pedagang vs pembeli (esai bahasa indonesia)

4
Anindya Atma Zulatsari (135110101111092) Sastra Inggris PEDAGANG VS PEMBELI: BAHASA TAWAR-MENAWAR BERDASARKAN USIA Di pasar tradisional sering terjadi kegiatan tawar-menawar yang dilakukan penjual dan pembeli. Dalam kegiatan tawar-menawar tersebut dibutuhkan pengalaman, pengetahuan yang cukup tentang harga pasar, dan yang tidak kalah penting adalah kecakapan berbicara agar proses negosiasi (dalam tawar-menawar tersebut) berjalan seperti yang diinginkan. Umumnya, kecakapan berbicara yang baik lebih banyak dimiliki orang tua (dewasa) dibandingkan dengan anak remaja. Perbedaan status dan usia juga akan mempengaruhi tingkat keluwesan berbicara. Sewajarnya orang yang merasa memiliki power lebih besar dibandingkan lawan bicaranya akan menempatkan dirinya lebih tinggi, sehingga merasa lebih berhak mengatur dan mendominasi percakapan. Hal semacam ini akan sangat kentara saat proses tawar-menawar terjadi. Berikut 2 kasus tawar-menawar yang melibatkan perbedaan kelas dan status sosial. Kasus pertama, jika si pedagang berusia lebih tua dari pembeli, anggaplah si pedagang seorang ibu paruh baya dan si pembeli seorang remaja. Jika si remaja menawar dari harga yang ditentukan, karena ia lebih muda umumnya ia akan cenderung segan dan tidak memaksakan kemauannya. Kata-kata yang digunakan akan seperti: ″Maaf bu, bisa dikurangi sedikit?″, atau ″Kalau kurang sedikit boleh bu?″. kata-kata yang digunakan cenderung sopan dan merendah, seperti ″maaf″. Atau ujaran yang mengindikasikan keraguan dan ketidakpastian dalam keputusan, seperti ″kalau″, ″sedikit″. Si remaja juga menunjukkan keseganan, dengan

Upload: anindya-zulatsari

Post on 01-Dec-2014

4.216 views

Category:

Documents


0 download

DESCRIPTION

 

TRANSCRIPT

Page 1: Pedagang vs pembeli (esai bahasa indonesia)

Anindya Atma Zulatsari (135110101111092) Sastra Inggris

PEDAGANG VS PEMBELI: BAHASA TAWAR-MENAWAR BERDASARKAN USIA

Di pasar tradisional sering terjadi kegiatan tawar-menawar yang dilakukan penjual dan

pembeli. Dalam kegiatan tawar-menawar tersebut dibutuhkan pengalaman, pengetahuan yang

cukup tentang harga pasar, dan yang tidak kalah penting adalah kecakapan berbicara agar proses

negosiasi (dalam tawar-menawar tersebut) berjalan seperti yang diinginkan.

Umumnya, kecakapan berbicara yang baik lebih banyak dimiliki orang tua (dewasa)

dibandingkan dengan anak remaja. Perbedaan status dan usia juga akan mempengaruhi tingkat

keluwesan berbicara. Sewajarnya orang yang merasa memiliki power lebih besar dibandingkan

lawan bicaranya akan menempatkan dirinya lebih tinggi, sehingga merasa lebih berhak mengatur

dan mendominasi percakapan. Hal semacam ini akan sangat kentara saat proses tawar-menawar

terjadi. Berikut 2 kasus tawar-menawar yang melibatkan perbedaan kelas dan status sosial.

Kasus pertama, jika si pedagang berusia lebih tua dari pembeli, anggaplah si pedagang

seorang ibu paruh baya dan si pembeli seorang remaja. Jika si remaja menawar dari harga yang

ditentukan, karena ia lebih muda umumnya ia akan cenderung segan dan tidak memaksakan

kemauannya. Kata-kata yang digunakan akan seperti: ″Maaf bu, bisa dikurangi sedikit?″, atau

″Kalau kurang sedikit boleh bu?″. kata-kata yang digunakan cenderung sopan dan merendah,

seperti ″maaf″. Atau ujaran yang mengindikasikan keraguan dan ketidakpastian dalam keputusan,

seperti ″kalau″, ″sedikit″. Si remaja juga menunjukkan keseganan, dengan menegaskan status si

pedagang yang lebih tua darinya menggunakan penyebutan ″bu″. Secara umum remaja atau

pembeli yang lebih muda tidak akan berlaku dominan, sehingga ia menggunakan bentuk kalimat

tanya untuk menawar ke harga yang diinginkan.

Dalam kasus ini, respon si pedagang kemungkinan akan seperti, ″Aduh, gak bisa mbak″.

Karena sebagai orang yang lebih tua (dan memiliki status lebih tinggi daripada pembelinya yang

hanya seorang remaja) tentu paling tidak memiliki rasa superior ketika merespon tawaran si

remaja. Ia tidak akan terlalu segan menolak penawaran si pembeli remaja dan mempertahankan

harga awal yang ditawarkannya karena remaja cenderung terlihat kurang berpengalaman dan

kurang mengerti tentang harga pasar, sehingga besar kemungkinan pedagang dapat tetap

mempertahankan keuntungannya, dan berusaha terdengar meyakinkan bahwa harga yang ia

tawarkan memang sudah sesuai dengan harga pasar. Contohnya pedagang mungkin akan berkata

″mbak, harganya memang sudah segini″, atau ″ya dimana-mana juga segini mbak″. Terlihat

dalam respon si pedagang, ia menggunakan panggilan ″mbak″, hal ini dilakukan untuk

Page 2: Pedagang vs pembeli (esai bahasa indonesia)

memberikan kesan menghargai si pembeli, karena dengan memanggil ″mbak″ si pedagang seperti

memandang si pembeli remaja sebagai perempuan dewasa.

Lain halnya jika si pembeli adalah seorang yang lebih tua, dan pedagangnya lebih muda.

Situasinya akan berbalik, dimana pembeli dapat mendominasi proses tawar-menawar sedangkan

penjual menjadi lebih berhati-hati dalam merespon keinginan si pembeli.

Contoh jika si pembeli seorang ibu paruh baya, dan penjualnya seorang remaja. Seorang

ibu paruh baya umumnya memiliki pengalaman tawar-menawar dan mengetahui secara umum

harga pasar, hal ini akan membuat si pedagang tidak berani menaruh harga jauh diatas standar

yang ada. Selain itu, prinsip kesopanan akan membuat si pedagang tidak kuasa menolak secara

tegas kemauan si ibu paruh baya tersebut.

Misal si ibu berkata, ″mbak, 50 ribu saja ya″. Kalimat yang digunakan merupakan kalimat

tanya, namun intonasi pengucapannya akan terdengar lebih seperti kalimat suruhan. Dalam kata-

katanya tertangkap kesan bahwa ia sudah mengetahui harga pasaran barang tersebut, sehingga ia

tidak ragu untuk menawar harga dengan angka pasti (seringkali turun 30-40% dari harga awal).

Si pedagang yang seorang remaja tentu tidak bisa menolak mentah-mentah penawaran si ibu,

melainkan menggunakan kata-kata yang lembut, seperti: “maaf ibu, harganya sudah pas”. Si

pedagang cenderung merendah, selain karena ia lebih muda, ia juga tidak mau menyinggung

perasaan pembelinya, diindikasikan dengan digunakannya kata “maaf” di awal kalimat. Ia juga

memanggil si pembeli dengan sebutan “bu”, untuk menghormati beliau yang lebih tua.

Si ibu kemungkinan besar akan tetap bersikukuh dengan harga yang diinginkannya,

seperti: “Udahlah mbak, 50 ribu saja, biasanya juga segitu”. Si pembeli akan menekan penjual

dengan kata kata yang memaksa karena ia merasa benar dengan harga yang ia ajukan, dan tentu

karena si pembeli lebih tua ia menjadi lebih leluasa menyatakan pendapatnya sementara si

penjual yang seorang remaja merasa sungkan menyuarakan ketidaksetujuannya, pembeli akan

bersikeras dan tidak segan meninggalkan kios si penjual. Maka solusi yang sering diambil adalah

menurunkan harga sampai 20-35%, intinya harga yang mendekati kemauan pembeli tapi tidak

persis sama dengan tawaran harga si pembeli. Akhir dari tawar-menawar dalam kasus ini

umumnya adalah kalimat sejenis “ya sudah bu, 60 ribu ya”.

Demikian penggunaan bahasa yang umum terjadi dalam kegiatan tawar-menawar dimana

pedagang dan pembelinya memiliki perbedaan usia yang cukup jauh. Bentuk dan cara tawar-

menawar yang digunakan masih sangat bergantung pada batas kesopanan, namun untuk

penelitian mendalam perlu dipertimbangkan faktor lain seperti nilai budaya dan kebiasaan

masyarakat di daerah pasar tersebut.