kata pengantar bising
DESCRIPTION
bising pengantarTRANSCRIPT
KATA PENGANTAR
Dengan menyebut nama Allah Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang,
Pertama penulis mengucapkan puji dan syukur Penulis kepada Allah SWT atas rahmat dan hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan referat yang berjudul “Noise Induced Hearing Loss (NIHL)” tepat pada waktunya. Adapun pembuatan referat ini adalah sebagai salah prasyarat penulis untuk kelulusan dalam Kepaniteraan Klinik THT di Rumah Sakit Pusat TNI AU Dr. Esnawan Antariksa.
Saya mengucapkan terimakasih yang sebesar-besarnya kepada dokter pembimbing, dr. Swasono R, Sp.THT-KL, M. Kes yang telah memberikan bimbingannya dalam proses penyelesaian referat ini, juga untuk dukungannya baik dalam bentuk moril maupun dalam mencari referensi yang lebih baik.
Demikian referat ini dituliskan. Semoga referat ini bermanfaat bagi siapapun yang membacanya. Penulis memohon maaf apabila pada penulisan masih terdapat banyak kekurangan. Untuk itu penulis menghimbau agar para pembaca dapat memberikan saran dan kritik yang membangun dalam perbaikan referat ini.
BAB I
PENDAHULUAN
Kemajuan dalam bidang ilmu pengetahuan dan teknologi dapat mempermudah segala kegiatan di bidang industri. Penerapan teknologi dapat mempermudah segala kegiatan kerja dalam proses produksi dan meningkatkan produktivitas perusahaan. Selain memberikan dampak positif berupa keuntungan ekonomik, maka kemajuan teknologi juga menimbulkan dampak negatif yaitu dapat meningkatkan potensi bahaya (hazard) yang dapat menimbulkan gangguan kesehatan dan keselamatan kerja, hazard tesebut dapat berupa fisik, kimia, ergonomic, dan psikologik.
Salah satu hazard berupa fisik di tempat kerja adalah kebisingan. Secara umum kebisingan adalah bunyi yang tidak diinginkan (Bashiruddin, 2007). Data survei Multi Center Study di Asia Tenggara, Indonesia termausk 4 negara dengan prevalensi ketulian yang cukup tinggi yaitu 4.6%, sedangkan 3 negara lainnya yakni Sri Lanka (8,8%), Myanmar (8,4%) dan India 6,3%). Angka prevalensi sebesar 4,6% tergolong cukup tinggi, sehingga dapat menimbulkan masalah sosial di tengah masyarakat. Menurut Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) diperkirakan pada tahun 2000 terdapat 250 juta penduduk dunia menderita gangguan pendengaran dan 75 juta - 140 juta diantaranya terdapat di Asia Tenggara. (1)
Menurut KepMenNaker No.51 tahun 1999 dan KepMenKes No.1405 tahun 2002, kebisingan yang dapat diterima oleh tenaga kerja tanpa mengakibatkan penyakit atau gangguan kesehatan dalam pekerjaan sehari-hari untuk waktu tidak melebihi 8 jam sehari atau 40 jam seminggu yaitu 85 dB (A). Gangguan pendengaran akibat bising atau Noise Induced Hearing Loss (NIHL) adalah tuli saraf yang terjadi akibat terpapar oleh bising yang cukup keras dan dalam jangka waktu yang cukup lama. (2)
Banyak hal yang mempermudah seseorang menjadi tuli akibat terpajan bising, antara lain intensitas bising yang lebih tinggi, berfrekuensi tinggi, lebih lama terpapar bising, mendapat pengobatan yang bersifat racun (ototoksik) seperti streptomisin, kanamisin, garamisin (golongan aminoglikosida), kina, asetosal, dan lain-lain.
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Anatomi Pendengaran
2.1.1. Telinga Luar
Telinga luar terdiri dari daun telinga dan liang telinga sampai membran timpani. Daun telinga terdiri dari tulang rawan elastin dan kulit. Liang telinga berbentuk huruf S, dengan rangka tulang rawan pada sepertiga bagian luar, sedangkan dua pertiga bagian dalam rangkanya terdiri dari tulang. Panjangnya kira-kira 2,5 – 3 cm.
Pada sepertiga bagian luar kulit liang telinga terdapat banyak kelenjar serumen (modifikasi kelenjar keringat) dan rambut. Kelenjar keringat terdapat pada seluruh kulit liang telinga. Pada duapertiga bagian dalam hanya sedikit dijumpai kelenjar serumen. (6)
Sendi temporomandibularis dan kelenjar parotis terletak di depan terhadap liang telinga sementara procesus mastoideus terletak dibelakangnya. Saraf fasialis meninggalkan foramen
stilomastoideus dan berjalam ke lateral menuju prosesus stilodeus di posteroinferior liang telinga, dan berjalan dibawah liang telinga untuk memasuki kelenjar parotis
2.1.2. Telinga Tengah
Telinga tengah adalah rongga berisi udara didalam tulang temporalis yang terbuka melalui tuba auditorius (eustachius) ke nasofaring dan melalui nasofaring keluar. Tuba biasanya tertutup, tetapi selama mengunyah, menelan, dan menguap saluran ini terbuka, sehingga tekanan dikedua sisi gendang telinga seimbang
Telinga tengah merupakan bangunan berbentuk kubus yang terdiri dari:
Membran timpani yaitu membran fibrosa tipis yang berwarna kelabu mutiara. Berbentuk bundar dan cekung bila dilihat dari arah liang telinga dan terlihat oblik terhadap sumbu liang telinga. Bagian atas disebut pars flaccida (membrane Sharpnell) dimana lapisan luarnya merupakan lanjutan epitel kulit liang telinga sedangkan lapisan dalam dilapisi oleh sel kubus bersilia, dan pars tensa merupakan bagian yang tegang dan memiliki satu lapis lagi ditengah, yaitu lapisan yang terdiri dari serat kolagen dan sedikit serat elastin.
Tulang pendengaran; yang terdiri dari maleus, inkus dan stapes. Tulang pendengaran ini dalam telinga tengah saling berhubungan.
Tuba eustachius; yang menghubungkan rongga telinga tengah dengan nasofaring.
2.1.3 Telinga Dalam
Gambar Anatomi telinga dalam
Gambar Anatomi koklea
Telinga dalam terdiri dari koklea yang berupa dua setengah lingkaran dan vestibuler yang terdiri dari 3 buah kanalis semisirkularis. Ujung atau puncak koklea disebut helikotrema, yang berfungsi menghubungkan perilimfa skala timpani dengan skala vestibuli.(3)
Kanalis semisirkularis saling berhubungan secara tidak lengkap dan membentuk lingkaran yang tidak lengkap. Pada irisan melintang koklea tampak skala vestibuli sebelah atas, skala timpani sebelah bawah dan skala media (duktus koklearis) diantaranya. Skala vestibuli dan skala timpani berisi perilimfa sedangkan skala media berisi endolimfa. Dasar skala vestibuli disebut sebagai membran vestibuli (Membran Reissner) sedangkan dasar skala media adalah membran basalis. Pada membran ini terletak organ corti yang mengandung organel-organel penting untuk mekanisme saraf perifer pendengaran. Pada skala media terdapat bagian yang berbentuk lidah yang disebut membran tektoria, dan pada membran basal melekat sel rambut yang terdiri dari sel rambut dalam, sel rambut luar dan kanalis Corti, yang membentuk organ Corti.
2.1.4 FISIOLOGI PENDENGARAN
Proses pendengaran diawali dengan ditangkapnya energi bunyi oleh daun telinga dalam bentuk gelombang yang dialirkan melalui udara atau tulang koklea. Membran timpani akan bergetar ketika terkena gelombang suara. Daerah-daerah bertekanan tinggi dan rendah yang berselang-seling dan ditimbulkan oleh gelombang suara menyebabkan gendang telinga yang sangat peka melekuk ke dalam dan keluar seiring dengan frekuensi gelombang suara.
Telinga tengah memindahkan gerakan bergetar membrane timpani ke cairan telinga dalam. Pemindahan ini dipermudah oleh rantai tiga tulang kecil atau osikulus (maleus, inkus, dan stapes) yang dapat bergerak dan membentang di telinga tengah. Sewaktu membrane timpani bergetar, rangkaian tulang-tulang tersebut ikut bergerak dengan frekuensi yang sama, memindahkan frekuensi getaran ini dari membrane timpani ke jendela oval. Tekanan yang terjadi di jendela oval yang ditimbulkan oleh setiap getaran akan menimbulkan gerakan cairan telinga damlam mirip gelombang suara asal. System osikulus memperkuat tekanan yang ditimbulkan oleh gelombang suara di udara melalui dua mekanisme agar cairan di koklea gergetar.
Pertama, karena luas permukaan membrane timpani jauh lebih besar daripada luas jendela oval (tekanan= gaya/luas). Kedua, efek tuas osikulus juga menimbulkan penguatan. Bersama-sama, kedua mekanisme ini meningkatkan gaya yang bekerja pada jendela oval sebesar 20 kali dibandingkan dengan jika gelombang suara langsung mengenai jendela oval. Penambahan tekanan ini sudah cukup untuk menggetarkan cairan di koklea.
Energi getar yang diamplikasi ini akan menggetarkan jendela oval sehigga perilimfa pada skala vestibuli bergerak. Getaran ini diteruskan melalui membrane Reissner yang mendorong edolimfa, sehingga akan menimbulkan gerak relatif antara membran basilaris dan membran tektoria. Proses ini proses ini merupakan rangsang mekanik yang akan menyebabkan terjadinya defleksi stereosilia sel-sel rambut, sehingga kanal ion terbuka dan terjadi pelepasan ion bermuatan lisrik dari badan sel. Keadaan ini menimbulkan proses depolarisasi sel rambut, sehingga neurotransmitter ke dalam sinapsis yang akan menimbulkan potensial aksi pada saraf auditorius, lalu dilanjutkan ke nucleus auditoris sampai ke korteks pendengaran (area 39-40) di lobus temporalis.
Gambar
Fisiologi pendengaran
Gambar . Fisiologi pendengaran
2.1.5. Definisi
Kebisingan diartikan sebagai suara yang tidak dikehendaki, misalnya yang merintangi terdengarnya suara-suara, musik dan sebagainya atau yang menyebabkan rasa sakit atau yang menghalangi gaya hidup. Kebisingan yaitu bunyi yang tidak diinginkan dari usaha atau kegiatan dalam tingkat dan waktu tertentu yang dapat menimbulkan gangguan kesehatan manusia dan kenyamanan lingkungan atau semua suara yang tidak dikehendaki yang bersumber dari alat-alat proses produksi dan atau alat-alat kerja pada tingkat tertentu dapat menimbulkan gangguan pendengaran.
Baku Tingkat Kebisingan
Baku tingkat kebisingan adalah batas maksimal tingkat kebisingan yang diperbolehkan dibuang ke lingkungan dari usaha atau kegiatan sehingga tidak menimbulkan gangguan kesehatan manusia dan kenyamanan lingkungan. Baku tingkat kebisingan (Nilai Ambang Batas, NAB) peruntukan kawasan/lingkungan dapat dilihat pada tabel dibawah ini. (16) :
Peruntukan kawasan / lingkungan kegiatan
Tingkat kebisingan (dB)
Peruntukan Kawasan
1. Perumahan dan pemukiman 55
2. Perdagangan dan jasa 70
3. Perkantoran dan perdagangan 65
4. Ruang terbuka hijau 50
5. Industri 70
6. Pemerintahan dan fasilitas umum 60
7. Rekreasi 70
8. Khusus :- Bandar udara- Stasiun Kereta Api - Pelabuhan Laut- Cagar Budaya
70
Lingkungan Kegiatan
1. Rumah Sakit atau sejenisnya 55
2. Sekolah dan sejenisnya 55
3. Tempat ibadah dan sejenisnya 55
2.2.1. Tuli Akibat Bising
2.2.2. Definisi
Tuli akibat bising (TAB) adalah tuli sensorineural yang terjadi akibat terpapar oleh bising yang cukup keras dan dalam jangka waktu yang cukup lama
2.2.3 EPIDEMIOLOGI
Pada tahun 1987, Sataloff yang dikutip Rambe menemukan sebanyak 35 juta orang Amerika menderita ketulian dan 8 juta orang diantaranya merupakan tuli akibat kerja. 4 Barrs melaporkan pada 246 orang tenaga kerja yang memeriksakan telinga untuk keperluan ganti rugi asuransi, ditemukan 85 % menderita tuli saraf dan dari jumlah tersebut 37 % didapatkan gambaran takik pada frekuensi 4000 Hz dan 6000 Hz.
Di Indonesia penelitian tentang gangguan pendengaran akibat bising telah banyak dilakukan sejak lama. Survei yang dilakukan oleh Hendarmin dalam tahun 1995 pada Manufacturing Plant Pertamina dan dua pabrik es di Jakarta didapatkan hasil adanya gangguan pendengaran pada 50% jumlah karyawan disertai peningkatan ambang dengar sementara sebesar 5-10 dB pada karyawan yang telah bekerja terus-menerus selama 5-10 tahun.
Tabel Baku tingkat kebisingan (Nilai Ambang Batas, NAB) peruntukan kawasan/lingkungan
Oetomo A dkk dalam penelitian yang dilakukan di Semarang pada tahun 1993 terhadap 105 karyawan pabrik dengan intensitas bising 79-100 dB menemukan sebanyak 74 telinga belum terjadi pergeseran nilai ambang sedangkan sebanyak 136 telinga mengalami pergeseran nilai ambang dengar dengan hasil derajat ringan sebanyak 116 telinga ( 55,3% ), derajat sedang 17 ( 8% ) dan derajat berat 3 (1,4% ).
Penelitian Zuldidzaan (1995) pada awak pesawat helicopter TNI AU dan AD mendapatkan paparan bising 86-117 dB dengan prevalensi NIHL 27,16%.
2.2.4. Faktor yang Mempengaruhi
Faktor-faktor yang mempengaruhi pemaparan kebisingan yaitu
1. Intensitas kebisingan
2. Frekuensi kebisingan
3. Lamanya waktu pemaparan bising
4. Kerentanan individu
5. Jenis kelamin
6. Usia
7. Kelainan di telinga tengah
2.2.5. Patogenesis
Tuli akibat bising mempengaruhi organ Corti di koklea terutama sel-sel rambut. Daerah yang pertama terkena adalah sel-sel rambut luar yang menunjukkan adanya degenerasi yang meningkat sesuai dengan intensitas dan lama paparan. Stereosilia pada sel-sel rambut luar menjadi kurang kaku sehingga mengurangi respon terhadap stimulasi. Dengan bertambahnya intensitas dan durasi paparan akan dijumpai lebih banyak kerusakan seperti hilangnya stereosilia.
Daerah yang pertama kali terkena adalah daerah basal. Dengan hilangnya stereosilia, sel-sel rambut mati dan digantikan oleh jaringan parut. Semakin tinggi intensitas paparan bunyi, sel-sel rambut dalam dan sel-sel penunjang juga rusak. Dengan semakin luasnya kerusakan pada sel-sel rambut, dapat timbul degenerasi pada saraf yang juga dapat dijumpai di nukleus pendengaran pada batang otak.
Perubahan Histopatologi Telinga Akibat Kebisingan
Lokasi dan perubahan histopatologi yang terjadi pada telinga akibat kebisingan adalah sebagai berikut :
1. Kerusakan pada sel sensoris
a. Degenerasi pada daerah basal dari duktus koklearis.
b. Pembengkakan dan robekan dari sel-sel sensoris.
c. Anoksia.
2. Kerusakan pada stria vaskularis
Suara dengan intensitas tinggi dapat menyebabkan kerusakan stria vaskularis karena penurunan bahkan penghentian aliran darah pada stria vaskularis dan ligamen spiralis sesudah terjadi rangsangan suara dengan intensitas tinggi.
3. Kerusakan pada serabut dan ujung saraf
Keadaan ini masih banyak diperdebatkan, tetapi pada umumnya kerusakan ini merupakan akibat sekunder dari kerusakan-kerusakan sel-sel sensoris.
4. Hidrops endolimf
2.2.6. Gambaran Klinis
1 Tuli akibat bising dapat mempengaruhi diskriminasi dalam berbicara ( speech
discrimination ) dan fungsi sosial. Gangguan pada frekwensi tinggi dapat
menyebabkan kesulitan dalam menerima dan membedakan bunyi konsonan. Bunyi
dengan nada tinggi, seperti suara bayi menangis atau deringan telepon dapat tidak
didengar sama sekali. Ketulian biasanya bilateral. Selain itu tinitus merupakan gejala
yang sering dikeluhkan dan akhirnya dapat mengganggu ketajaman pendengaran dan
konsentrasi.
2. Secara umum gambaran ketulian pada tuli akibat bising ( noise induced hearing
loss ) adalah bersifat sensorineural, hampir selalu bilateral, jarang menyebabkan
tuli derajat sangat berat ( profound hearing loss ).
3. Secara klinis pajanan bising pada organ pendengaran dapat menimbulkan reaksi
adaptasi, peningkatan ambang dengar sementara (temporary threshold shift) dan
peningkatan ambang dengar menetap ( permanent threshold shift). Reaksi
adaptasi merupakan respons kelelahan akibat rangsangan oleh bunyi dengan
intensitas 70 dB SPL atau kurang, keadaan ini merupakan fenomena fisiologis
pada saraf telinga yang terpajan bising. Peningkatan ambang dengar sementara,
merupakan keadaan terdapatnya peningkatan ambang dengar akibat pajanan
bising dengan intensitas yang cukup tinggi. Pemulihan dapat terjadi dalam
beberapa menit atau jam. Jarang terjadi pemulihan dalam satuan hari. Peningkatan
ambang dengar menetap, merupakan keadaan dimana terjadi peningkatan ambang
dengar menetap akibat pajanan bising dengan intensitas sangat tinggi (explosif)
atau berlangsung lama yang menyebabkan kerusakan pada berbagai struktur
koklea, antara lain kerusakan organ Corti, sel-sel rambut, stria vaskularis, dan
lainnya.(7,8)
4. Derajat ketulian berkisar antara 40 s/d 75 dB. Apabila paparan bising dihentikan,
tidak dijumpai lagi penurunan pendengaran yang signifikan, kerusakan telinga
dalam mula-mula terjadi pada frekwensi 3000, 4000 dan 6000 Hz, dimana
kerusakan yang paling berat terjadi pada frekwensi 4000 Hz, dengan paparan
bising yang konstan, ketulian pada frekwensi 3000, 4000 dan 6000 Hz akan
mencapai tingkat yang maksimal dalam 10 – 15 tahun.
5. Selain pengaruh terhadap pendengaran ( auditory ), bising yang berlebihan juga
mempunyai pengaruh non auditory seperti pengaruh terhadap komunikasi wicara,
gangguan konsentrasi, gangguan tidur sampai memicu stress akibat gangguan
pendengaran yang terjadi.
2.2.7 Diagnosis
Diagnosis untuk NIHL dapat dibuat dengan cara :
1. Anamnesis
Anamnesis dilakukan baik untuk occupational maupun nonoccupational berdasarkan
intensitas dan durasinya. Apabila tersedia, pengukuran terhadap bising dapat dilakukan di
tempat kerja dan dijadikan dokumen untuk seluruh karyawan. Selain mencari intensitas dan
durasi, harus ditanyakan juga mengenai turunan, konsumsi obat yang menyebabkan
ototoxicity, trauma kepala dan lain-lain.
2. Pemeriksaan Audiometri
Audiometri berasal dari kata audire dan metrios yang berarti mendengar dan mengukur (uji
pendengaran). Audiometri tidak saja digunakan untuk pengukuran ketajaman pendengaran,
tetapi juga dapat dipergunakan untuk menentukan lokasi kerusakan anatomis yang
menimbulkan gangguan pendengaran. Ada tiga syarat yang diperlukan untuk keabsahan
pemeriksaan audiometri, yaitu alat audiometer yang telah dikaliberasi, lingkungan yang
cocok untuk pemeriksaan dan pemeriksa yang terampil. Lingkungan pemeriksaan yang baik
ialah dengan menempatkan pasien di dalam bilik yang dibuat khusus untuk meredam
transmisi suara melalui dindingnya.
Gambar Audiometri.
Beberapa lembaga yang diakui, mengeluarkan standar untuk menilai derajat gangguan
pendengaran misalnya International Standardization Organization (ISO) dan American
Speech, Language and Hearing association (ASHA).International Standardization
Organization (ISO) telah menetapkan nilai untuk pendengaran normal yang dinyatakan
dengan frekuensi (Hertz) dan intensitas (desibel/dB).
Jenis audiometri terdiri dari Audiometri nada murni dan audiometri nada tutur:
1. Audiometri nada murni (pure tone audiogram)
Suatu sistem uji pendengaran dengan mempergunakan alat listrik yang dapat menghasilkan
bunyi nada-nada mumi dari berbagai frekuensi 250-500-1000 -2000-4000-8000 Hz dan
dapat diatur intensitasnya dalam satuan (dB). Bunyi yang dihasilkan disalurkan melalui
telepon kepala dan vibrator tulang ke telinga orang yang diperiksa pendengarannya. Masing-
masing untuk mengukur ketajaman pendengaran melalui hantaran udara dan hantaran tulang
pada tingkat intensitas nilai ambang, sehingga akan didapatkan kurva hantaran tulang dan
hantaran udara.
a. Hantaran Udara (air conduction): Kegunaan audiogram hantaran udara adalah untuk
mengukur kepekaan seluruh mekanisme pedengaran, teling luar, dan telinga tengah serta
mekanisme sensorineural koklea dan nervus auditori.
b. Hantaran Tulang (bone conduction): Kegunaan audiometri hantaran tulang adalah untuk
mengukur kepekaan mekanisme sensorineural saja. Audiogram hantaran tulang diperoleh
dengan memberikan bunyi penguji langsung ke tengkorak paasien menggunakan vibrator
hantaran tulang.
Dengan membaca audiogram ini kita dapat mengetahui jenis dan derajat kurang pendengaran
seseorang. Gambaran audiogram rata-rata sejumlah orang yang berpendengaran normal dan
berusia sekitar 20-29 tahun merupakan nilai ambang baku pendengaran untuk nada murni.
Menurut Skurr, derajat ketulian adalah sebagai berikut:
a. < 26 dB: Pendengaran Normal
b. 26-40 dB: Gangguan Dengar Ringan
c. 41-55 dB: Gangguan Dengar Sedang
d. 56-70 dB: Gangguan Dengar Sedang Berat
e. 71-90 dB: Gangguan Dengar Berat
f. >90 dB: Gangguan Dengar Sangat Berat.
2. Audiometri nada Tutur (speech audiogram)
Audiometri tutur adalah sistem uji pendengaran yang menggunakan kata-kata terpilih yang telah
dibakukan, dituturkan melalui suatu alat yang telah dikalibrasi, untuk mengukur beberapa
aspek kemampuan pendengaran. Prinsip audiometri tutur hampir sama dengan audiometri
nada murni, hanya disini sebagai alat uji pendengaran digunakan daftar kata terpilih yang
dituturkan pada penderita. Kata-kata tersebut dapat dituturkan langsung oleh pemeriksa
melalui mikrofon yang dihubungkan dengan audiometer tutur, kemudian disalurkan melalui
telpon kepala ke telinga yang diperiksa pendengarannya atau kata-kata direkam lebih dahulu
pada piringan hitam atau pita rekaman, kemudian baru diputar kembali dan disalurkan
melalui audiometer tutur. Si penderita diminta untuk menirukan dengan jelas setiap kata
yang didengar, dan apabila kata-kata yang didengar makin tidak jelas karena intensitasnya
makin dilemahkan, si pendengar diminta untuk menebaknya. Pemeriksa mencatat persentasi
kata-kata yang ditirukan dengan benar dari tiap denah pada tiap intensitas. Hasil ini dapat
digambarkan pada suatu diagram yang absisnya adalah intensitas suara kata-kata yang
didengar, sedangkan ordinatnya adalah presentasi kata-kata yang ditirukan dengan benar.
Dari gmbaran audiogram tutur ini dapat diketahui dua dimensi
kemampuan pendengaran yaitu :
a) Kemampuan pendengaran dalam menangkap 50% dari sejumlah kata-kata yang dituturkan
pada suatu intensitas minimal dengan benar, yang lazimnya disebut nilai ambang persepsi
tutur atau NPT, dan dinyatakan dengan satuan desibel (dB).
b) Kemampuan maksimal pendengaran untuk mendiskriminasikan tiap satuan bunyi (fonem)
dalam kata-kata yang dituturkan, yang dinyatakan dengan nilai diskriminasi tutur atau NDT.
Dengan demikian berbeda dengan audiometri nada murni, pada audiometri tutur intensitas
pengukuran pendengaran tidak saja pada tingkat nilai ambang (NPT), tetapi juga jauh di
atasnya (NDT).
3. Hasil Test dari pemeriksaan lain.
a. Pada pemeriksaan audiologi, tes penala didapatkan hasil Rinne positif, Weber latelarisasi
ke telinga yang lebih baik, dan Scwabah memendek. Kesan jenis ketuliannya
sensorineural.
b. Pemeriksaan laboratorium dan radiologi tidak dapat digunakan untuk
mendiagnosis NIHL.
2.2.8. Penatalaksanaan
Sesuai dengan penyebab ketulian, penderita sebaiknya dipindahkan kerjanya dari lingkungan
bising. Bila tidak mungkin dipindahkan dapt dipergunakan alat pelindung telinga
terhadap bising, seperti sumbat telinga (ear plug), tutup telinga (ear muff) dan pelindung
kepala (helmet).
Oleh karena tuli akibat bising adalah tuli sensorineural yang bersifat menetap, bila gangguan
pendengaran sudah mengakibatkan kesulitan berkomunikasi dengan volume percakapan
biasa, dapat dicoba pemsangan alat bantu dengar/ ABD (hearing aid). Apabila
pendengaran sudah sedemikian buruk, sehingga dengan memakai ABD pun tidak dapat
berkomunikasi denga adekuat perlu dilakukan psikoterapi agar dapat menerima
keadaannya. Latihan pendengaran (auditory training) agar dapat menggunakan sisa
pendengaran dengan ABD secara efisien dibantu dengan membaca ucapan bibir (lip
reading), mimik dan gerakan anggotabadan, serta bahasa isyarat untuk dapat
berkomunikasi.
Di samping itu, oleh karena pasien mendengar suaranya sendiri sangat lemah, rehabilitasi suara
juga diperlukan agar dapat mengendalikan volume, tinggi rendah dan irama percakapan.
Pada pasien yang telah mengalami tuli total bilateral dapat dipertimbangkan untuk
pemasangan implan koklea (cochlear implant). (7)
2.2.9.PencegahanTidak ada penelitian yang membuktikan dengan baik yang keuntungan dari beberapa
pengobatan, kecuali pada binatang dengan menggunakan antioksidan.23Kebisingan dapat dikendalikan dengan :
1. Pengurangan kebisingan pada sumbernyaHal ini dapat dilakukan misalnya dengan penempatan peredam pada sumber getaran
Gambar Pemasangan Peredam Akustik
Tetapi umumnya hal itu dilakukan dengan penelitian dan perencanaan mesin baru. Hal ini sangat bergantung pada permintaan para usahawan sebagai pembeli mesin-mesin kepada pabrik pembuatnya dengan memajukan persyaratan kebisingan dari mesin sebelumnya. Bukan saja tingkat bahaya yang diperhatikan, tetapi juga intensitasnya yang dapat diterima sebagai tidak mengganggu daya kerja dan kenikmatan kerja. Pengalaman menekankan, bahwa modifikasi mesin atau bangunan untuk maksud pengurangan kebisingan adalah sangat mahal dan kurang efektif, maka dari itu perencanaan sejak semula adalah paling utama.
2. Penempatan penghalang pada jalan transmisiIsolasi tenaga kerja atau mesin adalah usaha segera dan baik bagi usaha megurangi kebisingan.
Untuk ini perencanaan harus sempurna dan bahan-bahan yang dipakai harus mampu menyerap suara.
3. Proteksi dengan sumbat atau tutup telingaJika bising ditimbulkan oleh alat-alat seperti mesin tenun, mesin pengerolan baja, kilang minyak
atau bising yang ditimbulkan sendiri oleh logam, maka pekerja tersebut harus dilindungi oleh alat pelindung bising, seperti sumbat telinga, tutup telinga, dan pelindung kepala Ketiga alat tersebut melindungi telinga terhadap bising yang berfrekuensi tinggi dan masing-masing mempunyai keuntungan dan kerugian. Tutup telinga memberikan
proteksi lebih baik daripada sumbat telinga. Earmuff lebih efektif dan dapat memcegah frekuensi 500 Hz sampai 1 kHz dan dapat meredam sampai 30-40 dB sedangkan penggunaan earplug (sumbat telinga ) yang tepat, maka dapat mengurangi bising mencapai 15-30 dB dan mencegah sampai telinga tengah dari bising jenis tinggi. Sedangkan helm selain pelindung telinga terhadap bising juga sekaligus sebagai pelindung kepala. Kombinasi antara sumbat telinga dan tutup telinga memberikan proteksi yang terbaik.
Harus diusahakan perbaikan komunikasi, sebagai akibat pemakaian alat- alat ini. Masalah utama pemakaian alat proteksi pendengaran adalah mendidik tenaga kerja agar selalu menggunakannya.2 Menyadarkan para pekerja untuk tetap menjaga kesehatan adalah sangat sulit. Faktor yang perlu dipertimbangkan, bukan hanya kehilangan derajat pendengaran, tetapi juga trauma akustik di lingkungan tempat kerja.
Gambar Alat Pelindung Dengar
Sebenarnya pencegahan yang ada sudah diketahui, tetapi untuk alasan teknik bahwa secara umum derajat pendengaran akan berkurang. Konsekuensinya deteksi tahap dini dari NIHL adalah penting untuk mencegah kerusakan lebih lanjut dari reseptor sensori pada organ Corti.6Pasien juga harus dididik tentang bahaya dari bising dan melakukan pencegahan untuk
melindungi dari sisa sisa pendengaran. Pada akhirnya dokter harus sensitif pada emosional dari pasien yang mungkin mempunyai gangguan pendengaran.
Konseling untuk mencegah kehilangan pendengaran lebih lanjut merupakan bagian yang sangat penting. Pekerja yang berada di lingkukangan kerja yang tidak menggunakan Program Konsevasi Pendengaran, perlu dijadwalkan secara periodik untuk dilakukan audiometri
EarmuffEarplug
dan harus dikonsultasikan sehubungan dengan penggunaan APD (Alat Pelindung Dengar) yang tepat. Berikut dilampirkan Program Konservasi Pendengaran.(Lampiran 2)
Bagaimanapun NIHL tidak dapat dilakukan pengobatan atau operasi tetapi lebih kepada masalah pencegahan. Tindakan pencegahan yang diperlukan adalah control engineering, pendidikan, juga penggunaan APD (Alat Pelindung Dengar) yang tepat.
4. Analisa bising
Analisa bising ini dikerjakan dengan jalan menilai intensitas bising, frekuensi bising,
lama, dan distribusi pemaparan serta waktu total pemaparan bising. Alat utama dalam
pengukuran kebisingan adalah Sound Level Meter.
Selain alat pelindung telinga terhadap bising dapat juga diikuti ketentuan paparan bising
terhadap pekerja di lingkungan bising yang berintensitas lebih dari 85 dB tanpa menimbulkan
ketulian berdasarkan keputusan Menteri Tenaga Kerja tahun 1999. (7)
Waktu Lama pajan (hari) Intensitas (dB)
Jam 24 80
16 82
8 85
4 88
2 91
1 94
Menit 30 97
15 100
7,50 103
3,75 106
1,88 109
0,94 112
Detik 28,12 115
14,06 118
7,03 121
3,52 124
1,76 127
0,88 130
0,44 133
0,22 136
0,11 139
Batas pajanan bising yang diperkenankan sesuai keputusan Menteri Tenaga Kerja
BAB III
KESIMPULAN
Noise Induced Hearing Loss (NIHL) adalah gangguan pendengaran akibat pajanan bising yang cukup keras dalam waktu yang cukup lama dan biasanya diakibatkan oleh bising lingkungan kerja. Ketulian ini berupa tuli saraf dan sifatnya permanen.
Anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pengujian audiometric mutlak dibutuhkan untuk setiap pekerja yang dilakukan sebelum mulai bekerja dan secara berkala selama bekerja dengan tujuan untuk mencegah terjadinya gangguan pendengaran akibat bising terutama bising industri.
Oleh karena jenis ketulian akibat terpapar bising adalah tuli saraf koklea yang sifatnya menetap dan tidak dapat diobati secara medikamentosa ataupun pembedahan, maka yang terpenting dilakukan adalah pencegahan terjadinya ketulian.
DAFTAR PUSTAKA
1. Departemen Kesehatan Republk Indonesia. 2004. Indonesia Termasuk 4 Negara Di Asia Tenggara Dengan Prevalensi Ketulian 4,6%. Available at http://www.depkes.go.id/index.php?option=news&task=viewarticle&sid=700&Itemid=. Accessed on 22nd September 2012.
2. Universitas Sumatera Utara. Alat Pelindung Diri untuk Pendengaran. Available at http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/28089/5/Chapter%20I.pdf. Accessed on 22nd September 2012.
3. Soetirto I, Hendarmin H, Bashiruddin J. Gangguan Pendengaran (Tuli) dalam Telinga Hidung Tenggorokan Kepala dan Leher, editor Soepardi I, et al. Edisi 6. Jakarta : Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia ; 2008.
4. Bashiruddin, J., Soetirto, I., 2006. Gangguan Pendengaran Akibat Bising (Noise Induced Hearing Loss) dalam Buku Ajar Ilmu Penyakit Telinga Hidung Tenggorokan, editor Soepardi, E, et al. Edisi VI. Balai Penerbitan FKUI, Jakarta.
5. Adams L, Goerge dkk. 1997. Buku Ajar Penyakit THT. Jakarta: EGC
6. Ganong WF. 1983. Fisiologi Kedokteran (Review of Medical Physiology) Edisi 10. Jakarta: EGC
7. Yunita Andrina. 2003. Gangguan Pendengaran Akibat Bising. Bagian Bedah Fakultas Kedokteran Umum Universitas Sumatera Utara.
8. Guyton. dkk. 19 . Fisiologi Kedokteran. Jakarta: EGC
9. Snell RS. Kepala dan Leher dalam Anatomi Klinik. Edisi 6. Jakarta : Penerbit Buku Kedokteran EGC ; 2006.
10. Adams G, Boies L, Higler P. Boies Buku Ajar Penyakit THT. Jakarta : Penerbit Buku Kedokteran EGC ; 1997.
11. Bashiruddin J, Soetirto I. Gangguan Pendengaran Akibat Bising (noise induced hearing loss) dalam Telinga Hidung Tenggorokan Kepala dan Leher, editor Soepardi I, et al. Edisi 6. Jakarta : Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia ; 2008.
12. Siti Rani. Dosis Pajanan Bising. Available at http://lontar.ui.ac.id/file?file=digital/123563-S-5264-Gambaran%20dosis-pendahuluan.pdf. Accessed on 22nd September 2012.