patogenesis meningitis bachterial

26
IMUNOLOGI TAKE HOME PATHOGENESIS PADA BACTERIAL MENINGITIS OLEH: ALFI SYAHRIN 011414153017 ILMU KEDOKTERAN DASAR MINAT FAAL FAKULTAS KEDOKTERAN

Upload: alfi-syahrin

Post on 15-Jan-2016

41 views

Category:

Documents


0 download

DESCRIPTION

bakteri meningitis

TRANSCRIPT

Page 1: Patogenesis Meningitis Bachterial

IMUNOLOGI TAKE HOME

PATHOGENESIS PADA BACTERIAL MENINGITIS

OLEH:

ALFI SYAHRIN

011414153017

ILMU KEDOKTERAN DASAR MINAT FAAL

FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS AIRLANGGA SURABAYA

2014

Page 2: Patogenesis Meningitis Bachterial

PATHOGENESIS BACTERIAL MENINGITIS

I. PENDAHULUAN

Infeksi meningokok dijumpai di seluruh dunia sebagai infeksi endemik dan

disebabkan oleh Neisseria meningitidi yang menyerang terutama anak-anak sehat

dengan insidens dan angka mortalitas yang cukup tinggi yaitu sekitar 10%. (1) Kuman

ini secara eksklusif terdapat pada manusia, berbentuk bulat berpasangan (diplokok)

seperti biji kopi, negatif gram dan diliputi oleh suatu membran (outer membrane)

yang terdiri dari lemak, protein dan lipopolisakarida. Melalui pengujian serologik,

kuman ini dibagi atas beberapa grup (serogup) yang kesemuanya berjumlah 13 dan 20

tipe (serotipe). Galur (strain) yang termasuk dalam serogrup B dan C merupakan

penyebab utama radang selaput otak (meningitis) di negara negara maju, sedangkan

galur dari serogrup A dan sebagian kecil C banyak ditemukan di negara-negara

berkembang. Penentuan serotipe sangat penting dipandang dari segi strategi

pengembangan vaksin, namun tidak memadai untuk tujuan epidemiologi modern. (2)

Dengan menggunakan pendekatan genetik, terutama cara multilocus enzyme

electrophoresis, dapat diperoleh suatu gambaran yang lebih baik mengenai

epidemiologi dan ekspansi klonal penyakit yang disebabkan oleh N. Meningitis ini.

Meningitis di daerah Afrika sub-Sahara memiliki pola epidemiologis yang

khusus. Daerah ini yang sering disebut juga sebagai meningitis belt meliputi kurang

lebih 10 negara di antaranya adalah Burkina Faso, Ghana, Togo, Benin, Niger,

Nigeria, Chad, Cameroon, Republik Afrika Tengah, dan Sudan. (3,4) Di daerah ini,

infeksi meningokok yang disebabkan oleh serogrup A timbul secara berulang setiap

tahun sebagai suatu gelombang. Derajat serangan penyakit meningkat pada akhir

musim kering dan secara cepat menurun setelah musim hujan mulai. (4-6)

Page 3: Patogenesis Meningitis Bachterial

Pada saat puncak terjadinya epidemi, insidens penyakit dapat mencapai

1000/100.000 penduduk. (7) Sejak akhir tahun 1960-an, terjadi epidemi yang luas yang

disebabkan oleh galur N. meningitidis yang secara genetik saling berkaitan erat. (2)

Wabah yang paling besar yang berasal dari Cina bagian utara dan menyebar ke selatan

dan kemudian ke seluruh dunia, disebabkan oleh 2 jenis klon (clones) dari serogrup A

yaitu subgrup I dan III). (2,5) Klon Subgrup III menyebar ke subkontinen India pada

tahun 1983 sampai 1987. Pada tahun 1987, klon ini mencapai daerah Timur Tengah,

kemudian menyebar lebih jauh dan menimbulkan epidemi yang luas di jasirah Arab

dan Afrika. Pada tahun 1990-an, wabah ini bergerak kebagian lebih selatan dari

daerah tradisional meningitis belt sampai mencapai Afrika Selatan di tahun 1996.(8)

Pada tahun itu terdapat lebih dari 150.000 kasus dan sedikitnya 16.000 meninggal.

(2,5,9) Di banyak negara maju, galur serogrup B bertahan selama lebih dari 30 tahun.

Kebanyakan galur ini termasuk kompleks klonal yang dikenal sebagai ET-5 dan ET-

37.(2) Di bagian barat-laut Eropa (Norwegia, Inggris dan Belanda), infeksi

hiperendemik dengan derajat serangan 4 sampai 50/100.000 bertahan sejak

pertengahan tahun 1970-an, (2,4,6) derajat serangan penyakit yang relatif tinggi dan

persisten ini disebabkan oleh galur serogrup B yang termasuk ET-5. Galur ini beredar

diantara penduduk setempat dengan transmisibilitas rendah tetapi derajat virulensinya

tinggi.(7,10) Galur grup B dengan karakteristik ET-5 ditemukan di Cina pada tahun

1974, dan pada tahun 1980-an juga di Jepang, Thailand, Spanyol, Cuba, Cili dan

Brazilia. Pada tahun 1990-an galur ini menyebar ke Afrika Utara dan Australia .(2) Di

Amerika, kasus-kasus dilaporkan dijumpai pada imigran dari Kuba, tetapi berbeda

dengan bagian barat-laut Eropa, di sini tidak terjadi wabah yang besar.

Pada saat dilaporkan terjadinya wabah oleh ET-5 di seluruh dunia, galur yang

termasuk dalam klonal kompleks dari serogrup B yang lain (ET-24 dan ET-25) timbul

Page 4: Patogenesis Meningitis Bachterial

di Eropa. Mula-mula ditemukan di Belanda pada tahun 1980-an, klon ini merupakan

klon yang paling dominan menjelang akhir tahun 1990-an (10) dan kemudian menyebar

ke seluruh Eropa.(2) Galur yang termasuk ET-37 menyebabkan wabah di antara

personil militer di Amerika.Salah satu varian dari ET-37 yaitu ET-15 muncul pada

akhir tahun 1980-an di Amerika Utara dan menyebabkan meningkatnya angka

serangan infeksi meningokokal di daerah ini.(11-13) Pada sebagian daerah di Amerika,

serogrup Y, muncul sejak th 1990-an dan menjadi penyebab penting dari kasus-kasus

endemis. Sekitar satu-per-tiga kasus-kasus di daerah tertentu di Amerika disebabkan

oleh serogrup Y ini, sepertiganya lagi disebabkan oleh serogrup C dan sisanya oleh

serogrup B. (14) Studi epidemiologis dengan metode molekuler telah menunjukan suatu

gambaran yang kompleks mengenai kelompok klon meningokokal patogenik yang

menyebabkan wabah yang menyebar ke seluruh dunia. Namun demikian, mekanisme

dengan cara bagaimana klon yang patogenik ini menimbulkan epidemi secara luas di

suatu daerah sedangkan daerah lain tidak terkena, masih merupakan suatu pertanyaan.

II. PATHOGENESIS PENYAKIT

Ada 4 kondisi yang memungkinkan terjadinya penyakit meningokokal yang

sifatnya infasif yaitu: (i) paparan terhadap galur patogenik, (ii) adanya kolonisasi

kuman di mukosa naso-pharyngeal, (iii) terjadinya pasasi melalui mukosa, dan (iv)

kemampuan meningokok untuk dapat bertahan di darah. Naso-pharynx manusia

adalah satu-satunya reservoir alamiah dari N. meningitidis. Kuman kuman ini

ditularkan dari satu orang ke orang lain melalui kontak langsung secara droplet. Daya

tahan hidup kuman di sini dipengaruhi oleh beberapa kondisi seperti misalnya iklim

yaitu suhu dan kelembaban. Pada periode infeksi endemik, sekitar 10% penduduk

mengidap kuman ini dalam hidungnya.(15) Meskipun demikian, 9 dari 10 jenis kuman

Page 5: Patogenesis Meningitis Bachterial

yang diisolasi dari carrier bukan termasuk kuman yang patogenik. Mengapa suatu

jenis kuman dapat berkolonisasi di mukosa nasooropharyngeal sedangkan jenis yang

lain tidak dapat, hal ini masih merupakan suatu pertanyaan. Permulaan sebagian besar

kasus meningitis bakteri dimulai dengan akuisisi sejumlah organisme baru dengan

kolonisasi nasofaring, kolonisasi bakteri terjadi pada bagian permukaan luar sel

mukosa dan pada intra-atau sub-epitelial. Kerusakan pada epitel bersilia dari

nasopharynx merupakan langkah pertama dari proses kolonisasi bakteri ini.

Kerusakan fisik karena merokok dapat meningkatkan risiko terhadap penyakit ini,

demikian pula halnya dengan stres dan infeksi virus yang mendahului yang

menyebabkan perubahan pada keutuhan dari permukaan mukosa atau mempengaruhi

imunitas lokal atau sistemik. (16)

Selanjutnya kuman-kuman meningokokal menembus epitel mukosa dengan

jalan melalui vakuol fagositik sebagai akibat endositosis dan mencapai aliran darah.

Di dalam aliran darah ini kuman-kuman dapat berkembang biak karena adanya faktor

virulen bakteri atau karena inkompetensi daya tahan tubuh penderita. Daya tahan

pejamu setelah invasi meningokok ditentukan oleh respons seluler dan humoral yang

merupakan sistem imun adaptif dari pejamu. Antibodi spesifik memberikan

perlindungan penuh terhadap infeksi, akan tetapi oleh karena pembentukan antibodi

memerlukan waktu sedikitnya seminggu setelah terjadinya kolonisasi, pertahanan

awal sangat tergantung dari elemen-elemen imunitas yang memberikan reaksi cepat

seperti misalnya complement-mediated bacteriolysis dan opsonophagocytosis. Pada

individu normal, insidens penyakit meningokok berkaitan dengan titer spesifik

antibodi. Insidens yang tertinggi dijumpai pada usia 6-24 bulan, pada saat antibodi

maternal menghilang.(3) Sepanjang hidup manusia, antibodi spesifik ini secara terus

menerus dan berkesinambungan diinduksi oleh adanya jenis-jenis lain dari kuman

Page 6: Patogenesis Meningitis Bachterial

meningokok dan N. lactamica yang berada di naso-oropharynx. Kuman-kuman ini

menimbulkan pembentukan antibodi yang bereaksi silang dengan meningokokal.

Pada sisi lain, antibodi IgA yang tidak mengaktifkan komplemen, dapat

melekat pada epitop yang penting dan menutup epitop ini dan memberi kesempatan

pada antibodi seperti IgG dan IgM untuk mengaktivasikan komplemen. Obat-obat

imunosupresif dan penyakit-penyakit auto-imun seperti lupus erythematosus adalah

merupakan salah satu faktor risiko penyakit. Dapat disimpulkan bahwa pertumbuhan

dan perkembang-biakan kuman meningokok dalam darah dapat berlangsung karena

adanya gangguan fungsi pertahanan intravaskuler, baik ini disebabkan oleh karena

sifat-sifat khusus kuman itu sendiri maupun karena sistem imun yang defektif dari

pejamu.

Berikut gambaran umum dari invasi meningeal bakteri:

Mekanisme dari patogen bakteri mendapatkan akses ke SSP (Sistem Saraf

Pusat) sebagian besar tidak diketahui dan merupakan salah satu faktor yang mungkin

berhubungan dengan konsentrasi organisme dalam darah, penentuan positif meningitis

hanya diamati setelah bakteremia intens (> 10W CFU / ml) yang menetap selama

minimal 6 jam (100). Bakteri Meningitis juga diinduksi tergantung usia dari pasien,

bakteremia bukan satu-satunya faktor yang bertanggung jawab untuk invasi

meningeal, karena banyak organisme lain (misalnya, viridans streptococci) yang

menghasilkan bakteremia terus menerus selama endokarditis infektif tidak jarang

menghasilkan bakteri meningitis. Tempat yang tepat dari invasi SSP oleh patogen

meningeal yaitu pada ventrikel lateral dari cisterna magna, ruang subarachnoid

lumbal, atau ruang subarachnoid supracortical. Data menunjukkan awal masuknya

bakteri ke dalam CSF dalam ventrikel lateral kemungkinan melalui plexi koroid.

Page 7: Patogenesis Meningitis Bachterial

Bakteri intraseluler hanya terlihat dalam parenkim pleksus koroid, di monosit

ventrikel, dan dalam monosit darah perifer. Peredaran monosit yang juga ditemukan

mengandung partikel bakteri berukuran phagocytized, bermigrasi ke CSF melalui

pleksus koroid, membuktikan bahwa bakteri dapat memperoleh akses ke CSF dalam

hubungannya dengan monosit yang bermigrasi di sepanjang jalur normal. Faktor

virulensi bakteri lainnya yang telah diteliti untuk menentukan peran mereka mungkin

dalam invasi meningeal. Pembebasan LPS dari N. meningitidis dapat berkontribusi

pada patogenisitas organisme ini pada infeksi invasif (1). Meningokokus bervariasi

dalam kemampuan mereka untuk membebaskan endotoksin, dengan jumlah

peningkatan dibebaskan dari pasien dengan penyakit invasif. Sebagai contoh,

serogrup B strain meningokokus melepaskan endotoksin sedikit lebih bebas saat

diisolasi dalam darah atau CSF ketika terisolasi dari nasopharynges pada orang sehat.

Protein membran luar juga mungkin penting. Satu laporan menyatakan bahwa galur

(strain) H. influenzae dengan episode membran luar subtipe protein lc penyebab lebih

dari meningitis dan epiglottitis mempunyai episode lebih sedikit daripada strain

subtipe 1 (20), mungkin karena kemampuan masing-masing subtipe untuk melepaskan

LPS dalam keadaan yang tepat berbeda-beda.

Bakterial Meningitis, seperti banyak penyakit lainnya, terjadi peningkatan

permeabilitas penghalang darah-otak atau blood-brain barrier (BBB). Tempat utama

dari BBB adalah membran arakhnoid, koroid pleksus epitel, dan otak mikrovaskuler

endothelium. Oleh karena itu, peningkatan permeabilitas BBB yang terlihat dalam

gangguan ini terjadi pada tingkat epitel koroid pleksus, yang mikrovaskuler

endotelium serebral, atau keduanya; yang mikrovaskuler endotelium telah menjadi

tempat studi intensif dalam beberapa tahun terakhir sebagai akibat dari teknik untuk

isolasi microvessels otak atau sel endotel atau keduanya. Fitur yang membedakan

Page 8: Patogenesis Meningitis Bachterial

kapiler otak dari kapiler lain di seluruh tubuh adalah (i) sel endotel yang berdekatan

menyatu bersama-sama dengan persimpangan ketat pentalaminar (occludens zonulae)

yang mencegah transportasi antar virulen; (ii) vesikel pinocytotic jarang atau tidak;

dan (iii) banyaknya mitokondria. (18) Oleh karena itu, kejadian peningkatan

permeabilitas BBB yang terjadi selama meningitis bakteri pada tingkat otak kapiler

sel endotel didapatkan dari hasil pemisahan persimpangan ketat dari peningkatan

pinositosis, baik dari perubahan, atau melalui proses yang belum diketahui.

Gambar 1 : Proses invasi virulen pada kejadian meningitis dikutip dari neuroscience

Page 9: Patogenesis Meningitis Bachterial

Gambar 2 : Bacterial Meningitis Pathogenesis (dikutip dari

www.thecalgaryguide.com)

GEJALA KLINIS DARI INFEKSI MENINGOKOKAL INVASIF

Sekali kuman meningokok mencapai aliran darah, berbagai manifestasi

penyakit dapat terjadi. Pada beberapa penderita, mungkin ditemukan demam

berderajat rendah dan meningokok secara spontan hilang dari darah, meninggalkan

keadaan yang disebut sebagai transient meningococcemia yang disifati oleh episode

demam singkat mirip flu.(17) Apabila keadaan bakteremia ini menetap, tidak hilang

maka timbullah gejala-gejala klinis. Pada kasus-kasus ini yang menonjol adalah gejala

yang disebabkan oleh sifat kuman seperti dilepaskannya endotoksin dan repons tubuh

penderita terhadap toksin tersebut. Jenis kuman yang diisolasi dari penderita dengan

Page 10: Patogenesis Meningitis Bachterial

meningococcal septic shock melepaskan endotoksin yang jauh lebih besar dari pada

galur yang menyebabkan chronic benign meningococcemia. (18) Pada hampir semua

penderita yang mengalami shock dan pada kebayakan penderita-penderita meningitis,

awal dari fase bakteremia ditandai dengan adanya serangan panas tinggi dan

menggigil, nyeri pinggang bagian bawah, nyeri paha, atau nyeri otot-otot dan sendi

umum. Dalam waktu beberapa jam, keadaan dapat berkembang menjadi sepsis

fulminan tanpa gejala meningitis. Keadaan ini disifati oleh adanya endotoksin dan

sitokin dalam plasma dalam jumlah besar. Berdasarkan urut-urutan kejadian

patofisiologis, penderita-penderita infeksi meningokok dapat dikelompokkan menjadi

4 golongan: (i) penderita dengan bakteremia tanpa shock, (ii) penderita dengan

bakteremia dan shock tanpa gejala meningitis, (iii) penderita dengan shock dan

meningitis, dan (iv) penderita dengan hanya meningitis saja. Klasifikasi penderita

pada salah satu dari kelompok klinis ini sangat membantu di dalam pengambilan

keputusan terutama untuk perawatan intensif secara maksimal.

Pada beberapa kasus dapat terjadi infeksi metastatik berupa arthritis atau

pericarditis yang umumnya disebabkan oleh serogrup C dari N. meningitidis. (19)

Selain gejala arthritis atau pericarditis pada penderita-penderita ini dapat ditemukan

kemerahan kulit (rash) dan rekrudensi demam yang terjadi pada 10-20% penderita

pada hari ke-4 sampai ke-7 di waktu konvalesensi dari penyakitnya. Sejumlah kecil

penderita-penderita, mungkin kurang dari 1% dan terdiri terutama dari orang dewasa,

dijumpai satu atau lebih episode kenaikan suhu badan yang tajam (spiking),

arthralgia, atau arthritis dan kemerahan kulit yang rekuren; sindrom ini dikenal

sebagai chronic benign meningococcemia. (18)

Di samping infeksi meningoccocemia ini, juga dilaporkan infeksi meningokok

lain seperti meningoccal conjunctivitis primer, pneumonia, adnexitis, atau pelvic

Page 11: Patogenesis Meningitis Bachterial

inflammatory disease (PID). Diagnosis untuk keadaan-keadaan ini mudah terlewati

karena secara klinis sulit dibedakan dengan penyakit-penyakit primer dan penyakitnya

sendiri mudah diobati dengan obat-obat standar.

FULMINANT MENINGOCOCCAL SEPSIS (FMS) DAN DIC

FMS disifati oleh adanya shock dan disseminated intravascular coagulation

(DIC), dua proses yang saling berkaitan. Shock dan DIC memiliki kesamaan

mekanisme kausal dan saling menguatkan. Misalnya, trombosis mikrovaskuler

menyebabkan hipoperfusi (shock) dan sebaliknya shock menginduksi kerusakan

endotel dan DIC. Shock disebabkan oleh bocornya kapiler, gangguan tonus vaskuler,

mikrotrombosis intravaskuler dan disfungsi miokardial. Aktivator utama yang

menimbulkan keadaan ini adalah endotoksin meningokok dan beratnya shock ini

mempunyai korelasi dengan derajat endotoksemia. Perdarahan kulit merupakan ciri

dari penyakit meningokok invasif. Secara mikroskopik, lesi ini mempunyai

karakteristik berupa kerusakan endotel dan perdarahan di sekitar pembuluh pembuluh

darah kecil serta adanya trombi di daerah tersebut. Keadaan ini sesuai dengan reaksi

Sanarelli-Schartzman. Lesi ini mencerminkan vaskulitis dan sitokin–endotoksin.

Meskipun DIC adalah suatu fenomena yang sistemik, tetapi terutama kelenjar adrenal

adalah yang paling rentan.

Perdarahan adrenal, yang secara post-mortal didiagnosis sebagai sindrom

Waterhouse-Friderichsen, dapat menimbulkan insufisiensi adrenal secara transitori.

Pada keadaan ini, pembuluh-pembuluh intraserebral tetap utuh tidak mengalami

kerusakan. DIC yang berat senantiasa berkaitan dengan progosis penyakit yang buruk.

Angka mortalitas FMS cukup tinggi bervariasi antara 20-80% tergantung dari daerah

studi. Keadaan ini sangat tergantung dari perjalanan penyakit pada daerah yang

Page 12: Patogenesis Meningitis Bachterial

bersangkutan dan kualitas penangangan medis sebelum penderita mendapat perawatan

darurat di rumah sakit. Selain itu perbedaan angka mortalitas tersebut tergantung pula

pada perbedaan definisi penyakit. Studi klinis umumnya hanya memasukkan

penderita-penderita dengan shock yang nyata ke dalam kriteria sepsis sedangkan

banyak studi epidemiologis mendefinisikan sepsis dari adanya purpura di kulit atau

biakan darah yang positif. Jelas bahwa definisi yang seragam, pengobatan serta

perawatan, dan hasilnya sangat diperlukan untuk mendapatkan perbandingan yang

dapat dipercaya.

Secara klinis, penyakit ini sangat cepat mengalami perubahan, sekitar setengah

dari penderita-penderita yang meninggal terjadi pada 24 jam pertama setelah

dijumpainya gejala-gejala. Dalam suatu laporan (20) dinyatakan bahwa satu-per-tiga

dari penderita dengan penyakit yang fatal, meninggal pada waktu antara 6 dan 18 jam.

Sering pula dijumpai komplikasi berupa perdarahanperdarahan, anuria, dan kegagalan

organ secara mulitpel. Setelah 4-10 hari dan tidak meninggal, 10-20% (20) penderita

dengan infeksi meningokok akan mengalami demam kembali yang umumnya diikuti

dengan kemerajhan kulit dan kadang kadang arthritis steril atau perikarditis. Kelainan

ini adalah suatu manifestasi imunokompleks semata dan akan menghilang secara

spontan dengan terapi simtomatik.

III. PENEGAKAN DIAGNOSA

Mekanisme yang melatar-belakangi infeksi meningokok pada selaput otak dan

perjalanannya menembus blood-brain barrier belum sepenuhnya dipahami. Sekali

daya pertahanan humoral dan seluler pejamu di rongga subarachnoid menurun atau

hilang, kuman-kuman meningokok dapat berkembang biak secara tidak terkendali dan

menimbulkan berbagai gejala melalui endotoksin yang diproduksinya. Obat-obat

Page 13: Patogenesis Meningitis Bachterial

antibiotika tidak dapat menghentikan dengan segera proses peradangan yang terjadi di

selaput otak, bahkan ada kalanya antibiotika memperburuk kondisi penderita karena

mempercepat terjadinya pelepasan endotoksin. (20) Keadaan ini berbeda dengan

keadaan sepsis di mana pelepasan endotoksin yang diinduksi antibiotika tidak terjadi

di sini. Perbedaan ini disebabkan oleh karena mekanisme pembersihan (clearance)

endotoksin dan/atau regulasi produksi sitokin di cairan serebrospinal berbeda dari

proses yang terjadi di dalam darah. Perbedaan besar antara meningitis dan sepsis

meningokokal adalah: pada meningitis, respon peradangan terlokalisasi pada daerah

ekstravaskuler yang tidak memiliki sistem komplemen dan koagulasi. Pada sepsis

meningokokal, bentuk penyakitnya adalah paling berat dengan angka mortalitas yang

tinggi dan terjadi sekuele yang berat karena terjadinya inflamasi endovaskuler dan

trombosis, sedangkan pada meningitis meningokok angka kematian dan sekuele

neurologisnya relatif rendah.

Pada meningitis meningokok kadang-kadang terjadi hernia dari batang otak

yang sifatnya fatal. Hal ini disebabkan oleh karena rongga tengkorak tidak dapat

membesar dan terjadinya udem serebral akan menyebabkan meningkatnya tekanan

intrakranial sehingga terjadi perfusi serebral. Angka kematian yang besarnya 1-5%

berkaitan dengan meningitis meningokok disebabkan karena komplikasi fatal yang tak

teratasi ini. Pada otopsi tampak adanya ensefalitis di daerah yang berdekatan dengan

selaput otak yang meradang di samping tanda-tanda meningitis sendiri. Sekuele

neurologis yang dilaporkan berkisar 8-20% dari penderita-penderita yang bertahan

hidup (19-20) meliputi berbagai kelainan seperti tuli sensorineural, rertardasi mental,

spastisitas dan/atau kejang-kejang.

Oleh karena penyakit meningokokal akut, terlebih FMS, dapat bersifat fatal

dalam beberapa jam saja, maka diagnosis dini mempunyai arti yang sangat penting.

Page 14: Patogenesis Meningitis Bachterial

Gejala dini yang tipikal adalah bilamana seorang anak yang sama sekali sebelumnya

sehat mengeluh demam yang mendadak disertai menggigil dan nyeri otot mialgia).

Setelah beberapa jam (4-6 jam) mungkin tampak perbaikan klinis secara sementara

yang menutupi proses penyakit yang berlanjut. Pada stadium dini ini gejala dan tanda-

tanda penyakit sangat membingungkan.

Manifestasi kulit menyerupai kemerahan yang disebabkan virus, tak ada kaku

kuduk dan pemeriksaan cairan serebrospinal dan gambaran mikroskopiknya

(pewarnaan Gram) tidak memberikan kesimpulan apapun. Stadium awal dari

meningitis meningokok menyerupai FMS oleh karena gejala-gejala awal penyakit

ditentukan oleh masuknya kuman-kuman meningokok secara tiba-tiba ke dalam aliran

darah. Akan tetapi secara umum gejala-gejala meningitis meningokok berjalan lebih

lambat. Lesi hemoragis kulit yang karakteristik menjadi jelas 12-18 jam setelah gejala

penyakit yang pertama timbul; pada 20% penderita tidak terdapat gejala kulit ini.

Apabila penderita menunjukkan adanya demam, sakit kepala, fotofobia,

iritabilitas, muntah, kehilangan kesadaran, kaku kuduk, dan lesi kulit, maka hampir

dapat dipastikan diagnosis meningitis meningokok dapat ditegakkan. Diagnosis

bakteriologis FMS secara cepat dapat dibuat dengan melakukan pewarnaan Gram dari

biopsi lesi kulit, buffy coat atau cairan serebrospinal. Pada meningitis meningokok,

lesi kulit jarang menunjukkan adanya meningokok, hanya sampel cairan serebrospinal

saja yang positif . Biakan kuman memberikan hasil positif setelah 12-24 jam.

Pemberian antibiotika sebelum pengambilan sampel untuk biakan mikrobiologis dapat

menyebabkan biakan darah dan cairan serebrospinal menjadi negatif, tetapi biakan

dari biopsi kulit masih tetap dapat memberikan hasil positif.

Page 15: Patogenesis Meningitis Bachterial

IV. DAFTAR PUSTAKA

1. Hart CA, Rogers TRF. Meningococcal disease.J Med Microbiol 1993;39:3-25.

2. Caugant DA. Population genetics and molecular epidemiology of Neisseria

meningitidis. APMIS 1998;106:505-25.

3. Van Deuren M, Brandtzaeg P, van der Meer JWM. Update on meningococcal

disease with emphasis on pathogenesis and clinical management. Crit Microbiol

Rev 2000;13:144-66.

4. Moore PS. Meningococcal meningitis in sub-Sahara Africa: a model for the

epidemic process. Clin Infect Dis, 1992; 14:515-25.

5. Achtman M. Global epidemiology of meningococcal disease. In K.

Cartwright.editor. Meningococcal disease. Chichester, United Kingdom: John

Wiley & Sons, Ltd; 1995.p.159-75.

6. Schwartz B, Moore PS, Broome CV. Global epidemiology of meningococcal

disease. Clin Microbiol Rev 1989; 2(suppl): S118-S 24.

7. Riedo FX, Plikaytis BD, Broome CV. Epidemiology and prevention of

meningococcal disease. Pediatr Infect Dis J 1995;14:643-57.

8. McGee L, Koornhof HJ, Caugant DA. Epidemic spread of subgroup III of

Neisseria meningitidis serogroup A to South Africa in 1996. Clin Infect Dis 1998;

27:1214-20.

9. Guibourdenche M, Høiby EA, Riou JY,Varaine F, Joguet C, Caugant DA.

Epidemics of serogroup A Neisseria meningitidis of subgroup III in Africa, 1989-

994. Epidemiol Infect 1996;116:115 –20.

10. Scholten RJPM, Poolman JT, Valkenburg HA, Bijlmer HA, Dankert J, Caugant

DA. Phenotype and genotype changes in a new clone complex of Neisseria

meningitidis causing disease in the Netherlands, 1958-1990. J Infect Dis 1994;

169:673-76.

11. Jones D. Epidemiology of meningococcal disease in Europe and the USA. In K.

Cartwright editor, Meningococcal disease. Chichester, United Kingdom: John

Wiley & Sons, Ltd; 1995.p.147-57.

12. Ashton FE, Ryan JA, Borczyk A, Caugant DA, Mancino L, Huang D. Emergence

of a virulent clone of Neisseria meningitidis serotype 2a that is associated with

meningococcal group C disease in Canada. J Clin Microbiol 1991;29:2489-93.

Page 16: Patogenesis Meningitis Bachterial

13. Jackson LA, Schuchat A, Reeves MW, Wenger JD. Serogroup C meningococcal

outbreaks in the United States, en emerging threat. JAMA 1995; 273:383-9.

14. Racoosin JA, Whitney CG, Conover CS, Diaz PS. Serogroup Y meningococcal

disease in Chicago., 1991-1997. JAMA 1998; 280:2094-98.

15. Caugant DA, Høiby EA, Magnus P, Scheel O, Hoel T, Bjune G. Asymptomatic

carriage of Neisseria meningitidis in a randomly sampled population. J Clin

Microbiol 1994; 32:323-30.

16. Moore PS, Reeves MW, Schwartz B, Gellin G, Broome CV. Intercontinental

spread of an epidemic group A Neisseria meningitidis strain. Lancet 1989; ii:

260-3.

17. Sullivan TD, LaScolea LJ. Neisseria meningitidis bacteremia in children:

quantitation of bacteremia and spontaneous clinical recovery without antibiotic

therapy. Pediatrics 1987; 80:63-7.

18. Ploysangam T, Sheth AP. Chronic meningococcaemia in childhood: case report

and review of the literature. Pediatr Dermatol 1996; 13:483-7.

19. Wells M, Gibbons RB. Primary meningococcal arthritis: case report and review

of the literature. Mil Med 1997;162:769-72.

20. Emparanza JL, Aldamiz-Echevarria L, Perez-Yarza EG, Larranaga P, Jiminez JL,

Labiano M, et al. Progostic score in acute meningococcaemia. Crit Care Med

1988;16:168-9.