paradigma hkum

29
KONSEPSI DAN AKTUALISASI HUKUM ISLAM DI INDONESIA (Sebuah Studi Historis-Politis) A. Latar Belakang Dalam sejarah pemikiran Islam, aspek hukum Islam mendapatkan porsi yang cukup dominan dan selalu aktual dibicarakan. Bukan hanya karena paradigma yang berkembang adalah syari’ah (fikih sentris) – terutama sejak memasuki awal abad ke II H- akan tetapi memang aspek hukum dalam Islam sangat terkait dengan penataan masyarakat secara konkrit. Menurut Nurcholish Madjid dari empat disiplin ilmu keislaman tradisional yang mapan yaitu ilmu fikih (hukum Islam), kalam, tasawuf, dan falsafah atau hikmah. 1 1 Dari empat disiplin ilmu keislaman tradisional ini, masing-masing dapat diidentikkan sebagai berikut: Ilmu fikih merupakan disiplin dengan bidang garapan segi-segi eksoteris (lahiriah agama), yaitu aspek legal-formal dari amalan keagamaan. Para ahli fikih juga disebut ahl al-zawahir (kelompok eksoteris). Ilmu tasawuf mementingkan segi esoteris (dimensi batin agam Islam) dan para ahlinya disebut ahl al-hawatin (kelompok esoteris). Ilmu kalam menggarap segi – segi rasional namun tetap lebih mengutamakan wahyu, seangkan falsafah menggarap segi – segi spekulatif dengan kecenderungan kuat kepada meode interpretasi metaforis kepada teks-teks suci. Dari keempatnya itu falsafah adalah yang paling kontroversial, disebabkan persandarannya kepada filsafat Yunani yang amat jauh. Namun ada bagian dari filsafat yan diterima hampir universal dikalangan muslim, yaitu logika formal (silogisme) Aristoteles, yang dalam peradaban Islam dikenal dengan ilmu manthiq. Selanjutnya, Nurcholish Madjid, Islam Doktrin Dan Peradaban, (Jakarta : Paramadina, 1995), 235 – 247.

Upload: tamrin-tbn

Post on 02-Jan-2016

27 views

Category:

Documents


1 download

DESCRIPTION

bbb

TRANSCRIPT

Page 1: Paradigma Hkum

KONSEPSI DAN AKTUALISASI HUKUM ISLAM DI INDONESIA (Sebuah Studi Historis-Politis)

A. Latar Belakang

Dalam sejarah pemikiran Islam, aspek hukum Islam mendapatkan porsi

yang cukup dominan dan selalu aktual dibicarakan. Bukan hanya karena paradigma

yang berkembang adalah syari’ah (fikih sentris) – terutama sejak memasuki awal

abad ke II H- akan tetapi memang aspek hukum dalam Islam sangat terkait dengan

penataan masyarakat secara konkrit. Menurut Nurcholish Madjid dari empat

disiplin ilmu keislaman tradisional yang mapan yaitu ilmu fikih (hukum Islam),

kalam, tasawuf, dan falsafah atau hikmah.1

Seiring dengan perkembangan Islam di dunia secara makro, di mana ummat

Islam sudah tersekat oleh batas-batas negara, etnis, dan geografis, hukum Islam pun

baik secara konseptual maupun praksis dituntut untuk menemukan formulasi yang

sesuai dengan habitatnya. Karena menilik realitas sekarang di negara-negara yang

mayoritas penduduknya muslim sangat kesulitan untuk menerapkan hukum Islam,

terlebih lagi kalau harus mengacu pada produk para Imam Mazhab tertentu dengan

argumentasi bahwa hukum Islam itu berlaku secara universal. Ini menjadi sebuah

1 Dari empat disiplin ilmu keislaman tradisional ini, masing-masing dapat diidentikkan sebagai berikut: Ilmu fikih merupakan disiplin dengan bidang garapan segi-segi eksoteris (lahiriah agama), yaitu aspek legal-formal dari amalan keagamaan. Para ahli fikih juga disebut ahl al-zawahir (kelompok eksoteris). Ilmu tasawuf mementingkan segi esoteris (dimensi batin agam Islam) dan para ahlinya disebut ahl al-hawatin (kelompok esoteris). Ilmu kalam menggarap segi – segi rasional namun tetap lebih mengutamakan wahyu, seangkan falsafah menggarap segi – segi spekulatif dengan kecenderungan kuat kepada meode interpretasi metaforis kepada teks-teks suci. Dari keempatnya itu falsafah adalah yang paling kontroversial, disebabkan persandarannya kepada filsafat Yunani yang amat jauh. Namun ada bagian dari filsafat yan diterima hampir universal dikalangan muslim, yaitu logika formal (silogisme) Aristoteles, yang dalam peradaban Islam dikenal dengan ilmu manthiq. Selanjutnya, Nurcholish Madjid, Islam Doktrin Dan Peradaban, (Jakarta : Paramadina, 1995), 235 – 247.

Page 2: Paradigma Hkum

agenda persoalan yang menyangkut posisi dan eksistensi hukum Islam di suatu

negara. Sebab semangat teologis umat Islam mengharuskan hukum Islam berlaku,

baik sebagai nilai-nilai normatif di masyarakat ataupun secara konstitusional

menjadi hukum negara yang sampai saat ini masih menjadi perdebatan panjang di

kalangan ulama.

Dari catatan sejarah, dapat dipahami bahwa di Indonesia terdapat pluralitas

sistem hukum, baik dari segi jenis dan waktunya. Jadi telah terdapat tiga sistem

hukum yang merupakan konsekuensi hukum yang dianut di Indonesia, yakni

pertama, dilihat dari segi pluralitas jenis penduduknya, dapat dikatakan bahwa

sistem hukum yang berlaku sejak zaman primitif dari kebiasaan atau adat-istiadat

sampai dengan keentuan yang diyakini bersama untuk dipatuhi. Ketika Indonesia

dijajah oleh kolonial Belanda, kebiasaan ini disebut dengan hukum adat.2

Kedua, dari segi agama, sudah pasti ada nilai-nilai agama yang telah

diyakini bersama dijadikan sisetm hukum dalam kehiduapan dan mengatur

hubungan antar sesama, kemudian diangap sebagai hukum. Oeh karena itu,

sebagai agama yang pemeluknya mayoritas di negeri ini maka hukum Islam

merupakan salah satu sistem hukum yang berlaku di tengah-tengah masyarakat.

Ketiga, sebagai negara yang pernah dijajah, maka sangat mungkin para penjajah

itu akan memaksakan hukumnya kepada masyarakat. Ini yang kemudian disebut

sebagai hukum sipil (civil law) yang selalu diidentikkan denagn hukum Barat.3

2 Dalam pengertianya yang dinamis, jenis hukum ini lebih tepat disebut dengan hukum kebiasaan (customary law) atau hukum yang hidup dalam masyarakat (living law). Namun hukum adat sebagai sebuah disiplin dan diteorikan secara baku terasa menjadi statis. Lengkapnya, A. Qadry Azizy, Eklektisisme Hukum Nasional Komepetisi Antara Hukum Islam dan Hukum Umum, (Yogyakarta: Gama Media, 2002), 109-110.

3 Mengidentikkan hukum Barat dengan hukum pemerintah Belanda adalah dalam pengertian yang statis dan berorientasi ke belakang. Oleh

2

Page 3: Paradigma Hkum

Sejarah hukum Indonesia membuktikan fakta bahwa dua sistem hukum

tersebut, yakni hukum Islam dan hukum adat sesunguhnya tidak dapat dipisahkan.

Paada era sebelum kemerdekaan, walaupun kekuatan kolonial berusaha

sedemikian rupa dalam rangka untuk merealisasikan politik devide at impera, dan

pemisahan antara kedua tradisi hukum tersebut, namun masyarakat Indonesia baik

dalam betuk sinkretik maupun puris, senantiasa melakukan proses harmonisasi

kedua sistem hukum ini dengan jalan pengkompromian ketika keputusan yang

berbeda muncul, dan melahirkan jalan keluar yang didasarkan pada elemen-

elemen yang diambil dari dua sistem hukum tersebut.

Hukum Islam masuk ke wilayah Indonesia ( dulu nusantara ) bersama-sama

dengan masuknya agama Islam di Indonesia. Sejak kedatangannya ia merupakan

hukum yang hidup (Living law) di dalam masyarakat.4 Bukan saja karena hukum

Islam merupakan entitas agama yang dianut oleh mayoritas penduduk hingga saat

ini, akan tetapi dalam dimensi amaliahnya di beberapa daerah ia menjadi bagian

tradisi (adat ) masyarakat, yang terkadang dianggap sakral. Ada beberapa daerah

yang hukum adatnya syarat dengan nilai-nilai hukum Islam antara lain Aceh ( kini

Nangroe Aceh Darussalam ), Padang, Minangkabau, Sulawesi Selatan, dan Riau.

Ungkapan petatah–petitih yang berkaitan dengan itu seperti “ adat bersendi Syara’,

Syara’ Bersendi Kitabullah “,5 dan Syara’ mengata, adat Memakai “ adalah

menjadi evidensi sirkumstansial ( dilalah qarinah ) dari tesis di atas.

karena itu dalam pengertiannya yang dinamis, maka hukum Barat ini harus dipahami sebagai hukum yang berasal dari luar, terutama sekali pengaruh dari negara-negara maju sebagai konsekunesi hubungan internasional dan majunya perwujudan era globalisasi. Ibid, 110-111.

4 Ahmad Azhar Basyir, “Corak lokal dalam hukum positif Islam di Indonesia (Sebuah Tinjauan Historis)”, Mimbar Hukum No. 13/Th. IV/1994), 29.

5 Ahmad Rofiq, Pembaharuan Hukum Islam Di Indonesia, (Yogyakarta, Gama Media, 2001), 72.

3

Page 4: Paradigma Hkum

Jadi, secara sosiologis dan kultural, hukum Islam adalah hukum yang

mengalir dan berurat akar pada budaya masyarakat. Hal tersebut disebabkan karena

fleksibilitas dan elastisitas yang dimiliki hukum Islam. Artinya, kendatipun hukum

Islam tergolong hukum yang non otonom – karena adanya otoritas Tuhan di

dalamnya – akan tetapi dalam tataran realitas ia sangatlah applicable dan

acceptable dengan berbagai jenis budaya lokal.6

Di akhir abad ke 19 dan awal abad ke 20 telah terjadi perubahan politik

hukum yang signifikan daripenjajah Belanda. Peruahan ini,klau ditelusri, tidak

lepas dari perkembangan politik dan reaksi para pejuang, terutama gejolak reaksi

dari para tokoh-tokoh Ilam dan masyarakat terhadap ssitem politik hukum

Belanda. Mak menjadi tak terhindarkan adalah terjadinya pergulatan sistem

hukum dengan tiga sistem lainnya, yakni hukum Adat, hukum Islam dan hukum

Barat.7

Hukum Islam dewasa ini sebagian merupakan hukum yang tidak tertulis

dalam kitab perundang-undangan, tetapi menjadi hukum yang hidup, berkembang

dan berlaku serta dipahami oleh masyarakat Islam yang berdiri sendiri di samping

undang-undang tertulis dan ini merupakan keharusan sejarah untuk memenuhi

kebutuhan serta hajat hidup masyarakat.

Perkara-perkara yang berhubungan dengan resolusi problem-problem

sepesifik bagi umat Islam Indonesia tidak seharusnya dibatasi oleh satu mazhab

saja (dalam hal ini yakni mazhab Syafi’i an sich) mazhab ini harus dikembangkan

sesuai dengan nilai-nilai lokal.

6 Marzuki Wahid dan Rumadi, Fikih Mazhab Negara (Yogyakarta; LKiS, 2001), 81.

7 Qadry Azizy, Eklektisme, 153

4

Page 5: Paradigma Hkum

Satu dekade kemudian, Hasby mengajukan pendapatnya tentang fikih

Indonesia dengan bahasa yang lebih koheren ketimbang apa yang telah ia diajukan

sebelumnya. Bermula dari premis yang sama dengan apa yang telah dikemukakan

oleh Hazarin, Hasby juga mendekati isu ini dengan sedikit perbedaan, yakni

dengan sengaja para eksponen hukum Islam untuk meningkatkan aktivitas ijtihad

dan konstruksi fikih ala Indonesia.8

Ide-ide inilah diantaranya yang telah melempangkan jalan bagi

terwujudnya sinkretisme nilai-nilai yang berasal dari adat maupun hukum Islam

ke dalam entitas hukum. Dalam bidang hukum keluarga–lah fenomena saling

akomodasi antara kedua sitem hukum ini paling menonjol. Pengakomodasian

lembaga wasiat wajibah, salah satunya adalah sebagian dari bentuk reformasi

hukum terhadap hukum kewarisan Islam dalam praktek di masyarakat. Dalam

KHI pasal 209 telah menggunakan wasiat wajib untuk membolehkan anak angkat

dan orang tua angkat untuk mengajuan klaim atas bagian tertentu dalam

pembagian warisan. Dasar dari reforamasi hukum ini sangat tergantung dari usaha

pengadopsian anak dalam lembaga adat masyarakat. 9

8 Dalam pandangannya Hasby, dalam hal ini berpenadapat bawa fikih yang dikembangkan oleh orang Indonesia selam ini tidak lain adalah fikih Hijazi, yang dibangun berdasarkan atas adat istiadat masyarakat Hijaz, atau fikih Misri yang diciptakan atas dasar adat istiadat Mesir. Dengan demikian, karakteristik yang khusus dari masyarakat Islam Indonesia menurutnya dikesampingkan, karena fikih asing tersebut dipaksakan berlakunya ke dalam komunitas lokal melalui taqlid (meniru secara membabi buta). Sehingga ia kemudian mempelopori pembangunan fikih baru oleh masyarakat Islam Indoensia yang berakar dari nilai-nilai yang khusus yang ada daam masyarakat setempat dan sumber-sumber dasar syari’ah dan logika hukum sebagaimana yang dikembangkan dalam semua mazhab hukum Islam. Selengkapnya, Hasby Ash-Shiddieqy, Syari;at Islam Menjawab Tantangan Zaman, (Jakarta: Bulan Bintang, 1966), 43-4.

9 Tentang penjelasan yang lebih jelas dalam proses dialog kedua lembaga hukum ini sekaligus pada tataran praktisnya dalam khidupan masyarakat dan proses positivisasinya dalam hukum nasional, lihat Ratno Lukito, Pergumulan, 75-91.

5

Page 6: Paradigma Hkum

Eksplanasi ini setidaknya telah menunjukkan adanya kenyataan bahwa

antara kedua sistem hukum ini memiliki hubungan harmonis dalam masyarakat

Indonesia. Walaupun konstelasi politik nasional yang senantiasa berubah telah

memberikan pengaruh kepada posisi lembaga peradilan dari kedua sistem hukum,

dengan terhapusnya pengadilan adat sebagai salah satu imbas dari perubahan ini,

proses kreasi hukum keluarga menjadi saksi terhadap ketahanan dari doktrin-

doktrin substanstif kedua sistem hukum dalam masyarakat.

Perlu ditambahkan dalam hal ini juga, bahwa dalam konteks fikih

mu’amalat, maka metodologi penggalian hukum yang dipergunakan

meniscayakan pendekatan yang kontekstual. Prinsip maslahat mursalah yang

sama artinya dengan istihsan dan sad adz-zari’ah serta urf (adat kebiasaan)

setempat dijadian sebagai sumber hukum yang dapat diterapkan pada masyarakat

pendukung adat (kebiasaan) tersebut.10

Perlu diketahui, bahwa Islam dengan ajaran dan perangkat hukumnya

adalah salah satu sistem hukum yang masih berlaku (di samping hukum Adat dan

hukum Barat). Jadi ditinjau dari teori sumber hukum bagi pembentukan hukum

nasional di Indonesia, maka hukum pidana Islam seharusnya merupakan salah

satu sumber hukum pembentukan hukum pidana nasional.

Cukup banyak penelitian yang menunjukkan adanya kecenderungan kuat

bahwa orang Islam menghendaki dan memperlakukan hukum Islam dalam

kehidupannya, termasuk dalam bidang hukum perkawinan dan kewarisan. Posisi

hukum selanjutnya tidak lagi ditentukan oleh politik hukum kolonial, tetapi

10 Nourouzzaman Shiddiqi, Fiqih Indonesia Penggagas dan Gagasannya, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1997), 240.

6

Page 7: Paradigma Hkum

diselaraskan dengan kebijakan hukum nasional, terutama sebagaimana digariskan

dalam GBHN (Garis-garis Besar Haluan Negara). Kebijakan yang kelihatannya

telah diterima adalah bahwa dalam konteks pembinaan hukum nasional, hukum

Islam menjadi salah satu bahan dan sumber, selain dari hukum adat dan hukum

Barat.

Hukum Islam dewasa ini sebagian merupakan hukum yang tidak tertulis

dalam kitab perundang-undangan, tetapi menjadi hukum yang hidup, berkembang

dan berlaku serta dipahami oleh masyarakat Islam yang berdiri sendiri di samping

undang-undang tertulis dan ini merupakan keharusan sejarah untuk memenuhi

kebutuhan serta hajat hidup masyarakat. Dari sudut pandang filsafat, tepat kiranya

meninjau nilai-nilai hukum Islam dan eksistensinya dalam praktek Pengadilan

Agama. Putusan atau penetapan adalah hasil dari proses peradilan yang harus

mengedepankan perasaan keadilan dan penggapaian kemaslahatan masyarakat.

Kekuatan putusan sangat mempengaruhi materi hukum yang dijadikan dasar

putusan tersebut. Sebaliknya putusan yang tidak mempunyai daya ikat

mengakibatkan tidak dihargainya putusan tersebut. Dengan demikian hukum Islam

akan mengalami nasib yang sama jika tidak mempunyai daya ikat dan

ditransformasikan dalam praktek perundang-undangan negara.11

Dalam konteks ini, masih perlu diformulasikan model artikulasi hukum

Islam yang tepat dalam wacana kebangsaaan dan kenegaraan. Maka untuk

mengarah pada pretensi ini layak kiranya bagi kita sebagai insan muslim untuk

11 Idris Ramulyo, Asas Asas–asas Hukum Islam; Sejarah Timbul dan Berkembangnya, (Jakarta: Sinar Grafika, 1997), 52

7

Page 8: Paradigma Hkum

berijtihad mencari ruang yang pas bagi perjalanan hukum Islam pada situasi yang

dapat “menegara” dan “membangsa”.

B. Rumusan Masalah

Dengan mencermati latar belakang di atas, maka di sini dapatlah diajukan

pertanyaaan mendasar sebagai pokok masalah:

1. Bagaimana konsep hukum Islam dalam realitas masyarakat Indonesia ?

2. Bagaimana formulasi aktualisasi hukum Islam di Indonesia dalam

konteks kebangsaan dan kenegaraan ?.

C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian

Tujuan penyusunan dalam penelitian ini adalah untuk mengkaji secara

mendalam tentang bagaimana konsepsi hukum Islam dalam masyarakat Islam

Indonesia. Kajian ini selanjutnya melakukan bagaimana formulasi aktualisasi

hukum Islam tersebut terlaksana dalam realitas masyarakat Indonesia dan dalam

konteks kebangsaan dan kenegaraan.

Adapun urgensi dari penelitian ini diharapkan memberikan

kontribusi referensial bagi pengamat hukum secara secara

khusus dan bagi masyarakat pada umumnya, demi

pembangunan hukum nasional yang secara substansial

memberikan keadilan bagi semua elemen masyarakat,

khususnya umat Islam Indonesia. Di samping itu juga, dengan

kajian ini akan dapat menambah pengkayaan literatur-literatur

dalam diskursus antara hukum Islam dan tata hukum nasional.

8

Page 9: Paradigma Hkum

Hal ini penting guna menumbuhkan proses pemahaman dan

kesadaran hukum sekaligus membangun hukum nasional yang

beridentitas ke-Indonesia-an.

D. Kerangka Teori

1. Realitas Hukum Di Indonesia

Menyikapi upaya-upaya legislasi dan legalisasi hukum Islam di Indonesia

dalam bebebapa tahun belakangan ini kian menunjukkan eksistensi hukum Islam

makin kokoh secara yuridis, maka muncullah gagasan untuk mengeleminasi dan

melakukan distorsi sedemikian rupa oleh kolonial. Ide-ide ini dikemas dalam

konsep Het Indishe Adatrecht yang datang dari Van Bollenhoven dan dipelopori

oleh C.S. Hurgronye (1857 – 1936) yang kemudian dikenal dengan Teori Receptie.

Menurut teori ini hukum yag berlaku bagi ummat Islam adalah hukum adat mereka

masing-masing. Hukum Islam dapat berlaku apabila telah diresepsi oleh hukum

adat. Jadi hukum adatlah yang menentukan ada tidaknya hukum Islam. Klaim

distorsif ini sangat berpengaruh hingga sekarang, sehingga sangat wajar bila

Hazarain menyebutnya sebagai teori “ iblis “.12

Demikianlah kedudukan politik hukum Islam pada masa pra kemerdekaan,

hukum Islam berada pada posisi yang tidak pasti. Di samping didorong oleh

kepentingan kolomialisme, juga dikarenakan bahwa negara jajahan belum

12 Ahmad Rofiq, Hukum Islam dalam Sistem PolitikHukum Nasional, Makalah disampaikan pada SarNas dan Kongres II FORMASI SMF Syari’ah IAIN Walisongo Semarang, 1997), 4. Hal yang sama juga, Ahmad Rofiq, Pembaharuan Hukum, 68.

9

Page 10: Paradigma Hkum

mempunyai sistem hukum yang mampu mengakomodasi pluralitas hukum yang ada

dalam masyarakat.

Setelah Indonesia merdeka, Pancasila dan UUD 1945 telah ditetapkan

sebagai sumber hukum, maka dalam konteks pemberlakuan hukum Islam mucul

beberapa teori sebagai counter theory terhadap teori masa kolonial. Paling tidak

ada tiga teori yaitu : Pertama, teori receptie harus exit ( keluar ) dari teori hukum

nasional Indonesia karena bertentangan dengan UUD 1945 serta Al-Quran dan al-

Hadis. Kedua, teori receptio a contrario dikemukakan oleh Sayuti Thalib, yang

menyatakan bahwa hukum yang berlaku bagi rakyat adalah hukum agamanya,

hukum adat hanya berlaku jika tiak bertentangan dengan agama ; Ketiga yaitu teori

eksistensi yang mempertegas teori receptio a contrario dalam hubungannya dengan

hukum nasional. Menurut teori ini, hukum Islam ada dalam arti sebagai bagian

integral dari hukum nasional, ada dalam arti dengan kemandiriannya dan kekuatan

wibawanya, ia diakui oleh hukum nasional serta diberi status sebagai hukum

nasional, ada dalam arti norma yang berfungsi sebagai penyaring bahan-bahan

hukum nasional dan hukum Islam ada dalam arti sebagai bahan utama dan sumber

utama hukum nasional.13

2. Aktualisasi Hukum Islam : Problem dan Solusi

Ikhtiar aktualisasi hukum Islam di Indonesia masih saja memunculkan

situasi yang polemis, bahkan paradoks, tidak hanya pada segmen teknis yuridis

melainkan bersinggungan pula dengan realitas politik kenapa ? Pertama, karena

wacana hukum Islam berada pada titik tengah antara paradigma agama (entitas

13 Abdul Halim, Peradilan Agama Dalam Politik Hukum Islam di Indonesia, (Jakarta Raja Grafindo Persada, 2000 ), 83-84.

10

Page 11: Paradigma Hkum

sakral) dan paradigam negara (entitas profan). Tarik menarik yang terjadi antara dua

paradigma itulah – melaksanakan misi suci agama dan legitimasi negara atas

pluralitas – yang kemudian secara nyata menebarkan asap ketegangan

(antagonistis). Situasinya jelas mengapa peranan hukum Islam rumit ? Karena

hukum Islam berada di wilayah agama sekaligus negara.

Kedua, aktualisasi hukum Islam berada di “daerah rawan konflik” antar

agama itu sendiri. Dalam masyarakat yang multi agama, implementasi -apalagi

desiminasi – suatu agama akan menjadi ancaman bagi agama lainnya. Di sini

integritas negara bangsa mendapat taruhan besar. Oleh sebab itu untuk menjaga

komitmen atas pluralitas, akan ditemui realitas hukum Islam yang direduksi sampai

pada tingkat yang mana “orang lain “ tidak merasa terancam.

Adapun kerangka berpikir tentang paradigma aktualisasi tersebut, berpijak

pada dua persoalan pokok. Pertama, menyangkut bangunan konsep epistemologis

hukum Islam, dan kedua adalah aspek politik dan sistm hukum di Indonesia, baik

itu sebagai norma yang hidup dan di patuhi di masyarakat ataupun dalam bentuk

legislasi. Diskursus tentang hal ini harus berangkat dari pola pikir yang holistic,

termasuk tentang hukum Islam dan negara. Oleh karenanya, antara dimensi

epistemologis hukum Islam dan politik serta sistem hukum di Indonesia saling

berkait dan tidak dapat dipisahkan.

Hukum Islam dengan sifat universalitasnya sebenarnya menuntut berlaku

tanpa batas waktu dan tempat. Akan tetapi realitas ummat Islam sudah tersekat

secara geografis dan sosial, sehingga persoalannya menjadi krusial. Upaya

aktualisasi hukum Islam akan berhadapan dengan masalah pluralitas budaya dan

11

Page 12: Paradigma Hkum

kebangsaan, sekaligus pilihan politik negara yang pluralis tadi. Dari sinilah tuntutan

relevansi aktualitas dan fleksibilitas hukum Islam berangkat. Ujung-ujungnya

adalah keharusan adanya pembaharuan hukum Islam agar mampu merespon

tuntutan realitas perkembangan dalam kehidupan manusia.

Tuntutan aktualisasi hukum Islam di Indonesia memang cukup beralasan.

Menurut Mahfud, setidaknya ada dua alasan mengapa ikhtiar mencari peluang

aktualisasi hukum Islam di Indonesia selalu timbul, pertama, secara nyata pemeluk

Islam merupakan mayoritas dengan segala variannya (87 %) yang tentunya

memiliki ide dan kesadaran hukum yang khas, kedua, dalam realitasnya upaya

memperjuangkan berlakunya hukum Islam bagi ummat Islam sering timbul

meskipun tidak semua tokoh atau gerakan Islam selalu menyetujuinya dikarenakan

oleh setiap komunitas (yang pro-kontra) memiliki referensi nilai dan preferensi

kepentingan yang tidak seragam, sehingga ketidak seragaman itu pada gilirannya

membawa konsekuensi perbedaan dalam mensikapi ide tersebut.14

Alasan lain yang perlu dikemukakan di sini adalah karena hukum Islam di

Indonesia mempunyai potensi historisitas yang sangat kuat. Sejak zaman kolonial

sampai posteolonial, berlakunya hukum Islam sudah mendapat pengakuan, bahkan

dalam bentuk legislasi dan konstitusi, walaupun hal itu dalam segmen-segmen

tertentu.

Dalam graduasi perkembangan hukum Islam di Indonesia, lahirnya Piagam

Jakarta merupakan buah perjuangan ummat Islam secara ideologis. Dengan

Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945 dan berlakunya UUD 1945 –walaupun

14 Moh. Mahfud MD, Draft Kuliah Hukum Islam Dalam Sistem Hukum Nasional, PPs IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, 1.

12

Page 13: Paradigma Hkum

di dalamnya tidak dimuat tujuh kata Piagam Jakarta - maka teori “resepsi”

kehilangan dasar hukumnya. Sebab dasar hukum teori resepsi adalah IS ( Indische

Staatsregeling ) sehingga dengan berlakunya UUD 1945 IS tidak berlaku lagi.

Selanjutnya hukum Islampun berlaku bagi warga bangsa Indonesia yang beragama

Islam karena kedudukan hukum Islam itu sendiri, bukan karena ia telah diterima

oleh hukum adat.

Selama 14 tahun –sejak ditandatanganinya gentlement agreement antara

para pemimpin nasionalis sekuler dan nasionalis Islami pada tanggal 22 Juni 1945

sampai dengan saat diundangkannya Dekrit Presiden 5 Juli 1959 – kedudukan

ketentuan “ kewajiban menjalankan syari’at Islam bagi pemeluk-pemeluknya “

adalah sebagai persuasive source.

Adapun setelah ditempatkannya Piagam Jakarta dalam dekrit Presiden,

maka Piagam Jakarta atau penerimaan hukum Islam menjadi authoritative source

dalam hukum tata negara Indonesia, bukan sekedar persuasive source. Oleh

karenanya, dengan sila pertama Piagam Jakarta yang tetap menjadi dokumen

historis bagi pembuatan hukum selanjutnya, maka tidak boleh dan tidak dibenarkan

adanya produk-produk hukum yang bertentangan dengan nilai-nilai hukum Islam.15

E. Telaah Pustaka

Penelitian tentang tema yang penyusun sajikan ini, khususnya tentang

konfigurasi politik dan hukum sebenarnya telah cukup banyak dilakukan dengan

beragam analisis, pendekatan, dan bidang yang menjadi ranah obyek penelitian.

15 Ismail Sunny, Kedudukan Hukum Islam Dalam Sistem Ketatanegaraan Indonesia, dalam Amrullah Ahmad dkk, Dimensi Hukum Islam Dalam Sistem Hukum Nasional, ( Jakarta ; Gema Insani Press, 1996 ), 133-134.

13

Page 14: Paradigma Hkum

Adapun diantara penelitian yang dimaksudkan antara lain, tesis Ahmatrijar,

Transformasi Hukum Islam ke dalam Hukum Nasional (Studi tentang Sejarah

Sosial Hukum Islam di Indonesia Tahun 1974-1998). Penelitian ini

mengungkapkan proses taqnin (pengundang-undangan) hukum Islam di Indonesia

yang dilatar belakangi oleh tiga hal yakni, adanya tuntutan dari institusi seperti

Pengadilan Agama, adanya tuntutan politik, yakni bahwa hukum Islam di

Indonesia sebagai suatu sistem hukum juga dipengaruhi oleh Adat dan Agama,

dan terakhir bahwa keutamaan hukum Islam dalam dimensi hukum Nasional itu

sendiri.

Penelitian puncak yang sebenarnya dari kajian-kajian politik hukum ini

memang direpresentasikan oleh Moh.Mahfud yang berjudul Politik Hukum di

Indonesia. Penelitian ini membahas tentang keterkaitan antara sistem politik dan

sistem hukum, dimana konfigurasi politik akan sangata berpengaruh pada lahirnya

produk hukum yang dikeluarkan. Konfigurasi politik terhadap hukum ini

mengambil bentuk antara lain seperti: KHI, PA, dan UU No. 1 Tahun 1974.

Satu lagi penelitian yang dilakukan oleh Marzuki Wahid dan Rumadi,

Fikih Mazhab Negara Kritik Atas Politik Hukum Islam di Indonesia. Isu yang

dijadikan fokus bahasan yakni bagaimana menjelaskan sedikit dari kehendak

sosial politik negara Orde Baru berikut beberapa konsekuensi politik dari legislasi

hukum Islam, baik dalam cerminan sejarah maupun pantulan kekinian. Kompilasi

Hukum Islam dalam proses pembentukannya ternyata tidak steril dari

kepentingan-kepentingan politik di dalamnya.

14

Page 15: Paradigma Hkum

Adapun penelitian ini akan melakukan pembacaan atas wacana politik

hukum Islam dan aktualisasinya dalam beberapa tahun belakangan ini dengan

melihat secara historis proses perkembangan dan aktualisasi hukum Islam secara

umum sampai detik ini, baik dalam lingkup perdata maupun pidana.

F. Metode Penelitian

1. Jenis Penelitian

Penelitian ini adalah penelitian pustaka (library research). Oleh karena itu,

maka teknik yang digunakan adalah pengumpulan data secara literer, yakni

penggalian bahan-bahan pustaka yang koheren dengan obyek pembahasan.

2. Sifat Penelitian.

Penelitian ini bersifat deskriftif-analitik, yaitu menuturkan,

menggambarkan dan mengklarifikasikan secara obyektif data-data tentang

peraturan-peraturan doktrinal hukum negara-negara muslim yang dikaji, sekaligus

melakukan analisis terhadap data tersebut.

3. Pendekatan Masalah

Pendekatan masalah yang dipergunakan peneliti dalam hal ini adalah

pendekatan historis-sosiologis. Pendekatan historis adalah dengan melacak proses

munculnya gagasan dan ide pembaharuan guna melaksanakan ide aktualisasi

hukum tersebut, sedangkan pendekatan sosiologis dalam konteks ini adalah

dengan pendekatan dengan melakukan analisis atas fakta-fakta dan realitas sosial

masyarakat yang kian menggejala guna melacak segala permasalahan dalam

penelitian.

15

Page 16: Paradigma Hkum

4. Sumber Data.

Adapun sumber pokok dalam penelitian ini adalah karya Moh. Mahfud

MD tentang Politik Hukum di Indonesia, dan karya-karya tulisan lainnya yang

tersebar dalam pelbagai buku, majalah, jurnal, dan karya lainnya yang koheren

dengan obyek pembahasan.

Adapun sumber sekunder dalam penelitian ini berupa karya-karya ilmiah

lainnya yang secara langsung maupun tidak langsung berkaitan dengan tema

dimaksud.

5. Analisis Data.

Adapun metode analisis data yang dipergunakan dalam hal ini adalah

dengan metode analisis isi (content analysis), yakni dengan analisis terminologi

hukum Islam dengan pelbagai variannya. Selanjutnya dilakukan studi historis

tentang perkembangan konsepsi dan aktualisasi hukum Islam yang tengah

berlangsung dalam tataran pembangunan etika seluruh elemen masyarakat, baik

dalam dimensi struktural (politik) maupun kultural. Pencarian dan pelacakan nilai-

nilai yang melintasi heterogenitas sosial budaya masyarakat juga sebagai penguat

dan justifikasi adanya keterkaitan unsur-unsur pembentuk hukum yang hidup di

masyarakat untuk mempertajam analisis tentang aktualisasi hukum Islam di

Indonesia sebagaimana dimaksud.

G. Sistematika Pembahasan

16

Page 17: Paradigma Hkum

Sistematika pembahasan penelitian ini disusun dalam lima bab yang

terdiri dari bagian pendahuluan, isi dan penutup. Bab pertama adalah pendahuluan

dengan memaparkan argumentasi praktis yang menjadi latar belakang timbulnya

penelitian, kegelisahan akademis dalam bentuk pokok masalah, tujuan penelitian,

kerangka teori, telaah pustaka, dan metode penelitian yang dipergunakan.

Pada bab kedua, penyusun melakukan identifikasi tentang hubungan

Islam dan Negara yang terpolarisasi dalam berbagai alternatif politiknya. Hal ini

penting dalam pengamatan penyusun karena akan mempunyai pengaruh besar

terhadap konfigurasi politik hukum yang tercipta nantinya.

Pada bab ketiga sebagai kelanjutan dari bab kedua di atas, maka

dilakukan penjelasan secara teoritis tentang sistem, kedudukan, dan fungsi hukum

Islam dalam tataran tata hukum Nasional. Selanjutnya, bab ini juga akan

menjelaskan tentang proses pembaharuan hukum yang telah terjadi dalam

beberapa dekade belakangan ini sebagai wujud keberadaan sistem hukum Islam

dan secara politis merupakan mayoritas.

Sebagai bab analisis, maka pada bab keempat, penyusun akan melakukan

analisis tentang aktualisasi hukum Islam, baik secara historis-politis. Kajian ini

akan melihat bagaimana korelasi polarisasi politik dan hukum yang mewarnai

proses aktualisasi hukum Islam di Indonesia.

Sebagai akhir penulisan, pada bab kelima, berisikan kesimpulan dan

penutup. Urgensi penelitian lanjutan dalam hal ini dimasukkan dalam bagian

saran-saran.

17

Page 18: Paradigma Hkum

DAFTAR PUSTAKA

Nurcholish Madjid, Islam Doktrin Dan Peradaban, cet. III (Jakarta: Paramadina, 1995).

A. Qadry Azizy, Eklektisisme Hukum Nasional Komepetisi Antara Hukum Islam dan Hukum Umum, (Yogyakarta: Gama Media, 2002).

Ahmad Azhar Basyir, Corak lokal dalam hukum positif Islam di Indonesia (Sebuah Tinjauan Histori ), Dalam Mimbar Hukum No. 13/Th. IV/1994).

Ahmad Rofiq, Pembaharuan Hukum Islam Di Indonesia, ( Jogjakarta, Gama Media, 2001 ).

Marzuki Wahid dan Rumadi, Fikih Mazhab Negara ( Jogjakarta; LkiS, 2001).

Juhaya S. Praja, Hukum Islam di Indonesia Pemikiran dan Praktek, dalam Kata Pengantar, (Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 1994).

Hasby Ash-Shiddieqy, Syari’at Islam Menjawab Tantangan Zaman, (Jakarta: Bulan Bintang, 1966).

Ratno Lukito, Pergumulan Antara Hukum Islam dan Adat di Indoneisa, (Jakarta:

INIS, 1998).

Nourouzzaman Shiddiqi, Fiqih Indonesia Penggagas dan Gagasannya, (Jogjakarta: Pustaka Pelajar, 1997).

Idris Ramulyo, Asas Asas–asas Hukum Islam;Sejarah Timbul dan Berkembangnya (Jakarta ; Sinar Grafika, 1997).

Abdul Halim, Peradilan Agama Dalam Politik Hukum Islam di Indonesia, (Jakarta Raja Grafindo Persada, 2000).

Moh. Mahfud MD, Draft Kuliah Hukum Islam Dalam Sistem Hukum Nasional, PPs IAIN Sunan Kalijaga, Jogjakarta).

Ismail Sunny, Kedudukan Hukum Islam Dalam Sistem Ketatanegaraan Indonesia, dalam Amrullah Ahmad dkk, Dimensi Hukum Islam Dalam Sistem Hukum Nasional, (Jakarta: Gema Insani Press, 1996).

18

Page 19: Paradigma Hkum

19