paper ke-ix ethics and human rights · solusi dari postmodernisme adalah perlunya legitimasi kode...

15
i Paper ke-IX ETHICS AND HUMAN RIGHTS (ETIKA DAN HAM) Disusun sebagai Pelaksanaan Tugas untuk: Mata Kuliah: Nilai, Etika Pekerjaan Sosial, dan Hak Asasi Manusia Dosen: Dr. EPI SUPIADI, M.Si Dra. SUSILADIHARTI, M.SW Oleh: HERU SUNOTO NRP: 13.01.03 PROGRAM SPESIALIS-1 PEKERJAAN SOSIAL SEKOLAH TINGGI KESEJAHTERAAN SOSIAL BANDUNG 2013

Upload: vuongnga

Post on 09-Mar-2019

217 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: Paper ke-IX ETHICS AND HUMAN RIGHTS · Solusi dari postmodernisme adalah perlunya legitimasi kode etik yang multiply (bisa digunakan dalam beragam segmen), dengan cara menyusun dan

i

Paper ke-IX

ETHICS AND HUMAN RIGHTS

(ETIKA DAN HAM)

Disusun sebagai Pelaksanaan Tugas untuk:

Mata Kuliah: Nilai, Etika Pekerjaan Sosial, dan Hak Asasi Manusia

Dosen:

Dr. EPI SUPIADI, M.Si

Dra. SUSILADIHARTI, M.SW

Oleh:

HERU SUNOTO

NRP: 13.01.03

PROGRAM SPESIALIS-1 PEKERJAAN SOSIAL

SEKOLAH TINGGI KESEJAHTERAAN SOSIAL

BANDUNG

2013

Page 2: Paper ke-IX ETHICS AND HUMAN RIGHTS · Solusi dari postmodernisme adalah perlunya legitimasi kode etik yang multiply (bisa digunakan dalam beragam segmen), dengan cara menyusun dan

ii

KATA PENGANTAR

الحمد هلل رّب العالمين، والصالة والسالم على رسوله األمين، وعلى آله وصحبه أجمعين، وبعد ...

Segala puji bagi Allah SWT sehingga kami bisa menyelesaikan tugas ke-VII, paper tentang

Ethics and Human Rights (Etika dan HAM) dengan referensi utama buku Jim Ife, “Human

Right and Social Work” Bab VII untuk mata kuliah Nilai, Etika Pekerjaan Sosial, dan HAM

bisa selesai, pertemuan ke-VIII.

Terakhir, kami berharap ada masukan dan penyempurnaan dari sesama teman-teman Sp-1,

dan lebih khusus lagi dosen kami.

Bandung, 03 Oktober 2013

Heru Sunoto

Page 3: Paper ke-IX ETHICS AND HUMAN RIGHTS · Solusi dari postmodernisme adalah perlunya legitimasi kode etik yang multiply (bisa digunakan dalam beragam segmen), dengan cara menyusun dan

iii

DAFTAR ISI

Kata Pengantar i

Daftar Isi ii

BAB I. PENDAHULUAN 1

BAB II. TINJAUAN PUSTAKA 2

Hak dan etika

Etika dalam wacana konservatif-individualis

Etika dalam modernis

Etika dan HAM

Praktik yang beretika

BAB III. PEMBAHASAN 8

BAB IV. KESIMPULAN DAN SARAN 11

DAFTAR PUSTAKA

Page 4: Paper ke-IX ETHICS AND HUMAN RIGHTS · Solusi dari postmodernisme adalah perlunya legitimasi kode etik yang multiply (bisa digunakan dalam beragam segmen), dengan cara menyusun dan

1

BAB I

PENDAHULUAN

Ethics and Human Right (Etika dan HAM). Etika adalah sekumpulan pranata perilaku yang

menunjuk pada “baik-buruk”, “benar-salah”. Etika lebih konkrit daripada Hak Asasi Manusia

(HAM). HAM adalah gagasannya, sedangkan etika adalah bagaimana cara memperoleh hak

tersebut secara manusiawi, tidak mengganggu kepentingan orang lain, dan sebagainya.

Pada pertemuan kedua Kuliah Value, Ethics, and Human Right in social work, kita sudah

membahas tentang apa itu nilai dan etika. Di sana dinukilkan penjelasan para ahli tentang

apa itu etika. Diantaranya, yang dinukil oleh Brenda L. DuBois, dalam bukunya: Social Work:

an Empowering Profession.

Diantaranya, Levy, yang mendefinisikan bahwa etika berkaitan dengan standar perilaku

yang menunjuk “benar-salah”, dan dalam etika profesi, maka etika adalah nilai dalam

tindakan nyata.

Perilaku yang etis, sebagaimana yang dijelaskan oleh DuBois, adalah perilaku yang

mengindahkan standar moral yang tinggi yang berlaku, dalam ranah praktik profesi, maka

perilaku yang etis adalah jika praktik profesi mengindahkan standar praktik yang ditetapkan

oleh kode etik profesi.

HAM adalah hak-hak yang melekat dan dimiliki manusia, siapapun, dan dimanapun tanpa

melihat perbedaan identitas sosialnya.

Apakah etika dan HAM sama? Dalam profesi, apakah etika harus dibakukan sebagai

standar praktik? Apakah kode etik praktik statis? Terkait dengan perjuangan manusia dalam

mendapatkan kembali haknya, maka etika dan HAM adalah penting. Apakah keduanya

sama? HAM mengalami perkembangan dari generasi pertama, kedua, ketiga, hingga

postmodernis. Apa implikasinya kepada etika profesi? Hal inilah yang akan kita bahas pada

paper kita kali ini.

***

Page 5: Paper ke-IX ETHICS AND HUMAN RIGHTS · Solusi dari postmodernisme adalah perlunya legitimasi kode etik yang multiply (bisa digunakan dalam beragam segmen), dengan cara menyusun dan

2

BAB II

ETIKA DAN HAM1

Salah satu karakteristik penting yang ada pada profesi adalah kode etik.2 Pekerjaan social,

sebagai salah satu profesi, memiliki kode etik yang menjadi pengarah dalam praktiknya.

Diskusi tentang kode etik, bagi peksos berguna untuk (i) pengembangan kode etik, (ii) revisi

kode etik, khususnya ketika berhadapan dengan isu-isu etika dalam tataran praktik. Dan ini

merupakan salah satu bagian dari praktik peksos.3

Kode etik, bagi pekerja social berfungsi untuk:

(i) Memotivasi perilaku etis,

(ii) Membantu peksos yang berhadapan dengan dilemma etik yang sangat sulit,

(iii) Fungsi control dari perilaku yang tidak etis. Tentang ini, biasanya ada sanksi dari

asosiasi profesi yang dijatuhkan kepada peksos yang berjalan tidak sesuai kode etik,

dari misalnya, mencabut izin praktik, ataupun merekomendasikan untuk mengikuti

pelatihan.4

HAK DAN ETIKA

Ada hubungan yang jelas antara kode etik dan gagasan HAM.5 Oleh karena itu, terkadang

kode etik dianggap sama dengan hak. Beragam prinsip dan praktik diletakkan pada kode

etik pekerjaan social untuk menegaskan adanya hak, misalnya: hak klien atau hak

kelompok, hak pegawai peksos, hak kawan seprofesi peksos, dan lain-lain. Dari penjelasan

ini, etika adalah pernyataan tentang pentingnya hak-hak tersebut (i) untuk dijelaskan, (ii)

bagaimana direalisasikan dan (iii) dilindungi.

Sebaliknya, praktik peksos didasarkan pada gagasan fundamental dan “HAM yang tidak

dapat dicabut” dari manusia yang menuntut perilaku etis dari peksos. Maka, hak dan etika

dapat dilihat seperti dua sisi mata uang logam, saling berpengaruh dan terkait. Keduanya

merupakan dua cara yang berbeda terhadap hal yang sama. Bahkan keduanya memiliki

perbedaan yang penting tentang tekanan atau fokusnya. Salah satunya, disebut fungsi

control kode etik profesi dan wacana tentang “etika”. Untuk wacana tentang hak, fungsi

control kode etik memang terasa lemah, karena hanya mengikuti tuntan moral dan bukan

1 Diterjemahkan secara ringkas dari buku Human Right and Social Work, Bab VII, Jim Ife, revised ed, 2008.

2 Corey et.al. Issues and ethics in the Helping Profesions, 5

th ed., 1998.

3 Clarck, Social work ethics Politics, Principles, and Practice, MacMillan, London, 2000.

4 Gaha, a Professional Code of ethics – an imperfect regulator, 1997.

5 A.C. Baier, Moral Prejudices: Essays on Ethics, Cambridge, Harvard Univ. Press, 1994

Page 6: Paper ke-IX ETHICS AND HUMAN RIGHTS · Solusi dari postmodernisme adalah perlunya legitimasi kode etik yang multiply (bisa digunakan dalam beragam segmen), dengan cara menyusun dan

3

karena takut sanksi. Meskipun, tentu saja ada sanksi yang legal terhadap pelaku

pelanggaran HAM, misalnya, pengadilan, Komisi HAM, dan lain-lain.

ETIKA SEBAGAI WACANA INDIVIDUALIS YANG KONSERVATIF

Wacana tentang etika sebenarnya sangat individu. Etika adalah tentang seseorang yang

membuat pilihan-pilihan etika untuk masalah tertentu. Hal ini cocok dengan ideology neo-

liberal dan dengan realitas praktik peksos, karena peksos sering digambarkan dalam

“praktik dengan individu dalam rangka membuat keputusan-keputusan yang juga buat

individu.6 Tekanannya justeru ada pada peksos dan keputusan yang harus diambil.

Pada profesi lain, HAM sangat terkait dengan isu-isu kolektif, dimana hak bisa dilekatkan

pada kelompok, meski pembuatan keputusan etis-nya ada pada bingkai pilihan individu.

Wacara HAM juga telah bergeser perhatiannya, dari peksos ke individu atau ke kelompok

dimana peksos berinteraksi. Singkatnya adalah, pembuatan keputusan secara etis ada

pada peksos, sedangkan hak melekat pada klien.

Ketika etika dan hak berlaku pada satu masalah yang sama, maka ada dua wacana berbeda

yang mendorong kita untuk memahaminya dalam 2 cara berbeda:

(i) Instrospektif dan refleksi diri, dan

(ii) Fokus pada keadaan luar.

Dilema peksos pada sisi etika adalah ia memiliki peran membuat keputusan. Ini tidak jelas

bagi klien. Di sisi lain, menurut perspektif HAM, klien diberikan kesempatan seluas-luasnya

untuk aktif dalam proses pengambilan keputusan tentang dirinya. Ini yang pernah kita bahas

pada bab terdahulu tentang pemandulan atau penguatan potensi klien. Ini bukanlah

maksudnya untuk mengatakan bahwa peksos yang concern dengan pengembangan dan

penguatan kode etika, tidak berarti tidak bekerja dari motivasi yang terbaik, namun praktik

terkadang secara halus menguatkan konservatif dan melemahkan kerangka praktik peksos.

Ini bisa terjadi, meski bukan itu yang diniatkan oleh peksos dalam praktik di lapangan.

ETIKA SEBAGAI MODERNIS

Sebuah kode etik ditetapkan dengan maksud untuk mengembangkan peran secara “tepat”

bagi praktik profesi yang beretika, tentang (i) apa yang bisa dikerjakan dan (ii) apa yang

tidak bisa diterima. Yang berbahaya dari pendekatan ini adalah, ia menjadi “kebenaran” bagi

pekerjaan social. Kode etik adalah laksana “satu model ideal tapi tunggal” pada praktik

6 Clarck, 2000.

Page 7: Paper ke-IX ETHICS AND HUMAN RIGHTS · Solusi dari postmodernisme adalah perlunya legitimasi kode etik yang multiply (bisa digunakan dalam beragam segmen), dengan cara menyusun dan

4

profesi, dan seorang peksos dipaksa (antara dorongan modal dan sanksi) untuk mengambil

model ini. Ini merupakan pendekatan yang menyatukan beragam dan kompleksnya peran

dan aksi peksos menjadi satu cara praktik ideal yang tunggal.7 Ini artinya menyatukan

segala hal yang bervariasi dan kompleks menjadi satu system. Tujuannya, agar mudah

difahami dan dilaksanakan. Ini begitu menancap dalam modernitas, meski hampir

dipertanyakan, kecuali bagi beberapa filosof yang gampang untuk menyisihkan dan

menyebutnya keliru, hingga muncul sejumlah kritik yang menyebut sebagai proyek

modernitas, oleh postmodernisme.8

Postmodernisme menyatakan bahwa pencarian untuk menemukan otoritas tunggal atas

segala hal adalah tidak mungkin tercapai/sia-sia, dan hasil dari penyisihan beragam suara

yang menguasai pandangan dunia. Kritikan dari Postmodernisme, dalam beragam

bentuknya, mungkin gampang dihargai dalam filsafat dan ilmu social. Namun, tidak selalu

ditekankan pada konstruksi arus-utama fenomena social. Kebijakan sosial, misalnya, pada

umumnya bertekad menemukan cara terbaik untuk menjalankan sistem jaminan sosial,

kesehatan, pendidikan, dan sebagainya. Dari perspektif postmodernis, pencarian tersebut

akan selalu gagal, karena postmodernisme memandang “kita bisa menempuh beragam cara

“yang benar” untuk dilakukan, tergantung konteks, budaya, sejarah, dan konstruksi yang

terus berubah dan gambaran kenyataan oleh orang-orang yang terlibat. Etik sebagian besar

masih terjebak dalam paradigma modernis. Oleh karena itu, mulai disadari, peksos mulai

menerima Postmodernisme9, meskipun bagaimana hal ini bisa masuk dalam praktik, masih

perlu dibahas kembali.

Inilah tantangannya, yaitu merumuskan gagasan etika peksos menjadi sesuatu yang lebih

konsisten dengan filsafat postmodern. Dunia postmodern ditandai oleh (i) kurangnya

kepastian dan jaminan, (ii) keberagaman dan multi-realitas, dan bukan pernyataan kategoris

“benar-salah” yang tersirat dalam banyak kode etik peksos.

Cara lain dimana kode etik konvensional yang pada dasarnya modernis, adalah ia berupaya

untuk menjangkau segala hal dan memberikan “buku saku” bagi pekerja sosial yang akan

membantu klien dalam beragam situasi sulit. Siswa peksos, misalnya, sering diberi kode etik

dan diminta untuk menggunakannya untuk “memecahkan” masalah. Asumsinya, jika kode

etik digunakan dengan benar, maka akan memberikan jawaban yang “benar”, apapun

masalahnya. Sekali lagi, keyakinan tersebut adalah modernitas klasik. Asumsi ini, menurut

7 Touraine 1995; Griffin 1996; Jenkins 1999.

8 Harvey 1989; Seidman 1994; Kumar 1995.

9 Howe 1994; Ife 1997b , Leonard 1997; Pease & Fook 1999; Healy 2000.

Page 8: Paper ke-IX ETHICS AND HUMAN RIGHTS · Solusi dari postmodernisme adalah perlunya legitimasi kode etik yang multiply (bisa digunakan dalam beragam segmen), dengan cara menyusun dan

5

postmodernisme, tidak masuk akal. Praktek di dunia nyata jauh lebih rumit dan

berantakan daripada kandungan kode etik modernis10.

Kritik berikutnya adalah mereka mampu melakukan fungsi control atas profesi dengan

kode etik tersebut. Padahal, sebuah kode etik, pasti ditulis hanya oleh beberapa pekerja

sosial, lalu diberlakukan kepada pekerja sosial lain. Oleh karena itu, timbul pertanyaan:

siapa yang menulis kode etik, siapa yang menyetujuinya, siapa yang memberlakukan dan

bagaimana. Semua ini pada dasarnya aktivitas politik yang mencerminkan ideologi praktek.

Hal ini, memang diam-diam, diakui sehingga muncul kode etik alternatif:

(i) Kode etik bagi pekerja sosial yang radikal,

(ii) Kode etik untuk pekerja sosial pribumi,

(iii) Kode etik untuk para pekerja sosial dalam banyak setting, dan sebagainya.11

Ini artinya pekerjaan social tidak bisa hanya dibingkai oleh satu kode etik.

Solusi dari postmodernisme adalah perlunya legitimasi kode etik yang multiply (bisa

digunakan dalam beragam segmen), dengan cara menyusun dan kemudian disusun

kembali, secara terus menerus, oleh beragam peksos sejalan meningkatnya kebutuhan. Ini,

kayaknya, lebih mencerminkan praktik yang realistis.

ETIKA DAN HAM

Sesuatu yang penting tentang kode etik profesi bukanlah pada kode etik itu sendiri. Namun,

apa muatan moral yang ada di dalamnya. Inilah moralitas pekerjaan social dan action

peksos pada isu-isu yang dihadapinya. Kode etik sebagai alat ukur dan alat evaluasi.

Moralitas harus dibedakan dengan kode etik. Berakhirnya masa kode etik tidak harus diikuti

dengan berakhirnya moralitas. Etika adalah perwujudan dari moralitas, tapi tidak mesti

hanya berupa satu jenis etika saja. Dan dalam postmodernisme, kita harus terus mencari

melalui wacana tentang moral, sebagaimana kita mengupas HAM.12

Seorang peksos akan dituntut akuntabilitasnya, tidak hanya dari parameter prinsip nilai dan

prinsip moral profesi saja, tapi juga prinsip nilai, etika, dan moral klien, baik individu,

keluarga, kelompok, maupun masyarakat.13

HAM adalah cara dimana kita berusaha mendefinisikan tentang bagaimana hidup

bersama dan menyediakan lingkungan yang kondusif bagi setiap anggotanya untuk

10

Parton & O'Byrne 2000. 11

Loewenberg et.al, 2000. 12

Hershock, 2000. 13

Clark, 2000.

Page 9: Paper ke-IX ETHICS AND HUMAN RIGHTS · Solusi dari postmodernisme adalah perlunya legitimasi kode etik yang multiply (bisa digunakan dalam beragam segmen), dengan cara menyusun dan

6

mewujudkan potensi kemanusiaannya.14 Dari perspektif ini, prinsip moral peksos yang

didasarkan pada HAM, bisa dinyatakan secara singkat dalam 2 hal:

Melakukan sesuatu, ini untuk menegaskan dan merealisasikan HAM semua orang

Tidak melakukan sesuatu, ini untuk membatasi, menolak, dan melanggar HAM orang

lain.

Jadi, mendefinisikan HAM dalam perspektif yang otoriter, tidak mungkin, dan secara

modernis menjadi sesuatu yang baku, ini tidak berkembang. Tapi, gagasan tentang hak,

yang dikonstruksikan melalui wacana, mampu membentuk alternative dasar dan pendekatan

yang kuat bagi moralitas dalam praktik peksos.

PRAKTIK YANG BERETIKA

Meski penggunaan kode etik formal sudah mulai tidak relevan pada era postmodernisme,

namun gagasan tentang etika tetap diperlukan. Penggunaan kode etik, di lapangan,

cenderung untuk membatasi “kekuatan yang sedang berkuasa”, padahal fungsi peksos

adalah juga harus concern dengan isu kekuasaan dan empowering, sehingga bisa

membatasi “keserakahan” kekuasaan untuk kemudian membantu kelompok yang lemah.

Secara khusus, bagi seorang peksos, gagasan etika profesi berimplikasi pada kekuatan

profesi untuk berpraktik “menyiksa”. Maka, penting untuk mengatakan “berpraktik yang

beretika” dapat difahami dalam “praktik yang bermoral”, menggunakan pemahaman HAM

sebagai referensinya. Prinsip untuk membentuk landasan bagi koridor praktik yang beretika

adalah selalu berusaha:

(i) Memaksimalkan dalam merealisasikan HAM

(ii) Perlindungan HAM

(iii) Jangan pernah melanggar HAM orang lain.

Fokus utama kode etik peksos adalah seorang peksos menghormati HAM siapapun.

Ada level yang lebih tinggi bagi praktik peksos yang beretika, yaitu:

(i) Memastikan pemenuhan HAM secara maksimal,

(ii) Melihat HAM semua orang dan memastikan terpenuhi dan terlindungi.

Tidak sekedar “berusaha memberikan pelayanan yang sebaik mungkin”. Hal-hal ini

diletakkan pada segmen ekonomi, social, budaya, politik, dan sebagainya.

14

Czerny, 1993.

Page 10: Paper ke-IX ETHICS AND HUMAN RIGHTS · Solusi dari postmodernisme adalah perlunya legitimasi kode etik yang multiply (bisa digunakan dalam beragam segmen), dengan cara menyusun dan

7

Piranti berikutnya sebagai pertimbangan praktik yang beretika, adalah pemahaman

tentang hak kolektif (hak yang menjadi milik bersama). Hal ini perlu ditekankan, karena

ranah praktik peksos tidak hanya individu dan keluarga --ini perspektif Barat. Pemahaman

tentang hak kolektif, juga mengharuskan pemenuhan dan perlindungan terhadap hak-hak

kolektif, melampaui hak-hak pribadi. Contoh: dalam perpektif kemiskinan, menolak

pembangunan ekonomi mungkin akan berimplikasi kepada individu. Isu ini bisa disasar

dengan pendekatan hak kolektif melalui:

(i) Level masyarakat/komunitas,

(ii) Pembuatan atau advokasi kebijakan,

(iii) Aksi politik,

(iv) Aksi social.

Orang-orang yang hanya mencukupkan diri pada ranah casework, saja, adalah terlalu

conservative dan tidak beretika. Jika hak kolektif kita perluas, maka peksos juga harus

masuk pada isu lingkungan. Inilah perbedaan bentuk perhatian peksos, bahkan ada

pandangan apabila peksos tidak masuk pada fokus ini, maka ia akan disebut berpraktik

secara tidak beretika.

Apa ukuran beretika dan tidak beretika? Perpektif HAM memiliki kerangka bagi peksos untuk

mendesain ulang moralitas, mengubah dari mainset konservatif-individualis, praktik selama

ini, dan berganti pada paradigm HAM. Hal ini setahap demi setahap memang harus dimulai,

apalagi ketika terjadi krisis Negara, globalisasi dan beragam masalah yang mengharuskan

peksos melihat isu global sebagai masalah manusia.

Implikasi dari hal ini adalah:

(i) Konstruksi beretika-tidak beretika, adalah dari fokus individual ke “melibatkan pihak lain”

dalam penanganan masalah, semisal berorientasi pada komunitas. Jadi yang terfikir

bukanlah “apa yang harus saya lakukan”, tapi “dengan siapa saya bisa bekerja sama”.

(ii) Fokus ranah praktik pasti bergerak dari ranah individual ke HAM. Konsentrasi pada

casework, direct-practice, therapy saja, tidak bisa mencapai tujuan praktik peksos, tapi

harus didasarkan pada HAM. Peksos harus punya link dengan community-work,

pengembangan kebijakan, aksi social, dan pendekatan makro lainnya.

***

Page 11: Paper ke-IX ETHICS AND HUMAN RIGHTS · Solusi dari postmodernisme adalah perlunya legitimasi kode etik yang multiply (bisa digunakan dalam beragam segmen), dengan cara menyusun dan

8

BAB III

PEMBAHASAN

ETIKA DAN HAM

Bagi manusia, ethics and human right (etika dan HAM) adalah dua sisi mata uang. Hal ini

karena, manusia harus beretika ketika bergaul dengan sesame, ketika ia harus memenuhi

kebutuhan hidupnya, dan mendapatkan hak asasinya sebagai manusia (HAM).

Etika adalah sekumpulan pranata perilaku yang menunjuk pada “baik-buruk”, “benar-salah”.

Etika lebih konkrit daripada Hak Asasi Manusia (HAM). HAM adalah gagasannya,

sedangkan etika adalah bagaimana cara memperoleh hak tersebut secara manusiawi, tidak

mengganggu kepentingan orang lain, dan sebagainya.

Pada pertemuan kedua Kuliah Value, Ethics, and Human Right in social work, kita sudah

membahas tentang apa itu nilai dan etika. Di sana dinukilkan penjelasan para ahli tentang

apa itu etika. Diantaranya, yang dinukil oleh Brenda L. DuBois, dalam bukunya: Social Work:

an Empowering Profession.

Apa Kata Mereka Tentang Etika?

Pada kelompok modernis, ada dua orang yang pertama berbicara tentang nilai dan etika

serta bagaimana mengimplementasikannya. Keduanya adalah John Stuart Mill dan Jeremy

Bentham. Etika, menurut keduanya, etika dibangun di atas landasan untuk “meraih

kebahagiaan”. (Bentham, 1789, JH. Mill 1848, dalam Adam Bernard15).

Menurut Adam Bernard, ada empat ranah nilai dan etika pekerjaan sosial16, yaitu:

Yang pertama adalah bidang abstrak, yaitu filsafat moral. Ia menjadi latar belakang

untuk memperdebatkan etika dalam pekerjaan sosial.

Yang ke dua adalah undang-undang. Ia menciptakan konteks untuk praktek peksos, dan

memberikan respon hukum untuk masalah peksos tertentu dan kasus.

Yang ke tiga adalah ideologi politik. Cara ini terbentuk pada model peksos, metode dan

praktik.

Yang ke empat adalah pekerjaan sosial sebagai profesi dan perjuangan untuk

memperoleh identitas profesional. Hal ini telah dilakukan oleh para pekerja sosial.

Reamer, dalam bukunya, Social Work Values and Ethics17, ketika menjelaskan sejarah

munculnya nilai-nilai dasar dalam pelayanan sosial, mengatakan bahwa etika menjadi

15

Adam Barnard (2008): The Value Base of Social Work and Social Care, Mc.Graw-Hill Companies, hal 9. 16

Idem, hal 6.

Page 12: Paper ke-IX ETHICS AND HUMAN RIGHTS · Solusi dari postmodernisme adalah perlunya legitimasi kode etik yang multiply (bisa digunakan dalam beragam segmen), dengan cara menyusun dan

9

pertimbangan apa yang harus dilakukan dalam “misi peduli dengan sesama”;

perkembangan nilai dan etika pekerjaan sosial mengalami empat tahap:

Periode moralitas,

Periode nilai;

Periode teori etika dan periode pengambilan keputusan, dan

Periode standar etika dan periode manajemen risiko.

Etika adalah menunjuk pada perilaku yang pantas-tidak pantas. Etika bisa juga didefinisikan

sebagai studi tentang benar-salah dan bagaimana seseorang mengambil keputusan dalam

situasi yang dihadapinya terkait mana yang benar dan mana yang salah tersebut.18

Diantaranya, Levy, yang mendefinisikan bahwa etika berkaitan dengan standar perilaku

yang menunjuk “benar-salah”, dan dalam etika profesi, maka etika adalah nilai dalam

tindakan nyata.19 Levy menyatakan dalam penjelasan lain, the application of values to

human relationships and transactions (pelaksanaan dari nilai sebagai akibat dari hubungan

dan transaksi antar sesama manusia).20

Perilaku yang etis, sebagaimana yang dijelaskan oleh DuBois, adalah perilaku yang

mengindahkan standar moral yang tinggi yang berlaku. Dalam ranah praktik profesi, maka

perilaku yang etis adalah jika praktik profesi mengindahkan standar praktik yang ditetapkan

oleh kode etik profesi.

Etika Profesi

Etika profesi adalah aturan yang membimbing pekerja sosial atau profesional lainnya dalam

pilihan yang mereka ambil dalam kapasitas profesionalnya.21

Berdasarkan hal ini, etika profesi adalah penting. Penting dalam menjadi arahan perilaku

sehingga aktivitas profesionalnya bisa sistematis, maksimal, dan akuntabel. Etika profesi,

bagaimanapun sempurnanya saat ini, tetaplah ia merupakan etika. Dan etika, sebagaimana

kita tahu adalah turunan dari nilai, yang pasti memiliki keterbatasan, baik ruang dan waktu.

Maka, perlu untuk terus dilakukan diskusi dan kajian untuk selalu selaras dengan waktu dan

kebutuhan terkini. Hal ini pasti karena bersinggungan dengan HAM.

17

Idem, hal 10. 18

Allan Edward Barsky (2010): Ethics and Value in Social Work, Oxford, hal 3. 19

Dubois, Social Work: an Empowering Profession. 20

Allan E. Barsky, hal 3. 21

Idem, hal 5.

Page 13: Paper ke-IX ETHICS AND HUMAN RIGHTS · Solusi dari postmodernisme adalah perlunya legitimasi kode etik yang multiply (bisa digunakan dalam beragam segmen), dengan cara menyusun dan

10

Apa itu HAM?

HAM adalah hak-hak yang melekat dan dimiliki manusia, siapapun, dan dimanapun tanpa

melihat perbedaan identitas sosialnya.

HAM sebagaimana kita pernah bahas, telah mengalami perkembangan. Perkembangan ini

sebagai efek dari perjuangan merebut kembali hakya yang tercabut akibat beragam “sikap

dunia” terhadap kalangan tertentu, baik yang tidak beruntung maupun termarjinalkan.

Perkembangan HAM dari generasi pertama, kedua ketiga, hingga postmodernisme,

menyiratkan bahwa hak asasi selalu meluas sejalan dengan perkembangan manusia, meski

inti dari HAM itu adalah keluhuran martabat manusia. Implementasi dari keluhuran martabat

manusia itulah core dari HAM.

Kaitannya dengan etika, kode etik profesi, dan perilaku yang etis, serta perilaku profesi yang

juga etis, maka HAM lebih luas daripada etika atau kode etik profesi. Ham adalah wacana

tentang keluhuran martabat manusia, sedangkan etika adalah perwujudan dari HAM dalam

bagaimana mengimlementasikannya agar harmonis dengan yang lain. Maka, etika pasti

memiliki keterbatasan ruang dan waktu.

Fokus pada etika profesi, yang diyakini sebagai piranti legal bagi profesi peksos untuk

berperilaku dalam melayani 3 segmen layanan: mikro, mezzo, dan makro, harus kuat

teryakini secara professional. Ini dengan tetap melakukan pencarian, diskusi, dan kajian

tentang kemungkinan pengembangan etika profesi ke dalam kajian yang lebih luas dan

menyempurna.

Kode etik profesi peksos yang dimiliki IPSPI hanya merupakan copy-paste dari NASW yang

jika ditilik secara zaman, maka itu sudah terlalu lama berlalu. Apalagi NASW sendiri pertama

kali membuat kode etik adalah pada tahun 1960, 5 tahun setelah dibentuk22. Dan beberapa

kali memperbaharui kode etiknya, terakhir sepanjang yang saya tahu adalah pada tahun

1996. Kedua, kita juga butuh kode-etik yang sangat Indonesia. Maka, re-aktualisasi kode-

etik peksos Indonesia adalah sangat perlu, mendesak dan darurat. Ketiga perkembangan

kemanusiaan di Indonesia juga menuntut re-aktualisasi kode-etik, ranah peran, dan metode-

teknik-pendekatan peksos.

Benar sekarang sudah ada UU tentang HAM, tetapi itu adalah ranah yang sangat umum.

Maka, berbagai lembaga terkait, semisal Kementerian Sosial sebenarnya sangat

berkepentingan dalam pemajuan peksos, dalam hal ini memformat kode etik profesi peksos

yang sangat Indonesia. Demikian juga berbagai lembaga NGO, IPSPI sendiri bahkan.

.***

22

Frederick G. Reamer (1998): The Evaluation of Social Work Ethics, Rhode Island College

Page 14: Paper ke-IX ETHICS AND HUMAN RIGHTS · Solusi dari postmodernisme adalah perlunya legitimasi kode etik yang multiply (bisa digunakan dalam beragam segmen), dengan cara menyusun dan

11

BAB IV

KESIMPULAN DAN SARAN

KESIMPULAN

Berdasarkan apa yang sudah kami kemukakan pada bab-bab terdahulu, dapat kami

simpulkan hal-hal sebagai berikut:

Etika adalah pranata perilaku, hasil dari bagaimana manusia berhubungan dengan sesama.

Dalam konteks profesi, etika profesi adalah pranata perilaku yang wajib digunakan profesi,

dalam hal ini peksos, untuk bekerja bersama klien. Klien dalam 3 segmen layanan, mikro,

mezzo, dan makro, termask kebijakan dan politik.

HAM adalah apa yang dipandang luhur oleh manusia sebagai penghargaan martabat

manusia yang juga luhur. HAM sangat fundamental bagi manusia, ranah penting yang “baru”

bagi pekerjaan social. Ia wujud perjuangan manusia meraih kembali hak-haknya.

Etika profesi peksos harus next to date, bisa menjawab masalah yang akan datang,

khususnya isu HAM. Meski penetapan kode etik profesi itu penting --alat ukur dan evaluasi

praktik layanan— tetapi tidak boleh eksklusif. Ia harus inklusif, bisa menerima kritik dan

saran, bisa dikembangkan sejalan dengan ruang dan waktu. Inilah perlunya kaji ulang dan

diskusi atas seluruh piranti peksos sebagai profesi.

Klien memiliki HAM sebagaimana manusia pada umumnya. HAM itu harus dihargai pertama

sekali oleh peksos sebelum ia membantunya. Diantara adalah dengan “tidak memaksakan”

etika profesi yang ternyata sudah tidak selaras dengan isu-isu HAM.

SARAN

1. Pekerja Sosial harus memahami etika, etika profesi, dan HAM beserta rinciannya pada

satu sisi dan kewajiban manusia pada sisi lainnya, sehingga bisa secara proper dalam

praktik.

2. Etika profesi sangat localized sedangkan HAM sangat universal, maka peksos

disarankan untuk bisa melakukan korelasi mutualistic antara etika profesi dan agenda

HAM yang menjadi hak klien dalam ranah mikro, mezzo, dan makro.

3. Para stakeholder, seperti Kementerian Sosial RI dan termasuk IPSPI, NGO-NGO, perlu

untuk secara regular duduk bersama, melakukan re-definisi, dan re-aktualisasi etika

profesi yang “meng-Indonesia” sehingga next to date terhadap permasalahan yang akan

datang, khususnya terkait isu-isu HAM.***

Page 15: Paper ke-IX ETHICS AND HUMAN RIGHTS · Solusi dari postmodernisme adalah perlunya legitimasi kode etik yang multiply (bisa digunakan dalam beragam segmen), dengan cara menyusun dan

12

DAFTAR PUSTAKA

Jim Ife, Human Right and Social Work: Toward Right-Based Practice”, Cambridge

Univercity Press, 2008;

_______, Human Right form Below, Cambridge University Press, UK, 2009

Brenda L. Dubois and Karla Krogsrud Miley, (1995): Social Work: an Empowering

Profession;

Lester Parrott, (2010): Value and Ethics in Social Work Practice, 2nd Ed. Learning Matters

Ltd.;

Adam Barnard (2008): The Value Base of Social Work and Social Care, Mc.Graw-Hill

Companies;

Allan Edward Barsky (2010): Ethics and Value in Social Work, Oxford;

Ben-Zion Cohen (1987): The Ethics of Social Work Supervision Revisited, NASW;

Frederick G. Reamer (1998): The Evaluation of Social Work Ethics, Rhode Island College;

Ian O’Connor, et.all (2006): Social Work and Social Care, Sage Publication

Kimberly Strom-Gottfried (2008): Comprehensive Handbook of Social Work and Social

Welfare: Values and Ethics for Professional Social Work Practice, Wiley and Sons. Inc.

***