paper malaria, demam berdarah dan cacing pita taenia solium
TRANSCRIPT
P a g e | 0
P A P E R P A R A S I T O L O G I
Dosen Pembimbing:
Dr. (Ikm) Ir. Odi Roni Pinontoan, ms
MALARIA, DENGUE HAEMORRAGIC FEVER, dan
CYCLOPHYLLIDEA TAENIA SOLIUM
Disusun oleh:
Fransisco Christian Polandos
09061048
PROGRAM STUDI ILMU KEPERAWATAN
FAKULTAS KEPERAWATAN
UNIVERSITAS KATOLIK DE LA SALLE
MANADO
2010
P a g e | 1
MALARIA
1. Sejarah
Penyakit malaria telah diketahui sejak zaman Yunani. Gejala
penyakit malaria adalah khas, mudah dikenal, karena demam
yang naik turun dan teratur disertai menggigil, maka pada waktu
itu sudah dikenal febris tersiana dan febris kuartana. Disamping
itu terdapat kelainan pada limpa, yaitu splenomegali yaitu limpa
membesar dan menjadi keras, sehingga dahulu penyakit malaria
disebut demam kura.
Meskipun penyakit ini telah diketahui sejak lama,
penyebabnya belum diketahui. Dahulu diduga bahwa penyakit ini
disebabkan oleh hukuman dari dewa-dewa karena waktu itu ada
wabah di sekitar kota Roma. Ternyata penyakit ini banyak
terdapat di daerah rawa-rawa yang mengeluarkan bau busuk
disekitarnya, maka penyakitnya disebut “malaria” (mal area =
udara buruk = bad air).
Baru pada abad ke-19, Laveran melihat “bentuk pisang dalam
darah seorang penderita malaria. Kemudian diketahui bahwa
malaria ditularkan oleh nyamuk (Ross, 1897) yang banyak
terdapat di rawa.
2. Definisi
Malaria adalah penyakit infeksi yang disebabkan oleh
protozoa yang berjenis Plasmodium yang menyerang sel eritrosit
dalam darah yang perkembangbiakannya secara aseksual.
Plasmodium yang menyebarkan penyakit malaria berasal dari
spesies Plasmodium falciparum dan Plasmodium vivax,
Plasmodium ovale, Plasmodium malariae, dan Plasmodium
knowlesi.
P a g e | 2
Vektor (perantara) yang berperan dalam penularan penyakit
ini adalah nyamuk Anopheles, terutamanya Anopheles sundaicus
di Asia dan Anopheles gambiae di Afrika. Malaria merupakan
salah satu penyakit menular yang banyak diderita oleh penduduk
di daerah tropis dan subtropis. Penyakit tersebut semula banyak
ditemukan di daerah rawa-rawa dan dikira disebabkan oleh
udara rawa yang buruk, sehingga dikenal sebagai malaria (mal =
jelek; aria=udara).
3. Penyebab Penyakit Malaria
Penyakit malaria disebabkan oleh bibit penyakit yang hidup di
dalam darah manusia. Bibit penyakit tersebut termasuk hewan
bersel satu, tergolong amuba yang disebut Plasmodium.
Ada 4 macam plasmodium yang menyebabkan malaria:
1. Plasmodium falcipharum, penyebab malaria Tropika, yang
bisa menimbulkan kematian. Masa inkubasi 12 hari.
2. Plasmodium vivax, penyebab malaria Tertiana. Penyakit ini
sulit sembuh namun sulit juga kambuh.masa inkubasi 15 hari.
3. Plasmodium malariae, penyebab malaria kuartana. Disebut
kuarnana karena serangan demam berulang pada tiap hari
keempat. Penyakit ini di Indonesia tidak banyak ditemukan.
Masa inkubasi 17 hari.
4. Plasmodium ovale, penyebab penyakit malaria ovale. Malaria
ini merupakan jenis ringan dan dapat sembuh sendiri.
Penyakit ini tidak terdapat di Indonesia. Masa inkubasi 28 hari.
Kerja plasmodium adalah merusak sel-sel darah merah.
Dengan perantara nyamuk anopheles, plasodium masuk ke
dalam darah manusian dan berkembang biak dengan membelah
diri.
P a g e | 3
4. Daur Hidup Plasmodium
A. Dalam Tubuh Mansuia
- Parasit berkembang secara asexual ( schizogoni ).
- Parasit tersebut bisa hidup dan berkembang biak di hati
manusia.
- Sporozoit yang dimasukan kedalam tubuh manusia oleh
nyamuk, masuk kedalam peredaran darah dan setelah ½
jam bersarang dihati dan membentuk siklus pre-eritrosit :
trofozoit schizont merozoit. Siklus ini berlangsung
beberapa hari dan tidak menimbulkan gejala.
- Merozoit sebagian masuk kembali kedalam hati
meneruskan siklus ekso-eritrosit, sebagian masuk kedalam
aliran darah (eritrosit) untuk memulai siklus eritrosit :
merozoit trofozoit muda (bentuk cincin) trofozoit tua
schizont schizont pecah merozoit memasuki
eritrosit baru.
- Sebagian merozoit memulai dengan gametogoni
membentuk mikro dan makrogametosit.
- Siklus tersebut disebut masa tunas intrinsik.
B. Dalam Tubuh Nyamuk
- Berkembang secara seksual (sporogoni).
- Parasit tersebut bisa hidup dan berkembang biak di ludah
nyamuk jenis anopheles
- Dalam lambung nyamuk makro dan mikrogametosit
berkembang menjadi makro dan mikrogamet yang akan
membentuk zygote, disebut ookinet.
- Ookinet menembus dinding lambung nyamuk membentuk
ookista yang membentuk banyak sporozoit.
- Sporozoit dilepaskan dan masuk kedalam kelenjar liur
nyamuk.
- Siklus tersebut disebut masa tunas ektrinsik.
P a g e | 4
- Cara infeksi dapat melalui gigitan nyamuk atau melalui
transfusi darah.
5. Distribusi Geografik Penyakit Malaria
Malaria ditemukan 640 Lintang Utara (Archangel di Rusia)
sampai 320 Lintang Selatan (Cordoba di Argentina), dari daerah
rendah 400 meter di bahwa permukaan laut (Laut Mati) sampai
2600 meter di atas permukaan laut (Londiani di Kenya) atau
2800 meter (Cochabamba di Bolivia). Antara batas-batas garis
lintang dan garis bujur terdapat daerah-daerah yang bebas
malaria. Di Indonesia penyakit malaria ditemukan tersebar di
seluruh kepulauan, terutama di kawasan timur Indonesia.
6. Penularan dan Penyebaran Penyakit Malaria
Penularan penyakit malaria dari orang yang sakit kepada
orang sehat, sebagian besar melalui gigitan nyamuk. Bibit
penyakit malaria dalam darah manusia dapat terhisap oleh
nyamuk, berkembang biak di dalam tubuh nyamuk, dan
ditularkan kembali kepada orang sehat yang digigit nyamuk
tersebut
Jenis-jenis vektor (perantara) malaria antara lain:
1. Anopheles Sundaicus, nyamuk perantara malaria di daerah
pantai.
2. Anopheles Aconitus, nyamuk perantara malaria daerah
persawahan.
3. Anopheles Maculatus, nyamuk perantara malaria daerah
perkebunan, kehutanan dan pegunungan.
4. Penularan yang lain adalah melalu transfusi darah. Namun
kemungkinannya sangat kecil.
P a g e | 5
7. Gejala Penyakit Malaria
Gejala serangan penyakit malaria pada penderita yaitu:
a. Gejala Klasik, biasanya ditemukan pada penderita yang
berasal dari daerah non endemis malaria atau yang belum
mempunyai kekebalan (immunitas); atau yang pertama kali
menderita malaria. Gejala ini merupakan suatu parokisme,
yang terdiri dari tiga stadium berurutan:
1. Menggigil (selama 15-60 menit), terjadi setelah pecahnya
sizon dalam eritrosit dan keluar zat-zat antigenik yang
menimbulkan mengigil-dingin.
2. Demam (selama 2-6 jam), timbul setelah penderita
mengigil, demam dengan suhu badan sekitar 37,5-400
celcius, pada penderita hiper parasitemia (lebih dari 5
persen) suhu meningkat sampai lebih dari 400 celcius.
3. Berkeringat (selama 2-4 jam), timbul setelah demam,
terjadi akibat gangguan metabolisme tubuh sehingga
produksi keringat bertambah. Kadang-kadang dalam
keadaan berat, keringat sampai membasahi tubuh seperti
orang mandi. Biasanya setelah berkeringat, penderita
merasa sehat kembali.
b. Gejala malaria dalam program pemberantasan malaria:
1. Demam
2. Menggigil
3. Berkeringat
4. Dapat disertai dengan gejala lain: Sakit kepala, mual dan
muntah.
5. Gejala khas daerah setempat: diare pada balita (di Timtim),
nyeri otot atau pegal-pegal pada orang dewasa (di Papua),
pucat dan menggigil-dingin pada orang dewasa (di
Yogyakarta).
c. Gejala malaria berat atau komplikasi, yaitu gejala malaria
klinis ringan diatas dengan disertai salah satu gejala di bawah
ini:
P a g e | 6
1. Gangguan kesadaran (lebih dari 30 menit)
2. Kejang, beberapa kali kejang
3. Panas tinggi diikuti gangguan kesadaran
4. Mata kuning dan tubuh kuning
5. Perdarahan di hidung, gusi atau saluran pencernaan
6. Jumlah kencing kurang (oliguri)
7. Warna urine seperti I tua
8. Kelemahan umum (tidak bisa duduk/berdiri)
9. Nafas sesak
10. Kadar darah putih, leukosit, cenderung meningkat.
Jika tidak segera diobati biasanya akan timbul jaundice
ringan (sakit kuning) serta pembesaran hati dan limpa.
11. Kadar gula darah rendah.
12. Jika sejumlah parasit menetap di dalam darah
kadang malaria bersifat menetap. Menyebabkan
penurunan nafsu makan, rasa pahit pada lidah, lemah,
sertai demam.
Gejala malaria berdasarkan jenis malaria antara lain:
1. Gejala Malaria Vivax & Ovale
Gejala yang terlihat sangat samar; berupa demam ringan
yang tidak menetap, keringat dingin, dan berlangsung
selama 1 minggu membentuk pola yang khas. Biasanya
demam akan terjadi antara 1 – 8 jam. Setelah demam reda,
pengidap malaria ini merasa sehat sampai gejala susulan
kembali terjadi. Gejala jenis malaria ini cenderung terjadi
setiap 48 jam.
2. Gejala Malaria Falciparum
Gejala awal adalah demam tinggi, suhu tubuh naik secara
bertahap kemudian tiba-tiba turun. Serangan bisa
berlangsung selama 20 – 36 jam, dan penderita mengalami
sakit kepala hebat. Setelah gejala utama mereda, pengidap
akan merasa tidak nyaman.
P a g e | 7
3. Gejala Malaria Malariae (kuartana)
Suatu serangan seringkali dimulai secara samar-samar.
Serangannya menyerupai malaria vivax, dengan selang
waktu setiap 72 jam.
8. Bahaya Penyakit Malaria
1. Rasa sakit yang ditimbulkan sangat menyiksa si penderita,
2. Tubuh yang sangat lemah, sehingga tidak dapat bekerja seperti
biasa,
3. Dapat menimbulkan kematian, terlebih pada anak-anak atau
bayi,
4. Perkembangan otak bisa terganggu pada anak-anak dan bayi,
sehingga menyebabkan kebodohan.
9. Pengobatan Penyakit Malaria
1. Memutus rantai penularan dengan memilih mata rantai yang
paling lemah. Mata rantai tersebut adalah penderita dan
nyamuk malaria.
2. Seluruh penderita yang memiliki tanda-tanda malaria diberi
pengobatan pendahuluan dengan tujuan untuk
menghilangkan rasa sakit dan mencegah penularan selama
10 hari.
3. Bagi penderita yang dinyatakan positif menderita malaria
setelah diuji di laboratorium, akan diberi pengobatan secara
sempurna.
4. Bagi orang-orang yang akan masuk ke daerah endemis
malaria seperti para calon transmigran, perlu diberi obat
pencegahan.
10. Pencegahan Penyakit Malaria
P a g e | 8
Menjaga kebersihan lingkungan tempat tinggal merupakan
salah satu langkah yang penting untuk mencegah gigitan
nyamuk yang aktif di malam hari ini. Keberhasilan langkah ini
sangat ditentukan oleh kesadaran masyarakat setempat.
Pencegahan tanpa obat, yaitu dengan menghindari gigitan
nyamuk dapat dilakukan dengan cara:
1. Menggunakan kelambu (bed net) pada waktu tidur, lebih baik
lagi dengan kelambu berinsektisida.
2. Mengolesi badan dengan obat anti gigitan nyamuk (repellent).
3. Menggunakan pembasmi nyamuk, baik bakar, semprot
maupun lainnya.
4. Memasang kawat kasa pada jendela dan ventilasi.
5. Letak tempat tinggal diusahakan jauh dari kandang ternak.
6. Mencegah penderita malaria dan gigitan nyamuk agar infeksi
tidak menyebar.
7. Membersihkan tempat hinggap/istirahat nyamuk dan
memberantas sarang nyamuk.
8. Hindari keadaan rumah yang lembab, gelap, kotor dan
pakaian yang bergantungan serta genangan air.
9. Membunuh jentik nyamuk dengan menyemprotkan obat anti
larva (bubuk abate) pada genangan air atau menebarkan ikan
atau hewan (cyclops) pemakan jentik.
10. Melestarikan hutan bakau agar nyamuk tidak
berkembang biak di rawa payau sepanjang pantai.
Langkah lainnya adalah mengantisipasi dengan meminum
obat satu bulan sebelum seseorang melakukan bepergian ke luar
daerah tempat tinggalnya yang bebas malaria, sebaiknya
mengkonsumsi obat antimalaria, misalnya klorokuin, karena obat
ini efektif terhadap semua jenis parasit malaria. Aturan
pemakaiannya adalah: Pendatang sementara ke daerah
endemis, dosis klorokuin adalah 300 mg/minggu, 1 minggu
sebelum berangkat selama berada di lokasi sampai 4 minggu
P a g e | 9
setelah kembali. Penduduk daerah endemis dan penduduk baru
yang akan menetap tinggal, dosis klorokuin 300 mg/minggu.
Obat hanya diminum selama 12 minggu (3 bulan). Semua
penderita demam di daerah endemis diberikan klorokuin dosis
tunggal 600 mg jika daerah itu plasmodium falciparum sudah
resisten terhadap klorokuin ditambahkan primakuin sebanyak
tiga tablet.
DENGUE HAEMORRAGIC FEVER
P a g e | 10
1. Definisi
Dengue Hemorraggic Fever (DHF) atau yang lebih kita kenal
sebagai Demam Berdarah Dengue (DBD) adalah suatu penyakit
infeksi menular yang disebabkan oleh virus dengue yang dibaha
oleh nyamuk Aedes aegypti (senang bersarang di dalam rumah)
maupun Aedes albopictus (nyamuk kebun), dengan manifestasi
klinis demam, nyeri otot atau nyeri sendi yang disertai lekopenia,
ruam, limfadenopati, sakit kepala yang hebat, nyeri pada
pergerakan bola mata, gangguan rasa mengecap,
trombositopenia ringan, bintik-bintik perdarahan spontan, dan
diatesis hemoragik. Pada DBD terjadi perembesan plasma yang
ditandai oleh hemokonsentrasi (peningkatan hematokrit) atau
penumpukan cairan dirongga tubuh. Sindrom renjatan dengue
(dengue shock syndrome) adalah demam berdarah dengue yang
ditandai oleh renjatan / syok.
DHF/DBD merupakan penyakit yang sangat berbahaya
karena dapat menyebabkan penderita meninggal dalam waktu
yang sangat pendek (beberapa hari). Penyakit ini masuk ke
Indonesia sejak tahun 1968 melalui pelabuhan Surabaya dan
pada tahun 1980, DHF telah dilaporkan tersebar secara luas
serta melanda di seluruh propinsi di Indonesia.
2. Gejala Klinis
Gejala klinis DHF berupa demam tinggi yang berlangsung
terus menerus selama 2-7 hari dan manifestasi perdarahan yang
P a g e | 11
biasanya didahului dengan terlihatnya tanda khas berupa bintik-
bintik merah (petechia) pada bagian-bagian badan penderita.
Penderita dapat mengalami sindrom syok dan meninggal.
Sampai sekarang penyakit ini masih merupakan masalah
kesehatan masyarakat dan masih banyak laporan mengenai
meninggalnya penderita karena kurang cepat ditanggani oleh
petugas kesehatan. Vektor (perantara) utama DHF adalah
nyamuk Aedes aegypti, sedangkan vektor potensialnya adalah
Aedes albopictus.
Berikut ini gejala yang penting untuk diperhatikan pada
penderita DHF:
1. Demam; demam tinggi timbul mendadak, terus menerus,
berlangsung dua sampai tujuh hari turun secara cepat.
2. Perdarahan; perdarahan yang terjadi akibat berkurangnya
trombosit (trombositopeni) serta gangguan fungsi dari
trombosit sendiri akibat metamorfosis trombosit. Perdarahan
dapat terjadi di semua organ yang berupa: Uji torniquet
positif, Ptekie, purpura, echymosis dan perdarahan
konjungtiva, Epistaksis dan perdarahan gusi, Hematemesis,
melena, hematuri.
3. Hepatomegali (pembesaran hepar); Biasanya dijumpai pada
awal penyakit, Pembesaran hati tidak sejajar dengan beratnya
penyakit, Nyeri tekan pada daerah ulu hati tanpa diikuti
dengan ikterus. Pembesaran ini diduga berkaitan dengan
strain serotipe virus dengue.
4. Syok; Yang dikenal dengan DSS , disebabkan oleh karena :
Perdarahan dan kebocoran plasma didaerah intravaskuler
melalui kapiler yang rusak. Sedangkan tanda-tanda syok
adalah: Kulit dingin, lembab terutama pada ujung hidung, jari
dan kaki, Gelisah dan Sianosis disekitar mulut, Nadi cepat,
lemah , kecil sampai tidak teraba, Tekanan darah menurun
(tekanan sistolik menurun sampai 80 mmHg atau kurang dari
P a g e | 12
80 mmHg), Tekanan nadi menurun (sampai 20mmHg atau
kurang).
5. Trombositopeni; Jumlah trombosit dibawah 150.000 /mm3
yang biasanya terjadi pada hari ke tiga sampai ke tujuh.
6. Hemokonsentrasi; Meningkatnya nilai hematokrit merupakan
indikator kemungkinan terjadinya syok.
7. Gejala-gejala lain seperti; Anoreksi , mual muntah, sakit perut,
diare atau konstipasi serta kejang, Penurunan kesadaran.
3. Derajat DHF menurut WHO
1. Derajat 1:
Demam disertai gejala klinis lain, tanpa perdarahan spontan.
Panas 2-7 hari, Uji tourniquet positif, trombositipenia, dan
hemokonsentrasi.
2. Derajat 2:
Sama dengan derajat I, ditambah dengan gejala-gejala
perdarahan spontan seperti petekie, ekimosis, hematemesis,
melena, perdarahan gusi.
3. Derajat 3:
Ditemukannya kegagalan sirkulasi, yaitu nadi cepat dan
lembut, tekanan nadi menurun (<20 mmHg) atau hipotensi
disertai kulit yang dingin, lembab, dan penderita menjadi
gelisah. Ditandai oleh gejala kegagalan peredaran darah
seperti nadi lemah dan cepat (>120x/mnt ) tekanan nadi
sempit (120 mmHg), tekanan darah menurun, (120/80 ,
120/100 , 120/110, 90/70, 80/70, 80/0, 0/0)
4. Derajat 4:
Nadi tidak teraba, tekanan darah tidak teratur (denyut
140x/mnt) anggota gerak teraba dingin, berkeringat dan kulit
tampak biru.Renjatan berat dengan nadi yang tidak diraba
dan tekanan darah yang tidak dapat diukur.
P a g e | 13
4. Morfologi dan Daur HIdup
Aedes aegypti dewasa berukuran lebih kecil jika
dibandingkan dengan ukuran nyamuk rumah (Culex
quinquefasciatus), mempunyai warna dasar yang hitam dengan
bintik-bintik putih pada bagian-bagian badannya terutama pada
kakinya dan dikenal dari bentuk morfologinya yang khas sebagai
nyamuk yang mempunyai gambaran lira yang putih pada
punggungnya. Telur Aedes aegypti mempunyai dinding yang
bergaris-garis dan membentuk bangunan menyerupai kain kasa.
Larva Aedes aegypti mempunyai pelana yang terbuka dan gigi
sisir yang berduri lateral.
Spesies ini seperti juga nyamuk ANOPHELINI lainnya
mengalami metamorfosis sempurna. Nyamuk betina meletakkan
telurnya di atas permukaan air dalam keadaan menempel pada
dinding tempat perindukannya. Seekor nyamuk betina dapat
meletakkan rata-rata sebanyak 100 butir telur tiap kali bertelur.
Setelah kira-kira 2 hari telur menetas menjadi larva lalu
mengadakan pengelupasan kulit sebanyak 4 kali, tubuh menjadi
pupa dan akhirnya menjadi dewasa. Pertumbuhan dari telur
sampai menjadi dewasa memerlukan waktu kira-kira 9 hari.
Tempat perindukan utama Aedes aegypti adalah tempat-
tempat berisi air bersih yang berdekatan letaknya dengan rumah
penduduk, biasanya tidak melebihi jarak 500 meter dari rumah.
Tempat perindukan tersebut berupa tempat perindukan buatan
manusia; seperti tempayan tempat penyimpanan air minum, bak
mandi, jambangan, kaleng, botol, ban mobil yang terdapat di
halaman rumah atau di kebun yang berisi air hujan, juga berupa
tempat perindukan alamiah; seperti kelopak daun tanaman
(keladi, pisang), tempurung kelapa, tonggak bambu dan lubang
pohon yang berisi air hujan. Di tempat perindukan Aedes aegypti
sering kali ditemukan larva Aedes albopictus yang hidup
bersama-sama.
P a g e | 14
5. Prilaku Nyamuk Dewasa Betina
Nyamuk dewasa betina mengisap darah manusia pada siang
hari yang dilakukan baik di dalam rumah ataupun di luar rumah.
Pengisapan darah dilakukan dari pagi hari sampai petang dengan
2 puncak waktu yaitu setelah matahari terbit (8.00 - 10.00) dan
sebelum matahari terbenam (15.00 – 17.00). Tempat istirahat
Aedes aegypti berupa semak-semak atau tanaman rendah
termasuk rerumputan yang terdapat di
halaman/kebun/pekarangan rumah, juga berupa benda-benda
yang tergantung di dalam rumah seperti pakaian, sarung, kopiah
dan sebagainya. Umur nyamuk dewasa betina di alam bebas
kira-kira 10 hari, sedangkan di laboratorium mencapai umur 2
bulan, Aedes aegypti mampu terbang sejauh 2 km, walaupun
umumnya jarak terbangnya adalah pendek yaitu kurang lebih 40
meter.
6. Pemeriksaan Diagnostik
a. Pemeriksaan Laboratorium
Terjadi trombositopenia (100.000/ml atau kurang) dan
hemokonsentrasi yang dapat dilihat dan meningginya nilai
hematokrit sebanyak 20 % atau lebih dibandingkan nila
hematokrit pada masa konvalesen. Pada pasien dengan 2 atau 3
patokan klinis disertai adanya trombositopenia dan
hemokonsentrasi tersebut sudah cukup untuk klinis membuat
diagnosis DHF dengan tepat. Juga dijumpai leukopenia yang akan
terlihat pada hari ke-2 atau ke-3 dan titik terendah pada saat
peningkatan suhu kedua kalinya leukopenia timbul karena
berkurangnya limfosit pada saat peningkatan suhu pertama kali.
b. Radiologi
P a g e | 15
Pada foto thorac terdapat efusi pleura, terutama pada
hemithoraks kanan tetapi apabila terjadi perembesan plasma
hebat, efusi pleura dapat dijumpai pada kedua hemithoraks.
Pemeriksaan rontgen dada sebaiknya dalam posisi lateral
decubitus kanan (pasien tidur pada posisi badan sebelah kanan).
Asites dan efusi pleura dapat juga dideteksi gengan USG.
7. Epidemiologi
Aedes aegypti tersebar luas di seluruh Indonesia. Walaupun
ditemukan di kota-kota pelabuhan yang penduduknya padat,
namun spesis nyamuk ini juga ditemukan di daerah pedesaan
yang terletak di sekitar kota pelabuhan. Penyebaran Aedes
aegypti dari pelabuhan ke desa disebabkan karena larva Aedes
aegypti terbawa melalui transportasi yang mengangkut benda-
benda berisi air hujan pengandung larva spesis ini.
Walaupun nyamuk ini umurnya pendek yaitu kira-kira sepuluh
hari, tetapi dapat menularkan virus dengue yang masa
inkubasinya antara 3-10 hari.
Pengendalian spesis ini dilakukan dengan berbagai cara:
a. Perlindungan perseorangan untuk mencegah terjadinya
gigitan Aedes aegypti yaitu dengan memasang kawat kasa di
lubang-lubang angin di atas jendela atau pintu, tidur dengan
kelambu, penyemprotan dinding rumah dengan insektisida
dan penggunaan repellent pada saat berkebun.
b. Pembungana atau mengubur benda-benda di pekarangan
atau di kebun yang dapat menampung air hujan seperti
kaleng, botol, ban mobil dan tempat-tempat lain yang
menjadi tempat perindukan Aedes aegypti.
c. Mengganti air atau membersihkan tempat-tempat air secara
teratur seminggu sekali, pot bunga, tempayan dan bak
mandi.
P a g e | 16
d. Pemberian abate ke dalam tempat penampungan
air/penyimpanan air bersih (abatisasi).
e. Malakukan fogging dengan malathion setidak-tidaknya 2 kali
dengan jarak waktu 10 hari di daerah yang terkena wabah,
daerah endemi DHF.
f. Pendidikan kesehatan masyarakat melalui ceramah agar
rakyat dapat memelihara kebersihan lingkungan dan turut
secara perseorangan memusnahkan tempat-tempat
perindukan Aedes aegypti di sekitar rumah.
Disamping itu memonitor kepadatan polulasi Aedes aegypti
yang juga merupakan hal penting sekali dalam upaya membantu
mengevaluasi adanya ancaman penyakit DHF di suatu daerah
dan juga untuk meningkatkan tindakanpengendalian vektor.
Pengukuran kepadatan populasi nyamuk yang belum dewasa
dilakukan dengan cara pemeriksaan tempat-tempat perindukan
di dalam dan di luar rumah dari 100 rumah yang terdapat di
daerah pemeriksaan. Ada 3 angka indeks yang perlu diketahui
yaitu;
1. Angka rumah (house index), ialah persentase rumah yang
positif dengan larva Aedes aegypti,
2. Angka tempat perindukan (container indekx), yaitu
persentase tempat perindukan yang positif dengan larva
Aedes aegypti,
3. Angka Beteau (Breteau index), yaitu jumlah tempat
perindukan yang positif dengan larva Aedes aegypti dalam
tiap 100 rumah.
Vektor (perantara) potensial DHF selain yang telah disebut di
atas adalah Aedes albopictus. Spesies ini juga ditemukan di
Indonesia dan tersebar luas di seluruh kepulauan di Indonesia.
Spesies ini sepintas tampak seperti nyamuk Aedes aegypti ,
yaitu mempunyai warna dasar hitam dengan bintik-bintik putih
P a g e | 17
pada bagian-bagian badannya, tetapi pada mesonotumnya
terdapat gambaran menyerupai garis tebal putih yang berjalan
vertikal. Walaupun kadang-kadang larva Aedes albbopictus
ditemukan hidup bersama dalam satu tempat perindukan
dengan Aedes aegypti namun larva nyamuk ini lebih menyukai
tempat-tempat perindukan alamiah (plant containers); seperti
kelopak daun, tanaman, tonggak bambu dan tempurun kelapa
yang menganduk air hujan. Perilaku nyamuk dewasa Aedes
albopictus boleh dikatakan sama dengan perilaku nyamuk
dewasa Aedes aegypti meskipun nyamuk ini lebih suka
beristirahat di luar rumah.
CYCLOPHYLLIDEA TAENIA SOLIUM
Nama Latin : Taenia solium
Phylum : Platyhelminthes
Kelas : Cestoda
Ordo : Cyclophyllidea
Family : Taeniidae
Species : Taenia solium
P a g e | 18
1. Sejarah
Cacing pita terdapat pada daging babi diketahui sejak
zaman Hippocrates, atau mungkin sudah sejak zaman para Nabi
walaupun pada waktu itu belum dapat dibedakan antara cacing
pita daging sapi dengan cacing pita daging babi, sampai pada
karya Goeze (1782).
Aristophane dan Aristoteles melukiskan stadium larva atau
sistiserkus selulose pada lidah babi hutan. Gessner dan Rumler
(1588), melaporkan stadium larva pada manusia. Kuchenmeister
(1855) dan Leuckart (1856), adalah sajana-sarjana pertama kali
mengadakan penelitian daur hidup cacing tersebut dan
membuktikan bahwa cacing gelembung yang didapatkan pada
daging babi, adalah stadium larva cacing Taenia solium.
2. Hospes Dan Penyakit
Hospes definitif cacing Taenia solium adalah manusia,
sedangkan hospes perantaranya adalah manusia dan babi.
Manusia yang dihinggapi cacing dewasa Taenia solium, juga
menjadi hospes perantara cacing ini.
Nama penyakit yang disebabkan oleh cacing Taenia solium
adalah Taeniasis dan Sistiserkosis. Taeniasis adalah penyakit
akibat parasit berupa cacing pita yang tergolong dalam genus
Taenia yang dapat menular dari hewan ke manusia, maupun
sebaliknya. Sistiserkosis ialah infeksi jaringan oleh bentuk larva
Taenia solium (sistiserkus selulosa) pada manusia akibat
termakan telur cacing Taenia solium pada daging babi.
Sedangkan istilah Neurosistiserkosis digunakan untuk infeksi
oleh larva yang mengenai sistem saraf pusat (SSP).
3. Penyebaran
A. Di Dunia
P a g e | 19
Cacing pita Taenia tersebar secara luas di seluruh dunia.
Penyebaran Taenia dan kasus infeksi akibat Taenia lebih
banyak terjadi di daerah tropis karena daerah tropis memiliki
curah hujan yang tinggi dan iklim yang sesuai untuk
perkembangan parasit ini. Taeniasis dan sistiserkosis akibat
infeksi cacing pita babi Taenia solium merupakan salah satu
zoonosis di daerah yang penduduknya banyak mengkonsumsi
daging babi dan tingkat sanitasi lingkungannya masih rendah,
seperti di Asia Tenggara, India, Afrika Selatan, dan Amerika
Latin.
Salah satu bukti lebih luasnya penyebaran Taenia di daerah
tropis yaitu ditemukannya spesies ketiga penyebab taeniasis
pada manusia di beberapa negara Asia yang dikenal dengan
sebutan Taiwan Taenia atau Asian Taenia. Asian Taenia
dilaporkan telah ditemukan di negara-negara Asia yang
umumnya beriklim tropis seperti Indonesia, Thailand,
Malaysia, Filipina, Korea dan Cina. Kini Asian Taenia disebut
Taenia asiatica. Kejadian T. asiatica yang tinggi terutama
ditemukan di Pulau Samosir, Indonesia.
Sistiserkosis merupakan infeksi yang sering ditemukan
pada babi dan manusia terutama di negara berkembang.
Penyebaran sistiserkus pada manusia dipengaruhi oleh kontak
antara babi dan feses manusia, tidak adanya pemeriksaan
kesehatan daging saat penyembelihan, dan konsumsi daging
mentah atau setengah matang. Penyebaran penyakit ini luas
karena Taenia dapat memproduksi puluhan bahkan ratusan
ribu telur setiap hari yang dapat disebar oleh air hujan ke
lingkungan bahkan pada lokasi yang jauh dari tempat
pelepasan telur.
B. Di Indonesia
Infeksi cacing pita Taenia tertinggi di Indonesia terjadi di
Provinsi Papua. Di Kabupaten Jayawijaya Papua, Indonesia
P a g e | 20
ditemukan 66,3% (106 orang dari 160 responden) positif
menderita taeniasis solium/sistiserkosis selulosae dari babi.
Sementara 28,3% orang adalah penderita sistiserkosis yang
dapat dilihat dan diraba benjolannya di bawah kulit [3].
Sebanyak 18,6% (30 orang) di antaranya adalah penderita
sistiserkosis selulosae yang menunjukkan gejala epilepsi. Dari
257 pasien yang menderita luka bakar di Papua, sebanyak
82,8% menderita epilepsi akibat adanya sistiserkosis pada
otak.
Prevalensi sistiserkosis pada manusia berdasarkan
pemeriksaan serologis pada masyarakat Bali sangat tinggi
yaitu 5,2% sampai 21%, sedangkan prevalensi taeniasis di
provinsi yang sama berkisar antara 0,4%-23%. Sebanyak
13,5% (10 dari 74 orang) pasien yang mengalami epilepsi di
Bali didiagnosa menderita sistiserkosis di otak. Prevalensi
taeniasis T. asiatica di Sumatera Utara berkisar 1,9%-20,7%.
Kasus T. asiatica di Provinsi ini umumnya disebabkan oleh
konsumsi daging babi hutan setengah matang.
4. Morfologi Dan Daur Hidup
Cacing pita Taenia solium, berukuran panjang kira-kira 2-4
meter dan kadang-kadang sampai 8 meter. Cacing ini terdiri dari
skoleks, leher dan strobila, yang terdiri dari 800-1000 ruas
proglotid. Skoleks yang bulat berukuran kira-kira 1 milimeter,
mempunyai 4 buah batil isap dengan rostelum yang mempunyai
2 baris kait-
kait,
masing-
masing
sebanyak 25-
30 buah.
Lubang
P a g e | 21
kelamin letaknya bergantian selang-seling pada sisi kanan atau
kiri strobila secara tidak beraturan.
Proglotid gravid berisi kira-kira 30.000-50.000 buah telur
dan keluar menlalui celah robekan pada proglotid. Telur tersebut
bila termakan oleh hospes perantara, maka dindingnya dicerna
dan embrio heksakan keluar dari telur, menembus dinding usus
dan masuk ke saluran getah bening atau darah. Embrio
heksakan kemudian ikut aliran darah dan menyangkut di
jaringan otot babi. Cacing gelembung biasanya ditemukan pada
otot lidah, punggung dan pundak babi. Hospes perantara lain
seperti monyet, onta, anjing, babi hutan, domba, kucing, tikus
dan manusia. Bila daging babi yang dimakan oleh manusia,
dinding kista dicerna, skoleks mengalami evaginasi untuk
kemudian melekat pada dinding usus halus seperti yeyunum.
Dalam waktu 3 bulan cacing tersebut menjadi dewasa dan
melepaskan proglotid dengan telur.
5. Patologi Dan Gejala Klinis
Cacing dewasa, yang biasanya berjumlah seekor, tidak
menyebabkan gejala klinis yang berarti. Bila ada, dapat berupa
nyeri ulu hati, mencret, mual, obstipasi dan sakit kepala. Gejala
klinis yang lebih berarti dan sering diderit, disebarkan oleh larva
dan disebut sistiserkosis.
Infeksi ringan biasanya tidak menunjukkan gejala, kecuali
bila alat yang dihinggapi adalah alat tubuh yang penting.
Pada manusia, sistiserkus atau larva Taenia solium sering
menghinggapi jaringan subkutis, mata, jaringan otak, otot, otot
jantung, hati, paru dan rongga perut. Walaupun sering dijumpai,
kalsifikasi (perkapuran) pada sistiserkus tidak menimbulkan
gejala, akan tetapi sewaktu-waktu terdapat pseudohipertrofi
otot, disertai gejala miositis, demam tinggi dan eosinofilia.
P a g e | 22
Pada jaringan otak atau medula spinalis, sistiserkus jaringan
mengalami klasifikasi. Keadaan ini sering menimbulkan reaksi
jaringan dan dapat mengakibatkan serangan ayan (epilepsi),
meningo-ensefalitis, gejala yang disebabkan oleh tekanan
intrakranial yang tinggi seperti nyeri kepala dan kadang-kadang
kelainan jiwa. Hidrosefalus internus dapat terjadi, bila timbul
sumbatan aliran cairan serebrospinal.
Berdasarkan laporan menyatakan, bahwa sebuah sistiserkus
tunggal yang ditemukan dalam ventrikel IV dari otak, dapat
menyebabkan kematian.
Gejala-gejala klinis yang sering dikeluhkan:
1. Pengeluaran segmen tubuh cacing dalam feses (95%)
2. Gatal-gatal pada anus (77%)
3. Mual (46%)
4. Pusing (42%)
5. Peningkatan nafsu makan (30%)
6. Sakit kepala (26%)
7. Diare (18%)
8. Lemah (17%)
9. Merasa lapar (16%)
10. Sembelit (11%)
11. Penurunan berat badan (6%)
12. Rasa tidak enak di lambung (5%)
13. Letih (4%)
14. Muntah (4%)
15. Tidak ada selera makan saat lapar (1%)
16. Pegel-pegel pada otot (1%)
17. Nyeri di perut, ngantuk, kejang-kejang, gelisah, gatal-gatal
di kulit dan gangguan pernapasan (masing-masing < 1%).
Sistiserkosis menimbulkan gejala dan efek yang beragam
sesuai dengan lokasi parasit dalam tubuh. Manusia dapat
terjangkit satu sampai ratusan sistiserkus di jaringan tubuh yang
P a g e | 23
berbeda-beda. Sistiserkus pada manusia paling sering ditemukan
di otak (disebut neurosistiserkosis), mata, otot dan lapisan
bawah kulit.
Dampak kesehatan yang paling ditakuti dan berbahaya
akibat larva cacing Taenia yaitu neurosistiserkosis yang dapat
menimbulkan kematian. Neurosistiserkosis adalah infeksi sistem
saraf pusat akibat sistiserkus dari larva Taenia solium.
Neurosistiserkosis merupakan faktor risiko penyebab stroke baik
pada manusia yang muda maupun setengah baya, epilepsi dan
kelainan pada tengkorak. Sistiserkosis merupakan penyebab 1%
kematian pada rumah sakit umum di Meksiko City dan penyebab
25% tumor dalam otak.
6. Diagnosis
Diagnosis teniasis solium dilakukan dengan menemukan
telur dan proglotid. Diagnosis sistiserkosis kulit dapat dilakukan
dengan biopsi pada otot dan secara radiologis, pada jaringan
otak dengan computerized tomographic scan (C.T.scan).
Beberapa cara serologi yang dapat digunakan adalah uji
hemaglutinasi Counter Immuno Electrophoresis, ELISA, EIBT
(Western Blot) dan PCR. Imunodiagnosis juga dilakukan untuk
mendeteksi coproantigen.
A. Taeniasis
Diagnosa Taeniasis dapat ditegakkan dengan dua cara:
1. Menanyakan riwayat penyakit (anamnesis)
Didalam anamnesis perlu ditanyakan antara lain apakah
penderita pernah mengeluarkan proglotid (segmen) dari
cacing pita baik pada waktu buang air besar maupun secara
spontan.
2. Pemeriksaan Tinja
P a g e | 24
Tinja yang diperiksa adalah tinja sewaktu berasal dari
defekasi spontan. Sebaiknya diperiksa dalam keadaan
segar. Bila tidak memungkinkan untuk diperiksa segera ,
tinja tersebut diberi formalin 5 – 10% atau spiritus sebagai
pengawet.
Pemeriksaan tinja secara mikroskopis dilakukan antara
lain dengan metode langsung (secara natif), bahan
pengencer yang dipakai NaCL 0,9 % atau lugol. Dari satu
spesimen tinja dapat digunakan menjadi 4 sediaan.
Bilamana ditemukan telur cacing Taenia SP, maka
pemeriksaan menunjukkan hasil positif taeniasis. Pada
pemeriksaan tinja secara makroskopis dapat juga ditemukan
proglotid.
Pemeriksaan dengan metode langsung ini kurang sensitif
dan spesifik,, terutama telur yang tidak selalu ada dalam
tinja dan secara morfologi sulit diidentifikasi. Metode
pemeriksaan lain yang lebih sensitif dan spesifik misalnya
teknis sedimentasi eter, anal swab, dan coproantigen (paling
sensitif dan spesifik).
B. Sistiserkosis
Dinyatakan tersangka sistiserkosis apabila pada
a) Anamnesis :
1. Berasal dari /berdomisili didaerah endemis taeniasis /
Sistiserkosis
2. Gejala taeniasis
3. Riwayat mengeluarkan proglotid
4. Benjolan (“ nodul subkutan” ) pada salah satu atau lebih
bagian tubuh
5. Gejala pada mata dan gejala sistiserkosis lainnya
6. Riwayat / gejala epilepsi
7. Gejala peninggian tekanan intra kranial
8. Gejala neurologis lainnya
P a g e | 25
b) Pemeriksaan fisik :
1. Teraba benjolan /nodul sub kutan atau intra muskular
satu lebih
2. Kelainan mata ( oscular cysticercosis ) dan kelainan
lainnya yang disebabkan oleh sistiserkosis
3. Kelainan neurologis
c) Pemeriksaan Penunjang
1. Pemeriksaan tinja secara makroskopis : Proglotid
2. Pemeriksaan tinja secara mikroskopis : telur cacing taenia
sp
3. Pemeriksaan serologis : sistiserkosis
4. Pemeriksaan biopsi pada nodul subkutan gambaran
menunjukkan patologi anatomi yang khas untuk
sistiserkosis.
C. Neurosistiserkosis
Dinyatakan tersangka neurosistusekosis apabila :
a). Anamnesis
1) Berasal dari / berdomisili didaerah endemis
2) Gejala taeniasis
3) Riwayat mengeluarkan proglotid
4) Gejala pada mata dan gejala sistiserkosis lainnya
5) Riwayat /gejala epilepsi
6) Gejala peninggian tekanan intra kranial
7) Gejala neurologis lainnya
b). Pemeriksaan fisik
1. Teraba benjolan / nodul sub kutan atau intra muskular
satu atau lebih
2. Kelainan mata ( ocular cysticercosis ) dan kelainan
lainnya yang disebabkan cysticercosis
3. Kelainan neurologis
c). Pemeriksaan penunjang
P a g e | 26
1) Pemeriksaan secara tinja makroskopis : proglotid (+)
2) Pemeriksaan tinja secara mikroskopis : telur cacing
Taenia sp ( + )
3) Pemeriksaan darah tepi : Hb , leukosit ( leukositosis ),
Eritrosit, hitung jenis ( Eosinofilia ), laju endap darah / LED
( meningkat ) dan gula darah
4) Punksi lumbal : sel ( eosinofil meningkat 70 % ), Protein
( meningkat 100 % ) glukosa ( menurun 70 %
dibandingkan dengan glukosa darah ) NaCI
5) Pemeriksaan serologi ( ELISa dan atau Immunoblot ) :
sistiserkosis ( +) Spesimen yang diperiksa berupa cairan
otak ( LCS ) kurang lebih sebanyak 2-3 cc. Tempat
pemeriksaan di laboratorium yang telah ditentukan.
Pengiriman spesimen cairan otak dengan tabung / botol
steril dan es batu ( suhu 1 º C )
6) Bila memungkinkan dilakukan pemeriksaan foto kepala
( untuk kista yang sudah mengalami kalsifikasi ) dan lebih
baik lagi pemeriksaan CT Scan ( Computerized
tomography scanning ) atau MRI ( magnetic resonance
imaging ).
7. Pengobatan
Untuk pengobatan penyakit taeniasis solium digunakan
Prazikuantel dan untuk sistiserkosis digunakan obat prazikuantel,
albendazol atau dilakukan pembedahan.
1. Taeniasis
Penderita taeniasis diobati secara massal dengan
prazikuantel dosis tunggal 100 mg/kg berat badan (BB).
Satu hari sebelum pemberian obat cacing penderita
dianjurkan untuk memakan makanan yang lunak tanpa
minyak dan serat. Pada malam harinya setelah makan
malam penderita harus menjalani puasa. Pemberian obat
P a g e | 27
diberikan keesokan harinya dalam keadaan perut pasien
masih kosong. Dua jam setelah pemberian obat, penderita
diberi garam Inggris (MgSO4) yang telah dilarutkan dalam
sirup. Dosisnya 30 gram untuk dewasa dan 15 gram atau
7,5 gram untuk anak-anak. Selama itu penderita tidak boleh
makan sampai buang air besar yang pertama. Setelah
buang air besar penderita diberi makan bubur.
Sebagian kecil tinja dari buang air besar pertama
dikumpulkan dalam botol yang berisi formalin 5-10% untuk
menemukan telur taenia. Tinja dari buang air besar pertama
dan tinja selama 24 jam ditampung dalam baskom plastik.
Kemudian tinja disiram dengan air panas supaya cacing
menjadi rileks. Setelah itu tinja diayak dan disaring untuk
mendapatkan proglotid dan skoleks Taenia sp. Pengobatan
dinyatakan berhasil bila skoleks Taenia sp dapat ditemukan
utuh bersama proglotid.
2. Sistiserkosis dan Neurosistiserkosis
Pengobatan sistiserkosis dan neurosistiserkosis
menggunakan prazikuantel per oral 50 mg/kgBB/hari dosis
tunggal atau dibagi dalam tiga dosis selama 15 hari. Selain
itu dapat pula digunakan albendazol per oral 15
mg/kgBB/hari dosis tunggal atau dibagi dalam tiga dosis
selama 7 hari. Penggunaan obat tersebut biasanya
menimbulkan efek samping yang membuat penderita
kurang nyaman. Hal itu dapat dikurangi dengan
memberikan kortikosteroid, yaitu prednison 1mg/kgBB/hari
dosis tunggal atau dibagi dalam tiga dosis. Kortikosteroid
yang juga dapat diberikan adalah deksametason dengan
dosis yang setara dengan prednison.
Berbeda dengan sistiserkosis, penderita
neurosistiserkosis harus dirawat di rumah sakit. Penderita
diberi prazikuantel per oral 50 mg/kgBB/hari dosis tunggal
P a g e | 28
atau dibagi dalam tiga dosis selama 15 hari. Selain itu bisa
juga digunakan albendazol per oral 15 mg/kgBB/hari dosis
tunggal atau dibagi dalam tiga dosis selama 30 hari. Untuk
mengurangi efek samping obat tersebut, penderita diberi
deksametason atau prednison per oral selama 45 hari. Perlu
diperhatikan bahwa penurunan dosis obat tersebut harus
dilakukan secara bertahap, yaitu 15 hari pertama diberikan
3×5 mg/hari, 15 hari kedua diberikan 2×5 mg/hari, dan 15
hari ketiga diberikan 1×5 mg/hari.
Keberhasilan pengobatan sistiserkosis dapat diketahui
melalui pemeriksaan tinja pada bulan ketiga sampai bulan
keenam setelah pengobatan. Pengobatan dinyatakan
berhasil bila tidak ditemukan telur Taenia sp dan
proglotidnya. Apabila ditemukan telur Taenia sp, prologtid,
atau keduanya maka hal itu menandakan telah terjadi
infeksi baru (reinfeksi). Pengobatan penderita
neurosistiserkosis dinyatakan berhasil apabila frekuensi
serangan epilepsi makin berkurang. Apabila dalam dua
tahun berturut-turut tidak ada serangan epilepsi,
pengobatan epilepsi masih diteruskan selama enam bulan
dengan dosis yang diturunkan secara bertahap untuk
kemudian dihentikan sama sekali.
8. Epidemiologi
Walapun cacing ini kosmopolit, kebiasaan hidup penduduk
yang dipengaruhi tradisi kebudayaan dan agama, memainkan
peranan penting. Pada orang-orang yang bukan pemeluk agama
Islam, yang biasanya memakan daging babi, penyakit ini
ditemukan.
Cara menyantap daging tersebut, yaitu matang, setengah
matang, atau mentah dan pengertian akan kebersihan atau
higiene, memainkan peranan penting dalam penularan cacing
P a g e | 29
Taenia soleum maupun sistiserkus selulose. Pengobatan
perorangan maupun masal harus dilakukan agar penderita tidak
menjadi sumber infeksi bagi diri sendiri maupun ternak.
Pendidikan mengenai kesehatan harus dirintis. Cara-cara
ternak babi harus diperbaiki, agar tidak ada kontak dengan tinja
manusia. Sebaiknya untuk ternak babi harus digunakan kandang
yang bersih dan makanan ternak yang sesuai.
9. Pengendalian Dan Upaya Pencegahan
Pengendalian cacing pita Taenia dapat dilakukan dengan
memutuskan siklus hidupnya. Pemutusan siklus hidup cacing
Taenia sebagai agen penyebab penyakit dapat dilakukan melalui
diagnosa dini dan pengobatan terhadap penderita yang
terinfeksi. Beberapa obat cacing yang dapat digunakan yaitu
Atabrin, Librax dan Niclosamide dan Praziquantel. Sedangkan
untuk mengobati sistiserkosis dapat digunakan Albendazole dan
Dexamethasone. Untuk mengurangi kemungkinan infeksi oleh
Taenia ke manusia maupun hewan diperlukan peningkatan daya
tahan tubuh inang. Hal ini dapat dilakukan melalui vaksinasi
pada ternak, terutama babi di daerah endemis
taeniasis/sistiserkosis serta peningkatan kualitas dan kecukupan
gizi pada manusia.
Lingkungan yang bersih sangat diperlukan untuk
memutuskan siklus hidup Taenia karena lingkungan yang kotor
menjadi sumber penyebaran penyakit. Pelepasan telur Taenia
dalam feses ke lingkungan menjadi sumber penyebaran
taeniasis/sistiserkosis. Faktor risiko utama transmisi telur Taenia
ke babi yaitu pemeliharaan babi secara ekstensif, defekasi
manusia di dekat pemeliharaan babi sehingga babi memakan
feses manusia dan pemeliharaan babi dekat dengan manusia.
Hal yang sama juga berlaku pada transmisi telur Taenia ke sapi.
Telur cacing ini dapat terbawa oleh air ke tempat-tempat lembab
P a g e | 30
sehingga telur cacing lebih lama bertahan hidup dan
penyebarannya semakin luas.
Kontrol penyakit akibat Taenia di lingkungan dapat
dilakukan melalui peningkatan sarana sanitasi, pencegahan
konsumsi daging yang terkontaminasi, pencegahan kontaminasi
tanah dan tinja pada makanan dan minuman. Pembangunan
sarana sanitasi, misalnya kakus dan septic tank, serta
penyediaan sumber air bersih sangat diperlukan. Pencegahan
konsumsi daging yang terkontaminasi dapat dilakukan melalui
pemusatan pemotongan ternak di rumah potong hewan (RPH)
yang diawasi oleh dokter hewan.
Pencegahan taeniasis yang utama adalah menghilangkan
sumber infeksi dengan mengobati semua penderita taeniasis di
suatu daerah. Pencegahan juga dapat dilakukan dengan menjaga
kebersihan diri dan lingkungan, salah satunya dengan
menyediakan jamban keluarga. Penyediaan jamban keluarga
bertujuan untuk mencegah agar tinja manusia tidak dimakan
oleh babi dan tidak mencemari tanah atau rumput. Peternak dan
pemelihara sapi atau babi juga harus menjaga agar hewan
peliharaannya tidak berkeliaran sehingga tidak mencemari
lingkungan.
Pemeriksaan daging oleh dokter hewan pun harus dilakukan
sehingga masyarakat tidak mengonsumsi daging yang
mengandung kista. Selain itu perlu dilakukan penyuluhan
mengenai bahaya mengonsumsi daging yang mengandung kista.
Oleh karena itu masyarakat juga harus mengetahui bentuk kista
dalam daging. Hal tersebut penting dilakukan terutama di daerah
yang banyak memotong babi untuk upacara adat seperti di
Sumatera Utara, Bali, dan Irian jaya.
Di beberapa daerah di tanah air yang memiliki kebiasaan
memakan daging setengah matang atau daging mentah pun
perlu dilakukan penyuluhan untuk menghilangkan kebiasaan
tersebut. Masyarakat harus diberi pemahaman tentang risiko
P a g e | 31
yang akan diperoleh apabila memakan daging mentah atau
setengah matang. Penting pula bagi masyarakat untuk
mengetahui manfaat memasak daging sampai matang (di atas
57ºC dalam waktu cukup lama) atau membekukan di bawah 100
C selama lima hari. Pendekatan tersebut biasanya tidak selalu
dapat diterima oleh masyarakat setempat karena keputusan
akhir yang diambil harus disesuaikan dengan situasi dan kondisi
daerah yang bersangkutan. (Primz, Sumber : www.depkes.org,
Maret 2007)