panji kuncoro hadi, ahmad...

15
10 Internalisasi Nilai-nilai Sufistik pada Naskah Drama Sumur Tanpa Dasar Karya Arifin C Noer Panji Kuncoro Hadi, Ahmad Bahtiar Universitas Sebelas Maret (UNS), UIN Syarif Hidayatullah Jakarta [email protected], [email protected] Abstrak Khasanah sastra Indonesia, periode klasik maupun modern, senantiasa memunculkan karya sastra yang berkaitan dengan agama dan kepercayaan yang bersifat spritual, mistik, dan atau pesan kerohanian dalam bentuknya yang beragam. Karya-karya sastra tersebut dalam berbagai bentuk menampilkan kecenderungan sufistik. Salah satu karya yang memuat nilai-nilai sufistik adalah naskah drama Sumur Tanpa Dasar (1971) karya Arifin C. Noer. Selain mendapat Naskah tersebut mendapat banyak apresiasi di masyarakat sehingga Naskah drama yang juga berkecenderungan sufistik tampaknya belum mendapat perhatian seperti halnya genre lainnya. Melihat hal tersebut, kajian naskahnaskah drama tersebut menjadi menarik dan penting. Sumur Tanpa Dasar (1971) karya Arifin C. Noer dipilih termasuk drama yang banyak mendapatkan apresiasi. Tulisan ini mencoba mengetahui internalisasi ajaran-ajaran sufistik yang terdapat pada drama tersebut. Berdasarkan analisis teks, disimpulkanan drama Sumur Tanpa Dasar menampilkan unsur intrinsik yang sangat baik. Drama ini juga menghadirkan banyak simbol yang menggambarkan pergulatan para tokohnya dengan Tuhan dan eksistensi dirinya. Konflik-konflik yang ditampilkan penuh dengan suasana kontemplatif tokoh-tokohnya. Suasana kontemplatif tersebut menyajikan sisi-sisi sufistik. Unsur sufistik tersebut diantaranya kisah para nabi atau rasul serta sufi yang jadi teladan seperti tokoh sufi Abu Nawas dan Nabi Nuh, Ibrahim, dan Ismail. Unsur sufistik lainnya ialah munculnya sifat-sifat Tuhan dan sifat-sifat dasar manusia yang terdapat pada tokohnya. Tokoh utama, dihinggapi perasaan takut sehingga senantiasa curiga terhadap semua orang sehingga. Dengan bimbingan penasihat spritualnya, ia mencoba mencari Tuhan. Proses pencarian Tuhan tersebut merupakan ciri karya sastra sufistik selain kesatuan dengan Tuhan. Kata Kunci : sufistik, drama Malam Jahanam, Arifin C. Noer A. Pendahuluan Sastra dan religi memiliki hubungan yang erat dan tidak terpisahkan. Atmosuwito menyimpulkan bahwa kitab suci al Quran selain berisi tulisan- tulisan suci (sacred writing) agama Islam, juga mengandung tulisan sastra. Demikian juga dengan kitab suci lainnya seperti Bible, Bhagawad Gita juga dikatakan sebagai buku-buku puisi dan kitab Amsal dikatakan sebagai kitab sastra

Upload: dangthuy

Post on 06-Mar-2019

221 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: Panji Kuncoro Hadi, Ahmad Bahtiarrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42482/2/Seminar... · Dalam bidang puisi kita dapat melihat kecenderungan tersebut pada sajak-sajak

10

Internalisasi Nilai-nilai Sufistik pada Naskah Drama Sumur Tanpa Dasar

Karya Arifin C Noer

Panji Kuncoro Hadi, Ahmad Bahtiar

Universitas Sebelas Maret (UNS), UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

[email protected], [email protected]

Abstrak

Khasanah sastra Indonesia, periode klasik maupun modern, senantiasa

memunculkan karya sastra yang berkaitan dengan agama dan kepercayaan yang

bersifat spritual, mistik, dan atau pesan kerohanian dalam bentuknya yang

beragam. Karya-karya sastra tersebut dalam berbagai bentuk menampilkan

kecenderungan sufistik. Salah satu karya yang memuat nilai-nilai sufistik adalah

naskah drama Sumur Tanpa Dasar (1971) karya Arifin C. Noer. Selain mendapat

Naskah tersebut mendapat banyak apresiasi di masyarakat sehingga Naskah

drama yang juga berkecenderungan sufistik tampaknya belum mendapat

perhatian seperti halnya genre lainnya. Melihat hal tersebut, kajian naskah–naskah

drama tersebut menjadi menarik dan penting. Sumur Tanpa Dasar (1971) karya

Arifin C. Noer dipilih termasuk drama yang banyak mendapatkan apresiasi.

Tulisan ini mencoba mengetahui internalisasi ajaran-ajaran sufistik yang terdapat

pada drama tersebut. Berdasarkan analisis teks, disimpulkanan drama Sumur

Tanpa Dasar menampilkan unsur intrinsik yang sangat baik. Drama ini juga

menghadirkan banyak simbol yang menggambarkan pergulatan para tokohnya

dengan Tuhan dan eksistensi dirinya. Konflik-konflik yang ditampilkan penuh

dengan suasana kontemplatif tokoh-tokohnya. Suasana kontemplatif tersebut

menyajikan sisi-sisi sufistik. Unsur sufistik tersebut diantaranya kisah para nabi

atau rasul serta sufi yang jadi teladan seperti tokoh sufi Abu Nawas dan Nabi

Nuh, Ibrahim, dan Ismail. Unsur sufistik lainnya ialah munculnya sifat-sifat

Tuhan dan sifat-sifat dasar manusia yang terdapat pada tokohnya. Tokoh utama,

dihinggapi perasaan takut sehingga senantiasa curiga terhadap semua orang

sehingga. Dengan bimbingan penasihat spritualnya, ia mencoba mencari Tuhan.

Proses pencarian Tuhan tersebut merupakan ciri karya sastra sufistik selain

kesatuan dengan Tuhan.

Kata Kunci : sufistik, drama Malam Jahanam, Arifin C. Noer

A. Pendahuluan

Sastra dan religi memiliki hubungan yang erat dan tidak terpisahkan.

Atmosuwito menyimpulkan bahwa kitab suci al Quran selain berisi tulisan-

tulisan suci (sacred writing) agama Islam, juga mengandung tulisan sastra.

Demikian juga dengan kitab suci lainnya seperti Bible, Bhagawad Gita juga

dikatakan sebagai buku-buku puisi dan kitab Amsal dikatakan sebagai kitab sastra

Page 2: Panji Kuncoro Hadi, Ahmad Bahtiarrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42482/2/Seminar... · Dalam bidang puisi kita dapat melihat kecenderungan tersebut pada sajak-sajak

11

bijak (wisdom literature). Ia mengungkapkan bahwa buku agama adalah sastra.

Dan sastra adalah bagian dari agama.1

Dalam khasanah sastra Indonesia, baik dalam periode klasik maupun

maupun yang modern, karya sastra yang berkaitan dengan agama dan

kepercayaan yang bersifat spritual, mistik, dan atau pesan kerohanian dan

religiositas serta berbagai hal yang menjadi soal utama keagamaan, selalu muncul

dalam bentuknya yang beragam.2 Karya sastra tersebut dapat suluk, babat, serat

dan sebagainya yang berasal dari Sastra Jawa maupun hikayat, pantun, gurindam

atau syair yang berasal dari dari Sastra Melayu.

Dalam sejarah sastra Indonesia, sejumlah pujangga besar menyampaikan

pesan agama tanpa harus meninggalkan estetika sastra, dapatlah disebutkan

beberapa di antaranya, Hamzah Fansuri, Raja Ali Haji, Syamsudin As-Samatrani,

Yasadipura I, Yasadipura II, Nurrudin Ar-Raniri, Abdul Rauf As-Singkeli, Abdus

Samad Al Jawi Al Palembangi, dan Syeh Yusuf dari Makasar.

Dalam deretan sastrawan modern, Amir Hamzah termasuk salah satunya.

Sajak-sajaknya mengandung kesadaran manusia tentang keberadaan dirinya dan

Tuhan, keinginan untuk menemukan hakikat mutlak, kerinduan untuk berjumpa

dengan-Nya, dan peringatan untuk menjalankan syariat. Amir Hamzah tenggelam

dalam kegelisahan manusia akan hakikat Tuhan dan hubungan vertikal antara

manusia dan Tuhan. Semua karangan tersebut yang dikumpulkan dalam Buah

Rindu (1941), Nyanyi Sunyi (1937), dan Setanggi Timur (1939) digambarkan

secara romantis dengan penggunaan simbol-simbol dan metafor yang segar.

Belakangan, terutama selepas memasuki dasawarsa tahun 1970-an, para

pengarang yang dikenal angkatan 70-an kecenderungan mengangkat sastra yang

bernafaskan agama, tampak makin semarak. Maka tidak heran jika kemudian

muncul usaha-usaha untuk merumuskan karya mereka sebagai sastra religius,

sufisme, atau sastra yang berdimensi transendental.3 Mereka bukan saja

menampakkan kecenderungan sufistik, namun beberapa tokoh utamanya

mempelajari dengan serius tasawuf dan kesusastraannya, malahan

menerjemahkan karya-karya para penyair sufi. Selain itu mereka tampil dalam

acara pembacaan sajak-sajak penyair sufi yang diselenggarakan dalam acara

pembacaan khusus sajak-sajak penyair sufi yang diselenggarakan oleh Dewan

Kesenian Jakarta (DKJ) di Taman Ismail Marzuki pada tahun 1982, 1983, 1984,

seperti Malam Rumi, Malam Hamzah Fansuri, dan Peringatan Iqbal.

Karena itu dalam Kesusastraan Indonesia Modern terutama yang lahir pada

periode tersebut banyak kita temukan karya-karya yang menampakkan ajaran

tasawuf. Dalam bidang puisi kita dapat melihat kecenderungan tersebut pada

sajak-sajak karya Abdul Hadi, D. Zamawi Imron, Taufiq Ismail, Abrar Yusa,

Afrizal Malna, Emha Ainun Nadjib, Heru Emka, W.S. Rendra dan sebagainya.

1 Subijantoro Atmosuwito. Perihal Sastra dan Religiusitas dalam Sastra, (Bandung :

Sinar Baru, 1989) hlm. 126 2 Suminto Sayuti. “Citra Estetik Islam dalam sajak-sajak Indonesia Mutakhir : Beberapa

Catatan Awal” Adakah Bangsa dalam Sastra? (Jakarta : Pusat Bahasa, 2003) hlm. 177 3 Maman Mahayana. 9 Jawaban Sastra Indonesia, (Jakarta : Bening, 2005) hlm. 71

Page 3: Panji Kuncoro Hadi, Ahmad Bahtiarrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42482/2/Seminar... · Dalam bidang puisi kita dapat melihat kecenderungan tersebut pada sajak-sajak

12

Di bidang prosa, kita dapat menemukan karya yang menampak

kecenderungan sufistik pada karya Kuntowijoyo (Khotbah di Atas Bukit, 1976),

Mohamad Diponegoro (Siklus, 1975), dan Motingo Busye (Sanu, Infinita

Kembar) dan beberapa cerpen Danarto yang dimuat dalam Godlob (1975), dan

Adam Ma’rifat (1982)

Di bidang drama dapat kita temukan pada karya-karya Arifin C. Noer

seperti Kapai-kapai (1970), Sumur Tanpa Dasar (1971), Mega-mega, Tengul

(1973), dan Umang-umang (1976) serta karya Motinggo Busye dengan naskahnya

Malam Jahanam (1958). Drama-dramanya tersebut banyak dipengaruhi tradisi

kaum sufi.

Banyaknya karya sastra tersebut menarik dikaji untuk melihat

kecenderungan sufistik pada karya sastra Indonesia modern yang memperkaya

khasanah sastra Indonesia khususnya dan budaya Indonesia pada umumnya.

Sehubungan tersebut banyak dikumpulkan dan diulas beberapa karya yang

menampilkan kecederungan sufistik tersebut. Abdul Hadi menulis sebuah

Antologi Sastra Sufi (1996) yang mengumpulkan berbagai karya sufi termasuk

karya pengarang Indonesia seperti Hamzah Fansuri, Yasadipura I, Yasadipura II,

Raja Ali Haji, Bukhari Al Jauhi dan Amir Hamzah. Selain itu ia pun mengulas

beberapa karya sufi dalam Kembali Ke Akar Kembali Ke Sumber (1999) serta

menerjemahkan karya-karya Rumi dan Iqbal.

Tulisan lain yang mengulas sastra sufi adalah Sastra Sufistik : Internalisasi

Ajaran-ajaran Sufi dalam Sastra Indonesia (2003) oleh Bani Sudardi. Buku

tersebut melihat internalisasi ajaran sufi beberapa penyair Indonesia sejak zaman

Balai Pustaka sampai sekarang.

Sedangkan beberapa ulasan prosa yang bersifat sufistik dapat dilihat pada

Fantasi dalam Kedua Kumpulan Cerpen Danarto : Dialog antara Dunia Nyata

dan Tidak Nyata yang berasal tesis Th. Sri Rahayu Prihatmi di Flinder University

of South Australia. Sedangkan novel sufistik seperti Khotbah di Atas Bukit

(1976) diulas Moh. Wan Anwar dalam Kuntowijoyo : Karya dan Dunianya

(2007).

Sedangkan naskah drama yang juga berkecenderungan sufistik tampaknya

belum mendapat perhatian seperti halnya genre lainnya. Padahal karya-karya itu

mendapat apresiasi dengan banyaknya pentas drama yang mengambil naskah-

naskah tersebut. Melihat hal tersebut, penelitian terhadap naskah–naskah drama

yang berkecenderungan sufistik menjadi menarik dan penting. Mengingat banyak

keterbatasan Sumur Tanpa Dasar (1971) karya Arifin C. Noer.

Sedangkan drama Sumur Tanpa Dasar menarik dikaji karena menampilkan

banyak simbol yang menggambarkan pergulatan para tokohnya dalam pergulatan

dengan Tuhan dan eksistensi dirinya. Konflik-konflik yang ditampilkan penuh

dengan suasana kontemplatif tokoh-tokohnya.

Drama karya Arifin C. Noer tersebut memperlihatkan upaya persenyawaan

kreatif antara tradisi teater modern Barat pascarealisme dengan teater tradisional

kita seperti Lenong Betawi.

Tulisan ini menjelaskan internalisasi Menjelaskan internalisasi sufistik

pada naskah drama Sumur Tanpa Dasar karya Arifin C. Noer dan Malam

Jahanam karya Motinggo Busy dae.Menjelaskan aspek-aspek sufistik dihadirkan

Page 4: Panji Kuncoro Hadi, Ahmad Bahtiarrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42482/2/Seminar... · Dalam bidang puisi kita dapat melihat kecenderungan tersebut pada sajak-sajak

13

pada drama Sumur Tanpa Dasar karya Arifin C. Noer dan Malam Jahanam karya

Motinggo Busye

diharapkan dapat memperkaya pembicaraan mengenai karya sastra

Indonesia modern khususnya karya sastra yang bergenre drama yang

menampakkan kecenderungan sufistik. Selain itu untuk memberikan bimbingan

kepada pembaca bagaimana memahami karya-karya tersebut sehingga penelitian

ini menjadi sebuah “pertemuan” antara pengarang dan pembaca.

B. Pembahasan

Dalam mengkaji aspek-aspek sufistik yang terkandung dalam naskah drama

yang menjadi objek penelitian ini, yaitu Sumur Tanpa Dasar karya Arifin C. Noer

dan Malam Jahanam karya Motinggo Buse penulis mengacu pada pendapat

Sudardi yang menjelaskan empat aspek sufistik dalam sastra. Pada bagian ini

akan diuraikan asfek Sufistik pada drama Sumur Tanpa Dasar karya Arifin C.

Noer. Adapun penjabarannya sebagai berikut.

Aspek pertama yang muncul dalam sastra yang mengandung nilai-nilai

sufistik menurut Subardi adalah kisah para nabi dan sufi yang yang menjadi

teladan bagi para sufi lainnya.4 Hal ini terdapat dalam kutipan dialog berikut:

JUKI

“Hamba ingin menang sebagai pemuja nomor wahid paduka”

Kata Abu Nawas “Saksikanlah kini, tuanku raja, sekarang

terbuktilah bahwa Abunawas si warga Baghdad yang paling

takjim hormatnya. Tidak saja orangnya suka mengiring ke

mana baginda pergi, bahkan najisnya pun mengiring najis

rajanya”

Dialog tersebut disampaikan tokoh Juki, dari kalimat ini berisi tentang

bagaimana kecerdikan Abu Nawas. Di negerinya ada seorang raja yang sangat

ingin dihormati rakyatnya. Kutipan dialog sebelumnya mengisahkan betapa marah

rajanya karena di tempat ia untuk buang hajat ternyata lewat kotoran Abu Nawas.

Namun untuk melawan rajanya, ia tidak melawannya dengan kekerasan. Ia

melawan dengan kecerdikan dan kata-katanya dengan mengatakan “Saksikanlah

kini, tuanku raja, sekarang terbuktilah bahwa Abunawas si warga Baghdad yang

paling takjim hormatnya. Tidak saja orangnya suka mengiring ke mana baginda

pergi, bahkan najisnya pun mengiring najis rajanya”.

Dari kisah ini dapat diambil pelajaran yang telah dicontohkan nabi dan para

sufi sebelumnya. Seorang yang saleh haruslah bersabar, tidak melawan kekerasan

4 Bani Sudardi, Sastra Sufistik : Internalisasi Ajaran-ajaran Sufi dalam Sastra Indonesia,

(Solo : Tiga Serangkai, 1989) hlm. 11 - 12

Page 5: Panji Kuncoro Hadi, Ahmad Bahtiarrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42482/2/Seminar... · Dalam bidang puisi kita dapat melihat kecenderungan tersebut pada sajak-sajak

14

dengan kekerasan lagi karena tidak akan mendapatkan hasil yang baik. Kisah ini

mengajarkan kekerasan atau kejahatan hendaklah dibalas dengan kebaikan dan

kecerdasan. Hal ini sudah dicontohkan saat para nabi, rasul, dan sufi dalam

menyebarkan agama Islam. Mereka menyebarkan kebaikan dengan penuh

kesabaran, tidak membalas kekerasan yang mereka terima dengan kekerasan lagi,

melainkan dengan kesabaran dan kecerdasan mereka. Teladan yang dapat diambil

adalah mengajarkan agar dalam menghadapi sesuatu hendaknya jangan pernah

membalas kekerasan atau kejahatan dengan hal yang sama, tetapi balaslah dengan

kebaikan dan kecerdasan.

Dialog selanjutnya yang menggambarkan kisah nabi dan sufi digambarkan

dari dialog berikut:

SABARUDDIN

Tapi tak ada salahnya kau mendengarkan nasihat saya.

Sebelumnya saya perlu katakan bahwa apa yang saya ingin

lakukan untuk kau tak lebih hanya atas nama persahabatan.

Saya tetap sebagai sahabat dan bukan sebagai seseorang yang

ingin mengislamkan kau. Saya berbicara di sini karena saya

selalu merasa berteman. Jum, percayalah saya. Kau perlu

istirahat.

Dialog yang disampaikan Sabarudin ini juga secara tak langsung

menggabarkan bagaimana teladan para nabi, rasul, dan para sufi dalam

menyebarkan agama Islam. Hal ini terdapat pada kalimat “Saya tetap sebagai

sahabat dan bukan sebagai seseorang yang ingin mengislamkan Kau.” Dalam

penyebaran agama Islam mereka menggunakan jalan persahabatan. Mereka tidak

memaksa kaum untuk memeluk Islam tetapi dengan jalan persahabatan.

Dialog selanjutnya yang sangat jelas berisi kisah nabi dan sufi adalah pada

dialog berikut:

KAMIL

Tolong menolong itu sifat Nabi Nuh!

Pada dialog tersebut sangat jelas digambarkan bagaimana teladan yang

diberikan Nabi Nuh kepada kaumnya agar mereka tolong-menolong dan suka

membantu. Dialog selanjutnya, yaitu pada dialog berikut ini:

EUIS

Tapi saya sekarang sedang mengandung, dan saya yakin….

JUKI

Betul, Euis? Kalau begitu selesailah masalahnya. Percayalah,

semua akan selesai dengan sendirinya hanya karena anak

Page 6: Panji Kuncoro Hadi, Ahmad Bahtiarrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42482/2/Seminar... · Dalam bidang puisi kita dapat melihat kecenderungan tersebut pada sajak-sajak

15

dalam kandunganmu itu. Syukurlah Euis saya harap kau lebih

hati-hati

EUIS

Tapi dia tetap tidak mau percaya

JUKI

Kau harus sabar. Tunggu sampai dia sendiri melihat

bagaimana anak dalam kandungan itu semakin membesar dan

membesar. Dan kalau dia tetap tidak percaya kau sedang

mengandung, pandangan matanya yang salah atau dia

memang tidak pernah percaya pada matanya sendiri.

Syukurlah Euis. Ah, sebentar nanti saya kira saya pun mulai

membicarakan hal itu dengan dia.

Seperti dongeng saja. Justru setelah hampir seluruh

rambutnya putih tiba-tiba akang Jumena akan punya

(Tertawa) akang akan punya anak. Jangan lupa Euis kau

harus, harus… lebih baik kau tanyakan kepada Nyai.

Dialog tersebut berlangsung antara Juki dan Euis yang membahas tentang

kehamilan Euis. Euis adalah istri Jumena, tokoh sentral drama ini, seorang lelaki

sepuh yang rambutnya sudah dipenuhi uban, “Justru setelah hampir seluruh

rambutnya putih tiba-tiba akang Jumena akan punya (tertawa) akang akan punya

anak”. Setelah empat kali Jumena menikah, akhirnya ia dikarunia Tuhan untuk

memiliki anak dari istrinya, Euis. Hal ini seperti kisah Nabi Ibrahim yang

dikisahkan sebagai pria tua yang sangat merindukan kehadiran seorang anak.

Hingga saat beliau sangat tua Allah Swt. mengaruniainya seorang anak, Nabi

Ismail. Teladan yang dapat diambil dari cerita tersebut adalah agar manusia untuk

bersabar dan jangan berhenti berdoa, karena Allah Swt. selalu mempunyai

rencana yang terbaik untuk hamba-Nya.

Aspek kedua dalam sastra sufistik yaitu ajaran atau konsep sufistik, artinya

karya tersebut membahas tentang sifat-sifat Tuhan dan asal-usul manusia5. Sifat-

sifat Tuhan dapat dilihat dari 99 nama baiknya atau asmaul husna, dan sifat-sifat

lain juga dapat dilihat dari kitab suci al-Quran. Kutipan dialog yang terdapat sifat

Tuhan tergambar dari kutipan dialog berikut:

JUMENA

Di bawah enam tahun, ya. Selebihnya adalah kemalasan. Dan

kemalasan adalah kesalahan mereka sendiri. Kenapa mereka

5 Ibid

Page 7: Panji Kuncoro Hadi, Ahmad Bahtiarrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42482/2/Seminar... · Dalam bidang puisi kita dapat melihat kecenderungan tersebut pada sajak-sajak

16

malas? Guratlah tangan saya dan tangan mereka, niscaya kau

akan melihat darah yang warnanya sama; merah!

Kutipan berikut menggambarkan bahwa keberhasilan seseorang bisa mereka

raih dari hasil kerja keras mereka sendiri untuk memperbaiki kehidupan mereka.

Hal ini senada dengan firman Allah Swt. dalam al-Quran:

“Sesungguhnya, Allah tidak akan mengubah nasib suatu kaum,

hingga mereka mengubahnya sendiri.”6

Kutipan dialog dan isi ayat al-Quran tersebut sungguh sangat terkait, jadi di

sini digambarkan bahwa sifat Allah sangatlah pemurah karena Dia adalah Maha

Pengasih dan Penyayang, tetapi Dia ingin agar hamba-Nya mau berusaha untuk

meraih kesuksesan tersebut. Sifat Allah Swt. yang selanjutnya terdapat pada

kutipan dialog adalah sifat Allah yang tidak mementingkan sifat manusia yang

mementingkan kemewahan (duniawi), tetapi melupakan kemurnian hatinya. Hal

ini terdapat pada kutipan dialog berikut:

JUMENA

Allah tidak mengharapkan pintu-pintu dan jendela-jendela

yang bercat meriah; Allah tidak mengharap lantai dari ubin;

Allah tidak mengharap permadani dari Turki; Allah tidak

mengharap lampu neon yang berbatang-batang. Tidak! Allah

tidak menghendaki semua itu. Allah terutama menghendaki

hati dan pikiran manusia yang jernih bersemangat lagu kerja.

Ya Allah, ampunilah hamba.

Kutipan dialog tersebut disampaikan oleh Jumena ketika sedang berdialog

dengan Sabarrudin yang memiliki niatan untuk memperbaiki masjid di kampung

mereka. Dialog tersebut secara tidak langsung menggambarkan bahwa semua

yang manusia yang ada di dunia ini sama, kecuali amal salehnya.

Secantik atau setampan apa pun manusia tersebut, tetapi yang paling

penting adalah hati dan pikiran dari manusia seperti sikap dan perbuatannya.

Asal-usul manusia dapat diartikan sebagai sifat dasar manusia atau sifat

yang melekat pada manusia. Pada aspek kedua ini, dapat dilihat dari kutipan

dialog sebagai berikut:

JUMENA

Euis, musuh kita selama ini adalah perasaan. Kita harus

memusnahkannya. Membunuhnya sama sekali. Kedua orang

tua saya mati karena perasaan mereka sendiri. Mereka

bangkrut karena mereka terlalu mencintai paman saya. Dan

akhirnya mereka mati sebelum mati. karena saya tahu betul

kejadian itu, tentu saja saya tidak mau bernasib sama seperti

6 (QS. Ar-Ra’du [13]:11)

Page 8: Panji Kuncoro Hadi, Ahmad Bahtiarrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42482/2/Seminar... · Dalam bidang puisi kita dapat melihat kecenderungan tersebut pada sajak-sajak

17

mereka. Saya harus menang terhadap perasaan saya dan kau

pun harus menang terhadap perasaanmu.

Kutipan dialog tersebut menggambarkan bagaimana sifat dasar seorang

manusia. Manusia sebagai tempatnya berbuat salah dan dosa adalah kaum yang

memiliki musuh terbesar dalam hidupnya, yaitu perasaannya. Seorang yang

dipenuhi oleh perasaan dengki dan iri tentu dia akan terus dikuasai oleh perasaan

seperti itu dan akan hancur oleh perasaan itu.

Namun, sebaliknya orang yang dipenuhi dengan perasaan ikhlas dan

gembira tentu hidupnya akan gembira dan penuh kebahagiaan. Hal ini

menggambarkan bahwa perasaan adalah hal yang sangat besar dalam diri

manusia. Sifat dasar manusia juga digambarkan pada kutipan dialog berikut:

EUIS

Dia perakus. Mata duitan

(Jumena mengambil sesuatu dan melemparkannya ke pintu)

Pagi-pagi ia sudah pergi mengurus dagangannya, mengurusio

pabrik-pabriknya. Pulang-pulang jam dua, jam tiga, lalu

selama beberapa jam menghitung-hitung hartanya dan

memandangi lemari hitamnya. Setelah maghrib ia menulis

atau membaca, lalu pergi. Pulang-pulang jam sembilan,

sebentar duduk-duduk minum teh atau kopi lalu akhirnya

kembali menghitung-hitung harta dan memandangi lemari

hitamnya. Itulah semuanya yang dikerjakannya secara rutin

seperti mesin, selama hampir lima tahun saya jadi istrinya.

Dialog tersebut terjalin karena adanya perdebatan antara Euis dan Juki (hal

ini berada dalam pikiran atau imajinasi Jumena). Kutipan dialog tersebut berisi

ungkapan hati Euis yang menjelaskan betapa rakus dan mata duitan yang

menguasai suaminya telah menyiksa dirinya dan menyiksa diri suaminya sendiri.

Dari kutipan ini digambarkan sifat manusia yang rakus dan mata duitan dan hal

itu akan merugikan dirinya dan orang lain di sekitarnya.

Kutipan dialog berikutnya yang menggambarkan sifat dasar manusia

sebagai kaum yang lemah dan mati pasti akan menghampirinya, yaitu pada

kutipan dialog berikut:

JUMENA

Datang juga kau

PEMBURU

Page 9: Panji Kuncoro Hadi, Ahmad Bahtiarrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42482/2/Seminar... · Dalam bidang puisi kita dapat melihat kecenderungan tersebut pada sajak-sajak

18

Kapan pun datang juga

Dialog tersebut terjalin antara Jumena dan Pemburu, pemburu dalam drama

ini adalah simbol dari malaikat maut. Pemburu berkata bahwa ia kapan pun

datang juga, hal itu secara tidak langsung memberitahukan bahwa maut bisa

kapan saja datang untuk mencabut nyawa seorang manusia. Seperti yang

dijelaskan di dalam al-Quran:

“Tiap-tiap umat mempunyai batas waktu; maka apabila telah

datang waktunya mereka tidak dapat mengundurkannya

barang sesaat pun dan tidak dapat (pula) memajukannya.”7

Dialog selanjutnya digambarkan dari dialog tokoh Jumena yang

memunculkan sifat manusiawinya, yaitu ketika ia takut akan datangnya kematian.

Hal ini terdapat pada kutipan dialog berikut:

JUMENA

Kau tidak tahu! Terus terang saya takut mati

Tokoh Juki turut serta menggambarkan sifat manusiawinya, hal ini

terdapat pada kutipan dialog berikut:

JUMENA

Kenapa tiba-tiba kau ingin kawin?

JUKI

Mulai capek badan saya. Saya ingin melihat ranjang saya

penuh bertumpuk pakaian perempuan

Kutipan dialog itu terjalin antara Jumena dan Juki, ketika Jumena

menanyakan soal pernikahan kepada Juki. Mengapa Juki yang sudah berusia

hampir lima puluh tahun tidak juga berumah tangga, tetapi tiba-tiba Juki ingin

berumah tangga. Pada kutipan dialog tersebut Juki memberikan alasannya

mengapa ingin segera menikah, karena ia ingin melihat ranjangnya penuh dengan

pakaian perempuan.

Kutipan dialog tersebut dapat dilihat dari makna yang lebih dalam, kata

“pakaian perempuan” adalah berupa metafor yang mengarah pada kasih sayang

dan kelemahlembutan yang identik dengan seorang perempuan. Hal ini

menggambarkan sifat manusiawi seseorang, meskipun dia sekuat apa pun tetapi

tetaplah manusia yang membutuhkan kasih sayang.

7(QS. Al A’raf: [7]: 34)

Page 10: Panji Kuncoro Hadi, Ahmad Bahtiarrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42482/2/Seminar... · Dalam bidang puisi kita dapat melihat kecenderungan tersebut pada sajak-sajak

19

Aspek selanjutnya yaitu ungkapan yang berisi pengalaman manusia dalam

pencarian Tuhan.8 Proses pencarian Tuhan dapat juga berupa keragu-raguan

dalam hidupnya. Hal ini dapat dilihat dari kutipan berikut:

JUMENA

Siapa bilang aneh? Semua ini mungkin saja terjadi. Tuhan,

kenapa justru saya merasakan sesuatu semacam kenikmatan

dengan segala pikiran-pikiran ini? Kau jebak saya, Tuhan.

Kau jebak saya. Tega. Kau! (lalu mulai dengan pikirannya)

saya kira mula-mula istri saya…. (Agak lama) Ya, mula-mula

istri saya akan berlaku seperti bidadari.

Kutipan dialog tersebut disampaikan oleh Jumena, ketika ia terus saja penuh

rasa ragu pada siapa pun. Bahkan kepada istri yang mencintainya, dia tetap penuh

keraguan dan kecurigaan. Sehingga dalam keraguan dan kecurigaan itu terselip

rasa kecewa dan timbul pertanyaan kepada Tuhan. Hal itu secara tidak langsung

menggambarkan bahwa Jumena adalah tokoh yang mencari Tuhan untuk

mendapat ketenangan dalam dirinya. Keadaan tersebut juga terdapat pada kutipan

dialog Jumena berikut:

JUMENA

Kalau saya bisa percaya, saya tenang. Kalau saya bisa tidak

percaya, saya tenang. Kalau saya percaya dan bisa tidak

percaya, saya tenang. Tapi saya tidak percaya dan tidak bisa

tidak percaya, jadi saya tidak tenang. Tapi juga kalau saya

tenang, tak akan pernah ada sandiwara ini.

Tokoh Jumena digambarkan sebagai tokoh yang tidak pernah tenang, penuh

kecurigaan, dan keragu-raguan dalam hidupnya. Pengalaman pencarian Tuhan

juga digambarkan pada kutipan dialog berikut:

JUMENA

Perempuan tua itu bukan ibu saya. Tapi dia memelihara saya.

Setiap kali ia menidurkan saya, perempuan tua itu selalu

bersenandung. Kemudian saya tahu apa yang

disenandungkan, persis seperti lagu-lagu pujian yang bisaa

dinyanyikan anak-anak di mesjid.

8 Sudardi, Op. Cit.

Page 11: Panji Kuncoro Hadi, Ahmad Bahtiarrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42482/2/Seminar... · Dalam bidang puisi kita dapat melihat kecenderungan tersebut pada sajak-sajak

20

Saya kira inilah satu-satunya kenangan masa kanak-kanak

saya.

Dialog tersebut disampaikan Jumena pada Sabarrudin guru agamanyanya.

Pada ini digambarkan tokoh Jumena adalah anak yang tidak tahu apa-apa. Ia

hanyalah anak kecil yang sering mendengarkan senandung yang sering

dinyanyikan perempuan tua yang merawatnya. Ia mengetahui bahwa senandung

itu adalah senandung yang orang Islam nyanyikan karena sering terdengar

berkumandang di masjid-masjid.

Dari senandung itulah akhirnya ia mengetahui Islam, jadi secara tidak

langsung proses ia mendengarkan senandung tersebut merupakan proses Jumena

untuk mencari Tuhan.

JUMENA

Menyesal sekali. Jum, bangunlah pagi-pagi dan amati secara

teliti betapa indahnya kehidupan yang berlangsung di

pekarangan rumah kau. Ada baiknya juga kau memelihara

ikan hias. Sekedar hanya sebagai hiburan saja. Saya kira di

sana kau dapat juga merasa ikut bahagia bersama-sama bunga

dan ikan-ikan dalam akuarium.

Kutipan dialog berikutnya adalah yang disampaikan oleh Sabaruddin saat

berbicara dengan Jumena. Sabaruddin menjelaskan tentang anugerah Tuhan yang

telah memberikan banyak keindahan dalam kehidupan manusia. Hal ini

disimbolkan oleh bunga dan ikan-ikan oleh Sabarrudin. Bunga dan ikan adalah

lambang keindahan dan ketenangan. Sehingga saat seseorang dapat menikmatinya

semua itu, maka seorang dapat merasakan ketenangan dan keindahan yang telah

Allah ciptakan.

Pencarian Tuhan juga dilakukan oleh tokoh Kamil. Hal ini terdapat pada

kutipan dialog berikut:

KAMIL

Kenapa saya suka meramal? Sebab saya suka ilmu kebatinan,

alias mistik dan ilmu kejiwaan? Sebab dunia sekarang sudah

berat sebelah

Nah, sekarang inilah peradaban sekarang, kepala terus diisi

sementara dada dibiarkan masuk angina, maka kepala

terlampau berat tak dapat lagi ditopang oleh dada. Seperti

ondel-ondel terkena angina puyuh. Maka terhuyung-

huyunglah manusia zaman sekarang seperti pemabuk!

Padahal sumber kekuatan hidup sebenarnya ada di sini. Nih

(Menunjuk ulu hati) bukan di kepala seperti kata Jumena.

Karena dia sinting!

Page 12: Panji Kuncoro Hadi, Ahmad Bahtiarrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42482/2/Seminar... · Dalam bidang puisi kita dapat melihat kecenderungan tersebut pada sajak-sajak

21

Kamil digambarkan sebagai orang yang suka akan ilmu kebatinan, karena

ia merasa dunia sudah berat sebelah. Berat sebelah di sini maksudnya adalah tidak

seimbangnya urusan dunia dan akhirat. Manusia sekarang lebih mementingkan

urusan dunianya daripada akhiratnya.

Kalimat selanjutnya disebutkan “kepala terus diisi sementara dada

dibiarkan masuk angin, maka kepala terlampau berat tak dapat lagi ditopang oleh

dada.” Kepala di sini dimaksudkan untuk pikiran manusia dan dada adalah hati

manusia. Pikiran yang sudah tidak mau mendengarkan hati nuraninya itu

diibaratkan sebagai pemabuk, orang yang sudah tidak mampu mengendalikan

dirinya sendiri. Dialog tokoh selanjutnya juga menggambarkan proses pencarian

Tuhan, hal ini terdapat pada kutipan dialog berikut:

JUMENA

Sekarang umur saya sudah lewat jauh setengah abad,

sementara tubuh saya merasa belum dilahirkan. Saya

sungguh tidak tahu bagaimana seharusnya saya hidup. Saya

tidak pernah merasa bahagia. Tapi kalau memang

kebahagiaan hanya suatu keadaan senang yang sesaat mampir

dalam hidup, terus terang saya pernah merasakannya.

Adakalanya saya senang setiap kali melihat tumpukan uang

saya, terutama belakangan ini. Seolah-olah saya menyaksikan

harga saya dalam tumpukan uang itu. Tapi bagaimanapun

saya tidak bisa menghindari bahwa saya akan mati juga.

Kalau begitu rasanya segala apa yang telah saya kerjakan

selama ini tidak lebih hanya mengisi kekosongan lain. Kau

mengerti sekarang, kenapa tadi saya katakan bahwa

sebenarnya bisa saja saya luluskan permintaan pekerja-

pekerja itu, toh sama saja bagi saya.

Dialog tersebut adalah ungkapan hati Jumena, dalam mencari ketentraman

yang tidak pernah ia bisa dapatkan dari harta yang sudah susah payah

dikumpulkannya. Harta berlimpah ternyata tidak bisa menjamin kebahagian dari

seseorang, ketentraman, dan kebahagian bisa didapatkan dari keteguhan dan

keimanan pada Tuhan. Sehingga dialog tersebut secara tidak langsung

menggambarkan bagaimana pencarian Jumena dalam mencari Tuhannya yang

dapat memberikan ketenangan untuk dirinya.

Aspek sastra sufistik yang terakhir adalah yang terkait dengan ungkapan si

tokoh yang seperti menimbulkan kesatuannya dengan Tuhan9. Ungkapan kesatuan

dengan Tuhan dapat diartikan bahwa perkataan atau dialog tokoh menggambarkan

dirinya seperti perwakilan Tuhan. Perwakilan Tuhan di sini dapat dimaknai bahwa

dirinya adalah orang yang sangat mengetahui segala hal, dapat melakukan hal-hal

yang tidakdapat dilakukan manusia biasa dan ia tidak pernah salah akan

9 Ibid.

Page 13: Panji Kuncoro Hadi, Ahmad Bahtiarrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42482/2/Seminar... · Dalam bidang puisi kita dapat melihat kecenderungan tersebut pada sajak-sajak

22

pemikiran dan keputusannya. Hal tersebut dapat dilihat dari kutipan dialog

berikut:

JUMENA

Mau diapakan lagi? Saya tidak akan merobah keputusan saya.

Saya tidak mau. Saya tetap tidak akan memberikan biar

segopeng pun. Berapa kali sudah saya bilang sejak kalian jadi

pengawas kedua bahwa standar gaji yang ada sekarang cukup

baik, adil untuk semua pihak. Prinsip saya cukup realistis

karena berdasarkan kebutuhan riil tiap-tiap keluarga.

Lagipula saya sudah menghitung dengan cermat berapa setiap

keluarga menghabiskan biaya setiap bulan dan berapa sisa

yang bisa ditabung.

Dialog tersebut disampaikan oleh Jumena ketika sedang menerima Emod,

pekerjanya. Saat itu Emod sedang menyampaikan keluh kesah para pekerja lain

untuk menaikan upah mereka. Namun, saat meminta kebijaksanaan Jumena

sebagai pemilik pabrik, Jumena menjawab seakan-akan mengetahui semua seluk-

beluk kebutuhan para pekerjanya. Ia pun tidak mau mengalah dan merasa sangat

benar akan keputusannya. Bahkan ia menantang para pekerjanya : bertahan

dengan gaji yang ada atau diturunkan. Hal ini diperkuat lagi oleh kutipan dialog

dari Jumena, sebagai berikut:

JUMENA

Dengarkan. Kalau orang mau hemat dan rajin menabung,

niscaya tidak akan mengalami kekurangan biar segobang

pun. Bisa kalian buktikan bahwa standard an peraturan-

peraturan yang saya buat merugikan? Kamu lupa gaji rata-

rata di sini setengah kali lebih besar dibanding tempat-

tempat lain? Coba kalian mampir ke pabrik tenun Mustopa

atau pabrik minyak kacang Haji Bakri dan Tanya berapa

orang-orang di sana terima gaji? Sekali lagi War, Mod.

Kalau orang mau hemat, insaAllah tidak akan menemui

kesulitan apa-apa. Dengan gaji yang mereka terima, mereka

akan dapat membiayai ongkos pengobatan dan apa saja.

Dan lagi, tidak masuk akal kalau saya pun harus

menanggung biaya pemborosan kalian. Coba saja, kalian

boros dan saya harus menanggung keborosan kalian, sinting

namanya. Apalagi untuk pesta kawin, lebih sinting lagi.

Page 14: Panji Kuncoro Hadi, Ahmad Bahtiarrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42482/2/Seminar... · Dalam bidang puisi kita dapat melihat kecenderungan tersebut pada sajak-sajak

23

Kutipan dialog selanjutnya yang mencirikan aspek ungkapan kesatuan

dengan Tuhan adalah dialog yang disampaikan tokoh Kamil, sebagai berikut:

KAMIL

Kaki itu sebenarnya tidak perlu lagi kalau orang sudah

tinggi ilmunya. Kau percaya bahwa saya setiap malam pergi

ke Mekah? Sukar saya jelaskan. Kau masih kotor. Ini ilmu-

ilmu zaman dulu. Mau bukti? Saya bisa membelah meja ini!

(Siap dengan pukulan karate)

Tokoh Kamil pada kutipan dialog tersebut menceritakan kemampuan

dirinya setiap malam pergi ke Mekah. Hal ini merupakan hal yang mustahil yang

orang biasa lakukan.

C. Penutup

Berdasarkan analisis yang telah diuraikan pada bagian sebelumnya, maka

dalam penelitian ini didapatkan simpulan bahwa drama Sumur Tanpa Dasar karya

Arifin C. Noer menampilkan unsur-unsur intrinsik seperti tema, amanat, alur,

pendokohan, dan konflik yang sangat baik. Selain itu drama ini juga

menghadirkan banyak simbol yang menggambarkan pergulatan para tokohnya

dengan Tuhan dan eksistensi dirinya. Konflik-konflik yang ditampilkan dalam

drama tersebut penuh dengan suasana kontemplatif tokoh-tokohnya.

Suasana kontemplatif tersebut menyajikan sisi-sisi sufistik yang hadir pada

drama tersebut. Unsur sufistik yang muncul pada drama Arifin C. Noer ini

diantaranya kisah para nabi atau rasul dan para sufi yang jadi teladan. Drama ini

menampilkan tokoh sufi Abu Nawas dan beberapa nabi dan rasul seperti Nuh,

Ibrahim, dan Ismail sebagai orang-orang yang senatiasa bersabar dan senantiasa

menggunakan kecerdasan dalam menghadapi segala kesulitan sehingga menjadi

orang-orang dapat diteladani.

Unsur sufistik lainnya penyebutan sifat-sifat Tuhan dan sifat-sifat dasar

manusia. Sifat Tuhan yang yang dijelaskan ialah maha penyayang dan pengasih

terhadap semua makhluk hidup sedangkan sifat dasar manusia tampak pada

Jumena yang perasaannya dihinggapi perasaan takut sehingga senantiasa curiga

terhadap semua orang. Akibat perbuatannya, ia merasa sendiri dan kesepian.

Untuk itulah dengan bimbingan penasihat spritualnya, Sabarudin mencoba

mencari Tuhan. Proses pencarian Tuhan tersebut merupakan ciri karya sastra yang

memuat sufistik selain kesatuan dengan Tuhan yang dinyatakan dengan sangat

berkuasanya si tokoh utama sehingga merasa seperti Tuhan dalam semua aspek

kehidupan yang menjadi latar cerita tersebut.

Page 15: Panji Kuncoro Hadi, Ahmad Bahtiarrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42482/2/Seminar... · Dalam bidang puisi kita dapat melihat kecenderungan tersebut pada sajak-sajak

24