pecking order teori

9
Pecking order theory menggambarkan sebuah tingkatan dalam pencarian dana perusahaan yang menunjukkan bahwa perusahaan lebih memilih menggunakan internal equity dalam membiayai investasi dan mengimplementasikannya sebagai peluang pertumbuhan. Theory pecking order menyatakan bahwa perusahaan lebih suka pendanaan internal dibandingkan pendanaan eksternal, utang yang aman dibandingkan utang yang berisiko serta yang terakhir adalah saham biasa (Myers & majluf, 1984 dalam Sugiarto 2009). Teori pecking order yang dibangun berdasarkan beberapa asumsi menekankan pada pentingnya financial slack yang cukup di perusahaan guna mendanai proyek- proyek bagus dengan dana internal. Internal equity diperoleh dari laba ditahan dan depresiasi atau amortisasi. Utang diperoleh dari pinjaman kreditur, sedang eksternal equity di peroleh karena perusahaan menerbitkan saham baru. Manajamen perusahaan diasumsikan sudah memutuskan berapa banyak laba perusahaan yang diinvestasikan kembali dan memilih bauran utang-modalnya untuk mendanai investasi ini, keputusan untuk membayar dividen yang lebih besar berarti secara simultan memutuskan untuk menahan sedikit laba dan akan menghasilkan ketergantungan yang lebih besar pada pendanaan eksternal. Sebaliknya dengan investasi dan keputusan pendanaan perusahaan pembayaran dividen yang kecil akan berarti penahana laba yang tinggi dengan lebih sedikit kebutuhan dana modal yang dihasilkan dari luar. Keputusan dividen perusahaan memiliki dampak yang langsung pada pendanaan perusahaan. Jika pembayaran dividen meningkat dan pendanaan untuk mendanai investasi secara internal berkurang, maka akan berakibat modal tambahan akan dibutuhkan sehingga perusahaan harus menerbitkan saham biasa atau mengubah komposisi utangnya. The pecking order theory menekankan permasalahan informasi asimetri. Perusahaan yang memiliki finacial slack yang cukup tidak perlu menerbitkan risky debt atau saham untuk mendanai proyek-proyek barunya sehingga masalah informasi tidak akan muncul. Perusahaan akan dapat menerima seluruh proyek bagus tanpa harus merugikan pemegang saham lama. Teori

Upload: annisa-rizky-firdhausa

Post on 26-Sep-2015

20 views

Category:

Documents


3 download

DESCRIPTION

Pecking Order Teori

TRANSCRIPT

Pecking order theory menggambarkan sebuah tingkatan dalam pencarian dana perusahaan yang menunjukkan bahwa perusahaan lebih memilih menggunakan internal equity dalam membiayai investasi dan mengimplementasikannya sebagai peluang pertumbuhan. Theory pecking order menyatakan bahwa perusahaan lebih suka pendanaan internal dibandingkan pendanaan eksternal, utang yang aman dibandingkan utang yang berisiko serta yang terakhir adalah saham biasa (Myers & majluf, 1984 dalam Sugiarto 2009). Teori pecking order yang dibangun berdasarkan beberapa asumsi menekankan pada pentingnya financial slack yang cukup di perusahaan guna mendanai proyek-proyek bagus dengan dana internal. Internal equity diperoleh dari laba ditahan dan depresiasi atau amortisasi. Utang diperoleh dari pinjaman kreditur, sedang eksternal equity di peroleh karena perusahaan menerbitkan saham baru.Manajamen perusahaan diasumsikan sudah memutuskan berapa banyak laba perusahaan yang diinvestasikan kembali dan memilih bauran utang-modalnya untuk mendanai investasi ini, keputusan untuk membayar dividen yang lebih besar berarti secara simultan memutuskan untuk menahan sedikit laba dan akan menghasilkan ketergantungan yang lebih besar pada pendanaan eksternal. Sebaliknya dengan investasi dan keputusan pendanaan perusahaan pembayaran dividen yang kecil akan berarti penahana laba yang tinggi dengan lebih sedikit kebutuhan dana modal yang dihasilkan dari luar. Keputusan dividen perusahaan memiliki dampak yang langsung pada pendanaan perusahaan. Jika pembayaran dividen meningkat dan pendanaan untuk mendanai investasi secara internal berkurang, maka akan berakibat modal tambahan akan dibutuhkan sehingga perusahaan harus menerbitkan saham biasa atau mengubah komposisi utangnya.The pecking order theory menekankan permasalahan informasi asimetri. Perusahaan yang memiliki finacial slack yang cukup tidak perlu menerbitkan risky debt atau saham untuk mendanai proyek-proyek barunya sehingga masalah informasi tidak akan muncul. Perusahaan akan dapat menerima seluruh proyek bagus tanpa harus merugikan pemegang saham lama. Teori ini merupakan penjelas perilaku perusahaan yang menahan sebagian laba dan membuat cadangan kas dalam jumlah yang cukup besar.

1. Modigliani-Miller (MM) TheoryTeori MM tanpa pajakTeori struktur modal modern yang pertama adalah teori Modigliani dan Miller (teori MM). Mereka berpendapat bahwa struktur modal tidak relevan atau tidak mempengaruhi nilai perusahaan. MM mengajukan beberapa asumsi untuk membangun teori mereka (Brigham dan Houston, 2001, p.31) yaitu:a. tidak terdapat agency cost.b. tidak ada pajak.c. Investor dapat berhutang dengan tingkat suku bunga yang sama dengan perusahaand. Investor mempunyai informasi yang sama seperti manajemen mengenai prospek perusahaan di masa depane. Tidak ada biaya kebangkrutanf. Earning Before Interest and Taxes (EBIT) tidak dipengaruhi oleh penggunaan dari hutang.g. Para investor adalah price-takers.h. Jika terjadi kebangkrutan maka aset dapat dijual pada harga pasar (market value).Dengan asumsi-asumsi tersebut, MM mengajukan dua preposisi yang dikenal sebagai preposisi MM tanpa pajak.Preposisi I: nilai dari perusahaan yang berhutang sama dengan nilai dari perusahaan yang tidak berhutang. Implikasi dari preposisi I ini adalah struktur modal dari suatu perusahaan tidak relevan, perubahan struktur modal tidak mempengaruhi nilai perusahaan dan weighted average cost of capital (WACC) perusahaan akan tetap sama tidak dipengaruhi oleh bagaimana perusahaan memadukan hutang dan modal untuk membiayai perusahaanPreposisi II: biaya modal saham akan meningkat apabila perusahaan melakukan atau mencari pinjaman dari pihak luar. Risk of the equity bergantung pada resiko dari operasional perusahaan (business risk) dan tingkat hutang perusahaan (financial risk).Brealey, Myers dan Marcus (1999) menyimpulkan dari teori MM tanpa pajak ini yaitu tidak membedakan antara perusahaan berhutang atau pemegang saham berhutang pada saat kondisi tanpa pajak dan pasar yang sempurna. Nilai perusahaan tidak bergantung pada struktur modalnya. Dengan kata lain, manajer keuangan tidak dapat meningkatkan nilai perusahaan dengan merubah proporsi debt dan equity yang digunakan untuk membiayai perusahaan.

Teori MM dengan pajak.Teori MM tanpa pajak dianggap tidak realistis dan kemudian MM memasukkan faktor pajak ke dalam teorinya. Pajak dibayarkan kepada pemerintah, yang berarti merupakan aliran kas keluar. Hutang bisa digunakan untuk menghemat pajak, karena bunga bisa dipakai sebagai pengurang pajak.Dalam teori MM dengan pajak ini terdapat dua preposisi yaitu:Preposisi I: nilai dari perusahaan yang berhutang sama dengan nilai dari perusahaan yang tidak berhutang ditambah dengan penghematan pajak karena bunga hutang. Implikasi dari preposisi I ini adalah pembiayaan dengan hutang sangat menguntungkan dan MM menyatakan bahwa struktur modal optimal perusahaan adalah seratus persen hutang.Preposisi II: biaya modal saham akan meningkat dengan semakin meningkatnya hutang, tetapi penghematan pajak akan lebih besar dibandingkan dengan penurunan nilai karena kenaikan biaya modal saham. Implikasi dari preposisi II ini adalah penggunaan hutang yang semakin banyak akan meningkatkan biaya modal saham. Menggunakan hutang yang lebih banyak, berarti menggunakan modal yang lebih murah (biaya modal hutang lebih kecil dibandingkan dengan biaya modal saham), sehingga akan menurunkan biaya modal rata-rata tertimbangnya (meski biaya modal saham meningkat). Teori MM tersebut sangat kontroversial. Implikasi teori tersebut adalah perusahaan sebaiknya menggunakan hutang sebanyak-banyaknya. Dalam praktiknya, tidak ada perusahaan yang mempunyai hutang sebesar itu, karena semakin tinggi tingkat hutang suatu perusahaan, akan semakin tinggi juga kemungkinan kebangkrutannya. Inilah yang melatarbelakangi teori MM mengatakan agar perusahaan menggunakan hutang sebanyak-banyaknya, karena MM mengabaikan biaya kebangkrutan.

2. Trade-off TheoryMenurut trade-off teory yang diungkapkan oleh Myers (2001), Perusahaan akan berhutang sampai pada tingkat hutang tertentu, dimana penghematan pajak (tax shields) dari tambahan hutang sama dengan biaya kesulitan keuangan (financial distress) (p.81). Biaya kesulitan keuangan (Financial distress) adalah biaya kebangkrutan (bankruptcy costs) atau reorganization, dan biaya keagenan (agency costs) yang meningkat akibat dari turunnya kredibilitas suatu perusahaan. Trade-off theory dalam menentukan struktur modal yang optimal memasukkan beberapa faktor antara lain pajak, biaya keagenan (agency costs) dan biaya kesulitan keuangan (financial distress) tetapi tetap mempertahankan asumsi efisiensi pasar dan symmetric information sebagai imbangan dan manfaat penggunaan hutang. Tingkat hutang yang optimal tercapai ketika penghematan pajak (tax shields) mencapai jumlah yang maksimal terhadap biaya kesulitan keuangan (costs of financial distress). Trade-off theory mempunyai implikasi bahwa manajer akan berpikir dalam kerangka trade-off antara penghematan pajak dan biaya kesulitan keuangan dalam penentuan struktur modal. Perusahaan-perusahaan dengan tingkat profitabilitas yang tinggi tentu akan berusaha mengurangi pajaknya dengan cara meningkatkan rasio hutangnya, sehingga tambahan hutang tersebut akan mengurangi pajak. Dalam kenyataannya jarang manajer keuangan yang berpikir demikian. Donaldson (1961) melakukan pengamatan terhadap perilaku struktur modal perusahaan di Amerika Serikat. Penelitian tersebut menunjukkan bahwa perusahaan-perusahaan dengan tingkat profitabilitas yang tinggi cenderung rasio hutangnya rendah. Hal ini berlawanan dengan pendapat trade-off theory. Trade-off theory tidak dapat menjelaskan korelasi negatif antara tingkat profitabilitas dan rasio hutang.

3. Pecking Order TheoryMenurut Myers (1984), pecking order theory menyatakan bahwa Perusahaan dengan tingkat profitabilitas yang tinggi justru tingkat hutangnya rendah, dikarenakan perusahaan yang profitabilitasnya tinggi memiliki sumber dana internal yang berlimpah. Dalam pecking order theory ini tidak terdapat struktur modal yang optimal. Secara spesifik perusahaan mempunyai urut-urutan preferensi (hierarki) dalam penggunaan dana. Menurut pecking order theory dikutip oleh Smart, Megginson, dan Gitman (2004, p.458-459), terdapat skenario urutan (hierarki) dalam memilih sumber pendanaan, yaitu :a. perusahaan lebih memilih untuk menggunakan sumber dana dari dalam atau pendanaan internal daripada pendanaan eksternal. Dana internal tersebut diperoleh dari laba ditahan yang dihasilkan dari kegiatan operasional perusahaan.b. Jika pendanaan eksternal diperlukan, maka perusahaan akan memilih pertama kali mulai dari sekuritas yang paling aman, yaitu hutang yang paling rendah risikonya, turun ke hutang yang lebih berisiko, sekuritas hybrid seperti obligasi konversi, saham preferen, dan yang terakhir saham biasa.c. Terdapat kebijakan deviden yang konstan, yaitu perusahaan akan menetapkan jumlah pembayaran deviden yang konstan, tidak terpengaruh seberapa besarnya perusahaan tersebut untung atau rugi.d. Untuk mengantisipasi kekurangan persediaan kas karena adanya kebijakan deviden yang konstan dan fluktuasi dari tingkat keuntungan, serta kesempatan investasi, maka perusahaan akan mengambil portofolio investasi yang lancar tersedia. Pecking order theory tidak mengindikasikan target struktur modal. Pecking order theory menjelaskan urut-urutan pendanaan. Manajer keuangan tidak memperhitungkan tingkat hutang yang optimal. Kebutuhan dana ditentukan oleh kebutuhan investasi. Pecking order theory ini dapat menjelaskan mengapa perusahaan yang mempunyai tingkat keuntungan yang tinggi justru mempunyai tingkat hutang yang kecil.Dalam kenyataannya, terdapat perusahaan-perusahaan yang dalam menggunakan dana untuk kebutuhan investasinya tidak sesuai seperti skenario urutan (hierarki) yang disebutkan dalam pecking order theory. Penelitian yang dilakukan oleh Singh dan Hamid (1992) dan Singh (1995) menyatakan bahwa Perusahaan-perusahaan di negara berkembang lebih memilih untuk menerbitkan ekuitas daripada berhutang dalam membiayai perusahaannya. Hal ini berlawanan dengan pecking order theory yang menyatakan bahwa perusahaan akan memilih untuk menerbitkan hutang terlebih dahulu daripada menerbitkan saham pada saat membutuhkan pendanaan eksternal.

4. Equity Market TimingTeori yang diungkapkan oleh Baker dan Wurgler (2002) ini mengemukakan bahwa Perusahaan-perusahaan akan menerbitkan equity pada saat market value tinggi dan akan membeli kembali equity pada saat market value rendah (p.1) Praktik inilah yang kemudian disebut sebagai equity market timing.Tujuan dari melakukan equity market timing ini adalah untuk mengeksploitasi fluktuasi sementara yang terjadi pada cost of equity terhadap cost of other forms of capital.Menurut Baker dan Wurgler (2002), Struktur modal adalah hasil kumulatif dari usaha melakukan equity market timing di masa lalu (p.3). Baker dan Wurgler menemukan bahwa perusahaan dengan tingkat hutang rendah adalah perusahaan yang menerbitkan equity pada saat market value tinggi dan perusahaan dengan tingkat hutang tinggi adalah perusahaan yang menerbitkan equity pada saat market value rendah. Baker dan Wurgler menggunakan market-to-book ratio, yang umumnya digunakan sebagai proxy untuk mengukur kesempatan investasi, namun dalam teorinya market-to-book ratio juga digunakan untuk melihat apakah nilai suatu ekuitas itu overvalued atau undervalued. Baker dan Wurgler membangun suatu model variabel yaitu external finance weighted-average market-to-book ratio. Variabel ini adalah rata-rata tertimbang dari market-to-book ratio suatu perusahaan di masa lampau. Variabel ini digunakan oleh Baker dan Wurgler untuk melihat usaha dari suatu perusahaan dalam melakukan equity market timing.Ada dua versi dari equity market timing yang mengikuti hasil penelitian Baker dan Wurgler. Yang pertama adalah versi dinamis dari Myers dan Majluf (1984) mengenai informasi asimetris yang mengasumsikan rasional manajer dan investor. Versi yang kedua dari equity market timing melibatkan para investor atau manajer yang tidak rasional dan persepsi dari mispricing. Para manajer akan menerbitkan equity saat mereka yakin bahwa cost of equity rendah dan membeli kembali equity saat cost of equity tinggi. Market-to-book diketahui secara umum berkorelasi negatif dengan future equity returns, dan nilai ekstrem dari market-to-book dikaitkan dengan ekpektasi-ekspektasi yang ekstrem dari investor, sesuai dengan penelitian dari La Porta (1996), La Porta et al. (1997), Frankel dan Lee (1998), dan Schleifer (2000). Apabila manajer mencoba untuk mengeksploitasi terlalu jauh (ekstrem) ekspektasi-ekspektasi dari investor, net equity issues akan berkorelasi positif dengan market-to-book. Apabila tidak terdapat struktur modal yang optimal, manajer tidak perlu mengganti keputusan-keputusan pendanaannya pada saat perusahaan telah dinilai dengan benar dan cost of equity terlihat normal, hal ini menunggu fluktuasi-fluktuasi sementara yang terjadi pada market-to-book mempunyai efek yang tetap pada leverage.

Konsep pecking order theory merupakan konsep yang pertama kali diuraikan oleh Gordon Donaldson pada tahun 1961 dengan penelitian yang berjudul Corporate Debt Capacity: A Study of Corporate Debt Policy and Determination of Corporate Debt Capacity. Pada konsep awalnya, dikemukakan bahwa perusahaan cenderung mengutamakan (mendahulukan) pendanaan dari sumber internal guna membayar deviden dan mendanai investasi, bila kebutuhan dana kurang maka dipergunakan dana dari sumber eksternal sebagai tambahannya. Pendanaan internal diperoleh dari sisa laba atau laba ditahan dan arus kas dari penyusutan (depresiasi). Sedangkan pendanaan eksternal dilakukan terutama dengan menerbitkan obligasi ketimbang dengan penerbitan saham baru. Sesuai dengan hasil penelitiannya, Donaldson (1961) mengemukakan pendapat bahwa penerbitan utang (obligasi) dilakukan oleh perusahaan untuk menghindari atau mengeliminir biaya penerbitan (floatation cost) yang melekat pada pendanaan eksternal. Sehingga, dipilihnya penerbitan obligasi lebih utama ketimbang penerbitan saham baru dikarenakan floatation cost untuk penerbitan obligasi lebih kecil ketimbang penerbitan saham baru.Pecking order theory yang dikemukakan oleh Myers dan Majluf (1984) menggunakan dasar pemikiran bahwa tidak ada suatu target debt to equity ratio tertentu dan tentang hirarkhi sumber dana yang paling disukai oleh perusahaan. Esensi teori ini adalah adanya dua jenis modal external financing dan internal financing. Teori ini menjelaskan mengapa perusahaan yang profitable umumnya menggunakan utang dalam jumlah yang sedikit. Hal tersebut bukan disebabkan karena perusahaan mempunyai target debt ratio yang rendah, tetapi karena mereka memerlukan external financing yang sedikit. Perusahaan yang kurang profitable akan cenderung menggunakan utang yang lebih besar karena dua alasan, yaitu; (1)dana internal tidak mencukupi, dan (2)utang merupakan sumber eksternal yang lebih disukai.Alhasil teori pecking order ini membuat hirarkhi sumber dana, yaitu dari internal (laba ditahan), dan eksternal (utang dan saham). Pemilihan sumber eksternal menurut Myers dan Majluf (1984) disebabkan karena adanya asimetri informasi antara manajemen dan pemegang saham. Asimerti informasi terjadi karena pihak manajemen mempunyai informasi yang lebih banyak daripada para pemegang saham. Dengan demikian, pihak manajemen mungkin berpikir bahwa harga saham saat ini sedang overvalue (terlalu mahal) sehingga manajemen akan menerbitkan saham baru dengan harga yang lebih mahal dari yang seharusnya. Adanya asimetri informasi ini mengakibatkan terjadinya gap antara pengelola dan pemilik perusahaan yang memungkinkan terjadinya moral hazard pengelola, sehingga harga saham tidak mencerminkan informasi secara penuh tentang kondisi perusahaan. Penerbitan saham juga berakibat pada turunnya dividen perlembar saham dan turunya harga atau nilai saham karena jumlah saham bertambah. Akibatnya jika pendanaan eksternal dilakukan ddengan penerbitan saham baru akan mendapat apresiasi atau respon negatif oleh pasar.