paradigma kritis
TRANSCRIPT
TUGAS METODOLOGI PENELITIAN POSITIVISME
Paradigma Kritis
Oleh :
Muhammad Abadan Syakura
(116020310011012)
Dosen Pengampu MK :
Prof. Dr. Unti Ludigdo., Ak
Ilmu pengetahuan tidak muncul tiba-tiba begitu saja, atau dalam bahasa Habermas “turun
dari langit” (Hardiman, 1993). Munculnya ilmu pengetahuan dalam realitas sosial kita
sebenarnya tidak terlepas dari perbincangan bagaimana ilmu pengetahuan itu dibentuk.
Triyuwono (1997) melalui perspektif posmodernismenya mengungkapkan: Metodologi
merupakan pola ( pattern ) yang digunakan untuk memproduksi ilmu pengetahuan (teori).
Dengan kata lain, ilmu pengetahuan sepenuhnya ditentukan oleh warna dan bentuk
metodologinya yang didesain oleh ilmuwan. Ketika, misalnya, metode yang digunakan
berdasarkan pada rasionalisme semata, maka ilmu pengetahuan yang dihasilkan akan memiliki
warna yang sama, demikian juga sebaliknya bila dilandasi oleh pemikiran empirisme, atau
gabungan dari kedua pola pemikiran di atas yaitu empirisme dan rasionalisme (Triyuwono, 1996:
3). Selanjutnya pada tulisan pengantarnya dalam buku Menyibak Akuntansi Syari’ah yang ditulis
Mulawarman, (2006, xviii-xix), Triyuwono mengatakan bahwa ”Terobosan ( breakthrough )
metodologi sangat diperlukan untuk memecah kejumudan berfikir kita (karena terbelenggu oleh
positivisme). Metodologi dapat dikiaskan sebagai pola yang akan membentuk ilmu pengetahuan,
bila yang kita bangun adalah metodologi yang kaku cenderung akan menghasilkan ilmu
pengetahuan kering dan steril dari dinamika kehidupan masyarakat. Ilmu yang demikian tentu
akan ditinggalkan masyarakat. Dengan kata lain, metodologi yang kaku tidak mampu merespon
kebutuhan masyarakat yang terus berubah”.
1
Ini menunjukkan bahwa penggunaan metodologi alternatif (selain positivisme) dalam
perkembangan pengetahuan akuntansi telah kian diperlukan. Keberagaman metodologi dan
pendekatan ilmiah akan memicu perkembangan pengetahuan akuntansi, dari segala dimensi dan
permasalahan. Ia akan menjadi sebuah kekayaan intelektual yang melimpah dalam membangun
beragam solusi atas kompleksitas realitas kehidupan (Achsin, 2006: 4).
Paradigma kuantitatif, adalah penyelidikan menjadi masalah sosial atau manusia,
berdasarkan pada pengujian teori yang terdiri dari variabel, yang diukur dengan angka, dan
dianalisa dengan prosedur statistik, dalam rangka untuk menentukan apakah generalisasi
prediktif dari teori terus benar. Paradigma kuantitatif menekankan pada pengujian teori melalui
pengukuran variabel penelitian dengan angka dan melakukan analisis data dengan prosedur
statistik. Penelitian yang menggunakan pendekatan Metodologi Penelitian Bisnis deduktif yang
bertujuan untuk menguji hipotesis merupakan penelitian yang menggunakan paradigma
kuantitatif. Paradigma ini disebut juga dengan paradigma tradisional (traditional), positivis
(positivist), eksperimental (experimental), atau empiris (empiricist). Jenis penelitian yang
termasuk dalam paradigma penelitian kuantitatif dibedakan berdasarkan tujuan penelitian dan
karakteristik masalah.
Cresswell (1994) mendefinisikan sebagai Penelitian kualitatif adalah proses penyelidikan
pemahaman berdasarkan tradisi metodologis yang berbeda dari penyelidikan yang
mengeksplorasi masalah manusia sosial atau hu. Peneliti membangun suatu gambaran yang
kompleks, holistik, analisis kata, laporan pandangan rinci informan, dan melakukan penelitian di
alam. Karakteristik Penelitian Kualitatif :
1. Fokus eksplorasi dan deskriptif
2. Muncul Desain
3. Pengumpulan Data dalam pengaturan alam
4. Penekanan pada 'manusia-sebagai-alat'
5. Kualitatif metode pengumpulan data
6. Awal dan On-akan analisis induktif
Cresswell (1994) membagi penelitian kualitatif menjadi lima Jenis Penelitian Kualitatif
utama dan mengidentifikasi tantangan utama setiap modus penyelidikan:
a. Biografi
2
b. Fenomenologi
c. Teori Beralas
d. Etnografi
e. Studi Kasus
Cara kunci menangkap data penelitian kualitatif ini adalah:
a. Observasi - baik peserta dan langsung
b. Dalam wawancara mendalam
c. Wawancara kelompok
d. Pengumpulan dokumen-dokumen relevan (Foto dan Video Tape)
PARADIGMA TEORI KRITIS (KRITISISME)
Akuntansi kritisisme pada dasarnya berangkat dari kerangka filosofis teori kritis (critical
theory) dari Plato, Hegel, dan Marx (Chua 1986, 619). Praktik akuntansi (sebagai realitas sosial),
menurut paradigma ini, tidak diciptakan oleh alam, tetapi diciptakan oleh manusia melalui
interaksi sosial (social interactions )oleh manusia yang berkuasa yang kemudian
memanipulasi, mengondisikan, dan mencuci otak (brain-wash ) orang lain agar memahami
atau menginterpretasikan sesuatu sesuai dengan interpretasi yang diinginkan oleh yang
berkuasa. Di samping itu, praktik akuntansi dicirikan dengan sebuah tatanan yang selalu dalam
konflik, tekanan, dan kontradiksi yang dihasilkan oleh dunia (keadaan) yang selalu berubah
(Sarantakos 1993, 35).
Teori Kritis Habermas
Teori kritis Habermas dibangun atas dasar ke prihatinannya atas problema ilmu-ilmu
sosial. Keprihatinan Habermas mengerucut pada tiga persoalan: (a) problema pengetahuan
ilmu positivistik dengan segala logika yang dibawanya terutama menyangkut ilmu bebas
nilai, (b) manusia yang bagi paradigma positivistik hanya dilihat dari aspek material semata,
(c) serta keterlibatan ilmuwan dalam praktik sosial kemasyarakatan. (Vardiansyah, 2005: 62)
Habermas menghormati ilmu pengetahuan empiris-analitis. Tetapi, ia menolak sama
sekali saintisme. Fauzi, mengutip Habermas mengatakan ”Mereka menyatakan bahwa
mereka bebas nilai. Tetapi sebenarnya tidak, kenetralan mereka dengan mudah
3
ditempatkan sebagai alat untuk kepentingan-kepentingan tertentu. Oleh sebab itu,
netralitas mereka sebenarnya juga adalah suatu bentuk keberpihakan kepada nilai-nilai
dalam mempertahankan status quo”. ( Fauzi, 2003: 48)
Menurut Habermas, netralitas (sikap netral dan bebas nilai) dalam penelitian sosial tidak
ada dan tidak akan mungkin. Karena itu, agenda kaum positivis dan gagasan bahwa suatu teori
dapat dibebaskan dari nilai-nilai adalah suatu ilusi bohong belaka. (Habermas, 1976: 146).
Kecenderungan memandang fakta sosial sebagai bebas nilai (value free) akan berakibat
manipulasi oleh fakta-fakta atas suatu teori ilmu: teori itu tidak menyadari bahwa fakta yang
dijaringnya itu penuh dengan kepentingan-kepentingan dan nilai-nilai tersendiri. Lebih jauh
Habermas berbicara secara khusus tentang hubungan antara pembentukan suatu teori
pengetahuan, ideology, kepentingan-kepentingan manusiawi, dan praktik sosial (Fauzi, 2003:
44-45)
Habermas dan Teori Kritis Mazhab Frankfurt dalam penelitian sosialnya selalu menyer-
takan nilai untuk membebaskan manusia dari belenggu irasionalitas zaman modern. Habermas
dengan tegas menolak sikap yang dikatakan sehagai hebas nilai dalam pembentukan ilmu
pengetahuan. Proses ini selalu saja dibarengi atau bahkan dimotivasi oleh kepentingan -
kepentingan tertentu yang melatarbelakanginya.
Bagi Habermas, pernyataan bahwa suatu pengetahuan atau teori itu bebas dari segala
kepentingan: bahwa tugas keduanya adalah melukiskan alam semesta dan fenomena manusia
secara teoritis sesuai dengan keteraturannya masing-masing, seperti yang seringkali
disuarakan oleh filsafat klasik dan positivisme: adalah bohong belaka. Menurutnya, semua
ilmu pengetahuan dan pembentukan teori selalu dibarengi oleh apa yang disebutnya dengan
interes-kognitif tertentu yaitu suatu orientasi dasar yang mempengaruhi jenis pengetahuan
dan objek pengetahuan tertentu. ( Fauzi, 2003: 46). Keterlibatan emosional yang kuat terlihat
jelas, dan karenanya penelitian yang “:bebas nilai” adalah ilusi ( Kleden, 1987: 55)
Didasari oleh semangat itu, Teori Kritis mereka tidak ingin menjadi duplikat dari realitas
sosial yang ditelitinya. Mereka ingin menemukan esensi dari realitas sosial. Oleh sebab itu, tugas
utamanya adalah menembus secara kritis suatu realitas sosial untuk menemukan esensi realitas
tersebut. Konsep Teori Kritis tentang esensi ini dijelaskan Adorno, "Esensi realitas sosial adalah
sesuatu yang tersembunyi di balik permukaan dari apa yang nampak atau dari fakta-fakta yang
4
diperkirakan, esensi itulah yang membuat fakta-fakta sehagai sesungguhnya (Zoltan, 1977:
159)". “Esensi tersebut hanya mungkin didapat dalam bentuk kontradiksi antara apa yang
sekarang terjadi secara historis dengan apa yang seharusnya ada bagi pemenuhan kualitas
manusia. (p 43-44)
Alternatif Pendekatan Kritis Habermas dalam Akuntansi
Penggunaan alternatif teori kritis dapat diterapkan untuk menjelaskan praktik
akuntansi/auditing yang sebenarnya terjadi dan bagaimana upaya untuk mempernaiki praktik
yang sesungguhnya terjadi. Metodologi Teori Habermas dapat diterapkan untuk untuk menggali
praktik akuntansi/pengauditan yang sebenar nya terjadi. Obyek penelitian yang cocok adalah
dengan studi kasus. Misalnya jika diterapkan untuk melihat seberapa relevan praktik
pengauditan disespon oleh penggunai, dapat menggunakan studi kasus praktik pengauditan
dalam mengungkap kecurangan, korupsi, kolusi yang kini poputer di I ndonesia.
Beberapa studi yang mengambil pendekatan mainsteram mengindikasikan adanya
relevansi rendah atas hasil audit yang dilakukan akuntan publik. Berdasarkan studi-studi
terdahulu ini, tujuan teori kritis melihat pengauditan secara luas, bukan hanya
sebagai technical skills (pengecekan kebenaran pencatatan sampai dengan pelaporan),
melainkan melihat pengauditan sebagai suatu ilmu pengetahuan sosial yang selalu terkait
dengan manusia sebagai pencipta dan pemakai. Secara lebih spesifik, studi kritis dapat
melihat praktik pengauditan sebagai suatu ilmu pengetahuan dalam hubungannya dengan
manusia pelaku akuntansi (organisasi) dan faktor-faktor yang mempengaruhi praktik
pengauditan.
Landasan berpikir dan asumsi-asumsi yang mendasari adalah pengetahuan sosial yaitu
bahwa pengetahuan sosial itu keberadaannya dipengaruhi oleh konsep berpikir dan hasil
interpretasi nalar yang tidak terlepas dari pengaruh tata-nilai dan kepentingan . Setiap individu
menciptakan , membentuk (construct),mempertahankan dan merubah melalui interaksi
sosial, dalam hal ini interaksi melalui bahasa dan budaya.
Dalam dunia akuntansi, studi ini melihat bahwa ilmu pengetahuan pengauditan itu
dibentuk dan dipertahankan oleh para individu yang hidup dilingkungan akuntansi, yang pada
gilirannya, mereka akan merubahnya untuk melepaskan diri dari alinasi atau kesadaran
5
kekeliruannya ( false consciousness ). Dalam hal ini, penganut critical accounting
study berkeyakinan bahwa akuntansi/pengauditan itu tidak dapat dipahami secara terpisah atau
terlepas dani konteks sosial dimana ia diterapkan. Oleh karena itu, akuntansi/pengauditan harus
dianalisa secara menyeluruh ( holistic ).
Jadi untuk memperoleh pengetahuan yang sempurna, akuntansi/pengauditan harus
dipelajari dengan cara ini, bukan secara partial. Dengan lain perkataan,critical accounting
study adalah suatu pendekatan ilmu pengetahuan akuntansi/pengauditan yang menitik
beratkan peran manusia sebaga: pelaku akuntansi dengan cara/berusaha mengakomodasikan
seluruh kebiasaan/kenyataan sosial yang melingkupi dan mempengaruhi praktik akuntansi itu
sendiri. Namun, pendekatan critical tidak berhenti sampai taraf memperoleh ilmu pengetahuan
(Sawarjuwono, 2005: 90)
Secara singkat, pemilihan praktik pengauditan tertentu dipengaruhi oleh
berbagai faktor yang secara bersamaan dan serentak semuanya saling pengaruh dan
mempengaruhi. Kenyataan bahwa praktik pengauditan adalah sesuatu sistem yang
kompleks yang dipengaruhi oleh unsur manusia, perasaan (feeling), kepentingan
(interest), pertimbangan ekonomis dan peraturan. Studi kritis seharusnya bertujuan
untuk memahami mengapa akuntan atau auditor memilih suatu praktik pengauditan
tertentu. Kemudian, setelah memahami penyebab pemilihan tersebut, dilanjutkan
dengan upaya mencari teori-teori yang dapat diterapkan guna memperbaiki kondisi
praktik tersebut. Dengan lain perkataan, studi kritis tidak berhenti sampai pada tahap
memperoleh knowledge , tetapi aktivitas penelitian dilanjutkan sedemikian rupa
sehingga membawa dampak perbaikan pada obyek studi yang sedang dilakukan
penelitian.
Perbaikan ini akan dilakukan dengan merekontruksi konsep
akuntansi/pengauditan. Rekonstruksi ini haruslah didiskusikan dan dikomunikasikan dengan
pengguna, sehingga konsep baru yang diajukan benar-benar mempunyai tingkat persetujuan
yang tinggi dimata masyarakat. Tingginya tingkat persetujuan masyarakat ini berarti
menunjukkan tingginya kualitas akuntansi/pengauditan (lihat Kuhn, 1970: 94)
\
6
R eferensi
Achsin, 2006. Metodologi Penelitian: Meracik Pola, Modal Berburu Bukti Akuntansi
Forensik. Bahan Makalah Seminar Proposal Desertasi. Program Doktor Unibraw.
Chua, W. F. 1986. “Radical Developments in Accounting Thought”. The Accounting
Review 16(4): 601-632.
Fauzi, Ibrahim Ali. 2003. Seri Tokoh Filsafat: Jurge Habermas. Jakarta: Teraju – Kelompok
Mizan.
Fay, B. 1987. Critical Social Science: Liberation and its Limits. NewYork: Cornell UP
Fay, Lather 1992: 87
Burrel, Gibson dan Gareth Morgan. 1979. Sociological Paradigms and Organisational Analysis: Element of the Sociology of Corporate Life. London: Heinemann.
Chua, Wai Fong. 1986. Radical Development In Accounting Thought. The Accounting Review LXI (4).
Triyuwono, Iwan. 2006a. Akuntansi Syariah: Menuju Puncak Kesadaran Ketuhanan Manunggaling Kawulo Gusti. Pidato Pengukuhan Guru Besar. Unibraw.
7