pakepung 1790 - kiblat · pdf filekirimkan e-mail ke: ... berhasil direbut kembali berkat...

22
K. Subroto Penggagalan Upaya Penerapan Syariat Islam di Keraton Surakarta oleh Belanda dan Sekutunya PAKEPUNG 1790

Upload: truongminh

Post on 13-Feb-2018

228 views

Category:

Documents


1 download

TRANSCRIPT

K. Subroto

Penggagalan Upaya Penerapan Syariat Islamdi Keraton Surakarta oleh Belanda dan Sekutunya

PAKEPUNG 1790

Laporan Khusus SYAMINA Edisi 14 / Oktober 2016

2

PAKEPUNG 1790Penggagalan Upaya Penerapan Syariat Islam

di Keraton Surakarta oleh Belanda dan Sekutunya

K. Subroto

Laporan Khusus Edisi 14 / Oktober 2016

ABOUT US

Laporan ini merupakan sebuah publikasi dari Lembaga Kajian Syamina (LKS). LKS merupakan sebuah lembaga kajian independen yang bekerja dalam rangka membantu masyarakat untuk mencegah segala bentuk kezaliman. Publikasi ini didesain untuk dibaca oleh pengambil kebijakan dan dapat diakses oleh semua elemen masyarakat. Laporan yang terbit sejak tahun 2013 ini merupakan salah satu dari sekian banyak media yang mengajak segenap elemen umat untuk bekerja mencegah kezaliman. Media ini berusaha untuk menjadi corong kebenaran yang ditujukan kepada segenap lapisan dan tokoh masyarakat agar sadar realitas dan peduli terhadap hajat akan keadilan. Isinya mengemukakan

gagasan ilmiah dan menitikberatkan pada metode analisis dengan uraian yang lugas dan tujuan yang legal. Pandangan yang tertuang dalam laporan ini merupakan pendapat yang diekspresikan oleh masing-masing penulis.

Untuk komentar atau pertanyaan tentang publikasi kami,

kirimkan e-mail ke:

[email protected].

Seluruh laporan kami bisa didownload di website:

www.syamina.org

Edisi 14 / Oktober 2016 Laporan Khusus SYAMINA

3

EXECUTIVE SUMMARYDAFTAR ISI

Daftar Isi — 3

Executive Summary — 3

PAKEPUNG 1790

Penggagalan Upaya Penerapan Syariat Islam — 5

di Keraton Surakarta oleh Belanda dan Sekutunya

— 5

Kondisi Politik pada Masa Pakubuwana IV — 6

1. Habisnya Kedaulatan Mataram Digerogoti

VOC — 6

2. Bangkrutnya VOC, Berkuasanya

Pemerintah Belanda dan Kedatangan

Inggris — 9

Biografi dan Tulisan Karya Pakubuwana IV — 10

Pengaruh Ulama di Sekitar Raja — 13

Usaha Penerapan Hukum Islam — 14

Pengadilan Agama (Surambi) Menjadi Pengadilan

Tertinggi — 15

Hukum Kisas dan Hudud — 16

Bukti-Bukti Pelaksanaan Syariat Islam pada Masa

Pakubuwana IV — 17

Pengepungan Keraton oleh Pasukan Belanda dan

Sekutunya — 18

Perjuangan Bersenjata Pakubuwana IV dan Kerja

Sama dengan Hamengkubuwana II — 20

Gagal dengan Perlawanan Fisik, Beralih ke

Perlawanan Pena — 20

Kesimpulan — 21

Sunan Paku Buwono IV naik takhta pada usia

20 tahun. Usia yang begitu muda dan belum

matang kalau dibandingkan dengan kondisi

pemuda 20 tahun pada zaman ini. Namun, pada

usia yang begitu muda ia mempunyai keberanian

dan idealisme yang tinggi sebagai seorang raja dan

pemimpin yang berilmu karena ia telah dididik

oleh para ulama yang mumpuni. Ia berusaha

meluruskan berbagai penyelewengan dan penyim-

pangan dari ajaran Islam yang terjadi di Keraton

Surakarta. Ia juga berusaha menerapkan aturan-

aturan Islam di Keraton Surakarta.

Menyadari berbagai kekurangannya sebagai

seorang raja muda, Sunan meminta beberapa

ulama untuk mendampinginya. Ulama yang dipilih

adalah yang mereka yang mumpuni ilmunya dan

juga zuhud dalam kesehariannya. Harapannya,

ulama bisa mendampingi dan menjadi penasihat-

nya dalam memimpin Kasunanan Surakarta seba-

gai sebuah kerajaan islami penerus Mataram.

Setelah naik takhta Sunan berusaha melurus-

kan arah kebijakan sesuai dengan syariat Islam.

Sunan membuat berbagai aturan—baik berupa

kebijakan maupun aturan tertulis—untuk

merombak tata kelola di Keraton. Para pejabat

yang melanggar aturan yang dibuat Sunan akan

dimutasi atau bahkan dipecat. Hal itu membuat

beberapa pejabat yang tersingkir dari jabatannya

berusaha melawan Sunan.

Kebijakan Sunan yang bernuansa Islam

juga tidak disukai Penjajah Belanda. Belanda

memandang bahwa para ulama yang ada di

sekitar Sunanlah yang menjadi penyebabnya.

Laporan Khusus SYAMINA Edisi 14 / Oktober 2016

4

Belanda kemudian berkolaborasi dengan para

pejabat Keraton yang tidak menyukai kebijakan

Sunan untuk melawan Sunan. Mereka kemudian

melontarkan berbagai isu yang memojokkan Sunan

untuk memperoleh dukungan dari Kasultanan

Yogyakarta dan Kadipaten Mangkunegara. Usaha

mereka membuahkan hasil setelah hasutan dari

musuh-musuh. Sultan Yogyakarta dan Mangku-

negaran kemudian sepakat untuk melakukan

kerja sama atau persekutuan dengan Belanda.

Koalisi tersebut membuat pasukan sekutu

untuk mengepung Karaton Surakarta. Mereka

sepakat bahwa para ulama yang menjadi penasihat

Sunan adalah orang yang jahat dan mempengaruhi

raja untuk menerapkan aturan-aturan Islam.

Pengepungan dilakukan dengan ribuan pasukan

untuk mengepung Keraton Surakarta yang hanya

berisi beberapa ratus orang saja. Setelah terjadi

pengepungan Belanda mengultimatum Sunan. Ia

diminta menyerahkan para ulama penasihatnya

atau Keraton akan diserang dan Sunan diturunkan

dari takhta secara paksa. Pengepungan ini dikenal

dengan peristiwa Pakepung.

Sunan berusaha untuk menerapkan aturan-

aturan hukum Islam secara damai, tidak ada usaha-

usaha yang signifikan untuk membangun kekuatan

militer yang kuat. Hal itu karena Sunan terikat

perjanjian dengan Belanda dalam membangun

militernya dan merekrut para prajuritnya. Saat itu

kekuatan militer Keraton ada dalam kontrol Belanda.

Namun, walau Sunan berusaha menerapkan aturan

syariat Islam di negerinya sendiri, bahkan di dalam

keratonnya sendiri, tetapi Belanda dan sekutunya

menganggap itu sebagai ancaman yang serius

yang akan membahayakan kepentingan mereka.

Walaupun Sunan Pakubuwana IV berusaha

menegakkan syariat Islam secara damai, tetapi

musuh-musuhnya tetap menganggapnya sebagai

ancaman dan kejahatan yang harus dicegah dan

dihentikan sebelum tumbuh dan berkembang.

Edisi 14 / Oktober 2016 Laporan Khusus SYAMINA

5

Sejarah Kerajaan

Mataram pada masa

lampau banyak

diwarnai oleh sengketa

di antara para pangeran,

lebih-lebih jika menyangkut

persoalan suksesi. Walaupun

raja yang sedang memerintah

telah menyiapkan calon

penggantinya, tetapi sesudah

raja mangkat, pergantian

tahta sering berlangsung

secara tidak mulus.

Banyak faktor yang

menyebabkan terjadinya

peristiwa di balik pergantian

takhta tersebut. Namun,

faktor yang sangat menonjol adalah konsep

kekuasaan dalam pemikiran kebudayaan Jawa.

Konsep kekuasaan yang berdasarkan Wahyu

Cakraningrat atau Wahyu Keraton masih berakar

kuat dalam memilih calon yang dapat menjadi

pengganti raja.

Di kalangan masyarakat tradisional Jawa,

kekuasaan itu berkaitan dengan turunnya wahyu

sehingga raja merupakan pengejawantahan dari

Tuhan, sebagaimana disinyalir oleh Dr. Purwadi

(2003). Akibatnya raja memiliki kekuasaan

1 Diambil dari: http://rodvoid.org/1/10/P.B.IV.jpg

Gb. Sunan Paku Buwono IV1

PAKEPUNG 1790Penggagalan Upaya Penerapan Syariat Islam

di Keraton Surakarta oleh Belanda dan Sekutunya

tidak terbatas dan segala

keputusannya tidak dapat

ditentang karena dianggap

kehendak dari Tuhan.2

Posisi raja yang

sedemikian penting dan

“menguntungkan” membuat

setiap raja berusaha

dengan sekuat tenaga

untuk mempertahankan

kedaulatannya. Sering

terjadi perang saudara di

antara keluarga kerajaan

sendiri. Saat itulah VOC

tampil seolah-olah

menjadi penengah. Melalui

perjanjian-perjanjian yang

difasilitasi oleh VOC, konflik antarkeluarga kerajaan

ini tampak mulai reda. Namun, di balik itu mulai

muncul pihak-pihak yang mulai memanfaatkan

situasi tersebut untuk mencari keuntungan pribadi,

termasuk VOC sendiri.

Perjanjian Giyanti menandai babak baru dalam

perjalanan sejarah Dinasti Mataram. Wafatnya

Pakubuwana II, dilanjutkan dengan pengangkatan

putra mahkota menjadi Pakubuwana III, ternyata

memunculkan persoalan baru di kalangan istana.

Hal ini dikarenakan sebelum upacara penobatan

putra mahkota menjadi Pakubuwana III, pengikut

Pangeran Mangkubumi telah mengangkat

2 Purwadi, Membaca Sasmita Jaman Edan Sosiologi Mistik R. Ng. Ronggowarsito, Jogjakarta: Persada, 2003, hlm. 5-6.

Laporan Khusus SYAMINA Edisi 14 / Oktober 2016

6

Gb. Sultan Hamengku Buwono4

Pangeran Mangkubumi menjadi

raja.

Persoalan ini membuat

VOC segera mengambil

keputusan untuk mencoba

dan merundingkan suatu

penyelesaian sebagai upaya

melepaskan diri dari peperangan

yang berpotensi membuat

VOC bangkrut. Pangeran

Mangkubumi pun siap untuk

mengadakan perundingan.

Akhirnya pada tanggal 13

Februari 1755 Perjanjian Giyanti

ditandatangani. VOC mengakui

Pangeran Mangkubumi sebagai

Sultan Hamengkubuwana I yang menguasai

setengah wilayah Mataram.3

Pengakuan Pemerintah Hindia Belanda atas

kedudukan Sultan Hamengkubuwana I belum

menyelesaikan persoalan di kalangan istana.

Salah satu keturunan Pangeran Mangkunagara

(putra tertua Amangkurat IV), yaitu Raden Mas

Said, belum menghentikan perlawanan terhadap

Belanda.

3 Ricklefs, Sejarah Indonesia Modern, Terjemahan Dharmono Hardjopuspito, Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, hlm. 148-149.

4 Diambil dari: https://galeriilmiah.files.wordpress.com/2012/01/hb1.jpg

Perundingan damai antara

Raden Mas Said dengan Belanda

berlangsung pada tanggal 24

Februari 1757 di Grogol, sebelah

selatan Surakarta. Kemudian

dilanjutkan dengan perundingan

kedua pada tanggal 17 Maret 1757

di Salatiga. Dalam perundingan

tersebut diperoleh kesepakatan,

bahwa Raden Mas Said mendapat

wilayah kekuasaan yang meliputi

Matesih, Keduwang, Nglaroh,

dan Surakarta bagian tenggara.

Akhirnya perjuangan panjang

Raden Mas Said membuahkan

hasil yang ditandai dengan

berdirinya Pura Mangkunegaran.

Kondisi Politik pada masa Pakubuwana IV

1. Habisnya Kedaulatan Mataram Digerogoti VOC

Kasunanan Surakarta merupakan kelanjutan

dari Kasunanan Kartasura. Kasunanan Kartasura

merupakan kelanjutan dari Kasultanan Mataram.

Kasultanan Mataram berdiri pada tahun 1588 M

dengan Sutawijaya sebagai Sultan yang bergelar

Senapati ing Alaga Sayidin Panatagama yang

bermakna ‘Panglima Perang dan Ulama Pengatur

Kehidupan Beragama’.

5 Diambil dari: http://4.bp.blogspot.com/-Tbesh3L0K8k/VVlh8g8JMUI/AAAAAAAAArE/qN_yX_be8uI/s1600/ markijar.com%2B-%2Bwilayah%2Bmataram%2Bislam.png

Gb. Peta Wilayah Kekuasaan Mataram Islam5

Edisi 14 / Oktober 2016 Laporan Khusus SYAMINA

7

Kasultanan Mataram runtuh akibat

pemberontakan Trunajaya pada tahun 1677.

Kemudian ibu kotanya dipindahkan ke Kartasura

oleh Sunan Amangkurat II. Pada masa Sunan

Pakubuwana II (1742) Mataram mendapat serbuan

dari orang-orang Tionghoa yang mendapat

dukungan dari orang-orang Jawa anti-VOC.

Kerajaan Mataram yang berpusat di Kartasura

itu pun mengalami keruntuhannya. Kota Kartasura

berhasil direbut kembali berkat bantuan Adipati

Cakraningrat IV, penguasa Madura Barat—yang

merupakan sekutu VOC—dalam keadaan rusak

parah. Kemudian Sunan Pakubuwana II yang

menyingkir ke Ponorogo memutuskan untuk

membangun istana baru di desa Sala sebagai

ibukota Kerajaan Mataram yang baru.6

Sebagai imbalan karena telah membantu

merebut Kartasura dari pemberontak, VOC

menginginkan penandatanganan perjanjian. Isi

perjanjian itu sangat merugikan pihak Keraton.

Namun, karena kondisi Kasunanan yang lemah,

akhirnya Sunan dengan terpaksa menyetujui

perjanjian itu. Hal itu terjadi ketika Sunan kembali

menduduki tahta Kerajaan Kartasura (1742).

Perjanjian itu dilakukan Sunan dengan Komisaris

Kompeni Hoego Verijssel. Isi perjanjian itu antara

lain:

1. Patih dan para bupati daerah Pesisiran,

sebelum mereka memegang kekuasaan,

harus sepengetahuan dan mendapat

persetujuan Kompeni.

2. Sunan menyerahkan Madura, Sumenep,

dan Pamekasan.

3. Sunan menyerahkan Sedayu kepada salah

seorang keturunan Pangeran Cakraningrat

dari Madura dan Sedayu berada di bawah

pengawasan Kompeni.

4. Sunan menyerahkan daerah-daerah Bang

Wetan, yaitu: Gresik, Panarukan, dan

sekitarnya, Surabaya, Rembang, serta

Semarang.

6 Darsiti Soeratman, Kehidupan Dunia Keraton Surakarta 1830–1939, Yogyakarta: Penerbit Taman Siswa, 1989, hlm. 66.

5. Sunan memberi gaji kepada 4.000

orang Kompeni yang bertugas menjaga

keamanan di Kartasura sebesar 24.000 real

setahun; 10.000 real dan 1000 koyan beras

kepada Kompeni, juga 500 koyan kacang-

kacangan.

6. Sunan memberikan hak monopoli dagang

di daerah Mataram kepada Kompeni.

Selain perjanjian di atas, sesudah pindah ke

Surakarta (1746), Sunan juga menandatangani

perjanjian dengan Gubernur Jenderal Van

Imhoff. Dalam hal ini Belanda meminta seluruh

daerah pesisiran. Perjanjian ini dianggap sebagai

pembaruan perjanjian tahun 1743 di atas. Surat

ini dibuat pada tanggal 18 Mei 1746. Sejak saat

itu seluruh daerah Pesisiran diberikan kepada

Kompeni. Daerah-daerah tersebut adalah Brebes,

Tegal, Pemalang, Pekalongan, Batang, Kendal,

Demak, Juwana, Kudus, Pati, Tuban, Sedayu, Gresik,

Lamongan, Sidoarjo, Bangil, Pasuruan, sebagian

daerah Malang, Jepara, Rembang, Surabaya, dan

Madura.7

Pada tahun 1749 kondisi kesehatan Sunan

memburuk sejak perginya Pangeran Mangkubumi

dari Keraton. Sebaliknya, situasi ini justru digunakan

Kompeni untuk melaksanakan ambisinya. Pada

saat Sunan jatuh sakit datanglah Hegendrop ke

Surakarta dengan membawa surat perjanjian.

Pada waktu itu, dalam keadaan sakit, sambil

dibangunkan dari tempat pembaringan, Sunan

dipaksa menyerahkan mahkota dan kedaulatan

Kerajaan Mataram kepada Kompeni serta

menyerahkan nasib putranya, Pangeran Adipati

Anom. Sejak saat itulah Kompeni berkuasa penuh

atas Kerajaan Mataram sebab tidak lama kemudian

Sunan Pakubuwana II meninggal dunia dan

dimakamkan di Laweyan.8

Pada saat perlawanan Pangeran Mangkubumi

semakin bersemangat dan memperoleh beberapa

7 “Serat Perjanjian Dalem Nata”, Surakarta: Radyapustaka, No. 297/D, hlm. 26-43, dalam: Edy S. Wirabhumi, Pemberdayaan Hukum Otonomi Daerah dan Potensi Wilayah: Studi tentang Kemungkinan Terbentuknya Provinsi Surakarta, Disertasi Program Doktor Ilmu Hukum, Semarang: Program Pascasarjana, Universitas Diponegoro, 2007, hlm. 70.

8 Edy S. Wirabhumi, Op. Cit., hlm. 71. Lihat: Buminata, Serat Kuntharatama, Yogyakarta: t.p., 1932, hlm. 21: “Serat Perjanjian Dalem Nata”, Op. Cit., hlm. 42–44.

Laporan Khusus SYAMINA Edisi 14 / Oktober 2016

8

hasil—seperti penguasaan wilayah pesisiran

kulon—di dalam Keraton terjadi proses pergantian

tahta. Pada hari Senin Wage, 4 Sura, Alip 1675 atau

1749 Masehi, putera mahkota kerajaan Pangeran

Adipati Anom dinobatkan menjadi raja dengan

gelar Sunan Pakubuwana III. Dalam kaitan ini posisi

Sunan adalah “wakil” Kompeni dalam memerintah

Mataram.

Setelah acara penobatan diadakan perjanjian

dengan Kompeni tanggal 11 November 1749.

Perjanjian itu berisi butir-butir kesepakatan, antara

lain:

1. Sunan mengakui bahwa kekuasaannya

diperoleh atas kebaikan hati pemerintah

Kompeni.

2. Segala isi perjanjian yang dibuat oleh

leluhur Sunan tahun 1707, 1743, 1746, dan

1749 tetap berlaku.9

Kasunanan Surakarta kembali mengalami

penurunan legitimasi dan kewibawaan akibat

Perjanjian Giyanti 1755. Mulai saat itu Mataram

terpecah menjadi Kasunanan Surakarta dan

Kasultanan Yogyakarta.

Gb. Naskah Perjanjian Giyanti10

Penurunan kewibawaan Kasunanan Surakarta

sangat dirasakan oleh Sunan PB IV sebagai pewaris

tahta Kasunanan Surakarta. Kondisi turunnya

kewibawaan Kasunanan Surakarta akibat palihan

9 Soekanto, Sekitar Yogyakarta (1755–1825), Djakarta: t.p., 1952, hlm. 178.

10 Diambil dari: http://image.slidesharecdn.com/kratonsurakartahadiningrat-131223212855-phpapp02/95/kota-solokraton-surakarta-hadiningrat-4-638.jpg?cb=1387834174

nagari diperparah dengan semakin meningkatnya

dominasi pihak pemerintah kolonial terhadap

persoalan intern Keraton Surakarta.

Masalah ini sebenarnya sudah dimulai sejak

pengangkatan Sunan Pakubuwana III sebagai raja

Mataram. Sejak saat itu setiap raja yang dinobatkan

harus menandatangani surat perjanjian yang

di antara isinya menegaskan bahwa tahta yang

diduduki oleh Sunan diakui sebagai jasa baik

Kompeni dan Sunan harus setia pada perjanjian-

perjanjian yang telah dibuat oleh raja-raja

pendahulunya.11

Gb. Peta Mataram Islam setelah Perjanjian Giyanti12

Melihat kondisi tersebut, Sunan Pakubuwana IV

sebagai pewaris tahta Kasunanan Surakarta, wajar

jika mempunyai keinginan untuk mengembalikan

kejayaan Mataram Islam. Menurut pandangan

Sunan Pakubuwana IV, ada dua faktor yang

menyebabkan Kasunanan Surakarta mengalami

penurunan kewibawaan, yaitu pecahnya Mataram

sebagai akibat Palihan Nagari 1755 dan terlalu

dalamnya campur tangan pemerintah kolonial

terhadap urusan intern Keraton.13 Berdasarkan

pandangan Sunan Pakubuwana IV tersebut maka

dapat dipahami jika kebijakan politik diarahkan

untuk menyatukan kembali Mataram dengan

11 Supariadi, Kyai dan Priyayi di Masa Transisi, Surakarta: Pustaka Cakra, 2001, hlm. 226.

12 Diambil dari: http://upload.wikimedia.org/wikipedia/id/thumb/8/83/Jawa_Setelah_Perjanjian_Giyanti.png/ 640px-Jawa_Setelah_Perjanjian_Giyanti.png

13 Supariadi, Kiyai dan Priyayi di Masa Transisi, Surakarta: Pustaka Cakra, 2001, hlm. 27.

Edisi 14 / Oktober 2016 Laporan Khusus SYAMINA

9

merangkul Kasultanan Yogyakarta dan melepaskan

diri dari tekanan pemerintah kolonial.

Politik untuk menyatukan Mataram yang

jaya dan berwibawa sudah menjadi cita-

cita Pakubuwana III dan mulai dirintis oleh

Pakubuwana IV. Namun, belum terlihat hasilnya,

walaupun pada masa Pakubuwana IV Belanda

sangat lemah. Meski demikian, pihak Mataram juga

belum bisa mengumpulkan kekuatan yang cukup

untuk melawan Belanda, apalagi mengusirnya dari

Tanah Jawa.

Pada Pemerintahan Pakubuwana IV (1788-

1820) di pusat pemerintahan kolonial terjadi

peristiwa politik yang signifikan dan berpengaruh

ke Surakarta. Bubarnya VOC (1799), Pemerintahan

Republik Bataaf (1799-1808), Pemerintahan Hindia

Belanda (1808-1811), pendudukan tentara Inggris

(1811-1816), dan kembali kepada Pemerintahan

Kolonial Belanda.14

2. Bangkrutnya VOC, Berkuasanya Pemerintah Belanda dan Kedatangan Inggris

Kejayaan VOC ternyata tidak bertahan lama.

Dalam perkembangannya VOC mengalami masalah

yang besar, yakni kebangkrutan. Kebangkrutan

VOC ini terutama terjadi karena para pegawainya

banyak yang korupsi. Waktu itu VOC sudah sangat

merosot, kas kosong, utang menumpuk, dan

tidak mampu lagi menciptakan pengawasan dan

keamanan atas wilayah Indonesia sehingga pada

tanggal 31 Desember 1799 VOC dibubarkan.

Sementara itu di Belanda terjadi perubahan.

Pemerintah Raja Williem V digulingkan kaum

republik yang didukung oleh Prancis. Hal ini

membuat Belanda menjadi negara jajahan Prancis.

Akibatnya, Kerajaan Belanda diubah menjadi

Republik Bataaf. Pemerintahan baru ini kemudian

yang membubarkan VOC pd tgl 31 Desember 1799.

Setelah kejadian itu Louis Napoleon Bonaparte—

yang berkuasa di Belanda sebagai wakil Prancis—

menunjuk Herman Williem Daendels (orang

Belanda pro-Prancis) untuk memerintah Hindia

Belanda (Indonesia) dengan tugas utama

14 Soeprijadi, Reorganisasi Tanah Serta Keresahan Petani dan Bangsawan di Surakarta (1911–1940), Yogyakarta: Tesis Program Pascasarjana, Universitas Gadjah Mada, 1996, hlm. 9.

mempertahankan pulau Jawa agar tidak dikuasai

Inggris.15

Untuk menjalankan pemerintahan di Indonesia

diangkatlah Gubenur Jenderal Daendels. Daendels

tiba di Indonesia pada tanggal 1 Januari 1808.

Kemudian Daendels mengadakan banyak tindakan.

Salah satu tindakan Daendels yang terkenal adalah

dalam bidang sosial ekonomi. Beberapa tindakan

itu antara lain sebagai berikut.

z Meningkatkan usaha pemasukan uang

dengan cara pemungutan pajak.

z Meningkatkan penanaman tanaman yang

hasilnya laku di pasaran dunia.

z Rakyat masih diharuskan melaksanakan

penyerahan wajib hasil pertaniannya.

z Penjualan tanah-tanah kepada pihak

swasta.

z Membangun Jalan Anyer (Jawa Barat)–

Panarukan (Jawa Timur).

Tindakan Daendels yang dikenal dengan

kerja paksa telah menyebabkan kesengsaraan

rakyat. Kesewenang-wenangan Daendels dan

penderitaan rakyat itu telah menimbulkan protes

dan perlawanan rakyat.

Di Mataram Daendels membuat aturan baru

dalam penyambutan residen di Surakarta dan

Yogyakarta. Residen di kedua kerajaan harus diberi

penghormatan sebagai wakil dari kekuasaan yang

tertinggi dan sejajar dengan raja sehingga kedua

raja menjadi raja bawahan pemerintah kolonial.

Aturan itu ditentang oleh Sultan Hamengkubuwana

II. Tindakan ini menyebabkan sultan dipaksa turun

tahta oleh Dandeles dengan ekspedisi militer.

Pada tahun 1812 Inggris merebut Jawa dari

tangan Pemerintah Belanda. Dalam Kondisi

seperti itu Raja Surakarta dan Yogyakarta

berusaha memulihkan kekuasaannya seperti

semula. Di Yogyakarta Sultan Hamengkubuwana

II berhasil naik tahta lagi setelah diturunkan

pada masa Daendels. Sultan Hamengkubuwana

II dan Pakubuwana IV Surakarta bersama-sama

15 ---, Cross-Colonial Cooperation In Nineteenth-Century Java: Examining The Sepoy Conspiracy of 1815 in A World History Context, The Middle Ground Journal, Number 6, Spring, 2013, hlm. 8.

Laporan Khusus SYAMINA Edisi 14 / Oktober 2016

10

Pakubuwana III yang agak patuh kepada VOC,

penerus tahta Kasunanan Surakarta berikutnya,

yakni Sri Susuhunan Pakubuwana IV (1788-1820),

adalah sosok raja yang membenci penjajah dan

penuh cita-cita serta keberanian.19

Sunan Pakubuwana IV dalam pandangan

masyarakat Surakarta tidak saja dikenal sebagai

pujangga yang mumpuni, tetapi juga dipercaya

sebagai raja dan ulama yang taat menjalankan

ajaran agama Islam. Ketaatan dalam menjalankan

agama Islam, seperti tidak meninggalkan shalat

lima waktu, shalat Jumat dan mengharamkan

minuman keras dan candu sudah terlihat sejak

muda dan masih berstatus sebagai putra mahkota.

Pakubuwana IV dikenal sebagai raja Surakarta

yang paling religius dalam mengamalkan ajaran

Islam dalam kehidupan pribadi maupun kerajaan.

Kegemarannya menimba ilmu agama dari kiai

dan guru agama menjadikan dirinya memiliki

pengetahuan dan pemahaman yang luas tentang

agama Islam. Keluasan pengetahuan Islam yang

dimiliki oleh raja Surakarta ini dapat dilihat dari

serat-serat piwulang karyanya, seperti Serat

Wulang Reh, Wulang Dalem, dan Wulang Brata

Sunu. Sebagian besar isi Serat Piwulung Sunan

Pakubuwana IV menerangkan ajaran Islam. Tidak

jarang dalam serat karyanya tersebut ia mengutip

langsung ayat-ayat Al-Qur’an dan Al-Hadits demi

memperkuat nasihat yang disampaikannya.

19 Purwadi, Membaca Sasmita Jaman Edan Sosiologi Mistik R. Ng. Ronggowarsito, Jogjakarta: Persada, 2003, hlm. 69.

berperang melawan Inggris. Tetapi, perlawanan

berhasil dipatahkan Inggris yang kemudian

menyerbu Yogyakarta dan memaksa Sultan turun

tahta kembali serta mengasingkannya. Peristiwa

ini berhasil memaksa Sunan dan Sultan yang baru

untuk menandatangani perjanjian baru pada

tanggal 1 Agustus 1812, yang antara lain berisi

penyerahan Kedu, sebagian Semarang, Rembang,

dan Surabaya kepada Inggris.17

Biografi dan Tulisan Karya Pakubuwana IVNama kecil Pakubuwana IV adalah Bendara

Raden Mas Sambadya. Ia lahir dari permaisuri

Sunan Pakubuwana III yang bernama Gusti Ratu

Kencana (Rara Beruk), pada hari Kamis Wage, 18

Rabiul Akhir 1694 Saka atau 2 September 1768. Putra

Sampeyan Dalem Hingkang Sinuhun Pakubuwana

III nomer 17 ini memegang pemerintahan selama

32 tahun (1788-1820). Wafat pada hari Senin

Pahing, 25 Besar 1747 Saka atau 2 Oktober 1820.18

Sri Susuhunan Pakubuwana IV, yang lebih

dikenal dengan sebutan Sunan Bagus, mewarisi

darah kaprabon dan kapujanggan ramandanya.

Ia mendapat gelar demikian karena memang

memiliki wajah yang tampan. Dalam usia 20

tahun, Sunan Bagus naik tahta menggantikan

ayahandanya, Pakubuwana III. Berbeda dengan

16 Dari: https://upload.wikimedia.org/wikipedia/commons/thumb/f/f7/Java_Great_Post_Road.svg/1000px-Java_Great_Post_Road.svg.png

17 Mawarti Djoened Poesponegoro dan Nugroho Notosusanto, Sejarah Nasional Indonesia IV, Cetakan IV, Jakarta: Penerbit Balai Pustaka, 2010, hlm. 57–58.

18 Andi Harsono, S.TP., M.Pn., Tafsir Ajaran Serat Wulangreh, Yogyakarta: Puri Pustaka, 2005, hlm. 9.

Gb. Peta Jalan yang dibuat16

Edisi 14 / Oktober 2016 Laporan Khusus SYAMINA

11

Pakubuwana IV juga dikenal sebagai

sebagai seorang pujangga. Sejak ia memimpin

di Kasunanan Surakarta telah banyak karya-

karya besar yang ia ciptakan, di antaranya: Serat

Wulangreh, Serat Wulangsunu, Serat Wulangputri,

Serat Wulang Tatakrama, Donga Kabula Mataram,

Cipta Waskita, Panji Sekar, Panji Dhadhap, Panji

Raras, Serat Sasana Prabu, dan Serat Polah Muna-

Muni.20

Serat Wulangsunu adalah karya Pakubuwana

IV yang berisi tentang ajaran moral seperti serat

piwulang lainnya. Bendelan aslinya berada di

kepustakaan Surakarta yang memuat lima pupuh.

Pesan moral dalam Serat Wulangsunu adalah

pemahaman terhadap dharmaning gesang (tugas

kehidupan di dunia) pamedaring wasitaning

ati (lahirnya kata hati/niat). Akan tetapi, Serat

Wulangsunu tidak sepopuler Serat Wulangreh dan

belum banyak yang mengkaji secara luas.

Berikutnya adalah Serat Cipta Waskitha. Tidak

berbeda dengan serat piwulang lainnya, Serat Cipta

Waskitha terdiri dari tiga pupuh, yang mengajarkan

tentang budi pekerti, memilih guru, pengertian

ilmu dan ngelmu, bawono ageng lan bawono alit.

Menurut Dr. H. M. Muslich, Serat Cipta Waskitha

ini pernah digarap oleh Ki Hudoyo Djoyodipuro

dengan judul Cipta Waskitha Ngelmu Mistik

Terapan. Teks serat ini tersimpan di kepustakaan

Surakarta. Dengan terciptanya Serat Cipta Waskitha

diharapkan manusia dapat memahami hidup, tidak

memandang rendah orang lain, memahami hukum

benar dan salah (halal dan haram).21

Serat Wulang Putri karya Susuhunan

Pakubuwana IV berisi lima pupuh. Serat Wulang

Putri ini berisi tentang piwulang yang dipersiapkan

untuk kepentingan putra-putri Sunan. Naskah

Serat Wulang Putri masih tersimpan baik di

kepustakaan Surakarta dan Istana Mangkunegaran;

dijadikan satu dengan Serat Piwulang Pakubuwana

IV yang masih berupa tulisan Jawa. Kemudian

pada tahun 1994 dialihbahasakan oleh Dra.

Darweni dengan kode transkrip naskah A 344 dan

20 Darusuparta, Serat Wulangreh Angitan Dalem Wedhatama Winardi, Surabaya, 1982, hlm. 14.

21 Dr. H. M. Muslich K.S., M.Ag., Moral Islam dalam Serat Piwulang Pakubuana IV, 2006, hlm. 175.

disimpan di kepustakaan Rekso Pustaka, Istana

Mangkunegaran.22

Serat Wulang Putra karya Susuhunan

Pakubuwana IV ini isinya lebih mengacu pada

Serat Wulangreh, terdiri sembilan pupuh. Seperti

Naskah serat piwulang lainnya, Serat Wulang Putra

mengajarkan nasihat tentang cara memilih Guru

yang baik, pergaulan, menghindari watak Adigang,

Adigung, Adiguna, tata krama, akhlak terpuji

dan akhlak tercela, serta ajaran taat terhadap

agama. Pada tahun 1980 Serat Wulang Putra

dialihbahasakan oleh Surasa dalam huruf Latin dan

disimpan di kepustakaan Rekso Pustaka, Istana

Mangkunegaran.

Panji Raras adalah salah satu karya Pakubuwana

IV yang berbentuk buku atau waosan yang

terkenal. Karya-karyanya yang berbentuk waosan

antara lain Panji Sekar, Panji Dadhap, dan Panji

Blitar. Keempat waosan tersebut—yang berupa

tulisan carik—semuanya disimpan di kepustakaan

Radyapustaka nomor carik 189, 190, 191, 192, yang

ditulis pada tahun 1732.23

Dari beberapa karya besar Sri Susuhunan

Pakubuwana IV, Serat Wulangreh adalah karya

yang paling fenomenal di kalangan masyarakat

Jawa dan pengikut Kasunanan Surakarta. Serat

Wulangreh selesai ditulis oleh Sunan Pakubuwana

IV pada tahun 1735 Jawa yang bertepatan dengan

tahun 1808 Masehi. Serat Wulangreh berasal dari

tiga kata, yaitu serat, wulang, dan reh. Menurut

Dojosantoso dalam bukunya Unsur Religius dalam

Sastra Jawa, Serat berarti surat atau tulisan, Wulang

berarti piwulang atau mengajarkan, sedangkan Reh

mempunyai arti laku atau tingkah laku.24

22 Ibid, 28.23 Dr. H. M. Muslich K.S., M.Ag., Moral Islam dalam Serat Piwulang

Pakubuana IV, 2006, hlm. 177.24 Djojosantosa, Unsur Religius dalam Sastra Jawa, Semarang: Aneka

Ilmu, 1989, hlm. 55.

Laporan Khusus SYAMINA Edisi 14 / Oktober 2016

12

Gb. Serat Wulangreh25

Tingkah laku yang dimaksud adalah tingkah

laku dalam hal pergaulan, tingkah laku dalam hal

menghadap Raja atau melaksanakan tugas Istana,

tingkah laku dalam kehidupan dunia, tingkah laku

putra Raja terhadap bawahannya atau orang kaya

terhadap orang miskin. Semua ditulis dalam karya

sastra Serat Wulangreh Sri Susuhunan Pakubuwana

IV.

Sri Susuhunan Pakubuwana IV, dengan Serat

Wulangreh, ingin menyampaikan petuah yang

mengandung nasihat dan unsur-unsur religi

(keagamaan) terhadap putra (anak), wayah (cucu

keturunannya), serta kepada masyarakat umum,

supaya tajam pemikiranya dalam menghadapi

kehidupan dunia serta dalam menangapi kehendak

ilahi. Mampu memilih mana yang baik dan buruk,

benar dan salah, serta haram dan halal, seperti yang

di kehendaki Yang Sukma (Allah). Misalnya, dalam

25 Dari: http://4.bp.blogspot.com/-1AAJKPHNkRQ/TkKtwUaotjI/AAAAAAAAAFk/NA_5xxcvcwI/s1600/ Serat+Wulangreh+150+dpi.jpg

Serat Wulangreh Sunan mengajarkan berbagai hal

tentang memahami kehidupan agar tidak tersesat.

Di antaranya ia menulis bagaimana memilih

seorang guru.

Sunan menulis agar tidak sembarangan

memilih guru. Pilihlah guru yang tidak saja

berilmu tapi juga baik akhlaknya, ibadahnya, serta

zuhud atau sederhana. Jangan memilih guru yang

kelihatannya berilmu tetapi tidak melaksanakan

syariat dengan alasan telah mencapai maqam yang

tinggi karena hal itu akan merusak semua aturan

agama.

Demikian juga pendapat Sunan yang

mencerminkan pemahaman keislamannya

yang baik adalah nasihatnya dalam ilmu dan

menghukumi sesuatu. Ia menulis agar jangan

mengambil ilmu yang tidak memenuhi empat

syarat, yaitu Dalil (Al-Qur’an), Al-Hadits, Ijma’, dan

Qiyas.26

Masa pemerintahan Pakubuwana IV (1788)

merupakan masa kebangkitan karawitan Keraton.

Pada masa ini kehidupan karawitan mengalami

kemajuan yang luar biasa, yaitu banyak gending

tercipta, baik gending dengan komposisi yang

panjang (seperti gending ketuk 4 arang, 4 kerep),

sampai gending prenes27 dan gecul.28 Masa

pemerintahan Pakubuwana IV juga ditandai

dengan berkembangnya gending bonang.29 Hal

ini diduga karena pada masa tersebut merupakan

kebangkitan gending Sekaten yang ditandai

dengan pembuatan gamelan Sekaten Kyai Guntur

Madu. Seperti diketahui bahwa gamelan sekaten

menempatkan bonang sebagai main instrument

sehingga dirasa perlu menciptakan gending

bonang untuk keperluan musikal Sekaten maupun

keperluan lainnya.30

Sunan Pakubuwana IV wafat pada usia 53 tahun,

tepatnya pada Senin Paing, 23 Besar 1747 Jawa atau

1 Oktober 1820, dengan lama jabatan sebagai raja

26 Purwadi, Sistem Pemerintahan Jawa Klasik, Medan: Pujakesuma, hlm. 411.

27 Bentuk gending yang memiliki karakter dinamis dan lincah yang ditandai dengan permainan teknik kendang ciblon.

28 Bentuk gending yang memiliki karakter lucu dengan ekspresi permainan (improvisasi) “seakan-akan” sekenanya.

29 Komposisi karawitan dengan main instrument boning.30 Bambang Sosodoro, Karawitan Keraton Kasunanan dan Pura

Mangkunegaran Pasca Perjanjian Giyanti, Jurnal Keteg, Vol. 13 No. 1, Mei 2013, hlm. 54.

Edisi 14 / Oktober 2016 Laporan Khusus SYAMINA

13

selama kurang lebih 33 tahun. Sri Pakubuwana IV

mempunyai 24 istri dan meninggalkan putra-putri

yang semuanya berjumlah 56. Kepimpinannya

digantikan putranya yang bergelar Pakubuwana

V yang lahir dari permaisuri Raden Ayu Handoyo,

putri Bupati Pamekasan Adipati Cakraningrat.

Karya-karya Sri Pakubuwana IV hingga sekarang

masih menyebar dan berakar kuat di lingkungan

kebudayaan Jawa.31

Pengaruh Ulama di Sekitar RajaSunan Pakubuwana IV terkenal sebagai

raja yang taat menjalankan ajaran agama dan

mempunyai hubungan yang akrab dengan santri,

kiai, dan haji. Keakraban hubungan dengan kiai

dan haji menjadikan kolonial selalu menyoroti dan

mengawasi raja Surakarta ini. Ketika Gubernur

Thomas S. Reffles akan mengunjungi Keraton

Kasunanan pada tahun 1812, Residen Surakarta

membuat daftar ulama dan haji di Surakarta yang

diduga mempunyai hubungan yang dekat dengan

Sunan. Dari pendataan ini tercatat 51 ulama dan

24 haji yang perlu mendapatkan perhatian karena

dekatnya hubungan dengan Sunan.32

Kiai Imam Syuhodo Apil Quran (1745-1843) dari

Pesantren Wonorejo, Bekonang, Surakarta adalah

salah seorang ulama yang dipercaya sebagai salah

satu guru ngaji (agama) Sunan Pakubuwana IV. Ia

adalah seorang kiai yang menuntut ilmu dari satu

pesantren ke pesantren lainnya. Bahkan, pada saat

Kiai Imam Syuhodo akan mendirikan pesantren,

ia mendapat bantuan dari Sunan Pakubuwana IV

yang berupa umpak (penyangga tiang), soko (tiang),

mustaka (kubah), mimbar, dan lampu katrol.

Ketika masih berstatus putra mahkota,

sikap keagamaan Sunan Pakubuwana IV banyak

dipengaruhi oleh Wiryakusuma, seorang guru

agama yang anti-Kompeni. Wiryakusuma adalah

putra R.M. Kreta yang dilahirkan dan dibesarkan

di Cape Town, yang pada masa itu menjadi tempat

31 Widayati, Karya-Karya Sastra Klasik Jawa yang Menyandang Pendidikan Jender yang Masih Hidup di Masyarakat: Relevansinya dengan Pendidikan di Tingkat Pendidikan Dasar, Laporan Penelitian Departemen Pendidikan Nasional Republik Indonesia, Surabaya: Lembaga Penelitian, Universitas Negeri Surabaya, 2001, hlm. 3.

32 Lihat: Surat Residen Surakarta Kolonel Adams kepada Raffles tertanggal 17 Juni 1812 dalam Bendel Surakarta No. 28.

pembuangan bagi tokoh-tokoh perjuangan yang

menentang penjajah Kompeni. Salah satu tokoh

perjuangan yang dibuang ke Cape Town adalah

Syekh Yusuf Al-Makassari, seorang ulama besar

sekaligus guru Tarekat Naqsyabandiyah.33

Dalam Babad Pakepung disebutkan bahwa

Pakubuwana IV juga mengangkat empat kiai dan

santri—Kiai Wiradigda, Panengah, Bahman, dan

Nur Saleh—sebagai Abdi Dalem Kinasih (abdi

dalem terpercaya).34 Sumber lain menyebutkan,

para Abdi Dalem Ngulama itu berjumlah enam

orang, yaitu R. Santri, R. Panengah, R. Wiradigda,

R. Kanduruhan, Kiai Balkan, dan Kiai Nur Saleh.35

Pada saat itu, di daerah Surakarta masih

penuh adat istiadat Hindu dan aliran-aliran

animisme. Penyebaran Islam lebih banyak

menghadapi kendala adat istiadat Jawa-Hindu.

Sunan Pakubuwana IV pun mendatangkan para

ulama di Surakarta. Di antara para ulama tersebut

ialah Kiai Jamsari yang datang dari Banyumas,

dan bertempat tinggal di sebelah barat daya dari

Keraton Surakarta. Ia mendirikan sebuah masjid

dan surau-surau serta mengajarkan Islam kepada

masyarakat umum, para bangsawan, dan pejabat-

pejabat Istana. Ajaran-ajaran Islam dapat diterima

dengan baik, berkembang merata di seluruh

Surakarta dan sekitarnya.

Kampung kediaman Kiai Jamsari dikenal

dengan nama Kampung Jamsaren hingga sekarang.

Kemaksiatan-kemaksiatan dan kejahatan di

Surakarta semakin berkurang dan akhirnya Kota

Surakarta menjadi sejahtera dan aman. Demikian

seterusnya hingga Kiai Jamsari wafat, kemudian

diganti dan diteruskan oleh putranya Kiai Jamsari

II.36

Hubungan Pakubuwana IV dengan Yasadipura

I juga mengalami gangguan karena ia tidak setuju

33 Martin van Bruinessen, Tarekat Naqsabandiyah di Indonesia, Bandung: Penerbit Mizan, 1992, hlm. 34–42.

34 “Serat Babad Pakepung”, alih aksara: Sri Sulistyowati, Museum Sanapustaka Keraton Surakarta, No. 74 ca-KS# 60 – Reel 101 #2 dalam Babad Pakepung: Suntingan Teks, Analisis Struktur, dan Resepsi, Yogyakarta: Tesis Program Pascasarjana, Universitas Gadjah Mada, 1990.

35 Dwi Ratna Nurhajarini, Sejarah Kerajaan Tradisional Surakarta, Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan RI, 1999, hlm. 133.

36 Ali Darokah, 1983, Riwayat Berdirinya Pondok Pesantren Jamsaren Solo, Solo: C.V. Ramadhani, hlm. 2.

Laporan Khusus SYAMINA Edisi 14 / Oktober 2016

14

dengan sikap Pakubuwana IV yang konfrontatif

terhadap Belanda. Yasadipura I lebih dekat

dengan Putra Mahkota (Pangeran Adipati Anom

Mangkunegara III) dan kelompok kasepuhan

lain seperti Pangeran Buminata dan Pangeran

Hangabehi. Anthony Day mensinyalir bahwa

beberapa tulisan Yasadipura I lebih banyak

menyanjung putra mahkota daripada Pakubuwana

IV. Sikap serupa juga ditunjukkan oleh putranya,

yaitu Yasadipura II.37

Usaha Penerapan Hukum IslamPertama kali di Mataram diadakan perubahan

di dalam tata hukum di bawah pengaruh Islam oleh

Sultan Agung (1613-1645). Perubahan itu pertama-

tama diwujudkan khusus dalam pengadilan Pradata

yang dipimpin oleh raja sendiri. Pengadilan Pradata

diubah namanya menjadi pengadilan Surambi

karena pengadilan ini tidak lagi mengambil tempat

persidangan di Sitinggil, melainkan di serambi

Masjid Agung. Perkara-perkara kejahatan yang

menjadi urusan pengadilan ini dinamakan Kisas,

padahal istilah ini tidak sesuai dengan arti kata

yang sebenarnya di dalam hukum Islam.38

Konsep dewa-raja atau ratu-binathara ini

pada periode kerajaan islami tidak menempatkan

raja pada kedudukan yang sama dengan Tuhan,

melainkan sebagai Khalifatullah, wakil Allah

di dunia. Namun, penurunan derajat ini tidak

mengubah atau mengurangi kekuasaan raja

terhadap rakyat. Dalam hal ini rakyat tetap dituntut

untuk tunduk kepada rajanya.

Kerajaan Mataram mendapat pengaruh

hukum Barat pada tahun 1709 melalui perjanjian

dengan Pemerintah Belanda. Dalam perjanjian

tersebut Sunan Pakubuwana I harus menyerahkan

pelaksanaan pengadilan dan tanah di sebelah timur

Gunung Merapi dan Merbabu kepada Pemerintah

Belanda.39

37 S. Margana, Pujangga Jawa dan Bayang-bayang Kolonial, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2004, hlm. 208.

38 Dr. Th.W. Juynball, “Handleiding tot de kennis van de Mohammedaansche wet” dalam Mr. R. Tresna, Peradilan di Indonesia dari Abad ke Abad, Jakarta: Pradnya Paramita, 1978, hlm. 17.

39 Serat Perjanjian Dalem Nata, Surakarta: Radya Pustaka, 1940, hlm. 19. Lihat: Sugiarti, Pengadilan Surambi Pasca Palihan Nagari, Op. Cit., hlm. 52.

Pemerintahan Pakubuwana IV (1788-1820)

masih mewarisi hasil perjanjian dari pendahulunya,

yaitu sebagai bawahan pemerintah Belanda.

Satu hal yang menarik, pada masa Pakubuwana

IV pengadilan Surambi menjadi pengadilan

tertinggi dan menjadi pengadilan tingkat banding

bagi pengadilan Pradata dan Balemangu.

Sebagai konsekuensinya, hukuman Kisas masih

diberlakukan pada masa itu.40

Pakubuwana IV sebagai penguasa ketika itu

menginginkan Keraton Kasunanan Surakarta

terbebas dari pengaruh penjajahan Belanda dan

tetap menjadi kiblat dari kebudayaan yang berlaku

di Tanah Jawa. Selain itu, Sunan ingin menyatukan

kembali Mataram yang terpecah akibat Perjanjian

Giyanti dan Perjanjian Salatiga. Pakubuwana

IV melihat bahwa potensi besar merespons hal

tersebut dimiliki oleh kaum santri, yang mana ia

sendiri sangat dekat dengan komunitas santri.

Pada masa pemerintahannya, peraturan yang

terkait dengan masalah pengaturan administrasi

kenegaraan yang mengangkat kesejahteraan

masyarakat tinggalan Sultan Agung sungguh-

sungguh dipertahankan dan dijalankan.

Setiap ibu kota kabupaten, kawedanan, dan

desa harus mempunyai masjid sebagai pusat

perkembangan agama Islam. Masjid Besar di ibu

kota kabupaten dipimpin oleh seorang penghulu

yang bertugas sebagai penyelenggara urusan

agama baik di bidang ibadat dan muamalat. Di

bidang pengadilan kegamaan dia bekerja sama

dengan jaksa yang bertugas sebagai hakim. Dalam

menjalankan tugasnya ia dibantu oleh 40 orang

pembantu. Untuk masjid kawedanan dipimpin oleh

seorang naib dengan 11 pembantunya, sedangkan

untuk masjid desa dipimpin oleh modin dengan

4 orang pembantunya. Pembantu-pembantunya

dibagi menjadi 4 golongan: juru tulis, khatib,

muazin, dan marbot.41

40 T. Roorda, Wetten de Nawala Pradata, de Angger Sadasa, de Angger Ageng, de Angger Gunung, de Angger Aru Biru, Amsterdam: Muler, 1844, hlm. 64. Lihat: Sugiarti, Op. Cit., hlm. 53.

41 Kusniatun, Dinamika Keraton dalam Pengembangan Budaya Islam dan Kebudayaan Jawa, Makalah Suplemen Seminar Nasional “ Peran Keraton dalam Pengembangan Islam”, Surakarta: Universitas Muhammadiyah Surakarta, 2007, hlm. 14.

Edisi 14 / Oktober 2016 Laporan Khusus SYAMINA

15

Selain harus ada masjid dan pesantren

sebagai tempat ibadah, pengajian kitab juga

harus diselenggarakan. Pimpinan pesantren

diserahkan kepada pengelola masjid dan mereka

mendapatkan gelar sesuai dengan kedudukannya.

Seorang penghulu mendapatkan gelar Kiai Sepuh,

atau Kanjeng Kiai untuk para pembantunya, atau

tingkatan di bawahnya mendapat gelar Kiai Anom.

Banyak tradisi lama yang diganti oleh tradisi

baru. Sunan Pakubuwana IV banyak dipengaruhi

para ulama yang membantu Sunan. Beberapa

perubahan yang dilakukan antara lain:

z pakaian prajurit bergaya Belanda diganti

dengan pakaian Jawa;

z setiap hari Jumat Sunan selalu melakukan

shalat Jumat di Masjid Besar;

z setiap hari Sabtu diadakan latihan

Watangan atau perang-perangan;

z semua abdi dalem yang menghadap raja

diwajibkan berpakaian santri;

z Abdi dalem yang dinilai tidak patuh

terhadap syariat agama digeser dan dipecat

serta mengangkat adiknya dengan nama

“Mangkubumi” dan “Buminata”.42

Kebijakan politik Sunan pada waktu itu

memang banyak dipengaruhi oleh ajaran Islam,

termasuk ketika Sunan Pakubuwana IV menuntut

kepada Kompeni agar semua penghulu yang ada di

Yogyakarta, Semarang, dan daerah Pasisiran tunduk

dan mengikuti kebijakan penghulu Surakarta.

Pengadilan Agama (Surambi) Menjadi Pengadilan Tertinggi

Semenjak tahun 1715 pengadilan formal di

Kasunanan Surakarta adalah (1) pengadilan Bale

Mangu, (2) pengadilan Pradata, dan (3) pengadilan

Surambi. Adapun pengadilan khusus yang

mengadili perkara-perkara dari golongan tertentu

adalah pengadilan Kadipaten Anom. Pengadilan ini

42 Dwi Ratna Nurhajarini dan Tugas Triwahyono, Sejarah Kerajaan Tradisional Surakarta. Jakarta: C.V. Ilham Bangun Karya, 1999, hlm. 133.

hanya berwenang mengadili perkara yang berasal

dari kerabat Sunan.43

Pada masa Pakubuwana IV (1788-1820)

pengadilan Surambi menjadi pengadilan tertinggi

dan menjadi bandingan dari pengadilan Pradata.

Pada masa Pakubuwana IV juga didirikan dua

pengadilan bagi kerabat Raja yang bersalah, yaitu

Balemangu dan Kadipaten Anom. Perkembangan

selanjutnya pada tahun 1847 sistem kolonial

masuk dalam tatanan peradilan di Kasunanan yang

mengakibatkan pengadilan Surambi pada masa

Pakubuwana VII (1830-1858) hanya mengurusi

masalah keluarga.44

Menurut Rouffaer, pengadilan Surambi pada

masa pemerintahan Sunan Pakubuwana IV (1788-

1820) diperluas lagi menjadi pengadilan tertinggi

yang menangani perkara-perkara rajapati dan

rajatatu, di samping perkara-perkara perkawinan

dan warisan, sebagaimana tampak dalam kutipan

berikut ini:

“…Ananing wong apadu salaki-rabi, kaya

talak, waris, wasiat, mas kawin, nifkah

sapepadhane, lan rajapati miwah tatu,

ingkang sepi saka sabab, iya Si Pengulu

ngukumana, sarta ajakena pepeka, lan

ajakena mamanising ruruba, miwah

anglalawas padu, iku ingsun wangeni

lawas-lawase ing telung sasi,….45

Hal itu juga tampak dari gelar yang dipakai oleh

ketua pengadilan Surambi sejak tahun 1785 sampai

1903 adalah Kanjeng Kyai Mas Pengulu Tafsir Anom

Adiningrat.46

Karena pengadilan Surambi merupakan

pengadilan agama, tempat pelaksanaan

persidangannya pun masih di lingkup tempat

ibadah, yaitu di serambi (bagian depan) Masjid

Agung. Hari persidangan pengadilan Surambi

dilaksanakan pada hari Senin dan Kamis.

43 Rajiman, Sejarah Mataram Kartasura sampai Surakarta Hadiningrat, Krida: Surakarta, 1984, hlm. 180.

44 Riyanto, Hukum dan Peradilan di Praja Kejawen, Surakarta: Fakultas Sastra, Universitas Sebelas Maret, 1996, hlm. 20.

45 T. Roorda, Serat Angger Nawala Padata, Op. Cit., pasal 2. Lihat: Sugiarti, Op. Cit., hlm. 102.

46 G.P. Rouffaer, ”Vorstenlanden” dalam Adatrechsbundel Vol. XXXIV Seri D No. 81. Terjemahan: Muh. Husodo Pringgokusumo, Surakarta: Rekso Pustaka, 1931, hlm. 86. Lihat: Sugiarti, Op. Cit., hlm. 92.

Laporan Khusus SYAMINA Edisi 14 / Oktober 2016

16

Hukum Kisas dan HududDalam perkara ini dibedakan menjadi

rajapati dan rajatatu. Dalam hukum Islam jenis

pembunuhan dapat dibedakan menjadi tiga

macam, di antaranya pembunuhan secara sengaja,

yang dihukum kisas; pembunuhan yang tidak

disengaja, tetapi mengakibatkan kematian, yang

dihukum denda; serta pembunuhan yang terjadi

karena kesalahan, yang dihukum denda (diyat

mughalalah).

“Filsun fi ikhkamil jinayat ikilah pasal,

anyatakaken kukume mati. Utawi mateni

iku tetelu: kang dhihin kang maha-

maha sawecane, lan kapindho kaluputan

sawecane, lan kaping telu maha-maha

sawecane den kaluputan. Mangka kang den

maha-maha sawecane iku, kaya pepadhane

wong kang amateni wong kalawan borang

kang den gawe mateni, mangka iku iya

wajib den diyat kisas.

Lan amung angapura ahli warise kang

pinaten iku wajib diyat mugalalah. Utawi

wong kang kaluputan sawecane iku, kaya

lamun nedya amanah ing beburon, mangka

angenani manungsa, kari-kari mati.

Mangka wong iku ora kena kisas, nanging

wajib diyat mupakakah belaka. Utawi

kang den mahamaha sarta kaluputan iku,

kaya lamun wong iku amukul ing wong

sawiji, kalawan borang kang ora mateni.

Kaprah-kaprahe kaya lamun den pukul ing

teken kang cilik, kari-kari mati, mangka

wong iku ora kisas, nanging wajib diyat

mugalalah belaka lawan artane sanake

kang mateni.”

Hukum kisas adalah hukuman balasan yang

sama dengan perbuatannya. Diyat mugalalah

adalah denda 100 unta dibagi tiga, sedangkan diyat

mupakakah adalah denda 100 unta dibagi lima.

Bila denda tersebut tidak dapat dibayar dengan

unta, wajib dibayar dengan uang seharga unta

tersebut. Dalam Serat Angger Sadasa dari masa

Sunan Pakubuwana IV dijelaskan sebagai berikut:

“Prakawis kaping 41: Saupami wonten

tiyang ngamuk ngantos kenging kacepeng

gesang, dene anggenipun ngamuk

wau sampun amejahi tetiyang punika

kapatrapan paukuman ing Nagari,

kawedalaken diyatipun gangsal atus reyal.

Yen boten medal diyatipun, kagitika ing

penjalin kaping gangsal atus lajeng kabucal

sajawining Nagari.”

Dari kutipan di atas tampak jelas bahwa sistem

hukum di kerajaan Jawa masih mengikuti sistem

hukum Islam, dengan adanya istilah cambuk,

diat, real, dinar, dan sebagainya. Untuk membuat

jera para pelaku kejahatan maka pemerintah

memilihkan tempat pembuangan yang membuat

penghuni-penghuninya merasa tidak betah, seperti

di daerah Lodaya, di Blitar Selatan. Tempat-tempat

pembuangan itu biasanya berupa daerah yang

gersang, hutan lebat, atau tempat yang berawa. 47

Hukum Islam telah berlaku pada masa

Pakubuwana IV walaupun masih banyak

kekurangan yang dapat ditemui. Dalam hal hukum

pidana, misalnya, ada istilah kisas. Namun, istilah

kisas yang diterapkan pada masa itu tidak seperti

pengertian qishash menurut terminologi para

ulama fikih. Hukuman untuk pencuri juga dihukum

dengan hukum kisas.

“Yen ana wong memaling kalebu kisas,

kisasana tugelen tangane tengen. Yen

kongsi ganep pindho, tugelen tangane

tengen kiwa, yen ganep ping telu tugelen

sukune tengen, yen ganep ping pat, tugelen

sukune tengen kiwa.”48

(Kalau ada pencurian termasuk kisas,

kisaslah dengan memotong tangan

kanannya. Kalau diulangi lagi untuk kedua

kalinya, potonglah tangan yang kiri. Kalau

sampai tiga kali, potonglah kaki kanannya.

Kalau diulang lagi yang keempat, potonglah

kakinya yang kiri.)

47 Katno, Penerapan Hukum Islam di Kasunanan Surakarta pada Masa Pakoe Boewono IV (Tahun 1788-1820 M) dalam Jurnal Studi Islam Profetika Vol. 16, No. 1, Juni 2015, Sukoharjo: Sekolah Pasca Sarjana, Universitas Muhammadiyah Surakarta, hlm. 60–61.

48 Serat Sultan Surya Ngalam, Surakarta: Radya Pustaka, 1765, hlm. 15. Lihat: Sugiarti, Op. Cit., hlm. 116.

Edisi 14 / Oktober 2016 Laporan Khusus SYAMINA

17

Dalam terminologi ulama fikih, qishash

hanya berlaku untuk tindak pidana pembunuhan,

sebagaimana ayat-ayat Al-Qur’an.

“Wahai orang-orang yang beriman!

Diwajibkan atas kamu (melaksanakan)

qishash berkenaan dengan orang yang

dibunuh. Orang merdeka dengan orang

merdeka, hamba sahaya dengan hamba

sahaya, perempuan dengan perempuan.

Tetapi barang siapa memperoleh maaf dari

saudaranya, hendaklah dia mengikutinya

dengan baik, dan membayar diat (tebusan)

kepadanya dengan baik (pula).” (Al-

Baqarah: 178).

“Kami telah menetapkan bagi mereka di

dalamnya (Taurat) bahwa nyawa dibalas

dengan nyawa, mata dengan mata, hidung

dengan hidung, telinga dengan telinga,

gigi dengan gigi, dan luka-luka (pun) ada

qishashnya. Barang siapa melepaskan

(hak qishash)nya, maka itu (menjadi)

penebus dosa baginya. Barang siapa tidak

memutuskan perkara menurut apa yang

diturunkan Allah, maka mereka itulah

orang-orang zalim.” (Al-Maidah: 45).

Bukti-Bukti Pelaksanaan Syariat Islam pada Masa Pakubuwana IV

Dari uraian di atas diketahui bahwa aturan

Islam telah berusaha diterapkan di Kasunanan

Surakarta, baik di peradilan maupun regulasi

(kebijakan) Sunan. Secara ringkas bukti-bukti

pelaksanaan hukum Islam akan diuraikan di bawah

ini:49

1. Abdi dalem yang tidak patuh pada ajaran

agama ditindak, digeser, dan bahkan ada

yang dipecat.50

49 Lihat: Katno, Penerapan Hukum Islam di Kasunanan Surakarta pada Masa Paku Buwono IV, Tesis Program Pascasarjana, Sukoharjo: Universitas Muhammadiyah Surakarta, 2012.

50 Dwi Ratna Nurhajarini dan Tugas Triwahyono, Sejarah Kerajaan Tradisional Surakarta, Jakarta: C.V. Ilham Bangun Karya, 1999, hlm. 133. Juga dalam: Edy S. Wirabhumi, Pemberdayaan Hukum Otonomi Daerah dan Potensi Wilayah: Studi tentang Kemungkinan Terbentuknya Provinsi Surakarta, Disertasi Program Doktor Ilmu Hukum, Semarang: Program Pascasarjana, Universitas Diponegoro, 2007, hlm. 89–90.

2. Sunan Pakubuwana IV mengharamkan

minuman keras dan opium.51

3. Pengadilan Surambi menjadi pengadilan

tertinggi dan menjadi bandingan

pengadilan Pradata.

4. Penerapan hukum kisas (hudud) di

pengadilan Surambi.

“Anadene wong padu salaki rabi kayata

wasiyat, waris sapadhane lan Raja pati

miwah Raja tatu ingkang sepi saka sabab,

iya si Pangulu (hakim pengadilan surambi)

ingkang ngakimi.”52

“Yen ana wong memaling kalebu kisas,

kisasana tugelen tangane tengen. Yen

kongsi ganep pindho, tugelen tangane

tengen kiwa, yen ganep ping telu tugelen

sukune tengen, yen ganep ping pat, tugelen

sukune tengen kiwa.”53

5. Pengadilan Surambi sebagai pengadilan

banding yang berkuasa untuk menangani

perkara pidana.

“Dene yen wong kang oleh parentah, yen

kongsia tatu utawa mati, mangka ahli warise

ora narima, iya mulura padune menyang

Pradataningsun, banjur kaunggahena ing

Surambi, mangka dadi panggugate mau,

iya banjur ukumana saukume rajapati.”54

6. Adanya Abdi Dalem Singanagara bertugas

memotong leher terdakwa yang dijatuhi

hukuman mati dengan keris atau dapat

juga memotong tangan, kaki, menyayat,

dan menyiksa.55

51 Purwadi, Sistem Pemerintahan Jawa Klasik, Medan: Pujakesuma, hlm. 409.

52 Nawala Pradata Pakubuwana IV, hlm. 90. Lihat: Achmad Ridwan, Perkembangan Pengadilan Pradata Masa Reorganisasi Bidang Hukum di Kasunanan Surakarta Tahun 1893–1903, Skripsi Jurusan Ilmu Sejarah, Surakarta: Fakultas Sastra dan Seni Rupa, Universitas Sebelas Maret, 2010, hlm. 60.

53 Serat Sultan Surya Ngalam, hlm. 15. Lihat: Sugiarti, Op. Cit., hlm. 116.

54 T. Roorda, Serat Angger Gunung, Op. Cit., hlm. 88. Lihat: Sugiarti, Op. Cit., hlm. 94.

55 Serat Nitik Keprajan, Surakarta: Radya Pustaka,1936, hlm. 157–158. Lihat: Sugiarti, Pengadilan Surambi Pasca Palihan Nagari, Skripsi Jurusan Ilmu Sejarah, Surakarta: Fakultas Sastra dan Seni Rupa, Universitas Sebelas Maret, 2004, hlm. 2.

Laporan Khusus SYAMINA Edisi 14 / Oktober 2016

18

7. Adanya Abdi Dalem Mertalulut bertugas

memotong leher orang yang sudah diputus

dihukum kisas oleh pengadilan Surambi.56

8. Dalam memeriksa perkara-perkara,

pengadilan Surambi menggunakan

pedoman kitab-kitab Islam.

Dalam memutuskan perkara, pengadilan

Surambi mendasarkan ketetapannya

dari Al-Qur’an dan Al-Hadits serta

menggunakan kitab-kitab karangan Asy-

Syafi’i yang disadur dari Al-Wajiz dan

kitab-kitab karangan Al-Ghazali, juga kitab-

kitab lain, di antaranya Al-Muharrar karya

Ar-Rafi’i, An-Nihayah karya Ar-Ramli, At-

Tuhfah karya Ibnu Hajar Al-Haitami, dan

Fath Al-Wahhab karya Syekh Zakariyya Al-

Anshari.57

Pengepungan Keraton oleh Pasukan Belanda dan Sekutunya

Kecintaan Sunan Pakubuwana IV dalam

mencari ilmu agama telah mempertemukannya

dengan berbagai macam guru agama dan kiai. Ada

saatnya kiai dan guru agama mempunyai pengaruh

kuat terhadap Raja Surakarta sehingga tidak saja

mempengaruhi sikap keagamaannya melainkan

juga sikap politiknya. Peristiwa Pakepung yang

terjadi pada awal pemerintahannya merupakan

suatu bukti adanya pengaruh kiai dan guru agama

terhadap sikap politik yang dijalankannya.

Peristiwa Pakepung terjadi pada tahun 1790

ketika Sunan Pakubuwana IV baru dua tahun

dinobatkan sebagai raja Surakarta. Peristiwa ini

mempunyai latar belakang keagamaan. Adanya

latar belakang semangat keagamaan yang

kuat dari peristiwa ini menyebabkan banyak

penulis menyebutnya sebagai peristiwa gerakan

keagamaan. H.J. de Graaf, misalnya, menyebut

peristiwa Pakepung memiliki beberapa kesamaan

dengan gerakan Wahabiyah di Arab.58

56 Ibid.57 Pawarti Surakarta 1939, hlm. 90. Lihat juga: Zarkasji Abdul Salam,

Pengadilan Surambi di Yogyakarta: Studi Historis tentang Peradilan Agama di Indonesia di Yogyakarta Tahun 1755–1882, Proyek Perguruan Tinggi Agama, Yogyakarta: IAIN Sunan Kalijaga, 1999.

58 H.J. de Graaf, Geschiedenis van Indonesie, s-Gravenhage-Bandung: W. van Hope, 1949, hlm. 279.

Peristiwa Pakepung (Oktober-Desember 1790),

sebagaimana diceritakan dalam Babad Pakepung,59

berawal dari pengangkatan empat kiai dan santri—

Kiai Wiradigda, Panengah, Bahman, dan Nur

Saleh—sebagai abdi dalem. Keempatnya menjadi

Abdi Dalem Kinasih (abdi dalem terpercaya).

Pengangkatan ini ditentang oleh para penasihat

spiritual keraton, termasuk Yasadipura I.60

Pengaruh keempat abdi dalem kiai ini ternyata

begitu besar pada Sunan sehingga banyak

keputusan-keputusan politik didasarkan pada

nasihatnya. Sunan Pakubuwana IV kemudian mulai

mengadakan perubahan–perubahan, seperti:

1. Abdi dalem yang tidak patuh pada

ajaran agama ditindak, digeser, dan

bahkan ada yang dipecat seperti yang

dialami Tumenggung Pringgalaya dan

Tumenggung Mangkuyuda.

2. Sunan Pakubuwana IV juga mengharamkan

minuman keras dan opium, sebagaimana

ajaran Islam.

3. Setiap hari Jumat, Sunan pergi ke Masjid

Agung untuk melaksanakan shalat Jumat,

bahkan sering bertindak sebagai khatib

atau pemberi khotbah Jumat.

4. Setiap hari Sabtu diadakan latihan perang.

5. Pakaian prajurit yang semula seperti

pakaian prajurit Belanda diubah dengan

pakaian prajurit Jawa. 61

Istana Yogyakarta merasa cemas dengan

langkah Sunan. Ini karena ada rumor yang

mengisyaratkan bahwa Sunan merencanakan

perang untuk menyatukan kembali Mataram, yang

akan mendelegitimasi Yogyakarta. Rumor pun

mulai tersebar dan terdengar oleh Mangkunegara

I, yang juga mulai khawatir dengan masa depan

kekuasaannya bila rumor itu benar. Tokoh-tokoh

59 Babad Pakepung: Suntingan Teks, Analisis Struktur, dan Resepsi, Tesis, Yogyakarta: Universitas Gadjah Mada, 1990; Serat Babad Pakepung, alih aksara oleh Sri Sulistyowati, Museum Sanapustaka Keraton Surakarta, No. 74 ca-KS# 60 – Reel 101 #2.

60 Edy S. Wirabhumi, Pemberdayaan Hukum Otonomi Daerah dan Potensi Wilayah: Studi tentang Kemungkinan Terbentuknya Provinsi Surakarta, Disertasi Program Doktor Ilmu Hukum, Semarang: Program Pascasarjana, Universitas Diponegoro, 2007, hlm. 90.

61 Purwadi, Sistem Pemerintahan Jawa Klasik, Medan: Pujakesuma, hlm. 409.

Edisi 14 / Oktober 2016 Laporan Khusus SYAMINA

19

senior yang tersisih juga merasa cemas dengan

nasibnya di kemudian hari. Mereka kemudian

mengajak VOC untuk melawan Pakubuwana IV

secara militer.

Pihak Belanda merasa terkejut dan mulai

terpengaruh, ketika pada bulan Juli 1789 ada

desas-desus bahwa Pakubuwana IV dan para

penasihatnya merencanakan pembunuhan besar-

besaran terhadap orang-orang kafir Eropa di Jawa.

VOC mulai panik karena khawatir ada pengkhianat

yang telah menyusup ke bentengnya. Pada

bulan September 1789 residen VOC di Surakarta

menghadiri pertemuan rahasia di dalam Keraton

dengan memakai pakaian Jawa.

Akhirnya para penentang Pakubuwana

IV dapat meyakinkan VOC bahwa diperlukan

langkah-langkah militer untuk menghentikan

rencana-rencana Pakubuwana IV. Bahaya

yang mungkin timbul dari rencana-rencana

Pakubuwana IV dipandang akan sangat dahsyat

oleh Hamengkubuwana I dan Mangkunegara I

sehingga untuk pertama kalinya selama hampir 40

tahun mereka bertindak bersama.62

Berbagai kebijakan Sunan di Surakarta ini

menimbulkan kekhawatiran pihak Kompeni.

Kompeni pun mengirim utusan yang dipimpin

langsung oleh Gubernur dan Direktur Java’s Noord-

en Ooskust yang berpusat di Semarang, yaitu

Jan Greeve.63 Dari tanggal 16 September hingga

6 Oktober 1790 Jan Greeve berada di Surakarta.

Tuntutannya satu, yakni Sunan harus menyerahkan

keempat orang abdi dalem kepercayaannya karena

mereka inilah yang dianggap sebagai biang keladi

berbagai kebijakan itu.

Pada bulan November 1790 musuh-musuh

Pakubuwana IV mulai mengepung istana. Beberapa

ribu pasukan Yogyakarta dan Mangkunegaran

mengambil posisi di sekitar Keraton Surakarta.

VOC mengirim beberapa ratus serdadu Madura,

Bugis, Melayu, dan Eropa ke bentengnya yang

ada di dalam kota dan dekat dengan istana.

62 Ricklefs, Sejarah Indonesia Modern, Cetakan X, Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 2011, hlm. 159.

63 J.K.J. de Jong dan M.L. Deventer (eds.), de Opkomstvan het NederlandschGezg in Oost Indie, verzamling van Onuitgegeven Stukken uit het Oud-kolonial Archief Volume XII, s’Gravenhage: Martinus Nijhoff, 1909, hlm. 209–228.

Para pangeran dan para pejabat senior istana

mendesak Pakubuwana IV supaya menyingkirkan

para penasihatnya (Abdi Dalem Kinasih) serta

membuang rencana-rencara mereka. Isu-isu yang

dilontarkan tidak pernah terbukti. Kenyataannya

tidak ada langkah-langkah militer Pakubuwana IV

sebagaimana yang dikhawatirkan.64

Sunan Pakubuwana IV—yang melihat kuatnya

pengepungan terhadap keratonnya—merasa

bingung. Akhirnya, atas bujukan Kiai Yasadipura

I, Sunan bersedia menyerahkan para Abdi Dalem

Kinasih. Dengan ditangkap dan dibuangnya orang-

orang kepercayaan Sunan tersebut, pengepungan

terhadap Keraton Surakarta dihentikan.

Keempat Abdi Dalem Kinasih adalah ulama

yang dikenal anti dengan pemerintah kolonial

Belanda. Mereka juga berhasil menanamkan ajaran

Islam di kalangan penguasa dan pejabat tinggi

Kasunanan Surakarta. Banyak kebijakan-kebijakan

Raja yang didasarkan ajaran mereka dan ini

dianggap sebagai ancaman bagi kolonial Belanda.

Sampai-sampai di dalam Babad Mangkubumi

dijelaskan doktrin-doktrin mereka adalah sihir yang

menyeleweng dari hukum-hukum Rasul. Namun,

tudingan ini dibantah oleh Sunan Pakubuwana IV;

bahwa tidak benar ajaran mereka itu jahat karena

mereka mengikuti sepenuhnya kitab Al-Qur’an.

Pemerintah Kolonial bersikeras untuk

menangkap mereka. Melalui Pangeran Purbaya,

Mangkubumi, Buminata, dan Ngabehi, pada

tanggal 26 November 1790 keempat abdi kinasih

tersebut dibawa ke benteng Belanda. Pembelaan

yang dilakukan oleh Sunan Pakubuwana IV tidak

sia-sia sehingga keempat abdi kinasih tersebut

tidak sampai dihukum mati.65

64 Ricklefs, Sejarah Indonesia Modern, Cetakan X, Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 2011, hlm. 160.

65 Ricklefs, M.C., Yogyakarta Under Sultan Mangkubumi 1749–1792: A History of the Division of Java, London: Oxford University Press, 1974.

Laporan Khusus SYAMINA Edisi 14 / Oktober 2016

20

Perjuangan Bersenjata Pakubuwana IV dan Kerja Sama dengan Hamengkubuwana II

Pakubuwana IV tercatat telah beberapa kali

melakukan perang melawan penjajah. Ketika VOC

bangkrut dan dibubarkan Pemerintah Belanda

ia berperang melawan Belanda, pada tahun 1793

ketika terjadi Revolusi Prancis, tahun 1805 ketika

Belanda menjadi negara di bawah Prancis, dan

pada tahun 1815 ia bekerjasama dengan tentara

Sepoy dari India, yaitu tentara yang dibawa Inggris

ketika menduduki Jawa.66

Pakubuwono IV dan Hamengkubuwana II telah

beberapa kali bekerja sama memerangi Penjajah

(Belanda maupun Inggris). Akhirnya kerja sama

antara Pakubuwana IV dan Hamengkubuwana

II terbongkar. Hamengkubuwana II kemudian

diasingkan ke Srilanka pada tahun 1815.67 Pihak

Inggris tidak menurunkan Pakubuwana IV dari

takhta, tetapi merebut beberapa wilayah Surakarta.68

Pada akhir tahun 1815, selama pendudukan

singkat Inggris di Jawa (1811-1816), Kapten

Bengali Sepoy Dhaugkul Singh dan anak buahnya

merencanakan operasi untuk membunuh semua

orang Inggris, Belanda, dan penduduk Cina

di Jawa Tengah, dan akan mengangkat Singh

sebagai gubernur Jawa. Bulan-bulan sebelumnya

mereka telah mengadakan beberapa pertemuan

rahasia, antara orang Sepoy Bengali dan sejumlah

bangsawan Jawa untuk mengambil bagian dalam

rencana serangan.

Di antara daftar pemimpin Jawa yang terkenal

adalah Pakubuwana IV, Sunan (raja) dari Jawa

dan penguasa Kasunanan Surakarta. Tetapi,

tanpa sepengetahuan orang Sepoy Bengali,

Pakubuwana IV punya rencana sendiri. Dia

setuju untuk bergabung dengan pasukan Singh,

tetapi direncanakan hanya untuk memanfaatkan

kekuatan militer Sepoy dalam usahanya untuk

mengusir Inggris dari Jawa. Setelah Inggris

66 Lihat: Carey, Peter B.R., The Sepoy Conspiracy of 1815 in Java, Brill, 1977, hlm. 294, http://www.jstor.org/stable/ 27863129. Diakses pada 13/10/2016, 16.53.

67 G.P.H. Djatikusumo, Sedjarah Politik Hingkang Sinuwun Kandjeng Susuhunan Pakubuwana VII. Surakarta: Panityo Kol Dalem Pakubuwana VII, 1971, hlm. 9–10.

68 G.P.H. Djatikusumo, Sedjarah Politik Hingkang Sinuwun Kandjeng Susuhunan Pakubuwana VII. Surakarta: Panityo Kol Dalem Pakubuwana VII, 1971, hlm. 6–7.

dikalahkan, Pakubuwana IV merencanakan untuk

merebut kembali kekuasaan atas Dinasti Kerajaan

Jawa. Namun, rencana Pakubuwana IV bersama

pasukan Sepoy tidak berhasil dijalankan. Selama

tahap perencanaan, rencana itu bocor ke seorang

perwira Inggris dan gagal dilaksanakan.

Para pemimpin Sepoy dan beberapa bangsawan

Jawa (termasuk Hamengkubuwana II) kemudian

dieksekusi atau diasingkan. Pada akhirnya pejabat

Inggris menganggap perlawanan bersama terhadap

kolonial dari dua kelompok yang berbeda etnis

dan agama sebagai sebuah “konspirasi” dan usaha

pemberontakan yang gagal.

Meskipun rencana dari kedua kelompok ini tidak

pernah terealisasi, hal itu tetap menggambarkan

kebencian yang tumbuh dari mereka yang dianggap

“inferior” oleh Inggris. Hal ini juga menggambarkan

cara masyarakat yang berusaha menggunakan

agama untuk memposisikan diri sebagai oposisi

terhadap penjajah. Orang Sepoy dan Jawa percaya

bahwa non-Muslim dan atau non-Hindu tidak

seharusnya memerintah atas mereka. 69

Gagal dengan Perlawanan Fisik, Beralih ke Perlawanan Pena

Pengembalian kekuasaan politik penguasa

dan pendidikan masyarakat yang dilakukan oleh

klan raja yang merangkap pujangga adalah akibat

dari ekspansi kolonial Kompeni Belanda, yang

mempersempit kekuasaan politik dan ekonomi

sehingga para raja Surakarta lebih menekankan

pada pengembangan sektor kebudayaan.70

Paku Buwana IV, raja dan pujangga

Kasunanan Surakarta, melihat kondisi masyarakat

yang terpengaruh oleh budaya Belanda yang

mengakibatkan berkurangnya gerak kekuasaan

Raja. Ia berusaha untuk mengembalikan

kewibawaan raja dan pejabat Keraton serta

mendidik masyarakat dengan cara membuat

karya sastra. Sunan Pakubuwana IV (1788-1820)

termasuk salah seorang pujangga yang menunjang

69 ---, Cross-Colonial Cooperation In Nineteenth-Century Java: Examining The Sepoy Conspiracy Of 1815 in A World History Context, The Middle Ground Journal Number 6, Spring 2013, hlm. 1–2.

70 Linus Suryadi A.G., Dari Pujangga ke Penulis Jawa, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1995, hlm. 7.

Edisi 14 / Oktober 2016 Laporan Khusus SYAMINA

21

strategi kebudayaan yang dilancarkan sejak akhir

abad ke-18 hingga awal abad ke-19.71

Kemiskinan dan penderitaan mengakibatkan

rakyat semakin putus asa dan merasa lemah tidak

punya kekuatan untuk melawan kekejaman kaum

penjajah. Hal ini menyebabkan rakyat merindukan

datangnya Ratu Adil sebagai pembebas dan penegak

keadilan yang diharapkan akan membalaskan sakit

hati mereka terhadap kekejaman kaum penjajah

dan akan membawa kepada Kerajaan Jawa yang

adil dan makmur.

Kehilangan kekuasaan politik dan kenegaraan,

ditambah lagi semakin memudarnya kepercayaan

rakyat terhadap Kerajaan, menyebabkan Keraton

semakin hilang pamornya. Oleh sebab itu, para

pujangga Keraton mulai mengalihkan fungsi istana;

dari berbagai pusat pemerintahan menjadi pusat

perkembangan rohani dan kebudayaan spiritual.

Usaha tersebut dipandang sebagai satu-satunya

jalan untuk mempertahankan wibawa Islam

sebagai pusat kebudayaan Jawa.72

71 Koentjaraningrat, Kebudayaan Jawa, Jakarta: Balai Pustaka, 1994, hlm. 317.

72 Simuh, Sufisme Jawa: Transformasi Tasawuf Islam ke Mistik Jawa, Cetakan II, Yogyakarta: Yayasan Benteng Budaya, 1996, hlm. 150.

KesimpulanPada masa pemerintahan Sunan Pakubuwana

IV telah ada upaya penegakan syariat Islam di

Keraton Surakarta, hal itu ditandai dengan berbagai

upaya dari Sunan untuk menegakkan aturan-aturan

Islam yang sesuai dengan Al-Qur’an dan Al-Hadits

di kalangan abdi dalem dan lingkungan istana serta

rakyat Keraton Surakarta pada umumnya. Raja

menjalin hubungan dengan para ulama dengan

berbagai disiplin ilmu dan memintanya untuk

mendampingi Sunan memperbaiki tata kelola

politik negara islami Kasunanan Surakarta. Hal itu

dilakukan karena Kasunanan Surakarta merupakan

kelanjutan atau penerus dari Mataram Islam yang

merupakan negara islami yang mendasarkan diri

dengan aturan dan hukum Islam.

Dengan usaha itu, Sunan ingin mengembalikan kejayaan dan khitah sebagai negara Islam yang menjadi cita-cita pendiri Mataram pada masa lalu yang mulai pudar dengan berbagai penyelewengan yang terjadi dari waktu ke waktu. Sebagai raja muda yang baru naik tahta, Sunan Pakubuwana IV mempunyai jiwa muda dengan idealismenya yang tinggi untuk meluruskan penyelewengan yang ia amati. Ia juga berusaha mempraktikkan ilmu yang selama ini dipelajari dari para ulama dan kitab-kitab yang didalami.

Upaya tersebut di atas dilakukan dengan damai. Namun, tetap saja Sunan Pakubuwana IV dimusuhi oleh Belanda dan sekutunya karena khawatir kepentingan mereka terganggu. Permusuhan terutama dikobarkan oleh para pejabat yang disingkirkan oleh Sunan karena melanggar aturan yang ditetapkan. Mereka merasa bahwa kedekatan Sunan dengan para ulama serta upaya penerapan syariat Islam adalah ancaman. Para mantan pejabat ini berkolaborasi dengan penjajah dan melontarkan berbagai isu untuk menggalang dukungan dari berbagai fihak untuk melawan Sunan.

Meski demikian, setelah peristiwa Pakepung Pakubuwana IV tetap melakukan upaya perjuangan secara militer. Tercatat ia beberapa

Laporan Khusus SYAMINA Edisi 14 / Oktober 2016

22

kali melakukan perang melawan penjajah. Ketika VOC bangkrut dan dibubarkan Pemerintah Belanda, ia berperang melawan Belanda pada tahun 1793. Demikian pula pada tahun 1805, ketika Belanda menjadi negara bawahan Prancis. Selanjutnya pada tahun 1815, ia bekerja sama dengan tentara Sepoy dari India untuk melawan Inggris. Tentara Sepoy adalah tentara yang pernah dibawa Inggris ketika sedang berperang melawan Amerika Serikat.

Sebenarnya, Sunan Pakubuwana IV sebagai raja Kasunanan Surakarta yang sah telah mengedepankan upaya damai untuk mengembalikan eksistensi Kasunanan Surakarta yang semakin pudar tersaingi oleh penjajah Belanda. Hal itu tampak dari berbagai kebijakan yang ia buat. Namun, upaya penegakan syariat Islam—dengan bagaimanapun caranya dan oleh siapapun—akan dianggap sebagai ancaman oleh orang kafir dan pembelanya yang tidak suka dengan aturan hukum (syariat) Islam. (K.Subroto)