outline dejong

29
A. Latar Belakang Masalah Kawasan Asia Timur merupakan kawasan yang rumit walaupun di dalamnya hanya beranggotakan Republik Rakyat Cina, Jepang, Korea Selatan, dan Korea Utara. Sudah berbagai macam konflik terjadi di kawasan ini mulai dari konflik antara Jepang dan China hingga krisis semenanjung Korea. Sumber ketegangan di Asia Timur terutama disebabkan oleh adanya hubungan kurang harmonis dari 4 negara di kawasan tersebut yaitu Jepang, China, Korea Selatan, dan Korea Utara. Rentetan konflik yang terjadi di kawasan mengakibatkan sulitnya bagi Asia Timur untuk mencapai suatu stabilitas keamanan di kawasan. Asia Timur adalah kawasan yang terdiri dari banyak negara yang secara tradisional memiliki sudut pandang yang berbeda mengenai kepentingan dan keamanan nasional, serta tidak adanya pengaturan keamanan kolektif (collective security) 1 yang terbentuk di kawasan ini. Kawasan ini juga kurang memiliki integrasi regional karena terlalu banyaknya perselisihan ataupun konflik yang terjadi di kawasan ini. Bahkan setelah berakhirnya Perang 1 Konsep collective security dalam perspektif militer terkait erat dengan konsep common security, yaitu suatu komitmen untuk hidup bersama, memperhitungkan kekhawatiran keamanan yang sah para anggota lainnya, dan bekerja secara kooperatif dalam berbagai cara untuk memaksimalkan tingkat ketergantungan di antara negara-negara anggotanya. Lihat dalam Gareth Evans, Cooperation for Peace: The Global for the 1990s and Beyond (St. Leonards: Allen & Unwin, 1993), hal. 15-16.

Upload: dejong

Post on 26-Jun-2015

237 views

Category:

Documents


5 download

TRANSCRIPT

Page 1: Outline Dejong

A. Latar Belakang Masalah

Kawasan Asia Timur merupakan kawasan yang rumit walaupun di dalamnya hanya

beranggotakan Republik Rakyat Cina, Jepang, Korea Selatan, dan Korea Utara. Sudah

berbagai macam konflik terjadi di kawasan ini mulai dari konflik antara Jepang dan China

hingga krisis semenanjung Korea. Sumber ketegangan di Asia Timur terutama disebabkan

oleh adanya hubungan kurang harmonis dari 4 negara di kawasan tersebut yaitu Jepang,

China, Korea Selatan, dan Korea Utara. Rentetan konflik yang terjadi di kawasan

mengakibatkan sulitnya bagi Asia Timur untuk mencapai suatu stabilitas keamanan di

kawasan.

Asia Timur adalah kawasan yang terdiri dari banyak negara yang secara tradisional

memiliki sudut pandang yang berbeda mengenai kepentingan dan keamanan nasional, serta

tidak adanya pengaturan keamanan kolektif (collective security)1 yang terbentuk di kawasan

ini. Kawasan ini juga kurang memiliki integrasi regional karena terlalu banyaknya

perselisihan ataupun konflik yang terjadi di kawasan ini. Bahkan setelah berakhirnya Perang

Dingin isu-isu mengenai perselisihan antar tiap negara - negara di Asia timur masih tetap

tidak terselesaikan walaupun terdapat pergerakan ke arah penyelesaian ketegangan di

kawasan ini.

Sementara itu, dengan adanya pertumbuhan ekonomi dan perubahan lingkungan

strategis keamanan mereka, semakin menambah pengeluaran pertahanan dan pembelian

senjata-senjata baru. Fenomena pembangunan senjata (arms build up)2 di Asia Timur sangat

terkait dengan reaksi tiap negara-negara di Asia Timur untuk melindungi diri serta berjaga-

jaga terhadap situasi yang tak pernah menentu di kawasan ini.

1 Konsep collective security dalam perspektif militer terkait erat dengan konsep common security, yaitu suatu komitmen untuk hidup bersama, memperhitungkan kekhawatiran keamanan yang sah para anggota lainnya, dan bekerja secara kooperatif dalam berbagai cara untuk memaksimalkan tingkat ketergantungan di antara negara-negara anggotanya. Lihat dalam Gareth Evans, Cooperation for Peace: The Global for the 1990s and Beyond (St. Leonards: Allen & Unwin, 1993), hal. 15-16.2 Stanley B. Weeks and Charles A. Meconis, The Armed Builds up (NSW Australia: Allen & Unwin, 1999), hal. 30.

Page 2: Outline Dejong

Dengan alasan untuk mengantisipasi tantangan-tantangan seperti disebutkan di atas,

kebanyakan negara di kawasan ini telah memulai suatu perlombaan senjata (arms race)3 yang

seringkali diartikan dengan penjelasan sebagai “pensejajaran” (catching up) atau

“modernisasi berlanjut” (on going modernization) untuk kekuatan militer mereka.4

Pada dasarnya Asia Timur merupakan kawasan yang sangat strategis dan merupakan

kawasan yang sangat penting. Untuk itu maka suatu stabilitas keamanan merupakan suatu

kewajiban yang harus dapat dicapai. Dapat dikatakan Asia Timur merupakan kawasan yang

didalamnya terdapat negara-negara Asia paling berpengaruh. Negara-negara di Asia Timur

saat ini menjadi negara dengan perkembangan ekonomi dan industri paling maju di Asia.

Perkembangan ekonomi dan industri kawasan Asia Timur berkembang pesat dengan ditandai

munculnya China sebagai hegemoni baru, faktor Jepang dan Korea Selatan pun tidak dapat

diabaikan. Meskipun baik dalam segi ekonomi dan industri, kekurangan dari kawasan ini

adalah kawasan ini merupakan kawasan yang rawan konflik.

Kendala saat ini yang terjadi adalah munculnya Korea Utara sebagai negara yang

mulai mengancam melalui nuklirnya. Krisis berkepanjangan di semenanjung korea serta

perseteruan yang berkelanjutan dengan Korea Selatan mengakibatkan kemungkinan untuk

terjadinya konflik fisik di Asia Timur ini semakin besar. Terjadinya perang nuklir adalah

sesuatu yang sangat dihindari oleh negara mana pun.

Beberapa tahun terakhir Asia Timur dilanda kekhawatiran dengan adanya program

nuklir yg terus di kembangkan oleh Korea Utara. Korea Utara dianggap menjadi ancaman

bagi stabilitas keamanan regional dan juga Internasional. Berbagai kecaman oleh dunia

3 Menurut Barry Buzan, arms race diartikan sebagai “…self-stimulating military rivalry between states, in which their efforts to defend themselves militarily cause them to enhance the threats they pose to each other.” Karakteristik dari pengertian arms race adalah adanya dinamika kompetisi dan interaksi di antara dua atau lebih aktor, dan juga adanya akuisisi persenjataan secara cepat. Lihat dalam Barry Buzan, An Introduction to Strategic Studies: Military Technology and International Relations (London: Macmillan for the International Institute for Strategic Studies, 1987), hal. 69.4 Reinhard Drifte, Japan’s Foreign Policy in the 1990s: From Economic Superpower to What Power? (London: Macmillan, 1996), hal. 53.

Page 3: Outline Dejong

Internasional telah dilakukan baik itu melalui embargo maupun pengucilan Korea Utara dari

pergaulan Internasional. Bahkan Amerika Serikat pun telah memasukkan nama Korea Utara

dalam “Axis of Evil” bersama dengan Iran dan Irak sebagai bentuk kecaman karena Korea

Utara terus mengembangkan senjata pemusnah massalnya. Ternyata segala bentuk kecaman

yang telah dilancarkan tidak mempengaruhi Korea Utara untuk terus mengembangkan

program nuklirnya. Hal tersebut membuat Korea Utara menjadi isu perbincangan hangat di

seluruh dunia.

Isu mengenai nuklir Korut memang sudah berhembus sejak pertengahan tahun

1990an. Seiring dengan perkembangan dan dinamika, sebenarnya isu krisis nuklir tersebut

terus berhembus akan tetapi pada saat itu masyarakat ataupun dunia internasional kurang

mempercayai akan isu tersebut. Puncak dari isu ini adalah ketika Amerika Serikat dan Korea

Utara menandatangani sebuah kerangka perjanjian mengenai nuklir pada tanggal 21 Oktober

1994 di Jenewa yang isinya Korea Utara berjanji untuk menghentikan program plutoniumnya

dan sebagai imbalannya Amerika Serikat akan memberikan beberapa bentuk bantuan.5

Perjanjian tersebut tidak berjalan dengan semestinya. Pada akhirnya tanggal 10 February

2005 Korea Utara mengumumkan bahwa mereka dapat menghasilkan hulu ledak nuklir yang

digunakan untuk self defence dan untuk melengkapi persenjataan nuklir mereka.6

Dunia Internasional mulai semakin dikejutkan ketika Korea Utara pada tahun 2006

secara resmi menyelenggarakan uji coba nuklirnya. Sebagai negara miskin dengan masih

banyaknya penduduk yang menderita karena kelaparan ini menjadi kejutan bagi dunia

internasional bagaimana Korea Utarra dapat unjuk gigi melakukan uji coba nuklir.

Negara – negara kawasan tersentak dengan ujicoba tersebut. Ancaman tentunya

semakin besar bagi negara-negara di Asia Timur. Negara yang merasa paling terancam saat

5 See CRS Report RL33590, North Korea’s Nuclear Weapons Program, by Larry Niksch.6 “North Korea Says It Has Nuclear Weapons and Rejects Talks,” New York Times, Feb. 10,2005.

Page 4: Outline Dejong

itu tentunya adalah Korea Selatan. Korea Selatan merupakan negara yang notabenenya masih

merupakan saudara dari Korea Utara dan merupakan tetangga terdekat. Pada tahun 1950 saat

masa perang dingin perpecahan antar dua Korea mencapai puncaknya, di tahun itulah perang

Korea terjadi yang sampai sekarang masih menyisakan rasa dendam antara kedua belah

pihak. Perang Korea tersebut merupakan konflik bersenjata paling pertama semenjak di

mulainya Cold War.7 Pertentangan antar dua Korea ini masih terus berlanjut sampai sekarang

bahkan Korea Utara mengutarakan tidak segan-segan untuk meluncurkan nuklirnya ke Korea

Selatan. Pernyataan tersebut tentu menimbulkan rasa takut bagi Korea Selatan dan negara-

negara di sekitarnya karena bukan tidak mungkin jika Korea Utara berani menyerang Korea

Selatan maka Korea Utara tidak segan pula untuk menyerang negara lainnya di Asia Timur.

Hal ini menyebabkan semakin tidak stabilnya keamanan di kawasan Asia Timur.

Pada 9 Oktober 2006, Korea Utara berhasil melakukan uji coba nuklir pertamanya,

yang diuji pada sebuah terowongan di pantai timur, dan ledakan yang terjadi menimbulkan

gempa berkekuatan 4,2 Mb (body wave magnitude) yang langsung mendapatkan banyak

protes dari negara tetangga terdekatnya, yaitu Korea Selatan dan Jepang. Uji Coba ini

dipandang mengancam stabilitas regional, melanggar kehendak DK-PBB dan memukul

usaha-usaha non-proliferasi. Pada saat itu, Korea Utara telah mendapat kecaman keras dari

masyarakat internasional dan PBB, untuk segera menghentikan program nuklirnya dan secara

damai kembali dalam Nuclear Nonproliferation Treaty8 (NPT). Jika hal tersebut tidak

dilaksanakan maka Korea Utara akan diadukan pada DK-PBB untuk ditindak lanjuti.

Akhirnya pada tahun 2008 Korea Utara mau menuruti apa yang diharapkan masyarakat

internasional, tapi dengan syarat-syarat tertentu terkait dengan latar belakang mengapa korea 7 Hermes, Jr., Walter (2002) [1966]. Truce Tent and Fighting Front. United States Army in the Korean War. United States Army Center of Military History. pp. 2, 6–9.8 Pada tahun 1970, NPT merupakan batu pijakan bagi perjanjian non-proliferasi. Tujuan dari traktat ini adalah untuk mengeliminasi senjata nuklir melalui komitmen dari non-nuke-states untuk tidak menginginkan senjata nuklir dan untuk mencopoti senjata tersebut dari nuke-states. Dalam perkembangannya, traktat ini membutuhkan kerjasama antar negara untuk memfasilitasi energi nuklir tujuan damai dengan saling membantu diantara mereka. WMDC Commissioners, Weapons of Terror: Freeing the World of Nuclear, Biological and Chemical Arms, (Stockholm: Weapons of Mass Destruction Commission, 2006), hal. 62.

Page 5: Outline Dejong

utara melakukan pengembangan nuklir. Belum berjalan satu tahun, pada Mei 2009, Korea

Utara kembali mengumumkan telah berhasil melakukan uji coba nuklir mereka yang kedua.9

Berdasarkan data seismic nuklir Korea Utara yang meledak pada Mei 2009 ini lebih besar

daripada uji coba nuklir pada Oktober 2006.10

Hal ini menjadi api kemarahan dunia internasional terhadap Korea Utara karena

dengan nyata telah menunjukkan adanya ancaman yang keras terhadap perdamaian dan

ketentraman negara lain. Oleh karena itu dunia internasional meminta kepada Dewan

Kemanan PBB agar Korea Utara dijatuhkan sanksi berdasarkan Bab Tujuh dari Piagam PBB

yang mengatur mengenai “ancaman terhadap ketentraman” dan “tindakan untuk melakukan

agresi”. Maka makin gencarlah embargo yang terjadi pada Korea Utara dan Korea Utara

semakin diisolasikan bangsa-bangsa. Perwakilan Energi Atom International melaporkan

bahwa uji coba nuklir yang dilakukan oleh Korea Utara telah mengancam rezim anti

pengembangbiakan bahan nuklir dan juga telah menciptakan konflik keamanan yang cukup

serius, tidak hanya pada kawasan Asia Timur tetapi juga untuk seluruh masyarakat

International.

Belakangan ini Korea Utara kembali beberapa kali melakukan uji coba nuklirnya

yang membuat berbagai pihak merasa terancam. Tentunya hal ini membuat stabilitas

keamanan Asia Timur semakin terguncang oleh peluncuran misil jarak dekat maupun jarak

jauh Korut. Kekuatan nuklir Korut diyakini meningkat pesat jika dibanding uji coba empat

tahun lalu.

9 “North Korea Claims to Conduct Second Nuclear Test” New York Times, 25 Mei 2009. 10 Jeffrey Park, “The North Korean Nuclear Test : What The Seismic Data Says”,

http://www.thebulletin.org/web-edition/features/the-north-korean-nuclear-test-what-the-seismic-data-says), diakses 17 Agusutus 2010

Page 6: Outline Dejong

Berdasarkan gambaran di atas, apa yang dibutuhkan Asia Timur sekarang ini,

melebihi kawasan lainnya adalah stabilitas keamanan regional. Para pihak dalam krisis yang

terjadi di Asia Timur ini seharusnya dapat menahan diri untuk tidak saling melontarkan

kecaman serta provokasi di tengah situasi yang tak menentu.  

Tetapi benarkah negara miskin ini menginginkan pecahnya konflik di antara negara-

negara yang bersitegang. Pengalaman AS dan Soviet menunjukkan kepemilikan nuklir tidak

sejalan dengan keinginan untuk menggunakannya.  Opsi perang dengan senjata nuklir berarti

suatu negara siap untuk hancur lebur, dan tidak ada negara yang mau mengambil resiko fatal

seperti itu.  Daripada untuk kepentingan militer nuklir justru lebih relevan ditinjau dari sudut

pandang politis - diplomatis.  Bagi Korea Utara yang membutuhkan bantuan banyak dari

negara-negara yang lebih kuat dan makmur darinya, nuklir bisa menjadi alat diplomasi yang

amat relevan.

Asia Timur kini terkepung oleh ancaman keamanan yaitu ancaman keamanan

tradisional (militer) yang merupakan kelanjutan dari terus dikembangkannya program nuklir

Korea Utara. Bagaimanapun juga, sulit dipungkiri bahwa peluncuran roket jarak jauh Korut

merupakan imbas dari mandegnya Pembicaraan Enam Pihak (Six-Party Talks).11 Amerika

Serikat, Jepang, dan Korsel cenderung mengambil pendekatan yang keras terhadap Korut,

sedangkan China dan Rusia lebih memilih negosiasi meski prosesnya memakan waktu lama.

Penyelesaian krisis nuklir Korea Utara ini makin tidak jelas karena Korea Utara pun

konsisten menunjukkan sikap isolasi diri. Sikap isolasi diri inilah yang juga membuat

semakin tidak pastinya stabilitas keamanan di Asia Timur.

B. Pokok Permasalahan

11 BBC News, 13 February 2007 , “Deal reached at North Korea talks”, http://news.bbc.co.uk/2/hi/asia-pacific/6355681.stm,

diakses 17 agustus 2010

Page 7: Outline Dejong

Saat ini nuklir Korea Utara menjadi isu yang sangat hangat dibicarakan. Bermula dari

negara miskin yang dikucilkan dunia internasional kini Korea Utara menjelma menjadi sosok

yang disegani. Menjadi hal yang lumrah jika suatu negara akan mendapat posisi tawar yang

lebih serta disegani jika memiliki kekuatan nuklir. Akan tetapi bagaimana bila yang memiliki

nuklir tersebut adalah sebuah negara labil yang notabenenya adalah negara yang sering

bermasalah dan pembangkang. Dengan keadaan seperti ini banyak yang berpendapat bahwa

isu nuklir ini akan mengancam stabilitas keamanan Asia Timur. Asia Timur kini seperti

berada dalam dilema keamanan dan sayangnya kini masalah yang harus dihadapi lebih rumit

karena berkaitan dengan nuklir. Melihat dari pokok-pokok masalah yang terjadi maka penulis

dapat merumuskan pertanyaannya penelitian dari tulisan ini yaitu :

Mengapa nuklir Korea Utara menjadi ancaman bagi stabilitas keamanan di

Asia Timur periode tahun 2006 - 2009?

C. Kerangka teori

Dalam sebuah karya tulis ilmiah dibutuhkan suatu landasan teori yang nantinya akan

dijadikan pijakan dasar untuk menjawab pokok permasalahan yang ada dalam tulisan ini.

Pada tulisan ini penulis menggunakan teori “Regional Security” dan “Security Dilemma”

untuk menganalisa tentang fenomena nuklir Korea Utara dan dampaknya terhadap stabilitas

keamanan Asia Timur.

1. Regional Security

Regional security atau keamanan regional merupakan keadaan yang sangat penting

untuk diciptakan mengingat posisinya dalam dua hal. Pertama, sebagai elemen pembentuk

Page 8: Outline Dejong

keamanan internasional ataupun konflik internasional.12 Hal ini karena region tersebut saling

berhubungan dengan negara-negara atau actor lain di luar region sehingga interaksi tersebut

menimbulkan potensi konflik. Oleh sebab itu, keamanan regional merupakan hal pertama

yang perlu diupayakan demi terciptanya stabilitas internasional. Kedua, keamanan regional

sangat berhubungan dan mempengaruhi keamanan nasional negara yang terletak di dalam

region yang bersangkutan.13

Region atau kawasan diartikan sebagai sekumpulan negara yang memiliki kedekatan

geografis karena berada dalam satu wilayah tertentu.14 Meskipun demikian, kedekatan

geografis saja tidak cukup untuk menyatukan negara dalam satu kawasan. Hettne dan

Soderbaun mengemukakan bahwa kedekatan geografis tersebut perlu didukung adanya

kesamaan budaya, keterikatan sosial dan sejarah yang sama.15 Dengan demikian, syarat

terbentuknya satu kawasan dapat terpenuhi secara geografis dan struktural. Dengan logika

ini, maka seharusnya semua kawasan di dunia dapat menjadi sekumpulan negara yang

mendeklarasikan diri mereka sebagai satu kawasan yang sama. Namun pada kenyataannya,

tidak semua kawasan memiliki intensitas interaksi dan kemajuan yang sama antara satu

kawasan dengan yang lainnya.

Jika dijawab dengan teori Fungsionalis, hal ini dikarenakan adanya perbedaan

intensitas interaksi dan integrasi negara dalam menjalankan fungsinya di kawasan. Kawasan

yang dapat memulai interaksi antar negara di dalamnya, akan terus berkembang karena efek

kerjasama hingga akhirnya tercipta integrasi kawasan. Hal ini berbeda dengan kawasan lain

yang tidak memiliki kerjasama kawasan. Maka kawasan tersebut akan tertinggal dibanding

kawasan yang lain.

12 Kriesberg,Louise. “Regional Conflicts in the Post-Cold War Era : Causes, Dynamics, and Modes of Resolution.” 1994. p.155.13 Buzan, Barry. People, States, and Fear: An Agenda for International Security Studies in Post-Cold war era. London : Pinter. P18714 Snyder, Craig A. “Contemporary Security and Strategy” .Palgrave : Macmillan. 2008.p228.15 Hettne,B. and Soderbaun. Theorizing the Rise of Regionnes”. London : Routledge. 2002. p.39

Page 9: Outline Dejong

Teori fungsionalis ini dikritik oleh Beeson yang mengatakan bahwa Fungsionalis

tidak memperhitungkan arti pentingnya kesamaan identitas dalam integrasi kawasan.Teori

fungsionalis hanya memandang interaksi dan kerjasama antar negaralah yang menjadi faktor

utama dalam menciptakan kawasan. Padahal seharusnya aspek kesamaan identitas dan sistem

sosial merupakan pendorong utama terbentuknya integrasi kawasan. Beeson juga mengkritisi

kelemahan teori fungsionalis yang tidak dapat menjelaskan bagaimana interaksi tersebut

dapat tercipta pertama kali.16

Sementara itu, berdasar “New Regional Theory”17, perkembangan regionalisme

tergantung pada tiga hal. Yakni, dukungan dari kekuatan besar di dalam kawasan (regional

great power), tingkat interaksi antar negara dalam kawasan, dan saling kepercayaan antar

negara dalam kawasan. Melalui teori ini, dapat dipahami bahwa mengapa satu kawasan lebih

tertinggal dibanding yang lainnya adalah karena permasalahan kekuatan dan keinginan

negara yang bersangkutan untuk membentuk satu kawasan. Bisa jadi suatu kawasan tidak

tercipta integrasi karena memang integrasi tersebut tidak diinginkan dan diupayakan oleh

para great powers.

Selain teori di atas, Hennet membagi tingkatan regionalism ke dalam lima tahapan

yang meningkat secara gradual.18 Lima tahapan ini menunjukkan kematangan suatu kawasan

seiring dengan meningkatnya intensitas hubungan internasional antar negara di kawasan.

Tahapan ini dapat menjawab pertanyaan mengapa satu kawasan dapat lebih maju

dibandingkan dengan kawasan yang lain dan persyaratan apa yang harus diupayakan agar

tercipta integrasi kawasan yang lebih matang.

Tahapan tersebut adalah :16 Beeson,M. “Rethinking Regionalism: Europe and East Asia in Comparative Historical Perspective”. Journal of European Policy, 12.2005. p.969-85.17 Hettne,B. “The New Regionalism : A Prologue. In Hettne,B. (ed), The New Regionalism and the Future of Security Development”, Vol.4.2000. London : Macmillan.18 Hettne, B. “Development, Security and World Order: A Regionalist Approach, European Journal of development Research”, 9. 1997. p.83-106

Page 10: Outline Dejong

1. Simple Geographic Unit of States

Kriteria :

Tidak ada kerjasama dan interaksi rutin antar negara di dalam kawasan.

Kerjasama terjadi hanya ketika ada ancaman, dan kerjasama tersebut juga berakhir

ketika ancaman sudah berakhir.

Sangat bergantung pada sumber daya pribadi, yakni pada masing-masing negara.

2. Set of Social Interactions

Kriteria :

Dalam kawasan sudah tercipta interaksi antar negara namun hanya diatur norma-

norma atau institusi informal

3. Collective Defense Organisation

Kriteria :

Negara mulai bersekutu dengan negara lain yang memiliki pemikiran yang sama di

dalam satu kawasan untuk melawan ancaman bersama tau musush bersama.

Ada perjanjian formal yang mengikat dan mengatur negara-negara dalam satu

kawasan.

Ada kombinasi kekuatan, meski bukan berupa penggabungan apalagi peleburan

4. Security Community

Page 11: Outline Dejong

Kriteria:

Interaksi antar masyarakat sipil antar negara sudah mulai dikembangkan.

Tercipta hubungan yang damai antar nmegara dalam kawasan.

Adanya kesepakatan untu memilih menggunakan cara-cara damai untuk

menyelesaikan masalah.

5. Region State

Kriteria:

Kawasan sudah memiliki identitas bersama yang berbeda dari kawasan lain

Kawasan memiliki kapabilitas bersama sebagai satu kawasan

Kawasan memiliki legitimasi sebagai satu kesatuan regional

A. Keamanan Regional dari berbagai perspektif

Dalam sejarah perkembangannya,regionalisme mendapat beberapa tanggapan dari

beberapa pihak khususnya pihak realist,neo-liberal,institusionalis dan konstruktivis.Ketiga

pihak tersebut memiliki pemahaman yang berbeda mengenai keamanan regional, yakni pada

bagaimana cara menciptakan kondisi yang kondusif bagi keamanan regional.

a. Perspektif Realis

Perspektif realis memandang bahwa masalah keamanan regional tidak dapat disatukan

meskipun mereka memiliki kepentingan yang sama. Hal ini membuat membuat kerjasama

diantara negara-negara dalam satu regional sulit untuk dijalankan karena tidak adanya saling

Page 12: Outline Dejong

kepercayaan antar negara dalam kawasan. Perspektif realis meyakini bahwa negara tidak

boleh bergantung pada negara lain, sehingga “self-help” merupakan cara terbaik dalam

mencapai stabilitas keamanan yang mandiri. Dengan adanya sistem “self-help” ini, maka

kooperasi antar negara-negara dalam kawasan sulit untuk dibentuk.

Jika memandang dengan perspektif ini, maka integrasi kawasan tidak akan pernah

terwujud. Bahkan ide mengenai kerjasama kawasan dan pemeliharaan keamanan regional

secara bersam-sama merupakan hal yang tidak masuk akal. Salah satu kerjasama dan

interaksi yang paling mungkin terjadi di kawsana adalah kerjasama untuk menangani musuh

bersama dari luar kawsana. Meski hal itu bukan sebagai ajminan bahwa negara-negara dalam

kawsan dapat saling percaya untuk tergabung bersamam melawan musuh dari luar kawasan.

b. Perspektif Institutionalis

Kaum Institusionalis memandang bahwa institusi regional akan memudahkan

terjalinnya kerjasama kawasan, menghilangkan anarki internasional dan membantu

kepentingan negara-negara untuk menciptakan keamanan regional.19 Hal ini tentu saja sangat

bertentangan dengan perspektif realis yang menyangsikan hilangnya sikap anarkis dan

melahirkan kerjasam. Bull meyakini bahwa “Hukum kerjasama “ ini dapat berlaku jika

diberlakukan sistem contingency and equivalence20. Contigency dimaknai sebagai upaya

pemberian reward bagi negara yang bersedia melakukan kerjasama dan memberi hukuman

bagi yang menolak melakukannya. Pernyataan ini disempurnakan oleh Milner yang

menyatakan bahwa perlu adanya keseimbangan pemberian reward sehingga terjalin

hubungan baik antar negara-negara yang mendapatkannya.21 Dalam perkembangan

kontemporer, reward yang didapatkan dari hasil kerjasama kawsan dapat berupa kemajuan

19 Keohane, R.O. After Hegemon: Cooperation and Discord in the World Political Economy, Princeton: Princeton University Press.1984.20 Bull, H.The Anarchical Society : A Study of Order in World Politics. 1977. Basingstoke : Macmillan.21 Millner, H. “International Theories of Cooperation Among Allies : Strengths and Weakness”. World Politics,44. 1992. p.446-96.

Page 13: Outline Dejong

ekonomi bersama, seperti Uni Eropa, atau terciptanya stabilitas kawsana seperti misalnya

ASEAN.

Perbedaan utama antara kedua paham ini adalah perbedaan aspek terpenting yang

menentukan keamanan regional. Kaum realis memandang bahwa militer adalah faktor

terpenting dari keamanan. Sementara itu, pihak institusionalis mengatakan tidak hanya militer

saja yang merupakan aspek terpenting dari keamanan regional, tetapi juga bidang politik dan

sosial

c. Perspektif Konstruktivis

Kaum konstruktivis memiliki anggapan bahwa keamanan regional dapat sengaja

dikonstruksikan secara sosial melalui interaksi sosial. Selanjutnya, interaksi tersebut akan

membentuk kesamaan identitas dan kepentingan. Alexander Wendt menyatakan bahwa

kondisi ini dapat terwujud jika memenuhi tiga landasan utama yaitu pembagian

ilmu,pembagian sumber daya material dan kepraktisan.22 Ketiga hal ini akan membentuk

sebuah sistem keamanan regional yang efektif.

B. Ancaman terhadap Keamanan Regional

Ancaman merupakan dua sisi mata uang bagi terciptanya stabilitas kawasan. Di satu

sisi, ancaman dapat mengganggu keamanan regional. Namun di sisi lain, ancaman justru

dapat menciptakan kerjasama regional untuk menghilangkan ancaman tersebut. Lepas dari

hal itu, ancaman dapat dieskuritisasi sehingga tetap tercipta kerjasama regional namun tidak

mengganggu keamanan regional.

22 Wendt, Alexander. “Constructing International Politics, International Security”, 20. 1995.p.71-81.

Page 14: Outline Dejong

Secara umum, ada empat kategori ancaman yang dapat mengancam keamanan

regional. Tiga ancaman pertama diungkapkan oleh Hettne23 sedangkan yang lain oleh

Snyder24. Ancaman tersebut yakni:

a. Balance of Power Contest

Yakni ancaman yang muncul karena adanya keinginan antara negara-negara di

kawasan untuk menguasai aspek-aspek tertentu, misalnya sumberdaya dan hegemoni. Hal

tersebut menyebabkan para kator saling berlomba dalam memenangkan kepentingannya dan

tidak menempuh upaya kerjasama.

b. “Grass fire” Conflicts

Yakni ancaman yang berupa konflik yang terjadi antar negara karena permasalahan-

permasalahan local. Misalnya permasalahan politik, ekonomi dan etnis yang melibatkan issue

di negara lain.Pada umumnya, konflik ini didorong oleh dua hal : masalah pemicu dan

permasalahan mendasar yang memang sudah ada dan menjadi sengketa. Misalnya, masalah

perebutan wilayah.

c. Intra-state Conflicts

Yakni ancaman regional yang berupa konflik internal di suatu negara tertentu di

dalam kawasan tersebut. Meskipun demikian, konflik tersebut memiliki potensi untuk

mempengaruhi hubungan dengan negara lain yang memiliki hubungan tidak langsung

terhadap konflik. Misalnya konflik etnis minoritas di satu negara dimana etnis tersebut

menjadi etnis mayoritas di negara yang lain.

d. Transnational Threats

23 Hettne, B. and B. Soderbaun, F. (2002). “The New Regionalism Approach. Politea”, 17. 1998. p. 6-21.24 Snyder, Craig A. 200b. ibid.

Page 15: Outline Dejong

Ancaman ini tidak berasal dari isu keamanan tradisonal seperti layaknya ketiga

ancaman di atas. Ancaman ke empat ini merupakan konflik yang berasal dari masalah

lingkungan, ketidakadilan ekonomi, politik, sosial, kesehatan dan juga isu-isu migrasi.

Ancaman ini tidak memerlukan penanganan secara militer. Namun jika tidak ditangani akan

mengancam kawasan secara keseluruhan, tidak hanya satu negara saja.

2. Security Dilemma

Security dilemma is a term used in international relations and refers to a situation

that uncertainty, Change (arming), and mistrust can combine to create conflict, even when

neither side really desires it. In other words, Security for one state reduces the security of the

other.25 (Dilemma keamanan adalah istilah yang digunakan dalam hubungan internasional

dan mengacu pada situasi ketidakpastian, perubahan (persenjataan), dan kecurigaan yang

dapat dipadukan untuk menciptakan konflik, bahkan ketika tidak ada pihak yang benar-benar

menginginkan hal tersebut. Dengan kata lain, keamanan untuk satu negara mengurangi

keamanan negara lainnya.)

Security dilemma menjelaskan tentang suatu kondisi di mana usaha suatu negara

untuk meningkatkan keamanan nasionalnya dengan menambah kapabilitas pertahanannya

berdampak pada munculnya rasa terancam terhadap negara lain, hal itu kemudian memicu

negara lain tersebut untuk meningkatkan kemampuan pertahanannya (militer) juga (military

counter-moves), kondisi ini akhirnya menyebabkan menurunnya atau berkurangnya tingkat

keamanan itu sendiri. Securitry dilemma pada pada dasarnya merupakan refleksi dari

kesulitan pemerintah suatu negara untuk menentukan pilihan kebijakan keamanannya. Jika

25 Robert Jervis, “Cooperation under the Security Dilemma,” World Politics, Vol. 30, No. 2 (January 1978), pp. 167–174; and Robert Jervis, Perception and Misperception in International Politics (Princeton, N.J.: Princeton University Press, 1978), pp. 58–113

Page 16: Outline Dejong

suatu negara mengurangi usaha-usaha untuk memperkuat keamanannya dengan tujuan

menciptakan hubungan yang damai dengan negara lain, maka konsekuensinya adalah negara

tersebut rawan untuk diserang oleh negara lain. Namun jika negara tersebut meningkatkan

kekuatan pertahanannya maka akan menyebabkan munculnya prasangka atau kecurigaan

negara-negara lain sehingga akan memicu terjadinya perlombaan senjata. Kondisi tersebut

akan menghadapkan negara untuk lebih cenderung mengedepankan cara penyelesaian konflik

dengan cara-cara militer seperti perang daripada cara-cara diplomasi. Security dilemma

seringkali disebabkan oleh adanya tanda yang ambigu yang umumnya muncul dari military

planning.

Seperti dijelaskan oleh Nicholas Wheeler dan Ken Booth, bahwa Security dilemma

muncul ketika: “The military preparations of one state create an unresolvable uncertainty in

the mind of another as to wether those preparations are for “defensive” purposes only (to

enhance its security in uncertain world) or wether they are for offensive purposes ( to change

the status quo to its advantage)”.26

Security dillema umumnya bekerja pada suatu kondisi yaitu ketika kebijakan

keamanan suatu negara untuk meningkatkan kekuatan pertahanannya yang murni ditujukan

untuk self defense seringkali ditanggapi oleh negara lawan sebagai tujuan yang ofensif. Hal

itu mendorong negara lawan membeli atau memproduksi senjata tambahan untuk

meningkatkan kekuatan militernya. Hal itu disebabkan oleh adanya suatu kelaziman bahwa

negara lawan selalu memiliki kecenderungan untuk mengambil asumsi terburuk yakni negara

tersebut meningkatkan kemampuan pertahanannya untuk tujuan menyerang (ofensif).

C. Metode Penelitian

1. Jenis Penelitian

26 Wheeler and Booth, ‘The Security Dilemma’, in John Baylis and N.J. Rengger (ed.), Dilemmas of World Politics: International Issues in a Changing World (Oxford: Oxford University Press, 1992), p.30.

Page 17: Outline Dejong

Metode penelitian yang digunakan penulis dalam penulisan ini adalah analisis

eksplanatif. Analisis eksplanatif digunakan penulis untuk menjelaskan dampak dari nuklir

Korea Utara terhadap stabilitas keamanan Asia Timur.

2. Teknik Pengumpulan Data

Dalam pengumpulan data, teknik yang digunakan oleh penulis adalah study

kepustakaan (library research) yaitu cara pengumpulan data yang dilakukan dengan

menelaah sejumlah literatur yang sesuai dengan pokok permasalahan yang akan diteliti. Data-

data diperoleh dari berbagai sumber seperti buku, jurnal, artikel media, dokumen dan situs

internet.

3. Teknik Pengolahan Data

Data-data yang telah didapat kemudian dikelompokkan menjadi variabel-variabel

yang terpisah sesuai dengan kategorinya sehingga dapat menghasilkan pengelompokkan yang

valid dan dapat menjawab pokok permasalahan dalam penelitian ini. Pengolahan data

merupakan bagian yang amat penting dalam metode ilmiah, karena dengan pengolahan data,

data tersebut dapat diberi arti dan makna yang berguna dalam memecahkan masalah

penelitian.

D. Sistematika Penulisan

Dalam sebuah karya tulis baik itu yang bersifat ilmiah ataupun non ilmiah dibutuhkan

suatu sistematika penulisan untuk memberikan gambaran mengenai isi ataupun hal-hal yang

akan dibahas dalam tiap bab-bab dalam tulisan tersebut. Adapun sistematika tersebut terdiri

dari :

Page 18: Outline Dejong

BAB I : Pendahuluan

Dalam Bab ini berisikan latar belakang, pokok permasalahan, kerangka teori, metode

penelitian dan sistematika penelitian.

BAB II : Tinjauan Pustaka

Dalam Bab ini akan di lakukan pembahasan lebih mendalam mengenai kerangka teori dan hal

– hal terkait yang akan digunakan penulis untuk menganalisa masalah dalam tulisan ini.

BAB III : Gambaran Umum

Bab ini berisi uraian mengenai nuklir Korea Utara serta uji coba-uji coba yang telah

dilakukan dan kondisi keamanan Asia Timur serta dampak nuklir Korea Utara terhadap

stabilitas keamanan Asia Timur itu sendiri serta hubungan Korea Utara terhadap negara-

negara di kawasan.

BAB IV : Analisa dan Pembahasan

Dalam Bab ini berisi uraian yang mencoba memberikan analisa mengapa nuklir korea utara

berdampak terhadap terancamnya stabilitas keamanan Asia Timur.

BAB V : Penutup

Bab ini merupakan Bab penutup yang berisi kesimpulan dan saran yang coba diberikan

penulis atas gambaran serta analisa yang telah di berikan penulis di bab - bab sebelumnya.

Page 19: Outline Dejong

OUTLINE

FENOMENA NUKLIR KOREA UTARA DAN DAMPAKNYA TERHADAP STABILITAS KEAMANAN ASIA TIMUR

PERIODE TAHUN 2006 – 2009

Nama : Achmad Rifaie de Jong

Page 20: Outline Dejong

NPM : 073112350750096

UNIVERSITAS NASIONAL FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK

JURUSAN HUBUNGAN INTERNASIONAL

JAKARTA 2010