merupakan salah satu kemampuan yang masih digunakan sebagai faktor penentu guna mendapatkan pekerjaan dan imbalan yang menarik banyak iklan lowongan yang mencantumkan kemampuan bahasa Inggris sebagai salah satu syarat utama. Menyadari hal ini, para orang tua belomba-lomba mengharuskan anak-anak mereka untuk belajar bahasa Inggris.

Bahasa Inggris di Indonesia mulai dikenalkan dari taman kanak-kanak (TK) hingga ke perguruan tinggi (PT). Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa pemerintah sangat memperhatikan pendidikan bahasa Inggris. Mata pelajaran bahasa Inggris diarahkan untuk mengembangkan empat kemampuan yaitu: listening (menyimak), speaking (berbicara), reading (membaca), dan writing (menulis) agar siswa mampu berkomunikasi dan berwawancara dalam bahasa Inggris. Di era globalisasi ini pemerintah menyadari pentingnya peran sumber daya manusia yang berkualitas tinggi serta memiliki kehandalan berkomunikasi dalam bahasa Inggris. Sebab, bahasa Inggris merupakan bahasa internasional yang diakui di seluruh dunia.

Diantara keempat keterampilan yang ada, menyimak (listening comprehension) merupakan keterampilan pertama yang perlu di latih dan dikuasai anak dalam belajar bahasa Inggris. Menyimak atau listening sebagai keterampilan berbahasa yang pertama kali dikuasai seseorang mempunyai peranan penting sebagai awal dari keterampilan-keterampilan yang lain. hal ini di perkuat oleh Mulyana (2008:46) menyatakan bahwa mendengar secara seksama pernyataan atau perkataan orang lain tentang substansi dan latar belakangnya perasaan,kepentingan, cara pandang dan prilaku. Pada saat seorang bayi belajar berbicara,

dia menyimak bunyi-bunyi yang dia dengar lalu ia berusaha menirukannya walaupun belum mengerti makna bunyi-bunyi tersebut.

Keterampilan menyimak berperan penting dalam usaha mempelajari banyak hal, apalagi di dunia pendidikan. Setiap pelajaran di sekolah memerlukan keterampilan menyimak. Guru mentransferkan ilmunya sebagian besar melalui ujaran. Di sinilah keterampilan menyimak sangat dibutuhkan bagi siswa. Mengingat pentingnya keterampilan menyimak, maka keterampilan tersebut harus diajarkan sejak dini dalam pelajaran bahasa di sekolah dasar. Hal ini perlu dilakukan sebagai landasan untuk jenjang pendidikan yang selanjutnya.

Semakin banyak dan sering menyimak kosakata, pola-pola kalimat, intonasi dan sebagainya semakin berkembang pula keterampilan berbicara. Bila sudah ada tradisi tulisan pada masyarakatnya maka keterampilan membaca dan menulis pun turut berkembang. Karena itu tidaklah mengherankan apabila para ahli menyimpulkan menyimak dasar daripada keterampilan-keterampilan bahasa lainnya.

Meskipun keterampilan menyimak sangat penting namun pada kenyataannya kemampuan menyimak siswa kelas II SDN Kedaung Kaliangke 13 Pagi masih rendah. Hal itu terbukti pada saat proses pembelajaran berlangsung, setelah guru membacakan cerita dan memberikan pertanyaan pada siswa, hanya sedikit sekali siswa yang mampu menjawab pertanyaan dengan benar, mereka terlihat lebih asyik dengan dirinya sendiri, mengobrol dengan teman bahkan ada beberapa siswa terlihat tidak bersemangat dan mengantuk. Kesulitan yang dialami anak didik terlihat pada nilai ulangan dengan rata – rata daya serapnya 5,6. Hasil ini belum mencapai ketuntasan belajar serta klasikal karena Kriteria Ketuntasan Mengajar ( KKM ) yang ditetapkan oleh SDN Kedaung Kaliangke 13 Pagi Kedaung Kaliangke adalah 6,0.

Rendahnya tingkat kemampuan menyimak siswa pada dasarnya disebabkan oleh dua hal yaitu faktor dari dalam siswa itu sendiri dan faktor dari luar diri siswa, faktor dari dalam siswa misalnya faktor pisik dan psikis. Faktor pisik siswa misalnya, alat pendengar yang tidak sempurna dan alat indra lainya seperti mata dan sebagainya. Sedangkan faktor psikis adalah kesiapan mental, pikiran, motivasi, minat, ingatan, watak sifat, dan termasuk

Page 43: PEDAGOGIA - repository.unpak.ac.id · English Phonology adalah salah satu mata kuliah yang dianggap sulit oleh mahasiswa karena mahasiswa diminta untuk menghafalkan teori-teori yang

Pedagogia, Volume 8 Nomor 2 Tahun 2016

418PENINGKATAN KEMAMPUAN MENYIMAK

keadaan sehat, sakit dan lingkungan sosial siswa. Faktor dari sekolah misalnya, pembelajaran menyimak yang belum optimal karena berbagai hal diantaranya kurang memadai sarana dan prasarana yang dibutuhkan keterampilan menyimak.

Disamping itu yang juga merupakan hal yang tidak kalah pentingnya faktor dari guru yang kurang tepatnya metode pembelajaran yang dilaksanakan. Metode mengajar guru yang masih konvensional membuat pembelajaran berbahasa menjadi sesuatu yang membosankan. Kurangnya pemanfaatan media dalam pembelajaran membuat siswa menjadi kurang aktif dan kreatif. Kenyataan yang terjadi di lapangan, siswa mendengarkan ceramah guru mengenai teori kebahasaan, termasuk menyimak. Kesalahan menggunakan metode, dapat menghambat tercapainya tujuan pendidikan yang diinginkan, khususnya adalah rendahnya kemampuan menyimak siswa dalam pembelajaran bahasa Inggris. Hal ini disebabkan karena dalam proses siswa kurang dilibatkan dalam situasi optimal untuk belajar, pembelajaran cenderung berpusat pada guru dan klasikal. Selain itu siswa kurang dilatih untuk mengembangkan kemampuannya dalam berbahasa.

Dari beberapa metode pembelajaran, ada metode pembelajaran yang menarik dan dapat memicu peningkatan kemampuan menyimak siswa yaitu metode pembelajaran CTL. menurut Nurhadi (2014:13), pembelajaran CTL adalah suatu sistem pengajaran yang cocok di dalam otak yang menghasilkan makna dengan menghubungkan muatan akademik pada konteks dari kehidupan sehari-hari siswa. Dalam pembelajaran ini siswa harus dapat mengembangkan keterampilan dan pemahaman konsep bahasa Inggris untuk menerapkannya dalam kehidupan sehari-hari.

Pengajaran bahasa Inggris mempunyai tujuan yang sangat luas, salah satu tujuannya adalah agar siswa memiliki keterampilan berbahasa dengan kehidupan sehari-hari dan menerapkannya dalam soal-soal bahasa Inggris. Dengan demikian penggunaan metode pembelajaran CTL perlu diberikan oleh guru dalam proses belajar, agar dapat mencapai hasil belajar yang lebih baik.

Belajar dengan metode pembelajaran CTL menurut Muslich (2007:68) akan mampu mengembangkan kemampuan siswa dalam menyelesaikan masalah-masalah serta mengambil

keputusan secara objektif dan rasional. Disamping itu juga akan mampu mengembangkan kemampuan berfikir kritis, logis, dan analitis. Karena itu siswa harus benar-benar dilatih dan dibiasakan berfikir secara kritis dan mandiri. Dengan menggunakan metode pembelajaran CTL diharapkan siswa mampu meningkatkan kemampuan menyimak dalam bahasa Inggris.

Penerapan metode pembelajaran CTL dalam pembelajaran bahasa Inggris khususnya kemampuan menyimak melibatkan siswa untuk dapat berperan aktif dengan bimbingan guru, agar peningkatan kemampuan siswa dalam memahami konsep dapat terarah lebih baik. Berdasarkan uraian tersebut di atas penulis ingin mengetahui bagaimana penerapan pembelajaran kontekstual pada kemampuan menyimak dalam Bahasa Inggris Kelas II SDN Kedaung Kaliangke 13 Pagi.

METODE PENELITIANMetode penelitian yang digunakan dalam

penelitian ini adalah penelitian tindakan (action reserch). Penelitian tindakan adalah suatu penelitian yang dilakukan secara sistematis reflektif terhadap berbagai “aksi” atau tindakan yang dilakukan oleh guru, mulai dari perencanaan sampai dengan penilaian yang nyata di dalam kelas yang berupa kegiatan belajar mengajar untuk memperbaiki kondisi pembelajaran yang dilakukan.

Dalam penelitian tindakan terdapat 2 aktivitas yang dilakukan yaitu aktivitas tindakan (action) dan aktifitas penelitian (research). Kedua aktivitas tersebut dapat dilakukan oleh orang yang sama atau orang yang berbeda bekerja sama secara kolaboratif. Penelitian tindakan ini digolongkan sebagai penelitian tindakan kolaboratif, sehingga pelaksanaan penelitiannya menggupayakan adanya kerjasama yang baik antara peneliti, guru, dan kolaborator. Oleh karena penelitian tindakan ini dilakukan di kelas, maka metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode action research (penelitian tindakan).

HASIL PENELITIANSiklus I

Berdasarkan hasil pengolahan dan proses data kemampuan menyimak Bahasa Inggris siswa pada siklus I, siswa belum menunjukan peningkatan kemapuan menyimak pada pembelajaran Bahasa

Page 44: PEDAGOGIA - repository.unpak.ac.id · English Phonology adalah salah satu mata kuliah yang dianggap sulit oleh mahasiswa karena mahasiswa diminta untuk menghafalkan teori-teori yang

Pedagogia, Volume 8 Nomor 2 Tahun 2016

419 PENINGKATAN KEMAMPUAN MENYIMAK

Inggris. Hasil refreksi yang dilakukan pada pertemuan kesatu, kedua, dan ketiga selama tindakan proses pembelajaran berlangsung ditemukan beberapa temuan berupa: (1) Perhatian siswa belum terpusat kepada materi. (2) Guru masih mendominasi pembelajaran sehingga keterlibatan siswa dalam kegiatan pembelajaran masih rendah. (3) Siswa mengalami kesulitan dalam menerima anggota kelompok yang kurang pandai. (4) Alat peraga konkrit yang digunakan hanya berupa gambar, belum secara real (benda nyata). (5) Guru kurang memberikan perhatian khusus/tuntunan bagi siswa yang lambat. (6) Siswa belum terbiasa mendengar suara native speaker secara langsung, sehingga guru harus memutar ulang lebih dari satu kali.

Untuk data hasil kemampuan menyimak Bahasa Inggris siswa Kelas II SDN Kedaung Kaliangke 13 Pagi diperoleh dengan memberikan 20 butir soal menyimak berbentuk pilihan gand, untuk dijawab dengan 4 pilihan . Sekor jawaban bernilai 1 untuk jawaban yang benar dan 0 untuk jawaban yang salah. Adapun cara penghitungan dan hasilnya adalah sebagai berikut:

Jumlah Siswa dengan Skor ≥ 60 SR = ------------------------- X 100% Jumlah Siswa

24 SR = -------------- X 100% 37 SR = 64.86 %

Jadi pada siklus I, hanya diperoleh data

kemampuan menyimak belajar Bahasa Inggris siswa adalah 64.86%

Pada siklus I, kegiatan pembelajaran masih didominasi oleh guru. Guru belum melibatkan siswa sepenuhnya secara aktif dalam pembelajaran. Siswa mengalami kesulitan dalam menerima anggota kelompok yang kurang pandai, Alat peraga konkrit yang digunakan hanya berupa gambar, belum secara real (benda nyata), guru kurang memberikan perhatian khusus/tuntunan bagi siswa yang lambat, terlalu cepat dalam menyampaikan materi, tidak menyampaikan tahapan kerja kelompok secara jelas, serta tidak menyeluruh dalam membimbing siswa, siswa belum terbiasa mendengar suara native speaker secara langsung. Artinya, guru belum

maksimal dalam melaksanakan pembelajaran dengan menggunakan metode kontekstual.

Berikut perolehan hasil instrumen data pemantau tindakan guru dan siswa. Cara penghitungannya :

Skor Perolehan Persentase = ----------------------------- X 100% Jumlah Item Pertanyaan

24 = --------- X 100% 30

= 80 %

Siklus IISiswa tampak lebih aktif dalam pembelajaran

bahasa Inggris, Hal ini terlihat dari perhatian siswa terhadap penjelasan guru, karena guru menggunakan media pembelajaran kongret dan nyata, siswa juga sudah dapat bekerja sama dengan baik selama berada dalam kelompok, membagi tugas, dan bertanggung jawab terhadap tugas tersebut, siswa juga mulai terbiasa dengan suara native speaker. Selain itu siswa aktif menggunakan bantuan media yang telah dipilih yaitu flashcard sayur-sayuran atau benda nyata. Dengan demikian metode kontekstual yang diterapkan pada siklus II ini sudah menunjukkan peningkatan yang cukup berarti. Hal ini dapat dibuktikan dari hasil nilai kemampuan menyimak yang dijawab oleh siswa. Rata-rata siswa telah menunjukan peningkatan dalam kemampuan menyimak bahasa Inggris. Berikut ini cara penghitungan hasil kemampuan menyimak siswa:

Jumlah Siswa dengan Skor ≥ 60 SR = ---------------------------------- X 100% Jumlah Siswa 36 SR = -------------- X 100% 37 SR = 97.29 % Kegiatan pembelajaran pun meningkat. Kegiatan yang dilakukan lebih didominasi oleh siswa. Suasana pembelajaran yang lebih menyenangkan dapat diciptakan dengan menggunakan metode kontekstual. Guru hanya mengarahkan dan mengamati kegiatan pembelajaran dan sesekali membimbing siswa yang mengalami

Page 45: PEDAGOGIA - repository.unpak.ac.id · English Phonology adalah salah satu mata kuliah yang dianggap sulit oleh mahasiswa karena mahasiswa diminta untuk menghafalkan teori-teori yang

Pedagogia, Volume 8 Nomor 2 Tahun 2016

420PENINGKATAN KEMAMPUAN MENYIMAK

kesulitan. Kesabaran, perhatian dan kesempatan yang diberikan guru terhadap siswa-siswanya untuk saling membimbing teman membuat mereka lebih bersemangat dalam belajar. Berikut perolehan hasil instrumen data pemantau tindakan guru dan siswa. Cara penghitungannya :

Skor Perolehan

Persentase = --------------------------- X 100% Jumlah Item Pertanyaan 30 = --------- X 100% 30 = 100 %

Setelah diperoleh data siklus I, maupun siklus II maka dilakukan penganalisisan data. Data yang dianalisis mencakup data tentang data pemantau tindakan penggunaan motode Kontekstual baik guru dan siswa, data hasil kemampuan menyimak bahasa Inggris siswa.

Tabel 1 Data Pemantau Tindakan Guru dan Siswa Dalam Pembelajaran bahasa Inggris Melalui

Metode Kontekstual

No SiklusProsentase Hasil Instrumen

Pemantau Pembelajaran Kontekstual Guru dan Siswa

1 I 80 %2 II 100 %

Gambar 1 : Grafik Pemantau Tindakan Guru dan Siswa Dalam Pembelajaran bahasa Inggris

Melalui Metode Kontekstual

Keterangan:Siklus I

Pada siklus I, prosentase pengamatan tindakan guru dalam melaksanakan pendekatan Kooperatif mencapai 80 %. Pada siklus I ini guru sudah melaksanakan komponen-komponen metode Kontekstual, namun belum semua aspek dalam penilaian tersebut dapat dilaksanakan dengan baik.

Siklus IIPada siklus II, tindakan yang dilakukan guru

dalam melaksanakan langkah-langkah pembelajaran dengan menggunakan metode Kontekstual sudah mencapai hasil yang diharapkan. Proses pembelajaran bahasa Inggris dengan metode Kontekstual yang dilaksanakan sudah sesuai rencana, hal ini berkat hasil refleksi dari pembelajaran sebelumnya juga atas saran dan masukan dari kolaborator yang mengamati dan menilai proses pembelajaran yang dilaksanakan guru.

Dalam indikator-indikator nilai pengamatan penggunaan metode Kontekstual, guru sudah melaksanakan semua aspek dalam penilaian tersebut dengan baik sehingga terjadi peningkatan sebesar 20 % dari proses pembelajaran sebelumnya.Data Nilai Hasil Kemampuan Menyimak Siswa

Adapun analisis hasil kemampuan menyimak siswa dari pemberian soal kepada siswa siklus I dan siklus II ditunjukan pada tabel di bawah ini:

Tabel 2 Hasil Kemampuan Menyimak Siswa Pada Siklus I dan siklus II

No Siklus Prosentase Kemampuan Menyimak Siswa

1 I 64.86 %2 II 97.29 %

Gambar 2 Grafik Hasil Kemampuan Menyimak Siswa Pada Siklus I dan siklus II

Page 46: PEDAGOGIA - repository.unpak.ac.id · English Phonology adalah salah satu mata kuliah yang dianggap sulit oleh mahasiswa karena mahasiswa diminta untuk menghafalkan teori-teori yang

Pedagogia, Volume 8 Nomor 2 Tahun 2016

421 PENINGKATAN KEMAMPUAN MENYIMAK

Keterangan:Siklus I Prosentase kemampuan menyimak siswa yang diperoleh pada siklus I adalah sebesar 64,86%, hal ini menunjukan hasil kemampuan menyimak siswa pada siklus I belum seluruhnya mengalami peningkatan di atas nilai KKM.

Siklus II Pada siklus II, nilai hasil kemampuan menyimak siswa mengalami peningkatan sebesar 32.43 % dibandingkan hasil pada siklus I. Hasil kemampuan menyimak siswa yang diperoleh siswa pada siklus I adalah 64.86% dan pada siklus II adalah 97.29%. Hal ini disebabkan guru telah memaksimalkan penggunaan metode kontekstual pada proses pembelajaran, pembelajaran menjadi lebih efektif sehingga tujuan pembelajaran dapat tercapai. Berdasarkan penjabaran di atas, dapat dibuat tabel nilai pengamatan tindakan guru dan siswa dalam proses pembelajaran menggunakan metode kontekstual dan hasil kemampuan menyimak bahasa Inggris siswa sebagai berikut:

Tabel 3 Hasil Pemantau Tindakan Guru dan Siswa Dalam Pembelajaran bahasa Inggris Melalui Metode Kontekstual dan Hasil Kemampuan

Menyimak Siswa

Aspek PenilaianProsentase Perolehan

Siklus I Siklus IIHasil Pemantau Tindakan Guru dan Siswa Dalam Pembelajaran bahasa Inggris Melalui Metode

Kontekstual

80 % 100 %

Hasil Kemampuan Menyimak Siswa 64.86 % 97.29 %

Berikut diagram hasil pengamatan tindakan guru dan siswa dalam pembelajaran bahasa Inggris melalui metode Kontekstual dan hasil kemampuan menyimak siswa.

Gambar 3 Grafik Hasil Pemantau Tindakan Guru dan Siswa Dalam Pembelajaran bahasa Inggris

Melalui Metode Kontekstual dan Hasil Kemampuan Menyimak Siswa

Dari diagram di atas dapat ditarik sebuah kesimpulan bahwa jika guru mampu menerapkan komponen-komponen metode Konteksual dalam proses pembelajaran bahasa Inggris dengan baik, maka kemampuan menyimak siswa semakin meningkat.

PEMBAHASAN Deskripsi pelaksanaan tindakan pada siklus

I hasil kemampuan menyimak siswa sudah mencapai 64.86% daan pemantau tindakan guru dan siswa sebesar 80%. Walaupun ada peningkatan dari kondisi awal tetapi belum mencapai hasil indikator keberhasilan yang diharapkan, yakni mencapai 80% dari rata-rata jumlah siswa. Terdapat beberapa catatan yang dibuat guru selama proses pembelajaran berlangsung, yakni : Kurang nya pemahaman siswa tentang materi bahan ajar, siswa tidak mau menerima anggota kelompoknya, namun guru berhasil meyakinkan siswa tersebut untuk mau bekerja sama. Belum terbiasanya siswa mendengarkan suara native speaker, sehingga guru harus memutar ulang lebih dari 2 kali. Akibatnya, pada siklus I ini kemampuan menyimak siswa belum mencapai indikator keberhasilan yang diharapkan.

Page 47: PEDAGOGIA - repository.unpak.ac.id · English Phonology adalah salah satu mata kuliah yang dianggap sulit oleh mahasiswa karena mahasiswa diminta untuk menghafalkan teori-teori yang

Pedagogia, Volume 8 Nomor 2 Tahun 2016

422PENINGKATAN KEMAMPUAN MENYIMAK

Untuk meningkatkan kemampuan menyimak siswa dalam proses pembelajaran maka dilakukan perbaikan-perbaikan seperti: (1) Memberikan pertanyaan terbuka untuk memancing pendapat siswa, (2) Membantu siswa dalam membagi tugas dalam kelompok, (3) Melibatkan siswa untuk saling menjadi tutor sebaya dalam kerja kelompok, (4) Memberikan bimbingan pada siswa yang lambat dengan penuh kesabaran, (5) Membiasakan siswa untuk mendengarkan suara native speaker, dengan cara memutar lafal secara berulang-ulang.

Pada tindakan siklus II, suasana kelas tampak aktif, karena siswa sudah mulai berani mangeluarkan pendapat, hal in juga didukung dengan penggunaan media real, sehingga siswa lebih tertarik. Mulai terbiasanya siswa dengan lafal native speaker sehingga guru hanya memutar sebanyak 3 kali dan Dalam kelompok telah terjadi komunikasi antar siswa, seperti saling membagi tugas dan saling membantu jika mengalami kesulitan. Setiap siswa dalam kelompok bertanggung jawab untuk mengerjakan tugas bagiannya, sehingga tidak ada anggota kelompok yang saling bergantung satu sama lain. Selama siswa berada dalam kelompok, guru membantu siswa yang mengalami kesulitan. Kemampuan menyimak siswa di siklus II ini mengalami peningkatan menjadi 97.29%, hasil tersebut telah melebihi indikator keberhasilan yang ditetapkan yaitu 80%. Demikian juga dengan hasil pemantau tindakan guru dan siswa yang mencapai 100%.

Berdasarkan analisis data dan temuan penelitian, pembelajaran dengan menggunakan metode kontekstual dapat meningkatkan kemampuan menyimak bahasa Inggris. Hal ini dikarenakan, pembelajaran dengan menggunakan metode kontekstual mendorong siswa membuat hubungan antara pengetahuan dan keterampilan yang dimiliki dengan penerapannya dalam kehidupan mereka. Dengan konsep ini diharapkan hasil pembelajaran lebih bermakna bagi siswa, proses pembelajaran berlangsung alamiah dalam bentuk kegiatan, siswa bekerja dan mengalami, bukan hanya transfer pengetahuan dari guru ke siswa.

SIMPULAN Melalui metode pembelajaran kontekstual ternyata Kemampuan menyimak siswa dapat meningkat. Selama ini kegiatan belajar berpusat pada guru, namun selama berada dalam beberapa

langkah-langkah pembelajaran kontekstual siswa dapat saling meningkatkan kemampuan menyimak untuk mencapai “keberhasilan”.

Berdasarkan hasil penelitian ini, dapat disimpulkan bahwa pembelajaran bahasa Inggris dengan metode kontekstual di SDN Kedaung Kaliangke 13 pagi, Cengkareng, Jakarta Barat. Ternyata dapat meningkatkan Kemampuan menyimak siswa. Hal ini ditunjukkan dengan rata-rata hasil kemampuan menyimak siswa siklus I sebesar 64 % dan siklus II sebesar 75 %.

DAFTAR PUSTAKADepdiknas. Pendekatan Kontekstual (Contextual

Teaching and Learning), (Jakarta: Dirjen Pendidikan Dasar dan Menengah Direktorat Pendidikan Lanjutan Pertama), 2002.

Jamaris, Martini. Orientasi Baru dalam Psikologi Pendidikan, Jakarta: Yayasan Penamas Murni, 2010.

Kanisius, Warna-warni Kecerdasan anak dan Pembandingan nya, Yogyakarta: Pustaka Familia, 2006.

M, Rost. Listening in Action: Activities for Developing Listening in Language Teaching, New York: Prentice Hall, 1991.

Masnur, Muslich. KTSP Pembelajaran Berbasis Kompetensi dan Kontekstual, Jakarta: Bumi Aksara, 2007.

Mulyana, Agung. Belajar Sambil Mengajar: Menghadapi Perubahab Sosial untuk Pengelolahan Sumberdaya Alam. Bogor: CIFOR, 2008.

Nurhadi, dkk. Pembelajaran Kontekstual dan Penerapannya Dalam KBK, Malang: UM Press, 2004.

Santosa, Puji dkk. Materi dan Pembelajaran Bahasa Indonesia SD, Jakarta: Universitas Terbuka, 2006.

Suhana, Hanafiah. C, Konsep Strategi Pembelajaran, Bandung, Refiko Aditama, 2009.

Tarigan, Henry Guntur. Menyimak sebagai Suatu Keterampilan Berbahasa, Bandung: Angkasa, 1994.

Panjaitan, Mutiara O. “Siapkah Bahasa Inggris Diberikan Kepada Siswa SD?” Jurnal pendidikan dan kebudayaan No.064, tahun ke-13, Januari 2007, 2007.

Uus, Toharuddin. Kompetensi Guru Dalam Strategi Ajar, Jakarta : Artikel Pikiran Rakyat, Senin 24 Oktober 2005, 2005.

Page 48: PEDAGOGIA - repository.unpak.ac.id · English Phonology adalah salah satu mata kuliah yang dianggap sulit oleh mahasiswa karena mahasiswa diminta untuk menghafalkan teori-teori yang

Pedagogia, Volume 8 Nomor 2 Tahun 2016

423 PENINGKATAN KEMAMPUAN MENYIMAK

RIWAYAT HIDUPNur Latifah Dilahirkan di Jakarta pada

tanggal 11 Agustus 1987. Pendidikan formal yang pernah ditempuh adalah MIN 1 Cengkareng, Jakarta lulus tahun 1998. Pada tahun yang sama masuk SMP Negri 108 Jakarta lulus tahun 2001 kemudian melanjutkan ke SMK PGRI 35 Jurusan Akuntansi, Jakarta lulus tahun 2004. Pada tahun 2004 diterima di Universitas Indraprasta PGRI (UNINDRA) Jurusan Pendidikan Bahasa Inggris Program Studi S I lulus tahun 2008. Pada tahun 2010 diterima sebagai mahasiswa Program Magister (S2) pada Program Studi Pendidikan Dasar Program Pascasarjana, Universitas Negeri Jakarta lulus tahun 2012, Mengajar sebagai dosen di Universitas Muhammadiyah Tanggerang pada Program Studi PGSD.

Page 49: PEDAGOGIA - repository.unpak.ac.id · English Phonology adalah salah satu mata kuliah yang dianggap sulit oleh mahasiswa karena mahasiswa diminta untuk menghafalkan teori-teori yang

Pedagogia, Volume 8 Nomor 2 Tahun 2016

424THE RELATIONSHIP BETWEEN LEARNING MOTIVATION

THE RELATIONSHIP BETWEEN LEARNING MOTIVATION, PORTFOLIO BASED ASSESSMENT, AND STUDENTS’ WRITING ABILITY

Lungguh Halira VontiLecturer of English Education Study Program in Faculty of Teachers Training and

Educational Sciences, Pakuan University

ABSTRACTThe study is aimed to reveal the relationship between learning motivation, portfolio based assessment with the students’ writing ability. The study was conducted in second semester of English Education Study Program in Faculty of Teachers Training and Educational Sciences, Pakuan University. The population of the study is the second semester of the English Department, Faculty of Teachers Training and Educational Sciences, Pakuan University. From the population, the sample of the study is two classes with 56 students. The method of the study is correlative study with the technique of data analysis multiple regression. The instruments used by the researcher are motivation questionnaire, portfolio project, questionnaire on students’ perception toward portfolio based assessment, and writing test. From the study, it can be concluded that the students’ learning motivation has significant positive relationship with the students’ writing ability. The second result is the positive relationship between portfolio based assessment and the students’ writing ability. From the data analysis, it is found out that the students who got high score in their portfolio project, obtained high score in writing test.

Keywords: Portfolio, Assessment, Learning Motivation, Writing Ability

ABSTRAKTujuan penelitian ini adalah untuk mengungkap hubungan antara motivasi belajar, penilaian portfolio yang dilkaukan oleh guru, dan kemampuan anak dalam menulis. Penelitian ini dilakukan pada mahasiswa Program Studi Pendidikan Bahasa Inggris semester dua, Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan, Universitas Pakuan. Dari jumlah populasi mahasiswa semester dua PB. Inggris, sampel yang diambil untuk penelitian adalah sebanyak 56 mahasiswa dari 2 kelas. Metode penelitian yang dipakai adalah studi korelasi dengan teknik data yang dipakainya adalah multiple regression. Instrumen yang dipakai sebagai pengambilan data dalam penelitian ini adalah kuisioner mengenai mitivasi belajar siswa, projek portfolio, kuisioner mengenai persepsi mahasiswa terhadap penilaian portfolio dan test menulis. Dari penelitian tersebut, dapat disimpulkan bahwa motivasi belajar siswa memiliki hubungan yang positif dengan kemampuan mereka dalam menulis. Hasil kedua yang didapat dari penelitian tersebut adalah adanya hubungan positif antara penilaian portfolio dengan nilai menulis anak.

Kata kunci: Motivasi belajar, penilaian portfolio, kemampuan siswa dalam menulis

INTRODUCTIONIn recent times, writing has received great

attention not only because it plays vital role in learning and transforming knowledge but also in promoting creativity. However, writing is not an easy skill to be mastered. In writing skills, the learners of English language teaching are required to master not only grammatical and rhetorical devices but also of conceptual and judgment elements. In English Education Study Program of Faculty of Teachers

Training and Educational Sciences, Pakuan University, writing skill is taught within prerequisite levels. There are six courses of writing which are divided into six different semesters starting with Basic Writing, Genre Based Writing, Paragraph Writing, Essay Writing, Resume Writing, and Academic Writing.

However, based on the analysis of the result of students’ final test in the previous semester (Pakuan University, 2013), it is found out that the students are still not able to write a good simple paragraph.

Page 50: PEDAGOGIA - repository.unpak.ac.id · English Phonology adalah salah satu mata kuliah yang dianggap sulit oleh mahasiswa karena mahasiswa diminta untuk menghafalkan teori-teori yang

Pedagogia, Volume 8 Nomor 2 Tahun 2016

425 THE RELATIONSHIP BETWEEN LEARNING MOTIVATION

The main challenges for the teachers related to the students’ disability to write good paragraphs or texts are among others their understanding of grammar used in the paragraphs based on the language features, the problem with composing topic sentences, the organization of the paragraphs or text, the transitional signals used in the paragraphs or text, and the mechanics of the paragraph or text. These problems seem to be crucial in writing teaching and learning since writing skill can be used as a practice tool to help the students to practice and to work the language they have been studying in other part of learning activities.

Writing lecturers in English Education Study Program, FKIP, Pakuan University, found it very difficult to make the students aware about the reason why they have to learn to write. In fact, in writing process, it is very important for the students to know why they have to learn to write; they have to be aware why writing is important in foreign language teaching and learning. To gain the success in writing teaching and learning, the teachers should engage them easy and enjoyable activities. Thus, this fact creates the condition which is not likely to make students interested in writing subjects. Most of students seem unmotivated in learning language, especially in writing skill. It is proved by the result of the questionnaire as a preliminary observation conducted related to the interest and motivation in writing skills.

Based on above consideration, teachers should find alternative methods of assessment to apply to ensure maximal representation of the students and their capabilities. To get more effective writing instruction, some research found out that one of authentic assessments, portfolio assessment, provide the ways. Based on the preliminary observation in a form of interview with the writing lecturers, the students have to be always motivated in writing course.

In this research, the writer intends to show one kind of alternative assessment which is suitable with ICT era, that is electronic portfolio by using blog. Furthermore, there is still limited quantitative research about portfolio and motivation toward students’ writing ability, especially in Indonesia. There are very limited quantitative researches which relate learning motivation and portfolio assessment with the students’ writing ability. Therefore, based on the above consideration and based on the result of the preliminary observation, this study is proposed to

prove that there is positive the relationship between students’ learning motivation, portfolio based assessment, and its interaction to their writing ability.

Based on the background, the researcher wants to investigate the problems based on the following questions: the first question is that whether there is a relationship between learning motivation, portfolio based assessment, and students’ writing ability or not. The second question is whether or not there is any significant relationship between learning motivation and students’ writing ability. The last question is about the significant relationship between portfolios based assessment and students’ writing ability.

METHODOLOGYThe objective of the study is to investigate

the relationship between the students’ learning motivation and their perception toward portfolio based assessment with their writing ability. To achieve the goal, the research method employed is quantitative research methodology focusing on correlative study. The research design used is multiple regressions. According to Fraenkle and Wallen (2007), multiple regressions is a technique which enables the researcher to determine the correlation between dependent variables with the combination of more than one independent variables.

The study was conducted during the second semester of EESP, FKIP, Pakuan University. The semester is started from February to July 2013, and the study was begun from August to October 2013. However, the writer has done a preliminary observation to the students and lecturer who teaches writing subject. The preliminary observation consisted of the analysis of the students’ writing of their previous semester, learning motivation questionnaire distributed to the students, and interview to the lecturers.

RESEARCH FINDINGS AND DISCUSSIONLearning Motivation and Students’ Writing AbilityMotivation for learning is a complex overarching concept. A range of psychosocial factors both internal (intrinsic) to the learner and present in the learner’s social and natural environment (extrinsic) influences motivation for learning. Therefore, motivational is not only aroused from the condition of the students themselves, but also from the way the teachers teach

Page 51: PEDAGOGIA - repository.unpak.ac.id · English Phonology adalah salah satu mata kuliah yang dianggap sulit oleh mahasiswa karena mahasiswa diminta untuk menghafalkan teori-teori yang

Pedagogia, Volume 8 Nomor 2 Tahun 2016

426THE RELATIONSHIP BETWEEN LEARNING MOTIVATION

(method), and the environment where the students learn.

Intrinsic motivation comes from the students themselves. In writing process, the students should be given the authority to control their activities. The teacher may involve them in writing activities; therefore, it can provide them with the sense of control over their academic outcomes. As the result, the students will be more motivated to learn to write.

The extrinsic motivation usually deals with the environment of the learning process. Teaching technique is one of the elements of extrinsic motivation. When the teacher is not able to apply the technique which provides them the activities to enjoy, the students will be easier to be unmotivated. Teacher’s assessment is another element of extrinsic motivation. The students are usually curious of how their writings are assessed. Being able to know how the teachers give scores to their writing will of course increase their motivation to write better than they did in the previous lesson.

These two sources of motivation should be one of things that the teacher considers when they want improve the students’ writing ability. To gain or to raise the students’ motivation intrinsically and extrinsically, the students may be involved in the process of teaching learning; for example, they are involved in the assessing process or choosing the materials and in deciding the technique of teaching and learning. Therefore, the autonomy of the learning process will be obtained by the students.

The data analysis from the research showed by using critical value approach. The t statistic is compared to the t of significant coefficient. If the t-value of the data analysis is greater than the t-table, it means that the null hypothesis is rejected because it is not tested the trust and the Ha is recieved. The t-score of the SPSS calculation is 2.113 which is greater than the t-table at the degree of freedom of 53. The data shows that the t-score is greater than the t-table (2.006); therefore it can be decided that the null hypothesis is rejected, and the alternative hypothesis is accepted. Therefore, the interpretation of the result of individual test for independent variable (x1) is that learning motivation significantly explains students’ writing ability controlling for portfolio based assessment.

Motivation plays important role in students’ writing ability. The variety of the teaching activity,

assessments, and the students’ participation in teaching activity will increase the students writing ability. One of the factors that can increase the students’ writing ability is their learning motivation. In the previous time, the teachers usually focus only to the product of writing, and the students are not involved in the assessment of their work. This condition could decrease the students’ motivation to learn writing; thus, it will also decrease their writing score.

To motivate the students to learn to write, the teachers should find other alternative way which provides the students the opportunities to engage at a meaningful level with the language. By having the participation in deciding what assignments the students have to submit, the scoring procedures, and being able to see the motivating feedback for their writing, the students will be motivated and engaged in writing class.

It is proved by the data analysis from the questionnaire distributed to 56 samples for 2 classes. It is found out that the students’ learning motivation highly contributed the students’ score in writing test. The scores obtained by the students in their writing test were significantly explained by their score in learning motivation questionnaire results. The students with high score of motivation in the questionnaire got higher score in writing test. From the data analysis, it is also found out that there is significant linear relationship between students’ writing ability and their learning motivation.

Portfolio Based Assessment and Students’ Writing Ability

If we talk about motivation, as it is mentioned above, one way to increase students’ motivation is by involving them in the assessing process. One type of alternative assessments that the teachers may use is portfolio based assessment. Portfolio assessment is a kind of assessment which compiles the students’ product in during their teaching and learning process.

Paulson et al (1991) define a portfolio as purposeful collection of student work that shows the student’s efforts, progress, and achievements in one or more areas of the curriculum. It should represent a collection of students’ best work or best efforts, student-selected samples of work experiences related to outcomes being assessed, and documents according growth and development toward mastering

Page 52: PEDAGOGIA - repository.unpak.ac.id · English Phonology adalah salah satu mata kuliah yang dianggap sulit oleh mahasiswa karena mahasiswa diminta untuk menghafalkan teori-teori yang

Pedagogia, Volume 8 Nomor 2 Tahun 2016

427 THE RELATIONSHIP BETWEEN LEARNING MOTIVATION

identified outcomes.There are numerous benefits of portfolio

assessment. One of linguist who proposed the benefits of portfolio is Bratcher and Linda Ryan (2004). The benefits are among others; first, portfolio is a more individualized way of assessing students and has the advantage of demonstrating a wide range of work. Second, portfolio assessment can encourage a dialog between teacher and students about the individualized nature of the work. It is common in most of writing class where students may have papers or projects returned with the score only, so they fail to understand what might be necessary for improvement. Third, portfolio assessments provide an authentic way of demonstrating skills and accomplishments. Portfolio assessment can encourage a positive point of view on learning and achievement if it is used in a considerate, carefully planned way.

One of portfolio kinds is electronic portfolio. The implementation of electronic portfolio in writing class, according to Wanchid, is very simple. Basically, the students write their essays or texts, and then post them in their personal blog. After that, the teachers and the students give comments and feedback. If the students have finished revising their essay or text, they have to post their revised essay and text again on their blog.

Electronic portfolio, for example by using blogs, provides the students with the access of ICT use. For the students, the use of ICT in teaching and learning process encourage them to learn to write. Therefore, it will increase their writing ability.

It is answered from the the data analysis for the second independent variable. It is showed that there is significant linear relationship between portfolio based assessment and students’ writing ability. The students’ interest in using technology significantly affects their score in writing. In this research, the researcher used electronic portfolio in a form of blog in giving assessment to the students. The result based on the rubric for electronic portfolio showed that if the score for their portfolio assignment was increased, it would significantly increase their score in writing test. The writing scores in the research were obtained from the result of their writing test in final test in the end of the semester. It is said that the students who got high score for their portfolio, go high score in their writing test.

Combination of learning motivation and portfolio based assessment with the students’ writing ability.

There are several aspects that affect the students’ motivation in learning process; one of them is the way the teachers assess their work in the classroom. New alternative in assessing students’ work is portfolio based assessment. In the study, the writer also uses this kind of assessment to assess writing skill as the second variable. However, the portfolio based assessment which is used is electronic portfolio by using blog. The extrinsic factors that motivate them in learning writing are among others involve the teaching technique, teachers’ assessment, and the application of ICT in the classroom activities.

The theory above is described by the result of the study. The result from data analysis of combination of two independent variables (learning motivation and portfolio based assessment) proves that there was significant linear relationship between the combination of students’ learning motivation and portfolio based assessment and the students’ writing ability. From the instruments given to the samples, it is found out that the increasing score for the learning motivation questionnaire and the portfolio based assessment score will also increase the score for their writing ability.

Portfolio could enhance the students’ learning motivation, and if the students are highly motivated, they will increase their ability in writing.

CONCLUSIONThere are so many factors which influence

the students’ writing ability. The factors are based on the students’ cognitive and affective field. The factors used to check the students’ writing ability in this research are students’ learning motivation and kind of assessment given to them. The assessment used in this research is alternative assessment in a form of electronic portfolio. The students’ interest in technology is the consideration in determining the second variable above. Those factors are the variables that the writer measured to know how much the influence they have in students’ writing ability in forming some kinds of text.The research findings of the study showed that:

Both the students’ learning motivation and portfolio based assessment have positive correlation to the students’ writing ability. This is supported

Page 53: PEDAGOGIA - repository.unpak.ac.id · English Phonology adalah salah satu mata kuliah yang dianggap sulit oleh mahasiswa karena mahasiswa diminta untuk menghafalkan teori-teori yang

Pedagogia, Volume 8 Nomor 2 Tahun 2016

428THE RELATIONSHIP BETWEEN LEARNING MOTIVATION

by the tables as output of the SPSS counting. The researcher used correlation analysis and regression analysis. The tables showed the result of correlation and regression between variables. Based on the result of the research findings, the significant relationship is above 50%; it means that one of factors which have greater linear relationship to the students’ writing ability is motivation and portfolio based assessment.

The result also proved that learning motivation is important in teaching and learning writing. The relationship between learning motivation and writing ability is shown in the significant score below the level of coefficient significant which is 0.00. It means that there is linear relationship between learning motivation and the students’ writing ability. The score obtained for the questionnaire about learning motivation showed that the higher score for their motivation the higher score they got for their writing test.

REFFERENCESBereiter&Scardamalia.The Psychology of Written

Composition.Hillsdale, NJ: Erlbaum, 1987.Bratcher, Susan, and Linda Ryan, Evaluating

Children’s Writing: A Handbook of Grading Choices for Classroom Teachers. New Jersey: Lawrence Erlbaum Associates Publisher. 2004

Brown, H. Douglas. Teaching By Principles: An Interactive Approach to Language Pedagogy , 2nd ed. New York: Pearson Education, 2000.

D. Ackerman, Jay. Motivation for Writing through Blog.Bowling Green State University. 2006.

Dornyei, Z. Creating a Motivationg Classroom Environmnet.Nothingham: University of Nothingham, 2001.

Ehrman, Stephen C. Digital Writing Across the Curriculum: Implication of Technology for a College Education. (2012). http://www.tltgroup.org/resources/gx/Digital-WAC. Hm. (Accessed January 13, 2013)

Fraenkel, Jack and Wallen Norman.How to Design and Evaluate Reasearch in Education.Mc. Graw Hill, 2007.

Freadman, Anne. Models of Genre for Language Teaching. Sydney University: 1994.

Gardner, A., and Jhonson D. Teaching Personal Experience Narrative in Elementary and

Beyond.Northern Arizona: Writing Project Press, 1997.

Ganson,Michelle.,Harvey Green, Stephanie Mattie, Jenny Young. Improving Motivation through the Use of Portfolio Assessment.Chicago: Saint Xavier University, 2009.

Guilloteaux, Mari-Jose.Motivating Language Learners: A Classroom-Oriented Investigation of Teachers Motivational Practices and Students’ Motivation. University of Nottingham, 2004.

Hayland, Ken. Second Language Writing.New York: Cambridge University Press, 2003.

Harlen, W. and R. Deakin Crick.Testing and Motivation for Learning. Bristol: Carfax Publishing, 2003.

Harmer, Jeremy.The Practice of English Language Teaching.Cambridge: Pearson Education Limited, 2007.

- How to Teach Writing. Essex: Pearson Education Limited, 2004.

- How to Teach English. Essex: Pearson Education Limited, 2007.

Heaton, J.B. Writing English Language Test. New York: Longman Group, 1990.

Hornby, A.S. Oxford Advanced Learner’s Dictionary of Current English.English: Oxford University Press, 1974.

Huang, Jizhen.The Implementation of Portfolio Assessment in Integrated English Course.Xuchang: Canadian Center of Science and Education, 2012.

J. C., Turner. The Influence of Classroom Context on Young Children’s Motivation for Literacy. Reading Research Quarterly. 1995.

Jensen, Eric. Teaching With the Brain in Mind.Alexandria: ASCD Publication. 2005.

Knapp, Peter and Megan Watkin. Genre, Text, Grammar: Technologies of Teaching and Assessing Writing. Sydney: UNSW Press Ltd, 2005.

Khodaday, Ebrahim and HosseinKhodabakhshzade.The Effect of Portfolio and Self Assessment on Writing Ability and Autonomy.Journal of Langugae Teaching and Research. 2012.

Lyons-Hamps, L. Interweaving Assessment and Instruction on College ESL Writing Classes.College ESL, 1994.

Lorenzo, George and John Ittelson.An Overview of

Page 54: PEDAGOGIA - repository.unpak.ac.id · English Phonology adalah salah satu mata kuliah yang dianggap sulit oleh mahasiswa karena mahasiswa diminta untuk menghafalkan teori-teori yang

Pedagogia, Volume 8 Nomor 2 Tahun 2016

429 THE RELATIONSHIP BETWEEN LEARNING MOTIVATION

E-Portfolio.Educause Learning Innitiative, 2005.

M. Ryan, Richard and Edward L. Deci, Intrinsic and Extrinsic Motivations: Classic Definitions and New Directions. New York: Academic Press, 2000.

Mcinerney, Dennis M and Arief D. Liem, Motivation Theory and Engaged Learning. Rotterdam: Sense Publisher, 2008.

Nazifah, et all. Enhancing Students’ Motivation by Providing Feedback in Writing.Malaysia: International Journal of Social Science and Humanity. 2012.

Nezakatgoo, Behzad.Portfolio as a Viable Alternative in Writing Assessment.Tehran: Academy Publisher, 2011.

Ortega, Lourdes.Studying Writing Across EFL Context: Writing in Foreign Language Context. Ontario: Multilingual Matters. 2009.

Pantziara,Marillena& George Phillipou, Students’ Motivation and Achievement and Teachers’ Practices in the Classroom.University of Cyprus, 2007.

Paulson,F. Leon, Pearl R. Paulson, & C.A. Meyer, What Makes a Portfolio a Portfolio.Portland: EBSCHO Publishing, 1991.

Richards,Jack. C. and Willy A. Renandya. Methodology in Language Teaching: An Anthology of Current Practice. The United States of America: Cambridge University Press, 2002.

S., Hidi and Harackiewicz, J. M. Motivating the Academically Unmotivated: A Critical Issue for the 21st Century. Review of Education Research. 2000.

S. Moya., S., and J. Malley. “A Portfolio Model for ESL” The Journal of Education Issues of Language Minority Students No. 13, 1994.

S., Murphy.Assessing Portfolio in C. Cooper and L. Oldell.Evaluating Writing.Urbana: Nationla Council of Teaching English, 1999.

Troyka, L. Defining Basic Writing on Context. In T. Enos (Ed).A Source Book for Basic Writing Teacher.New York: Random House. 1987

W. Harlen& R. Deakin Crick, Testing and Motivation for Learning. Bristol: CarfaxPublising, 2003.

Wanchid, Raveewan. How to Implement Electronic Portfolio in a Writing Class. Bangkok: King Mongku’s University of Technology.

Widdowson, H.G. Teaching Language as Communication. New York: Oxford University Press. 1978.

Williams,Kaylene C. & Caroline C. Williams.Five Key Ingredients for Improving Students’ Motivation.Research in Higher Education Journal.

Page 55: PEDAGOGIA - repository.unpak.ac.id · English Phonology adalah salah satu mata kuliah yang dianggap sulit oleh mahasiswa karena mahasiswa diminta untuk menghafalkan teori-teori yang

Pedagogia, Volume 8 Nomor 2 Tahun 2016

430PENYELENGGARAAN OTONOMI PENDIDIKAN

PENYELENGGARAAN OTONOMI PENDIDIKAN DAN TANGGUNG JAWAB PEMERINTAH PADA SISTEM PENDIDIKAN NASIONAL

DI INDONESIA

Bernadain D. PoliiDosen Politeknik Negeri Manado

Ketercapaian tujuan pendidikan ditentukan oleh proses pendidikan yang dialami oleh peserta didik. Sementara proses pendidikan yang berkualitas ditentukan oleh kualitas profesional dan dedikasi guru, sarana dan prasarana, media pembelajaran (buku, laboratorium, sarana dan prasarana olahraga) dan sistem evaluasi pembelajaran yang digunakan sebagai bagian dari strategi penguatan dalam pembelajaran. Otonomi pendidikan yang benar harus bertanggung jawab, yang berarti bahwa kebijakan pendidikan yang diambil harus selalu bertanggung jawab kepada publik, karena sekolah didirikan oleh publik atau untuk melayani kebutuhan masyarakat. Otonomi tanpa akuntabilitas publik dapat mengarah ke tindakan sewenang-wenang. Pemerintah Pusat tidak diperbolehkan untuk mengganggu wilayah pendidikan Pemerintah pusat hanya diperbolehkan untuk memberikan kebijakan nasional, seperti aspek kualitas dan kesetaraan.

Kata kunci: Tujuan pendidikan, Otonomi Pendidikan, Proses Pembelajaran

ABSTRACTThe accomplishment of the educational goals is determined by the learning process experienced by the students. In fact, a qualified learning process is determined by professional quality and the teachers’ dedication, facilities, infrastructures learning media (books, laboratory, sport facilities and infrastructures) and the evaluation of the learning system used as a part of empowering strategy in education. The right educational autonomy is accountable, which means that the educational policy taken is accountable to the public, since schools are built by the public or for meeting the need of the society. Autonomy without public accountability can lead to arbitrary decision. The central government is not allowed to disturb the educational area of the central government but they can make national policy, such as the aspects of quality and equality.

Keywords: Educational goals, educational autonomy, learning process

PENDAHULUAN Pemberlakuan sistem desentralisasi

akibat pemberlakuan Undang-Undang No.22 Tahun 1999 tentang otonomi pemerintahan daerah memberi dampak terhadap pelaksanaan pada manajemen pendidikan yaitu manajemen yang memberi ruang gerak yang lebih luas kepada pengelolaan pendidikan untuk menemukan strategi berkompetisi dalam era kompetitif mencapai output pendidikan yang berkualitas dan mandiri. Kebijakan desentralisasi akan berpengaruh secara signifikan dengan pembangunan pendidikan. Setidaknya ada 4 dampak positif untuk mendukung kebijakan desentralisasi pendidikan, yaitu : 1) Peningkatan mutu, yaitu dengan kewenangan yang dimiliki sekolah maka sekolah lebih leluasa mengelola dan memberdayakan potensi sumber daya yang dimiliki; 2) Efisiensi Keuangan hal ini dapat dicapai dengan memanfaatkan sumber-sumber pajak lokal dan mengurangi biaya operasional; 3) Efisiensi Administrasi, dengan memotong mata rantai

birokrasi yang panjang dengan menghilangkan prosedur yang bertingkat-tingkat; 4) Perluasan dan pemerataan, membuka peluang penyelenggaraan pendidikan pada daerah pelosok sehingga terjadi perluasan dan pemerataan pendidikan.

A. Fokus PenelitianBerdasarkan latar belakang yang telah diuraikan diatas, maka penelitian ini difokuskan pada Penyelengaraan Otonomi Pendidikan Dan Tanggung Jawab Pemerintah Pada Sistem Pendidikan Nasional Di Indonesia

B. Rumusan MasalahBerkenaan dengan hal-hal yang dikemukan diatas, maka perumusan masalah yang akan dibahas: 1. Bagaimanakah penyelenggaraan otonomi

pendidikan di Indonesia2. Bagaimanakah tanggung jawab pemerintah

terhadap pendidikan nasional?

Page 56: PEDAGOGIA - repository.unpak.ac.id · English Phonology adalah salah satu mata kuliah yang dianggap sulit oleh mahasiswa karena mahasiswa diminta untuk menghafalkan teori-teori yang

Pedagogia, Volume 8 Nomor 2 Tahun 2016

431 PENYELENGGARAAN OTONOMI PENDIDIKAN

KAJIAN TEORETIKDekonstrasi adalah proses pelimpahan

sebagian kewenangan kepada pemerintahan atau lembaga yang lebih rendah dengan supervisi dan pusat. Sementara Delegasi mengandung makna terjadinya penyerahan kekuasaan yang penuh sehingga tidak lagi memerlukan supervisi dan pemerintah pusat. Pada Tingkat Devolusi di bidang pendidikan terjadi apabila memenuhi 4 ciri, yaitu (1) terpisahnya peraturan perundangan yang mengatur pendidikan di daerah dan di pusat; 2) kebebasan lembaga daerah dalam mengelola pendidikan; 3) lepas dari supervisi hirarkhis dan pusat dan 4) kewenangan lembaga daerah diatur dengan peraturan perundangan. Berdasarkan ciri-ciri tersebut, proses desentralisasi pendidikan di Indonesia berdasarkan UU No.22 tahun 1999 lebih menjurus kepada Devolusi, yang peraturan pelaksanaannya tertuang pada Peraturan Pemerintah No.25 Tahun 2000, seluruh urusan pendidkan dengan jelas menjadi kewenangan Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota, kecuali Pendidikan Tinggi. Kewenangan Pemerintah Pusat hanya menetapkan standar minimal, baik dalam persyaratan calon peserta didik, kompetensi peserta didik, kurikulum nasional, penilaian hasil belajar, materi pelajaran pokok, pedoman pembiayaan pendidikan dan melaksanakan fasilitas (Pasal 2 butir II).

Dalam konteks otonomi pendidikan, secara alamiah (nature) pendidikan adalah otonom. Otonomi pada hakikatnya bertujuan untuk memandirikan seseorang atau suatu lembaga atau suatu daerah, sehingga otonomi pendidikan mempunyai tujuan untuk memberi suatu otonomi dalam mewujudkan fungsi manajemen pendidikan kelembagaan.

Namun sejak dilaksanakannya otonomi pendidikan, ternyata pelaksanaannya belum berjalan sebagaimana diharapkan, justru pemberlakuan otonomi membuat banyak masalah yaitu mahalnya biaya pendidikan.

Sedangkan, pengertian otonomi pendidikan sesungguhnya terkandung makna demokrasi dan keadilan sosial, artinya pendidikan dilakukan secara demokrasi sehingga tujuan yang diharapkan dapat diwujudkan dan pendidikan diperuntukkan bagi kepentingan masyarakat, sesuai dengan cita-cita bangsa dalam mencerdaskan bangsa.

Sesuai dengan UU No. 20 Tahun 2003 tentang SISDIKNAS Pasal 50 Ayat 2, maka “ Pemerintah menentukankebijakan naional dan standar nasional pendidikan untuk menjamin mutu pendidikan”. “Pemerintah Daerah Propinsi melakukan koordinasi peneyelenggaraan pendidikan, pengembangan tenaga kependidikan dan evaluasinya”. (Pasal 50

Ayat 2), dan “Pemerintah kabupaten/kota mengelola pendidikan dasar dam menengah serta satuan pendidikan yang erbasis keunggulan lokal.

Berangkat dari ketentuan UU Sisdiknas jelaslah bahwa pemerintah daerah, sebagai bagian dari sistem pendidikan penyelenggaraan pemerintah Negara Kesatuan Republik Indonesia, bertanggung jawab untuk mengelola pendidikan yang bermutu sesuai dengan standar nasional yang digariskan oleh pemerintah pusat. Untuk itu tidak ada pilihan kecuali berupaya agar standar nasional dalam hal: (1) kualitas dan kualifikasi tenaga guru dan kependidikan lainya; (2) sarana dan prasarana; (3) kurikulum dan proses pembelajaran; (4) media pembelajaran seperti buku, laboratorium, dan media pembelajaran lain yang diperlukan; dan (5) sistem evaluasi yang komprehensif, terus menerus, dan obyektif dipenuhi persyaratannya.Tanggung jawab konstitusional Pemerintah Negara RI sesuai dengan UUD 1945 adalah “mengusahakan dan memenyelenggarakan satu sistem pendidikan nasional”(pasal 32) dan memajukan ilmu pengetahuan dan teknologi” (pasal 31 Ayat 5)UUD 19451.Terjadinya krisis multidimensi dan belum mantapnya pelaksanaan demokrasi sesuai dengan UUD 1945, serta masih rendahnya tingkat kesejahteraan rakyat, masih tertinggalnya perkembangan Iptek, dan rendahnya produktivitas nasional serta rentannya integrasi nasional mengindikasikan betapa upaya memajukan kesejahteraan rakyat, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan memajukan kebudayaan bangsa Indonesia masih jauh dari terwujud. Salah satu faktor penyebabnya adalah belum diselenggarakannya pendidikan nasional yang bermutu. Pertanyaannya adalah: “Apakah krteria sistem pendidikan yang bermutu?” Dalam pandangan saya, suatu pendidikan dipandang bermutu apabila lulusan suatu program pendidikan memiliki kemampuan (intelektual, profesional dan sosial), sikap, dan nilai (kepribadian dan watak) sebagaimana yang dicita citakan itu, di Indonesia, sebagaimana yang digariskan dalam UU Sisdiknas. (Soedijarto, 2008)Namun demikian kita menyadari bahwa keberhasilan tercapainya tujuan pendidikan akan ditentukan oleh proses pendidikan yang dialami oleh peserta didik. Sedangkan proses pendidikan yang berkualitas dan bermutu bagi tercapainya tujuan pendidikan akan ditentukan oleh kualitas profesional dan dedikasi guru, sarana dan prasarana, media pendidikan (buku, laboratorium, sarana dan prasarana olahraga,kebun botani), dan sistem evaluasi yang diterapkan sebagai bagian dari strategi penguatan dalam pembelajaran. 1

Page 57: PEDAGOGIA - repository.unpak.ac.id · English Phonology adalah salah satu mata kuliah yang dianggap sulit oleh mahasiswa karena mahasiswa diminta untuk menghafalkan teori-teori yang

Pedagogia, Volume 8 Nomor 2 Tahun 2016

432PENYELENGGARAAN OTONOMI PENDIDIKAN

Dalam konteks ini dimana peran pemerintah?untuk menjalankan pemerintahannya,seperti Almond dan Verba yang setelah melakukan studi perbandingan sampai pada kesimpulan.

“...A democratic goverment must govern: it must have power and leadership and make decisions. On the other handt must be respnsible to its citizens. For if democracy means anything, it means that in some way goverment elites must respond the desires and demands of citizen. The need of to maintain this sort of balance between govermental power and govermental responsiveness, as well as the need to maintain other balances that derive from the power/responsiveness balances-balances beetwen consensus and cleavage, between affective neutrality help explain the way in which the more mixed patterns political attitudes assosieted with the civic cultur are appropriate to a democratic political system”( Gabriel A. Almond and Sidney Verba 1965, The Civic Culture: Political Attitudes and Democracy in Five Nations. Little, Brown and Co.,pp.340-341).

Sesungguhnya, pemahaman tentang anggaran pendidikan sebagaimana tertulis dalam Pasal 49 Ayat (1) UU No.20 Tahun 2003 tentang Sisdiknas telah menjadi konvensi international. Jadi kalau Bappenas bersama BPS dan UNDP pada juni 2004 dalam publikasinya, The Economic of Democracy (hal.36), menyatakan:

“Indonesia’s poor performance by International standards reflects a low level of investment. Indonesia spends around 1.5 persen is of GDP on education a proportion far lower than that in many Asian countrihes. The amount spend relatively low as a porpotion, at 10 persen, was sinificantly lower than Thailand’s 30 persen, Myanmar’s 18 persen, Bangladesh’s 16 persen, Nepals 14 persen, dan Bhirma’s 13 persen.” (BPS, BAPPENAS, UNDP, The Economics of Democracy.hlm 36,thn 2004).

METODOLOGI PENELITIANPenelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan bagaimana Penyelenggaraan Otonomi Pendidikan Dan Tanggung Jawab Pemerintah Pada Sistem Pendidikan Nasional Di Indonesia. Penelitian ini menggunakan metodologi kajian secara kualitatif .

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

1. PENYELENGARAAN OTONOMI PENDIDIKAN DI INDONESIA

Otonomi pendidikan menurut Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional Nomor 20 Tahun 2003 adalah terungkap pada hak Hak dan Kewajiban Warga Negara, Orang tua, Masyarakat dan Pemerintah. Pada bagian ketiga Hak dan Kewajiban Masyarakat Pasal 8 disebutkan bahwa “Masyarakat berhak berperan serta dalam perencanaan, pelaksanaan, pengawasan, dan evaluasi program pendidikan ; pasal 9 Masyarakat berkewajiban memberikan dukungan sumber daya dalam penyelenggaraan pendidikan”.

Begitu juga pada bagian keempat Hak dan Kewajiban Pemerintah dan Pemerintah Daerah, pasal 11 ayat (2) “Pemerintah dan Pemerintah Daerah wajib menjamin tersedianya dana guna terselenggaranya pendidikan bagi setiap warga negara yang berusia tujuh sampai lima belas tahun”. Khusus ketentuan bagi Perguruan Tinggi, pasal 24 ayat (2) “Perguruan Tinggi memiliki otonomi untuk mengelola sendiri lembaganya sebagai pusat penyelenggaraan pendidikan tinggi, penelitian ilmiah, dan pengabdian kepada masyarakat”.

Dari penjelasan di atas, dapat disimpulkan bahwa otonomi pendidikan mengandung pengertian yang luas, mencakup filosofi, tujuan, format dan isi pendidikan serta manajemen pendidikan itu sendiri. Implikasinya adalah setiap daerah otonomi harus memiliki visi dan misi pendidikan yang jelas dan jauh ke depan dengan melakukan pengkajian yang mendalam dan meluas tentang trend perkembangan penduduk dan masyarakat untuk memperoleh konstruk masyarakat di masa depan dan tindak lanjutnya, merancang sistem pendidikan yang sesuai dengan karakteristik budaya bangsa Indonesia yang Bhineka Tunggal Ika dalam perspektif tahun 2020. Kemandirian daerah itu harus diawali dengan evaluasi diri, melakukan analisis aktor internal dan eksternal daerah guna mendapat suatu gambaran nyata tentang kondisi daerah sehingga dapat disusun suatu strategi yang matang dan mantap dalam upaya mengangkat harkat dan martabat masyarakat daerah yang berbudaya dan berdaya saing tinggi melalui otonomi pendidikan yang bermutu dan produktif. Sesuai dengan UU No.20 Tahun 2003 tentang Sisdiknas Pasal 50 ayat 2, maka “Pemerintah menentukan kebijakan nasional dan standar nasional pendidikan untuk menjamin mutu pendidikan”.”Pemerintah Daerah Propinsi melakukan koordinasi penyelengaraan pendidikan, pengembangan tenaga kependidikan dan

Page 58: PEDAGOGIA - repository.unpak.ac.id · English Phonology adalah salah satu mata kuliah yang dianggap sulit oleh mahasiswa karena mahasiswa diminta untuk menghafalkan teori-teori yang

Pedagogia, Volume 8 Nomor 2 Tahun 2016

433 PENYELENGGARAAN OTONOMI PENDIDIKAN

evaluasinya” Pasal 50 ayat 2, dan “Pemerintah kabupaten/kota mengelola pendidikan dasar dan menengah serta satuan pendidikan yang berbasis keunggulan lokal. Berangkat dari ketentuan UU Sisdiknas jelaslah bahwa pemerintah daerah, sebagai bagian dari sistem pendidikan penyelengaraan pemerintah Negara Kesatuan Republik Indonesia, bertanggung jawab untuk mengelola pendidikan yang bermutu sesuai dengan standar nasional yang digariskan oleh pemerintah pusat. Untuk itu tidak ada pilihan kecuali berupaya agar standar nasional dalam hal:(1) kualitas dan kualifikasi tenaga guru dan kependidikan lainnya; (2) sarana dan prasarana; (3) kurikulum dan proses pembelajaran; (4) media pembelajaran seperti buku, laboratorium, dan media pembelajaran lain yang diperlukan; dan (5) sistem evaluasi yang komprehensif, terus menerus, dan obyektif dipenuhi persyaratannya. Agar kelima unsur strategis terselenggaranya proses pembelajaran yang berkualitas dapat terpenuhi, diperlukan dukungan dana. Dalam pada itu kita menyadari disparitas kemampuan daerah untuk membiayai penyelenggaraan pendidikan demikian tinggi.Paling tidak pemerintah dapat mengkategorikan wilayah Indonesia dalam lima kategori tingkat kemampuan. Yang tertinggi Kalimantan Timur, yang kedua Aceh dan Papua, yang ketiga Sumatera Utara, Riau, Kalimantan Selatan, Kalimantan Tengah daN NTB, yang keempat Sumatera Barat, Jawa, Kalimantan Barat, Sulawesi Utara, Sulawesi Selatan, Sulawesi Tengah dan Maluku, dan yang kelima NTT. Perbedaan kemampuan antara tertinggi dan terendah adalah lima dibanding satu, atau dengan kata lain kemampuan NTT dilihat dari PDB adalah seperlima Kalimantan Timur. Sengaja dikemukakan disparatis kemampuan keuangan antar daerah agar kita menyadari bahwa meratakan pelayanan pendidikan yang bermutu, yang merupakan hak setiap warganegara sesuai dengan UU No.20 Tahun 2003, berarti memenuhi standar nasional bagi semua unsur strategis bagi terselenggaranya pendidikan di seluruh daerah. Pendapatan 20 persen APBD Kalimantan Timur. Atas dasar ini maka pemeritah pusat harus memiliki peta yang jelas tentang disparitas tersebut dan mengupayakan pemberian subsidi yang bervariasi untuk daerah yang berbeda kemampuannya. Bila tidak, otonomi pendidikan akan memperparah disparitas mutu pelayanan pendidikan antar daerah. Sebagai negara kesatuan, hal itu tidak seharusnya terjadi. Karena itu, sesuai dengan ketentuan tentang otonomi daerah dan UU No 20 Tahun 2003, meski pemerintah daerah kabupaten/kota bertanggung

jawab mengelola pendidikan dasar dan menengah demi meratanya mutu pendidikan nasional yang merupakan hak setiap warga negara Republik Indonesia, pemerintah pusat tetap berupaya agar dapat memperoleh dana sekurang kurangnya 20 persen dari APBN. Anggaran sebesar itu antara lain untuk mensubsidi daerah yang kemampuannya sangat rendah. Berdasarkan UUD Tahun 1945 Pasal 31 ayat 1 samapai ayat 4, berarti: 1. Pemerintah harus membantu putra-putri

terbaikbangsa untuk mengikuti pendidikan menengah dan pendidikan tinggi, bukan hanya membebaskan mereka dari membayar SPP, melainkan memberikan beasiswa kepada putra putri terbaik bangsa di mana pun untuk mengikuti pendidikan menengah dan tinggi;

2. Pemerintah harus membiayai sepenuhnya penyelenggaraan pendidikan dasar yang wajib diikuti oleh setiap warga negara usia sekolah.Ini berarti pemerintah tidak hanya membebaskan mereka dari membayar SPP, melainkan juga harus membantu anak usia sekolah memperolah pendidikan yang bermutu.

3. Pemerintah wajib mengupayakan agar semua sekolah di Indonesia, terutama sekolah yang diselenggarakan sesuai dengan standar nasional yang ditentukan oleh pemerintah, baik tenaga guru, sarana dan prasarana, kurikulum,proses pembelajaran, serta alat-alat dan media pendidikan terutama buku murid dan buku guru.

4. Pemerintah wajib membiayai universitas, terutama negeri, agar dapat berperan menyiapkan sarjana yang bermutu, menghasilkan Iptek melalui kegiatan penelitiannya, dan dapat ikut berperan dalam proses pembangunan masyarakat negara bangsa sebagai wujud dari upaya melaksanakan tanggung jawab konstitusonal sebagaimana tertulis dalam Pasal 31 Ayat (5) UUD 1945, yaitu memajukan Iptek.

Maka yang dimaksud dengan anggaran pendidikan Indonesia 1,5 persen dari PBD bahwa anggaran belanja untuk pendidikan yang disediakan oleh pemerintah secara proporsional terendah di Asia, adalah anggaran untuk pendidikan prasekolaH, SD, SMP,SMA, Perguruan Tinggi, dan Pendidikan luar sekolah. Sejak tahun 1969, masyarakat peduli pendidikan menyadari bahwa agar pendidikan nasional dapat melaksanakan misinya maka diperlukan dukungan dana sebesar 25 persen APBN. UNESCO dalam berbagai kesempatan juga menetapkan standar pembiayaan pendidikan dengan menetapkan minimal 4 persen GDP untuk

Page 59: PEDAGOGIA - repository.unpak.ac.id · English Phonology adalah salah satu mata kuliah yang dianggap sulit oleh mahasiswa karena mahasiswa diminta untuk menghafalkan teori-teori yang

Pedagogia, Volume 8 Nomor 2 Tahun 2016

434PENYELENGGARAAN OTONOMI PENDIDIKAN

pendidikan. Sampai dengan terjadinya krisis, anggaran yang disediakan oleh pemerintah baru sekitar 2 persen GDP dan baru mencapai sekitar 10 persen APBN.

2. TANGGUNG JAWAB PEMERINTAH PADA PENYELENGARAAN OTONOMI PENDIDIKAN

Dalam suatu sistem demokrasi diperlukan adanya pemerintah yang kuat. Otonomi pendidikan yang benar harus bersifat accountable, artinya kebijakan pendidikan yang diambil harus selalu dipertanggungjawabkan kepada publik, karena sekolah didirikan merupakan institusi publik atau lembaga yang melayani kebutuhan masyarakat. Otonomi tanpa disertai dengan akuntabilitas publik bisa menjurus menjadi tindakan yang sewenang-wenang. Ide otonomi pendidikan muncul dari beberapa konsep sebagai solusi dalam menghadapi kendala dalam pelaksanaan otonomi pendidikan, yaitu :

1) Meningkatkan Manajemen Pendidikan Sekolah Kualitas pendidikan dapat ditinjau dari

segi proses dan produk. Pendidikan disebut berkualitas dan segi proses jika proses belajar mengajar berlangsung secara efektif, dan peserta didik mengalami pembelajaran yang bermakna. Pendidikan disebut berkualitas dan segi produk jika mempunyai salah satu ciri-ciri sebagai berikut : a) peserta didik menunjukkan penguasaan yang tinggi terhadap tugas-tugas belajar (learning task) yang harus dikuasai dengan tujuan dan sasaran pendidikan, diantaranya hasil belajar akademik yang dinyatakan dalam prestasi belajar (kualitas internal); b) hasil pendidikan sesuai dengan kebutuhan peserta didik dalam kehidupan sehingga dengan belajar peserta didik bukan hanya mengetahui sesuatu, tetapi dapat melakukan sesuatu yang fungsional dalam kehidupannya (learning and learning), c) hasil pendidikan sesuai atau relevan dengan tuntutan lingkungan khususnya dunia kerja.

Selain itu, untuk dapat meningkatkan otonomi manajemen sekolah yang mendukung peningkatan mutu pendidikan, Pimpinan Sekolah harus memiliki kemampuan untuk melibatkan partisipasi dan komitmen dan orangtua dan anggota masyarakat sekitar sekolah untuk merumuskan dan mewujudkan visi, misi dan program peningkatan mutu pendidikan secara bersama-sama; salah satu tujuan UU No.20 Tahun 2003 adalah untuk memberdayakan masyarakat, menumbuhkan prakarsa dan kreativitas, meningkatkan peran serta masyarakat, termasuk dalam meningkatkan sumber dana dalam penyelenggaraan pendidikan.

2) Reformasi Lembaga Keuangan Hubungan Pusat-Daerah

Perlu dilakukan penataan tentang hubungan keuangan antara Pusat-Daerah menyangkut pengelolaan pendapatan (revenue) dan penggunaannya (expenditure) untuk kepentingan pengeluaran rutin maupun pembangunan daerah dalam rangka memberikan pelayanan publik yang berkualitas. Sumber keuangan diperoleh dari Pendapatan Asli Daerah, Dana perimbangan, pinjaman daerah dan lain-lain pendapatan yang syah dengan melakukan pemerataan diharapkan dapat mendukung pelaksanaan kegiatan pada suatu daerah, terutama pada daerah miskin. Bila dimungkinkan dilakukan subsidi silang antara daerah yang kaya kepada daerah yang miskin, agar pemerataan pendidikan untuk mendapatkan kualitas sesuai dengan standar yang telah ditetapkan oleh pemerintah. 3) Pemerintah Daerah Melakukan Perubahan

Pada era otonom, kualitas pendidikan sangat ditentukan oleh kebijakan pemerintah daerah. Bila pemerintah daerah memiliki political will yang baik dan kuat terhadap dunia pendidikan, ada peluang yang cukup luas bahwa pendidikan di daerahnya akan maju. Sebaiknya, kepala daerah yang tidak memiliki visi yang baik di bidang pendidikan dapat dipastikan daerah itu akan mengalami stagnasi dan kemandegan menuju pemberdayaan masyarakat yang well educated dan tidak pernah mendapat momentum yang baik untuk berkembang. Otonomi pendidikan harus mendapat dukungan DPRD, karena DPRD-lah yang merupakan penentu kebijakan di tingkat daerah dalam rangka otonomi tersebut. Di bidang pendidikan, DPRD harus mempunyai peran yang kuat dalam membangun pradigma dan visi pendidikan di daerahnya. Oleh karena itu, badan legislatif harus diberdayakan dan memberdayakan diri agar mampu menjadi mitra yang baik. Kepala pemerintahan daerah, kota diberikan masukan secara sistematis dan membangun daerah.

4) Membangun Pendidikan Berbasis Masyarakat

Kondisi Sumber Daya yang dimiliki setiap daerah tidak merata untuk seluruh Indonesia. Untuk itu, pemerintah daerah dapat melibatkan tokoh-tokoh masyarakat, ilmuwan, pakar kampus maupun pakar yang dimiliki Pemerintah Daerah Kota sebagai Brain Trust atau Think Thank untuk turut membangun daerahnya, tidak hanya sebagai pengamat, pemerhati, pengecam kebijakan daerah. Sebaliknya, lembaga pendidikan juga harus membuka diri, lebih banyak mendengar opini publik, kinerjanya dan tentang

Page 60: PEDAGOGIA - repository.unpak.ac.id · English Phonology adalah salah satu mata kuliah yang dianggap sulit oleh mahasiswa karena mahasiswa diminta untuk menghafalkan teori-teori yang

Pedagogia, Volume 8 Nomor 2 Tahun 2016

435 PENYELENGGARAAN OTONOMI PENDIDIKAN

tanggung jawabnya dalam turut serta memecahkan masalah yang dihadapi masyarakat.

5) Pengaturan Kebijakan Pendidikan antara Pusat dan Daerah

Pemerintah Pusat tidak diperkenankan mencampuri urusan pendidikan daerah Pemerintah Pusat hanya diperbolehkan memberikan kebijakan-kebijakan bersifat nasional, seperti aspek mutu dan pemerataan. Pemerintah pusat menetapkan standard mutu. Jadi, pemerintah pusat hanya berperan sebagai fasilitator dan katalisator bukan regulator. Otonomi pengelolaan pendidikan berada pada tingkat sekolah, oleh karena itu lembaga pemerintah harus memberi pelayanan dan mendukung proses pendidikan agar berjalan efektif dan efisiensi.

Pelaksanaan desentralisasi pendidikan atau disebut Otonomi Pendidikan masih belum sepenuhnya berjalan sesuai dengan yang diharapkan, disebabkan karena kekurangsiapan pranata sosial, politik dan ekonomi. Otonomi pendidikan akan memberi efek terhadap kurikulum, efisiensi administrasi, pendapatan dan biaya pendidikan serta pemerataannya. Ada 6 faktor yang menyebabkan pelaksanaan otonomi pendidikan belum jalan, yaitu : 1) Belum jelas aturan permainan tentang peran dan tata kerja di tingkat kabupaten dan kota. 2) Pengelolaan sektor publik termasuk pengelolaan pendidikan yang belum siap untuk dilaksankana secara otonom karena SDM yang terbatas serta fasilitas yang tidak memadai. 3) Dana pendidikan dan APBD belum memadai. 4) Kurangnya perhatian pemerintah maupun pemerintah daerah untuk lebih melibatkan masyarakat dalam pengelolaan pendidikan. 5) Otoritas pimpinan dalam hal ini Bupati, Walikota sebagai penguasa tunggal di daerah kurang memperhatikan dengan sungguh-sungguh kondisi pendidikan di daerahnya sehingga anggaran pendidikan belum menjadi prioritas utama. (6) kondisi dan setiap daerah tidak memiliki kekuatan yang sama dalam penyelenggaraan pendidikan disebabkan perbedaan sarana, prasarana dan dana yang dimiliki. Hal ini mengakibatkan akan terjadinya kesenjangan antar daerah, sehingga pemerintah perlu membuat aturan dalam penentuan standar mutu pendidikan nasional dengan memperhatikan kondisi perkembangan kemandirian masing-masing daerah.

KESIMPULAN 1. Amanat UUD 1945 untuk menyelenggarakan

satu sistem pendidikan nasional, dimaksudkan agar dapat dilaksanakan upaya mencerdaskan kehidupan bangsa dan upaya memajukan kebudayaan nasional

2. Otonomi pendidikan menempatkan sekolah sebagai garis depan dalam berperilaku untuk mengelola pendidikan.

3. Otonomi pendidikan dapat memberikan apresiasi terhadap perbedaan kemampuan dan keberanekaragaman kondisi daerah dan rakyatnya.

4. Reformasi pendidikan merupakan realitas yang harus dilaksanakan, sehingga diharapkan para pelaku maupun penyelenggara pendidikan harus proaktif, kritis dan mau berubah.

5. Tenaga kependidikan, yaitu siswa, guru dan pengawas/penilik, harus menjadi tanggung jawab pemerintah Pusat. Pemerintah Daerah dengan kewenangan otonominya memiliki kemerdekaan untuk mengoptimalkan tercapa-nya misi pendidikan nasional dengan meningkatkan kinerja sistem pendidikan melalui pemberian dukungan bagi tersedianya sarana,prasarana, dan dana yang memadai untuk dapat dilaksanakannya pelayanan pendidikan secara merata dan dapat terlaksananya pelayanan pendidikan nasional secara relevan, efisien, dan efektif.

6. Pemerintah Pusat bertanggung jawab untuk menjamin tersedianya sarana dan prasarana minimal untuk dapat terselenggaranya pendidikan. Pemberian gaji minimum guru dan bahan bacaan minimal, serta sarana esensial lainya merupakan tanggung jawab Pemerintah Pusat. Pemerintah Daerah perlu berlomba meningkatkan dukungan dana dan sarana bagi terselengaranya pendidikan nasional yang bermutu di daerahnya masing masing.

Daftar PustakaBPS, BAPPENAS, UNDP, The Economics Of

Democracy: Financing Human Development in Indonesia, Indonesia Human Development, 2004

G, Almond & Sidney Verba, The Civic Culture: Political Attitudes and Democracy Five Nations, (1965), Boston, Litlle Brown & CO.

Peraturan Pemerintah No 25 Tahun 2000Soedijarto, Landasan Dan Arah Pendidikan

Nasional Kita, Jakarta, Penerbit Buku Kompas, 2008

Soedijarto, Memahami Makna yang Tersurat dan Tersirat dari Pasal 31 Ayat (4) UUD 1945 Tentang Anggaran Pendidikan. Penerbit Ikatan Sarjana Pendidikan Indonesia (ISPI).

UUD Negara Republik Indonesia Indonesia 1945.UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan

Nasional.UU No.32 Tahun 2004 tentang Otonomi Daerah

Page 61: PEDAGOGIA - repository.unpak.ac.id · English Phonology adalah salah satu mata kuliah yang dianggap sulit oleh mahasiswa karena mahasiswa diminta untuk menghafalkan teori-teori yang

Pedagogia, Volume 8 Nomor 2 Tahun 2016

436FACTORS AFFECTING EFL LEARNERS

FACTORS AFFECTING EFL LEARNERS IN LEARNING ENGLISH PRONUNCIATION

Abdul RosyidLecturer of English Education Study Program, Universitas Pakuan

ABSTRACTThe purpose of this research is to investigate some factors hindering Sundanesse in learning English pronunciation. This research attempts to answer the following research questions: What are the factors affecting Sundanesse in learning English pronunciation? The participants of this study are 30 students who are still in the second semester in English Education Study Program, Pakuan University. The data were collected through documentation in a form of audio recording, and in-depth interview with six representative participants. The major findings of this study are: There are three major factors affecting Sundanesse in learning English pronunciation, among others are; Mother tongue influence, Age and Target language exposure (2) The difficulties faced by Sundanesse in learning English pronunciation are mostly in terms of segmental features; such as vowels, consonants and diphthong, and supra-segmental features like intonation, stress and linking sound.

Keywords: English pronunciation, Sundanesse, Case Study

ABSTRAKFaktor-faktor yang Mempengaruhi ornag Sunda dalam Mempelajari Pronunciation Bahasa Inggris. Studi Kasus di Program Studi Pendidikan Bahasa Inggris, Universitas Pakuan. Tujuan penelitian ini adalah untuk menginvestigasi faktor- faktor yang menghalangi pembelajar bahasa Inggris dalam mempelajari pronunciation Bahasa Inggris. Penelitian ini difokuskan untuk menjawab pertanyaan; (1) Apakah faktor-faktor yang menghalangi orang Sunda dalam mempelajari pronunciation bahasa Inggris? Partisipan dalam penelitian ini adalah 30 mahasiswa semester 2 Program Studi Pendidikan Bahasa Inggris Universitas Pakuan .Pengumpulan data dilakukan dengan cara analisis dokumentasi berupa rekaman suara partisipan saat membaca kata dan kalimat, serta interview perwakilan dari partisipan. Temuan dari penelitian ini antara lain; (1) Ada tiga faktor utama yang menjadi penghalang pelajar berbahasa Sunda dalam mempelajari pronunciation bahasa Inggris, antara lain pengaruh Bahasa Ibu, usia serta penekanan Bahasa target. (2) Kesulitan yang dimiliki pembelajar berbahasa Sunda dalam mempelajari pronunciation bahasa Inggris terletak pada bunyi-bunyi konsonan, diftong, vowel, intonasi, penekana serta penggabungan bunyi.

Kata kunci: Pengucapan Bahasa Inggris, Bahasa Sunda, Studi Kasus

BACKGROUNDLearning English pronunciation gives some

constraints for EFL learners, especially if the main goal is to achieve native-like pronunciation. Meanwhile, the importance to learn English pronunciation for EFL learners is unquestionable due to some reasons. One of the basic reasons is related to the significant role of pronunciation in supporting students’ speaking performance both in the classroom and in a real life situation. The successful of oral communication using English language is determined some language aspects

like vocabulary, pronunciation and grammar Form those three components, pronunciation is considered giving the biggest influence in succeeding the process of communication. No matter how well the sentences are constructed and how appropriate the diction is chosen with the context of the talk, if they are mispronounced the words, the process of exchanging the message is not running well.

Ironically, even English language is one of the subjects in Indonesia given to the learners in junior and senior high school; some of them still have difficulties to pronounce English words correctly.

Page 62: PEDAGOGIA - repository.unpak.ac.id · English Phonology adalah salah satu mata kuliah yang dianggap sulit oleh mahasiswa karena mahasiswa diminta untuk menghafalkan teori-teori yang

Pedagogia, Volume 8 Nomor 2 Tahun 2016

437 FACTORS AFFECTING EFL LEARNERS

The leaners have the constraint in producing not only segmental phoneme but also suprasegmental phoneme. The biggest problems are faced by the learners who usually communicate using their native language, for example Bahasa Sunda. Pakuan University is located in Bogor, so Bahasa Sunda is a language commonly and mostly used in terms of communication. This condition influences the pronunciation score achieved by those who speak Sunda. Most of them get very low score in this subject. Seeing this phenomena, the researcher is interested to investigate further about the factors affecting Sundanese students in learning English pronunciation. Although some researchers have got the findings related this issue in different places with different mother tongue, the writer is curious to gather the data and to reveal other findings from the writer’s surroundings.

METHODOLOGYQualitative research was used for this study

since the researcher wants to investigate a recent phenomenon happened in the place of the study. Any single data taken and gathered using all data collecting techniques will be analyzed based on the procedure of qualitative method and will be displayed qualitatively. In other words, descriptive method is applied in this study.

RESEARCH FINDINGSThe required data were mainly taken from

interview, and then triangulated by the findings from result of audio recording. Based on the previous study and scholars, there are five factors affecting and hindering pronunciation learning, among others are Attitude (Elliot: 1995; Karahan: 2007), Motivation (Marinova, et.al: 2000; Masgoret, Gardner: 2003), Mother Tongue Influence (Avery & Erlich: 1992; Thanasoulas: 2003), Age (Gilkajani: 2011: Nation & Newton: 2009) , and Teachers’ Instruction on Target Language (Gilkajani: 2011; Kelly: 2000; Pennington: 2004). There were only three factors investigated in this study; they are mother tongue influence, age, and teachers’ instruction on target language. The findings and discussion regarding these three factors are elicited clearly in the following subsection. a. Mother tongue influence

All aspects in the language related to pronunciation, such as sounds, stress and intonation

of learners’ native language, are sometimes applied when they learn a foreign language. In this study, the tendency of this first factor in hindering the learners in learning English pronunciation was found on their audio recording. From the first until third recording, almost all of the participants get difficulties in pronouncing consonant sounds like /v/ in reversed, /θ/ in thirtieth, /ð/ in there, /ʃ / in sugar, /tʃ / in temperatures, and /dʒ/ in intelligent. The difficulty in pronouncing those sounds is caused by the unavailability of the sounds in participants’ mother tongue. The participants who have Sunda as their mother tongue tend to produce sound /p/ or /f/ rather than /v/. It is because in Sunda language there is no such a sound. Those who have Java as their mother tongue tend to produce /d/ when they pronounce the word there. Therefore the word sounds /deə/ instead of /ðeə/. For general, almost all of participants tend to pronounce sound /dʒ/ in intelligent by changing the sound with J in Bahasa Indonesia as Jakarta. Again, it is because sound /dʒ/ does not exist in Bahasa Indonesia.

The data is supported by the finding taken from the result of interview. One of the participants stated the following statement:

saya ini agak kesulitan untuk menghapal phonetic, bagaimana cara pengucapannya, seperti itu. Atau misalnya recording, kalimat-kalimat yang panjang itu juga agak bingung juga gitu pak. Lingking sound, dimana harus lingking, gitu... I got difficulties to memorize phonetic especially how they are pronounced. It is also difficult to read long sentences from recording especially in deciding where I should link the sound.

(Interview#1)

From that statement, it can be inferred that the participant gets difficulties in remembering how to pronounce some phonetic sounds. Besides, linking sound is another problem faced. It might be assumed that the problem appears because of the influence of L1. Since in Bahasa Indonesia there is no rule like linking sound, the participant viewed that point as a constraint in learning English pronunciation.

The findings explained in the previous paragraphs are actually in line with the point of view shared by Flege and Port (1981) in Nation and Newton (2009) and supported by Hewings (2004)

Page 63: PEDAGOGIA - repository.unpak.ac.id · English Phonology adalah salah satu mata kuliah yang dianggap sulit oleh mahasiswa karena mahasiswa diminta untuk menghafalkan teori-teori yang

Pedagogia, Volume 8 Nomor 2 Tahun 2016

438FACTORS AFFECTING EFL LEARNERS

For short, it might be brought to a close that mother tongue really influences and hinders the learners in learning foreign language, especially in the pronunciation. aspect.

b. Age The second factor that influences and hinders

the participants in learning English pronunciation and it was found in this study is age. The age here refers to the period when the participants learn the pronunciation seriously and intensively. Based on the interview, five out of six participants said that they started learning pronunciation intensively when they came into a university. It can be seen from the following answers of the interview;

Saya belajar Bahasa Inggris semenjak SMP kelas 1, tapi belajar pronunciation pas masuk kuliah

I learn English Language since I was on the first grade of Junior High School. However, starting to learn pronunciation is when I enter a university.

(Interview#2)

Sejak SD saya sudah belajar bahasa Inggris, SD, SMP Sma, Kalau untuk pronunciation saya baru kali ini belajar.

I have learned English language since I were in elementary school. Learning pronunciation is just started lately.

(Interview#3)kalau untuk belajar bahasa inggris itu sendiri saya sudah mulai dari kelas 3 SD. Hingga sekarang, tapi untuk lebih mendalaminya itu saya baru mulai di perkuliahan ini, disini. Untuk pronunciation sama sekali belum pernah, baru disini sajah.

I have started learning English Language since third grade of elementary school. But, I focus to learn the language now and also start learning pronunciation.

(Interview#4)

Belajar bahasa Inggris sudah dari SD, Mr. Tapi Belajar pronunciation secara khusus, kayakya gak terlalu, soalnya dari SD sampai SMA gitu

kayaknya belajar bahasa Inggris itu cuman ya untuk vocabulary, gitu-gitunya ajah, kalau pronunciation sih gak terlalu fokus, fokus sih kayaknya di universitas ajah.

Learning a language was started from Elementary school, but focusing on pronunciation is in university.

(Interview#5)Saya belajar bahasa Inggris sejak SD, tepatnya dari kelas 3 SD. yaa,, waktu di SD belajar English pronunciation tapi guru saya sejak SD sampai SMA itu gak fokus ke pronunciation justru yang difokusin waktu saya belajar di SD itu sampai SMA yaa daftar-daftar vocabulary yang mereka ingatin, itu ajah pak, tapi pronunciation gak fokus seperti kuliah sekarang.I started learning English language from the third grade of elementary school. I learned pronunciation from elementary till senior high school, but it did not become a focus of the learning. Focusing on learning pronunciation is just started in university level.

(Interview#6)The data from those excerpts reveals that

the participants of this study started learning English when they were about eight to ten years old. According to some scholars, starting to learn a foreign language in an early age is better than adult. It means that the participants of this study were in an appropriate period called Critical Period Hypothesis (CPH) to learn a foreign language. Unfortunately, they did not learn English pronunciation intensively and comprehensively when a very first time they learned English. They started doing so when they were about 18 years old, the average age of the freshmen. In other words, the participants started learning English pronunciation when they were not in a period called CPH.

Concerning the data and explanation above regarding age and learning a foreign language, especially pronunciation, the findings is actually in line with the ideas shared by Gilkajani, Nation and Newton. Although there are also some scholars who do not in the same argument as three of them, the data above supports their idea.

Likewise, the data from the audio recording also supports the previous data gathered. Since

Page 64: PEDAGOGIA - repository.unpak.ac.id · English Phonology adalah salah satu mata kuliah yang dianggap sulit oleh mahasiswa karena mahasiswa diminta untuk menghafalkan teori-teori yang

Pedagogia, Volume 8 Nomor 2 Tahun 2016

439 FACTORS AFFECTING EFL LEARNERS

the participants of this study started to learn pronunciation intensively in the age of 18, it can be said that they have mastered their mother tongue. This condition makes them get difficulties in pronouncing foreign language sounds which do not exist in their mother tongue. The data from the first until third audio recording show that almost all participants get difficulties in pronouncing sounds like /v/ in reversed, /θ/ in thirtieth, /ð/ in there, /ʃ / in sugar, /tʃ / in temperatures, and /dʒ/ in intelligent. As it is elicited in the previous subsection, the difficulties faced by the participants are because of the unavailability of those sounds in the participants’ mother tongue. In this section, it is found that the age also has a role in making the participants get difficulties in pronouncing the sounds. The period of using mother tongue in daily conversation which takes very long hinders the participants to produce new foreign sounds. This is relevant to Nation and Newton who acknowledged that the most difficult point to do in learning a foreign language is implementing phonetic sounds which do not exist in the first language or mother tongue. Thus, the data taken from the audio recording supports the conclusion that learning English pronunciation might be influenced by the age of the learners when they start learning the subject.

c. Target Language ExposureThe last factor that may influence

pronunciation learning and it is also investigated in this study is target language exposure. Regarding this issue, it is better to see the following answers of the participants’ interview;

Saya belajar Bahasa Inggris semenjak SMP kelas 1, tapi belajar pronunciation pas masuk kuliah

I learn English Language since I was on the first grade of Junior High School. However, starting to learn pronunciation is when I enter a university.

(Interview#7)

Sejak SD saya sudah belajar bahasa Inggris, SD, SMP Sma, Kalau untuk pronunciation saya baru kali ini belajar.

I have learned English language since I were in elementary school. Learning pronunciation is just started lately.

(Interview#8)

kalau untuk belajar bahasa inggris itu sendiri saya sudah mulai dari kelas 3 SD. Hingga sekarang, tapi untuk lebih mendalaminya itu saya baru mulai di perkuliahan ini, disini. Untuk pronunciation sama sekali belum pernah, baru disini sajah.

I have started learning English Language since third grade of elementary school. But, I focus to learn the language now and also start learning pronunciation.

(Interview#9)

Belajar bahasa Inggris sudah dari SD, Mr. Tapi Belajar pronunciation secara khusus, kayakya gak terlalu, soalnya dari SD sampai SMA gitu kayaknya belajar bahasa Inggris itu cuman ya untuk vocabulary, gitu-gitunya ajah, kalau pronunciation sih gak terlalu fokus, fokus sih kayaknya di universitas ajah.

Learning a language was started from Elementary school, but focusing on pronunciation is in university. Learning English language from elementary till senior high school was just focused on vocabulary.

(Interview#10)Saya belajar bahasa Inggris sejak SD, tepatnya dari kelas 3 SD. yaa,, waktu di SD belajar English pronunciation tapi guru saya sejak SD sampai SMA itu gak fokus ke pronunciation justru yang difokusin waktu saya belajar di SD itu sampai SMA yaa daftar-daftar vocabulary yang mereka ingatin, itu ajah pak, tapi pronunciation gak fokus seperti kuliah sekarang.I started learning English language from the third grade of elementary school. I learned pronunciation from elementary till senior high school, but it did not become a focus of the learning. Focusing on learning pronunciation is just started in university level.

(Interview#11)

Page 65: PEDAGOGIA - repository.unpak.ac.id · English Phonology adalah salah satu mata kuliah yang dianggap sulit oleh mahasiswa karena mahasiswa diminta untuk menghafalkan teori-teori yang

Pedagogia, Volume 8 Nomor 2 Tahun 2016

440FACTORS AFFECTING EFL LEARNERS

Selama saya sekolah untuk dalam hal pronunciation itu tidak terlalu fokus, hanya manambah vocabulary, jadi lebih banyak itu translate, translate, translate.. Pronunciation is a material that is not focused on to learn. Along learning language before entering a university, the focus is only in terms of vocabulary, translating and translating.

(Interview#12)

The excerpts above represent that their previous teachers, teachers in Elementary, Junior and Senior High school, did not teach or did not focus on teaching them pronunciation. Their teachers only taught them vocabulary, reading, and so forth. Such condition shows that the exposure in the area of pronunciation is very limitted. As a result, when they started learning English pronunciation in a university, their previous experience influences their learning. Almost all of the participants get difficulties in learning pronunciation since they do not get used to learn such a subject. Such this condition will not be faced by the participants who have previous experience or have been exposed in learning English pronunciation before they are in a university level. It is better to see the answer of interview from one of the participants;

saya lebih fokus belajar pronunciation itu sejak saya belajar di sebuah yayasan sama dikampus. kalau tutor saya di yayasan, kita lebih pronunciation itu karena kita bertemu dengan native speaker, jadi saat kita ngucapin salah, mereka akan langsung, ‘sorry, can you repeat?. Jadi mereka akan ngulangin karena kita mengucapkan, eh salah mengucapkan kata.

I started to focus on learning pronunciation when I learned in a foundation and in a university. My tutor in foundation taught us pronunciation since we always met native speaker there. So, when we mispronounce the words, the native speaker will ask us to repeat saying the intended words.

(Interview#13)

Seeing the answer, it can be said that this participant has previous experience in learning

English pronunciation before entering a university. The previous teacher gave participant kind of practice on pronunciation in a form of conversation. Such this instruction, of course, gave the participant opportunity to develop her pronunciation. As a result, the process of pronunciation learning in a university will not be hindered by the factor mentioned in this section.

Supporting the data gathered for the needs of this section, the data taken from the audio recording also shows that the participants who started learning English pronunciation in a university level tend to have more difficulties than the participant who has learned English pronunciation before entering a university level. In contrast, the participant who has learned English pronunciation before entering university level can read the sentences given more intelligibly than others. It might be assumed that the instruction given by the teachers in the previous classroom settings affect pronunciation learning and achievement in the following one. In short, seeing the comparison between the participants who have and have not learned English pronunciation before learning it intensively in a university level, the influence of exposure given by the teacher in learning English pronunciation is unquestionable.

The explanation in this section is actually in accordance with the points of view proposed by Pennington (1994) regarding the teachers’ perspective about teaching pronunciation in the classroom and Gilkajani (2011) who claimed target language exposure as one of factors that may hinder pronunciation learning.

DISCUSSIONFactors Affecting Pronunciation Learning

English becomes increasingly the language used for international communication. This condition makes the English speaker should be able to communicate effectively and understandably. In order to achieve such that goal, either native or non-native English, should be able to pronounce the words intelligibly. Brazil (1994) defines the word intelligibly as being able to make one’s meaning and intentions clear to a listener. However, in a real condition, pronunciation teaching in the classroom, especially in EFL classroom is still neglected. As a result, being intelligible in communicating is quite difficult to grasp by EFL learners.

Page 66: PEDAGOGIA - repository.unpak.ac.id · English Phonology adalah salah satu mata kuliah yang dianggap sulit oleh mahasiswa karena mahasiswa diminta untuk menghafalkan teori-teori yang

Pedagogia, Volume 8 Nomor 2 Tahun 2016

441 FACTORS AFFECTING EFL LEARNERS

Furthermore, the achievement of teaching and learning pronunciation can be seen not only from teaching process but also from the process of learning. Some researchers have investigated several factors that affect the process of learning pronunciation. These factors, automatically, gives the influence to the learners’ ability to pronounce the words correctly and intelligibly. The factors are as follows:

(1) AttitudeA research conducted by Alliot (1995)

discovered that the subjects’ attitude toward acquiring native or near-native pronunciation was the principle variable in relation to target language pronunciation. It might be said that if the students were more concerned with the pronunciation of target language, their pronunciation achievement better than those who ignore it. It is supported by Karahan’s argument (2007) that “positive language attitudes let learner have positive orientation toward learning English”. In other words, attitudes play a very crucial in the process of language learning, not only in learning pronunciation, since it can influence students’ success or failure in their learning.

(2) Motivation In the learning process, affective variables

have become an important issue. The effect of this variable in learners’ successful in learning process becomes some researchers feel interest to conduct the research. One of affective variables that can give great influence in the process of learning is motivation. Marinova-Todd, et al. (2000), Masgoret & Gardner (2003), Bernaus, et al. (2004), and Gatbonton, et al. (2005) have discovered the same findings that having a personal or professional goal for learning English can influence the need and desire for achieving native-like pronunciation. In simple words, it might be said that the one who has great motivation to learn a language will be very possible to achieve the target language in every aspects, one of them is pronunciation.

(3) Mother Tongue InfluenceAvery and Ehrlich (1992) cited in Thanasoulas

(2003) explain that the rule and pattern of students’ native language is transferred into their second or foreign language, and it causes foreign accents.

This condition is actually experienced by all foreign language learners. Sounds, rules, patterns, and intonation of their native language, sometimes, is applied when they learn a foreign language. As a result, mispronunciation is always occurred.

Avery and Ehrlich (1992) cited in Thanasoulas (2003) further elaborate that there are three ways the native language or students’ mother tongue can influence the target language pronunciation; L2 or FL. The first way that can influence the process of pronunciation learning in terms of mother tongue influence is the absence of certain sounds of target language in the students’ native language. For example, sounds /tʃ/, /ð/, and /æ/ do not exist in Indonesian language, so the students, sometimes; get difficulties in pronouncing those sounds and, as a result, it influences the process of pronunciation learning. Flege and Port (1981) cited in Nation and Newton (2009:80) shared that ‘the most important interfence from L1 to L2 occurs at the level of phonetic implementation’. It means that the difference in terms of phoneme or sounds in L1 and L2 will hinder the learners in learning foreign language. This view is supported by Hewings (2004:3) who said that the difference phonemes lied in the first and second language becomes one of the problems faced by any learners in learning any language. Second, when the rules of combining sounds into words in the target language are different in the learners’ mother tongue, such this condition can cause the problems. The main reason of this problem is because of the different rules in combining sound in every language and those rules are very specific in each language. Third, the rule of stress and intonation in terms of words and sentences in students’ native language is different with the target language. Sometimes, the students apply the stress pattern and intonation of their native language into the target language. This situation makes the students get failed in achieving the pronunciation of target language.

(4) AgeMost of learners in Indonesia started learning

a foreign language when they go to an Elementary school. Seeing from the average age, most of the students in Elementary school are 7 – 13 years old. This period is a very optimal period to learn a foreign language. According to Nation and Newton (2009:78), if the students started to learn and even

Page 67: PEDAGOGIA - repository.unpak.ac.id · English Phonology adalah salah satu mata kuliah yang dianggap sulit oleh mahasiswa karena mahasiswa diminta untuk menghafalkan teori-teori yang

Pedagogia, Volume 8 Nomor 2 Tahun 2016

442FACTORS AFFECTING EFL LEARNERS

to speak in L2 before 6 years old, there will be no accent. However, if they start doing so when they are more than 12 years old, there will be always an accent. The meaning of ‘accent’ here refers to the L1 of the participants. From the points of view it might be said that the younger is better than the older in terms of learning a foreign language. It might be caused of the influence of L1 concept in the learners brain. In line with learning English pronunciation, Gilkajani (2001:78) views that the influence of age on language acquisition and specifically pronunciation may make adults find more difficult than children do and that they probably will not achieve native-like pronunciation.

Another point of view regarding the influence of age in learning a foreign language is related to the theory about Critical Period Hypothesis. The theory about CPH proposed by Lenneberg (1967) cited in Gilkajani (2001) shared that there is a biological period which ends around the age of 12. Furthermore, he claimed that after this period it becomes extremely difficult to attain complete mastery of a second language, especially pronunciation. From points of view, it leads to a conclusion that a golden age to master a foreign language, especially to gain native-like pronunciation, is before 12 years old. However, this theory was unacceptable by some scholars; two of them are Flege (1987) and Patkwoski (1990) cited in Nation and Newton (2009). They have such an intellectual explanation regarding the relationship between age and mastering foreign language especially pronunciation aspect. They viewed that the learners have learned the sound of their mother tongue and it automatically interferes their process in learning L2. They further explained that when learners got older and older, their perception about sound of their L1 is increasingly well-integrated and stable.

The different perception or intellectual explanation from some scholars regarding the impact of age in learning a foreign language especially related to pronunciation mastery brings us to a close that some scholars basically have the same agreement that starting to learn a language in a young age is better than adult.

(5) Teachers’ Instruction on Target Language ExposureForeign language instruction generally focuses

on four main areas of development: listening,

speaking, reading and writing. Pennington (1994) cited in Gilkajani (2001: 77-78) maintains that pronunciation which is typically viewed as a component of linguistic rather than conversational fluency, is often regarded with little importance in a communicatively oriented classrooms. According to Elliot (1995) cited in Gilkajani (2001: 77-78) teachers tend to view pronunciation as the least useful of the basic language skills and therefore they generally sacrifice teaching pronunciation in order to spend valuable class time on the areas of language.

CONCLUSIONThere are two major conclusion in this

study. There are three major factors that hinder Sundanesse in learning English pronunciation, they are mother tongue influence, age and target language exposure. These three factors are interrelated one and another. Most of participants started to learn English pronunciation when they become a freshmen, around 17 to 18 years old. It means that they have been very familiar speaking in their own mother tongue. Besides, the situation on their environment does not support them to practice English pronunciation regularly. Again, it is due to the condition that put them to keep communicating using their mother tongue with people around them.

In relation to the factors mentioned in advance, the participants find some difficulties in learning English pronunciation. The difficulties are in terms of segmental and suprasegmental features of pronunciation, among others are consonants, diphthongs, vowels, linking sounds, and intonation. Those problems are the result of the influence of their mother tongue.

REFFERENCESAlliot, A.R.1995. Foreign Language Phonology:

Field independence, attitude, and the success of formal instruction in Spanish Pronunciation. The Modern Language Journal, 79.

Bernaus, M.; Masgoret, A.;Gardner, R., & Reyes, E. 200. Motivation and attitudes towards learning language in multicultural classrooms. International Journal of Multilingualism. 1(2), 75-89. http://dx.doi.org/10.1080/14790710408668180

Brazil, D. 1994. Pronunciation for Advanced Learners of English – Teacher’s Book.

Page 68: PEDAGOGIA - repository.unpak.ac.id · English Phonology adalah salah satu mata kuliah yang dianggap sulit oleh mahasiswa karena mahasiswa diminta untuk menghafalkan teori-teori yang

Pedagogia, Volume 8 Nomor 2 Tahun 2016

443 FACTORS AFFECTING EFL LEARNERS

Cambridge: CUP.Burns, A., & Claire, S. 2003. Clearly Speaking:

Pronunciation in Action for Teachers. Sydney: National Centre for English Language Teaching and Research Macquarie University.

Coniam, D. 2002. Technology as an awareness-raising tool for sensitising teachers to features of stress and rhythm in English. Language Awareness, 11.

Gatbonton, E.; Trofimovich, P. & Magid, M. 2005. Learners’ ethnic group affiliation and L2 pronunciation accuracy: A sociolinguistic investigation. TESOL Quarterly, 39(3), 489-511. http://dx.doi.org/10.2307/3588491

Gilkajani, Abbas P. 2001. Why Pronunciation so difficult to learn?. English Language Teaching Journal, 4.

Griffth, Carol & Parr., M. Judy. 2001. Language Learning Strategies: theory and perception. ELT Journal Volume, 55.

Hewings, Martin. 2004. Pronunciation Practice Activities. A Resource Book for Teaching English Pronunciation. Cambridge University Press. UK.

Jenkins, J. A. 2002. Sociolinguistically based empirically researched pronunciation syllabus for English as an International Language. Applied Linguistics, 23.

Karahan, F. 2007. Language Attitudes of Turkish Students toward the English Language and its Use in Turkish Context. Journal of Arts and Sciences, 7.

Marinova-Todd, S. H; Marshall, D. B., & Snow, C. E. 2000. Three misconceptions about age and L2 learning. TESOL Quarterly, 34(1), 9-34. http://dx.doi.org/10.2307/3588095

Masgoret, A., & Gardner, R. 2003. Attitudes,motivation, and second language learning: A meta-analysis of studies conducted by Gardner and associates. Language Learning. 53 (Suppl. 2), 167-210. http://dx.doi.org/10.1111/1467-9922.00227

Notion, I.S.P. J. Newton. 2009. Teaching ESL / EFL Listening and Speaking. Routledge 270 Madison Avenue. NY.

Seferoglu, G. 2005. Improving Students’ Pronunciation through Accent Reductioin Software. British Journal of Educational Technology, 36.

Thanasoulas, D. 2003. Pronunciation: The Cinderella of Language Teaching. Available in http://www.developingteachers.com/articles_tchtraining/pronpf_dimitrios.htm. Retrieved on September, 15 2013

Page 69: PEDAGOGIA - repository.unpak.ac.id · English Phonology adalah salah satu mata kuliah yang dianggap sulit oleh mahasiswa karena mahasiswa diminta untuk menghafalkan teori-teori yang

Pedagogia, Volume 8 Nomor 2 Tahun 2016

444PENINGKATAN KETERAMPILAN MENULIS PUISI

PENINGKATAN KETERAMPILAN MENULIS PUISI MELALUI PENDEKATAN WHOLE LANGUAGE

Wildan Fauzi MubarockDosen Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Pakuan

ABSTRAKPenelitian tindakan ini bertujuan untuk meningkatkan kemampuan menulis puisi melalui pendekatan whole language. Penelitian ini bertujuan meningkatkan kemampuan menulis mahasiswa dalam menulis puisi. Selain itu Penelitian ini dilaksanakan di Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia Bogor pada tahun 2014. Instrument yang digunakan untuk mengumpulkan data adalah tes (prates dan postes) nontes ( angket, pedoman observasi) dan peneliti sendiri. Teknik analisis data yang digunakan adalah analisis data kualitatif dan analisis data kuantitatif. Teknik analisis data kualitatif dilakukan dengan cara membandingkan kemajuan mahasiswa antara sebelum dan sesudah siklus berlangsung berdasarkan hasil pekerjaan mahasiswa menulis puisi. Teknik analisis data kuantitatif digunakan untuk mendukung temuan dari analisis data kualitatif. Peningkatan keterampilan menulis puisi terlihat dari proses dan hasil belajar mengajar. Proses belajar dan mengajar untuk meningkatkan kemampuan menulis puisi melalui pendekatan whole language, Yakni : pengalaman mahasiswa dalam membaca, menulis, berbicara dan mendengarkan diarahkan pada kegiatan bahasa yang nyata sehingga meningkatkan keterampilan menulis puisi. Peningkatan hasil belajar mahasiswa terlihat dari perbedaan nilai rata-rata prates dan postes. Peningkatan hasil belajar mahasiswa juga terlihat dari tabel penilaian yang diperoleh tiap siklus. Hasil penelitian menenemukan bahwa terjadi peningkatan keterampilan menulis puisi kelas E Semester dua pada mata kuliah Menulis Kreatif Sastra di Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia, FKIP Universitas Pakuan. Tes awal menunjukan bahwa mahasiswa berada pada interpretasi kurang berhasil dalam menulis puisi dengan ditujukan pada angka 46% setelah dilakukan perlakuan pada siklus pertama, terjadi peningkatan menjadi 61% atau taraf cukup berhasil. Peningkatan terjadi sebesar 26% antara tes awal dan siklus pertama. Berdasarkan perkembangan siklus kedua peneliti melanjutkan perlakuan siklus kedua. Hasilnya siklus kedua mengalami peningkatan cukup signifikan, yaitu berada ditingkat berhasil pada angka 81%. Persentase peningkatan terjadi sebesar 76% antara perlakuan awal dengan siklus kedua. Sementara efektivitas dari siklus pertama dan kedua sebesar 39,6%.

Kata kunci : Pendekatan Whole Language, Keterampilan menulis puisi

ABSTRACTThe research is aimed at improving students’ ability to write poems through the approach of whole language. The research is conducted at Indonesian Language and Literature Study Program in 2014. The instruments used to collect the data are pretest and post-test and also non-test instruments which are questionnaire and observational guidance and the researcher himself. The data analysis approaches used are qualitative and quantitative. The analysis of qualitative data was done by comparing the students’ improvement between pre and post cycle based on the students’ writing. The quantitative data is used for supporting the qualitative data. The improvement of students’ ability can be seen from the process of learning. The process includes: students’ experience in reading, writing, speaking, and listening is directed to language activity so that it is able to improve the students’ ability to write poems. The improvement is seen from the average score of pretest which improved in the posttest. The research result shows that there is improvement of students’ ability to write poems. The pretest shows that students who are able to write poems are 46%. After being treated at the first cycle, there is improvement into 61% or adequate. At the second cycle, there was second treatment and the result shows that the improvement is significant which is 81%. The percentage of students’ improvement is 76% between the first and the second cycles. The difference of effectiveness of the first cycle and the second is 39.6%.

Keywords: Whole Language approach, students’ ability to write poems

Page 70: PEDAGOGIA - repository.unpak.ac.id · English Phonology adalah salah satu mata kuliah yang dianggap sulit oleh mahasiswa karena mahasiswa diminta untuk menghafalkan teori-teori yang

Pedagogia, Volume 8 Nomor 2 Tahun 2016

445 PENINGKATAN KETERAMPILAN MENULIS PUISI

PENDAHULUANSastra menyiaratkan hal yang memiliki

aspek keindahan. Sebuah karya sastra memberikan kepekaan terhadap nilai-nilai hidup. Sastra berbicara tentang hidup dan kehidupan, tentang berbagai persoalan-persoalan yang dialami manusia yang semuanya diungkapkan dengan cara dan bahasa yang khas. Lewat sebuah kata, sastra mampu mendewasakan pembacanya. Sastra merupakan cerminan terhadap pengalaman, ide, dan perasaan yang dituangkan dalam wujud uangkapan secara kreatif. Bahasa sastra adalah bahasa yang dikarang, disusun sedemikian rupa sehingga menghasilkan susunan bahasa yang mampu membangkitkan daya pikat terhadap pembacanya. Bahasa sastra mengandung pengalaman kebahasaan yang khas dan memperkaya batin pembaca dengan ungkapan yang mudah diingatPembelajaran merupakan proses komunikasi peserta didik dengan komponen belajar dalam sebuah lingkungan belajar. Pembelajaran sastra merupakan bagian dari sistem pendidikan yang berfungsi untuk mengembangkan kemampuan dan meningkatkan kepekaan mahasiswa terhadap kehidupan. Pembelajaran sastra adalah pembelajaraan seni bersifat kreatif dan ekspresif yang dituangkan dalam bahasa sebagai medianya. Oleh karena itu, pembelajaran sastra merupakan pembelajaraan kreativitas dan pembelajaran ekspresi.

Sastra berbicara tentang hidup dan kehidupan, tentang berbagai persoalan-persoalan yang dialami manusia yang semuanya diungkapkan dengan cara dan bahasa yang khas. Lewat kata, sastra mampu mendewasakan pembacanya.Sastra merupakan cerminan terhadap pengalaman, ide, dan perasaan yang dituangkan dalam wujud uangkapan secara kreatif. Bahasa sastra adalah bahasa yang dikarang, disusun sedemikian rupa sehingga menghasilkan susunan bahasa yang mampu membangkitkan daya pikat terhadap pembacanya. Bahasa sastra mengandung pengalaman kebahasaan yang khas dan memperkaya batin pembaca dengan ungkapan yang mudah diingat.

Pembelajaran sastra merupakan bagian dari sistem pendidikan yang berfungsi untuk mengembangkan kemampuan dan meningkatkan kepekaan mahasiswa terhadap kehidupan. Pembelajaran sastra adalah pembelajaraan seni bersifat kreatif dan ekspresif yang dituangkan dalam bahasa sebagai medianya. Oleh karena itu,

pembelajaran sastra merupakan pembelajaraan kreativitas dan pembelajaran ekspresi.

Proses belajar mengajar dalam pembelajaran sastra harus menyenangkan, menarik, dan membuat mahasiswa tertarik. Ketertarikan mahasiswa terhadap pembelajaran sastra membawa kondisi menyenangkan dalam kegiatan belajarnya. Hal itu terjadi karena mahasiswa mampu memadukan keterampilan bersastranya.

Pengalaman mahasiswa yang terpadu dan utuh itu akan menimbulkan kreativitas pada mahasiswa. Kreativitas itu dapat ditunjukkan melalui untaian/tulisan kata indah yang mengandung banyak arti, baik cerita berupa prosa maupun sebuah puisi. Di luar pembelajaran sastra, mahasiswa mampu menulis puisi tanpa memperhatikan syarat dalam menulis puisi agar indah. Namun, dalam pembelajaran menulis puisi di kelas, mahasiswa kurang maksimal dalam menulis puisi karena pembelajaran diajarakan terpisah dan tidak utuh.

Menulis merupakan kegiatan untuk melatih daya kritis, mengembangkan ide berpikir, memudahkan daya tangkap atau persepsi, memecahkan masalah-masalah yang dihadapi, menpendidiktkan bagian pengalaman, dan dapat membantu menjelaskan ide, gagasan, atau pikiran dalam bentuk lisan.Menulis adalah salah satu bentuk berpikir, yang juga merupakan alat untuk membuat orang lain (pembaca) berpikir. Dengan menulis, seseorang mahasiswa mampu mengkonstruksi berbagai ilmu atau pengetahuan yang dimiliki dalam sebuah tulisan.

Puisi merupakan sebuah karya sastra yang mengungkapkan pikiran dan perasaan penyair secara imajinatif dan disusun dengan mengonsentrasikan struktur fisik dan struktur batinnya.Pemakaian kata-kata dalam puisi berbeda dengan bahasa sehari-hari. Seorang penyair mampu menuangkan imajinasinya ke dalam sebuah tulisan, karena melewati suatu proses. Bahasa yang digunakan dalam puisi telah “tersaring”.Artinya pemilihan bahasanya, telah melewati penyeleksian, dipertimbangkan dari berbagai sisi baik yang menyangkut unsur bunyi, diksi, dan makna yang secara keseluruhan telah memenuhi persyaratan untuk memperoleh nuansa keindahan.Bahasa dalam puisi lebih menyentuh, mempesona, merangsang, menyaran, membangkitkan imaji, dan suasana tertentu.

Sebuah puisi akan lebih bermakna jika

Page 71: PEDAGOGIA - repository.unpak.ac.id · English Phonology adalah salah satu mata kuliah yang dianggap sulit oleh mahasiswa karena mahasiswa diminta untuk menghafalkan teori-teori yang

Pedagogia, Volume 8 Nomor 2 Tahun 2016

446PENINGKATAN KETERAMPILAN MENULIS PUISI

pembaca atau penikmat sastra dapat terhanyut oleh makna yang terkandung di dalamnya. Untuk memahami suatu karya sastra diperlukan pemahaman yang mendalam; bukan hanya sekedar membaca dan menikmati karya sastra tersebut, akan tetapi sebagai pembaca harus mampu menghayati makna yang terkandung dalam karya sastra itu. Sebuah karya sastra dapat mengembangkan cipta, kepekaan rasa dan emosi serta memberikan penghayatan terhadap yang mendalam apa yang kita ketahui. Lewat sebuah karya sastra kita dapat menemukan manfaat yang berharga.

Menulis puisi berarti menuangkanpikiran ke dalam bentuk bait dan dengan pilihan kata yang indah sesuai dengan perasaanya. Keindahan kata dalam setiap bait puisi salah satunya terlihat dalam keselarasan bunyi akhir (rima), pengulangan kata sebagai penegasan, dan sebagainya.

Faktor yang memengaruhi mahasiswa tidak maksimal belajar puisi di kelas, antara lain minat membaca puisi, minat menulis puisi,sarana, kondisi ruang kelas, sumber buku, metode, media, dan pendekatan.Oleh karena itu, pembelajaran sastra, khususnya puisi, harus mendapatkan perubahan. Perubahan itu harus tetap sejalan dengan tujuan pembelajaran sastra, dulce et utile atau ‘menghibur’ dan menghikmahi’Dengan perubahan itu, mahasiswa tetap memeroleh pengetahuan yang lebih kreatif.

Pembelajaran menulis puisi dapat diajarkan di luar kelas dengan tujuan mahasiswa mampu berkreasi dan berimajinasi. Dengan demikian, mahasiswa mampu menghirup udara segar dan dengan mudah menuangkan kata-kata indah yang bermakna. Akhirnya, mahasiswa mampu menulis sebuah puisi.Menulis puisi merupakan salah satu materi pelajaran sastra yang terdapat dalam mata kuliah apresiasi dan kajian puisi. Puisi merupakan bentuk karya sastra yang mengungkapkan isi hati, pikiran, dan pengalaman penyair secara imajinatif dan disusun dengan bahasa yang indah dan penuh makna.Puisi dapat menjadi sarana mencurahkan isi hati mahasiswa. Dengan keterpaduan dan diajarkan utuh, mahasiswa akan lebih mudah menuangkan pikirannya melalui kata-kata. Tapi, kenyataan sekarang ini, mahasiswa kurang tergali untuk menulis puisi.

Berdasarkan observasi awal, peneliti mendapatkan data bahwa pembelajaran menulis puisi kurang memberi perhatian dan kurang

memotivasi mahasiswa untuk berkreasi sesuai minat. Hal itu disebabkan oleh pembelajaran menulis puisi kurang menyeluruh,terpisah, membosankan, pembelajaran monoton, serta kurangnya variasi pendekatan pembelajaran menulis puisi. Pendekatan yang digunakan selama ini masih pendekatan konvensional. Pendekatan ini lebih memperlihatkan mahasiswa cenderung pasif karena dosen ceramah. Kondisi tersebut mengakibatkan mahasiswa kurang termotivasi untuk mengembangkan kreativitasnya dalam menulis puisi. Akhirnya, pembelajaran menulis puisi dirasakan apa adanya sehingga tidak menyenangkan dan kurang menarik. Pembelajaran menulis puisi tersebut berdampak terhadap minat mahasiswa dalam mengikuti pembelajaran. Minat sangat mempengaruhi efektivitas pembelajaran menulis puisi. Dengan demikian, berpengaruh terhadap hasil belajar mahasiswa yang kurang memuaskan.

Hasil belajar dari pembelajaran puisi ditentukan pula oleh beberapa faktor, seperti sarana belajar, kurikulum, dan dosen. Dosen sebagai perencana pembelajaran merupakan faktor dominan. Rendahnya pengetahun dan kemampuan dosen tentang cara mengajar puisi menjadi kendala. Dosen harus memiliki tanggung jawab dan profesional dalam mengajar. Dosen profesional harus memenuhi beberapa syarat, salah satunya memiliki pemahaman dan kemampuan selektif dalam menentukan maupun menerapkan suatu metode atau pendekatan pembelajaran, khususnya pembelajaran sastra.

Kondisi tersebut sangat memprihatinkan dan menjadi perhatian bersama, khususnya dosen sastra. Kita harus mencari solusi, termasuk pendekatan baru, agar pembelajaran menulis puisi dapat memberi hasil yang diharapkan. Salah satu pendekatan yang dapat digunakan dalam pembelajaran menulis puisi, yaitu pendekatan whole language.

Whole language didasarkan atas observasi bahwa anak-anak berkembang dan belajar dengan lebih mudah bila mereka secara aktif mengikuti proses belajarnya sendiri. Mereka akan lebih mudah menguasai berbagai konsep dan strategi dan konsep yang komplek dalam menulis dan membaca bila terlibat secara nyata.

Dalam menerapkan pembelajaran terpadu, pendidik-pendidik yang berpandangan whole language kerapkali menciptakan unit tematik yang mungkin dikembangkan sesuai dengan kebutuhan

Page 72: PEDAGOGIA - repository.unpak.ac.id · English Phonology adalah salah satu mata kuliah yang dianggap sulit oleh mahasiswa karena mahasiswa diminta untuk menghafalkan teori-teori yang

Pedagogia, Volume 8 Nomor 2 Tahun 2016

447 PENINGKATAN KETERAMPILAN MENULIS PUISI

anak dan masyarakat. whole language ditopang oleh empat landasan dasar, yaitu teori belajar, teori kebahasaan, pandangan dasar tentang pendidikan dan peranan pendidik, serta pandangan kurikulum berdasarkan bahasa.

Berdasarkan hal tersebut, pembelajaran menulis puisi dapat dilakukan dengan memadukan atau menghubungkan antara materi pelajaran dengan keterampilan berbahasamahasiswa. Dengan demikian, mahasiswa mampu merumuskan makna dari pembelajaran itu. Hal tersebut sejalan dengan prinsip pendekatan whole language, yaitu keyakinan tentang belajar dan bagaimana anak belajar. Dengan prinsip itu, mahasiswamampu menghubungkan pengetahuan dengan pengalaman yang telah dialami dan kehidupan sehari-hari menjadi sebuah pembelajaran yang terpadu dan utuh.

Berdasarkan gambaran di atas, peneliti tertarik untuk melakukan penelitian tindakan agar diketahui peningkatan keterampilan menulis puisi melalui pendekatan whole language pada mahasiswa Prodi Bahasa dan Sastra Indonesia, FKIP Universitas Pakuan. Atas dasar itulah peneliti mengambil judul penelitian Peningkatan Keterampilan Menulis Puisi melalui Pendekatan whole language(Penelitian Tindakan pada mahasiswa Prodi. Bahasa dan Sastra Indonesia, FKIP Universitas Pakuan Bogor).

METODOLOGI PENELITIANPenelitian ini merupakan penelitian tindakan

dengan pelaksana kolaboratif antara, observer, dan peneliti. Tahapan dalam setiap siklus, yaitu rencana, tindakan, observasi, dan refleksi. Rancangan tindakan yang diterapkan dalam pembelajaran peningkatan keterampilan menulis puisi melalui pendekatan whole language dapat dijelaskan seperti pada uraian berikut:1. Kegiatan penelitian ini dimulai dengan

penjajakan awal untuk mendapatkan informasi tentang kondisi awal kebiasaan menulis puisi dan apresiasi peserta dalam menulis puisi. Usaha untuk memperoleh informasi ditempuh dengan menyampaikan kuesioner kebiasaan menulis puisi dan tes menulis puisi.

2. Berdasarkan data yang diperoleh melalui tahap penjajakan awal, dilakukan identifikasi masalah untuk membuat perencanaan tindakan peningkatan keterampilan menulis puisi melalui pendekatan whole language.

3. Pelaksanaan tindakan dan pengamatan dilakukan secara bersamaan. Pengamatan tindakan difokuskan pada penerapan pembelajaran melalui pendekatan whole language dalam upaya meningkatkan keterampilan menulis puisi.

4. Refleksi merupakan aktivitas perenungan kembali dalam rangka mengevaluasi pelaksanaan pembelajaran. Melalui kegiatan refleksi diharapkan dapat diidentifikasi pengaruh pendekatan whole language terhadap peningkatan keterampilan menulis puisi. Atas dasar refleksi yang dilakukan oleh peneliti dan kolaborator dengan mempertimbangkan berbagai hal dari peserta kemudian dilakukan perencanaan kembali untuk mengoptimalkan tindakan pada siklus berikutnya.Penelitian tindakan kelas merupakan penelitian yang dilaksanakan dalam bentuk siklus. Dalam penelitian ini akan dilakukan dua siklus.

HASIL DAN PEMBAHASANPerbandingan jumlah seluruh nilai, nilai

rata-rata kelas, serta persentase kenaikan hasil belajar mahasiswa kelas e semester dua Prodi. Bahasa dan Sastra Indonesia dalam menulis puisi dapat dilihat pada tabel berikut.

DATA KESELURUHAN HASIL BELAJAR

No. Keterangan PratesTindakan

Siklus I Siklus II1 Jumlah seluruh nilai 99 122,5 160,52 Nilai rata-rata kelas 5,0 6,1 8,03 Rata-rata persentase 50% 61% 80%4 Persentase kenaikan 23, 7% 31%5 Interpretasi kelas Kurang

BerhasilCukup

Berhasil Berhasil

Agar sajian tabel di atas lebih terlihat jelas, maka peneliti menyajikan grafik data keseluruhan hasil belajar yang mencakup nilai rata-rata kelas saat tes (prates serta postes siklus pertama dan kedua) dan persentase kenaikan tiap siklus.

. Berdasarkan perhitungan tersebut, maka diperoleh nilai rata-rata pates yakni sebesar 5,0 atau berada pada tingkat penguasaan 50% dengan interpretasi mahasiswa kelas E kurang berhasil. Jumlah seluruh nilai postes siklus pertama berjumlah 122,5 dengan nilai rata-rata 6,1 atau 61% dengan interpretasi kelas cukup berhasil.

Page 73: PEDAGOGIA - repository.unpak.ac.id · English Phonology adalah salah satu mata kuliah yang dianggap sulit oleh mahasiswa karena mahasiswa diminta untuk menghafalkan teori-teori yang

Pedagogia, Volume 8 Nomor 2 Tahun 2016

448PENINGKATAN KETERAMPILAN MENULIS PUISI

Berdasarkan perhitungan nilai rata-rata prates dan nilai rata-rata postes pada siklus pertama, maka persentase kenaikan siklus pertama yaitu23,7%. Persentase kenaikan pada siklus pertama cukup tinggi namun nilai rata-rata kelas belum mencapai Standar Ketuntasan Belajar Minimal (SKBM) yakni 80%. Oleh karena itu, diadakan tindakan dan postes pada siklus kedua. Hasil yang diperoleh yakni sebesar 160,5 sehingga nilai rata-rata kelas sebesar 8,0 atau 80% dengan interpretasi kelas berhasil. Nilai rata-rata postes siklus pertama dan kedua dihitung sehingga diperoleh persentase kenaikan siklus kedua yaitu 31,1%. Jika nilai rata rata-rata prates dan siklus kedua dihitung menghasilkan persentase kenaikan 60 % .Berikut ini perhitungan persentase kenaikan tiap siklus. Pk = (RS2-RS1) × 100% RS1

Siklus I Pk = (61-50) × 100% 50Pk = 22 %

Siklus II Pk = (80-61) × 100% 61 = 31,1% Siklus II Pk = (80-50) × 100% 50

= 60 %

DATA KESELURUHANHASIL PENGAMATAN

Siklus ke-

Hasil Pengamatan

Jenis PengamatanCeklis Dosen Log atau

Jurnal RisetI Tindakan I 65,9 55

Tindakan II 71,4 75Nilai 68,6 65

II Tindakan I 78,4 77,5Tindakan II 85,2 92,5Nilai 81.8 85

Pada siklus pertama, hasil pengamatan kegiatan belajar mengajar yaitu 68.62% dengan interpretasi cukup baik. Hasil pengamatan yang kedua berupa log atau jurnal riset, memperoleh nilai 65% dengan interpretasi cukup baik. Adanya kegiatan refleksi di akhir siklus pertama, memberikan

pengaruh positif pada kegiatan pembelajaran di siklus kedua sehingga hasil pengamatan mengalami peningkatan. Hasil pengamatan siklus kedua yang berkaitan dengan kegiatan belajar mengajar 81, 8% dengan interpretasi baik, Hasil pengamatan log atau jurnal riset memperoleh nilai 85% dengan interpretasi sangat baik.

SIMPULANBerdasarkan hasil temuan penelitian

tindakan tentang Peningkatan Keterampilan Menulis Puisi melalui Pendekatan whole language pada siklus pertama dan kedua dihasilkan kesimpulan sebagai berikut: Pertama, peningkatan keterampilan menulis dapat dilakukan melalui tahapan menulis seperti mendata objek yang akan dijadikan bahan menulis puisi, menentukan tema , subtema dan judul kemudian merangkai kata demi kata agar terjalin kalimat yang bermakna, menyunting kata yang telah dirangkaikan, menuangkan dalam sebuah puisi. Selain itu, pembelajaran diarahkan melibatkan seluruh keterampilan berbahasa secara utuh dan tepadu.Konteks inilah yang diusung dalam pendekatan whole language dalam pembelajaran.Melalui pendekatan tersebut, mahasiswa lebih mudah menuangkan kata-kata karena belajar bahasa secara utuh dan menyenangkan serta alami dengan bantuan media tayangan pembacaan puisi dan film yang digemari mahasiswa. Dengan demikian, terjadi peningkatan keterampilan menulis puisi mahasiswa. Kedua, pendekatan whole language dalam pembelajarannya terbukti dapat meningkatkan keterampilan menulis puisi mahasiswa, khususnya dengan penggunaan struktur fisik puisi.

DAFTAR PUSTAKAAkhadiah, Sabarti; Arsjad, Maidar G.; dan Ridwan,

Sakura H. Pembinaan Kemampuan Menulis Bahasa Indonesia. Jakarta: Erlangga. 1999.

Crark,David, The Whole language Companion. London:Scott, Foresman and Company.1991

Djojosuroto, Kinayati; Sumaryati, M. L. A.. Prinsip-prinsip Dasar dalam Penelitian Bahasa dan Sastra. Bandung: Nuansa. 2004.

Efendi, S. Bimbingan Apresiasi Puisi. Jakarta: Pustaka Jaya. 2002.

Emzir, Metodologi Penelitian Pendidikan Kuantitatif dan Kualitatif (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2008

Page 74: PEDAGOGIA - repository.unpak.ac.id · English Phonology adalah salah satu mata kuliah yang dianggap sulit oleh mahasiswa karena mahasiswa diminta untuk menghafalkan teori-teori yang

Pedagogia, Volume 8 Nomor 2 Tahun 2016

449 PENINGKATAN KETERAMPILAN MENULIS PUISI

Hernowo. Quantum Writing: Cara Cepat nan Bermanfaat untuk Merangsang Munculnya Potensi Menulis. Bandung: Mizan. 2004.

Kartimi, Tiem. Langkah-langkah Dasar dalam Menulis. Bogor: FKIP Universitas Pakuan. 2000.

Keraf, Gorrys. Diksi dan Gaya Bahasa. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama. 2002.

Oller, John W. Language Tests at School: A Pragmatic Approach. London: Longman Group Limited. 1979.

Schmuck, Richard. Practical Action Research for Change. Arlington Heights, Illions: Skylight. 1997.

Siswanto, Wahyudi. Pengantar Teori Sastra. Jakarta: PT Grasindo. 2008.

Suharsimi Arikunto. Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktik. Jakarta: Rineka

Sumardi. Panduan Apresiasi Cerita Pendek.. Jakarta: Uhamka Press. 2012

Tarigan, Henry Guntur. Menulis sebagai Suatu Keterampilan Berbahasa. Bandung: Angkasa. 2008

Waluyo, Herman J. Teori dan Apresiasi Puisi. Jakarta: Erlangga. 1987

Weaver, Constance dan Linda Henke. Supporting Whole language. Portsmouth, NH: Heinrmann . 1992

Winter, Richard. Learning From Experience: Principles and Practice in Action-Research. Philadelphia: The Falmer Press. 1989.

Nurgiantoro, Burhan. Penilaian dalam Pengajaran Bahasa dan Sastra. Yogyakarta: BPFE. 1994

Syamsuddin dan Vismaia. Metode Penelitian Pendidikan Bahasa. Bandung: PT Remaja Rosdakarya.2006

Juanda, dadan dan Prana Dwija. Apresiasi Sastra Indonesia. Bandung: UPI PRESS. 2006

Page 75: PEDAGOGIA - repository.unpak.ac.id · English Phonology adalah salah satu mata kuliah yang dianggap sulit oleh mahasiswa karena mahasiswa diminta untuk menghafalkan teori-teori yang

PEDOMAN PENULISAN

Kami membuka kesempatan bagi Anda untuk mempublikasikan karya ilmiah Anda melalui Pedagogia. Berikut ini adalah pedoman penulisan karya ilmiah yang merupakan syarat dipublikasikannya karya tulis ilmiah Anda. 1. PEDAGOGIA menerima artikel dan jurnal baik dalam Bahasa Indonesia maupun Bahasa Inggris

mengenai topik-topik yang berkaitan dengan kependidikan, Bahasa Inggris, Bahasa dan sastra Indonesia, dan Biologi yang belum pernah dipublikasikan di manapun sebelumnya.

2. Agar dapat dipublikasikan, maka naskah harus ditulis dalam MS Word dengan format .doc, menggunakan ukuran huruf 12 jenis Times New Roman, spasi tunggal dan berkolom 2 kecuali untuk abstrak dan tabel atau gambar yang tidak memungkinkan untuk diperkecil. Ukuran kertas A4-size dengan jumlah halaman 10-15.

3. Artikel akan dikaji oleh para redaktur pelaksana yang kemudian diedit oleh tim editing tanpa mengubah makna.

4. Artikel yang bukan hasil penelitian harus memuat:(a) Judul; (b) Nama lengkap para penulis tanpa gelar; (c) abstrak (maks.100 kata); (d) Kata Kunci; (e) Pendahuluan; (f) Isi; dan (g) referensi.

5. Artikel hasil penelitian harus memuat: (a) Judul; (b) Nama Lengkap para penulis tanpa gelar; (c) Abstrak (maks. 200 kata); (d) Kata kunci; (e) Pendahuluan yang mencakup kajian pustaka dan tujuan penelitian; (f) Metode; (g) Penemuan; (h) Pembahasan; (i) Simpulan dan Saran; (j) Referensi; dan (k) Appendiks, jika ada.

6. Referensi harus ditulis secara alfabetis dan kronologis sesuai dengan APA style.7. Naskah dan juga riwayat singkat penulis dikirimkan melalui e mail kepada rais72rais@gmail.

com atau [email protected].

Bogor, 2016

Redaksi Pedagogia