patofisiologi kurang pendengaran akibat bising

14
PATOFISIOLOGI KURANG PENDENGARAN AKIBAT BISING Yuslam Samihardja (Sub Bagian Neurotologi IK THT-KL/SMFK THT-KL FK Undip/RSUP Dr. Kariadi Semarang) PENDAHULUAN Dari berbagai penulis, bising dapat didefinisikan, sebagai suara atau bunyi dengan kriteria : tidak berguna, tidak mempunyai arti; tidak enak didengar, tidak dikehendaki, mengganggu; campuran berbagai suara, membingungkan, tidak mengandung kualitas musik; kompleks, terdiri dari berbagai frekuensi, intensitasnya selalu berubah, nyaris tanpa periodisitas. Termasuk bising ini adalah suara mesin, suara lalu lintas, suara pasar ( tradisional maupun “mall”), suara tempat hiburan malam, suara senjata api, suara bom, suara air terjun, suara alat pertukangan, bahkan juga suara alat-alat rumah tangga (kipas angin, penghisap debu, dan sebagainya).

Upload: irham-tahkik

Post on 01-May-2017

221 views

Category:

Documents


3 download

TRANSCRIPT

Page 1: Patofisiologi Kurang Pendengaran Akibat Bising

PATOFISIOLOGI KURANG PENDENGARAN AKIBAT BISING

Yuslam Samihardja(Sub Bagian Neurotologi IK THT-KL/SMFK THT-KL FK Undip/RSUP Dr.

Kariadi Semarang)

PENDAHULUAN

Dari berbagai penulis, bising dapat didefinisikan, sebagai suara atau

bunyi dengan kriteria : tidak berguna, tidak mempunyai arti; tidak enak

didengar, tidak dikehendaki, mengganggu; campuran berbagai suara,

membingungkan, tidak mengandung kualitas musik; kompleks, terdiri

dari berbagai frekuensi, intensitasnya selalu berubah, nyaris tanpa

periodisitas. Termasuk bising ini adalah suara mesin, suara lalu lintas,

suara pasar ( tradisional maupun “mall”), suara tempat hiburan

malam, suara senjata api, suara bom, suara air terjun, suara alat

pertukangan, bahkan juga suara alat-alat rumah tangga (kipas angin,

penghisap debu, dan sebagainya).

Bising merupakan salah satu penyebab kurang pendengaran. Bising

yang kuat dan berlangsung lama dapat menyebabkan apa yang disebut

“noise induced hearing loss”. Bising yang sangat kuat meski

berlangsung mendadak dapat menyebabkan apa yang disebut “acute

acoustic trauma”. Kedua kelainan ini merupakan kelainan yang

“irreversible”.

Page 2: Patofisiologi Kurang Pendengaran Akibat Bising

Pada makalah ini akan dibahas garis besar patofisiologi kurang

pendengaran akibat bising dengan harapan dapat menyegarkan kembali

wawasan kita tentang kelainan ini.

BAHAYA BISING

Suara adalah suatu fenomena alam yang berguna sekaligus berbahaya

bagi manusia. Suara yang pada satu sisi merupakan media yang efektif

dan efisien untuk berkomunikasi; pada sisi yang lain dapat

menimbulkan bahaya. Suara yang berbahaya inilah yang pada dasarnya

disebut bising.

Bising dapat dibagi berdasarkan : intensitasnya, frekuensi atau

spektrum frekuensinya, lama atau durasi paparannya, pemunculannya (

kontinyu, intermiten, impulsif/eksplosif), dan sebagainya. Setiap

pembagian ini terkait dengan bahaya atau resiko kerusakan yang bias

terjadi akibat paparan bising tersebut.

Bagi manusia bising dapat memberikan pengaruh “non auditoir”

maupun “auditoir”. Termasuk pengaruh “non auditoir” adalah :

gangguan tidur ( bila > 35 dB – WHO); meningkatnya denyut jantung,

tekanan darah, frekuensi nafas, motilitas pencernaan; mengganggu

konsentrasi; mempercepat kelelahan; mengurangi efisiensi dan

efektivitas kerja/belajar; mengganggu komunikasi verbal; dan

mempengaruhi tingkah laku seseorang. Bahkan bising yang mendadak

dan kuat sekali bisa menyebabkan pecahnya paru sehingga berakibat

kematian. Pengaruh “auditoir” dapat dibagi menjadi: (a). Efek jangkaa). Efek jangka

pendek, yaitu berupa pendek, yaitu berupa pergeseran nilai ambang sementara(“temporary

treshold shift”, TTS); di sini nilai ambang menurun, bersifat

Page 3: Patofisiologi Kurang Pendengaran Akibat Bising

sementara/”reversible”. (b). Efek jangka panjang, yaitu berupa

pergeseran nilai ambang menetap (“permanent treshold shift”, PTS); di

sini akibat paparan bising berulang, terutama dengan interval yang

pendek. Keadaan terakhir ini lazim disebut sebagai “noise induce

hearing loss”, “occupational hearing loss”, “industrial noise deafness”,

“occupational deafness”, atau “chronic acoustic trauma”. (c). Trauma

akustik/ trauma akustik akut (“acoustic trauma”/ “acute acoustic

trauma”); di sini penderita mengalami tuli permanen akibat bising atau

suara yang kuat/keras dan berlangsung singkat/mendadak.

Dari uraian singkat di atas kiranya jelas bahwa trauma akustik bisa

berarti setiap paparan bising ( baik kronik maupun akut) atau trauma

akustik akut saja. Dalam makalah ini untuk selanjutnya istilah trauma

akustik yang dimaksud adalah paparan bising.

FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI

Akibat yang ditimbulkan oleh trauma akustik pada seseorang dapat

dipengaruhi oleh faktor eksternal (bisingnya sendiri) maupun faktor

internal (sensitivitas individu). Termasuk faktor eksternal adalah :(1).

Intensitas dan frekuensi bising (intensitas/frekuensi yang tinggi lebih

berbahaya), (2). Sifat/ciri bising (bising kontimyu lebih berbahaya

dibanding yang intermiten; bising impulsif lebih berbahaya dibanding

yang non impulsif), (3). Lama dan interval paparan ( makin lama

paparan makin berbahaya; makin pendek interval antar paparan makin

berbahaya). Sementara itu untuk faktor internal antara lain: umur,

keturunan, kepribadian, status kesehatan, pola hidup, hemodinamika

darah (Hb, Ht, viskositas).

Page 4: Patofisiologi Kurang Pendengaran Akibat Bising

PATOFISIOLOGI

Secara garis besar patofisiologi kurang pendengaran akibat bising

dapat dibagi menjadi 3 kategori yaitu “Noise Induced Temporary

Treshold Shift”, “Noise Induced Permanent Treshold Shift”, “Acute

Acoustic Trauma” .

A. “Noise Induced Temporary Treshold Shift” (NITTS, TTS)

Pada paparan bising yang tidak terlalu kuat (trauma akustik kronik)

kerusakan dimulai dengan hilangnya kekakuan stereosilia sel-sel

rambut luar. Akibatnya sel-sel rambut tersebut tidak teratur dan

kolaps, sehingga respon terhadap suara tidak bisa optimal, dengan

akibat penurunan nilai ambang. Apabila paparan bising tidak

berlanjut, stereosilia akan bisa pulih kembali, dan nilai ambang

akan kembali normal.

Besarnya pergeseran pada TTS ini dipengaruhi oleh intensitas dan

frekuensi bising, karakteristik bising, lama paparan maupun

interval antar paparan bising. Di samping itu dipengaruhi pula oleh

sensitivitas individu seperti telah dikemukakan diatas.

Nada murni yang hilang pada TTS tergantung dari frekuensi bising.

Pada umumnya nada murni yang hilang adalah sama atau sedikit

lebih tinggi (maks. ½ oktaf) diatas frekuensi bising.

TTS terjadi paling cepat 2 menit, sampai beberapa jam sejak

terpapar bising. TTS akan pulih dalam beberapa jam hingga

beberapa hari setelah bebas paparan. Pada TTS dibawah 30 dB,

pemulihan akan terjadi dalam 16 jam. Bila TTS di atas 50 dB

Page 5: Patofisiologi Kurang Pendengaran Akibat Bising

pemulihan paling cepat 1 hari, dan pada beberapa kasus sampai 1

bulan.

Apabila seseorang dalam status TTS belum pulih terpapar kembali

dengan bising, terutama dengan intensitas yang lebih tinggi, lama

kelamaan akan terjadi “permanent treshold shift”.

B. “Noise Induced Permanent Treshold Shift” (NIPTS, PTS)

(“Noise induce hearing loss”, “industrial deafness”, “occupational

hearing loss”, “chronic acoustic trauma”, trauma akustik kronik)

Paparan/ pajanan bising yang semula hanya menimbulkan TTS

yang masih fisiologik, bila terjadi terus menerus atau berulang

dengan interval yang pendek, apalagi dengan intensitas yang lebih

tinggi, akan menyebabkan PTS. PTS ini pada umumnya

membutuhkan waktu bertahun-tahun. Pekerja pabrik misalnya,

akan mengalami PTS setelah bekerja selama 10 tahun atau lebih.

Karena proses terjadinya perlahan, apalagi biasanya mengenai

nada tinggi, di atas nada tutur atau pembicaraan sehari-hari,

penderita biasanya tidak menyadari dirinya telah menderita

ketulian.

C. “Acute Acoustic Trauma” (AAT)

Trauma akustik akut (AAT) adalah HL/tuli akibat paparan tunggal

dan mendadak suatu bising/ suara dengan intensitas sangat tinggi

atau keras. Contoh di sini adalah ledakan petasan, senjata api,

granat, dinamit, bom.

Page 6: Patofisiologi Kurang Pendengaran Akibat Bising

Intensitas bising yang dapat menimbulkan AAT bervariasi,

tergantung sensitivitas individu. Rerata intensitas bising yang

dapat menimbulkan AAT di sini adalah 130-140 dB.

Ketulian yang terjadi pada AAT ini berjenis SNHL. Biasanya pada

frekuensi 3000-4000 Hz, dengan derajat yang bervariasi dari ringan

sampai berat sekali.

Pada AAT ini ketulian terjadi mendadak, disertai tinnitus. Tidak

jarang pula disertai vertigo.

Pada sebagian kasus ketulian bisa diakibatkan oleh terjadinya TTS.

AAT yang sebenarnya baru terjadi sebagai akibat paparan ulang.

Jadi seperti pada “noise induced hearing loss” (PTS) tetapi dalam

jangka waktu yang lebih pendek.

Pada ATT kerusakan pada dasarnya terjadi pada organon korti.

Tetapi bisa juga kerusakan telinga tengah (robeknya selaput

gendang telinga, putusnya rantai tulang pendengaran, fistula

foramen ovale) menyertai kerusakan organon korti tersebut.

Akibatnya terjadi MHL (kurang pendengaran campuran).

Pada audiogram nada murni didapatkan grafik kanan kiri simetris

kecuali ada etiologi lain atau paparannya asimetris. Ditemukan

pula takik (”notch”) pada rentang ½-8 KHz, tersering antara 3-6

KHz, dimulai 4 KHz (“Cs deep”/”Boiller maker’s notch”).

Pada ATT perlu didiagnosis banding dengan “noise induced

hearing loss”, presbiakusis, ototoksik, dan otosklerosis. Pada

Page 7: Patofisiologi Kurang Pendengaran Akibat Bising

“noise induced hearing loss” paparan bising tidak keras sekali dan

tidak mendadak (keras dan berlansung lama). Pada presbiakusis

pada umumnya usia lebih tua kecuali yang prekok. Pada ototoksik

ditemukan riwayat mengkonsumsi obat/bahan ototoksik. Sementara

itu pada otosklerosis pada audiogram nada murninya ditemukan

takik pada grafik BC pada frekuensi 2 KHz (”Carhat notch”).

PENGELOLAAN

Pada penderita yang masuk kategori TTS direkomendasikan

pengelolaan sebagai berikut : (1). Bebaskan penderita dari kebisingan,

(2). Lakukan ”hyperbaric oxygenation”, (3). Berikan kortikosteroid

dosis tinggi. Sementara itu pada penderita yang masuk kategori PTS

atau AAT pada umumnya tidak ada hal yang bisa diperbuat lagi demi

perbaikan penderita.

Pada AAT yang disertai perforasi selaput gendang telinga pada

umumnya tidak diperlukan tindakan operasi. Karena steril dan tepi

luka merupakan jaringan sehat serta vaskularisasi baik, pada umumnya

luka bisa menutup sendiri. Yang penting dijaga dan diberi antibiotik

sebagai preventif.

Pada trauma akustik yang disertai dengan vertigo dan tinitus umumnya

cukup diberikan obat-obat simtomatik.

Page 8: Patofisiologi Kurang Pendengaran Akibat Bising

PENCEGAHAN

Prinsip pencegahan adalah membebaskan seseorang dari kebisingan

yang terlalu kuat dan atau terlalu lama.

Di lingkungan yang semakin bising ini sebaiknya dimasukkan PPP

(program pemeliharaan pendengaran) dalam PPK (program

pemeliharaan kesehatan) setiap orang, terutama mereka yang

kesehariannya terpapar bising (pekerja pabrik, mesin, pandai besi),

atau beresiko tinggi terpapar bising (pekerja tambang, tentara, anggota

Perbakin). PPP ini pada pekerja pabrik meliputi : (1). Pemeriksaan

pendengaran : pertama dan ulangan/6 bulan, (2). Meminimalkan

intensitas paparan (peredam mesin, “ear protector” berupa tutup atau

sumbat telinga, penyediaan “panel room” & penggunaan “remote

control”), (3)., (3). Pengurangan lama paparan, (4). Penjelasan tentang

bahaya bising.

SIMPULAN

Kurang pendengaran akibat bising merupakan kelainan “irreversible”

yang insidennya makin meningkat sejalan dengan pesatnya

industrialisasi. Keecuali yang trauma akustik akut, kelainan ini

munculnya pelan dan umumnya tidak diketahui penderitanya.

Celakanya kelainan ini bersifat ”irreversible”

Mengingat hal tersebut perlu pihak-pihak terkait memberikan perhatian

yang serius terhadap pencegahan kelainan ini. Sudah saatnya setiap

Page 9: Patofisiologi Kurang Pendengaran Akibat Bising

orang disadarkan untuk memasukkan pemeliharaan pendengaran pada

program pemeliharaan kesehatannya.

REFERENSI

Dobie RA. Noice-induce hearing loss. In : Bailey BJ & Calhoum KH

eds. : Head & Neck Surgery Otolaryngology, 2nd ed., Vol. 2, WB

Sounders Co., Philadelphia, 1988, pp. : 2153-63.

Hinojosa R & Naunton RE. Presbycusis. In : Paparella MM &

Shumrich DA eds. : Otolaryngology Vol. II, WB Sounders Co.,

Philadelphia, 1980, pp. : 1777 – 803

Juhn SK & Rybak LP. Bcochemistry of the labyrinth. In Paparella

MM & Shumrich DA eds. : Otolaryngology Vol. I, WB Sounders Co.,

Philadelphia, 1980, pp. : 525-65.

Moller AR. Hearing : Anatomy, Physiology and Disorder of the

Auditory system, 2nd ed., Elsevier Inc., Burtington, 2006.

Snow JB Jr. Sudden deafness. In : Paparella MM & Shumrich DA

eds. : Otolaryngology Vol. II, WB Sounders Co., Philadelphia, 1980,

pp : 1757 – 66.