panji kuncoro hadi, ahmad...
TRANSCRIPT
10
Internalisasi Nilai-nilai Sufistik pada Naskah Drama Sumur Tanpa Dasar
Karya Arifin C Noer
Panji Kuncoro Hadi, Ahmad Bahtiar
Universitas Sebelas Maret (UNS), UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
[email protected], [email protected]
Abstrak
Khasanah sastra Indonesia, periode klasik maupun modern, senantiasa
memunculkan karya sastra yang berkaitan dengan agama dan kepercayaan yang
bersifat spritual, mistik, dan atau pesan kerohanian dalam bentuknya yang
beragam. Karya-karya sastra tersebut dalam berbagai bentuk menampilkan
kecenderungan sufistik. Salah satu karya yang memuat nilai-nilai sufistik adalah
naskah drama Sumur Tanpa Dasar (1971) karya Arifin C. Noer. Selain mendapat
Naskah tersebut mendapat banyak apresiasi di masyarakat sehingga Naskah
drama yang juga berkecenderungan sufistik tampaknya belum mendapat
perhatian seperti halnya genre lainnya. Melihat hal tersebut, kajian naskah–naskah
drama tersebut menjadi menarik dan penting. Sumur Tanpa Dasar (1971) karya
Arifin C. Noer dipilih termasuk drama yang banyak mendapatkan apresiasi.
Tulisan ini mencoba mengetahui internalisasi ajaran-ajaran sufistik yang terdapat
pada drama tersebut. Berdasarkan analisis teks, disimpulkanan drama Sumur
Tanpa Dasar menampilkan unsur intrinsik yang sangat baik. Drama ini juga
menghadirkan banyak simbol yang menggambarkan pergulatan para tokohnya
dengan Tuhan dan eksistensi dirinya. Konflik-konflik yang ditampilkan penuh
dengan suasana kontemplatif tokoh-tokohnya. Suasana kontemplatif tersebut
menyajikan sisi-sisi sufistik. Unsur sufistik tersebut diantaranya kisah para nabi
atau rasul serta sufi yang jadi teladan seperti tokoh sufi Abu Nawas dan Nabi
Nuh, Ibrahim, dan Ismail. Unsur sufistik lainnya ialah munculnya sifat-sifat
Tuhan dan sifat-sifat dasar manusia yang terdapat pada tokohnya. Tokoh utama,
dihinggapi perasaan takut sehingga senantiasa curiga terhadap semua orang
sehingga. Dengan bimbingan penasihat spritualnya, ia mencoba mencari Tuhan.
Proses pencarian Tuhan tersebut merupakan ciri karya sastra sufistik selain
kesatuan dengan Tuhan.
Kata Kunci : sufistik, drama Malam Jahanam, Arifin C. Noer
A. Pendahuluan
Sastra dan religi memiliki hubungan yang erat dan tidak terpisahkan.
Atmosuwito menyimpulkan bahwa kitab suci al Quran selain berisi tulisan-
tulisan suci (sacred writing) agama Islam, juga mengandung tulisan sastra.
Demikian juga dengan kitab suci lainnya seperti Bible, Bhagawad Gita juga
dikatakan sebagai buku-buku puisi dan kitab Amsal dikatakan sebagai kitab sastra
11
bijak (wisdom literature). Ia mengungkapkan bahwa buku agama adalah sastra.
Dan sastra adalah bagian dari agama.1
Dalam khasanah sastra Indonesia, baik dalam periode klasik maupun
maupun yang modern, karya sastra yang berkaitan dengan agama dan
kepercayaan yang bersifat spritual, mistik, dan atau pesan kerohanian dan
religiositas serta berbagai hal yang menjadi soal utama keagamaan, selalu muncul
dalam bentuknya yang beragam.2 Karya sastra tersebut dapat suluk, babat, serat
dan sebagainya yang berasal dari Sastra Jawa maupun hikayat, pantun, gurindam
atau syair yang berasal dari dari Sastra Melayu.
Dalam sejarah sastra Indonesia, sejumlah pujangga besar menyampaikan
pesan agama tanpa harus meninggalkan estetika sastra, dapatlah disebutkan
beberapa di antaranya, Hamzah Fansuri, Raja Ali Haji, Syamsudin As-Samatrani,
Yasadipura I, Yasadipura II, Nurrudin Ar-Raniri, Abdul Rauf As-Singkeli, Abdus
Samad Al Jawi Al Palembangi, dan Syeh Yusuf dari Makasar.
Dalam deretan sastrawan modern, Amir Hamzah termasuk salah satunya.
Sajak-sajaknya mengandung kesadaran manusia tentang keberadaan dirinya dan
Tuhan, keinginan untuk menemukan hakikat mutlak, kerinduan untuk berjumpa
dengan-Nya, dan peringatan untuk menjalankan syariat. Amir Hamzah tenggelam
dalam kegelisahan manusia akan hakikat Tuhan dan hubungan vertikal antara
manusia dan Tuhan. Semua karangan tersebut yang dikumpulkan dalam Buah
Rindu (1941), Nyanyi Sunyi (1937), dan Setanggi Timur (1939) digambarkan
secara romantis dengan penggunaan simbol-simbol dan metafor yang segar.
Belakangan, terutama selepas memasuki dasawarsa tahun 1970-an, para
pengarang yang dikenal angkatan 70-an kecenderungan mengangkat sastra yang
bernafaskan agama, tampak makin semarak. Maka tidak heran jika kemudian
muncul usaha-usaha untuk merumuskan karya mereka sebagai sastra religius,
sufisme, atau sastra yang berdimensi transendental.3 Mereka bukan saja
menampakkan kecenderungan sufistik, namun beberapa tokoh utamanya
mempelajari dengan serius tasawuf dan kesusastraannya, malahan
menerjemahkan karya-karya para penyair sufi. Selain itu mereka tampil dalam
acara pembacaan sajak-sajak penyair sufi yang diselenggarakan dalam acara
pembacaan khusus sajak-sajak penyair sufi yang diselenggarakan oleh Dewan
Kesenian Jakarta (DKJ) di Taman Ismail Marzuki pada tahun 1982, 1983, 1984,
seperti Malam Rumi, Malam Hamzah Fansuri, dan Peringatan Iqbal.
Karena itu dalam Kesusastraan Indonesia Modern terutama yang lahir pada
periode tersebut banyak kita temukan karya-karya yang menampakkan ajaran
tasawuf. Dalam bidang puisi kita dapat melihat kecenderungan tersebut pada
sajak-sajak karya Abdul Hadi, D. Zamawi Imron, Taufiq Ismail, Abrar Yusa,
Afrizal Malna, Emha Ainun Nadjib, Heru Emka, W.S. Rendra dan sebagainya.
1 Subijantoro Atmosuwito. Perihal Sastra dan Religiusitas dalam Sastra, (Bandung :
Sinar Baru, 1989) hlm. 126 2 Suminto Sayuti. “Citra Estetik Islam dalam sajak-sajak Indonesia Mutakhir : Beberapa
Catatan Awal” Adakah Bangsa dalam Sastra? (Jakarta : Pusat Bahasa, 2003) hlm. 177 3 Maman Mahayana. 9 Jawaban Sastra Indonesia, (Jakarta : Bening, 2005) hlm. 71
12
Di bidang prosa, kita dapat menemukan karya yang menampak
kecenderungan sufistik pada karya Kuntowijoyo (Khotbah di Atas Bukit, 1976),
Mohamad Diponegoro (Siklus, 1975), dan Motingo Busye (Sanu, Infinita
Kembar) dan beberapa cerpen Danarto yang dimuat dalam Godlob (1975), dan
Adam Ma’rifat (1982)
Di bidang drama dapat kita temukan pada karya-karya Arifin C. Noer
seperti Kapai-kapai (1970), Sumur Tanpa Dasar (1971), Mega-mega, Tengul
(1973), dan Umang-umang (1976) serta karya Motinggo Busye dengan naskahnya
Malam Jahanam (1958). Drama-dramanya tersebut banyak dipengaruhi tradisi
kaum sufi.
Banyaknya karya sastra tersebut menarik dikaji untuk melihat
kecenderungan sufistik pada karya sastra Indonesia modern yang memperkaya
khasanah sastra Indonesia khususnya dan budaya Indonesia pada umumnya.
Sehubungan tersebut banyak dikumpulkan dan diulas beberapa karya yang
menampilkan kecederungan sufistik tersebut. Abdul Hadi menulis sebuah
Antologi Sastra Sufi (1996) yang mengumpulkan berbagai karya sufi termasuk
karya pengarang Indonesia seperti Hamzah Fansuri, Yasadipura I, Yasadipura II,
Raja Ali Haji, Bukhari Al Jauhi dan Amir Hamzah. Selain itu ia pun mengulas
beberapa karya sufi dalam Kembali Ke Akar Kembali Ke Sumber (1999) serta
menerjemahkan karya-karya Rumi dan Iqbal.
Tulisan lain yang mengulas sastra sufi adalah Sastra Sufistik : Internalisasi
Ajaran-ajaran Sufi dalam Sastra Indonesia (2003) oleh Bani Sudardi. Buku
tersebut melihat internalisasi ajaran sufi beberapa penyair Indonesia sejak zaman
Balai Pustaka sampai sekarang.
Sedangkan beberapa ulasan prosa yang bersifat sufistik dapat dilihat pada
Fantasi dalam Kedua Kumpulan Cerpen Danarto : Dialog antara Dunia Nyata
dan Tidak Nyata yang berasal tesis Th. Sri Rahayu Prihatmi di Flinder University
of South Australia. Sedangkan novel sufistik seperti Khotbah di Atas Bukit
(1976) diulas Moh. Wan Anwar dalam Kuntowijoyo : Karya dan Dunianya
(2007).
Sedangkan naskah drama yang juga berkecenderungan sufistik tampaknya
belum mendapat perhatian seperti halnya genre lainnya. Padahal karya-karya itu
mendapat apresiasi dengan banyaknya pentas drama yang mengambil naskah-
naskah tersebut. Melihat hal tersebut, penelitian terhadap naskah–naskah drama
yang berkecenderungan sufistik menjadi menarik dan penting. Mengingat banyak
keterbatasan Sumur Tanpa Dasar (1971) karya Arifin C. Noer.
Sedangkan drama Sumur Tanpa Dasar menarik dikaji karena menampilkan
banyak simbol yang menggambarkan pergulatan para tokohnya dalam pergulatan
dengan Tuhan dan eksistensi dirinya. Konflik-konflik yang ditampilkan penuh
dengan suasana kontemplatif tokoh-tokohnya.
Drama karya Arifin C. Noer tersebut memperlihatkan upaya persenyawaan
kreatif antara tradisi teater modern Barat pascarealisme dengan teater tradisional
kita seperti Lenong Betawi.
Tulisan ini menjelaskan internalisasi Menjelaskan internalisasi sufistik
pada naskah drama Sumur Tanpa Dasar karya Arifin C. Noer dan Malam
Jahanam karya Motinggo Busy dae.Menjelaskan aspek-aspek sufistik dihadirkan
13
pada drama Sumur Tanpa Dasar karya Arifin C. Noer dan Malam Jahanam karya
Motinggo Busye
diharapkan dapat memperkaya pembicaraan mengenai karya sastra
Indonesia modern khususnya karya sastra yang bergenre drama yang
menampakkan kecenderungan sufistik. Selain itu untuk memberikan bimbingan
kepada pembaca bagaimana memahami karya-karya tersebut sehingga penelitian
ini menjadi sebuah “pertemuan” antara pengarang dan pembaca.
B. Pembahasan
Dalam mengkaji aspek-aspek sufistik yang terkandung dalam naskah drama
yang menjadi objek penelitian ini, yaitu Sumur Tanpa Dasar karya Arifin C. Noer
dan Malam Jahanam karya Motinggo Buse penulis mengacu pada pendapat
Sudardi yang menjelaskan empat aspek sufistik dalam sastra. Pada bagian ini
akan diuraikan asfek Sufistik pada drama Sumur Tanpa Dasar karya Arifin C.
Noer. Adapun penjabarannya sebagai berikut.
Aspek pertama yang muncul dalam sastra yang mengandung nilai-nilai
sufistik menurut Subardi adalah kisah para nabi dan sufi yang yang menjadi
teladan bagi para sufi lainnya.4 Hal ini terdapat dalam kutipan dialog berikut:
JUKI
“Hamba ingin menang sebagai pemuja nomor wahid paduka”
Kata Abu Nawas “Saksikanlah kini, tuanku raja, sekarang
terbuktilah bahwa Abunawas si warga Baghdad yang paling
takjim hormatnya. Tidak saja orangnya suka mengiring ke
mana baginda pergi, bahkan najisnya pun mengiring najis
rajanya”
Dialog tersebut disampaikan tokoh Juki, dari kalimat ini berisi tentang
bagaimana kecerdikan Abu Nawas. Di negerinya ada seorang raja yang sangat
ingin dihormati rakyatnya. Kutipan dialog sebelumnya mengisahkan betapa marah
rajanya karena di tempat ia untuk buang hajat ternyata lewat kotoran Abu Nawas.
Namun untuk melawan rajanya, ia tidak melawannya dengan kekerasan. Ia
melawan dengan kecerdikan dan kata-katanya dengan mengatakan “Saksikanlah
kini, tuanku raja, sekarang terbuktilah bahwa Abunawas si warga Baghdad yang
paling takjim hormatnya. Tidak saja orangnya suka mengiring ke mana baginda
pergi, bahkan najisnya pun mengiring najis rajanya”.
Dari kisah ini dapat diambil pelajaran yang telah dicontohkan nabi dan para
sufi sebelumnya. Seorang yang saleh haruslah bersabar, tidak melawan kekerasan
4 Bani Sudardi, Sastra Sufistik : Internalisasi Ajaran-ajaran Sufi dalam Sastra Indonesia,
(Solo : Tiga Serangkai, 1989) hlm. 11 - 12
14
dengan kekerasan lagi karena tidak akan mendapatkan hasil yang baik. Kisah ini
mengajarkan kekerasan atau kejahatan hendaklah dibalas dengan kebaikan dan
kecerdasan. Hal ini sudah dicontohkan saat para nabi, rasul, dan sufi dalam
menyebarkan agama Islam. Mereka menyebarkan kebaikan dengan penuh
kesabaran, tidak membalas kekerasan yang mereka terima dengan kekerasan lagi,
melainkan dengan kesabaran dan kecerdasan mereka. Teladan yang dapat diambil
adalah mengajarkan agar dalam menghadapi sesuatu hendaknya jangan pernah
membalas kekerasan atau kejahatan dengan hal yang sama, tetapi balaslah dengan
kebaikan dan kecerdasan.
Dialog selanjutnya yang menggambarkan kisah nabi dan sufi digambarkan
dari dialog berikut:
SABARUDDIN
Tapi tak ada salahnya kau mendengarkan nasihat saya.
Sebelumnya saya perlu katakan bahwa apa yang saya ingin
lakukan untuk kau tak lebih hanya atas nama persahabatan.
Saya tetap sebagai sahabat dan bukan sebagai seseorang yang
ingin mengislamkan kau. Saya berbicara di sini karena saya
selalu merasa berteman. Jum, percayalah saya. Kau perlu
istirahat.
Dialog yang disampaikan Sabarudin ini juga secara tak langsung
menggabarkan bagaimana teladan para nabi, rasul, dan para sufi dalam
menyebarkan agama Islam. Hal ini terdapat pada kalimat “Saya tetap sebagai
sahabat dan bukan sebagai seseorang yang ingin mengislamkan Kau.” Dalam
penyebaran agama Islam mereka menggunakan jalan persahabatan. Mereka tidak
memaksa kaum untuk memeluk Islam tetapi dengan jalan persahabatan.
Dialog selanjutnya yang sangat jelas berisi kisah nabi dan sufi adalah pada
dialog berikut:
KAMIL
Tolong menolong itu sifat Nabi Nuh!
Pada dialog tersebut sangat jelas digambarkan bagaimana teladan yang
diberikan Nabi Nuh kepada kaumnya agar mereka tolong-menolong dan suka
membantu. Dialog selanjutnya, yaitu pada dialog berikut ini:
EUIS
Tapi saya sekarang sedang mengandung, dan saya yakin….
JUKI
Betul, Euis? Kalau begitu selesailah masalahnya. Percayalah,
semua akan selesai dengan sendirinya hanya karena anak
15
dalam kandunganmu itu. Syukurlah Euis saya harap kau lebih
hati-hati
EUIS
Tapi dia tetap tidak mau percaya
JUKI
Kau harus sabar. Tunggu sampai dia sendiri melihat
bagaimana anak dalam kandungan itu semakin membesar dan
membesar. Dan kalau dia tetap tidak percaya kau sedang
mengandung, pandangan matanya yang salah atau dia
memang tidak pernah percaya pada matanya sendiri.
Syukurlah Euis. Ah, sebentar nanti saya kira saya pun mulai
membicarakan hal itu dengan dia.
Seperti dongeng saja. Justru setelah hampir seluruh
rambutnya putih tiba-tiba akang Jumena akan punya
(Tertawa) akang akan punya anak. Jangan lupa Euis kau
harus, harus… lebih baik kau tanyakan kepada Nyai.
Dialog tersebut berlangsung antara Juki dan Euis yang membahas tentang
kehamilan Euis. Euis adalah istri Jumena, tokoh sentral drama ini, seorang lelaki
sepuh yang rambutnya sudah dipenuhi uban, “Justru setelah hampir seluruh
rambutnya putih tiba-tiba akang Jumena akan punya (tertawa) akang akan punya
anak”. Setelah empat kali Jumena menikah, akhirnya ia dikarunia Tuhan untuk
memiliki anak dari istrinya, Euis. Hal ini seperti kisah Nabi Ibrahim yang
dikisahkan sebagai pria tua yang sangat merindukan kehadiran seorang anak.
Hingga saat beliau sangat tua Allah Swt. mengaruniainya seorang anak, Nabi
Ismail. Teladan yang dapat diambil dari cerita tersebut adalah agar manusia untuk
bersabar dan jangan berhenti berdoa, karena Allah Swt. selalu mempunyai
rencana yang terbaik untuk hamba-Nya.
Aspek kedua dalam sastra sufistik yaitu ajaran atau konsep sufistik, artinya
karya tersebut membahas tentang sifat-sifat Tuhan dan asal-usul manusia5. Sifat-
sifat Tuhan dapat dilihat dari 99 nama baiknya atau asmaul husna, dan sifat-sifat
lain juga dapat dilihat dari kitab suci al-Quran. Kutipan dialog yang terdapat sifat
Tuhan tergambar dari kutipan dialog berikut:
JUMENA
Di bawah enam tahun, ya. Selebihnya adalah kemalasan. Dan
kemalasan adalah kesalahan mereka sendiri. Kenapa mereka
5 Ibid
16
malas? Guratlah tangan saya dan tangan mereka, niscaya kau
akan melihat darah yang warnanya sama; merah!
Kutipan berikut menggambarkan bahwa keberhasilan seseorang bisa mereka
raih dari hasil kerja keras mereka sendiri untuk memperbaiki kehidupan mereka.
Hal ini senada dengan firman Allah Swt. dalam al-Quran:
“Sesungguhnya, Allah tidak akan mengubah nasib suatu kaum,
hingga mereka mengubahnya sendiri.”6
Kutipan dialog dan isi ayat al-Quran tersebut sungguh sangat terkait, jadi di
sini digambarkan bahwa sifat Allah sangatlah pemurah karena Dia adalah Maha
Pengasih dan Penyayang, tetapi Dia ingin agar hamba-Nya mau berusaha untuk
meraih kesuksesan tersebut. Sifat Allah Swt. yang selanjutnya terdapat pada
kutipan dialog adalah sifat Allah yang tidak mementingkan sifat manusia yang
mementingkan kemewahan (duniawi), tetapi melupakan kemurnian hatinya. Hal
ini terdapat pada kutipan dialog berikut:
JUMENA
Allah tidak mengharapkan pintu-pintu dan jendela-jendela
yang bercat meriah; Allah tidak mengharap lantai dari ubin;
Allah tidak mengharap permadani dari Turki; Allah tidak
mengharap lampu neon yang berbatang-batang. Tidak! Allah
tidak menghendaki semua itu. Allah terutama menghendaki
hati dan pikiran manusia yang jernih bersemangat lagu kerja.
Ya Allah, ampunilah hamba.
Kutipan dialog tersebut disampaikan oleh Jumena ketika sedang berdialog
dengan Sabarrudin yang memiliki niatan untuk memperbaiki masjid di kampung
mereka. Dialog tersebut secara tidak langsung menggambarkan bahwa semua
yang manusia yang ada di dunia ini sama, kecuali amal salehnya.
Secantik atau setampan apa pun manusia tersebut, tetapi yang paling
penting adalah hati dan pikiran dari manusia seperti sikap dan perbuatannya.
Asal-usul manusia dapat diartikan sebagai sifat dasar manusia atau sifat
yang melekat pada manusia. Pada aspek kedua ini, dapat dilihat dari kutipan
dialog sebagai berikut:
JUMENA
Euis, musuh kita selama ini adalah perasaan. Kita harus
memusnahkannya. Membunuhnya sama sekali. Kedua orang
tua saya mati karena perasaan mereka sendiri. Mereka
bangkrut karena mereka terlalu mencintai paman saya. Dan
akhirnya mereka mati sebelum mati. karena saya tahu betul
kejadian itu, tentu saja saya tidak mau bernasib sama seperti
6 (QS. Ar-Ra’du [13]:11)
17
mereka. Saya harus menang terhadap perasaan saya dan kau
pun harus menang terhadap perasaanmu.
Kutipan dialog tersebut menggambarkan bagaimana sifat dasar seorang
manusia. Manusia sebagai tempatnya berbuat salah dan dosa adalah kaum yang
memiliki musuh terbesar dalam hidupnya, yaitu perasaannya. Seorang yang
dipenuhi oleh perasaan dengki dan iri tentu dia akan terus dikuasai oleh perasaan
seperti itu dan akan hancur oleh perasaan itu.
Namun, sebaliknya orang yang dipenuhi dengan perasaan ikhlas dan
gembira tentu hidupnya akan gembira dan penuh kebahagiaan. Hal ini
menggambarkan bahwa perasaan adalah hal yang sangat besar dalam diri
manusia. Sifat dasar manusia juga digambarkan pada kutipan dialog berikut:
EUIS
Dia perakus. Mata duitan
(Jumena mengambil sesuatu dan melemparkannya ke pintu)
Pagi-pagi ia sudah pergi mengurus dagangannya, mengurusio
pabrik-pabriknya. Pulang-pulang jam dua, jam tiga, lalu
selama beberapa jam menghitung-hitung hartanya dan
memandangi lemari hitamnya. Setelah maghrib ia menulis
atau membaca, lalu pergi. Pulang-pulang jam sembilan,
sebentar duduk-duduk minum teh atau kopi lalu akhirnya
kembali menghitung-hitung harta dan memandangi lemari
hitamnya. Itulah semuanya yang dikerjakannya secara rutin
seperti mesin, selama hampir lima tahun saya jadi istrinya.
Dialog tersebut terjalin karena adanya perdebatan antara Euis dan Juki (hal
ini berada dalam pikiran atau imajinasi Jumena). Kutipan dialog tersebut berisi
ungkapan hati Euis yang menjelaskan betapa rakus dan mata duitan yang
menguasai suaminya telah menyiksa dirinya dan menyiksa diri suaminya sendiri.
Dari kutipan ini digambarkan sifat manusia yang rakus dan mata duitan dan hal
itu akan merugikan dirinya dan orang lain di sekitarnya.
Kutipan dialog berikutnya yang menggambarkan sifat dasar manusia
sebagai kaum yang lemah dan mati pasti akan menghampirinya, yaitu pada
kutipan dialog berikut:
JUMENA
Datang juga kau
PEMBURU
18
Kapan pun datang juga
Dialog tersebut terjalin antara Jumena dan Pemburu, pemburu dalam drama
ini adalah simbol dari malaikat maut. Pemburu berkata bahwa ia kapan pun
datang juga, hal itu secara tidak langsung memberitahukan bahwa maut bisa
kapan saja datang untuk mencabut nyawa seorang manusia. Seperti yang
dijelaskan di dalam al-Quran:
“Tiap-tiap umat mempunyai batas waktu; maka apabila telah
datang waktunya mereka tidak dapat mengundurkannya
barang sesaat pun dan tidak dapat (pula) memajukannya.”7
Dialog selanjutnya digambarkan dari dialog tokoh Jumena yang
memunculkan sifat manusiawinya, yaitu ketika ia takut akan datangnya kematian.
Hal ini terdapat pada kutipan dialog berikut:
JUMENA
Kau tidak tahu! Terus terang saya takut mati
Tokoh Juki turut serta menggambarkan sifat manusiawinya, hal ini
terdapat pada kutipan dialog berikut:
JUMENA
Kenapa tiba-tiba kau ingin kawin?
JUKI
Mulai capek badan saya. Saya ingin melihat ranjang saya
penuh bertumpuk pakaian perempuan
Kutipan dialog itu terjalin antara Jumena dan Juki, ketika Jumena
menanyakan soal pernikahan kepada Juki. Mengapa Juki yang sudah berusia
hampir lima puluh tahun tidak juga berumah tangga, tetapi tiba-tiba Juki ingin
berumah tangga. Pada kutipan dialog tersebut Juki memberikan alasannya
mengapa ingin segera menikah, karena ia ingin melihat ranjangnya penuh dengan
pakaian perempuan.
Kutipan dialog tersebut dapat dilihat dari makna yang lebih dalam, kata
“pakaian perempuan” adalah berupa metafor yang mengarah pada kasih sayang
dan kelemahlembutan yang identik dengan seorang perempuan. Hal ini
menggambarkan sifat manusiawi seseorang, meskipun dia sekuat apa pun tetapi
tetaplah manusia yang membutuhkan kasih sayang.
7(QS. Al A’raf: [7]: 34)
19
Aspek selanjutnya yaitu ungkapan yang berisi pengalaman manusia dalam
pencarian Tuhan.8 Proses pencarian Tuhan dapat juga berupa keragu-raguan
dalam hidupnya. Hal ini dapat dilihat dari kutipan berikut:
JUMENA
Siapa bilang aneh? Semua ini mungkin saja terjadi. Tuhan,
kenapa justru saya merasakan sesuatu semacam kenikmatan
dengan segala pikiran-pikiran ini? Kau jebak saya, Tuhan.
Kau jebak saya. Tega. Kau! (lalu mulai dengan pikirannya)
saya kira mula-mula istri saya…. (Agak lama) Ya, mula-mula
istri saya akan berlaku seperti bidadari.
Kutipan dialog tersebut disampaikan oleh Jumena, ketika ia terus saja penuh
rasa ragu pada siapa pun. Bahkan kepada istri yang mencintainya, dia tetap penuh
keraguan dan kecurigaan. Sehingga dalam keraguan dan kecurigaan itu terselip
rasa kecewa dan timbul pertanyaan kepada Tuhan. Hal itu secara tidak langsung
menggambarkan bahwa Jumena adalah tokoh yang mencari Tuhan untuk
mendapat ketenangan dalam dirinya. Keadaan tersebut juga terdapat pada kutipan
dialog Jumena berikut:
JUMENA
Kalau saya bisa percaya, saya tenang. Kalau saya bisa tidak
percaya, saya tenang. Kalau saya percaya dan bisa tidak
percaya, saya tenang. Tapi saya tidak percaya dan tidak bisa
tidak percaya, jadi saya tidak tenang. Tapi juga kalau saya
tenang, tak akan pernah ada sandiwara ini.
Tokoh Jumena digambarkan sebagai tokoh yang tidak pernah tenang, penuh
kecurigaan, dan keragu-raguan dalam hidupnya. Pengalaman pencarian Tuhan
juga digambarkan pada kutipan dialog berikut:
JUMENA
Perempuan tua itu bukan ibu saya. Tapi dia memelihara saya.
Setiap kali ia menidurkan saya, perempuan tua itu selalu
bersenandung. Kemudian saya tahu apa yang
disenandungkan, persis seperti lagu-lagu pujian yang bisaa
dinyanyikan anak-anak di mesjid.
8 Sudardi, Op. Cit.
20
Saya kira inilah satu-satunya kenangan masa kanak-kanak
saya.
Dialog tersebut disampaikan Jumena pada Sabarrudin guru agamanyanya.
Pada ini digambarkan tokoh Jumena adalah anak yang tidak tahu apa-apa. Ia
hanyalah anak kecil yang sering mendengarkan senandung yang sering
dinyanyikan perempuan tua yang merawatnya. Ia mengetahui bahwa senandung
itu adalah senandung yang orang Islam nyanyikan karena sering terdengar
berkumandang di masjid-masjid.
Dari senandung itulah akhirnya ia mengetahui Islam, jadi secara tidak
langsung proses ia mendengarkan senandung tersebut merupakan proses Jumena
untuk mencari Tuhan.
JUMENA
Menyesal sekali. Jum, bangunlah pagi-pagi dan amati secara
teliti betapa indahnya kehidupan yang berlangsung di
pekarangan rumah kau. Ada baiknya juga kau memelihara
ikan hias. Sekedar hanya sebagai hiburan saja. Saya kira di
sana kau dapat juga merasa ikut bahagia bersama-sama bunga
dan ikan-ikan dalam akuarium.
Kutipan dialog berikutnya adalah yang disampaikan oleh Sabaruddin saat
berbicara dengan Jumena. Sabaruddin menjelaskan tentang anugerah Tuhan yang
telah memberikan banyak keindahan dalam kehidupan manusia. Hal ini
disimbolkan oleh bunga dan ikan-ikan oleh Sabarrudin. Bunga dan ikan adalah
lambang keindahan dan ketenangan. Sehingga saat seseorang dapat menikmatinya
semua itu, maka seorang dapat merasakan ketenangan dan keindahan yang telah
Allah ciptakan.
Pencarian Tuhan juga dilakukan oleh tokoh Kamil. Hal ini terdapat pada
kutipan dialog berikut:
KAMIL
Kenapa saya suka meramal? Sebab saya suka ilmu kebatinan,
alias mistik dan ilmu kejiwaan? Sebab dunia sekarang sudah
berat sebelah
Nah, sekarang inilah peradaban sekarang, kepala terus diisi
sementara dada dibiarkan masuk angina, maka kepala
terlampau berat tak dapat lagi ditopang oleh dada. Seperti
ondel-ondel terkena angina puyuh. Maka terhuyung-
huyunglah manusia zaman sekarang seperti pemabuk!
Padahal sumber kekuatan hidup sebenarnya ada di sini. Nih
(Menunjuk ulu hati) bukan di kepala seperti kata Jumena.
Karena dia sinting!
21
Kamil digambarkan sebagai orang yang suka akan ilmu kebatinan, karena
ia merasa dunia sudah berat sebelah. Berat sebelah di sini maksudnya adalah tidak
seimbangnya urusan dunia dan akhirat. Manusia sekarang lebih mementingkan
urusan dunianya daripada akhiratnya.
Kalimat selanjutnya disebutkan “kepala terus diisi sementara dada
dibiarkan masuk angin, maka kepala terlampau berat tak dapat lagi ditopang oleh
dada.” Kepala di sini dimaksudkan untuk pikiran manusia dan dada adalah hati
manusia. Pikiran yang sudah tidak mau mendengarkan hati nuraninya itu
diibaratkan sebagai pemabuk, orang yang sudah tidak mampu mengendalikan
dirinya sendiri. Dialog tokoh selanjutnya juga menggambarkan proses pencarian
Tuhan, hal ini terdapat pada kutipan dialog berikut:
JUMENA
Sekarang umur saya sudah lewat jauh setengah abad,
sementara tubuh saya merasa belum dilahirkan. Saya
sungguh tidak tahu bagaimana seharusnya saya hidup. Saya
tidak pernah merasa bahagia. Tapi kalau memang
kebahagiaan hanya suatu keadaan senang yang sesaat mampir
dalam hidup, terus terang saya pernah merasakannya.
Adakalanya saya senang setiap kali melihat tumpukan uang
saya, terutama belakangan ini. Seolah-olah saya menyaksikan
harga saya dalam tumpukan uang itu. Tapi bagaimanapun
saya tidak bisa menghindari bahwa saya akan mati juga.
Kalau begitu rasanya segala apa yang telah saya kerjakan
selama ini tidak lebih hanya mengisi kekosongan lain. Kau
mengerti sekarang, kenapa tadi saya katakan bahwa
sebenarnya bisa saja saya luluskan permintaan pekerja-
pekerja itu, toh sama saja bagi saya.
Dialog tersebut adalah ungkapan hati Jumena, dalam mencari ketentraman
yang tidak pernah ia bisa dapatkan dari harta yang sudah susah payah
dikumpulkannya. Harta berlimpah ternyata tidak bisa menjamin kebahagian dari
seseorang, ketentraman, dan kebahagian bisa didapatkan dari keteguhan dan
keimanan pada Tuhan. Sehingga dialog tersebut secara tidak langsung
menggambarkan bagaimana pencarian Jumena dalam mencari Tuhannya yang
dapat memberikan ketenangan untuk dirinya.
Aspek sastra sufistik yang terakhir adalah yang terkait dengan ungkapan si
tokoh yang seperti menimbulkan kesatuannya dengan Tuhan9. Ungkapan kesatuan
dengan Tuhan dapat diartikan bahwa perkataan atau dialog tokoh menggambarkan
dirinya seperti perwakilan Tuhan. Perwakilan Tuhan di sini dapat dimaknai bahwa
dirinya adalah orang yang sangat mengetahui segala hal, dapat melakukan hal-hal
yang tidakdapat dilakukan manusia biasa dan ia tidak pernah salah akan
9 Ibid.
22
pemikiran dan keputusannya. Hal tersebut dapat dilihat dari kutipan dialog
berikut:
JUMENA
Mau diapakan lagi? Saya tidak akan merobah keputusan saya.
Saya tidak mau. Saya tetap tidak akan memberikan biar
segopeng pun. Berapa kali sudah saya bilang sejak kalian jadi
pengawas kedua bahwa standar gaji yang ada sekarang cukup
baik, adil untuk semua pihak. Prinsip saya cukup realistis
karena berdasarkan kebutuhan riil tiap-tiap keluarga.
Lagipula saya sudah menghitung dengan cermat berapa setiap
keluarga menghabiskan biaya setiap bulan dan berapa sisa
yang bisa ditabung.
Dialog tersebut disampaikan oleh Jumena ketika sedang menerima Emod,
pekerjanya. Saat itu Emod sedang menyampaikan keluh kesah para pekerja lain
untuk menaikan upah mereka. Namun, saat meminta kebijaksanaan Jumena
sebagai pemilik pabrik, Jumena menjawab seakan-akan mengetahui semua seluk-
beluk kebutuhan para pekerjanya. Ia pun tidak mau mengalah dan merasa sangat
benar akan keputusannya. Bahkan ia menantang para pekerjanya : bertahan
dengan gaji yang ada atau diturunkan. Hal ini diperkuat lagi oleh kutipan dialog
dari Jumena, sebagai berikut:
JUMENA
Dengarkan. Kalau orang mau hemat dan rajin menabung,
niscaya tidak akan mengalami kekurangan biar segobang
pun. Bisa kalian buktikan bahwa standard an peraturan-
peraturan yang saya buat merugikan? Kamu lupa gaji rata-
rata di sini setengah kali lebih besar dibanding tempat-
tempat lain? Coba kalian mampir ke pabrik tenun Mustopa
atau pabrik minyak kacang Haji Bakri dan Tanya berapa
orang-orang di sana terima gaji? Sekali lagi War, Mod.
Kalau orang mau hemat, insaAllah tidak akan menemui
kesulitan apa-apa. Dengan gaji yang mereka terima, mereka
akan dapat membiayai ongkos pengobatan dan apa saja.
Dan lagi, tidak masuk akal kalau saya pun harus
menanggung biaya pemborosan kalian. Coba saja, kalian
boros dan saya harus menanggung keborosan kalian, sinting
namanya. Apalagi untuk pesta kawin, lebih sinting lagi.
23
Kutipan dialog selanjutnya yang mencirikan aspek ungkapan kesatuan
dengan Tuhan adalah dialog yang disampaikan tokoh Kamil, sebagai berikut:
KAMIL
Kaki itu sebenarnya tidak perlu lagi kalau orang sudah
tinggi ilmunya. Kau percaya bahwa saya setiap malam pergi
ke Mekah? Sukar saya jelaskan. Kau masih kotor. Ini ilmu-
ilmu zaman dulu. Mau bukti? Saya bisa membelah meja ini!
(Siap dengan pukulan karate)
Tokoh Kamil pada kutipan dialog tersebut menceritakan kemampuan
dirinya setiap malam pergi ke Mekah. Hal ini merupakan hal yang mustahil yang
orang biasa lakukan.
C. Penutup
Berdasarkan analisis yang telah diuraikan pada bagian sebelumnya, maka
dalam penelitian ini didapatkan simpulan bahwa drama Sumur Tanpa Dasar karya
Arifin C. Noer menampilkan unsur-unsur intrinsik seperti tema, amanat, alur,
pendokohan, dan konflik yang sangat baik. Selain itu drama ini juga
menghadirkan banyak simbol yang menggambarkan pergulatan para tokohnya
dengan Tuhan dan eksistensi dirinya. Konflik-konflik yang ditampilkan dalam
drama tersebut penuh dengan suasana kontemplatif tokoh-tokohnya.
Suasana kontemplatif tersebut menyajikan sisi-sisi sufistik yang hadir pada
drama tersebut. Unsur sufistik yang muncul pada drama Arifin C. Noer ini
diantaranya kisah para nabi atau rasul dan para sufi yang jadi teladan. Drama ini
menampilkan tokoh sufi Abu Nawas dan beberapa nabi dan rasul seperti Nuh,
Ibrahim, dan Ismail sebagai orang-orang yang senatiasa bersabar dan senantiasa
menggunakan kecerdasan dalam menghadapi segala kesulitan sehingga menjadi
orang-orang dapat diteladani.
Unsur sufistik lainnya penyebutan sifat-sifat Tuhan dan sifat-sifat dasar
manusia. Sifat Tuhan yang yang dijelaskan ialah maha penyayang dan pengasih
terhadap semua makhluk hidup sedangkan sifat dasar manusia tampak pada
Jumena yang perasaannya dihinggapi perasaan takut sehingga senantiasa curiga
terhadap semua orang. Akibat perbuatannya, ia merasa sendiri dan kesepian.
Untuk itulah dengan bimbingan penasihat spritualnya, Sabarudin mencoba
mencari Tuhan. Proses pencarian Tuhan tersebut merupakan ciri karya sastra yang
memuat sufistik selain kesatuan dengan Tuhan yang dinyatakan dengan sangat
berkuasanya si tokoh utama sehingga merasa seperti Tuhan dalam semua aspek
kehidupan yang menjadi latar cerita tersebut.
24