pcr

22
BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Lupus eritematosus sistemik (systemic lupus erythematosus) (SLE) merupakan penyakit inflamasi autoimun kronis yang belum jelas penyebabnya, memiliki sebaran gambaran klinis yang luas serta tampilan perjalanan penyakit yang beragam. Kekeliruan dalam mengenali penyakit ini sering terjadi. Banyak sebagian orang dikenali dia menderita penyakit ini saat berumur dewasa. Penyakit ini terutama menyerang wanita usia reproduksi dengan angka kematian yang cukup tinggi. Faktor genetik, imunologik dan hormonal serta lingkungan diduga berperan dalam patofisiologi SLE. Data tahun 2002 di RSUP Cipto Mangunkusumo (RSCM) Jakarta, didapatkan 1.4% kasus SLE dari total kunjungan pasien di poliklinik Reumatologi Penyakit Dalam12, sementara di RS Hasan Sadikin Bandung terdapat 291 Pasien SLE atau 10.5% dari total pasien yang berobat ke poliklinik reumatologi selama tahun 2010. Di Indonesia saat ini banyak orang yang terserang penyakit ini dan kurang mengetahui penyebab, akibat dan diagnosa seseorang yang

Upload: defitritrimardani

Post on 21-Nov-2015

43 views

Category:

Documents


8 download

DESCRIPTION

PCR

TRANSCRIPT

BAB IPENDAHULUAN1.1. Latar BelakangLupus eritematosus sistemik (systemic lupus erythematosus) (SLE) merupakan penyakit inflamasi autoimun kronis yang belum jelas penyebabnya, memiliki sebaran gambaran klinis yang luas serta tampilan perjalanan penyakit yang beragam. Kekeliruan dalam mengenali penyakit ini sering terjadi. Banyak sebagian orang dikenali dia menderita penyakit ini saat berumur dewasa. Penyakit ini terutama menyerang wanita usia reproduksi dengan angka kematian yang cukup tinggi. Faktor genetik, imunologik dan hormonal serta lingkungan diduga berperan dalam patofisiologi SLE.Data tahun 2002 di RSUP Cipto Mangunkusumo (RSCM) Jakarta, didapatkan 1.4% kasus SLE dari total kunjungan pasien di poliklinik Reumatologi Penyakit Dalam12, sementara di RS Hasan Sadikin Bandung terdapat 291 Pasien SLE atau 10.5% dari total pasien yang berobat ke poliklinik reumatologi selama tahun 2010.Di Indonesia saat ini banyak orang yang terserang penyakit ini dan kurang mengetahui penyebab, akibat dan diagnosa seseorang yang terserang penyakit ini. Maka pada makalah ini akan dibahas tentang SLE.

1.2. RUMUSAN MASALAH1. Bagaimana patogenesis dari SLE ?2. Bagaimana resiko dari penyakit SLE ?3. Bagaimana pengobatan dari penyakit SLE ?

1.3. TUJUAN1. Mahasiswa dapat mengetahui patogenesis penyakit SLE.2. Mahasiswa dapat mengetahui risiko terserang penyakit SLE3. Mahasiswa dapat mengetahui dan pengobatan penyakit SLE BAB IITINJAUAN PUSTAKASystemic lupus erythematosus (SLE) adalah gangguan kronik multisistem yang timbul akibat dari proses autoimun. Hal ini ditandai dengan adanya autoantibodi terhadap autoantigen, pembentukan kompleks imun, dan diregulasi sistem imun, yang menyebabkan kerusakan pada beberapa organ tubuh seperti jantung, persendian, kulit, paru-paru, pembuluh darah, hati, ginjal, dan sistem saraf. Studi epidemiologikal pada SLE menunjukkan gender, umur, ras, genetik, regional variations, hormonal, dan lingkungan sebagai pemicu penyakit ini. SLE lebih banyak menyerang pada wanita. Berdasarkan uji klinik, SLE menyerang wanita 80%-90% dari suatu kasus. Wanita juga memiliki resiko tinggi terkena SLE selama masa subur karena faktor hormon. Pada anak perempuan, awitan LES banyak ditemukan pada umur 9-15 tahun. Perjalanan penyakit ini bersifat episodic (berulang) yang diselingi periode sembuh. Pada setiap penderita, peradangan akan mengenai jaringan dan organ yang berbeda. Beratnya penyakit bervariasi mulai dari penyakit yang ringan sampai penyakit yang menimbulkan kecacatan, tergantung dari jumlah dan jenis antibodi yang muncul dan organ yang terkena. Perjalanan penyakit LES sulit diduga dan sering berakhir dengan kematian. Karenanya LES harus dipertimbangkan sebagai diagnosis banding bila anak mengalami demam yang tidak diketahui penyebabnya, artralgia, anemia, nefritis, psikosis, dan fatigue. Penyebab terjadinya LES belum diketahui. Berbagai faktor dianggap berperan dalam disregulasi sistem imun.Gejala dan keluhan yang sering ditemukan pada orang dengan SLE adalah kelelahan, demam, hilangnya nafsu makan, nyeri otot, arthritis, ulkus di mulut dan hidung, facial rash (buterflay rash), sensitive terhadap sinar matahari (photosensitive), peradangan di sepanjang pinggir paru (pleuritis), dan jantung (perikarditis) dan kurangnya sirkulasi di jari dan jari kaki pada paparan dingin (fenomena Raynauld). Tujuan dilakukannya pengobatan adalah mengurangi gejala dan melindungi organ dengan mengurangi peradangan dan tingkat aktifitas autoimun di tubuh.

BAB IIIPEMBAHASAN3.1. PATOGENESIS SLESLE terjadi diduga karena terbentuknya komplek imun (DNA dan anti-DNA). Antibodi yang mengikat nukleosum (DNA dan histon) dapat terjadi di ginjal dan membentuk kompleks imun in situ. Baik komplek imun yang dibentuk dalam sirkulasi atau insitu berperan dalam terjadinya kerusakan ginjal, kulit, pleksus koroid di otak dan jaringan lainnya.SLE ditandai oleh terjadinya penyimpangan sistem imun yang melibatkan sel T, sel B dan sel-sel monosit. Akibatnya terjadi aktivasi sel B poliklonal, meningkatnya jumlah sel yang menghasilkan antibodi, hypergammaglobulinemia, produksi autoantibodi dan terbentuknya kompleks imun. Aktivasi sel B poliklonal tersebut akan membentuk antibodi yang tidak spesifik yang dapat bereaksi terhadap berbagai jenis antigen termasuk antigen tubuh sendiri. Terdapat bukti bahwa sel B pasien SLE lebih sensitif terhadap stimulasi sitokin seperti IL-6. Jumlah sel B didapatkan meningkat di darah tepi pada setiap tahapan aktivasinya.Sintesis dan sekresi autoantibodi pada pasien SLE diperantarai oleh interaksi antara CD4+ dan CD8+ sel T helper, dan duoble negative T cells (CD4- CD8-) dengan sel B. Terjadi kegagalan fungsi dari aktivitas supresi CD8+ sel T suppressor dan sel NK terhadap aktivitas sel B. CD8+ sel T dan sel NK pada pasien SLE tidak mampu mengatur sintesis dari imunoglobulin poliklonal dan produksi autoantibodi. Gagalnya supresi terhadap sel B mungkin merupakan salah satu faktor yang menyebabkan penyakit berlangsung terus.Pembersihan (clearance) dari kompleks imun oleh sistem fagosit-makrofag juga mengalami gangguan pada SLE sehingga akan menghambat eliminasi kompleks imun dari sirkulasi dan jaringan.Hal ini diduga akibat dari penurunan jumlah CR1 yang merupakan reseptor untuk komplemen dan terjadi gangguan fungsi dari reseptor pada permukaan sel. Gangguan clearance ini juga diduga akibat dari ketidakadekuatan fagositosis IgG2 dan IgG3.3,4. Pada pasien SLE juga ditemukan defek pada produksi sitokin. Penurunan produksi IL-1 dan IL-2 dapat berpengaruh terhadap fungsi sel T dan sel B. Di samping itu ditemukan pula penurunan respon sel Ts terhadap IL-2 yang mengakibatkan fungsinya menurun sehingga fungsi sel Th seakan lebih meningkat. Sebaliknya hiperreaktivitas sel B dapat disebabkan oleh hipersensitivitas sel Th terhadap IL-2.4,7. Saat ini ditemukan bahwa IL-10 juga memegang peranan penting dalam patogenesis SLE. IL-10 merupakan sitokin dari Th2 yang bekerja sebagai stimulasi yang kuat dari proliferasi dan diferensiasi sel B dan mediator yang penting dari aktivasi sel B poliklonal pada SLE. Produksi IL-10 dan konsentrasi IL-10 plasma lebih tinggi pada pasien SLE dan ini berkorelasi dengan aktivitas penyakit. Pada pasien SLE juga terjadi kegagalan dalam produksi IL-12. Sehingga diduga adanya disregulasi dari keseimbangan IL-10 dan IL-12 memegang peranan penting terhadap gagalnya respon imun selular pada pasien SLE.4,7.Meningkatnya apoptosis pada SLE menyebabkan meningkatnya kebocoran antigen intraseluler yang dapat merangsang respon autoimun dan berpartisipasi dalam pembentukan kompleks imun. Dalam keadaan normal sel-sel yang mengalami apoptosis akan dimakan oleh makrofag pada fase awal dari apoptosis tanpa merangsang terjadinya inflamasi dan respon imun. Terjadinya defek pada clearance dari sel-sel apoptosis diduga akibat dari defek dalam jumlah dan kualitas dari protein komplemen seperti C2, C4 atau C1q.Beberapa studi menunjukkan bahwa terjadinya autoantibodi pada SLE akibat 2 perubahan mayor yaitu meningkatnya apoptosis limfosit dan monosit dalam sirkulasi dan kesalahan dalam pengenalan autoantigen yang dilepaskan selama apoptosis.

3.2. Faktor Risiko SLE3.2.1. Faktor Genetika. Anggota keluarga odapus memiliki risiko tinggi terkena SLEb. Insidensi tinggi pada kembar monozygot (>20%) dibanding kembar dizygot (1-3%)c. Anti-dsDNA sering dijumpai pada beberapa anggota keluarga dan kembar monozygot (50-70%)d. Ditemukan adanya hubungan antara SLE dengan gen Human Leukocyte Antigen (HLA) seperti DR2, DR3 dari MHC kelas II. Penderita SLE yang mempunyai epitop antigen HLADR2 cenderung membentuk autoantibodi anti-dsDNA sedangkan penderita SLE dengan epitope HLA-DR3 cenderung membentuk autoantibody anti-Ro dan anti-La.3.2.2. Defisiensi KomplemenSebagian kecil odapus mengalami defisiensi komponen komplemen seperti C2, C3,C4 atau C1q yang dapat menyebabkan kegagalan fagositosis sel-sel apoptotik. Komponen inti sel-sel apototik yang tersisa dapat menyebabkan penurunan respon imun.3.2.3. HormonalEstrogen adalah suatu stimulator penyakit autoimun yaitu mempunyai efek meningkatkan progesivitas penyakit autoimun, sedangkan androgen merupakan imunosupresan penyakit autoimun yang menurunkan progresivitas penyakit autoimun.3.2.4. Lingkungana. Sinar UV terutama sinar UVb dapat menimbulkan eksaserbasi SLE.b. Bakteri atau virus dapat mempunyai antigen yang mirip autoantigen penderita SLE.c. Obat-obatan seperti trimethoprim, khlorpromazin, metildopa, hidralazin dapat bereaksi dengan antigen DNA sehingga antigen-antigen tersebut lebih imunogenik.3.2.5. StressPerasaan stress dapat mempengaruhi respon imun dan sistem saraf pusat. Sampai saat ini SLE belum dapat disembuhkan dengan sempurna namun pengobatan yang tepat dapat menekan gejala klinis dan komplikasi yang mungkin terjadi.

3.3. Gejala dan tandaGejala sistemik meliputi lemah, anoreksia, demam, lemah, dan menurunnya berat badan. Gejala di kulit termasuk ruam malar (butterfly rash), ulkus di kulit dan mukosa, purpura, alopesia (kebotakan), fenomena Raynaud, dan fotosensitifitas. Gejala sendi sering ditemukan. Bersifat simetris dan tidak menyebabkan kelainan sendi. Nefritis lupus umumnya belum bergejala pada masa awitan, tetapi sering berkembang menjadi progresif dan menyebabkan kematian. Gejalanya berupa edema, hipertensi, gangguan elektrolit, dan gagal ginjal akut. Biopsi ginjal diindikasikan pada pasien yang tidak responsif pada terapi kortikosteroid. Pengendalian hipertensi sangat penting untuk mempertahankan fungsi ginjal.Hepatosplenomegali (pembesaran hati dan limpa) mungkin terjadi tetapi termasuk manifestasi yang jarang. Keluhan yang banyak adalah nyeri perut akibat vaskulitis peradangan pembuluh darah). Keterlibatan susunan saraf pusat dapat berupa kejang, koma, hemiplegia (kelumpuhan pada satu sisi tubuh), neuropati (kelainan saraf) fokal, dan gangguan perilaku.

Gambar 1 sejarah alam dari lupus eritematosus sistemik. SLICC, Systemic Lupus Internasional Kolaborasi Klinik / American College Indeks kerusakan Rheumatology. 3.4. PatophysiologyAutoimunitas memainkan peran utama dalam patogenesis lupus nephritis. Mekanisme imunologi meliputi produksi autoantibodi ditujukan terhadap unsur-unsur nuclear. Karakteristik dari autoantibodi nefritogenik terkait dengan lupus nephritis adalah sebagai berikut : 1. Antigen spesifisitas diarahkan terhadap nukleosom atau double-stranded DNA (dsDNA) - Beberapa antibodi anti-dsDNA bereaksi silang dengan membran basal glomerulus 2. Autoantibodi yang lebih tinggi afinitas dapat membentuk kompleks imun intravaskular, yang disimpan di glomeruli 3. Autoantibodi Cationic memiliki afinitas yang lebih tinggi untuk membran basal glomerulus anionik 4. Autoantibodi dari isotypes tertentu (immunoglobulin [Ig] G1 dan IgG3) mudah mengaktifkan komplemen Autoantibodi ini membentuk kompleks imun patogen intravascularly, yang disimpan dalam glomeruli. Atau, autoantibodi dapat mengikat antigen yang sudah berada di membran basal glomerulus, membentuk kompleks imun in situ. Kompleks imun mempromosikan respon inflamasi dengan mengaktifkan komplemen dan menarik sel-sel inflamasi, termasuk limfosit, makrofag, dan neutrofil.Jenis histologis lupus nephritis yang berkembang tergantung pada berbagai faktor, termasuk kekhususan antigen dan sifat lain dari autoantibodi dan jenis respon inflamasi yang ditentukan oleh faktor-faktor host lain. Dalam bentuk yang lebih parah dari lupus nephritis, proliferasi endotel, mesangial, dan sel-sel epitel dan produksi protein matriks menyebabkan fibrosis. Trombosis glomerulus adalah mekanisme lain yang mungkin memainkan peran dalam patogenesis lupus nephritis, terutama pada pasien dengan sindrom antifosfolipid antibodi, dan diyakini merupakan hasil dari antibodi yang ditujukan terhadap kompleks fosfolipid-protein bermuatan negatif.

Keterangan gambar : 1. Pada lupus eritematosus sistemik semua jalur menyebabkan endogen nukleat asam-dimediasi produksi interferon (IFN). 2. Peningkatan produksi autoantigens selama apoptosis (UV-terkait dan / atau spontan), penurunan pembuangan, penanganan deregulasi dan pengkodean adalah penting untuk inisiasi respon autoimun. Nukleosom yang mengandung ligan bahaya endogen yang dapat mengikat reseptor pola molekul patogen terkait digabungkan dalam blebs apoptosis yang mempromosikan aktivasi DC dan Sel B dan produksi IFN dan autoaantibodies, masing-masing. Reseptor permukaan sel seperti BCR dan FcRIIa memfasilitasi endositosis asam nukleat yang mengandung bahan atau kompleks imun dan mengikat reseptor endosomal dari kekebalan bawaan seperti TLRs. Pada tahap awal penyakit, ketika autoantibodi dan kompleks imun mungkin belum terbentuk, antimikroba peptida yang dikeluarkan oleh jaringan yang rusak seperti LL37 dan perangkap ekstraseluler neutrofil, dapat mengikat dengan asam nukleat menghambat mereka degradasi dan dengan demikian memfasilitasi endositosis dan stimulasi TLR-7/9 di DC plasmasitoid. Jumlah yang meningkat dari apoptosis- asam nukleat terkait endogen merangsang produksi IFN dan mempromosikan autoimunitas dengan melanggar diri toleransi melalui aktivasi dan promosi pematangan konvensional (myeloid) DC. Belum menghasilkan DC mempromosikan toleransi sementara diaktifkan DC dewasa mempromosikan autoreactivity. Produksi autoantibodi oleh sel B dalam lupus didorong oleh ketersediaan antigen endogen dansebagian besar tergantung pada bantuan sel T, yang dimediasi oleh interaksi permukaan sel (CD40L / CD40) dan sitokin (IL21). Kromatin yang mengandung kompleks imun penuh semangat merangsang sel B karena gabungan BCR / TLR silang. DC, sel dendritik, reseptor sel BCR, B, FCR, Fc reseptor, UV, ultraviolet; TLR, reseptor toll-like. Dicetak ulang dengan izin dari Bertsias GK, Salmon JE, Boumpas DT.

3.5. PENGOBATAN SLE3.5.1. Non Farmakologis:1. Konseling: tindakan supprotif berupa edukasi. Tindakan pertama adalah penderita diberitahu mengenai penyakit yang dideritanya, perjalanan penyakit, komplikasi, dan prognosisnya.2. Istirahat diperlukan dalam mengatasi kelelahan (membatasi aktivitas secara berlebihan dan dengan istirahat yang cukup).3. Menghindari kontak dengan matahari dan perubahan cuaca: sinar matahari harus dihindari karena sinar UV dapat merusak dan merubah membran lisosom dari DNA sel kulit yang memacu eksaserbasi. Diatasi dengan menggunakan sun screener SPF30+, menghindari terpapar matahari pukul sepuluh pagi sampai tiga sore.4. Menghindari stress, kerusakan jaringan baik karena trauma maupun operasi, infeksi, dan pemakaian obat-obatan seperti antikonvulsi dan sulfanamid.5. Kontrasepsi oral sebaiknya diberikan takaran yang minim khususnya yang mengandung estrogen.6. Diet melakukan pembatasan makanan yang mengandung lemak,agar kadar lipid darah normal.7. Menghindari rokok.8. Mengurangi oksigenasi

3.5.2. Farmakologis :1. Obat AINS digunakan untuk kelainan muskoloskeletal berupa atralgia ,arthritis ,dan mialgia serta kelainan sistemik seperti demam dan serositis2. Obat anti malaria: untuk mengatasi kelainan kulit dan arthritis dengan hidroksiklorokuin dosis 2-3x100 mg/hari (membaik dalam beberapa minggu, tetapi terdapat efek samping terutama infiltrasi kornea (reversible) dan retinopati (ireversible) disertai dengan kebutaan sehingga sianjurkan pemeriksaan mata setiap 3 bulan sekali.3. Kortikosteroid: anti inflamasi yang kuat dan mampu mencegah radang tetapi memiliki efek samping seperti:a. Dosis tinggi > Cushing syndrome, peningkatan berat badan, penyembuhan luka terganggu, osteoporosis, risiko infeksi meningkat, dan katarak.b. Ekserbasi oleh terapi > hipertensi, intoleransi glukosa.c. Kadang-kadang > perlemakan hati nekrosis.d. Gejala susunan saraf pusat, perikarditis, miokarditis, dan anemia hemolitik.4. Obat imunosupresif: indikasi utama untuk nefritis lupus yang dikombinasikan dengan kortikosteroid. Jenis yang sering dipakai adalah azathioprine dan siklofosfamid. Efek samping yang ditimbulkan obat berupa penekanan sumsum tulang dan peningkatan keganasan.

3.5.3. SLE derajat ringan:1. Berikan Aspirin dan OAINS, dosis sesuai dengan derajat penyakitnya.2. Penambahan obat anti malaria bila ada ruam kulit dan lesi mukosa membran.3. Bila gagal, tambahkan Prednison 2,5-5 mg/hari dosis dapat dinaikan 20% secara bertahap tiap 1-2 minggu sesuai kebutuhan.

3.5.4. SLE derajat berat:Pemberian steroid sistemik dengan dosis sesuai dengan kelainan organ sasaran yang terkena.

3.5.5. Pengobatan pada keadaan khusus1. Anemia Hemolitik Autoimun Prednison 60-80 mg/hari. Dapat ditingkatkan sampai dengan 100-200 mg/hari bila dalam beberapa hari sampai 1 minggu belum ada perbaikan.2. Trombositopenia Autoimun Prednison 60-80 mg/hari. Bila tidak ada respon dalam 4 minggu, ditambah immunoglobulin intravena (IVIg) dosis 0,4 mg/kg BB/hari selama 5 hari.3. Efusi Pleura Prednison 1-1,5 mg/kg BB/hari.4. Lupus Pneumonitis Prednison 1-1,5 mg/kg BB/hari selama 4-6 minggu.

3.6. Komplikasi SLEGagal ginjal adalah penyebab tersering kematian pada penderita SLE. Gagal ginjal dapat terjadi akibat deposit kompleks antibody antigen pada glomerulus disertai pengaktifan komplemen resultan yang menyebabkan cedera sel, suatu contoh reaksi hipersensitivitas tipe III.Selain itu dapat terjadi perikarditis (peradangan kantong pericardium yang mengelilingi jantung); Peradangan membran pleura yang mengelilingi paru dapat membatasipernafasan sering terjadi bronchitis; Dapat terjadi vaskulitis di semua pembuluh serebrum dan perifer; Komplikasi susunan saraf pusat termasuk stroke dan kejang. Perubahan kepribadian, termasuk psikosis dan depresi dapat terjadi. Perubahan kepribadian mungkin berkaitan dengan terapi obat atau penyakitnya.Sedangkan pada anak dapat menyebabkan komplikasi: Hipertensi (41%) Gangguan pertumbuhan (38%) Gangguan paru-paru kronik (31%) Abnormalitas mata (31%) Kerusakan ginjal permanen (25%) Gejala neuropsikiatri (22%) Kerusakan muskuloskeletal (9%) Gangguan fungsi gonad (3%)

BAN IVPenutup4.1. Kesimpulan Faktor yang penyebab SLE (Systemic lupus erythematosus) adalah imunologik dan hormonal serta lingkungan sekitar.DAFTAR PUSTAKAAnonim. 2014. Lupus Nephritis. http://emedicine.medscape.com/article/330369-overview.Bertsias, George, Ricard Cervera, and Dimitrios T. Boumpas. 2012. Systemic Lupus Erythematosus: Pathogenesis and Clinical Features. EULAR Textbook on Rheumatic Diseases, Geneva, Switzerland: European League Against Rheumatism, 476505.Danchenko, N., Satia, J. A., & Anthony, M. S. (2006). Epidemiology of systemic lupus erythematosus: a comparison of worldwide disease burden. Lupus, 15(5), 308-318.Helmi, L. (2010). Manifestasi Systematic Lupus Erythematosus pada Paru.Undang-undang, Hak Cipta Dilindungi. 2014. Rekomendasi Perhimpunan Reumatologi Indonesia Untuk Diagnosis Dan Pengelolaan Lupus Eritematosus Sistemik.http://reumatologi.or.id/var/rekomendasi/Rekomendasi_Lupus.pdf.Wedari, Tri, and Ida Ayu. 2014. SYSTEMIC LUPUS ERYTHEMATOSUS: CASE REPORT. E-Jurnal Medika Udayana 3 (2): 27585