patofisiologi dan patogenesis baru
TRANSCRIPT
Patofisiologi dan patogenesis
PATOFISIOLOGIS
Bell’s plasy dipertimbangkan dengan beberapa tipe paralis tekanan. Saraf yang radang dan
edema saraf pada titik kerusakan, atau pembuluh nutriennya tersumbat pada titik yang
menghasilkan nekrosis iskemik dalam kanal panjangnya saluran yang paling baik sangat sempit.
Ada penyimpangan wajah berupa palisis otot wajah; peningkatan lakrimalis (air mata); sensasi
nyeri pada wajah, belakang telinga, dan pada klien yang mengalami kerusakan bicara, dan
kelamahan otot wajah atau otot wajah pada sisi yang terkena.
MANIFESTASI KLINIS
Pada observasi sudah dapat disaksikan juga, bahwa gerakan kelopak mata yang tidak sehat
lebih lambat jika dibandingkan dengan kelopak mata yang sehat. Fenomena tersebut di kenal
sebagai lagoftalmus. Lipatan nasolabial pada sisi kelumpuhan, mendarat. Pada saat
mengembungkan pipi tersebut bahwa pada sisi yang lumpuh tidak mengembang. Pada saat di
cibirkan bibir, gerakan bibir tersebut menyimpang ke sisi yang tidak sehat. Bila klien disuruh
memperlihatkan gigi geliginya atau di suruh meringis, sudut sisi mulut yang lumpuh tidak
terangkat sehingga tampaknya mencong ke arah yang sehat.
Selain kumpulan seluruh otot wajah sesisi tidak di dapati gangguan lain yang mengiringinya,
bila pariesisnya benar-benar bersifat bell’s palsy. Tetapi dua hal tersebut berhubungan dengan
dua hal ini. Pertama, air mata yang keluar secara berlebihan di sisi pengumpulan dan
pengecapan pada 2/3 di sisi pengumpulan kurang tajam. Gejala tersebut pertama timbul karena
konjungtiva bulbi tidak dapat penuh ditutupi kelopak mata yang lumpuh, sehingga mudah
dapat iritasi angin, debu, dan sebagainya.
Berkurangnya ketajaman pengecapan, mungkin sekali edema nervus fasialis di tingkat foramen
stilomastoideus meluas sampai nervus fasialis, dimana khorda timpani menggabungkan diri
padanya. Setelah paralisis fasialis perifer sembuh, masih sering terdaat gejala sisa. Pada
umunya gejala ini merupakan proses generasi yang salah, sehingga timbul gerakan fasial yang
berasosiasi dengan gerakan otot kelopak mata. Gerakan yang mengikuti gerakan otot kelopak
lain dinamakan sinkinesis.
Gerakan sinkinesis tersebut ialah ikut terangkatnya sudut mulut pd waktu mata ditutup dan
fisura palprebale sisi yang pernah limpuh menjadi sempit, pada waktu rahang bawah ditarik ke
atas dan kebawah, seperti sewaktu berbicara atau mengunyah. Lebih-lebih pula otot fasial
yang pernah lumpuh perifer dapat terlampau giat bekontraksi tanpa tujuan, sebagaimana
dijumpai spasmus fasialis. Dalam hal ini, di liar serangan spasmus fasialis, sudut mulut sisi ysng
pernah lumpuh tampaknya lebih tinggi kedudukannya dari pada sisi yang sehat. Karna itu
banyak khilapan di buat mengenai sisi mana yang memperlihatkan paresis fasialis, terutama
pada klien yang pernah mengidap bell’s plasy kemudian mengalami stroke.
MANIFESTASI KLINIS
Pada observasi sudah dapat disaksikan juga, bahwa gerakan kelopak mata yang
tidak sehat lebih lambat jika dibandingkan dengan kelopak mata yang sehat. Fenomena
tersebut di kenal sebagai lagoftalmus. Lipatan nasolabial pada sisi kelumpuhan,
mendarat. Pada saat mengembungkan pipi tersebut bahwa pada sisi yang lumpuh tidak
mengembang. Pada saat di cibirkan bibir, gerakan bibir tersebut menyimpang ke sisi yang
tidak sehat. Bila klien disuruh memperlihatkan gigi geliginya atau di suruh meringis, sudut
sisi mulut yang lumpuh tidak terangkat sehingga tampaknya mencong ke arah yang
sehat.
Selain kumpulan seluruh otot wajah sesisi tidak di dapati gangguan lain yang
mengiringinya, bila pariesisnya benar-benar bersifat bell’s palsy. Tetapi dua hal tersebut
berhubungan dengan dua hal ini. Pertama, air mata yang keluar secara berlebihan di sisi
pengumpulan dan pengecapan pada 2/3 di sisi pengumpulan kurang tajam. Gejala
tersebut pertama timbul karena konjungtiva bulbi tidak dapat penuh ditutupi kelopak
mata yang lumpuh, sehingga mudah dapat iritasi angin, debu, dan sebagainya.
Berkurangnya ketajaman pengecapan, mungkin sekali edema nervus fasialis di
tingkat foramen stilomastoideus meluas sampai nervus fasialis, dimana khorda timpani
menggabungkan diri padanya. Setelah paralisis fasialis perifer sembuh, masih sering
terdaat gejala sisa. Pada umunya gejala ini merupakan proses generasi yang salah,
sehingga timbul gerakan fasial yang berasosiasi dengan gerakan otot kelopak mata.
Gerakan yang mengikuti gerakan otot kelopak lain dinamakan sinkinesis.
Gerakan sinkinesis tersebut ialah ikut terangkatnya sudut mulut pd waktu mata
ditutup dan fisura palprebale sisi yang pernah limpuh menjadi sempit, pada waktu
rahang bawah ditarik ke atas dan kebawah, seperti sewaktu berbicara atau mengunyah.
Lebih-lebih pula otot fasial yang pernah lumpuh perifer dapat terlampau giat bekontraksi
tanpa tujuan, sebagaimana dijumpai spasmus fasialis. Dalam hal ini, di luar serangan
spasmus fasialis, sudut mulut sisi ysng pernah lumpuh tampaknya lebih tinggi
kedudukannya dari pada sisi yang sehat. Karna itu banyak khilapan di buat mengenai sisi
mana yang memperlihatkan paresis fasialis, terutama pada klien yang pernah mengidap
bell’s plasy kemudian mengalami stroke. (Muttaqin, Arif. 2008. Asuhan Keperawatan Klien
Dengan Gangguan Sistem Persyarafan Hal. 209-211)
Pengkajian
Pengkajian keperawatan klien dengan bell’s palsy meliputi anamnesis riwayat penyakit,
pemeriksaan fisik, pemeriksaan diagnostik ,dan pengkajian psikososial.
Anamnesis
Keluhan utama yang sering menjadi alas an klien meminta pertolongan kesehatan adalah
berhubungan dengan kelumpuhan otot wajah terjadi pada satu sisi.
Riwayat penyakit saat ini
Faktor riwayat penyakit sangat penting diketahui karena untuk menunjang keluhan utama klien.
Disini harus di tanya dengan jelas tentang gejala yang timbul seperti kapan mulai
serangan,sembuh,atau tambah buruk.pada pengkajian klien bell’s palsy biasanya didapatkan
keluhan kelumpuhan otot wajah pada satu sisi.
Kelumpuhan fasialis ini melibatkan semua otot wajah seisi. Bila dahi dikerutkan,lipatan kulit
dahi hanya tampak pada sisi yang sehat saja. Bila klien disuruh memejamkan kedua
matanya,maka pada sisi yang tidak sehat,kelopak mata tidak dapat menutup bola mata dan
berputarnya bola mata keatas dapat disaksikan. Fenomena tersebut dikenal sebagai tanda bell.
Riwayat penyakit dahulu
Pengkajian penyakit yang pernah dialami klien yang memungkinkan adanya hubungan atau
menjadi presdisposisi keluhan sekarang meliputi pernahkan klien mengalami penyakit iskemia
vaskuler, otitis media,tumor intrakranal,trauma kapitis,penyakit virus (herpes simpleks,herves
zoster ),penyakit autoimun,atau kombinasi semua factor ini. Pengkajian pemakaian obat-
obatan yang sering di gunakan klien,pengkajian kemana klien sudah meminta pertolongan
dapat mendukung pengkajian dari riwayat penyakit sekarang dan merupakan data besar untuk
mengkaji lebih jauh dan untuk memberikan tindakan selanjutnya.
Pengkajian psiko-sosio –spiritual
Pengkajian spikologis klien bell’s palsy meliputi beberapa penilaian yang memungkinkan
perawat untuk memperoleh persepsi yang jelas mengenai status emosi,koknitif,dan prilaku
klien. Pengkajian mekanisme koping yang digunakan klien juga penting untuk menilai respon
emosi tehadap kelumpuhan otot wajah seisi dan perubahan peran klien dalam keluarga dan
masyarakat serta respon atau pengaruhnya dalam kehidupan sehari-hari baik dalam keluarga
atau masyarakat. Apakah ada dampak yang timbul pada klien, yang timbul ketwkutan atau
kecacatan, rasa cemas,ketidak mampuan untuk melakukan aktifitas secara optimal,dan
pandangan terhadap dirinya yang salah (gangguan citra tubuh ).pengkajian mengenai
mekanisme koping yang secara sadar digunakan klien selama masa stress meliputi kemampuan
klien untuk mendiskusikan masalah kesehatan selama ini yang sudah di ketahui dan perubahan
perilaku akibat stres.
Karena klien harus menjalani perawatan rawat inap maka apakah keadaan ini member dampak
pada status ekonomi klien , karena biaya perawatan dan pengobatan memerlukann dana yang
tidak sedikit. Perawat juga memasukan pengkajian terhadap fungsi neurologis dengan dampak
ganguan neurologis yang akan terjadi pada gaya hidup individu. Perseektif keperawatan dalam
mengkaji terdiri dari dua masalah,yaitu keterbatasan yang diakibatkan oleh defesit neurologi
dalam hubungannya dengan peran social klien dan rencana pelayanan yang akan mendukung
adaptasi pada gangguan neurologis didalam sistem dukungan individu.
Pemeriksaan fisik
Setelah melakukan anamnesis yang mengarah pada keluhan-keluhan klien, pemeriksaan fisik
sangat berguna untuk mendukung data dari pengkajian anamnesis. Pemeriksaan fisik
sebaiknya dilakukan per sistem (b1-b6) dengan fokus pemeriksaan fisik pada pemeriksaan b3
(brain ) yang terarah dan dihubungkan dengan keluhan-keluhan dari klien. Pada klien ball’s
palsy biasanya di dapatkan tanda-tanda vital dalam batas normal.
B1(breathing )
Bila tidak ada penyakit lain yang menyertai pemeriksaan inspeksi didapatkan klien tidak batuk,
tidak sesak napas ,tidak ada penggunaan otot bantu napas,dan frekuensi pernapasan dalam
baras normal. Palpasi biasanya traktil premitus seimbang kanan dan kiri. Perkusi didapatkan
resonan pada seluruh lapangan paru. Askultasi tidak terdengar bunyi napas tambahan.
B2(blood)
Bila tidak ada penyakit lain yang menyertai pemeriksaan nadi dengan frekuensi dan irama
yang normal. Td dalam batas normal dan tidak terdengar bunyi jantung tambahan.
B3(brain)
Pengkajian b3 (brain ) merupakan pemeriksaan fokus dan lebih lengkap dibandingkan
pengkaian pada sistem lainnya.
Tingkat kesadaran
Pada bell’s palsy biasanya kesadaran klien compos mentis.
Fungsi serebri
Status mental : observasi penampilan klien dan tingkah lakunya, nilai gaya bicara klien,
observasi ekspresi wajah, dan aktivitas motorik yang pada klien bell’s palsy biasanya status
mental klien mengenai perubahan.
Pemeriksaan saraf kranial
Saraf i. Biasanya pada klien bell’s palsy tidak ada kelainan dan fungsi penciuman tidak ada
kelainan.
Saraf ii. Tes ketajaman penglihatan pada kondisi normal.
Saraf iii,iv, dan vi. Penurunan gerakan kelopak mata pada sisi yang sakit (lagoftalmos ).
Saraf v. Kelumpuhan seluruh otot wajah seisi,lipatan nasolabial pada sisi kelumpuhan
mendatar,adanya gerakan sinkinetik.
Saraf vii. Berkurangnya ketajaman pengecapan,mungkin sekali adema nervus fasialis di tingkat
faranem stilomastedeus meluas sampai bagian nervus fasialis , di mana khorda timpani
menggabungkan diri padanya.
Saraf viii. Tidak ditemukan adanya tuli konduktif dan tuli persepsi.
Saraf ix dan x. Paralisis otot orofaing,kesukaran berbicara,mengunya,dan menelan.
Kemampuan menelan kurang baik, sehingga mengganggu pemenuhan nutrisi via oral.
Saraf xi. Tidak ada atrofi otot sternokleidomastoideus dan trapezius. Kemampuan mobilisasi
leher baik.
Saraf xii. Lidah simestris, tidak ada deviasi pada satu sisi dan tidak ada fasikulasi.indra
pengecapan mengalami kelumpuhan dan pengecapan pada 2/3 lidah sisi kelumpuhan kurang
tajam.
Sistem motorik
Bila tidak melibatkan disfungsi neurologis lain,kekuatan otot normal, control keseimbangan
dan koordinasi pada bell’s palsy tidak ada kelainan.
Pemeriksaan refleks
Pemeriksaan reflex dalam, pengetukan pada tendon, ligamentum atau periosteum derajat
reflex pada respons normal.
Gerakan involunter
Tidak di temukan adanya tremor,kejang,dan distonia. Pada beberapa keadaan sering di
temukan tic fasialis.
Sistem sensorik
Kemampuan penilaian sensorik raba, nyeri ,dan suhu tidak ada kalainan.
B4 (bladder)
Pemeriksaan pada sistem perkemihan biasanya didapatkan berkurangnya volume haluaran
urine,hal ini berhubungan dengan penurunan perfusi dan penurunan curah jantung ke ginjal.
B5 (bowel)
Mual sampai muntah dihubungkan dengan peningkatan produksi asam lambung.pemenuhan
nutrisi pada klien bell’s palsy menurun karena anoreksia dan kelemahan otot –otot
mengunyah serta gangguan proses menelan menyebabkan pemenuhan via oral menjadi
berkurang.
B6 (bone )
Penurunan kekuatan otot dan penurunan tingkat kesadaran menurunkan mobilitas klien
secara umum. Dalam pemenuhan kebutuhan sehari-hari klien lebih banyak dibantu oleh orang
lain.
Penatalaksanan medis
Tujuan penatalaksaan adalah untuk mempertahankan tonus otot wajah dan untuk mencegah
atau meminimalkan denervasi. Klien harus di yakinkan bahwa keadaan yang terjadi bukan
stroke dan pulih dengan spontan dalam 3-5 minggu pada kebanyakan klien.
Terapi kontikosteroid (prednison ) dapat diberikan untuk menurunkan radang dan edema,
yang pada gilirannya mengurangi kompresi vaskuler dan memungkinkan perbaikan sirkulasi
darah ke saraf tersebut. Pemberian awal terapi kortikosteroid ditujukan untuk mengurangi
penyakit semakin berat, mengurangi nyeri, dan membatu mencegah atau meminimalkan
denervasi.
Nyeri wajah di kontrl dengan analgesik. Kompres panas pada sisi wajah yang sakit dapat
diberikan untuk meningkatkan kenyamanan dan aliran darah sampai ke otot tersebut.
Stimulasi listrik dapat diberikan untuk mencegah otot wajah menjadi atropi. Walaupun banyak
klien pulih dengan pengobatan konservatif,namun eksplorasi pembedahan pada saraf wajah
dapat dilakukan pada klien yang cenderung mempunyai tumor atau untuk dekompresi saraf
wajah melalui pembedahan dan pembedahan untuk merehabilitas keadaan paralisis wajah.
Pendidikan klien. Mata harus dilindungi karena paralisis lamjut dapat menyerang mata. Sering
kali, mata klien tidak dapat menutup dengan sempurna, dan refleks berkedip terbatas
sehingga mata mudah diserang binatang kecil dan benda-benda asing. Iritasi kornea dan luka
adalah komplikasi potensial pada klien ini. Kadang-kadang keadaan ini mengakibatkan
keluarnya air mata yang berlebihan (epifora) karena keratitis yang disebabkan oleh kornea
kering dan tidak adanya refleks berkedip. Penutup mata bagian bawah menjadi lemah akibat
pengeluaran air mata.untuk menangani masalah ini, maka harus ditutup dengan melindungi
dari cahaya silau pada malam hari.potongan mata dapat merusak kornea, meskipun hal ini juga
disebabkan beberapa kesukaran dalam mempertahankan mata tertutup akibat paralisis parsial.
Benda-benda yang dapat digunakan pada mata pada saat tidur dapat diletakan pada atas
mata agar kelopak mata menempel satu dengan yang lainnya dan tetap tertutup selama tidur.
Klien dianjurkan untuk menutup kelopak mata yang mengalami paralisis secara manual
sebelum tidur.gunakan tutup mata dengan kaca mata hitam untuk menurunkan penguapan
normal dari mata. Jika saraf tidak terlalu sensitif, wajah dapat dimasase beberapa kali sehari
untuk mempertahankan tonus otot. Teknik untuk memasase wajah adalah dengan gerakan
lembut keatas. Latihan wajah seperti mengerutkan dahi, mengembungkan pipi ke luar ,dan
bersiul dapat dilakukan dengan menggunakan cermin dan dilakukan teratur untuk mencegah
atropi otot. Hindari wajah terkena udara dingin.
Diagnosis keperawatan
1. Gangguan konsep diri (citra diri ) yang berhubungan dengan perubahan bentuk wajah
karena kelumpuhan satu sisi pada wajah.
2. Cemas yang berhubungan dengan prognosis penyakit dan perubahan kesehatan.
3. Kurangnya pengetahuan kesehatan diri sendiri yang berhubungan dengan informanasi
yang tidak adekuat mengenai proses penyakit dan pengobatan.
Rencana intervensi
Gangguan konsep diri (citra diri) berhubungan dengan perubahan bentuk wajah
karena kelumpuhan satu sisi pada wajah.
Data penunjang :
Tanda subjektif : merasa malu karena adanya kelumpuhan otot wajah terjadi pada satu
sisi.
Tanda objektif : dahi dikerutkan,lipatan kulit dahi hanya tampak pada sisi yang sehat
saja.
Tujuan :konsep diri klien meningkat
Kriteria hasil : klien mampu menggunakan koping yang positif.
Intervensi Rasionalisasi
Kaji dan jelaskan kepada klien tentang
keadaan paralisis wajahnya.
Intervensi awal bias mencegah distress
psiklogis pada klien.
Bantu klien menggunakan mekanisme
koping ysng positif.
Mekanisme koping yng positif dapat
membantu klien lebih percaya diri, lebih
kooperatif terhadap tindakan yang akan
dilakukan dan mencegah terjadinya
kecemasan tambahan.
Orientasikan klien terhadap prosedur
rutin dan aktifitas yang diharapkan.
Orientasi dapat menurunkan kecemasan.
Libatkan sistem pendukung dalam
perawatan klien.
Kehadiran sistem pendukung
meningkatkan citra diri klien.
Cemas yang berhubungan dengan proknosis penyakit dan perubahan kesehatan
Tujuan : kecemasan hilang atau berkurang.
Kriteria hasil : mengenal perasaannya, dapat mengidentifikasai penyebab atau faktor yang
mempengaruhi, dan menyatakan ansietas berkurang / hilang.
Intervensi Rasionalisasi
Kaji tanda verbal dan nonverbal
kecemasan,damping klien dan, lakukan
tindakan bila menunjukan prilaku merusak.
Reaksi verbal /nonverbal dapat menunjukan
rasa agitasi, marah,dan gelisah.
Mulai melakukan tindakan untuk mengurangi
kecemasan. Beri lingkungan yang tenang dan
suasana penuh istirahat.
Mengurangi rangsangan eksternal yang tidak
perlu.
Tingkat control sensasi klie. Kontrol sensasi klien (dan dalam menurunkan
ketakutan ) dengan cara memberikan
informasi tentang keadaan klien, menekankan
pada penghargaan terhadap sumber-sumber
koping (pertahanan diri ), yang positif
membantu latihan relaksasi dan teknik-teknik
pengalihan dan memberikan respon balik yang
positif.
Beri kesempatan kepada klien untuk
mengungkapkan kecemasannya.
Dapat mengalihkan ketegangan terhadap
kekhawatiran yang tidak diekspresikan.
Berikan privasi untuk klien dan orang terdekat. Memberi waktu untuk mengekspresikan
perasaan, menghilangkan cemas, dan perilaku
adaptasi. Adanya keluarga dan teman-teman
yang di pilih klien melayani aktivitas dan
pengalihan (misalnya membaca akan
menurunkan perasaan terisolasi.
Kurangnya pengetahuan perawatan diri sendiri yang berhubungan dengan informasi yang
tidak ade kuat mengenai proses penyakit dan pengobatan.
Tujuan : dalam jangka waktu 1x30 menit klien akan memperlihat kan kemampuan
pemahaman yang ade kuat tentang penyakit dan pengobatan.
Kriteria hasil : klien mampu secara subjektif menjelaskan ulang secara sederhana terhadap apa
yang telah didiskusikan.
Intervensi Rasionalisasi
Kaji kemampuan belajar, tingkat kecemasan,
partisipasi, media yang sesuai untuk belajar.
Indikasi progresif atau reaktivasi penyakit
atau efek samping pengobatan, serta untuk
evaluasi lebih lanjut.
Identifikasi tanda dan gejala yang perlu
dilaporkan keperawat.
meningkatkan kesadaran kebutuhan tentang
perawatan diri untuk meminimalkan
kelemahan.
Jelaskan instruksi dan informasi misalnya
penjadwalan pengobatan.
Meningkatkan kerja sama/ partisipasi
terapeutik dan mencegah putus obat.
Kaji ulang resiko efek samping pengobatan. Dapat mengurangi rasa kurang nyaman dari
pengobatan untuk perbaikan kondisi klien.
Dorong klien mengekspresikan ketidaktahuan/
kecemasan dan beri informasi yang
Member kesempatan untuk mengoreksi
persepsi yang salah dam mengurangi
dibutuhkan. kecemasan.
Kumpulan nervus fasialis perifer
Kelumpuhan nervus vasialis (n.vll) adalah kelumpuhan otot wajah, sehingga wajah pasien
tampak tidak simetris pada waktu berbicara dan berekspresi. Hanya merupakan gejala
sehingga harus dicari penyebab dan derajat kelumpuhannya untuk mementukan terapi dan
prognosis.
Etiologi
Kongenital, infeksi (infeksi telinga tengah,infeksi intrakarnial ),tumor (tumor intrakarnial atau
ekstrakarnial ),trauma kepala, gangguan pembuluh darah (trombosit arteri korotis,arteri
maksilaris,dan arteri serebri media ),dan ediopatik (bell’s palsy ).
Diagnosis banding
Penyakit konenital (sindrom mobius ), infeksi (sindrom ramsay –hunt,herpes zoster
oticus ),trauma tulang temporal,lesi vascular (aneurisma,thrombosis ),neoplasma (neuroma
akustik,menibgioma), dan ideopatik.
Manifestasi klinis
Berdasarkan topografi letak lesi :
Gejala kelumpuhan intratemporal tergantung dari letak lesi,dapat ditemukan
kelumpuhan otot-otot wajah /muka, lagoftalmus,ada atau tidaknya air mata pada sisa
lesi gangguan pengecap,hiperakusis,gejala neurologis pada lesi nuclear.
Gejala kelumpuhan ekstratempiral biasanya karena gangguan pada kelenjar parotis,
seperti trauma,radang,dan tumor.
Pemeriksaan penunjang
Tujuan nya menentukan letak lesi dan menentukan derajat kelumpuhannya,apakah
harus dirujuk kerumah sakit. Dilakukan pemeriksaan fungsi motor, pemeriksaan
gustometer,tes schirmer (meletakan kertas lakmus paa bagian konjugtiva dan dihitung
banyaknya sekresi kelenjar lakrimalis ), pemeriksaan eksitabilitas saraf kiri dan kanan,
pemeriksaan refleks stapedius, audivestibular, radiologi,dan elektromiografi.
Penatalaksanaan
Bila gangguan hantaran ringan dan fungsi motor masih baik, terapi ditunjukan untuk
menghilangkan edema saraf dengan memakai obat-obatan anti edema /kortikosteroid,
vasodilator,dan neurotonik serta fisioterapi.
Bila gangguan hantaran berat atau sudah terjadi denervasi total, harus segera
dilakukan tindakan operatif dengan teknik dokompresi n.vll transmastoid. (sumber;
kapita selekta kedokteran, oktober 2000, jakarta, indonesia ).