paper kelompok mas wahyu

49
PUBLIC CHOICE DALAM PERUMUSAN KEBIJAKAN HARGA BAHAN BAKAR MINYAK (BBM) DI INDONESIA OLEH : 1. Waskito Pamungkas (D0112090) 2. Wahyu Febriyanto S. W (D0112092) 3. Yesica Marina Murti (D0112094) 4. Yosua Willy Pratama (D0112100) 5. Rani Anova Dewi (D0112102) 6. Danang ( ) Mata Kuliah : Formulasi Kebijakan Publik

Upload: adaad

Post on 21-Dec-2015

222 views

Category:

Documents


1 download

DESCRIPTION

kebijakan bbm

TRANSCRIPT

PUBLIC CHOICE DALAM PERUMUSAN KEBIJAKAN HARGA BAHAN

BAKAR MINYAK (BBM) DI INDONESIA

OLEH:

1. Waskito Pamungkas (D0112090)

2. Wahyu Febriyanto S. W (D0112092)

3. Yesica Marina Murti (D0112094)

4. Yosua Willy Pratama (D0112100)

5. Rani Anova Dewi (D0112102)

6. Danang ( )

Mata Kuliah : Formulasi Kebijakan Publik

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK

UNIVERSITAS SEBELAS MARET

SURAKARTA

2014

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah

Bahan Bakar Minyak atau yang kita kenal dengan istilah BBM merupakan

salah satu sumber energi bagi kehidupan manusia. Manusia tidak akan pernah lepas

dari benda ini, pasalnya mobilitas manusia yang semakin meningkat dari waktu ke

waktu menuntut adanya akses yang cepat pula bagi setiap manusia untuk dapat

memaksimalkan kualitas hidupnya. Contoh kecilnya adalah, seseorang yang

biasanya menempuh jarak 1 km dengan menggunakan sepeda nampaknya sekarang

sudah mulai memilih untuk menggunakan sepeda motor. Tentu dengan alasan lebih

cepat dan praktis. Hal tersebut mungkin hanya sedikit sekali contoh kecil yang

menunjukkan begitu pentingnya BBM bagi manusia.

Mengingat BBM telah menjadi barang primer bagi setiap manusia,

mengakibatkan barang ini selalu dicari dan dibutuhkan. BBM tidak seperti benda-

benda lain yang dapat diperbaharui. BBM lebih merupakan suatu kebutuhan yang

tidak dapat diperbaharui, persediannya pun terbatas. Sehingga dalam

pengelolaannya dibutuhkan kehati-hatian dan perlu dihindari adanya pemborosan.

Hal ini dilakukan agar BBM dapat terus dinikmati oleh manusia dalam jangka

waktu yang lebih panjang untuk pemenuhan kebutuhan sehari-harinya.

Kebutuhan akan BBM selalu mengalami peningkatan dari waktu ke waktu

akan tetapi persediaan BBM sendiri sangat terbatas dan butuh waktu lama untuk

menciptakannya. Peningkatan kebutuhan ini sudah tentu diakibatkan oleh berbagai

faktor. Faktor utama yang mungkin mendasari kenaikan kebutuhan BBM adalah

bertambahnya manusia baik itu dari segi kuantitas maupun kualitas.

Peningkatan kebutuhan akan BBM itu sendiri dapat dilihat pada tabel

peningkatan kebutuhan minyak dunia di bawah ini,

Tabel 1

Tahun Kebutuhan (juta barel per hari)

2001 75

2006 85.4

Kebutuhan minyak dunia pada kuartal pertama. Sumber : Badan Energi Dunia ( IEA)

Dari tabel di atas mungkin dapat sedikit menunjukkan adanya peningkatan

yang signifikan terkait kebutuhan minyak di dunia dalam kurun waktu kurang lebih

5 tahun (2001-2006). Jika kita memprediksikan 10 tahun ke depan maka bukan

tidak mungkin bahwa kebutuhan manusia akan minyak bumi akan terus mengalami

peningkatan.

Keadaan yang tergambar di atas merupakan kebutuhan minyak dunia dan hal

tersebut juga tidak jauh berbeda dengan kebutuhan minyak yang terjadi di negara

kita. Kebutuhan BBM di Indonesia sendiri juga terus mengalami peningkatan dari

tahun ke tahun. Hal tersebut dapat tergambar dalam grafik sebagai berikut:

Grafik 1

Konsumsi Energi Indonesia 2005-2011 (Sumber data : Statistik Minyak Bumi 2011)

Dari grafik di atas terlihat jelas bahwa dalam kurun waktu 6 tahun (2005-

2011) konsumsi BBM di Indonesia terus mengalami peningkatan. Peningkatan

konsumsi BBM tersebut disebabkan oleh banyak hal dan faktor. Salah satu yang

mengakibatkan tingginya konsumsi BBM di Indonesia adalah semakin tingginya

peningkatan kendaraan bermotor. Hal itu dapat dilihat pada tabel di bawah ini:

Tabel 2

Jumlah kendaraan (Sumber data: BPS)

Dari tabel di atas sangat terlihat jelas kenaikan dan pertumbuhan kendaraan

bermotor di Indonesia. Hal di atas juga menunjukkan tingginya pemakaian

kendaraan pribadi jika dibandingkan dengan pertumbuhan transportasi umum.

Penggunaan sepeda motor dan mobil menunjukkan angka yang sangat fantastis.

Jika diasumsikan setiap kendaraan pribadi tersebut mengkonsumsi 1 liter BBM

setiap harinya maka berapa banyak total konsumsi BBM di Indonesia, tentulah

sangat besar. Selain pertumbuhan kendaraan bermotor tentu masih banyak faktor

lain yang mempengaruhi peningkatan konsumsi BBM, seperti pertumbuhan

industri, peningkatan pemakaian listrik, dll.

Indonesia sebagai salah satu negara berkembang dengan jumlah penduduk

yang tinggi serta pertumbuhan industri yang terus meningkat menuntut penyediaan

BBM yang tinggi pula. Keadaan penduduk indonesia yang mayoritas masih

berpendapatan rendah dan masih termasuk golongan menengah ke bawah juga

menuntut penyediaan barang-barang publik dengan harga yang terjangkau,

termasuk dengan BBM. Hal ini menjadikan pemerintah mengeluarkan kebijakan

terkait subsidi BBM bagi masyarakat yang kurang mampu. Subsidi BBM ini

diberikan bagi masyarakat kurang mampu agar masyarakat ini juga dapat membeli

BBM dengan harga yang terjangkau.

Namun yang terjadi di lapangan justru subsidi BBM banyak dinikmati oleh

masyarakat menengah ke atas dan kebijakan ini terkesan salah sasaran. Sehingga

menyebabkan pro-kontra dari berbagai pihak antara mempertahankan atau

mencabut subsidi BBM ini. Bagi pihak yang pro untuk mencabut subsidi BBM

beranggapan bahwa alokasi subsidi BBM yang sangat besar serta implementasi

kebijakan yang dinilai tidak tepat sasaran justru mengakibatkatkan besarnya

pembengkakan APBN serta nantinya alokasi subsidi BBM dapat dialihkan ke

sektor lain yang dinilai lebih produktif. Sedangkan bagi pihak yang kontra, jika

subsidi BBM dicabut otomatis harganya pun akan mengalami kenaikan dan akan

merugikan rakyat dan usaha-usaha kecil.

BBM sendiri telah megalami kenaikan harga dari tahun ke tahun dan tentunya

bukan perkara mudah bagi para pengambil keputusan untuk menentukan harga

BBM. Pada masa pemerintahan SBY sebelumnya, di tahun 2014 ini BBM sudah

mengalami kenaikan harga dari Rp5000 menjadi Rp6500 per liter. Tentunya

kebijakan tersebut menuai banyak protes dari masyarakat dan berbagai pihak yang

terkait. Seperti layaknya buah simalakama, nampaknya isu kenaikan BBM kembali

muncul pada pemerintahan presiden yang baru saat ini, yakni pemerintahan Joko

Widodo. Joko Widodo selaku presiden baru dihadapkan pada suatu keadaan yang

sulit antara menaikkan harga BBM yang nanti dampaknya akan berakibat pada citra

jokowi yang akan turun karena pada saat kampanye selalu menyuarakan rakyat

kecil. Namun jika BBM tidak dinaikkan maka akan berdampak pada kondisi

perekonomian bangsa.

Isu kenaikan harga BBM ini kembali muncul karena PT. Pertamina

menyatakan terpaksa memotong alokasi harian BBM bersubsidi di semua stasiun

pengisian bahan bakar umum. Hal ini dilakukan dalam upaya pengendalian

konsumsi BBM bersubsidi untuk memastikan kuota yang ditetapkan pemerintah

tidak “jebol”. Selain itu pemerintah mewacanakan akan menaikkan harga BBM

bersubsidi untuk mengurangi konsumsi BBM bersubsidi oleh masyarakat.

Diharapkan dengan menaikkan harga BBM bersubsidi tersebut, masyarakat dapat

beralih menggunakan BBM non-subsidi. Namun apabila harga BBM bersubsidi

dinaikkan, maka bukan tidak mungkin akan terjadi gejolak dalam masyarakat.

Karena ada sebagian masyarakat yang menerima kebijakan tersebut dan ada pula

yang menolak kebijakan tersebut. Hal ini akan berdampak pada naiknya biaya

produksi barang, yang berujung pada naiknya harga barang produksi. Tetapi jika

harga BBM bersubsidi tidak dinaikkan, maka dimungkinkan akan terjadi kehabisan

persediaan BBM bersubsidi sebelum akhir tahun 2014. Terlebih akan terjadi

pembengkakkan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara yang memicu hutang

negara serta mengurangi anggaran dari bidang lain yang digunakan untuk

penganggaran BBM bersubsidi.

Melihat situasi di atas maka sangat sulit untuk membuat suatu kebijakan

terkait harga BBM yang mampu mengakomodasi berbagai kepentingan.

Kepentingan rakyat yang sudah pasti menolak kenaikan harga BBM karena akan

mempersulit kehidupan mereka. Kepentingan pemerintah yang mau tidak mau

harus menaikkan harga BBM untuk menjaga persediaan BBM sampai akhir tahun

2014 serta mengurangi konsumsi masyarakat akan konsumsi BBM bersubsidi dan

menyelamatkan anggaran negara. Dan tentunya berbagai kepentingan individu-

individu dan kelompok lain yang terkena dampak dari kebijakan kenaikan BBM ini.

Pemerintah selaku pembuat kebijakan harus mampu melihat berbagai kepentingan-

kepentingan para stekholder yang terkena dampak dari kebijakan ini agar nantinya

kebijakan yang dibuat pemerintah benar-benar dapat diimplementasikan dengan

baik.

Public choice (Pilihan Publik) menjadi salah satu pendekatan perumusan

kebijakan publik yang dinilai efektif dalam mengakomodasi berbagai kepentingan-

kepentingan individu hendaklah mampu dijadikan pedoman bagi pemerintah dalam

merumuskan kebijakan publik. Maka dari itu kami mengambil sebuah judul

“Penerapan Public Choice dalam Perumusan Kebijakan Kenaikan Harga Bahan

Bakar Minyak (BBM) di Indonesia”.

1.2 Rumusan Masalah

Dari uraian latar belakang di atas kami mengambil beberapa rumusan masalah

yang akan kami jawab pada pembahasan penulisan makalah ini, antara lain:

1.2.1 Bagaimana Mekanisme Perumusan Kebijakan Harga Bahan Bakar Minyak

(BBM) di Indonesia?

1.2.2 Mungkinkah Public Choice Diterapkan dalam Perumusan Kebijakan Harga

Bahan Bakar Minyak (BBM) di Indonesia? Sudahkah diterapkan?

1.2.3 Apa Saja Kendala yang Ditemui dalam Penerapan Public Choice terhadap

Kebijakan Harga Bahan Bakar Minyak (BBM) yang Ditetapkan di Indonesia?

1.3 Tujuan Penulisan

Penulisan makalah ini dimaksudkan untuk mencapai beberapa tujuan, antara

lain:

1.3.1 Mengetahui Mekanisme Perumusan Kebijakan Harga Bahan Bakar Minyak

(BBM) di Indonesia

1.3.2 Mengetahui Kemungkinan Penerapan Public Choice dalam Perumusan

Kebijakan Harga Bahan Bakar Minyak (BBM) di Indonesia

1.3.3 Mengetahui Kendala-kendala dalam Penerapan Public Choice terhadap

Kebijakan Harga Bahan Bakar Minyak (BBM) yang Ditetapkan di Indonesia

BAB II

KAJIAN TEORI

2.1 Pentingnya Teori

Teori adalah seperangkat pernyataan yang berhubungan untuk menjelaskan

sejumlah peristiwa seperti yang diharapkan. Hal tersebut seperti yang dikatakan

oleh Logan dan Olmstead, bahwa setiap orang setuju bahwa suatu teori

merupakan seperangkat pernyataan, terdapat ketidaksepakatan tentang

karakteristik apa saja dari serangkaian pernyataan yang harus ada, sehingga dapat

dikatakan sebagai "teori". Selain itu teori dalam ilmu sosial juga dapat diartikan

sebagai suatu penjelasan sistematis tentang hukum-hukum dan kenyataan-

kenyataan yang dapat diamati, yang berkaitan dengan aspek khusus dari kehidupan

manusia (Jonathan Turner dalam Babbie, 1992).

Melihat definisi di atas terlihat jelas bahwa teori memegang peranan penting

dalam sebuah penelitian dan penulisan karya. Teori mampu menjadi gambaran

normatif akan keadaan dan kehidupan di masyarakat. Teori sendiri sudah barang

tentu akan mampu menjadi pedoman perbandingan bagi seorang penulis dalam

membuktikan kebenaran yang terjadi di lapangan dengan kondisi normatif yang

hendak dicapai. Teori dapat membuktikan apakah yang dituliskan dalam sebuah

teori sudah mampu diimplementasikan secara langsung atau belum.

Mengingat begitu pentingnya fungsi teori dalam sebuah penelitian maupun

penulisan, maka kami selaku penulis akan menggunakan beberapa teori dasar yang

nantinya akan kami jadikan pedoman untuk membahas permasalahan yang terjadi.

Adapun teori-teori yang akan kami gunakan dalam penulisan makalah ini, antara

lain Teori atau definisi terkait BBM (Bahan Bakar Minyak), Teori kebijakan publik

dan perumusan kebijakan serta teori pendekatan public choice. Ketiga teori tersebut

akan kami jelaskan pada bab 2 ini, yakni mengenai kajian teori.

2.2 Bahan Bakar Minyak (BBM)

Bahan bakar adalah suatu materi apapun yang bisa diubah menjadi energi.

Biasanya bahan bakar mengandung energi panas yang dapat dilepaskan dan

dimanipulasi. Kebanyakan bahan bakar digunakan manusia melalui proses

pembakaran (reaksi redoks) dimana bahan bakar tersebut akan melepaskan panas

setelah direaksikan dengan oksigen di udara. Proses lain untuk melepaskan energi

dari bahan bakar adalah melalui reaksi eksotermal dan reaksi nuklir (seperti Fisi

nuklir atau Fusi nuklir). Hidrokarbon (termasuk di dalamnya bensin dan solar)

sejauh ini merupakan jenis bahan bakar yang paling sering digunakan manusia.

Bahan bakar lainnya yang bisa dipakai adalah logam radioaktif. (Wikipedia bahasa

Indonesia.

Definisi di atas merupakan definisi bahan bakar secara ilmiah dan merupakan

definisi yang biasanya digunakan oleh disiplin ilmu pengetahuan. Sehingga penting

pula bagi kita untuk mendefinisikan bahan bakar minyak (BBM) tersebut sesuai

dengan disiplin ilmu sosial. Secara ekonomi bahan bakar minyak yang selanjutnya

disebut dengan BBM merupakan salah satu barang ekonomis yang mana untuk

memperolehnya diperlukan suatu usaha tertentu.

Bahan bakar minyak juga merupakan salah satu barang publik yang

dibutuhkan oleh semua orang dalam rangka melangsungkan kehidupannya. Bahan

bakar minyak sendiri biasanya dimonopoli oleh negara baik dari segi penyediannya

maupun harganya. Sehingga setiap kebijakan yang berkaitan dengan BBM,

biasanya juga harus diperhatikan terkait kepentingan masyarakat. Melihat begitu

pentingnya BBM bagi kehidupan manusia serta kebutuhan akan BBM yang terus

meningkat dan persediaan BBM sendiri yang terus berkurang dikarenakan sifatnya

sebagai salah satu sumber daya yang tidak dapat diperbaharui menuntut adanya

kebijakan dari pemerintah terkait barang publik ini.

2.3 Kebijakan Publik dan Perumusan Kebijakan

All human wisdom is summed up in two words; wait and hope (Seluruh

kebijakan manusia dapat diringkas dalam dua patah kata; menanti dan berharap).

(Alexander Dumas : 1803-1870 dalam Santosa). Kata-kata yang ditulis oleh

alexander dumas tersebut nampaknya memiliki makna yang mendalam mengenai

sebuah kebijakan. Kebijakan pada dasarnya mengarah pada dua prinsip kata antara

penantian dan harapan. Memang benar bahwa dalam sebuah kebijakan pasti

mengandung suatu rentang waktu yang dapat diamkanai sebagai penantian namun

juga dapat berupa harapan yang mana selalu diharapkan oleh pembuat kebijakan

maupun yang menerima kebijakan.

Menurut Oppenheim-Lauterpacht setiap negara yang dapat benar-benar

dikatakan sebagai negara setidaknya memiliki 3 unsur utama yakni wilayah, rakyat

dan pemerintah yang berdaulat serta satu unsur tambahan yakni pengkuan dari

negara lain. Unsur-unsur tersebut sudah pasti digunakan dalam rangka mencapai

tujuan bangsa dan negara. Rakyat dan pemerintah yang tinggal dalam suatu wilayah

tertentu berusaha mencapai tujuan bangsa tersebut. Pemerintah yang berdaulat

sebagai pengelola dan pelaksana tugas-tugas negara dituntut mampu memberikan

kesejahteraan bagi rakyatnya. Sedangkan rakyat sebisa mungkin selalu memberikan

dukungan dan pengawasan atas segala kinerja yang dilakukan pemerintah dalam

mengelola negara. Rakyat tidak akan mampu sejahtera tanpa campur tangan

pemerintah, begitupula pemerintah yang tidak mungkin mencapai tujuan negara

tanpa dukungan dari rakyat. Jadi , antara rakyat dan pemerintah hendaknya selalu

bersinergi.

Persoalannya adalah bagaimana pemerintah yang berdaulat tersebut mampu

memberikan kesejahteraan bagi rakyatnya? Tentu hal ini bukanlah perkara yang

mudah. Masyarakat dengan berbagai macam kepentingannya serta pemerintah

dengan berbagai macam kepentingannya pula harus membuat pemikiran yang

sama. Segala hal yang diputuskan pemerintah sudah pasti akan memberikan

dampak bagi semua pihak di negara tersebut termasuk rakyat. Dari keadaan ini

munculah sebuah studi terkait hal-hal yang akan diputuskan untuk dilakukan atau

tidak dilakukan pemerintah yang berkaitan dengan kepentingan umum (publik).

Dari sinilah muncul studi mengenai kebijakan publik. Kebijakan publik yang pada

intinya berfokus pada kajian yang menyangkut berbagai hal yang dilakukan atau

tidak dilakukan pemerintah di suatu negara yang menyangkut hal-hal yang bersifat

publik. Kebijakan publik sendiri semakin terlihat sangat kental terutama di negara-

negara demokratis yang menjunjung kedaulatan rakyat.

Banyak tokoh yang mendefinisikan terkait kebijakan publik (public policy).

Menurut Thomas R. Dye (2008) dalam santosa menyatakan bahwa kebijakan

publik sebagai: “Pilihan pemerintah untuk bertindak atau tidak bertindak.

Sedangkan David Easton dalam bukunya yang berjudul The Political System,”

mendefinisikan kebijakan publik sebagai “Pengalokasian nilai-nilai kepada seluruh

masyarakat secara keseluruhan”. Dari dua definisi tokoh di atas dapat dikatakan

bahwa kebijakan publik pada intinya merupakan tidakan pemerintah yang

dilakukan atau tidak dilakukan yang tujuannya untuk mengalokasikan nilai-nilai

kepada masyarakat. Namun demikian yang terjadi di lapangan seringkali

pemerintah melakukan tidakan otoritatif dan kurang bersifat alokatif.

Jika kita mendefinisikan kebijakan publik secara tegas maka sangatlah sulit.

Hal ini juga terlihat dari para tokoh yang cenderung lebih memilih untuk

memberikan perhatian terhadap nilai-nilai yang terkandung dalam public policy.

Harold D. Laswell dan Abraham Kaplan (dalam santosa) bahwa yang dimaksud

kebijakan publik adalah “Proyek, nilai dan praktik. Mirip dengan pendapat Laswell

dan Kaplan, Carl Fiedrich juga menyatakan bahwa kebijakan publik mengandung

nilai “saran, tujuan dan obyek tertentu yang jelas. Selain itu, Carl Friedrich

(Winarno, 2008: 17) memandang kebijakan sebagai suatu arah tindakan yang

diusulkan oleh seseorang, kelompok, atau pemerintah dalam suatu lingkungan

tertetu yang memberikan hambatan- hambatan dan peluang- peluang terhadap

kebijakan yang diusulkan untuk menggunakan dan mengatasi dalam rangka

mencapai suatu tujuan atau merealisasikan suatu sasaran atau suatu maksud

tertentu.

Dari berbagai pengertian di atas dapat ditarik kesimpulan mengenai kebijakan

publik, yaitu sesuatu hal yang dilakukan maupun tidak dilakukan oleh pemerintah

yang menyangkut kepentingan publik yang bertujuan untuk mengalokasikan nilai-

nilai dan kepentingan tertentu kepada masyarkat. Sehingga memerlukan suatu

kehati-hatian dalam pembuatan kebijakan publik tersebut. Sehingga dalam suatu

kebijakan ada 3 unsur utama, yaitu:

Tidakan yang dilakukan maupun tidak dilakukan pemerintah

Berkaitan dengan kepentingan publik (Barang, jasa maupun berbagai hal)

Alokasi nilai-nilai dan kepentingan tertentu

Carl Friedrich (Winarno, 2008: 17) memandang kebijakan sebagai suatu arah

tindakan yang diusulkan oleh seseorang, kelompok, atau pemerintah dalam suatu

lingkungan tertetu yang memberikan hambatan-hambatan dan peluang-peluang

terhadap kebijakan yang diusulkan untuk menggunakan dan mengatasi dalam

rangka mencapai suatu tujuan atau merealisasikan suatu sasaran atau suatu maksud

tertentu. Adanya kata yang menunjukkan arah tidakan semakin menjelaskan bahwa

kebijakan publik merupakan suatu proses tertentu. Adapun proses kebijakan publik

tersebut mencakup lima tahap yang terdiri atas formasi masalah, formulasi, adopsi,

implementasi dan evaluasi (Anderson dalam Santosa: 2008).

Salah satu hal terpenting dalam sebuah proses kebijakan publik adalah

tahapan formulasi atau perumusan kebijakan. Dalam perumusan kebijakan sendiri

meliputi beberapa aktivitas, antara lain:

Perumusan masalah

Agenda setting

Penyusunan alternatif

Seleksi alternatif

Penetapan alternatif terbaik

Perumusan menjadi sebuah tahapan yang vital yang akan menentukan

berhasil atau tidaknya implementasi sebuah kebijakan. Oleh karena itu, perlu

bebagai pendekatan-pendekatan maupun model yang harus digunakan dalam

perumusan sebuah kebijakan publik. Selain itu perumusan suatu kebijakan sendiri

bukanlah perkara yang sederhana dan mudah. Hal ini dikarenakan banyak sekali

faktor dan kekuatan yang berpengaruh pada tahapan ini. Belum tentu kebijakan

yang dianggap baik oleh masyarakat juga dianggap baik oleh pemerintah,

begitupula sebaliknya bahwa kebijakan yang dianggap baik pemerintah juga akan

dianggap baik masyarakat.

2.4 Public Choice

Seperti yang telah dikatakan sebelumnya bahwa perumusan kebijakan publik

merupakan sebuah proses yang rumit dan kompleks. Oleh karena itu butuh

pendekatan-pendekatan dalam mengkaji atau merumuskan suatu kebijakan publik.

Menurut Parsons (1997), setidaknya ia menyebut ada 4 pendekatan, yaitu :

a. Pendekatan kekuasaan

b. Pendekatan rasionalitas

c. Pendekatan pilihan publik

d. Pendekatan yang berkaitan dengan aspek personalitas dan informasi

Dari pendekatan-pendekatan yang disebutkan Parsons tersebut kami hanya

akan membahas dan memperdalam mengenai pendekatan pilihan publik (public

choice). Pendekatan public choice berusaha memperbaiki teori-teori sebelumnya,

seperti teori kekuasaan dan elitisme yang kurang mengalokasikan nilai-nilai kepada

masyarakat. Public Choice adalah sebuah perspektif untuk bidang politik yang

muncul dari pengembangan dan penerapan perangkat dan metode ilmu ekonomi

terhadapa proses pengambilan keputusan kolektif dan berbagai fenomena non pasar

(non market phenomena).

Menurut Samuelson & Nordhaus (1995), teori pilihan publik adalah salah

satu cabang ilmu ekonomi yang memepelajari bagaimana pemerintah membuat

keputusan yang terkait dengan kepentingan masyarakat (publik). Lebih jelas,

Samuelson & Nordhaus mendefinisikan teori pilihan publik sebagai berikut:

“Public Choice Theory asks about ‘how’, ‘what’, and ‘for whom’ of the public

sectors just as supply and demand theory examines choices for the private sectors”.

Teori pilihan publik juga dapat digunakan untuk mempelajari perilaku para actor

politik maupun petunjuk bagi pengambilan keputusan dalam pennetuan pilihan

kebijakan publik yang paling efektif. Yang menjadi subjek dalam telaah pilihan

publik adalah pemilih, partai politik, politisi, birokrat, kelompok kepentingan, yang

semuanya secara tradisonal lebih banyak dipelajari oleh pakar-pakar politik.

Dengan penalaran deduktif, ahli ekonomi menelusuri watak dan sikap aktor

negara yang diasumsikan rasional dan didasarkan pada kepentingan pribadi dengan

memaksimumkan peluang-peluang yang mungkin diperoleh dari suatu pemilihan.

Pengambilan keputusan dengan cara yang disebutkan di atas dapat membuat

prediksi-prediksi yang lebih pasti dan menghasilkan keputusan-keputusan politik

yang mempunyai dasar ilmiah dengan jangkauan lebih panjang ke depan. Premis

dasar pilihan publik adalah bahwa pembuat keputusan politik (pemilih, politisi,

birokrat) dan pembuat keputusan privat (konsumen, produsen, perantara) bertindak

dengan cara yang sama: mereka bertindak sesuai kepentingan pribadi. Dalam

kenyataan, pembuat keputusan ekonomi (misalnya, konsumen) dan pembuat

keputusan politik (pemilih) biasanya adalah orang yang sama. Tegasnya, orang

yang membeli barang-barang keperluan sehari-hari (konsumen) adalah orang yang

juga memilih dalam sutu pemilihan.

Dalam model pemilihan publik, politik tidak dipandang sebagai arena

memperoleh kekuasaan seperti yang digunakan dalam pendekatan politik murni;

melainkan lebih dipandang sebagai arena permainan yang memungkinkan

terjadinya pertukaran di antara warga negara, partai-partai politik, pemerintah dan

birokrat. Seperti halnya dalam permainan olahraga dan permainan pasar ekonomi,

permaianan dalam pasar politik juga memiliki aturan-aturan yang harus dipatuhi

dan para pemain dengan tujuan utama memenangkan pertandingan. Aturan yang

harus diikuti dalam permainan politik adalah konstitusi dan sistem pemilihan. Ada

pun yang menjadi pemain dalam pasar politik adalah para pemilih sebagai

konsumen atau pembeli barang-barang publik, dan wakil rakyat sebagai legislatif

dan politikus, yang bertindak layaknya seorang wirausahawan yang

menginterpretasikan permintaan rakyat terhadap barang-barang publik dan

mencarikan jalan sekaligus memperjuangkan agar barang-barang publik tersebut

sampai pada kelompok-kelompok pemilih yang memilih mereka dalam pemilihan.

Dari uraian di atas terlihat bahwa dalam model pilihan publik, hasil politik

ditentukan oleh permintaan dan penawaran, persis sama seperti halnya proses

terbentuknya harga dalam pasar persaingan sempurna. Hanya saja dengan pilihan

publik, konsep barter dan pertukaran yang sederhana, sesuai konsep ekonomi

murni, menjadi lebih kompleks sifatnya. Pertukaran dalam pengertian yang lebih

kompleks ini diartikan sebagai suatu proses persetujuan kontrak yang lebih luas

makna dan cakupannya dari pertukaran yang dilakukan oleh dua orang yang

melakukan transaksi, sebab tekanan akhir dari persetujuan kontrak adalah proses

persetujuan sukarela di antara banyak orang dalam masyarakat. Dalam hal ini,

pilihan publik tidak menolak kemungkinan adanya kepentingan kolektif dan

tindakan kolektif, tetapi kalaupun ada maka semua itu hanya merupakan hasil dari

segenap kepentingan individu yang ada dalam kelompok. Adapun Kelebihan

pendekatan pilihan publik yang secara langsung dirasakan ialah bahwa proses

politik tentang permainan kekuasaan menjadi lebih “lunak” karena didasarkan

aturan dan konstitusi, tidak sekedar didominasi oleh pihak yang dominant dan

berkuasa. Pilihan publik juga ramah terhadap perubahan dan anti status quo.

Dari beberapa uraian di atas dapat ditarik beberapa poin yang mampu

menggambarkan bahwa suatu kebijakan menerapkan pendekatan public choice

dalam perumusannya. Poin-poin di bawah ini juga dapat dijadikan indikator suatu

perumusan kebijakan menggunakan pendekatan public choice, diantaranya:

Melibatkan berbagai pihak (masyarakat, partai politik, birokrat, kelompok

kepentingan, dan kelompok tradisional lainnya) dalam merumuskan dan

memutuskan kebijakan.

Pengambilan keputusan didasarkan pada kepentingan masing-masing kelompok

yang diasumsikan sebagai kepentingan yang paling rasional dari masing-masing

kelompok.

Tunduk pada aturan-aturan yang berlaku yaitu berupa konstitusi dan sistem

pemilihan.

Adapun yang menjadi pemain dalam pendekatan ini adalah para pemilih sebagai

konsumen atau pembeli barang-barang publik, dan wakil rakyat sebagai

legislatif dan politikus, yang bertindak layaknya seorang wirausahawan yang

menginterpretasikan permintaan rakyat terhadap barang-barang publik dan

mencarikan jalan sekaligus memperjuangkan agar barang-barang publik tersebut

sampai pada kelompok-kelompok masyarakat.

Hasil politik atau keputusan publik ditentukan oleh permintaan dan penawaran,

persis sama seperti halnya proses terbentuknya harga dalam pasar persaingan

sempurna.

BAB III

PEMBAHASAN

3.1 Perumusan Kebijakan Harga Bahan Bakar Minyak (BBM) di Indonesia

Seperti yang kita ketahui sebelumnya bahwa salah satu bagian terpenting

dalam pembuatan kebijakan publik adalah formulasi kebijakan publik itu sendiri.

Formulasi yang menjadi tahapan awal dalam pembentukan sebuah kebijakan publik

akan menjadi penentu keberhasilan dan ketidak berhasilan implementasi kebijakan

tersebut. Oleh karena itu, formulasi kebijakan publik menjadi suatu perhatian

khusus dalam penyusunan sebuah kebijakan. Termasuk dalam hal ini adalah

mengenai formulasi kebijakan terkait harga Bahan bakar minyak (BBM). Karena

telah dijelaskan pada kajian teori bahwa BBM merupakan salah satu barang publik

yang dibutuhkan semua manusia namun persediaannya sangat terbatas. Sehingga

membutuhkan sebuah pengelolaan yang benar-benar baik dan hati-hati agar

pemakaiannya tidak mengalami pemborosan dan berdampak buruk bagi generasi

mendatang.

Pengelolan inilah yang menjadi dasar bagi pemerintah untuk membentuk

sebuah kebijakan terkait harga BBM. Persediaan minyak dunia yang semakin

berkurang disertai dengan permintaan yang terus meningkat mengakibatkan harga

minyak dunia terus mengalamai peningkatan. Hal ini juga berdampak bagi negara-

negara di dunia, termasuk Indonesia. Indonesia dengan jumlah penduduk yang

tinggi menyebabkan tingkat konsumsi terhadap BBM yang tinggi pula. Hal tersebut

juga ditambah dengan keadaan ekonomi warga negara Indonesia yang masih

tergolong rendah. Hal inilah yang menjadi persoalan bagi pemerintah dalam hal

menentukan kebijakan terkait kenaikan harga BBM. Pemerintah nampak sulit

antara menyelamatkan rakyat atau menyelamatkan anggaran negara yang mau tidak

mau jika kita membiarkan harga BBM yang saat ini berlaku maka bukan tidak

mungkin pengeluaran Indonesia dalam hal penyediaan BBM akan membengkak

dan berdampak pada semakin besarnya utang luar negeri bangsa Indonesia. Adapun

yang mungkin dapat menjadi gambaran terkait kenaikan harga BBM dari tahun ke

tahun dapat dilihat pada tabel di bawah ini,

Tabel di atas menununjukkan bahwa harga BBM dari waktu ke waktu

cenderung mengalami kenaikan. Tentunya hal ini disebabkan oleh berbagai faktor

tertentu. Dari mulai faktor eksternal menyangkut harga minyak dunia maupun

faktor internal terkait perumusan kebijakannya. Di sini saya akan mencoba

membahas terkait kebijakan pemerintah menaikkan harga BBM pada akhir tahun

2014 ini. Pada kajian teori sebelumnya telah dijelaskan mengenai aktivitas yang

dilakukan pada perumusan kebijakan publik, antara lain:

a. Perumusan masalah

Perumusan masalah merupakan aktifiyas mengidentifikasi permasalahan yang

mendasari kebijakan tersebut muncul. Adapun maslah yang terjadi adalah

persediaan BBM bersubsidi untuk tahun 2014 ini diprediksikan tidak akan

mampu menutup sampai akhir tahun. Sedangkan konsumsi masyarakat terhadap

BBM bersubsidi akan tetap meningkat. Jika hal ini tidak segera diatasi maka

dikhawatirkan kuota BBM bersubsidi untuk tahun ini akan jebol dan menuntut

pemerintah untuk mengeluarkan anggaran lagi untuk membeli BBM bersubsidi.

Untuk mengatasi hal ini pemerintah berencana mengurangi subsidi BBM secara

bertahap guna menjaga persediaan BBM bersubsidi akan mencukupi sampai

akhir tahun dan menaikkan harga BBM untuk mengurangi konsumsi masyarakat

terhadap BBM bersubsidi dan beralih ke BBM non-subsidi yang harganya tidak

jauh beda dengan kualitas yang lebih baik.

b. Agenda setting

Dari permasalahan tersebut maka berlanjut pada aktivitas yang disebut dengan

agenda setting atau penyusunan agenda. Dalam hal ini permasalahan yang ada

dicoba untuk di blow up ke khalayak umum melalui berbagai media masa. Hal

tersebut memunculkan isu mengenai kenaikan harga BBM bersubsidi. Dari

sinilah muncul berbagai macam respon dari masyarakat. Banyak pihak yang

menolak kenaikan harga BBM namun juga tidak sedikit pula pihak yang

menerima kenaikan harga BBM.

c. Penyusunan alternatif

Setelah melakukan proses agenda setting maka aktivitas selanjutnya yang

dilakukan adalah melakukan penyusunan alternatif. Tentunya dalam penyusunan

alternatif ini sangat dipengaruhi oleh berbagai faktor. Baik itu faktor rasionalitas

maupun faktor politik. Pemerintah (Eksekutif dan Legislatif) yang dalam hal ini

adalah aktor perumus kebijakan berusaha menyusun beberapa alternatif.

Sehingga miuncul dua alternatif utama yaitu, menaikkan harga BBM bersubsidi

dan tidak menaikkan BBM. Tentunya kedua hal tersebut memiliki konsekuensi

masing-masing.

d. Seleksi alternative

Dari penyusunan alternatif kebijakan di atas yang mana diperoleh dua alternatif

utama maka dalam hal ini pemerintah selaku pembuat kebijakan berusaha

melakukan seleksi atau pemilihan dari kedua alternatif tersebut. Dalam

menyeleksi alternatif ini bukanlah perkara mudah. Harus ada pertimbangan dari

berbagai aspek serta harus mempersiapkan solusi terbaik jika nantinya alternatif

yang diambil berdampak luas bagi masyarakat.

e. Penetapan alternatif terbaik

Setelah mempertimbangkan berbagai hal maka langkah atau aktivitas terakhir

dari perumusan kebijakan adalah pemilihan alternatif terbaik. Tentunya

penetapan alternaitif sudah melalui proses seleksi yang panjang dan penuh

perhitungan, meskipun terkesan bahwa kebijakan yang diambil adalah hasil dari

preferensi dari pemerintah. Sehingga sangat memungkinkan adanya kepentingan

politik di dalamnya.

Di Indonesia sendiri formulasi kebijakan publik masih banyak yang bersifat

atau menggunakan pendekatan elit. Para elit masih menggunakan preferensinya

dalam merumuskan suatu kebijakan. Sehingga kebijakan yang dibuat masih

terkesan mengedepankan kepentingan pribadi dan kelompoknya. Kebijakan ini

biasanya bersifat top-down dan kurang memperhatikan partisipasi dari pihak-pihak

lain. Contohnya: ketika kenaikan BBM pada pertengahan tahun 2014 lalu ada

pihak-pihak dan kelompok yang secara keras menolak kenaikan harga dengan

alasan kesejahteraan rakyat kecil. Namun kini, ketika kelompok tersebut berkuasa

dan dihadapkan pada situasi yang sama terkait kenaikan harga BBM, maka dengan

alasan menyelamatkan anggaran negara kelompok ini berusaha melupakan atas apa

yang dulu pernah diperjuangkannya atas nama rakyat.

Pemilihan pendekatan tertentu dalam rangka perumusan kebijakan publik

merupakan hal yang sangat penting bagi setiap aktor perumus kebijakan.

Pendekatan-pendekatan yang ada sudah tentu memiliki kelebihan dan kelemahan

masing-masing. Sehingga alangkah baiknya jika memilih beberapa pendekatan

yang mampu menutupi kelemahan pendekatan lainnya serta mempunyai kelebihan

atas pendekatan lainnya. Tidak ada pendekatan yang paling sempurna untuk

merumuskan sebuah kebijakan publik. Tetapi paling tidak ada beberapa pendekatan

yang mungkin dianggap tepat untuk merumuskan suatu kebijakan tertentu.

Melihat kondisi yang terjadi di atas terkait formulasi kebijakan harga BBM di

Indonesia yang selama ini masih didominasi oleh kepentingan-kepentingan politis

para elit, maka sudah sepantasnya bagi pemerintah mulai melihat kepentingan-

kepentingan berbagai pihak-pihak yang terkena dampak kebijakan ini. Minyak

sebagai barang publik harus mampu dikelola dengan baik oleh pemerintah melalui

sebuah kebijakan yang benar-benar tepat sasaran dan tidak merugikan salah satu

pihak.

3.2 Penerapan Public Choice dalam Perumusan Kebijakan Harga Bahan Bakar

Minyak (BBM) di Indonesia

Seperti dijelaskan sebelumnya bahwa dalam perumusan sebuah kebijakan

diperlukan adanya pendekatan-pendekatan tertentu. Perumusan kebijakan sendiri

bukanlah perkara yang singkat dan sederhana, namun merupakan sebuah proses

yang saling berkesinambungan dan berhubungan dengan kebijakan lain serta

berdampak luas bagi pihak-pihak yang berkepentingan. Oleh karena itu pendekatan

menjadi hal yang penting dalam sebuah perumusan kebijakan termasuk perumusan

kebijakan kenaikan harga BBM.

Dalam hal ini saya akan mencoba menganalisa mengenai perumusan

kebijakan harga BBM di Indonesia apakah sudah menerapkan public choice atau

belum. Dalam penerapan public choice sendiri hendaknya mampu menggambarkan

hal-hal di bawah ini, antara lain:

Melibatkan berbagai pihak (masyarakat, partai politik, birokrat, kelompok

kepentingan, dan kelompok tradisional lainnya) dalam merumuskan dan

memutuskan kebijakan.

Pada perumusan kebijakan harga BBM di Indonesia belum mampu melibatkan

berbagi pihak yang terkait dengan kebijakan ini. Perumusan kebijakan yang

dilakukan masih dilakukan oleh beberapa pihak, terutama dari pihak pemerintah.

Keputusan yang dibuat hanya didasarkan pada preferensi pemerintah, baik itu

legislatif maupun eksekutif. Meskipun dalam sitem pemerintahan di Indonesia

menyatakan bahwa legislatif adalah wakil rakyat di DPR yang mampu

menyuarakan aspirasi rakyat nampaknya itu belum berlaku bagi semua anggota

dewan. Mereka masih mengedepankan kepentingan pribadi dan golongan

dibandingkan dengan kepentingan rakyat. Hal ini tentu bertentangan dengan

gambaran dari pendekatan public choice.

Pengambilan keputusan didasarkan pada kepentingan masing-masing kelompok

yang diasumsikan sebagai kepentingan yang paling rasional dari masing-masing

kelompok.

Dalam perumusan kebijakan harga BBM di Indonesia belum terlihat adanya

kepentingan kelompok yang dapat terakomodasi. Mayoritas yang menjadi

pertimbangan suatu keputusan kebijakan adalah kepentingan para aktor pembuat

kebijakan. Dalam hal ini adalah DPR dan presiden, karena tuntutan rakyat yang

melakukan aksi unjuk rasa jarang sekali didengar oleh anggota dewan yang

duduk di parlemen. Sehingga hal ini kembali menunjukkan bahwa perumusan

kebijakan harga BBM di Indonesia belum menerapkan pendekatan public

choice.

Tunduk pada aturan-aturan yang berlaku yaitu berupa konstitusi dan sistem

pemilihan.

Adanya aturan yang berlaku masih sering dilanggar oleh para pembuat kebijakan

itu sendiri. Meskipun aturan yang ada di Indonesia belum mampu mencerminkan

penerapan pendekatan public choice dalam setiap perumusan kebijakan namun

setidaknya para perumus kebijakan hendaknya tunduk pada aturan-aturan yang

berlaku.

Adapun yang menjadi pemain dalam pendekatan ini adalah para pemilih sebagai

konsumen atau pembeli barang-barang publik, dan wakil rakyat sebagai

legislatif dan politikus, yang bertindak layaknya seorang wirausahawan yang

menginterpretasikan permintaan rakyat terhadap barang-barang publik dan

mencarikan jalan sekaligus memperjuangkan agar barang-barang publik tersebut

sampai pada kelompok-kelompok masyarakat.

Hal yang dikemukakan di atas nampaknya belum mampu terlaksana. Permintaan

dan tuntutan rakyat selaku pembeli barang publik yang mana dalam hal ini

adalah BBM belum mampu diperjuangkan dengan baik oleh para wakil rakyat

yang seharusnya berperan layaknya seorang wirausahawan. Sekalipun harga

BBM naik pemerintah hendaknya memberikan jalan lain atau alternatif lain yang

mampu meringankan beban masyarakat dalam memperoleh BBM.

Hasil politik atau keputusan publik ditentukan oleh permintaan dan penawaran,

persis sama seperti halnya proses terbentuknya harga dalam pasar persaingan

sempurna.

Hal terakhir yang menggambarkan tentang penerapan public choice di atas

nampaknya juga belum mampu terlaksana. Hal ini karena terbentuknya harga

BBM di masyarakat tidak didasarkan atas permintaan dan penawaran. Di mana

pada saat kenaikan harga BBM di Indonesia keadaan harga minyak dunia pada

saat itu sedang mengalami penurunan dan mencapai harga terendah. Bahkan di

negara-negara lain harga BBM justru mengalami penurunan. Tentunya hal ini

bertolak belakang dengan penerapan public choice di Indonesia.

Di Indonesia sendiri perumusan kebijakan masih cenderung menggunakan

pendekatan kekuasaan atau elit. Elit berusaha mengggunakan preferensinya guna

merumuskan suatu kebijakan. Kebijakan yang bersifat top-down kurang

mengakomodasi kepentingan pihak-pihak lain. Pihak-pihak yang mempunyai

kepentingan dan berusaha memaksimalkan keuntungan pribadi dan kelompoknya

kurang diperhatikan. Sehingga dampaknya adalah kebijakan ini sulit

diimplementasikan dan terkesan gagal. Termasuk pada kebijakan harga BBM.

Pemerintah tidak melihat kepentingan rakyat secara spesifik, antara rakyat

menengah ke bawah dan menengah ke atas. Justru pemerintah mengakomodasi

kepentingan masyarakat yang berbeda-beda kepentingan tersebut secara

menyeluruh atau dengan artian bahwa masyarakat adalah sama.

Hal ini tentunya sangat bertentangan dengan public choice. Public choice

yang memandang bahwa perumusan kebijakan publik sebagai pasar,

menganalogikan bahwa pemerintah selaku produsen, PT. pertamina (birokrasi)

sebagai distributor dan Masyarakat sebagai konsumen. Pemerintah sebagai penentu

kebijakan, dari mulai harga, kuota, besaran subsidi, dll mempunyai otoritas peneuh

dalam menentukan hal-hal tersebut dan tentunya memiliki kepentingan tersendiri

ketika membuat sebuah kebijakan. PT. pertamina selaku distributor tentu juga

mempunyai kepentingan dan berusaha memaksimalkan keuntungan pribadi, baik

secara ekonomi, politis, dan lingkungan. Sedangkan masyarakat selaku konsumen

juga harus dipandang bahwa mereka mempunyai kepentingan-kepentingan individu

serta berusaha untuk memaksimalkan keuntungannya.

Masyarakat sebagai konsumen tidak dapat dianggap sebagai satu kesatuan.

Mereka adalah kumpulan dari individu yang mempunyai kepentingan yang

berbeda-beda. Sehingga mereka akan membentuk suatu kelompok yang mungkin

saja kekuatan kelompok yang mereka buat akan melebihi jumlah anggota

kelompoknya. Misalnya kelompok buruh, kelompok pengusaha, kelompok tani,

kelompok mahasiswa, dll. Kelompok-kelompok ini seringkali menggunakan

kekutannya untuk menyuarakan kepentingannya dan menentang kebijakan yang

dianggap tidak menguntungkan baginya dan kelompoknya. Misalnya, pada kasus

kenaikan BBM banyak sekali kelompok buruh yang turun ke jalan menuntut

kenaikan upah buruh karena upah saat itu tidak mampu mencukupi kebutuhan-

kebutuhan hidupnya dikarenakan harga barang-barang yang semakin tinggi akibat

kenaikan BBM. Begitu pula kelompok tani yang turun ke jalan menentang adanya

kenaikan harga solar karena akan berdampak pada produksi berasnya. Sebab bahan

bakar utama mesin-mesin yang mereka gunakan untuk memproduksi hasil

pertanian adalah solar.

Di Indonesia sendiri yang tak kalah menjadi perhatian penting adalah

kepentingan pihak produsen yang dalam hal ini pemerintah selaku pembuat

kebijakan harga BBM. Pemerintah mempunyai andil yang besar dalam

pengambilan keputusan terkait kebijakan ini. Pilihannya hanya ada dua, yakni

menaikkan atau tidak. Tentu dengan konsekuensi masing-masing yang harus

diperoleh pemerintah. Konsekuensi jika BBM tidak dinaikkan adaah pemerintah

harus siap mengeluarkan anggaran yang lebih besar lagi untuk alokasi subsidi BBM

serta harus berusaha untuk terus mengendalikan konsumsi BBM di masyarakat.

Namun jika pemerintah mengambil kebijakan untuk menaikkan harga BBM maka

sudah tentu kepercayaan masyarakat akan pemerintah akan berkurang dan

pemerintah harus bersiap menerima gejolak di masyarakat serta mencari kebijakan

lain yang mampu mensejahterakan masyarakat melalui sektor-sektor lain.

Hal tersebut seringkali menjadi sebuah simalakama bagi pemerintah.

Sungguh sebuah “pilihan publik” dari pemikiran ekonomi penguasa yang

memperhitungkan anggaran negara dengan perbandingan kenaikan harga minyak

dunia. Eksistensi upaya mempertahankan keterpurukan negara dari pengaruh

naiknya harga minyak dunia, akan ditantang oleh realitas ekonomi para pengusaha

kecil yang memakai BBM maupunmasyarakat Indonesia yang secara keseluruhan

roda perekonomiannya digerakkan oleh BBM. Mampukah memberikan subsidi

silang kepada publik “si miskin” lebih banyak. Hal ini juga memperpanjang

diskursus tentang pencabutan subsidi bagi masyarakat “kepentingan publik” sampai

saat ini.

Oleh karena itu, pemerintah hendaknya mampu menerapkan pendekatan

public choice dalam merumuskan kebijakan ini. Pemerintah henaknya mampu

memposisikan diri sebagai produsen dalam sebuah pasar yang mana berusaha

memberikan sesuatu sesuai dengan permintaan dan penawaran dari konsumen

(masyarakat). Harga keseimbangan (equilibrium) dapat tercipta jika terjadi titik

temu antara supply and demand. Dengan harga keseimbangan ini maka akan

mnghasilkan harga yang menguntungkan baik bagi produsen maupun konsumen.

Demikian halnya kepentingan-kepentingan yang ada dalam perumusan kebijakan

publik pemerintah juga harus memperhatikan kepentingan-kepentingan semua

pihak yang terkena dampak kebijakan ini serta menjadikan pertimbangan dalam

merumuskan sebuah kebijakan sehingga tercipta suatu kontrak dan kesepakatan

bersama antara pemerintah dan masyarakat. Hal ini tentunya dapat diterapkan pula

dalam perumusan kebijakan terkait harga BBM.

Nampaknya bukan perkara mudah mengkampanyekan “pilihan publik”

sampai beberapa tahun mendatang. Hal ini ditunjukkan oleh kenyatan bahwa

pendekatan pilihan publik hanya berkembang lebih baik di negara-negara yang

sudah memiliki akar demokrasi yang kuat, sedang di negara-negara yang belum

demokratis, tidak terkecuali di Indonesia, penerapannya harus diperjuangkan lebih

keras. Penerapan asumsi kepentingan pribadi di negara-negara maju yang

masyarakatnya sudah lebih demokratis, tidak menjadi masalah. Seperti dijelaskan

oleh tokoh klasik Adam Smith, justru upaya mengejar kepentingan pribadi inilah

yang secara tidak langsung meningkatkan kesejahteraan masyarakat, asalkan dalam

upaya pencapaian tujuan pribadi tersebut mengikuti rambu-rambu, hukum dan

kelembagaan yang ada. Sedangkan ajaran tentang homo economicus dan prinsip

kepentingan pribadi, masih terkesan sangat negatif di negara-negara berkembang.

3.3 Kendala-kendala dalam Penerapan Model Public Choice terhadap Kebijakan

Harga Bahan Bakar Minyak (BBM) yang Ditetapkan di Indonesia

Meskipun sulit untuk diimplementasikannya pendekatan public choice

(pilihan publik) dalam sebuah perumusan kebijakan dan pengambilan keputusan.

Namun pendekatan ini nampaknya penting untuk diterapkan dalam sebuah

perumusan kebijakan. Termasuk kebijakan yang saat ini kita bahas. Tidak ada

salahnya untuk pemerintah menggunakan pendekatan ini dalam rangka mencari

keunggulan-keunggulan dari pendekatan ini. Karena pada dasarnya setiap

pendekatan dalam perumusan kebijakan publik memiliki keunggulan dan

kelemahan masing-masing.

Penerapan public choice di dalam perumusan kebijakan publik menjadi

penting karena beberapa alasan, antara lain:

Dalam model pilihan publik perumusan kebijakan dianggap sebagai pasar

ekonomi yang memungkinkan adanya petukaran kepentingan antar warga

negara. Selain itu, dalam pasar sendiri tentu ada aturan-aturan tertentu yang

harus dipatuhi oleh setiap produsen maupun konsumen. Sama halnya dengan

proses pengambilan keputusan yang menjadi aturan di dalamnya adalah

konstitusi. Oleh karena itu para aktor perumusan kebijakan juga harus patuh dan

tunduk terhadap konstitusi ini.

Dalam pilihan publik, hasil keputusan atau kebijakan publik ditentukan oleh

besarnya permintaan dan penawaran. Hal ini sama halnya dengan proses

pembentukan harga dalam sebuah pasar persaingan sempurna. Namun demikian

konsep permintaan dan penawaran di sini memiliki makna yang lebih kompleks

dan luas. Dalam hal ini, pilihan publik tidak menolak kemungkinan adanya

kepentingan kolektif dan tindakan kolektif, tetapi kalaupun ada maka semua

ituhanya merupakan hasil dari segenap kepentingan individu yang ada dalam

kelompok. Sehingga kalaupun ada kepentingan kelompok dalam perumusan

kebijakan harga BBM hal tersebut dapat disimpulkan bahwa kepentingan

tersebut telah mengakomodasi kepentingan-kepentingan individu dalam

kelompoknya. Oleh karena itu, pendekatan ini juga dianggap sebagai pendekatan

yang efektif digunakan dalam merumuskan kebijakan yang berdampak bagi

masyarakat luas karena mereka cenderung membentuk kelompok-kelompok

yang mampu memperjuangkan kepentingannya dan memaksimalkan

keuntungannya.

Pendekatan ini juga secara langsung mampu mengurangi permainan kekusaan

oleh pihak pemerintah karena pendekatan ini lebih menekankan pada

kesukarelaan dari pihak-pihak yang mempunyai kepentingan atas kebijakan ini,

yang mana para perumus kebijakan harus tunduk dengan konstitusi yang ada.

Sehingga kebijakan yang dibuat nantinya bukan hanya sekedar hasil dari

dominasi pihak-pihak yang memiliki keuasaan. Dalam perumusan kebijakan

terkait kebijakan harga BBM nampaknya pendekatan public choice akan mampu

meminimalisir terjadinya KKN (Korupsi Kolusi dan Nepotisme) di tubuh DPR

selaku pembuat kebijakan karena yang berperan besar dalam pembuatan

keputusan kebijakan ini bukanlah pihak-pihak yang berkuasa dan mendominasi

pemerintah namun merupakan kepentingan-kepentingan berbagai pihak dan

diatur dengan konstitusi.

Pentingnya public choice dalam perumusan kebijakan yang telah diumumkan

di atas nampaknya terhambat oleh beberapa kendala yang ada di Indonesia.

Kendala-kendala tersebut akan semakin mempersulit penerapan model public

choice dalam setiap perumusan kebijakan. Termasuk pada perumusan kebijakan

harga BBM. Kendala-kendala tersebut, antara lain:

1. Regulasi di Indonesia yang tidak mendukung

Adanya peraturan perundang-undangan yang menyatakan bahwa bumi, air,

tanah dan segala isinya dikuasai oleh negara dan digunakan sebaik-baiknya

untuk kesejahteraan masyarakat. Dengan peraturan ini maka secara tersirat

mengandung makna bahwa semua kekayaan alam yang ada di negara ini adalah

milik negara dan pengelolaannya diatur oleh negara dalam rangka mencapai

kesejahteraan rakyat. Negara mempunyai wewenang untuk memonopoli barang

atau sumber daya negara tanpa campur tangan pihak luar atau swasta. Termasuk

yang dilakukan terhadap barang publik berupa bahan bakar minyak (BBM).

Dengan demikian public choice yang menuntut peran serta swasta untuk masuk

ke dalam perumusan kebijakan akan menjadi terhambat dan sangat sulit.

Sehingga hal ini secara tidak langsung menjadikan public choice sulit untuk

diterapkan di Indonesia.

2. Sistem perumusan kebijakan yang masih kental dengan elit

Seperti yang dijelaskan di atas mengenai mekanisme perumusan kebijakan harga

BBM di Indonesia yang ditentukan oleh keputusan elit menunjukka kebanyakan

kebijakan di Indonesia menggunakan model pendekatan elit. Tidak ada salahnya

memang ketika kebijakan dirumuskan melalui kesepakatan-kesepakatan para elit

selama hal tersebut juga turut melibatkan aspirasi masyarakat. Preferensi elit di

Indonesia cenderung bersifat politis dan mementingkan kepentingan pribadi dan

golongan. Hal inilah yang turut serta mempersulit penerapan public choice di

Indonesia.

3. Sulitnya muncul kesepakatan antar berbagai pihak

Banyak perumusan kebijakan publik di Indonesia gagal untuk mencapai

konsesnsus atau kesepakatan bersama. Kebijakan yang ada justru memicu

terjadinya konflik antar berbagai pihak maupun kepentingan. Adanya motif

untuk mencari keuntungan pribadi merupakan salah satu penyebab hal ini. Tidak

banyak kebijakan yang diputuskan oleh hasil musyawarah mufakat. Kebijakan

yang ada justru diputuskan melalui mekanisme voting yang tentunya

dipengaruhi oleh jumlah kursi DPR yang dimiliki oleh masing-masing pihak.

Banaknya stekholder yang tidak diperhatikan aspirasinya menjadikan keputusan

yang ada tidaklah didasarkan atas kesepakatan berbagai pihak. Namun hanya

oleh beberapa pihak yang tentunya belum mampu menggambarkan penerapan

pendekatan public choice. Termasuk dalam perumusan kebijakan harga BBM di

Indonesia.

Namun demikian, pendekatan publik tentunya juga memiliki banyak

kelemahan dan kekurangan. Sangat sulit nampaknya untuk mewujudkan pelaksnaan

pendekatan public choice dalam suatu perumusan kebijakan. Kepentingan yang

diperjuangkan oleh kelompok-kelompok yang berkepentingan biasanya jarang

untuk didengar oleh para pembuat keputusan. Selain itu jika rakyat benar-benar

mengakomodasi kepentingan kelompok-kelompok yang terkena dampak kebijakan

tersebut, maka kepertingan publik mana yang sekiranya dipilih. Pemerintah

biasanya akan melihat kepentingan-kepentingan tersebut berdasarkan kekuatan

politik yang dimilikinya. Pemerintah yang juga memiliki kepentingan dan berusaha

memaksimalkan kepentingan pribadinya cenderung akan mengakomodasi

kepentingan kelompok yang mampu mendukung kekuasaannya dalam meraih dan

mempertahankan kekuasaan.

BAB IV

PENUTUP

4.1 Kesimpulan

Dari uraian yang telah dipaparkan di atas kami selaku penulis menarik

beberapa poin kesimpulan, antara lain:

Bahan bakar minyak (BBM) merupakan salah satu barang publik yang mana

segala sesuatu yang bersangkutan dengannya dapat dikategorikan sebagai salah

satu kebijakan publik. Kebijakan harga BBM menjadi salah satu kebijakan

publik yang selalu menjadi pembahasan menarik terutama dari segi perumusan

kebijakannya. Perumusan kebijakan harga BBM di Indonesia dilakukan melaui

berbagai aktivitas dari mulai perumusan masalah, agenda setting, penyusunan

alternatif, seleksi alternatif sampai pada penetapan alternatif terbaik. Yang

mana pada intinya di Indonesia sendiri mekanisme perumusan tersebut

didasarkan pada keputusan dan pendekatan elit atau pemerintah.

Perumusan kebijakan publik bukanlah perkara mudah dan merupakan salah

satu tahapan vital yang menentukan keberhasilan implementasi kebijakan

tersebut, termasuk dalam kebijakan harga BBM. Hal ini menuntut adanya

sebuah pendekatan tertentu dalam merumuskan sebuah kebijakan. Pendekatan

public choice yang dinilai efektif dan mampu memperbaiki pendekatan elite

yang selama ini mewarnai perumusan kebijakan harga BBM nampaknya belum

mampu dan masih sulit diterapkan di Indonesia dikarenakan berbagi faktor.

Ada beberapa hal yang menjadi perhatian tentang pentingnya penerapan

pendekatan ini dalam sebuah perumusan kebijakan termasuk kebijakan harga

BBM yang selama ini selalu menjadi isu klasik di bidang politik maupun

ekonomi. Pendekatan public choice nampaknya dapat menjadi alternatif dalam

perumusan kebijakan yang mampu mengakomodasi beberapa kepentingan

individu dan kolektif masyarakat dan sedikit mengurangi dominasi penguasa.

Namun demikian, penerapan public choice di Indonesia masih terkendala oleh

berbagai hal, diantaranya regulasi yang tidak mendukung, keputusan yang

didasarkan atas elit dan sulitnya mewujudkan kesepakatan antar berbagai pihak

4.2 Saran

Dari berbagai hal yang telah dibahas sebelumya kami memebrikan beberapa

saran, antara lain:

Perlu reformasi kelembagaan publik yang mana meliputi reformasi aturan-

aturan dan kerangka dasar di mana proses-proses dan pengambilan keputusan

berlangsung. Selain itu juga perlu adanya desentralisasi kekuasaan dan

kewenangan politik, sebab tatanan seperti transaksi pasar dipandang lebih baik

dibanding tatanan dominasi kekuasaan.

Pemerintah sebagai aktor perumus kebijakan hendaknya memiliki sifat

sensitifitas terhadap kepentingan-kepentingan masyarakat. Pemerintah dapat

melakukan public hearing dan dialog langsung dengan masyarakat dalam

rangka mendengarkan aspirasi dan kepentingan-kepentingan masyarakat.

Dalam menyuarakan kepentingannya masyarakat hendaknya selalu melakukan

cara-cara yang damai dan efektif agar kepentingannya dapat diperhatikan dan

dijadikan pertimbangan pemerintah dalam merumuskan kebijakan. Misalnya,

aksi unjuk rasa damai, menulis di media baik media massa maupun elektronik.

Akuntabilitas dan transparansi dari pemerintah kepada masyarakat terkait suatu

kebijakan yang telah diputuskan agar nantinya tidak terjadi kecurigaan

berkaitan dengan kepentingan rakyat. Misalnya, memberikan akses yang

terbuka bagi masyarakat untuk mengetahui dasar-dasar dibentuknya kebijakan

tersebut.

Adanya alternatif kebijakan lain jika memang kebijakan tersebut tidak mampu

menagkomodasi kepentingan-kepentingan pihak terkait. Misalnya, ketika

memang pemerintah harus menaikkan harga BBM dan mencabut subsidi BBM

maka pemerintah harus mengambil kebijakan lain yang sekiranya dapat

mengakomodasi kepentingan masyarakat yang terkena dampak kebijakan

tersebut. Pemerintah dapat mengalokasikan subsidi atau anggaran BBM ke

sektor-sektor yang lebih produktif dan dibutuhkan masyarakat, seperti

pendidikan, kesehatan, infrastruktur, dll.

DAFTAR PUSTAKA

Anderson, James E. 1979-second edition. Public Policy-making. Holt, Rinehart and Winston: New York.

Astuti, Puji., dkk. Kebijakan Energi Harga Minyak Dunia (Cruide Oil exchange). Yogyakarta: UGM

Astuti, Septin. 2012. Siapakan Konsumen BBM Terbanyak di Indonesia. Diperoleh dari Kompasiana. com pada Rabu, 5 November 2014

Gilarso,T. 2003. Pengntar Ilmu Ekonmi Mikro. Kanisius: Yogyakarta

_______. 2004. Pengntar Ilmu Ekonmi Makro. Kanisius: Yogyakarta

Leo, Agustino. 2008. Dasar-dasar Kebijakan Publik. Bandung: Alfabeta

Masduki. 2007. Regulasi Penyiaran : Dari Otoriter ke Liberal. Yogyakarta : LKiS

Mosco, Vincent. 2009. The Political Economy of Communication, Second Edition. London: Sage Publication Ltd.

Parsons, Wayne. 2005. Public Policy Pengantar Teori dan Praktik Analisis Kebijakan. Jakarta: Prenada Media

Ramadhan, Farid. 2013. Pengaruh Kenaikan Harga Bahan Bakar Minyak (Bbm) Tahun 2013 Terhadap Investasi Saham (Event Study Saham pada Perusahaan Otomotif dan Komponen yang Terdaftar di Bursa Eefek Indonesia)

Sandi, Ayu. 2014. Premium Langka Pertamiana Akui Pangkas Kuota. Diperoleh dari tempo.com pada Rabu 5 November 2014

Santosa, Pandji. 2008. Administrasi Publik Teori dan Aplikasi Good Governance. Bandung: PT. Refika Aditama

Suryatmojo dan lestariningsih. 2011. Modul Keuangan Negara. Universitas Sebelas Maret : Surakarta

Winarno, Budi. 2008. Kebijakan Publik Teori dan Proses. Yogyakarta: Media Pressindo