pengantar pendidikan oleh umar dan la sulo
TRANSCRIPT
BAB III
LANDASAN DAN ASAS-ASAS
PENDIDIKAN SERTA PENERAPANNYA
Pendidikan sebagai usaha sadar yang sistematis-sistemik selalu bertolak dari
sejumlah landasan serta mengindahkan sejumlah asas-asas tertentu. Landasan dan
asas tersebut sangat penting, karena pendidikan merupakan pilar utama terhadap
pengembangan manusia dan masyarakat suatu bangsa tertentu. Untuk Indonesia,
pendidikan diharapkan mengusahakan (i) pembentukan manusia Pancasila sebagai
manusia pembangunan yang tinggi kualitasnya dan mampu mandiri, dan (ii)
pemberian dukungan bagi perkembangan masyarakat, bangsa, dan negara Indonesia
(Undang-Undang, 1992: 24). Landasan-landasan pendidikan tersebut akan
memberikan pijakan dan arah terhadap pembentukan manusia Indonesia, dan serentak
dengan itu, mendukung perkembangan rnasyarakat, bangsa dan negara. Sedangkan
asas-asas pokok pendidikan akan memberi corak khusus dalam penyelenggaraan
pendidikan itu, dan pada gilirannya, memberi corak pada hasil-hasil pendidikan itu
yakni manusia dan masyarakat Indonesia.
Beberapa di antara landasan pendidikan tersebut adalah landasan filosofis,
sosiologis, dan kultural, yang sangat memegang peranan penting dalam menentukan
tujuan pendidikan. Selanjutnya landasan ilmiah dan teknologi akan mendorong
pendidikan itu menjemput masa depan. Kajian berbagai landasan pendidikan itu akan
dapat membentuk wawasan yang tepat tentang pendidikan. Dengan wawasan
pendidikan yang tepat, serta dengan menerapkan asas-asas pendidikan yang tepat
pula, akan dapat memberi peluang yang lebih besar dalam merancang dan
menyelenggarakan program pendidikan yang tepat wawasan itu akan memberikan
perspektif yang lebih luas terhadap pendidikan, baik dalam aspek konseptual maupun
operasional.
Setelah mempelajari Bab III ini, Anda diharapkan dapat:
1. Memahami berbagai landasan pendidikan, utamanya landasan filosofis, landasan
sosiologis, landasan kultural, landasan psikologis, serta landasan ilmiah dan
teknologi, baik pada pendidikan pada umumnya maupun khusus untuk Indonesia.
2. Memahami makna serta cara-cara penerapan berbagai asas pendidikan, utamanya
asas Tut Wuri Handayani, asas belajar sepanjang hayat, dan asas kemandirian
dalam belajar.
3. Memiliki wawasan kependidikan dengan perspektif yang luas tentang pendidikan,
baik dari segi konseptual dan/ataupun dari segi operasional.
Pemahaman landasan dan asas pendidikan serta ketepatan wawasan yang
menyertainya akan memberi peluang yang luas dalam pengambilan keputusan dan
tindakan yang tepat. Keyakinan kebenaran dan ketepatan keputusan dan tindakan
tersebut sangat penting, karena hasil-hasil pendidikan tidak segera tampak, dengan
kata lain, koreksi karena ketidaktepatan hasilnya mungkin sudah terlambat.
Bab III ini akan memusatkan paparan dalam berbagai landasan dan asas
pendidikan, serta beberapa hal yang berkaitan dengan penerapannya. Landasan-
landasan tersebut adalah filosofis, kultural, psikologis, serta ilmiah dan teknologi.
Sedangkan asas yang dikaji adalah asas Tut wuri Handayani, belajar sepanjang hayat,
dan kemandirian dalam belajar. Pengkajian tentang landasan dan asas pendidikan
tersebut seralu diarahkan pula pada upaya dan permasalahan penerapannya.
A. Landasan Pendidikan
Pendidikan adalah sesuatu yang universal dan berlangsung terus tak terputus
dari generasi ke generasi di mana pun di dunia ini. Upaya memanusiakan manusia
melalui pendidikan itu diselenggarakan sesuai dengan pandangan hidup dan dalam
latar sosial-kebudayaan setiap masyarakat tertentu. Oleh karena itu, meskipun
pendidikan itu universal, namun terjadi perbedaan-perbedaan tertentu sesuai dengan
pandangan hidup dan latar sosiokultural tersebut. Dengan kata lain, pendidikan
diselenggarakan berlandaskan filsafat hidup serta berlandaskan sosiokultural setiap
masyarakat, termasuk di Indonesia. Kajian ketiga landasan itu (filosofis, sosiologis,
dan kultural) akan membekali setiap tenaga kependidikan dengan wawasan dan
pengetahuan yang tepat tentang bidang tugasnya.
Selanjutnya, terdapat dua landasan lain yang selalu erat kaitannya dalam
setiap upaya pendidikan, utamanya pengajaran, yakni landasan psikologis dan
landasan IPTEK. Landasan psikologis akan membekali tenaga kependidikan dengan
pemahaman perkembangan peserta didik dan cara-cara belajarnya. Sedangkan
landasan iptek akan membekali tenaga kependidikan, khususnya guru, tentang
sumber bahan ajaran. Pengkajian landasan psikologis dan landasan iptek tersebut
akan membekali tenaga kependidikan suatu pegangan dalam mewujudkan
keseimbangan dan keselarasan yang dinamis antara pengembangan jati diri peserta
didik dan penguasaan iptek tersebut.
1. Landasan Filosofis
Landasan filosofis merupakan landasan yang berkaitan dengan makna atau
hakikat pendidikan, yang berusaha menelaah masalahmasalah pokok seperti: Apakah
pendidikan itu, mengapa pendidikan itu diperlukan, apa yang seharusnya menjadi
tujuannya, dan sebagainya. Landasan filosofis adalah landasan yang berdasarkan atau
bersifat filsafat (falsafat, falsafah). Kata filsafat (philosophy) bersumber dari bahasa
Yunani, philein berarti mencintai, dan sophos atau sophis berarti hikmah, arif, atau
bijaksana. Filsafat menelaah sesuatu secara radikal, menyeluruh, dan konseptual yang
menghasilkan konsepsi-konsepsi mengenai kehidupan dan dunia. Konsepsi-konsepsi
filosofis tentang kehidupan manusia dan dunianya pada umumnya bersumber dari dua
faktor, yaitu:
(i) Religi dan etika yang bertumpu pada keyakinan
(ii) Ilmu pengetahuan yang mengandalkan penalaran. Filsafat berada di antara
keduanya: kawasannya seluas dengan religi, namun lebih dekat dengan ilmu
pengetahuan karena filsafat timbul dari keraguan dan karena mengandalkan akal
manusia (Redja Mudyahardjo, et.al., 1992: 126-134.)
Tiniauan filosofis tentang sesuatu, termasuk pendidikan, berarti berpikir bebas
serta merentang pikiran sampai sejauh-jauhnya tentang sesuatu itu. Penggunaan
istilah filsafat dapat dilihat dalam dua pendekatan,yakni:
1) Filsafat sebagai kelanjutan dari berpikir ilmiah, yang dapat dilakukan oleh setiap
orang serta sangat bermanfaat dalam memberi makna kepada ilmu
pengetahuannya itu.
2) Filsafat sebagai kajian khusus yang formal, yang mencakup logika, epistemologi
(tentang benar dan salah), etika (tentang baik dan buruk), estetika (tentang indah
dan jelek), metafisika (tentang hakikat yang "ada", termasuk akal itu sendiri),
serta sosial dan politik (filsafat pemerintahan).
Di samping itu, berkembang pula cabang filsafat yang mempunyai bidang
kajian spesifik, seperti filsafat ilmu, filsafat hukum, filsafat pendidikan, dan
sebagainya (Redja Mudyahardjo. et. al., 127-tr28; Filsafat Ilmu, 1981:9-10).
Landasan filosofis terhadap pendidikan dikaji terutama melalui filsafat pendidikan,
yang mengkaji masalah sekitar pendidikan dengan sudut pandang filsafat.
a. Pengertian tentang Landasan Filosofis
Terdapat kaitan yang erat antara pendidikan dan filsafat karena filsafat
mencoba merumuskan citra tentang manusia dan masyaiakat, sedangkan pendidikan
berusaha mewujudkan citra itu. Rumusan tentang harkat dan martabat manusia
beserta masyarakatnya ikut menentukan tujuan dan cara-cara penyelenggaraan
pendidikan, dan dari sisi lain, pendidikan merupakan proses memanusiakan manusia.
Filsafat pendidikan berupaya menjawab secara kritis dan mendasar berbagai
pertanyaan pokok sekitar pendidikan, seperti apa, mengapa, ke mana, bagaimana, dan
sebagainya dari pendidikan itu. Kejelasan berbagai hal itu sangat perlu untuk menjadi
landasan berbagai keputusan dan tindakan yang dilakukan dalam pendidikan. Hal itu
sangat penting karena hasil pendidikan tidak segera tampak, sehingga setiap
keputusan dan tindakan itu harus diyakinkan kebenaran dan ketepatannya meskipun
hasilnya belum dapat dipastikan. Ketepatan setiap keputusan dan tindakan, serta
diikuti dengan upaya pemantauan dan penyesuaian yang mererus, sangat penting
karena koreksi setelah diperoleh hasilnya akan sangat sulit dan sudah terlambat.
Kajian-kajian yang dilakukan oleh berbagai cabang filsafat (logika,
epistemologi, etika, dan estetika, metafisika, dan lain-lain) akan besar pengaruhnya
terhadap pendidikan, karena prinsip-prinsip dan kebenaran-kebenaran hasil kajian
tersebut pada umumnya diterapkan dalam bidang pendidikan. Peranan filsafat dalam
bidang pendidikan tersebut berkaitan dengan hasil kajian antara lain tentang:
(a) Keberadaan dan kedudukan manusia sebagai makhluk di dunia ini, seperti yang
disimpulkan sebagai zoon politicon, homo sapiens, animol educandunt, dan
sebagainya.
(b) Masyarakat dan kebudayaannya.
(c) Keterbatasan manusia sebagai makhluk hidup yang'banyak menghadapi
tantangan; dan
(d) Perlunya landasan pemikiran dalam pekerjaan pendidikan, utamanya filsafat
pendidikan (Wayan Ardhana, 1986: Modul 119).
Hasil-hasil kajian filsafat tersebut, utamanya tentang konsepsi manusia dan
dunianya, sangat besar pengaruhnya terhadap pendidikan. Berbagai pandangan
filosofis tentang manusia dan aliran dunianya yang dikemukakan oleh berbagai aliran
dalam filsafat ternyata sangat bervariasi, bahkan kadang-kadang bertentangan. Secara
historis terdapat dua aliran yang saling bertentangan .yakni idealisme dan naturalism
(positivisme), dengan segala variasinya masing-masing (Abu Hanifah, 1950). Di
samping kedua aliran tersebut, telah berkembang pula beberapa aliran lain, sehingga
terdapat aliran-aliran filsafat materi, filsafat cita, filsafat hidup, filsafat hakikat,
filsafat eksistensi, dan filsafat ujud (Beerling, 1951:.40). Wayan Ardhana, dan kawan-
kawan (1986: Modul I/12-18) mengemukakan bahwa aliran-aliran filsafat itu bukan
hanya mempengaruhi pendidikan, tetapi juga telah melahirkan aliran filsafat
pendidikan, seperti:
(a) Idealisme
(b) Realisme,
(c) Perenialisme,
(d) Esensialisme,
(e) Pragmatisme dan progresivisme.
(f) Eksistensialisme.
Sedangkan Waini Rasyidin (dalam Redja Mudyahardjo, et. al., 1992: 140-
150) membedakan antara aliran filsafat dan mazhab filsafat :endidikan, yakni: Aliran
filsafat yang besar pengaruhnya terhadap pendidikan adalah idealisme, realisme
(positivisme, materialisme), neothomisme, dan pragmatisme; sedangkan mazhab
filsafat pendidikan adalah esensialisme, perenialisme, progresivisme, dan
rekonstruksionisme. Baik sebagai aliran filsafat maupun sebagai mazhab filsafat
pendidikan, pandangan-pandangannya tentang manusia dan dunianya pada umumnya
ikut mempengaruhi konsepsi dan atau'penyelenggaraan pendidikan.
Naturalisme merupakan aliran filsafat yang menganggap segala kenyataan
yang bisa ditangkap oleh pancaindra sebagai kebenaran yang sebenarnya. Aliran ini
biasa pula diberi nama yang berbeda sesuai dengan variasi penekanan konsepsinya
tentang manusia dan dunianya, seperti: realisme, materialisme, positivisme (kini:
neopositivisme) dan sebagainya. Realisme, sebagai contoh, menekankan pada
pengakuan adanya kenyataan hakiki yang objektif, di luar manusia. Kenyataan hakiki
yang objektif itu ada secara praeksistensi yakni mendahului dan lebih utama dari
keberadaan manusia beserta kesadarannya. Contoh lain, positivisme mengemukakan
bahwa kalau sesuatu itu memang ada, maka adanya itu pastilah dapat diamati dan
atau diukur, seperti diketahui, positivisme sangat mengutamakan pengukuran dalam
penelitian ilmiah. Aliran ini, dengan rlama-nama yang bervariasi, menekankan bahwa
nilai-nilai bersifat absolut dan abadi yang berdasarkan hokum alam. Oleh karena itu,
pendidikan tidak lain dari usaha untuk mengajarkan berbagai disiplin pengetahuan
terpilih sebagai pembimbing kehidupan yang terbaik, seperti sejarah, bahasa, ilmu
pengetahuan alam, dan matematika.
Bertentangan dengan aliran di atas, idealisme menegaskan bahwa hakikat
kenyataan adalah ide sebagai gagasan kejiwaan. Apa yang dianggap kebenaran
realitas hanyalah bayangan atau refleksi dari ide sebagai kebenaran bersifat spiritual
atau mental. Ide sebagai gagasan kejiwaan itulah sebagai kebenaran atau nilai sejati
yang absolut dan abadi. Terdapat variasi pendapat beserta namanya masing-masing
dalam aliran ini seperti spiritualisme, rasionalisme, neokantianisme, dan sebagainya.
Variasi itu antara lain menekankan pada akal atau rasio pada rasionalisme, atau
sebaliknya pada ilham untuk irasionalisme, dan lain-lain. Meskipun terjadi variasi
pendapat tersebut, namun pada umumnya aliran ini menekankan bahwa pendidikan
merupakan kegiatan intelektual untuk membangkitkan ide-ide yang masih laten,
antara lain melalui introspeksi dan tanya jawab. Oleh karena itu, sebagai lembaga
pendidikan, sekolah berfungsi membantu siswa mencari dan menemukan kebenaran,
keindahan, dan kehidupan yang luhur.
Pragmatisme merupakan aliran filsafat yang mengemukakan bahwa segala
sesuatu harus dinilai dari segi nilai kegunaan praktis; dengan kata lain, paham ini
menyatakan yang berfaedah itu harus benar, atau ukuran kebenaran didasarkan pada
kemanfaatan dari sesuatu itu kepada manusia (Abu Hanifah, 1950: 136). John Dewey
(dari Redja Mudyahardjo. et. al., 1992: 144), salah seorang tokoh pragmatisme,
mengemukakan bahwa penerapan konsep pragmatisme secara eksperimental melalui
lima tahap:
(1) Situasi tak tentu (indeterminate situation), yakni timbulnya situasi ketegangan di
dalam pengalaman yang perlu dijabarkan secara spesifik.
(2) Diagnosis, yakni mempertajam masalah termasuk perkiraan factor penyebabnya.
(3) Hipotesis, yakni penemuan gagasan yang diperkirakan dapat mengatasi masalah.
(4) Pengujian hipotesis, yakni pelaksanaan berbagai hipotesis dan membandingkan
hasilnya serta implikasinya masing-masing jika dipraktekkan.
(5) Evaluasi, yakni mempertimbangkan hasilnya setelah hipotesis terbaik
dilaksanakan.
Oleh karena itu, bagi pragmatisme, pendidikan adalah suatu proses
eksperimental dan metode mengajar yang penting adalah metode pernecahan
masalah. Pengaruh aliran pragmatisme telrsebut bahkan terwujud dalam gerakan
pendidikan progresif atau progresivisme sebagai bagian dari suatu gerakan reformasi
sosiopolitik pada akhir abad XIX dan awal abad XX di Amerika Serikat.
Progresivisme menentang pendidikan tradisional serta mengembangkan teori
pendidikan dengan prinsip-prinsip antara lain:
(a) Anak harus bebas agar dapat berkembang wajar
(b) Menumbuhkan minat melalui pengalaman langsung untuk merangsang belajar.
(c) Guru harus menjadi peneliti dan pembimbing kegiatan belajar.
(d) Harus ada kerja sama sekolah dan rumah'
(e) Sekolah progresif harus merupakan suatu laboratorium untuk melakukan
eksperimentasi (Wayan Ardhana, 1986: 16-l7).
Aliran filsafat yang bercorak keagamaan ikut pula mempengaruhi pemikiran
tentang pendidikan, baik pada permulaan filsafat Yunani kuno maupun/terutama pada
era pengaruh filsafat yang dipengaruhi agama Hindu, Islam, Katolik, Protestan, dan
sebagainya. Meskipun seringkali terjadi pertentangan antara agama dan filsafat,
namun terdapat beberapa tokoh besar yang mengemukakan pandangan filosofis yang
berpijak pada lilsafat agama, seperti Ibnu Sina atau Avicenna (980-1037), Al-Gazali
(1058-1111), dan Ibnu Rush atau Averroes (1126-1198) dari agama Islam, St.
Thomas Aquinas (1225-1214) dari agama Katolik yang dapat dianggap puncak
skolastik Kristen dengan filsafat neothomisme, Laotse dari Tacis di China,
Rabindranat Tagore di India, dan sebagainya. Pokok pendapat aliran ini yakni Tuhan
adalah pencipta alam semesta termasuk manusia sebagai ciptaan tertinggi. Hakikat
manusia ialah kesatuan tubuh dan jiwa, manusia dapat mencapai pengetahuan mutlak
asalkan dengan menggunakan akal dan iman, dan sebagainya (Redja Mudyahardjo,
et. al., 1992: 143). Pendapat-pendapat tersebut ikut mempengaruhi pendidikan,
khususnya tentang hakikat manusia yang diupayakan perwujudannya melalui
pendidikan.
Selanjutnya perlu dikemukakan secara ringkas empat mazhab filsafat
pendidikan yang besar pengaruhnya dalam pemikiran dan penyelenggaraan
pendidikan. Keempat mazhab filsafat pendidikan itu (Redja Mudyahardjo, et. a1.,
1992: 144-150; Wayan Ardhana, 1986: 14-I 8) adalah:
1) Esensialisme
Esensialisme merupakan mazhab filsafat pendidikan yang menerapkan prinsip
idealisme dan realisme secara eklektis. Berdasarkan eklektisisme tersebut maka
esensialisme tersebut menitikberatkan penerapan prinsip idealisme atau realisme
dengan tidak meleburkan prinsip-prinsipnya. Filsafat idealisme memberikan dasar
tinjauan filosofis bagi mata pelajaran sejarah, sedangkan ilmu pengetahuan alam
diajarkan berdasarkan tinjauan yang realistik. Matematika yang sangat
diutamakan idealisme, jrga penting artinya bagi filsafat realisme, karena
matematika adalah alat menghitung penjumlahan dari apa-apa yang riil, materiil,
dan nyata.
Mazhab esensialisme mulai lebih dominan di Eropa sejak adanya
semacam pertentangan di antara para pendidik sehingga mulai timbul pemisahan
antara pelajaran-pelajaran teoretik (liberal arts) yang memerdekakan akal dengan
pelajaran-pelajaran praktek (ptractical arts). Menurut mazhab esensialisme, yang
termasuk the liberal arts, yaitu:
(1) Penguasaan bahasa termasuk retorika
(2) Gramatika.
(3) Kesusasteraan.
(4) Filsafat.
(5) Ilmu kealaman.
(6) Matematika.
(7) Sejarah.
(8) Seni keindahan (fine arts).
Dan untuk sekolah dasar (SD) kurikulumnya berintikan ketiga keterampilan dasar
(basic skills) atau "the Threer's" yakni membaca (reading), menulis (writing) dan
berhitung (arithmatic). Besarnya pengaruh esensialisme, umpama di USA, terlihat
di kampus perguruan tinggi dengan gelar akademik sarjana muda (Bachelor of
Arts atau BA) dalam ilmu apa pun juga haruslah dikeluarkan oleh "the college of
liberat arts" yang berfungsi memberikan pelajaran yang pokok-pokok (essentials)
sesuai dengan perkembangan ilmu pada peradaban modern. Pengembangan
keterampilan intelek itu membebaskan akal (LiberaLizing) karena mengkaji hal-
hal yang melampaui pengalaman pancaindra. Pendidikan yang dikembangkan
pada zaman Belanda di Indonesia didasarkan atas mazhab esensialisme,
sedangkan yang mengembangkan mazhab perenialisme ialah pihak swasta'
2) Perenialisme
Ada persamaan antara perenialisme dan esensialisme, yakni keduanya membela
kurikulum tradisional yang berpusat pada mata pelajaran yang pokok-pokok
(subject centered). Perbedaannya, ialah perenialisme menekankan keabadian teori
kehikmatan, yaitu:
(1) Pengetahuan yang benar (truth).
(2) Keindahan (beauty).
(3) Kecintaan kepada kebaikan (goodness).
Oleh karena itu, dinamakan perenialisme karena kurikulumnya berisi materi yang
konstan atau perenial. Prinsip pendidikan antara lain:
(1) Konsep pendidikan itu bersifat abadi, karena hakikat manusia tak pernah
berubah.
(2) Inti pendidikan haruslah mengembangkan kekhususan makhluk manusia yang
unik, yaitu kemampuan berpikir.
(3) Tujuan belajar ialah mengenal kebenaran abadi dan universal.
(4) Pendidikan merupakan persiapan bagi kehidupan sebenarnya.
(5) Kebenaran abadi itu diajarkan melalui pelajaran-pelajaran dasar (basic
subiects).
Mazhab perenialisme memiliki penganut pada perguruan Indonesia,
karena mengintegrasikan kebenaran agama dengan kebenaran ilmu. Karena
kebenaran itu satu, maka harus ada satu sistem pendidikan yang herlaku umum
dan terbuka kepada umum. Juga sebaiknya kurikulum bersifat wajib dan berlaku
umum, yang harus mencakup:
(1) Bahasa.
(2) Matematika.
(3) Logika.
(4) Ilmu pengetahuan alam.
(5) Sejarah.
3) Pragmatisme dan Progresivisme
Manusia akan mengalami perkembangan apabila berinteraksi dengan
lingkungan sekitarnya berdasarkan pemikiran. Sekolah adalah suatu lingkungan
khusus yang merupakan sambungan dari lingkungan sosial yang lebih umum.
Sekolah merupakan lembaga masyarakat yang bertugas memilih dan
menyederhanakan unsur kebudayaan yang dibutuhkan oleh individu, belajar harus
dilakukan oleh siswa secara aktif dengan cara memecahkan masalah. Guru harus
bertindak sebagai pembimbing atau fasilitator bagi siswa.
Progresivisme atau gerakan pendidikan progresif mengembangkan teori
pendidikan yang mendasarkan diri pada beberapa prinsip, antara lain sebagai
berikut:
(a) Anak harus bebas untuk dapat berkembang secara wajar.
(b) Pengalaman langsung merupakan cara terbaik untuk merangsang minat
belajar.
(c) Guru harus menjadi seorang peneliti dan pembimbing kegiatan belajar.
(d) Sekolah progresif harus merupakan suatu laboratorium untuk melakukan
reformasi pedagogis dan eksperimentasi.
Dengan belajar anak bertumbuh dan berkembang secara utuh. Karena itu, sekolah
tidak mengajar anak, melainkan melaksanakan pendidikan. Pendidikan adalah
untuk dapat hidup sepanjang hayat. Pendidikan bukan persiapan untuk hidup.
Orang dapat belajar dari hidupnya, bahkan kehidupan itu adalah pendidikan bagi
setiap orang.
4) Rekonstruksionisme
Mazhab rekonstruksionisme adalah suatu kelanjutan yang logis dari cara
berpikir progresif dalam pendidikan. Individu tidak hanya belajar tentang
pengalaman-pengalaman kemasyarakatan masa kini di sekolah, tetapi haruslah
memelopori masyarakat ke arah masyarakat baru yang diinginkan. Dengan
demikian, tidak setiap individu dan kelompok akan memecahkan masalah
kemasyarakatan secara sendiri-sendiri sebagai ekses progresivisme.
Oleh karena itu, sekolah perlu mengembangkan suatu ideology
kemasyarakatan yang demokratis. Keunikan mazhab ini ialah teorinya mengenai
peranan guru, yakni sebagai pemimpin dalam metode proyek yang memberi
peranan kepada murid cukup besar dalam proses pendidikan. Namun sebagai
pemimpin penelitian, guru dituntut supaya menguasai sejumlah pengetahuan dan
ilmu esensial demi keterarahan pertumbuhan muridnya.
b. Pancasila Sebagai Landasan Filosofis Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas)
Pasal 2 UU-RI No. 2 Tahun 1989 menetapkan bahwa Pendidikan Nasional
berdasarkan Pancasila dan undang-undang Dasar 1945. Rindan selanjutnya tentang
hal itu tercantum dalam Penjelasan UU-RI No. 2 Tahun 1989, yang menegaskan
bahwa pembangunan nasional termasuk di bidang pendidikan, adalah pengamalan
Pancasila, dan untuk itu pendidikan nasional mengusahakan antara lain:
"Pembentukan manusia Pancasila sebagai manusia pembangunan yang tinggi
kualitasnya dan mampu mandiri" (Undang-undang, 1992: 24). Sedangkan Ketetapan
MPR-RI No. II/MPR/1978 tentang Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila
(P4) menegaskan pula bahwa Pancasila itu adalah jiwa seluruh rakyat indonesia,
kepribadian bangsa Indonesia, pandangan hidup bangsa Indonesia, dan dasar negara
Republik Indonesia. Pancasila sebagai sumber dari segala gagasan mengenai wujud
manusia dan masyarakat yang dianggap baik, sumber dari segala sumber nilai yang
nenjadi pangkal serta muara dari setiap keputusan dan tindakan dalam pendidikan,
dengan kata lain: Pancasila sebagai sumber sistem nilai dalam pendidikan.
P4 atau Ekaprasetya Pancakarsa sebagai petunjuk operasional pengamalan
Pancasila dalam kehidupan sehari-hari, termasuk dalam bidang pendidikan. Perlu
ditegaskan bahwa pengamalan Pancasila itu haruslah dalam arti keseluruhan dan
keutuhan kelima sila dalam Pancasila itu, sebagai yang dirumuskan dalam
Pembukaan UUD 194,5, yakni Ketuhanan Yang Maha Esa, Kemanusiaan yana adil
dan beradab, Persatuan Indonesia, Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat
kebiiaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan, keadilan sosial bagi seluruh
rakyat Indonesia. Dalam Buku Bahan Penataran P4 dikemukakan bahwa Ketetapan
MPR-RI No. XI/MPR/1978 tersebut di atas memberi petunjuk-petunjuk nyata dan
jelas wujud pengamalan kelima sila dari Pancasila. Bagi bidang pendidikan, hal ini
sangar penting karena akan terdapat kepastian nilai yang menjadi pedoman dalam
pelaksanaan pendidikan. Petunjuk pengamalan Pancasila tersebut dapat pula disebut
sebagai 36 butir nilai-nilai Pancasila sebagai berikut:
1) Ketuhanan Yang Maha Esa
(1) Percaya dan takwa kepada Tuhan Yang Maha Esa sesuai dengan agama dan
kepercayaannya masing-masing menurut dasar kemanusiaan yang adil dan
beradab.
(2) Hormat menghormati dan bekerja sama antara pemeluk agama dan pemeluk-
pemeluk kepercayaan yang bertreda-beda sehingga terbina kerukunan hidup.
(3) Saling menghormati kebebasan menjalankan ibadah sesuai dengan agama dan
kepercayaannya.
(4) Tidak memaksakan sesuatu agama dan kepercayaan kepada orang lain.
2) Kemanusiaan yang adil dan beradab
(5) Mengakui persamaan derajat, persamaan hak dan persamaan kewajiban
antara sesama manusia.
(6) Saling mencintai sesama manusia.
(7) Mengembangkan sikap tenggang rasa.
(8) Tidak semena-mena terhadap orang lain.
(9) Menjunjung tinggi nilai kemanusiaan.
(10) Gemar melakukan kegiatan kemanusiaan.
(11) Berani membela kebenaran dan keadilan.
(12) Bangsa Indonesia merasakan dirinya sebagai bagian dari seluruh umat
manusia, karena itu dikembangkan sikap hormat menghormati dan bekerja
sama dengan bangsa lain.
3) Persatuan Indonesia
(13) Menempatkan persatuan, kesatuan, kepentingan, dan keselamatan bangsa dan
negara di atas kepentingan pribadi atau golongan.
(14) Rela berkorban untuk kepentingan bangsa dan negara.
(15) Cinta tanah air dan bangsa
(16) Bangga sebagai bangsa Indonesia dan bertanah air Indonesia,
(17) Memajukan pergaulan demi persatuan dan kesatuan bangsa yang ber-
Bhinneka Tunggal Ika.
4) Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permu
syawaratan/perwakilan
(18) Mengutamakan kepentingan negara dan masyarakat.
(19) Tidak memaksakan kehendaknya kepada orang lain.
(20) Mengutamakan musyawarah dalam mengambil keputusan untuk kepentingan
bersama.
(21) Musyawarah untuk mencapai mufakat diliputi oleh semangat kekeluargaan.
(22) Dengan itikad baik dan rasa tanggung jawab menerima dan melaksanakan
hasil keputusan musyawarah.
(23) Musyawarah dilakukan dengan akal sehat dan sesuai dengan hati nurani yang
luhur.
(24) Keputusan yang diambil harus dapat dipertanggungjawabkan secara moral
kepada Tuhan Yang Maha Esa, menjunjung tinggi harkat dan martabat serta
nilai-nilai kebenaran dan keadilan.
5) Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia
(25) Mengembangkan perbuatan-perbuatan yang luhur, yang mencerminkan sikap
dan suasana kekeluargaan dan bergotong royong.
(26) Bersikap riil.
(27) Menjaga keseimbangan antara hak dan kewajiban.
(28) Menghormati hak-hak orang lain.
(29) Suka memberi pertolongan kepada orang lain.
(30) Menjauhi sikap pemerasan kepada orang lain.
(31) Tidak bersifat boros.
(32) Tidak bergaya hidup mewah.
(33) Tidak melakukan perbuatan yang merugikan kepentingan umum.
(34) Suka bekerja keras.
(35) Menghargai hasil karya orang lain.
(36) Bersama-sama berusaha mewujudkan kemajuan yang merata dan berkeadilan
sosial.
2. Landasan Sosiologis
Manusia selalu hidup berkelompok, sesuatu yang juga terdapat pada makhluk
hidup lainnya, yakni hewan. Meskipun demikian, pengelompokan manusia jauh lebih
rumit dari pengelompokan hewan. Pada hewan, hidup berkelompok memiliki ciri-ciri
(Wayan Ardhana, 1968: Modul 1162) sebagai berikut:
(a) Ada pembagian kerja yang tetap pada anggotanya.
(b) Ada ketergantungan antara anggota.
(c) Ada kerja sarna antara anggota.
(d) Ada komunikasi antara anggota, dan
(e) Ada diskriminasi antarindividu yang hidup dalam suatu kelompok dengan
individu yang hidup dalam kelompok lain.
Ciri-ciri hewan tersebut dapat pula ditemukan pada manusia. Kehidupan
sosial manusia tersebut dipelajari oleh filsafat, yang berusaha mencari hakikat
masyarakat yang sebenarnya. Filsafat sosial sering membedakan manusia sebagai
individu dan manusia sebagai anggota masyarakat. Pandangan aliran-aliran filsafat
tentang realitas sosial itu berbeda-beda, sehingga dapat ditemukan bermacam-macam
aliran filsafat sosial.
Sosiologi lahir dalam abad ke-19 di Eropa, karena pergeseran pandangan
tentang masyarakat, sebagai ilmu empiris yang memperoleh pijakan yang kukuh.
Sosiologi sebagai ilmu yang otonom dapat lahir karena terlepas dari pengaruh filsafat.
Nama sosiologi untuk pertama kali digunakan oleh August Comte (1198- 1857) pada
tahun 1839, sosiologi merupakan ilmu pengetahuan positif yang mempelajari
masyarakat. Sosiologi mempelajari berbagai tindakan sosial yang menjelma dalam
realitas sosial. Mengingat banyaknya realitas sosial maka lahirlah berbagai cabang
sosiologi seperti sosiologi kebudayaan, sosiologi ekonomi, sosiologi agama, sosiologi
pengetahuan, sosiologi pendidikan, dan lain-lain.
a. Pengertian tentang Landasan Sosiologis
Kegiatan pendidikan merupakan suatu proses interaksi antara dua individu,
bahkan dua generasi, yang memungkinkan generasi muda memperkembangkan diri.
Kegiatan pendidikan yang sistematis terjadi di lembaga sekolah yang dengan sengaja
dibentuk oleh masyarakat. Perhatian sosiologi pada kegiatan pendidikan semakin
intensif. Dengan meningkatkan perhatian sosiologi pada kegiatan pendidikan
tersebut, maka lahirlah cabang sosiologi pendidikan.
Sosiologi pendidikan merupakan analisis ilmiah tentang proses sosial dan
pola-pola interaksi sosial di dalam sistem pendidikan. Ruang lingkup yang dipelajari
oleh sosiologi pendidikan meliputi empat bidang:
1) Hubungan sistem pendidikan dengan aspek masyarakat lain, yang mempelajari:
(a) Fungsi pendidikan dalam kebudayaan.
(b) Hubungan sistem pendidikan dan proses kontrol sosial dan sistem kekuasaan.
(c) Fungsi sistem pendidikan dalam memelihara dan mendorong proses sosial dan
perubahan kebudayaan.
(d) Hubungan pendidikan dengan kelas sosial atau sistem status.
(e) Fungsionalisasi sistem pendidikan formal dalam hubungannya dengan ras,
kebudayaan, atau kelompok-kelompok dalam masyarakat.
2) Hubungan kemanusiaan di sekolah yang meliputi:
(a) Sifat kebudayaan sekolah khususnya yang berbeda dengan kebudayaan di luar
sekolah.
(b) Pola interaksi sosial atau struktur masyarakat sekolah.
3) Pengaruh sekolah pada perilaku anggotanya, yang mempelajari:
(a) Peranan sosial guru.
(b) Sifat kepribadian guru.
(c) Pengaruh kepribadian guru terhadap tingkah laku siswa.
(d) Fungsi sekolah dalam sosialisasi anak-anak.
4) Sekolah dalam komunitas yang mempelajari pola interaksi antara sekolah dengan
kelompok sosial lain di dalam komunitasnya, yang meliputi:
(a) pelukisan tentang komunitas seperti tampak dalm pengaruhnya terhadap
organisasi sekolah.
(b) Analisis tentang proses pendidikan seperti tampak terjadi pada sistem sosial
komunitas kaum tidak terpelajar.
(c) Hubungan antara sekolah dan komnnitas dalam fungsi kependidikannya
(d) Faktor-faktor demografi dan ekologi dalam hubungannya dengan organisasi
sekolah.
Keempat bidang yang dipelajari tersebut sangat esensial sebagai sarana untuk
memahami sistem pendidikan dalam kaitannya dengan keseluruhan hidup masyarakat
(Wayan Ardhana, 1986: Modul 1/67).
Kajian sosiologi tentang pendidikan pada prinsipnya mencakup semua jalur
pendidikan, baik pendidikan sekolah maupun pendidikan luar sekolah. Khusus untuk
jalur pendidikan luar sekolah, terutama apabila ditinjau dari sosiologi maka
pendidikan keluarga adalah sangat penting, karena keluarga merupakan lembaga
sosial yang pertama bagi setiap manusia. Proses sosialisasi akan dimulai dari
keluarga, di mana anak mulai mengembangkan diri. Dalam UU-RI No.2 Tahun 1989
Pasal l0 Ayat 4 dinyatakan bahwa "Pendidikan keluarga merupakan bagian dari jalur
pendidikan luar sekolah yang diselenggarakan dalam keluarga dan yang memberikan
keyakinan agama, nilai budaya, nilai moral, dan keterampilan". Perlu pula ditegaskan
bahwa pemerintah mengakui kemandirian keluarga untuk melaksanakan upaya
pendidikan dalam lingkungannya sendiri. Meskipun pendidikan formal telah
mengambil sebagian tugas keluarga dalam mendidik anak, tetapi pengaruh keluarga
tetap penting sebab keluarga merupakan lembaga sosial pertamna yang dikenal oleh
anak. Dalam keluarga dapat ditanamkan nilai dan sikap yang dapat mempengaruhi
perkembangan anak selanjutnya. Perubahan fungsi keluarga, pola hubungan orang tua
dan anak di dalam keluarga, komposisi keanggotaan dalam keluarga, keberadaan
orang rua (hanya bapak/ibu) dalam keluarga, dan perbedaan kelas sosial keluarga
diperkirakan tetap berpengaruh terhadap perkembangan anak (Redja Mudyahardjo.
et. a1.,1992. Modul 5/54).
Selanjutnya, di samping sekolah dan keluarga, proses pendidikan juga sangat
dipengaruhi oleh berbagai kelompok sosial dalam masyarakat, seperti kelompok
keagamaan, organisasi pemuda dan pramuka, dan lain-lain. Terdapat satu kelompok
khusus yang datangnya bukan dari orang dewasa, tetapi dari anak-anak lain yang
hampir seusia, yang disebut kelompok sebaya. Kelompok sebaya ini juga merupakan
agen sosialisasi yang mempunyai pengaruh kuat searah dengan bertambahnya usia
anak. Kelompok sebaya terdiri dari sejumlah individu yang rata-rata usianya hampir
sama yang mempunyai kepentingan tertentu yang bersifat sangat sementara.
Kelompok sebaya bukanlah merupakan lembaga vang bersifat tetap
sebagaimana keluarga. Memang kelompok ini mempunyai semacam organisasi, tetapi
peranan dari setiap anggota kurang jelas dan peranan-peranan itu sering berubah-
ubah. Pada beberapa kelompok sebaya, bahkan tidak jelas siapa sebenarnya yang
menjadi anggota dan siapa yang bukan anggota. Anak-anak selalu pindah dari suatu
kelompok ke kelompok sebaya lainnya sejalan dengan bertambahnya usia anak yang
bersangkutan. Banyak anak menjadi anggota lebih dari satu kelompok dalam waktu
yang bersamaan. Pada suatu saat seorang anak menjadi anggota kelompok sebaya di
kampungnya, di organisasi pemuda, dan atau di sekolah. Di dalam masing-masing
kelompok seorang anak mempunyai status tertentu dan dituntut dari kelompok sebaya
dan adanya kecenderungan setiap anggota kelompok untuk memenuhi ekspektasi itu,
maka dirasakan pengaruh kelompok sebaya menjadi semakin penting. Sebagai
lembaga social, kelompok sebaya tidak mempunyai struktur yang jelas dan tidak
mempunyai tujuan yang bersifat permanen. Tetapi kelompok sebaya dapat
menciptakan solidaritas yang sangat kuat di antara anggota kelompoknya. Terdapat
beberapa hal yang dapat disumbangkan oleh kelompok sebaya dalam proses
sosialisasi anak, antara lain bahwa kelompok sebaya memberikan model, memberikan
identitas, serta memberikan dukungan (suport). Di samping itu, kelompok sebaya
memberikan jalan pada anak untuk lebih independen dan menumbuhkan sikap kerja
sama dan membuka horison anak lebih luas.
Paparan tersebut menyoroti terutama pengaruh masyarakat terhadap
pendidikan, mulai dari keluarga, kelompok sebaya, dan sebagainya. Dari sisi lain,
yang tidak kalah pentingnya adalah pengaruh pendidikan terhadap masyarakat.
Tentang hal ini, terdapat suatu persoalan klasik yang telah dikaji sejak dulu.
Permasalahan dimaksud adalah dalam kaitannya dengan tujuan pendidikan, yakni
yang harus mendapat penekanan: Apakah pendidikan mempersiapkan anak untuk
hidup di dalam masyarakatnya (penekanan pada sosialisasi), atau mempersiapkan
anak untuk merombak/membarui masyarakat (penekanan pada agen pembaruan),
seperti tampak di banyak negara, pendidikan yang diraksanakan pada umumnya tidak
memilih salah satu kutub pendapat tersebut, tetapi diupayakan keimbangan antara
upaya pelestarian dan pengembangan.
b. Masyarakat lndonesia sebagai Landasan Sosiologis Sistem Pendidikan Nasional
(Sisdiknas)
Masyarakat mencakup sekelompok orang yang berinteraksi antarsesamanya, saling
tergantung dan terikat oleh nilai dan norma yang dipatuhi bersama, serta pada
umumnya bertempat tinggal di wilayah tertentu, dan adakalanya mereka mempunyai
hubungan darah atau memiliki kepentingan bersama. Masyarakat dapat merupakan
suatu kesatuan hidup dalam arti luas ataupun dalam arti sempit, seperti masyarakat
bangsa ataupun kesatuan kelompok kekerabatan di suatu desa, dalam suatu marga.
Masyarakat dalam arti luas pada umumnya lebih abstrak apabila dibandingkan
dengan masyarakat dalam arti sempit. Masyarakat sebagai kesatuan hidup memiliki
ciri utama antara lain:
(a) Ada interaksi antara warga-warganya.
(b) Pola tingkah laku warganya diatur oleh adat istiadat, norma-norma, hukum, dan
aturan-aturan yang khas.
(c) Ada rasa identitas kuat yang mengikat pada warganya. Kesatuan wilayah,
kesatuan adat-istiadat, rasa identitas, dan rasa loyalitas terhadap kelompoknya
merupakan pangkal dari perasaan bangga sebagai patriotisme, nasionarisme, jiwa
korps, dan kesetiakawanan sosial dan lain-lain (Wayan Ardhana, 1986: Modul
1/70).
Masyarakat Indonesia mempunyai perjalanan sejarah yan, panjang, bahkan
telah dimulai pada zaman prasejarah, zaman kerajaan nusantara, zaman penjajahan,
sampai zaman kemerdekaan sekarang ini. Dari dulu hingga kini, ciri yang menonjol
dari masyarakat Indonesia adalah, sebagai masyarakat majemuk (dari segi suku
bangsa, adat istiadat, kebudayaan, agama, dan lain-lain) yang tersebar di ribuan pulau
di nusantara. Melalui perjalanan yang panjang, masyarakat yan bhinneka tersebut
akhirnya mencapai satu kesatuan politik untuk mendirikan satu negara serta berusaha
mewujudkan satu masyarakat Indonesia sebagai masyarakat yang bhinneka tunggal
ika. Sampai saat ini, masyarakat Indonesia masih ditandai oleh dua ciri yang unik,
yakni:
(1) Secara horizontal ditandai oleh adanya kesatuan-kesatuan sosial atau komunitas
berdasarkan perbedaan suku, agama, adat-istiadat, dan kedaerahan.
(2) Secara vertikal ditandai oleh adanya perbedaan pola kehidupan antara lapisan
atas, menengah, dan lapisan rendah.
Pada zaman penjajahan sifat dasar masyarakat Indonesia yang menonjol
adalah:
(a) Terjadi segmentasi ke dalam bentuk kelompok sosial atau golongan sosial jajahan
yang seringkali memiliki sub-kebudayaan sendiri.
(b) Memiliki struktur sosial yang terbagi-bagi
(c) Seringkali anggota masyarakat atau kelompok tidak mengembangkan konsensus
di antara mereka terhadap nilai-nilai yang bersifat mendasar
(d) Di antara kelompok, relatif seringkali mengalami konflik-konflik.
(e) Terdapat saling ketergantungan di bidang ekonomi
(f) Adanya dominasi politik oleh suatu kelompok atas kelompok-kelompok sosial
yang lain.
(g) Secara relatif integrasi sosial sukar dapat tumbuh (Wayan Arhdana, 1986: Modul
1/70.)
Masyarakat Indonesia setelah kemerdekaan, utamanya pada zaman
pemerintahan orde Baru, telah mengalami banyak perubahan. Sebagai masyarakat
majemuk, maka komunitas dengan ciri-ciri unik baik secara horizontal maupun
vertikal masih dapat ditemukan; demikian pula halnya dengan sifat-sifat dasar dari
zaman penjajahan belum terhapus seluruhnya. Namun dengan niat politik yang kuat
menjadi suatu masyarakat bangsa Indonesia serta dengan kemajuan dalam berbagai
bidang pembangunan, utamanya dalam pendidikan politik, maka sisi ketunggalan dari
"bhinneka tunggal ika" makin mencuat. Berbagai upaya yang dilakukan, baik melalui
kegiatan jalur sekolah (umpamanya dengan mata pelajaran pendidikan moral
Pancasila, pendidikan sejarah perjuangan bangsa, dan lain-lain), maupun jalur
pendidikan luar sekolah (penataran P4, pemasyarak atan P4 nonpenataran, dan lain-
lain), telah mulai menumbuhkan benih-benih persatuan dan kesatuan yang semakin
kukuh. Berbagai upaya tersebut dilaksanakan dengan tidak mengabaikan kenyataan
tentang kemajemukan masyarakat Indonesia. Hal terakhir tersebut kini makin
mendapat perhatian yang semestinya dengan antara lain dimasukkannya muatan lokal
di dalam kurikulum sekolah. Muatan lokal yang didasarkan pada kebhinnekaan
masyarakat Indonesia itu telah dikukuhkan dalam UU-RI No. 2 Tahun 1989 Pasal 37
dan Pasal 38, PP-RI No. 28 Tahun 1990 Pasal 14 Ayat 3 dan 4. Perlu ditegaskan
bahwa muatan lokal di dalam kurikulum tidak dimaksudkan sebagai upaya
membentuk "manusia lokal", akan tetapi haruslah dirancang dan dilaksanakan dalam
rangka mewujudkan "manusia Indonesia" di suatu "lokal" tertentu. Dengan demikian
akan dapat diwujudkan manusia Indonesia dengan wawasan nusantara dan berjiwa
nasional akan tetapi yang memahami dan menyatu dengan lingkungan (alam, sosial,
dan budaya) di sekitarnya.
3. Landasan Kultural
Pendidikan selalu terkait dengan manusia, sedang setiap manusia selalu
menjadi anggota masyarakat dan pendukung kebudayaan tertentu. Oleh karena itu,
dalam UU-RI No.2 Tahun 1989 Pasal I Ayat 2 ditegaskan bahwa yang dimaksudkan
dengan Sistem Pendidikan Nasional adalah pendidikan yang berakar pada
kebudayaan bangsa Indonesia dan yang berdasarkan pada Pancasila dan UUD 1945.
Kebudayaan dan pendidikan mempunyai hubungan timbal balik, sebab kebudayaan
dapat dilestarikan/dikembangkan dengan jalan mewariskan kebudayaan dari generasi
ke generasi penerus dengan jalan pendidikan, baik secara informal maupun secara
formal. Sebaliknya bentuk, ciri-ciri, dan pelaksanaan pendidikan itu ikut ditentukan
oleh kebudayaan masyarakat di mana proses pendidikan itu berlangsung.
Dimaksudkan dengan kebudayaan adalah hasil cipta dan karya manusia berupa
norma-norma, nilai-nilai, kepercayaan, tingkah laku, dan teknologi yang dipelajari
dan dimiliki oleh semua anggota masyarakat tertentu.
a. Pengertian tentang landasan Kultural
Kebudayaan sebagai gagasan dan karya manusia beserta hasil budi dan karya
itu akan selalu terkait dengan pendidikan, utamanya belajar. Kebudayaan dalam arti
luas tersebut dapat berwujud:
(1) Ideal seperti ide, gagasan, nilai, dan sebagainya.
(2) Kelakuan berpola dari manusia dalam masyarakat, dan
(3) Fisik yakni benda hasil karya manusia (Koentjaraningrat, 1975 l5-22).
Kebudayaan dapat dibentuk, dilestarikan, atau dikembangkan karena dan
melalui pendidikan. Baik kebudayaan yang berwujud ideal, atau kelakuan dan
teknologi, dapat diwujudkan melalui proses pendidikan. Sebagai contoh dalam
penggunaan bahasa, setiap masyarakat dapat dikatakan mengajarkan kepada anak-
anak untuk mengatakan sesuatu, kapan hal itu dapat dikatakan, bagaimana
mengatakannya, dan kepada siapa mengatakannya. Contoh lain, setiap masyarakat
mempunyai persamaan dan perbedaan dalam berpakaian. Dalam kaitan dengan
pakaian, anak harus mempelajari dari anggota masyarakat yang lain tentang cara
menggunakan pakaian tertentu dari dalam peristiwa apa pakaian tertentu dapat
dipakai. Dengan mempelajari tingkah laku yang dapat diterima dan kemudian
menerapkan sebagai tingkah lakunya sendiri menjadikan anak sebagai anggota
masyarakat. Oleh sebab itu, anak-anak harus diajarkan pola-pola tingkah laku yang
sesuai dengan norma-norma yang berlaku di dalam masyarakat. Dengan kata lain,
fungsi pokok setiap system pendidikan adalah untuk mengajarkan anak-anak pola-
pola tingkah laku yang esensial tersebut (Redja Mudyahardjo, 1992: 45).
Cara-cara untuk mewariskan kebudayaan, khususnya mengajarkan tingkah
laku kepada generasi baru, berbeda dari masyarakat ke masyarakat. Pada dasarnya
ada tiga cara umum yang dapat diidentifikasikan, yaitu informal, nonformal, dan
formal. Cara informal terjadi di dalam keluarga, dan nonformal dalam mas.yarakat
yang berkelanjutan dan berlangsung dalam kehidupan sehari-hari. Sedangkan cara
formal melibatkan lembaga khusus yang dibentuk untuk tujuan pendidikan.
Pendidikan formal tersebut dirancang untuk mengarahkan perkembangan tingkah
laku anak didik. Kalau masyarakat hanya mentransmisi kebudayaan yang mereka
miliki kepada generasi penerus maka tidak akan diperoleh kemajuan. Oleh sebab itu,
anggota masyarakat tersebut berusaha melakukan perubahan-perubahan yang
disesuaikan dengan kondisi baru sehingga terbentuklah pola tingkah laku, nilai-nilai,
dan norma-norma baru yang sesuai dengan tuntutan perkembangan masyarakat.
Usaha-usaha menuju pola tingkah laku, norma-norma, dan nilai-nilai baru ini disebut
transformasi kebudayaan. Lembaga sosial yang lazim digunakan sebagai alat
transmisi dan transformasi kebudayaan adalah lembaga pendidikan, utamanya
sekolah dan keluarga.
Pada masyarakat primitif, transmisi kebudayaan dilakukan secara informal
dan nonformal, sedangkan pada masyarakat yang telah maju transmisi kebudayaan
dilakukan secara informal, nonformal, dan formal. Pemindahan kebudayaan secara
formai ini melalui lembaga-lembaga sosial, utamanya sekolah. Pada masyarakat yang
sudah maju, sekolah sebagai lernbaga sosial mempunyai peranan yang sangat penting
sebab pendidikan tidak hanya berfungsi untuk mentransmisi kebudayaan kepada
generasi penerus, tetapi pendidikan juga berfungsi untuk mentransformasikan
kebudayaan agar sesuai dengan perkembangan dan tujuan zaman. Dengan kata lain,
sekolah secara seimbang melaksanakan fungsi ganda pendidikan, yakni sebagai
proses sosialisasi dan sebagai agen pembaruan. Perlu dikemukakan bahwa dalam
bidang pendidikan, kedua fungsi tersebut kadang-kadang dipertentangkan, antara
penganut pendidikan sebagai pelestarian (teaching a conserving activity) dan
penganut pendidikan sebagai pembaruan (teaching as a subversive activity) yang
pertama mengutamakan sosialisasi, bahkan kalau perlu domestikasi, sedangkan yang
kedua mengutamakan pengembangan atau agen pembaruan.
Seperti diketahui, pendidikan di Indonesia tidak memihak salah satu kutub
pendapat tersebut, akan tetapi mengutamakan keseimbangan, keserasian, dan
keselarasan antara aspek pelestarian nilai-nilai luhur sosial-kebudayaan dan aspek
pengembangan agar tetap jaya (Sulo Lipu La Sulo, 1990: 20-21). Hal itu semakin
penting apabila diingat bahwa kemajuan teknologi komunikasi telah menyebabkan
datangnya pengaruh kebudayaan dari luar semakin deras.
b. Kebudayaan Nasional Sebagai L-Andasan Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas)
Seperti telah dikemukakan, yang dimaksud dengan sisdiknas adalah
pendidikan yang berakar pada kebudayaan bangsa Indonesia. (UU-RI No. 2/1989)
Pasal 1 Ayat 2. Karena masyarakat Indonesia sebagai pendukung kebudayaan itu
adalah masyarakat yang majemuk, maka kebudayaan bangsa Indonesia tersebut lebih
tepat disebut sebagai kebudayaan Nusantara yang beragam. Puncak-puncak
kebudayaan Nusantara itu dan yang diterima secara nasional disebut kebudayaan
nasional. Oleh karena itu kebudayaan nasional haruslah dipandang dalam latar
perkembangan yang dinamis seiring dengan semakin kukuhnya persatuan dan
kesatuan bangsa Indonesia sesuai dengan asas bhinneka tunggal ika.
Pada awal perkembangannya, suatu kebudayaan terbentuk berkat kemampuan
manusia mengatasi kehidupan alamiahnya dan kesengajaan manusia menciptakan
lingkungan yang cocok bagi kehidupannya. Setiap individu yang lahir selalu
memasuki lingkungan kebudayaan dan lingkungan alamiah itu, dan menghadapi dua
sistem sekaligus yaitu sistem kebudayaan dan sistem lingkungan alam. Individu
dalam masyarakat modern sangat dipengaruhi oleh besar dan kompleksnya kehidupan
masyarakat modern dan kecanggihan kebudayaannya. Ini berarti bahwa individu
hanya dapat hidup dalam masyarakat atau kebudayaan modern, apabila ia mau dan
mampu belajar terus-menerus.
Salah satu upaya penyesuaian pendidikan jalur sekolah dengan keragaman
latar belakang sosial budaya di Indonesia adalah dengan memberlakukan muatan
lokal di dalam kurikulum sekolah, utamanya di sekolah dasar (SD). Kebijakan ini
bukan hal baru, karena gagasannya telah diberlakukan sejak dulu, umpamanya
dengan pengajaran bahasa daerah dan atau penggunaan bahasa daerah di dalam
proses belajar-mengajar.
Keragaman sosial budaya tersebut terwujud dalam keragaman adat istiadat,
tata cara, dan tata krama pergaulan, kesenian, bahasa dan sastra daerah, maupun
kemahiran dan keterampilan yang tumbuh dan terpelihara di suatu daerah tertentu.
Keanekaragaman itu sejak awal kemerdekaan telah mencoraki kurikulum sekolah,
utamanya sekolah dasar, dengan berbagai variasi yakni mulai sebagai mata pelajaran
(umpama bahasa daerah), ataupun sebagai bagian dari bahan ajaran dan atau cara
penyampaiannya. Pelestarian dan pengembangan kekayaan yang unik dari setiap
daerah itu melalui upaya pendidikan sebagai wujud dari kebhinnekaan masyarakat
dan bangsa Indonesia. Hal ini haruslah dilaksanakan dalam kerangka pemantapan
kesatuan dan persatuan bangsa dan Negara Indonesia sebagai sisi ketunggalika-an.
Beberapa tahun terakhir ini, makin kuat pendapat bahwa pendidikan
seharusnya lebih diupayakan agar lebih menjamin adanya rasa keterikatan antara
peserta didik dengan lingkungannya. Peserta didik diharapkan tidak hanya mengenal
lingkungannya (alam, sosial, dan budaya) akan tetapi jrga ntau dan mampu
mengembangkannya. oleh karena itu, sebagai contoh, muatan lokal dalam kurikulum
tidak hanya sekadar meneruskan minat akan kemahiran yang ada di daerah tertentu,
tetapi juga serentak memperbaiki/meningkatkannya sesuai dengan perkembangan
iptek/seni, dan atau kebutuhan masyarakat. Dengan demikian, kurikulum ikut
memutakhirkan kemahiran lokal (mengukir, melukis, menenun, menganyam, dan
sebagainya) sehingga sesuai dengan kemajuan zaman dan serentak dengan itu,
membuka peluang tersedianya lapangan kerja bagi peserta didik yang bersangkutan
(umpama bidang kerajinan) dengan memanfaatkan sumber-suntber yang tersedia di
lingkungannya.
4. Landasan Psikologis
Pendidikan selalu melibatkan aspek kejiwaan manusia, sehingga landasan
psikologis merupakan salah satu landasan yang penting dalam bidang pendidikan.
Pada umumnya landasan psikologis dari pendidikan tersebut terutama tertuju pada
pemahaman manusia, khususnya tentang proses perkembangan dan proses belajar.
Terdapat beberapa pandangan tentang hakikat manusia ditinjau dari segi psikologis
dalam kaitannya dengan pendidikan, yakni strategi disposisional, strategi behavioral,
dan strategi phenomenologis/humanistik. Strategi disposisional, terutama pandangan
konstitusional dari Kretschmer dan Sheldon, memberikan tekanan pada peranan
faktor hereditas dalam perkembangan manusia. Pada strategi behavioral dan strategi
phenomenologis ditekankan peranan faktor belajar dalam perkembangan tersebut,
akan tetapi keduanya mempunyai pandangan yang berbeda tentang bagaimana proses
belajar itu terjadi. Perbedaan itu terjadi karena adanya "two models of man" (istilah
dari William D. Hitt, 1969) yang menyebabkan terjadinya "Lockean and Leibnitzian
tradition" (istllah dari G.W. Allport). Bagi tradisi ala J. Locke (Lockean Tradition)
pengetahuan berasal dari stimulasi eksternal sehingga manusia adalah penerima dan
pelanjut informasi (a receiver and transmitter of information); sedang tradisi ala G.
Leibnitz (Leibnitzian Tradition) berpendapat bahwa pengetahuan dihasilkan dari
dalam, manusia sebagai pembangkit atau generator informasi (is derived from within,
man is a generator of information). Strategi behavioral yang bertolak dari "Lockean
tradition" memandang manusia terutama sebagai makhluk pasif yang tergantung pada
pengaruh lingkungannya; pandangan ini antara lain tampak pada B.F. Skinner dengan
"A Scientific Psychology"nya. Strategi phenomenologis bertolak dari "Leibnitzian
tradition" yang memandang manusia sebagai makhluk aktif yang mampu beraksi dan
melakukan pilihan-pilihan sendiri; pandangan ini tampak pada "A Humanistik
Psychology" dari Carl R. Rogers. Dalam kenyataannya, manusia bukan hanya
"receiver and transmitter of information" tetapi juga "generator of information" (Sulo
Lipu La Sulo, 1981: 40-41). Perbedaan pandangan tentang hakikat manusia ditinjau
dari segi psikoedukatif tersebut antara lain tampak dalam perbedaan pandangan
tentang teori-teori belajar, faktor-faktor penentu perkembangan manusia, dan
sebagainya. Perbedaan pandangan tersebut dapat berdampak pula dalam pandangan
tentang pendidikan.
a. Pengertian tentang Landasan Psikologis
Pemahaman peserta didik, utamanya yang berkaitan dengan aspek kejiwaan,
merupakan salah satu kunci keberhasilan pendidikan. Oleh karena itu, hasil kajian
dan penemuan psikologis sangat diperlukan penerapannya dalam bidang pendidikan,
umpama pengetahuan tentang aspek-aspek pribadi, urutan, dan ciri-ciri pertumbuhan
setiap aspek, dan konsep tentang cara-cara paling tepat untuk mengembangkannya.
Untuk maksud itu psikologi menyediakan sejumlah informasi tentang kehidupan
pribadi manusia pada umumnya serta gejala-gejala yang berkaitan dengan aspek
pribadi. Individu memiliki bakat, kemampuan, minat, kekuatan serta tempo, dan
irama perkembangan yang berbeda satu dengan yang lain. Sangat sukar untuk
diharapkan sama, terlebih-lebih apabila mempunyai pengalaman hidup yang berbeda.
Sebagai implikasinya pendidik tidak mungkin memperlakukan sama kepada setiap
peserta didik, sekalipun mereka mungkin memiliki beberapa kesamaan. Penyusun
kurikulum perlu berhati-hati dalam menentukan jenjang pengalaman belajar yang
akan dijadikan garis-garis besar program pengajaran serta tingkat keterincian bahan
belajar yang digariskan.
Perbedaan individual terjadi karena adanya perbedaan berbagai aspek
kejiwaan antarpeserta didik, bukan hanya yang berkaitan dengan kecerdasan dan
bakat, tetapi juga perbedaan pengalaman dan tingkat perkembangan, perbedaan
aspirasi dan cita-cita, bahkan perbedaan kepribadian secara keseluruhan. Oleh karena
itu, pemahaman hal-hal tersebut akan sangat penting bagi pendidikan bukan hanya
tentang ciri-ciri perbedaannya, tetapi juga perkembangan dan faktor-faktor
penyebabnya, bagaimana cara-cara penanganannya, dan sebagainya. Salah satu yang
banyak mendapat perhatian adalah perbedaan kepribadian antarpeserta didik pada
khususnya, manusia pada umumnya. Perlu ditekankan bahwa kepribadian itu unik.
Keunikan itu bukan hanya karena perbedaan potensial, tetapi juga perbedaan dalam
perkembangannya karena pengaruh sekitarnya. Oleh karena itu, pemahaman
perkembangan kepribadian akan sangat bermanfaat untuk pendidikan, utarrlanya
dalam membantu setiap peserta didik mengembangkan kepri-badiannya. Seperti telah
dikemukakan bahwa salah satu tujuan pendidikan adalah terbentuknya kepribadian
yang mantap dan mandiri.
Manusia dilahirkan dengan sejumlah kebutuhan yang harus dipenuhi dan
potensi yang harus dikembangkan. Dalam upaya memenuhi kebutuhannya itu maka
manusia berinteraksi dengan lingkungannya. Interaksi dengan lingkungannya itu akan
menyebabkan manusia mengembangkan kemampuannya melalui proses belajar.
Semakin kuat motif sebagai upaya pemenuhan kebutuhan itu, semakin kuat pula
proses belajar yang terjadi, dan pada gilirannya, akan semakin tinggi hasil belajar
yang dapat dicapainya. Berbagai pendapat tentang motivasi tersebut sangat
didominasi oleh konsep-konsep nafsu dan atau kebutuhan. S. Freud menekankan
peranan nafsu (drive) terhadap perilaku manusia, baik nafsu hidup (libido) maupun
nafsu mati atau nafsu agresif (thanatos). Bahkan teori Freud tersebut tidak sekadar
teori motivasi, tetapi telah diakui sebagai teori kepribadian (Sulo Lipu La Sulo, l98l:
l0-18). Selanjutnya, contoh lain, A. Maslow mengemukakan kategorisasi kebutuhan-
kebutuhan menjadi enam kelompok, mulai dari yang paling sederhana dan mendasar
meliputi:
1) Kebutuhan fisiologis: Kebutuhan untuk mempertahankan hidup (makan, tidur,
istirahat, dan sebagainya).
2) Kebutuhan rasa aman: Kebutuhan untuk secara terus-menerus merasa aman dan
bebas dari ketakutan.
3) Kebutuhan akan cinta dan pengakuan: Kebutuhan berkaitan dengan kasih sayang
dan cinta dalam kelompok dan dilindungi oleh orang lain.
4) Kebutuhan harga diri (esteem needs): Kebutuhan berkaitan dengan perolehan
pengakuan oleh orang lain sebagai orang yang berkehendak baik.
5) Kebutuhan untuk akrualisasi dirr: Kebutuhan untuk dapat melakukan sesuatu dan
mewujudkan potensi-potensi yang dimiliki (menyatakan pendapat, perasaan, dan
sebagainya).
6) Kebutuhan untuk mengetahui dan memahami: Kebutuhan yang berkaitan dengan
penguasaan iptek.
Menurut Maslow kebutuhan yang paling utama adarah kebutuhan fisiologis,
dan individu diharapkan dapat memenuhi kebutuhan ini sebelum mengejar kebutuhan
akan rasa aman. Demikian juga untuk kebutuhan-kebutuhan berikutnya. Kebutuhan
yang lebih rendah merupakan prasyarat bagi pemuasan kebutuhan berikutnya yang
lebih tinggi. Pemuasan kebutuhan tingkat terendah hingga yang keempat sangat
dipengaruhi oleh orang lain, sedangkan yang terakhir sangat ditentukan oleh diri
sendiri. Dengan demikian, karena belajar pada dasarnya merupakan usaha untuk
memenuhi kebutuhan tingkat tinggi, maka pemenuhannya sangat ditentukan oleh diri
pelajar dan mempersyaratkan adanya rasa aman dan seterusnya yang lebih rendah
(Wayan Ardhana, 1986: Modul l/45).
Kajian psikologis yang erat hubungannya dengan pendidikan adalah yang
berkaitan dengan kecerdasan, berpikir, dan belajar. Kecerdasan umum (inteligensi)
ataupun kecerdasan dalam bidang tertentu (bakat) banyak dipengaruhi oleh
kemampuan potensial; namun kemampuan potensial itu hanya akan aktual apabila
dikembangkan dalam situasi yang kondusif. Kecerdasan aktual terbentuk karena
adanya pengalaman. Jean Piaget berpendapat bahwa kecerdasan merupakan
internalisasi pengalaman. Pembentukan kecerdasan dapat dilakukan dengan
menciptakan kondisi lingkungan, kesempatan, dan iklim emosi yang memungkinkan
individu untuk memperoleh pengalaman tertentu. Dengan demikian semakin baik
kondisi-kondisi yang dimiliki individu, akan semakin meningkat kecerdasan individu
untuk rnemperoleh pengalaman tertentu tersebut. Penelitian terhadap bayi kembar
identik (bayi kombar yang memiliki potensi bawaan yang relatif sama) yang
kemudian diadakan pemisahan dan pembedaan kondisi ternyata akhirnya terdapat
perbedaan indeks kecerdasannya. Indeks kecerdasan, yang sering dikenal dengan
sebutan IQ, dapat diukur dengan tes-tes kecerdasan (Wayan Ardhana, 1986: Modul
1/46). Pengembangan kecerdasan itu akan terwujud dalam berbagai bentuk
kemampuan berpikir, baik berpikir konvergen dan divergen, maupun berpikir intuitif
dan reflektifl Berpikir konvergen (memusat) utama bersifat logis-konvensional,
sedangkan berpikir divergen (memencar) terutama bersifat inovatif-kreatif. Berpikir
reflektif dapat dipakai untuk memecahkan masalah. Dewey (1910, dari Wayan
Ardhana 1986: Modul l/47) mengajukan lima langkah pokok untuk memecahkan
masalah:
(1) Menyadari dan merumuskan suatu kesulitan.
(2) Mengumpulkan informasi yang relevan.
(3) Merakit dan mengklasifikasi data sefta merumuskan hipotesis-hipotesis.
(4) Menerima atau menolak hipotesis tentatif.
(5) Merumuskan kesimpulan dan mengadakan evaluasi.
Sedangkan James Conant (1951, dari Wayan Ardhana 1986: Modul 1/47)
mengajukan 6 langkah dalam pemecahan masalah:
(1) Menyadari dan merumuskan sesuatu.
(2) Mengumpulkan informasi yang relevan.
(3) Merumuskan hiPotesis.
(4) Mengadakan proses deduksi dari hipotesis.
(5) Menguji hipotesis dalam situasi aktual.
(6) Menerima, mengubah atau menolak hipotesis.
b. Perkembangan Peserta Didik sebagai Landasan Psikologis
Peserta didik selalu berada dalam proses perubahan, baik karena pertumbuhan
maupun karena perkembangan. Pertumbuhan terutanta karena pengaruh faktor
internal sebagai akibat kematangan dan proses pendewasaan, sedangkan
perkembangan terutama karena pengaruh lingkungan. Sebagai contoh pertumbuhan
adalah dorongan untuk berbicara karena kematangan organ bicara pada usia 1-2
tahun, sedangkan penggunaan bahasa tertentu dalam berbicara tergantung pada
lingkungannya sebagai akibat perkembangan.
Kedua hal tersebut sebenarnya hanya dapat dibedakan namun tak dapat
dipisahkan, karena itu perubahan peserta didik tersebut dapat disebut sebagai tumbuh-
kembang manusia. Tumbuh-kembang manusia itu dipengaruhi oleh berbagai faktor,
yakni faktor keturunan (hereditas), faktor lingkungan, faktor proses perkembangan itu
sendiri, serta hal-hal lain sebagai anugerah.
Perkembangan manusia berlangsung sejak konsepsi (pertemuan ovum dan
sperma) sampai saat kematian, sebagai perubahan maju (progresif) ataupun kadang-
kadang kemunduran (regresif). Tumbuh-kembang manusia sepanjang hidupya sering
dikelompokkan menjadi beberapa periode, umpamanya: Masa prenatal (sebelum
lahir) dan postnatal (sesudah lahir) yang meliputi masa bayi, masa kanak-kanak, masa
anak sekolah, masa remaja, masa dewasa, masa kemunduran, dan masa ketuaan. Di
samping periode perkembangan yang bersifat menyeluruh, terdapat pula berbagai
pendapat tentang perkembangan berbagai aspek kejiwaan manusia, seperti: Bahasa,
kognitif, moral, sosial, dan sebagainya. Pemahaman tumbuh-kembang manusia itu
sangat penting sebagai bekal dasar untuk memahami peserta didik dan untuk
menentukan keputusan dan atau tindakan yang tepat dalam membantu proses
tumbuh-kembang itu secara efisien dan efektif. Salah satu aspek dari pengembangan
manusia seutuhnya adalah yang berkaitan dengan perkembangan kepribadian,
utamanya agar dapat diwujudkan kepribadian yang mantap dan mandiri. Meskipun
terdapat variasi pendapat, namun dapat dikemukakan beberapa prinsip umum
perkembangan kepribadian. Disebut sebagai prinsip-prinsip umum karena:
(1) Prinsip itu mungkin dirumuskan dengan variasi tertentu dalam berbagai teori
kepribadian.
(2) Prinsip itu akan tampak bervariasi pada kepribadian manusia tertentu (sebab:
kepribadian itu unik).
Salah satu prinsip perkembangan kepribadian ialah bahwa perkembangan
kepribadian mencakup aspek behavioral maupun aspek motivasional: dengan
perkembangan kepribadian, bukan hanya perubahan dari tingkah laku yang tampak,
tetapi juga perubahan dari yang mendotong tingkah laku itu. Kepribadian itu selalu
diartikan sebagai sistem psikofisik, sehingga perkembangan kepribadian haruslah
dipandang sebagai perkembangan sistem psikofisik tersebut. Oleh karena itu, cara
menyikapi dan memperlakukan siswa haruslah sebagai manusia dalam proses
perkembangan kepribadiannya, yang akan beraksi dengan keutuhan pribadinya.
Wawasan tersebut berpangkal pada pandangan bahwa kepribadian itu memiliki suatu
struktur yang utuh dan dinamis.
Prinsip kedua dari perkembangan kepribadian adalah bahwa kepribadian
mengalami perkembangan yang menerus dan tidak terputus-putus, meskipun pada
suatu periode teftentu akan mengalami perkembangan yang cepat dibandingkan
dengan periode lainnya. Di samping itu, hasil perkembangan piida periode tertentu
akan menjadi landasan bagi perkembangan periode berikutnya. Dalam hubungan
dengan prinsip ini, perlu ditekankan lagi tentang pentingnya periode lima tahun
pertama dari hidup manusia (bawah lima tahun atau balita). Freud mengemukakan
bahwa struktur kepribadian telah terbentuk pada akhir tahun kelima, bahkan Lewin
berpendapat bahwa tiga tahun pertama merupakan masa perkembangan kepribadian
yang cepat dan penting, sedang Hsu menunjuk betapa pentingnya masa ini (balita)
dalam penentuan lingkungan hubungan karib (intim) yang penting artinya bagi
kehidupan manusia (Sulo Lipu La Sulo, l98l:39). Hal ini membuktikan pentingnya
pendidikan informal di keluarga serta pendidikan prasekolah. Sedang bagi guru di
sekolah, hal ini berarti bahwa demi pemahaman kepribadian siswa tertentu diperlukan
keria sama yang erat dengan orang tua siswa yang bersangkutan, dan dengan
demikian dapat membantu perkembangan kepribadian siswa yang bersangkutan atas
dasar hasil perkembangan yang telah terjadi di keluarga.
Perkembangan kepribadian, di samping faktor keluarga yang telah
dikemukakan di atas, juga dipengaruhi oleh faktor hereditas (seperti keadaan fisik,
inteligensi, temperamen, dan sebagainya), dan faktor sosial budaya di luar lingkungan
keluarga. Alexander dengan tegas mengemukakan tiga faktor utama yang bekerja
dalam menentukan pola kepribadian seseorang yakni:
(1) Bekal hereditas individu.
(2) Pengalaman awal di keluarga.
(3) Peristiwa penting dalam hidupnya di luar lingkungan keluarga (Hurlock,
1974:19).
Dengan demikian, dari potensi hereditas, perkembangan kepribadian akan
berlangsung atas dasar kerja sama antara proses maturasi (pendewasaan) sebagai
pengaruh faktor-faktor pertumbuhan di dalam diri (intern) manusia, dengan proses
belajar sebagai pengalaman-pengalaman yang dijumpai manusia dalam hidupnya.
Terdapat dua hal tentang kepribadian yang penting ditinjau dari konteks
perkembangan kepribadian, yakni:
(1) Terintegrasinya seluruh komponen kepribadian ke dalam struktur yang
terorganisir secara sistemik.
(2) Terjadinya pola-pola tingkah laku yang konsisten dalam menghadapi
lingkungannya.
Kedua hal tersebut mempunyai saling hubungan yang erat sekali. Yang
pertama erat kaitannya dengan konsep Ego (Freud), Proprium (Allport), dan Jen
(Hsu), maupun dengan Self (W. James), dan Self System (Sullivan) yang merupakan
inti (core) dari kepribadian (Sulo Lipu La Sulo, l98l: 41). Seperti diketahui, pada
masa bayi belum jelas pemisahan antara "aku" dengan yang lain, dan secara
berangsur-angsur konsep "aku" mulai tumbuh dan berkembang. Perkembangan
konsep "aku" tersebut dipengaruhi berbagai faktor: keadaan fisik, proses maturasi,
harapan-harapan orang tua, sikap anggota keluarga terhadap anak, masalah personal
dan ekonomi keluarga, lingkungan sekolah dan teman sebaya, dan sebagainya.
Kesemuanya itu akan menumbuhkan persepsi, konsepsi, dan sikap anak terhadap
dirinya sendiri, semua itu menentukan “Konsep dirinya” (self concept). Dan pada
gilirannya kelak, konsep diri tersebut akan mempengaruhi pola-pola tingkah lakunya.
Dengan demikian akan sangat besar pengaruhnya terhadap perkembangan
kepribadian anak apabila dapat ditumbuhkan sikap positif tentang dirinya sendiri.
Memahami dan dapat menerima dirinya sebagaimana mestinya. Kalau guru dalam
suatu komunikasi antarpribadi dengan siswanya dapat menumbuhkan sikap "you're
O.K." maka secara berangsur-angsur siswa akan bersikap "I'm O.K." terhadap dirinya
sendiri, dan pada gilirannya nanti akan bersikap "You're O.K." terhadap orang lain.
Berbagai faktor yang ikut mempengaruhi terbentuknya konsep diri (self-concept)
pada anak dan dengan demikian mempengaruhi perkembangan kepribadiannya,
digambarkan secara skematis oleh Crow dan Crow seperti pada Bagan 3.1.
Bagan 3.1
Berbagai Pengaruh dalam Pembentukan Konsep Diri (Self Concept)(L.D. Crow dan A. Crow, 1962, Child Development and Adjustment, dikutip dari Hurlock, 1974:20).
Dari Bagan 3.1 ternyata terdapat sejumlah faktor yang ikut mempengaruhi
pembentukan "konsep diri" diri anak, dan dengan demikian ikut mempengaruhi
perkembangan kepribadian anak. Yang akan disoroti secara khusus adalah yang
berkaitan dengan faktor yang berhubungan dengan sekolah (termasuk guru). Perlu
ditekankan bahwa sesudah keluarga, sekolah merupakan lembaga yang paling besar
pengaruhnya terhadap perkembangan kepribadian; bahkan sesudah orang tua, gurulah
yang paling besar pengaruhnya terhadap perkembangan kepribadian anak, termasuk
pembentukan konsep diri. Tetapi terdapat perbedaan posisi antara keluarga (yakni
orang tua) dengan sekolah (khususnya guru) terhadap perkembangan kepribadian
anak, yakni sekolah tidak dari awal tetapi hanya melanjutkan apa yang telah dimulai
di keluarga. Di samping itu, pada saat anak memasuki sekolah berarti telah terdapat
dua lembaga yang besar peranannya terhadap perkembangan kepribadian anak yakni
keluarga dan sekolah. Apabila terdapat keserasian/kesejajaran antara keduanya, maka
pengaruhnya akan saling menguatkan; tetapi apabila keduanya tidak serasi, terlebih-
lebih bertentangan, maka akan membingungkan anak. Hal ini menunjuk perlunya
guru memahami pribadi anak yang telah diletakkan di keluarga, serta perlunya
hubungan dan kerja sama yang erat antara sekolah dan keluarga.
Karena anak telah memiliki gambaran tentang konsep diri serta pola tingkah
laku pada waktu memasuki sekolah maka persoalan pertama yang dihadapi adalah
apakah anak dapat menyesuaikan diri dengan lingkungan yang baru itu, karena hasil
penyesuaian diri itu (berhasil ataukah gagal) akan mempengaruhi perkembangan
kepribadiannya, terutama tentang konsep diri. Hurlock (1974: 322) secara tepat
ntenggambarkan hal itu: "Terdapat reaksi berantai antara kepribadian anak dan
sekolahnya, yakni kepribadiannya sangat menentukan penyesuaiannya di sekolah,
dan penyesuaiannya di sekolah berpengaruh besar terhadap konsep dirinya."
Oleh karena itu, diperlukan bantuan dan bimbingan guru untuk memperlancar
proses penyesuaian diri anak dengan situasi sekolah. Selanjutnya, reaksi sirkulasi itu
berlaku juga terhadap prestasi akademik dan non-akademik dari siswa. Sikap siswa
terhadap sekolahnya akan mempengaruhi baik prestasi akademik maupun non-
akademik; sedang prestasi tersebut akan ikut mempengaruhi penilaian guru, teman
sekelas, dan orang tuanya terhadap diri siswa, dan penilaian itu pada gilirannya kelak
akan mempengaruhi persepsi, konsepsi, dan sikap siswa tentang konsep dirinya.
Apabila reaksi sirkulasi tersebut berada pada arah yang tepat, maka akan berpengaruh
positif bagi perkembangan siswa; tetapi sebaliknya dapat pula tertadi. Dalam kedua
kemungkinan tersebut, terutama untuk kemungkinan yang kedua, diperlukan
komunikasi antarpribadi yang terluka dan saling mernpercayai antara guru dan siswa.
Guru harus berusaha menciptakan iklim emosional di kelasnya sedemikian rupa,
sehingga terjadi komunikasi terbuka, baik antara guru dtrn siswa maupun antarsiswa.
Bahkan lebih jauh lagi, guru harus mampu menempatkan diri dalam lingkungan
hubungan intim, menjadi sasaran imitasi dan identifikasi dari siswanya. Dengan
demikian, guru akan dapat membantu siswa memahami dirinya secara tepat serta
dapat menerirna dirinya dengan sewajarnya.
5. Landasan Ilmiah dan Teknologis
Pendidikan serta ilmu pengetahuan dan teknologi (iptek) mempunyai kaitan
yang sangat erat. Seperti diketahui, iptek menjadi bagian utama dalam isi pengajaran;
dengan kata lain pendidikan berperan sangat penting dalam pewarisan dan
pengembangan iptek. Dari sisi lain, setiap perkembangan iptek harus segera
diakomodasi oleh pendidikan yakni dengan segera memasukkan hasil pengembangan
iptek itu ke dalam isi bahan ajaran. Sebaliknya, pendidikan sangat dipengaruhi oleh
sejumlah cabang-cabang iptek, utamanya ilmu-ilmu perilaku (psikologi, sosiologi,
antropologi). Seiring dengan kemajuan iptek pada umumnya, ilmu pendidikan juga
mengalami kemajuan yang pesat; demikian pula dengan cabang-cabang khusus dari
ilmu-ilmu perilaku yang mengkaji pendidikan seperti psikologi pendidikan dan
sosiologi pendidikan. Kemajuan cabang-cabang ilmu tersebut menyebabkan
tersedianya informasi empiris yang cepat dan tepat, dan pada gilirannya,
diterjemahkan menjadi program, alat, dan atau prosedur kerja yang akan bermuara
pada kemajuan teknologi pendidikan.
Dengan perkembangan iptek dan kebutuhan masyarakat yang makin
kompleks maka pendidikan dalam segala aspeknya mau tak mau harus
mengakomodasi perkembangan itu, baik perkembangan iptek maupun perkembangan
masyarakat. Dari sisi lain, pendidikan formal telah berkembang sedemikian rupa
sehingga menjadi suatu lingkup kegiatan yang luas dan kompleks. Konsekuensi
perkembangan pendidikan itu menyebabkan penataan kelembagaan, pemantapan
struktur organisasi dan mekanisme kerja, pemantapan pengelolaan, dan lain-lain
haruslah dilakukan dengan memanfaatkan iptek itu. Selanjutnya, karena kebutuhan
pendidikan yang sangat mendesak maka banyak teknologi dari berbagai bidang ilmu
segera diadopsi ke dalam penyelenggaraan pendidikan, dan atau kemajuan itu segera
dimantaatkan oleh penyelenggara pendidikan itu.
a. Pengertian tentang llmu Pengetahuan dan Teknologi (IPTEK)
Terdapat beberapa istilah yang perlu dikaji agar jelas makna dan kedudukan
masing-masing, yakni pengetahuan, ilmu pengetahuan, teknologi, serta istilah lain
yang terkait dengannya. Pengetahuan (knowledge) adalah segala sesuatu yang
diperoleh melalui berbagai cara pengindraan terhadap f'akta, penalaran (rasio), intuisi,
dan wahyu, Pengetahuan yang memenuhi kriteria dari segi ontologis, epistemologis
dan aksiologis secara konsekuen dan penuh disiplin biasa disebut ilmu ataupun ilmu
pengetahuan (science); kata sifatnya adalah ilmiah atau keilmuan, sedangkan ahlinya
disebut ilmuwan. Dengan demikian, pengetahuan meliputi berbagai cabang ilmu
(ilmu-ilmu sosial atau social sciences, dan ilmu-ilmu alam atau natural sciences),
humaniora (seni, filsafat, bahasa, dan sebagainya) serta wahyu keagamaan atau yang
sejenisnya (Filsafat Ilmu, l98l: l3-16 dan l-56). Dilihat dari segi tujuan pokoknya,
sering pula dibedakan ilmu dasar (basic science) dan ilmu terapan (applied
science).Ilmu dasar terutama digunakan demi kemajuan ilmu itu sendiri, sedangkan
ilmu terapan terutama digunakan untuk mengatasi masalah dan memajukan
kesejahteraan manusia. Hasil dari ilmu terapan itu harus dialihragamkan
(ditransforniasikan) menjadi bahan, alat, atau prosedur kerja; kegiatan ini biasa
disebut pengembangan (development). Tindak lanjut dan hasil kegiatan
pengembangan itulah yang disebut teknologi (Filsafat Ilmu, l98l: 163-164).
Landasan antologis dari ilmu berkaitan dengan objek yang ditelaah oleh ilmu
adalah: Apa yang ingin diketahui oleh ilmu, bagaimana ujud hakiki dari objek
tersebut, dan bagaimana hubungannya dengan daya tangkap manusia? Seperti
diketahui, ilmu membatasi objeknya pada fakta atau kejadian yang bersifat empiris,
yang dapat ditangkap oleh alat indra, baik secara langsung maupun dengan bantuan
alat lain (mikroskop, teleskop, dan sebagainya). Objek ilmu itu selalu berkaitan
dengan pengalaman manusia yang dapat dikomunikasikan kepada orang lain. Sesuatu
yang di luar jangkauan pengalaman, umpamanya pengalaman sesudah mati, berada di
luar objek ilmu karena belum ada orang yang pernah kembali dari lubang kubur untuk
menceritakan pengalamannya sesudah mati itu. Hal yang sejenis dengan pengalaman
sesudah mati itu menjadi kawasan agama yang menerima kebenaran melalui wahyu.
Pengetahuan ilmiah pada dasarnya merupakan abstraksi yang disederhanakan dari
fakta atau kejadian alam yang sangat kompleks. Untuk itu, ilmu mempunyai tiga
asumsi tentang objek empiris itu, yakni:
(1) Objek-objek tertentu mempunyai keserupaan satu sama lain yang memungkinkan
dilakukan klasifikasi.
(2) Objek dalam jangka waktu tertenru tidak mengalami perubahan (kelestarian yang
relatif).
(3) Adanya determinisme, bahwa suatu gejala bukan merupakan kejadian yang
kebetulan tetapi mempunyai pola tertentu yang bersifat tetap (Jujun S.
Suriasumantri, 1978:5-8).
Landasan epistemologi dari ilmu berkaitan dengan segenap proses untuk
memperoleh pengetahuan ilmiah, yakni: Bagaimana prosedurnya, apakah yang harus
diperhatikan agar diperoleh kebenaran, cara/teknik/sarana apa vang membantu untuk
mendapatkannya? Ilmu merupakan pengetahuan yang diperoleh melalui proses
tertentu yang disebut metode keilmuan. Seperti iptek itu sendiri, metode keilmuan itu
juga mengalami perkembangan sebagai akumulasi pendapat manusia yang kini
dikenal sebagai Model Induktif-Hipotetiko-Deduktif (Raka Johi, 1984: 6; Jujun S.
Suriasumantri, 1978: 8-35).
Landasan aksiologis dari ilmu berkaitan dengan manfaat atau kegunaan
pengetahuan ilmiah itu, yaitu: Untuk apa pengetahuan ilmiah itu dipergunakan,
bagaimana kaitannya dengan nilai-nilai moral? Ilmu telah berjasa mengubah wajah
dunia dalam berbagai bidang serta memajukan kesejahteraan manusia. Namun kita
juga menyaksikan bagaimana ilmu digunakan untuk mengancam martabat dan
kebudayaan manusia. Oleh karena itu, ilmu sering dianggap netral, ilmu itu bebas dari
nilai baik atau buruk, dan sangat tergantung dari nilai moral si empunya ilmu
(ilmuwan). Dengan kata lain, manusia pemilik ilmu yang harus menentukan apakah
ilmunya itu bermanfaat bagi manusia atau sebaliknya (Jujun S. Suriasumantri, 1978:
35-36.)
Seperti telah dikemukakan, pengetahuan yang memenuhi ketiga landasan
tersebut di atas (ontologis, epistemologis, dan aksiologis) yang disebut ilmu atau ilmu
pengetahuan. Oleh karena itu, istilah ilmu atau ilmu pengetahuan itu dapat bermakna
kumpulan informasi, cara memperoleh informasi serta manfaat dari informasi itu.
Ketiga sisi ilmu pengetahuan itu seharusnya mendapat perhatian yang proporsional di
dalam bahan ajaran, dengan demikian pendidikan bukan hanya berperan dalam
pewarisan iptek tetapi juga ikut menyiapkan manusia yang sadar iptek dan calon
pakar iptek itu. Dengan demikian, pendidikan akan dapat mewujudkan fungsinya
dalam pelestarian dan pengembangan iptek tersebut.
b. Perkembangan Iptek sebagai Landasan llmiah
Iptek merupakan salah satu hasil dari usaha manusia untuk mencapai
kehidupan yang lebih baik, yang telah dimulai pada permulaan kehidupan manusia.
Bukti historis menunjukkan bahwa usaha mula bidang keilmuan yang tercatat adalah
oleh bangsa Mesir Purba di mana banjir tahunan Sungai Nil menyebabkan
berkembangnya sistem almanak, geometri, dan kegiatan survei. Selanjutnya,
pengembangan ilmu yang menonjol berturut-turut oleh bangsa Babylonia, Hindu,
Yunani Kuno, Arab di zaman permulaan Islam, dan melalui bangsa-bangsa di Eropa
menyebar ke seluruh penjuru dunia (Mouly, L963: 87). Perkembangan ilmu tersebut
meliputi aspek ontologis, epistemologis, maupun aksiologis, serta makin lama
perkembangan itu makin dipercepat. Pada zaman dulu, manusia purba senantiasa
menghadapi kekuasaan alam yang mendominasi kehidupannya. Berkat
perkembangan iptek, hubungan kekuasaan antara manusia dan alam itu dapat
dikatakan terbalik: Alam kini di bawah kekuasaan manusia (Filsafat ilmu, 1981: 166).
Seperti telah dikemukakan, pengembangan dan pemanfaatan iptek pada
umumnya ditempuh rangkaian kegiatan: Penelitian dasar, penelitian terapan,
pengembangan teknologi, dan penerapan teknologi, serta biasanya diikuti pula
dengan evaluasi ethis-politis-religius. Langkah terakhir itu diperlukan untuk
menentukan apakah hasil iptek itu dapat diterima oleh masyarakat dan apakah
dampaknya tidak bertentangan dengan nilai-nilai luhur dari masyarakat. Karena
kecepatan perkembangan iptek, banyak pihak yang memandang bahwa evaluasi akhir
itu tidak memadai lagi dan seringkali dilaksanakan terlambat. Oleh karena itu,
diharapkan agar dilakukan pengarahan awal secara moral-ethis, yang dilanjutkan
dengan pemantauan-pengecekan sementara rangkaian kegiatan berlangsung dan
akhirnya dilakukan evaluasi akhir (Filsafat Ilmu, 1981:166-169).
Lembaga pendidikan, utamanya pendidikan jalur sekolah, haruslah mampu
mengakomodasi dan mengantisipasi perkembangan iptek. Bahan ajaran seyogianya
hasil perkembangan iptek mutakhir, baik yang berkaitan dengan hasil perolehan
informasi, maupun cara memperoleh informasi itu dan manfaatnya bagi masyarakat.
Relevansi bahan ajaran dan cara penyajiannya dengan hakikat ilmu, sumber bahan
ajaran itu merupakan satu tuntutan yang tak dapat ditawar-tawar lagi. Peserta didik
seyogianya sedini mungkin mengalami sosialisasi ilmiah meskipun dalam bentuk
yang masih sederhana. Dengan demikian, baik kemampuan maupun sikap ilmiah
sedini mungkin dikembangkan dalam diri peserta didik. Seperti diketahui, beberapa
tahun terakhir di sekolah telah digalakkan pelaksanaan cara belajar siswa aktif dengan
pendekatan keterampilan proses. Beberapa keterampilan dibentuk sedini mungkin
mulai dari sekolah dasar (SD), seperti: observasi, perhitungan, pengukuran,
klasifikasi, mencari hubungan ruang/waktu, pembuatan hipotesis, perencanaan
penelitian (utamanya eksperimen), pengendalian variabel, interpretasi data,
kesimpulan sementara (inferensi), peramalan, penerapan dan komunikasi (Conny
Semiawan, et. al., l985:18-33). Pembentukan keterampilan dan sikap ilmiah sedini
mungkin tersebut secara serentak akan meletakkan dasar terbentuknya masyarakat
yang sadar iptek dan calon-calon pakar iptek kelak kemudian hari.
B. Asas-Asas Pokok Pendidikan
Asas pendidikan merupakan sesuatu kebenaran yang menjadi dasar atau
tumpuan berpikir, baik pada tahap perancangan maupun pelaksanaan pendidikan. Di
dalam Bab I secara tersirat telah dikemukakan berbagai asas tersebut dengan
pengkajian berbagai dimensi hakikat manusia (keindividualan, kesosialan, kesusilaan,
dan keberagaman). Pandangan tentang hakikat manusia merupakan tumpuan berpikir
utama yang sangat penting dalam pendidikan. Salah satu dasar utama pendidikan
adalah bahwa manusia itu dapat dididik dan dapat mendidik diri sendiri. Seperti
diketahui, manusia yang dilahirkan hampir tanpa daya dan sangat tergantung pada
orang lain (orang tuanya, utamanya ibu) namun memiliki potensi yang hampir tanpa
batas untuk dikembangkan. Bayi itu melalui pendidikan dapat dikembangkan menjadi
calon pakar yang dapat merancang dan membuat pesawat angkasa luar yang dapat
menjelajah ruang angkasa, dan mampu merekayasa genetika yang memicu revolusi
hijau dengan berbagai bibit unggul, ataupun sebaliknya mampu membuat bom yang
dapat menghancurkan manusia dan kebudayaannya.
Khusus untuk pendidikan di Indonesia, terdapat sejumlah asas yang memberi
arah dalam merancang dan melaksanakan pendidikan itu. Asa-sasas tersebut
bersumber baik dari kecenderungan umum pendidikan di dunia maupun yang
bersurnber dari pemikiran dan pengalaman sepanjang sejarah upaya pendidikan di
Indonesia. Di antara berbagai asas tersebut, tiga buah asas akan dikaji lebih lanjut
dalam paparan ini. Ketiga asas itu adalah asas tut wuri handayani, asas belajar
sepanjang hayat, dan asas kemandirian dalam belajar. Ketiga asas itu dipandang
sangat relevan dengan upaya pendidikan, baik masa kini maupun masa depan. Oleh
karena itu, setiap tenaga kependidikan harus memahami dengan tepat ketiga asas
tersebut agar dapat menerapkannya dengan semestinya dalam penyelenggaraan
pendidikan sehari-hari.
1. Asas Tut Wuri Handayani
Asas tut wuri handayani, yang kini menjadi semboyan Depdikbud, pada
awalnya merupakan salah satu dari “Asas 1922” yakni tujuh buah asas dari Perguruan
Nasional Taman Siswa (didirikan 3 Juli 1922). Sebagai asas pertama, tut wuri
handayani merupakan inti dari Sistem Among dari perguruan itu. Asas ataupun
semboyan tut wuri handayani yang dikumandangkan oleh Ki Hadjar Dewantara itu
mendapat tanggapan positif dari Drs. R.M.P. Sostrokartono (filsuf dan ahli bahasa)
dengan menambahkan dua semboyan untuk melengkapinya, yakni Ing Ngarso Sung
Tulada dan Ing Madya Mangun Karsa. (Raka Joni, et. al., 1985:38; Wawasan
Kependidikan Guru, 1982: 93.)
Kini ketiga semboyan tersebut telah menyatu menjadi satu kesatuan asas,
yakni:
Ing ngarsa sung tulada (jika di depan, menjadi contoh),
Ing madya mangun karsa (jika di tengah-tengah, membangkitkan kehendak, hasrat
atau motivasi), dan
Tut wuri handayani (jika di belakang, mengikuti dengan awas).
Agar diperoleh latar keberlakuan awal dari asas tut wuri handayani, perlu
dikemukakan ketujuh asas Perguruan Nasional Taman Siswa tersebut. Seperti
diketahui Perguruan Nasional Taman Siswa yang lahir pada tanggal 3 Juli 1922
berdiri di atas tujuh asas yang merupakan asas perjuangan untuk menghadapi
Pemerintah Kolonial Belanda serta sekaligus untuk mempertahankan kelangsungan
hidup dan sifat yang nasional dan demokrasi. Ketujuh asas tersebut yang secara
singkat disebut "Asas 1922" adalah sebagai berikut:
a. Bahwa setiap orang mempunyai hak untuk mengatur dirinya sendiri dengan
mengingat tertibnya persatuan dalam perikehidupan umum.
b. Bahwa pengajaran harus memberi pengetahuan yang berfaedah, yang dalam arti
lahir dan batin dapat memerdekakan diri.
c. Bahwa pengajaran harus berdasar pada kebudayaan dan kebangsaan sendiri.
d. Bahwa pengajaran harus tersebar luas sampai dapat menjangkau kepada seluruh
rakyat.
e. Bahwa untuk mengejar kemerdekaan hidup yang sepenuh-penuhnya lahir maupun
batin hendaklah diusahakan dengan kekuatan sendiri, dan menolak bantuan apa
pun dan dari siapa pun yang mengikat, baik berupa ikatan lahir maupun ikatan
batin.
f. Bahwa sebagai konsekuensi hidup dengan kekuatan sendiri maka mutlak harus
membelanjai sendiri segala usaha yang dilakukan.
g. Bahwa dalam mendidik anak-anak perlu adanya keikhlasan lahir dan batin untuk
mengorbankan segala kepentingan pribadi demi keselamatan dan kebahagiaan
anak-anak.
Asas tut wuri handayani merupakan inti dari asas pertama (butir a) yang
menegaskan bahwa setiap orang mempunyai hak mengatur dirinya sendiri (zelf-
veschikkingsrecht) dengan mengingat tertibnya persatuan dalam perikehidupan
umum. Dari asasnya yang pertama ini jelas bahwa tujuan yang hendak dicapai oleh
Taman Siswa adalah kehidupan yang tertib dan damai (tata dan tenteram, orde on
Vrede). Kehidupan yang tertib dan damai hendaknya dicapai menurut dasar kodrat
alam sebagai sifat lahir dan manifestasi kekuasaan Tuhan. Asas ini pulalah yang
mendorong Taman Siswa untuk mengganti sistem pendidikan cara lama yang
menggunakan perintah, paksaan, dan hukuman dengan sistem khas Taman Siswa,
yang didasarkan pada perkembangan kodrati. Dari asas ini pulalah lahir "Sistem
Among", di mana guru memperoleh sebutan "pamong", yaitu sebagai pemimpin yang
berdiri di belakang dengan bersemboyan "tut wuri handayani", yaitu tetap
mempengaruhi dengan memberi kesempatan kepada anak didik untuk berjalan
sendiri, dan tidak terus menerus dicampuri, diperintah atau dipaksa. Pamong hanya
wajib menyingkirkan segala sesuatu yang merintangi jalannya anak serta hanya
bertindak aktif dan mencampuri tingkah laku atau perbuatan anak apabila mereka
sendiri tidak dapat menghindarkan diri dari berbagai rintangan atau ancaman
keselamatan atau gerak majunya. Jadi, "Sistem Among" adalah cara pendidikan yang
dipakai dalam sistem Taman Siswa dengan maksud mewajibkan pada guru supaya
mengingati dan mementingkan kodrat-iradatnya para siswa dengan tidak melupakan
segala keadaan yang mengelilinginya.
Dua semboyan lainnya, sebagai bagian tak terpisahkan dari tut wuri
handayani, pada hakikatnya bertolak dari wawasan tentang anak yang sama, yakni
tidak ada unsur perintah, paksaan atau hukuman, tidak ada campur tangan yang dapat
mengurangi kebebasan anak untuk berjalan sendiri dengan kekuatan sendiri. Dari sisi
lain, pendidik setiap saat siap memberi uluran tangan apabila diperlukan oleh anak.
Ing ngarsa sung tulada (di depan memberi contoh) adalah hal yang baik mengingat
kebutuhan anak maupun pertimbangan guru. Ing madya mangun karsa (di tengah
membangkitkan kehendak) diterapkan dalam situasi kurang bergairah atau ragu-ragu
untuk mengambil keputusan atau tindakan, sehingga perlu diupayakan untuk
memperkuat motivasi. Ketiga semboyan tersebut sebagai satu kesatuan asas (ing
ngarsa sung tulada, ing madya mangun karsa, dan tut wuri handayani) telah menjadi
asas penting dalam pendidikan di Indonesia.
2. Asas Belajar Sepanjang Hayat
Asas belajar sepanjang hayat (life long learning) merupakan sudut pandang
dari sisi lain terhadap pendidikan seumur hidup (life long education). Pendidikan
seumur hidup merupakan a concept (p. Lengrand, l970) yang new significance of an
old idea (Dave, 1973) tetapi universally acceptable definition is difficult (Cropley,
1919). Oleh karena itu, UNESCO Institute for Education (UIE Hamburg) menetapkan
suatu definisi kerja yakni pendidikan seumur hidup adalah pendidikan yang harus:
(1) Meliputi seluruh hidup setiap individu.
(2) Mengarah kepada pembentukan, pembaruan, peningkatan, dan penyempurnaan
secara sistematis pengetahuan, keterampilan, dan sikap yang dapat meningkatkan
kondisi hidupnya.
(3) Tujuan akhirnya adalah mengembangkan penyadaran diri (self fuffilmenr)
(4) setiap individu.
(5) Meningkatkan kemampuan dan motivasi untuk belajar mandiri.
(6) Mengakui kontribusi dari semua pengaruh pendidikan yang mungkin
(7) terjadi, termasuk yang formal, non-formal dan informal (Cropley, 1970: 2-3; Sulo
Lipu La Sulo, 1990 25-26). Istilah pendidikan seumur hidup erat kaitannya dan
kadang-kadang digunakan saling bergantian dengan makna yang sama dengan
istilah “belajar sepanjang hayat”. Kedua istilah ini memang tak dapat dipisahkan,
tetapi dapat dibedakan. Seperti diketahui, penekanan istilah “belajar” adalah
perubahan perilaku (kognitif/afektif/psikomotor) yang relatif tetap karena
pengaruh pengalaman, sedang istilah “pendidikan” menekankan pada usaha sadar
dan sistematis untuk penciptaan suatu lingkungan yang memungkinkan pengaruh
pengalaman tersebut lebih efisien dan efektif, dengan kata lain, lingkungan yang
membelajarkan subyek
(8) didik (Cropley, 1979:10; Hameyer, 1979:11; Sulo Lipu La Sulo, 1987:26-27).
Dalam latar pendidikan seumur hidup, proses belajar-mengajar di
sekolah seyogianya mengemban sekurang-kurangnya dua misi, yakni
membelajarkan peserta didik dengan efisien dan efektif, dan serentak
dengan itu, meningkatkan kemauan dan kemampuan belajar mandiri
sebagai basis dari belajar sepanjang hayat. Ditinjau dari pendidikan
sekolah, masalahnya adalah bagaimana merancang dan mengimplementasikan
suatu program belajar-mengajar sehingga mendorong terwujudnya belajar
sepanjang hayat, dengan kata lain, terbentuk manusia dan masyarakat
yang mau dan mampu terus menerus belajar.
Kurikulum yang dapat mendukung terwujudnya belajar sepanjang
hayat harus dirancang dan diimplementasi dengan memperhatikan dua
dimensi (Hameyer, 1979:67-81;Sulo Lipu La Sulo, r990: 2g-30) sebagai
berikut:
a. Dimensi vertikal dari kurikulum sekolah yang meliputi: Di samping
keterkaitan dan kesinambungan antartingkatan persekolahan, harus
pula terkait dengan kehidupan peserta didik di masa depan. Termasuk
dalam dimensi vertikal itu antara lain pengkajian tentang:
l) Keterkaitan antara kurikulum dengan masa depan peserta didik,
termasuk relevansi bahan ajaran dengan masa depan dan
pengintegrasian masalah kehidupan nyata ke dalam kurikulum.
2) Kurikulum dan perubahan sosial-kebudayaan: Kurikulum seyogianya
memungkinkan antisipasi terhadap perubahan sosial-kebud ayaan itu karena peserta
didik justru akan hidup dalam sosialkebudayaan
yang telah berubah setelah menamatkan sekolahnya.
3) "The Jbrecosting curricuLum" yakni perancangan kurikulum
berdasarkan suatu prognosis, baik tentang perilaku peserta diclik
pada saat menamatkan sekolahnya, pada saat hidup ia dalam
sistem yang sedang berlaku, maupun pada saat ia hidup dalam
sistem yang telah berubah di masa depan.
4) Keterpaduan bahan ajaran dan pengorganisasian pengetahuan,
terutama dalam kaitannya dengan struktur pengetahuan yang
sedang dipelajari dengan penguasaan kerangka dasar untuk
memperoleh keterpaduan ide bidang studi itu.
5) Penyiapan untuk memikul tanggung jawab, baik tentang dirinya
sendiri maupun dalam bidang sosial/pekerjaan, agar kelak dapat
membangun dirinya sendiri dan bersama-sama membangun
masyarakatnya.
6) Pengintegrasian dengan pengalaman yang terah dimiliki peserta
didik, yakni pengalaman di keluarga untuk pendidikan dasar,
dan demikian seterusnya.
7) Untuk mempertahankan motivasi belajar secara permanen, peserta
didik harus dapat melihat kemanfaatan yang akan didapatnya
dengan tetap mengikuti pendidikan itu, seperti kesempatan yang
terbuka baginya, mobilitas pekerjaan, pengembangan
kepribadiannya, dan sebagainya.
b. Dimensi horizontal dari kurikulum sekorah yakni keterkaitan antarapengalaman belajar di sekolah dengan pengalaman di tuarsekolah.
Termasuk dalam dimensi horizontal antara lain:1) Kurikulum sekolah merefleksi kehidupan di luar sekolah; kehidupandi luar sekolah menjadi objek refleksi teoretis di dalam bahanajaran di sekolah, sehingga peserta didik lebih memahamipersoalan-persoalan pokok yang terdapat di luar sekolah.2) Memperluas kegiatan belajar ke luar sekolah: kehidupan di luarsekolah dijadikan tempat kajian empiris, sehingga kegiaranbelajar-mengajar terjadi di dalam dan di luar sekolah.3) Melibatkan orang tua dan masyarakat dalam kegiatan belajar-mengajar,baik sebagai narasumber dalam kegiatan belajar disekolah maupun dalam kegiatan belajar di luar sekolah.
Perancangan dan implementasi kurikulum yang memperhatikankedua dimensi itu akan mengakrabkan peserta didik dengan berbagaisumber belajar yang ada di sekitarnya. Kemampuan dan kemauanmenggunakan sumber-sumber belajar yang tersedia itu akan memberipeluang terwujudnya belajar sepanjang hayat. Dan masyarakat yangmempunyai warga yang belajar sepanjang hayat akan menjadi suatumasyarakat yang gemar belajar (learning society). Dengan kata lain, akanterwujudlah gagasan pendidikan seumur hidup seperti yang tercermin didalam sistem pendidikan nasional Indonesia.3. Asas Kemandirian dalam BelajarBaik asas tut wuri handayani maupun belajar sepanjang hayatsecara langsung erat kaitannya dengan asas kemandirian dalam belajar.Asas tut wuri handayani pada prinsipnya bertolak dari asumsi kemampuansiswa untuk mandiri, termasuk mandiri dalam belajar. Dalam kegiatanbelajar-mengajar, sedini mungkin dikembangkan kemandirian dalam belajaritu dengan menghindari campur tangan guru, namun guru selalu siapuntuk ulur tangan apabila diperlukan. Selanjutnya, asas belajar sepanjanghayat hanya dapat diwujudkan apabila didasarkan pada asumsi bahwapeserta didik mau dan mampu mandiri dalam belajar, karena adalah tidakmungkin seseorang belajar sepanjang hayatnya apabila selalu tergantungdari bantuan guru ataupun orang lain.Perwujudan asas lemandirian dalam belajar akan menempatkanguru dalam peran utama sebagai fasilitator dan motivator, di sampingperan-peran lain: Informator, organisator, dan sebagairiya. Sebagai fasilitatorguru diharapkan menyediakan dan mengatur berbagai sumber belajar
sedemikian sehingga memudahkan peserta didik berinieraksi dengansumber-sumber tersebut. Sedang sebagai motivator, girru mengupayakantimbulnya prakarsa peserta didik untuk memanfaatkan sumber belajar itu.Pengembangan kemandirian dalam belajar ini seyogianya dimulai dalamkegiatan intrakurikuler, yang dikembangkan dan dimantapkan selanjutnyadalam kegiatan kokurikuler dan ekstra-kurikuler. Atau, untuk latarperguruan tinggi: Dimulai dalam kegiatan tatap muka, dan dikembangkandan dimantapkan dalam kegiatan terstruktur dan kegiatan mandiri.Kegiatan tatap muka atau intrakurikuler terutama berfungsi membentukkonsep-konsep dasar dan cara-cara pemanfaatan berbagai sumber belajar,yang akan menjadi dasar pengembangan kemandirian dalam belajar didalam bentuk-bentuk kegiatan terstruktur dan mandiri, atau kegiatan kodanekstrakurikuler itu.Terdapat beberapa strategi belajar-mengajar dan atau kegiatanbelajar-mengajar yang dapat memberi peluang pengembangan kemandirian
dalam belajar. cara belajar siswa aktif (CBSA) merupakan salah satupendekatarr yang memberi peluang itu, karena siswa dituntut mengambilprakarsa dan atau memikul tanggung jawab tertentu dalam belajarrnengajardi sekolah, umpamanya melalui lembaga kerja. Di samping itu,beberapa jenis kegiatan belajar mandiri akan sangat bermanfaat dalammengembangkan kemandirian dalam belajar itu, seperti belajar melaluimodul, paket belajar, pengajaran berprogram, dan sebagainya. Keseluruhanupaya itu akan dapat terlaksana dengan semestinya apabila setiaplembaga pendidikan, utamanya sekolah, didukung oleh suatu pusatsumber belajar (PSB) yang memadai. Seperti diketahui, PSB itu memberipeluang tersedianya berbagai jenis sumber belajar, di samping bahanpustaka di perpustakaan, seperti rekaman elektronik, ruang-ruang belajar(tutorial) sebagai mitra kelas, dan sebagainya. Dengan dukungan PSBitu asas kemandirian dalam belajar akan lebih dimantapkan dan dikembangkan.RangkumanPendidikan selalu berkaitan dengan manusia, dan hasilnya tidaksegera tampak. Diperlukan satu generasi untuk melihat hasil akhir daripendidikan itu; oleh karena itu, apabila terjadi suatu kekeliruan yangberakibat kegagalan, pada umumnya sudah terlambat untuk memperbaikinya.Kenyataan ini menuntut agar pendidikan itu dirancang dan dilaksanakansecermat mungkin dengan memperhatikan sejumlah landasan dan asaspendidikan.
Landasan-landasan itu adalah:(l) Landasan filosofis.(2) Landasan sosiologis.(3) Landasan kultural.(4) Landasan psikologis.(5) Landasan ilmiah dan teknologis.Sedangkan asas-asas pendidikan antara lain:(l) Asas tut wuri handayani.(2) Asas belajar sepanjang hayat.(3) Asas kemandirian dalam belajar.ThgasSetelah Anda mempelajari Bab III ini dengan saksama, kerjakanlahtugas-tugas di bawah ini: Tugas-tugas ini dilakukan dalam dua tahap,yakni tahap kerja individual dan tahap diskusi kelompok, sebagai berikut:l. Tahap kerja individualAnda telah mengalami pendidikan di sekolah (SD, SLTP, SMA/sederajat) selama bertahun-tahun; renungkan kembali masa-masa itudan carilah bukti-bukti pelaksanaan berbagai landasan dan asaspendidikan yang dikaji dalam Bab III ini. Tuliskan minimal 2 (dua)
buah bukti untuk setiap landasan dan asas perrdidikan tersebut.Khusus untuk asas pendidikan belajar sepanjang hayat dan kemandiriandalam belajar, upaya apa yang sedang Anda lakukan untuk mewujudkanasas-asas itu?2. Tahap diskusi kelompokBentuklah kelompok-kelompok kecil (3-5 orang) dan bandingkanlahhasil kerja Tahap (1). Carilah titik persamaan dan buatlah kesimpulantentang itu. Sedangkan hal-hal yang berbeda, diskusikanlah danbuatlah kesimpulan dari diskusi itu.
Daftar PustakaAbu Hanifah. 1950. Rintisan FiLsafat, Filsafat Barat Ditilik dengan JiwaTimur Jilid I. Jakarta: Balai Pustaka.BP-7 Pusat. 1990. Bahan Penataran, Buku I Pedoman Penghayatan danPengamaLan Pancasila. Jakarta: BP-7 Pusat.Beerling, R.F. 1951. Filsafat Dewasa ini, Illid I. Jakarta: Balai Pustaka.Conny Semiawan, et. al. 1985. Pendekatan KeterampiLan Proses, BagaimanaMengaktifkan Siswa dalam Belajar Jakarta: Gramedia.Cropfey, A.J. (Ed). 1979. Lifelong Education: A Stockraking. Hamburg:UNESCO Institute for Education.Depdikbud. 1987. Petunjuk Penerapan Muatan Lokal Kurikulum SekolrthDasar Jakarta: Depdikbud.Depdikbud. Filsafat Ilmu. Materi Dasar Pendidikan Program AktaMengajar V tsuku LA. 1981. Jakarta: PPIPT Ditjen Dikti Depdikbud.Hameyer, U.. 1979. School Curriculum in the Context of LifelongLearning. Hamburg: UNESCO Institute for Education.Hurlock, 8.8.. 1974. Personality Developmenl. New York: MCGrarv-Hill;1979 TMH Ed.Jujun Suriasumantri. 1978. "Tentang Hakikat Ilmu: Sebuah PengantarR.edaksi" Dalam Jujun S. Suriasumantri (Ed). (1978), Ilmu dalamPerspektif. .Takarta: Gramedia.Koentjaraningrat. 1974. Kebudayaan, Mentaliteit dan Pembangunan,Bungarampai. Jakarta: Gramedia.Milhollan, F., dan V.F. Forisha. 1972. From Skinner to Rogers, ContrastingApproach to Education. Lincoln, Nebraska: ProfessionalEducator Pub. Inc.Moully, G.. 1963. Perkembangan llmu. Dalam Jujun S. Suriasumantri(Ed). 1978. Ilmu dalam Perspektif. Jakarta: Gramedia.Raka Joni, T.. 1983. Cara Betajar Siswa Aktif, Wawasan Kependidiknndan Pembaruan Pendidikan Guru. Malang: IKIP Malang.,et. al. l985.Wawasan Kependidikan Guru. lakarta: P2LPTKDitjen Dikti Depdikbud.
Redja Mudyahardo, Waini Rasyidin, dan Saleh Soegiyanto. 1992. MateriPokok Dasar-Dasar Kependiditan. Modul l-6. Jakarta: P2TK-PTDepdikbud.
Russel, 8.. 1948. Fakta, Kepercayaan, Kebenaran, dan Pengetahuan.Dalam Jujun S. Suriasumantri (Ed). 1978, Ilmu dalam perspektif.Jakarta: Gramedia.Sulo Lipu La Sulo. 1990. Penelaahan Kurikulum Sekolah. UjungPandang: FIP-IKIP Ujung Pandang.-,(Ed.). 1989. Pengantar Bimbingan Konseling dan psikologiPendidikan. Ujung Pandang: Bagian Penerbiran FIP-IKIP UjungPandang.1981. Beberapa Konsep Teori Kepribadian dan Aplikasinyadalam Proses Belajar-Mengajar. Jakarta: P3G Depdikbud.Takdir Alisjahbana, S.. 1957. Pembimbing Ke Filsafat: I. Metafisika.Jakarta: Pustaka Rakyat.Umar Tirtaraharja, et. al. 1990. Dasar-Dasar Kependidikan. UjungPandang: Bagian Penerbitan FIP IKIP Ujung Pandang.Undang-Undang tentang Sistem Pendidikan Nasional (IlU RI No. 2Tahun 1989) dan Peraturan Pelaksanaannya, Jakarta: Sinar Grafika.Depdikbud. Wawasan Kependidikan Guru. Program Akta Mengajar VBKomponen D Dasar Kependidikan, Buku II: Modul No. 5.Jakarta: PPIPT Ditjen Dikti Depdikbud.Wayan Ardhana, (Ed.). 1986. Dasar-Dasar Kependidikan. Malang: FIp- IKIP Malang.winarno surachmad dan R.M. Thomas. 7965. Perkembangan pribacli clonKeseimbangan Mental. Bandung: BP-IKIP Bandung.Zanti Arbi, S., dan Syahminar Syahrun. 199111992. Dasar-DosarKependidikan. Jakarta: P2TK Ditjen Dikti Depdikbud.
BAB VPENGERTIAN, FUNGSI, DAN JENISLINGKUNGAN PENDIDIKAN
Manusia selama hidupnya selalu akan mendapat pengaruh darikeluarga, sekolah, dan masyarakat luas. Ketiga lingkungan itu seringdisebut sebagai tripusat pendidikan, yang akan mempengaruhi manusiasecara bervariasi. Seperti diketahui, setiap bayi manusia dilahirkan dalamlingkungan keluarga tertentu, yang merupakan lingkungan pendidikanterpenting sampai anak mulai masuk taman kanak-kanak ataupun sekolah.oleh karena itu, keluarga sering dipandang sebagai lingkungan pendidikanpertama dan utama. Makin bertambah usia manusia, peranan sekolah danmasyarakat luas makin penting, namun peran keluarga tidak terputus. Didalam UU RI No. 2 Tahun 1989 tentang Sisdiknas, peranan kerigatripusat pendidikan itu menjiwai berbagai ketentuan di daramnya. pasalI. Ayat 3 menetapkan bahwa Sisdiknas adalah satu keseluruhan yangterpadu dari semua satuan dan kegiatan pendidikan yang berkaitan satudengan lainnya untuk mengusahakan tercapainya tujuan pendidikannasional, Pasal selanjutnya, menetapkan tentang dua jalur pendidikan,yakni jalur pendidikan sekolah dan jalur pendidikan luar sekolah(meliputi keluarga, kelompok belajar, kursus, dan sebagainya). SedangkanPenjelasan UU No. 2 Tahun 1989 itu rnenetapkan tentang ranggungjawab bersama antara keluarga, masyarakat, dan pemerintah dalampenyelenggaraan pendidikan (Undang-Undang, l99Z: Z5). Oleh karenaitu, kajian tentang peranan dan fungsi setiap pusat pendidikan tersebutsangat penting, karena akan memberikan wawasan yang tepat sertapemahaman yang luas dan menyeluruh tentang lingkup kegiatan danupaya pendidikan itu.
Setelah mempelajari Bab V Anda diharapkan dapat:1. Memahami pengertian dan peranan lingkungan pendidikan bagipeserta didik.2. Memahami tripusat pendidikan sebagai lingkungan pendidikan. vaknikeluarga, sekolah, dan masyarakat.3. Memahami saling pengaruh antarketiga tripusat pendidikan terhadapperkembangan peserta didik.Pemahaman peranan kehmrga, sekolah, dan masyarakat sebagarlingkungan pendidikan akan sangat penting dalam upaya mernbantuperkembangan peserta didik yang optimal. Pemahaman itu bukan hanyatentang peranannya masing-masing, tetapi juga keterkaitan dan salingpengdruh antarketiganya dalam perkembangan manusia. Sebab padahakikatnya peranan ketiga pusat pendidikan itu selalu secara bersamasama
mempengaruhi manusia, meskipun dengan bobot pengaruh yangbervariasi sepanjang hidup manusia.Kajian tentahg lingkungan pendidikan akan dimulai dengan pengertiandan fungsi lingkungan pendidikan, disusul dengan kajian setiap pusat daritripusat pendidikan itu, dan diakhiri dengan kajian tentang salingpengaruh antarketiganya. Kajian ini akan dilakukan baik ditinjau dari segikonseptual maupun segi operasional Dengan demikian akan diperolehdasar-dasar teoretik yang memadai terhadap setiap keputusan dan atautindakan yang diambil sesuai dengan situasi nyata yang sedang dihadapi.Seperti telah dikemukakan bahwa pendidikan, baik dalam perencanaanmaupun pelaksanaan, memerlukan pertimbangan yang tepat karena hasilpendidikan itu tidak segera dapat dilihat.A. Pengertian dan Fungsi Lingkungan PendidikanManusia memiliki sejumlah kemampuan yang dapat dikembangkanmelalui pengalaman. Pengalaman itu terjadi karena interaksi manusiadengan lingkungannya, baik lingkungan fisik maupun lingkungan sosialmanusia secara efisien dan efektif itulah yang disebut dengan pendidikan.Dan latar tempat berlangsungnya pendidikan itu disebut lingkungan pendidikan,khususnya pada tiga lingkungan utama pendidikan yakni keluarga,sekelah, dan masyarakat (Umar Tirtaraharja et. al., 1990 39-40). Sepertidiketahui, lingkungan pendidikan pertama dan utama adalah keluarga.Makin bertambah usia seseorang, peranan lingkungan pendidikan lainnya(yakni sekolah dan masyarakat) semakin penting meskipun pengaruhlingkungan keluarga masih tetap berlanjut.
Berdasarkan perbedaan ciri-ciri penyelenggaraan pendidikan padaketiga Iingkungan pendidikan itu, maka ketiganya sering dibedakansebagai pendidikan informal, pendidikan formal, dan pendidikan nonformal.Pendidikan yang terjadi dalam lingkungan keluarga berlangsung alamiahdan wajar serta disebut pendidikan informal. Sebaliknya, pendidikan disekolah adalah pendidikan yang secara sengaja dirancang dan dilaksanakandengan aturan-aturan yang ketat, seperti harus berjenjang danberkesinambungan, sehingga disebut pendidikan formal. Sedangkanpendidikan di lingkungan masyarakat (umpamanya kursus dan kelompokbelajar) tidak dipersyaratkan berjenjang dan berkesinambungan, sertadengan aturan-aturan yang lebih longgar sehingga disebut pendidikannonformal. Pendidikan informal, formal, dan nonformal itu sering dipandangsebagai subsistem dari-sistem pendidikan (Umar Tirtaraharja et. al., 1990:l3-15), serta secara bersama-sama menjadikan pendidikan berlangsungseumur hidup (Cropley, 1979 3).Sebagai pelaksanaan Pasal 3l Ayat 2 dari UUD 1945, telahditetapkan UU RI No. 2 Tahun 1989 tentang Sisdiknas (beserta peraturan
pelaksanaannya) yang menata kembali pendidikan di Indonesia, termasuklingkungan pendidikan. Sisdiknas itu membedakan dua jalur pendidikan,yakni jalur pendidikan sekolah dan jalur pendidikan luar sekolah. Jalurpendidikan sekolah adalah pendidikan yang diselenggarakan di sekolahmelalui kegiatan belajar-mengajar yang berjenjang dan bersinambungan,mulai dari pendidikan prasekolah (taman kanak-kanak), pendidikan dasar(SD dan SLTP), pendidikan menengah, dan pendidikan tinggi. Sedangkanjalur pendidikan luar sekolah merupakan pendidikan yang diselenggarakandi luar sekolah melalui kegiatan belajar-mengajar yang harus berjeniangdan bersinambungan, baik yang dilembagakan maupun tidak, yangmeliputi pendidikan keluarga, pendidikan prasekolah (seperti kelompokbermain dan penitipan anak), kursus, kelompok belajar, dan sebagainya.Secara umum fungsi lingkungan pendidikan adalah membantupeserta didik dalam berinteraksi dengan berbagai lingkungan sekitarnya(fisik, sosial, dan budaya), utamanya berbagai sumber daya pendidikanyang tersedia, agar dapat dicapai tujuan pendidikan yang optimal.Penataan lingkungan pendidikan itu terutama dimaksudkan agar prosespendidikan dapat berkembang efisien dan efektif. Seperti diketahui,proses pertumbuhan dan perkembangan manusia sebagai akibat interaksidengan lingkungannya akan berlangsung secara alamiah dengan konsekuensibahwa tumbuh kembang itu mungkin berlangsung lambat dan menyimpangdari tujuan pendidikan. Oleh karena itu, diperlukan berbagai usaha sadar
untuk mengatur dan mengendalikan lingkungan itu sedemikian rupa agardapat diperoleh peluang pencapaian tujuan secara optimal, dan dalamwaktu serta dengan daya/dana yang seminimal mungkin. Dengan demikiandiharapkan mutu sumber daya manusia makin lama semakin meningkat.Hal itu hanya dapat diwujudkan apabila setiap lingkungan pendidikantersebut dapat melaksanakan fungsinya sebagaimana mestinya.Masyarakat akan dapat berfungsi dengan sebaik-baiknya jika setiapindividu belajar berbagai hal, baik pola-pola tingkah laku umum maupunperanan yang berbeda-beda. Untuk itu proses pendidikan harus berfungsiuntuk mengajarkan tingkah laku umum dan untuk menyeleksilmempersiapkanindividu untuk peranan-peranan tertentu. Sehubungan dengan fungsi yangkedua ini pendidikan bertugas untuk mengajarkan berbagai macamketerampilan dan keahlian. Meskipun pendidikan informal juga berperanmelaksanakan kedua fungsi tersebut, tetapi sangat terbatas, khususnyadilaksanakan oleh masyarakat yang masih primitif. Pada masyarakatyang sudah maju, fungsi yang kedua dari pendidikan itu hampir,"p"nut ryu diambii alih oleh lembaga pendidikan formal. Pirndidikanformal bdrTungsi untuk mengajarkan pengetahuan u.mum dan pengetahuanpengetahuan
yang bersifat. khusus dalam rangka mempersiapkan anakuntuk pekerjaan-pekerjaan tertentu.program umum yang diberikan oleh pendidikan formal didasarkanpada asumsi bahwa setiap anak harus memiliki pengetahuan umum,ieperti: pengetahuan membaca, menulis, dan berhitung. Di samping itu,program umum perlu dilakukan untuk memberikan dasar kebudayaanumum yang kuat demi kelangsungan hidup dan perkembangan masyarakat.Karena cepatnya perkembangan industri yang menuntut spesialisasikemampuan dan keterampilan, maka pendidikan formal memberikanprogram yang berbeda-beda. Program pendidikan yang berbeda-beda yangmempersiapkan individu untuk berbagai posisi di dalam masyarakat amatmenentukan peranan pendidikan untuk mengalokasikan individu-individudi berbagai posisi dalam masyarakat (Redja Madyahardjo et. al., 1992:Modul 5l4614T).Perlu pula dikemukakan bahwa pelaksanaan pendidikan dilakukanmelalui tiga kegiatan yakni membimbing, mengajar, dan/atau melatih (AyatI Pasal 1 dari UU RI No.2/1989). Meskipun ketiga kegiatan itu padahakikatnya tritunggal, namun dapat dibedakan aspek tujuan pokok dariketiganya yakni:( l) Membimbing, terutama berkaitan dengan pemantapan jati diri danpribadi dari segi-segi perilaku umum (aspek pembudayaan)'
(2) Mengajar, terutama berkaitan dengan penguasaan ilmu pengetahuan,dan(3) Melatih, terutama berkaitan dengan keterampilan dan kemahiran(aspek teknologi).Seperti dalam paparan di atas, terjadi variasi penekanan ketigakegiatan itu di dalam berbagai lingkungan pendidikan dari masa ke masa.Perlu ditegaskan bahwa sekecil apa pun namun ketiga aspek tujuan pokokpendidikan itu tetap akan tergarap dalam setiap lingkungan pendidikan.sebaliknya, adalah tidak mungkin ketiga aspek tersebut dibebankan hanyakepada satu lingkungan tertentu saja, apalagi hanya pada satu jenis satuanpendidikan saja. Tidak jarang terjadi adanya harapan yang berlebihanterhadap sekolah, seakan-akan keseluruhan tujuan pendidikan itu hanyamenjadi tugas dan tanggung jawab sekolah saja. Kualitas manusia, baikaspek kepribadian maupun penguasaan dasar-dasar ilmu pengetahuan, sertakemahiran dalam spesialisasi tertentu, merupakan hasil kerja ketiga lingkunganpendidikan itu.Kemajuan masyarakat, perkembangan iptek yang semakin cepat,serta makin menguatnya era globalisasi akan mempengaruhi peran danfungsi ketiga lingkungan pendidikan itu. Di samping terjadinya pergeseranperan seperti telah tampak pada keluarga modern, dituntut pula suatu
peningkatan kualitas dari peran itu. Sebagai contoh, di masa depan yangdekat, manusia Indonesia akan dihadapkan pada "tiga budaya" antara lainbudaya Indonesia dan budaya dunia. oleh karena itu pemantapan jati dirisetiap manusia Indonesia merupakan kunci keberhasilannya dalam memilihpengaruh "tiga budaya" itu. Pemantapan ketiga sisi tujuan pendidika'n ituyakni manusia yang sadar akan harkat dan martabatnya, menguasai ilmupengetahuan, dan memiliki suatu spesialisasi/keterampilan tertentu, yangdisebut sebagai manusia seutuhnya. Di masa depan, ketiga sisi tersebutsemakin penting karena harus mampu menyesuaikan diri dengan eraglobalisasi dan kemajuan iptek dan dari segi lain, harus mampu memenangkanpersaingan.yang semakin ketat dan tampil sebagai yang unggul dalambidang spesialisasinya. Karena itu peningkatan fungsi ketiga lingkunganpendidikan, baik secara sendiri-sendiri maupun secara bersama-sama akansangat penting dalam mewujudkan sumber daya manusia yang bermutu.B. Thipusat PendidikanManusia sepanjang hidupnya selalu akan menerima pengaruh dari
tiga lingkungan pendidikan yang utama yakni keluarga, sekolah, dan
masyarakat, dan ketiganya disebut tripusat pendidikan' Lingkunganpendidikan yang mula-mula tetapi terpenting adalah keluarga. Padamasyarakat yang masih sederhana dengan struktur sosial yang belumkompleks, cakrawala anak sebagian besar masih terbatas pada keluarga'Pada masyarakat tersebut keluarga mempunyai dua fungsi: Fungsiproduksi dan fungsi konsumsi. Kedua fungsi itu mempunyai pengaruhyang sangat besar terhadap anak. Kehidupan masa depan anak padamasyarakat tradisional umumnya tidak jauh berbeda dengan kehidupanorang tuanya. Pada masyarakat tersebut, orang tua yang mengajarpengetahuan dan keterampilan yang diperlukan untuk hidup; orang tuapula yang melatih dan memberi petunjuk tentang berbagai aspek kehidupan,sampai anak menjadi dewasa dan berdiri sendiri. Tetapi pada masyarakatmodern di mana industrialisasi semakin berkembang dan memerlukanspesialisasi, maka pendidikan yang semula menjadi tanggung jawabkeluarga itu kini sebagian besar diambil alih oleh sekolah dan lembagalembagasosial lainnya. Pada tingkat yang paling permulaan fungsi ibusebagian sudah diambil alih oleh pendidikan prasekolah. Pada tingkatspesialisiisi yang rumit, pendidikan keterampilan sudah tidak berada padaayah lagi sebab sudah diambil alih oleh sekolah-sekolah dan perguruantinggi. Bahkan fungsi pembentukan watak dan sikap mental padamasyarakat modern berangsur-angsur diambil alih oleh sekolah danorganisasi sosial lainnya seperti perkumpulan pemuda dan pramuka,
lembaga-lembaga keagamaan, media massa, dan sebagainya.Meskipun keluarga kehilangan sejumlah fungsi yang semula menjaditanggung jawabnya, namun keluarga masih tetap merupakan lembagayang paling penting dalam proses sosialisasi anak, karena keluarga yangmemberikan tuntunan dan contoh-contoh semenjak masa anak sampaidewasa dan berdiri sendiri. Adanya perubahan fungsi keluarga mempunyaipengaruh besar terhadap proses pendidikan pada umumnya, termasukpendidikan formal. Dalam keluarga pada masyarakat yang belum maju,orang tua merupak-an sumber pengetahuan dan keterampilan yang diwariskanatau diajarkan kepada anak-anaknya. Dalam keluarga semacam ini orangtua memegang otoritas sepenuhnya. Sebaliknya, dalam masyarakat modernorang tua harus membagi otoritas dengan orang lain, terutama guru danpemuka masyarakat, bahkan dengan anak mereka sendiri yang memperolehpengetahuan baru dari luar keluarga. Hubungan keluarga pun berubahdari hubungan yang bersifat otoritatif menjadi hubungan yang bersifatkolegial. Dalam keluarga ini lebih dapat ditumbuhkan perasaan aman,saling menyayangi, dan sifat demokratis pada diri anak sebab keputusanyang diambil selalu dibicarakan bersama oleh seluruh anggota keluarga
(Redja Mudyahardjo, et. al., 1992: Modul 5154-56). Perubahan sifathubungan orang tua dengan anaknya itu, akan diiringi pula denganperubahan hubungan guru-siswa serta didukung oleh iklim keterbukaanyang demokratis dalam masyarakat. Dengan kata lain, terdapat salingpengaruh antarketiga pusat pendidikan itu.Dalam peraturan Dasar Perguruan Nasional Taman Siswa (PutusanKongres X tanggal 5-10 Desember 1966) Pasal 15 ditetapkan bahwa:(1) Untuk mencapai tujuan pendidikannya, Taman Siswa melaksanakankerja sama yang harmonis antara ketiga pusat pendidikan yaitu:(a) Lingkungan keluarga.(b) Lingkungan perguruan.(c) Lingkungan masyarakat/pemuda.(2) Sistem pendidikan tersebut dinamakan sistem "Tripusat" (Suparlan,1984: 110). Bagi Taman Siswa, di samping siswa yang tetap tinggaldi lingkungan keluarga, sebagian siswa tinggal di asrama (Wisma Priyadan Wisma Rini) yang dikelola secara kekeluargaan dengan menerapkanSistem Among. Sedangkan pada lingkungan masyarakat, Taman Siswa,menerapkalr dengan penekanan pemupukan semangat kebangsaan(Suparlan, 1984: 119-120).I. KeluargaKeluarga merupakan pengelompokan primer yang terdiri darisejumlah kecil orang karena hubungan semenda dan sedarah. Keluargaitu dapat berbentuk keluarga tntr (nucleus family: ayah, ibu, dan anak),
ataupun keluarga yang diperluas (di samping inti, ada orang lain: kakek/nenek, adik/ipar, pembantu, dan lain-lain). Pada umumnya jenis kedualahyang banyak ditemui dalam masyarakat Indonesia. Meskipun ibu merupakananggota keluarga yang mula-mula paling berpengaruh terhadap tumbuhkembang anak, namun pada akhirnya seluruh anggota keluarga itu ikutberinteraksi dengan anak. Di samping faktor iklim sosial itu, faktor-faktorlain dalam keluarga itu ikut pula mempengaruhi tumbuh kembangnyaanak, seperti kebudayaan, tingkat kemakmuran, keadaan perumahannya,dan sebagainya. Dengan kata lain, tumbuh kembang anak dipengaruhioleh keseluruhan situasi dan kondisi keluarganya.Perkembangan kebutuhan dan aspirasi individu maupun masyarakat,menyebabkan peran keluarga terhadap pendidikan anak-anaknya jugamengalami perubahan. Seperti telah dikemukakan bahwa pada mulanya,
keluargalah yang terutama berperan baik pada aspek pembudayaan,maupun penguasaan pengetahuan dan keterampilan. Dengan meningkatnyakebutuhan dan aspirasi anak, maka keluarga pada umumnya tidak mampumemenuhinya. Oleh karena itu, sebagian dari tujuan pendidikan itu akandicapai melalui jalur pendidikan sekolah ataupun jalur pendidikan luarsekolah lainnya (kursus, kelompok belajar, dan sebagainya). Bahkanperan jalur pendidikan sekolah makin lama makin penting, khususnyayang berkaitan dengan aspek pengetahuan dan keterampilan. Hal ini tidakberarti bahwa keluarga dapat melepaskan diri dari tanggung jarvahpendidikan anaknya itu, karena keluarga diharapkan bekerja sama danmendukung kegiatan pusat pendidikan lainnya (sekolah dan rnasyarakat).Fungsi dan peranan keluarga, di samping pemerintah dan masyarakat,dalam Sisdiknas Indonesia tidak terbatas hanya pada pendidikan keluargasaja, akan tetapi keluarga ikut serta bertanggung jawab terhadap pendidikanlainnya. Khusunya untuk pendidikan keluarga, terdapat beberapa ketentuanclalarn UU RI No.2 Tahun 1989 tentang Sisdiknas yang menegaskanfungsi (4n peranan keluarga dalam pencapaian tujuan pendidikan yaknirnembangun manusia Indonesia seutuhnya. Pendidikan keluarga merupakanbagian dari jalur pendidikan luar sekolah yang diselenggarakan dalamkeiuarga dan yang memberikan keyakinan agama, nilai budaya, niiaimoral, dan keterampilan (Pasal 10 Ayat 4). Dalam penjelasan undarrgundangtersebut ditegaskan bahwa pendidikan keluarga itu merupakansalah satu upaya mencerdaskan kehidupan bangsa melalui pengalamanseumur hidup. Pendidikan dalam keluarga memberikan keyakinan agama"nilai budaya yang mencakup nilai moral dan aturan-aturan pergaulan sertapandangan, keterampiian dan sikap hidup yang mendukung kehidupanbermasyarakat, berbangsa, dan bernegara kepada anggota keluargayang bersangkutan (Undang-Undang,' 1992 26). Selanjutnya, dalam
penjelasan ayat 5 Pasal 10 ditegaskan bahwa pemerintah mengakuikemandirian keluarga untuk melaksanakan upaya pendidikan dalamlingkungan sendiri.Menurut Ki Hajar Dewantoro, suasana kehidupan keluarga merupakantempat yang sebaik-baiknya untuk melakukan pendidikan orang-seorang(pendidikan individual) maupun pendidikan sosial. Keluarga itu tempatpendidikan yang sempurna sifat dan wujudnya untuk melangsungkanpendidikan ke arah pembentukan pribadi yang utuh, tidak saja bagikanak-kanak tapi juga bagi para remaja. Peran orang tua dalam keluargasebagai penuntun, sebagai pengajar, dan sebagai pemberi contoh. Padaumumnya kewajiban ibu bapak itu sudah berjalan dengan sendirinya
sebagai suatu tradisi. Bukan hanya ibu bapak yang beradab danberpengetahuan saja yang dapat melakukan kewajiban mendidik anakanaknya,akan tetapi rakyat desa pun melakukan hal ini. Merekasenantiasa melakukan usaha yang sebaik-baiknya untuk kemajuan anakanaknya.Memang manusia mempunyai naluri pedagogis, yang berartibahwa buat ibu bapak perilaku pendidikan itu merupakan akibat "naluri"untuk melanjutkan keturunan (Ki Hajar Dewantoro, 1962; dari WayanArdhana, 1986: Modul 4/5-6).Lingkungan keluarga sungguh-sungguh merupakan pusat pendidikanyang penting dan menentukan, karena itu tugas pendidikan adalahmencari cara, membantu para ibu dalam tiap keluarga agar dapatmendidik anak-anaknya dengan optimal. Anak-anak yang biasa turut sertamengerjakan segala pekerjaan di dalam keluarganya, dengan sendirinyamengalami dan mempraktekkan bermacam-macam kegiatan yang amatberfaedah bagi pendidikan watak dan budi pekerti seperti kejujuran,keberanian, ketenangan, dan sebagainya. Keluarga juga membina danmengembangkan perasaan sosial anak seperti hidup hemat, menghargaikebenaran, tenggang rasa, menolong orang lain, hidup damai, dansebagainya. Jelaslah bahwa lingkungan keluarga bukannya pusat penanamdasar pendidikan watak pribadi saja, tetapi pendidikan sosial. Didalam keluargalah tempat menanam dasar pembentukan watak anak-anak.Decroly pernah mengemukakan bahwa 70Vo dari anak-anak yang jatuhke jurang kejahatan berasal dari keluarga yang rusak kehidupannya. Olehkarena itu untuk memperbaiki keadaan masyarakat maka perlu adanyaperbaikan dalam pendidikan keluarga (Wayan Adhana, 1986: Modul4t10-11).Pada umumnya ibu bertanggung jawab untuk mengasuh anak, olehkarena itu pengaruh hubungan antara ibu dan anak perlu mendapatperhatian, utamanya pengaruh pengawasan berlebihan terhadap perkembangananak. Levy membedakan pengawasan yang berlebihan ini menjadi dua,
yaitu memanjakan dan mendominasi anak. Anak yang dimanjakan akanIebih bersifat tidak penurut, agresif, dan suka menentang. Sebaliknyaanak yang diasuh oleh ibu yang suka mendominasi akan berkembangmenjadi anak yang penurut dan selalu tergantung kepada orang lain(kurang inisiatif). Akan tetapi di sekolah, baik anak yang dimanjakanmaupun anak yang selalu didominasi pada umumnya tidak mengalamikesulitan dalam belajar. Berdasarkan hasil penelitiannya, Levy menyimpulkanbahwa meskipun anak yang dimanjakan itu selhlu merepotkan orangtuanya di rumah, tetapi baik anak yang dimanjakan maupun selalu