oleh: atmadja pengantar

10
433 PERUNDANG-UNDANGAN DALAM .SISTEM HUKUM NASIONAL _________ Oleh: Atmadja _________ _ Pengantar Suatu penilaian atau evaluasi terha- dap hukum positip menunjukkan bah- wa hukum positip yang merupakan ius constitutum beluIll merupakan hu.- kum . nasional ius constituendum, ka- rena hukum yang berlaku di negara kit a adalah sebagai berikut: a. Berasal dari zaman kolonial dan tentunya tidak berdasarkan Panca- sila, UUD 1945, serta Wawasan Nu- santara. b. Merupakan kaedah hukum adat , masih berorientasi sempit (lokal) maka belum sepenuhnya mencer- minkan nilai-nilai Pancasila, UUD 1945 , dan Wawasan Nusantara, se- kalipun Pancasila itu sendiri digali dari hukum adat,dan; c. Perundang-undangan serta Yuris- prudensi yang terbentuk sesudah tanggal 17 Agustus 1945, mungkin juga banyak yang belum sesuai de- ngan jiwa Pancasila, UUD 1945 maupun Wawasan Nusantara, wa- laupun undang-undang yang ber- sangkutan di dalam konsiderans atau pertimbangan hukumnya me- ) nyebutkan Pancasila dan UUD I 945 se bagai landasannya. 1 ) Sunaryati Hartono & Albert Wijaya, Ekonomi Pancasila, Sistem Ekonomi Indonesia dan Hukum Ekonomi Pem- bangunan. Prisma No.1 Januari 1981, hal. 7. Dengan demikian terutama mengenai perundang-undangan apapun bentuk- - nya (undang-undang, peraturan peme- rintah, keputusan Presiden, dan per- aturan pelaksanaan lainnya) agar meru- pakan suatu sistem Hukum Nasional seyogyanyalah ditempatkan ke dalam suatu pola pemikiran ten tang cita- - cita Hukum Nasional Rechtsidee. Sistem Hukum Nasional Sistem hukum -adalah keseluruhan kaedah-kaedah hukum yang merupa- kan satu kesatuan yang teratur, dan terdiri dari sejumlah sub sistem (misal- nya sub sistem Hukum Tata Negara, Hukum Administrasi ,Negara, Hukum Pidana, Hukum Perdata, Hukum Da- gang dan Hukum Ekonomi), yang sa- ling berkaitan dan saling pengaruh mempengaruhi. 2) Beranjak dari rumusan ini, maka sistem hukum nasional itu selalu harus dikaitkan pula landasan Grondnorm yaitu Pancasila, UU D 1945, dan Azas- azas Hukum Umum 3 ), yang merupa- kan penjabaran dari pada grdndnorm tersebut'. Ibid. 3) Menurut Karl Larenz, a:tas-azas hu- kum umum ialah ukuran-ukuran hu- kumiah-ethis yang memberikan arah kepada pembentukan hukum (Uh.t, O. Notohamidjojo, Vemi KeadUan dan Kemanusiaan, BPK Gunung Mu- lia, Jakarta, 1975, hal. 49). - ,

Upload: others

Post on 01-Oct-2021

5 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: Oleh: Atmadja Pengantar

433

PERUNDANG-UNDANGAN DALAM

.SISTEM HUKUM NASIONAL

_________ Oleh: Atmadja _________ _

Pengantar Suatu penilaian atau evaluasi terha­

dap hukum positip menunjukkan bah­wa hukum positip yang merupakan ius constitutum beluIll merupakan hu.­kum . nasional ius constituendum, ka­rena hukum yang berlaku di negara kit a adalah sebagai berikut:

a. Berasal dari zaman kolonial dan tentunya tidak berdasarkan Panca­sila, UUD 1945, serta Wawasan Nu­santara.

b. Merupakan kaedah hukum adat , masih berorientasi sempit (lokal) maka belum sepenuhnya mencer­minkan nilai-nilai Pancasila , UUD 1945 , dan Wawasan Nusantara, se­kalipun Pancasila itu sendiri digali dari hukum adat,dan;

c. Perundang-undangan serta Yuris­prudensi yang terbentuk sesudah tanggal 17 Agustus 1945 , mungkin juga banyak yang belum sesuai de­ngan jiwa Pancasila, UUD 1945 maupun Wawasan Nusantara, wa­laupun undang-undang yang ber-

• sangkutan di dalam konsiderans atau pertimbangan hukumnya me-

)

nyebutkan Pancasila dan UUD I 945 se bagai landasannya. 1 )

• Sunaryati Hartono & Albert Wijaya, Ekonomi Pancasila, Sistem Ekonomi Indonesia dan Hukum Ekonomi Pem­bangunan. Prisma No.1 Januari 1981, hal. 7.

Dengan demikian terutama mengenai perundang-undangan apapun bentuk- ­nya (undang-undang, peraturan peme­rintah, keputusan Presiden, dan per­aturan pelaksanaan lainnya) agar meru-

pakan suatu sistem Hukum Nasional seyogyanyalah ditempatkan ke dalam suatu pola pemikiran ten tang cita--cita Hukum Nasional Rechtsidee.

Sistem Hukum Nasional Sistem hukum -adalah keseluruhan

kaedah-kaedah hukum yang merupa­kan satu kesatuan yang teratur, dan

terdiri dari sejumlah sub sistem (misal-nya sub sistem Hukum Tata Negara, Hukum Administrasi ,Negara, Hukum Pidana, Hukum Perdata, Hukum Da­gang dan Hukum Ekonomi), yang sa­ling berkaitan dan saling pengaruh mempengaruhi. 2)

Beranjak dari rumusan ini, maka sistem hukum nasional itu selalu harus dikaitkan pula landasan Grondnorm yaitu Pancasila , UU D 1945, dan Azas­azas Hukum Umum 3

) , yang merupa­kan penjabaran dari pada grdndnorm tersebut'.

~ Ibid.

3) Menurut Karl Larenz, a:tas-azas hu-kum umum ialah ukuran-ukuran hu­kumiah-ethis yang memberikan arah kepada pembentukan hukum (Uh.t, O. Notohamidjojo, Vemi KeadUan dan Kemanusiaan, BPK Gunung Mu­lia, Jakarta, 1975, hal. 49). - ,

Page 2: Oleh: Atmadja Pengantar

434

Untuk dapat merekam kerangka . ideal sistem Hukum 'Nasional yang mencerminkan pola rechtsidee Hukum Indonesia, kiranya periu dijadikan ba­han pemikiran hasil-hasil Seminar Hu­kum Nasional ke IV tanggal 30 Maret 1979, mencakup dua · aspek, yaitu "pencetminan nilai-nilai Pancasila da­lam perundang-undangan dan sistem Hukum Nasional itu sendiri" .

Mengenai sistem hukum Nasiortal yang berhubungan dengan perundang-un­dahgan adalah merupakan penjelasan kembali bahwa perundang-undangan menduduki posisi sentral, utama dalam pembangunan Hukum Nasional, yang akan dilengkapi oleh hukutn tidak tertulis (hukum adat) . Disamping itu dikemukakan pula perIunya unifikasi dengan tidak meninggalkan kebhineka­an terutama dalam bidang-bidang kehi­dupan spritual. Berikutnya hal yang

.. menyangkut persoalan nilai-nilai Panca­sila, pada pokoknya seminar menetap­kan bahwa pembentuk Undang-undang (Presiden dan DPR) dalam Penyusun­an Undang-undang perlu dengan tepat tnenunjukkan nilai-nilai Pancasila yang mendasari undang-undang itu .

Sehubungan dengan hasil seminar tersebut di atas relevan apa yang di­kemukakan oleh Podgorecki berkena­an adanya empat prinsip yang perIu diperhatikan pembentuk Undang-un­dang yaitu:

1. Mempunyai pengetahuan yang cu­kup tentang keadaan senyatanya.

2. Mengetahui sistem nilai yang berla­ku dalam masyatakat.

3. Mengetahui benar-benar hubungan kausal antara sarana. yang diguna­kan oleh undang-undang seperti sanksi, baik sanksi negatif (punish­ment) maupun sanksi positif (re­ward) dan tujuan yang hendak dica-

• pal.

Hukum dan Pembangunan

4. Melakukan penelitian terhadap efek dari Undang-undang itu, termasuk efek sampingan yang tidak diharap-kan

Penggarapan Perundang-undang­an dalam Era Hukum

Penggarapan perundang-undangan diartikan penentuan mengenai Un­dang-undang yang akan dibentuk danl atau diperbaharui sesuai dengan karak­teristik Era Hukum.

Era Hukum ditinjau dari segi ke­rangka pembangunan, ia menunjukkan suatu sikap bahwa hukum bukan ha­nya obyek tetapi juga subyek ~i da­lam pembangunan. Sedangkan dari segi

. hukum, merujuk pada fungsihukum nasional kita terutama bukan hanya sebagai problem solver, atau social controle akan tetapi berfungsi as a tool of social - social engineering, secara operasional dapat digambarkan, di mana hukum nasional fungsinya tidak hanya menyelesaikan masalah-masalah hukum yang sudah timbul, namun jus­tru merupakan kaidah-kaidah hukum yang mampu mencegah berbagai mas­alah inflic hukum, kebenturan social , (Social conflict) , serta menjadi sarana pembangunan. S

)

Selanjutnya karakteristik Era Hu­kum ditinjau dari ciri Hukum modern

Sudarto, Perkembangan Ilmu Hukum dan Politik, Hukum dan Keadilan, No. 5 Januari - Pebruari 1979, hal. 1 7.

Daniel Lev, mengemukakan Social . Engineering mempunyai dua arti, yaitu secara formal sebagai suatu pro­sedur untuk merubah masyarakat, dan secara material menentukan ma­syarakat macam apa yang dike hen­daki. Selanjutnya beliau memper­ingatkan Social engineering itu ada bahaY(ii:ya yaitu ia memberikan ke­kuasaan yang penuh kepada pemerin­tah (Lihat Erman Rajagukguk, Bu-· kum dan Masyarakat, Bina Aksara, hal. 73) .

Page 3: Oleh: Atmadja Pengantar

-Sistem Hukum Nasional

.

dapat diformulasikan sebagai berikut:

Pertama: perundang-undangan bersifat trans­aksional di mana hak dan kewajiban di dalam undang-undang tidak di­tentukan berdasarkan status, akan tetapi berdasarkan kontrak. Ini ber­arti undang-undang di dalam pene­gakannya tidak mengenai perbeda­an agama, ras, suku, kasta.6

)

Kedua: perundang-undangan merupakan in­strumen kebijaksanaan publik (in-. -strument of public policy). Di sini hukum mempunyai sifat instru- ' mental digunakan secara sadar da­lam pembangunan. Seperti diputus­kan oleh seminar Hukum Nasional III (1974) di mana undang-undang merupakan sarana untuk merealisir kebijaksanaan di bidang politik, ekonomi, sosial, budaya, dan perta­hanan keamanan sesuai dengan skala prioritas Pembangunan Nasio­nal. ')

Ketiga:

6)

perundang-undangan dalam hubung­annya dengan politik melahirkan tipe hukum responsive. Ini berarti hukum dapat menunjang tertib po­litik, kekuasaan politik (power poli­tic) akan memperkuat penegakan hukum dan karenanya dapat me­nunjang wibawa hukum. 8)

Robert B. Siedman, La'w and Deve-lopment; A General Model, Disarikan oleh Satjipto Raharjo, Hukum dan Masyarakat, Pusat Studi Hukum dan Pembangunan, FH Un air, 1976, hal. 85. Lihat juga Marc Galanter, "Modemi· ,

sasi Dinamika Pertum buhan ", Gajah Mada University Press, 1980, hal. 102.

Satjipto Rahardjo, Hukum dan Per· ubahan Sosial, Alumni, Bandung, 1979, hal. 162.

Philippe Nonet & Philip Selznick, Law and Society Transition Toward

435

Keempat, perundang-uT,ldangan harus dapat memperluas sasaran keadilan so sial. Secara normatif ini dapat diartikan sebagai usaha mengeksplisitkan jiwa keadilan sosial ke dalam perumusan undang-undilng. Sedangkan opera­sionalnya adalah mengakhiri kepin­cangan domestik yang muncul da­lam sosok kemiskinan struktural , baik kepincangan ekonomi, politik, . budaya dan hukum.

Kelima, adanya mekanisme kontrol terha­dap konstitusionalitas undang-un­dang. Hal ini menyangkut apakah diperlukan perluasan wewenang ba­dan atau lembaga negara yang su­dah ada atau pembentukan badan baru sebagai alternatif dalam meka­nisme kontrol terse but.

Pemerintah kelihatannya mengarah­kan penggarapan perundang-undangan di bidang hukum politik dan hukum ekonomi dengan sa saran kedua bidang itu dapat saling menunjang dalam me­letakkan kerangka landasan pemba­ngunan. Ini bertumpu pada prinsip bahwa laju pertumbuhan ekonomi ha­nya dapat dipertahankan apabila diser~ tai stabilitas politik yang mantap. Karena itu sasaran yang dibidik oleh pemerintah atas perundang-undaIigan kedua bidang ter~ebut yaitu:

Responsive Law, Hauper & Row, pu­blisher, New York, 1978, hal. 33, 54, 74. la mengemukakan ada tiga tipe hukum, yaitu (1) Responsive Law, displays Characteristic, Legal institut­ion are directly accessible to political power . •...... , (2) AutonomolU Law, law is separated from. politic', the system proclaim the indefenden­ceof the indiciary and draws up a sharp line between legislative and Ju­dicial/Ungiions, (3) Responsive Law, as Jerem~ Frank noted a key purpose of legal realist was to make law mo~ responsive to social needs.

September 1984

Page 4: Oleh: Atmadja Pengantar

436

-I. Menjamin laju pertumbuhan ekono-

l11i secara terkendali.

2. Oalam mencegah pertumbuhan eko­nomi yang tidak terkendali, peme-

, .

rintah berniat melarang meraksasa-nya perusahaan asing maupun do­mestik, dan

3. Menata tatanan kehidupan sosial politik ke arah terciptanya iklim

sosial politik yang sta bi! dan meng-•

untungkan bagi pertumbuhan eko-nomi 9

)

Untuk sasaran yang pertama di satu pihak dilakukan pembaharuan perang­kat peraturan kita yang ketinggalan zaman, seperti pembaharuan Kitab Un-

. dang-undang Hukum Perdata (KUH Perd.), serta di lain pihak memper­

. siapkan RUU baru pad a sektor per­ekonomian yang belum sempat men­dapatkan pengaturan. Misalnya me­nyusun RUU Asuransi. RUU Patent. dan RUU Pengalihan Teknologi. Se-

mentara itu pad a sasaran kedua dipi­kirkan penggarapan untuk memperba­harui undang-undang di sektor pena­naman modal baik penanaman modal asing maupun penanaman modal da­lam negeri, yait~l Undang-Undang No , 1/1967 (UUPMA) dan Undang-Undang No. 6/1968 (UUPMON), Oi sam ping itu akan lengkap pula kiranya bila­mana diwaspadai oleh pemerintah bah­wa masuknya modal Jillltl National Corporation (MNC) atau perusahaan­perusahaan multi nasional tidak hanva -melalui Foreign Investment Law tetapi dapar lewat Technical Assistant, Mana­gement Agreement, dan Licensee Ag­reernent. IO

) Namun yang lebih jelek lagi adalah adanya p~nyelundupan mo-

T. Mulya Lubis. PembangllTlan Hu­kum dalam PeUta IV, Kompas. 16 April 1984. hal. II'.

10\ ) Rudolf H. Strahm. Yang Melimpah dan Yang Merana. Alih Bahasa Agus Setiadi. P. T. Gramedia. 1975. hal . .\".

HlIkum dall Pe,ll ballgllllan

dal asing melalui apa yang dikenal se­bagai DUIlIIIlY Corporation. suatu per­usahaan boneka. atau nama orang In--donesia akan tetapi modalnya milik orang asing. masuknya modal itu le­wat pintu' bdakang (tidak melalui pro­sedur UUPMA),

Sasaran di bidang politik bertujuan •

pad a stabilitas sosial politik tanpa henti. di mana keresahan sosial seda­pat mungkin ditekan ke titik rendah, Artinya pemerintah akan menciptakan pranata-pranata sosial politik yang ter­kt'ndali dalam iklim sosial politik yang menunjang pertumbuhan ekonomi St'­karang, Oalam era hukum akan di;trah­kan pada pt'rubahan dan pembuatan RUU yang mt'nata tatanan sosial po­litik kita men,uju terciptanya kt'stabil­an politik dan mengun tungkan bagi pertumbuhan ekonomi agar kita bisa tinggal land as pada Pelita VI nanti, Persiapan pt'merintah untuk itl! meli­puti pembaharuan UU Parpol dan Go l­kar (UU No, 3( 1975). pembaharuan

UU susunan MPR. OPR. OPRO (UU No. I b/llJ69 jo. UlT No. 5/1 975), pe­nyusunan RUU Keormasan menuju ke arah azas tungg31 Pancasila. R UU Pe­milu dan Pt'nyusunan RUU Refren­dum. RUU ini harus dikngkapi dalam paradigma stabilitaspolitik tanpa hen­ti. sebab jib kita gagal menciptakan stabilitas sosial politik ini. lTIakJ su­dah pasti pertllm buhan ekonomi yang sekarang mandeg. paling tidak akan terjadi penarikan inwstasi modal asing yang masih kita perlllkan kehadiran-

,

nya secara waJar.

Perundang-lindangan hak-hak azasi warganegara memang dipt'rintahkan oleh GBHN (Tap MPR '\0. I1/MPR( 1 (83) dalam hllbllngannya dt'ngan pt'mbangunan hukum. di mana usah" sad;;r ini menurut Herbert Feith dapat dikatakan sebagai penangkal agar pem­bangunan na$ional yang tengah kita

Page 5: Oleh: Atmadja Pengantar

. Sistem Hukum Nasional

kerjakan tidak dikatagorikan ke dalam pelll bangunan rezim-rezim repressive­del'c lopmelltalist atau "Modernisasi dari atas" menurut Barrington Moore l1

)

Da lalll kaitannya dengan hukum tat a n egara m~narik pendapat Mr. M.V . Po lak bah wa petunda ng-undangan di­

bedakan atas perundang-undangan me­ngenai soal-soal administ rasi dan ' eko­nOllli di satu pihak serta perundang­un dangan mengenai hak-hak azasi war­ga negara atau Ch'iI liberties pada pi­hak lain. dalam arti yang kedua ini Konrrol konstitusionalitasnya (Judical rel'iell' jnya dituntu t ukuran yang lebih tajam l2

)

Logika ny a p<:'m be n tuk U ndang-undang akan lebih mudah memperbaiki keke li­man perundang-undangan di bidang adlllinistrilsi dan ekonomi dibanding­kan dengan memperbaiki kekeliruan dalam hal perundang-u ndangan menge­nai CiFilliberties.

Sebagai perbandingan dengan ne­gara lain dapat dikatakan bahwa Ame­rika Serikat. I\egara yang Mahkamah

Agungnya atas inisiatif sendiri sejak tahun 1803 hingga sekarang menjadi kon\'ensi Ketatanegaraan mengguna­kan hak judicial' el'iew ~hak menguji secara mat~rial) yaitu hakim dapat menyatakan suatu undang-undang kon­stitusional atau tidak. karena isinya bertentangan atau tidak dengan per­aturan yang kbih tinggi derajatnya. Sedangkan Jepang negara yang secara tegas di dalal11 Undang-undang Dasar­nya mengatur hak judicial review bagi

1 1) Herbert Feith, rezim-rezim Develop-mentalist Represi[ di Asia: Kekuatan Lama. Kerawanan Bani, Prisma 11 Nopember 1 980, hal. 7:!.

1 ~ _Hr. M.I-. Polak, Jkll tisar Hukum Ta­tanegara Amerika Serikat, Alii! ba­hasa oleh Soedjono Hardjosoediro, PI/staka Sa rjan a. Yayasan Pemba­ngun<Jn, Jakarta. 1953. lIal. 5.

437

Mahkamah Agungnya. Pasal 81 UUD negara J epang menentukan "The su­preme court is the court of last resort with power to determine the constitu­tionality of any law, order, regulation or official act" (Mahkamah Agung ada­lah Mahkamah terakhir yang mempu­nyai kek uasaan untuk menentukan konstitu sional tidaknya suatu Undang­undang. peraturan, penetapan atau tin­dakan pemerintah).1 3)

Kete n tuan UUD 1945 tidak me-•

l11uat larangan maupun membolehkan hak menguj i material bagi Mahkamah Agung,14) hanya dalam pasal 26 UU No. 14/1970 dan kemudian dipertegas oleh MPR sebagaimana ditentukan Tap MPR No. III / MPR/ I 978 pasal 11 ayat 4, di mana ditegaskan Mahkamah Agung hanya mempunyai hak meng­uji material atas Peraturan Pemerintah, Kepres, dan peraturan pelaksanaan lainnya. jadi tidak terhadap Undang­undang. Padahal judicial review terha­dap UU inilah memiliki dampak prin­sipial dalam hal menghindari prod uk pembentuk UU jangan sampai berten­tang~n dengan Pancasila dan UUD 1945. serta hak azasi. Dengan demikian tertutuplah meka­nisme kontrol terhadap konstitusiona­litas undang-undang melalui lembaga hukum judicial review. toet singsreht at au hak menguji material. Alternatif lain yang mungkin bisa ditempuh me­nuru t sistem ketata negaraan Indonesia berdasarkan UUD 1945, adalah satu di antara tiga hal di bawah inL

, 1 3) A to Masuda, Undang-undang Duar

Negara Republik Indonesia taIIu" 1 945 dan Perba"dingan"ya dengGn Undang-undang Duar Negara Jepang. Penerbitan Universitas, Ja1clJrta, 1962. hal. 232.

14) K etentuan ini mengundang pena!si,.. an bahwa >.>e MA untuk menguji secara matuiai itu hanu di­tentukan ! sendiri oleh MPR, buka" oleh 'pembentuk UU.

• Septembu 1984

Page 6: Oleh: Atmadja Pengantar

438

Pertama, sebelum Presiden mengun­dangkan undang-undang yang telah di­setujui DPR, Undang-undang terse but

'disampaikan terlebih dahulu kepada Mahkamah Agung untuk dimintakan pertimbangan ada - tidaknya aspek-as­pek yang secara Yllridis bertentangan dengan UUD 1945. Alternatip ini da­pat dilakukan berdasarkan pasal 11 ayat 2 Tap MPR No. lIIjMPT j 1978, yang berbunyi: "Mahkamah Agung da­pat memberikan pertimbangan-pertim­bangan dalam bidang hukum baik di-

minta maupun tidak, kepada Lembaga-lembaga Tinggi Negara ".

Kedua, MPR membentuk suatu ba­dan permanen berupa "Panitia Hukum MPR", terdiri dari sejumlah anggota MPR dari kalangan sarjana hukum un­tuk menilai konstitusionalitas semua Undang-undang sebelum diundangkan. Karena MPR berdasarkan pasal I ayat 2 UUD 1945 sebagai pemegang kedau­latan rakyat, dapat dikatakan meru­pakan Supremasi MPR, maka dengan sendirinya Panitia Hukum MPR berwe­nang menilai konstitusionalitas un­dang-undang yang dibuat oleh Presiden dan DPR sebelum undang-undang itu diundangkan, untuk menjaga pelaksa­naan UUD 1945 secara murni dan kon­sekwen. Sistem penilaian konstitusio­nalitas undang-undang seperti ini dapat disebut juga Political review at au "Kontrol Politik". Seperti dikatakan oleh Mauro Cappeletti dan W. Cohen, an tara lain: ''In Certain Countries a political review operates alongside or instead of judicial review. Usually un­der their systems, the control is not exercised after the anactment of the law, but is preventive, \t intervener before the law come into force. Some­times the control is merely consulta­tive, in rhat an opinion is given which does not have binding forces upon le­gislature' and executive ,,1 5) ("Dalam beberapa negara, political riew dilaku-

Hukum dan Pembangunan

kan berdampingan dengan judicial re­view. Biasanya berdasarkan sistem ini kontrol tidak dilakukan sesudah UU disahkan, tetapi bersifat preventif, se­belum UU itu mempunyai kekuatan.

Kadang-kadang kontrol ini hanyalah bersifat konsultatif, dalam mana pen­dapat yang dikemukakan tidak mem­punyai kekuatan mengikat badan legis­latif dan eksekutif"). Atau jika dikomparasikan dengan sis­tern Political Control Konstitusi di Uni

Soviet dapat dikatakan sarna halnya dengan kontrol politik yang dilakukan oleh Presidium Soviet terhadap tindak­an lem baga-Iem baga atau organ-organ. negara agar bertindak sesuai dengan yang ditentukan Konstitusi. Seperti di­kemukakan juga oleh Mauro Cappe­letti dan William Cohen, sebagai beri­kut: It is important to remember that the Presidium is a body composed of 39 members elected from the Supreme Soviet". Given its political nature the Presidium Cleary exercises control which is political, not judical in cha­racter. The scope of this control would be to guide the political organs and in­dividuals along the paths set by the Constitution ".

Ketiga, alternatip ini adalah mem­bentuk badan negara baru untuk menguji konstitusionalitas undang-un­dang, yaitu "Mahkamah Konstitusi" atau The Constitutional Court, seperti halnya di beberapa negara Eropa Ba­rat. Dasar Hukum Mahkamah Konsti­tusi ini dapat kita letakkan berdasar­kan pasal 24 ayat I UUD 1945 yang mana masih memungkinkan adanya

15\ ) Mauro Cappelletti etal, Comporative Constitutional Law, Cases and Mate­rials, The Boles Merrill Company Inc, New York, hal. 19. "The supreme Soviet is a political or­gan roughly Comparable to the Par­lement of Western Countries". Lihat Mauro Cappelletti, et ai, hal. ' 22.

Page 7: Oleh: Atmadja Pengantar

Sistem Hukum Nasional

lain-lain badan kehakiman di sam ping­nya Mahkamah Agung di dalam mela­kukan kekuasaan kehakiman.

Sebenarnya dari segi tujuannya da­lam hal menguji isi undang-undang, maka hakekatnya fungsi Mahkamah Agung tidak berbeda dengan Mahka­mah Konstitusi. Namun di dalam pro­sedur atau tekniknya melaksanakan hak menguji tersebut ada perbedaan. Mahkamah Agung yang mempunyai wewenang Judicial review baru dapat menyatakan pendapatnya apakah suatu undang-undang atau peraturan hukum lainnya bertentangan tidak de­ngan UUD, apabila Mahkamah Agung secara kongkrit menghadapi suatu per­kara dalam mana masalah tersebut di­persoalkan . Perkara mana sebelumnya dengan sendirinya sudah melewati ta­hap pemeriksaan di muka Pengadilan Negeri dan Pengadilan Tinggi yang da­pat memerIukan waktu beberapa ta­hun lamanya . Bahkan bisa juga terj adi dalam sistem judicial review Mahka­mah Agung , di mana suatu peraturan hukum atau undang-undang nyata­nyata bertentangan dengan UUD, lepas dari jangkauan hak menguji material­nya , oleh karena t idak adanya perkara yang menggugat inkonstitusionalitas dari pasal-pasaJ undang-undang yang bersangkutan. Wewenang menguji se­perti p rosedur di atas dilakukan oleh Mahkamah Agung Amerika Serikat dan Mahkamah Agung J epang.

Mahkamah Konstitusi tidak meny a­takan pendapatnya mengenai berten-

-tangan atau t idaknya undang-undang dengan UUD melalui suatu perkara konkrit yang dihadapinya. Prosedur­nya adalah sebagai berikut : Apabila DPR telah menyetujui Undang-Un­dang , maka sebelum Undang-Undang ini ditandatangani oleh Presiden dan diundangkan dalam Lem baran Negara, sehingga menjad i Undang-Undang yang

439

sah dan mengikat seluruh warga ne­gara , maka Undang-Undang terse but disampaikan kepada Mahkamah Kon­stitusi , yang m embahas segi konstitu­sionalitas Undang-Undang yang ber­sangkutan. Apabila Mahkamah Konsti­tusi tidak menemukan hal-hal yang bertentangan dengan UUD pada Un-

dang-Un dang yang bersangkutan, maka Undang-Undang itu diteruskan kepada Presiden yang menandatanganinya dan kemudian diundangkan dalam Lembar­an Negara. Akan tetapi apabila menu­ru t anggapan Mahkamah Konstitusi , Undang-Undang yang bersangkutan baik secara keseluruhan maupun bebe­rapa bagian saja di dalamnya nyata­nyata bertentangan dengan UUD, ma­ka Undang-Undang yang bersangkutan dikem balikan kepada DPR. Dan kemu­dian DPR dapat meminta agar Presiden atau pem erintah menarik kembali Un­dang-Undang itu atau DPR mengada­kan amandemen, perobahan bagian-ba­gian yang dianggap bertentangan sesuai dengan pendapat Mahkamah Konsti­tusi.1 6)

Sebagai l11ustrasi dapat dikemuka­kan tugas Mahkamah Konstitusi menu­ru t pasal 134 UUD Italia, memutuskan hal-hal sebagai berikut:

I ) Sengketa mengenai konstitusionali­tas Undang-Undang, dan tinaakan hukum yang berasal dari negara dan wilayah-wilayah otonominya,

2) Konflik yang timbul sekitar tugas wewenang konstitusional dalam ne­gara antara negara dan wilayah-wi-

16) S. Tasrif, Menegakkan Rule of Law Di Bawah Orde Baru, Peradin, Ja­karta, 1971, hal. 208. L ihat juga S . . Tasrif, Ha k ·Hak Azasi Warga Negara Ditinjau Dari Sudut UUD 1945 Dan Perundang·undangan, Kertas Kerja Dalam Seminar Hukum Nasional IV BPHN, 1979, hal. 21 - 22.

September 1984

Page 8: Oleh: Atmadja Pengantar

440

layah otonominya, serta an tara wi­. layah-wilayah otonomi itu sendiri.

3) Inpeachment terhadap Presiden dan Menteri-menteri, menurut norma­norma Konstitusi. I 7)

Secara empiris ada tiga persoalan pokok yang perlu segera dipikirkan un-

o .

tuk dapat menggarap Undang-Undang agar operasional , tidak terkatung-ka-tung dalam pelaksanaannya: , Ketiga persoalan pokok terse but ada­lah:

Pertama, perlu dilakukan sistem pa­ket dalam penyusunan suatu RUU. Ini berarti RUU itu harus dilengkapi pe­nyusunannya dengan peraturan pelak­sanaar,nya, apakah itu RPP (Rancang­an Peraturan Pemerintah) atau Ran­cangan Kepres. Sebab sampai sekarang masih cukup banyak contoh UU yang tidak dapat dilaksanakan karena belum ada peraturan pelaksanaannya. Seke­dar contoh dapat disebutkan antara lain mengenai bantuan hukum sebagai

• pelaksanaan Undang-Undang Pokok Kekuasaan Kehakiman No.14 Tahun 1970, tentang perlindungan lingkung­an hidup sebagai realisasi dari Undang­Undang No. 4/1982 (Undang-Undang Pokok Pengelolaan Lingkungan Hi­dup) .

Kedua, perlunya pemikiran menge-. " nal pemantapan policy perundang-un-

dangan". Pemantapan ini dimaksudkan perlunya ada badan yang mengkoordi-

1'7\ ) Teks Bahasa Inggeris UUD Italia pa-sal 134, The Constitutional Court decides: on controversies regarding the Constitutionality of law, and of acts having the force of law, emanit­ing from the state and the Regions. On Conflicts arinsing . ove r Consti­tutional assignment of power within the state, between the state and Re-

• glons, and between Regiolls, On im-peachments of the President of the ' Republic and of the Minister, accord­ing to nonns of the Constitution.

Hukum dan Pembangunan

nasikan dalam kegiatan perundang-un­dangan, seperti menentukan segaJa prioritas RUU yang akan diajukan ke DPR untuk dibahas , di sam ping itu tentunya bad an ini dapat ,menentukan

keseragaman istilah-istilah hukum yang digunakan dalam berbagai R UU , guna mengakhiri keadaan yang kita hadapi saat ini, yaitu di mana RUU yang di­ajukan oleh berbagai Departemen dan Lembaga Non Departemen mengguna­kan berbagai istilah dan tidak uniform.

Untuk merealisir badan yang meme­gang "policy perundang-undangan ter­sebut, kiranya perlu disimak gaga san almarhum Mudjono, SH, agar DeNrte­men Kehakiman dirubah menjadi De­partemen Undang-undang, sehingga menjadi pemegang Po-licy Perundang­undangan". Atau juga gagasan yang telah dirintis oleh Ali Said (Ketua Mahkamah Agung) ketika masih men­jabat Menteri Kehakiman membentuk Law Center, akan menjadi embriyo ba­dan pemegang "Policy Perundang-un­dangan" itu. Jika dalam "era hukum" masih tetap tidak ada kejelasan dita­ngan siapa Policy Perundang-undangan itu berada, maka akan masih saja kita saksikan adanya kegiatan perundang­undangan yang acak-acakan. 1 ~

Ketiga, dalam usaha kita untuk membentuk atau memperbaharui hu­kum nasional melalui perundang-un­dangan , kita selalu dihadapkan pada dua sistem hukum yaitu "Pola Konti­nental atau Pola Anglo Saxon". Ka­rena di. Indonesia kita sudah kurang lebih tiga setengah abad memakai pola Kontinental, maka sistem hukum Eropa Kontinental boleh dikatakan be­gitu meresap dalam kehidupan Hukum Indonesia, sehingga dapat dimaklumi banyak yang berpendapat bahwa da­lam pembaharuan hukum itu, kita se-

Is,. ) S. Tqsrif, Op Cit, hal. 154 .

Page 9: Oleh: Atmadja Pengantar

Sistem Hukum Nasional

baiknya tetap berorientasi pada pola Kontinental.! 9) Namun demikian tentunya kita tidak boleh melupakan hukum adat yang ha­rus diberikan temp at dalam pembaha­ruan hukum·. Pemikiran ini jika dikait­kan dengan sistem hukum, pengem­bangan hukum adat mempunyai tem­pat baik secara ilmiah maupun secara politik. Dari segi kerangka pemikiran ilmiah, seperti dikemukakan oleh Henry Heimann bahwa tinjauan bu­daya hukum yaitu sikap dan nilai-ni­lai masyarakat atas hukum , menunjuk­kan ada empat sistem hukum didunia yakni:

1. Sistem hukum Romawi merupakan akar-akar sistem atau pola konti­nental,

2. Sistem Anglo Saxon, 3. Sistem Hukum Islam, dan 4. Sistem hukum lainnya.

Kerangka pernik iran ini m em berikan temp at dari segi budaya hukum untuk secara luas mengem bangkan pola "hu­kum adat" dalam perundang-undang­an. Dari segi politik dapat dikemuka­kan sejak Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia , kita ingin mengor­ganisasi negara dan masyarakat kita menurut pandangan dan interpretasi yang pas/ cocok pada dasar masyarakat Pancasila , bukan pada pandangan ma­syarakat bangsa lain , masyarakat libe­ral, maupun masyarakat komunis . Menjadi tugas kita untuk mengisi kon­sepsi negara yang didasarkan atas hu­kum bersandar pada pengalaman-pe­ngalaman serta dengan segala milik kita, berupa berbagai sum ber day a yang ada pada kita dan kita kuasai, se­hubungan dengan ini Padmo Wahyono , Guru Besar UI berbicara ten tang "Ram bu-ram bu " yang hendaknya di-

! ~ K omar Andasasmita, Masalah Hukum Perdata Nasional Indonesia, Alumni Bandung 1983, hal. 88.

441

patuhi dalam membentuk sistem hu­kum Indonesia baru , rambu-rambu yang kita gali sendiri dari kandungan UUD 1945. Di bagian lain ia juga me­ngatakan pembangunan Hukum Indo­nesia dikehendaki untuk menjadi khas Indonesia, yaitu suatu cara yang dipi­lih oleh bangsa ini berdasarkan Wa­wasannya Sendiri. 20)

Ketetapan sikap untuk menentukan pilihan terhadap sistem hukum di da­

·lam mengisi karya perundang-undang­an seperti digambarkan di at as akan mempengaruhi efektifitas Undang-Un­dang yang bersangkutan. Kesemuanya itu merupakan tantangan bagi perundang-undangan kita dalam kerangka sistem hukum nasional ber­dasarkan Pancasila dan UUD 1945.

Penutup Meski secara teoritis berhasilnya re­

volusi Indonesia yang titik kulminasi­nya Proklamasi Kemerdekaan Repu­blik Indonesia 17 Agustus 1945 de­ngan sendirinya dikatakan mencipta­kan hukum nasional, ia hanya melega­kan dalam arti politik saja. Secara hukum justru " Teori Revolusi" terse but yang antara lain dikemukakan oleh Hans Kelsen itu sampai kini mem­prihatinkan bangsa Indonesia , karena bukankah masih cukup banyak per­aturan hukum di bidang kehidupan yang mendasar dan menyentuh hajat hidup rakyat banyak masih dikuasai peraturan hukum berasal dari zaman penjajahan , seperti KUHP, KUHPerd. dan KUHD .

Keadaan ini tentunya telah kita sa­dari , dan kesadaran tersebut menum­buhkan semangat untuk melakukan pembangunan hukum sebagai bagian dari pembangunan nasional. Satjipto

20:> Satjipto Rahardjo, Persoalan-persoal­an dasar dlllam hukum kita, Kompas, Z3 Mei 1984, hal. IV.

September 1984

Page 10: Oleh: Atmadja Pengantar

442

Rahardjo menamakan karakteristik pembangunan hukum yang revolusio­nero Kata revolusioner ini dipakai da­lam arti, di negeri ini dikehendaki ter­jadinya perubahan yang tajam, yang memisahkan antata sistem hukum pen­jajahan dengan niat untuk memba­ngun sistem hukum yang baru sarna se­kali. Salah satu ciri dari kebaharuan terse-

Hukum dan Pembangunan

but adalah kehendak untuk memba­ngun suatu sistem hukum at as dasar nilai bam · atas dasar kerokhlmian Pan­casila. Ide seperti itu, seperti dikemu­kakan pada uraian di muka mem beri­kan tempat yang luas un'tuk menggali azas-azas hukum adat dalam mengga­rap perundang-undangan agar 'sesuai dengan cita-cita hukum (recht idee In­donesia) .

• DAFTAR KEPUSTAKAAN

1. Cappelletti, Mauro, et ai, Comparative Constitutional Law, Cases and MiIterials, The Babbs Merrill Company, Inc. Publisheer, New York (.?)

2. Galanter, Mare, Modemisasi Sistem Hukum, Modemisasi dan Pertumbuhan, Gajah Mada University Press, 1980.

3. Masuda, Ato, Undang·undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan Perban· dingannya Dengan Undang·undang Dasar Negara Jepang, Penerbitan Universitas, 1962.

4. Philippe Nonet, et al, Law and Society Transition Toward Responsive Law, Harper & Row Publishers, New York, 1978.

5. Polak, MV, Ikhtisar Hukum Tatanegara Uni Amerika Serikat, Alih Bahasa Soedjono Har· djosoediro, Yayasan Pembangunan Jakarta, 1953.

6. Tasrif, Menegakkan Rule Of Law Di Bawah Orde Baru, Jilid I, Peradilan, Jakarta, 1971.

- From hearing comes wisdom, and from speaking repen· tance.

Italian Proverb • ~ •