oral medicine

78
TUGAS UJIAN ILMU PENYAKIT MULUT Oleh : Nama : Sri Ayu Astuti Arib Stambuk : J11109288 Penguji : Prof. Dr. drg. Harlina, M.Kes KEPANITERAAN KLINIK BAGIAN ILMU PENYAKIT MULUT 1

Upload: eric-murray

Post on 22-Jan-2016

157 views

Category:

Documents


3 download

TRANSCRIPT

TUGAS UJIANILMU PENYAKIT MULUT

Oleh :

Nama : Sri Ayu Astuti Arib

Stambuk : J11109288

Penguji : Prof. Dr. drg. Harlina, M.Kes

KEPANITERAAN KLINIK

BAGIAN ILMU PENYAKIT MULUT

FAKULTAS KEDOKTERAN GIGI

UNIVERSITAS HASANUDDIN

MAKASSAR

2013

1

DAFTAR ISI

MATERI HALAMAN

Oral Medicine

Refarat : Burning Mouth Syndrome

Saliva

Kasus: Virus Herpes Simpleks

Infeksi dan Peradangan

1

12

22

28

35

2

ORAL MEDICINE = ILMU PENYAKIT MULUT

Oral medicine dapat didefenisikan sebagai suatu bidang dalam kedokteran

gigi yang berpusat pada diagnosa dan terapi dari penyakit mukosa mulut

(stomatologi), termasuk di dalamnya diagnosa dan terapi dari keluhan mulut lainnya

yang mungkin merefleksikan penyakit mulut setempat atau manifestasi penyakit

sistemik di rongga mulut, atau fase-fase dari praktek dokter gigi yang khususnya

memusatkan perawatan gigi pada pasien yang memiliki resiko secara fisiologis.1

Beberapa hasil penelitian yang dilakukan oleh Parlak, Tomar, Shulman dan

juga penelitian M Del Rosario pada anak-anak mulai dari usia 2 sampai dengan 17

tahun, terdapat beberapa penyakit mulut yang umum dijumpai pada anak-anak,

diantaranya recurent apthous stomatitis, herpes labialis, linea alba, geographic

tongue, angular cheilitis, dan oral candidiasis.2-4 Terjadinya penyakit-penyakit

tersebut tidak terlepas dari beberapa faktor yang mempengaruhinya seperti adanya

infeksi, penyakit-penyakit sistemik, trauma yang berkepanjangan, dan lain-lain.5

Seperti yang telah dijelaskan di atas, penyakit yang dijumpai di rongga mulut

dapat disebabkan oleh berbagai faktor. Di bawah ini akan dijelaskan beberapa faktor

etiologi terjadinya lesi di rongga mulut.

1. Infeksi

3

Berbagai jenis flora normal terdapat di dalam rongga mulut yang membentuk

mikroflora oral komensial. Mikroflora ini biasanya mengandung bakteri,

mikroplasma, jamur, dan protozoa, yang keseluruhannya dapat menimbulkan infeksi

oportunistik simtomatik tergantung pada faktor-faktor lokal atau daya pertahanan

tubuh pejamu yang rendah infeksi.5 Beberapa penyakit mulut yang dapat terjadi

akibat infeksi yaitu Keilitis angularis yang disebabkan oleh Stafilokokus aureus dan

Candida albicans, kandidiasis akibat infeksi jamur yang didominasi golongan

Candida albicans, serta herpes labialis dan gingivostomatitis herpetika primer yang

terjadi akibat infeksi virus herpes simpleks tipe1 dan 2, apabila terjadi kontak

mukokutan langsung dari sekresi-sekresi yang terinfeksi virus ini maka penularan

infeksi dapat terjadi.5,6,7

2. Trauma

Penyebab traumatik dari ulserasi rongga mulut bisa berupa trauma fisik atau

kimiawi. Kerusakan fisik pada mukosa mulut dapat disebabkan oleh permukaan

tajam, seperti tepi-tepi protesa, peralatan ortodontik, kebiasaan mengigit pipi, atau

gigi yang fraktur. Trauma kimiawi pada mukosa mulut biasanya dikarenakan tablet

aspirin atau krim sakit gigi yang diletakkan pada gigi-gigi yang sakit.5

3. Hormonal

Perubahan hormon seks terkhusus pada masa remaja dapat menimbulkan

perubahan-perubahan mukosa mulut. Pada fase luteal siklus menstruasi wanita, ketika

konsentrasi hormon progesteron mencapai nilai tertinggi, maka akan mengakibatkan

manifestasi oral seperti RAS (Recurent Apthous stomatitis), herpes labialis, dan

infeksi Candida. Peningkatan mikroorganisme tetentu seperti Provotella intermedia

dan spesies Capnocytophaga juga dapat ditemukan pada masa pubertas.

Meningkatnya kolonisasi bakteri ini menyebabkan gingivitis dan tingginya tendensi

perdarahan gingiva.8,9

4. Kelainan darah

4

Telah lama diketahui bahwa gejala-gejala oral merupakan indikasi awal terjadinya

kelainan hematologis maupun defisiensi nutrisi. Lesi-lesi oral yang sering dijumpai

pada keadaan ini adalah keilitis angularis, glossitis dan ulserasi oral.5

a) Anemia

Anemia defisiensi zat besi diperkirakan 8% terjadi pada wanita usia subur,

sedangkan anemia pernisiosa lebih sering terjadi pada lansia dengan kelainan

pencernaan khususnya penyerapan vitamin B12.5 Manifestasi intraoral dari anemia

paling menonjol pada lidah. Dorsum lidah pada awalnya tampak pucat dengan papila-

papila filiformis yang rata. Atrofi yang berlanjut dari papila berakibat permukaan

lidah tampak licin, kering dan mengkilat (disebut bald tongue). Pada tahap akhir lidah

tampak seperti daging merah dan terdapat apthae oral. Manifestasi oral yang lain dari

anemia mencakup keilitis angularis, ulserasi apthosa dan erosi mukosa.7

b) Leukemia

Pada penderita leukemia, terjadi infiltrasi sel leukosit ke dalam lapisan

retikular mukosa mulut dan kelenjar limfe serta menurunya mekanisme pertahanan

tubuh dan kadar trombosit di dalam darah, keadaan ini menyebabkan terjadinya

manifestasi oral dari penyakit leukemia di rongga mulut. Manifestasi oral yang dapat

terlihat pada penderita leukemia yaitu gingivitis, dimana gingiva mengalami

pembengkakan di daerah margin gingiva. Selain itu, penurunan mekanisme

pertahanan tubuh pada penderita leukemia menyebabkan infeksi rentan terjadi

terutama infeksi dari jamur Candida albicans.10

5. Defisiensi Imun

Pertahanan terhadap kolonisasi mikrobial merupakan salah satu dari fungsi sistem

kekebalan tubuh. Oleh karena itu, suatu kerusakan pada sistem ini akan berakibat

pada timbulnya infeksi. Hal ini digambarkan secara jelas oleh infeksi oportunistik

5

yang timbul dalam mulut penderita AIDS. Jumlah Candida albicans dalam saliva

bertambah pada penderita HIV. Kandidosis oral sering merupakan gejala awal dari

infeksi HIV dan dapat dibedakan menjadi empat bentuk: Pseudomembranosis,

eritematus (atrofik), hiperplastik, dan keilitis angularis.5

Infeksi virus yang terjadi pada penderita HIV yaitu virus Epstein-Barr yang

menyebabkan hairy leukoplakia dan virus HSV I yang menyebabkan penyakit herpes

simpleks. Infeksi HSV I terlihat pada bibir sebagai herpes labialis dan herpes intraoral

yang bersifat kambuhan, lebih sering menetap sehingga terlihat lebih parah

dibandingkan herpes simpleks pada orang yang tidak mengidap penyakit AIDS.7

6. Tembakau

Tembakau adalah faktor resiko utama terjadinya kanker rongga mulut dan faring.

Indonesia menempati urutan ketiga jumlah perokok terbanyak yang mencapai

146.860.000 jiwa. Remaja umumnya mulai merokok di usia remaja awal atau SMP.

Oleh karena itu, edukasi bahaya rokok terhadap kesehatan perlu diberikan sedini

mungkin.11

Secara histologi, karakteristik dari kanker rongga mulut akibat tembakau adalah

adanya hiperkeratinisasi dan vakuolisasi epitel, akantosis, dan proliferasi sel-sel

inflamatori. Penyakit mulut yang sering terjadi akibat penggunaan tembakau terutama

melalui kebiasaan merokok yaitu stomatitis nikotina dan keratosis rokok. Kelainan ini

umumnya mengenai orang dewasa dan jarang pada usia muda.7,12

7. Defisiensi Nutrisi

Masalah gizi remaja perlu mendapat perhatian khusus karena pengaruhnya yang

besar terhadap pertumbuhan dan perkembangan tubuh serta dampaknya pada masalah

gizi saat dewasa, mengingat di Indonesi persentase populasi remaja mencapai 21%

dari total populasi penduduk yaitu sekitar 44 juta jiwa (BPS, 2003). Masalah gizi

6

pada remaja masih terabaikan karena banyaknya faktor yang belum diketahui

(WHO,2003). Oleh karena itu, dokter gigi sebagai tenaga kesehatan harus mampu

ambil bagian dalam upaya menurunkan angka gizi buruk dikemudian hari dengan

melakukan pemeriksaan mulut yang dapat memberikan informasi cepat dan vital

tentang keadaan gizi seseorang.6,13

Manifestasi oral yang sering ditemukan pada penderita kurang gizi antara lain

keilitis angularis, cheilosis, glossitis dan RAS. Kekurangan gizi yang menimbulkan

manifestasi oral tersebut dapat dikarenakan kekurangan vitamin B2, riboflavin,

vitamin B6, piridoksin, zat besi, asam folat dan biotin.6,13

8. Tingkat Ekonomi Keluarga

Angka penyakit gigi dan mulut diduga lebih tinggi di daerah serta pada anak dari

golongan ekonomi menengah kebawah.14 Hal ini sesuai dengan pernyataan The World

Oral Health Report (2003), bahwa perawatan penyakit gigi dan mulut menempati

peringkat keempat penyakit termahal dalam pengobatan.15 Selain itu, kekurangan gizi

yang merupakan salah satu penyebab penyakit di rongga mulut, sering dialami

masyarakat terutama di negara sedang berkembang.6

9. Tingkat Pendidikan Orangtua

Tingkat pengetahuan seseorang sering dikaitkan dengan perilaku kesehatan.

Semakin tinggi tingkat pendidikan seseorang, maka pengetahuan dan penilaian

tentang kesehatan akan lebih baik, sehingga berpengaruh pada prilakunya untuk

hidup sehat yang berdampak pada penurunan resiko terkena suatu penyakit

dikemudian hari.15,16 Keluarga maupun sekolah merupakan lingkungan terdekat anak

untuk memberi dukungan optimal dalam upaya mencegah bahkan juga mengobati

penyakit gigi dan mulut.14

10. Oral Hygiene

7

Oral Hygiene (kebersihan rongga mulut) merupakan faktor resiko terjadinya

penyakit mulut. Dari hasil penelitian tahun 2008 di Iranian, dilaporkan bahwa adanya

hubungan antara kebersihan rongga mulut yang buruk dengan lesi pada lidah.17 Selain

itu, kebersihan rongga mulut yang buruk juga dapat meningkatkan peluang terjadinya

infeksi jamur di rongga mulut.18

Gambaran Klinis Penyakit Mulut

1. Lesi Vesikulobulosa

Herpes Labialis

Kelompok virus yang dapat menyebabkan infeksi di rongga mulut yaitu virus

Herpes simpleks tipe-I, Herpes simpleks tipe-II, Varicella zoster, virus Epstein-

Barr dan Sitomegalovirus. Pada infeksi herpes simpleks secara khas

menimbulkan herpes labialis. Gejala-gejala yang timbul diawali perasaan

menusuk atau perasaan terbakar pada satu tempat di bibir. Dalam 24 jam timbul

vesikel yang akan pecah dalam waktu 48 jam dan akan menimbulkan erosi epitel

dengan batas jelas berwarna merah, selanjutnya akan menjadi keropeng dan

sembuh dalam beberapa waktu. Faktor predisposisi yang dapat menimbulkan

herpes labialis pada individu yang rentan adalah sinar matahari, trauma, stres,

demam, haid, dan imunosupresi. Selain daerah bibir, palatum keras dan sulkus

bukal bawah merupakan daerah yang sering terserang infeksi virus ini.5,7

8

Gambar 1. Herpes labialis19

2. Lesi Merah dan Putih

Kandidiasis Oral

Merupakan infeksi jamur pada mukosa mulut maupun lidah yang biasanya

disebabkan oleh Candida albicans . Infeksi ini meningkat pada penderita HIV,

terlihat adanya plak putih pada mukosa mulut dan lidah, berwarna merah, diikuti

sensasi terbakar ataupun rasa sakit di daerah setempat. Pada lidah terjadi

perubahan pengecapan, sensitif terhadap makanan yang pedas sehingga

menyebabkan penurunan nafsu makan.

Tabel 1. Penyakit Kandidiasis Oral5,7

Penyakit Oral Candidiasis

Epidemiologi Etiologi

Kandidiasis Pseudomembranosis (Trhush)

5% pada bayi yang baru lahir dan 10% pada lansia yang lemah. Paling banyak ditemukan pada penderita HIV Tidak ada predileksi ras atau

Bayi yang ibunya menderita Trush Vagina, pemakaian antibiotik, steroid, dalam jangka panjang, penderita diabetes, hipoparatiroidisme,

9

jenis kelamin immunodefisiensi, kemoterapi

Kandidiasis Atrofik Akut

Sering pada penderita HIV

Penggunaan antibiotik steroid spektrum luas,

Kandidiasis Atrofik Kronis

15-16% pada pemakai gigitiruan lengkap dan sebagian, terutama pada wanita tua

Alergi Gigitiruan

Kandidiasis Keratotik Kronis (Hiperplastik)

Pada lansia. Pemakai gigitiruan dan perokok berat.

OH yang buruk, perokok, serostomia, pemakai gigitiruan

Gambar 2. Kandidiasis Pseudomembranosis pada penderita HIV20

Keilitis Angularis (Angular Cheilitis)

Keilitis angularis merupakan inflamasi pada salah satu atau kedua sudut

mulut. Penyakit ini disebabkan oleh Streptokokus aureus dan Candida albicans,

secara klinis keilitis angularis tampak merah dan pecah-pecah, dengan tepi lesi

yang kurang merah dari pada daerah tengahnya. Keropeng dan nodula-nodula

granulomatosa kecoklatan dapat menyertainya. Keilitis angularis dapat mengenai

penderita penyakit imunologis (penurunan daya tahan tubuh), defisiensi nutrisi,

dan penyakit haemopoetik (kelainan darah).5,7

10

Gambar 3. Keilitis angularis21

Linea Alba

Gambaran klinis dari linea alba yaitu adanya abrasi traumatik dari permukaan

epitel mukosa mulut serta plak keputih-putihan dengan dasar berwarna merah.

Line alba biasanya terjadi pada mukosa labial dan mukosa bukal dekat garis

oklusal. Lesi ini tidak berpotensi mengarah kepada keganasan. Terjadinya lesi ini

sering dihubungkan dengan kecemasan, sindroma premenstruasi, dan

parafungsional mandibula.22

Gambar 4. Linea alba23

3. Kelainan pada Lidah

Kesehatan lidah mampu mencerminkan kesehatan rongga mulut dan

kesehatan umum seseorang. Hal ini sesuai dengan pernyataan beberapa peneliti yang

mengatakan bahwa lidah merupakan indikator kesehatan seseorang secara umum,

11

karena ditemukan adanya hubungan antara lesi pada lidah dengan penyakit sisemik

seperti lidah geografik pada penderita stres emosional, alergi, dan defisiensi nutrisi,

serta lidah atrofik (glossitis atrofic) pada penderita defisiensi zat besi dan riboflavin.24

Lidah berfisur

Lidah berfisur adalah variasi dari anatomi lidah normal yang bersifat jinak,

terdiri atas satu fisura garis tengah, fisura ganda atau fisura multipel pada

permukaan dorsal dari dua pertiga anterior lidah. Pola dan panjang fisur

bermacam-macam dan penyebabnya tidak diketahui dengan pasti, tetapi ada

pendapat mengatakan bertambah banyak seiring bertambahnya usia. Lidah

berfisur mengenai 1-5% penduduk, umumnya terjadi pada sindrom Down dan

sindrom Melkerson-Rosenthal. Fisur tersebut dapat terkena radang sekunder dan

menyebabkan halitosis sebagai akibat dari penumpukan makanan.7

Gambar 5. Lidah berfisur25

Lidah Geografik

Lidah geografik adalah suatu peradangan jinak yang disebabkan oleh

pengelupasan keratin superfisial dan papila-papila filiformis. Penyebabnya tidak

diketahui, tetapi diperkirakan karena stres emosional, alergi, defisiensi nutrisi dan

12

faktor herediter. Lidah geografik ditandai adanya bercak-bercak gundul dari

papila filiformis, berwarna merah muda sampai merah, dapat tunggal atau

multipel yang dibatasi ataupun tidak dibatasi oleh pinggiran putih yang timbul.

Dapat juga disertai peradangan merah di tepi lesinya dan disertai perasaan sakit.

Lesi terus menerus berubah pola dan berpindah dari suatu daerah ke daerah lain.7

Gambar 6. Lidah geografik25

Glossitis Atrofic

Merupakan radang pada lidah yang sering dialami penderita anemia. Dorsum

lidah pada awalnya tampak pucat dengan papila-papila filiformis yang rata. Atrofi

yang berlanjut dari papila mengakibatkan suatu permukaan tanpa papila-papila,

yang tampak licin, kering dan mengkilat. Pada tahap akhir tampak lidah seperti

daging atau merah padam dan terasa sakit apabila terkena minuman maupun

makanan yang panas dan pedas.7

13

Gambar 7. Glossitis atrophic pada Penderita Anemia26

4. Lesi Ulseratif

RAS (Reccurent Aphtous Stomatitis)

Para ahli berpendapat bahwa lesi ini timbul bukan hanya sebagai penyakit

tunggal, melainkan manifestasi klinis dari penyakit lain.1,5,27

Keluhan awal sebelum terjadinya lesi yaitu rasa terbakar dan diikuti nyeri

setempat di sekitar mukosa mulut selama 2-48 jam sebelum munculnya ulser.

Selama masa prodormal ini terjadi suatu daerah kemerahan setempat dan dalam

beberapa jam terbentuk papula putih yang secara berangsur-angsur menjadi ulser

dan membesar dalam waktu 48-72 jam. Lesi yang terbentuk umumnya dangkal,

bulat, simetris dan tidak ada koyakan jaringan. Besar lesi bisa mencapai 2-5 mm,

kadang-kadang ulkus tampak dalam kelompok-kelompok, tetapi biasanya kurang

dari 5 terjadi sekaligus. Lesi dapat sembuh secara spontan dalam waktu 10-14

hari.1,27

14

Gambar 8. Reccurent Aphtous Stomatitis mayor28

REFARAT :

BURNING MOUTH SYNDROME “BMS” (Sindrom Mulut Terbakar)

Sindrom mulut terbakar (BMS) didefinisikan sebagai nyeri kronis, kondisi

idiopatik intraoral mukosa yang tidak disertai dengan lesi klinis atau penyakit

sistemik. BMS merupakan nyeri kronis kondisi mulut yang berhubungan dengan

sensasi nyeri terbakar pada lidah, bibir dan daerah mukosa mulut. Menurut Asosiasi

Internasional untuk Studi Pain (IASP), BMS didefinisikan sebagai nyeri terbakar di

lidah atau selaput lendir mulut lainnya, yang berhubungan dengan tanda-tanda normal

dan temuan laboratorium yang berlangsung setidaknya 4 sampai 6 bulan.29 Kata

'sindrom' digunakan karena banyak pasien juga akan memiliki gejala subyektif lain

(yaitu xerostomia, oral paresthesia, rasa diubah) atau gejala terkait lainnya.30

Epidemiologi dan Lokasi Khusus

Sebagian besar penelitian menunjukkan bahwa mayoritas pasien dengan

sindrom mulut terbakar adalah perempuan paruh baya di fase pasca-menopause.

Perbandingan perempuan dan laki-laki yang mengalami BMS adalah 7:1.31,32

Prevalensi sindrom mulut terbakar seperti yang dilaporkan beberapa studi

internasional adalah 0,6%-15%.33 Prevalensi pada populasi umum adalah 3,7% (1,6%

pria dan 5,5% wanita).34 Sebagian besar peneliti setuju bahwa prevalensi BMS

meningkat seiring bertambahnya umur pada laki-laki dan perempuan, dimana

sindrom ini sering dialami perempuan pada dekade 50-70.34,35 BMS biasanya muncul

3 tahun sebelum menopause hingga 12 tahun setelah menopause dan jarang terjadi

sebelum usia 30 tahun.34,36

BMS dapat melibatkan beberapa bagian, tetapi ujung lidah adalah lokasi yang

paling umum (71%), diikuti oleh bibir (50%), batas lateral lidah, (46%) dan palatum

(46%).37

15

Etiopatogenesis

Meskipun hubungan sebab-akibat antara faktor etiologi dan BMS belum

ditetapkan secara universal. Namun menurut pendapat para ahli, etiologi BMS

dianggap sebagai multifaktorial yaitu BMS primer yang penyebabnya masih belum

diketahui dan BMS sekunder yang meliputi faktor lokal, sistemik, atau psikogenik.38

Contoh BMS sekunder:

1. Faktor Lokal

Kandidiasis pada mulut

Subklinikal infeksi kandida telah menyarankan bahwa kandidiasis

pada mulut merupakan salah satu etiologi dari BMS. Penelitian yang dilakukan

oleh Chen and Samaranayake mengatakan bahwa pada pengumpulan saliva

pasien BMS ditemukan Candida glabrata yang tumbuh baik di saliva pasien

BMS daripada pasien kontrol.39 Selain itu pada pemeriksaan mikrobiologi

memperlihatkan adanya peningkatan candida sebanyak 53% pada pasien

BMS.39,40

Oral parafunctional habits (clenching,bruxism, dan grinding)

Aktifitas parafungsional adalah semua aktifitas diluar fungsi normal

(seperti mengunyah, bicara, menelan) dan tidak mempunyai tujuan fungsional.

Contohnya adalah bruxism dan kebiasaan–kebiasaan lain seperti menggigit kuku,

pensil, bibir, mengunyah satu sisi, tongue thrust, dan bertopang dagu. Aktifitas

yang paling berat dan sering menimbulkan masalah adalah bruxism termasuk

clenching dan grinding. Bruxism adalah mengerat gigi atau grinding terutama

pada malam hari, sedangkan clenching adalah mempertemukan gigi atas dan

bawah dengan keras yang dapat dilakukan pada siang ataupun malam hari.

Beberapa penelitian telah mengambarkan bahwa terdapat perubahan neurologis

pada BMS, sehingga kebiasaan parafungsional mungkin / dapat mengakibatkan

perubahan neuropatik yang akhirnya menyebabkan gejala BMS.40,41

16

2. Faktor Sistemik

Nokturia

Nokturia adalah meningkatnya frekuensi sekresi urin pada malam hari.

Peningkatan kejadian BMS akan berdampak sama atau parallel dengan

peningkatan episode nokturia karena apabila terjadi peningkatan BMS akan

berhubungan dengan mulut kering dan mulut kering akan berhubungan dengan

nokturia.43,44 Asplaund44 menyatakan bahwa kehausan dan minum dua kali lebih

pada malam hari ditemukan peningkatan yang signifikan pada wanita yang BMS

dibandingkan dengan pria dengan BMS. Hal ini dikarenakan adanya

keseimbangan cairan negatif yang berefek pada nokturia.40,44 Untuk mendiagnosa

nokturia yaitu sering bangun malam lebih dari satu kali untuk berkemih.45

Diabetes Mellitus

Telah dilaporkan bahwa diabetes melitus tipe II berperan dalam

terjadinya atau kejadian dari BMS.38,40,46,47,48,49,50,51 Gibson dkk52 melaporkan bahwa

gejala BMS pada pasien diabetes membaik setelah kontrol dari glukosa. Namun

beberapa peneliti53,54 melaporkan bahwa keluhan rasa terbakar pada mulut

disebabkan oleh kandidiasis oral pada pasien diabetes.

Perubahan Hormonal pada Menopause

Perubahan hormonal menjadi salah satu faktor terpenting BMS, karena

sebanyak 90 % wanita dengan BMS ditemukan pada wanita yang mengalami

menopause. 38,40,46,47,48,49,50,51

3. Faktor Psikogenik

Depresi, kecemasan, dan emosional merupakan faktor psikologis yang terkait

dengan BMS. 38,40,46,47,48,49,50,51 Namun ada kontroversi, apakah disfungsi psikologis

merupakan kejadian primer atau kejadian sekunder, karena disfungsi psikologis

merupakan hal yang umum yang dirasakan oleh pasien dengan sakit kronis.55,56 Faktor

ini masih menjadi kontroversi.

17

Etiologi

Pathogenesis

Patologi Klinik

Komplikasi

Gambar 9. Etiopatogenesis BMS38

18

Perubahan Neuropatik

Sensitisasi Aktifitas sentral abnormal simpatik

Perubahan KontrolSegmen Inhibitor

Sensitisasi Aktifitas Perifer perifer

BMS

BMSPrimer

BMSSekunder

KelainanPsikogenik

Interaksi antara etiologi yang belum diketahui (x,y) ataupun etiologi yang

sudah di identifikasi (lokal, sistemik, psikogenik) menyebabkan perubahan

neuropatik yang meliputi kerusakan saraf perifer, gangguan sistem dopaminergik dan

perubahan neurologis lainnya. Gangguan tersebut menimbulkan gejala BMS. Gejala

BMS yang kronis dapat mengakibatkan gangguan psikogenik. 38

Klasifikasi40,47,48,50

Tipe 1 : Nyeri setiap hari, tetapi rasa sakit tidak hadir saat bangun dan memburuk

setiap harinya. Rasa sakit ini non-psikiatri.

Tipe 2 : Rasa sakit yang konstan dan hal ini terkait dengan gangguan kejiwaan

dan kecemasan kronis.

Tipe 3 : Dalam tipe ini, rasa sakit yang terus-menerus dan juga terjadi pada

daerah yang tidak biasa (seperti dasar mulut). Jenis rasa sakit ini sering dikaitkan

dengan kontak alergi stomatitis.

Gejala Klinis

Pada pemeriksaan klinis, terdapat dua hal yang mendefinisikan sindrom. Yang

pertama adalah adanya tiga gejala, yang meliputi nyeri mukosa mulut yang tidak

berhenti, dysgeusia dan xerostomia. Dan pada pemeriksaan klinis yang lain secara

signifikan seharusnya tidak ada tanda-tanda luka atau terdeteksi terdeteksi lainnya di

mukosa rongga mulut bahkan pada daerah yang sakit.57

1. Nyeri

Ini adalah gejala utama dari BMS. Nyeri di BMS digambarkan sebagai sensasi

terbakar berkepanjangan dari mukosa mulut dalam intensitas yang sama tetapi

kuliatas yang berbeda dari sakit gigi. Kualitas nyeri adalah terbakar, panas atau mati

rasa. Intensitas nyeri diukur sekitar 5-8 cm pada skala analog visual 10 cm. Sensasi

terbakar sering terjadi pada lebih dari satu daerah mulut, pada dua pertiga anterior

lidah, anterior palatum keras dan mukosa bibir bawah yang paling sering terlibat.59

19

Daerah umum terjadi nyeri adalah lidah, bibir bawah, palatum, bibir atas, daerah

alveolar rahang bawah. Mukosa bukal dan dasar mulut jarang terlibat. 50% dari kasus

timbulnya nyeri biasanya spontan, di sisa kasus, nyeri dapat melanjutkan penyakit

sebelumnya, perawatan gigi sebelumnya, konsumsi obat-obatan sebelumnya dan

bahkan karena stres. Nyeri di BMS biasanya konstan dan terus menerus, semakin hari

meningkat, mencapai intensitas terbesar pada sore dan malam hari. Ini dapat

mengganggu tidur tapi pasien jarang bangun di malam hari. Nyeri pada intensitas

yang terendah di pagi hari.60

Lokasi nyeri tidak terlokalisir, dan pasien dengan BMS mungkin

mengeluhkan sensasi terbakar di berbagai daerah, termasuk mukosa ekstraoral,

seperti di wilayah dubur kelamin. Nyeri oral selalu bilateral, dan lebih dari satu

daerah mulut mungkin akan berpengaruh.

2. Dysgeusia

Hampir 70% dari pasien, mengalami gangguan indera pengecapan yang terus

menerus.60 Rasanya mungkin pahit, logam atau lainnya.58 Dysgeusia disertai dengan

rasa terbakar di mulit sering dikurangi dengan stimulasi oleh makanan. Perubahan

yang berbeda dalam persepsi rasa muncul di kedua level threhold atau suprathreshold.

Ada beberapa faktor lokal yang dapat menyebabkan dysgeusia adalah kandidiasis

oral, gingivitis deskuamatif, galvanisme oral, periodontitis, cairan klorheksidin dan

xerostomia. Faktor sistemik dapat disebabkan oleh defisiensi vitamin A, B12, seng

dan zat besi, sindrom Sjogren, kerusakan saraf korda timpani, disfungsi hepar,

alkoholisme, gastritis kronis, radioterapi untuk kepala dan leher, psikosis atau

depresi.

3. Xerostomia

Sekitar 46-67% dari pasien BMS mengeluh mulut kering. Ini mencerminkan

sensasi subjektif pada gejala obyektif disfungsi kelenjar ludah.32 Beberapa penelitian

20

tentang aliran saliva pada pasien BMS menunjukkan tidak ada penurunan aliran

saliva baik dirangsang maupun tidak dirangsang. Biasanya, volume saliva normal,

tetapi perubahan komposisi dengan peningkatan albumin, total IgM dan total IgG,

yang merupakan komponen serum dan tidak berasal dari kelenjar ludah. Perubahan

komposisi ionik saliva ini mungkin berperan dalam neuropati lokal yang terlihat pada

pasien BMS.

Diagnosis BMS

Menurut diagnosis Torgerson RR pada penelitian yang berjudul Diagnosis

and Treatment of Oral Mucosal Lession menyatakan bahwa untuk mendiagnosis

BMS memiliki karakteristik yaitu sensasi terbakar pada mulut, ada atau tanpa

dysgeusia dan xerostamia. Sehingga untuk mendiagnosis BMS yaitu adanya sensasi

terbakar pada mulut yang didapatkan dari anamnesis.61

Untuk mengetahuinya digunakan 1 pertanyaan :

• Adakah rasa terbakar pada mulut ? ya / tidak61

Tabel 2.Gejala BMS38

Gejala Tipe-tipe keluhan

Nyeri pada mukosa oral

Dygeusia

Xerostomia

Rasa terbakar

Panas

Kesemutan

Mati rasa

Rasa yang menetap

Persepsi rasa yang berubah

Mulut kering

21

Pemeriksaan Klinis

Pada BMS tidak ditemukan adanya lesi klinis dalam rongga mulut, termasuk

daerah yang sering timbul gejala.38,40,46,47,48,49,50

Pemeriksaan Penunjang

Tidak ada tes laboratorium untuk mendiagnosis BMS, tetapi pemeriksaan

penunjang lain dibutuhkan untuk mengetahui apakah BMS tersebut disebabkan dari

faktor lokal,sistemik, atau psikogenik contohnya:40,49,50

• Pemeriksaan mikrobiologi (swab)

• Serum glukosa darah (puasa atau tes toleransi glukosa)

• Urin analisis untuk glukosa

• LH

• FSH

Diferensial Diagnosis

Kondisi berikut yang memiliki gejala-gejala seperti BMS: 40,49,50

• Kandidiasis

• Diabetes

• Kecemasan dan depresi

• Aphthous stomatitis

• Stomatitis kontak

• Infeksi tulang, gigi, atau implant

Pengobatan

• Nyeri, yang merupakan gejala yang paling penting dalam BMS, biasanya

dikontrol dengan menggunakan obat dosis rendah seperti benzodiazepin, anti-

depresan trisiklik, gabapentin dll, Grushka dkk. menyarankan bahwa pengobatan

terbaik untuk sindrom terdiri dari kombinasi obat, seperti clonazepam dan baclofen

22

gabapentinn. Gremeau-Richard, pada tahun 2004, melaporkan adanya penurunan

signifikan nyeri BMS dengan aplikasi topikal clonazepam.63 Heckmann SM et al.

melakukan penelitian double blind pada clonazepam pada pasien dengan BMS.

Mereka menemukan bahwa pasien yang mengkonsumsi clonazepam (0,5 mg/hari)

secara signifikan meningkat di peringkat nyeri dibandingkan dengan plasebo

(laktosa).64 Menurut prospektif Sardella A dkk., penelitian secara acak, double blind,

placebo-controlled, meneliti efek dari ekstrak Hypericum perforatum (dikenal sebagai

St. john's wort) pada pasien BMS. Namun tidak ada perbedaan signifikan secara

statistik yang diamati pada skor VAS antara pengobatan aktif dan plasebo.65

• Aplikasi lokal dari agen desensitizing seperti capsaicin topikal: Penggunaan

saus cabai (sumber yang baik dari capsaicin) dalam air rasio 1:2 juga ditemukan

efektif dalam mengurangi nyeri oral pada BMS. Epstein dan Marcoe menganjurkan

3-4 kali/hari untuk aplikasi sebagian atau seluruh bagian yang sakit. Capsaicin

bertindak dengan penipis substansi p, sehingga mengakibatkan penurunan

pembakaran perifer.66

• Terapi penggantian hormon (HRT): Volpe et al, dalam penelitian pada wanita

menopause, menemukan bahwa 12 dari 22 pasien mengalami perbaikan gejala oral

setelah pengobatan berbasis estradiol.67 Telah ditemukan bahwa wanita dengan gejala

terbakar dan reseptor estrogen di mukosa mulut menanggapi penggantian hormon,

sementara hal ini tidak terjadi pada pasien tanpa reseptor ini, namun tidak dapat

dijamin bahwa HRT bisa menjadi pengobatan yang efektif untuk simtomatologi

oral.68

• High fluid diet

• Suplemen gizi dan terapi antioksidan: Femiano et al. pada tahun 2002 telah

menunjukkan penggunaan asam alpha lipoic dalam perawatan BMS. 96% pasien

telah menunjukkan peningkatan yang signifikan dalam gejala mereka. Ini adalah

antioksidan kuat dan agen saraf.69 Tapi, Cavalcanti DR et al., penelitian yang diacak,

double-blind, plasebo-terkontrol sebanyak 38 pasien, tidak menemukan efektivitas

23

asam alpha lipoic acid, dibandingkan dengan kelompok kontrol diberi plasebo, dalam

pengelolaan BMS.70 Perbedaan yang sama tidak signifikan dilaporkan oleh Lopez-

Jornet P et al. di alpha lipoic kelompok asam (800 mg/hari selama 8 minggu) dan

plasebo.71

• Terapi perilaku kognitif (CBT): Para pasien sindrom mulut terbakar harus

diyakinkan bahwa kondisi ini tidak fatal atau itu adalah kanker, dan akhirnya akan

menyelesaikan sendiri. Bergdahl et al. menyarankan penggunaan terapi perilaku

kognitif untuk pasien BMS. Dia menemukan pengurangan intensitas nyeri setelah

CBT setelah terapi.72 Mock D et al.73 dan Reamy BV et al.74 menemukan kombinasi

terapi perilaku kognitif (CBT), alpha-lipoic acid, dan/atau clonazepam sebagai

pendekatan yang paling menjanjikan untuk pengobatan sindrom mulut terbakar.

24

SALIVA

Saliva adalah cairan eksokrin yang terdiri dari 99% air, berbagai elektrolit

yaitu sodium, potasium, kalsium, kloride, magnesium, bikarbonat, fosfat, dan terdiri

dari protein yang berperan sebagai enzim, immunoglobulin, antimikroba, glikoprotein

mukosa, albumin, polipeptida dan oligopeptida yang berperan dalam kesehatan

rongga mulut.75,76

Saliva terdiri dari 99,5% air dan 0,5% subtansi yang larut. Beberapa

komposisi saliva adalah:77,78,79,80

1. Protein

Beberapa jenis protein yang terdapat di dalam saliva adalah :

a. Mucoid

Merupakan sekelompok protein yang sering disebut dengan mucin dan

memberikan konsistensi mukus pada saliva. Mucin juga berperan sebagai

glikoprotein karena terdiri dari rangkaian protein yang panjang dengan ikatan

rantai karbohidrat yang lebih pendek.

b. Enzim

Enzim yang ada pada saliva dihasilkan oleh kelenjar saliva dan

beberapa diantaranya merupakan produk dari bakteri dan leukosit yang ada pada

rongga mulut. Beberapa enzim yang terdapat dalam saliva adalah amylase dan

lysozyme yang berperan dalam mengontrol pertumbuhan bakteri di rongga mulut.

c. Protein Serum

Saliva dibentuk dari serum maka sejumlah serum protein yang kecil

ditemukan didalam saliva. Albumin dan globulin termasuk ke dalam serum saliva.

d. Waste Products

Pada saliva juga ditemukan sebagian kecil dari waste product pada

serum, urea dan uric acid.

25

2. Ion-ion Organik

Ion-ion utama yang ditemukan dalam saliva adalah kalsium dan fosfat yang

berperan penting dalam pembentukan kalkulus. Ion-ion lain yang memiliki jumlah

yang lebih kecil terdiri dari sodium, potasium, klorida, sulfat dan ion-ion lainnya.77

3. Gas

Pada saat pertama sekali saliva dibentuk, saliva mengandung gas oksigen

yang larut, nitrogen dan karbon dioksida dengan jumlah yang sama dengan serum. Ini

memperlihatkan bahwa konsentrasi karbon dioksida cukup tinggi dan hanya dapat

dipertahankan pada larutan yang memiliki tekanan didalam kelenjar duktus, tetapi

pada saat saliva mencapai rongga mulut banyak karbon dioksida yang lepas. 77

4. Zat-zat Aditif di Rongga Mulut

Merupakan berbagai substansi yang tidak ada didalam saliva pada saat saliva

mengalir dari dalam duktus, akan tetapi menjadi bercampur dengan saliva didalam

rongga mulut. Yang termasuk kedalam zat-zat aditif yaitu mikroorganisme, leukosit

dan dietary substance. 77

Volume rata-rata saliva yang dihasilkan perhari berkisar 1-1,5 liter. Pada orang

dewasa laju aliran saliva normal yang distimulasi mencapai 1-3 ml/menit, rata-rata

terendah mencapai 0,7-1 ml/menit dimana pada keadaan hiposalivasi ditandai dengan

laju aliran saliva yang lebih rendah dari 0,7 ml/menit. Laju aliran saliva normal tanpa

adanya stimulasi berkisar 0,25-0,35 ml/menit, dengan rata-rata terendah 0,1-0,25

ml/menit dan pada keadaan hiposalivasi laju aliran saliva kurang dari 0,1 ml/menit. 76,81,82

Nilai pH saliva normal berkisar 6–7. Konsumsi karbohidrat padat maupun cair

dapat menyebabkan terjadinya perubahan pH saliva dimana karbohidrat akan

difermentasi oleh bakteri dan akan melekat ke permukaan gigi. Dengan adanya sistem

buffer pada saliva, pH akan kembali netral setelah 20 menit terpapar karbohidrat yang

berkonsistensi cair dan 40-60 menit pada karbohidrat yang berkonsistensi padat.83

26

Fungsi Saliva

Beberapa fungsi saliva adalah :76,77,79,80,82,84

a. Sensasi Rasa

Aliran saliva yang terbentuk didalam acini bersifat isotonik, saliva mengalir

melalui duktus dan mengalami perubahan menjadi hipotonik. Kandungan hipotonik

saliva terdiri dari glukosa, sodium, klorida, urea dan memiliki kapasitas untuk

memberikan kelarutan substansi yang memungkinkan gustatory buds merasakan

aroma yang berbeda.

b. Perbandingan Mukosa dan Lubrikasi

Saliva membentuk lapisan seromukos yang berperan sebagai pelumas dan

melindungi jaringan rongga mulut dari agen-agen yang dapat mengiritasi. Mucin

sebagai protein dalam saliva memiliki peranan sebagai pelumas, perlindungan

terhadap dehidrasi, dan dalam proses pemeliharaan viskoelastisitas saliva.

c. Kapasitas Buffering

Buffer adalah suatu substansi yang dapat membantu untuk mempertahankan

agar pH tetap netral. Buffer dapat menetralisasikan asam dan basa. Saliva memiliki

kemampuan untuk mengatur keseimbangan buffer pada rongga mulut.

d. Integritas Enamel Gigi

Saliva juga memiliki peranan penting dalam mempertahankan integritas kimia

fisik dari enamel gigi dengan cara mengatur proses remineralisasi dan demineralisasi.

Faktor utama untuk mengontrol stabilitas enamel adalah hidroksiapatit sebagai

konsentrasi aktif yang dapat membebaskan kalsium, fosfat, dan fluor didalam larutan

dan didalam pH saliva.

e. Menjaga Oral Hygiene

Saliva berfungsi sebagai self cleansing terutama pada saat tidur dimana

produksi saliva berkurang. Saliva mengandung enzim lysozyme yang berperan

penting dalam mengontrol pertumbuhan bakteri di rongga mulut.

27

f. Membantu Proses Pencernaan

Saliva bertanggung jawab untuk membantu proses pencernaan awal dalam

proses pembentukan bolus-bolus makanan. Enzim α-amylase atau enzim ptyalin

merupakan salah satu komposisi dari saliva yang berfungsi untuk memecah

karbohidrat menjadi maltose, maltotriose dan dekstrin.

g. Perbaikan Jaringan

Saliva memiliki peranan dalam membantu proses pembekuan darah pada

jaringan rongga mulut, dimana dapat dilihat secara klinis waktu pendarahan menjadi

lebih singkat dengan adanya bantuan saliva. Saliva memiliki peranan dalam

membantu proses pembekuan darah pada jaringan rongga mulut, dimana dapat dilihat

secara klinis waktu pendarahan menjadi lebih singkat dengan adanya bantuan saliva.

h. Membantu Proses Berbicara

Lidah memerlukan saliva sebagai pelumas selama bicara, tanpa adanya saliva

maka proses bicara akan menjadi lebih sulit. Lidah memerlukan saliva sebagai

pelumas selama bicara, tanpa adanya saliva maka proses bicara akan menjadi lebih

sulit.

i. Menjaga Keseimbangan Cairan

Penurunan aliran saliva akan menghasilkan adanya suatu sensasi haus yang

dapat meningkatkan intake cairan tubuh.

Gambar 10. Anatomi kelenjar saliva mayor85

28

Faktor-faktor yang Mempengaruhi Volume Saliva

Xerostomia secara harafiah berarti mulut kering (xeros = kering, dan stroma =

mulut). Perasaan mulut kering terjadi bila kecepatan resorpsi air oleh mukosa mulut

bersama-sama dengan penguapan air mukosa, lebih besar daripada kecepatan sekresi

saliva.

Berikut ini terdapat beberapa kemungkinan penyebab yang mempengaruhi

volume saliva:86,87

1. Kesehatan Menurun

Gangguan dalam pengaturan air dan elektrolit yang diikuti oleh terjadinya

keseimbangan air yang negatif dapat menyebabkan menurunnya volume saliva,

sehingga kebutuhan pembasahan mulut meningkat. Gangguan emosional seperti

stress, rasa takut dan defisiensi vitamin, serta perubahan hormonal dapat

menyebabkan turunnya sekresi saliva.

2. Umur

Keluhan mulut kering sering ditemukan pada lanjut usia, disebabkan oleh

adanya atropi pada kelenjar saliva sesuai dengan pertambahan umur yang akan

menurunkan volume saliva dan terjadi perubahan komposisi saliva.

3. Penggunaan Obat-obatan

Obat-obatan yang memblokade sistem saraf perifer akan menghambat sekresi

saliva. Oleh karena sekresi air dan elektrolit terutama diatur oleh sistem saraf

parasimpatis. Obat-obatan antikolinergik akan menghambat pengeluaran saliva.

Obatobatan dengan pengaruh anti ß-andrenergik (yang disebut ß-bloker) terutama

akan menghambat sekresi saliva mukus.

Obat-obatan menyebabkan penurunan volume saliva antara lain:87,89

- Antikolinergika - Hipnotika

- Obat penenang (tranquilizer) - Antidepresiva

- Spasmolitika - Anti-epileptika

- Antihipertensiva - Antihistaminika, dll

29

4. Menopause

Pada perempuan menopause sekresi saliva berkurang akibat faktor sistemik

seperti perubahan hormon yang meyebabkan terjadinya penurunan ketahanan rongga

mulut dan sekresi saliva, faktor perubahan kemampuan fisiologi, maupun akibat

faktor perubahan emosional yang terjadi. Ini mempengaruhi derajat kebersihan mulut,

termasuk diet (asupan makanan), serta laju aliran saliva.90

5. Radioterapi

Radioterapi daerah kepala dan leher dapat menyebabkan penurunan volume

saliva tergantung jenis kanker dan lapangan penyinarannya misalnya radioterapi

dengan menggunakan radioactive iodine untuk pengobatan tumor tiroid dapat

merusak kelenjar parotid.88

6. Kemoterapi

Kemoterapi dapat menyebabkan gangguan kelenjar saliva selama atau bahkan

langsung setelah melakukan terapi. Kebanyakan pasien melaporkan fungsi saliva

dapat kembali seperti semula meskipun beberapa diantaranya mengalami xerostomia

secara permanen.89

7. Konsumsi Air Minum

Banyaknya air yang dibutuhkan seseorang berbeda-beda tergantung pada

ukuran tubuh orang tersebut dan apa yang dianggap sesuai untuk tubuhnya. Meski

kebutuhan air tiap orang berbeda menurut Profesor Hiromi Shinya MD, pakar enzim

yang juga guru besar kedokteran di Albert Einstein College of Medicine AS,

usahakan tubuh untuk mendapatkan pasokan air 8 gelas per hari (1,6 liter) untuk

orang dewasa dalam mencegah terjadinya dehidrasi serta xerostomia.91

KASUS EKSTRIM YANG PERNAH DIKERJAKAN:

30

HERPES SIMPLEKS VIRUS

Nama pasien: X

Umur pasien: 9 tahun

Keluhan utama: Pasien datang dengan keluhan rasa sakit pada bibir.

Anamnesa terpimpin: Rasa sakit dirasakan sejak seminggu yang lalu. Pasien

mengaku mengalami rasa sakit tersebut berulang kali dan mengalami demam 3 hari

yang lalu. Pasien jarang mengkonsumsi sayuran dan setiap hari jajan di depan

sekolah.

Pemeriksaan klinis: Terlihat vesikel berisi cairan sebesar 2mm dengan tepi

eritematous berjumlah lebih dari satu di mukosa labial kiri dan kanan. Terdapat abses

di gigi 75.

Diagnosa: suspek Herpes simpleks tipe 2

Perawatan:

Bersihkan luka dengan kapas steril

Desinfeksi dengan betadine

Aplikasi acyclovir

Pemberian vitamin dan antivirus

Gambar 10. Virus Herpes Simpleks

31

Virus Herpes Simpleks adalah virus DNA yang dapat menyebabkan infeksi

akut pada kulit yang ditandai dengan adanya vesikel yang berkelompok di atas kulit

yang sembab. Ada 2 tipe virus herpes simpleks yang sering menginfeksi yaitu :

- HSV-Tipe I (Herpes Simplex Virus Type I)

- HSV-Tipe II (Herpes Simplex Virus Type II)

HSV-Tipe I biasanya menginfeksi daerah mulut dan wajah (Oral Herpes),

sedangkan HSV-Tipe II biasanya menginfeksi daerah genital dan sekitar anus

(Genital Herpes). HSV-1 menyebabkan munculnya gelembung berisi cairan yang

terasa nyeri pada mukosa mulut, wajah, dan sekitar mata. HSV-2 atau herpes genital

ditularkan melalui hubungan seksual dan menyebakan gelembung berisi cairan yang

terasa nyeri pada membran mukosa alat kelamin. Infeksi pada vagina terlihat seperti

bercak dengan luka. Pada pasien mungkin muncul iritasi, penurunan kesadaran yang

disertai pusing, dan kekuningan pada kulit (jaundice) dan kesulitan bernapas atau

kejang. Lesi biasanya hilang dalam 2 minggu.

Episode pertama (infeksi pertama) dari infeksi HSV adalah yang paling berat

dan dimulai setelah masa inkubasi 4-6 hari. Gelala yang timbul, meliputi nyeri,

inflamasi dan kemerahan pada kulit (eritema) dan diikuti dengan pembentukan

gelembung-gelembung yang berisi cairan. Cairan bening tersebut selanjutnya dapat

berkembang menjadi nanah, diikuti dengan pembentukan keropeng atau kerak (scab).

Klasifikasi Ilmiah

Famili : Herpesviridae

Subfamili : Alphaherpesvirinae

Genus : Simpleksvirus

Spesies : Virus Herpes Simpleks Tipe 1 dan

Virus Herpes Simpleks Tipe 2

32

Morfologi

Pembungkus berasal dari selaput inti sel yang terinfeksi. Pembungkus ini

mengandung lipid, karbohidrat, dan protein, dan dapat menghilangkan eter. Genom

ADN beruntai-untai ganda (BM 85-106 X 106) berbentuk lurus. Tipe 1 dan 2

memperlihatkan 50% urutan homologi.

Siklus Hidup Virus Herpes Simpleks

Siklus pertumbuhan HSV berlangsung dengan cepat, memakan waktu 8-16

jam sampai selesai. Gen alfa(dini-segera) segera timbul setelah infeksi. Gen-gen ini

ditranskripsikan pada keadaan tidak adanya sintesis protein virus dan merupakan

permulaan replikasi. Gen beta(dini) timbul kemudian; membutuhkan hasil gen alfa

fungsional untuk ekspresinya, yaitu kebanyakan berupa enzim dan protein replikasi.

Ekspresi gen beta bertepatan dengan penurunan transkripsi gen alfa dan penghentian

sintesis protein sel inang yang ireversibel, dan dikatakan sebagai kematian sel. Hasil-

hasil gen gama(lambat) yang kemudian dihasilkan dan mencakup sebagian besar

protein struktural virus.

Pathogenesis

HSV ditularkan melalui kontak dari orang yang peka lewat virus yang

dikeluarkan oleh seseorang. Untuk menimbulkan infeksi, virus harus menembus

permukaan mukosa atau kulit yang terluka (kulit yang tidak terluka bersifat resisten).

HSV I ditransmisikan melalui sekresi oral,virus menyebar melalui droplet pernapasan

atau melalui kontak langsung dengan air liur yang terinfeksi. Ini sering terjadi selama

berciuman, atau dengan memakan atau meminum dari perkakas yang terkontaminasi.

HSV-I dapat menyebabkan herpes genitalis melalui transmisi selama seks oral-

genital. Karena virus ditransmisikan melalui sekresi dari oral atau mukosa (kulit)

genital, biasanya tempat infeksi pada laki-laki termasuk batang dan kepala penis,

skrotum, paha bagian dalam, anus. Labia, vagina, serviks, anus, paha bagian dalam

33

adalah tempat yang biasa pada wanita. Mulut juga dapat menjadi tempat infeksi untuk

keduanya. Penyebaran herpes genetalis atau Herpes Simpleks II dapat melalui kontak

langsung antara seseorang yang tidak memiliki antigen terhadap HSV-II dengan

seseorang yang terinfeksi HSV-II. Kontak dapat melalui membran mukosa atau

kontak langsung kulit dengan lesi. Transmisi juga dapat terjadi dari seorang pasangan

yang tidak memiliki luka yang tampak. Kontak tidak langsung dapat melalui alat-alat

yang dipakai penderita karena HSV-II memiliki envelope sehingga dapat bertahan

hidup sekitar 30 menit di luar sel.

Penyakit yang ditimbulkan Virus Herpes Simpleks

a. HSV-1

1. Gingivostomatitis herpetik akut

Penyakit ini sering terjadi pada anak-anak kecil (usia 1-3 tahun) dan

terdiri atas lesi-lesi vesikuloulseratif yang luas dari selaput lendir mulut, demam,

lekas marah dan limfadenopati lokal. Masa inkubasi pendek(sekitar 3-5 hari) dan

lesi-lesi menyembuh dalam 2-3 minggu.

2. Keratojungtivitis

Suatu infeksi awal HSV-1 yang menyerang kornea mata dan dapat

mengakibatkan kebutaan.

3. Herpes Labialis

Terjadi pengelompokan vesikel-vesikel lokal, biasanya pada

perbatasan mukokutan bibir. Vesikel pecah, meninggalkan tukak yang rasanya

sakit dan menyembuh tanpa jaringan parut. Lesi-lesi dapat kambuh kembali

secara berulang pada berbagai interval waktu.

b. HSV-2

1. Herpes Genetalis

Herpes genetalis ditandai oleh lesi-lesi vesikuloulseratif pada penis

pria atau serviks, vulva, vagina, dan perineum wanita. Lesi terasa sangat nyeri dan

diikuti dengan demam, malaise, disuria, dan limfadenopati inguinal. Infeksi

34

herpes genetalis dapat mengalami kekambuhan dan beberapa kasus kekambuhan

bersifat asimtomatik. Bersifat simtomatik ataupun asimtomatik, virus yang

dikeluarkan dapat menularkan infeksi pada pasangan seksual seseorang yang telah

terinfeksi.

2. Herpes neonatal

Herpes neonatal merupakan infeksi HSV-2 pada bayi yang baru lahir.

Virus HSV-2 ini ditularkan ke bayi baru lahir pada waktu kelahiran melalui

kontak dengan lesi-lesi herpetik pada jalan lahir. Untuk menghindari infeksi,

dilakukan persalinan melalui bedah caesar terhadap wanita hamil dengan lesi-lesi

herpes genetalis. Infeksi herpesneonatal hampir selalu simtomatik. Dari kasus

yang tidak diobati, angka kematian seluruhnya sebesar 50%.

Pengobatan

Beberapa obat antivirus telah terbukti efektif melawan infeksi HSV. Semua obat

tersebut menghambat sintesis DNA virus. Obat-obat ini dapat menghambat

perkembangbiakan herpesvirus. Walaupun demikian, HSV tetap bersifat laten di ganglia

sensorik, dan angka kekambuhannya tidak jauh berbeda pada orang yang diobati dengan

yang tidak diobati.

Salah satu obat yang efektif untuk infeksi Herpes Simpleks Virus adalah

Asiklofir dalam bentuk topikal, intravena, dan oral yang kesemuanya berguna untuk

mengatasi infeksi primer.

Nama Generik : Acyclovir

Nama Dagang : Clinovir (Pharos)

Indikasi : Untuk mengobati genital Herpes Simplex Virus, herpes labialis, herpes

zoster, HSV encephalitis, neonatal HSV, mukokutan HSV pada pasien yang memiliki

respon imun yang diperlemah (immunocompromised), varicella-zoster.

Kontraindikasi : Hipersensitifitas pada acyclovir, valacyclovir, atau komponen lain

dari formula.

35

Bentuk Sediaan : Tablet 200 mg, 400 mg.

Dosis dan Aturan Pakai : Pengobatan herpes simplex: 200 mg (400 mg pada pasien

yang memiliki respon imun yang diperlemah/immunocompromised atau bila ada

gangguan absorbsi) 5 kali sehari, selama 5 hari. Untuk anak dibawah 2 tahun

diberikan setengah dosis dewasa. Diatas 2 tahun diberikan dosis dewasa.

Pencegahan herpes simpleks kambuhan, 200 mg 4 kali sehari atau 400 mg 2 kali

sehari, dapat diturunkan menjadi 200 mg 2atau 3 kali sehari dan interupsi setiap 6-12

bulan. Pencegahan herpes simplex pada pasien immunocompromised, 200-400 mg 4

kali sehari. Anak dibawah 2 tahun setengah dosis dewasa. Diatas 2 tahun dosis sama

dengan dosis orang dewasa.

Efek Samping : Pada sistem saraf pusat dilaporakan terjadi malaise (perasaan tidak

nyaman) sekitar 12% dan sakit kepala (2%).pada system pencernaan (gastrointestinal)

dilaporkan terjadi mual (2-5%), muntah (3%) dan diare (2-3%).

Resiko Khusus : Penggunaan Acyclovir pada wanita hamil masuk dalam kategori B.

Efek teratogenik dari Acyclovir tidak diteliti pada studi dengan hewan percobaan.

Acyclovir terbukti dapat melewati plasenta manusia. Tidak ada penelitian yang cukup

dan terkontrol pada wanita hamil. Pada tahun 1984-1999 diadakan pendaftaran bagi

wanita hamil, dan dari hasil yang terlihat tidak ada peningkatan kelahiran bayi yang

cacat karena penggunaan Acyclovir. Tetapi karena tidak semua wanita hamil

mendaftarkan diri dan kurangnya data dalam jangka waktu yang panjang, maka

direkomendasikan penggunaan acyclovir untuk wanita hamil disertai peringatan dan

diberikan jika benar-benar-benar diperlukan. Acyclovir juga dapat masuk ke dalam

air susu ibu, karena itu penggunaan pada ibu menyusui harus disertai peringatan.

Penggunaan obat lain

• Vidarabin

• Idoksuridin topical (untuk Herpes Simpleks pada selaput bening mata)

• Trifluridin

36

Gambar 11. Herpes Genitalis

Gambar 12. Herpes Labialis

37

INFEKSI DAN PERADANGAN

Pengertian

Infeksi yaitu invasi dan pembiakan mikroorganisme di jaringan tubuh, secara

klinis tidak tampak atau timbul cedera selular lokal akibat kompetisi metabolisme,

toksin, replikasi intrasel, atau respon antigen-antibodi. 97

Radang atau inflamasi merupakan respon protektif setempat yang ditimbulkan

oleh cedera atau kerusakan jaringan, yang berfungsi menghancurkan, mengurangi,

atau mengurunng (sekuester) baik agen pencedera maupun jaringan yang cedera itu.97

Infeksi

Infeksi menembus permukaan kulit atau berasal dari dalam tubuh. Gambaran

klinisnya tergantung pada:

1. Letaknya di dalam kulit

2. Sifat alami organisme

3. Sifat respon tubuh terhadap organisme

Sebagian besar infeksi melalui jalan eksternal dengan menembus barier kulit

yang dapat menyebabkan lesi kulit saat organisme menginfeksi tubuh lainnya dan

menimbulkan bercak-bercak kulit. Infeksi dapat disebabkan oleh berbagai macam

organisme, seperti fungi, virus, bakteri, protozoa dan virus metazoa. Banyak

organisme yang hidup atau bahkan tumbuh di dalam kulit tetapi tidak menimbulkan

kerugian terhadap inang yang disebut komensal, atau apabila organisme ini

mengkonsumsi bahan-bahan yang mati maka mereka disebut saprofit.98

Mekanisme kerusakan jaringan yang diakibatkan organisme infeksius

beraneka ragam, karena produk atau sekresi yang berbahaya dari bakteri-bakteri. Jadi,

sel hospes menerima rangsangan bahan kimia yang mungkin bersifat toksik terhadap

metabolisme atau terhadap keutuhan membran sel. Sebagai tambahan, sering timbul

respon peradangan dari hospes yang dapat menyebabkan kerusakan kimiawi terhadap

38

sel. Agen intraseluler misalnya virus sering menyebabkan ruptura sel yang terinfeksi.

Selanjutnya terjadi kerusakan jaringan lokal.98

Infeksi kronik adalah infeksi  yang virusnya secara kontinu dapat dideteksi,

sering pada kadar rendah, gejala klinis dapat ringan atau tidak terlihat. Terjadi akibat

sejumlah virus hewan, dan persistensi pada keadaan tertentu bergantung pada usia

orang saat terinfeksi. Pada infeksi kronik oleh virus RNA, populasi virus sering

mengalami banyak perubahan genetik dan antigenik.

Infeksi laten adalah infeksi yang virusnya kebanyakan menetap dalam bentuk

samar atau kriptik. Penyakit klinis dapat timbul serangan akut intermiten; virus

infeksius dapat ditemukan selama timbulnya serangan tersebut.

Infeksi subklinik (tidak tampak) adalah infeksi yang tidak memperlihatkan

tanda jelas adanya infeksi.99

Peradangan

Peradangan ditandai oleh:100

a. Rubor (kemerahan)

Rubor merupakan hal pertama yang tertihat pada daerah peradangan. Pada

saat peradangan mulai timbul maka anteriol yang mensuplai daerah tersebut melebar,

dengan lebih banyak darah mengalir ke dalam mikrosirkulasi lokal. Kapiler-kapiler

yang sebelumnya kosong atau sebagian saja yang meregang dengan cepat terisi penuh

dengan darah. Keadaan ini dinamakan hyperemia atau kongesti, menyebabkan warna

merah lokal karena peradangan akut.

b. Kalor (panas)

Pada daerah peradangan pada kulit menjadi lebih panas dari sekelilingnya

sebab daerah yang disalurkan tubuh ke permukaan daerah yang terkena lebih banyak

daripada yang disalurkan ke daerah normal.

c. Dolor (rasa sakit)

Perubahan pH lokal atau konsentrasi lokal ion-ion tertentu dapat merangsang

ujung-ujung saraf. Selain itu, pembengkakan jaringan yang meradang

39

mengakibatkan peningkatan tekanan lokal yang tanpa diragukan lagi

menimbulkan rasa sakit.

d. Tumor (pembengkakan)

Pembengkakan ditimbulkan oleh pengiriman cairan dan sel-sel dari sirkulasi

darah ke jaringan-jaringan interstitial. Campuran dari cairan dan sel yang tertimbun di

daerah peradangan disebut eksudat. Pada keadaan dini reaksi peradangan sebagian

besar eksudat adalah cair, seperti yang terjadi pada lepuhan yang disebabkan oleh

luka bakar ringan.

Biasanya diklasifikasikan berdasarkan waktu kejadiannya, antara lain:

1. Radang akut, yaitu reaksi jaringan yang segera dan hanya dalam waktu yang tidak

lama

2. Radang kronis, yaitu reaksi jaringan selanjutnya yang diperlama mengikuti respon

awal.

Penyebab utama radang akut adalah:101

Infeksi mikrobial

Merupakan penyebab yang paling sering ditemukan. Virus menyebabkan

kematian sel dengan cara multiplikasi intraseluler. Bakteri melepaskan endotoksin

yang spesifik atau melepaskan endotoksin yang ada hubungannya dengan dinding sel.

Di samping itu, beberapa macam organisme, melalui reaksi hipersensitivitas, dapat

menyebabkan radang yang diperantarai imunologi.

Reaksi hipersensitivitas

Terjadi bila perubahan kondisi respon imunologi mengakibatkan tidak

sesuainya atau berlebihannya reaksi imun yang akan merusak jaringan.

Agen fisik

Kerusakan jaringan yang terrjadi pada proses radang dapat melalui trauma fisik,

ultraviolet atau radiasi ion, terbakar atau dingin yang berlebihan (fostbite).

40

Bahan kimia iritan dan korosif

Bahan kimiawi yang menyebabkan korosif (bahan oksidan, asam, basa) akan

merusak jaringan, yang kemudian akan memprovokasi terjadinya proses radang. Di

samping itu, agen penyebab infeksi dapat melepaskan bahan kimiawi spesifik yang

mengiritasi, dan langsung mengakibatkan radang.

Jaringan nekrosis

Aliran darah yang tidak mencukupi akan menyebabkan berkurangnya pasokan

oksigen dan makanan pada daerah bersangkutan, yang akan mengakibatkan

terjadinya kematian jaringan. Kematian jaringan sendiri merupakan stimulus yang

kuat untuk terjadinya infeksi. Pada tepi daerah infark sering memperlihatkan suatu

respon radang akut.

Proses Peradangan100

Salah satu efek pertama dari peradangan adalah pembatasan (wall of) area

yang cedera dari sisa jaringan yang tidak mengalami radang. Ruang jaringan dan

cairan limfatik di daerah yang meradang dihalangi oleh bekuan fibrinogen, sehingga

untuk sementara waktu hampir tidak ada cairan yang melintasi ruangan. Proses

pembatasan akan menunda penyebaran bakteri atau produk toksik.

Dalam waktu beberapa menit setelah peradangan dimulai, makrofag telah ada

di dalam jaringan dan segera memulai kerja fagositiknya. Bila diaktifkan oleh produk

infeksi dan peradangan, efek yang mula-mula terjadi adalah pembengkakan setiap

sel-sel ini dengan cepat. Selanjutnya, banyak makrofag yang sebelumnya terikat

kemudian lepas dari perlekatannya dan menjauh mobil, membentuk lini pertama

pertahanan tubuh terhadap infeksi selama beberapa jam pertama.

Dalam beberapa jam setelah peradangan dimulai, sejumlah besar netrofil dari

darah mulai menginvasi daerah yang meradang. Hal ini disebabkan oleh produk yang

berasal dari jaringan yang meradang akan memicu reaksi berikut:

41

1. Produk tersebut mengubah permukaan bagian dalam endotel kapiler,

menyebabkan netrofil melekat pada dinding kapiler di area yang meradang. Efek

ini disebut marginasi.

2. Produk ini menyebabkan longgarnya perlekatan interseluler antara sel endotel

kapiler dan sel endotel vanula kecil sehingga terbuka cukup lebar, dan

memungkinkan netrofil untuk melewatinya dengan cara diapedesis langsung dari

darah ke dalam ruang jaringan.

3. Produk peradangan lainnya akan menyebabkan kemotaksis netrofil menuju

jaringan yang cedera.

Jadi, dalam waktu beberapa jam setelah dimulainya kerusakan jaringan, tempat

tersebut akan diisi oleh netrofil. Karena netrofil darah telah berbentuk sel matur,

maka sel-sel tersebut sudah siap untuk segera memulai fungsinya untuk membunuh

bakteri dan menyingkirkan bahan-bahan asing.

Dalam waktu beberapa jam sesudah dimulainya radang akkut yang berat, jumlah

netrofil di dalam darah kadang-kadang menigkat sebanyak 4-5 kali lipat menjadi

15.000-25.000 netrofil per mikroliter. Keadaan ini disebut netrofilia. Netrofilia

disebabkan oleh produk peradangan yang memasuki aliran darah, kemudian diangkut

ke sumsum tulang, dan disitu bekerja pada netrofil yang tersimpan dalam semsum

untuk menggerakkan netrofil-netrofil ini ke sirkulasi darah. Hal ini membuat lebih

banyak lagi netrofil yang tersedia di area jaringan yanng meradang.

Bersama dengan invasi netrofil, monosit dari darah akan memasuki jaringan yang

meradang dan membesar menjadi makrofag. Setelah menginvasi jaringan yang

meradang, monosit masih merupakan sel imatur, dan memerlukan waktu 8 jam atau

lebih untuk membengkak ke ukuran yang jauh lebih besar dan membentuk lisosom

dalam jumlah yang sangat banyak, barulah kemudian mencapai kapasitas penuh

sebagai makrofag jaringan untuk proses fagositosis. Ternyata setelah beberapa hari

hingga minggu, makrofag akhirnya datang dan mendominasi sel-sel fagositik di area

42

yang meradang, karena produksi monosit baru yang sangat meningkat dalam sumsum

tulang.

Pertahanan tubuh yang keempat adalah peningkatan hebat produksi granulosit dan

monosit oleh sumsum tulang. Hal ini disebabkan oleh perangsangan sel-sel progenitor

granulositik dan monositik di sumsum. Namun hal tersebut memerlukan waktu 3-4

hari sebelum granulosit dan monosit yang baru terbentuk ini mencapai tahap

meninggalkan sumsum tulang.100

Pembentukan Pus

Bila netrofil dan makrofag menelan sejumlah besar bakteri dan jaringan

nekrotik, pada dasarnya semua netrofil dan sebagian besar makrofag akhirnya akan

mati. Sesudah beberapa hari, di dalam jaringan yang meradang akan terbentuk rongga

yang mengandung berbagai bagian jaringan nekrotik, netrofil mati, makrofag mati,

dan cairan jaringan. Campuran seperti ini biasanya disebut pus. Setelah proses infeksi

dapat ditekan, sel-sel mati dan jaringan nekrotik yang terdapat dalam pus secara

bertahap akan mengalami autokatalisis dalam waktu beberapa hari, dan kemudian

produk akhirnya akan diabsorpsi ke dalam jaringan sekitar dan cairan limfe hingga

sebagian besar tanda kerusakan jaringan telah hilang.100

Efek Radang Akut

Cairan dan eksudat seluler, keduanya dapat mempunyai efek yang berguna.

Manfaat cairan eksudat adalah sebagai berikut:

Mengencerkan toksin

Pengenceran toksin yang diproduksi oleh bakteria akan memungkinkan

pembuangannya melalui saluran limfatik

Masuknya antibodi

Akibat naiknya permeabilitas vaskuler, memugkinkan antibodi masuk ke

dalam rongga ekstravaskuler. Antibodi dapat mengakibatkan lisisnya mikro-

43

organisme dengan mengikutsertakan komplemen, atau mengakibatkan fagositosis

melalui opsonisasi. Antibodi juga penting untuk menetralisir toksin.

Transpor obat

Seperti antibiotik ke tempat bakteri berkembang biak.

Pembentukan fibrin

Dari eksudat fibrinogen dapat menghalangi gerakan mikro-organsme,

menangkapnya dan memberikan fasilitas terjadinya fagositosis.

Mengirim nutrisi dan oksigen

Yang sangat penting untuk sel seperti neutrofil yang mempunyai aktivitas

metabolisme yang tinggi, yang dibantu dengan menaikkan aliran cairan melalui

daerah tersebut

Merangsang respon imun

Dengan cara menyalurkan cairan eksudat ke dalam saluran limfatik yang

memungkinkan partikel dari larutan antigen mencapai limfonodus regionalnya,

dimana partikel dapat merangsang respon imun.

Pembebasan enzim-enzim lisosom oleh sel radang dapat pula mempunyai efek yang

merugikan, yaitu:

Mencerna jaringan normal

Enzim-enzim seperti kolagenase, protease dapat mencerna jaringan normal,

yang menyebabkan kerusakan. Kondisi ini mungkin terutama sebagai hasil kerusakan

vaskuler, misalnya pada reaksi hipersensitivitas tipe III.

Pembengkakan

Pembengkakan jaringan yang mengalami radang akut dapat merugikan.

Pembengkakan karena radang akan berbahaya apabila terjadi di dalam ruang yang

tertutup seperti rongga kepala.

Respon radang yang tidak sesuai

Kadang-kadang respon radang akut tampak tidak sesuai, seperti yang terjadi

pada reaksi hipersensitivitas tipe I, dimana antigen di sekitarnya berkemampuan

44

menyebabkan reaksi yang tidak mengancam dan merugikan individu. Pada respon

radang karena alergi mungkin dapat mengancam hidupnya, misalnya asma ekstrinsik.

45

DAFTAR PUSTAKA

1. Lynch Malcolm A, dkk. Ilmu penyakit mulut diagnosis dan terapi. Ed 8. Alih bahasa: P P Sianita Kurniawan: Binarupa Aksara. Jakarta. 1997: 1, 286-289

2. Shulman, Jay D. The prevalence of oral mucosal lesion in U.S. adults. J Am Dent Assoc, Vol 135, No 9, 1279-1286

3. Shulman, J. D. prevalence of oral mucosal lesion in children and youths in the USA. Int J Paediatr Dent. 2005 Mar; 15(2): 89-97

4. Parlak, AH, dkk. Prevalence of oral lesion in 13-16 year-old students in Duzce, Turkey. Oral disease. 2006, Vol. 12, No.6, pp. 553-558

5. Lewis Michael A. O. Tinjauan klinis penyakit mulut. Alih bahasa: Elly Wiriawan. 1998. Widya Medika. Jakarta.Hal: 47-48, 53-54,79,93

6. Suaibah L. Hubungan status gizi dengan terjadinya keilitis angularis pada anak usia 6-12 tahun di enam panti asuhan di kota madya Medan. Dentika dent J, Vol

7. Langlais RP, Miller CS. Kelainan rongga mulut yang lazim.Jakarta: Hipokrates, 1994: 42,46,52,54,56,68,84,86,94

8. Mascarenhas P. Influence of sex hormones on the periodontium. J Clin Periodontal 2003; 30: 671-681

9. Mariotti Angelo. Sex steroid hormones and cell dynamics in the periodontium. CriticalReviews in Oral Biology and Madicine, 5(1):27-53 (1994)

10. Prohealth. Kelainan Rongga Mulut Yang Berhubungan Dengan Leukemia Akut. (21 Januari 2009)

11. Kompas. Jumlah Perokok Pemula Meningkat. <http://www.klikdoktermenujusehat.com>

12. Tomar S. L., dkk. Oral mucosal smokless tobacco lesions among adolescents in the united states. J Dent Res 76(6): 1277-1286, June, 1997

46

13. Syafiq Ahmad, dkk. Gizi dan kesehatan masyarakat. Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2007: 84,155

14. Zantika Iis, 89% anak derita penyakit gigi dan mulut. http://www.depkes.go.id (13 Februari 2009).

15. Pintauli Sondang. Menuju gigi dan mulut sehat.USU Press. Medan.2008: 1-2,8,30-31,42

16. Smet Bart. Psikologi kesehatan. Jakarta: Gramedia Widiasarana Indonesia, 1994:

17. Professional Oral Health.An epidemiologic study of tongue lesions in 1901 iranian dental outpatients. The Journal of Contemporary Dental Practice, Volume 9, No. 7, November 1, 2008

18. Franks AST, Hedegard B. Geriatric dentistry. Blackell Scientific Publications, 1997: 135-139

19. Sciubba James J. 07 Juni 2008. Oral mucosal diseases in the office setting—Part I: Aphthous stomatitis and herpes simplex infections. Academy General Dentistry

20. Samson Pr. J. Pseudomembranous candidiasis of the cheek. July/August 2007 Pg. 347-354 <http:www.//aidsimagelibrary.com(07 September 2008).

21. Anonimous. <http://www.visualdxhealth.com/.../adult_Female_Face.htm> (02 Maret 2009).

22. Minciullo PL, dkk. Bilateral cyclic cheek lesions related to premenstrual syndrome. http://www.PubMed.com(01 November 2008)

23. Dozenist. <http://www.commons.wikimedia.org/wiki/File:Cheekbite10-3...> (03 November 2006).

24. Mojarad F. Prevalence of tongue anomalies in hamadan Iran. J Publ Health, Vol. 37, No.2, 2008, pp. 101-105

25. Anonimous. <http://www.klikdokter.com/illness/detail/235> (02 Maret 2009).

26. Handlers J. P. <http://www.cda.org/.../pubs/journal/jour499/gidis.html> (02 Maret 2009)

47

27. Said H. Usman. Interaksi hormonal dan kualitas kehidupan pada wanita. <http://obgynunsri.org/admin/upload/attachment/INTERAKSI%20HORMONAL%20%20DAN%20KUALITAS%20HIDUP%20WANITA28052008_3054.pdf> 02 Oktober 2004

28. Anonimous. http://www.aegis.com/topics/oi/oi-ohl.html

29. International Headache Society. The International Classification of Headaache Disorders (2nd ed). Cephalalgia 2004;24(1):8-160.

30. Zakzewska JM, Hamlyn PJ. Facial pain. In: Crombie IK, Croft PR, Linton SJ, Resche LL, Korf VM (Eds). Epidemiology of pain. Seattle: International Association for the Study of Pain press 1999:177-202.

31. Ship JA, Grushka M, Lipton JA, Mott AE, Sessle BJ, Dionne RA. Burning mouth syndrome: An update. JAm Dent Assoc 1995;126:842-53.

32. Grushka M. Clinical features of burning mouth syndrome. Oral Surg Oral Med Oral Pathol 1987;63:30-6.

33. Zakrzewska JM, Hamlyn PJ. Facial pain. In: Crombie IK, editor. Epidemiology of pain. Seattle (WA): IASP press; 1999. p. 175-82.

34. Bergdahl M, Bergdahl J. Burning mouth syndrome: Prevalence and associated factors. J Oral Pathol Med 1999;28:350-4.

35. Ferguson MM, Carter J, Boyle P, Hart DM, Lindsay R. Oral complaints related to climacteric symptoms in oophorectomized women. JR Soc Med 1981;74:492-8.

36. Van der Waal I. The burning mouth syndrome. Copenhagen: Munksgaard; 1990. p. 5-90.

37. Miyamoto SA, Ziccardi VB. Burning Mouth syndrome. Mt Sinai J Med 1998;65:343-7.

38. Scala A, Checchi L, Montevecchi M. Update on burning mouth syndrome:overview and patient management. Crit Rev Oral Biol Med. 2003;14:275-91.

48

39. Chen Q, Samaranayake LP. Growth of the fungal pathogen Candida in parotid saliva of patients with burning mouth syndrome. Microbios. 2009;102:45-52.

40. Boy M, Kıvanc B, Meral U.Burning mouth syndrome. Blackwell Scientific Publication. 2008;18(3):188-196.

41. Bergdahl BJ, Anneroth G, Anneroth I. Clinical study of patients with burning mouth. Scand J Dent Res. 2006;102:299-305.

42. Bergdahl M, Bergdahl J. Burning mouth syndrome:prevalence and associated factors. J Oral Pathol Med. 2010;28:350-4.

43. Petruzzi M, Lauritano D. Systemic capsaicin for burning mouth syndrome:short-term results of a pilot study. J Oral Pathol Med. 2004;33:111-4.

44. Asplund R. Nocturia and the burning mouth syndrome(BMS) in the elderly. Arch Gerontol Geriatri. 2005;41:255-60.

45. Junizaf A. Buku Ajar Neurofisiologi Uroginekologi. Jakarta: EGC;2001;1:88-89.

46. Daniel,Charland. Burning Issues in the Treatment of Burning Mouth Syndrome: An Evidence- Based Study of the Literature.Medical Sciences. 2008. Tersedia pada:http://www.utoronto.ca/dentistry/newsresources/evidence_based/burningmouth.pdf (diakses 12 November 2009).

47. Gutkowski S. Changes in Attitudes and Knowledge of Dental Hygiene Students Toward the Senior Citizen Population After a Course on Geriatrics.Inggris : Young dental. 2005. Tersedia pada :http://www.youngdental.com/pdf/tpav3i1.pdf

48. Nakazone A, Paula D. Burning mouth syndrome: a discussion about possible etiological factors and treatment modalities.Brazil : Faculty Odontologi University of Araraquara; 2009.

49. Chirra A.Burning Mouth Syndrome. Healthcare.2006;10.

50. Eusterman D,Vincent. Burning mouth syndrome.New England Dental Center. 2009 ;2:124-135. Tersediapada:http://emedicine.medscape.com/article/1508869-overview.

51. Grushka, Miriam, Joel B. Burning mouth syndrome. Oral Medical. 2010;86:557–61.

52. Gibson J, Lamey PJ, Lewis M. Oral manifestations of previously undiagnosed non-insulin dependent diabetes mellitus. J Oral Pathol Med. 2008;19:284-7.

49

53. Vitkov L, Weitgasser R.Candida-induced stomatopyrosis and its relation to diabetes mellitus. J Oral Pathol Med. 2003;32:46-50.

54. Tourne LP, Fricton JR. Burning Mouth Syndrome Critical review and proposed clinical management. Medical Oral. 2010;74:158-67.

55. Woda A, Pionchon P. A unified concept of idiopathic orofacial pain: pathophysiologic features. J Orofac Pain. 2005;14:196-212.

56. Grushka M, Sessle BJ. Burning mouth syndrome. Dentis Clinical North America. 2009;35:171-84.

57. Garcia-Medina MR. Sindrome de laboca que arde. Rev Asoc Odontol Argennt 1994;82(2):140-45.

58. Ship JA, Grushka M, Lipton JA, Mott AE, Sessle BJ, Dionne RA. Burning mouth syndrome. An update. J Am Dent Assoc 1995;126:842-53.

59. Hummel T, Welge-Lussen A. Taste and smell: An update. Adv Otorhinolarngol. Basel, Karger 2006;63:278-87.

60. Baskar RM, Main DMG. Patients complaining of a dry mouth. Further experience in clinical assessment and management. Br Dental J 1983;154:206-11.

61. Torgerson RR, Diagnosis and Treatment of Oral Mucosal Lession : Burning Mouth Syndrome. NCBI. 2010;4:194-205. Tersedia pada: http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/20597947.

62. Navazesh M, Kumar S.Xerostamia : Prevaleance, Diagnosis, and Management, Compendium of Conyinuing Education in Dentistry.New Dehli : Jaypee. 2007;3:5- 16.

63. Gremeau-Richard C, Woda A, Navez ML, Attal N, Bouhassira D, Gagnieu MC, et al. Topical clonazepam in stomatodynia: Arandomized placebo-controlled study. Pain 2004;108:51-7.

64. Heckmann SM, Kirchner E, Grushka M, Wichmann MG, Hummel T. A double-blind study on clonazepam in patients with burning mouth syndrome. Laryngoscope 2012;122:813-6.

65. Sardella A, Lodi G, Demarosi F, Tarozzi M, Canegallo L, Carrassi A. Hypericum perforatum extract in burning mouth syndrome: A randomized placebo-controlled study. J Oral Pathol Med 2008;37:395-401.

50

66. Epstein JB, Marcoe JH. Topical application of capsaicin for treatment of oral neuropathic pain and trigeminal neuralgia. Oral Surg Oral Med Oral Pathol 1994;77:135-40.

67. Volpe A, Lucenti V, Forabosco A. Oral discomfort and hormonal therapy in post menopause. Maturitus 1991;13:1-5.

68. López-Jornet P, Camacho-Alonso F, Andujar-Mateos P, Sánchez-Siles M, Gómez-Garcia F. Burning mouth syndrome: An update. Med Oral Patol Oral Cir Bucal 2010;15:E562-8.

69. Femiano F, Scully C. Burning mouth syndrome (BMS): Double blind controlled study of alpha-lipoic acid therapy. J Oral Pathol Med 2002;31:267-9.

70. Cavalcanti DR, da Silveira FR. Alpha lipoic acid in burning mouth syndrome-a randomized double-blind placebo-controlled trial. J Oral Pathol Med 2009;38:254-61.

71. López-Jornet P, Camacho-Alonso F, Leon-Espinosa S. Efficacy of alpha lipoic acid in burning mouth syndrome: A randomized, placebo-treatment study. J Oral Rehabil 2009;36:52-7.

72. Bergdahl J, Anneroth G, Perris H. Cognitive therapy in the treatment of patients with resistant burning mouth syndrome: A controlled study. J Oral Pathol Med 1995;24:213-5.

73. Mock D, Chugh D. Burning mouth syndrome. Int J Oral Sci 2010;2:1-4.

74. Reamy BV, Derby R, Bunt CW. Common tongue conditions in primary care. Am Fam Physician 2010;81:627-34.

75. Hartini, E. Serba serbi ilmu konservasi gigi. Jakarta : Penerbit Universitas Indonesia. 2005 : 69-59.

76. Del P, Maria A, Angela M, et al. Saliva composition and function : A comprehensive review. Journal Contemporary Dental Practice 2008 : 9(3): 5-2

77. Collins WJN, Walsh TF. A handbook for dental hygienis. 3th ed. Northern Ireland : Wright, 1992 : 67 : 113-11

78. Marya, RK. A textbook of physiology for dental student.1th ed. India : CBS Publisher and distributor, 2001 : 273-270

51

79. Avery JK, Chiego DJ. Essential of oral history and embryology. 3 th ed. St.Louis : Mosby Elsevier, 2006 : 215-195

80. Eley BM, Manson JD. Periodontics. 5 th ed. Brithis : Wright, 2004 : 175

81. Rantonen, P. Salivary flow and composition in healthy and diseased adult. Dissertation. Kuopio, Firland : University of Helsinki, 2003 : 12

82. TW, David. Salivary diagnostics. 1st ed. USA : Wiley-Blackwell, 2008 : 59-37

83. Huber, J. Xylitol : Magic in the making. JDHA 1999. 20(1) : 32-31

84. Ireland R, eds. Clinical textbook of dental hygiene and therapy. Germany : Blackwell-Munksgaard, 2007 : 22-21

85. Yunus B. Pengaruh terapi radiasi penderita kanker nasopharinx terhadap populasi Candida albicans di dalam rongga mulut. J PDGI: 2002;2: 363-5.

86. Hasibuan S. Keluhan mulut kering ditinjau dari faktor penyebab, manifestasi dan penanggulangannya. Medan, USU digital library. 2002: 1- 5.

87. Wong DT. Salivary diagnostic. Iowa: Wiley-Blackwell.2008: 28-60.

88. Ginting R, Tambunan G. Obat-obatan anti neoplastik dan manifestasinya di rongga mulut. Paper Jurusan Laboratorium Patologi Anatomi FKG/FK USU. 1992 : 114-22.

89. Scully, C. Oral Medicine and pathology at a glance.UK.Wiley-Blackwell Publishing Ltd,2010: 74-5

90. Maskoep WI, Terapi nutrisi pada penderita kanker. Pusat Pengembangan Paliatif dan Bebas Nyeri RSU Dr. Soetomo – FK UNAIR Surabaya2006:1-15

91. Anonim, 2007, Virus Herpes Simpleks, http://id.wikipedia.org, diakses tanggal 10 April 2008.

92. Anonim, 2007, Herpes Simpleks, http://medlinux.blogspot.com, diakses tanggal 18 April 2008.

93. Anonim, 2008, Penggunaan Tablet Acylovir pada Infeksi Herpes Simpleks, http://yosefw.wordpress.com, diakses tanggal 18 April 2008.

94. Brooks, G., et al, 1995, Mikrobiologi Kedokteran edisi 20, EGC Penerbit Buku Kedokteran, Jakarta

52

95. Jawetz, E.,et al, 1984, Mikrobiologi Untuk Profesi Kesehatan edisi 16, EGC Penerbit Buku Kedokteran, Jakarta

96. Oswari, E., 1995, Penyakit dan Penanggulangannya, PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta

97. Dorland, W. A. Newman. 2002. Kamus Kedokteran Dorland. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC.

98. Underwood, J. C. E. 1999. Patologi Umum dan Sistematik. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC.

99. Brooks, Geo F. 2007. Mikrobiologi Kedokteran Jawetz, Melnick, dan Adelberg.Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC.

100. Guyton, Arthur C. 2006. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC.

101. Underwood, J. C. E. 1999. Patologi Umum dan Sistematik. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC.

53