pandangan liberal multikulturalisme terhadap non-believers di indonesia

7
Politik Multikultural: Paper UAS ERA BRILLIANA LARGIS – 071012008 – Ilmu Hubungan Internasional 1 Pandangan Liberal Multikulturalisme terhadap Non- believers di Indonesia Multikulturalisme menurut Kymlica dalam bukunya yang berjudul “Multicultural Citizenship” (1995) merupakan cara berfikir atau pandangan tentang masyarakat sosial manusia yang ada. Dimana bersama Liberalisme menjadikannya salah satu respon terhadap dunia modern yang mempunyai keberagaman moral, agama, keyakinan, dan budaya, dimana terhadap multikulturalisme menyediakan dasar nilai yang kuat yaitu toleransi, kebebasan, dan kesetaraan (Heywood, 2009). Begitu juga dalam kehidupan berbangsa dan bernegara diIndonesia, Multikulturalisme dapat menjadi salah satu penguat praktek Pancasila dan mempererat keberadaan Bhineka Tunggal Ika diIndonesia jika terdapat intrepretasi dan mekanisme yang baik, terutama dalam hal kerukunan antar warga negara yang mempunyai identitas yang berbeda. Salah satunya adalah keberadaan Non-believers atau mereka yang tidak/belum percaya pada eksistensi Tuhan atau Agama yang juga merupakan minoritas diIndonesia. Sebagian besar warga negara Indonesia, tidak dapat mentoleransi keberadaan identitas ini baik karena dianggap melanggar aturan hukum atau juga karena dianggap bertentangan dengan kepercayaan mereka, karena sebagian besar penduduk Indonesia beragama. Hal ini kemudian menjadi bahasan menarik bagaimana pandangan multikulturalis liberal melihat kurangnya toleransi penduduk Indonesia terhadap non-believers dimana hal ini merupakan salah satu bentuk melemahnya praktek Pancasila, atau kurang, lemahnya pendidikan intrepretasi Pancasila dan Undang-undang Indonesia yang dapat berujung pada melemahnya Bhineka Tunggal ika. Dalam bukunya Kymlica (1995) menjelaskan pentingnya, pilihan yang cerdas, dan pentingnya pendidikan dalam menentukan pilihan identitas dalam bermasyarakat. Liberal multikulturalis pada dasarnya mendukung dan berkomitmen pada adanya kebebasan dan toleransi, kemampuan untuk memilih keyakinan moral, budaya, dan gaya hidup (Kymlica, 1995). Dimana dalam ide warga negara yang multicultural (multicultural citizenship) dimana budaya merupakan sesuatu yang berharga atu bernilai dan berbeda serta menyediakan arti, orientasi, identitas dan kepemilikan bagi individu (Kymlica, 1995). Kebebasan menurut pemikiran liberal berasal dari kebebasan fundamental setiap individu, termasuk juga kebebasan pilihan atas bagaimana mereka menjalankan hidup mereka. Hal ini juga berarti mengijinkan manusia untuk memilih konsepsi tentang kehidupan yang baik menurut mereka dan juga mempertimbangkan pilihan tersebut (Kymlica, 1995). sehingga karena ada kemungkinan apa yang dipilih atau yang dilakukan oleh manusia tersebut salah atau tidak bernilai, perlu diperbarui atau direvisi maka diperlukan adanya akses pada informasi dan pengalaman tentang nilai tersebut (Kymlica, 1995). Menururt Rawls dan Dworkin (dalam Kymlica, 1995) individu tidak mengikatkan diri mereka pada pencapaian satu konsepsi khusus tentang kehidupan dan

Upload: era-b-largis

Post on 17-Nov-2015

17 views

Category:

Documents


9 download

DESCRIPTION

Paper on Politic of multiculturalism and pancasila in Indonesia, How they see the existence of non-believers from law and liberal multiculturalism (kymlica) view

TRANSCRIPT

ERA BRILLIANA LARGIS 071012008 Ilmu Hubungan Internasional

Politik Multikultural: Paper UASERA BRILLIANA LARGIS 071012008 Ilmu Hubungan Internasional

2

Pandangan Liberal Multikulturalisme terhadap Non-believers di Indonesia

Multikulturalisme menurut Kymlica dalam bukunya yang berjudul Multicultural Citizenship (1995) merupakan cara berfikir atau pandangan tentang masyarakat sosial manusia yang ada. Dimana bersama Liberalisme menjadikannya salah satu respon terhadap dunia modern yang mempunyai keberagaman moral, agama, keyakinan, dan budaya, dimana terhadap multikulturalisme menyediakan dasar nilai yang kuat yaitu toleransi, kebebasan, dan kesetaraan (Heywood, 2009). Begitu juga dalam kehidupan berbangsa dan bernegara diIndonesia, Multikulturalisme dapat menjadi salah satu penguat praktek Pancasila dan mempererat keberadaan Bhineka Tunggal Ika diIndonesia jika terdapat intrepretasi dan mekanisme yang baik, terutama dalam hal kerukunan antar warga negara yang mempunyai identitas yang berbeda. Salah satunya adalah keberadaan Non-believers atau mereka yang tidak/belum percaya pada eksistensi Tuhan atau Agama yang juga merupakan minoritas diIndonesia. Sebagian besar warga negara Indonesia, tidak dapat mentoleransi keberadaan identitas ini baik karena dianggap melanggar aturan hukum atau juga karena dianggap bertentangan dengan kepercayaan mereka, karena sebagian besar penduduk Indonesia beragama. Hal ini kemudian menjadi bahasan menarik bagaimana pandangan multikulturalis liberal melihat kurangnya toleransi penduduk Indonesia terhadap non-believers dimana hal ini merupakan salah satu bentuk melemahnya praktek Pancasila, atau kurang, lemahnya pendidikan intrepretasi Pancasila dan Undang-undang Indonesia yang dapat berujung pada melemahnya Bhineka Tunggal ika. Dalam bukunya Kymlica (1995) menjelaskan pentingnya, pilihan yang cerdas, dan pentingnya pendidikan dalam menentukan pilihan identitas dalam bermasyarakat. Liberal multikulturalis pada dasarnya mendukung dan berkomitmen pada adanya kebebasan dan toleransi, kemampuan untuk memilih keyakinan moral, budaya, dan gaya hidup (Kymlica, 1995). Dimana dalam ide warga negara yang multicultural (multicultural citizenship) dimana budaya merupakan sesuatu yang berharga atu bernilai dan berbeda serta menyediakan arti, orientasi, identitas dan kepemilikan bagi individu (Kymlica, 1995). Kebebasan menurut pemikiran liberal berasal dari kebebasan fundamental setiap individu, termasuk juga kebebasan pilihan atas bagaimana mereka menjalankan hidup mereka. Hal ini juga berarti mengijinkan manusia untuk memilih konsepsi tentang kehidupan yang baik menurut mereka dan juga mempertimbangkan pilihan tersebut (Kymlica, 1995). sehingga karena ada kemungkinan apa yang dipilih atau yang dilakukan oleh manusia tersebut salah atau tidak bernilai, perlu diperbarui atau direvisi maka diperlukan adanya akses pada informasi dan pengalaman tentang nilai tersebut (Kymlica, 1995). Menururt Rawls dan Dworkin (dalam Kymlica, 1995) individu tidak mengikatkan diri mereka pada pencapaian satu konsepsi khusus tentang kehidupan dan akhir dari kehidupan. Mereka dapat merevisi dan merubah konsepsi mereka, mereka dapat menelaah dan melihat kembali nilai dari kepercayaan mereka tersebut. Sehingga untuk memiliki kehidupan yang baik, Kymlica (1995) mengatakan bahwa syarat pertama adalah dengan menjalankan kehidupan dengan mengikuti kepercayaan masing-masing tentang nilai dari kehidupan, yang dimana membutuhkan resources dan kebebasan untuk melakukan hal tersebut tanpa ketakutan, diskriminasi atau hukuman. Maka dari itu pandangan liberal mendukung adanya privasi individu dan tidak setuju akan adanya pemaksaan moral (Enforcement of morals) (Kymlica, 1995). syarat kedua adalah manusia bebas untuk mempertanyakan keyakinan atau kepercayaan tersebut, mengujinya dengan informasi, contoh, argumen yang tersedia (Kymlica, 1995). Oleh karena itu individu harus mempunyai akses atau berkesempatan untuk sadar atas adanya pandangan yang berbeda tentang kehidupan yang baik, dan dapat menelaah pandangan ini secara cerdas (Kymlica, 1995). Oleh karena itu pandangan liberal sangat mementingkan adanya pendidikan, kebebasan berekspresi, dan asosiasi, karena dari hal-hal tersebutlah manusia dikatakan dapat menilai pandangan atau keyakinan mana yang bernilai (valuable) dan juga mempelajari bagaimana pandangan lainnya (Kymlica, 1995). Ide lain adalah memfokuskan pada pluralisme bukan universalisme, yang mengijinkan setiap individu untuk menentukan keputusan moral mereka masing-masing, dimana kebebasan ini kemudian disatukan dalam sebuah civic unity. Yang berarti perbedaan dibiarkan ada pada tatanan private yang kemudian disatukan dalam tatanan public melalui demokrasi liberal. Identitas individu berada juga pada identitas kelompok atau sosialnya (Heywood, 2009). Kymlica (1995) juga menyebutkan bahwa dalam hal identitas agama masyarakat yang liberal tidak hanya mengijinkan kebebasan individu untuk menjalankan keyakinannya, tetapi juga mengijinkan mereka untuk menyebarkan keyakinannya, atau menanyakan ajaran yang ada, atau mengubah kepercayaan atau keyakinan mereka, merubah agama atau menjadi ateis sekalipun. Selain itu masyarakat liberal juga tidak hanya mengijinkan masyarakatnya menjalankan kepercayaannya tapi juga memberikan mereka akses kepada informasi tentang keberadaan atau pandangan lain karena adanya kebebasan berekspresi, dan termasuk juga memberikan pendidikan tentang hal tersebut melalui pendidikan, sehingga memungkinkan bagi masyarakatnya untuk memilih, memikirkan kembali bahkan merevisi keyakinannya tanpa adanya ancaman hukum (Kymlica, 1995). Merupakan sebuah hak asasi individu untuk menjalankan keyakinannya secara bebas, menyebarkan keyakinannya, mempengaruhi keyakinan orang lain, atau menolak agama secara keseluruhan, dimana membatasi praktek tersebut merupakan pelanggaran bagi hak asasi manusia (Kymlica, 1995). Yang terjadi diIndonesia bisa dikatakan agak sedikit tidak sesuai dengan apa yang dipaparkan oleh pemahaman Multikulturalis Liberal terutama dalam kebebasan untuk menyebarkan keyakinannya, atau menanyakan ajaran yang ada, merubah agama atau menjadi ateis/Non-believer sekalipun. Indonesia memang bukan negara yang menganut liberal, akan tetapi negara hukum dengan sistem demokrasi. Akan tetapi bukan berarti pandangan dari para multikulturalis liberal ini tidak bisa diterapkan untuk memperkuat Pancasila dan Bhineka Tunggal Ika di Indonesia. Analisis selanjutnya akan dapat menunjukkan bahwa apa yang dikatakan oleh Kymlica (1995) yaitu perlunya Smart Choices, akses terhadap informasi dan pendidikan, dan keterbukaan pikiran masyarakatnya serta adanya toleransi merupakan salah satu kunci untuk memperkuat praktek Pancasila, implementasi Undang-undang, dan merupakan tindakan yang cukup preventif dalam mengatasi konflik yang dapat terjadi antar warga negara di Indonesia.Secara hukum dalam Pancasila sila pertama yaitu Ketuhanan Yang Maha Esa, seringkali diartikan bahwa warga negara Indonesia harus memiliki satu agama atau tuhan, dimana didalam undang-undang kemudian di akui 6 agama. Didalam Kartu Tanda Penduduk juga harus mencantumkan salah satu dari 6 agama tersebut . Hal ini setidaknya menunjukkan bahwa keberadaan non-believer tidak diakui secara legal atau secara hukum di Indonesia. Pada faktanya, terdapat beberapa persen dari penduduk Indonesia yang merupakan Non-believer, lantas kemudian bagaimana mereka menjalankan kepercayaan atau keyakinan mereka di Indonesia sedangkan keberadaan keyakinan mereka tidak diakui oleh negara. Banyak dari masayarakat Indonesia pada sila pertama yaitu prinsip ketuhanan kemudian melarang adanya ateisme dan semacamnya, padahal jika diintrepretasi kembali yang dimaksud oleh KeTuhanan disini bisa dikatakan setiap orang harus punya sebuah konsep tentang keTuhanan bukan (sebuah/suatu) Tuhan, dalam arti lain harus punya suatu kepercayaan. oleh karena itu agama Hindu diakui karena mempunyai konsep KeTuhanan walaupun dengan banyak Tuhan. Akan tetapi, Non-Believers tidak mempunyai konsep KeTuhanan hanya mempunyai sebuah pemikiran atau keyakinan yang dimana hal ini sebenarnya dijamin pada Undang-undang lain dan juga HAM secara nasional maupun internasional.Dari segi Pancasila, memang yang diajarkan dari pendidikan dini bahwa sila Ketuhanan yang Maha Esa berarti percaya akan adanya Tuhan, agama tertentu. Dari segi Sejarah Sila ini juga merupakan revisi dari ..Ketuhanan, dengan kewajiban menjalankan syariat islam bagi pemeluknya yang kemudian direvisi untuk menghormati dan tidak mendiskriminasi umat non-muslim (Muktiono, 2013). Pada batang tubuh UUD 1945 (dalam Muktiono, 2013) juga kemudian diperinci dalam kebebasan beragama yang dimana pasalnya adalah Pertama, negara berdasar atas ketuhanan Yang Maha Esa, Kedua, negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu. Pada masa orde lama (1950-1965) Presdien Soekarno juga mengeluarkan Penetapan Presiden No.1/PNPS tahun 1965 (dalam Muktiono, 2013) menjelaskan tentang sila Ketuhanan Yang Maha Esa dengan agama yaitu: ..sebagai dasar pertama, KeTuhanan Yang Maha Esa bukan saja meletakkan dasar moral diatas negara dan pemerintah, tetapi juga memastikan adanya kesatuan nasional yang berasa keagamaan. Pengakuan sila pertama (KeTuhanan Yang Maha Esa) tidak dapat dipisah-pisahkan dengan Agama, karena adalah salah satu tiang pokok daripada perikehidupan manusia dan bagi bangsa Indonesia adalah juga sebagai sendi perikehidupan negara dan unsur mutlak dalam usaha Nation BuildingPembatasan agama menjadi 6 agama yang diakui juga kemudian merupakan salah satu kebijakan pemerintah untuk membatasi keyakinan-keyakinan tradisional Indonesia yang dianggap dapat merusak keberadaan agama (Muktiono, 2013). Selain itu juga terdapat UU No.1/PNPS tahun 1965 (dalam Muktiono, 2013) tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama dimana dalam pasal 1 menyatakan:Setiap orang dilarang dengan sengaja dimuka umum menceritakan, menganjurkan atau mengusahakan dukungan umum, untuk melakukan penafsiran tentang suatu agama yang dianut di Indonesia atau melakukan kegiatan keagaman yang meneyerupai kegiatan keagamaan dari agama itu, penafsiran dan kegiatan mana yang menyimpang dari pokok ajaran agama ituDalam pasal 156a KUHP (dalam Bawono & Kusumasari, 2012) juga terdapat aturan yang menyebutkan bahwa: dipidana dengan pindana penjara selama-lamanya lima tahun barang siapa dengan sengaja di muka umum mengeluarkan perasaan atau melakukan perbuatan: a. Yang pada pokonya bersifat permusuhan, penyalah gunaan, atau penodaan terhadap suatu agama yang dianut diIndonesia; b. Dengan maksud agar supaya orang tidak menganut agama apa pun juga, yang bersendikan Ketuhanan Yang Maha EsaHal inilah yang kemudian menjadi bertentangan dengan ide yang dibawa oleh pemikir liberal multikulturalis tentang keterbukaan, dan kesempatan untuk memilih melakukan sesuatu yang berkaitan dengan pemilihan identitas. Peraturan tersebut walaupun tidak secara jelas melarang keberadaan non-believers tetapi juga tidak memberikan tempat bagi mereka. Dan hal inilah yang menyebabkan banyak dari penduduk di Indonesia yang tidak toleran terhadap keberadaan non-believers, apalagi dengan ancaman hukuman. Akan tetapi seiring dengan waktu terdapat perubahan-perubahan yang timbul karena adanya informasi dan penelaahan baru dari hukum diIndonesia yang dimana hal ini dapat menjadi dasar baru bagi pemikiran multikulturalisme liberal khususnya dalam identitas sebagai non-believers untuk menjalankan kehidupannya diIndonesia. Setelah orde baru yaitu era reformasi presiden Habibie mengeluarkan UU No.39/199 tentang HAM (dalam Bawono & Kusumasari, 2012) yang pasal 4 menyatakan bahwa..Hak kebebasan pribadi, pikiran, dan hati nurani, hak beragama...adalah hal asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun oleh siapapun. Dimana pasal 22 (dalam Bawono & Kusumasari, 2012) juga mengatakan bahwa setiap orang bebas memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu. Pada 18 Agustus tahun 2000 juga MPR mengamandemen UUD 1945 dalam Bab X tentang HAM (dalam Bawono & Kusumasari, 2012) dimana:Pasal 28E: (1) setiap orang bebas memeluk agama dan beribadat menurut agamanya, memilih pendidikan dan pengajaran, memilih pekerjaan, memilih kewarganegaraan, memilih tempat tinggal di wilayah negara dan meninggalkannya, serta berhak kembali. (2) setiap orang berhak atas kebebasan meyakini kepercayaan, menyatakan pikiran dan sikap, sesuai dengan hati nuraninya (3)setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat. Pasal 28I: (1) hak untuk hidup, hak untuk tidak disikas, hak kemerdekaan pikiran dan hati nurani, hak beragama, hal untuk tidak diperbudak, hak untuk diakui sebagai pribadi dihadapan hukum dan hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut asalah hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun (2)setiap orang berhak bebas dari perlakukan yang bersifat diskriminatif atas dasar apapun dan berhak mendapatkan perlindungan terhadap perlakuan yang bersifat diskriminatif itu.Sedangkan dalam hal pengakuan identitas, walaupun hukum Indonesia tidak mengatur keberadaan non-believers keberadaan mereka dapat diakomodasi diIndonesia walaupun dengan batasan-batasan tertentu seperti pada Pasal 64 ayat 2 UU no 23/2006 tentang Administrasi Kependudukan menyebutkan, bagi Penduduk yang agamanya belum diakui sebagai agama berdasarkan ketentuan Peraturan Perundang-Undangan atau bagi penghayat kepercayaan tidak diisi.. Hal ini juga diperkuat oleh pernyataan Ketua Mahkamah Konstitusi Mahfud MD (dalam Kompas oleh Revianur, 2012), yang menyatakan bahwa keberadaan golongan penganut ateis dan sejenisnya diperbolehkan diIndonesia, karena merupakan bentuk kebebasan individu menganut paham tertentu, asalkan tidak mengganggu kebebasan orang lain terutama yang menganut agama tertentu, begitu juga sebaliknya.

Identitas sebagai non-believers disini seharusnya diperlakukan diIndonesia secara sama dengan identitas lainnya karena merupakan bagian dari identitas pilihan yang dibentuk karena adanya pendidikan dan juga merupakan bagian dari kebebasan memilih dan berekspresi seperti yang disebutkan oleh liberal multikulturalis. Walaupun beberapa hukum dan konstitusi diIndonesia bersifat ambigu dan tidak terlalu jelas, bukan berarti kemudian Undang-undang atau aturan tersebut kemudian lepas dari adanya penelitian, analisis, revisi dengan nilai nilai yang lebih valuable. Hal seperti itu sudah mulai terjadi pada level konstitusi walaupun secara kedalaman belum tentu menjamin keberadaan non-believers. Yang dibutuhkan oleh Indonesia hanyalah pendidikan, informasi dan sosialisasi serta toleransi tentang keadaan yang ada sehingga keberadaan non-believers atau bentuk identitas lainnya tidak menjadi minoritas dan tidak ditoleransi oleh warga negaranya. Intrepretasi secara menyeluruh dari Pancasila dibutuhkan secara mendalam dan bersifat terbuka, sehingga pemahaman tidak bersifat doktrinasi atau hanya mengambil secara literal, atau bahkan memahami satu sila atau poin tanpa menghubungkannya dengan sila atau undang-undang lain. Persatuan Indonesia melalui pendekatan multikulturalisme liberal dalam mengamlkan Pancasila dan prinsip Bhineka Tunggal Ika akan lebih mudah tercapai dan lebih kuat jika masyarakatnya mempunyai sifat yang toleran, cerdas, dan kritis terhadap perubahan kondisi masyarakat dan lingkungannya.

Referensi:Kymlica, Will. 1995. Multicultural Citizenship: A liberal theory of minority rights. Oxford:Clarendon Press. Muktiono. 2013. Mengkaji Politik Hukum Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan diIndonesia. [PDF] diakses dalam (http://fh.unsoed.ac.id/sites/default/files/fileku/dokumen/JDH2012/JDHMei2012/13.pdf) pada 12 Januari 2014 Heywood, Andrew. 2009. MULTICULTURALISM, IDENTITY AND DIVERSITY [word]diakses dalam (http://andrewheywood.co.uk/documents/Multiculturalism,%20Identity%20and%20Diversity.doc) pada 12 Januari 2014 Revianur, Aditya. 2012. Ketua MK: Ateis dan Komunitas Diperbolehkan [online] diaksesdalam (http://nasional.kompas.com/read/2012/07/10/22113452/Ketua.MK.Ateis.dan.Komunis.Diperbolehkan) pada 12 Januari 2014 Bawono, Adi C & Kusumasari, Diana. 2012. Bolehkah menjadi ateis di Indonesia? [online]diakses dalam (http://www.hukumonline.com/klinik/detail/lt4f4545a9b77df/bolehkah-menjadi-ateis-di-indonesia) pada 12 januari 2014 Loobuyk, Patrick. 2005. Liberal Multiculturalism: A defence of liberal multicultural measureswithout minority rights [pdf] diakses dalam (http://www.ssoar.info/ssoar/bitstream/handle/document/23012/ssoar-ethnicities-2005-1-loobuyck-liberal_multiculturalism.pdf?sequence=1) pada 12 Januari 2014