paper ta - model hidrogeologi dan sistem panasbumi lapangan “x”, kabupaten minahasa, sulawesi...
TRANSCRIPT
1
MODEL HIDROGEOLOGI DAN SISTEM PANASBUMI LAPANGAN “X”, KABUPATEN
MINAHASA, SULAWESI UTARA MENGGUNAKAN ANALISIS GEOKIMIA DAN
ALTERASI MINERAL
Fikri Adam Dermawan1, Untung Sumotarto
1, Mulyanto
2
1Program Studi Teknik Geologi, Fakultas Teknologi Kebumian dan Energi, Universitas Trisakti
2PT. Pertamina Geothermal Energy, Jakarta
email: [email protected]
ABSTRACT
Sulawesi island has a very complex geological condition caused by collision of three major
tectonic plates, those are Indian-Australian plate, Pasific plate and Eurasian plate. This condition has
been affecting the geological history of North Sulawesi volcano’s activity which has been activated
since early Miocene until now. Dilational fractures control the presence of geothermal manifestation
in the research area. Geothermal system in the research area is included in high relief system which
the heat source comes from magma. There are two types of manifestation, those are hot spring and
fumarol. The approximate reservoir temperature is about 280o – 290
oC and goes down toward the
outflow zone. The reservoir fluid type of this geothermal system is liquid dominated. Based on
geochemical analysis the upflow zone is located on MAP1 and Fum1 (Southwest of research area)
and the outflow zone flowing toward the Tondano lake (Norteast and East of research area).
Geothermal system in the research area consists of three compiler units, those are cap rock which is
composed of argillic zone, transition zone which is composed of outer propylitic and reservoir which
is composed of propilitic zone.
Keyword: Geothermal system, reservoir, temperature, alteration zone, upflow, outflow
SARI
Pulau Sulawesi memiliki kondisi geologi yang sangat kompleks disebabkan oleh tumbukan
tiga lempeng besar, yaitu lempeng Indo-Australia, lempeng Pasifik dan lempeng Eurasia. Kondisi ini
mempengaruhi sejarah aktivitas gunungapi dari Sulawesi Utara yang aktif sejak Miosen awal hingga
saat ini. Rekahan dilational adalah kontrol utama dari hadirnya manifestasi di daerah penelitian.
Sistem panasbumi di daerah penelitian ini termasuk ke dalam sistem dataran tinggi dengan sumber
panas berasal dari magma. Terdapat dua jenis manifestasi, yaitu mataair panas dan fumarola.
Temperatur reservoir di daerah penelitian berkisar 280o – 290
oC dan mengalami penurunan
temperatur ke arah zona outflow. Tipe reservoir dari sistem panasbumi ini adalah liquid dominated.
Berdasarkan analisis geokimia, zona upflow berada pada MAP1 dan Fum1 (Bagian baratdaya dari
daerah penelitian) dan zona outflow mengalir ke arah danau Tondano (Bagian timurlaut dan timur dari
daerah penelitian). Sistem panasbumi daerah penelitian terdiri atas tiga komponen penyusun yaitu
batuan penudung yang tersusun atas alterasi zona argilik, zona transisi yang tersusun atas alterasi zona
outer propylitic dan reservoir yang tersususn atas alterasi zona propilitik.
Katakunci: Sistem panasbumi, reservoir, temperatur, zona alterasi, upflow, outflow
2
1. PENDAHULUAN
Indonesia memiliki 40% dari total potensi global
di energi panasbumi yang diperkirakan sebesar
27.000 MW (Darma, et al., 2010), dimana propinsi
Sulawesi Utara memiliki potensi panasbumi
sebesar 865 MW (Wahyuningsih, 2005). Potensi
sumber daya panasbumi pada daerah penelitian
“X” diperkirakan mencapai 200 Mwe.
Daerah penelitian “X” berada pada zona “ring of
fire”, yang diapit oleh tiga lempeng besar yang
saling bertumbukan, yaitu: lempeng Indo-
Austrasilia, lempeng Pasifik dan lempeng Eurasia.
Manifestasi panasbumi pada daerah ini adalah
solfatara, mataair panas, alterasi hidrothermal dan
endapan sulfur. Lapangan panasbumi “X”,
Kabupaten Minahasa, Sulawesi Utara telah
memasuki tahapan pemboran eksplorasi dan
pengembangan.
2. TATANAN GEOLOGI
2.1 Geologi Regional
Pulau Sulawesi memiliki kondisi geologi yang
sangat kompleks. Kondisi ini diakibatkan oleh
diapitnya pulau Sulawesi oleh tiga lempeng
tektonik besar, yaitu: lempeng Indo-Australia yang
bergerak ke arah utara, lempeng Pasifik yang
bergerak kearah barat dan lempeng Eurasia yang
bergerak ke arah selatan-tenggara serta lempeng
yang lebih kecil yaitu lempeng Filipina (Gambar
1).
Gambar 1. Zona batas lempeng Indonesia berdasarkan Hall dan Wilson (2000), area dengan
warna abu-abu muda adalah zona tabrakan lempeng Eurasia, Indo-Australia dan Pasifik-Laut
Filipina.
3
2.2 Tatanan Tektonik Regional
Tatanan tektonik regional pulau Sulawesi dan
sekitarnya dibagi menjadi lima daerah tektonik
(Gambar 2) (Darman dan Sidi, 2000) yaitu:
1. Busur Vulkanik Sulawesi Bagian Barat:
Berumur Tersier, terdiri dari batuan
plutonik-vulkanik berumur Paleogen-
Kuarter, batuan sedimen dan metamorf
berumur Mesozoik-Tersier.
2. Busur Vulkanik Minahasa-Sangihe:
Berumur Miosen Tengah-Kuarter, terdiri
dari sebaran batuan vulkanik dan batuan
sedimen yang berumur Miosen Awal yang
ditutupi oleh batuan vulkanik Kuarter di
atasnya.
3. Sabuk Metamorfik Sulawesi Bagian
Tengah: Aktivitas magmatik berkomposisi
kalk-alkali potasik muncul di sepanjang
zona sesar mendatar mengiri Palu-Koro,
tersusun atas berbagai macam jenis
granitoid dengan komposisi mineral utama
adalah biotit dan hornblende. Granitoid yang
muncul di daerah ini diperkirakan
berhubungan dengan tumbukan yang terjadi
antara mikrokontinen Banggai-Sula dengan
Pulau Sulawesi selama Miosen Tengah.
Berdasarkan Hamilton (1979), Sulawesi
bagian tengah adalah pertemuan batuan
blue-schist dan melange Sulawesi Timur
berumur Kapur Akhir dengan batuan
granitik dan volkanik Sulawesi Barat
berumur Neogen.
4. Sabuk Ofiolit Sulawesi Bagian Timur:
Berumur Mesozoik-Paleogen, sabuk ofiolit
pada daerah ini ditutupi oleh sedimen
pelagic. Zona ini terdiri dari batuan mafik
dan ultramafik, batuan sedimen dan
melange. Batuan ultramafik banyak
ditemukan di lengan tenggara Sulawesi,
batuan mafik ditemukan di lengan timur
Sulawesi.
5. Fragmen Mikrokontinen Banggai-Sula:
Fragmen kontinen (berumur Paleozoik) di
Sulawesi tengah, Sulawesi Tenggara dan
Banggai Sula-Buton dipercaya berasal dari
bagian utara kontinen Australia yang
mungkin berpisah dengan kontinen pada
umur Jura dan bergerak ke arah timurlaut ke
posisi sekarang. Batuan metamorfik tersebar
luas di bagian timur Sulawesi Tengah,
lengan tenggara dan pulau Kabena.
Daerah penelitian terletak di kabupaten Minahasa,
Sulawesi Utara yang termasuk ke dalam daerah
tektonik Busur Vulkanik Minahsa-Sangihe yang
memiliki rangkaian gunungapi Kuarter berarah
timurlaut-baratdaya.
Gambar 2. Peta tatanan Tektonik pulau Sulawesi
(Darman dan Sidi, 2000)
Berdasarkan batas tektonik, daerah penelitian
berbatasan dengan palung Sulawesi Utara (North
Sulawesi trench) pada bagian barat dan utara, jalur
penunjaman lempeng Laut Maluku pada bagian
timur dan Cekungan Gorontalo pada bagian
selatan. Saat ini, cekungan Laut Sulawesi
tersubduksi di sepanjang palung Sulawesi utara
4
(North Sulawesi trench), dimana jalur subduksi ini
“terhambat” di bagian timur (Silver et al., 1983).
Laju subduksi dari lempeng Laut Sulawesi ini
terhambat oleh lajur subduksi lempeng Laut
Maluku (Andrea Walpersdorf et al., 1998).
McCaffrey et al. (1980) seperti dikutip Hall dan
Wilson (2000), bahwa penunjaman lempeng Laut
Maluku memiliki bentuk “U” terbalik dengan dip
ke timur di bawah Halmahera dan dip ke barat di
bawah busur Sangihe. Pada saat ini pada bagian
barat dari Laut Maluku terdapat vulkanisme aktif
di Busur Sangihe, dapat ditelusuri dari Sulawesi
Utara hingga Mindano. Tangan bagian utara dari
Sulawesi telah menjadi daerah aktivitas busur di
atas zona penunjaman ke arah barat dari lempeng
Laut Maluku sejak Miosen Awal hingga sekarang
(Hall dan Smyth, 2008) (Gambar 3).
Gunungapi aktif yang terbentuk pada Busur
Minahasa – Sangihe terdiri dari G. Soputan, G.
Lokon-Empung, G. Mahawu, G. Klabat dan G.
Dua Saudara dengan pola penyebaran timurlaut-
baratdaya. Berdasarkan stratigrafi batuan, evolusi
dari gunungapi Minahasa dibagi ke dalam empat
peristiwa, yaitu: pra-Tondano, syn-Tondano, post-
tondano dan gunungapi aktif (Siahaan, E. E. et al.,
2005) (Tabel 1).
Tabel 1. Evolusi tektonik dan gunungapi Minahasa
berdasarkan stratigrafi batuan (Siahaan, E. E., et
al., 2005).
Gambar 3. Arah penunjaman dari lempeng Laut Maluku terhadap Busur Sangihe dan Halmahera secara
3D (Hall dan Smyth, 2008).
5
Berdasarkan rekonstruksi penampang oleh Hall
dan Smyth (2008) pada lempeng Laut Maluku dari
selatan hingga utara ditemukan struktur over thrust
fault dan thrust fault pada busur Halmahera dan
pengangkatan serta minor back thrusting pada
Busur Sanghie. Collision complex atau melange
wedge yang ditemukan di tengah Laut Maluku
disebabkan oleh penindihan forearc Sangihe
terhadap forearc Halmahera (Gambar 4).
2.1 Geologi Daerah Penelitian
Berdasarkan peta geologi lembar Manado,
Sulawesi Utara oleh Effendi dan Bawono (1997),
stratigrafi daerah penelitian dikelompokkan ke
dalam empat Formasi. Berikut adalah urutan
Formasi batuan dari tua ke muda: Formasi Batuan
Gunungapi (Di daerah penelitian Formasi Batuan
Gunungapi dibagi dua subformasi yaitu: Formasi
Tondano (Tmv) dan Formasi Tondano
Andesit/Breksi (TmvA), dimana Formasi Tondano
tersusun atas breksi andesit dan Formasi Tondano
Andesit/Breksi tersusun atas batubeku basal
andesit, breksi andesit dan tufa breksi.), Formasi
Tufa Tondano (Qtv), Formasi Batuan Gunungapi
Muda (Qv) dan Endapan Danau dan Sungai (Qs).
2.2 Struktur Geologi Daerah Penelitian
Model struktur geologi daerah penelitian dibuat
berdasarkan analisis kelurusan kontur, citra SRTM
dan kehadiran manifestasi mata air panas dan
fumarol. Struktur-struktur geologi yang ada di
daerah penelitian adalah sesar-sesar lokal akibat
sesar utama dan depresi kaldera Tondano. Pola
struktur geologi daerah penelitian terbentuk akibat
dari proses subduksi lempeng Laut Maluku yang
berorientasi ke arah baratdaya-timurlaut yang
relatif ke utara-selatan. Sisa dari gunungapi
Todano berupa gawir kaldera Tondano tersebar di
bagian selatan daerah penelitian.
Struktur geologi di daerah Minahasa (Gambar 5)
adalah sesar utama yaitu sesar normal dengan arah
Gambar 5. Interpretasi arah kompresi tektonik Sulawesi Utara berdasarkan sesar normal baratlaut-
tenggara dan timurlaut-baratdaya (Effendi dan Bawono, 1997), thrust fault pada Laut Maluku (Hall dan
Wilson, 2000) dan Geantiklin Minahasa (menurut Koperberg (1928) dalam Suhadi (2009)).
6
orientasi baratlaut-tenggara dan sebagian kecil
dengan arah timurlaut-baratdaya (Effendi dan
Bawono, 1997). Sesar normal dengan arah
orientasi baratlaut-tenggara diinterpretasikan hasil
ekstensi dari letusan gunung Tondano pada Plio-
Plistosen (Siahaan, E.E. et al., 2005) (tegasan
utama (σ1) adalah vertikal dan σ2 adalah tegasan
dari arah subduksi maka terbentuklah sesar normal
yang mengarah ke tegasan terkecil (σ3) (Billings,
1977)), sedangkan sesar normal yang terbentuk
sejajar dengan thrust fault diinterpretasikan akibat
dari proses pelepasan (release)).
Thrust fault pada laut Maluku adalah hasil dari
tumbukan forearc Minahasa terhadap forearc
Halmahera pada kala Plistosen – Holosen, yang
mana forearc Minahasa menindih Halmahera dan
menghasilkan overthrust akibat kompresi kedua
lempeng (Hall dan Smyth, 2008). Berdasarkan
Koperberg (1928) dalam Suhadi (2009) di
kawasan Minahasa hingga kepulauan Sangihe
terdapat suatu pengangkatan yang bernama
“Sistem Minahasa”, dimana sistem tersebut
membentuk geantiklin Minahasa dan gunungapi
dalam laut di sepanjang kepulauan Sangihe. Dari
hasil analisis ini maka diperkirakan arah tegasan
utama Sulawesi Utara adalah berkisar N110oE-
N120oE dan N290
oE-N300
oE. Jika dibandingkan
dengan sistem shear dari ketiga data di atas maka
dapat disimpulkan bahwa sistem rekahan pada
daerah penelitian adalah dilational fractures akibat
dari sesar mendatar yang membentuk rekahan.
Dari sesar mendatar inilah rekahan-rekahan
muncul sebagai jalur keluarnya manifestasi di
daerah penelitian.
Secara garis besar kelurusan dari sesar-sesar pada
daerah penelitian memiliki orientasi baratlaut-
tenggara dan baratdaya-timurlaut. Sesar dengan
arah baratlaut-tenggara di bagian utara G.
Rindengan yaitu di sepanjang gawir dengan arah N
300oE diinterpretasikan sebagai penyebab
munculnya manifestasi fumarola dan mata air
panas seperti manifestasi pada MAP1 (Mata Air
Panas) dan Fum1 (Fumarol) (Gambar 6). Arah
sesar baratlaut-tenggara pada utara daerah
penelitian juga sebagai penyebab munculnya
manifestasi MAP5.
3. ANALISIS GEOKIMIA
3.1 Sistem Panasbumi Lapangan “X”
Berdasarkan morfologi daerah penelitian, lapangan
”X” termasuk ke dalam sistem panasbumi dataran
tinggi. Sistem panasbumi dataran tinggi umum
ditemui pada busur kepulauan dan busur
gunungapi yang dicirikan oleh volkanisme
andesitik dan topografi yang terjal, yang mana
pada sistem ini mencegah unsur klorida untuk
mencapai dataran yang lebih tinggi. Fumarol,
tanah beruap dan mata air panas asam sulfat adalah
ciri umum yang ditemukan pada zona dekat upflow
(Nicholson, 1993).
3.2 Analisis Jenis Air Panasbumi Menggunakan
Diagram Cl-SO4-HCO3
Analisis jenis air panasbumi lapangan “X”
menggunakan diagram segitiga Cl-SO4-HCO3
(Giggenbach(1991a) dalam Powell dan Cumming
(2010)). Dari hasil plot diagram segitiga, jenis air
panasbumi lapangan “X” terdiri atas lima jenis air
(Gambar 7). Berikut adalah uraian dari setiap jenis
air panasbumi di lapangan “X”:
Gambar 7. Hasil plot manifestasi air panasbumi di
lapangan “X”.
7
1. Air asam sulfat (acid-sulphate water) :
Berdasarkan komposisi manifestasi air,
unsur sulfat (SO4) bernilai tinggi (1382
ppm) daripada unsur Cl dan HCO3. Unsur
SO4 yang melimpah pada manifestasi air
adalah hasil dari oksidasi hidrogen sulfida
dengan oksigen:
H2S(g) + 2O2(aq) = 2H+
(aq) + SO42-
(aq)
(Nicholson, 1993).
Proses oksidasi dari hidrogen sulfida ke
dalam ion sulfat menghasilkan pH yang
sangat asam (pH=1,81) yang diduga
terdapat kontribusi gas magmatik
(Nicholson, 1993). Unsur klorida yang
muncul pada manifestasi kemungkinan
berasal dari air hujan dan/atau berasal dari
pengaruh magmatik, dikarenakan
kandungan klorida juga dapat berasal dari
hasil kondensasi gas HCl (Gas volatil
magmatik). Berdasarkan komposisi unsur
air manifestasi MAP1 yang termasuk ke
dalam air asam sulfat (acid-sulphate water),
dimana menurut Nicholson (1993) air ini
termasuk ke dalam zona keluaran yang
dekat dengan zona upflow seperti fumarol,
tanah beruap dan air yang dipanaskan oleh
uap (steam heated water).
2. Air klorida : Berdasarkan komposisi
klorida yang dominan pada manifestasi air
(komposisi sulfat dan bikarbonat kecil),
maka manifestasi air MAP2 termasuk ke
dalam air klorida (Mature waters) dan
didukung oleh pH air yang tergolong netral-
sedikit alkali (8,67). Pada sistem panasbumi
dataran tinggi, jenis air klorida tidak
mengindikasikan letak zona upflow karena
klorida muncul pada zona lateral hingga
outflow.
3. Air Cl-HCO3 (Dilute Cl-HCO3/Peripheral
water) : Komposisi manifestasi air MAP3
dimana klorida dan bikarbonat hampir sama
besar (Cl=276 ppm dan HCO3=333) maka
air manifestasi termasuk jenis “larutan air
Cl-HCO3”. Air klorida tercampur dengan air
tanah atau dengan air bikarbonat pada saat
mengalir secara lateral ke daerah pinggir
(Peripheral zone) dari sistem panasbumi.
4. Air klorida yang bercampur dengan SO4
dan HCO3 (Unsur klorida dominan) :
Berdasarkan kandungan klorida yang besar
(350ppm) pada air manifestasi (Konsentrasi
klorida yang tinggi pada kaki gunung adalah
ciri dari sistem dataran tinggi) dan memiliki
kandungan sulfat dan bikarbonat yang besar
terindikasi bahwa pada manifestasi air
MAP4 mengalami pencampuran dengan air
sulfat dan bikarbonat (Sulfat yang terbentuk
akibat oksidasi di dekat permukaan dan
bikarbonat yang terbentuk akibat kondensasi
uap).
5. Air bikarbonat : Unsur dominan pada
manifestasi air MAP5 adalah HCO3 yang
berasal dari kondensasi gas CO2 dengan air
tanah. Komposisi HCO3 yang besar ini juga
dapat berasal dari percampuran dengan air
permukaan. HCO3 yang hadir adalah hasil
dari reaksi kondensasi gas CO2
(Nicholson,1993)
CO2(g) + H2O(i) = H2CO3(aq) = H+
(aq) + HCO3-(aq) =
2H+
(aq) + CO32-
(aq).
Jenis manifestasi ini air termasuk ke dalam
daerah outflow.
3.3 Asal Air Panasbumi Menggunakan Rasio
Cl/B dan Cl-B-Li
Pada temperatur tinggi (>400oC) Cl muncul
dalam bentuk HCl dan boron sebagai H3BO3
dimana keduanya volatil. Kedua unsur ini (Cl
dan B) berasal dari air magmatik (magmatic
brine), namun pada saat fluida magmatik
dingin HCl berubah menjadi NaCl (terutama
melalui interaksi air dan batuan) sedangkan
boron mungkin tetap sebagian volatil dalam
fase uap dan terlarut dalam cairan (Simmons,
1995).
8
Mata air klorida dan sumur panasbumi
biasanya mengandung boron 10-50 mg/kg,
tetapi konsentrasi boron yang sangat tinggi
(~800-1000 mg/kg) dapat ditemukan pada
fluida yang berasosiasi dengan batuan sedimen
kaya organik (Nicholson, 1993).
Klorida dan boron termasuk ke dalam unsur
terlarut yang melimpah pada fase cair daripada
di fase padat (Mineral). Pada saat berada
dalam larutan kedua unsur ini tidak mudah
untuk bereaksi. Unsur ini bersifat konservatif,
yang bertahan pada fase cair (Simmons, S.F.,
1995). Untuk mengetahui kesamaan asal air
panasbumi digunakan rasio Cl/B dan Cl-B-Li.
Gambar 8. Cross-plot rasio Cl/B menunjukkan air
manifestasi berasal dari sumber reservoir yang
sama.
Berdasarkan data yang ditampilkan pada diagram
segitiga di atas, MAP1, MAP2, MAP3, MAP4 dan
MAP5 (Gambar 8 dan 9) air manifestasi memiliki
kesamaan asal fluida reservoir panasbumi.
Konsentrasi boron pada MAP5 sangat kecil
disebabkan oleh penyerapan unsur boron ke dalam
lempung pada saat aliran lateral (Nicholson, 1993)
dan nilai klorida yang besar pada MAP4 adalah
ciri dari zona outflow pada sistem dataran tinggi.
Gambar 9. Hasil plot pada diagram segitiga Cl-Li-
B (Giggenbach (1991a) dalam Powell dan
Cumming (2010)) menunjukkan bahwa air
manifestasi berasal dari sumber yang sama.
3.4 Analisis Manifestasi Gas Berdasarkan
Unsur Gas “X”
Berdasarkan komposisi unsur manifestasi gas
Fum1 memiliki kadar gas total lebih besar
daripada Fum2 (Fum1=1,1 wt.%, Fum2=0,06
wt.%). Dapat disimpulkan bahwa pada saat proses
separasi gas (gas separation) akibat pendidihan,
gas Fum1 mengalami proses separasi gas dalam
satu tahap separasi (single stage : mengindikasikan
gas berasal langsung dari reservoir) dibandingkan
data manifestasi gas Fum2 yang diprakirakan telah
melalui lebih dari satu kali separasi gas atau
disebut dengan pendidihan yang
berkesinambungan (continous boiling)
(Dibuktikan dari kadar gas total dalam uap yang
kecil).
Berdasarkan data manifestasi, Fum2 dipengaruhi
oleh kontaminasi udara (4 wt.%) dan nitrogen
lebih besar dari Fum1 (2,74 wt.%). Kontaminasi
udara pada data manifestasi diinterpretasikan
berasal dari gas atmosfer yang masuk melalui air
hujan akibat kecilnya tekanan pada zona outflow
yang memudahkan udara untuk masuk ke dalam
manifestasi.
9
Hidrogen (H2) pada data Fum1 memiliki nilai yang
lebih kecil daripada Fum2. Hidrogen pada Fum1
dipercaya mengalami proses “magmatic
quenching” (Bogie, I. dan Lovelock, B.G., 1999):
SO2 (magmatic gas) +3H2 = H2S + 2H2O.
Hidrogen dan sulfur dioksida (SO2) bereaksi
menghasilkan hidrogen sulphide (H2S) yang
mengakibatkan unsur hidrogen mengalami
pengurangan konsentrasi. Akibat pembentukan H2
yang lambat (H2 terbentuk dari oksidasi Fe2+
), SO2
bereaksi dengan H2S menghasilkan endapan
sulfur. Proses inilah yang menjelaskan mengapa
pada Fum1 terdapat endapan sulfur. Proses
oksidasi terhadap H2S menjadi sulfat juga
mempengaruhi komposisi gas H2S
(Nicholson,1993).
SO2(magmatic gas) + 2H2S = 3S + 2H2O
Gambar 10. Berdasarkan diagram segitiga H2-H2S-
CH4 (Powell dan Cumming (2010)), menunjukkan
bahwa gas Fum1 telah mengalami “magmatic
quenching” dimana konsentrasi H2 pada data gas
kecil dibandingkan H2S. Sedangkan pada Fum2
mengalami “continuous boiling”.
Komposisi “gas yang sedikit terlarut – gas yang
terlarut” pada Fum1 terhadap Fum2 memiliki
kesan lebih kecil dari Fum2, dikarenakan pada
Fum2 tidak mengalami “magmatic quenching”
melainkan “continous boiling” yang dapat dilihat
dari total kadar gas yang kecil. Komposisi unsur
Amonia (NH3) pada Fum2 lebih besar dari Fum1
menjelaskan bahwa Fum2 terletak di zona outflow
(Amonia adalah unsur gas yang terlarut dimana
unsur ini semakin besar ke zona outflow).
Penentuan asal dari manifestasi gas “X”
menggunakan diagram segitiga N2-He-Ar
(Giggenbach and Goguel (1989) dalam Powell dan
Cumming (2010)) dan diagram segitiga N2-Ar-
CO2 (Giggenbach (1991b) dalam Powell dan
Cumming (2010)).
3.5 Analisis Asal Manifestasi Gas “X”
Mengguanakan Diagram Segitiga N2-He-Ar
Dalam penentuan asal manifestasi gas “X”, salah
satunya menggunakan diagram segitiga N2-He-Ar
(Giggenbach and Goguel (1989) dalam Powell dan
Cumming (2010)). Unsur N2 dapat menjadi
karakteristik pengaruh gas atmosfer atau magmatik
(pengaruh magmatik jika rasio N2/Ar berada pada
nilai 800-2000 (Nicholson, 1993)), He sebagai
karakteristik crustal dan Ar adalah air hujan. Hasil
dari plot diagram segitiga N2-He-Ar (Gambar 11)
masih dapat digunakan walaupun data helium
tidak terekam dan disimpulkan bahwa gas
panasbumi berasal dari air hujan.
Gambar 11. Hasil plot manifestasi gas “X”
terhadap diagram segitiga N2-He-Ar menunjukkan
gas panasbumi berasal dari air hujan.
10
3.6 Analisis Asal Manifestasi Gas “X”
Mengguanakan Diagram Segitiga N2-Ar-CO2
Diagram segitiga N2-Ar-CO2 memiliki fungsi yang
sama dengan diagram segitiga N2-He-Ar, hanya
saja unsur helium diganti dengan CO2.
Berdasarkan diagram segitiga ini data Fum2 lebih
mendekati garis gas atmosfer dibandingkan Fum1
dan diinterpretasikan bahwa Fum1 lebih
mendekati zona upflow dibandingkan Fum2
dikarenakan Fum1 memiliki konsentrasi CO2 yang
besar (CO2 adalah unsur gas utama di sistem
panasbumi).
Gambar 12. Hasil plot manifestasi gas “X” pada
diagram segitiga N2-Ar-CO2 menunjukkan bahwa
Fum1 lebih mendekati zona upflow dibandingkan
dengan Fum2.
3.7 Analisis Manifestasi Gas “X”
Mengguanakan Diagram Segitiga CO2-H2S-
NH3
Berdasarkan diagram segitiga CO2-H2S-NH3,
Fum1 memiliki komposisi gas yang sedikit terlarut
(CO2 dan H2S) yang lebih besar dari Fum2 yang
memiliki kandungan gas sedikit terlarut kecil, dan
ini mencirikan bahwa gas pada Fum1 (Upflow)
bergerak secara lateral ke arah Fum2 (Outflow).
Pergerakan gas Fum1 ke Fum2 didasari atas
komposisi unsur NH3 yang besar pada Fum2. NH3
adalah gas terlarut dimana proses separasi gas
terjadi lebih lambat daripada CO2 dan H2S, proses
inilah yang menjadikan gas NH3 sebagai kunci
zona outflow. Ammonia juga dapat terbentuk
akibat reaksi dengan batuan sedimen dekat dengan
permukaan.
Gambar 13. Diagram segitiga CO2-H2S-NH3
menunjukkan bahwa Fum1 berada pada zona
upflow sedangkan Fum2 adalah zona outflow, yang
dibuktikan oleh sudah mulai banyak unsur amonia
pada gas.
3.8 Temperatur Reservoir Berdasarkan
Diagram Segitiga Na-K-Mg
Dalam menentukan temperatur reservoir dapat
digunakan diagram segitiga Na-K-Mg
(Giggenbach (1991a) dalam Powell dan Cumming
(2010)), diagram ini didasari oleh kombinasi dari
geothermometer Na-K dan K-Mg. Menurut
Giggenbach, jenis dari diagram ini adalah
“geoindikator”, dikarenakan dapat
mengilustrasikan bukti yang mendukung
interpretasi keseimbangan air pada temperatur
yang tinggi namun juga dapat menginterpretasikan
pengaruh proses dangkal dan kemungkinan
keseimbangan di temperatur yang rendah.
Dari hasil pemasukan data pada diagram segitiga
Na-K-Mg, terdapat tiga manifestasi air yang
termasuk ke dalam “keseimbangan sebagian”
(Partial equilibrium) dan dua “air yang belum
matang” (Immature waters). Berikut adalah
11
manifestasi yang masuk ke dalam “keseimbangan
sebagian” yaitu:
Gambar 14. Hasil plot pada diagram segitiga Na-
K-Mg (Giggenbach (1991a) dalam Powell dan
Cumming (2010)) menunjukkan bahwa MAP2,
MAP3 dan MAP4 masuk ke dalam partial
equilibrium, sedangkan MAP1 dan MAP5 adalah
immature waters.
o MAP2 (prakiraan temperatur reservoir =
±182oC)
o MAP3 (prakiraan temperatur reservoir =
±175oC)
o MAP4 (prakiraan temperatur reservoir =
±175oC)
Sedangkan dua yang lainnya adalah “air yang
belum matang” yaitu:
o MAP1 = Pada diagram segitiga Na-K-Mg
MAP1 termasuk ke dalam zona immature
waters, dikarenakan nilai magnesium yang
besar (7,2ppm)
o MAP5 = Memiliki pengaruh air tanah
(Magnesium = 7ppm)
Berdasarkan diagram segitiga, temperatur pada
manifestasi di MAP2, MAP3 dan MAP4 memiliki
nilai yang lebih kecil daripada temperatur
reservoir, hal ini disebabkan oleh:
1. Komposisi magnesium masih besar pada
manifestasi yang mengindikasikan masih
tercampurnya air dengan air tanah.
2. Masih adanya HCO3 (Berdasarkan diagram
segitiga Cl-SO4-HCO3), yang mana
bikarbonat adalah hasil dari kondensasi gas
CO2 terhadap air tanah. Sedangkan pada
reservoir tidak terdapat air bikarbonat.
3. Pencampuran dengan air tanah atau air
permukaan (Dapat dilihat dari data diagram
segitiga Cl-SO4-HCO3).
Berdasarkan tiga sebab tersebut, maka diprediksi
bahwa temperatur reservoir lebih besar dari hasil
diagram segitiga Na-K-Mg yaitu >182oC.
3.9 Temperatur Reservoir Berdasarkan Cross-
plot Na-K/Mg-Ca
Cross-plot Na-K/Mg-Ca (Giggenbach dan Goguel
(1989) dalam Powell dan Cumming (2010)) adalah
“geoindikator” untuk mengetahui pengaruh
dangkal dan proses temperatur rendah akibat dari
kehadiran keseimbangan Mg-Ca.
Gambar 15. Hasil cross-plot Na-K/Mg-Ca
menunjukkan temperatur reservoir berkisar 170o-
182oC namun nilai temperatur MAP1 dan MAP5
tidak dapat digunakaan akibat immature waters.
Berdasarkan cross-plot Na-K/Mg-Ca, manifestasi
air MAP2 memiliki temperatur ±182oC dengan
nilai rasio magnesium tergolong kecil di antara
manifestasi lainnya. Manifestasi air pada MAP3
berada pada temperatur ±170 o
C namun memiliki
kadar rasio Mg/Ca yang besar. Air manifestasi
MAP4 berada pada temperatur ±170 o
C namun
memiliki kandungan unsur magnesium yang besar
mengindikasikan pengaruh air tanah. MAP1 dan
MAP5 adalah air yang belum matang, maka nilai
12
dari temperatur tidak dapat digunakan. Maka
disimpulkan temperature reservoir berkisar 170o-
182oC.
3.10 Temperatur Reservoir Berdasarkan
Geothermometer Air
Perhitungan temperatur daerah penelitian
menggunakan geothermometer silika (Fournier
(1983) dalam Nicholson (1993)), geothermometer
Na-K (Fournier (1979b) dalam Nicholson (1993);
Giggenbach (1988) dalam Nicholson (1993)) dan
geothermometer Na-K-Ca (Fournier dan Truesdell
(1973) dalam Nicholson (1993)) (Tabel 2).
Perhitungan temperatur MAP1 tidak dapat
dilakukan disebabkan oleh beberapa faktor, yaitu:
1. Air pada MAP1 adalah hasil dari “air yang
terpanaskan oleh uap” dari gas H2S, dan uap
tidak membawa unsur-unsur terlarut seperti
Cl, Na, K, SiO2, B dan lainnya.
2. Silika dan unsur lainnya (Na, K, dan kation
lainnya) yang hadir pada air ini adalah hasil
dari proses luluhan (leaching) air asam
sulfat terhadap batuan sekitar.
Berdasarkan hasil perhitungan temperatur
penggunaan geothermometer Na-K memiliki
tingkat ketelitian yang besar (Fournier (1979b)
dalam Nicholson (1993)); Giggenbach (1988)
dalam Nicholson (1993)) dikarenakan laju untuk
kembali seimbang dari pertukaran Na-K lebih
lambat daripada proses pelarutan dan pengendapan
larutan silika dan pertukaran keseimbangan K-Mg,
dan geothermometer ini unggul dalam kondisi
“seimbang” di kedalaman yang mengakibatkan
unsur tersebut merekam temperatur larutan dalam
jangka waktu yang lama hingga naik ke
permukaan.
Oleh karena itu rasio ini mengindikasikan
temperatur yang tinggi dari zona yang sangat
dalam, maka ditarik kesimpulan temperatur
reservoir pada setiap daerah adalah sebagai berikut
(menggunakan geothermometer Na-K):
MAP2, Geothermometer Na-K =183,1oC
(Fournier), 182,18oC (Giggenbach)
MAP3,Geothermometer Na-K = 174,38oC
(Fournier), 174,24oC (Giggenbach)
MAP4, Geothermometer Na-K = 173,99oC
(Fournier), 173,88oC (Giggenbach)
Maka temperature reservoir daerah penelitian
adalah berkisar 174-183oC.
3.11 Temperatur Reservoir Berdasarkan
Diagram Segitiga CH4-CO2-H2S
Diagram segitiga CH4-CO2-H2S (Giggenbach dan
Glover (1992) dalam Powell dan Cumming
(2010)) berfungsi untuk meneliti proses pelepasan
gas (degassing) pada fluida panasbumi di saat
Tabel 2. Temperatur hasil perhitungan geothermometer air pada setiap daerah manifestasi.
GEOTHERMOMETER MAP2 MAP3 MAP4
T SiO2 (°C)
Quartz, no steam
loss 192,87 198,7 189,51
Quartz, max
steam loss 178,66 183,37 175,94
T Na-K (°C) Fournier 183,1 174,38 173,99
Giggenbach 182,18 174,24 173,88
T Na-K-Ca (°C) 171,95 172,21 177,22
13
perjalanan menuju permukaan. Berdasarkan hasil
plot dapat dilihat bahwa data Fum2 berada di zona
“vapor trends from continuous boiling” dimana ini
mengindikasikan daerah Fum2 sudah termasuk
zona lateral hingga outflow dan juga dibuktikan
dari kadar gas total dari Fum2 yang kecil dari
Fum1. Berdasarkan data diagram dapat
disimpulkan bahwa Fum1 menunjukkan
temperatur reservoir ±245oC (Gambar 16).
Gambar 16. Berdasarkan hasil plot diagram,
manifestasi gas Fum2 berada pada zona “continous
boiling” (<100oC) sedangkan temperatur pada
Fum1 ±245oC.
3.12 Temperatur Reservoir Berdasarkan Cross-
plot CO2/Ar dan H2/Ar
Berdasarkan pengukuran menggunakan cross-plot
CO2/Ar dan H2/Ar (Giggenbach dan Glover (1992)
dalam Powell dan Cumming (2010)) menunjukkan
data manifestasi Fum2 memasuki zona
keseimbangan ke arah keseimbangan cairan (liquid
equilibrium) dengan temperatur 150oC, sedangkan
Fum1 tidak masuk ke dalam zona keseimbangan
akibat data tidak masuk ke dalam bagan, sehingga
dapat disimpulkan bahwa ciri-ciri dari reservoir
adalah liquid dominated (Gambar 17).
Gambar 17. Cross-plot CO2/Ar dan H2/Ar
(Giggenbach dan Glover (1992) dalam Powell dan
Cumming (2010)) pada manifestasi gas daerah
penelitian, Fum2 berada pada equilibrated liquid
sedangkan Fum1 tidak masuk ke dalam bagan.
3.13 Temperatur Reservoir Berdasarkan Cross-
plot FT-HSH
Penggunaan dari cross-plot FT-HSH (D’Amore
dan Truesdell, 1985) ini berdasarkan reaksi
Fischer-Tropsch dan H2 – H2S (Gambar 18).
Berdasarkan pengukuran, kedua data tidak masuk
ke dalam zonasi, namun jika penarikan garis
imajiner Fum1 terhadap geothermometer Fischer-
Tropsch dapat diprediksi temperatur dari reservoir
adalah ±280 – 290oC. Pada cross-plot ini
disimpulkan bahwa reservoir adalah liquid
dominated dikarenakan nilai fraksi uap (nilai Y)
memiliki nilai yang kecil.
3.14 Temperatur Reservoir Berdasarkan Cross-
plot FT-CO2
Pada cross-plot FT-CO2 pada data Fum1 dilakukan
penarikan garis imajiner berdasarkan
geothermometer Fischer-Tropsch dan CO2 maka
memiliki jarak temperatur ±285 – 295oC (Gambar
19). Pada cross-plot ini disimpulkan bahwa
reservoir adalah liquid dominated.
Fum2 Fum1
14
3.15 Temperatur Reservoir Berdasarkan Cross-
plot FT-CO2
Pada cross-plot FT-H2S memiliki kesamaan
dengan cross-plot sebelumnya. Pada data Fum1
dilakukan penarikan garis imajiner berdasarkan
geothermometer Fisher-Tropsch terhadap H2S dan
menghasilkan temperatur ±285-290oC (Gambar
20) (pengukuran temperatur dengan menggunakan
garis imajiner terhadap geothermometer Fishter-
Tropsch) dengan sistem panasbumi adalah liquid
dominated dikarenakan nilai fraksi uap pada cross-
plot kecil.
Gambar 18. Berdasarkan hasil cross-plot FT-HSH
menunjukkan nilai temperatur reservoir berkisar
280 – 290oC dengan sistem panasbumi liquid
dominated.
Gambar 19. Berdasarkan penarikan garis imajiner
terhadap geothermometer Fisher-Tropsch
didapatkan nilai temperatur berkisar 285o-295
oC.
Gambar 20. Dari hasil cross-plot FT-H2S juga
menunjukkan sistem panasbumi pada daerah
penelitian adalah liquid dominated.
3.16 Temperatur Reservoir Berdasarkan
Geothermometer Gas
Pengukuran temperatur reservoir didasari atas
hasil dari perhitungan beberapa geothermometer
gas (Tabel 3), namun tidak seluruh
geothermometer gas dapat digunakan dalam
menentukan temperatur reservoir “X”.
Berdasarkan penjelasan sebelumnya ada beberapa
geothermometer yang tidak dipakai (Giggenbach
(1991) dalam Altamirano (2006) - CH4/CO2,
Arnorsson and Gunnlaugsson (1985) dalam
Arnorsson (2000) – CO2, Arnorsson, et al. (1998)
dalam Altamirano (2006) – H2/Ar) yang
disebabkan oleh dua hal, yaitu: nilai dari
temperatur yang sangat tinggi (>374oC) dan
temperatur terlampau rendah.
Dari perhitungan geothermometer gas, ditarik
kesimpulan bahwa temperatur reservoir berkisar
280-290oC pada zona upflow dan bergerak ke arah
Fum2 temperatur mengalami penurunan akibat
dari gas yang mengalami proses pelarutan dan
pendidihan yang berkesinambungan sehingga
temperatur menurun hingga ±174oC.
15
3.17 Hidrogeologi Daerah Penelitian
Berdasarkan Geoindikator Air
Geoindikator daerah “X” menggunakan empat
jenis rasio untuk mengetahui zonasi panasbumi.
Rasio NH4/B digunakan untuk mengetahui fluida
reservoir telah mengalami “pemanasan oleh uap”
(Jika nilai rasio besar).
Rasio Cl/SO4 digunakan untuk mengetahui
indikasi zona upflow (Nilai rasio rendah), rasio
Na/K dan SO4/HCO3 memiliki fungsi yang sama
dengan rasio Cl/SO4 yaitu untuk mengetahui zona
upflow, permeabilitas dan temperatur yang tinggi
(Nicholson, 1993).
Berdasarkan rasio:
NH4/B : MAP2 sangat kecil terpengaruh
oleh pemanasan oleh uap dibandingkan
MAP4,
Cl/SO4 mengindikasikan MAP1 berada pada
zona upflow yang semakin ke arah MAP2
semakin mengarah ke zona outflow,
Tabel 3. Hasil perhitungan beberapa geothermometer gas.
Geothermometer Fum1 (oC) Fum2 (
oC)
H2/Ar (Giggenbach (1991)) 174,8 232,86
A&G, 1985 – H2S 310 268,71
A&G, 1985 – H2 260,88 264,2
A&G, 1985 – H2S/H2 217,11 260,23
A&G, 1985 – CO2/H2 252,28 296,86
A, dkk, 1998 – CO2 291,424 184,19
A, dkk, 1998 – H2S 281,71 211,1
A, dkk, 1998 – H2 183,85 192,9
A, dkk, 1998 – CO2/N2 252,57 202,67
A, dkk, 1998 – H2S/Ar 250,64 236,01
Catatan:
A&G = Arnorsson and Gunnlaugsson (1985) dalam Arnorsson (2000)
A, et al. = Arnorsson, et al. (1998) dalam Altamirano (2006)
NH4 B Rasio Cl SO4 Rasio
(ppm) (ppm) (NH4/B) (ppm) (ppm) (Cl/SO4)
MAP2 0,86 10 0,09 MAP1 220 1382 0,1164 upflow
MAP5 0,1 0,86 0,1 MAP5 71 46 1,54
MAP1 1,3 5,7 0,216 MAP4 350 139 2,5
MAP3 1,4 5,9 0,233 MAP3 276 59 4,67
MAP4 1,4 5,3 0,28 MAP2 424 31 13,677 outflow
Na K Rasio SO4 HCO3 Rasio
(ppm) (ppm) (Na/K) (ppm) (ppm) (SO4/HCO3)
MAP1 upflow MAP1 1382 1 1382 upflow
MAP2 322 16 20,125 MAP4 139 139 1
MAP3 342 15 22,8 MAP2 31 62 0,5
MAP4 344 15 22,93 MAP5 46 230 0,2
MAP5 outflow MAP3 59 333 0,177 outflow
Arah Aliran
Nama
sampelArah Aliran
Arah Aliran
steam heated
Nama
sampelArah Aliran
Nama
sampel
Nama
sampel
Tabel 4. Geoindikator menggunakan rasio NH4/B, Cl/SO4, Na/K dan SO4/HCO3 untuk mengetahui zonasi
panasbumi.
16
SO4/HCO3 mengindikasikan bahwa MAP1
berada pada zona upflow,
Na/K : pada rasio ini MAP2 berada pada
zona upflow ini dikarenakan rasio MAP1
tidak dapat digunakan (unsur Na dan K pada
MAP1 tidak berasal dari reservoir). Nilai Na
dan K pada MAP5 telah mengalami
pencampuran.
Dari hasil analisa geoindikator dapat disimpulkan
bahwa zona upflow pada daerah penelitian adalah
pada MAP1, sedangkan MAP2, MAP3, MAP4 dan
MAP5 berada pada zona outflow.
3.18 Hidrogeologi Daerah Penelitian
Berdasarkan Geoindikator Gas
Dalam geoindikator gas digunakan beberapa rasio
yaitu: CO2/H2S dan CO2/H2 untuk mengetahui
zonasi dan arah aliran, kadar gas total berguna
untuk mengetahui jauhnya perjalanan gas, dan
rasio N2/Ar berfungsi untuk mengetahui sumber
gas (Nicholson, 1993). Data dari kadar gas total
Fum1 tidak terindikasi adanya “pendidihan yang
berkesinambungan” (kandungan gas pada uap
besar) sedangkan Fum2 memiliki kadar gas pada
uap kecil.
Berdasarkan rasio:
CO2/H2S dan CO2/H2 : Fum2 berada pada
zona upflow dibandingkan Fum1 hal ini
dikarenakan H2 dan H2S pada Fum1
mengalami proses pendinginan (quenching)
oleh karena itu nilai kedua unsur lebih kecil
dari yang ada pada Fum2,
Kandungan ammonia dalam Fum2 lebih
besar dibandingkan dengan Fum1 yang
mengindikasikan bahwa Fum2 lebih
mengarah ke zona outflow.
N2/Ar pada Fum1 dan Fum2
mengindikasikan bahwa gas berasal dari air
hujan/gas atmosfer.
Dapat disimpulkan bahwa Fum1 berada pada zona
upflow sedangkan Fum2 pada zona outflow. Data
geoindikator air dan gas memiliki kesesuaian
dalam penentuan zonasi dimana Fum1 sebagai
zona upflow.
CO2 H2S Rasio
(%mol) (%mol) (CO2/H2S)
FUM1 1,1 upflow FUM2 59,20 20,70 2,86 upflow
FUM2 0,06 outflow FUM1 85,30 10,10 8,44 outflow
NH3 CO2 H2 Rasio
(%mol) (%mol) (%mol) (CO2/H2)
FUM1 0,0285 upflow FUM2 59,20 1,59 37,23 upflow
FUM2 1,28 outflow FUM1 85,30 0,063 1354 outflow
N2 Ar Rasio
(%mol) (%mol) (N2/Ar)
FUM1 4,37 0,0634 69 air hujan
FUM2 16,80 0,2370 70,88 air hujan
Nama
sampel
Nama
sampel
Arah
aliran
Arah
aliran
Kadar Gas
Total
(wt.%)
Nama
sampelAsal gas
Nama
sampel
Arah
aliran
Nama
sampel
Arah
aliran
Tabel 5. Geoindikator gas untuk mengetahui sumber, zonasi serta flow direction.
17
3.19 Model Hidrogeologi Panasbumi Daerah
“X”
Model hidrogeologi panasbumi daerah “X”
didasarkan pada data unsur fluida, asal fluida,
geothermometer air dan gas serta geoindikator
fluida. Dari hasil analisis dapat disimpulkan bahwa
zona upflow adalah MAP1 dan Fum1 dan zona
outflow adalah MAP2 dan Fum2, MAP3, MAP4
dan MAP5.
Temperatur pada setiap daerah didasarkan pada
geothermometer gas pada MAP1 & Fum1 (290oC)
dan geothermometer air pada MAP2 & Fum2
(180oC), MAP3 (174
oC), MAP4 (174
oC) dan
MAP5 (160oC). Pemodelan hidrogeologi
panasbumi lapangan “X” didasarkan pada
interpretasi temperatur manifestasi dan
geothermometer manifestasi yang kemudian
dibantu dengan data sumur SLW-1 (270oC)
sebagai titik ikat temperatur di setiap ke dalaman
(Gambar 21 dan 22).
4. ANALISIS LOG
4.1 Zona Alterasi Pada Daerah Penelitian
Zona alterasi pada daerah penelitian didasarkan
pada data sumur SLW-1 lapangan “X” (Gambar
23). Pada daerah penelitian ini zona alterasi dibagi
ke dalam tiga zona, yaitu: zona argilik, zona outer
propylitic dan zona propilitik. Berikut adalah
penjelasan zona alterasi pada daerah penelitian.
1. Zona argilik (<100-150oC): Zona alterasi ini
berada di kedalaman 120-830m, yang
dicirikan dengan ditemukannya mineral
smectite dan mineral chlorite yang dapat
disimpulkan bahwa pH fluida adalah sedikit
asam (5-6). Mineral silika atau kuarsa
masuk ke dalam seluruh zona alterasi karena
fluida hidrotermal umumnya jenuh akan
SiO2 (Henley et al. (1984) dalam Corbett
dan Leach (1997)). Kehadiran mineral kalsit
di beberapa tempat mengindikasikan bahwa
pH fluida hidrotermal adalah sedikit asam
hingga netral. Terdapat beberapa anomali
pada zona alterasi ini, yaitu:
Ditemukannya mineral interlayered
illite – smectite pada kedalaman 130m
dan 510m,
Ditemukannya mineral epidot pada
kedalaman 400m, dan
Ditemukannya mineral albit pada
kedalaman 510m.
Anomali ini diinterpretasikan sebagai
mineral relik, bahwa pada kedalaman
tersebut pernah dilalui oleh fluida panas
(Temperature berkisar 220-300oC) yang
didukung oleh terdapatnya intensitas alterasi
yang sedang pada kedalaman 120m. Ada
dua penyebab yang menjelaskan kehadiran
mineral relik terbentuk, yaitu:
Sumber panas dahulu lebih panas
(bertemperatur lebih tinggi) dari saat
ini, atau
Aktifitas tektonik yang mengangkat
sumber panas (ditemukan pula relik
epidot dan albit pada kedalaman
1678m).
Jenis batuan juga mempengaruhi ROP (Rate
of Penetration) dari tufa dan breksi andesit
yang kecil dibandingkan dengan batuan
beku (Andesit basaltik) yang tinggi. Pada
zona alterasi ini memiliki lapisan akuifer
lemah hingga tinggi di beberapa tempat
yang diduga akibat dari rekahan (mayoritas
pada batuan beku) dan didukung oleh
pengisian rekahan (vein filling) yang besar
pula (26-50%). Formasi batuan penyusun
zona alterasi ini adalah Formasi Rindengan,
Formasi Tufa Tondano dan Formasi
Tondano Andesit/Breksi.
2. Outer Propilitic zone (150 – 200oC): Zona
alterasi propilitik luar (outer propilitic)
berada pada kedalaman 830 – 910m dengan
ditemukannya mineral interlayered illite –
18
smectite dengan pengurangan mineral
smectite ke arah temperatur tinggi dan
mengindikasikan pH mendekati netral. Awal
munculnya mineral epidot pada zona ini
diindikasikan sebagai “mineral jejak”.
Mineral epidot yang hadir pada temperatur
ini adalah butiran yang baru terbentuk
(poorly crystaline incipient grains) (Corbett
dan Leach, 1997). Mineral kalsit dan kuarsa
hadir melipah pada zona ini dan terendapkan
pada rekahan. Intensitas alterasi pada zona
ini rendah hingga tinggi dan memiliki nilai
ROP yang rendah karena batuan yang telah
mengalami perubahan. Formasi penyusun
pada zona alterasi ini adalah Formasi
Tondano dan sebagian Formasi Tondano
Andesit/Breksi.
3. Zona Propilitik (220 – 300oC): Zona alterasi
propilitik berada di kedalaman 910 – 1084m
dengan pH netral. Alterasi mineral yang
ditemukan pada zona ini adalah
melimpahnya mineral epidot sebagai
penanda telah masuk ke dalam temperatur
tinggi, mineral smectite yang tidak
ditemukan, chlorite, kuarsa, pirit dan kalsit.
Intensitas alterasi pada zona ini tinggi yang
diakibatkan oleh fluida hidrotermal yang
masuk melalui rekahan-rekahan dan
dekatnya zona ini dengan reservoir.
Rekahan-rekahan pada zona ini terisi oleh
kuarsa dan kalsit yang sisanya teralterasi
oleh grup mineral propilitik. Tingkat ROP
pada zona ini selaras dengan tingkat alterasi
batuan yang tinggi. Gradient temperatur
mengalami pembalikan (reversal) pada
kedalaman tertentu.
Sistem panasbumi daerah penelitian
diinterpretasikan berdasarkan kombinasi antara
model hidrogeologi dan alterasi log sumur SLW-1
dan disimpulkan bahwa batuan penudung tersusun
atas zona argilik, zona transisi adalah outer
propilitic dan reservoir adalah propilitik (Gambar
24).
5. KESIMPULAN
Berikut adalah poin penting dari hasil penelitian
pada lapangan “X”:
• Sistem panasbumi pada daerah penelitian
termasuk ke dalam sistem dataran tinggi
yang dibuktikan dengan topografi yang
tinggi dan komposisi batuan andesit.
Sumber panas berasal dari magma yang
termasuk ke dalam sistem volcanogenic.
• Jenis air panasbumi lapangan “X” terdiri
dari lima jenis air, yaitu:
1. Air asam sulfat pada MAP1.
2. Air klorida pada MAP2.
3. Larutan air Cl-HCO3 pada MAP3.
4. Air klorida yang bercampur dengan
SO4 dan HCO3 (Unsur klorida
dominan) pada MAP4.
5. Air bikarbonat pada MAP5.
• Berdasarkan diagram segitiga Cl-B-Li dan
rasio Cl/B, air manifestasi berasal dari
sumber reservoir yang sama.
• Berdasarkan unsur kimia gas, manifestasi
gas Fum2 telah mengalami “pendidihan
yang berkesinambungan”. Gas pada Fum2
telah mengalami kontaminasi gas atmosfer
akibat masuknya gas atmosfer melalui air
hujan.
• Berdasarkan diagram segitiga N2-He-Ar dan
diagram Segitiga N2-Ar-CO2, fluida
reservoir berasal dari air hujan.
• Berdasarkan diagram segitiga Na-K-Mg,
cross-plot Na-K/Mg-Ca dan
geothermometer air ditarik kesimpulan
bahwa temperatur reservoir berkisar 174 –
182oC, namun diinterpretasikan nilai
temperatur reservoir lebih besar dari hasil
perhitungan dikarenakan tidak adanya
proses pencampuran dan pelarutan pada
reservoir.
• Berdasarkan diagram segitiga CH4-CO2-
H2S, cross-plot CO2/Ar dan H2/Ar, cross-
plot FT-HSH, cross-plot FT-CO2, cross-plot
FT-H2S dan geothermometer gas dapat
ditarik kesimpulan bahwa temperatur
19
reservoir berkisar 280-290oC dengan Fum1
berada pada zona upflow dan tipe reservoir
adalah liquid dominated.
• Berdasarkan geoindikator air dan gas,
MAP1 dan Fum1 berada pada zona upflow
sedangkan MAP2 dan Fum2, MAP3, MAP4
dan MAP5 berada pada zona outflow.
• Dari hasil analisis log sumur SLW-1,
terdapat tiga komponen penyusun sistem
panasbumi berdasarkan zona alterasi, yaitu:
1. Batuan penudung yang terdiri dari
zona alterasi argilik (<100 – 150oC),
2. Zona transisi yang terdiri dari zona
alterasi outer propylitic (150 –
200oC), dan
3. Zona reservoir yang terdiri dari zona
alterasi propilitik (220 – 300oC).
DAFTAR PUSTAKA
Altamirano, J.I.C. 2006. Sampling and Analyses
of Geothermal Steam and Geothermometer
Applications in Krafla, Theistareykir,
Reykjanes and Svartsengi, Iceland.
Geothermal Training Programme, Iceland.
Arnórsson, S. 2000. Isotopic and Chemical
Techniques in Geothermal Exploration,
Development and Use: Sampling Methods,
Data Handling, Interpretation.
International Atomic Energy Agency,
Vienna.
Billings, Marland P. 1977. Structural Geology, 3rd
Ed. Englewood Cliffs, NJ: Prentice-Hall.
Bogie, I. dan Lovelock, B.G. 1999. The
Recognition of Quenched Magmatic Gases
in Fumaroles As A Geothermal
Exploration Tool. Proceedings 20th
Annual PNOC-EDC Geothermal
Conference, 73-80.
Corbett, G.J. dan Leach, T.M. 1997. Southwest
Pacific Rim Gold-copper Systems:
Structure, Alteration and Mineralization.
Short Course Manual Draft.
Darma, S., Harsoprayitno, S., Setiawan, B.,
Hadyanto, Sukhyar, R., Soedibjo, A.W.,
Novi Ganefianto dan Jim Stimac. 2010.
Geothermal Energy Update: Geothermal
Energy Development and Utilization in
Indonesia. Proceedings World Geothermal
Congress, Bali.
Darman, H., dan Sidi, H.F. 2000. An Outline of
The Geology of Indonesia, Ikatan Ahli
Geologi Indonesia, Jakarta.
D’Amore, F. and Truesdell, A.H. 1985.
Calculation of Geothermal Reservoir
Temperatures and Steam Fractions From
Gas Compostion; Trans. Geothermal Res.
Council, Vol. 9, Part 1, August 1985, pp
305-310.
Effendi, A.C. dan Bawono, S.S. 1997. Peta
Geologi Lembar Manado, Sulawesi Utara.
Edisi ke-2.
Hall, R. dan Wilson, M.E.J. Neogene Sutures in
Eastern Indonesia. Journal of Asian Earth
Sciences 18 (2000) 781-808.
Hall, R. and Smyth, H.R. 2008. Cenozoic Arc
Processes in Indonesia: Identification of
the Key Influences on the Stratigraphic
Record in Active Volacanic Arcs. The
Geological Society of America, Special
paper 436.
Hamilton, W. 1979. Tectonics of the Indonesian
Region. Geological Survey Professional
Paper 1078.
Nicholson, K. 1993. Geothermal Fluids:
Chemistry and Exploration Techniques.
Springer-Verlag Berlin Heidelberg, Berlin,
Germany.
20
Powell, T. 2000. A Review of Exploration Gas
Geothermometry. Proceedings, Twenty-
Fifth Workshop on Geothermal
Engineering, Stanford University,
Stanford, California.
Powell, T. and Cumming, W. 2010. Spreadsheets
For Geothermal Water and Gas
Geochemistry. Proceedings, Thirty-Fifth
Workshop on Geothermal Reservoir
Engineering, Stanford University,
Stanford, California.
Siahaan, E. E., Soemarinda, S., Fauzi, A.,
Silitonga, T., Azimudin, T., Raharjo, I.B.
2005. Tectonism and Volcanism Study in
the Minahasa Compartment of the North
Arm of Sulawesi Related to Lahendong
Geothermal Field, Indonesia. Proceedings
World Geothermal Congress, Turkey.
Simmon, S.F. 1995. Geothermal Technology :
Geochemistry. Pertamina Course, Cirebon.
Silver, E.A., McCaffrey, R., Smith, R.B. Collision,
rotation, and the initiation of subduction in
the evolution of Sulawesi, Indonesia, J.
Geophys. Res. 88 (B11) (1983) 9407–
9418.
Suhadi, D. 2009. Zonasi bahaya gunungapi Lokon.
Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana
Geologi, Badan Geologi, Kementrian
Sumber Daya Mineral, Tidak
dipublikasikan.
Wahyuningsih, R. 2005. Potensi dan Wilayah
Kerja Pertambangan Panasbumi di
Indonesia. Kolokium Hasil Lapangan,
Subdit Panas Bumi.
Walpersdorf, A., Rangin, C., Vigny, C. GPS
Compared to Long-term Geologic
Motion of the North Arm of Sulawesi.
Earth and Planetary Science Letters 159
(1998) 47-55.
21
Gambar 4. Penampang Laut Maluku yang mengilustrasikan zona konvergen dari Busur Halmahera dan
Sangihe sejak 2 Ma. Pada penampang paling bawah (D) disimpulkan dari pemetaan geologi di darat. Tiga
penampang di atasnya (A,B dan C) menggambarkan penampang dengan lintang yang berbeda pada Laut
Maluku dari Selatan (C) hingga Utara (A) (Hall dan Smyth, 2008).
22
Gambar 6. Peta geologi daerah penelitian lapangan “X”, Minahasa, Sulawesi Utara.
23
300
250
250
20
0200
MAP1
MAP2
MAP3
MAP4
MAP5
SLW-1
696000 698000 700000 702000 704000
696000 698000 700000 702000 704000
X, [m]
12
60
00
12
80
00
13
00
00
13
20
00
13
40
00
12
60
00
12
80
00
13
00
00
13
20
00
13
40
00
Y,
[m]
696000 698000 700000 702000 704000
696000 698000 700000 702000 704000
X, [m]
12
60
00
12
80
00
13
00
00
13
20
00
13
40
00
12
60
00
12
80
00
13
00
00
13
20
00
13
40
00
Y,
[m]
696000 697000 698000 699000 700000 701000 702000 703000 704000
696000 697000 698000 699000 700000 701000 702000 703000 704000
126000
127000
128000
129000
130000
131000
132000
133000
134000
135000
126000
127000
128000
129000
130000
131000
132000
133000
134000
135000
0 500 1000 1500 2000 2500m
1:62500
160
170
180
190
200
210
220
230
240
250
260
270
280
290
300
suhu
Indonesia
Sulawesi Utara
License
Model name
Horizon name
Scale
Contour inc
User name
Date
Signature
1:62500
10
user
07/01/2014
Peta Isothermal
Outflow
Outflow
Gambar 21. Peta Isothermal Lapangan “X”, Sulawesi Utara.
Steam Heated water
Upflow
Chloride water
Bicarbonate water
U
24
Gambar 22. Model hidrogeologi panasbumi pada lapangan “X”, Sulawesi Utara.
25
Gambar 23. Litologi dan alterasi hidrothermal log SLW-1 (sumber: PT. Pertamina Geothermal Energy)
26
Gambar 24. Model sistem panasbumi lapangan “X”, Sulawesi Utara.