pamali pada masyarakat kristen suatu kajian …
TRANSCRIPT
i
PAMALI PADA MASYARAKAT KRISTEN
SUATU KAJIAN SOSIO-TEOLOGIS TERHADAP GEREJA KRISTEN
SUMBA JEMAAT KABALIDANA CABANG MILLA ATE DI DESA
UMBAROTTOK SUMBA BARAT DAYA
Oleh :
Maria Fransiska Eka Putri Ayu Lede
712015067
TUGAS AKHIR
Diajukan kepada Program Studi : Ilmu Teologi, Fakultas Teologi
Guna memenuhi sebagian persyaratan untuk mencapai gelar Sarjana Sains
Teologi
FAKULTAS TEOLOGI
UNIVERSITAS KRISTEN SATYA WACANA
SALATIGA
2019
ii
iii
iv
v
vi
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis panjatkan ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa, karena
berkat dan penyertaanNya penulis dapat menyelesaikan tugas akhir dengan judul
“Pamali Pada Masyarakat Kristen Suatu Kajian Sosio Teologis Terhadap Gereja
Kristen Sumba Jemaat Kabalidana Cabang Milla Ate Di Desa Umbarottok Sumba
Barat Daya” mulai dari seminar proposal, riview jurnal dan penyelesaian penulisan
TA. Penelitian dan penulisan tugas akhir ini merupakan syarat kelulusan dan guna
mendapatkan gelar Sarjana Sains Teologi Program Studi Ilmu Teologi Fakultas
Teologi Universitas Kristen Satya Wacana. Berkat bantuan dari beberapa pihak,
penulis ingin mengucapkan terimakasih kepada pihak – pihak yang terlibat mulai
dari awal menggerjakan tugas akhir hingga penyelesaian tugas akhir, yaitu kepada:
1. Keluarga tercinta, terkhususnya kedua orang tua, Samuel Ngongo Lede dan
Theresiana Bulu, yang selalu memberi dukungan doa, kasih sayang,
motivasi, semangat dan materi kepada penulis selama proses perkuliahan
hingga menyelesaikan pendidikan. Kepada adik-adik tersayang, Fanti Lede,
Jimmi Ate, si kembar adit dan aril, dan semua keluarga besar yang juga
selalu memberikan dukungan baik itu moral dan moril sehingga dapat
menyelesaikan pendidikan.
Seluruh angkatan, dosen, pegawai dan staff tata usaha serta cleaning servise
Fakultas Teologi, Universitas Kristen Satya Wacana atas seluruh pelayanan,
kerja sama, dan dukungan bagi kami, khususnya penulis selaku mahasiswi
Fakultas Teologi.
2. Pdt. Dr. Rama Tulus Pilakoannu dan Dr. David Samiyono selaku dosen
pembimbing yang selalu sabar dan penuh ketulusan serta tanggung jawab
untuk membimbing, menuntun, dan mengarahkan, serta memberikan
semangat dan motivasi sehingga penulis dapat menyelesaikan Tugas Akhir
ini.
3. Pdt. Prasetyawan Koesworo selaku supervisor lapangan PPL I – VIII, dan
mama Pdt. Sofiani Talo, selaku supervisor lapangan PPL X atas seluruh
dukungan dan bimbingan selama penulis melakukan proses PPL, tidak
hanya sebagai upaya memenuhi tuntutan pendidikan, tetapi juga sebagai
vii
sumber pengalaman dan pengetahuan lapangan yang sangat bermanfaat
bagi penulis.
4. Seluruh majelis dan jemaat GKS Kenduwela yang menjadi tempat bagi
penulis mendapatkan berbagai pembelajaran serta pengalaman untuk
menjadi seorang pendeta yang dapat melayani dengan baik.
5. Angkatan 2015 tersayang yang tidak pernah memiliki rasa malu ketika
bersama, selalu solid dalam keadaan apapun meskipun sudah sibuk dengan
berbagai urusan masing-masing namun tetap meluangkan waktu untuk
dapat bercerita bersama terutama dalam mengisi hari-hari penulis sampai
dapat menyelesaikan Pendidikan dengan baik.
6. Bacot Family atau yang biasa disebut Salah Fakultas yang masih mau
menjadi keluarga sampai penulis mengakhiri studi di UKSW. Ada banyak
suka dan duka serta berbagai masalah yang dilalui bersama tidak membuat
bacot family terpisah namun semakin memperkuat kekeluargaan. Untuk
Agi Manafe, Angel Dima, Inger Manimoy, Lena Bani, Vian silahoij, Desi
Thene, Filda Lakumani, Rano Ginting, Maron Burupau, terimakasih masih
mau berteman sampai saat ini dan untuk selamanya. KALIAN TERBAIK.
7. Saudara terkasih Veronika Maria Goreti Ghunu, Yustina Albertha Bela,
Yunifa Manu Milla serta setiap orang yang sudah seperti saudara namun
tidak bisa disebutkan tetapi akan selalu hadir dalam setiap untaian doa.
Kalian dihadirkan Tuhan untuk melengkapi hidup penulis, mungkin tanpa
dukungan doa, motivasi, canda-tawa, serta berbagai bahan gosip yang kita
biacarakan penulis tidak akan bisa sampai ke tahap ini. KALIAN
LUARBIASA.
8. Monica keju dan andreas yang senantiasa setia menemani penulis dalam
keadaan apapun dan meskipun dalam kesibukan selalu menyempatkan
waktu untuk berkumpul bersama. Penulis sangat bersyukur kita dapat
bertemu dalam perbedaan di IICF penulis tidak menyangka sampai saat ini
kita masih berteman dengan baik, saling berbagi sukacita melalui canda
tawa, gibahan tentang orang lain, maupun materi dewasa hehe. Jangan
pernah melupakan, dan jangan pernah berhenti merindu memang sedih
viii
ketika nantinya akan berpisah tetapi setidaknya ada kenangan yang pernah
kita ukir, Luv yaaaaa.
9. Keluarga PERWASUS terkhususnya angkatan 15 yang senantiasa
menghiasi kehidupan penulis selama berada di UKSW, kos Candy Ladies
tercinta yang mau menerima penulis untuk menjadi keluarga dalam satu
atap meskipun berbagai masalah terus menghampiri tetapi kita masih tetap
bersama hingga penulis menyelesaikan studi.
10. Segala warung makan di wilayah kemiri terkhususnya warung makan bu
Tuntun yang menjual makanan dengan harga anak kos sehingga daging
babi, daging ayam, gorengan serta sayuran dapat dinikmati dalam satu
piring. Untuk warung sayur bude penulis sangat mengucapkan terimakasih
untuk bahan makanan dengan harga terjangkau tanpa harus berbelanja ke
pasar raya. Makanan yang dinikmati oleh penulis sangat membantu penulis
dengan perut yang selalu terisi penuh sehingga membuat penulis semangat
dalam mengerjakan Tugas Akhir.
Semoga laporan Tugas Akhir ini dapat bermanfaat untuk pembaca. Penulis
memohon maaf jika masih banyak kekurangan dalam penulisan naskah Tugas
Akhir ini. Terimakasih
Salatiga, 10 Agustus 2019
Maria Fransiska Eka Putri Ayu Lede
ix
MOTTO
I can do all things through Christ which
strengtheneth me
(Philippinas 4 : 13)
x
DAFTAR ISI
HALAMA JUDUL .............................................................................................. i
LEMBAR PENGESAHAN ................................................................................ ii
PERNYATAAN TIDAK PLAGIAT ................................................................. iii
PERNYATAAN PERSETUJUAN AKSES ...................................................... iv
PERNYATAAN BEBAS ROYALITI DAN PUBLIKASI ................................ v
KATA PENGANTAR ................................................................................. vi-viii
MOTTO ............................................................................................................. ix
DAFTAR ISI ....................................................................................................... x
ABSTRAK ......................................................................................................... xi
1. PENDAHULUAN ....... ........................................................................... 1
1.1. Latar belakang .................................................................................. 1
1.2. Metode penelitian ............................................................................. 6
2. LANDASAN TEORI .............................................................................. 8
2.1. Kebudayaan ....................................................................................... 9
2.2. Tabu................................................................................................. 11
3. HASIL PENELITIAN ........................................................................... 15
3.1. Gambaran umum lokasi penelitian ................................................. 15
3.2.Situasi geografis kecamatan wejewa barat desa waimangura ......... 17
3.3.Keadaan Demografis ......................................................................... 18
3.4. Kondisi Perekonomian ................................................................... 18
3.5.Sistem Kekerabatan ........................................................................... 19
3.6.Keagamaan ........................................................................................ 20
3.7.Pamali ................................................................................................ 21
4. ANALISA ............................................................................................. 26
4.1.Pamali dalam Sosiologi ..................................................................... 26
4.2.Analisis Teologi ................................................................................ 29
5. PENUTUP ............................................................................................. 31
5.1. Kesimpulan .................................................................................... 31
5.2. Saran ............................................................................................... 32
DAFTAR PUSTAKA ................................................................................................ 34
xi
ABSTRAK
Agama menjadi suatu aspek penting dalam kehidupan manusia dan agama
juga sebagai sebuah pedoman dalam menjalani kehidupan. Namun tidak semua
memiliki keyakinan terhadap agama. Salah satunya kepercayaan terhadap arwah
para leluhur yang diyakini pada sebuah tempat maupun benda disebut Pamali dan
hanya orang-orang tertentu saja yang dapat melakukan komunikasi yang disebut
ketua adat. Agama juga berkaitan dengan kebudayaan yang dimana kebudayaan
adalah hal yang berhubungan dengan akal dan budi manusia terhadap sesuatu. Dua
komponen antara agama dan kebudayaan akan memunculkan yang disebut tabu.
Tabu adalah hal yang dipahami sebagai sesuatu yang terlarang. Penulis melihat
sesuatu hal menarik ketika ada orang Kristen yang juga berpartisipasi dalam
upacara adat dan masih mempercayai Pamali. Terkadang Pamali dihubungkan
dengan berbagai cerita mitos yang dipercayai masyarakat setempat sehingga tujuan
dari penulisan ingin melihat pemahaman terhadap Pamali serta alasan-alasan dasar
yang membuat orang Kristen masih mempercayai Pamali. Penelitian akan
dilakukan di Desa Umbarottok terkhususnya pada Jemaat Gereja Kristen Sumba
(GKS) Kabalidana cabang Milla Ate dengan metode penelitian yang digunakan
yaitu kualitatif yang sesuai dengan kebutuhan lapangan melaui observasi serta
wawancara. Rumusan masalah yang menjadi fokus dalam penulisan ialah apa dan
mengapa orang Kristen masih melakukan dan menaati Pamali. Berdasarkan hasil
penelitian yang dilakukan bahwa pamali sebagaimana diartikan sebagai aturan yang
dipercayai dapat membawa kedamaian jika ditaati dan membawa malapetaka jika
dilanggar. Hal tersebut terjadi di Gereja Kristen Sumba (GKS) Kabalidana cabang
Milla Ate yang masyarakatnya mempercayai perihal Marapu. Karena hal tersebut
sebagai bentuk kebudayaan masyarakat setempat dan hal yang tabu bagi jemaat.
Dalam penelitian ini ditemukan adanya bentuk-bentuk Pamali seperti tidak boleh
meludah atau mengeluarkan kata kasar didalam rumah adat karena rumah adalah
kebanggaan para leluhur, oleh karena itu kedisiplinan dan sopan santun diterapkan
dalam rumah adat.
Kata kunci : Pamali, masyarakat kristen, kebudayaan, gereja kristen sumba (gks)
jemaat kabalidana cabang milla ate.
1
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Kabupaten Sumba Barat Daya merupakan bagian dari Provinsi Nusa Tenggara
Timur, Indonesia yang adalah hasil dari pemekaran Kabupaten Sumba Barat pada
UU No 16 tahun 2007 tentang pembentukan Kabupaten Sumba Barat Daya dalam
Wilayah Provinsi Nusa Tenggara Timur (Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 18 Tahun 2007, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor
4692) sehingga menjadi salah satu Kabupaten dari 21 Kabupaten/ kota Madya di
Provinsi Nusa Tenggara Timur1. Kabupaten Sumba Barat Daya merupakan salah
satu Kabupaten yang berada di pulau Sumba dengan jumlah penduduk masyarakat
Sumba Barat Daya pada tahun 2015 mencapai 300 jiwa2 menurut Badan Pusat
Statistik (BPS) Kabupaten Sumba Barat Daya dengan ibukota yaitu Tambolaka.
Bentuk perekonomian yang merupakan penopang hidup masyarakat Sumba Barat
Daya yaitu berbisnis, bertani, buruh batu persegi, Pegawai Negeri Sipil (PNS),
pekerja kantoran dan berwirausaha tetapi tidak dapat di sangkal bahwa kemiskinan
merajalela di kabupaten ini. Harga yang berlaku menurut lapangan usaha pada
tahun 2010-2016 kisarannya mencapai 300 juta dengan penggunaan produk
domestik3. Letak geografis Kabupaten Sumba Barat Daya yaitu 9º,18 – 10º,20 LS
(Lintang Selatan) dan 118º,55 – 120º,23 BT (Bujur Timur)4. Kabupaten Sumba
Barat Daya memiliki luas wilayah 1.445,77 Km2. Wilayah ini sudah termasuk di
dalam kecamatan, kelurahan, dan desa. Kabupaten Sumba Barat Daya memiliki 8
kecamatan yang terbagi dalam beberapa desa dan kelurahan yang berjumlah 94 desa
dan 2 kelurahan yang tiap desa sudah memiliki pemimpin yang mengatur
wilayahnya sehingga dapat mengatur berbagai pendataan. Jika melihat kembali
asal-usul orang Sumba sendiri yang merupakan kaum imigran yang datang ke pulau
Sumba melalui Tanjung Sasar dan muara Sungai Pandawai5yang saat itu mulai
menyebar ke seluruh penjuru pulau Sumba. Perlu di ketahui Kabupaten Sumba
1 https://sbdkab.go.id./lama/index.php/selayang-pandang/pemerintah-daerah 2 https://sumbabaratdayakab.bps.go.id/ 3https://sumbabaratdayakab.bps.go.id/ 4 http://sbdkab.go.id/lama/index.php/selayang-pandang/geografi 5F.D WELLEM, “ INJIL DAN MARAPU”suatu studi Historis-Teologi tentang
Perjumpaan Injil dengan Masyarakat Sumba pada Periode 1876-1990. Hal 33
2
Barat Daya memilki batas-batas wilayah yang memisahkan satu wilayah dengan
wilayah lainnya.
Batas-batas wilayah Sumba Barat Daya berikut6 :
1. Sebelah Barat berbatasan dengan Samudera Hindia.
2. Sebelah Timur berbatasan dengan Kecamatan Tanahrighu, Kecamatan
Loli dan Kecamatan Lamboya, Kabupaten Sumba Barat.
3. Sebelah Utara berbatasan dengan Selat Sumba.
4. Sebelah Selatan berbatasan dengan Kecamatan Lamboya, Kabupaten
Sumba Barat, Samudera Hindia.
Desa yang berada di Kabupaten Sumba Barat Daya memiliki ceritanya masing-
masing. Berbicara tentang Kabupaten Sumba Barat Daya tidak terlepas dari
berbagai bentuk adat-istiadat yang menjadi sebuah kemelakatan dalam diri
masyarakat setempat karena adat-istiadat itu sendiri berhubungan langsung dengan
tingkah laku kehidupan mereka. Kembali pada desa-desa yang memiliki ceritanya
masing-masing di lihat dari nama-nama desa yaitu desa marokot yang memiliki arti
kering di karenakan desa tersebut memiliki daratan yang kering atau sumber mata
air yang sulit dijangkau lalu desa wannomuttu yaitu kampung yang pernah terbakar7.
Agama menjadi suatu aspek penting dalam daerah ini yang membuat
masyarakat memiliki pedoman untuk menjalani kehidupan, melalui agama
masyarakat Sumba Barat Daya boleh merasakan kasih Allah terlepas dari
pekabaran injil sehingga agama Kristen dapat hadir dalam kabupaten Sumba Barat
Daya, namun tidak semua orang meyakini kepercayaan pada agama Kristen namun
ada juga yang memiliki keyakinan pada leluhur yang sudah mendahului mereka
yaitu Marapu merupakan kepercayaan masyarakat setempat terhadap arwah
leluhur8.
Berbicara tentang Marapu terlebih dahulu mari kita melihat pendapat dari para
ahli : menurut L. Onvlee berpendapat bahwa kata Marapu terdiri dari dua kata ,
6 http://ditjenpdt.kemendesa.go.id/potensi/district/50-kabupaten-sumba-barat-daya 7 Hasil wawancara via telepon dengan bapak Samuel Ngongo Lede, 15 Juni 2018 8 Hasil wawancara via telepon dengan bapak Samuel Ngongo lede, 15 Juni 2018
3
yaitu ma dan rapu. Kata ma berarti “yang” sedangkan kata rapu berarti
“tersembunyi” itu berarti Marapu yang tersembunyi atau sesuatu yang
tersembunyi, yang dapat di lihat9. Selain Onvlee ada Yewangoe yang mempunyai
pendapat berbeda yaitu Yewangoe mengatakan bahwa terdapat kemungkinan kata
Marapu terdiri dari dua kata, yaitu kata mera dan appu. Mera berarti “serupa”
dan appu berarti “nenek moyang” jadi Marapu artinya serupa dengan nenek
moyang 10 . Berangkat dari beberapa pengertian tentang Marapu maka bisa di
katakan bahwa Marapu berkenaan dengan kepercayaan yang sudah ada secara
turun temurun dan sudah tertanam di dalam perilaku kehidupan masyarakat dan
rasa ketaatan untuk menghargai para leluhur yang sudah mendahului mereka.
Ada sebuah kepercayaan dalam Marapu yaitu Pamali merupakan sebuah
keyakinan pada tempat maupun benda yang diyakini memiliki penjaga dan
memiliki kekuatan sakral dan hanya orang-orang tertentu yang dapat memasuki,
menginjakkan kaki maupun memegang benda yang disakralkan sehingga hanya
ketua adat (rato adat) yang di berikan kepercayaan. Sebuah kampung yang masih
meyakini Pamali ialah kampung bernama Pumawo (artinya: tempat berteduh dari
sinar matahari) terletak di desa Waimangura kecamatan Wejewa Barat, Kabupaten
Sumba Barat Daya provinsi Nusa Tenggara Timur. Sebuah tempat yang masih di
yakini memiliki penghuni oleh penduduk kampung Pumawo yaitu sebuah pohon
yang terletak di belakang rumah, pantangan yang ada ialah tidak boleh berkata kasar
dekat pohon kemudian tidak boleh buang air kecil sembarangan dan barang hasil
curian tidak boleh melewati pohon. Konsekuensi yang di terima ketika melanggar
larangan ialah akan mendapatkan sakit sampai bisa meninggal, tergantung bentuk
pelanggaran yang dilakukan. Cara yang dilakukan untuk meminta maaf ialah
membawa persembahan semacam ayam maupun babi yang sering digunakan. Ini
menandakan bahwa mereka bersedia untuk meminta maaf.
Inilah yang menjadi suatu hal menarik dari Pamali yang menjadi fokus
penelitian penulis yaitu orang Kristen yang berpartisipasi di dalam upacara adat dan
9F.D WELLEM, “ INJIL DAN MARAPU”suatu studi Historis-Teologi tentang Perjumpaan
Injil dengan Masyarakat Sumba pada Periode 1876-1990. Hal 41 10F.D WELLEM, “ INJIL DAN MARAPU”suatu studi Historis-Teologi tentang Perjumpaan
Injil dengan Masyarakat Sumba pada Periode 1876-1990. Hal 41
4
juga tetap mempercayai Pamali dari melihat simbol, perkataan, maupun berbagai
acara adat yang berisi larangan-larangan tetap dilakukan merupakan salah satu
penghargaan ataupun kepercayaan yang masih tetap di yakini meskipun sudah
menganut suatu agama Nasional. Bukan hanya itu saja berbagai larangan benar-
benar di patuhi karena rasa takut pada konsekuensi yang akan di alami. Jadi bukan
saja penduduk setempat yang belum menganut agama Marapu percaya akan Pamali
tetapi orang Kristen juga mempercayai Pamali.
Terkadang Pamali dihubungkan dengan berbagai cerita mitos yang dipercayai
masyarakat setempat. Hal ini membuat pemahaman mereka akan larangan-larangan
yang ada semakin kuat dan tetap hidup didalam lingkungan mereka. Mitos yang
secara turun-temurun diceritakan membuat mereka meyakini akan larangan-
larangan yang ada seperti tidak boleh duduk di depan pintu karena akan menutupi
“sesuatu” yang akan masuk ke dalam rumah. Dalam buku ”Strategi Kebudayaan”
oleh Peursesn dikatakan bahwa mitos merupakan suatu pedoman hidup ke depan,
itu berarti bahwa segala sesuatu yang di percaya merupakan suatu yang sudah
terjadi di masa lampau dan menjadi sebuah tolak ukur dalam menghadapi masa
depan yang berhubungan dengan perilaku dan cara hidup. Tentang kebudayaan
lebih di tegaskan lagi oleh Peursen “kebudayaan meliputi segala perbuatan
manusia, seperti misalnya cara ia menghayati kematian dan membuat upacara-
upacara untuk menyambut peristiwa itu, demikian juga mengenai kelahiran,
seksualitas, cara mengolah makanan, pertanian dll11. Jika melihat kebudayaan di
Kabupaten Sumba Barat Daya segala sesuatu kegiatan yang di lakukan baik
pekerjaan dalam pemenuhan kebutuhan sehari-hari tidak terlepas antara hubungan
dengan kebudayaan maupun lingkungan, ketika ingin membangun rumah mereka
harus mengadakan acara adat, hal ini juga merupakan bentuk penghargaan kepada
leluhur, Peursen menekankan pada perilaku manusia yang setiap saat dapat
berubah-ubah maka dari itu di harapkan kebudayaan manusia dapat mengalami
berbagai perubahan sesuai dengan tuntutan zaman karena berkenaan dengan
kebudayaan yang dibentuk oleh manusia di terima, di ubah maupun menolaknya.
11Prof. Dr. C. A. Van Peursen, Strategi Kebudayaan, (Yogyakarta :BPK Gunung Mulia,
1976), cetakan pertama, hal. 10-11.
5
Sama halnya dengan buku “Manusia, Kebudayaan dan Lingkungan” oleh Dr.
Hans J. Daeng yang menekankan tentang hubungan antara manusia dan lingkungan
tempat kebudayaan berkembang. Bahwa segala bentuk upacara adat yang di
lakukan tidak dapat terlepas kaitannya dengan alam. Dalam buku Hans Daeng di
katakan bahwa “ kelompok etnik Jawa menyebut petungan dalam peruntungan
hari-hari baik dan nahas seseorang, kelompok-kelompok etnik lainnya di Nusa
Tenggara Timur misalnya menemukan saat baik dan hari baik setelah
berkonsultasi pada letak urat di hati ayam atau hati babi”12. Di Kabupaten Sumba
Barat Daya digunakan simbol-simbol dalam berbagai ritual adat untuk melakukan
komunikasi atau melambangkan suatu hal gaib, contohnya seperti darah ayam atau
isi dalam ayam yaitu tali perut ketika ingin mengetahui hari baik untuk melakukan
suatu acara besar dan biasanya di lakukan oleh rato adat (ketua adat). Dalam buku
“Totem dan Tabu” oleh Sigmund Freud ada pembahasan tentang totem itu sendiri,
yang berarti Totem terutama adalah nenek moyang atau leluhur dari suku juga roh
penjaga atau roh pelindung mereka13. Manusia tidak bisa sepenuhnya melepaskan
diri atau meninggalkan kebudayaan mereka, karena bukan sesuatu yang salah
melainkan karena manusialah yang menciptakan kebudayaan itu sendiri, rasa takut
untuk meninggalkan kepercayaan mistis menyebabkan mereka memiliki
pemahaman yang sudah tertanam sejak turun-temurun sehingga mendarah daging
didalam diri.
Judul tugas akhir saya adalah “ Pamali pada Masyarakat Kristen suatu kajian
Sosio-Teologis terhadap Gereja Kristen Sumba Jemaat Kabalidana cabang Milla
Ate di Desa Umbarottok Sumba Barat Daya” sehingga tujuan saya menulis judul
tersebut berangkat dari pemahaman masyarakat tentang Pamali yang tentunya
orang Kristen juga menjadi pelaku didalamnya, pemikiran-pemikiran ini tentunya
menjadi hal penting yang perlu kembali dilihat oleh Gereja bahwa pemahaman yang
telah ada sejak dahulu menjadi suatu pembelajaran bagi Gereja bahwa hal-hal ini
hadir dan hidup serta bertumbuh bersama dengan Gereja. Mungkin saja ketika
orang Kristen yang sebelumnya penganut kepercayaan Marapu belum melepaskan
12Dr Hans J. Daeng Manusia, Kebudayaan, dan Lingkungan dari Tinjauan Antropologis
(Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2000), cetakan III, hal. 6 13Sigmund Freud, Totem dan Tabu, (Yogyakarta : CV Solusi Distribusi, 2017), cetakan
pertama, hal. 10
6
kebiasaan yang pernah dilakukannya. Dari tulisan ini saya bermaksud memberikan
kontribusi terhadap Gereja tentang hubungan orang Kristen dan Pamali sehingga
dapat menjadi tolak ukur dalam menyelesaikan masalah.
Berdasarkan latarbelakang yang telah dipaparkan maka rumusan masalah yang
diangkat oleh penulis sebagai penelitian adalah apa dan mengapa orang Kristen
masih melakukan dan menaati Pamali? Ditinjau dari pendekatan sosio-teologis.
Tujuan penelitian ini ialah ingin mengkaji tentang alasan-alasan orang Kristen
masih melakukan dan menaati Pamali.
Berdasarkan tujuan penelitian yang telah dipaparkan maka harapan dari
penelitian ini di bagi menjadi 2 bagian:
Secara teoritis: dapat memberikan kontribusi serta sumbangsih kepada
Gereja dalam kesadaran bahwa Pamali tidak selamanya terlepas dari
hubungan dengan orang Kristen dan hal inilah yang perlu kembali menjadi
pertimbangan Gereja.
Secara praktis: dapat dijadikan sebagai bahan acuan dan pertimbangan bagi
Gereja dalam mencari informasi bagi penelitian yang lebih lanjut.
Metode Penelitian
Sifat Penelitian yang akan di gunakan di dalam penelitian ini ialah penelitian
secara kualitatif bertitik tolak pada dari paradigma fnomologis yang objektivitasnya
dibangun atas rumusan tentang situasi tertentu sebagaimana yang dihayati oleh
individu atau kelompok sosial tertentu dan relevan denga tujuan dari penelitian itu14.
Penelitian kualitatif ini dilakukan pada sebuah latar alamiah atau juga pada sebuah
konteks keutuhan (entity)15. Paradigma alamiah memberi tekanan pada penggunaan
tekhnik kualitatif16.
Jenis penelitian yang akan digunakan didalam penelitian ini ialah secara
deskriptif. Data yang akan di kumpulkan berupa kata-kata, gambar yang
14 Lexi J. Moleong. Metodologi Penelitian Kualitatif (Bandung: Remaja Rosdakarya, 1989)
hal v (dalam kata sambutan) 15 Lexi J. Moleong. Metodologi Penelitian Kualitatif…hal 4 16 Lexi J. Moleong. Metodologi Penelitian Kualitatif…hal 16
7
berkemungkinan menjadi kunci terhadap apa yang sudah di teliti dan juga data
tersebut mungkin akan berasal dari naskah wawancara, catatan lapangan, foto,
videotape, dokumen pribadi, catatan atau memo, dan dokumen resmi lainnya17.
Waktu dalam melakukan penelitian ini yaitu pada tahun 2019. Tempat yang
di tentukan berdasarkan penelitian yang akan di lakukan yaitu di Kabupaten Sumba
Barat Daya, Provinsi Nusa Tenggara Timur. Maksud penulis memilih lokasi ini
karena lebih dapat di jangkau karena ada beberapa wilayah yang belum memiliki
jaringan telekomunikasi dan juga ingin memperkenalkan Kabupaten Sumba Barat
Daya.
Subjek penelitian yang akan menjadi narasumber dalam penelitian ini yaitu
orang Kristen seperti jemaat, majelis dan guru injil yang masih menaati larangan
dalam Pamali tentang kegiatan maupun aktivitas yang dilakukan sehari-hari yang
mempunyai hubungan dengan Pamali. Penelitian ini akan dilakukan pada usia 20-
85 tahun.
Metode pengumpulan data yang digunakan ialah:
a) Observasi: dalam tahap ini pengamatan akan menggunakan alat bantu
sebagai penunjang penelitian yaitu kamera dan video. Observasi yang di
lakukan oleh pengamat dengan sasaran benda diam jika ada keraguan pada
diri peneliti dan jika sasarannya adalah suatu proses, pengulangan
pengamatan hampir tidak mungkin dilakukan kecuali peneliti mempunyai
rekaman video atau film yang dapat menunjukkan proses yang di amati18.
Kemudian format yang disusun berisi item-item tentang kejadian atau
tingkah laku yang di gambarkan akan terjadi19.
b) Wawancara: wawancara akan di lakukan melalui Tanya jawab dengan
narasumber yaitu beberapa jemaat majelis, guru injil, tokoh adat serta
beberapa penduduk setempat. Pertanyaan yang di berikan sesuai dengan
fokus dan pertanyaan yang tersruktur penelitian dan meminta keterangan
17 Lexi J. Moleong. Metodologi Penelitian Kualitatif…hal 6 18 Suharsimi Arikunto, Prosedur Penelitian, (Jakarta:Rineka Cipta, 1993),hal. 197 19 Suharsimi Arikunto, Prosedur Penelitian…hal 234
8
atau pendapat tentang suatu hal dengan alat bantu rekaman suara, video atau
gambar pada saat wawancara berlangsung20.
Penulis menjabarkan sistematika penulisan ke dalam lima bagian. Bagian
pertama, pendahuluan yang berisi latar belakang penelitian, rumusan masalah,
tujuan penulisan, manfaat penelitian, metode penelitian, dan sistematika penulisan.
Bagian kedua, akan membahas tentang teori sosio-teologis yang di gunakan. Bagian
ketiga akan membahas hasil penelitian dari data di lapangan yang telah
dikumpulkan yaitu kegiatan orang Kristen yang berhubungan dengan Pamali.
Bagian keempat akan berisi tentang analisa dari data lapangan. Bagian kelima yaitu
penutup yang akan berisi tentang kesimpulan serta saran-saran yang akan menjadi
kontribusi bagi penelitian mendatang.
LANDASAN TEORI
Berdasarkan latar belakang, penulis menggunakan landasan teori
kebudayaan yang sesuai dengan kehidupan masyarakat yang dimana kebudayaan
merupakan hasil karya manusia itu sendiri dan kemudian menjadi suatu identitas
masyarakat. Kebudayaan dipahami penulis sebagai suatu kebiasaan yang terbentuk
dalam lingkungan masyarakat dan melekat didalam kehidupan sehari-hari. Suatu
kelompok masyarakat dapat dikenal melalui kebudayaan mereka, dimulai dari cara
berbicara, tingkah laku, adat istiadat.
Dalam kebudayaan ada sesuatu hal yang dianggap tabu seperti, suatu
wilayah, tempat dan benda. Tabu dipahami penulis sebagai sebuah keyakinan
terhadap hal yang suci maupun kotor. Tabu hadir didalam masyarakat karena
disebabkan aturan-aturan yang berasal dari kebudayaan. Seiring berjalannya waktu,
meskipun perkembangan teknologi terus maju hal yang dianggap tabu masih tetap
diyakini keberadaannya.
Berdasarkan beberapa pemahaman inilah penulis menggunakan teori
kebudayaan dan tabu karena teori ini berkaitan dengan pamali. Pamali bukan
menjadi hal tabu menurut masyarakat yang tidak meyakini namun pamali dapat
20 Michael H. Walizer, Aruef Sadiman, Paul L. Wienir, Metode dan Analisis Penelitian
Mencari Hubungan Jilid 1, (Jakarta: Erlangga,1993) hal. 277
9
menjadi hal yang tabu bagi masyarakat yang meyakini. Pamali merupakan
pemahaman tentang suatu larangan yang dipercayai sejak zaman para leluhur,
pamali hadir melalui kebudayaan masyarakat setempat yang meyakini bahwa ada
semacam daya kekuatan yang bersumber dari roh nenek moyang. Seperti larangan
meminta garam di malam hari, perempuan yang dilarang duduk di depan pintu,
kubur yang tidak boleh disentuh, dan berbagai larangan lainnya. Beberapa larangan
tersebut sudah diyakini secara turun-temurun oleh masyarakat, inilah yang menjadi
suatu ciri khas dalam teori kebudayaan yang didalamnya hadir keyakinan tentang
hal yang tabu.
Kebudayaan
Secara etimologis, kata “kebudayaan” berasal dari bahasa Sansekerta yaitu
buddhayah yang merupakan bentuk jamak dari budhi yang artinya akal atau budi21.
Meskipun akar kata kebudayaan berbeda-beda namun dapat dikatakan kebudayaan
berkenaan dengan budi atau akal. Definisi klasik yang dikemukakan oleh Tylor
yang adalah seorang antropolog terkemuka mengatakan dalam bukunya yang
terkenal berjudul primitive culture tentang kebudayaan adalah sesuatu yang
kompleks mencakup pengetahuan, keyakinan, kesenian moral, hukum, adat-
istiadat, kemampuan serta kebiasaan yang didapatkan oleh manusia sebagai
anggota masyarakat22.
Dalam perspektif sosiologi, kebudayaan sebagaimana dikemukakan oleh
Bertrand, adalah segala pandangan hidup yang dipelajari dan diperoleh oleh
anggota-anggota masyarakat23. Kebudayaan dibentuk oleh manusia dan kemudian
manusialah yang akan mengoreksi maupun merubahnya sesuai dengan aturan-
aturan yang berlaku. Linton dalam bukunya tentang the cultural background of
personality menyatakan bahwa kebudayaan adalah hasil konfigurasi dari sebuah
tingkah laku dan hasil yang unsur-unsur pembentuknya didukung kemudian
21 Dr.H. Sulasman, M. Hum dan Setia Gumilar, M. Si, Teori-teori kebudayaan dari Teori
hingga Aplikasi ( Bandung: CV Pustaka Setia, 2013) Cetakan 1, hal. 17 22 Dr.H. Sulasman, M. Hum dan Setia Gumilar, M. Si, Teori-teori kebudayaan dari Teori
hingga Aplikasi, hal 18 23 Dr.H. Sulasman, M. Hum dan Setia Gumilar, M. Si, Teori-teori kebudayaan dari Teori
hingga Aplikasi, hal 18
10
diteruskan oleh anggota masyarakat tertentu24. Kebudayaan hadir ditengah-tengah
masyarakat sebagai sebuah hasil pembentukan yang disepakati antara anggota
masyarakat secara turun-temurun. Ki Hajar dewantara mendefinisikan kebudayaan
sebagai “buah budi manusia, yaitu hasil perjuangan manusia terhadap dua pengaruh
kuat, yaitu zaman dan alam yang merupakan bukti kejayaan hidup manusia untuk
mengatasi berbagai rintangan dan kesukaran dalam hidup dan penghidupannya
guna mencapai keselamatan dan kebahagiaan yang pada lahirnya bersifat tertib dan
damai25.
Kata kebudayaan berarti culture, culture sendiri berasal dari bahasa Latin
yaitu ‘colere’ yang memiliki arti bercocok tanam. ‘culture’ dapat dimaknai sebagai
segala daya dan kegiatan manusia untuk mengolah dan mengubah alam26. Jika
melihat konsep kebudayaan itu sendiri memiliki dua sisi. Pertama, konsep
kebudayaan yang bersifat materialistis yang berarti kebudayaan sebagai sistem hasil
adaptasi di lingkungan alam atau sistem untuk mempertahankan kehidupan
masyarakat. Kajian ini lebih ditekankan pada pandangan positivisme atau
metodologi dalam ilmu pengetahuan alam. Kedua, konsep kebudayaan yang
bersifat idealistis yang memandang semua fenomena eksternal sebagai manifestasi
suatu sistem internal27. Kajian ini lebih ditekankan pada pendekatan fenomenologi.
Konsep kebudayaan yang digunakan dalam tulisan ini adalah sebagaimana
yang dikemukakan ole Cliffort Geertz menganggap kebudayan sebagai jaringan-
jarigan itu, dan analisis atasnya lantas tidak merupakan sebuah ilmu eksperimental
untuk mencari hukum melainkan sebuah ilmu yang bersifat interpretatif untuk
mencari makna 28 . Manusia membayangkan dalam kehidupannya bahwa ada
semacam kekuatan-kekuatan serta berbagai tujuan yang hadir dari dirinya sendiri.
Namun disisi lain dalam buku Peursen tentang strategi kebudayaan disitu dijelaskan
24 Dr.H. Sulasman, M. Hum dan Setia Gumilar, M. Si, Teori-teori kebudayaan dari Teori
hingga Aplikasi, hal 18 25 Dr.H. Sulasman, M.Hum dan Setia Gumilar, M. Si, Teori-teori kebudayaan dari Teori
hingga Aplikasi, hal 19 26Dr.H. Sulasman, M.Hum dan Setia Gumilar, M. Si, Teori-teori kebudayaan dari Teori hingga
Aplikasi, hal 21
27 Dr.H. Sulasman, M.Hum dan Setia Gumilar, M. Si, Teori-teori kebudayaan dari Teori hingga Aplikasi, hal 35
28 Clifford Geertz, Tafsir kebudayaan, (Yogyakarta: Kanisius, 1992) cetakan ke 7 hal.5
11
bahwa zaman sekarang kebudayaan dapat diartikan sebagai sebuah manifestasi
kehidupan setiap orang dan setiap kelompok orang-orang29. Kebudayaan meliputi
segala perbuatan manusia dimulai dari upacara kematian, seksualitas, cara
mendapatkan makanan, membuat alat-alat maupun berbagai kegiatan lainnya
hingga kepercayaan kepada hal mitos dan berujung kepada hal-hal yang masih
dianggap tabu.
Tabu
Menurut ensiklopedia Nasional Indonesia tabu diartikan sebagai sebuah
tindakan, objek atau perilaku yang dilarang dan dihambat, sebuai tindakan
penghambat, istilah ini diambil dari Bahasa polinesia sesuatu yang sakral, pantang
dilanggar, dan aslinya berkaitan dengan objek-objek yang disisihkan bagi praktik-
praktik dan kebiasaan-kebiasaan religius, dan larangan bagi khalayak untuk satu
dua hal. Penggunaan kontemporer terhadap istilah ini jauh lebih luas hingga
mencakup ke dunia politik, perniagaan, seni, dsb30. Sesuatu yang terlarang terhadap
suatu benda maupun tempat yang diyakini oleh masyarakat yang ada secara turun-
temurun. Benar atau tidak, secara ilmiah tabu sering dimaksudkan untuk
melindungi manusia, tetapi ada banyak alasan lain tentang keberadaan tabu yang
dinyatakan namun tidak masuk akal secara logika manusia tetapi, kembali lagi
kepada kepercayaan terhadap tabu yang sudah di yakini sejak dulu. Dalam buku
Freud tentang “Totem dan Taboo”, dikatakan bahwa tabu merupakan sesuatu yang
mencabang ke dua arah yang berlawanan. Di satu sisi ia berarti kudus, suci; tetapi
di sisi lain, ia berarti aneh, berbahasa, terlarang dan kotor31. Dalam tabu terkandung
konsep menjaga; tabu dapat terekspresikan dalam pelarangan dan sebuah
pembatasan32. Tabu merupakan sesuatu yang dianggap suci, ada sebuah pelarangan
tidak dapat disentuh, tidak sembarangan diucapkan, sebuah larangan atau
pantangan. Tabu dianggap sebagai sumber daya roh yang terkandung dalam diri
orang atau roh.
29 Prof. Dr. C. A. Van Peursen, Strategi Kebudayaan,(Yogyakrta : BPK Gunung Mulia,
1976) cetakan pertama, hal. 10 30 Ensiklopedia Nasional 31 Sigmund Freud, Totem dan Tabu, (Yogyakarta: Immortal Publishing dan Octopus,
2017) cetakan 1, hal. 34 32 Sigmund Freud, Totem dan Tabu, hal. 34
12
Di tengah-tengah kehidupan masyarakat kita dapati ada sebuah kehidupan
yang berada di dua wilayah yang terpisah; wilayah Yang sakral dan wilayah Yang
Profan. Yang Profan merupakan sebuah bidang kehidupan yang didalamnya ada
berbagai macam kegiatan yang bisa dikatakan tidak terlalu penting untuk dilakukan,
terkadang dilakukan secara teratur dan acak. Kemudian yang Sakral adalah suatu
hal yang bersifat abadi, sangat penting, dari masa ke masa secara turun-temurun
selalu diingat dan tak mudah dilupakan, suatu wilayah yang supranatural, sesuatu
yang ekstraordinasi. Jika dilihat Yang Profan adalah sesuatu yang cepat dilupakan,
tidak teramat penting dilakukan maka berbeda dengan Yang Sakral adalah sesuatu
yang abadi, penuh subtansi dan realitas. Yang Profan merupakan dunia bagi
manusia untuk berbuat berbagai kesalahan dan selalu mengalami perubahan. Yang
Sakral adalah tempat berdiamnya roh para leluhur dan juga tempat terciptanya
segala keteraturan dan berbagai kesempurnaan33.
Bagi masyarakat primitif sendiri meyakini bahwa ada sebuah kekuatan
berasal dari Yang Sakral tersebut. Mereka meyakini bahwa ada semacam kekuatan
yang luar biasa yang mengatur kehidupan mereka sehingga dari keyakinan inilah
Yang Sakral itu dianggap sama dengan realitas34. Dari hal inilah agama memiliki
sebuah tugas bagaimana agar dapat memahami sesuatu Yang Sakral tersebut untuk
dapat memahami dan benar-benar merasakan dan kemudian dapat memberikan
pemahaman secara baik agar seseorang dapat keluar dalam artian memahami situasi
sejarahnya yang dapat ditempatkan sesuai dengan keadaan masa kini. Meskipun
seperti itu tidak dipungkiri juga bahwa Yang Sakral tetap merupakan bagian yang
tak terpisahkan dari pikiran dan aktivitas manusia yang dimaknai dalam berbagi
segi kehidupan sehingga manusia tidak dapat hidup tanpanya, hal ini dibuktikan
melalui keberadaan manusia yang melihat bahwa Yang Sakral berada di segala
penjuru. Berbagai riset-riset yang dikumpulkan mengenai totemisme ini berhasil
menemukan petunjuk yang sangat luarbiasa berharga, yaitu tidak ada satupun
agama lain yang dianut oleh masyarakat Aborigin selain totemisme. Tidak ada
satupun para ahli yang berhasil mengungkap apa sebenarnya makna totemisme.
33 Daniel L. Pals, Seven Theories of Religion, (Yogyakarta: IRCiSoD, 2011) edisi baru 2011,
hal. 233-234. 34 Adeng Muchtar Ghazali, Antropologi Agama, (Bandung: Alfabeta, 2011) cetakan
pertama, hal. 26-27
13
Mereka mengambarkan bahwa masyarakat tribal itu dibagi dalam beberapa
klanyang dimana tiap klan memiliki binatang masing-masing sebagai kepercayaan
mereka35. Paling penting bahwa mereka menganggap binatang tersebut sebagai
sesuatu yang Sakral. Lambang atau simbol-simbol binatang totem tersebut bagi
masyarakat merupakan sesuatu yang sangat berarti bagi setiap klan yang
memujanya. Karena binatang yang disembah bukan saja bagian dari Yang Sakral
melainkan sebuah perwujudan dan contoh yang sempurna dari Yang Sakral36.
Masyarakat primitif memandang sakral terhadap sesuatu yang dapat
menimbulkan manfaat, kebaikan, dan bencana. Jika dilihat dan mengamati benda-
benda itu secara lahiriah dapat dikaitkan tidak jauh berbeda dengan benda-benda
lain yang dikenal sehari-hari, tetapi benda-benda tersebut dapat dilihat sebagai
sesuatu yang berharga dan penting dikarenakan sikap manusia itu sendirilah yang
menyebabkan benda itu menjadi sakral. Namun tidak semua hal dianggap suci,
berkaitan dengan berbagai hal yang dapat mencemari sesuatu yang sakral itu.
Sehingga berbagai hal tersebut dipagari agar tidak tercemar dengan menggunakan
berbagai larangan-larangan atau yang disebut dengan tabu yaitu ada benda yang
tidak boleh disentuh, dimakan atau didekati. Itulah sebabnya muncul berbagai
kegiatan untuk menjaga kelestarian suatu yang sakral itu37.
Kehidupan masyarakat primitif tidaklah jauh dari sesuatu hal yang berbau
magis. Mulai dari pekerjaan, usaha, maupun kebiasaan-kebiasaan hingga peralatan
yang digunakan tidak pernah terlepas dari yang namanya magis. Hal ini disebabkan
perbuatan mereka selalu dihubungkan dengan kekuatan-kekuatan yang ada di alam
gaib. Masyarakat primitif kurang menggunakan kemampuan rasionya, namun lebih
menguntungkan pada hal-hal magis38. Berbicara tentang tabu tentunya berkenaan
dengan tingkah laku manusia itu sendiri. Dalam buku Peursen yang berjudul
Strategi Kebudayaan disitu dikatakan sesuatu tentang mitos yang berarti cerita yang
di jadikan sebagai pedoman dan arah tertentu kepada sekelompok orang. Mitos
35 Sigmund Freud, Totem dan Tabu, hal. 9 36 Adeng Muchtar Ghazali, Antropologi Agama, (Bandung: Alfabeta, 2011) cetakan
pertama, hal. 26-27 37 Adeng Muchtar Ghazali, Antropologi Agama, (Bandung: Alfabeta, 2011) cetakan pertama, hal. 26-27.
38 Prof.Dr.C.A. Van Peursen, Strategi Kebudayaan, hal 37
14
dapat mengatasi makna cerita, mitos dapat memberikan arah kepada kelakuan
manusia, melalui mitos manusia dapat mengambil bagian dalam kejadian-kejadian
sekitarnya.
Perlu diketahui tentang fungsi dari mitos yaitu pertama: menyadarkan
manusia bahwa ada kekuatan-kekuatan ajaib, mitos membantu manusia agar dapat
menghayati daya-daya kekuatan yang ada sebagai sesuatu kekuatan yang
mempengaruhi dan dapat menguasai alam kehidupan sukunya 39 . Kedua: mitos
berhubungn erat dengan jaminan kehidupan masa kini dan yang ketiga memberikan
pengetahuan tentang dunia. Inti sikap hidup mitis ialah bahwa kehidupan ini ada,
ajaib, berkuasa, penuh daya kekuatan40. Bersama dengan kesadaran tersebut maka
timbullah cerita-cerita yang dianggap dapat menjamin kehidupan manusia.
Ada beberapa jenis tabu yang hadir di dalam lingkungan masyarakat
primitive yaitu:41
1. Melindungi orang penting seperti kepala suku dan barang-barang dari
marabahaya
2. Menjaga yang lemah seperti perempuan, anak-anak dan orang pada
umumnya.
3. Melindungi diri dari bahaya yang muncul akibat merawat atau menyisir
rambut mayat maupun diakibatkan karena memakan makanan tertentu.
4. Menjaga peristiwa-peristiwa penting dalam kehidupan seperti kelahiran,
perkawinan dan fungsi seksual maupun dari gangguan pihak lain.
5. Mengamankan manusia dari murka atau kuasa dewa-dewa dan roh-roh
6. Mengamankan bayi yang belum lahir dan anak kecil dari berbagai
tindakan-tindakan tertentu.
7. Tabu juga di berlakukan untuk melindungi kekayaan, ladang, alat-alat
maupun melindungi milik seseorang dari pencurian.
Ada juga yang disebut dengan Tabu penguasa yang diberikan kepada
kepala suku maupun pemimpin, hal ini di buktikan melalui makanan sisa yang tidak
39Prof.Dr.C.A. Van peursen, Strategi Kebudayaan, hal. 38 40Prof. Dr. C.A. Van Peursen, Strategi Kebudayaan, hal 39-41 41 Sigmund Freud, Totem dan Tabu, hal. 36
15
boleh dimakan kemudian ketika mengetahui bahwa makanan tersebut adalah
makanan sisa yang ditinggalkan kepala suku dan orang-orang akan mengatakan
bahwa hal tersebut merupakan pelanggaran, maka dampak yang akan diterima
seperti kejang-kejang hingga mati42.
Selain itu juga ada tabu yang disebut dengan Tabu orang mati yang berda
didalam lingkungam masyarakat primitif. Jika seseorang melakukan kontak dengan
orang mati maupun mengikuti upacara penguburan maka akan dianggap sebagai
sesuatu tindakan yang kotor dan kemudian akan dikucilkan atau diboikot43.
Menurut Geertz manusia merupakan makhluk simbolik, dilihat dari symbol-
simbol yang digunakan untuk berkomunikasi 44 . Ada makna yang terkandung
didalam simbol tersebut, Geertz melihat bahwa manusia merupakan makhuk yang
memintal jaringan makna itu sendiri dan jaringan makna itulah yang disebut
“kebudayaan”. Ada manusia yang berupaya menafsirkan berbagai hal magis dalam
kehidupannya, bahwa hal itu terjadi karena ada sesuatu kesalahan di masa lampau
yang mengikuti mereka.
Dalam Antropoligi ada suatu pendekatan yang digunakan yaitu
hermeneutik. Hermeneutik berkaitan dengan Bahasa dan merupakan kajian yang
berasal studi karya sastra atau Bahasa yaitu studi tentang teks 45 . Pendekatan
hermeneutik digunakan sebagai sebuah alat dalam menafsirkan kebudayaan itu
sendiri melalui sebuah dokumen dalam suatu karya sastra.
HASIL PENELITIAN
Gambaran Umum Lokasi Penelitian
Cabang Milla Ate merupakan sebuah lokasi yang menjadi tempat
dilakukannya penelitian terhadap Pamali pada orang Kristen. Oleh sebab itu,
sebelum membahas tentang Pamali pada orang Kristen maka terlebih dahulu akan
membahas tentang lokasi penelitian yaitu Desa Waimangura.
42 Sigmund Freud, Totem dan tabu hal. 67 43 Sigmund Freud, Totem dan Tabu, hal. 80 44 Moh Soehadha, Fakta dan tanda agama suatu Tinjauan Sosio-antropologi
(Yogyakarta: Diandra Pustaka Indonesia,2014) cetakan 1, hal. 81 45 Moh Soehadha, Fakta dan tanda agama suatu Tinjauan Sosio-antropologi. Hal 80
16
Situasi Geografis Kecamatan Wejewa Barat desa Waimangura
Wilayah suku Wewewa dapat dikatakan sangat besar melebihi luas wilayah
dari suku-suku lainnya di Kabupaten Sumba Barat Daya. Selain luas wilayah yang
sangat besar dari segi jumlah penduduk terbilang lebih banyak dari pada suku lain
dan terbagi dalam berbagai sub-suku (kabizu) dan secara administratif terakomodir
dalam empat wilayah Kecamatan, yaitu Kecamatan Wewewa Timur dengan ibu
kota Elopada, Kecamatan Wewewa Barat dengan ibu kota Waimangura,
Kecamatan Wewewa Utara dengan ibu kota Palla serta Kecamatan Wewewa
Selatan dengan ibu kota Manola. Secara singkat, deskripsi wilayah Suku Wewewa
yang akan dijabarkan adalah wilayah Suku Wewewa barat tempat peneliti
melakukan penelitian yaitu wilayah suku Wewewa di Kecamatan Wewewa Barat,
Desa Waimangura46.
Dahulu kala ada seorang yang berkuasa di desa Waimangura, yang
memimpin pertama kali di desa ini yang bernama Rato Dimu. Rato Dimu ini
merupakan tuan tanah pertama yang berada dalam daerah tersebut maka dialah yang
diberi kepercayaan untuk menjadi kepala desa pertama kali di desa Waimangura.
Nama desa Waimangura ini diambil dari arti mata air yang berada di desa
Waimangura yaitu wee artinya air dan ngura artinya tidak pernah habis, jadi dapat
dikatakan Waimangura adalah mata air yang tidak pernah habis47. Setelah Rato
Dimu meninggal dunia, jabatannya sebagai kepala desa digantikan oleh anaknya
sampai dengan anak bungsunya48.
Desa Waimangura merupakan desa induk yang berada dalam wilayah
Kecamatan Wewewa Barat, Kabupaten Sumba Barat Daya, Propinsi Nusa
Tenggara Timur. Penduduk lebih dominan berasal dari suku Wewewa sendiri di
samping penduduk lain yang menetap karena alasan tertentu seperti pekerjaan.
Adapun desa Waimangura berdekatan dengan desa Langgalete dan Desa
Watulabar. Secara keseluruhan desa Waimangura memiliki luas wilayah 11. 700
KM yang sudah tergabung dalam lahan sekolah, kantor desa, pasar, lahan pertanian,
46 repository.unwira.ac.id/3238/3/BAB%20II.pdf 47 Wawancara dengan Bapak Marten Dappa. Penduduk setempat di Desa Umbarottok,
13 Februari 2019. Pukul 12.00 WITA 48 Wawancara dengan bapak Agustinus Gono Ate. Penduduk setempat di Desa
Umbarottok, 12 Februari 2019. Pukul 10.00 WITA
17
rumah penduduk, bangunan- bangunan seperti bank, koperasi, dan lain-lain.
Wilayah ini dapat digolongkan sebagai daerah dataran tinggi, dan dikategorikan
sebagai daerah dengan tingkat kesuburan yang baik sesuai dengan usaha
penduduk49.
Sebelum teknologi dan berbagai fasilitas memadai dengan maksimal, di
daerah ini akses jalannya tidak seperti saat ini, namun seiring berjalannya waktu
dengan berbagai rencana pembangunan yang dilakukan jalur darat mulai direnovasi
dengan timbunan tanah dan juga ada beberapa jalur yang sudah diaspal. Melalui
kerja sama dengan beberapa PT (perseroan terbatas) yang ada di Kabupaten Sumba
Barat Daya, hingga saat ini perbaikan akses jalan masih terus dijalankan apalagi
ada begitu banyak daerah juga yang masih kesulitan dalam kebutuhan listrik
sehingga ketika akses jalan dipermudah maka bantuan listrik pun dapat sampai
hingga daerah-daerah terpencil50.
Desa Waimangura merupakan wilayah pangan. Hal ini dibuktikan melalui
berbagai macam hasil bumi yang sudah banyak dihasilkan di tempat ini seperti
kemiri, kopi, kelapa, sirih, pinang, cengkeh, coklat dan dari hasil perkebunan seperti
jagung dan padi.51 Waktu untuk menanam pun hanya dapat dilakukan paling cepat
pada bulan Agustus jika musim hujan telah tiba namun jika hujan tiba lebih lambat
maka waktu menanam akan dilakukan pada bulan September. Kalau untuk padi
ladang, waktu menanam akan dilakukan paling cepat pada bulan Oktober
tergantung curah hujan. Dari berbagai hasil bumi yang berada di desa Waimangura,
sudah ada beberapa hasil bumi yang sudah sampai ke luar Pulau Sumba seperti
kelapa, kemiri yang dijual ke kota Surabaya52. Penduduk asli di Desa Waimangura
menggunakan bahasa sebagai alat komunikasi yaitu bahasa Wewewa yang juga
disebut Bahasa ibu. Salah satunya adalah suku Weeleo53 . Kecuali orang-orang
49 Wawancara dengan Bapak Samuel Ngongo Lede. Penduduk setempat di Desa
Umbarottok, 7 Januari 2019. Pukul 10.00 WITA 50 Wawancara dengan Bapak Yohanes Dappa Moda. Penduduk setempat di Desa
Umbarottok, 7 Januari 2019. Pukul 10.00 WITA 51 Wawancara dengan Bapak Agustinus Gono Ate. Penduduk setempat di Desa
Umbarottok, 12 Februari 2019. Pukul 10.00 WITA 52 Wawancara dengan Bapak Darius Dairo Ngongo. Penduduk setempat di Desa
Umbarottok, 12 Februari 2019. Pukul 10.00. WITA 53 Wawancara dengan Bapak Marten Dappa. Pnedudk setempat di Desa Umbarottok, 13
Februari 2019. Pukul 12.00 WITA
18
pendatang yang belum cukup menguasai bahasa daerah maka mereka akan
menggunakan Bahasa Indonesia54.
Keadaan Demografis
Menurut data kantor desa Waimangura pada tahun 2017, penduduk Desa
Waimangura memiliki jumlah penduduk sebesar 3595 jiwa dengan jumlah kepala
keluarga 649 jiwa, untuk jumlah penduduk sesuai kelamin : jumlah laki-laki ada
1836 jiwa dan perempuan berjumlah 1759 jiwa. Dalam beberapa waktu ke depan
akan ada desa yang mekar terpisah dari desa Waimangura. Pendatang yang ada pada
umumnya karena dalam masa tugas sebagai guru, pegawai kantor maupun
pedagang dan juga karena adanya kawin mawin55.
Menurut kepala desa Waimangura pertumbuhan penduduk di desa
Waimangura dari tahun ke tahun mengalami peningkatan ke arah yang lebih baik
dari pada sebelumnya, pertambahan penduduk terus mengalami peningkatan.
Untuk pembangunan di desa Waimangura sudah lebih baik karena dahulu
penduduk yang masih memiliki rumah beratapkan alang sekarang sudah diperbaiki
menjadi rumah yang beratapkan seng dan tembok batu, rumah-rumah adat yang
sudah di renovasi. Berkenaan dengan pendidikan di desa Waimangura sudah ada
lulusan sarjana kemudian sudah sudah ada sekolah dasar (SD), Sekolah Menengah
Atas (SMA), Sekolah Menengah Teknik Kejuruan (SMTK), menurut data desa
Waimangura jumlah penduduk yang tidak tamat Sekolah Dasar berjumlah 218 jiwa,
jumlah yang sudah tamat Sekolah Dasar ada 227 jiwa, yang sudah tamat Sekolah
Menegah Umum (SMU) berjumlah 170 jiwa, dan jumlah yang sudah
menyelesaikan perguruan tinggi berjumlah 34 jiwa56.
Kondisi Perekonomian
Kondisi perekonomian di desa Waimangura berjalan sesuai dengan
kebutuhan masyarakat. Masyarakat di desa Waimangura melakukan usaha
pekerjaan dimulai dari profesi sebagai petani, pedagang, pegawai kantor, pedagang
54 Wawancara dengan bapak Samuel Ngongo lede. Penduduk setempat di Desa
Umbarottok, 7 Januari 2019. Pukul 10.00 WITA 55 Data kantor desa Waimangura dari tahun 2018 56 Wawancara dengan Bapak Yakub Malo selaku kepala Desa di Umbarottok, 28 Februari
2019. Pukul 10.00 WITA
19
kaki lima, dan pendeta. Masyarakat setempat memanfaatkan potensi alam seperti
padi, jagung, kopi, cengkeh, kemiri, umbi-umbian sebagai pemenuhan kebutuhan
hidup. Salah satu hasil alam yang sudah di jual sampai ke kota Surabaya yaitu
kelapa, cengkeh, dan kemiri57. Pasar yang ada di desa Waimangura adalah pasar
mingguan yang di buka pada hari Sabtu tetapi pada hari-hari lain tetap ada pedagang
yang menjajakan barang jualan mereka, adapun barang-barang yang di jual seperti
kebutuhan sandang dan pangan, selain berjulan di pasar ada juga pedagang yang
berjualan di sepanjang emperan toko, adapun barang-barang yang di jual seperti siri
pinang, sayur-sayuran, tomat, lombok dan kue-kue58.
Menurut data dari kantor desa Waimangura rata-rata pendapatan penduduk
di desa Waimangura pada tahun 2017, sebagai berikut:
Pekerjaan Rata-rata pendapatan perbulan
Petani Rp 1.000.000
Pedagang Rp. 1. 500.000
Pegawai tenaga kontrak 1. Golongan rendah (Rp. 2.000.000)
2. Golongan atas (Rp. 5.000.000- Rp.
6.000.000)
Selain itu juga sudah ada Bank yaitu Bank NTT (Nusa Tenggara Timur)
saja kemudian koperasi simpan pinjam yang berada pada lokasi yang mudah
dijangkau59.
Sistem Kekerabatan
Sistem kekerabatan yang dibangun berpusat pada sistem Wanno Kalada
(kampung besar). Sistem ini berorientasi pada kabizu yang artinya suku. Wanno
kalada (kampung besar) awalnya di bangun oleh nenek moyang yang tinggal dan
menetap dalam umakalada (rumah besar) yang di bangun dalam kampung besar
lalu membuka lahan pertanian dan melakukan berbagai pekerjaan penunjang hidup.
57 Wawancara dengan Bapak Marten Dappa. Penduduk setempat di Desa Umbarottok,
13 Februari 2019. Pukul 12.00 WITA 58 Wawancara dengan Bapak Yohanes Dappa Moda. Penduduk setempat di Desa
Umbarottok ,7 Januari 2019. Pukul 10.00 WITA 59 Wawancara dengan Bapak Samuel Ngongo Lede. Penduduk setempat di Desa
Umbarottok, 7 Januari 2019. Pukul 10.00 WITA
20
Tujuan dari hadirnya Wanno Kalada merupakan sebuah bukti sejarah bagi
keturunan selanjutnya agar dapat mengingat leluhur mereka. Fungsi dari Wanno
Kalada ini adalah sebagai tempat berkumpulnya keluarga besar ketika mengadakan
sebuah upacara adat. Seseorang yang telah diberikan kepercayaan untuk menjaga
Uma Kalada dipilih dengan mengadakan upacara adat untuk mengetahui siapa yang
diberikan kepercayaan60. Uma Kalada adalah penentu keturunan bagi suatu suku
dan tiap rumah memiliki suku dan pemimpinnya masing-masing. Ada beberapa
acara adat sebagai wadah berkumpulnya berbagai keluarga besar yaitu pesta wolek
yang mengharuskan setiap keluarga untuk hadir mengambil bagian dalam acara
tersebut dengan membawa persembahan masing-masing, jika ada keluarga yang
tidak ikut serta maka akan disebut orang di luar pagar (orang yang tidak tahu
kedudukan). Salah satu cara untuk memulihkan hal tersebut dengan mengadakan
upacara adat dengan membawa barang sesuai permintaan adat sepeti ayam maupun
anak babi. Perbedaan antara kampung besar dan rumah besar ialah jika kampung
besar di dalamnya terdiri dari berbagai macam suku berbeda dan rumah besar yang
di dalamnya hanya terdiri dari satu suku dengan pemimpinnya61.
Sistem keturunan penduduk di desa Waimangura adalah sistem patrilineal
(alur keturunan yang berasal dari pihak ayah). Penduduk menerapkan sistem ini
bagi keturunan mereka, marga yang diberikan bagi anak-anak adalah marga yang
berasal dari ayah dan juga dalam hal harta warisan maka yang berhak menerima
adalah anak laki-laki. Sistem ini didasarkan melalui belis (mahar) yang diberikan
oleh laki-laki kepada perempuan sehingga otomatis perempuan harus menurut
kepada laki-laki62.
Keagamaan
Masyarakat di Desa Waimangura memiliki 2 agama yaitu Kristen Protestan
dan Katholik, juga kepercayaan masyarakat setempat yaitu kepercayaan terhadap
Marapu. Kedua agama ini memiliki tempat ibadahnya sendiri. Gereja Kristen
60 Wawancara denganBbapak Yohanes Dappa Moda. Penduduk setempat di Desa
Umbarottok, 12 Februari 2019. Pukul 10.00 WITA 61 Wawancara dengan Bapak Darius Dairo Ngongo. Penduduk setempat di Desa
Umbarottok, 13 Februari 2019. Pukul 12.00 WITA 62 Wawancara dengan Bapak Samuel Ngongo Lede. Penduduk setempat di Desa
Umbarottok, 7 Januari 2019.Pukul 10.00 WITA
21
Sumba (GKS) berjumlah 4 dan Katholik berjumlah 1. Untuk jumlah penganut
kepercayaan Marapu sudah semakin berkurang karena sudah banyak penduduk
yang masuk agama Kristen maupun Katholik63 . Meskipun sudah banyak yang
masuk ke dalam agama Kristen maupun Katholik namun hubungan dengan Marapu
tidak dapat sepenuhnya dihilangkan. Hal ini disebabkan masih ada hutang adat yang
belum diselesaikan. Dalam Marapu ada yang disebut dengan janji maupun
tanggungan adat jadi meskipun sudah tidak berada dalam kepercayaan terhadap
Marapu lagi, tetapi jika masih ada urusan yang belum diselesaikan dalam adat maka
ia harus menyelesaikannya hingga tuntas 64 . Contohnya: anak yang berada di
Perguruan Tinggi. Ada orang tua yang berjanji dalam adat bahwa setelah anak
mereka lulus kuliah maka akan memberikan babi maupun kerbau sebagai korban
persembahan kepada arwah nenek moyang. Selain itu juga penduduk meyakini
bahwa mereka hidup dalam lingkup kebudayaan yang merupakan sebuah identitas
tentang sejarah nenek moyang mereka65.
Pamali
Pamali merupakan sebuah larangan pada sebuah tempat maupun benda.
Pamali dianggap sebagai larangan yang sakral seperti tempat yang tidak boleh
ditempati dan dimasuki oleh siapapun dan hanya orang tertentu saja yang
diperbolehkan seperti tokoh-tokoh adat yang boleh memasuki tempat tersebut66.
Pamali adalah suatu tanda yang diberikan leluhur yang kemudian dijadikan sebuah
kepercayaan yang sakral. Ada banyak bentuk pamali yang sering terjadi yaitu :
a) Larangan memasuki atau menyentuh sebuah batu kubur nenek
moyang, Hal seperti ini sering terjadi di berbagai desa di daerah Wejewa
ada beberapa batu kubur yang dianggap penting dan tidak boleh di ganggu
hanya orang tertentu yang di perbolehkan. Sanksi atau akibat yang diterima
jika melanggar pamali tersebut bermacam- macam misalnya; sakit
mendadak,mandul, hewan peliharaan mati dan lain-lain, biasanya jika
63 Wawancara denganBbapak Lede Gono selaku ketua adat di Desa Umbarottok, 7
Januari 2019. Pukul 12.00 WITA 64 Wawancara dengan dengan ibu Paulina Lali Pora. Jemaat di Gereja Kristen Sumba
Jemaat Kabalidana cabang Milla Ate, 7 Januari 2019. Pukul 13.00 WITA 65 Wawancara dengan bapak Marten Dappa, 13 Februari 2019 66 Wawancara dengan bapak Samuel Sairo Lende selaku guru injil di cabang Milla Ate, 25
Agustus 2018. Pukul 12.00 WITA
22
terjadi seperti ini maka yang harus dilakukan untuk membayar pamali atau
denda agar hukumannya dapat hilang biasanya mereka akan mengadakan
upacara adat dengan mempersiapkan barang yang sesuai dengan
permintaan adat biasanya berupa uang, hewan (babi atau ayam), parang dan
bahan makanan67.
b) Tanduk kerbau merupakan lambang bagi sebuah keluarga yang
menandakan keluarga tersebut merupakan keluaraga kerajaan. Tanduk
kerbau ini berada dalam rumah adat. Ada beberapa tanduk kerbau yang di
anggap pamali atau tidak boleh di ganggu apalagi dicuri. Jika tanduk ini
dicuri dan tidak dikembalikan maka sanksi atau hukuman yang didapat
sangat berat dan bisa berakibat pada kematian. Jadi barang yang dicuri akan
segera dikembalikan dengan sendirinya68.
c) Tempat persembahan bagi para leluhur , tempat ini biasanya berada
pada pohon besar , batu besar dan beberapa peralatan dan rumah adat.
Tempat-tempat ini akan dipenuhi persembahan ketika adanya musim panen
dan acara adat. Nama lain yang disebut untuk tempat persembahan ini ialah
natara eri69. Tempat yang sangat keramat dan yang boleh memasuki tempat
ini hanya tokoh adat yang diperbolehkan saja sesuai dengan peraturan dalam
adat, jika ada orang yang sembarang memasuki tempat ini biasanya
mendapat musibah berupa sakit yang berat sampai akibat yang fatal seperti
kematian atau tiba- tiba hilang ,untuk menyelesaikan masalah ini biasanya
keluarga dari korban akan mengadakan upacara adat memohon ampun
kepada leluhur dengan mengadakan ritual adat dengan mengorbankan babi
atau ayam70.
d) Hasil kebun terbakar. Hasil kebun yang terbakar sama sekali tidak dapat
digunakan lagi, namun masyarakat setempat meyakini bahwa tanaman yang
terbakar itu pun memilki jiwa maka dilakukanlah sebuah upacara adat
67 Wawancara dengan bapak lede gono, 7 Januari 2019 68 Wawancara dengan ibu Paulina Lali Pora, 7 Januari 2019 69 Wawancara dengan bapak Lede Gono, 7 Januari 2019 70 Wawancara dengan saudara Ariyanto Sofian Gono. Gereja Kristen Sumba Jemaat
Kabalidana cabang Milla Ate, 7 Januari 2019. Pukul 14.00 WITA
23
dengan diringi gong dan tambur. 71 Dalam Bahasa daerahnya disebut
kamaika (memanggil jiwa-jiwa tanaman yang terbakar)72.
e) Tidak boleh meludah atau mengeluarkan kata kasar sembarang
didalam rumah adat. Dihargai dan di hormati adalah kebanggaan para
leluhur, karna itu kedisiplinan dan sopan santun juga sering di terapkan
dalam adat istiadat. Dalam Bahasa daerah tempat ini disebut kerredoka
(bale-bale kecil) yang diyakini memiliki penghuni. Hukuman yang diterima
dari pamali ini biasanya nya bersifat ringan misalnya; luka di bagian tubuh
tertentu dan hal ini masih bisa di toleransi oleh leluhur tanpa harus
melakukan upacara adat. Apabila hal ini berulang kali dilakukan akan
berakibat pada hukuman yang sangat berat seperti kematian73.
f) Upacara adat dengan menggunakan tikar adat (tikar khusus adat).
Ketika mengadakan ritual adat di butuhkan sebuah tikar adat, dalam Bahasa
daerah disebut kalenda sebagai tempat duduk bagi ketua adat dan orang-
orang yang memiliki kepentingan dalam ritual tersebut. Tikar yang
digunakan bukanlah sembarang tikar, karena tikar ini hanya boleh
digunakan saat melangsungkan acara adat, pindahan perempuan, dan
syukuran adat74.
g) Tempat menyimpan siri pinang bagi para leluhur. Tempat penyimpana
ini bukanlah penyimpanan siri pinang yang sembarangan, dalam Bahasa
daerah disebut kaleku biasanya masyarakat setempat meyakini bahwa
sebelum melakukan ritual adat maka terlebih dahulu mereka harus
menyimpan siri pinang pada tempat yang disediakan bagi para arwah
leluhur seperti tas yang sudah rusak, tas tenun yang dipakai leluhur semasa
hidupnya75.
h) Larangan berkata kasar saat Petir dan Guntur (marapu kalada). Salah
satu pamali ini sampai saat ini masih sangat dipegang oleh masyarakat
71 Wawancara dengan Bapak Samuel Ngongo Lede, 7 Januari 2019 72 Wawancara dengan Bapak Lede Gono, 7 Januari 2019 73 Wawancara dengan Bapak Lede Wolla. Pendudk setempat di Desa Umbarottok ,7
Januari 2019. Pukul 12.00 WITA 74 Wawancara dengan bapak Ngongo Kii. Penduduk setempat di Desa Umbarottok, 7
Januari 2019. Pukul 12.00 WITA 75 Wawancara dengan ibu Paulina Lali Pora, 7 Januari 2019
24
setempat. Jika ada kejadian salah satu rumah yang disambar oleh petir maka
secepat mungkin keluarga yang tertimpa musibah harus segera melakukan
upacara adat yang disebut saiso dan harus mengorbankan babi maupun
kerbau dengan jangka waktu acara diadakan selama satu minggu76.
i) Larangan mendekati sebuah pohon besar. Dalam sebuah kampung besar
biasanya ada sebuah pohon besar yang dilarang untuk mendekati maupun
membuang kotoran dan berkata kasar dekat pohon tersebut.seperti pohon
beringin yang dalam Bahasa daerah disebut Maliti. Masyarakat setempat
meyakini bahwa dalam pohon tersebut bersemayam arwah yang menjaga
pohon tersebut. Sanksi yang ada jika melanggar ialah maka dpaat terkena
sakit, mengalami gangguan jiwa sampai meninggal dunia. Cara untuk
menghilangkannya dengan mengadakan upacara adat dengan waktu yang
telah ditentukan oleh ketua adat dengan jaminan membawa ayam maupun
babi. Pohon ini terletak di belakang rumah dan di pinggir kebun77.
j) Perempuan yang belum sepenuhnya dibayar belis (belum pindah suku)
dilarang untuk memasuki ruang tamu dalam rumah besar. Masyarakat
setempat juga meyakini bahwa seorang perempuan yang belum dibayar
belisnya walaupun sudah tinggal bersama lelaki namun belum pindah suku
dan memiliki anak sekalipun, tidak dapat untuk mengambil bagian di ruang
tamu atau tempat dilakukannya ritual adat dlam rumah besar, hanya boleh
berada di ruangan dapur. Ia dapat bergabung setelah menyelesaikan
pembelisan secara penuh78.
Penganut marapu percaya bahwa ada suatu kekuatan gaib yang
membuat mereka takut dan patuh yang membuat mereka merasa tertekan
dan terbebani, dari situlah apapun yang menjadi permintaan dalam pamali
pun harus dipenuhi. Tujuan dilakukannya upacara adat ini supaya dapat
menangkal berbagai musibah tersebut. Ada berbagai kendala yang membuat
masyarakat setempat yang masih menganut marapu tidak dapat
meninggalkan kepercayaan Pamali meskipun sampai saat ini. Salah satunya
76 Wawancara dengan saudara Ariyanto, 7 Januari 2019 77 Wawancara dengan bapak Samuel Ngongo Lede, 7 Januari 2019 78 Wawancara dengan bapak Dairo Renda. Penduduk setempat di Desa Umbarottok,7
Januari 2019. Pukul 12.00 WITA
25
disebabkan karena masih adanya urusan-urusan dalam adat yang belum
terselesaikan, seperti janji mempersembahkan kerbau maupun babi maka
mau sampai kapanpun janji tersebut harus benar-benar ditepati meskipun
yang menjanjikan sudah meninggal maka yang akan melanjutkan janji
tersebut adalah keturunannya. Rasa takut terhadap arwah-arwah nenek
moyang yang akan mendatangkan musibah, hal ini disimpulkan melalui
berbagai kejadian yang menimpa mereka79.
Salah satu faktor utama yang membuat masyarakat Kristen tetap
menjadi penganut kepercayaan pamali ialah karena kebersamaan dalam
keluarga, ketika ada acara adat yang mengharuskan menanggung biaya
seperti membawa ayam, beras serta gula dan kopi maupun duduk bersama-
sama ketua adat maka harus dilakukan jika tidak maka akan dikatakan
sombong, dijauhkan oleh keluarga. Berbagai faktor yang membuat orang
Kristen tetap mempercayai marapu disebabkan yaitu karena kepercayaan
pada pamali sudah ada sejak dulu, cara berpikir tentang marapu yang terus
melekat dalam diri mereka, kepercayaan pada marapu ditafsirkan sebagai
sesuatu yang akan menjadi kenyataan nantinya. Faktor pendidikan yang
kurang sehingga pemahaman tentang marapu lebih mendominasi dan
malahan anak-anak lebih memahami pamali ketimbang pelajaran sekolah,
faktor ekonomi yang tidak stabil membuat jemaat harus mencari solusi
dalam marapu untuk menemukan jalan keluar. Rasa takut akan masalah
serta musibah yang terus menimpa membuat jemaat lebih memilih percaya
pada marapu dengan harapan hidup akan menjadi lebih baik dan aman80.
Segala aturan dalam marapu terkhususnya pamali semua berasal dari
nenek moyang kemudian diturunkan kepada anak-anaknya hingga saat ini.
Asal-usul kepercayaan pamali tidak diketahui secara pasti namun itulah
kepercayaan yang sudah mendarah daging dalam masyarakat. Secara
agama memiliki kepercayaan terhadap pamali dilarang namun secara
pariwisata maupun budaya marapu menjadi sebuah hal yang tetap
dipertahankan. Dan malahan menjadi sebuah identitas masyarakat setempat
79 Wawancara dengan Bapak Samuel Ngongo Lede, 7 Januari 2019 80 Wawancara dengan mama kefas. Penduduk setempat di Desa Umbarottok, 5 Januari
2019. Pukul 12.00 WITA
26
meskipun lambat laun seiring perkembangan zaman kepercayaan pada
marapu akan hilang namun tidak sepenuhnya akan hilang karena akan
menjadi sejarah bagi masyarakat yang menjadi sebuah pengingat bagi
keturunan mereka81.
ANALISIS
Berdasarkan landasan teori pada bab II maka didapatkan beberapa hal
terkait dengan pamali di GKS Kabalidana cabang Milla ate serta lingkungan
penduduk setempat di Desa Umbarottok yaitu:
Pamali Dalam Sosiologi
Teori mengatakan bahwa ada beberapa hal pokok tentang budaya dan tabu
yaitu:
Mengatasi berbagai rintangan. Masyarakat meyakini bahwa taat pada aturan
dalam pamali membuat mereka dapat dijauhkan dari berbagai musibah, ketika ada
sebuah musibah yang menimpa mereka berbagai ritual akan diadakan seperti ritual
adat ketika rumah tersambar petir. Ada sebuah pamali tentang larangan berkata
kasar saat petir, tujuan dari pamali yang diyakini masyarakat ini adalah untuk
menghalau musibah yang akan datang. Namun jika rumah sudah terlanjur
tersambara petir maka diadakan upacara adat yang dinamakan saiso.
Tertib. Sesuai dengan data lapangan yang tersedia berkenaan dengan pamali yang
hadir dalam masyarakat maka pamali merupakan sarana dalam ketertiban
masyarakat setempat. Hal ini dapat dibuktikan dengan sistem kekerabatan yaitu
wannokalada. Dalam wannokalada ada berbagai suku di dalamnya dan jika
dikerucutkan lagi maka ada tiap-tiap rumah didalam wannokalada yang disebut
umakalada. Umakalada berisi satu suku besar yang memiliki aturannya terhadap
pamalinya sendiri.
Ketaatan. Pamali menjadikan masyarakat patuh terhadap perkataan pemimpin adat
yang dianggap mengetahui segala macam aturan dalam adat. Tentang sebab dan
akibat melanggar aturan dalam pamali, selain itu juga untuk mengetahui apa yang
81 Wawancara dengan bapak Lede Gono, selaku ketua adat, 7 Januari 2019
27
harus dilakukan ketika ada musibah yang menimpa keluarga. Pemimpin adat yang
disebut rato adat dipercayai sebagai penyambung lidah dan juga orang yang
berkomunikasi dengan roh leluhur.
Larangan bagi khalayak. Pamali berlaku terhadap seluruh penduduk entah yang
sudah beragama maupun yang masih percaya terhadap kepercayaan masyarakat
setempat. seperti yang ada dalam data lapangan tentang tanduk kerbau yang tidak
boleh dicuri. Aturan ini berlaku bagi siapa saja.
Terlarang. Masyarakat setempat memberlakukan hal ini pada setiap tempat atau
benda yang ada di dalam rumah maupun luar rumah. Benda yang dianggap suci
dilarang untuk dipegang begitupun juga dengan tempat dilarang untuk dimasuki.
Data lapangan yang sesuai dengan hal ini ini adalah perempuan yang dilarang untuk
memasuki ruang tamu dalam rumah besar karena sebelum menyelesaikan belisnya.
Perempuan yang belum lunas belisnya belum bisa berpindah suku, oleh sebab itu
meskipun sudah mempunyai anak dan menetap satu rumah bersama suaminya harus
tetap melunasi hutang belis.
Sumber daya roh. Kepercayaan terhadap pamali timbul karena masyarakat
meyakini ada daya kekuatan yang dapat mendatangkan malapetaka dan juga
kekuatan yang dapat melindungi terkandung di dalamnya. Masyarakat menganggap
bahwa pamali merupakan hal yang sakral tempat berdiamnya roh para leluhur.
Menjaga kelestarian yang Sakral. Pamali merupakan salah satu upaya
masyarakat untuk memelihara kebudayaan mereka dan juga menjaga sejarah asal-
usul seperti tanduk kerbau, tikar adat, tempat menyimpan siri pinang. Jika tidak ada
pamali maka benda bersejarah maupun tempat-tempat bersejarah bisa saja dapat
hilang seiring berjalannya waktu namun dengan adanya pamali menjadi sebuah
pengingat bagi mereka bahwa peninggalan tersebut berasal dari zaman leluhur
mereka. Itulah sebabnya meskipun sudah memiliki agama pun mereka tidak dapat
selamanya meninggalkan kepercayaan terhadap pamali.
Pengikat Persatuan. Pamali menjadi suatu pengikat persatuan masyarakat, hal ini
dapat dilihat ketika adanya rumah yang tersambar petir maka tiap-tip keluarga akan
bergotong-royong untuk mengambil bagian berpartisipasi melaksanakan acara adat
tersebut. Ada yang membawa peralatan dapur, makanan maupun minuman hingga
membawa lauk pauk yang belum jadi seperti babi, ayam maupun kerbau. Meskipun
28
anggaran yang dikeluarkan sangat besar namun mereka tetap ikut berpartisipasi.
Dari sini dapat dilihat bahwa Pamali bukan hanya saja sebuah larangan semata
tetapi sebagai sebuah pemersatu yang dimana tiap-tiap orang mematuhi berbagai
aturan di dalamnya dengan adanya harapan bahwa mereka juga dijauhkan dari
berbagai musibah. Jika ada keluarga yang tidak berpartisipasi maka masyarakat
setempat percaya roh nenek moyang akan mendatangi mereka dengan cara
merasuki.
Dalam landasan teori dan hasil penelitian yang telah dilakukan di Gereja
Kristen Sumba (GKS) Jemaat Kabalidana cabang Milla ate, masih ada jemaat yang
masih hidup dan mempercayai mitos yang sudah ada sejak turun-temurun atau
biasanya disebut sebagai kepercayaan terhadap Pamali (suatu larangan yang tidak
boleh dilanggar karena akan ada konsekuensi). Pamali menjadi sebuah hal yang
tetap diyakini sebagai kepercayaan yang hadir dalam lingkungan tempat jemaat
bertumbuh dan berinteraksi. Selain itu juga kebudayaan tercermin jelas dalam
lingkup keagamaan seperti kepercayaan masyarakat setempat kepada arwah leluhur
mereka. Hasil penelitian lapangan yang dilakukan memperlihatkan bahwa pamali
merupakan sebuah bentuk dari kebudayaan yag diciptakan oleh masyarakat
setempat. Seorang perempuan yang belum lunas belis tidak dapat memasuki ruang
tamu dalam rumah besar meskipun sudah memiliki anak dan sudah tinggal bersama
suaminya. Hal ini berlaku pada setiap perempuan yang belum pindah suku. Rasa
takut yang hadir dalam diri membuat mereka menaati aturan yang berlaku,
masyarakat setempat merasakan bahwa ada semacam kekuatan yang berada pada
tempat maupun benda.
Adat dibuat oleh manusia demi kepentingan manusia, karena kestabilan dan
tata tertib masyarakat diharap terpelihara melalui adat dan oleh adat. Salah satu
aspek penting pamali masih diyakini yaitu karena aturan yang ditaati masyarakat
seperti kubur batu yang tidak boleh disentuh, khususnya kubur para nenek moyang.
Masyarakat memahami hal tersebut karena mereka percaya bahwa ada kekuatan
alam yang tinggal didalamnya seperti tanduk kerbau yang tidak sembarangan
dicuri, masyarakat meyakini jika tanduk tersebut dicuri maka akan mendatangkan
bencana bagi si pencuri. Pamali merupakan sesuatu yang sakral bagi masyarakat
serta sebagai bentuk usaha manusia dalam memelihara dan merawat peninggalan
29
para leluhur, melalui pamali masyarakat ikut mengambil bagian dan juga ikut
berpartisipasi dengan daya kekuatan yang ada di sekitar mereka. Ketika ada sebuah
musibah yang terjadi dalam suatu keluarga maka tindakan selanjutnya yang
dilakukan ialah dengan mengadakan upacara adat dengan tujuan untuk
menghilangkan malapetakan yang terjadi, biasanya suatu musibah terjadi karena
melanggar janji dalam adat atau ada larangan dalam pamali yang tidak dipatuhi.
Analis Teologis
Pamali jika dikaitkan secara teologis sebagaimana mestinya bahwa menurut
ajaran kristiani kedua komponen tersebut memiliki perbedaan. Pamali dipahami
masyarakat setempat sebagai sebuah larangan yang memiliki konsekuensi jika
dilanggar namun jika melihat dari sisi teologis maka pamali diartikan sebagai hal
yang tidak seharusnya diyakini oleh makhluk hidup karena, secara teologis sesuai
dengan ajaran agama bahwa akan ada kehidupan yang baik terlepas dari
kepercayaan terhadap para leluhur atau orang yang sudah dituakan. Pamali secara
teologis diyakini sebagai larangan yang memiliki daya kekuatan yang berasal dari
alam sebagai sebuah manifestasi kehidupan masyarakat terhadap hal-hal mistis
yang dapat dilihat dari berbagai larangan yang ada serta berbagai ritual adat yang
masih dilakukan. Selain itu juga Pamali dipahami sebagai sesuatu yang suci dan
kudus oleh masyarakat karena ada beberapa tempat maupun benda yang tidak
sembarangan disentuh maupun dimasuki. Dari ketaatan terhadap Pamali inilah
masyarakat merasakan kedamaian ketika dapat dijauhkan dan dilindungi dari
berbagai malapetaka.
Dalam Pamali, kuasa yang dianggap memegang kehidupan mereka ialah roh
para leluhur, bukan hanya itu saja masyarakat meyakini bahwa binatang-binatang
disekitar mereka merupakan penjelmaan dari leluhur mereka. Dalam buku
Dhavamoni tentang” fenomenologi agama” dikatakan tentang pengertian animisme
menurut E.B. Tylor bahwa animisme dipahami sebagai suatu sistem kepercayaan
dimana manusia religius khususnya orang primitif membubuhkan jiwa pada
manusia dan juga pada semua makhluk hidup dan benda mati82. Pamali dianggap
sebagai sesuatu yang sakral, sesuatu yang dipatuhi. Masyarakat percaya bahwa roh
82 Mariasusai Dhavamony, fenomenologi agama, (Yogyakarta: Kanisius, 1995) cetakan ke-7, 66
30
para leluhur yang mengatur hidup, mengatur kapan waktu yang baik untuk
melakukan panen, dan ketika ada musibah yang terjadi maka ada doa khusus yang
dipanjatkan bagi roh leluhur yang didoakan dalam bahasa daerah setempat. Jika
dilihat dari hal ini maka pamali merupakan bagian penting dalam proses kehidupan
masyarakat.
Kepercayaan terhadap roh leluhur menjadi sebuah penangkal dari kejahatan
yang merupakan kebutuhan akan suatu bentuk komunikasi dengan mereka serta
keselamatan yang dapat diperoleh oleh masyarakat melalui ketaatan terhadap
pamali. Seperti pamali untuk tidak menyentuh batu kubur nenek moyang. Jadi dapat
dilihat bahwa pamali bagi masyarakat setempat sebagai pelindung bagi mereka,
agar dijauhkan dari sakit, marabahaya. Konsekuensi yang diterima bagi seseorang
yang melanggar aturan dalam pamali ialah akan ada malapetaka yang menimpa
keluarga seperti sakit maupun usaha keluarga yang terganggu. Namun sebaliknya
jika mematuhi terhadap berbagai aturan dalam Pamali maka akan dijauhkan dari
musibah maupun malapetaka, masyarakat percaya jika segala usaha keluarga dalam
hal ini pekerjaan akan dilindungi oleh roh leluhur selain itu juga agar usaha-usaha
yang dikerjakan dapat berjalan dengan baik.
Ada berbagai macam pamali yang dipercayai seperti tempat khusus untuk
menaruh siri pinang bagi roh para leluhur tidak boleh digunakan secara
sembarangan. Selain itu juga masyarakat percaya bahwa setiap tanaman memiliki
jiwa sehingga jika ada gagal panen maupun terbakar maka akan dilakukan ritual
adat untuk memanggil roh tanaman tersebut serta juga menyediakan persembahan
seperti memotong hewan yaitu babi, kerbau dan juga ayam dalam upacara adat.
Masyarakat meyakini bahwa persembahan yang diberikan akan diterima para
leluhur. Selain itu masyarakat percaya bahwa ada pohon, kebun, serta rumah adat
yang memiliki penghuni sehingga dilarang untuk berkata kasar secara sembarangan
dan juga batu kubur nenek moyang yang tidak disentuh. Kemudian pamali secara
khusus bagi perempuan yang belum selesai pembelisan tidak dapat masuk ke dalam
ruang tamu rumah adat dan hanya bisa berada di dapur.
31
KESIMPULAN
Berdasarkan penjelasan pada bab-bab sebelumnya dapat dilihat bahwa
pamali merupakan hasil dari kebudayaan yang menjadi bagian dari mitos yang
adalah sebuah pedoman dalam menjalani kehidupanya. Dalam perkembangan
zaman, manusia dituntut untuk berubah sesuai dengan kebutuhannya termasuk
kebudayaan. Meskipun sudah banyak hal yang berubah namun belum tentu semua
dapat berubah termasuk kepercayaan masyarakat, sebelum agama dijadikan sebagai
sebuah landasan kepercayaan dalam kehidupan tidak dapat pungkiri bahwa sudah
ada kepercayaan yang terbentuk melalui kebudayaan manusia. Setiap kota, negara,
maupun daerah memiliki kepercayaannya masing-masing begitupun juga di pulau
Sumba terkhususnya di Desa Umbarottok.
Pamali berisi aturan-aturan yang dapat membawa kedamaian jika menaati
dan juga malapetaka jika dilanggar. Aturan-aturan tersebut dipercayai sudah hadir
sejak zaman para leluhur. Ada sebagian yang percaya dan ada juga yang sudah tidak
mempercayai pamali. Ketika seseorang sudah beragama tentunya dihimbau untuk
tidak bergantung kepada kepercayaan terhadap pamali, meskipun sebelum agama
nasional diakui sudah terlebih dahulu ada kepercayaan masyarakat setempat yaitu
Marapu. Agama juga menjadi suatu aspek penting dalam kehidupan manusia
terkhususnya Gereja Kristen Sumba (GKS) Kabalidana cabang Milla Ate. Namun
bagaimana jadinya ketika jemaat masih mempercayai pamali dan masih mengikuti
berbagai ritual adat.
Alasan pamali tetap dipercaya berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan
ialah pamali merupakan sebuah bentuk kebudayaan bagi masyarakat setempat dan
juga hal yang tabu bagi jemaat. Dua hal yang bertentangan tetapi pamali sudah
hidup diantara mereka melalui segala sesuatu yang mereka lakukan.
Permasalahannya ialah jemaat cabang Milla ate masih tetap percaya terhadap
pamali dan juga ikut berpartisipasi di dalam ritual adat yang dilakukan karena
ketika mengkaji tentang masyarakat dan lingkungan ternyata alasan pamali masih
dipercayai ialah lingkungan sekitar tempat masyarakat hidup masih sangat
memelihara peninggalan para leluhur termasuk segala aturan-aturan dan hukum
yang berlaku. Bukan hanya itu saja rasa takut yang hadir dalam diri mereka terhadap
32
malapetaka yang bisa menimpa mereka. Ada juga jemaat yang yang masih memiliki
perjanjian dalam adat dan harus segera diselesaikan sehingga perlu melakukan
ritual adat. Kemudian pamali masih tetap dipercayai karena hal tersebut menjadi
sebuah identitas serta sebagai sebuah penghargaan pada leluhur.
SARAN
Berdasarkan hasil penelitian serta teori yang telah dianalisa dan dijelaskan
maka saran yang dapat disampaikan oleh peneliti ialah:
1. Gereja
Gereja perlu membuka diri dan juga perlu melihat keadaan jemaat
yang masih percaya terhadap pamali bukannya mengadili seakan-akan
pamali adalah hal yang kotor. Gereja semestinya memberikan pemahaman
serta jalan keluar yang baik kepada jemaat yang masih percaya terhadap
pamali agar jemaat pun juga merasa diperhatikan dan bukan dianggap
sebagai orang yang melenceng dari kebenaran firman Tuhan. Sebagai umat
beragama perlu menaati berbagai aturan keagamaan tetapi juga harus
menghargai kepercayaan masyarakat setempat.
2. Masyarakat Kristen
Sebagai umat beragama yang sudah menerima kebenaran firman
Tuhan sebaiknya tidak lagi menjadikan kepercayaan kepada para leluhur
sebagai landasan kehidupan. Hal ini bukan berarti harus melupakan sejarah,
namun ada baiknya dijadikan sebagai penghargaan terhadap para leluhur
dan juga segala peninggalan sejarah. Alangkah baiknya bersandar kepada
Tuhan dan mau mempercayai seluruh kehidupan hanya ke dalam
tanganNya.
33
DAFTAR PUSTAKA
Buku
Salim, Agus. 2006. Teori dan Paradigma Penelitian Sosial (edisi kedua).
Yogyakarta.Tiara Wacana.
Freud, Sigmund. 2017. Totem dan Tabu. Yogyakarta. Immortal Publishing dan
Octopus.
Peurson, c.a. Van. 1976. Strategi Kebudayaan. Jakarta. BPK Gunung Mulia.
Wellem, F.D. 2004. Injil dan Marapu. Jakarta. BPK Gunung Mulia.
Daeng, Hans J. 2000. Manusia, Kebudayaan dan Lingkungan Tinjauan
Antropologis.
Yogyakarta. Pustaka Pelajar.
Wazer, Michael H, Arief Sadiman dan Paul L. Wienir. 1986. Metode dan Analisis
Penelitian : Mencari Hubungan jilid 1. Jakarta. Erlangga.
Moleong, Lexy J. 2000. Metodologi Penelitian Kualitatf . Bandung. Remaja
Rosdakarya.
Arikunto, Suharsimi. 1996. Prosedur penelitian. Jakarta. Rineka Cipta.
Subagyo, Joko. 2011. Metode Penelitian dalam Teori dan Praktek. Jakarta. Rineka
Cipta.
Peursen, C, A, Van. 1976. Strategi Kebudayaan. Yogyakarta: BPK Gunung Mulia.
Ghazali, Adeng, Muchtar. 2011. Antropologi Agama Upaya Memahami
Keragaman Kepercayaan,Keyakinan, dan Agama. Bandung:
ALFABETA.
Sulasman, H, dan Setia Gumilar. 2013. Teori-teori Kebudayaan Dari Teori Hingga
Aplikasi. Bandung: CV PUSTAKA SETIA.
Pals, Daniel, L. 2011. Seven Theories of Religion. Jogjakarta: IRCiSoD.
Geertz, Clifford. 1992. Tafsir Kebudayaan. Yogyakarta: KANISIUS.
Soehadha, Moh. 2014. Fakta dan Tanda Agama Suatu Tinjauan Sosio-
Antropologis.
Yogyakarta. Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta.