paper ta - model hidrogeologi dan sistem panasbumi lapangan “x”, kabupaten minahasa, sulawesi...

26
1 MODEL HIDROGEOLOGI DAN SISTEM PANASBUMI LAPANGAN “X”, KABUPATEN MINAHASA, SULAWESI UTARA MENGGUNAKAN ANALISIS GEOKIMIA DAN ALTERASI MINERAL Fikri Adam Dermawan 1 , Untung Sumotarto 1 , Mulyanto 2 1 Program Studi Teknik Geologi, Fakultas Teknologi Kebumian dan Energi, Universitas Trisakti 2 PT. Pertamina Geothermal Energy, Jakarta email: [email protected] ABSTRACT Sulawesi island has a very complex geological condition caused by collision of three major tectonic plates, those are Indian-Australian plate, Pasific plate and Eurasian plate. This condition has been affecting the geological history of North Sulawesi volcano’s activity which has been activated since early Miocene until now. Dilational fractures control the presence of geothermal manifestation in the research area. Geothermal system in the research area is included in high relief system which the heat source comes from magma. There are two types of manifestation, those are hot spring and fumarol. The approximate reservoir temperature is about 280 o 290 o C and goes down toward the outflow zone. The reservoir fluid type of this geothermal system is liquid dominated. Based on geochemical analysis the upflow zone is located on MAP1 and Fum1 (Southwest of research area) and the outflow zone flowing toward the Tondano lake (Norteast and East of research area). Geothermal system in the research area consists of three compiler units, those are cap rock which is composed of argillic zone, transition zone which is composed of outer propylitic and reservoir which is composed of propilitic zone. Keyword: Geothermal system, reservoir, temperature, alteration zone, upflow, outflow SARI Pulau Sulawesi memiliki kondisi geologi yang sangat kompleks disebabkan oleh tumbukan tiga lempeng besar, yaitu lempeng Indo-Australia, lempeng Pasifik dan lempeng Eurasia. Kondisi ini mempengaruhi sejarah aktivitas gunungapi dari Sulawesi Utara yang aktif sejak Miosen awal hingga saat ini. Rekahan dilational adalah kontrol utama dari hadirnya manifestasi di daerah penelitian. Sistem panasbumi di daerah penelitian ini termasuk ke dalam sistem dataran tinggi dengan sumber panas berasal dari magma. Terdapat dua jenis manifestasi, yaitu mataair panas dan fumarola. Temperatur reservoir di daerah penelitian berkisar 280 o 290 o C dan mengalami penurunan temperatur ke arah zona outflow. Tipe reservoir dari sistem panasbumi ini adalah liquid dominated. Berdasarkan analisis geokimia, zona upflow berada pada MAP1 dan Fum1 (Bagian baratdaya dari daerah penelitian) dan zona outflow mengalir ke arah danau Tondano (Bagian timurlaut dan timur dari daerah penelitian). Sistem panasbumi daerah penelitian terdiri atas tiga komponen penyusun yaitu batuan penudung yang tersusun atas alterasi zona argilik, zona transisi yang tersusun atas alterasi zona outer propylitic dan reservoir yang tersususn atas alterasi zona propilitik. Katakunci: Sistem panasbumi, reservoir, temperatur, zona alterasi, upflow, outflow

Upload: fikri-dermawan

Post on 15-Jul-2015

569 views

Category:

Documents


34 download

TRANSCRIPT

Page 1: Paper TA - MODEL HIDROGEOLOGI DAN SISTEM PANASBUMI LAPANGAN “X”, KABUPATEN MINAHASA, SULAWESI UTARA MENGGUNAKAN ANALISIS GEOKIMIA DAN ALTERASI MINERAL

1

MODEL HIDROGEOLOGI DAN SISTEM PANASBUMI LAPANGAN “X”, KABUPATEN

MINAHASA, SULAWESI UTARA MENGGUNAKAN ANALISIS GEOKIMIA DAN

ALTERASI MINERAL

Fikri Adam Dermawan1, Untung Sumotarto

1, Mulyanto

2

1Program Studi Teknik Geologi, Fakultas Teknologi Kebumian dan Energi, Universitas Trisakti

2PT. Pertamina Geothermal Energy, Jakarta

email: [email protected]

ABSTRACT

Sulawesi island has a very complex geological condition caused by collision of three major

tectonic plates, those are Indian-Australian plate, Pasific plate and Eurasian plate. This condition has

been affecting the geological history of North Sulawesi volcano’s activity which has been activated

since early Miocene until now. Dilational fractures control the presence of geothermal manifestation

in the research area. Geothermal system in the research area is included in high relief system which

the heat source comes from magma. There are two types of manifestation, those are hot spring and

fumarol. The approximate reservoir temperature is about 280o – 290

oC and goes down toward the

outflow zone. The reservoir fluid type of this geothermal system is liquid dominated. Based on

geochemical analysis the upflow zone is located on MAP1 and Fum1 (Southwest of research area)

and the outflow zone flowing toward the Tondano lake (Norteast and East of research area).

Geothermal system in the research area consists of three compiler units, those are cap rock which is

composed of argillic zone, transition zone which is composed of outer propylitic and reservoir which

is composed of propilitic zone.

Keyword: Geothermal system, reservoir, temperature, alteration zone, upflow, outflow

SARI

Pulau Sulawesi memiliki kondisi geologi yang sangat kompleks disebabkan oleh tumbukan

tiga lempeng besar, yaitu lempeng Indo-Australia, lempeng Pasifik dan lempeng Eurasia. Kondisi ini

mempengaruhi sejarah aktivitas gunungapi dari Sulawesi Utara yang aktif sejak Miosen awal hingga

saat ini. Rekahan dilational adalah kontrol utama dari hadirnya manifestasi di daerah penelitian.

Sistem panasbumi di daerah penelitian ini termasuk ke dalam sistem dataran tinggi dengan sumber

panas berasal dari magma. Terdapat dua jenis manifestasi, yaitu mataair panas dan fumarola.

Temperatur reservoir di daerah penelitian berkisar 280o – 290

oC dan mengalami penurunan

temperatur ke arah zona outflow. Tipe reservoir dari sistem panasbumi ini adalah liquid dominated.

Berdasarkan analisis geokimia, zona upflow berada pada MAP1 dan Fum1 (Bagian baratdaya dari

daerah penelitian) dan zona outflow mengalir ke arah danau Tondano (Bagian timurlaut dan timur dari

daerah penelitian). Sistem panasbumi daerah penelitian terdiri atas tiga komponen penyusun yaitu

batuan penudung yang tersusun atas alterasi zona argilik, zona transisi yang tersusun atas alterasi zona

outer propylitic dan reservoir yang tersususn atas alterasi zona propilitik.

Katakunci: Sistem panasbumi, reservoir, temperatur, zona alterasi, upflow, outflow

Page 2: Paper TA - MODEL HIDROGEOLOGI DAN SISTEM PANASBUMI LAPANGAN “X”, KABUPATEN MINAHASA, SULAWESI UTARA MENGGUNAKAN ANALISIS GEOKIMIA DAN ALTERASI MINERAL

2

1. PENDAHULUAN

Indonesia memiliki 40% dari total potensi global

di energi panasbumi yang diperkirakan sebesar

27.000 MW (Darma, et al., 2010), dimana propinsi

Sulawesi Utara memiliki potensi panasbumi

sebesar 865 MW (Wahyuningsih, 2005). Potensi

sumber daya panasbumi pada daerah penelitian

“X” diperkirakan mencapai 200 Mwe.

Daerah penelitian “X” berada pada zona “ring of

fire”, yang diapit oleh tiga lempeng besar yang

saling bertumbukan, yaitu: lempeng Indo-

Austrasilia, lempeng Pasifik dan lempeng Eurasia.

Manifestasi panasbumi pada daerah ini adalah

solfatara, mataair panas, alterasi hidrothermal dan

endapan sulfur. Lapangan panasbumi “X”,

Kabupaten Minahasa, Sulawesi Utara telah

memasuki tahapan pemboran eksplorasi dan

pengembangan.

2. TATANAN GEOLOGI

2.1 Geologi Regional

Pulau Sulawesi memiliki kondisi geologi yang

sangat kompleks. Kondisi ini diakibatkan oleh

diapitnya pulau Sulawesi oleh tiga lempeng

tektonik besar, yaitu: lempeng Indo-Australia yang

bergerak ke arah utara, lempeng Pasifik yang

bergerak kearah barat dan lempeng Eurasia yang

bergerak ke arah selatan-tenggara serta lempeng

yang lebih kecil yaitu lempeng Filipina (Gambar

1).

Gambar 1. Zona batas lempeng Indonesia berdasarkan Hall dan Wilson (2000), area dengan

warna abu-abu muda adalah zona tabrakan lempeng Eurasia, Indo-Australia dan Pasifik-Laut

Filipina.

Page 3: Paper TA - MODEL HIDROGEOLOGI DAN SISTEM PANASBUMI LAPANGAN “X”, KABUPATEN MINAHASA, SULAWESI UTARA MENGGUNAKAN ANALISIS GEOKIMIA DAN ALTERASI MINERAL

3

2.2 Tatanan Tektonik Regional

Tatanan tektonik regional pulau Sulawesi dan

sekitarnya dibagi menjadi lima daerah tektonik

(Gambar 2) (Darman dan Sidi, 2000) yaitu:

1. Busur Vulkanik Sulawesi Bagian Barat:

Berumur Tersier, terdiri dari batuan

plutonik-vulkanik berumur Paleogen-

Kuarter, batuan sedimen dan metamorf

berumur Mesozoik-Tersier.

2. Busur Vulkanik Minahasa-Sangihe:

Berumur Miosen Tengah-Kuarter, terdiri

dari sebaran batuan vulkanik dan batuan

sedimen yang berumur Miosen Awal yang

ditutupi oleh batuan vulkanik Kuarter di

atasnya.

3. Sabuk Metamorfik Sulawesi Bagian

Tengah: Aktivitas magmatik berkomposisi

kalk-alkali potasik muncul di sepanjang

zona sesar mendatar mengiri Palu-Koro,

tersusun atas berbagai macam jenis

granitoid dengan komposisi mineral utama

adalah biotit dan hornblende. Granitoid yang

muncul di daerah ini diperkirakan

berhubungan dengan tumbukan yang terjadi

antara mikrokontinen Banggai-Sula dengan

Pulau Sulawesi selama Miosen Tengah.

Berdasarkan Hamilton (1979), Sulawesi

bagian tengah adalah pertemuan batuan

blue-schist dan melange Sulawesi Timur

berumur Kapur Akhir dengan batuan

granitik dan volkanik Sulawesi Barat

berumur Neogen.

4. Sabuk Ofiolit Sulawesi Bagian Timur:

Berumur Mesozoik-Paleogen, sabuk ofiolit

pada daerah ini ditutupi oleh sedimen

pelagic. Zona ini terdiri dari batuan mafik

dan ultramafik, batuan sedimen dan

melange. Batuan ultramafik banyak

ditemukan di lengan tenggara Sulawesi,

batuan mafik ditemukan di lengan timur

Sulawesi.

5. Fragmen Mikrokontinen Banggai-Sula:

Fragmen kontinen (berumur Paleozoik) di

Sulawesi tengah, Sulawesi Tenggara dan

Banggai Sula-Buton dipercaya berasal dari

bagian utara kontinen Australia yang

mungkin berpisah dengan kontinen pada

umur Jura dan bergerak ke arah timurlaut ke

posisi sekarang. Batuan metamorfik tersebar

luas di bagian timur Sulawesi Tengah,

lengan tenggara dan pulau Kabena.

Daerah penelitian terletak di kabupaten Minahasa,

Sulawesi Utara yang termasuk ke dalam daerah

tektonik Busur Vulkanik Minahsa-Sangihe yang

memiliki rangkaian gunungapi Kuarter berarah

timurlaut-baratdaya.

Gambar 2. Peta tatanan Tektonik pulau Sulawesi

(Darman dan Sidi, 2000)

Berdasarkan batas tektonik, daerah penelitian

berbatasan dengan palung Sulawesi Utara (North

Sulawesi trench) pada bagian barat dan utara, jalur

penunjaman lempeng Laut Maluku pada bagian

timur dan Cekungan Gorontalo pada bagian

selatan. Saat ini, cekungan Laut Sulawesi

tersubduksi di sepanjang palung Sulawesi utara

Page 4: Paper TA - MODEL HIDROGEOLOGI DAN SISTEM PANASBUMI LAPANGAN “X”, KABUPATEN MINAHASA, SULAWESI UTARA MENGGUNAKAN ANALISIS GEOKIMIA DAN ALTERASI MINERAL

4

(North Sulawesi trench), dimana jalur subduksi ini

“terhambat” di bagian timur (Silver et al., 1983).

Laju subduksi dari lempeng Laut Sulawesi ini

terhambat oleh lajur subduksi lempeng Laut

Maluku (Andrea Walpersdorf et al., 1998).

McCaffrey et al. (1980) seperti dikutip Hall dan

Wilson (2000), bahwa penunjaman lempeng Laut

Maluku memiliki bentuk “U” terbalik dengan dip

ke timur di bawah Halmahera dan dip ke barat di

bawah busur Sangihe. Pada saat ini pada bagian

barat dari Laut Maluku terdapat vulkanisme aktif

di Busur Sangihe, dapat ditelusuri dari Sulawesi

Utara hingga Mindano. Tangan bagian utara dari

Sulawesi telah menjadi daerah aktivitas busur di

atas zona penunjaman ke arah barat dari lempeng

Laut Maluku sejak Miosen Awal hingga sekarang

(Hall dan Smyth, 2008) (Gambar 3).

Gunungapi aktif yang terbentuk pada Busur

Minahasa – Sangihe terdiri dari G. Soputan, G.

Lokon-Empung, G. Mahawu, G. Klabat dan G.

Dua Saudara dengan pola penyebaran timurlaut-

baratdaya. Berdasarkan stratigrafi batuan, evolusi

dari gunungapi Minahasa dibagi ke dalam empat

peristiwa, yaitu: pra-Tondano, syn-Tondano, post-

tondano dan gunungapi aktif (Siahaan, E. E. et al.,

2005) (Tabel 1).

Tabel 1. Evolusi tektonik dan gunungapi Minahasa

berdasarkan stratigrafi batuan (Siahaan, E. E., et

al., 2005).

Gambar 3. Arah penunjaman dari lempeng Laut Maluku terhadap Busur Sangihe dan Halmahera secara

3D (Hall dan Smyth, 2008).

Page 5: Paper TA - MODEL HIDROGEOLOGI DAN SISTEM PANASBUMI LAPANGAN “X”, KABUPATEN MINAHASA, SULAWESI UTARA MENGGUNAKAN ANALISIS GEOKIMIA DAN ALTERASI MINERAL

5

Berdasarkan rekonstruksi penampang oleh Hall

dan Smyth (2008) pada lempeng Laut Maluku dari

selatan hingga utara ditemukan struktur over thrust

fault dan thrust fault pada busur Halmahera dan

pengangkatan serta minor back thrusting pada

Busur Sanghie. Collision complex atau melange

wedge yang ditemukan di tengah Laut Maluku

disebabkan oleh penindihan forearc Sangihe

terhadap forearc Halmahera (Gambar 4).

2.1 Geologi Daerah Penelitian

Berdasarkan peta geologi lembar Manado,

Sulawesi Utara oleh Effendi dan Bawono (1997),

stratigrafi daerah penelitian dikelompokkan ke

dalam empat Formasi. Berikut adalah urutan

Formasi batuan dari tua ke muda: Formasi Batuan

Gunungapi (Di daerah penelitian Formasi Batuan

Gunungapi dibagi dua subformasi yaitu: Formasi

Tondano (Tmv) dan Formasi Tondano

Andesit/Breksi (TmvA), dimana Formasi Tondano

tersusun atas breksi andesit dan Formasi Tondano

Andesit/Breksi tersusun atas batubeku basal

andesit, breksi andesit dan tufa breksi.), Formasi

Tufa Tondano (Qtv), Formasi Batuan Gunungapi

Muda (Qv) dan Endapan Danau dan Sungai (Qs).

2.2 Struktur Geologi Daerah Penelitian

Model struktur geologi daerah penelitian dibuat

berdasarkan analisis kelurusan kontur, citra SRTM

dan kehadiran manifestasi mata air panas dan

fumarol. Struktur-struktur geologi yang ada di

daerah penelitian adalah sesar-sesar lokal akibat

sesar utama dan depresi kaldera Tondano. Pola

struktur geologi daerah penelitian terbentuk akibat

dari proses subduksi lempeng Laut Maluku yang

berorientasi ke arah baratdaya-timurlaut yang

relatif ke utara-selatan. Sisa dari gunungapi

Todano berupa gawir kaldera Tondano tersebar di

bagian selatan daerah penelitian.

Struktur geologi di daerah Minahasa (Gambar 5)

adalah sesar utama yaitu sesar normal dengan arah

Gambar 5. Interpretasi arah kompresi tektonik Sulawesi Utara berdasarkan sesar normal baratlaut-

tenggara dan timurlaut-baratdaya (Effendi dan Bawono, 1997), thrust fault pada Laut Maluku (Hall dan

Wilson, 2000) dan Geantiklin Minahasa (menurut Koperberg (1928) dalam Suhadi (2009)).

Page 6: Paper TA - MODEL HIDROGEOLOGI DAN SISTEM PANASBUMI LAPANGAN “X”, KABUPATEN MINAHASA, SULAWESI UTARA MENGGUNAKAN ANALISIS GEOKIMIA DAN ALTERASI MINERAL

6

orientasi baratlaut-tenggara dan sebagian kecil

dengan arah timurlaut-baratdaya (Effendi dan

Bawono, 1997). Sesar normal dengan arah

orientasi baratlaut-tenggara diinterpretasikan hasil

ekstensi dari letusan gunung Tondano pada Plio-

Plistosen (Siahaan, E.E. et al., 2005) (tegasan

utama (σ1) adalah vertikal dan σ2 adalah tegasan

dari arah subduksi maka terbentuklah sesar normal

yang mengarah ke tegasan terkecil (σ3) (Billings,

1977)), sedangkan sesar normal yang terbentuk

sejajar dengan thrust fault diinterpretasikan akibat

dari proses pelepasan (release)).

Thrust fault pada laut Maluku adalah hasil dari

tumbukan forearc Minahasa terhadap forearc

Halmahera pada kala Plistosen – Holosen, yang

mana forearc Minahasa menindih Halmahera dan

menghasilkan overthrust akibat kompresi kedua

lempeng (Hall dan Smyth, 2008). Berdasarkan

Koperberg (1928) dalam Suhadi (2009) di

kawasan Minahasa hingga kepulauan Sangihe

terdapat suatu pengangkatan yang bernama

“Sistem Minahasa”, dimana sistem tersebut

membentuk geantiklin Minahasa dan gunungapi

dalam laut di sepanjang kepulauan Sangihe. Dari

hasil analisis ini maka diperkirakan arah tegasan

utama Sulawesi Utara adalah berkisar N110oE-

N120oE dan N290

oE-N300

oE. Jika dibandingkan

dengan sistem shear dari ketiga data di atas maka

dapat disimpulkan bahwa sistem rekahan pada

daerah penelitian adalah dilational fractures akibat

dari sesar mendatar yang membentuk rekahan.

Dari sesar mendatar inilah rekahan-rekahan

muncul sebagai jalur keluarnya manifestasi di

daerah penelitian.

Secara garis besar kelurusan dari sesar-sesar pada

daerah penelitian memiliki orientasi baratlaut-

tenggara dan baratdaya-timurlaut. Sesar dengan

arah baratlaut-tenggara di bagian utara G.

Rindengan yaitu di sepanjang gawir dengan arah N

300oE diinterpretasikan sebagai penyebab

munculnya manifestasi fumarola dan mata air

panas seperti manifestasi pada MAP1 (Mata Air

Panas) dan Fum1 (Fumarol) (Gambar 6). Arah

sesar baratlaut-tenggara pada utara daerah

penelitian juga sebagai penyebab munculnya

manifestasi MAP5.

3. ANALISIS GEOKIMIA

3.1 Sistem Panasbumi Lapangan “X”

Berdasarkan morfologi daerah penelitian, lapangan

”X” termasuk ke dalam sistem panasbumi dataran

tinggi. Sistem panasbumi dataran tinggi umum

ditemui pada busur kepulauan dan busur

gunungapi yang dicirikan oleh volkanisme

andesitik dan topografi yang terjal, yang mana

pada sistem ini mencegah unsur klorida untuk

mencapai dataran yang lebih tinggi. Fumarol,

tanah beruap dan mata air panas asam sulfat adalah

ciri umum yang ditemukan pada zona dekat upflow

(Nicholson, 1993).

3.2 Analisis Jenis Air Panasbumi Menggunakan

Diagram Cl-SO4-HCO3

Analisis jenis air panasbumi lapangan “X”

menggunakan diagram segitiga Cl-SO4-HCO3

(Giggenbach(1991a) dalam Powell dan Cumming

(2010)). Dari hasil plot diagram segitiga, jenis air

panasbumi lapangan “X” terdiri atas lima jenis air

(Gambar 7). Berikut adalah uraian dari setiap jenis

air panasbumi di lapangan “X”:

Gambar 7. Hasil plot manifestasi air panasbumi di

lapangan “X”.

Page 7: Paper TA - MODEL HIDROGEOLOGI DAN SISTEM PANASBUMI LAPANGAN “X”, KABUPATEN MINAHASA, SULAWESI UTARA MENGGUNAKAN ANALISIS GEOKIMIA DAN ALTERASI MINERAL

7

1. Air asam sulfat (acid-sulphate water) :

Berdasarkan komposisi manifestasi air,

unsur sulfat (SO4) bernilai tinggi (1382

ppm) daripada unsur Cl dan HCO3. Unsur

SO4 yang melimpah pada manifestasi air

adalah hasil dari oksidasi hidrogen sulfida

dengan oksigen:

H2S(g) + 2O2(aq) = 2H+

(aq) + SO42-

(aq)

(Nicholson, 1993).

Proses oksidasi dari hidrogen sulfida ke

dalam ion sulfat menghasilkan pH yang

sangat asam (pH=1,81) yang diduga

terdapat kontribusi gas magmatik

(Nicholson, 1993). Unsur klorida yang

muncul pada manifestasi kemungkinan

berasal dari air hujan dan/atau berasal dari

pengaruh magmatik, dikarenakan

kandungan klorida juga dapat berasal dari

hasil kondensasi gas HCl (Gas volatil

magmatik). Berdasarkan komposisi unsur

air manifestasi MAP1 yang termasuk ke

dalam air asam sulfat (acid-sulphate water),

dimana menurut Nicholson (1993) air ini

termasuk ke dalam zona keluaran yang

dekat dengan zona upflow seperti fumarol,

tanah beruap dan air yang dipanaskan oleh

uap (steam heated water).

2. Air klorida : Berdasarkan komposisi

klorida yang dominan pada manifestasi air

(komposisi sulfat dan bikarbonat kecil),

maka manifestasi air MAP2 termasuk ke

dalam air klorida (Mature waters) dan

didukung oleh pH air yang tergolong netral-

sedikit alkali (8,67). Pada sistem panasbumi

dataran tinggi, jenis air klorida tidak

mengindikasikan letak zona upflow karena

klorida muncul pada zona lateral hingga

outflow.

3. Air Cl-HCO3 (Dilute Cl-HCO3/Peripheral

water) : Komposisi manifestasi air MAP3

dimana klorida dan bikarbonat hampir sama

besar (Cl=276 ppm dan HCO3=333) maka

air manifestasi termasuk jenis “larutan air

Cl-HCO3”. Air klorida tercampur dengan air

tanah atau dengan air bikarbonat pada saat

mengalir secara lateral ke daerah pinggir

(Peripheral zone) dari sistem panasbumi.

4. Air klorida yang bercampur dengan SO4

dan HCO3 (Unsur klorida dominan) :

Berdasarkan kandungan klorida yang besar

(350ppm) pada air manifestasi (Konsentrasi

klorida yang tinggi pada kaki gunung adalah

ciri dari sistem dataran tinggi) dan memiliki

kandungan sulfat dan bikarbonat yang besar

terindikasi bahwa pada manifestasi air

MAP4 mengalami pencampuran dengan air

sulfat dan bikarbonat (Sulfat yang terbentuk

akibat oksidasi di dekat permukaan dan

bikarbonat yang terbentuk akibat kondensasi

uap).

5. Air bikarbonat : Unsur dominan pada

manifestasi air MAP5 adalah HCO3 yang

berasal dari kondensasi gas CO2 dengan air

tanah. Komposisi HCO3 yang besar ini juga

dapat berasal dari percampuran dengan air

permukaan. HCO3 yang hadir adalah hasil

dari reaksi kondensasi gas CO2

(Nicholson,1993)

CO2(g) + H2O(i) = H2CO3(aq) = H+

(aq) + HCO3-(aq) =

2H+

(aq) + CO32-

(aq).

Jenis manifestasi ini air termasuk ke dalam

daerah outflow.

3.3 Asal Air Panasbumi Menggunakan Rasio

Cl/B dan Cl-B-Li

Pada temperatur tinggi (>400oC) Cl muncul

dalam bentuk HCl dan boron sebagai H3BO3

dimana keduanya volatil. Kedua unsur ini (Cl

dan B) berasal dari air magmatik (magmatic

brine), namun pada saat fluida magmatik

dingin HCl berubah menjadi NaCl (terutama

melalui interaksi air dan batuan) sedangkan

boron mungkin tetap sebagian volatil dalam

fase uap dan terlarut dalam cairan (Simmons,

1995).

Page 8: Paper TA - MODEL HIDROGEOLOGI DAN SISTEM PANASBUMI LAPANGAN “X”, KABUPATEN MINAHASA, SULAWESI UTARA MENGGUNAKAN ANALISIS GEOKIMIA DAN ALTERASI MINERAL

8

Mata air klorida dan sumur panasbumi

biasanya mengandung boron 10-50 mg/kg,

tetapi konsentrasi boron yang sangat tinggi

(~800-1000 mg/kg) dapat ditemukan pada

fluida yang berasosiasi dengan batuan sedimen

kaya organik (Nicholson, 1993).

Klorida dan boron termasuk ke dalam unsur

terlarut yang melimpah pada fase cair daripada

di fase padat (Mineral). Pada saat berada

dalam larutan kedua unsur ini tidak mudah

untuk bereaksi. Unsur ini bersifat konservatif,

yang bertahan pada fase cair (Simmons, S.F.,

1995). Untuk mengetahui kesamaan asal air

panasbumi digunakan rasio Cl/B dan Cl-B-Li.

Gambar 8. Cross-plot rasio Cl/B menunjukkan air

manifestasi berasal dari sumber reservoir yang

sama.

Berdasarkan data yang ditampilkan pada diagram

segitiga di atas, MAP1, MAP2, MAP3, MAP4 dan

MAP5 (Gambar 8 dan 9) air manifestasi memiliki

kesamaan asal fluida reservoir panasbumi.

Konsentrasi boron pada MAP5 sangat kecil

disebabkan oleh penyerapan unsur boron ke dalam

lempung pada saat aliran lateral (Nicholson, 1993)

dan nilai klorida yang besar pada MAP4 adalah

ciri dari zona outflow pada sistem dataran tinggi.

Gambar 9. Hasil plot pada diagram segitiga Cl-Li-

B (Giggenbach (1991a) dalam Powell dan

Cumming (2010)) menunjukkan bahwa air

manifestasi berasal dari sumber yang sama.

3.4 Analisis Manifestasi Gas Berdasarkan

Unsur Gas “X”

Berdasarkan komposisi unsur manifestasi gas

Fum1 memiliki kadar gas total lebih besar

daripada Fum2 (Fum1=1,1 wt.%, Fum2=0,06

wt.%). Dapat disimpulkan bahwa pada saat proses

separasi gas (gas separation) akibat pendidihan,

gas Fum1 mengalami proses separasi gas dalam

satu tahap separasi (single stage : mengindikasikan

gas berasal langsung dari reservoir) dibandingkan

data manifestasi gas Fum2 yang diprakirakan telah

melalui lebih dari satu kali separasi gas atau

disebut dengan pendidihan yang

berkesinambungan (continous boiling)

(Dibuktikan dari kadar gas total dalam uap yang

kecil).

Berdasarkan data manifestasi, Fum2 dipengaruhi

oleh kontaminasi udara (4 wt.%) dan nitrogen

lebih besar dari Fum1 (2,74 wt.%). Kontaminasi

udara pada data manifestasi diinterpretasikan

berasal dari gas atmosfer yang masuk melalui air

hujan akibat kecilnya tekanan pada zona outflow

yang memudahkan udara untuk masuk ke dalam

manifestasi.

Page 9: Paper TA - MODEL HIDROGEOLOGI DAN SISTEM PANASBUMI LAPANGAN “X”, KABUPATEN MINAHASA, SULAWESI UTARA MENGGUNAKAN ANALISIS GEOKIMIA DAN ALTERASI MINERAL

9

Hidrogen (H2) pada data Fum1 memiliki nilai yang

lebih kecil daripada Fum2. Hidrogen pada Fum1

dipercaya mengalami proses “magmatic

quenching” (Bogie, I. dan Lovelock, B.G., 1999):

SO2 (magmatic gas) +3H2 = H2S + 2H2O.

Hidrogen dan sulfur dioksida (SO2) bereaksi

menghasilkan hidrogen sulphide (H2S) yang

mengakibatkan unsur hidrogen mengalami

pengurangan konsentrasi. Akibat pembentukan H2

yang lambat (H2 terbentuk dari oksidasi Fe2+

), SO2

bereaksi dengan H2S menghasilkan endapan

sulfur. Proses inilah yang menjelaskan mengapa

pada Fum1 terdapat endapan sulfur. Proses

oksidasi terhadap H2S menjadi sulfat juga

mempengaruhi komposisi gas H2S

(Nicholson,1993).

SO2(magmatic gas) + 2H2S = 3S + 2H2O

Gambar 10. Berdasarkan diagram segitiga H2-H2S-

CH4 (Powell dan Cumming (2010)), menunjukkan

bahwa gas Fum1 telah mengalami “magmatic

quenching” dimana konsentrasi H2 pada data gas

kecil dibandingkan H2S. Sedangkan pada Fum2

mengalami “continuous boiling”.

Komposisi “gas yang sedikit terlarut – gas yang

terlarut” pada Fum1 terhadap Fum2 memiliki

kesan lebih kecil dari Fum2, dikarenakan pada

Fum2 tidak mengalami “magmatic quenching”

melainkan “continous boiling” yang dapat dilihat

dari total kadar gas yang kecil. Komposisi unsur

Amonia (NH3) pada Fum2 lebih besar dari Fum1

menjelaskan bahwa Fum2 terletak di zona outflow

(Amonia adalah unsur gas yang terlarut dimana

unsur ini semakin besar ke zona outflow).

Penentuan asal dari manifestasi gas “X”

menggunakan diagram segitiga N2-He-Ar

(Giggenbach and Goguel (1989) dalam Powell dan

Cumming (2010)) dan diagram segitiga N2-Ar-

CO2 (Giggenbach (1991b) dalam Powell dan

Cumming (2010)).

3.5 Analisis Asal Manifestasi Gas “X”

Mengguanakan Diagram Segitiga N2-He-Ar

Dalam penentuan asal manifestasi gas “X”, salah

satunya menggunakan diagram segitiga N2-He-Ar

(Giggenbach and Goguel (1989) dalam Powell dan

Cumming (2010)). Unsur N2 dapat menjadi

karakteristik pengaruh gas atmosfer atau magmatik

(pengaruh magmatik jika rasio N2/Ar berada pada

nilai 800-2000 (Nicholson, 1993)), He sebagai

karakteristik crustal dan Ar adalah air hujan. Hasil

dari plot diagram segitiga N2-He-Ar (Gambar 11)

masih dapat digunakan walaupun data helium

tidak terekam dan disimpulkan bahwa gas

panasbumi berasal dari air hujan.

Gambar 11. Hasil plot manifestasi gas “X”

terhadap diagram segitiga N2-He-Ar menunjukkan

gas panasbumi berasal dari air hujan.

Page 10: Paper TA - MODEL HIDROGEOLOGI DAN SISTEM PANASBUMI LAPANGAN “X”, KABUPATEN MINAHASA, SULAWESI UTARA MENGGUNAKAN ANALISIS GEOKIMIA DAN ALTERASI MINERAL

10

3.6 Analisis Asal Manifestasi Gas “X”

Mengguanakan Diagram Segitiga N2-Ar-CO2

Diagram segitiga N2-Ar-CO2 memiliki fungsi yang

sama dengan diagram segitiga N2-He-Ar, hanya

saja unsur helium diganti dengan CO2.

Berdasarkan diagram segitiga ini data Fum2 lebih

mendekati garis gas atmosfer dibandingkan Fum1

dan diinterpretasikan bahwa Fum1 lebih

mendekati zona upflow dibandingkan Fum2

dikarenakan Fum1 memiliki konsentrasi CO2 yang

besar (CO2 adalah unsur gas utama di sistem

panasbumi).

Gambar 12. Hasil plot manifestasi gas “X” pada

diagram segitiga N2-Ar-CO2 menunjukkan bahwa

Fum1 lebih mendekati zona upflow dibandingkan

dengan Fum2.

3.7 Analisis Manifestasi Gas “X”

Mengguanakan Diagram Segitiga CO2-H2S-

NH3

Berdasarkan diagram segitiga CO2-H2S-NH3,

Fum1 memiliki komposisi gas yang sedikit terlarut

(CO2 dan H2S) yang lebih besar dari Fum2 yang

memiliki kandungan gas sedikit terlarut kecil, dan

ini mencirikan bahwa gas pada Fum1 (Upflow)

bergerak secara lateral ke arah Fum2 (Outflow).

Pergerakan gas Fum1 ke Fum2 didasari atas

komposisi unsur NH3 yang besar pada Fum2. NH3

adalah gas terlarut dimana proses separasi gas

terjadi lebih lambat daripada CO2 dan H2S, proses

inilah yang menjadikan gas NH3 sebagai kunci

zona outflow. Ammonia juga dapat terbentuk

akibat reaksi dengan batuan sedimen dekat dengan

permukaan.

Gambar 13. Diagram segitiga CO2-H2S-NH3

menunjukkan bahwa Fum1 berada pada zona

upflow sedangkan Fum2 adalah zona outflow, yang

dibuktikan oleh sudah mulai banyak unsur amonia

pada gas.

3.8 Temperatur Reservoir Berdasarkan

Diagram Segitiga Na-K-Mg

Dalam menentukan temperatur reservoir dapat

digunakan diagram segitiga Na-K-Mg

(Giggenbach (1991a) dalam Powell dan Cumming

(2010)), diagram ini didasari oleh kombinasi dari

geothermometer Na-K dan K-Mg. Menurut

Giggenbach, jenis dari diagram ini adalah

“geoindikator”, dikarenakan dapat

mengilustrasikan bukti yang mendukung

interpretasi keseimbangan air pada temperatur

yang tinggi namun juga dapat menginterpretasikan

pengaruh proses dangkal dan kemungkinan

keseimbangan di temperatur yang rendah.

Dari hasil pemasukan data pada diagram segitiga

Na-K-Mg, terdapat tiga manifestasi air yang

termasuk ke dalam “keseimbangan sebagian”

(Partial equilibrium) dan dua “air yang belum

matang” (Immature waters). Berikut adalah

Page 11: Paper TA - MODEL HIDROGEOLOGI DAN SISTEM PANASBUMI LAPANGAN “X”, KABUPATEN MINAHASA, SULAWESI UTARA MENGGUNAKAN ANALISIS GEOKIMIA DAN ALTERASI MINERAL

11

manifestasi yang masuk ke dalam “keseimbangan

sebagian” yaitu:

Gambar 14. Hasil plot pada diagram segitiga Na-

K-Mg (Giggenbach (1991a) dalam Powell dan

Cumming (2010)) menunjukkan bahwa MAP2,

MAP3 dan MAP4 masuk ke dalam partial

equilibrium, sedangkan MAP1 dan MAP5 adalah

immature waters.

o MAP2 (prakiraan temperatur reservoir =

±182oC)

o MAP3 (prakiraan temperatur reservoir =

±175oC)

o MAP4 (prakiraan temperatur reservoir =

±175oC)

Sedangkan dua yang lainnya adalah “air yang

belum matang” yaitu:

o MAP1 = Pada diagram segitiga Na-K-Mg

MAP1 termasuk ke dalam zona immature

waters, dikarenakan nilai magnesium yang

besar (7,2ppm)

o MAP5 = Memiliki pengaruh air tanah

(Magnesium = 7ppm)

Berdasarkan diagram segitiga, temperatur pada

manifestasi di MAP2, MAP3 dan MAP4 memiliki

nilai yang lebih kecil daripada temperatur

reservoir, hal ini disebabkan oleh:

1. Komposisi magnesium masih besar pada

manifestasi yang mengindikasikan masih

tercampurnya air dengan air tanah.

2. Masih adanya HCO3 (Berdasarkan diagram

segitiga Cl-SO4-HCO3), yang mana

bikarbonat adalah hasil dari kondensasi gas

CO2 terhadap air tanah. Sedangkan pada

reservoir tidak terdapat air bikarbonat.

3. Pencampuran dengan air tanah atau air

permukaan (Dapat dilihat dari data diagram

segitiga Cl-SO4-HCO3).

Berdasarkan tiga sebab tersebut, maka diprediksi

bahwa temperatur reservoir lebih besar dari hasil

diagram segitiga Na-K-Mg yaitu >182oC.

3.9 Temperatur Reservoir Berdasarkan Cross-

plot Na-K/Mg-Ca

Cross-plot Na-K/Mg-Ca (Giggenbach dan Goguel

(1989) dalam Powell dan Cumming (2010)) adalah

“geoindikator” untuk mengetahui pengaruh

dangkal dan proses temperatur rendah akibat dari

kehadiran keseimbangan Mg-Ca.

Gambar 15. Hasil cross-plot Na-K/Mg-Ca

menunjukkan temperatur reservoir berkisar 170o-

182oC namun nilai temperatur MAP1 dan MAP5

tidak dapat digunakaan akibat immature waters.

Berdasarkan cross-plot Na-K/Mg-Ca, manifestasi

air MAP2 memiliki temperatur ±182oC dengan

nilai rasio magnesium tergolong kecil di antara

manifestasi lainnya. Manifestasi air pada MAP3

berada pada temperatur ±170 o

C namun memiliki

kadar rasio Mg/Ca yang besar. Air manifestasi

MAP4 berada pada temperatur ±170 o

C namun

memiliki kandungan unsur magnesium yang besar

mengindikasikan pengaruh air tanah. MAP1 dan

MAP5 adalah air yang belum matang, maka nilai

Page 12: Paper TA - MODEL HIDROGEOLOGI DAN SISTEM PANASBUMI LAPANGAN “X”, KABUPATEN MINAHASA, SULAWESI UTARA MENGGUNAKAN ANALISIS GEOKIMIA DAN ALTERASI MINERAL

12

dari temperatur tidak dapat digunakan. Maka

disimpulkan temperature reservoir berkisar 170o-

182oC.

3.10 Temperatur Reservoir Berdasarkan

Geothermometer Air

Perhitungan temperatur daerah penelitian

menggunakan geothermometer silika (Fournier

(1983) dalam Nicholson (1993)), geothermometer

Na-K (Fournier (1979b) dalam Nicholson (1993);

Giggenbach (1988) dalam Nicholson (1993)) dan

geothermometer Na-K-Ca (Fournier dan Truesdell

(1973) dalam Nicholson (1993)) (Tabel 2).

Perhitungan temperatur MAP1 tidak dapat

dilakukan disebabkan oleh beberapa faktor, yaitu:

1. Air pada MAP1 adalah hasil dari “air yang

terpanaskan oleh uap” dari gas H2S, dan uap

tidak membawa unsur-unsur terlarut seperti

Cl, Na, K, SiO2, B dan lainnya.

2. Silika dan unsur lainnya (Na, K, dan kation

lainnya) yang hadir pada air ini adalah hasil

dari proses luluhan (leaching) air asam

sulfat terhadap batuan sekitar.

Berdasarkan hasil perhitungan temperatur

penggunaan geothermometer Na-K memiliki

tingkat ketelitian yang besar (Fournier (1979b)

dalam Nicholson (1993)); Giggenbach (1988)

dalam Nicholson (1993)) dikarenakan laju untuk

kembali seimbang dari pertukaran Na-K lebih

lambat daripada proses pelarutan dan pengendapan

larutan silika dan pertukaran keseimbangan K-Mg,

dan geothermometer ini unggul dalam kondisi

“seimbang” di kedalaman yang mengakibatkan

unsur tersebut merekam temperatur larutan dalam

jangka waktu yang lama hingga naik ke

permukaan.

Oleh karena itu rasio ini mengindikasikan

temperatur yang tinggi dari zona yang sangat

dalam, maka ditarik kesimpulan temperatur

reservoir pada setiap daerah adalah sebagai berikut

(menggunakan geothermometer Na-K):

MAP2, Geothermometer Na-K =183,1oC

(Fournier), 182,18oC (Giggenbach)

MAP3,Geothermometer Na-K = 174,38oC

(Fournier), 174,24oC (Giggenbach)

MAP4, Geothermometer Na-K = 173,99oC

(Fournier), 173,88oC (Giggenbach)

Maka temperature reservoir daerah penelitian

adalah berkisar 174-183oC.

3.11 Temperatur Reservoir Berdasarkan

Diagram Segitiga CH4-CO2-H2S

Diagram segitiga CH4-CO2-H2S (Giggenbach dan

Glover (1992) dalam Powell dan Cumming

(2010)) berfungsi untuk meneliti proses pelepasan

gas (degassing) pada fluida panasbumi di saat

Tabel 2. Temperatur hasil perhitungan geothermometer air pada setiap daerah manifestasi.

GEOTHERMOMETER MAP2 MAP3 MAP4

T SiO2 (°C)

Quartz, no steam

loss 192,87 198,7 189,51

Quartz, max

steam loss 178,66 183,37 175,94

T Na-K (°C) Fournier 183,1 174,38 173,99

Giggenbach 182,18 174,24 173,88

T Na-K-Ca (°C) 171,95 172,21 177,22

Page 13: Paper TA - MODEL HIDROGEOLOGI DAN SISTEM PANASBUMI LAPANGAN “X”, KABUPATEN MINAHASA, SULAWESI UTARA MENGGUNAKAN ANALISIS GEOKIMIA DAN ALTERASI MINERAL

13

perjalanan menuju permukaan. Berdasarkan hasil

plot dapat dilihat bahwa data Fum2 berada di zona

“vapor trends from continuous boiling” dimana ini

mengindikasikan daerah Fum2 sudah termasuk

zona lateral hingga outflow dan juga dibuktikan

dari kadar gas total dari Fum2 yang kecil dari

Fum1. Berdasarkan data diagram dapat

disimpulkan bahwa Fum1 menunjukkan

temperatur reservoir ±245oC (Gambar 16).

Gambar 16. Berdasarkan hasil plot diagram,

manifestasi gas Fum2 berada pada zona “continous

boiling” (<100oC) sedangkan temperatur pada

Fum1 ±245oC.

3.12 Temperatur Reservoir Berdasarkan Cross-

plot CO2/Ar dan H2/Ar

Berdasarkan pengukuran menggunakan cross-plot

CO2/Ar dan H2/Ar (Giggenbach dan Glover (1992)

dalam Powell dan Cumming (2010)) menunjukkan

data manifestasi Fum2 memasuki zona

keseimbangan ke arah keseimbangan cairan (liquid

equilibrium) dengan temperatur 150oC, sedangkan

Fum1 tidak masuk ke dalam zona keseimbangan

akibat data tidak masuk ke dalam bagan, sehingga

dapat disimpulkan bahwa ciri-ciri dari reservoir

adalah liquid dominated (Gambar 17).

Gambar 17. Cross-plot CO2/Ar dan H2/Ar

(Giggenbach dan Glover (1992) dalam Powell dan

Cumming (2010)) pada manifestasi gas daerah

penelitian, Fum2 berada pada equilibrated liquid

sedangkan Fum1 tidak masuk ke dalam bagan.

3.13 Temperatur Reservoir Berdasarkan Cross-

plot FT-HSH

Penggunaan dari cross-plot FT-HSH (D’Amore

dan Truesdell, 1985) ini berdasarkan reaksi

Fischer-Tropsch dan H2 – H2S (Gambar 18).

Berdasarkan pengukuran, kedua data tidak masuk

ke dalam zonasi, namun jika penarikan garis

imajiner Fum1 terhadap geothermometer Fischer-

Tropsch dapat diprediksi temperatur dari reservoir

adalah ±280 – 290oC. Pada cross-plot ini

disimpulkan bahwa reservoir adalah liquid

dominated dikarenakan nilai fraksi uap (nilai Y)

memiliki nilai yang kecil.

3.14 Temperatur Reservoir Berdasarkan Cross-

plot FT-CO2

Pada cross-plot FT-CO2 pada data Fum1 dilakukan

penarikan garis imajiner berdasarkan

geothermometer Fischer-Tropsch dan CO2 maka

memiliki jarak temperatur ±285 – 295oC (Gambar

19). Pada cross-plot ini disimpulkan bahwa

reservoir adalah liquid dominated.

Fum2 Fum1

Page 14: Paper TA - MODEL HIDROGEOLOGI DAN SISTEM PANASBUMI LAPANGAN “X”, KABUPATEN MINAHASA, SULAWESI UTARA MENGGUNAKAN ANALISIS GEOKIMIA DAN ALTERASI MINERAL

14

3.15 Temperatur Reservoir Berdasarkan Cross-

plot FT-CO2

Pada cross-plot FT-H2S memiliki kesamaan

dengan cross-plot sebelumnya. Pada data Fum1

dilakukan penarikan garis imajiner berdasarkan

geothermometer Fisher-Tropsch terhadap H2S dan

menghasilkan temperatur ±285-290oC (Gambar

20) (pengukuran temperatur dengan menggunakan

garis imajiner terhadap geothermometer Fishter-

Tropsch) dengan sistem panasbumi adalah liquid

dominated dikarenakan nilai fraksi uap pada cross-

plot kecil.

Gambar 18. Berdasarkan hasil cross-plot FT-HSH

menunjukkan nilai temperatur reservoir berkisar

280 – 290oC dengan sistem panasbumi liquid

dominated.

Gambar 19. Berdasarkan penarikan garis imajiner

terhadap geothermometer Fisher-Tropsch

didapatkan nilai temperatur berkisar 285o-295

oC.

Gambar 20. Dari hasil cross-plot FT-H2S juga

menunjukkan sistem panasbumi pada daerah

penelitian adalah liquid dominated.

3.16 Temperatur Reservoir Berdasarkan

Geothermometer Gas

Pengukuran temperatur reservoir didasari atas

hasil dari perhitungan beberapa geothermometer

gas (Tabel 3), namun tidak seluruh

geothermometer gas dapat digunakan dalam

menentukan temperatur reservoir “X”.

Berdasarkan penjelasan sebelumnya ada beberapa

geothermometer yang tidak dipakai (Giggenbach

(1991) dalam Altamirano (2006) - CH4/CO2,

Arnorsson and Gunnlaugsson (1985) dalam

Arnorsson (2000) – CO2, Arnorsson, et al. (1998)

dalam Altamirano (2006) – H2/Ar) yang

disebabkan oleh dua hal, yaitu: nilai dari

temperatur yang sangat tinggi (>374oC) dan

temperatur terlampau rendah.

Dari perhitungan geothermometer gas, ditarik

kesimpulan bahwa temperatur reservoir berkisar

280-290oC pada zona upflow dan bergerak ke arah

Fum2 temperatur mengalami penurunan akibat

dari gas yang mengalami proses pelarutan dan

pendidihan yang berkesinambungan sehingga

temperatur menurun hingga ±174oC.

Page 15: Paper TA - MODEL HIDROGEOLOGI DAN SISTEM PANASBUMI LAPANGAN “X”, KABUPATEN MINAHASA, SULAWESI UTARA MENGGUNAKAN ANALISIS GEOKIMIA DAN ALTERASI MINERAL

15

3.17 Hidrogeologi Daerah Penelitian

Berdasarkan Geoindikator Air

Geoindikator daerah “X” menggunakan empat

jenis rasio untuk mengetahui zonasi panasbumi.

Rasio NH4/B digunakan untuk mengetahui fluida

reservoir telah mengalami “pemanasan oleh uap”

(Jika nilai rasio besar).

Rasio Cl/SO4 digunakan untuk mengetahui

indikasi zona upflow (Nilai rasio rendah), rasio

Na/K dan SO4/HCO3 memiliki fungsi yang sama

dengan rasio Cl/SO4 yaitu untuk mengetahui zona

upflow, permeabilitas dan temperatur yang tinggi

(Nicholson, 1993).

Berdasarkan rasio:

NH4/B : MAP2 sangat kecil terpengaruh

oleh pemanasan oleh uap dibandingkan

MAP4,

Cl/SO4 mengindikasikan MAP1 berada pada

zona upflow yang semakin ke arah MAP2

semakin mengarah ke zona outflow,

Tabel 3. Hasil perhitungan beberapa geothermometer gas.

Geothermometer Fum1 (oC) Fum2 (

oC)

H2/Ar (Giggenbach (1991)) 174,8 232,86

A&G, 1985 – H2S 310 268,71

A&G, 1985 – H2 260,88 264,2

A&G, 1985 – H2S/H2 217,11 260,23

A&G, 1985 – CO2/H2 252,28 296,86

A, dkk, 1998 – CO2 291,424 184,19

A, dkk, 1998 – H2S 281,71 211,1

A, dkk, 1998 – H2 183,85 192,9

A, dkk, 1998 – CO2/N2 252,57 202,67

A, dkk, 1998 – H2S/Ar 250,64 236,01

Catatan:

A&G = Arnorsson and Gunnlaugsson (1985) dalam Arnorsson (2000)

A, et al. = Arnorsson, et al. (1998) dalam Altamirano (2006)

NH4 B Rasio Cl SO4 Rasio

(ppm) (ppm) (NH4/B) (ppm) (ppm) (Cl/SO4)

MAP2 0,86 10 0,09 MAP1 220 1382 0,1164 upflow

MAP5 0,1 0,86 0,1 MAP5 71 46 1,54

MAP1 1,3 5,7 0,216 MAP4 350 139 2,5

MAP3 1,4 5,9 0,233 MAP3 276 59 4,67

MAP4 1,4 5,3 0,28 MAP2 424 31 13,677 outflow

Na K Rasio SO4 HCO3 Rasio

(ppm) (ppm) (Na/K) (ppm) (ppm) (SO4/HCO3)

MAP1 upflow MAP1 1382 1 1382 upflow

MAP2 322 16 20,125 MAP4 139 139 1

MAP3 342 15 22,8 MAP2 31 62 0,5

MAP4 344 15 22,93 MAP5 46 230 0,2

MAP5 outflow MAP3 59 333 0,177 outflow

Arah Aliran

Nama

sampelArah Aliran

Arah Aliran

steam heated

Nama

sampelArah Aliran

Nama

sampel

Nama

sampel

Tabel 4. Geoindikator menggunakan rasio NH4/B, Cl/SO4, Na/K dan SO4/HCO3 untuk mengetahui zonasi

panasbumi.

Page 16: Paper TA - MODEL HIDROGEOLOGI DAN SISTEM PANASBUMI LAPANGAN “X”, KABUPATEN MINAHASA, SULAWESI UTARA MENGGUNAKAN ANALISIS GEOKIMIA DAN ALTERASI MINERAL

16

SO4/HCO3 mengindikasikan bahwa MAP1

berada pada zona upflow,

Na/K : pada rasio ini MAP2 berada pada

zona upflow ini dikarenakan rasio MAP1

tidak dapat digunakan (unsur Na dan K pada

MAP1 tidak berasal dari reservoir). Nilai Na

dan K pada MAP5 telah mengalami

pencampuran.

Dari hasil analisa geoindikator dapat disimpulkan

bahwa zona upflow pada daerah penelitian adalah

pada MAP1, sedangkan MAP2, MAP3, MAP4 dan

MAP5 berada pada zona outflow.

3.18 Hidrogeologi Daerah Penelitian

Berdasarkan Geoindikator Gas

Dalam geoindikator gas digunakan beberapa rasio

yaitu: CO2/H2S dan CO2/H2 untuk mengetahui

zonasi dan arah aliran, kadar gas total berguna

untuk mengetahui jauhnya perjalanan gas, dan

rasio N2/Ar berfungsi untuk mengetahui sumber

gas (Nicholson, 1993). Data dari kadar gas total

Fum1 tidak terindikasi adanya “pendidihan yang

berkesinambungan” (kandungan gas pada uap

besar) sedangkan Fum2 memiliki kadar gas pada

uap kecil.

Berdasarkan rasio:

CO2/H2S dan CO2/H2 : Fum2 berada pada

zona upflow dibandingkan Fum1 hal ini

dikarenakan H2 dan H2S pada Fum1

mengalami proses pendinginan (quenching)

oleh karena itu nilai kedua unsur lebih kecil

dari yang ada pada Fum2,

Kandungan ammonia dalam Fum2 lebih

besar dibandingkan dengan Fum1 yang

mengindikasikan bahwa Fum2 lebih

mengarah ke zona outflow.

N2/Ar pada Fum1 dan Fum2

mengindikasikan bahwa gas berasal dari air

hujan/gas atmosfer.

Dapat disimpulkan bahwa Fum1 berada pada zona

upflow sedangkan Fum2 pada zona outflow. Data

geoindikator air dan gas memiliki kesesuaian

dalam penentuan zonasi dimana Fum1 sebagai

zona upflow.

CO2 H2S Rasio

(%mol) (%mol) (CO2/H2S)

FUM1 1,1 upflow FUM2 59,20 20,70 2,86 upflow

FUM2 0,06 outflow FUM1 85,30 10,10 8,44 outflow

NH3 CO2 H2 Rasio

(%mol) (%mol) (%mol) (CO2/H2)

FUM1 0,0285 upflow FUM2 59,20 1,59 37,23 upflow

FUM2 1,28 outflow FUM1 85,30 0,063 1354 outflow

N2 Ar Rasio

(%mol) (%mol) (N2/Ar)

FUM1 4,37 0,0634 69 air hujan

FUM2 16,80 0,2370 70,88 air hujan

Nama

sampel

Nama

sampel

Arah

aliran

Arah

aliran

Kadar Gas

Total

(wt.%)

Nama

sampelAsal gas

Nama

sampel

Arah

aliran

Nama

sampel

Arah

aliran

Tabel 5. Geoindikator gas untuk mengetahui sumber, zonasi serta flow direction.

Page 17: Paper TA - MODEL HIDROGEOLOGI DAN SISTEM PANASBUMI LAPANGAN “X”, KABUPATEN MINAHASA, SULAWESI UTARA MENGGUNAKAN ANALISIS GEOKIMIA DAN ALTERASI MINERAL

17

3.19 Model Hidrogeologi Panasbumi Daerah

“X”

Model hidrogeologi panasbumi daerah “X”

didasarkan pada data unsur fluida, asal fluida,

geothermometer air dan gas serta geoindikator

fluida. Dari hasil analisis dapat disimpulkan bahwa

zona upflow adalah MAP1 dan Fum1 dan zona

outflow adalah MAP2 dan Fum2, MAP3, MAP4

dan MAP5.

Temperatur pada setiap daerah didasarkan pada

geothermometer gas pada MAP1 & Fum1 (290oC)

dan geothermometer air pada MAP2 & Fum2

(180oC), MAP3 (174

oC), MAP4 (174

oC) dan

MAP5 (160oC). Pemodelan hidrogeologi

panasbumi lapangan “X” didasarkan pada

interpretasi temperatur manifestasi dan

geothermometer manifestasi yang kemudian

dibantu dengan data sumur SLW-1 (270oC)

sebagai titik ikat temperatur di setiap ke dalaman

(Gambar 21 dan 22).

4. ANALISIS LOG

4.1 Zona Alterasi Pada Daerah Penelitian

Zona alterasi pada daerah penelitian didasarkan

pada data sumur SLW-1 lapangan “X” (Gambar

23). Pada daerah penelitian ini zona alterasi dibagi

ke dalam tiga zona, yaitu: zona argilik, zona outer

propylitic dan zona propilitik. Berikut adalah

penjelasan zona alterasi pada daerah penelitian.

1. Zona argilik (<100-150oC): Zona alterasi ini

berada di kedalaman 120-830m, yang

dicirikan dengan ditemukannya mineral

smectite dan mineral chlorite yang dapat

disimpulkan bahwa pH fluida adalah sedikit

asam (5-6). Mineral silika atau kuarsa

masuk ke dalam seluruh zona alterasi karena

fluida hidrotermal umumnya jenuh akan

SiO2 (Henley et al. (1984) dalam Corbett

dan Leach (1997)). Kehadiran mineral kalsit

di beberapa tempat mengindikasikan bahwa

pH fluida hidrotermal adalah sedikit asam

hingga netral. Terdapat beberapa anomali

pada zona alterasi ini, yaitu:

Ditemukannya mineral interlayered

illite – smectite pada kedalaman 130m

dan 510m,

Ditemukannya mineral epidot pada

kedalaman 400m, dan

Ditemukannya mineral albit pada

kedalaman 510m.

Anomali ini diinterpretasikan sebagai

mineral relik, bahwa pada kedalaman

tersebut pernah dilalui oleh fluida panas

(Temperature berkisar 220-300oC) yang

didukung oleh terdapatnya intensitas alterasi

yang sedang pada kedalaman 120m. Ada

dua penyebab yang menjelaskan kehadiran

mineral relik terbentuk, yaitu:

Sumber panas dahulu lebih panas

(bertemperatur lebih tinggi) dari saat

ini, atau

Aktifitas tektonik yang mengangkat

sumber panas (ditemukan pula relik

epidot dan albit pada kedalaman

1678m).

Jenis batuan juga mempengaruhi ROP (Rate

of Penetration) dari tufa dan breksi andesit

yang kecil dibandingkan dengan batuan

beku (Andesit basaltik) yang tinggi. Pada

zona alterasi ini memiliki lapisan akuifer

lemah hingga tinggi di beberapa tempat

yang diduga akibat dari rekahan (mayoritas

pada batuan beku) dan didukung oleh

pengisian rekahan (vein filling) yang besar

pula (26-50%). Formasi batuan penyusun

zona alterasi ini adalah Formasi Rindengan,

Formasi Tufa Tondano dan Formasi

Tondano Andesit/Breksi.

2. Outer Propilitic zone (150 – 200oC): Zona

alterasi propilitik luar (outer propilitic)

berada pada kedalaman 830 – 910m dengan

ditemukannya mineral interlayered illite –

Page 18: Paper TA - MODEL HIDROGEOLOGI DAN SISTEM PANASBUMI LAPANGAN “X”, KABUPATEN MINAHASA, SULAWESI UTARA MENGGUNAKAN ANALISIS GEOKIMIA DAN ALTERASI MINERAL

18

smectite dengan pengurangan mineral

smectite ke arah temperatur tinggi dan

mengindikasikan pH mendekati netral. Awal

munculnya mineral epidot pada zona ini

diindikasikan sebagai “mineral jejak”.

Mineral epidot yang hadir pada temperatur

ini adalah butiran yang baru terbentuk

(poorly crystaline incipient grains) (Corbett

dan Leach, 1997). Mineral kalsit dan kuarsa

hadir melipah pada zona ini dan terendapkan

pada rekahan. Intensitas alterasi pada zona

ini rendah hingga tinggi dan memiliki nilai

ROP yang rendah karena batuan yang telah

mengalami perubahan. Formasi penyusun

pada zona alterasi ini adalah Formasi

Tondano dan sebagian Formasi Tondano

Andesit/Breksi.

3. Zona Propilitik (220 – 300oC): Zona alterasi

propilitik berada di kedalaman 910 – 1084m

dengan pH netral. Alterasi mineral yang

ditemukan pada zona ini adalah

melimpahnya mineral epidot sebagai

penanda telah masuk ke dalam temperatur

tinggi, mineral smectite yang tidak

ditemukan, chlorite, kuarsa, pirit dan kalsit.

Intensitas alterasi pada zona ini tinggi yang

diakibatkan oleh fluida hidrotermal yang

masuk melalui rekahan-rekahan dan

dekatnya zona ini dengan reservoir.

Rekahan-rekahan pada zona ini terisi oleh

kuarsa dan kalsit yang sisanya teralterasi

oleh grup mineral propilitik. Tingkat ROP

pada zona ini selaras dengan tingkat alterasi

batuan yang tinggi. Gradient temperatur

mengalami pembalikan (reversal) pada

kedalaman tertentu.

Sistem panasbumi daerah penelitian

diinterpretasikan berdasarkan kombinasi antara

model hidrogeologi dan alterasi log sumur SLW-1

dan disimpulkan bahwa batuan penudung tersusun

atas zona argilik, zona transisi adalah outer

propilitic dan reservoir adalah propilitik (Gambar

24).

5. KESIMPULAN

Berikut adalah poin penting dari hasil penelitian

pada lapangan “X”:

• Sistem panasbumi pada daerah penelitian

termasuk ke dalam sistem dataran tinggi

yang dibuktikan dengan topografi yang

tinggi dan komposisi batuan andesit.

Sumber panas berasal dari magma yang

termasuk ke dalam sistem volcanogenic.

• Jenis air panasbumi lapangan “X” terdiri

dari lima jenis air, yaitu:

1. Air asam sulfat pada MAP1.

2. Air klorida pada MAP2.

3. Larutan air Cl-HCO3 pada MAP3.

4. Air klorida yang bercampur dengan

SO4 dan HCO3 (Unsur klorida

dominan) pada MAP4.

5. Air bikarbonat pada MAP5.

• Berdasarkan diagram segitiga Cl-B-Li dan

rasio Cl/B, air manifestasi berasal dari

sumber reservoir yang sama.

• Berdasarkan unsur kimia gas, manifestasi

gas Fum2 telah mengalami “pendidihan

yang berkesinambungan”. Gas pada Fum2

telah mengalami kontaminasi gas atmosfer

akibat masuknya gas atmosfer melalui air

hujan.

• Berdasarkan diagram segitiga N2-He-Ar dan

diagram Segitiga N2-Ar-CO2, fluida

reservoir berasal dari air hujan.

• Berdasarkan diagram segitiga Na-K-Mg,

cross-plot Na-K/Mg-Ca dan

geothermometer air ditarik kesimpulan

bahwa temperatur reservoir berkisar 174 –

182oC, namun diinterpretasikan nilai

temperatur reservoir lebih besar dari hasil

perhitungan dikarenakan tidak adanya

proses pencampuran dan pelarutan pada

reservoir.

• Berdasarkan diagram segitiga CH4-CO2-

H2S, cross-plot CO2/Ar dan H2/Ar, cross-

plot FT-HSH, cross-plot FT-CO2, cross-plot

FT-H2S dan geothermometer gas dapat

ditarik kesimpulan bahwa temperatur

Page 19: Paper TA - MODEL HIDROGEOLOGI DAN SISTEM PANASBUMI LAPANGAN “X”, KABUPATEN MINAHASA, SULAWESI UTARA MENGGUNAKAN ANALISIS GEOKIMIA DAN ALTERASI MINERAL

19

reservoir berkisar 280-290oC dengan Fum1

berada pada zona upflow dan tipe reservoir

adalah liquid dominated.

• Berdasarkan geoindikator air dan gas,

MAP1 dan Fum1 berada pada zona upflow

sedangkan MAP2 dan Fum2, MAP3, MAP4

dan MAP5 berada pada zona outflow.

• Dari hasil analisis log sumur SLW-1,

terdapat tiga komponen penyusun sistem

panasbumi berdasarkan zona alterasi, yaitu:

1. Batuan penudung yang terdiri dari

zona alterasi argilik (<100 – 150oC),

2. Zona transisi yang terdiri dari zona

alterasi outer propylitic (150 –

200oC), dan

3. Zona reservoir yang terdiri dari zona

alterasi propilitik (220 – 300oC).

DAFTAR PUSTAKA

Altamirano, J.I.C. 2006. Sampling and Analyses

of Geothermal Steam and Geothermometer

Applications in Krafla, Theistareykir,

Reykjanes and Svartsengi, Iceland.

Geothermal Training Programme, Iceland.

Arnórsson, S. 2000. Isotopic and Chemical

Techniques in Geothermal Exploration,

Development and Use: Sampling Methods,

Data Handling, Interpretation.

International Atomic Energy Agency,

Vienna.

Billings, Marland P. 1977. Structural Geology, 3rd

Ed. Englewood Cliffs, NJ: Prentice-Hall.

Bogie, I. dan Lovelock, B.G. 1999. The

Recognition of Quenched Magmatic Gases

in Fumaroles As A Geothermal

Exploration Tool. Proceedings 20th

Annual PNOC-EDC Geothermal

Conference, 73-80.

Corbett, G.J. dan Leach, T.M. 1997. Southwest

Pacific Rim Gold-copper Systems:

Structure, Alteration and Mineralization.

Short Course Manual Draft.

Darma, S., Harsoprayitno, S., Setiawan, B.,

Hadyanto, Sukhyar, R., Soedibjo, A.W.,

Novi Ganefianto dan Jim Stimac. 2010.

Geothermal Energy Update: Geothermal

Energy Development and Utilization in

Indonesia. Proceedings World Geothermal

Congress, Bali.

Darman, H., dan Sidi, H.F. 2000. An Outline of

The Geology of Indonesia, Ikatan Ahli

Geologi Indonesia, Jakarta.

D’Amore, F. and Truesdell, A.H. 1985.

Calculation of Geothermal Reservoir

Temperatures and Steam Fractions From

Gas Compostion; Trans. Geothermal Res.

Council, Vol. 9, Part 1, August 1985, pp

305-310.

Effendi, A.C. dan Bawono, S.S. 1997. Peta

Geologi Lembar Manado, Sulawesi Utara.

Edisi ke-2.

Hall, R. dan Wilson, M.E.J. Neogene Sutures in

Eastern Indonesia. Journal of Asian Earth

Sciences 18 (2000) 781-808.

Hall, R. and Smyth, H.R. 2008. Cenozoic Arc

Processes in Indonesia: Identification of

the Key Influences on the Stratigraphic

Record in Active Volacanic Arcs. The

Geological Society of America, Special

paper 436.

Hamilton, W. 1979. Tectonics of the Indonesian

Region. Geological Survey Professional

Paper 1078.

Nicholson, K. 1993. Geothermal Fluids:

Chemistry and Exploration Techniques.

Springer-Verlag Berlin Heidelberg, Berlin,

Germany.

Page 20: Paper TA - MODEL HIDROGEOLOGI DAN SISTEM PANASBUMI LAPANGAN “X”, KABUPATEN MINAHASA, SULAWESI UTARA MENGGUNAKAN ANALISIS GEOKIMIA DAN ALTERASI MINERAL

20

Powell, T. 2000. A Review of Exploration Gas

Geothermometry. Proceedings, Twenty-

Fifth Workshop on Geothermal

Engineering, Stanford University,

Stanford, California.

Powell, T. and Cumming, W. 2010. Spreadsheets

For Geothermal Water and Gas

Geochemistry. Proceedings, Thirty-Fifth

Workshop on Geothermal Reservoir

Engineering, Stanford University,

Stanford, California.

Siahaan, E. E., Soemarinda, S., Fauzi, A.,

Silitonga, T., Azimudin, T., Raharjo, I.B.

2005. Tectonism and Volcanism Study in

the Minahasa Compartment of the North

Arm of Sulawesi Related to Lahendong

Geothermal Field, Indonesia. Proceedings

World Geothermal Congress, Turkey.

Simmon, S.F. 1995. Geothermal Technology :

Geochemistry. Pertamina Course, Cirebon.

Silver, E.A., McCaffrey, R., Smith, R.B. Collision,

rotation, and the initiation of subduction in

the evolution of Sulawesi, Indonesia, J.

Geophys. Res. 88 (B11) (1983) 9407–

9418.

Suhadi, D. 2009. Zonasi bahaya gunungapi Lokon.

Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana

Geologi, Badan Geologi, Kementrian

Sumber Daya Mineral, Tidak

dipublikasikan.

Wahyuningsih, R. 2005. Potensi dan Wilayah

Kerja Pertambangan Panasbumi di

Indonesia. Kolokium Hasil Lapangan,

Subdit Panas Bumi.

Walpersdorf, A., Rangin, C., Vigny, C. GPS

Compared to Long-term Geologic

Motion of the North Arm of Sulawesi.

Earth and Planetary Science Letters 159

(1998) 47-55.

Page 21: Paper TA - MODEL HIDROGEOLOGI DAN SISTEM PANASBUMI LAPANGAN “X”, KABUPATEN MINAHASA, SULAWESI UTARA MENGGUNAKAN ANALISIS GEOKIMIA DAN ALTERASI MINERAL

21

Gambar 4. Penampang Laut Maluku yang mengilustrasikan zona konvergen dari Busur Halmahera dan

Sangihe sejak 2 Ma. Pada penampang paling bawah (D) disimpulkan dari pemetaan geologi di darat. Tiga

penampang di atasnya (A,B dan C) menggambarkan penampang dengan lintang yang berbeda pada Laut

Maluku dari Selatan (C) hingga Utara (A) (Hall dan Smyth, 2008).

Page 22: Paper TA - MODEL HIDROGEOLOGI DAN SISTEM PANASBUMI LAPANGAN “X”, KABUPATEN MINAHASA, SULAWESI UTARA MENGGUNAKAN ANALISIS GEOKIMIA DAN ALTERASI MINERAL

22

Gambar 6. Peta geologi daerah penelitian lapangan “X”, Minahasa, Sulawesi Utara.

Page 23: Paper TA - MODEL HIDROGEOLOGI DAN SISTEM PANASBUMI LAPANGAN “X”, KABUPATEN MINAHASA, SULAWESI UTARA MENGGUNAKAN ANALISIS GEOKIMIA DAN ALTERASI MINERAL

23

300

250

250

20

0200

MAP1

MAP2

MAP3

MAP4

MAP5

SLW-1

696000 698000 700000 702000 704000

696000 698000 700000 702000 704000

X, [m]

12

60

00

12

80

00

13

00

00

13

20

00

13

40

00

12

60

00

12

80

00

13

00

00

13

20

00

13

40

00

Y,

[m]

696000 698000 700000 702000 704000

696000 698000 700000 702000 704000

X, [m]

12

60

00

12

80

00

13

00

00

13

20

00

13

40

00

12

60

00

12

80

00

13

00

00

13

20

00

13

40

00

Y,

[m]

696000 697000 698000 699000 700000 701000 702000 703000 704000

696000 697000 698000 699000 700000 701000 702000 703000 704000

126000

127000

128000

129000

130000

131000

132000

133000

134000

135000

126000

127000

128000

129000

130000

131000

132000

133000

134000

135000

0 500 1000 1500 2000 2500m

1:62500

160

170

180

190

200

210

220

230

240

250

260

270

280

290

300

suhu

Indonesia

Sulawesi Utara

License

Model name

Horizon name

Scale

Contour inc

User name

Date

Signature

1:62500

10

user

07/01/2014

Peta Isothermal

Outflow

Outflow

Gambar 21. Peta Isothermal Lapangan “X”, Sulawesi Utara.

Steam Heated water

Upflow

Chloride water

Bicarbonate water

U

Page 24: Paper TA - MODEL HIDROGEOLOGI DAN SISTEM PANASBUMI LAPANGAN “X”, KABUPATEN MINAHASA, SULAWESI UTARA MENGGUNAKAN ANALISIS GEOKIMIA DAN ALTERASI MINERAL

24

Gambar 22. Model hidrogeologi panasbumi pada lapangan “X”, Sulawesi Utara.

Page 25: Paper TA - MODEL HIDROGEOLOGI DAN SISTEM PANASBUMI LAPANGAN “X”, KABUPATEN MINAHASA, SULAWESI UTARA MENGGUNAKAN ANALISIS GEOKIMIA DAN ALTERASI MINERAL

25

Gambar 23. Litologi dan alterasi hidrothermal log SLW-1 (sumber: PT. Pertamina Geothermal Energy)

Page 26: Paper TA - MODEL HIDROGEOLOGI DAN SISTEM PANASBUMI LAPANGAN “X”, KABUPATEN MINAHASA, SULAWESI UTARA MENGGUNAKAN ANALISIS GEOKIMIA DAN ALTERASI MINERAL

26

Gambar 24. Model sistem panasbumi lapangan “X”, Sulawesi Utara.