kedaruratan oral medicine
TRANSCRIPT
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
KEDARURATAN ORAL MEDICINE
2.1 Severe Erythema Multiforme
Etiopatogenesis
Eritema multiform merupakan reaksi yang di sebabkan oleh
hipersensitivitas yang timbul baik secara ringan maupun berat yang terjadi pada
kulit maupun membran mukosa, pada banyak kasus biasanya eritema multiform ini
muncul karena adanya faktor lain yang menginisiasi.
Pemicu yang paling utama pada EM adalah virus herpes simplex dan
reaksi obat. Obat-obatan yang sering dihubungkan dengan timbulnya reaksi EM
diantaranya obat anti inflamasi non-steroid (NSAID) oxycam; sulfonamide; obat
anticonvulsant seperti carbamazepine, phenobarbital dan phenytoin; kombinasi
trimethoprim-sulfonamide, allopurinol dan penicilin.
Hubungan herpes simplex virus (HSV) dengan EM telah diketahui dari
sekitar 50 tahun yang lalu. Antigen herpes yang terdapat pada kulit dan kompleks
imun didapatkan dari pasien EM. Banyak penelitian yang mempercayai bahwa
penyebab utama dari EM adalah respon sel-sel imun terhadap antigen HSV yang
tersimpan di keratinosit dari kulit dan mukosa.
Faktor penginisiasi itu sendiri terbagi atas 4:
1. Akibat infeksi : herpes simpleks, mycoplasma pneumonia, dan histoplasmosis.
2. akibat pengunaan obat : sulfat, penicillin, dilantin, barbiturate, iodine, dan
salisilat.
3. pengaruh kondisi gastrointestinal: crohn disease, ulcerative colitis.
4. pengaruh lainnya : malignansi, terapi radiasi, dan vaksinasi.
Pathogenesis dari EM ini masih banyak yang tidak di ketahui, tetapi
menurut penelitian bahwa pengaruh dari kompleks imun dapat menyebabkan
infeksi ini, dapat dari herpes maupun mycoplasma, dan reaksi alergi dari
penggunaan obat. Bagian permukaan epithelium dan dinding pembuluh darah pada
lamina propia merupakan target serangan dari EM ini. Tetapi pada beberapa kasus
dimana orang tersebut mengalami penyumbatan pada dinding pembuluh darah
sehingga menyebabkan vaskulitis, dimana area tersebut mengalami thrombosis dan
iskemia nekrosis.
Gejala Klinis
Temuan Umum
EM kebanyakan terjadi pada anak-anak serta dewasa muda dan jarang
terjadi setelah usia 50 tahun. Penyakit ini tergolong akut atau memiliki serangan
yang tiba-tiba, pada kasus yang hebat seringkali disertai gejala umum seperti
demam dan malaise. Dalam waktu kurang dari 24 jam, pasien mendapatkan lesi
pada kulit dan mukosa secara tiba-tiba. EM simplex merupakan penyakit yang
dapat sembuh sendiri serta memiliki karakteristik berupa makula dan papula dengan
diameter 0,5 sampai 2 cm, terlihat menyebar secara simetris.
Daerah kutaneus yang paling sering terkena adalah tangan, kaki dan
permukaan anggota gerak seperti siku dan lutut. Lesi juga biasanya terdapat pada
wajah dan leher, tetapi hanya kasus berat saja yang sampai mengenai tenggorokan.
Lesi EM pada kulit berupa makula, papula dan vesikel yang nonspesifik. Secara
khas lesi EM di kulit memiliki karakteristik berupa petechiae di tengah-tengah
lesinya. Dikenal juga sebagai lesi target atau iris lesion, terdiri dari bula sentral atau
daerah pucat yang dikelilingi edema dan berkas erythem.
Temuan Di Daerah Oral
Lesi oral biasanya terjadi beriringan dengan lesi di kulit, kira-kira pada 70%
pasien EM. Lesi oral dimulai dari bula dengan dasar erythematous, tetapi bula
tersebut jarang terdeteksi oleh dokter karena bula-bula tersebut dengan cepat pecah
menjadi ulcer yang irregular. Lesi EM berukuran luas, irregular, lebih dalam,
simetris dan seringkali berdarah. Lesi EM pada rongga mulut bisa terjadi di daerah
mana pun tetapi seringkali muncul di bagian bibir dan jarang terjadi pada gingiva.
Bibir secara luas mengalami kerusakan dan bagian mukosa oral secara luas
kehilangan epitelium.
Pasien tidak dapat makan atau menelan sekalipun dan mengeluarkan saliva
berwarna darah. Dalam 2 atau 3 hari lesi pada bibir mulai membentuk krusta. Pada
kasus awal, lesi akan hilang dalam waktu 2 minggu, tetapi untuk kasus berat,
diperlukan waktu beberapa minggu.
EM mempunyai 3 bentuk yaitu:
1. Eritema multiform minor
Erythema multiforme, palate Erythema multiforme, lips
Eritema multiform minor adalah penyakit yang biasa menyerang bagian
kulit, 25% kasus menyerang mukosa mulut. Sebelum munculnya lesi, biasanya
dalam 3 sampai 7 hari yang merupakan tahap prodomal penderita akan menderita
demam rendah, malaise, dan sakit kepala. Pada tahap awal penyakit ini terdapat
gambaran klinis dimana terdapat lesi stomatitis dan kutan, dimana tanda berupa
macula cincin, merah putih, konsentrik, berukuran 0,5 sampai 2 cm disebut lesi
“target”, ”mata sapi”, atau “iris” yang timbul cepat pada permukaan ekstensor
lengan dan kaki, lutut dan telapak tangan. Leher biasanya bebas dari lesi kecuali
pada kasus yang parah. Biasanya penyakit ini akan sembuh sendiri dalam jangka
waktu 2-3 minggu, tetapi perawatan dilakukan untuk mempercepat proses
penyembuhan.
Gambaran khas bentuk iris (target lesion)
- Tipe makulaeritem
Bagian tengah berupa vesikel atau eritem keunguan dikelilingi lingkaran
kosentris yang pucat dan kemudian lingkaran merah.
- Tipe vesikobulosa
Lesi mula-mula berupa makula, papul, dan urtika yang kemudian timbul lesi
vesiko- bulosa di tengahnya bentuk ini dapat mengenai selaput lender.
2. Eritema multiform minor kronik
Eritema multiform minor kronis dimana penderita penyakit ini akan
mengalami proses lesi yang berkelanjutan dalam jangka 1 sampai beberapa tahun,
lesi tersebut mirip pada penderita EM minor dan perkembangan dari lesi tersebut
cenderung akan menghilang dan timbul lagi daripada bertambah ukuranya.
Biasanya dilakukan biospsi pada bagian ini untuk mengetahui faktor penyebab dari
EM minor kronis ini.
3. Eritema multiform major
Eritema multiform major merupakan penyakit akut yang jarang diketahui
dan banyak di temukan pada orang dewasa muda yang biasa di kenal dengan nama
SJS (Steven Johnson Syndrome) dimana kondisi selanjutnya berupa TEN (Toxic
Epidermal Necrolysis) dimana dia bersifat lebih berat dengan tingkat kematian
yang lebih tinggi. Kedua penyakit ini mempunyai karakteristik melalui besarnya
daerah yang mengalami lepuh dan pengelupasan pada bagian epidermisnya.
Dimana pada SJS tingkat penyebaran berupa 10% dari area kulit tubuh dan pada
masa transisional berkisar 10%-30% dari area permukaan tubuh selanjutnya pada
tahap TEN area yang mengalami lesi ini berkisar diatas 30%.
Perawatan
Keberhasilan dari perawatan sangat bergantung kepada kemampuan untuk
menemukan dan menyembuhan faktor yang menginisiasi, misalnya terkena herpes
maka harus di berikan acyclovir atau valacyclovir untuk penyembuhan herpes itu
sendiri tetapi dalam banyak kasus kronik penghilangan faktor yang menginisiasi
tidak selalu dapat menghilangkan EM itu sendiri, jika dalam kondisi ini maka
pertahanan dari tubuh itu sendiri yang menentukan kesembuhannya. Untuk kasus
EM ringan bersifat simptomatik dapat di berikan antihistamin, analgesic, dan
antipireutik dikombinasi dengan antihistamin atau penggunaan topical steroid.
Steroid sistemik kadang-kadang di gunakan tetapi untuk perawatan yang terbaik
pasien dapat dirujuk ke bagian unit perawatan yang lebih intensif. Kasus EM oral
sedang sampai berat dapat diobati dengan kortikosteroid sistemik. Pasien dengan
kasus EM recurent yang parah diobati dengan dapsone, azathioprine, levamisole,
atau thalidomide. Semakin cepat perwatan di berikan maka akan mengurangi resiko
bertambah parahnya penyakit.
2.2 Steven‟s Johnson Syndrome
Sindroma Stevens Johnson (SJS) merupakan suatu kumpulan gejala klinis
yang ditandai dengan trias kelainan pada kulit, mukosa orifisium, dan mata serta
disertai gejala umum yang berat. Penyakit ini merupakan bentuk klinis yang lebih
berat dari erithema multiforme (EM) minor yang disebabkan oleh reaksi
hipersensitivitas. Pada keadaan klinis yang berat penyakit ini sulit dibedakan
dengan toxic epidermal necrolysis (TEN) dan pemphigus vulgaris. Masih banyak
penyakit kulit lain, baik secara klinis maupun histopatologi yang sukar dibedakan
dengan SJS, sehingga diperlukan pemahaman yang baik.
Etiopatogenesis
Etiologi SSJ sukar ditentukan secara pasti karena disebabkan oleh berbagai
factor. Obat dan penyakit keganasan adalah penyebab tersering sindrom ini pada
orang dewasa dan lansia. Namun, hampir lebih dari 50%, penyebab utama ialah
reaksi imun terhadap obat, Peringkat tertinggi adalah obat-obat sulfonamid, B-
laktam, imidazol dan NSAID, sedangkan peringkat menengah yaitu quionolon,
anticonvulsant aromatic dan alopurinol. Sebagian kecil karena infeksi, vaksinasi,
penyakit graft versus host, neoplasma, dan radiasi. Pada kasus pediatrik, sindrom
ini lebih banyak berkaitan akibat infeksi dibanding penyakit keganasan ataupun
reaksi obat.
Patogenesis SSJ sampai saat ini belum jelas walaupun sering dihubungkan
dengan reaksi hipersensitivitas tipe III dan IV. Oleh karena proses hipersensitivitas,
maka terjadi kerusakan kulit yang menyebabkan :
- Kegagalan fungsi kulit yang menyebabkan kehilangan cairan.
- Stress hormonal diikuti peningkatan resistensi terhadap insulin, hiperglikemia
dan glukosuria.
- Kegagalan termoregulasi
- Kegagalan fungsi imun
- Infeksi
Manifestasi Klinis
Gejala bervariasi ringan sampai berat. Pada gejala yang berat penderita
dapat mengalami koma. Mulainya keadaan akut dimulai dari gejala prodromal
(berkisar antara 1-14 hari) berupa demam tinggi, malaise, nyeri kepala, lesu, batuk,
pilek, nyeri tenggorokan, nyeri dada, muntah, pegal otot dan atralgia. Dengan
segera gejala tersebut dapat menjadi berat. Stomatitis merupakan gejala awal. Pada
sindrom ini terlihat trias kelainan berupa kelainan kulit, mukosa dan mata.Setelah
itu akan timbul lesi di :
Kulit, berupa eritema, papula, vesikel atau bula secara simetris pada hampir
seluruh tubuh. Lesi yang spesifik berupa lesi target, bila bula kurang dari 10%
disebut Steven Johnson Syndrome, 10-30% disebut Steven Johnson Syndrome-
Toxic Epidermolysis Necroticans (TEN). Sekitar 80% penyebab TEN adalah
obat.
Kelainan mukosa di orifisium (mulut, tenggorokan dan genital), berupa vesikel,
bula. Vesikel dan bula yang pecah menjadi erosi dan ekskoriasi, perdarahan
dan krusta kehitaman. Juga dapat membentuk pseudomembran. Kelainan dapat
pula menyerang saluran pencernaan bagian atas (farinf dan esophagus) dan
saluran nafas sehingga penderita tidak dapat menelan dan juga sulit untuk
bernafas.
Mata; berupa konjuntiva kataralis, blefarokonjungtivitis, iritis, iridosiklitis,
kelopak mata edema dan sulit dibuka, pada kasus berat terjadi erosi dan
perforasi kornea.
Penatalaksanaan
Perawatan utama pada SJS yaitu menghentikan obat yang diduga sebagai
penyebab SJS, sementara itu kemungkinan infeksi herpes simpleks harus
disingkirkan. Selanjutnya perawatan lebih bersifat simtomatik.
Pada umumnya penderita Sindrom Stevens Johnson datang dengan keadan
umum berat sehingga terapi yang diberikan biasanya adalah :
1. Cairan dan elektrolit, serta kebutuhan kalori dan protein secara parenteral.
Pemberian cairan tergantung dari luasnya kelainan kulit dan mukosa yang
terlibat.
2. Pemberian nutrisi melalui pipa nasograstik dilakukan sampai mukosa oral
kembali normal. Lesi di mukosa mulut diberikan obat kumur atau kenalog in
orabase.
3. Pemberian antibiotika untuk mengatasi infeksi. Antibiotika yang beresiko tinggi
(B-laktam dan sulfa) jangan digunakan. Untuk terapi awal dapat diberikan
antibiotika spectrum luas, selanjutnya berdasarkan hasil biakan dan uji resistensi
kuman dari sediaan lesi kulit dan darah. Terapi infeksi sekunder menggunakan
antibiotika yang jarang menimbulkan alergi, berspektrum luas, bersifat
bakterisidal dan tidak bersifat nefrotoksik, missal klindamisin.
4. Antihistamin diberikan bila perlu, untuk mengatasi gejala pruritus atau rasa
gatal.
5. Blister atau bula kulit dirawat dengan cara dikompres basah dengan larutan
burowi.
6. Papula dan macula kulit baik intak diberikan steroid topical, kecuali kulit yang
terbuka.
7. Kortikosteroid deksametason secara intravena setiap 6 jam.
8. Intravena Imunoglobulin (IVIG). Dosis awal 0,5 mg/kg BB pada hari ke 1 dan
seterusnya saat masuk rumah sakit.
9. Untuk mencegah sekuele ocular dapat diberikan obat tetes mata
Komplikasi
Komplikasi yang tersering jika SJS tidak ditangani dengan segera yaitu
bronco-penumonia. Komplikasi lain yaitu kehilangan cairan atau darah, gangguan
keseimbangan eektrolit, dan syok. Pada mata dapat terjadi kebutaan. Kemungkinan
lainnya yaitu sepsis, selulitis, pneumonitis, kerusakan kulit permanen. Kematian
biasanya disebabkan oleh gangguan keseimbangan cairan dan elektrolit,
bronkopneumonia dan sepsis.
Cara mendiagnosa
Diagnosis SJS 90% berdasarkan manifestasi klinis. Jika disebabkan oleh
obat, menunjukan adanya korelasi antara pemberian obat dengan timbulnya gejala.
Diagnosis ditujukan terhadap manifestasi yang sesuai dengan trias kelainan kulit,
mukosa, mata serta hubungannya dengan factor penyebab yang secara kinis
terdapat lesi berbentuk target, iris atau mata sapi, kelainan pada mukosa, demam.
Selain itu didukung pemeriksaan laboratorium antara lain pemeriksaan darah,
pemeriksaan imunologis dan pemeriksaan histopatologik biopsy kulit.
2.3 Toxic Epidermal Necrotican
TEN disebut juga Lyell‟s syndrome merupakan kondisi dermatologis yang
mengancam jiwa, biasanya disebabkan oleh reaksi terhadap obat. Terdapat
persetujuan dari beberapa literature bahwa TEN merupakan bentuk Steven Johnson
Syndrome yang lebih parah. Beberapa penulis mempertimbangkan adanya
tumpang tindih di antara kedua syndrome ini (biasanya di antara 10% san 30%
kerusakan kulit) Insidensinya di antara 0,4 dan 1,2 kasus per satu juta orang setiap
tahunnya.
Etiopatogenesis
Secara mikroskopis, TEN menyebabkan kematian sel pada seluruh
epidermis. Keratinosit yang terdapat di bawah epidermis juga mengalami nekrosis.
TEN merupakan kejadian yang langka dan biasanya merupakan reaksi yang
lebih parah terhadap obat-obatan tertentu. Riwayat karena penggunaan obat terjadi
pada lebih dari 90% pasien TEN. Obat uang paling banyak terlibat adalah antibiotic
seperti sulfonamide, NSAID (nonsteroidal anti-inflammatory drugs), allopurinol ,
obat antiretroviral, kortikosteroid, dan anticonvulsant seperti phenobarbital,
phenytoin, carbamazepine, dan valproic acid. TEN juga dapat berasal dari
imunisasi, infeksi beberapa agen seperti Mycoplasma pneumoniae atau herpes
virus dan transplantasi sumsum tulang atau organ
Manifestasi Klinis
TEN dimulai dari nonspesifik prodormal 1-14 hari seperti demam, malise,
sakit kepala, rhinitis, batul, sore throat, nyeri dada, vomiting, diare, mialgia dan
arthalgia. Pasien sering merasa sakit dan diberikan antimikroba dan antiinflamasi
karena sulitnya menentukan factor penyebab. Onset penyakit ini yiba-tiba,
memiliki periode yang panjang antara exposure dan timbulnya penyakit.
Pada macular berupa morbiliform rash pertama kali timbul di
wajah,leher,dagu dan area central trunk.bisa jjuga menyebar ke ekstremitas, dan
menyebar ke bagian tubuh lainnya.lesi nya berupa lesi targetdan positif pada
Nikolsy sign.,bentuknya yang tidak teratur dan , berupa macula yang pucat. Lesi ini
lebih besar dari lesi target.,datar, beberapa ada yang lembek(flaccid), dan kadang-
kadang menimbulkan perdarahan. Lesi meningkat dalam jumlah dan ukuran,
biasanya mencapai puncak dalam 4-5 hari.
Berbeda dengan SJS,TEN mengenai daerah yang lalu, ,diffuse erythema,
lesi macular yang dapat terlihat di peripheral. Pasien TEN akan kehilangan
epidermis. Lapisan epidermis yang nekrotik pada wajah akan menebar ke bahau
dan punggung, berwarna merah dan mengalami erosi. Pada kasus TEN yang berat,
akan melibatkan anggota badan, jari kaki dan tangan dan bisa kehilangan alis mata
dan cilia. Ruam pada membran mukosa kavitas oral dan vermillion border, rasa
terbakar pada conjunctiva, bibir dan mukosa bukal, edema yang kemudian
meluas.Lesi oral menyebabkan rasa nyeri yang hebat yang mengakibatkan sulit
makan, bernafas dan hypersalivasi, kemudian kan meluas ke gingival, lidah,
pharynk nasal cavity,larynik, esophagus dan batang tenggorokan yang akan
berkembang menjadi otitis media. Pada conjunctiva akan terlihat inflamasi dan
chemosis, vesikulasi dan erosi yang bisa menyebabkan photophobia , ulcerasi ,
anterior uveitis, dan panophthalmitis. Pada genital terdapat lesi bullous, erosive dan
atau purulent yang bisa menyebabkan retensi urin dan phimosis. TEN juga dapat
mempengaruhi tractus gastrointestinal.
Perawatan
Pasien yang menderita TEN, jika memungkinkan perlu mendapat perawatan
dari seorang dermatologist untuk proses penyembuhan yang menyeluruh. Pasien
TEN dapat menjalani rawat jalan karena tidak begitu diperlukan perawatan suportif
dan pengawasan yang konstan. Hal ini benar, ketika pasien TEN berada dalam
initial stages, pasien merasakan dirinya sehat dan sulit untuk mau dirawat di rumah
sakit. Rujukan kepada ICU dan burn center bukan sebuah keharusan kecuali
penyakit ini mengalami perluasan ataupun komplikasi. Bila dirawat dengan baik,
TEN dikaitkan dengan sedikit gejala sistemik.
Manajemen perawatan TEN dibagi ke dalam : (1) identifikasi dan eliminasi
agen kausatif yang provokatif (obat-obatan yang menyebabkan/memperparah
infeksi) (2) terapi aktif (3) langkah suportif . Tidak ada petunjuk perawatan yang
jelas pada TEN ini dikarenakan jarang terjadi dan jarang yang mengancam hidup
(life-threatening).
Penghilangan Obat-obatan yang Diduga Merugikan
Obat-obat kausatif harus dengan segera diidentifikasi dan dihilangkan.
Penghentian penggunaan obat yang kausatif ini dapat mengurangi resiko kematian
sampai 30% per hari. Penghentian penggunaan obat-obat ini tidak langsung
menghentikan progresi dari penyakit ini. Sekarang ini, deteksi dari obat-obat
kausatif , difokuskan pada obat yang terakhir dikonsumsi, dan hubungannya dengan
perkembangan gejala-gejala yang terjadi dan episode dari terjadinya TEN.
Biasanya obat yang merugikan ini adalah obat yang dikonsumsi dalam 4 minggu
terakhir. Obat-obat ini termasuk antimikroba, analgesik, dan NSAID.
Active Suppression of Disease Progression
Sejumlah obat anti inflamasi dan imunosupresi mempunyai keuntungan
terhadap perawatan TEN. Gambaran burns yang berasal dari single thermal trauma,
mengingat bahwa TEN adalah serangan immunological-sitotoksik yang
berlangsung lebih dari 1 minggu (tidak hanya 3 atau 4 hari, seperti yang sering
dikeluhkan), bergantung pada detoksifikasi dan ekskresi dari agen-agen offending
(merugikan). Harus dilakukan strategi perawatan untuk fase awal ini, untuk
menghilangkan progresi dari penyakit ini dan membatasi nekrosis kulit dan mukosa
dan juga megurangi sequelae.
Glukokortikoid
Pemberian glukokortikois secara sistemik adalah perawatan yang utama dari
TEN untuk waktu yang lama, tetapi dianggap buruk belakangan ini. Dianggap
buruk karena apabila glukokortikoid diberikan lebih lama dari fase progresinya,
maka akan meningkatkan bahaya infeksi dan mungkin akan meningkatkan
kematian.
Jika steroid menghambat progresi dari initial phase, yang diharapkan pada
penyakit sistem imun-mediated, mereka tidak mengurangi „puncak‟nya dan fase
regresi. Glukokortikoid harus digunakan dengan secara hati-hati. Jika diberikan,
dibutuhkan high initial doses (1-2 mg/kg methyl prednisolone per day given orally)
dan progresi penyakit ini akan berhenti kemudian. Obat ini diberikan sebagai
bagian dari total program jika kondisi fisik pasien memungkinkan.
Immunoglobulins
Akhir-akhir ini, pemberian immunoglobulins secara intravena
(IVIG)muncul sebagai strategi perawatan yang menjanjikan untuk mem-blok
progresi dari TEN, berdasarkan kandungan immnuglobulin yang berisi antibodi
melawan Fas ligand yang akan mencegah apoptosis cell in vitro. Dosis IVIG
berkisar antara 0.2 -0.75 g/kg BB per hari selama 4 hari berturut-turut. Pada
kebanyakan pasien akan terjadi penurunan progresi penyakit TEN secara drastis.
Walaupun IVIG memberikan hasil yang baik pada perawatan, nefrophaty jarang
terjadi tetapi berbahaya pada gagal ginjal.
Plasmapheresis dan hemodialisis
Berlawanan dengan prinsip yang menyatakan bahwa penghilangan obat
kausatif akan mengehentikan progresi dari TEN.
Cyclophosphamide
Adalah inhibitor cell-mediated cytotoxicity. Walaupun, Obat ini suskes
pada sejumlah pasien TEN, obat ini adalah agen immunosupresif yang dapat
menyebabkan TEN.
Cyclosporine
Beberapa kasus melaporkan efekasi dari cyclosporine pada TEN.
Cyclosporine berinteraksi dengan metabolism TNF-α.
N-Acetylcysteine
Bersama dengan S-adenosyl-L-methionine, N-acetycysteine dapat berperan
melengkapi sel dengan kapasitas antioksidandan dengan menghambat reaksi
cytokine (TNF-α)-mediated immune.
Thalidomide
Eksperimen rasional dilakukan menggunakan thalidomide, yang terkenal
sebagai inhibitor TNF-α, memegang peranan yang amat penting dari sitokin ini
pada asal usul TEN.
Pemeliharaan equilibrium hemodinamik, homeostatis protein, dan elektrolit
Perawatan rasional pasien dengan TEN pada luka bakar akan menggunakan
prinsip therapeutic dari luka bakar(contoh : pengaturan keseimbangan cairan,
protein,dan elektrolit; control infeksi; bedah awal debridement dari lesi di kulit).
Proses patologis TEN dengan luka bakar berbeda. Perbedaan utamanya yaitu
vascular damage pada TEN, edema dan hilangnya cairan pada jaringan interstitial.
Hilangnya cairan pada TEN terjadi lewat evaporasi dari erosi dan akan selanjutanya
mencapai fase puncaknya. Semua faktor ini saling bekerja sama mebuat
ketidakseimbangan cairan dan elektrolit yang dikaitkan dengan TEN. Shock
hemodinamik mungkin terjadi, tetapi jarang terjadi dan jika terjadi, aka tejadi pada
pasien dengan cardiovascular . Juga sakit luka bakar tingkat dua, akan lebih sakit
dari TEN. Tekanan darah, hematokrit, dan level gas dalam darah, elektorlit dan
serum harus selalu dikontrol.
Perawatan Antibiotik / Antimikrobial
Akan sering ditemukan bakteri dan kultur jamur dua sampai tiga kali per
minggu dari kulit dan lesi mukosa, darah dan sputum; mukosa oral dan genital
harus sering dipantau dari keberadaan HSV ataupun candida. Kebanyakan ,pasien
diberikan antibiotic hanya jika gejala klinis dari infeksi sudah muncul. Hal ini
mungkin saja, bahwa banyak dokter menggunakan antibiotic profilaksis untuk
pasien yang drug intolerance. Yang termasuk antibiotic profilaksis adalah sodium
penicillin,, 2x 10 juta unit per hari).
Perawatan Suportif
Kulit
Antibiotik dan antiseptic topikal
Mata
Steroid lubricant dan antibiotic drop
Traktus respiratorius
Drainase postural
Alimentation
Local anatesi, mouthwash. High protein diet juga duanjurkan, walaupun
resiko dari septicemia dapat terjadi pada intravenous lines.
2.4 Anapilaksis (Reaksi Alergi)
Merupakan peristiwa kegagalan dari fungsi jantung maupun pernafasan
karena reaksi alergi,biasanya dalam hitungan menit saja peristiwa ini dapat terjadi
setelah reaksi alergi muncul.
Alergi biasanya terjadi pada pasien karena dokter gigi sering memberikan :
1. obat
a. lidokain
b. antibiotic seperti penisilin
2. serum,termasuk cairan plasma beku
Simpton dan Tanda
1. kutaneus : gatal-gatal,biasnya di ikuti dengan timbulnya bintik-bintik merah dan
pembengkakan pada jaringan subkutan bengkak pada kelopak mata , bibir , dan
lidah).
2. pernafasan : berbunyi, batuk, dan dispenia sampai dengan spasme bronkus dan
edema pada laring.
3. kardiovaskular : sakit kepala ringan, pusing dan kehilangan kesadaran sampai
dengan tekanan darah rendah, untuk beberapa pasien bisa terjadi arrhythmias,
sampai dengan fibrilasi ventikular.
Diagnosis
Biasanya terjadi tanda berupa kemerahan pada kulit, pembengkakan, bunyi
pada pernafasan, atau hipotensi muncul ketika terjadi reaksi alergi.
Komplikasi :
1. obstruksi jalur nafas sampai dengan edema laring.
2. arritmia kardiak
3. terganggunya kardiopulmonari
Perawatan
1. Penanganan awal :
a. Pemberian cairan ephinefrin 0,5 mL (1:1000),subkutan apabila hipotonus
tidak terjadi, secara intravena jika hipotonus terjadi.
b. Penanganan dapat di ulang dalam 5 sampai 10 menit.
2. Pertolongan pernafasan :
a. Menjaga pernafasan dari pasien
b. Dapat juga dengan pemberian oksigen dari kanul nasal atau mask
c. Segera di bawak ke bagian emergensi terdekat : obstruksi dari pernafasan
akan dapat terjadi secara tiba-tiba, jika harus maka dilakukan tracheostomy.
3. Pertolongan kardiovaskular :
a. Memonitoring bagian-bagian yang vital
b. Jika terjadi hipotensi maka pertolongan pertama yang dapat kita lakukan ke
pasien adalah meletakkan pasien di kursi dan mengangkat bagian ekstremitas
bawah ( posisi Trendelenberg )
c. Memonitoring arrhythmia dengan mengecek frekuensi detak jantung.
d. Mengontrol cairan intravena dan vasopresor.
4. Management dari urtikaria :
a. Diphenhydramine (Benadryl) secara oral (25 sampai 50 mg q6h) atau
intamuskular ( 50- 100 mg IM)
b. hydroxine (atarax , vistaril) untuk urticaria (25 mg oral q8h)
2.5 Pemphigus Vulgaris
Pemphigus vulgaris merupakan kelainan autoimun, di mana system imun
tubuh menyerang protein-protein pada kulit. Pemphigus biasanya terjadi pada
remaja dan orangtua. Banyak kasus pemphigus vulgaris yang diawali dengan blister
di mulut yang kemudian diikuti blister pada kulit. Blister timbul secara
asimptomatik, tetapi lesi akan menyebar dan komplikasi sering terjadi, dapat
menyebabkan debilitasi (penurunan imun) dan dapat pula berakibat fatal.
PV merupakan bentuk pemphigus yang paling sering terjadi, sekitar 80%
kasus. Telah dilaporkan bahwa pemphigus dalam waktu yang bersamaan dengan
penyakit autoimun lainnya, terutama myasthenia gravis. Pasien dengan thymoma
juga memiliki insidensi tinggi untuk mengalami pemphigus. Beberapa kasus
pemphigus telah dilaporkan terjadi pada pasien dengan kelainan autoimun multiple
atau pada pasien yang mengalami neoplasma seperti lymphoma. Kematian biasanya
terjadi pada pasien yang tua dan pada pasien yang membutuhkan dosis
kortikosteroid yang tinggi yang mana akan menambah infeksi dan septikemia yang
disebabkan oleh bakteri, terutama oleh Staphylococcus aureus.
Manifestasi klinis
Lesi klasik dari pemphigus adalah bulla berdinding tipis yang timbul pada
kulit yang normal atau mukosa. Bulla secara terus menerus merusak tetapi
selanjutnya memanjang ke sekeliling, dan kemudian meninggalkan daerah luas
kulit yang gundul. Ciri-ciri utama dari penyakit ini diperoleh dengan memberikan
tekanan pada bulla. Pada pasien dengan PV, bulla diperbesar oleh perluasan
permukaan normal. Ciri-ciri lain dari penyakit ini adalah tekanan pada daerah
normal akan menghasilkan pembentukan bulla baru. Kejadian ini, disebut Nikolsky
sign, biasanya berhubungan dengan pemphigus tetapi juga dapat terjadi pada
epidermolysis bullosa.
Beberapa pasien dengan pemphigus dapat terjadi secara akut, tetapi pada
kebanyakan kasus, penyakit ini terjadi secara lebih lambat, biasanya memerlukan
waktu berbulan-bulan untuk berkembang sampai tingkat sempurna.
Manifestasi oral
80-90% dari pasien dengan pemphigus vulgaris terkadang timbul lesi oral
selama masa sakitnya, dan pada 60% kasus, lesi oral merupakan tanda pertamanya.
Lesi oral dapat timbul sebagai bulla klasik pada dasar non inflamasi; lebih sering
lagi, dokter melihat ulser dangkal yang irregular, hal ini dikarenakan oleh pecahnya
bulla secara terus menerus. Lapisan tipis epithelium mengelupas dalam pola yang
irregular, meninggalkan dasar yang gundul. Tepi lesi memanjang ke sekelilingnya
selama beberapa minggu sampai mencapai bagian yang lebar di mukosa oral. Lesi
paling sering terjadi pada mukosa bukal, biasanya pada daerah yang mengalami
trauma pada sepanjang bidang oklusal. Palatum dan gingival merupakan lokasi lesi
lainnya.
Biasanya lesi oral muncul sekitar 4 bulan sebelum timbulnya lesi pada kulit.
Jika perawatan dimulai selama masa ini, penyakitnya akan lebih mudah untuk
dikontrol, dan kemungkinan untuk remisi awal dari kelainan ini tinggi. Biasanya,
diagnosis awal terlewatkan, dan lesi salah diagnosa menjadi infeksi herpes atau
candidiasis. Jika riwayat penyakit dilihat, dokter pasti mampu untuk membedakan
lesi pemphigus dari lesi lainnya dalam kategori RAS. Lesi RAS dapat menjadi
parah, tetapi lesi individual dapat disembuhkan dan timbul kembali. Pada
pemphigus, lesi yang sama berlanjut meluas ke sekelilingnya dalam waktu
mingguan sampai bulanan. Lesi pemphigus tidaklah bulat dan simetris seperti lesi
RAS, tetapi lesinya dangkal dan iregular dan terkadang melepaskan epitelium pada
bagian perifernya. Pada tahap awal penyakit, pengelupasan pada epitel oral
menyerupai mengelupas kulit yang terjadi setelah terbakar sinar matahari yang
parah. Pada beberapa kasus, lesi dimulai pada gingiva fan dikenal dengan nama
desquamative gingivitis. Harus diingat bahwa desquamative gingivitis bukan
diagnosanya sendiri, lesi ini harus dibiopsi untuk mengetahui kemungkinan lesi ini
adalah PV, pemphigus bullous, pemphigoid membran mukosa, dan lichen planus
yag erosif.
Pemeriksaan Fisik dapat dilakukan melalui tes laboratorium.
Perawatan
Aspek penting dari tatalaksana pasien adalah diagnosis awalnya, di mana
dosis pengobatan yang rendah dapat digunakan pada periode waktu yang pendek
untuk mengontrol penyakit. Alur utama dari pengobatan adalah dosis yang tinggi
dari kortikosteroid sistemik, biasanya diberikan dalam dosis 1-2 mg/kg/d. Saat
steroid harus digunakan untuk periode waktu yang lama, adjuvant seperti
azathioprine atau cyclophosphamide ditambahkan untuk mengurangi komplikasi
dari terapi kortikosteroid jangka panjang.
Pada awalnya prednison digunakan untuk mengontrol penyakit dan saat
penyakit sudah dapat dikontrol, dosis prednison diturunkan sampai ke tingkatan
yang paling rendah yang dapat dicapai. Pasien dengan keterlibatan oral saja juga
membutuhkan prednison dosis rendah untuk jangka waktu pendek, jadi dokter
sebaiknya mempertimbangkan keuntungan utama dari penambahan terapi adjuvant
dalam melawan resiko komplikasi tambahan seperti dyscrasia darah, hepatitis, dan
meningkatnya resiko untuk menjadi malignant nantinya.
Tidak ada perawatan yang diterima untuk pemphigus pada mulut, tetapi
pada 5 tahun pertama penelitian dari perawatan oral pemphigusmemperlihatkan
tidak adanya keuntungan tambahan dari penambahan cyclophosphamide atau
cyclosporine pada prednison dibandingkan dengan pengobatan yang menggunakan
prednison saja, dan hal ini memperlihatkan angka komplikasi yang lebih tinggi
pada kelompok yang menggunakan obat-obatan immunosupresif.
Kebanyakan penelitian pemphigus di kulit memperlihatkan penurunan
angka kematian jika terapi adjuvant diberikan bersamaan dengan prednison. Obat
imunosupresif yang baru, mycophenolat, efektif untuk digunakan oleh pasien yang
resisten terhadap adjuvant lainnya. Kebutuhan untuk steroid sistemik dapat menjadi
jauh lebih rendah pada kasus oral pemphigus dengan mengkombinasikan terapi
steroid topikal dengan steroid sistemik, baik dengan menggunakan prednison tablet
yang larut perlahan dalam mulut sebelum ditelan atau dengan menggunakan krim
steroid topikal yang keras.
Terapi lainnya yang bermanfaat adalah penggunaan terapi emas parenteral,
dapsone, tetrasiklin, dan plasmapheresis. Plasmapheresis sangat berguna pada
pasien yang sukar disembuhkan dengan kortikosteroid. Terapi yang dijelaskan oleh
Rook dan rekan-rekannya termasuk di dalamnya adalah penggunaan 8-
methoxypsoralen yang diikuti oleh pemaparan darah perifer dengan menggunakan
radiasi ultraviolet.