optimalisasi kemampuan pemecahan masalah melalui …mahasiswa.mipastkipllg.com/repository/artikel...

13
1 OPTIMALISASI KEMAMPUAN PEMECAHAN MASALAH MELALUI PENERAPAN MODEL PEMBELAJARAN BERBASIS MASALAH DI KELAS VII SMP NEGERI 5 TEBING TINGGI TAHUN PELAJARAN 2016/2017 Lilis Melinda Sari 1 , Sukasno 2 , & Yufitri Yanto 3 STKIP-PGRI Lubuklinggau E-mail: [email protected] ABSTRAK Skripsi ini berjudul “Optimalisasi Kemampuan Pemecahan Masalah Melalui Penerapan Model Pembelajaran Berbasis Masalah di Kelas VII SMP Negeri 5 Tebing Tinggi Tahun Pelajaran 2016/2017. Rumusan masalah penelitian ini adalah Apakah rata-rata skor kemampuan pemecahan masalah matematika siswa kelas VII SMP Negeri 5 Tebing Tinggi Tahun Pelajaran 2016/2017 setelah penerapan pembelajaran berbasis masalah minimal berkriteria baik?”. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui kemampuan pemecahan masalah matematika siswa kelas VII SMP Negeri 5 Tebing Tinggi Tahun Pelajaran 2016/2017 setelah diterapkan model pembelajaran berbasis masalah. Penelitian ini berbentuk eksperimen semu. Populasinya seluruh siswa kelas VII SMP Negeri 5 Tebing Tinggi tahun pelajaran 2016/2017 yang berjumlah 154 siswa dan sebagai sampel adalah kelas VII.B yang diambil secara acak. Pengumpulan data dilakukan dengan teknik tes. Data yang terkumpul dianalisis menggunakan uji-t pada taraf signifikan α = 0,05. Berdasarkan hasil analisis data dapat disimpulkan bahwa kemampuan pemecahan masalah matematika siswa kelas VII SMP Negeri 5Tebing Tinggi setelah penerapan model pembelajaran berbasis masalah secara signifikan berkriteria baik rata-rata skor kemampuan pemecahan pada tes akhir sebesar 6,59 termasuk dalam kategori baik. Presentase jumlah siswa yang bekategori minimal baik mencapai 53,85%. Kata Kunci : Pemecahan Masalah, Pembelajaran Berbasis Masalah PENDAHULUAN Matematika merupakan ilmu universal yang mendasari perkembangan ilmu lainnya serta perkembangan teknologi. Simbol-simbol yang ada dalam matematika juga bersifat universal artinya bisa dikenal oleh semua orang di dunia.Hal ini berguna agar siswa mampu dan terbiasa untuk memecahkan permasalahan yang dihadapinya, karena tidak dapat dipungkiri bahwa matematika juga merupakan media untuk memecahkan permasalahan dalam kehidupan sehari-hari. Sebagaimana terdapat dalam Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Republik Indonesia No. 22 BSNP (2006) yang menyebutkan bahwa tujuan mata pelajaran matematika adalah agar siswa mempunyai 1) Alumni STKIP-PGRI Lubuklinggau 2,3) Dosen Prodi Matematika STKIP-PGRI Lubuklinggau

Upload: others

Post on 09-Mar-2020

7 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

1

OPTIMALISASI KEMAMPUAN PEMECAHAN MASALAH MELALUI

PENERAPAN MODEL PEMBELAJARAN BERBASIS MASALAH

DI KELAS VII SMP NEGERI 5 TEBING TINGGI

TAHUN PELAJARAN 2016/2017

Lilis Melinda Sari1, Sukasno

2, & Yufitri Yanto

3

STKIP-PGRI Lubuklinggau

E-mail: [email protected]

ABSTRAK

Skripsi ini berjudul “Optimalisasi Kemampuan Pemecahan Masalah Melalui Penerapan

Model Pembelajaran Berbasis Masalah di Kelas VII SMP Negeri 5 Tebing Tinggi

Tahun Pelajaran 2016/2017”. Rumusan masalah penelitian ini adalah “Apakah rata-rata

skor kemampuan pemecahan masalah matematika siswa kelas VII SMP Negeri 5

Tebing Tinggi Tahun Pelajaran 2016/2017 setelah penerapan pembelajaran berbasis

masalah minimal berkriteria baik?”. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui

kemampuan pemecahan masalah matematika siswa kelas VII SMP Negeri 5 Tebing

Tinggi Tahun Pelajaran 2016/2017 setelah diterapkan model pembelajaran berbasis

masalah. Penelitian ini berbentuk eksperimen semu. Populasinya seluruh siswa kelas

VII SMP Negeri 5 Tebing Tinggi tahun pelajaran 2016/2017 yang berjumlah 154 siswa

dan sebagai sampel adalah kelas VII.B yang diambil secara acak. Pengumpulan data

dilakukan dengan teknik tes. Data yang terkumpul dianalisis menggunakan uji-t pada

taraf signifikan α = 0,05. Berdasarkan hasil analisis data dapat disimpulkan bahwa

kemampuan pemecahan masalah matematika siswa kelas VII SMP Negeri 5Tebing

Tinggi setelah penerapan model pembelajaran berbasis masalah secara signifikan

berkriteria baik rata-rata skor kemampuan pemecahan pada tes akhir sebesar 6,59

termasuk dalam kategori baik. Presentase jumlah siswa yang bekategori minimal baik

mencapai 53,85%.

Kata Kunci : Pemecahan Masalah, Pembelajaran Berbasis Masalah

PENDAHULUAN

Matematika merupakan ilmu universal yang mendasari perkembangan ilmu lainnya

serta perkembangan teknologi. Simbol-simbol yang ada dalam matematika juga bersifat

universal artinya bisa dikenal oleh semua orang di dunia.Hal ini berguna agar siswa

mampu dan terbiasa untuk memecahkan permasalahan yang dihadapinya, karena tidak

dapat dipungkiri bahwa matematika juga merupakan media untuk memecahkan

permasalahan dalam kehidupan sehari-hari. Sebagaimana terdapat dalam Peraturan

Menteri Pendidikan Nasional Republik Indonesia No. 22 BSNP (2006) yang

menyebutkan bahwa tujuan mata pelajaran matematika adalah agar siswa mempunyai

1) Alumni STKIP-PGRI Lubuklinggau

2,3) Dosen Prodi Matematika STKIP-PGRI Lubuklinggau

2

kemampuan sebagai berikut: (1) memahami konsep matematika, menjelaskan

keterkaitan antar konsep dan mengaplikasikan konsep atau logaritma, secara luwes,

akurat, efisien dan tepat dalam pemecahan masalah; (2) menggunakan penalaran pada

pola dan sifat, melakukan manipulasi matematika dalam membuat generalisasi,

menyusun bukti, atau menjelaskan gagasan dan pernyataan matematika; (3)

memecahkan masalah yang meliputi kemampuan memahami masalah, merancang

model matematika, menyelesaikan model dan menafsirkan solusi yang diperoleh; (4)

mengkomunikasikan gagasan dengan simbol, tabel, diagram, atau media lain untuk

keadaan atau masalah; (5) memiliki sikap menghargai kegunaan matematika dalam

kehidupan, yaitu memiliki keingintahuan, perhatian dan minat dalam mempelajari

matematika serta sikap ulet dan percaya diri dalam pemecahan masalah.

Berdasarkan tujuan di atas, kemampuan pemecahan masalah merupakan bagian

terpenting dalam matematika agar siswa mampu memahami proses menyelesaikan

masalah, menjadi terampil dalam memilih dan merumuskan rencana penyelesaian serta

mampu mengorganisasikan keterampilan yang dimiliki sehingga dalam menyelesaikan

masalah yang mengharuskan siswa untuk memahami konsep sebelumnya.

Turmudi (dalam Husna, dkk, 2013:84) mengemukakan bahwa pemecahan masalah

adalah proses melibatkan suatu tugas yang metode pemecahannya belum diketahui lebih

dahulu, untuk mengetahui penyelesaiannya siswa hendaknya memetakan pengetahuan

mereka, dan melalui proses ini mereka sering mengembangkan pengetahuan baru

tentang matematika, sehingga pemecahan masalah merupakan bagian tak terpisahkan

dalam semua bagian pembelajaran matematika, dan juga tidak harus diajarkan secara

terisolasi dari pembelajaran matematika.

Berdasarkan observasi dan hasil wawancara yang dilakukan oleh peneliti pada salah

satu guru matematika di SMP Negeri 5 Tebing Tinggi diperoleh data bahwa umumnya

guru masih model pembelajaran konvensional dimana kegiatan pembelajaran hanya

berlangsung satu arah atau hanya dari guru kepada siswa.Terlihat bahwa siswa

mengalami kesulitan ketika diberikan pertanyaan yang tidak rutin. Siswakurang mampu

mengembangkan keterampilan dalam memecahkan masalah dan hanya beberapa siswa

yang mampu menyelesaikan soal yang diberikan. Itu terjadi karena siswa belum terbiasa

menyelesaikan yang membutuhkan pemahaman, perencanaan, penyelesaian dan

menemukan hasil.

3

Dari hasil studi pendahuluan yang dilakukan oleh peneliti melalui hasil tes

kemampuan pemecahan masalah matematika dengan memberikan 5 soal kepada siswa

kelas VIII.F SMP Negeri 5 Tebing Tinggi, dari 29 siswa hanya 3 siswa yang mampu

menyelesaikan 1 soal dari 5 soal yang diberikan oleh peneliti secara tepat, sedangkan

untuk 4 soal lainnya tidak terdapat siswa yang menjawab secara tepat untuk

memenuhi pedoman pemberian skor pemecahan masalah yang diinginkan, dilihat dari

pedoman pemberian skor pemecahan masalah rnasih banyak siswa merasa bingung

sehingga keliru dalam menyelesaikan soal padahal sebelumnya guru telah

memberikan penjelasan tentang materi tersebut. Kenyataan ini mengisyaratkan bahwa

siswa masih sulit untuk menyelesaikan soal karena kurang paharn terhadap soal materi

yang diberikan.

Melihat permasalahan masih rendahnya kemampuan siswa dalam pemecahan

masalah matematika, maka perlu diterapkan suatu model pembelajaran yang diharapkan

mampu mengajak siswa untuk berpikir menemukan masalah dari satu peristiwa dan

berusaha memecahkan masalah tersebut untuk secara aktif ikut terlibat dalam

pengalaman belajarnya. Salah satu alternatif model pembelajaran yang memungkinkan

dikembangkannya keterampilan berpikir siswa (penalaran, komunikasi, dan koneksi)

dalam memecahkan masalah adalah Pembelajaran Berbasis Masalah.

Menurut Tan (dalam Rusman, 2014:229) Pembelajaran Berbasis Masalah

merupakan inovasi dalam pembelajaran karena dalam PBM kemampuan berpikir siswa

betul-betul dioptimalkan melalui proses kerja kelompok atau tim yang sistematis,

sehingga siswa dapat memberdayakan, mengasah, menguji, dan mengembangkan

kemampuan berpikirnya secara berkesinambungan.

Berdasarkan uraian permasalahan di atas, maka permasalahan penelitian ini

adalah: “Apakah rata-rata skor kemampuan pemecahan masalah matematika siswa

kelas VII SMP Negeri 5 Tebing Tinggi Tahun Pelajaran 2016/2017 setelah penerapan

pembelajaran berbasis masalah minimal berkriteria baik?”

LANDASAN TEORI

Kemampuan Pemecahan Masalah

Kemampuan pemecahan masalah merupakan kemampuan dasar yang harus

dikuasai oleh siswa. Turmudi (dalam Husna, dkk, 2013:84) pemecahan masalah adalah

4

proses melibatkan suatu tugas yang metode pemecahannya belum diketahui lebih

dahulu, untuk mengetahui penyelesaiannya siswa hendaknya memetakan pengetahuan

mereka, dan melalui proses ini mereka sering mengembangkan pengetahuan baru

tentang matematika, sehingga pemecahan masalah merupakan bagian yang tak

terpisahkan dalam semua bagian pembelajaran matematika, dan tidak harus diajarkan

secara terisolasi dari pembelajaran matematika. Senada dengan langkah-langkah

pemecahan masalah menurut Polya (dalam Sundawan, 2002:130) sebagai berikut:

memahami masalah, merencanakan pemecahan, melakukan perhitungan dan

memeriksa kembali hasil yang diperoleh. Branca (dalam Husna, dkk, 2013:84)

mengemukakan bahwa pemecahan masalah memiliki tiga interpretasi yaitu:

pemecahan masalah (a) sebagai suatu tujuan utama; (b) sebagai sebuah proses; (c)

sebagai keterampilan dasar. Ketiga hal itu mempunyai implikasi dalam pembelajaran

matematika.

Dari definisi di atas dapat disimpulkan bahwa pemecahan masalah matematika

merupakan kemampuan dasar yang harus dikuasai oleh siswa dalam suatu proses dari

penyelesaian masalah yang belum diketahui sebelumnya, sehingga dalam penyelesaian

belajar matematika siswa perlu mengembangkan kemampuan atau potensi yang ada di

dalam dirinya.

Untuk mengukur kemampuan pemecahan masalah matematis diperlukan

beberapa indikator. Adapun indikator tersebut menurut Sumarmo (dalam Husna, dkk,

2013:84) sebagai berikut: 1) mengidentifikasi unsur yang diketahui,ditanyakan, dan

kecukupan unsur; 2) membuat model matematika; 3) menerapkan strategi

menyelesaikan masalah dalam/di luar matematika; 4) menjelaskan/menginter-

pretasikan hasil; 5) menyelesaikan model matematika dan masalah nyata; 6)

menggunakan matematika secara bermakna.Untuk mengetahui hasil kemampuan

pemecahan masalah siswa terdapat instrumen untuk mengukur kemampuan pemecahan

masalah matematika siswa. Adapun pemberian skor dalam pemecahan masalah

memperlihatkan bagaimana cara untuk menyelesaikan masalah.

Pemberian skor pemecahan masalah dalam penelitian ini diadopsi dari pedoman

penskoran pemecahan masalah yang dikemukakan oleh Schoen dan Ochmke (dalam

Sundawan, 2002:132), seperti pada tabel 1:

5

Tabel 1

Pedoman Pemberian Skor Pemecahan Masalah

Skor

Memahami

Masalah

Membuat Rencana

Pemecahan

Masalah

Melakukan

Perhitungan

Memeriksa

Kembali Hasil

0 Salah Mengin-

terpretasikan/

salah sama

sekali

Tidak ada rencana,

membuat rencana

yang tidak relevan

Tidak melakukan

Perhitungan

Tidak ada

pemeriksaan atau

tidak ada

keterangan lain

1 Salah Mengin-

terpretasikan

sebagian soal/

mengabaikan

soal

Membuat rencana

yang tidak dapat

diselesaikan.

Melakukan

prosedur yang

benar dan mungkin

menghasilkan

jawaban benar

tetapi salah

perhitungan

Ada pemeriksaan

tetapi tidak tuntas

2 Memahami

masalah soal

selengkapnya

Membuat rencana

yang benar tetapi

salah dalam hasil,

tidak ada hasil

Melakukan proses

yang benar dan

mendapatkan hasil

yang benar

Pemeriksaan

dilaksanakan

untuk melihat

kebenaran

proses

3 Membuat rencana

yang benar tetapi

belum lengkap

4 Membuat rencana

sesuai dengan

prosedur dan

mengarahkan pada

solusi yang benar

Skor

Maksimal 2 Skor

Maksimal 4

Skor

Maksimal 2

Skor

Maksimal 2

(Sundawan, 2002:132)

Model Pembelajaran Berbasis Masalah

Model pembelajaran berbasis masalah dikembangkan berdasarkan konsep-

konsep yang dicetuskan oleh Jerome Bruner (dalam Suprijono, 2009:68). Menurut

Utomo (2014:6) Pembelajaran Berbasis Masalah (PBM) merupakan salah satu model

pembelajaran pembelajaran yang menuntut aktivitas mental siswa untuk memahami

suatu konsep pembelajaran melalui situasi dan masalah yang disajikan pada awal

pembelajaran dengan tujuan untuk melatih siswa menyelesaikan masalah dengan

menggunakan pendekatan pemecahan masalah. Sedangkan menurut Eggen dan

Kauchak (2012:354) Pembelajaran Berbasis Masalah adalah satu model pengajaran

yang menggunakan masalah sebagai fokus untuk mengembangkan keterampilan

pemecahan masalah, materi (konten), dan pengendalian diri.

6

Ciri-ciri Pembelajaran Berbasis Masalah

Menurut Sanjaya (Usman, 2013:67) menjelaskan bahwa PBM memiliki 3 ciri

utama, yakni: (a) PBM merupakan rangkaian aktivitas pembelajaran, artinya kegiatan

yang harus dilakukan siswa; (b) Aktivitas pembelajaran diarahkan untuk

menyelesaikan masalah, artinya tanpa masalah maka tak mungkin ada proses

pembelajan atau masalah merupakan kata kunci dari proses pembelajaran; dan (c)

Pemecahan masalah di lakukan dengan menggunakan pendekatan berpikir ilmiah.

Berdasarkan dari berbagai pendapat ahli, maka dapat dirangkum langkah-

langkah kegiatanpembelajaran dengan model Pembelajaran Berbasis Masalah yang

diterapkan dalam penelitian ini sebagai berikut :

1. Guru mereview atau mengulang kembali pengetahuan yang dibutuhkan untuk

memecahkan masalah

2. Guru menjelaskan tujuan pembelajaran

3. Membagi siswa menjadi beberapa kelompok yang heterogen

4. Guru memberikan siswa masalah spesifik dan konkret untuk dipecahkan mengenai

materi persamaan linear satu variabel

5. Siswa menganalisis masalah

6. Siswa merumuskan hipotesis dan mengumpulkan data yang diperlukan

7. Siswa menguji kebenaran hipotesisnya

8. Guru memilih dan mengevaluasi salah satu siswa untuk mempresentasikan hasil

kerja.

9. Guru bersama siswa membuat kesimpulan.

Wee dan Kek (dalam Amir, 2014:32) mengemukakan beberapa kelebihan

Pembelajaran Berbasis Masalah, sebagai berikut: 1) Punya kesahihan seperti di dunia

kerja; 2) Dibangun dengan memperhitungkan pengetahuan sebelumnya; 3) Membangun

pemikiran yang metakognitif san konstruktif; 4) Meningkatkan minat dan motivasi

dalam pembelajaran.

METODE PENELITIAN

Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah eksperimen semu (quasi

eksperimen) dengan desain eksperimen berbentuk group pretest dan postest design)

yang memiliki pola :

7

Populasi penelitian ini adalah seluruh siswa kelas VII SMP Negeri 5 Tebing

Tinggi tahun pelajaran 2016/2017 yang berjumlah 154 orang dan sebagai sampelnya

kelas VII.B SMP Negeri 5 Tebing Tinggi yang diambil secara acak. Pengumpulan data

dilakukan dengan teknik tes. Teknik tes digunakan untuk mengumpulkan data tentang

kemampuan pemecahan masalah matematika siswa. Tes yang digunakan dalam

penelitian ini berbentuk uraian (essay) sebanyak lima soal dengan materi persamaan

linear satu variabel.

Teknik analisis data yang digunakan untuk menguji hipotesis menggunakan uji-

t satu sampel pada taraf kepercayaan α = 0,05. Teknik analisis data hasil tes akhir (pos-

test) tentang kemampuan pemecahan masalah matematika dengan menggunakan model

pembelajaran berbasis masalah dilakukan dengan menggunakan percentages

correction. Adapun kriteria penggolongan kemampuan pemecahan masalah penelitian

untuk menentukan kriteria tinggi rendahnya penggolongan persentase data hasil

kemampuan akhir (pos-test) pemecahan masalah matematika siswa bias dilihat dari

tabel 2:

Tabel 2

Kriteria Penggolongan Kemampuan Pemecahan Masalah Rentangan Skor Kriteria

0,00 – 2,00 Sangat Kurang

2,01 – 4,00 Kurang

4,01 – 6,00 Cukup

6,01 – 8,00 Baik

8,01 – 10,00 Sangat Baik Dimodifikasi dari Redhana (2013:79)

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

Hasil Penelitian

Pelaksanaan penelitian ini dilaksanakan di SMP Negeri 5 Tebing Tinggi dimulai

dari tanggal 9 November sampai dengan 9 Desember2016 di kelas VII SMP Negeri 5

Tebing Tinggi tahun pelajaran 2016/2017. Pelaksanaan penelitian dilaksanakan

sebanyak lima kali pertemuan yaitu dengan rincian satu kali melakukan tes awal (pre-

test) pada awal penelitian, tiga kali mengadakan pembelajaran atau pemberian

perlakuan dengan menggunakan model pembelajaran berbasis masalah (PBM), dan satu

kali melakukan tes akhir (post-test) di akhir pembelajaran.

8

Berdasarkan hasil data pre-test, rata-rata skor pemecahan masalah yang diperoleh

siswa adalah 2,46 termasuk dalam kategori kurang. Dari 39 siswa, jumlah siswa yang

kategori sangat kurang sebanyak 17 orang (43,59 %), jumlah siswa yang kategori

kurang dan cukup sebanyak 22 orang (56,41 %) dalam menyelesaikan soal pemecahan

masalah yang diberikan.

Berdasarkan hasil post-test,rata-rata skor pemecahan masalah yang diperoleh

siswa adalah 6,59 termasuk dalam kategori baik. Siswa yang termasuk kategori cukup

sebanyak 18 orang, siswa yang termasuk kategori baik dan sangat baik terdapat 21

orang (53,85%), serta terjadi peningkatan rata-rata sebesar 4,13. Dari hasil penelitian

dan analisis uji-t dari hasil tes akhir diperoleh thitung = 3,63 dengan derajat kebebasan dk

= n-1 = 39 – 1 = 38, = 0,05 diperoleh ttabel = 1,68 sehingga thitung > ttabel yaitu 3,63 >

1,68 maka Ha diterima dan H0 ditolak. Sehingga hipotesis diterima artinya pelajaran

materi persamaan linear satu variabel dengan model pembelajaran berbasis masalah

berkriteria baik.

Hasil kemampuan pemecahan masalah pos-test untuk setiap tahapan mengalami

peningkatan dalam soal memahami masalah diperoleh rentang skor mencapai 9,7

berkriteria sangat baik dengan peningkatan sebesar 1,6. Untuk soal membuat rencana

pemecahan masalah diperoleh rentang skor mencapai 7,5 memiliki kriteria

penggolongan baik dengan peningkatan sebesar 5,6. Untuk soal melakukan perhitungan

diperoleh rentang skor mencapai 6,2 berkriteria baik dengan peningkatan sebesar 6,15.

Sedangkan untuk memeriksa kembali hasil diperoleh rentang skor mencapai 1,8

berkriteria sangat kurang dengan peningkatan sebesar 1,8.

Pembahasan

Hasil penelitian menunjukkan bahwa setelah dilakukan analisa pada hasil pre-

test dan post-test maka dapat diketahui bahwa kemampuan pemecahan masalah

matematika siswa mengalami peningkatan setelah dilaksanakan pembelajaran dengan

menggunakan model pembelajaran berbasis masalah (PBM). Di dalam penelitian ini

hanya meneliti materi persamaan linear satu variabel pada ranah kognitifnya yaitu

dalam bentuk tes yang berisi pertanyaan untuk mengukur kemampuan pengetahuan,

intelegensi, dan kemampuan yang dimiliki oleh siswa. Model PBM menekankan siswa

untuk lebih berpartisipasi aktif dalam proses pembelajaran dengan mengoptimalkan

9

kemampuan berpikir siswa melalui proses kerja kelompok yang sistematis, sehingga

siswa dapat memperdayakan, mengasah, menguji, dan mengembangkan kemampuan

berpikirnya secara berkesinambungan (Tan dalam Rusman, 2010:229). Pelaksanaan

penelitian ini dilakukan sebanyak lima kali pertemuan dengan rincian satu kali Pre-Test

di awal pertemuan, tiga kali proses pembelajaran dengan model PBM, dan satu kali

Post-test di akhir pertemuan.

Pada pertemuan pertama yang dilakukan peneliti yang di mulai pada tanggal 12

November 2016 di kelas VII.B yang merupakan sampel penelitian, peneliti

dipersilahkan untuk masuk ke kelas oleh guru matematika ibu Titik Setiyani, A.Md.Pd

untuk melaksanakan penelitian, peneliti berjalan ke kelas dengan di iringi oleh ketua

kelas VII.B, sebelum peneliti mengadakan pre-test peneliti mengawali dengan salam

dan memperkenalkan diri kepada semua siswa kelas VII.B kemudian peneliti

melakukan absen siswa dengan suara yang keras agar siswa dapat mendengarkan

terutama siswa yang duduk paling belakang. Setelah selesai maka pelaksanaan pre-test

pun dilakukan namun sebelum dibagikan lembar soal dan lembar jawaban, peneliti

memberikan arahan kepada siswa kelas VII.B dimana mereka akan diberi lima soal

dengan materi persamaan linear satu variabel yang berbentuk uraian dan mereka harus

menjawab soal tersebut sesuai dengan kemampuan masing-masing tanpa mencontek

maupun berkerja sama, kemudian peneliti membagi lembar soal dan lembar jawaban

pre-test kepada setiap siswa. Setelah memastikan semua siswa telah mendapatkan

lembar soal peneliti mempersilahkan kepada siswa untuk menjawab soal pre-test dalam

waktu 80 menit. Selama siswa mengerjakan soal-soal pre-test yang diberikan, peneliti

mengawasi dengan tujuan untuk memastikan siswa tidak mencontek atau berbuat

curang dalam mengerjakan soal tersebut. Saat waktu 80 menit telah berakhir semua

lembar jawaban beserta lembar soal dikumpulkan.Peneliti mengucapkan terima kasih

kepada siswa VII.B karena telah mengikuti pre-test dengan tertib dan baik. Sebelum

mengakhiri pertemuan, peneliti menyampaikan kepada para siswa bahwa pada

pertemuan selanjutnya peneliti akan memberikan pembelajaran sebanyak 3 kali

pertemuan dengan menggunakan model pembelajaran berbasis masalah (PBM) dengan

materi persamaan linear satu variabel.

Pada pertemuan kedua atau hari pertama penerapan model PBM yang dilakukan

pada tanggal 15 November 2016 peneliti mengawali pembelajaran dengan mengabsen

45

43

10

siswa kemudian menyampaikan tujuan pembelajaran lalu peneliti menanyakan kepada

siswa apa hubungan materi yang akan dipelajari dengan kehidupannya dalam sehari-

hari. Melihat semua siswa tidak ada yang mengetahui maka kemudian peneliti

menyampaikan apersepsi berkenaan dengan materi PLSV. Kemudian peneliti membagi

siswa kedalam kelompok-kelompok belajar yang beranggotakan 5-6 orang dengan

mengurutkan absen. Setelah selesai terbentuknya kelompok belajar lalu peneliti

membagikan LKS kepada setiap masing-masing kelompok dengan satu butir soal

berikut dengan kolom tempat penyelesaian soal. Masing-masing kelompok di wajibkan

mempunyai catatan dari hasil kerja kelompok atau hasil penyelesaian soal untuk di

presentasikan kepada kelompok lainnya. Pada kegiatan evaluasi peneliti beserta siswa

melihat kembali cara, metode atau proses yang digunakan dalam penyelesaian soal yang

kemudian membuat kesimpulan terhadap pembelajaran yang telah dilaksanakan.

Sebelum peneliti menutup pembelajaran, peneliti memberikan pekerjaan rumah.

Dalam pembelajaran di hari pertama ini pada awalnya siswa mengalami banyak

hambatan, hal ini dikarenakan para siswa belum terbiasa dengan pembelajaran yang

dilakukan. Para siswa sangat terbiasa dengan cara guru menerangkan di depan kelas

sementara siswa hanya melihat, mendengar, dan menulis serta sedikit siswa yang

memiliki buku pelajaran. Namun dengan pembelajaran secara berkelompok ini

membantu peneliti untuk mencakup semua siswa dalam membimbing dan

merencanakan penyelesaian soal terhadap masalah yang diberikan.

Pada pertemuan ketiga di hari kedua penerapan model PBM pada tanggal 19

November 2016, pelaksanaan pembelajaran dilakukan sama seperti pembelajaran pada

pertemuan sebelumnya yang disesuaikan dengan langkah-langkah pembelajaran model

PBM. Pada pertemuan kali ini peneliti menghadirkan masalah yang berhubungan dunia

nyata atau peneliti membagikan LKS kepada masing-masing kelompok, terlihat banyak

siswa yang mampu medefinisikan masalah, dan aktif dalam mengumpulkan informasi

atau pembahasan yang relevan terhadap masalah yang dihadirkan peneliti. Siswa saling

membantu dan berkerja sama dalam kelompoknya guna untuk menjawab soal-soal

dalam bentuk lembar kerja siswa (LKS), ketika ada kelompok yang masih kesulitan

dalam mendefinisikan dan mencari solusi penyelesaian maka peneliti membantu dan

membimbingnya.

11

Pada pertemuan ke empat di hari ketiga penerapan model PBM pada tanggal 22

November 2016, siswa sudah bisa mengikuti dan tertarik dengan proses pembelajaran

menggunakan model PBM, proses pembelajaran sudah cukup berjalan dengan baik, saat

siswa mendefinisikan dan mengorganisasikan tugas-tugas/ penyelidikan untuk

menyelesaikan permasalahan, membuat model matematika dari masalah dunia nyata,

berusaha memperoleh informasi yang tepat, melaksanakan penyelidikan dan mencari

penjelasan solusi, serta merencanakan penyajian dari hasil kerja kelompok tidak lagi

mengalami kesulitan.

Setelah selesai diberi perlakuan pembelajaran sebanyak tiga kali dengan

menggunakan model pembelajaran berbasis masalah. Pada pertemuan ke lima pada

tanggal 28 November 2016, kelas VII.B diberikan tes akhir (post-test) untuk

mengetahui hasil belajar matematika siswa setelah mengikuti proses pembelajaran

dengan menggunakan model PBM.

Berdasarkan hasil post-test nilai rata-rata skor pemecahan masalah yang

diperoleh siswa adalah 6,59. Siswa yang termasuk kategori cukup sebanyak 18 orang,

siswa yang termasuk kategori baik dan sangat baik terdapat 21 orang (53,85%) , serta

terjadi peningkatan rata-rata sebesar 4,13. Dari hasil penelitian dan analisis uji-t dari

hasil tes akhir diperoleh thitung = 3,63 dengan derajat kebebasan dk = n-1 = 39 – 1 = 38, 𝛼

= 0,05 diperoleh ttabel = 1,68 sehingga thitung > ttabel yaitu 3,63 > 1,68 maka Ha diterima

dan H0 ditolak. Sehingga hipotesis diterima artinya pelajaran materi persamaan linear

satu variabel dengan model pembelajaran berbasis masalah berkriteria baik. Hasil

kemampuan pemecahan masalah pos-test untuk setiap tahapan mengalami peningkatan

(data terlampir) dalam soal memahami masalah diperoleh rentang skor mencapai 9,7

berkriteria sangat baik dengan peningkatan sebesar 1,6. Untuk soal membuat rencana

pemecahan masalah diperoleh rentang skor mencapai 7,5 memiliki kriteria

penggolongan baik dengan peningkatan sebesar 5,6. Untuk soal melakukan perhitungan

diperoleh rentang skor mencapai 6,2 berkriteria baik dengan peningkatan sebesar 6,15.

Sedangkan untuk memeriksa kembali hasil diperoleh rentang skor mencapai 1,8

berkriteria sangat kurang dengan peningkatan sebesar 1,8

Rata-rata skor total dari pos-test untuk setiap tahapan mengalami peningkatan

ketika dibandingkan dengan hasil pre-test. Peningkatan ketercapaian kemampuan

pemecahan masalah matematika sesuai dengan tahapannya dapat dilihat dalam tabel 3.

12

Tabel 3

Peningkatan Rata-rata Skor Kemampuan Pemecahan Masalah Tahapan Pemecahan Masalah Pre-test Pos-test Peningkatan

Memahami Masalah 8,1 9,7 1,6

Membuat Rencana 1,9 7,5 5,6

Melakukan Perhitungan 0,05 6,2 6,15

Memeriksa Kembali Hasil 0 1,8 1,8

Peningkatan rata-rata skor kemampuan pemecahan masalah matematika paling

rendah terletak pada tahapan memahami masalah. Hal ini terjadi karena pada tahapan

tersebut membutuhkan kemampuan pemahaman terhadap soal yang diberikan sebelum

mengerjakan langkah-langkah selanjutnya. Sedangkan peningkatan tertinggi pada

tahapan kemampuan melakukan perhitungan, dimana pada tahapan ini menginginkan

kemampuan berhitung dalam memecahkan masalah pada materi yang diberikan.

Hal tersebut disebabkan karena pembelajaran matematika dengan menggunakan

model PBM membuat siswa lebih aktif, mandiri, kompak dalam kelompok, berani

mengimplementasikan pengetahuannya, berpikir kritis dalam menyelesaikan dan

memiliki keterampilan pemecahan masalah, serta mudah untuk memperoleh

pengetahuan dan konsep yang dipelajarinya.

SIMPULAN

Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan dapat disimpulkan bahwa

kemampuan pemecahan masalah matematika siswa kelas VII SMP Negeri 5Tebing

Tinggi setelah penerapan model pembelajaran berbasis masalah secara signifikan

berkriteria baik.Rata-rata skor kemampuan pemecahan masalah matematika sebesar

6,59 yang termasuk dalam kategori baik. Presentase jumlah siswa dengan tingkat

kemampuan pemecahan masalah yang berkategori minimal baik mencapai 53,85 %.

DAFTAR PUSTAKA

Amir, Taufik. 2014. Inovasi Pendidikan melalui Problem Based Learning. Jakarta:

Kencana Prenada Media Group

Eggen, Paul dan Kauchak, Don. 2012. Strategi dan Model Pembelajaran Mengajarkan

Konten dan Keterampilan Berpikir. Jakarta Barat: Indeks

Husna, dkk. 2013. Peningkatan Kemampuan Pemecahan Masalah dan Komunikasi

Matematis Siswa Sekolah Menengah Pertama Melalui Model Pembelajaran

Kooperatif Tipe Think-Pair-Share (TPS). Jurnal Peluang, 1(2), 81-92

13

Redhana, I Wayan. 2013. Model Pembelajaran Berbasis Masalah untuk Meningkatkan

Keterampilan Pemecahan Masalah dan Berpikir Kritis. Jurnal Pendidikan dan

Pengajaran, 46(1), 76-86.

Rusman. 2014. Model-model Pembelajaran Mengembangkan Profesionalisme Guru.

Jakarta: Rajawali Pers

Sulastri, Rini, dkk. 2014. Kemampuan Mahasiswa Program Studi Pendidikan

Matematika FKIP Unsyiah Menyelesaikan Soal PISA Most Difficult Level. Jurnal

Didaktik Matematika, 1(1), 13-21.

Sundawan, Mohammad Dadan. 2002. Pengaruh Penggunaan Model Pembelajaran

Konstruktivisme terhadap Kemampuan Pemecahan Masalah Matematik

Siswa.Jurnal Euclid. 1(2), 60-136.

Suprijono, Agus. 2009. Cooperative Learning dan Aplikasi PAIKEM. Yogyakarta:

Pustaka Belajar

Usman. 2013. Penerapan Model Pembelajaran Berbasis Masalah Melalui Pendekatan

Inkuiri Terbimbing dalam Pencapaian Kecakapan Ilmiah Mahasiswa Tingkat

Pertama Program Studi Pendidikan Fisika Universitas Muhammadiyah Makassar.

Jurnal Sainsmat, 2(1), 65-78.

Utomo, Budi, dkk. 2014. Pengaruh Model Pembelajaran Berbasis Masalah (Problem

Based Learning) Terhadap Kemampuan Berpikir Kreatif Siswa (Siswa Kelas VIII

Semester Gasal SMPN 1 Sumbermalang Kabupaten Situbondo Tahun Ajaran

2012/2013).Jurnal Edukasi UNEJ, 1 (1), 5-9.