pandangan 5 agama terhadap euthanasia

26
EUTHANASIA DALAM PANDANGAN 5 AGAMA Pengertian Euthanasia 1. Euthanasia berasal dari bahasa Yunani, yaitu eu yang berarti indah, bagus, terhormat atau gracefully and with dignity, dan thanatos yang berarti mati. Jadi secara etimologis, euthanasia dapat diartikan sebagai mati dengan baik. Jadi sebenarnya secara harfiah, euthanasia tidak bisa diartikan sebagai suatu pembunuhan atau upaya menghilangkan nyawa seseorang. 2. euthanasia merupakan tindakan penghentian kehidupan manusia baik dengan cara menyuntikkan zat tertentu atau dengan meminum pil atau dengan cara lainnya. Tindakan ini muncul akibat terjadinya penderitaan yang berkepanjangan dari pasien. Di beberapa negara eropa dan sebagian Amerika Serikat, tindakan euthanasia ini telah mendapat izin dan legalitas negara. Pada umumnya mereka beranggapan bahwa menentukan hidup dan mati seseorang adalah hak asasi yang harus dijunjung tinggi. 3. Kode Etik Kedokteran Indonesia menggunakan euthanasia dalam tiga arti: a. Berpindahnya ke alam baka dengan tenang & aman tanpa penderitaan, buat yang beriman dengan nama Tuhan di bibir. b. Waktu hidup akan berakhir, diringankan penderitaan si sakit dengan memberi obat penenang. c. Mengakhiri penderitaan & hidup seorang sakit dengan sengaja atas permintaan pasien sendiri & keluarganya.

Upload: akper-pemda-indramayu

Post on 15-Apr-2017

1.710 views

Category:

Healthcare


1 download

TRANSCRIPT

Page 1: Pandangan 5 agama terhadap euthanasia

EUTHANASIA DALAM PANDANGAN 5 AGAMA

Pengertian Euthanasia

1. Euthanasia berasal dari bahasa Yunani, yaitu eu yang berarti indah, bagus, terhormat atau

gracefully and with dignity, dan thanatos yang berarti mati. Jadi secara etimologis,

euthanasia dapat diartikan sebagai mati dengan baik. Jadi sebenarnya secara harfiah,

euthanasia tidak bisa diartikan sebagai suatu pembunuhan atau upaya menghilangkan nyawa

seseorang.

2. euthanasia merupakan tindakan penghentian kehidupan manusia baik dengan cara

menyuntikkan zat tertentu atau dengan meminum pil atau dengan cara lainnya. Tindakan ini

muncul akibat terjadinya penderitaan yang berkepanjangan dari pasien. Di beberapa negara

eropa dan sebagian Amerika Serikat, tindakan euthanasia ini telah mendapat izin dan

legalitas negara. Pada umumnya mereka beranggapan bahwa menentukan hidup dan mati

seseorang adalah hak asasi yang harus dijunjung tinggi.

3. Kode Etik Kedokteran Indonesia menggunakan euthanasia dalam tiga arti:

a. Berpindahnya ke alam baka dengan tenang & aman tanpa penderitaan, buat yang

beriman dengan nama Tuhan di bibir.

b. Waktu hidup akan berakhir, diringankan penderitaan si sakit dengan memberi obat

penenang.

c. Mengakhiri penderitaan & hidup seorang sakit dengan sengaja atas permintaan pasien

sendiri & keluarganya.

4. Menurut Philo (50-20 SM) Euthanasia berarti mati dengan tenang dan baik, sedangkan

Suetonis penulis Romawi dalam bukunya yang berjudul Vita Ceaserum mengatakan bahwa

Euthanasia “mati cepat tanpa derita”. Sejak abad 19 terminologi euthanasia dipakai untuk

penghindaran rasa sakit dan peringanan pada umumnya bagi yang sedang menghadapi

kematian dengan pertolongan dokter.

Macam euthanasia

Page 2: Pandangan 5 agama terhadap euthanasia

Aktif

Euthanasia aktif artinya mengambil kehidupan seseorang untuk mengurangi penderitaannya.

Ada aspek kesengajaan mematikan orang tersebut, misalnya dengan menyuntikkan zat kimia

tertentu untuk mempercepat proses kematiannya.

Pasif

Euthanasia pasif artinya membiarkan si sakit mati secara alamiah tanpa bantuan alat bantu

seperti pemberian obat, makanan, atau alat bantu buatan. Euthanasia pasif, membiarkan

kematian. Euthanasia pasif biasanya dibedakan atas euthanasia pasif alamiah dengan bukan

alamiah. Euthanasia pasif alamiah berarti menghentikan pemberian penunjang hidup

alamiah seperti makanan, minuman dan udara. Sedangkan euthanasia pasif bukan alamiah

berarti menghentikan penggunaan alat bantu mekanik buatan misalnya mencabut respirator

(alat bantu pernapasan) atau organ-organ buatan. Euthanasia pasif alamiah sama dengan

pembunuhan sebab dengan sengaja membiarkan si sakit mati tanpa makan-minum

(membunuh pelan-pelan). Sedangkan mencabut alat bantu yang mungkin hanya berfungsi

memperpanjang ‘penderitaan’ tidak sama dengan membunuh sebab memang si sakit tidak

sengaja dimatikan melainkan dibiarkan mati secara alamiah.

Auto euthanasia,

Seorang pasien menolak secara tegas dengan sadar untuk menerima perawatan medis &

dia mengetahui bahwa hal ini akan memperpendek atau mengakhiri hidupnya. Dengan

penolakan tersebut ia membuat sebuah codicil (pernyataan tertulis tangan). Auto

euthanasia pada dasarnya adalah euthanasia pasif atas permintaan.

euthanasia voluter dan euthanasia non-voluter. Yang pertama berarti si sakit menghendaki

dan meminta sendiri dan mengetahui kematiannya.

euthanasia voluter sering disamakan dengan bunuh diri, sedangkan euthanasia non-voluter

sering disamakan dengan pembunuhan.

Voluntary euthanasia: Permohonan diajukan pasien karena, misalnya gangguan atau

penyakit jasmani yang dapat mengakibatkan kematian segera yang keadaannya diperburuk

oleh keadaan fisik & jiwa yang tidak menunjang.

Involuntary euthanasia: Keinginan yang diajukan pasien untuk mati tidak dapat dilakukan

karena, misalnya seseorang yang menderita sindroma Tay Sachs. Keputusan atau keinginan

Page 3: Pandangan 5 agama terhadap euthanasia

untuk mati berada pada pihak orang tua atau yang bertanggung jawab.

Sejarah Euthanasia

Kata eutanasia berasal dari bahasa Yunaniyaitu “eu” (= baik) and “thanatos” (maut, kematian)

yang apabila digabungkan berarti “kematian yang baik”. Hippokrates pertama kali menggunakan

istilah “eutanasia” ini pada “sumpah Hippokrates” yang ditulis pada masa 400-300 SM.

Sumpah tersebut berbunyi: “Saya tidak akan menyarankan dan atau memberikan obat yang

mematikan kepada siapapun meskipun telah dimintakan untuk itu”.

Dalam sejarah hukum Inggris yaitu common law sejak tahun 1300 hingga saat “bunuh diri”

ataupun “membantu pelaksanaan bunuh diri” tidak diperbolehkan.

Eutanasia dalam dunia modern

Sejak abad ke-19, eutanasia telah memicu timbulnya perdebatan dan pergerakan di wilayah

Amerika Serikat dan di Eropa Pada tahun 1828 undang-undang anti eutanasia mulai

diberlakukan di negara bagian New York, yang pada beberapa tahun kemudian diberlakukan

pula oleh beberapa negara bagian. Setelah masa Perang Saudara, beberapa advokat dan beberapa

dokter mendukung dilakukannya eutanasia secara sukarela.

Kelompok-kelompok pendukung eutanasia mulanya terbentuk di Inggris pada tahun 1935 dan di

Amerika pada tahun 1938 yang memberikan dukungannya pada pelaksanaan eutanasia agresif,

walaupun demikian perjuangan untuk melegalkan eutanasia tidak berhasil digolkan di Amerika

maupun Inggris.

Pada tahun 1937, eutanasia atas anjuran dokter dilegalkan di Swiss sepanjang pasien yang

bersangkutan tidak memperoleh keuntungan daripadanya. Pada era yang sama, pengadilan

Amerika menolak beberapa permohonan dari pasien yang sakit parah dan beberapa orang tua

yang memiliki anak cacat yang mengajukan permohonan eutanasia kepada dokter sebagai bentuk

“pembunuhan berdasarkan belas kasihan”.

Page 4: Pandangan 5 agama terhadap euthanasia

Pada tahun 1939, pasukan Nazi Jerman melakukan suatu tindakan kontroversial dalam suatu

“program” eutanasia terhadap anak-anak di bawah umur 3 tahun yang menderitan

keterbelakangan mental, cacat tubuh, ataupun gangguan lainnya yang menjadikan hidup mereka

tak berguna. Program ini dikenal dengan nama Aksi T4 (“Action T4″) yang kelak diberlakukan

juga terhadap anak-anak usia di atas 3 tahun dan para jompo / lansia.

Eutanasia pada masa setelah perang dunia

Setelah dunia menyaksikan kekejaman Nazi dalam melakukan kejahatan eutanasia, pada era

tahun 1940 dan 1950 maka berkuranglah dukungan terhadap eutanasia, terlebih-lebih lagi

terhadap tindakan eutanasia yang dilakukan secara tidak sukarela ataupun karena disebabkan

oleh cacat genetika.

Praktek-praktek eutanasia zaman dahulu kala

Praktek-praktek Eutanasia yang dilaporkan dalam berbagai tindakan masyarakat:

Di India pernah dipraktekkan suatu kebiasaan untuk melemparkan orang-orang tua ke dalam

sungai Gangga.

Di Sardinia orang tua dipukul hingga mati oleh anak laki-laki tertuanya di zaman purba.

Uruguay mencantumkan kebebasan praktek eutanasia dalam undang-undang yang telah

berlaku sejak tahun 1933

Di beberapa negara Eropa, praktek eutanasia bukan lagi kejahatan kecuali di Norwegia yang

sejak 1902 memperlakukannya sebagai kejahatan khusus.

Di Amerika Serikat, khususnya di semua negara bagian mencantumkan eutanasia sebagai

kejahatan. Bunuh diri atau membiarkan dirinya dibunuh adalah melanggar hukum di

Amerika Serikat.

Satu-satunya negara yang dapat melakukan tindakan eutanasia bagi para anggotanya adalah

Belanda. Anggota yang telah diterima dengan persyaratan tertentu dapat meminta tindakan

eutanasia atas dirinya. Ada beberapa warga Amerika Serikat yang menjadi anggotanya.

Eutanasia ditinjau dari sudut cara pelaksanaannya

Page 5: Pandangan 5 agama terhadap euthanasia

Ditinjau dari sudut maknanya maka eutanasia dapat digolongkan menjadi tiga yaitu eutanasia

pasif, eutanasia agresif dan eutanasia non agresif

Eutanasia agresif : atau suatu tindakan eutanasia aktif yaitu suatu tindakan secara sengaja

yang dilakukan oleh dokter atau tenaga kesehatan lain untuk mempersingkat atau

mengakhiri hidup si pasien. Misalnya dengan memberikan obat-obatan yang mematikan

seperti misalnya pemberian tablet sianida atau menyuntikkan zat-zat yang mematikan ke

dalam tubuh pasien.

Eutanasia non agresif : atau kadang juga disebut autoeuthanasia (eutanasia otomatis)yang

termasuk kategori eutanasia negatif yaitu dimana seorang pasien menolak secara tegas dan

dengan sadar untuk menerima perawatan medis dan sipasien mengetahui bahwa

penolakannya tersebut akan memperpendek atau mengakhiri hidupnya. Dengan penolakan

tersebut ia membuat sebuah “codicil” (pernyataan tertulis tangan). Auto-eutanasia pada

dasarnya adalah suatu praktek eutanasia pasif atas permintaan.

Eutanasia pasif : juga bisa dikategorikan sebagai tindakan eutanasia negatif yang tidak

menggunakan alat-alat atau langkah-langkah aktif untuk mengakhiri kehidupan si sakit.

Tindakan pada eutanasia pasif ini adalah dengan secara sengaja tidak (lagi) memberikan

bantuan medis yang dapat memperpanjang hidup pasien. Misalnya tidak memberikan

bantuan oksigen bagi pasien yang mengalami kesulitan dalam pernapasan atau tidak

memberikan antibiotika kepada penderita pneumonia berat ataupun meniadakan tindakan

operasi yang seharusnya dilakukan guna memperpanjang hidup pasien, ataupun dengan cara

pemberian obat penghilang rasa sakit seperti morfin walaupun disadari bahwa pemberian

morfin ini juga dapat berakibat ganda yaitu mengakibatkan kematian. Eutanasia pasif ini

seringkali secara terselubung dilakukan oleh kebanyakan rumah sakit.

mengintervensi dalam bentuk apapun terhadap hak mutlak tersebut tanpa sebuah alasan yang

kuat.

Menurut agama Islam sendiri euthanasia memiliki berbagai pendapat dari segi

diperbolehkannya atau tidak diperbolehkanyna melakukan tindakan euthanasia karena

alasan-alasan tertentu.

Syariah Islam merupakan syariah sempurna yang mampu mengatasi segala persoalan di

segala waktu dan tempat.

Page 6: Pandangan 5 agama terhadap euthanasia

Bagaimanakah hukumnya menurut Syariah Islam?

Hukum Euthanasia dalam syariah islam dapat di jawab menurut macamnya, yakni :

Euthanasia Aktif

Syariah Islam mengharamkan euthanasia aktif, karena termasuk dalam kategori pembunuhan

sengaja (al-qatlu al-‘amad) walaupun niatnya baik yaitu untuk meringankan penderitaan pasien.

Hukumnya tetap haram, walaupun atas permintaan pasien sendiri atau keluarganya.

Dalil-dalil dalam masalah ini sangatlah jelas, yaitu dalil-dalil yang mengharamkan pembunuhan.

Baik pembunuhan jiwa orang lain, maupun membunuh diri sendiri.

Misalnya Firman Allah SWT :

Dan janganlah kamu membunuh jiwa yang diharamkan Allah (untuk membunuhnya)

melainkan dengan sesuatu (sebab) yang benar. (QS Al-An’am : 151)

Dan tidak layak bagi seorang mu`min membunuh seorang mu`min (yang lain), kecuali

karena tersalah (tidak sengaja).(QS An-Nisaa` : 92)

Dan janganlah kamu membunuh dirimu, sesungguhnya Allah adalah Maha Penyayang

kepadamu. (QS An-Nisaa` : 29).

Dari dalil-dalil di atas, jelaslah bahwa haram hukumnya bagi dokter melakukan euthanasia aktif.

Sebab tindakan itu termasuk ke dalam kategori pembunuhan sengaja (al-qatlu al-amad) yang

merupakan tindak pidana (jarimah) dan dosa besar.

Dokter yang melakukan euthanasia aktif, misalnya dengan memberikan suntikan mematikan,

menurut hukum pidana Islam akan dijatuhi qishash (hukuman mati karena membunuh), oleh

pemerintahan Islam (Khilafah), sesuai firman Allah :

“Telah diwajibkan atas kamu qishash berkenaan dengan orang-orang yang dibunuh” (QS Al-

Baqarah : 178). Namun jika keluarga terbunuh (waliyyul maqtuul) menggugurkan qishash

(dengan memaafkan), qishash tidak dilaksanakan. Selanjutnya mereka mempunyai dua pilihan

lagi, meminta diyat (tebusan), atau memaafkan/menyedekahkan. Firman Allah SWT :

”Maka barangsiapa yang mendapat suatu pemaafan dari saudaranya, hendaklah (yang

memaafkan) mengikuti dengan cara yang baik, dan hendaklah (yang diberi maaf) membayar

(diyat) kepada yang memberi maaf dengan cara yang baik (pula)” (QS Al-Baqarah : 178)

Page 7: Pandangan 5 agama terhadap euthanasia

Diyat untuk pembunuhan sengaja adalah 100 ekor unta di mana 40 ekor di antaranya dalam

keadaan bunting,berdasarkan hadits Nabi riwayat An-Nasa`i (Al-Maliki, 1990: 111).

Jika dibayar dalam bentuk dinar (uang emas) atau dirham (uang perak), maka diyatnya adalah

1000 dinar, atau senilai 4250 gram emas (1 dinar = 4,25 gram emas), atau 12.000 dirham, atau

senilai 35.700 gram perak (1 dirham = 2,975 gram perak) (Al-Maliki, 1990: 113).

Tidak dapat diterima, alasan euthanasia aktif yang sering dikemukakan yaitu kasihan melihat

penderitaan pasien sehingga kemudian dokter memudahkan kematiannya. Alasan ini hanya

melihat aspek lahiriah (empiris), padahal di balik itu ada aspek-aspek lainnya yang tidak

diketahui dan tidak dijangkau manusia.

Dengan mempercepat kematian pasien dengan euthanasia aktif, pasien tidak mendapatkan

manfaat (hikmah) dari ujian sakit yang diberikan Allah kepada-Nya,yaitu pengampunan dosa.

Rasulullah SAW bersabda,”Tidaklah menimpa kepada seseorang muslim suatu musibah, baik

kesulitan, sakit, kesedihan, kesusahan, maupun penyakit, bahkan duri yang menusuknya, kecuali

Allah menghapuskan kesalahan atau dosanya dengan musibah yang menimpanya itu.(HR

Bukhari dan Muslim).

Euthanasia Pasif

Adapun hukum euthanasia pasif, sebenarnya faktanya termasuk dalam praktik menghentikan

pengobatan. Tindakan tersebut dilakukan berdasarkan keyakinan dokter bahwa pengobatan yag

dilakukan tidak ada gunanya lagi dan tidak memberikan harapan sembuh kepada pasien. Karena

itu, dokter menghentikan pengobatan kepada pasien, misalnya dengan cara menghentikan alat

pernapasan buatan dari tubuh pasien. Bagaimanakah hukumnya menurut Syariah Islam?

Jawaban untuk pertanyaan itu, bergantung kepada pengetahuan kita tentang hukum berobat (at-

tadaawi) itu sendiri. Yakni, apakah berobat itu wajib, mandub,mubah, atau makruh? Dalam

masalah ini ada perbedaan pendapat. Menurut jumhur ulama, mengobati atau berobat itu

hukumnya mandub (sunnah), tidak wajib. Menurut Abdul Qadim Zallum (1998:68) hukum

berobat adalah mandub. Tidak wajib. Hal ini berdasarkan berbagai hadits, di mana pada satu sisi

Nabi SAW menuntut umatnya untuk berobat, sedangkan di sisi lain, ada qarinah (indikasi)

bahwa tuntutan itu bukanlah tuntutan yang tegas (wajib), tapi tuntutan yang tidak tegas (sunnah).

Di antara hadits-hadits tersebut, adalah hadits bahwa Rasulullah SAW bersabda :

Page 8: Pandangan 5 agama terhadap euthanasia

“Sesungguhnya Allah Azza Wa Jalla setiap kali menciptakan penyakit, Dia ciptakan pula

obatnya. Maka berobatlah kalian!” (HR Ahmad, dari Anas RA)

Hadits di atas menunjukkan Rasulullah SAW memerintahkan untuk berobat. Menurut ilmu

Ushul Fiqih, perintah (al-amr) itu hanya memberi makna adanya tuntutan (li ath-thalab), bukan

menunjukkan kewajiban (li al-wujub). Ini sesuai kaidah ushul : Al-Ashlu fi al-amri li ath-thalab

“Perintah itu pada asalnya adalah sekedar menunjukkan adanya tuntutan.” (An-Nabhani, 1953)

Jadi, hadits riwayat Imam Ahmad di atas hanya menuntut kita berobat. Dalam hadits itu tidak

terdapat suatu indikasi pun bahwa tuntutan itu bersifat wajib. Bahkan, qarinah yang ada dalam

hadits-hadits lain justru menunjukkan bahwa perintah di atas tidak bersifat wajib.

Hadits-hadits lain itu membolehkan tidak berobat. Di antaranya ialah hadits yang diriwayatkan

Ibnu Abbas RA, bahwa seorang perempuan hitam pernah datang kepada Nabi SAW lalu

berkata,”Sesungguhnya aku terkena penyakit ayan (epilepsi) dan sering tersingkap auratku [saat

kambuh]. Berdoalah kepada Allah untuk kesembuhanku!” Nabi SAW berkata,”Jika kamu mau,

kamu bersabar dan akan mendapat surga. Jika tidak mau, aku akan berdoa kepada Allah agar Dia

menyembuhkanmu.” Perempuan itu berkata,”Baiklah aku akan bersabar,” lalu dia berkata

lagi,”Sesungguhnya auratku sering tersingkap [saat ayanku kambuh], maka berdoalah kepada

Allah agar auratku tidak tersingkap.” Maka Nabi SAW lalu berdoa untuknya. (HR Bukhari)

Hadits di atas menunjukkan bolehnya tidak berobat. Jika hadits ini digabungkan dengan hadits

pertama di atas yang memerintahkan berobat, maka hadits terakhir ini menjadi indikasi (qarinah),

bahwa perintah berobat adalah perintah sunnah, bukan perintah wajib. Kesimpulannya, hukum

berobat adalah sunnah (mandub), bukan wajib (Zallum, 1998:69).

Dengan demikian, jelaslah pengobatan atau berobat hukumnya sunnah, termasuk dalam hal ini

memasang alat-alat bantu bagi pasien. Jika memasang alat-alat ini hukumnya sunnah, apakah

dokter berhak mencabutnya dari pasien yag telah kritis keadaannya? Abdul Qadim Zallum

(1998:69) mengatakan bahwa jika para dokter telah menetapkan bahwa si pasien telah mati

organ otaknya, maka para dokter berhak menghentikan pengobatan, seperti menghentikan alat

bantu pernapasan dan sebagainya. Sebab pada dasarnya penggunaan alat-alat bantu tersebut

adalah termasuk aktivitas pengobatan yang hukumnya sunnah, bukan wajib. Kematian otak

tersebut berarti secara pasti tidak memungkinkan lagi kembalinya kehidupan bagi pasien.

Page 9: Pandangan 5 agama terhadap euthanasia

Meskipun sebagian organ vital lainnya masih bisa berfungsi, tetap tidak akan dapat

mengembalikan kehidupan kepada pasien, karena organ-organ ini pun akan segera tidak

berfungsi.

Berdasarkan penjelasan di atas, maka hukum pemasangan alat-alat bantu kepada pasien adalah

sunnah, karena termasuk aktivitas berobat yang hukumnya sunnah. Karena itu, hukum euthanasia

pasif dalam arti menghentikan pengobatan dengan mencabut alat-alat bantu pada pasien –setelah

matinya/rusaknya organ otak—hukumnya boleh (jaiz) dan tidak haram bagi dokter. Jadi setelah

mencabut alat-alat tersebut dari tubuh pasien, dokter tidak dapat dapat dikatakan berdosa dan

tidak dapat dimintai tanggung jawab mengenai tindakannya itu (Zallum, 1998:69; Zuhaili,

1996:500; Utomo, 2003:182).

Namun untuk bebasnya tanggung jawab dokter, disyaratkan adanya izin dari pasien, walinya,

atau washi-nya (washi adalah orang yang ditunjuk untuk mengawasi dan mengurus pasien). Jika

pasien tidak mempunyai wali, atau washi, maka wajib diperlukan izin dari pihak penguasa (Al-

Hakim/Ulil Amri) (Audah, 1992 : 522-523). Menurut MUI (Majlis Ulama’ Indonesia)

Euthanasia dalam keadaan aktif maupun dalam keadaan pasif, menurut fatwa MUI, tidak

diperkenankan karena berarti melakukan pembunuhan atau menghilangkan nyawa orang lain.

Lebih lanjut, KH Ma’ruf Amin (Ketua Komisi Fatwa Majelis Ulama Indonesia) mengatakan,

euthanasia boleh dilakukan dalam kondisi pasif yang sangat khusus.

Kondisi pasif tersebut, dimana seseorang yang tergantung oleh alat penunjang kehidupan tetapi

ternyata alat tersebut lebih dibutuhkan oleh orang lain atau pasien lain yang memiliki tingkat

peluang hidupnya lebih besar, dan pasien tersebut keberadaannya sangat dibutuhkan oleh

masyarakat. Sedangkan, kondisi aktif adalah kondisi orang yang tidak akan mati bila hanya

dicabut alat medis perawatan, tetapi memang harus dimatikan.

Mengenai dalil atau dasar fatwa MUI tentang pelarangan “euthanasia”, dia menjelaskan dalilnya

secara umum yaitu tindakan membunuh orang dan karena faktor keputusasaan yang tidak

diperbolehkan dalam Islam. Dia mengungkapkan, dasar pelarangan euthanasia memang tidak

terdapat secara spesifik dalam Al Quran maupun Sunnah Nabi. “Hak untuk mematikan seseorang

Page 10: Pandangan 5 agama terhadap euthanasia

ada pada Allah SWT,” ujarnya menambahkan.

Hubungan Eutahanasia dengan Jarimah

Tindakan euthanasia dalam hukum Islam belum ada kejelasan dalam hal pengkategorian

tindakan pembunuhan yang merupakan suatu jarimah. Sebagaimana diketahui bahwa suatu

perbuatan dapat digolongkan sebagai suatu jarimah apabila memenuhi unsur-unsur jarimah.

Dalam hukum pidana Islam dikenal dua unsur jarimah yaitu jarimah umum dan khusus. Yang

dimaksud dengan unsur- unsur umum yaitu unsur-unsur yang terdapat pada setiap jarimah,

sedangkan unsur khusus adalah unsur yang hanya ada pada jenis jarimah tertentu dan tidak

terdapat pada jenis jarimah yang lain. Adapun yang termasuk unsur umum jarimah adalah

sebagai berikut:

Unsur Formal, yaitu adanya nash atau ketentuan yang menunjuknya sebagai jarimah. Unsur

ini sesuai dengan prinsip yang menyatakan bahwa jarimah tidak terjadi sebelum dinyatakan

dalam nash.

Unsur material, yaitu adanya perbuatan yang melawan hukum yang pernah dilakukan.

Unsur moral, yaitu adanya niat pelaku untuk berbuat. Dengan kata lain, unsur ini

berhubungan dengan tanggung jawab pidana yang hanya dibebankan atas orang mukallaf

dalam keadaan bebas dari unsure keterpaksaan atau ketidaksadaran penuh.

Unsur khusus dari jarimah merupakan unsur yang membedakan antara jarimah yang satu

dengan jarimah yang lain. Misalnya unsur jarimah pembunuhan akan berbeda dengan unsur

jarimah pencurian, zina dan sebagainya.

Dalam hukum Islam, pembunuhan dikenal ada tiga macam, yaitu:

Pembunuhan sengaja (Al-qathl al’amd), yaitu suatu perbuatan yang direncanakan dahulu

dengan menggunakan alat dengan maksud menghilangkan nyawa

Pembunuhan semi sengaja (Al-qathl sibhu al-’amd), yaitu suatu perbuatan penganiayaan

terhadap seseorang tidak dengan maksud membunuhnya, tetapi mengakibatkan kematian.

Pembunuhan karena kesalahan (Al-qathl al-khatta), yaitu pembunuhan yang terjadi karena

adanya kesalahan dan tujuan perbuatannya.

Page 11: Pandangan 5 agama terhadap euthanasia

Dalam hukum Islam, hingga saat ini belum ada kejelasan atau kepastian tentang eksistensi

euthanasia, apakah euthanasia itu termasuk dalam jarimah atau bukan.

Meskipun dalam hukum Islam belum ada kejelasan atau ketidakpastian dalam menentukan

apakah euthanasia termasuk jarimah atau bukan, akan tetapi dalam hal euthanasia aktif yang

dilakukan hanya berdasar inisiatif dokter sendiri tanpa adanya persetujuan dari pasien. Sekiranya

dapat dimasukkan dalam kategori jarimah pembunuhan, dan pelaku dimungkinkan dihukum

sesuai dengan hukum jarimah yang ada. Pendapat demikian didasarkan atas pertimbangan karena

perbuatan itu telah memenuhi syaratsyarat untuk dapat dilaksanakan dalam qishash, antara lain:

Pembunuhan adalah orang yang baligh, sehat, dan berakal

Ada kesengajaan membunuh

Ikhtiyar (bebas dari paksaan)

Pembunuh bukan anggota keluarga korban

Jarimah dilakukan secara langsung.

Euthanasia Menurut Agama Hindu

Pandangan agama Hindu terhadap euthanasia didasarkan pada ajaran tentang karma, moksa dan

ahimsa. Karma merupakan suatu konsekwensi murni dari semua jenis kehendak dan maksud

perbuatan, yang baik maupun yang buruk, lahir atau bathin dengan pikiran kata-kata atau

tindakan. Sebagai akumulasi terus menerus dari “karma” yang buruk adalah menjadi penghalang

“moksa” yaitu suatu kebebasan dari siklus reinkarnasi yang menjadi suatu tujuan utama dari

penganut ajaran Hindu. Ahimsa merupakan prinsip “anti kekerasan” atau pantang menyakiti

siapapun juga.

Bunuh diri adalah suatu perbuatan yang terlarang didalam ajaran Hindu dengan pemikiran bahwa

perbuatan tersebut dapat menjadi suatu factor yang mengganggu pada saat reinkarnasi oleh

karena menghasilkan “karma” buruk. Kehidupan manusia merupakan suatu kesempatan yang

sangat berharga untuk meraih tingkat yang lebih baik dalam kehidupan kembali. Berdasarkan

kepercayaan umat Hindu, apabila seseorang melakukan bunuh diri, maka rohnya tidak akan

masuk neraka ataupun surga melainkan tetap berada didunia fana sebagai roh jahat dan berkelana

tanpa tujuan hingga ia mencapai masa waktu dimana seharusnya ia menjalani kehidupan

Page 12: Pandangan 5 agama terhadap euthanasia

(Catatan : misalnya umurnya waktu bunuh diri 17 tahun dan seharusnya ia ditakdirkan hidup

hingga 60 tahun maka 43 tahun itulah rohnya berkelana tanpa arah tujuan), setelah itu maka

rohnya masuk ke neraka menerima hukuman lebih berat dan akhirnya ia akan kembali ke dunia

dalam kehidupan kembali (reinkarnasi) untuk menyelesaikan “karma” nya terdahulu yang belum

selesai dijalaninya kembali lagi dari awal

Euthanasia Menurut Agama Budha

Euthanasia atau mercy killing baik yang aktif atau pasif tidak dibenarkan dalam agama Buddha

karena perbuatan membunuh atau mengakhiri kehidupan seseorang ini, walaupun dengan alasan

kasih sayang, tetap melanggar sila pertama dari Pancasila Buddhis. Perbuatan membunuh atau

mengakhiri hidup seseorang ini sesungguhnya tidak mungkin dapat dilakukan dengan kasih

sayang atau karuna. Orang yang memiliki kasih sayang tidak mungkin akan melakukan

perbuatan mengakhiri hidup seseorang karena ia menyadari bahwa sesungguhnya hidup

merupakan milik yang paling berharga bagi setiap makhluk. Ia yang memiliki kasih sayang tentu

akan menghargai kehidupan setiap makhluk. Ia yang memiliki kasih sayang tentu selalu ingin

berusaha untuk menghilangkan penderitaan makhluk lain, tetapi tentunya niat yang luhur ini

diwujudkan dengan cara yang benar dan tepat. Terhadap orang yang sedang sakit parah, ia akan

mengusahakan secara maksimal agar orang tersebut dapat sembuh.

Sesungguhnya orang yang ‘membunuh karena kasih sayang’ mempunyai ‘dosa citta’ atau pikiran

kebencian karena ia sesungguhnya tidak senang melihat keadaan orang yang sedang menderita

sakit itu. Ia tentu kesal dengan keadaan orangtuanya yang tidak kunjung sembuh dari

penyakitnya. Ia kesal karena ia harus mengeluarkan biaya yang besar untuk pengorbanan

orangtuanya itu. Mungkin untuk itu, ia harus meminjam uang ke sana ke mari yang nantinya

harus dikembalikan. Ia merasa direpotkan dengan hal-hal semacam itu.

Sang Buddha pernah bersabda sebagai berikut: “Orang itu, jika meninggal dunia pada saat itu,

pasti tumimbal lahir di alam dewa, sebab batin orang itu tenang. Orang itu, jika meninggal dunia

pada saat itu, pasti tumimbal lahir di alam neraka, sebab batin orang itu gelisah”. Dari sabda

Sang Buddha tersebut di atas, jelas bahwa batin atau pikiran seseorang pada saat ia akan

meninggal dunia sangat menentukan keadaan kehidupannya yang akan datang. Jika seseorang

Page 13: Pandangan 5 agama terhadap euthanasia

yang akan meninggal dunia itu mempunyai pikiran yang tenang dan penuh cinta kasih, maka ia

akan terlahir kembali di alam yang menyenangkan. Namun, sebaliknya jika mempunyai pikiran

yang tidak tenang dan penuh dengan kebencian, maka ia akan terlahir kembali di alam yang

menyedihkan. Dalam hal ini, batin seseorang dapat tenang atau tidak menjelang saat

kematiannya tentu tidak terlepas dari perbuatan yang pernah dilakukannya pada masa kehidupan

lampau. Ada orang yang sakit parah itu meninggal dengan pikiran yang tenang. Namun, pada

umumnya orang yang sedang menderita sakit itu mempunyai pikiran yang tidak tenang, kacau,

gelisah, dan takut. Jadi kalau kita mengakhiri hidup orang yang sedang sakit itu, maka ini berarti

kita menjerumuskannya ke alam yang menyedihkan.

Euthanasia Menurut Agama Kristen Katolik

Gereja Katolik telah berjuang untuk memberikan pedoman sejelas mungkin mengenai

penanganan terhadap mereka yang menderita sakit tak tersembuhkan, sehubungan dengan ajaran

moral Gereja mengenai euthanasia dan sistem penunjang hidup. Paus Pius XII tidak hanya

menjadi saksi dan mengutuk program-program egenetika dan euthanasia Nazi, melainkan juga

menjadi saksi atas dimulainya sistem-sistem modern penunjang hidup, Paus Yohanes Paulus II

prihatin dengan semakin meningkatnya praktek eutanasia, dalam ensiklik “Evangelium Vitae”

(No. 64) memperingatkan kita agar melawan “gejala yang paling mengkhawatirkan dari `budaya

kematian’. Katekismus Gereja Katolik (No 2276-2279) memberikan ikhtisar penjelasan ajaran

Gereja Katolik. Mengenai masalah ini, prinsip-prinsip berikut mengikat secara moral: Pertama,

Gereja Katolik berpegang teguh bahwa baik martabat setiap individu maupun anugerah hidup

adalah kudus. Kedua, setiap orang terikat untuk melewatkan hidupnya sesuai rencana Allah dan

dengan keterbukaan terhadap kehendak-Nya, dengan menaruh pengharapan akan kepenuhan

hidup di surga. Ketiga, dengan sengaja mengakhiri hidup sendiri adalah bunuh diri dan

merupakan penolakan terhadap rencana Allah.

Eutanasia secara harfiah diterjemahkan sebagai kematian yang baik atau kematian tanpa

penderitaan, adalah “tindakan atau pantang tindakan menurut hakikatnya atau dengan maksud

sengaja mendatangkan kematian, dengan demikian menghentikan setiap rasa sakit” (Declaratio

de Euthanasia). Dengan kata lain, eutanasia menyangkut mengakhiri hidup dengan sengaja

Page 14: Pandangan 5 agama terhadap euthanasia

melalui suatu tindakan langsung, seperti suntik mati, atau dengan suatu pantang, seperti

membiarkan kelaparan atau kehausan. Perlu dicatat bahwa eutanasia biasa dikenal sebagai

“membunuh karena kasihan”; istilah ini paling tepat sebab tindakan yang dilakukan bertujuan

untuk membunuh dengan sengaja, tak peduli betapa baik tujuannya, misalnya, untuk mengakhiri

penderitaan. Para Uskup Gereja Katolik mengukuhkan bahwa eutanasia itu pelanggaran berat

hukum Allah, karena berarti pembunuhan manusia yang disengaja dan dari sudut moril tidak

dapat diterima” (Evangelium Vitae, No. 65).

Pasien atau wali dalam kasus pasien tidak sadarkan diri berhak menolak secara tulus atau

mengakhiri prosedur-prosedur luar biasa tersebut, yang tidak lagi menjawab situasi nyata pasien,

tidak menawarkan manfaat yang proporsional, tidak menawarkan pengharapan yang masuk akal

akan manfaatnya, yang mendatangkan beban teramat berat bagi pasien maupun keluarga, atau

sekedar karena “kegagahan”. Keputusan yang demikian adalah yang paling tepat apabila

kematian jelas di ambang pintu serta tak terhindarkan. Di sini, orang dapat menolak bentuk-

bentuk perawatan yang hanya sekedar memperpanjang hidup dengan disertai resiko dan beban

berat. Dalam kasus-kasus demikian, orang dapat menyerahkan diri ke dalam tangan kasih Tuhan

dan bersiap diri meninggalkan dunia ini, sembari mempertahankan sarana-sarana perawatan

kesehatan biasa.

Sebagai contoh ada orang yang menghadapi ajal karena prostrate yang telah menjalar ke

seluruh tubuhnya. Terakhir kali saya menjenguknya di rumah sakit, ia telah dalam keadaan

koma. ia makan lewat selang makanan dan bernapas lewat respirator. Ia mengalami gagal ginjal

pula. Para dokter menyampaikan kepada keluarga bahwa tak ada lagi yang dapat mereka lakukan

dan bahwa situasinya tak dapat berubah. Hingga tahap itu, teknologi medis tak dapat

memberikan pengharapan kesembuhan atau manfaat, melainkan hanya sekedar menunda proses

kematian. Keluarga memutuskan untuk menghentikan respirator, yang sekarang telah menjadi

sarana luar biasa, dan beberapa menit kemudian oaring tersebut pun pergi menjumpai Tuhan-

nya. Tindakan ini secara moral dibenarkan dan dibedakan dari tindakan mengakhiri hidup secara

sengaja.

Euthanasia Menurut Agama Kristen Protestan

Page 15: Pandangan 5 agama terhadap euthanasia

Gereja Protestan terdiri dari berbagai denominasi yang mana memiliki pendekatan yang berbeda-

beda dalam pandangannya terhadap eutanasia dan orang yang membantu pelaksanaan eutanasia.

Beberapa pandangan dari berbagai denominasi tersebut misalnya :

Gereja Methodis (United Methodist church) dalam buku ajarannya menyatakan bahwa : ”

penggunaan teknologi kedokteran untuk memperpanjang kehidupan pasien terminal

membutuhkan suatu keputusan yang dapat dipertanggung jawabkan tentang hingga

kapankah peralatan penyokong kehidupan tersebut benar-benar dapat mendukung

kesempatan hidup pasien, dan kapankah batas akhir kesempatan hidup tersebut”.

Gereja Lutheran di Amerika menggolongkan nutrisi buatan dan hidrasi sebagai suatu

perawatan medis yang bukan merupakan suatu perawatan fundamental. Dalam kasus dimana

perawatan medis tersebut menjadi sia-sia dan memberatkan, maka secara tanggung jawab

moral dapat dihentikan atau dibatalkan dan membiarkan kematian terjadi.

Seorang kristiani percaya bahwa mereka berada dalam suatu posisi yang unik untuk

melepaskan pemberian kehidupan dari Tuhan karena mereka percaya bahwa kematian tubuh

adalah merupakan suatu awal perjalanan menuju ke kehidupan yang lebih baik.

Lebih jauh lagi, pemimpin gereja Katolik dan Protestan mengakui bahwa apabila tindakan

mengakhiri kehidupan ini dilegalisasi maka berarti suatu pemaaf untuk perbuatan dosa, juga

dimasa depan merupakan suatu racun bagi dunia perawatan kesehatan, memusnahkan

harapan mereka atas pengobatan.

Sejak awalnya, cara pandang yang dilakukan kaum kristiani dalam menanggapi masalah “bunuh

diri” dan “pembunuhan berdasarkan belas kasihan (mercy killing) adalah dari sudut “kekudusan

kehidupan” sebagai suatu pemberian Tuhan. Mengakhiri hidup dengan alasan apapun juga

adalah bertentangan dengan maksud dan tujuan pemberian tersebut.

Contoh Kasus Nyata euthanasia

Kasus Ny Agian, RS Telah Lakukan Euthanasia Pasif

Muhammad Atqa – detikNewsJakarta – Masih ingat Ny Agian yang karena lama tidak sadarkan

diri dari sakitnya membuat sang suami minta agar RS menyuntik mati saja (euthanasia), tapi

Page 16: Pandangan 5 agama terhadap euthanasia

ditolak? Menurut dr Marius Widjajarta, apa yang dilakukan RS terhadap Ny Agian sudah masuk

kategori euthanasia pasif. “Sebenarnya pihak RS sudah melaksanakan euthanasia pasif. Kalau

orang yang tidak punya uang dan membuat suatu pernyataan tidak mau dirawat, itu sudah

merupakan euthanasia pasif meskipun euthanasia dapat diancam hingga 12 tahun penjara,” kata

Marius dari Yayasan Konsumen Kesehatan Indonesia menjawab pertanyaan wartawan. Seperti

diketahui, Ny Agian Isna Nauli (33) hingga kini dirawat di bagian stroke RSCM, Jakarta, setelah

berbulan-bulan tidak sadarkan diri pasca melahirkan. Karena ketiadaan ongkos, suaminya

(Hassan Kusuma) meminta RSCM menyuntik mati istrinya karena dirasa tidak ada harapan

hidup normal kembali. Tapi RSCM menolak menyuntik mati Agian karena secara kedokteran

tidak bisa dikatakan koma meskipun dia tidak bisa melakukan kontak. Dalam istilah kedokteran,

pasien mengalami gangguan komplikasi, digolongkan sebagai stroke, sehingga tidak ada alasan

untuk euthanasia. Selain itu, di Indonesia, euthanasia tidak dibenarkan dalam etika dokter juga

dalam hukum “Jadi saya rasa, kalau pembiayaan kesehatan sudah ditanggung negara dengan

disahkannya UU Sistem Jaminan Sosial, maka saya rasa kasus-kasus euthanasia tidak terulang

lagi,” sambung dr Marius. Bagaimana dengan permintaan euthanasia bukan alasan biaya, tapi

karena tidak punya harapan hidup? “Karena itulah saya sudah menganjurkan pada pemerintah,

profesi, ahli hukum, dan agama, kalau euthaniasi diatur lagi sesuai peraturan. Jangan seperti

sekarang, boleh atau tidak boleh. Tetapi, harus ada jalan keluarnya bahwa pasien mempunyai hak

untuk memilih,” demikian dr Marius.