outline dejong
TRANSCRIPT
A. Latar Belakang Masalah
Kawasan Asia Timur merupakan kawasan yang rumit walaupun di dalamnya hanya
beranggotakan Republik Rakyat Cina, Jepang, Korea Selatan, dan Korea Utara. Sudah
berbagai macam konflik terjadi di kawasan ini mulai dari konflik antara Jepang dan China
hingga krisis semenanjung Korea. Sumber ketegangan di Asia Timur terutama disebabkan
oleh adanya hubungan kurang harmonis dari 4 negara di kawasan tersebut yaitu Jepang,
China, Korea Selatan, dan Korea Utara. Rentetan konflik yang terjadi di kawasan
mengakibatkan sulitnya bagi Asia Timur untuk mencapai suatu stabilitas keamanan di
kawasan.
Asia Timur adalah kawasan yang terdiri dari banyak negara yang secara tradisional
memiliki sudut pandang yang berbeda mengenai kepentingan dan keamanan nasional, serta
tidak adanya pengaturan keamanan kolektif (collective security)1 yang terbentuk di kawasan
ini. Kawasan ini juga kurang memiliki integrasi regional karena terlalu banyaknya
perselisihan ataupun konflik yang terjadi di kawasan ini. Bahkan setelah berakhirnya Perang
Dingin isu-isu mengenai perselisihan antar tiap negara - negara di Asia timur masih tetap
tidak terselesaikan walaupun terdapat pergerakan ke arah penyelesaian ketegangan di
kawasan ini.
Sementara itu, dengan adanya pertumbuhan ekonomi dan perubahan lingkungan
strategis keamanan mereka, semakin menambah pengeluaran pertahanan dan pembelian
senjata-senjata baru. Fenomena pembangunan senjata (arms build up)2 di Asia Timur sangat
terkait dengan reaksi tiap negara-negara di Asia Timur untuk melindungi diri serta berjaga-
jaga terhadap situasi yang tak pernah menentu di kawasan ini.
1 Konsep collective security dalam perspektif militer terkait erat dengan konsep common security, yaitu suatu komitmen untuk hidup bersama, memperhitungkan kekhawatiran keamanan yang sah para anggota lainnya, dan bekerja secara kooperatif dalam berbagai cara untuk memaksimalkan tingkat ketergantungan di antara negara-negara anggotanya. Lihat dalam Gareth Evans, Cooperation for Peace: The Global for the 1990s and Beyond (St. Leonards: Allen & Unwin, 1993), hal. 15-16.2 Stanley B. Weeks and Charles A. Meconis, The Armed Builds up (NSW Australia: Allen & Unwin, 1999), hal. 30.
Dengan alasan untuk mengantisipasi tantangan-tantangan seperti disebutkan di atas,
kebanyakan negara di kawasan ini telah memulai suatu perlombaan senjata (arms race)3 yang
seringkali diartikan dengan penjelasan sebagai “pensejajaran” (catching up) atau
“modernisasi berlanjut” (on going modernization) untuk kekuatan militer mereka.4
Pada dasarnya Asia Timur merupakan kawasan yang sangat strategis dan merupakan
kawasan yang sangat penting. Untuk itu maka suatu stabilitas keamanan merupakan suatu
kewajiban yang harus dapat dicapai. Dapat dikatakan Asia Timur merupakan kawasan yang
didalamnya terdapat negara-negara Asia paling berpengaruh. Negara-negara di Asia Timur
saat ini menjadi negara dengan perkembangan ekonomi dan industri paling maju di Asia.
Perkembangan ekonomi dan industri kawasan Asia Timur berkembang pesat dengan ditandai
munculnya China sebagai hegemoni baru, faktor Jepang dan Korea Selatan pun tidak dapat
diabaikan. Meskipun baik dalam segi ekonomi dan industri, kekurangan dari kawasan ini
adalah kawasan ini merupakan kawasan yang rawan konflik.
Kendala saat ini yang terjadi adalah munculnya Korea Utara sebagai negara yang
mulai mengancam melalui nuklirnya. Krisis berkepanjangan di semenanjung korea serta
perseteruan yang berkelanjutan dengan Korea Selatan mengakibatkan kemungkinan untuk
terjadinya konflik fisik di Asia Timur ini semakin besar. Terjadinya perang nuklir adalah
sesuatu yang sangat dihindari oleh negara mana pun.
Beberapa tahun terakhir Asia Timur dilanda kekhawatiran dengan adanya program
nuklir yg terus di kembangkan oleh Korea Utara. Korea Utara dianggap menjadi ancaman
bagi stabilitas keamanan regional dan juga Internasional. Berbagai kecaman oleh dunia
3 Menurut Barry Buzan, arms race diartikan sebagai “…self-stimulating military rivalry between states, in which their efforts to defend themselves militarily cause them to enhance the threats they pose to each other.” Karakteristik dari pengertian arms race adalah adanya dinamika kompetisi dan interaksi di antara dua atau lebih aktor, dan juga adanya akuisisi persenjataan secara cepat. Lihat dalam Barry Buzan, An Introduction to Strategic Studies: Military Technology and International Relations (London: Macmillan for the International Institute for Strategic Studies, 1987), hal. 69.4 Reinhard Drifte, Japan’s Foreign Policy in the 1990s: From Economic Superpower to What Power? (London: Macmillan, 1996), hal. 53.
Internasional telah dilakukan baik itu melalui embargo maupun pengucilan Korea Utara dari
pergaulan Internasional. Bahkan Amerika Serikat pun telah memasukkan nama Korea Utara
dalam “Axis of Evil” bersama dengan Iran dan Irak sebagai bentuk kecaman karena Korea
Utara terus mengembangkan senjata pemusnah massalnya. Ternyata segala bentuk kecaman
yang telah dilancarkan tidak mempengaruhi Korea Utara untuk terus mengembangkan
program nuklirnya. Hal tersebut membuat Korea Utara menjadi isu perbincangan hangat di
seluruh dunia.
Isu mengenai nuklir Korut memang sudah berhembus sejak pertengahan tahun
1990an. Seiring dengan perkembangan dan dinamika, sebenarnya isu krisis nuklir tersebut
terus berhembus akan tetapi pada saat itu masyarakat ataupun dunia internasional kurang
mempercayai akan isu tersebut. Puncak dari isu ini adalah ketika Amerika Serikat dan Korea
Utara menandatangani sebuah kerangka perjanjian mengenai nuklir pada tanggal 21 Oktober
1994 di Jenewa yang isinya Korea Utara berjanji untuk menghentikan program plutoniumnya
dan sebagai imbalannya Amerika Serikat akan memberikan beberapa bentuk bantuan.5
Perjanjian tersebut tidak berjalan dengan semestinya. Pada akhirnya tanggal 10 February
2005 Korea Utara mengumumkan bahwa mereka dapat menghasilkan hulu ledak nuklir yang
digunakan untuk self defence dan untuk melengkapi persenjataan nuklir mereka.6
Dunia Internasional mulai semakin dikejutkan ketika Korea Utara pada tahun 2006
secara resmi menyelenggarakan uji coba nuklirnya. Sebagai negara miskin dengan masih
banyaknya penduduk yang menderita karena kelaparan ini menjadi kejutan bagi dunia
internasional bagaimana Korea Utarra dapat unjuk gigi melakukan uji coba nuklir.
Negara – negara kawasan tersentak dengan ujicoba tersebut. Ancaman tentunya
semakin besar bagi negara-negara di Asia Timur. Negara yang merasa paling terancam saat
5 See CRS Report RL33590, North Korea’s Nuclear Weapons Program, by Larry Niksch.6 “North Korea Says It Has Nuclear Weapons and Rejects Talks,” New York Times, Feb. 10,2005.
itu tentunya adalah Korea Selatan. Korea Selatan merupakan negara yang notabenenya masih
merupakan saudara dari Korea Utara dan merupakan tetangga terdekat. Pada tahun 1950 saat
masa perang dingin perpecahan antar dua Korea mencapai puncaknya, di tahun itulah perang
Korea terjadi yang sampai sekarang masih menyisakan rasa dendam antara kedua belah
pihak. Perang Korea tersebut merupakan konflik bersenjata paling pertama semenjak di
mulainya Cold War.7 Pertentangan antar dua Korea ini masih terus berlanjut sampai sekarang
bahkan Korea Utara mengutarakan tidak segan-segan untuk meluncurkan nuklirnya ke Korea
Selatan. Pernyataan tersebut tentu menimbulkan rasa takut bagi Korea Selatan dan negara-
negara di sekitarnya karena bukan tidak mungkin jika Korea Utara berani menyerang Korea
Selatan maka Korea Utara tidak segan pula untuk menyerang negara lainnya di Asia Timur.
Hal ini menyebabkan semakin tidak stabilnya keamanan di kawasan Asia Timur.
Pada 9 Oktober 2006, Korea Utara berhasil melakukan uji coba nuklir pertamanya,
yang diuji pada sebuah terowongan di pantai timur, dan ledakan yang terjadi menimbulkan
gempa berkekuatan 4,2 Mb (body wave magnitude) yang langsung mendapatkan banyak
protes dari negara tetangga terdekatnya, yaitu Korea Selatan dan Jepang. Uji Coba ini
dipandang mengancam stabilitas regional, melanggar kehendak DK-PBB dan memukul
usaha-usaha non-proliferasi. Pada saat itu, Korea Utara telah mendapat kecaman keras dari
masyarakat internasional dan PBB, untuk segera menghentikan program nuklirnya dan secara
damai kembali dalam Nuclear Nonproliferation Treaty8 (NPT). Jika hal tersebut tidak
dilaksanakan maka Korea Utara akan diadukan pada DK-PBB untuk ditindak lanjuti.
Akhirnya pada tahun 2008 Korea Utara mau menuruti apa yang diharapkan masyarakat
internasional, tapi dengan syarat-syarat tertentu terkait dengan latar belakang mengapa korea 7 Hermes, Jr., Walter (2002) [1966]. Truce Tent and Fighting Front. United States Army in the Korean War. United States Army Center of Military History. pp. 2, 6–9.8 Pada tahun 1970, NPT merupakan batu pijakan bagi perjanjian non-proliferasi. Tujuan dari traktat ini adalah untuk mengeliminasi senjata nuklir melalui komitmen dari non-nuke-states untuk tidak menginginkan senjata nuklir dan untuk mencopoti senjata tersebut dari nuke-states. Dalam perkembangannya, traktat ini membutuhkan kerjasama antar negara untuk memfasilitasi energi nuklir tujuan damai dengan saling membantu diantara mereka. WMDC Commissioners, Weapons of Terror: Freeing the World of Nuclear, Biological and Chemical Arms, (Stockholm: Weapons of Mass Destruction Commission, 2006), hal. 62.
utara melakukan pengembangan nuklir. Belum berjalan satu tahun, pada Mei 2009, Korea
Utara kembali mengumumkan telah berhasil melakukan uji coba nuklir mereka yang kedua.9
Berdasarkan data seismic nuklir Korea Utara yang meledak pada Mei 2009 ini lebih besar
daripada uji coba nuklir pada Oktober 2006.10
Hal ini menjadi api kemarahan dunia internasional terhadap Korea Utara karena
dengan nyata telah menunjukkan adanya ancaman yang keras terhadap perdamaian dan
ketentraman negara lain. Oleh karena itu dunia internasional meminta kepada Dewan
Kemanan PBB agar Korea Utara dijatuhkan sanksi berdasarkan Bab Tujuh dari Piagam PBB
yang mengatur mengenai “ancaman terhadap ketentraman” dan “tindakan untuk melakukan
agresi”. Maka makin gencarlah embargo yang terjadi pada Korea Utara dan Korea Utara
semakin diisolasikan bangsa-bangsa. Perwakilan Energi Atom International melaporkan
bahwa uji coba nuklir yang dilakukan oleh Korea Utara telah mengancam rezim anti
pengembangbiakan bahan nuklir dan juga telah menciptakan konflik keamanan yang cukup
serius, tidak hanya pada kawasan Asia Timur tetapi juga untuk seluruh masyarakat
International.
Belakangan ini Korea Utara kembali beberapa kali melakukan uji coba nuklirnya
yang membuat berbagai pihak merasa terancam. Tentunya hal ini membuat stabilitas
keamanan Asia Timur semakin terguncang oleh peluncuran misil jarak dekat maupun jarak
jauh Korut. Kekuatan nuklir Korut diyakini meningkat pesat jika dibanding uji coba empat
tahun lalu.
9 “North Korea Claims to Conduct Second Nuclear Test” New York Times, 25 Mei 2009. 10 Jeffrey Park, “The North Korean Nuclear Test : What The Seismic Data Says”,
http://www.thebulletin.org/web-edition/features/the-north-korean-nuclear-test-what-the-seismic-data-says), diakses 17 Agusutus 2010
Berdasarkan gambaran di atas, apa yang dibutuhkan Asia Timur sekarang ini,
melebihi kawasan lainnya adalah stabilitas keamanan regional. Para pihak dalam krisis yang
terjadi di Asia Timur ini seharusnya dapat menahan diri untuk tidak saling melontarkan
kecaman serta provokasi di tengah situasi yang tak menentu.
Tetapi benarkah negara miskin ini menginginkan pecahnya konflik di antara negara-
negara yang bersitegang. Pengalaman AS dan Soviet menunjukkan kepemilikan nuklir tidak
sejalan dengan keinginan untuk menggunakannya. Opsi perang dengan senjata nuklir berarti
suatu negara siap untuk hancur lebur, dan tidak ada negara yang mau mengambil resiko fatal
seperti itu. Daripada untuk kepentingan militer nuklir justru lebih relevan ditinjau dari sudut
pandang politis - diplomatis. Bagi Korea Utara yang membutuhkan bantuan banyak dari
negara-negara yang lebih kuat dan makmur darinya, nuklir bisa menjadi alat diplomasi yang
amat relevan.
Asia Timur kini terkepung oleh ancaman keamanan yaitu ancaman keamanan
tradisional (militer) yang merupakan kelanjutan dari terus dikembangkannya program nuklir
Korea Utara. Bagaimanapun juga, sulit dipungkiri bahwa peluncuran roket jarak jauh Korut
merupakan imbas dari mandegnya Pembicaraan Enam Pihak (Six-Party Talks).11 Amerika
Serikat, Jepang, dan Korsel cenderung mengambil pendekatan yang keras terhadap Korut,
sedangkan China dan Rusia lebih memilih negosiasi meski prosesnya memakan waktu lama.
Penyelesaian krisis nuklir Korea Utara ini makin tidak jelas karena Korea Utara pun
konsisten menunjukkan sikap isolasi diri. Sikap isolasi diri inilah yang juga membuat
semakin tidak pastinya stabilitas keamanan di Asia Timur.
B. Pokok Permasalahan
11 BBC News, 13 February 2007 , “Deal reached at North Korea talks”, http://news.bbc.co.uk/2/hi/asia-pacific/6355681.stm,
diakses 17 agustus 2010
Saat ini nuklir Korea Utara menjadi isu yang sangat hangat dibicarakan. Bermula dari
negara miskin yang dikucilkan dunia internasional kini Korea Utara menjelma menjadi sosok
yang disegani. Menjadi hal yang lumrah jika suatu negara akan mendapat posisi tawar yang
lebih serta disegani jika memiliki kekuatan nuklir. Akan tetapi bagaimana bila yang memiliki
nuklir tersebut adalah sebuah negara labil yang notabenenya adalah negara yang sering
bermasalah dan pembangkang. Dengan keadaan seperti ini banyak yang berpendapat bahwa
isu nuklir ini akan mengancam stabilitas keamanan Asia Timur. Asia Timur kini seperti
berada dalam dilema keamanan dan sayangnya kini masalah yang harus dihadapi lebih rumit
karena berkaitan dengan nuklir. Melihat dari pokok-pokok masalah yang terjadi maka penulis
dapat merumuskan pertanyaannya penelitian dari tulisan ini yaitu :
Mengapa nuklir Korea Utara menjadi ancaman bagi stabilitas keamanan di
Asia Timur periode tahun 2006 - 2009?
C. Kerangka teori
Dalam sebuah karya tulis ilmiah dibutuhkan suatu landasan teori yang nantinya akan
dijadikan pijakan dasar untuk menjawab pokok permasalahan yang ada dalam tulisan ini.
Pada tulisan ini penulis menggunakan teori “Regional Security” dan “Security Dilemma”
untuk menganalisa tentang fenomena nuklir Korea Utara dan dampaknya terhadap stabilitas
keamanan Asia Timur.
1. Regional Security
Regional security atau keamanan regional merupakan keadaan yang sangat penting
untuk diciptakan mengingat posisinya dalam dua hal. Pertama, sebagai elemen pembentuk
keamanan internasional ataupun konflik internasional.12 Hal ini karena region tersebut saling
berhubungan dengan negara-negara atau actor lain di luar region sehingga interaksi tersebut
menimbulkan potensi konflik. Oleh sebab itu, keamanan regional merupakan hal pertama
yang perlu diupayakan demi terciptanya stabilitas internasional. Kedua, keamanan regional
sangat berhubungan dan mempengaruhi keamanan nasional negara yang terletak di dalam
region yang bersangkutan.13
Region atau kawasan diartikan sebagai sekumpulan negara yang memiliki kedekatan
geografis karena berada dalam satu wilayah tertentu.14 Meskipun demikian, kedekatan
geografis saja tidak cukup untuk menyatukan negara dalam satu kawasan. Hettne dan
Soderbaun mengemukakan bahwa kedekatan geografis tersebut perlu didukung adanya
kesamaan budaya, keterikatan sosial dan sejarah yang sama.15 Dengan demikian, syarat
terbentuknya satu kawasan dapat terpenuhi secara geografis dan struktural. Dengan logika
ini, maka seharusnya semua kawasan di dunia dapat menjadi sekumpulan negara yang
mendeklarasikan diri mereka sebagai satu kawasan yang sama. Namun pada kenyataannya,
tidak semua kawasan memiliki intensitas interaksi dan kemajuan yang sama antara satu
kawasan dengan yang lainnya.
Jika dijawab dengan teori Fungsionalis, hal ini dikarenakan adanya perbedaan
intensitas interaksi dan integrasi negara dalam menjalankan fungsinya di kawasan. Kawasan
yang dapat memulai interaksi antar negara di dalamnya, akan terus berkembang karena efek
kerjasama hingga akhirnya tercipta integrasi kawasan. Hal ini berbeda dengan kawasan lain
yang tidak memiliki kerjasama kawasan. Maka kawasan tersebut akan tertinggal dibanding
kawasan yang lain.
12 Kriesberg,Louise. “Regional Conflicts in the Post-Cold War Era : Causes, Dynamics, and Modes of Resolution.” 1994. p.155.13 Buzan, Barry. People, States, and Fear: An Agenda for International Security Studies in Post-Cold war era. London : Pinter. P18714 Snyder, Craig A. “Contemporary Security and Strategy” .Palgrave : Macmillan. 2008.p228.15 Hettne,B. and Soderbaun. Theorizing the Rise of Regionnes”. London : Routledge. 2002. p.39
Teori fungsionalis ini dikritik oleh Beeson yang mengatakan bahwa Fungsionalis
tidak memperhitungkan arti pentingnya kesamaan identitas dalam integrasi kawasan.Teori
fungsionalis hanya memandang interaksi dan kerjasama antar negaralah yang menjadi faktor
utama dalam menciptakan kawasan. Padahal seharusnya aspek kesamaan identitas dan sistem
sosial merupakan pendorong utama terbentuknya integrasi kawasan. Beeson juga mengkritisi
kelemahan teori fungsionalis yang tidak dapat menjelaskan bagaimana interaksi tersebut
dapat tercipta pertama kali.16
Sementara itu, berdasar “New Regional Theory”17, perkembangan regionalisme
tergantung pada tiga hal. Yakni, dukungan dari kekuatan besar di dalam kawasan (regional
great power), tingkat interaksi antar negara dalam kawasan, dan saling kepercayaan antar
negara dalam kawasan. Melalui teori ini, dapat dipahami bahwa mengapa satu kawasan lebih
tertinggal dibanding yang lainnya adalah karena permasalahan kekuatan dan keinginan
negara yang bersangkutan untuk membentuk satu kawasan. Bisa jadi suatu kawasan tidak
tercipta integrasi karena memang integrasi tersebut tidak diinginkan dan diupayakan oleh
para great powers.
Selain teori di atas, Hennet membagi tingkatan regionalism ke dalam lima tahapan
yang meningkat secara gradual.18 Lima tahapan ini menunjukkan kematangan suatu kawasan
seiring dengan meningkatnya intensitas hubungan internasional antar negara di kawasan.
Tahapan ini dapat menjawab pertanyaan mengapa satu kawasan dapat lebih maju
dibandingkan dengan kawasan yang lain dan persyaratan apa yang harus diupayakan agar
tercipta integrasi kawasan yang lebih matang.
Tahapan tersebut adalah :16 Beeson,M. “Rethinking Regionalism: Europe and East Asia in Comparative Historical Perspective”. Journal of European Policy, 12.2005. p.969-85.17 Hettne,B. “The New Regionalism : A Prologue. In Hettne,B. (ed), The New Regionalism and the Future of Security Development”, Vol.4.2000. London : Macmillan.18 Hettne, B. “Development, Security and World Order: A Regionalist Approach, European Journal of development Research”, 9. 1997. p.83-106
1. Simple Geographic Unit of States
Kriteria :
Tidak ada kerjasama dan interaksi rutin antar negara di dalam kawasan.
Kerjasama terjadi hanya ketika ada ancaman, dan kerjasama tersebut juga berakhir
ketika ancaman sudah berakhir.
Sangat bergantung pada sumber daya pribadi, yakni pada masing-masing negara.
2. Set of Social Interactions
Kriteria :
Dalam kawasan sudah tercipta interaksi antar negara namun hanya diatur norma-
norma atau institusi informal
3. Collective Defense Organisation
Kriteria :
Negara mulai bersekutu dengan negara lain yang memiliki pemikiran yang sama di
dalam satu kawasan untuk melawan ancaman bersama tau musush bersama.
Ada perjanjian formal yang mengikat dan mengatur negara-negara dalam satu
kawasan.
Ada kombinasi kekuatan, meski bukan berupa penggabungan apalagi peleburan
4. Security Community
Kriteria:
Interaksi antar masyarakat sipil antar negara sudah mulai dikembangkan.
Tercipta hubungan yang damai antar nmegara dalam kawasan.
Adanya kesepakatan untu memilih menggunakan cara-cara damai untuk
menyelesaikan masalah.
5. Region State
Kriteria:
Kawasan sudah memiliki identitas bersama yang berbeda dari kawasan lain
Kawasan memiliki kapabilitas bersama sebagai satu kawasan
Kawasan memiliki legitimasi sebagai satu kesatuan regional
A. Keamanan Regional dari berbagai perspektif
Dalam sejarah perkembangannya,regionalisme mendapat beberapa tanggapan dari
beberapa pihak khususnya pihak realist,neo-liberal,institusionalis dan konstruktivis.Ketiga
pihak tersebut memiliki pemahaman yang berbeda mengenai keamanan regional, yakni pada
bagaimana cara menciptakan kondisi yang kondusif bagi keamanan regional.
a. Perspektif Realis
Perspektif realis memandang bahwa masalah keamanan regional tidak dapat disatukan
meskipun mereka memiliki kepentingan yang sama. Hal ini membuat membuat kerjasama
diantara negara-negara dalam satu regional sulit untuk dijalankan karena tidak adanya saling
kepercayaan antar negara dalam kawasan. Perspektif realis meyakini bahwa negara tidak
boleh bergantung pada negara lain, sehingga “self-help” merupakan cara terbaik dalam
mencapai stabilitas keamanan yang mandiri. Dengan adanya sistem “self-help” ini, maka
kooperasi antar negara-negara dalam kawasan sulit untuk dibentuk.
Jika memandang dengan perspektif ini, maka integrasi kawasan tidak akan pernah
terwujud. Bahkan ide mengenai kerjasama kawasan dan pemeliharaan keamanan regional
secara bersam-sama merupakan hal yang tidak masuk akal. Salah satu kerjasama dan
interaksi yang paling mungkin terjadi di kawsana adalah kerjasama untuk menangani musuh
bersama dari luar kawsana. Meski hal itu bukan sebagai ajminan bahwa negara-negara dalam
kawsan dapat saling percaya untuk tergabung bersamam melawan musuh dari luar kawasan.
b. Perspektif Institutionalis
Kaum Institusionalis memandang bahwa institusi regional akan memudahkan
terjalinnya kerjasama kawasan, menghilangkan anarki internasional dan membantu
kepentingan negara-negara untuk menciptakan keamanan regional.19 Hal ini tentu saja sangat
bertentangan dengan perspektif realis yang menyangsikan hilangnya sikap anarkis dan
melahirkan kerjasam. Bull meyakini bahwa “Hukum kerjasama “ ini dapat berlaku jika
diberlakukan sistem contingency and equivalence20. Contigency dimaknai sebagai upaya
pemberian reward bagi negara yang bersedia melakukan kerjasama dan memberi hukuman
bagi yang menolak melakukannya. Pernyataan ini disempurnakan oleh Milner yang
menyatakan bahwa perlu adanya keseimbangan pemberian reward sehingga terjalin
hubungan baik antar negara-negara yang mendapatkannya.21 Dalam perkembangan
kontemporer, reward yang didapatkan dari hasil kerjasama kawsan dapat berupa kemajuan
19 Keohane, R.O. After Hegemon: Cooperation and Discord in the World Political Economy, Princeton: Princeton University Press.1984.20 Bull, H.The Anarchical Society : A Study of Order in World Politics. 1977. Basingstoke : Macmillan.21 Millner, H. “International Theories of Cooperation Among Allies : Strengths and Weakness”. World Politics,44. 1992. p.446-96.
ekonomi bersama, seperti Uni Eropa, atau terciptanya stabilitas kawsana seperti misalnya
ASEAN.
Perbedaan utama antara kedua paham ini adalah perbedaan aspek terpenting yang
menentukan keamanan regional. Kaum realis memandang bahwa militer adalah faktor
terpenting dari keamanan. Sementara itu, pihak institusionalis mengatakan tidak hanya militer
saja yang merupakan aspek terpenting dari keamanan regional, tetapi juga bidang politik dan
sosial
c. Perspektif Konstruktivis
Kaum konstruktivis memiliki anggapan bahwa keamanan regional dapat sengaja
dikonstruksikan secara sosial melalui interaksi sosial. Selanjutnya, interaksi tersebut akan
membentuk kesamaan identitas dan kepentingan. Alexander Wendt menyatakan bahwa
kondisi ini dapat terwujud jika memenuhi tiga landasan utama yaitu pembagian
ilmu,pembagian sumber daya material dan kepraktisan.22 Ketiga hal ini akan membentuk
sebuah sistem keamanan regional yang efektif.
B. Ancaman terhadap Keamanan Regional
Ancaman merupakan dua sisi mata uang bagi terciptanya stabilitas kawasan. Di satu
sisi, ancaman dapat mengganggu keamanan regional. Namun di sisi lain, ancaman justru
dapat menciptakan kerjasama regional untuk menghilangkan ancaman tersebut. Lepas dari
hal itu, ancaman dapat dieskuritisasi sehingga tetap tercipta kerjasama regional namun tidak
mengganggu keamanan regional.
22 Wendt, Alexander. “Constructing International Politics, International Security”, 20. 1995.p.71-81.
Secara umum, ada empat kategori ancaman yang dapat mengancam keamanan
regional. Tiga ancaman pertama diungkapkan oleh Hettne23 sedangkan yang lain oleh
Snyder24. Ancaman tersebut yakni:
a. Balance of Power Contest
Yakni ancaman yang muncul karena adanya keinginan antara negara-negara di
kawasan untuk menguasai aspek-aspek tertentu, misalnya sumberdaya dan hegemoni. Hal
tersebut menyebabkan para kator saling berlomba dalam memenangkan kepentingannya dan
tidak menempuh upaya kerjasama.
b. “Grass fire” Conflicts
Yakni ancaman yang berupa konflik yang terjadi antar negara karena permasalahan-
permasalahan local. Misalnya permasalahan politik, ekonomi dan etnis yang melibatkan issue
di negara lain.Pada umumnya, konflik ini didorong oleh dua hal : masalah pemicu dan
permasalahan mendasar yang memang sudah ada dan menjadi sengketa. Misalnya, masalah
perebutan wilayah.
c. Intra-state Conflicts
Yakni ancaman regional yang berupa konflik internal di suatu negara tertentu di
dalam kawasan tersebut. Meskipun demikian, konflik tersebut memiliki potensi untuk
mempengaruhi hubungan dengan negara lain yang memiliki hubungan tidak langsung
terhadap konflik. Misalnya konflik etnis minoritas di satu negara dimana etnis tersebut
menjadi etnis mayoritas di negara yang lain.
d. Transnational Threats
23 Hettne, B. and B. Soderbaun, F. (2002). “The New Regionalism Approach. Politea”, 17. 1998. p. 6-21.24 Snyder, Craig A. 200b. ibid.
Ancaman ini tidak berasal dari isu keamanan tradisonal seperti layaknya ketiga
ancaman di atas. Ancaman ke empat ini merupakan konflik yang berasal dari masalah
lingkungan, ketidakadilan ekonomi, politik, sosial, kesehatan dan juga isu-isu migrasi.
Ancaman ini tidak memerlukan penanganan secara militer. Namun jika tidak ditangani akan
mengancam kawasan secara keseluruhan, tidak hanya satu negara saja.
2. Security Dilemma
Security dilemma is a term used in international relations and refers to a situation
that uncertainty, Change (arming), and mistrust can combine to create conflict, even when
neither side really desires it. In other words, Security for one state reduces the security of the
other.25 (Dilemma keamanan adalah istilah yang digunakan dalam hubungan internasional
dan mengacu pada situasi ketidakpastian, perubahan (persenjataan), dan kecurigaan yang
dapat dipadukan untuk menciptakan konflik, bahkan ketika tidak ada pihak yang benar-benar
menginginkan hal tersebut. Dengan kata lain, keamanan untuk satu negara mengurangi
keamanan negara lainnya.)
Security dilemma menjelaskan tentang suatu kondisi di mana usaha suatu negara
untuk meningkatkan keamanan nasionalnya dengan menambah kapabilitas pertahanannya
berdampak pada munculnya rasa terancam terhadap negara lain, hal itu kemudian memicu
negara lain tersebut untuk meningkatkan kemampuan pertahanannya (militer) juga (military
counter-moves), kondisi ini akhirnya menyebabkan menurunnya atau berkurangnya tingkat
keamanan itu sendiri. Securitry dilemma pada pada dasarnya merupakan refleksi dari
kesulitan pemerintah suatu negara untuk menentukan pilihan kebijakan keamanannya. Jika
25 Robert Jervis, “Cooperation under the Security Dilemma,” World Politics, Vol. 30, No. 2 (January 1978), pp. 167–174; and Robert Jervis, Perception and Misperception in International Politics (Princeton, N.J.: Princeton University Press, 1978), pp. 58–113
suatu negara mengurangi usaha-usaha untuk memperkuat keamanannya dengan tujuan
menciptakan hubungan yang damai dengan negara lain, maka konsekuensinya adalah negara
tersebut rawan untuk diserang oleh negara lain. Namun jika negara tersebut meningkatkan
kekuatan pertahanannya maka akan menyebabkan munculnya prasangka atau kecurigaan
negara-negara lain sehingga akan memicu terjadinya perlombaan senjata. Kondisi tersebut
akan menghadapkan negara untuk lebih cenderung mengedepankan cara penyelesaian konflik
dengan cara-cara militer seperti perang daripada cara-cara diplomasi. Security dilemma
seringkali disebabkan oleh adanya tanda yang ambigu yang umumnya muncul dari military
planning.
Seperti dijelaskan oleh Nicholas Wheeler dan Ken Booth, bahwa Security dilemma
muncul ketika: “The military preparations of one state create an unresolvable uncertainty in
the mind of another as to wether those preparations are for “defensive” purposes only (to
enhance its security in uncertain world) or wether they are for offensive purposes ( to change
the status quo to its advantage)”.26
Security dillema umumnya bekerja pada suatu kondisi yaitu ketika kebijakan
keamanan suatu negara untuk meningkatkan kekuatan pertahanannya yang murni ditujukan
untuk self defense seringkali ditanggapi oleh negara lawan sebagai tujuan yang ofensif. Hal
itu mendorong negara lawan membeli atau memproduksi senjata tambahan untuk
meningkatkan kekuatan militernya. Hal itu disebabkan oleh adanya suatu kelaziman bahwa
negara lawan selalu memiliki kecenderungan untuk mengambil asumsi terburuk yakni negara
tersebut meningkatkan kemampuan pertahanannya untuk tujuan menyerang (ofensif).
C. Metode Penelitian
1. Jenis Penelitian
26 Wheeler and Booth, ‘The Security Dilemma’, in John Baylis and N.J. Rengger (ed.), Dilemmas of World Politics: International Issues in a Changing World (Oxford: Oxford University Press, 1992), p.30.
Metode penelitian yang digunakan penulis dalam penulisan ini adalah analisis
eksplanatif. Analisis eksplanatif digunakan penulis untuk menjelaskan dampak dari nuklir
Korea Utara terhadap stabilitas keamanan Asia Timur.
2. Teknik Pengumpulan Data
Dalam pengumpulan data, teknik yang digunakan oleh penulis adalah study
kepustakaan (library research) yaitu cara pengumpulan data yang dilakukan dengan
menelaah sejumlah literatur yang sesuai dengan pokok permasalahan yang akan diteliti. Data-
data diperoleh dari berbagai sumber seperti buku, jurnal, artikel media, dokumen dan situs
internet.
3. Teknik Pengolahan Data
Data-data yang telah didapat kemudian dikelompokkan menjadi variabel-variabel
yang terpisah sesuai dengan kategorinya sehingga dapat menghasilkan pengelompokkan yang
valid dan dapat menjawab pokok permasalahan dalam penelitian ini. Pengolahan data
merupakan bagian yang amat penting dalam metode ilmiah, karena dengan pengolahan data,
data tersebut dapat diberi arti dan makna yang berguna dalam memecahkan masalah
penelitian.
D. Sistematika Penulisan
Dalam sebuah karya tulis baik itu yang bersifat ilmiah ataupun non ilmiah dibutuhkan
suatu sistematika penulisan untuk memberikan gambaran mengenai isi ataupun hal-hal yang
akan dibahas dalam tiap bab-bab dalam tulisan tersebut. Adapun sistematika tersebut terdiri
dari :
BAB I : Pendahuluan
Dalam Bab ini berisikan latar belakang, pokok permasalahan, kerangka teori, metode
penelitian dan sistematika penelitian.
BAB II : Tinjauan Pustaka
Dalam Bab ini akan di lakukan pembahasan lebih mendalam mengenai kerangka teori dan hal
– hal terkait yang akan digunakan penulis untuk menganalisa masalah dalam tulisan ini.
BAB III : Gambaran Umum
Bab ini berisi uraian mengenai nuklir Korea Utara serta uji coba-uji coba yang telah
dilakukan dan kondisi keamanan Asia Timur serta dampak nuklir Korea Utara terhadap
stabilitas keamanan Asia Timur itu sendiri serta hubungan Korea Utara terhadap negara-
negara di kawasan.
BAB IV : Analisa dan Pembahasan
Dalam Bab ini berisi uraian yang mencoba memberikan analisa mengapa nuklir korea utara
berdampak terhadap terancamnya stabilitas keamanan Asia Timur.
BAB V : Penutup
Bab ini merupakan Bab penutup yang berisi kesimpulan dan saran yang coba diberikan
penulis atas gambaran serta analisa yang telah di berikan penulis di bab - bab sebelumnya.
OUTLINE
FENOMENA NUKLIR KOREA UTARA DAN DAMPAKNYA TERHADAP STABILITAS KEAMANAN ASIA TIMUR
PERIODE TAHUN 2006 – 2009
Nama : Achmad Rifaie de Jong
NPM : 073112350750096
UNIVERSITAS NASIONAL FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
JURUSAN HUBUNGAN INTERNASIONAL
JAKARTA 2010