oktober 2016...dr. ir. h. m. nurdin, mt kepala badan penelitian dan pengembangan, pendidikan dan...

47
INFO DESA Membangun Indonesia dari Pinggiran 2016 OKTOBER 2016 04 04 OKTOBER DESA, KREATIVITAS, DAN PENGUATAN EKONOMI INFO DESA

Upload: others

Post on 25-May-2020

6 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

INFO DESAMembangun Indonesia dari Pinggiran

2016

OKTO

BER 2016

04

04 OKTOBER

DESA, KREATIVITAS, DAN PENGUATAN EKONOMI

INF

O D

ES

A

Dr. Ir. H. M. Nurdin, MT Kepala Badan Penelitian dan

Pengembangan, Pendidikan dan Pelatihan, dan Informasi

Pembaca budiman,

UU Desa No 6 Tahun 2014 mengama-natkan tiga hal kepada Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi. Tiga hal tersebut ada-lah pembangunan desa, pemberdayaan masyarakat, dan pengembangan kema-syarakatan.

Dalam konteks tersebut, peran pemi-mpin desa sangat besar. Pemimpin desa yang cakap baik dari kemampuannya di bidang administrasi pemerintahan, kepemimpinan, ketokohan, dan kete-ladanan sangat dibutuhkan. Selain itu, seperti digarisbawahi Menteri Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi, Eko Putro Sandjojo, pemimpin desa juga harus kreatif dan berani, karena kreativitas merupa-kan denyut nadi dalam membangun perekonomian desa. Kepala desa juga diharapkan mampu melakukan pem-berdayaan masyarakat, menciptakan rantai ekonomi yang berkelanjutan, serta menggerakkan sektor bisnis dan usaha. Dengan demikian, kepala desa tidak hanya berkonsentrasi pada pem-bangunan infrastruktur seiring penya-luran dana desa yang telah diberikan oleh pemerintah pusat.

Jika hal-hal tersebut telah mampu dijalankan dengan baik oleh ma-sing-masing kepala desa di 74.754 desa, maka besar harapan di masa depan kita akan melihat wajah de-sa-desa di Indonesia mengalami ke-majuan berarti dan dari sisi ekonomi mencatatkan pertumbuhan secara signifikan. Masyarakat bisa memper-oleh pendapatan yang layak sehingga dari pendapatan tersebut masyarakat dapat mencukupi kebutuhan hidup sehari-hari, membiayai kebutuhan pendidikan anak-anak serta kese-hatan seluruh keluarga. Kita berharap hal itu tercipta di desa-desa. Tentu saja harapan tersebut membutuhkan kerja sama antara pemimpin berikut perangkat desa serta masyarakat.

Itulah tema liputan utama yang kami angkat pada edisi kali ini. Selain itu, kami juga menyajikan hasil riset tentang Indeks Desa, profil tokoh, potret trans-migrasi KTM Telang, hingga gambaran tentang desa maju di Indonesia, serta info-info menarik lainnya.

Akhir kata, selamat membaca. Untuk kritik dan saran perbaikan majalah ini dapat disampaikan melalui email: [email protected] l

Surat Redaksi

Oktober, 2016 Info Desa 3

PENERBIT Pusat Data dan Informasi

Badan Penelitian dan Pengembangan, Pendidikan dan Pelatihan, dan Informasi (BALILATFO)

Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi

PENASIHAT Eko Putro SandjojoMenteri Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi

PEMIMPIN UMUM

H. M. NurdinKepala Badan Penelitian dan Pengembangan, Pendidikan dan Pelatihan dan Informasi

WAKIL PEMIMPIN UMUM

Ahmad ImanStaf Khusus Bidang Media

PEMIMPIN REDAKSI

HelmiatiKepala Pusat Data dan Informasi

TIM REDAKSI

Jajang Abdullah (Sekretaris Balilatfo)Leroy Sami Uguy (Kepala Puslitbang)Anto Pribadi (Kepala Puslatmas)Suparman (Kepala Pusdiklat)

SEKRETARIAT REDAKSI

Elly SarikitKabid. PDT dan Transmigrasi

Aditya Hendra KrisnaKabid. Pengembangan Sistem Informasi dan Sumberdaya Informatika

RusmanStaf Bidang Media

Ria FajariantiKasubbid. Pengumpulan dan Pengolahan Data PDT dan Transmigrasi

Anton Tri SusiloKasubbid. Penyajian Informasi PDT dan Transmigrasi

Ichsan Nur AhadiKasubbid. Pengumpulan dan Pengolahan Data Desa

Nur HaryadiKasubbid. Penyajian Informasi Desa

Hardiman WahyudiKasubbid. Sumber Daya Informatika

Wuwuh SarwoajiKasubbag. Tata Usaha

Alfandi PramandaruPenyusun Bahan Data dan Informasi

ALAMATPusat Data dan Informasi (Pusdatin)Badan Penelitian dan Pengembangan,Pendidikan dan Pelatihan, dan Informasi (Balitlafo).Kementerian Desa, Pembangunan DaerahTertinggal dan TransmigrasiJalan TMP Kalibata No 17Jakarta Selatan 12750Telp : 021 – 7900039Fax : 021 - 7900030

Kreatif Membangun Ekonomi Desa

12Liputan Utama

Desa Maju

• Dermaji Desa Kecil yang Bertaji

• Melaju di Gerbang Sadu Mandara

• Menengok Pesona Desa Ponggok

34YESAYA MAYOR:Penjaga Cenderawasih Liar di Mansar

Tokoh

Kopra yang Melanglang Buana

Karya

Transmigrasi

50-53

SERTIFIKASI TANAH Agar Transmigran Tenang Bekerja

KTM TELANG Model Lumbung Pangan Nasional

5638-43

Daftar Isi

4 Info Desa Oktober, 2016 Oktober, 2016 Info Desa 5

Menteri Desa Pemba-ngunan Daerah Terting-gal dan Transmigrasi, Eko Putro Sandjojo, ber-kesempatan mengun-

jungi Badan Usaha Milik Desa (BUM Desa) Pentingsari, yang terletak di Desa Umbulharjo, Kecamatan Cangkringan, Sleman, Yogyakarta, pekan terakhir Sep-tember lalu. Pertemuan yang dihadiri oleh Camat Cangkringan, Edi Harmana, Kepala Desa Umbulharjo, Suyatmi, dan masyarakat setempat itu digelar di pe-lataran depan lahan Kebun Praktek Ka-rang Kedempel, yang merupakan lahan ujicoba bagi Penggerak Swadaya Ma-syarakat (PSM), Balai Besar Latihan Ma-syarakat (BBLM) Yogyakarta.

Di awal kunjungannya, Eko melakukan tanya-jawab seputar potensi Desa Pen-tingsari. “Saya ingin belajar dari ma-syarakat di sini. Pentingsari lokasinya dekat dengan Gunung Merapi. Hawa sejuk, topografi yang berbukit, dan air bersih ada di sini. Apa saja yang sudah dikerjakan masyarakat di sini, dengan potensi wisata sebagus ini?” tanya Eko.

“Untuk wisata alam, desa kami sudah ada 9 komunitas jeep yang melayani wisata lava tour. Dan jeep yang tadinya sewa, secara bertahap sekarang sudah menjadi milik komunitas jeep desa kami,” jawab Suyatmi, kepala desa perempuan yang dilantik setahun yang lalu.

“Sedangkan wisata budayanya, kami ada penginapan yang disediakan untuk wisata live in (merasakan hidup di desa), dengan melakukan aktivitas sehari-hari masyarakat, seperti menanam padi, me-masak dengan kompor kayu, dan seba-gainya. Beberapa kali kami kedatangan wisatawan dari luar negeri, mereka live in di Pentingsari selama beberapa hari,” tambah Suyatmi.

Selepas tanya-jawab yang penuh canda tawa, Eko menyempatkan diri berkeliling di kebun hidroponik Karang Kedempel. De-ngan didampingi kepala BBLM Yogyakarta, Hermanto Supangat, Eko beserta rom-bongan mendapat penjelasan seputar pe-nanaman bawang merah dan sawi sendok.

“Hidroponik memiliki beberapa keun-tungan. Penggunaan teknik ini dapat menghilangkan gangguan hama, meng-hemat tempat budidaya, dan kualitas pun terjamin, karena air dan unsur ha-ranya terukur,” terang salah satu ang-gota PSM BBLM Yogyakarta. “Sawi sen-dok hasil hidroponik lebih sehat untuk dikonsumsi, karena bebas dari residu pestisida,” imbuhnya.

Menanggapi informasi yang diberikan PSM BBLM Yogyakarta, Eko berharap ada pelatihan pendukung bagi masyarakat, se-perti administrasi, manajemen keuangan, dan manajemen BUM Desa, untuk pe-ngembangan perekonomian desa.

“Dana desa semakin meningkat dari ta-hun ke tahun. Tahun ini, Rp 46,8 triliun, tahun depan kemungkinan akan naik

menjadi Rp 70 triliun. Kalau disalurkan, setiap desa akan mendapat Rp 400-800 juta,” ujar Eko. Dengan besarnya nomi-nal tersebut, lanjutnya, menjadi penting agar dana desa digunakan untuk pelati-han pemberdayaan ekonomi masyarakat desa, dan tidak semata-mata terfokus pada pembangunan infrastruktur saja.

Blusukan di Pentingsari adalah bagian dari kegiatan kunjungan Menteri Desa PDTT ke kantor Balai Besar Latihan Masyarakat (BBLM) Yogyakarta, yang terletak di kompleks Pemda Tridadi Sle-man. Kunjungan menteri, yang dilakukan sepulang dari Pentingsari, disambut oleh Bupati Sleman, Sri Purnomo, bersama stafnya di halaman depan kantor BBLM Yogyakarta. Pertemuan diisi dengan dis-kusi untuk mengembangkan desa-desa di Sleman. Dalam obrolan ringan tapi padat itu, Eko menyatakan harapannya agar desa-desa yang mengedepankan per-tanian bisa fokus pada produk unggulan tertentu. “Sedangkan desa yang basisnya wisata diharapkan untuk lebih menjaga dan memelihara lingkungannya, sehingga bisa mewujudkan skala ekonomi yang lebih baik melalui BUM Desa,” ujarnya. l

Menteri Desa Blusukan ke Desa Pentingsari Jogja

Sekitar setengah kilometer sisi selatan kebun pelati-han Penggerak Swadaya Masyarakat Balai Besar Latihan Masyarakat (PSM

BBLM) Yogyakarta, terdapat homestay “Seruni”. Sarana pendukung wisata ini tidak luput dikunjungi Menteri Desa PDTT, Eko Putro Sandjojo. Awalnya, kunjungan ini tidak masuk dalam ren-cana. Tetapi, karena mendengar ada homestay yang dijadikan tempat live in wisatawan Australia, Eko spontan ter-tarik untuk meninjau. Setiba di lokasi, udara sejuk pegunungan dan kondisi lingkungan yang bersih mengundang decak kagum sang menteri.

“Ada berapa rumah yang dijadikan homestay di Pentingsari?” tanya Eko kepada pemilik homestay Seruni.

“Ada 50 rumah, dengan daya tampung total sekitar 400 orang,” jawab si pemi-lik. Menteri Eko kembali menyatakan kekagumannya dan mengungkapkan bahwa potensi itu dapat dioptimalkan,

ketika sebuah perhelatan tingkat nasi-onal diselenggarakan di Pentingsari.

Pertemuan Eko dengan pengelola “Se-runi”, yang juga warga setempat, ber-langsung di dapur yang terletak di sisi timur homestay. Di akhir kunjungan-

nya, Eko berpesan untuk selalu men-jaga kebersihan lingkungan, karena citra desa wisata yang sudah memiliki prestasi ini bisa rusak, hanya karena sampah yang tidak dikelola dengan baik.

Tepat di depan homestay “Seruni”, ke-giatan Pelatihan dan Pengembangan Pembina Pramuka sedang berlangsung. Dengan bersemangat, Menteri Eko, yang juga seorang penggiat Pramuka, lantas mendatangi acara tersebut. Ke-datangannya ke joglo tempat berlang-sungnya acara disambut meriah oleh peserta pelatihan.

“Saya dulu juga belajar simpul dan san-di morse,” ujar Eko. Tepuk tangan dari peserta bergema riuh, ketika Eko lancar memeragakan semaphore dan sandi morse, dengan kedua tangannya.

Di depan peserta pelatihan yang didomi-nasi pelajar itu, Eko berpesan, “Seorang Pramuka itu diajari gagal, tetapi juga diajari untuk selalu bangun dari kegaga-lan. Itu bedanya orang pintar dan orang sukses, dan di Pramuka kita belajar jadi orang sukses,” katanya. l

Mampir ke Homestay Desa Pentingsari

Peristiwa Peristiwa

6 Info Desa Oktober, 2016 Oktober, 2016 Info Desa 7

Kementerian Desa, Pemba-ngunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi meng-gelar Expo Potensi Desa di Jakarta Convention Centre

(JCC) Senayan, Jakarta, pada 13-15 Ok-tober 2016. Dalam pameran ini, berag-am kekayaan dan potensi unggulan desa ditampilkan dalam Expo kedua tahun ini setelah di Sumatera Barat pada 23-25 September 2016.

Expo Potensi Desa merupakan agen-da tahunan Kementerian Desa, PDT, dan Transmigrasi. Tahun lalu ke-giatan sejenis dihelat di enam lokasi, yakni Cianjur, Bondowoso, Demak, Banyuasin, Maros, dan Banjarmasin. Karena itu, Expo Potensi Desa ke-2 ta-hun 2016 di JCC dibuka langsung oleh Menteri Desa, Pembangunan Daerah

Tertinggal, dan Transmigrasi Eko Pu-tro Sandjojo.

Menurut Eko, Expo Potensi Desa me-rupakan peluang bagi Badan Usaha Milik Negara (BUMN) dan pihak swasta untuk masuk dan terlibat langsung dalam pem-bangunan desa. “Melalui Expo Potensi Desa ini, kami berharap mitra-mitra ker-ja dari BUMN maupun swasta dapat ter-dorong untuk turut berpartisipasi dalam membangun desa,” ujar Eko.

Dalam Expo Potensi Desa ini, sejum-lah mitra usaha yang ikut berpartisi-pasi, di antaranya BNI, Bulog, BRI, BTN, Pegadaian, dan beberapa mitra lainnya. Keterlibatan mitra strategis ini dapat memacu proses pemba-ngunan desa yang menjadi komitmen pemerintahan Jokowi.

Menteri Eko menjelaskan, Expo Po-tensi Desa merupakan sarana bagi desa-desa untuk menunjukkan ke-pada publik berbagai potensi yang la-yak dikembangkan ke level yang lebih tinggi. Expo ini juga menjadi sarana sosialisasi capaian kinerja Kemen-terian Desa, PDT, dan Transmigrasi, baik dalam hal regulasi maupun pro-gram unggulan Kementerian.

“Kami berharap kegiatan ini akan menjadi wadah interaksi dan saling bertukar informasi untuk kemajuan daerah, bagi para peserta expo, dan juga masyarakat serta dunia usaha. Mari kita saling menginspirasi. Mari kita bergerak bersama memajukan produk unggulan daerah mewujud-kan Gerakan Nasional Satu Desa Satu Produk,” tegas Menteri Eko. l

Dorong Pembangunan Desa, Kemendesa Gelar Expo Potensi Desa

Pemerintah Provinsi Su-matera Barat ditunjuk se-bagai tuan rumah pelak-sanaan Expo Potensi Desa 2016 yang diikuti

sejumlah provinsi di Tanah Air. Wakil Gubernur Sumatera Barat, Nasrul Abit mengatakan daerahnya ditunjuk se-bagai tuan rumah Expo Potensi Desa 2016 oleh Kementerian Desa, Pemba-ngunan Daerah Tertinggal dan Trans-migrasi (PDTT).

Acara yang digelar pada akhir Septem-ber 2016 ini menjadi ajang promosi wisata bagi daerah, karena diikuti tujuh provinsi dan 75 kabupaten dan kota. Kegiatan tersebut merupakan kesempa-tan bagi daerah untuk mempelajari pe-ngelolaan desa di daerah lain, sekaligus mempromosikan daerahnya.

“Dari kegiatan nanti akan muncul po-tensi-potensi desa yang bagus dari selu-ruh Indonesia dan juga potensi nagari-

nagari di Sumatera Barat,” ujarnya. Dia meminta kepala daerah (Bupati/Wali Kota) dari daerah untuk menyiapkan dan membawa potensi-potensi unggu-lan untuk ditampilkan dalam kegiatan tersebut.

Sementara itu, Kepala Bagian Pember-itaan dan Publikasi Kementerian Desa, PDT dan Transmigrasi Risamanto me-ngatakan kegiatan Expo Potensi Desa 2016 bertujuan untuk promosi dan so-sialisasi potensi desa serta identifikasi program unggulan. “Harapan kami, dari kegiatan ini akan muncul poten-si-potensi unggulan desa, untuk me-ningkatkan pembangunan di desa,” katanya.

Dia menyebutkan, selain diikuti peme-rintah provinsi, kabupaten dan kota seluruh Indonesia, Expo juga diikuti para investor, akademisi, dan pegiat pembangunan desa, serta masyarakat umum. l

Kemendesa Gelar Expo Potensi Desa Di Sumbar

Kementan dan Kemendesa Bangun Sektor Pertanian di Wilayah Perbatasan

Kementerian Pertanian bersama Ke-menterian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigasi

tengah berupaya mengembangkan sektor pertanian di daerah perbatasan. Hal itu di-lakukan untuk mewujudkan daulat pangan nasional dan memberikan perhatian ke-pada daerah-daerah perbatasan Indonesia.

Dalam implementasinya, setiap wilayah perbatasan didorong mampu berswase-mbada padi, jagung, cabai, bawang merah, serta komoditas lainnya sesuai dengan karakteristik wilayah tersebut.

Menteri Pertanian Andi Amran Sulai-man mengatakan, berkembangnya sek-tor pertanian di daerah perbatasan akan menghilangkan ketergantungan sumber pangan dari daerah lain atau negara tet-angga. “Kami berkomitmen untuk mem-bangun lumbung pangan di daerah per-batasan dan daerah transmigrasi. Kami bangun dengan Kementerian Desa, agar bisa tingkatkan kesejahteraan petani dan menekan inflasi,” ujar Amran, di kantor Kementerian Pertanian, Jakarta, pada Ju-mat, 16 September 2016.

Menurut Amran, jika hasil pertanian sudah dapat memenuhi kebutuhan di wilayah tersebut, maka sisanya (surplus) akan diekspor ke negara tetangga. “Sisan-ya (hasil pertanian) kami ekspor ke negara tetangga. Kami bisa jadi pemenang karena berbatasan langsung dengan negara tet-angga,” tegasnya.

“Untuk tahun ini ada 4.000 hektar, kalau total rencananya 20.000 hektar. Anggaran-nya sekitar Rp 40 miliar. Itu belum termasuk alsintan (alat mesin pertanian). Karenanya, kami butuh Rp 100 miliar untuk perba-tasan,” tambah Amran. Kementan menyiap-kan sejumlah langkah strategis dalam mem-bangun lumbung pangan di perbatasan.

“Dimulai dengan mengindentifikasi kebu-tuhan dari negara tetangga, menggali po-tensi sumber pertumbuhan baru pangan perbatasan, pencanangan program dan kegiatan perbatasan secara komprehensif dan berkelanjutan, serta sinergisme dalam melaksanakan program,” kata Amran. l

Peristiwa Peristiwa

8 Info Desa Oktober, 2016 Oktober, 2016 Info Desa 9

Menteri Desa, Pemba-ngunan Daerah Terting-gal dan Transmigrasi, Eko Putro Sandjojo, melaku-kan kunjungan kerja se-

kaligus menandatangani Memorandum of Understanding (Nota Kesepahaman) kerjasama dengan Menteri Koperasi dan UKM, Anak Agung Gede Ngurah Pus-payoga, tentang pemberdayaan masyara-kat desa melalui koperasi dan Badan Us-aha Milik Desa (BUM Desa), pekan ketiga September lalu.

Acara yang diselenggarakan di lapangan Kecamatan Kalikajar, Kabupaten Wono-sobo, Jawa Tengah ini juga dihadiri oleh Wakil Gubernur Jawa Tengah, Heru Su-jatmoko, Bupati Wonosobo, Eko Purno-mo, Kepala BNI Kantor Wilayah Daerah Istimewa Yogyakarta, Arif Swasono, dan segenap jajaran direksi BNI wilayah Yo-gyakarta, perwakilan Bank BRI, Bank Jateng, dan Bank Mandiri.

Acara yang diawali penandatanganan MoU ini kemudian dilanjutkan dengan pemberi-an bantuan langsung berupa modal untuk usaha kecil dan menengah. Diikuti pembe-rian hadiah untuk pelajar SMP Kalikajar Wonosobo yang berhasil menjawab per-tanyaan kedua menteri. Menjelang turun hujan, Menteri Eko menyempatkan diri memberi sambutan bagi warga. Dalam pidatonya yang singkat namun inspiratif, Menteri Eko menggarisbawahi banyak-nya desa yang maju tingkat ekonominya dikarenakan fokus pada produk tertentu.

“Jika desa fokus pada satu produk ter-tentu, dalam berproduksi ia akan mem-punyai skala ekonomi yang cukup. De-ngan skala ekonomi yang cukup, desa tersebut bisa melengkapi dirinya dengan sarana-sarana setelah produksi. Misalnya, kalau di pertanian ya sarana pasca-panen, kalau untuk UKM ya sarana pemasaran,

atau di sektor ekonomi kreatif berupa sa-rana distribusi yang lain,” jelasnya.

Selanjutnya, Eko memberi inspirasi ma-syarakat dengan memberikan contoh desa wisata Ponggok, yang berada di Klaten, Jawa Tengah. Desa wisata yang meman-faatkan daya tarik kolam alami ini kini menuai pendapatan hingga Rp 6 miliar setahun, dengan keuntungan Rp 3 mi-liar setahun. Awalnya, tutur Eko, Desa Ponggok adalah desa tertinggal dengan jumlah penduduk yang padat dan hanya berpendapatan Rp 5 juta per tahun. Tetapi, inovasi kepala desa dan peran masyarakat sekitar Ponggok, dengan memodifikasi isi kolam dan menaruh sofa, sepeda, dan ber-bagai benda menarik lainnya, sehingga pe-ngunjung dapat berfoto di dalam air, men-jadikan kolam ini obyek wisata yang unik. Bahkan, sekarang sudah menjadi salah satu lokasi pilihan untuk berfoto pra-per-nikahan (pre-wedding). Melalui contoh tersebut, Eko mengajak masyarakat untuk menghilangkan ego sektoral yang berada di desa-desa. “Sudah saatnya, antar-sektor bekerjasama dan melakukan inovasi, se-hingga desa dapat lebih maju dan mandiri secara ekonomi,” tandasnya.

Usai memberi sambutan, Eko me-nembus hujan lebat dan mengunjungi stan-stan BUM Desa yang memamer-kan produk-produk UMKM. Salah satu gerai yang dikunjungi Eko adalah milik kelompok tani Wanita Berdikari, yang diketuai oleh Sudaryati. Sembari Ment-eri Eko mencicipi keripik singkong dan minuman herbal jahe merah, Sudaryati menerangkan hidangan yang menjadi produk unggulan itu.

“Kami sudah menghasilkan 12 jenis jamu dengan bahan yang berasal dari tanaman alami dan tanpa ada campuran bahan kimiawi,” kata Sudaryati. Ia selanjutnya menjelaskan bahwa produknya sudah ditawari untuk ekspor ke Malaysia, keti-ka Menteri Eko menanyakan perihal pe-masaran.

Dalam acara ini, Menteri Koperasi dan UKM juga menyatakan komitmennya untuk terus mencanangkan program yang bersinergi dengan Kementerian Desa PDTT dan menghimbau pihak bank untuk tidak membebani UMKM dengan meminta agunan untuk kriteria pin-jaman sampai dengan Rp 25 juta. l

MoU Kementerian Desa dan Kementerian Koperasi di Wonosobo

Munculnya gerakan dari desa yang memanfaatkan internet menjadi tren baru belakangan ini. Se-bagai contoh, Desa Pan-

jalu, Kecamatan Panjalu, Ciamis, Jawa Barat, sejak lama memanfaatkan TIK dalam menjalankan pemerintahan desa. Selain itu, daerah ini juga mengadakan pelatihan TIK kepada perangkat dan kader desa.

Hal itu tercermin dalam acara bertajuk Indonesian Rural ICT Development Pro-gramme, di kantor Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi, pada 27-29 September 2016. Acara ini merupakan kerja sama Kementerian Desa, Pembangunan Dae-rah Tertinggal, dan Transmigrasi dengan OECD Korea Policy Centre.

Penggunaan TIK terkait dengan dunia usaha juga cukup lengkap dan informa-

tif. Situs web yang tersedia digunakan pemerintah desa untuk mempromosikan hasil pertanian, lokasi wisata, dan hasil kerajinan produk dari usaha kecil mene-ngah. Dalam pelaksanaan e-government, sebagian besar masih di tahap informasi, dan sebagian lainnya di tahap interaksi.

Pemanfaatan TIK di Desa Panjalu di-gunakan untuk menyebarluaskan atau diseminasi informasi mengenai kegiat-an-kegiatan pembangunan yang sedang dilaksanakan. Hal ini ditunjang dengan melakukan pelatihan dan menambah pe-ngetahuan terkait TIK.

Dari sisi SDM, beberapa manfaat yang dirasakan Desa Panjalu antara lain me-ngurangi rendahnya literasi TIK, mengeta-hui kegiatan-kegiatan pembangunan yang dilakukan desa, kemudahan masyarakat dalam memperoleh informasi anggaran, kebijakan, kegiatan desa, serta mengetahui informasi pelayanan publik di desa.

Dari sisi dunia usaha, penggunaan TIK di Desa Panjalu, selain penyebaran berita kegiatan atau media promosi mengenai hasil bumi, lokasi wisata, ada juga penye-lenggaraan festival seni budaya, kuliner, serta hasil kerajinan UKM.

Penggunaan TIK ini memberi man-faat luas pada Desa Panjalu, antara lain memudahkan hubungan antara petani dan pembeli dengan desa menjadi fasili-tator dan dapat meningkatkan kompetisi antarpetani, promosi produk hasil bumi dan kerajinan UKM menjadi lebih mu-rah, serta lokasi wisata lebih banyak di-kunjungi melalui promosi wisata. Selain itu, TIK juga memudahkan promosi dan infromasi mengenai penyelenggaraan festival seni budaya dan kuliner di Desa Panjalu.

Penggunaan TIK juga berkaitan de-ngan pelayanan terhadap masyara-kat di Desa Panjalu, khususnya untuk kegiatan operasional dalam men-dukung pelayanan pemerintahan desa maupun pengurusan perizinan. Hingga kini, untuk memaksimalkan penggunaan TIK ini, pihak pemerin-tahan desa berupaya untuk mengem-bangkan pemanfaatan TIK untuk pelayanann kepada publik atau ma-syarakat lebih luas. l

Pemanfaatan TIK di Pemerintahan Desa

PeristiwaPeristiwa

10 Info Desa Oktober, 2016 Oktober, 2016 Info Desa 11

Ini cerita Menteri Desa, Pemba-ngunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi Eko Putro Sandjojo tentang Umbul Ponggok, obyek wisata yang terletak di Desa Pong-

gok, Klaten, Jawa Tengah. Menteri Eko mengaku takjub melihat perubahan yang terjadi di desa tersebut. “Dulu Umbul Ponggok merupakan tempat pemandian kuno yang tidak terurus, kemudian lewat sentuhan kreatif, kini pemandian kuno itu berubah menjadi lokasi foto under-water paling populer,” kata Menteri Eko saat menceritakan hal tersebut di sela-se-la kunjungan kerjanya ke Sentani, Jaya-pura, pada akhir September lalu.

“Hasilnya, tempat pemandian yang dulu ha-nya menghasilkan pendapatan Rp 5 juta per tahun, melonjak drastis menjadi Rp 6,5 mi-liar per tahun dengan keuntungan bersih Rp 3,5 miliar,” ujarnya menambahkan.

Menurut Eko, keberhasilan Desa Pong-gok mengembangkan potensi desa ber-basis wisata tidak lepas dari kreativitas aparatur desa. “Kreativitas merupakan kunci dalam membangun ekonomi desa. Kita butuh pemimpin desa yang kreatif dan berani. Sebab seringkali desa yang tidak memiliki prioritas dalam upaya me-ngembangkan potensi wilayahnya, maka arah pembangunannya pun tidak jelas. Jadi, jika desa memang ingin mengem-bangkan wisata ya kembangkan wisata dan fokus di situ,” katanya.

Sekjen Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi, An-

war Sanusi mengatakan, spirit UU Desa saat ini memberikan ruang yang lebih luas bagi desa untuk mengembangkan diri. “Desa bukan lagi obyek (pembangunan) yang menerima program apapun dari pemerintah pusat, kabupaten atau pro-vinsi. Oleh karena itu, kapasitas pemimp-in desa yang inovatif sangat diperlukan dalam membangun desa. Inovatif di sini artinya pemimpin desa dapat menangkap peluang-peluang dan potensi yang ada di desa, kemudian mereka bisa mengka-pitalisasi dalam sebuah ruang produksi yang nantinya bisa memberikan nilai tambah bagi desa dan meningkatkan ke-sejahteraan masyarakat desa,” katanya.

Anwar menilai, munculnya desa-desa wisata dalam beberapa tahun terakhir merupakan kabar baik. “Bagus sekali. Wisata alam, gunung, laut, hutan, vulkanik, semua bisa dikapitalisa-si. Begitu pula dengan wisata buatan seperti kuliner yang dibuat manusia. Ini suatu ke-unggulan yang perlu kita dorong. Tugas kita mendorong tumbuhnya inovasi dan kreativitas di desa-desa,” ujarnya.

Selain inovatif, menurut Anwar, kepala desa yang memiliki ke-mampuan melakukan strategi komunikasi yang baik dan kemam-puan teknis di bidang administrasi pemerintahan, juga dibu-tuhkan dalam membangun desa. “Jika tiga modal dasar ini dapat dikapitalisasi dengan baik, maka akan menjadi pen-dorong utama bangkitnya desa-desa di Indonesia. Tugas kita mengawal pemi-mpin desa agar nantinya mereka bisa mewujudkan cita-cita dalam memba-ngun desa. Setiap kepala desa harus bisa membangun mimpi bersama,” tuturnya.

Bukan SupermanKetua Komisi V DPR Fary Djemi Francis mengatakan, kepemimpinan desa saat

ini dibandingkan 5 tahun lalu jauh lebih baik. “Soalnya, saat ini kan sudah ada UU Desa untuk memandirikan desa. Kita berharap beberapa item dalam rangka memandirikan desa bisa mereka imple-mentasikan. Karena itu, kegiatan-kegi-atan yang berkaitan dengan pemberda-yaan masyarakat desa bisa lebih terarah,” katanya.

Farry berharap, dengan adanya du-kungan dari masyarakat desa, aparatur desa bisa saling belajar. “Kalau mereka bisa saling belajar tentu dengan ba-nyaknya kegiatan-kegiatan yang ada, kita berharap pengembangan sumber daya manusia baik di masyarakat dan aparaturnya bisa ditingkatkan. Saya kira aparat desa siaplah, asal jelas aturan mainnya, peraturannya, dan mekanis-

menya. Kan mereka pasti melakukan apa yang mereka bisa buat untuk desanya. Jadi, mestinya harus jauh lebih baik dari perangkat desa se-belum adanya UU Desa yang baru,” ujarnya.

Staf Ahli Menteri Bidang Pembangunan dan Kemasyarakatan Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Trans-migrasi, Rusnadi Pad-jung menuturkan, de-ngan adanya UU Desa

yang baru, desa tidak lagi sekadar pemerintahan

lokal yang biasa disebut dengan local self government, tetapi merupakan perpa-duan antara local self government dan self governing community atau komuni-tas yang memerintah dirinya sendiri.

Paradigma ini, kata Rusnadi, menem-patkan keputusan-keputusan yang diambil di desa yang berkaitan dengan aset, keuangan, perencanaan pemba-ngunan, dan hal-hal lain tidak hanya bisa dilakukan oleh kepala desa, tapi juga melibatkan komunitas masyara-kat. “Dalam struktur seperti itu, maka pengambilan keputusan yang paling

Kreatif Membangun Ekonomi Desa

Kreativitas merupakan kunci dalam membangun ekonomi desa. Pemimpin desa juga dituntut memiliki kemampuan strategi komunikasi yang baik, kearifan, leadership, ketokohan, dan keteladanan.

Fary Djemi Francis

Ketua Komisi V DPR

Liputan UtamaLiputan Utama

12 Info Desa Oktober, 2016 Oktober, 2016 Info Desa 13

penting di desa adalah musyawarah desa,” ujarnya.

Rusnadi menambahkan, ketika berbicara tentang kepemimpinan desa, maka tidak bisa dilihat secara parsial hanya kepala desanya saja, tapi harus dilihat sebagai suatu sistem. “Dalam konteks ini, seo-rang kepala desa tidak bisa menjadi seo-rang superman yang mengetahui segala-nya. Jauh lebih penting bagi kepala desa untuk memiliki kearifan, leadership, ketokohan, dan teladan bagi masyarakat-nya dalam membangun desa,” tuturnya.

Bupati Bantaeng Nurdin Abdullah me-ngatakan, lebih memilih menggunakan pendekatan keteladanan dalam memi-mpin Bantaeng. “Pemimpin teladan itu harus bekerja dengan hati. Artinya, saya

harus menjadi contoh pemimpin yang baik kepada segenap aparatur daerah maupun masyarakat Bantaeng. Saya ha-rus mulai dari diri sendiri, mulai dari hal yang paling kecil, dan jangan pernah menunda-nunda,” katanya

Nurdin mencontohkan soal membangun budaya kebersihan. Dia mengatakan tidak pernah melarang warganya un-tuk mengajukan Perda terkait larangan membuang sampah di sembarang tem-pat. “Tapi, saya mencoba membangun budaya bersih terlebih dahulu, diawali dengan menciptakan lingkungan yang bersih, serta menyediakan sarana dan prasarana kebersihan,” ujarnya. Strategi tersebut membuahkan hasil. Sejak 2009-2016, Kabupaten Bantaeng diganjar penghargaan Adipura dari pemerintah pusat.

Lain halnya yang dilakukan Hugua, mantan Bupati Wakatobi. Dia lebih me-milih melakukan reformasi birokrasi dan revolusi mental terhadap aparatur

pemerintah lokal agar mereka mam-pu bekerja lebih baik bagi masyarakat. “Hambatan utama di Wakatobi berasal dari birokrat. Mereka umumnya masuk kerja karena ada tunjangan kerja. Oleh karena itu, perlu ada revolusi mental yang diawali dari revolusi berpikir untuk mengangkat budaya lokal dan menghar-gai perbedaan sehingga menjadi sebuah nilai berkomunikasi dalam keluarga maupun desa,” ujarnya.

Hugua kemudian merancang paket pela-tihan untuk mengubah mindset birokrat. Dia mengkombinasikan pendekatan membangun kesetaraan, membedakan antara fakta dan persepsi, serta Teori “U”. “Model pelatihan yang saya berikan ini akan terasa 10 tahun kemudian ka-rena ini perubahan ke dalam,” kata man-tan bupati Wakatobi yang menjabat dua periode sejak 2006. “Hasilnya, karakter masyarakat dan aparatur pemerintah Wakatobi lebih hebat daripada kabupa-ten lain. Salah satunya, jiwa gotong roy-ongnya lebih bagus.” l

Di Pundak Kepala DesaDalam konteks pembangunan desa dan pemberdayaan masyarakat

desa, seorang kepala desa dituntut memiliki sejumlah terobosan. Ini sangat beralasan, sebab, di pundak kepala desa terletak amanah masyarakat untuk membawa desa yang dipimpinnya lebih maju dan sejahtera. Apa saja prasyarat yang harus dimiliki kepala desa untuk

menjalankan amanah tersebut?

~Eko Putro Sandjojo, Menteri Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi

Kepala desa harus kreatif dan berani. Kreativitas merupakan kunci utama membangun desa, di samping kepala desa fokus pada pengembangan satu komoditi unggulan.

Kepala desa diharapkan tidak hanya berkonsentrasi pada pembangunan infrastruktur, tapi juga mampu melakukan pemberdayaan masyarakat, menciptakan sebuah rantai ekonomi yang berkesinambungan, serta menggerakkan sektor bisnis dan usaha. l

�Anwar Sanusi, Sekjen Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal,

dan Transmigrasi

Kepala desa bisa menjadi pionir dan menjadi contoh untuk membangun desa sesuai dengan karakter dan kemampuan desa masing-masing.

Kepala desa dituntut memiliki akun-tabilitas yang tinggi dalam pertang-gungjawaban penggunaan dana desa.

Kepala desa harus inovatif, artinya mampu menangkap peluang-peluang dan potensi yang ada di desa, kemudian bisa mengkapitalisasi dalam sebuah ruang produksi yang memberikan nilai tambah bagi desa dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat desa.

Kepala desa memiliki kompetensi teknik yang spesifik, seperti penge-lolaan keuangan desa, pelaporan, dan perencanaan. l

}Rusnadi Padjung, Staf Ahli Menteri Bidang Pembangunan dan Kemasyarakatan

Kepala desa harus memiliki kearifan, leadership, ketokohan, tanggung jawab, teladan, dan empati bagi masyarakat.

Kepala desa harus memiliki integ-ritas dan kejujuran. Jujur akan mem-buat integritas kepala desa bagus

dan memiliki motivasi yang tinggi untuk bekerja. l

Liputan UtamaLiputan Utama

14 Info Desa Oktober, 2016 Oktober, 2016 Info Desa 15

Butuh Pemimpin Kreatif dan Berani untuk Membangun Desa

EKO PUTRO SANDJOJOMenteri Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi

Sejalan dengan visi Nawa Cita ketiga,

yaitu membangun Indonesia dari

pinggiran, pemerintah mendorong agar

perekonomian di daerah dan desa-

desa terus bertumbuh. Bentuk konkret

dorongan pemerintah tersebut diwujudkan melalui

penyaluran dana desa. “Jadi, komitmen pemerintah

untuk membangun Indonesia dari pinggiran tidak

lagi berada di ranah retorika,” kata Menteri Desa,

Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi,

Eko Putro Sandjojo di sela-sela kunjungan kerjanya ke

Sentani, Jayapura, pada akhir September lalu.

Liputan Utama Liputan Utama

16 Info Desa Oktober, 2016 Oktober, 2016 Info Desa 17

Menteri Eko berharap, dana desa dapat memberikan dampak lebih luas bagi pembangunan desa. Oleh karena itu, kepala desa atau kampung diharap-kan tidak hanya berkonsentrasi pada pembangunan infrastruktur, tapi juga mampu melakukan pemberdayaan masyarakat, menciptakan sebuah ran-tai ekonomi yang berkesinambungan, serta menggerakkan sektor bisnis dan usaha. “Desa-desa di Indonesia mem-butuhkan karakter pemimpin yang kreatif dan berani agar desa memiliki prioritas dalam upaya mengembang-kan potensi wilayahnya. Sebab sering-kali desa yang tidak memiliki prioritas dalam upaya mengembangkan potensi wilayahnya, maka arah pembangu-nannya pun tidak jelas. Jika memang ingin mengembangkan wisata ya kem-bangkan wisata dan fokus di situ,” ujarnya.

Berikut petikan wawancara selengkap-nya.

Sejauh ini, bagaimana komitmen pemerintah dalam upaya membangun Indonesia dari pinggiran?Komitmen pemerintah untuk mem-bangun Indonesia dari pinggiran de-ngan memperkuat daerah-daerah dan desa dalam negara kesatuan sesung-guhnya tak lagi berada dalam ranah retorika. Implementasi penyaluran dana desa telah dilakukan. Bahkan, rencananya jumlah nominal dana yang akan diberikan kepada desa akan terus mengalami peningkatan. Pada 2015, jumlah dana yang diberi-kan kepada desa sekitar Rp 22,7 tri-liun, lalu naik menjadi Rp 46,8 triliun pada 2016. Tahun 2017, rencananya akan dinaikkan lagi menjadi Rp 70 triliun, kemudian menjadi Rp 103 tri-liun di 2018. Dan pada 2019 bertam-bah lagi menjadi Rp 111 triliun.

Apa saja yang perlu diperhatikan sekaligus kendala agar distribusi dana desa itu benar-benar bisa sesuai sasaran yang diinginkan?Saat ini, ada 74.754 desa tersebar di Indonesia, dan untuk tahun depan

jumlahnya bertambah menjadi 74.954 setelah terjadi pemekaran. Rata-ra-ta dana yang diperuntukkan bagi ti-ap-tiap desa sebesar Rp 600-700 juta. Ditambah dana ADD (Alokasi Dana Desa) yang bersumber dari kabupaten serta bantuan dari provinsi, maka se-tiap desa bisa mendapatkan lebih dari Rp 1 miliar. Ini pertama di dunia di mana desa diberikan kewenangan un-tuk mengelola dana pembangunannya sendiri. Penyaluran dana desa sejauh ini harus diakui masih ada kendala terutama karena keterbatasan infra-struktur desa dan kapasitas masyara-kat. Namun dengan adanya teknologi informasi dan komunikasi yang masuk ke desa, maka permasalahan ini bisa diperkecil dan harapan saya ke depan, kendala seperti itu sudah tidak ada lagi.

Bagaimana seharusnya konsep kepemimpinan desa dan daerah pinggiran dalam upaya meningkatkan potensi wilayahnya dengan memanfaatkan dana desa yang diberikan pemerintah?

Agar dana desa yang disalurkan oleh pemerintah bisa memiliki dampak yang lebih luas, maka kepala desa atau kampung diharapkan tidak ha-nya berkonsentrasi membangun infra-struktur saja. Sebagian dana tersebut juga harus disisihkan untuk pemberda-yaan masyarakat. Artinya, untuk men-ciptakan sebuah rantai ekonomi yang berkesinambungan, maka perlu diba-ngun badan usaha desa dan koperasi yang selanjutnya bisa menggerakkan sektor bisnis dan usaha. Adapun pe-ngembangan bisnis yang dilakukan juga harus memperhatikan tiga prinsip penting, yakni fokus pada satu komod-itas, kemudian membangun produk de-ngan skala ekonomi yang mencukupi, dilanjutkan dengan membuat sarana pasca panen. Karena jika hal tersebut tidak dilakukan, maka distribusi dana akan menjadi sia-sia. Di samping itu dengan fokus pada program unggulan, pemerintah juga akan lebih mudah mengimplementasikan e-commerce di daerah-daerah.

Bisa disebutkan desa yang berhasil mengelola dan menopang perekonomiannya berdasarkan potensi yang dimiliki?

Ada, salah satu contohnya adalah desa Ponggok di Klaten yang berhasil men-ciptakan destinasi wisata dari tempat yang semula kurang memiliki pesona

Liputan Utama

18 Info Desa Oktober, 2016

ekonomis. Di sana ada tempat peman-dian kuno yang tidak terurus. Kemu-dian lewat sentuhan kreatif dengan memasang sepeda motor, sofa, becak dan hal menarik lainnya di dalam ko-lam, pemandian kuno itu pun berubah menjadi lokasi foto underwater paling populer. Hasilnya tempat pemandi-an yang dulunya hanya menghasilkan pendapatan Rp 5 juta per tahun me-lonjak drastis menjadi Rp 6,5 miliar per tahun dengan keuntungan bersih Rp 3,5 miliar per tahun.

Selain itu?Saat ini, jumlah kunjungan pendatang yang ingin belajar pengelolaan desa ke Desa Ponggok meningkat. Kondisi ini dimanfaatkan kembali oleh Desa Ponggok untuk menambah jumlah pe-masukan bagi penduduk sekitar yang bersedia menyediakan rumahnya seba-gai home stay. Oleh kepala desa, pen-duduk yang rumahnya dijadikan home stay mendapat bantuan dana sebesar Rp 5 juta untuk membangun toilet rep-resentatif. Tamu yang menginap dike-nai biaya sebesar Rp 50 ribu sehari dan mendapat makan tiga kali.

Sebagai komponen pendukung tempat wisata, Desa Ponggok sekarang sema-kin berkembang pesat dan telah memi-

liki food court, serta minimarket. Tak ingin berhenti pada keberhasilan ini saja, Desa Ponggok juga akan mengem-bangkan bisnis “airnya” dalam skala lebih besar lagi dan telah mengajukan pinjaman dana melalui BNI sebesar Rp 18 miliar untuk membangun wisata water boom.

Bagaimana dengan wilayah lain?Dalam kunjungan saya ke Kampung Nendali di Kabupaten Jayapura, Papua, saya juga melihat hal tersebut meski de-ngan kasus dan skala berbeda. Meski volume keberhasilannya belum sebe-sar Ponggok, desa ini setidaknya telah menerapkan prinsip pembangunan dan pemberdayaan ekonomi lokal de-ngan baik. Masyarakat desa secara berkelompok membangun Badan Usaha Milik Desa (BUM Desa) yang bergerak di bidang budidaya ikan, serta pabrik pengolahan pakan ikan.

Usaha ini mulai dikembangkan ma-syarakat setelah ada guyuran dana yang masuk ke desa sejak 2015. Pada 2016, Kampung Nendali mendapatkan total dana sebesar Rp 1,76 miliar, meliputi Dana Desa yang bersumber dari APBN sebesar Rp 857 juta, kemudian Aloka-si Dana Desa (ADD) dari Kabupaten Rp 779 juta, serta dana prospek dari Pro-

vinsi Papua sebesar Rp 112 juta. Sebagian dana tersebut dipakai untuk membangun keramba ikan yang dipasang di Danau Sentani. Dari keramba ikan tersebut, Kampung Nendali kini sudah meningkat pendapatan ekonominya.

Bicara tentang pemimpin, pemimpin dengan karakter seperti apa yang dibutuhkan di desa dan daerah pinggiran di Indonesia saat ini?Kreatif dan berani. Kreativitas ada-lah kunci, di samping fokus pada satu komoditi. Seringkali desa yang tidak memiliki prioritas dalam upaya me-ngembangkan potensi wilayahnya, maka arah pembangunannya pun tidak jelas. Jadi, jika memang ingin mengem-bangkan wisata ya kembangkan wisata dan fokus di situ. Begitu pula desa yang memilih mengembangkan pertanian. Pelajari dengan baik seluk-beluk per-masalahan, kemudian cari solusinya. Jika butuh bantuan dan campur tangan pemerintah, sampaikan saja, karena kami di Kementerian Desa, Pemba-ngunan Daerah Tertinggal, dan Trans-migrasi, juga ada pelatihan dan pember-dayaan masyarakat. Termasuk pelatihan manajemen. Kalau bisa, beberapa kader desa ikut pelatihan manajemen untuk menambah pengetahuan mereka. l

Liputan Utama

Oktober 2016 Info Desa 19

Bupati Bantaeng Nurdin Ab-dullah masih mengingat dengan jelas peristiwa dela-pan tahun silam. Ketika itu, pada 2008, sekelompok

ulama mendatangi kediamannya di pe-rumahan dosen Unhas, Makassar untuk memintanya berkompetisi dalam pilkada langsung pertama di Bantaeng. “Mereka hendak menurunkan kenikmatan saya saat itu yang menduduki posisi direktur di salah satu perusahaan Jepang di Indo-nesia,” kata Nurdin mengenang.

Mendapat permintaan tersebut, Nur-din tidak langsung menunjukkan kese-diaannya. Alasannya, dia harus mendi-skusikan hal itu dengan keluarganya. Beberapa hari kemudian, ribuan warga Bantaeng mendatangi kantor tempatn-ya bekerja. Mereka meminta kesediaan Nurdin menjadi calon bupati Bantaeng. “Berbekal kepercayaan besar dari se-genap rakyat Bantaeng, akhirnya saya menerima permintaan mereka untuk maju sebagai salah satu calon Bupati Bantaeng,” ujarnya.

Nurdin pun terpilih memimpin Kabupa-ten Bantaeng untuk periode 2008-2013. Dia diberi amanah untuk mengemba-likan kejayaan Bantaeng yang pada masa lampau pernah menjadi pusat peme-rintahan, pusat pendidikan, dan pusat perdagangan. “Saya ingin menjadikan Bantaeng sebagai wilayah terkemuka berbasis desa mandiri berdasarkan tiga pilar pembangunan, yaitu Bantaeng se-bagai kota jasa, kabupaten benih berbasis teknologi, dan pusat pengembangan in-dustri di bagian selatan Sulawesi Sela-tan,” katanya.

Tekadnya tersebut bukan tanpa ala-san. Tentang desa mandiri, dia melihat desa-desa di Bantaeng saat itu tidak memiliki daya tarik apapun. Ini ditan-dai dengan banyaknya warga desa me-ninggalkan desa untuk bekerja di kota, bahkan ke luar negeri. Fakta lain, infra-struktur di desa masih minim dan sum-ber daya manusia tidak bisa mengelola potensi yang ada di desa. “Desa sebagai kekuatan ekonomi saat itu belum diman-faatkan secara optimal,” ujarnya.

Melihat kondisi tersebut, Nurdin ti-dak tinggal diam. Dia kemudian me-ngembangkan program “Satu Miliar Satu Desa” untuk mengatasi ketim-pangan pengalokasian kegiatan pem-bangunan di desa-desa sehingga desa mampu berakselerasi. “Satu miliar di sini bukan berarti kami mengalokasi-kan dana sebesar satu miliar rupiah per desa secara tunai, namun program dan kegiatan pembangunan merata di seluruh desa,” tuturnya. Hasilnya, se-banyak 46 desa telah mampu menun-jukkan akselerasi di berbagai bidang pembangunan.

Dua tahun kemudian, Nurdin mem-bentuk BUM Desa. Dia memberikan penguatan modal sebesar Rp 100 juta per desa dan armada mobil pick up se-bagai sarana pengangkutan hasil-hasil pertanian dan perkebunan yang dikelola BUM Desa. “Saat itu, permasalahannya masyarakat kesulitan memasarkan hasil produksi pertanian dan perkebunan ka-rena terbatasnya sarana transportasi,” ujarnya.

Pemimpin teladanKetika ditanya pendekatan kepemimpinan yang dilakukann-ya dalam membangun Bantaeng, Nurdin menyebut soal ketela-danan. “Pemimpin teladan itu ha-rus bekerja dengan hati. Artinya, saya harus menjadi contoh pemi-mpin yang baik kepada segenap aparatur daerah maupun masyara-kat Bantaeng,” tuturnya. Ketela-danan tersebut juga tersirat dalam lirik lagu yang dikemasnya, “Mulai dari diri sendiri, mulai dari hal yang paling kecil, dan jangan per-nah menunda-nunda.”

Nurdin mengatakan, sumber daya manusia merupakan penopang uta-ma pembangunan daerah, bahkan nasional. Oleh karena itu, pemerin-tahan yang dipimpinnya memberikan perhatian nyata di bidang pendidikan dengan menyediakan anggaran pen-didikan dalam APBD. “Angkanya tetap terjaga di atas 25 persen dari tahun ke tahun,” ujarnya.

Tidak hanya itu. Bupati Nurdin juga mengembangkan inovasi “Guru Men-jemput Murid”, untuk mendorong agar sekolah menjadi magnet bagi seluruh peserta didik yang ada di Bantaeng. Dampak inovasi ini cukup signifikan. “Angka partisipasi sekolah di jenjang pendidikan dasar terus me-ningkat hingga mencapai 100 persen, sebab sekolah menjadi tempat yang nyaman bagi anak-anak usia seko-lah,” katanya.

Inovasi lain di bidang pendidikan berupa pemberian bantuan penyele-saian studi bagi mahasiswa yang ber-asal dari Bantaeng, serta pemberian beasiswa kepada putra-putri daerah dan guru. “Untuk aparatur desa, kami bekerja sama dengan Univer-sitas Hasanuddin dan BPKP, mem-berikan pelatihan secara berkala tentang pemerintahan desa dan pe-ngelolaan keuangan desa untuk me-ningkatkan kapasitas aparatur desa,” ujarnya. l

“Mulai dari diri sendiri, mulai dari hal yang paling kecil, dan jangan pernah menunda-nunda.”

Pada 2009 atau satu tahun sejak dilantik sebagai Bupati Bantaeng pada 2008, Nurdin Abdullah men-

canangkan Bantaeng sebagai kabupaten benih berbasis teknologi. Salah satu tu-juannya adalah meningkatkan penda-patan masyarakat dari usaha pertanian di lahan yang sangat terbatas.

Sektor apa sajakah yang menjadi prioritas Anda dalam membangun desa-desa di Bantaeng?Berdasarkan data BPS, saat ini sekitar 74 persen penduduk Bantaeng bekerja di sektor pertanian. Oleh karena itu, sek-tor pertanian tetap menjadi primadona. Mengingat luas wilayah Bantaeng yang relatif sempit, yaitu 395,83 kilometer persegi, lahan pertanian yang kami miliki juga terbatas. Pada 2009, kami canang-kan Bantaeng menuju Kabupaten Benih Berbasis Teknologi, dengan asumsi harga benih jauh lebih tinggi dibanding mempro-duksi secara konvensional untuk bahan konsumsi, di samping meningkatkan pen-dapatan masyarakat dari usaha pertanian di lahan yang sangat terbatas.

Sejak 2014 hingga saat ini Bantaeng telah menjadi kabupaten benih berbasis tekno-logi di mana benih padi, jagung, talas dan bawang merah yang diproduksi petani te-lah dikirim ke berbagai daerah. Selain itu, kami juga mengembangkan benih ikan nila gesit sebagai upaya memenuhi perminta-an pasar konsumsi ikan air tawar yang terus meningkat. Selain sektor pertanian dan perikanan, pada 2017, kami mempri-oritaskan tidak ada lagi jalan yang rusak di Bantaeng, sebab jalan merupakan urat nadi perekonomian masyarakat.

Upaya apa saja yang Anda lakukan untuk mewujudkan desa mandiri pangan di Bantaeng?Selain mendorong desa sebagai lumbung pangan di wilayah masing-masing, perwu-judan desa mandiri pangan di Bantaeng, kami arahkan pada upaya pengembangan diversifikasi pangan yang potensial dikembangkan. Oleh karena itu, upaya pe-

latihan dalam budidaya dan pengolahan pangan lokal menjadi program tahunan SKPD terkait.

Desa-desa mana saja yang sudah masuk kategori maju dan unggul dalam hal ketahanan pangan?Dalam bidang ketahanan pangan, de-sa-desa yang maju dan unggul setiap tahun terus bertambah. Kami mengem-bangkan lumbung pangan berbasis wilayah, sebab kami akui desa-desa pe-sisir hanya mengandalkan sektor peri-kanan dan kelautan, sehingga di wilayah tersebut terdapat desa yang menjadi penyanggah ketersediaan dan ketahanan pangan. Contoh desa mandiri pangan saat ini adalah Desa Layoa, Desa Papan-loe, Desa Pa’bumbungang, Desa Bonto Tiro, dan Desa Mamampang. l

Teladan Kepemimpinan dari Nurdin Abdullah

Kabupaten Benih Berbasis Teknologi

Liputan UtamaLiputan Utama

20 Info Desa Oktober, 2016 Oktober 2016 Info Desa 21

Inspirasi itu muncul pada pagi hari. Hugua sudah lama mengetahui perilaku dan mental kepala dinas, kepala bidang, dan kepala seksi yang tidak sehat yang menurutn-

ya harus diakhiri. “Setiap kali saya naik speed boat berangkat ke luar Wakatobi karena urusan pekerjaan, mereka pasti mencari-cari cara untuk berangkat juga atau berleha-leha di luar kantor,” ujar mantan Bupati Wakatobi ini mencerita-kan kondisi tidak sehat tersebut.

Hugua kemudian merancang strategi. Wak-tu itu, Wakatobi sudah memiliki bandara. Dia meminta ajudannya untuk menyalakan speed boat dan pergi keluar Wakatobi, se-mentara dirinya naik pesawat. “Saya ingin menjebak orang-orang ini. Apakah ketika saya berangkat, orang-orang ini juga pergi dari kantor,” ujarnya menjelaskan strategi yang dijalankannya.

Menempuh rute Kendari, Makassar dan kembali lagi ke Buton, Hugua berangkat Kamis pagi. Dia sudah tiba kembali di Wakatobi pada Jumat pagi pukul 09.15. Dugaannya be-nar. Sesampainya di kantor, dia mendapati kepala dinas, kepala bidang, kepala seksi, juga staf ahli dan staf khusus tidak ada di ruangan. “Di ruangan, saya hanya melihat 16 orang staf saya yang bekerja ditambah 1 sekretaris. Prosentase pegawai yang hadir hanya 15 persen,” katanya.

Setelah mendapatkan data pegawai yang tidak masuk kerja, esok harinya Hugua

mengumpulkan mereka di sebuah aula pada acara yang diberinya nama “Sabtu Gemilang”. Karpet pun direntangkan. Hugua datang tanpa menggunakan pa-kaian dinas. Sebelumnya dia telah me-manggil 3 kepala suku dengan tugas masing-masing: membacakan doa tolak bala, doa arwah, dan doa mohon kese-

lamatan. “Mereka yang saya minta datang kebingungan, karena di depan aula ada tu-kang baca-baca yang mera-palkan doa,” ujarnya.

Pada pertemuan itu, Hugua menanggalkan identitas bu-patinya dan lebih memilih memposisikan diri sebagai bapak, sementara stafnya adalah anak. “Anggap saya orang tua kalian dan kalian adalah anak-anak saya dalam

satu rumah tangga,” pintan-ya membuka pembicaraan. “Se-

karang apa yang akan kalian sampaikan supaya saya bisa menjadi bapak yang baik dan kalian menjadi anak yang be-nar dalam rangka memperbaiki rumah

tangga, karena kemarin saya tidak suka dengan kalian,” kata Hugua. Dalam pertemuan tersebut, Hugua meminta kepada stafnya tidak ada yang marah, sebaliknya dia meminta stafnya untuk mengkritiknya. “Siapa yang bisa kritik saya lebih pedas dan lebih tajam, kalian adalah kawan abadi saya. Karena kawan, jabatan kalian bisa membaik,” ujarnya.

Lama ditunggu tidak ada yang menyam-paikan kritik. Namun kemudian ada salah satu stafnya yang berbicara. “Yang saya tidak suka dari Anda sebagai orang tua karena bapak terlalu sering berangkat se-hingga membuat kami tidak punya induk. Hak-hak kami pun juga terlalu banyak di-potong oleh kepala dinas,” katanya.

Pernyataan staf tersebut menguak perso-alan yang terjadi selama ini. “Pertemuan Sabtu Gemilang tersebut merupakan asal-muasal reformasi birokrasi yang saya jalankan di Wakatobi,” kata Hugua, penulis buku Reformasi Birokrasi Out of The Box.

Mengubah mindsetSetelah pertemuan tersebut, Hugua ke-mudian merancang paket pelatihan untuk mengubah mindset birokrat. “Hambatan utama di Wakatobi berasal dari birokrat. Mereka umumnya masuk kerja karena ada tunjangan kerja. Oleh karena itu perlu ada revolusi mental yang diawali dari re-volusi berpikir untuk mengangkat budaya lokal dan menghargai perbedaan sehingga menjadi sebuah nilai berkomunikasi da-lam keluarga maupun desa,” ujarnya.

Dalam pelatihan yang mengkombi-nasikan pendekatan membangun kese-taraan, membedakan antara fakta dan persepsi, serta Teori “U” tersebut, Hugua

lebih memposisikan diri sebagai mentor atau coach ketimbang bupati. “Dengan menjadi mentor, saya datang untuk memperkuat orang per orang sehingga menjadi kekuatan penting dalam mem-bangun Wakatobi ke depan,” ujarnya.

Hugua mengatakan, pendekatan mem-bangun kesetaraan penting disampaikan dalam pelatihan untuk membangun ke-setaraan antara pemerintah dan rakyat. “Berdasarkan pengalaman saya, banyak sekali aparatur pemerintah daerah yang tidak bisa membangun kesetaraan dan kebersamaan dengan masyarakat desa karena mereka menempatkan diri lebih tinggi dari rakyat,” ujarnya. Pelatihan de-ngan metode tersebut dilakukan selama 7 hari di mana aparatur pemerintah desa diminta merendahkan diri dan menem-patkan diri lebih rendah di depan rakyat.

Latihan kedua dengan pendekatan mem-bedakan antara fakta dan persepsi juga dilakukan selama 7 hari. Hugua menu-turkan, ide ini berangkat dari aparatur pemerintah Wakatobi yang selalu me-naikkan anggaran setiap tahun tanpa memberikan sesuatu yang baru. “Ini parah karena mereka bekerja berdasar-kan persepsi bukan fakta. Mereka tidak melihat fakta di lapangan sehingga ba-nyak proyek yang terbengkalai dan per-encanaan lebih banyak dilakukan di atas meja, bukan di lapangan,” ujarnya.

Jika hal ini tidak diantisipasi, kata Hu-gua, dampak jangka panjang terhadap pembangunan sangat berbahaya. “Jika aparatur pemerintah bekerja berdasar-kan persepsi terus, ini sangat berbahaya untuk perencanaan pembangunan nasio-nal, terutama anggaran desa,” tuturnya.

Pendekatan ketiga yang diterapkan Hugua untuk mengubah mindset birokrat adalah mengenalkan Teori “U”. Jika digambar-kan prosesnya, maka tahapan-tahapan dalam proses mengubah mindset birokrat tersebut membentuk huruf U. Dimulai dari proses downloading. Pada proses ini, orang tidak mau mendengarkan. “Meski-pun dia seorang sarjana, namun orang itu tidak mau menggunakan mata dan telin-ganya untuk mendengar. Orang tipe ini cenderung masa bodoh,” ujarnya.

Proses kedua, seeing. Menurut Hugua, orang tipe ini biasanya melihat dulu baru melakukan. “Orang seperti ini biasanya otoriter dan suka protes. Level orang tipe ini baru sebatas melihat,” katanya. Pro-ses ketiga, sensing. Orang tipe ini, kata Hugua, sudah mulai bisa merasakan. “Orang tipe ini sudah mulai memper-hitungkan pendapat orang lain. Dia su-dah menggunakan mata dan telinga un-tuk mendengar lebih jauh. Orang tipe ini sudah enak diajak cerita. Dia menyadari bahwa pada hakekatnya saya manusia biasa. Sudah mulai ada komunikasi dan orang tipe ini demokratis,” tuturnya.

Proses keempat, presensing. “Orang tipe ini sudah memahami bahwa semua manu-sia menuju ke Tuhan. Dia menyadari beta-pa kecilnya dia di mata Tuhan. Pendapat orang lain begitu penting sehingga tidak bisa diabaikan. Orang ini sudah bisa lebih banyak mendengarkan. Pertanyaan yang muncul di level ini siapa saya dan apa tugas saya untuk memperbaiki alam semesta. Setelah itu tipe pemimpin seperti ini baru bisa melakukan action, planning, actuat-ing, controlling,” katanya.

Hugua mengatakan, paket pelatihan yang dirancangnya tersebut sudah diber-ikan kepada semua kepala dinas, kepala seksi, mayoritas kepala sekolah dan seba-gian besar guru. “Model pelatihan yang saya berikan ini akan terasa 10 tahun kemudian karena ini perubahan ke da-lam,” kata mantan bupati Wakatobi yang menjabat dua periode sejak 2006. “Ha-silnya, karakter masyarakat dan aparatur pemerintah Wakatobi lebih hebat dari-pada kabupaten lain. Salah satunya, jiwa gotong royongnya lebih bagus.” l

Menerapkan revolusi mental birokrat berbasis budaya lokal dengan mengombinasikan pendekatan membangun kesetaraan, membedakan antara fakta dan persepsi, serta Teori “U”.

Hugua dan Revolusi Mental Birokrat

Liputan Utama Liputan Utama

22 Info Desa Oktober, 2016 Oktober 2016 Info Desa 23

HuguaMantan Bupati

Wakatobi

Siapakah yang membangun desa? Pemerintah atau ma-syarakat desa? Jika per-tanyaan ini ditanyakan kepada Harry Heriawan

Saleh, Peneliti Utama pada Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi ini punya jawaban-nya. “Yang membangun desa tak lain adalah manusia atau orang-orang desa, pemerintah dalam hal ini lebih banyak memfasilitasi,” katanya.

Menurut Harry, dengan manusia atau masyarakat desa yang membangun desa, itu artinya masyarakat desa menjadi sub-jek dan harus juga menjadi penikmat hasil pembangunan, bukan sekedar objek pem-bangunan. “Ini sejalan dengan sasaran pembangunan yang menempatkan kese-jahteraan masyarakat desa sebagai main-stream,” ujar Harry kepada Info Desa terkait penelitian tentang Indeks Desa di kantornya, Kamis, 13 Oktober 2016.

Harry mengatakan, penelitian tentang Indeks Desa dilakukan sejak 2015 hingga 2016 untuk mengetahui desa-desa mana saja yang tergolong tertinggal, berada di Indonesia bagian timur, dan pulau-pu-lau terluar atau perbatasan. “Pada akhir 2016, kami berharap dapat memberikan kata-kata kunci bagi Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi serta 17 Kementerian lain yang terlibat dalam percepatan pemba-ngunan pedesaan untuk menentukan sasaran pembangunan pedesaan supaya tepat sasaran,” katanya.

Ditambahkan Harry, metode peneli-tian tentang Indeks Desa menggunakan metode kuantitatif dengan sumber data penelitian berdasarkan data Potensi Data yang dikeluarkan BPS tiap 3 tahun sekali

dan melalui Survey Monkey berbasis Android. “Kami juga melakukan verifi-kasi ke lapangan untuk mengkomparasi antara data sekunder dan fakta di la-pangan,” katanya.

Dalam proses penelitian tersebut, Har-ry menuturkan, setelah dilakukan pe-meringkatan dari total 74.754 desa, terdapat 15.000 desa yang tersebar di 7 wilayah pembangunan di Indonesia, mulai Papua, Maluku, Sulawesi, Kali-mantan, Nusa Tenggara, Sumatera, Jawa dan Bali yang selanjutnya dilakukan intervensi. “Dari 15.000 desa tersebut kita dapat melakukan intervensi ber-dasarkan atribut pengungkit tertinggi, sehingga harapannya dalam 5 tahun ke depan secara by name by address, ada 5.000 desa yang terentaskan dari desa

INDEKS DESA

Human Capital, Kunci Kemajuan Pembangunan Pedesaan

Ketertinggalan suatu desa atau secanggih apapun pembangunan infrastruktur di desa tidak akan bermakna, jika manusianya tidak pernah diintervensi.

tertinggal menjadi desa berkembang dan sekurang-kurangnya 2.000 desa men-jadi desa mandiri, sesuai dengan target pemerintah Presiden Joko Widodo dan Wakil Presiden Jusuf Kalla yang tertuang dalam RPJMN 2014-2019,” ujarnya.

Intervensi tersebut, kata Harry, dise-suaikan dengan kebutuhan masing-ma-sing desa. “Misalnya di desa A, kami melakukan intervensi di bidang sumber daya manusia, sementara di desa B, as-pek social capital-nya yang kami inter-vensi,” ujarnya memberikan contoh.

Sumber daya manusia atau human cap-ital dan social capital merupakan dua dari delapan modal (capital) pendekatan penghidupan berkelanjutan (sustainable livelihood approach) yang diintervensi tim peneliti. Enam modal yang lain ada-lah natural capital, financial capital, infrastructure capital atau sumber daya buatan, location capital, spiritual capi-tal, dan intellectual capital.

Harry mengatakan, pendekatan peng-hidupan berkelanjutan mengasumsikan bahwa kehidupan masyarakat mem-punyai banyak tujuan, tidak hanya un-tuk memperoleh pendapatan yang lebih tinggi, tetapi juga meningkatkan derajat kesehatan dan pendidikan, serta mengu-rangi kerentanan dan risiko. Oleh karena itu, pendekatan ini menekankan pada berfungsinya delapan aset masyarakat yang meliputi modal manusia (human capital), modal sosial (so-cial capital), modal fisik (infrastructure/physical/man-made capital), mo-dal alam (natural capital), modal finansial (financial capital), location capital, spiritual capital, dan intel-lectual capital, yang saling melengkapi untuk mening-katkan ketahanan sosial ke-tika terjadi guncangan ter-hadap sistem penghidupan.

“Dari 8 modal tersebut, kami fokus pada human capital. Sebab keterting-galan suatu desa seperti

apapun atau secanggih apapun pemba-ngunan infrastruktur di desa tersebut tidak akan bermakna jika manusianya tidak pernah diintervensi. Oleh karena itu, human capital, intellectual capital, dan spiritual capital menjadi salah satu prioritas dalam pembangunan pedesaan. Jika tiga hal tersebut sudah mendapat prioritas, baru selanjutnya mengarah ke aspek financial capital, infrastructure capital, dan sebagainya,” kata Harry.

Dalam penelitian tentang Indeks Desa, Harry mengatakan, tim peneliti mema-sukkan 4 dimensi dalam pembangunan pedesaan. Yaitu, lingkungan, ekonomi, sosial, dan infrastruktur. “Lingkungan kami tempatkan pada dimensi pertama berangkat dari filosofi bahwa bumi dan segala isinya ditujukan untuk kemasla-

hatan manusia.Meski demi-kian, aktivitas ekonomi yang dilakukan masyarakat desa tidak melebihi sistem nilai yang berada di dalam ma-syarakat tersebut,” katanya.

Harry memberi contoh ten-tang sistem subak di Bali di mana sistem sosial dan budaya di dalamnya te-lah menyatu dengan ling-kungan. “Bila sistem ini diterapkan di desa-desa di seluruh Indonesia, maka aktivitas ekonomi yang dilakukan masyarakat tidak akan mengganggu keles-

tarian dan keberlanjutan sumber daya alam setempat,” ujarnya.

Harry mengatakan, prinsip-prinsip dasar dalam pembangunan pedesaan setidaknya menganut empat asas, yaitu asas pembangunan berkelanjutan, asas pembangunan yang berpusat kepada manusia, asas penghidupan yang ber-kelanjutan, dan asas tangguh terhadap bencana. “Prinsip-prinsip tersebut di-dasarkan atas pendekatan pembangunan berkelanjutan (sustainable develop-ment), pembangunan berbasis pada ma-syarakat (people- centered development), pendekatan penghidupan berkelanjutan (sustainable livelihood approach), dan masyarakat tangguh bencana (communi-ty disaster resilience),” ujarnya.

Secara skematik, kerangka pikir perkem-bangan suatu desa dijelaskan pada Gam-bar 1 tentang Proses Pembangunan Desa.

Harry berharap, penelitian tentang In-deks Desa ini mampu memberikan pe-tunjuk bagi pemangku kepentingan, tidak hanya Kementerian Desa, Pemba-ngunan Daerah Tertinggal, dan Transmi-grasi, tapi juga 17 Kementerian lain yang terlibat dalam percepatan pembangunan pedesaan untuk merumuskan kebijakan yang spesifik bagi pembangunan pedes-aan di Indonesia. “Penelitian ini menja-di pekerjaan rumah paling strategis dan besar untuk menemukan rumus yang spesifik bagi pembangunan setiap desa di Indonesia,” ujarnya. l

Harry Heriawan Saleh

Peneliti Utama Kementerian Desa,

Pembangunan Daerah Tertinggal dan

Transmigrasi

Gambar 1 Proses Pembangunan Desa

RisetRiset

24 Info Desa Oktober, 2016 Oktober 2016 Info Desa 25

Sebelum adanya Undang-un-dang desa yang baru, ya-itu UU No 6 Tahun 2014, kewenangan yang dimiliki desa untuk menyelenggara-

kan pemerintahan sangat terbatas. Desa tidak lebih merupakan perpanjangan tangan dari pemerintahan kabupaten. Namun sejak adanya UU No 6 Tahun 2014 tersebut, desa diberikan wewenang yang lebih luas untuk menyelenggarakan pemerintahannya sendiri sehingga tidak perlu lagi menunggu pelimpahan we-wenang dari kabupaten.

Ada dua asas sehubungan dengan pem-berian wewenang yang lebih luas kepada desa. Pertama, asas rekognisi. Dengan asas ini, pemerintah pusat mengakui hak-hak yang sebelumnya pernah ada di desa, yaitu hak-hak tradisional, hak asal-usul, termasuk hak yang muncul dari prakarsa masyarakat desa, otomatis diakui. Terma-suk dalam pengelolaan pemerintahan dan aset atau memilih pemimpin desa.

Dengan demikian, pemerintah pusat tidak boleh ikut campur tangan lagi da-

lam mengurus pemerintahan di desa. Urusan tersebut sudah menjadi kewe-nangan desa. Namun di balik pemberi-an wewenang yang lebih luas tersebut, desa dituntut untuk menerapkan prinsip akuntabilitas. Ini menuntut pemimpin desa atau kepala desa tidak hanya arif, memiliki pengetahuan, ketokohan atau-pun karakteristik yang memenuhi seba-gai seorang pemimpin, tetapi juga harus tahu administrasi pemerintahan desa.

Kedua, asas subsidiaritas. Dengan adanya asas ini, desa tidak lagi seka-dar penerima mandat atau penerima pelimpahan kekuasaan dari kabupaten untuk menyelenggarakan pemerin-tahan termasuk untuk kewenangan, tapi ada sejumlah urusan lokal yang otomatis menjadi kewenangan desa tanpa harus menunggu pelimpahan dari kabupaten. Selama ini wewenang yang diberikan kepada desa adalah wewenang yang tidak bisa diurus oleh kabupaten. Makanya disebut sebagai subsidiaritas. Desa hanya menerima sisa-sisanya saja. Contohnya pelaporan untuk pemotongan hewan yang tidak

bisa dipantau dari kabupaten, maka hal itu diserahkan kepada desa.

Dengan adanya UU desa yang baru, desa tidak lagi sekadar pemerintahan lokal atau yang biasa disebut dengan local self government, melainkan perpaduan antara local self government dan self governing community, komunitas yang memerintah dirinya sendiri. Konsekuen-sinya, keputusan-keputusan yang diam-bil di desa yang berkaitan dengan aset, keuangan, ataupun perencanaan pemba-ngunan, tidak hanya bisa dilakukan oleh kepala desa tapi juga melibatkan komu-nitas masyarakat. Selain kepala desa, ada musyawarah desa dan Badan Permusy-awaratan Desa. Dalam struktur seperti itu, maka pengambilan keputusan yang paling penting di desa terdapat pada mu-syawarah desa.

Pemimpin desaKetika berbicara tentang kepemimpinan desa, maka hal tersebut tidak bisa dilihat secara parsial hanya kepala desanya saja tapi harus dilihat sebagai suatu sistem.

Rusnadi Padjung,Staf Ahli Menteri Bidang Pembangunan dan Kemasyarakatan

Dalam konteks ini, seorang kepala desa tidak bisa menjadi seorang superman yang mengetahui segalanya. Jauh lebih penting kepala desa memiliki kearifan, leadership, ketokohan, teladan, empati, tanggung jawab, pengetahuan lokal serta sejumlah akuntablitas di balik kewe-nangan itu. Oleh karena itu yang semes-tinya didorong dalam pemilihan kepala desa adalah masyarakat mengetahui pemimpin desa yang mereka butuhkan. Untuk itu, dibutuhkan pendamping desa yang dibekali dengan teknik sosialisasi atau internalisasi kepada masyarakat supaya masyarakat sama-sama sepakat bahwa pemimpin desa yang mereka bu-tuhkan adalah pemimpin yang memiliki kearifan, leadership, ketokohan, teladan, empati, tanggung jawab, pengetahuan lokal serta sejumlah akuntablitas di balik kewenangan yang dimiliki.

Kalau model demokrasi seperti ini tidak dijalankan dengan benar atau terdapat intervensi dari pihak luar termasuk me-lalui iming-iming uang, maka kita tidak mungkin melahirkan pemimpin desa dengan karakteristik tersebut. Desa membutuhkan seorang pemimpin yang bisa memanusiakan manusia, dengan segenap integritas, kejujuran dan empati

yang dimilikinya. Jujur akan membuat integritas pemimpin desa bagus dan memiliki motivasi yang tinggi untuk be-kerja.

Sayangnya, pemimpin yang seperti itu tidak banyak. Itu sebabnya pendam-ping desa tidak hanya bertugas menga-wal penggunaan dana desa, tapi yang lebih penting adalah mengawal dan mendampingi agar UU desa bisa diim-plementasikan dengan benar. Salah satu komponen penting dalam UU Desa ada-lah tumbuhnya demokrasi dengan benar di desa. Jangan sampai orang memilih kepala desa karena takut, atau karena pemimpin desa itu seorang jawara, atau-pun karena kekayaan yang dimilikinya. Namun, seorang kepala desa adalah seo-rang pemimpin yang bekerja untuk ke-pentingan masyarakat. Dia menjadi pusat dari berbagai keperluan yang dibutuhkan oleh masyarakatnya, serta mampu men-gayomi dan membantu masyarakat.

Beban kepala desa memang berat, tapi sebenarnya pemimpin yang dibutuhkan sudah ada atau terbangun dengan sen-dirinya, menyatu di dalam jiwa atau ke-tokohan pribadinya. Tugas kita saat ini adalah mencari pemimpin yang seperti

itu untuk menjawab tantangan pelaksa-naan UU No 6 Tahun 2014. Ini tantangan kita bersama di samping mampu pula menjawab tantangan berikutnya, ya-itu bagaimana mendorong orang-orang yang berpendidikan tinggi di desa tetap bekerja di desa. Untuk itu, kita perlu menyediakan fasilitas di desa yang se-tara dengan di kota sehingga tidak ada lagi masyarakat desa yang pindah ke kota. Kita juga harus menyediakan peng-hidupan dan mata pencarian di desa yang membuat warga desa tidak ke kota untuk mencari nafkah. Penyediaan fasilitas di desa yang setara dengan di kota tidak dimaksudkan menjadikan desa sebagai kota. Desa tetap desa di mana aktivitas ekonomi utama masyarakatnya berasal dari pertanian yang memberikan income yang cukup untuk menghidupi keluarga.

Mimpi saya masyarakat di desa se-jahtera, artinya masyarakat bisa mem-peroleh pendapatan yang dihasilkan dari pekerjaan secara layak, dan pendapatan itu bisa untuk mencukupi kebutuhan sehari-hari dan pengembangan dirinya. Masyarakat desa juga memperoleh pela-yanan dasar, berupa pendidikan dan ke-sehatan yang layak. Saya berharap hal itu tercipta di desa-desa di Indonesia. l

Desa: Bukan Sekadar Pemerintahan Lokal

Pendapat Pendapat

26 Info Desa Oktober, 2016 Oktober 2016 Info Desa 27

Memasuki era digital, pe-nerapan teknologi men-jadi aspek vital pem-bangunan, terutama di kawasan pedesaan.

Demi menjawab tantangan tersebut, Ke-menterian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi (Kemende-sa PDTT) telah melakukan sejumlah langkah strategis.

Untuk mempercepat langkah ini, Badan Penelitian dan Pengembangan, Pen-didikan dan Pelatihan dan Informasi (Balilatfo) di Pusat Data dan Informasi ditunjuk menjadi koordinator peman-faatan teknologi informasi. Sejumlah pondasi pun disiapkan.

Pondasi pertama adalah pengem-bangan infrastruktur, seperti peng-

adaan pusat data (data center), ja-ringan Internet di pedesaan, dan ketersediaan portal web. Server berkapasitas 192 Terabyte telah di-siapkan di Gedung Kemendesa PDTT, baik di Kalibata maupun Abdul Muis, Jakarta. Keamanannya juga terjamin karena dilengkapi CCTV, pintu de-ngan akses sidik jari, dan kelengka-pan lainnya.

Salah satu kendala yang kerap meng-hantui percepatan penerapan teknologi adalah ketersediaan jaringan Internet yang memadai. Karena itu, menurut Kepala Bidang Pengembangan Sistem Informasi dan Sumber Daya Informa-tika Pusdatin, Aditia Hendra Krisna, berbagai lembaga turut digandeng, sa-lah satunya Kementerian Komunika-si dan Informatika (Kemenkominfo). “Contohnya ketika Festival Desa TIK 2016. Keenam desa yang mendapat penghargaan kemarin merupakan wu-jud sinergi Kemendesa dengan Kemen-kominfo,” tambahnya.

Pondasi kedua berupa aplikasi sistem informasi yang dapat dioperasikan oleh masing-masing desa. Sejauh ini sudah ada tiga jenis aplikasi yang te-lah tersedia, yakni aplikasi Desa On-line, aplikasi Badan Usaha Milik Desa (BUMDes), dan aplikasi Potensi Desa.

Aplikasi BUMDes dikembangkan untuk membantu proses penge-

lolaan keuangan dan administrasi desa secara profesional, sedangkan Potensi Desa dibuat demi mengako-modasi kebutuhan desa dalam mem-perkenalkan keunggulan daerahnya. Sementara Desa Online menjadi wa-dah untuk mengkomunikasikan data desa kepada pihak eksternal yang berperan besar bagi kemajuan desa tersebut.

DESA DAN TEKNOLOGI

Teknologi tak lagi menjadi milik masyarakat perkotaan semata. Kini desa-desa turut memanfaatkannya, membuka akses seluas-luasnya kepada dunia luar.

Aplikasi Pusdatin

2016

Desa Online

BUMDes

Potensi Desa

Tepat Guna Tepat Guna

28 Info Desa Oktober, 2016 Oktober 2016 Info Desa 29

Jumlah Desa OnlineMenyerap Manfaat Desa OnlineDesa Online adalah jendelanya desa. Inilah analogi untuk menggambarkan pentingnya penerapan portal Desa On-line bagi pengembangan berbagai desa di Indonesia.

Aplikasi berbasis web ini dapat di-akses di alamat desa.kemendesa.go.id. Menurut Kepala Pusat Data dan Informasi (Pusdatin) Kemende-sa PDTT, Helmiati, selain memotivasi warga desa untuk lebih melek tekno-logi, Desa Online juga mempermudah proses pengambilan keputusan oleh pemerintah pusat. “Tidak perlu jauh-jauh datang ke desa, hanya dengan me-lihat website-nya, akan terlihat desa mana yang memerlukan bantuan atau intervensi dari pemerintah,” ujarnya.

Selain pemerintah, portal web yang menampilkan produk unggulan ini juga berpotensi menarik para inves-tor untuk turut memajukan desa yang

bersangkutan. Untuk itu, Kemendesa PDTT sudah menyediakan segala sa-rana yang diperlukan, dari server, apli-kasi, hingga pelatihan.

Dari ketiga aspek tersebut, hal yang paling memerlukan perhatian lebih adalah pelatihan sumber daya manu-sianya. Nantinya ada satu orang aparat desa yang menjadi administrator a-plikasi untuk mengunggah data desa, bisa kepala desa, sekretaris desa, atau perangkat desa lainnya. Tentu orang tersebut harus mendapatkan pelatihan secara intensif.

Kepala Bidang Pengembangan Sistem Informasi dan Sumber Daya Informa-tika Pusdatin, Aditia Hendra Krisna menambahkan, selama ini proses pe-latihan dilakukan di desa-desa atau kabupaten. Namun dengan jumlah desa yang mencapai 75 ribu lebih, ke depannya pelatihan akan lebih banyak dilakukan di Balai Latihan Masyarakat. “Harapannya, para calon administrator aplikasi dari berbagai desa berkumpul,

menyerap teknologi yang diajarkan, dan membagikannya ke desa-desa lain-nya,” ungkap Aditia.

Pada 2015 saja, sudah ada 560 desa yang telah tersentuh oleh program ini. Targetnya, tahun ini ada tambahan 200 desa lagi yang memanfaatkan teknologi Desa Online. Oleh karena itu, Helmia-ti mengharapkan sinergi dari berbagai pihak agar penyerapan ilmu baru ini dapat berjalan dengan lancar, baik di tingkat provinsi, kabupaten, dan keca-matan. Semua lapisan diharapkan terus memberikan motivasi dan dukungan bagi kemajuan masyarakat desa.

Meski proses penyerapan ilmu baru ini memerlukan proses yang cukup panjang, Helmiati optimistis dengan pemanfaatan teknologi informasi di desa. “Saya melihat ada keinginan kuat dari mereka sendiri untuk member-dayakan dirinya. Antusiasme mereka terhadap teknologi menjadi modal besar bagi keberhasilan program ini,” pungkasnya. l

Komponen Utama Desa OnlineProfil Desa: Menampilkan informasi mengenai sejarah singkat desa, batas wilayah, dan data kependudukan.

Kegiatan Desa: Menampilkan berbagai berita atau kegiatan desa.

Produk Unggulan: Menampilkan informasi produk unggulan desa, misalnya ternak, tenun, atau kerajinan tangan.

Statistik: Berisi informasi yang terintegrasi dengan aplikasi desa lainnya, yakni Potensi Desa. Data yang ditampilkan terdiri dari data pendidikan, kesehatan, telekomunikasi, dan fasilitas listrik.

Peta Desa: Menampilkan lokasi desa, terintegrasi dengan peta dari Google Maps.

Perundangan Desa: Berisi informasi undang-undang atau peraturan yang berlaku di tiap desa.

131

36

2314

2214

26

2222 21

5

33

37

235

120

n Jawa Tengah

n Lampung

n Sulawesi Selatan

n Kalimantan Barat

n Nusa Tenggara Timur

n Nusa Tenggara Barat

n Aceh

n Sumatera Barat

n Jawa Barat

n Jawa Timur

n Bali

n Kalimantan Timur

n Sulawesi Selatan

n Nusa Tenggara Timur

n Papua

Tepat GunaTepat Guna

30 Info Desa Oktober, 2016 Oktober 2016 Info Desa 31

REKAPITULASI DESA ONLINE 2016

Pada 2016, Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi (Kemendesa PDTT) sedang menerapkan aplikasi Desa Online pada 200 desa yang terbagi di lima region. Berikut ini rangkuman penerapan program beserta beberapa contoh desanya.

Regional I: Kalimantan Timur

Contoh: Desa Sebayan

Sebagian besar wilayah desa digunakan untuk pertanian padi dan perkebunan lada serta karet. Desa ini juga menawarkan pesona kain songket khas Kabupaten Sambas. Lihat profil lengkapnya di sambassebayan.desa.kemendesa.go.id

Regional V: Papua Barat

Contoh: Desa Saprokren

Pariwisata menjadi potensi unggulan desa ini, dari snorkeling, jelajah gua, kunjungan ke pulau karang, hingga pengamatan burung cendrawasih. Profil lengkapnya bisa dilihat di rajaampatsaprokren.desa.kemendesa.go.id

Regional IV: NTT

Contoh: Desa Ana Wolu

Masyarakat Ana Wolu menggerakkan perekonomian desanya melalui usaha peternakan dan industri tenun khas Sumba. Profil lengkapnya bisa dilihat di sumbabaratanawolu.desa.kemendesa.go.id

Regional III: Jawa Tengah

Contoh: Desa Dermaji

Dermaji memiliki aneka produk bernilai seni, seperti wayang kulit, kerajinan bambu, dan mebel yang khas. Desa ini juga kerap menggelar sejumlah festival untuk mengenalkan potensi desanya. Lihat profilnya di situs banyumasdermaji.desa.kemendesa.go.id

Regional II: Sulawesi Selatan

Contoh: Desa Pitusunggu

Pitusunggu terkenal dengan komoditas bahan makanannya, seperti bandeng, udang vaname, dan rumput laut. Cek profilnya di pangkajenedankepulauanpitusunggu.desa.kemendesa.go.id

Tepat GunaTepat Guna

32 Info Desa Oktober, 2016 Oktober 2016 Info Desa 33

YESAYA MAYOR:

Penjaga Cenderawasih Liar di Mansar

Ó Yesaya Mayor kedua dari kanan

Tokoh

34 Info Desa Oktober, 2016

Siapa yang tak mau berkun-jung ke surga dunia di Papua Barat? Hutan da-taran rendah Raja Ampat menjadi rumah bagi ratu-

san spesies burung langka. Sementara warna-warni biota lautnya memanjakan mata. Ironisnya, penduduk aslinya justru hidup dalam kemiskinan karena minim-nya infrastruktur.

Kondisi ini memaksa Yesaya Mayor dan teman-temannya terlibat dalam pene-bangan hutan secara liar demi mencu-kupi kebutuhan ekonomi. Akibatnya,

kekeringan dan kelangkaan kayu me-landa Distrik Meos Mansar, Kabupaten Raja Ampat. Ketika kemarau panjang, sebagian besar mata air mengering, meninggalkan penyesalan dalam lubuk hati Yesaya.

Berkaca dari kesalahan tersebut, Ye-saya Mayor bertransformasi menjadi seorang pemerhati dan aktivis ling-kungan. “Saya mulai menggerakkan para pemuda untuk menanam benih dan melakukan penghijauan hutan di Desa Arborek yang terkenal tandus,” kenangnya.

Bibit tanaman lokal dibawa ke hutan dan ditanam pada lahan-lahan terbuka bekas penebangan liar. Tak hanya pohon berbatang kayu yang besar-besar seperti karet, Yesaya Mayor juga menangkarkan anggrek-anggrek hutan secara sederhana. Ia memisahkan beberapa tanaman dari rumpun yang ada, lalu ditanam atau di-tempelkan pada pohon lain di sekitarnya.

Tak hanya sampai di situ, ia juga men-gajak warga menaruh cangkang kerang berisi air sebagai tempat minum bagi burung atau satwa lain yang hidup di hu-tan. Kecintaannya pada fauna Papua juga tampak dari papan-papan imbauan yang terpasang di sejumlah sudut desa.

Masyarakat diajak menciptakan habi-tat yang ideal bagi burung cenderawa-sih hanya dengan tidak menangkap atau memburunya. Sementara Yesaya sendiri menghabiskan waktu berbulan-bulan, un-tuk mengamati pola hidup cenderawasih dari mencari makan, musim kawin, dan

Yesaya Mayor berusaha memperbaiki semuanya, dari menanami hutan gundul, menangkarkan anggrek, mencegah perburuan liar, hingga memberi minum burung-burung.

Tokoh

Oktober, 2016 Info Desa 35

musim bertelur. Untuk menikmati pesona sang burung surga atau Bird of Paradise, ia membangun sejumlah titik penga-matan di bawah pohon tempat burung cenderawasih biasa hinggap.

Usahanya tak sia-sia. Desa Arborek dan Sawinggrai menjadi destinasi favorit wisatawan untuk menyaksikan keinda-han cenderawasih. Wisatawan biasanya berkunjung ketika musim kawin cende-rawasih, yakni selain bulan Desember dan Februari. Sebab pada musim kawin, sang jantan akan melakukan gerakan serupa tarian untuk memikat betinanya, memberikan pengalaman tak terlupakan bagi pengunjung yang memandangnya dari dekat.

Selain atraksi burung langka, kelestar-ian flora yang semakin baik juga menjadi magnet pariwisata di Distrik Meos Man-sar. Potensi ini dikelola oleh Yesaya Ma-yor dan warga setempat dengan mendiri-kan dermaga dan penginapan. Hasilnya, masyarakat sekitar memperoleh manfaat ekonomi dari turis yang berdatangan. Jadi tak aneh jika pada 2012, ia dino-batkan sebagai Juara Lomba Penghi-jauan dan Konservasi Alam Wana Lestari

Tingkat Provinsi Papua Barat, kategori Penyuluh Kehutanan Swadaya Masyara-kat (PKSM).

Seiring semakin populernya Raja Ampat hingga ke seluruh penjuru dunia, Yesaya Mayor mulai khawatir kehadiran para pendatang akan menggerus kebudayaan lokal. Selain itu, ia juga tidak rela jika ada pihak yang ingin mengubah wajah kampung menjadi lebih ‘modern’, hanya demi menarik lebih banyak wisatawan.

Apalagi anak-anak muda mudah terpikat dengan budaya asing, sehingga kesenian

tradisional tidak lagi menarik bagi me-reka. “Potensi lokal harus terus dihidup-kan agar adat istiadat dan karakter asli Raja Ampat tetap terjaga,” ungkapnya.

Oleh karena itu, Yesaya mengajar seni musik dan tarian tradisional kepada anak-anak Raja Ampat di rumahnya. Niat baiknya ini mendapat perhatian dari salah satu perusahaan negara sehingga kini ia memiliki tempat baru yang ber-nama Rumah Seni Budaya Sawinggrai.

Tak hanya lebih layak dan memadai se-bagai tempat generasi muda berkese-

nian, tempat ini dapat menjadi bagian dari objek wisata unggul di Raja Ampat. Bahkan dengan adanya rumah seni terse-but, Yesaya dan anggota sanggar seninya kerap tampil di luar pulau, seperti di Ja-yapura atau Jakarta.

Dengan segala pencapaian tersebut, ia belum merasa puas. Yesaya menginisiasi sistem daerah konservasi berjarak 100 meter dari dermaga. Artinya, siapa pun tidak diperbolehkan menangkap atau mengambil hasil laut dalam radius itu. Sistem ini membuat aktivitas snorkel-ing di sana menjadi sangat istimewa.

Hanya di berenang di sekitar dermaga, sudah bisa melihat berbagai jenis ikan dan terumbu karang dalam berbagai bentuk dan ukuran.

Puluhan tahun setelah pembalakan hutan liar di Distrik Meos Mansar, bibit-bibit pohon yang ditanam Yesaya telah tum-buh besar dan semakin rimbun. Ketika ditanya mengenai motivasi dari kerja ke-rasnya tersebut, Yesaya Mayor menjawab, “Orang-orang tidak boleh lupa akan keas-lian budaya dan keaslian hutannya. Cuma dengan rasa memiliki, kita bisa memper-tahankan kemurnian Raja Ampat.” l

TokohTokoh

36 Info Desa Oktober, 2016 Oktober, 2016 Info Desa 37

Di situs itu pula terpampang berbagai prestasi yang ditorehkan warga Desa Dermaji. Salah satunya Sani Afifah yang berhasil menyabet medali perunggu dalam Olimpiade Sains Nasional 2014. Selain memotivasi warga lain untuk ber-prestasi, pemberitaan di situs ternyata juga bisa mendatangkan peluang. Con-tohnya penatah wayang kulit, Trisno Lis-tiyo Wibowo yang mendapatkan sejum-lah pesanan setelah karyanya diunggah ke situs Desa Dermaji.

Bayu juga terus berupaya member-dayakan warganya melalui sejumlah pelatihan, seperti pelatihan teknologi tepat guna, peningkatan kapasitas per-lindungan masyarakat (linmas), pembi-naan keluarga berencana, dan pelatihan menulis untuk website. Tak hanya itu, sebuah pagelaran budaya bertajuk Fes-tival Dermaji digelar demi melestarikan kearifan lokal warganya.

Festival ini berisi seminar teknologi, fes-tival kambing, lomba dongeng, pameran

kuliner khas, dan pentas tari kolosal “Dermaji Gumregah” yang melibatkan ribuan orang. Selain festival, Dermaji juga memiliki Museum Naladipa yang menyimpan koleksi peralatan rumah tangga, alat pertanian, dan benda berse-jarah lainnya. Museum ini menjadi peng-hubung pengetahuan antargenerasi se-hingga anak-anak kita tidak melupakan jati dirinya.

Prioritas PembangunanDengan luas 1.300 hektare dan jumlah penduduk hampir enam ribu jiwa, desa di ujung barat Kabupaten Banyumas ini memerlukan pembangunan di segala lini. Berdasarkan pernyataan Bayu Setyo Nugroho, kesehatan menjadi priori-tas alokasi anggaran pada 2016. “Un-tuk meningkatkan kualitas kesehatan, tahun 2016 sudah ada 1000 orang yang memperoleh air bersih dari jaringan per-pipaan. Lalu selama 5 tahun terakhir, angka kematian ibu melahirkan nol ka-rena tersedia Pos Pelayanan Terpadu

(Posyandu) yang dibangun secara swa-daya,” jelasnya.

Selain kesehatan, pembangunan infra-struktur dan perekonomian juga terus digenjot oleh Bayu dan jajarannya. Pe-ternakan kambing merupakan salah satu potensi terbesar Desa Dermaji, sehingga pengembangannya perlu terus dikelola. Setiap kepala keluarga hampir mempu-nyai ternak kambing minimal dua ekor, bahkan sampai ada yang 20 ekor. Inilah yang nanti akan dikembangkan menjadi salah satu unit usaha BUMdes, yakni sentra usaha ternak kambing.

Sementara di sektor pendidikan, telah dibangun perpustakaan desa yang nanti-nya akan menerapkan sistem informasi. Perpustakaan yang diberi nama Jagat Aksara ini menampung anak-anak warga yang hampir setiap hari datang untuk membaca di sana. “Semangatnya, apa pun yang keluar dari Dermaji, itulah ilmu. Makanya ada museum, perpustakaan, dan fasilitas edukasi lainnya,” pungkas Bayu. l

Dermaji Desa Kecil yang Bertaji

Penerapan teknologi infor-masi, sumber daya manu-sia yang berkualitas, serta pelestarian seni dan budaya. Ketiga hal tersebut sering

diidentikkan dengan keberhasilan pem-bangunan sebuah kota. Namun Desa Dermaji, Kecamatan Lumbir, Kabupaten Banyumas justru telah menjalankan ber-bagai komponen vital ini sejak lama.

Pada 2012, Desa Dermaji sukses me-nerapkan piranti lunak sumber terbu-ka (free and open source software/FOSS) untuk mendukung keperluan administrasi dan pelayanan masyarakat. Seiring perkembangan teknologi, kini Dermaji juga aktif memanfaatkan situs dan jejaring sosial untuk mengembang-kan potensi desanya. Tak heran jika Der-maji meraih penghargaan Desa Tekno-logi Informasi dan Komunikasi (Destika)

2016 dari Kementerian Komunikasi dan Informasi.

Dalam acara halal bihalal Pemberdayaan dan Kesejahteraan Keluarga (PKK) Der-maji September lalu, Kepala Desa Der-maji, Bayu Setyo Nugroho mengungkap-kan pentingnya sistem informasi desa. “Melalui website dermaji.desa.id, kita bisa melihat informasi kegiatan pem-bangunan, kemasyarakatan, anggaran, bahkan Anggaran pendapatan dan be-lanja desa (APBDes),” ujar Bayu.

Menurutnya, website desa bisa memper-cepat dan mendukung proses penyebaran informasi ke masyarakat. Rencana pemba-ngunan biasanya disebarluaskan lewat mu-syawarah desa dan baru bisa diketahui war-ga setelah beberapa minggu. Dengan sistem online, segala macam kabar desa dapat langsung diketahui oleh banyak orang.

Website desa diyakini mampu

mempercepat dan mendukung proses

penyebaran informasi ke masyarakat.

Desa MajuDesa Maju

38 Info Desa Oktober, 2016 Oktober, 2016 Info Desa 39

bunga sesuai kesepakatan melalui musya-warah desa. Bunga tersebut disesuaikan dengan kegiatan usahanya. Contohnya pada penggemukan sapi, tidak ada bunga bulanan, tetapi bunga dan modal akan di-bayarkan setelah sapi terjual.

Untuk sarana dan prasarana, dana ban-tuan bisa digunakan untuk berbagai sektor, dari infrastruktur transportasi, kesehatan, sampai pertanian. Misal-nya jembatan, jalan produksi, irigasi di luar inventaris dinas Pekerjaan Umum, pasar, gudang produksi, perpipaan, ka-mar mandi umum, Pos Kesehatan Desa (Poskesdes), Pos Pelayanan Terpadu (Posyandu), dan banyak lagi lainnya.

Desa dilarang menggunakan dana GSM untuk membeli mobil, sepeda motor, bedah rumah, membangun kantor desa, bale banjar, dan investasi yang tidak produktif.

Program BerkelanjutanSaat awal diluncurkan pada 2012, ter-dapat lima desa yang menjadi proyek

percontohan Gerbang Sadu Mandara (GSM), yakni Desa Pejarakan, Desa Loka Paksa, Desa Songan B, Desa Be-bandem, dan Desa Jungutan. Baru tiga tahun berjalan, tepatnya pada akhir 2015, menurut Kepala Badan Pember-dayaan Masyarakat dan Pemerintahan Desa Provinsi Bali, Ketut Lihadnyana, sudah ada 217 desa yang telah terbantu melalui program GSM.

Laporan penyerapannya dapat dipan-tau melalui situs masing-masing desa atau situs resmi Gerbang Sadu Manda-ra, yakni www.gerbangsadumandara.provbali.info. Di Desa Pejarakan, Keca-matan Gerokgak, Kabupaten Buleleng contohnya, dana GSM sebesar 800 juta telah dimanfaatkan untuk kegiatan BUMDes, seperti usaha penggemukan sapi, ternak kambing, dan pengadaan bahan pertanian. Sementara sisanya digunakan untuk infrastruktur pemba-ngunan toko dan operasional.

Contoh lain, pada 2014 Desa Bebetin, Kecamatan Sawan telah menerima dana GSM dan menggunakannya untuk pe-

ngelolaan Unit Pelayanan Sosial air mi-num, pembangunan gedung BUMDes, usaha perdagangan, simpan pinjam, dan usaha penggemukan sapi.

Pada tahun-tahun berikutnya, peme-rintah semakin gencar mengucurkan dana sebesar 1,02 miliar ini bagi desa lain yang belum tersentuh. Yang ter-baru, pada Maret 2016 lalu pemerintah telah menyerahkan Bantuan Keuangan Khusus (BKK) bagi 15 desa penerima program Gerbang Sadu Mandara di Gedung Ksirarnawa, Taman Budaya, Denpasar.

Pada kesempatan tersebut, Gubernur Bali Made Mangku Pastika mengingat-kan agar dana yang diterima benar benar digunakan untuk membangun kemajuan desa dan tidak disalahgunakan. “Sauda-ra-saudara agar meniru rekan-rekan kepala desa yang telah berhasil menge-lola program ini dengan baik, karena ini adalah satu bentuk yadnya,” ujar-nya. Dalam ajaran Hindu, yadnya me-rupakan kurban suci yang dilaksanakan dengan tulus ikhlas. l

baliprov.go.id, gerbangsadumandara.provbali.info

Bali kerap dipandang sebagai kiblat pariwisata Indone-sia, bahkan dunia. Namun masih ada sejumlah desa yang tidak turut merasakan

geliat perekonomian ini. Oleh sebab itu, sejak 2012, Pemerintah Provinsi Bali mengembangkan Gerakan Pembangu-nan Desa Terpadu Mandara (Gerbang Sadu Mandara/GSM).

Program ini menyasar desa-desa dengan tingkat kemiskinan di atas 35 persen. Di Bali terdapat 82 desa dengan kondisi se-perti tersebut. Karena itu, pemerintah provinsi Bali mengalokasikan dana pem-bangunan sekitar satu miliar dua puluh juta rupiah untuk setiap desa. Dana terse-but terutama disalurkan untuk penyal-uran kredit dan pengembangan modal Badan Usaha milik Desa (BUMDes) serta

peningkatan dan pengembangan sarana prasarana perdesaan.

Agar tepat sasaran, pemerintah membuat sejumlah koridor pembiayaan. Misalnya dalam penyaluran modal, masyarakat miskin yang menggunakan pinjaman dari BUMDes dikenakan bunga 1 persen tan-pa agunan. Sementara bagi masyarakat yang tidak termasuk miskin, dikenakan

Melaju di Gerbang Sadu Mandara Dilarang

menggunakan dana GSM untuk

membeli mobil, sepeda motor, bedah rumah, membangun kantor

desa, bale banjar, dan investasi yang tidak

produktif.

Desa MajuDesa Maju

40 Info Desa Oktober, 2016 Oktober, 2016 Info Desa 41

Pose-pose unik di bawah air sembari dikelilingi aneka ikan warna-warni. Foto inilah yang akan menghiasi layar monitor jika mencoba

mengakses Desa Ponggok di jagat maya. Berawal dari kolam alami yang kurang terawat, desa di Kecamatan Polanharjo, Klaten, Jawa Tengah ini bertrans-formasi menjadi salah satu bintang baru pariwisata Indonesia.

Berada di area perbukitan, tak aneh jika Desa Ponggok me-nyimpan sejum-lah mata air de-ngan volume air yang melimpah. Terdapat beberapa mata air atau umbul yang populer, seperti Umbul Ponggok, Umbul Besuki, Umbul Sigedang, Umbul Kapilaler, dan Umbul Cokro. Selama bertahun-tahun, kolam yang telah ada sejak zaman kolonial Belanda ini hanya ramai saat padusan, yakni ritual mandi orang Jawa sehari menjelang puasa.

Melihat potensi wisata yang belum ter-garap, Badan Usaha Milik Desa (BUM-Des) Ponggok, Tirta Mandiri, sempat menawarkan pengelolaan kepada pihak ketiga pada 2009. Sayangnya tak ada yang mau menerima tawaran tersebut. Alhasil, BUMDes Tirta Mandiri memu-tuskan untuk mengelola sendiri Umbul Ponggok.

Untuk mempromosikan mata air terse-but, manajemen Tirta Mandiri meng-ajak Sentral Selam Jogja, pelaku indus-tri wisata selam, untuk berlatih selam di situ. Ternyata foto yang diambil para penyelam Sentral Selam Jogja cukup bagus karena tingkat kejernihan dan visibilitas air yang baik. Ketua BUM-Des Tirta Mandiri Untung Hari Margo-no mengungkapkan, “Kalau foto bawah air di laut itu jarak pandangnya terba-tas. Sedangkan di sini jarak pandang-nya lebih jauh dan airnya lebih jernih.”

Sejak itu, BUMDes Tirta Mandiri mu-lai mempublikasikan Umbul Ponggok melalui pamflet dan spanduk. Namun perjalanan mereka masih jauh. Model promosi konvensional tersebut tidak mendapatkan tanggapan positif.

Namun ketika kemudian pengelola BUM-Des mencoba metode publikasi

lewat media sosial, hasilnya justru menggembirakan.

Selain di Instagram, foto Umbul Pong-

gok juga tersebar di YouTube, Face-book, dan Twit-ter. “Responsnya luar biasa,” ke-nang Untung.

Kerja keras BUM-Des Ponggok akhirnya

terbayar. Tempat wisata itu menjadi magnet bagi ba-

nyak wisatawan. Menurut Public Relations BUMDes Tirta Mandiri, Gatot Jiwandono, jumlah pengunjungnya 500-600 orang pada hari biasa dan mencapai 2.000 – 3.000 orang pada hari libur. Dengan tiket 8 ribu rupiah pada hari bi-asa dan 10 ribu rupiah pada hari libur, Umbul Ponggok mampu meraup penda-patan 4 miliar rupiah sepanjang 2015.

Tahun 2016 popularitasnya mengalir semakin deras. Saat libur panjang awal Mei 2016 lalu, umbul seluas 40 x 70 meter diserbu 14 ribu turis. Me-reka biasanya ingin berfoto sembari melakukan snorkeling (selam dang-kal) di kedalaman 1,5–2,5 meter. Di dalam air sudah tersedia meja, kursi, sepeda motor, dan atribut lainnya un-tuk membuat pose foto menjadi me-narik.

Selain dimanfaatkan untuk pariwisata, sumber air yang melimpah menjadi sa-rana warga desa untuk membudidaya-kan ikan, terutama ikan nila. Dengan lahan perikanan seluas 5 hektare, Desa Ponggok mampu menghasilkan 0.57 ton ikan per hari. Belum lagi budidaya udang galah dan ikan koi sebagai alter-natif sumber pendapatan.

Kemajuan pesat ini semakin me-mantapkan langkah lembaga dan pemerintah Desa Ponggok untuk te-rus berkreasi dan mengembangkan potensi desanya. Tidak hanya melalui BUMDes sebagai pendekatan sektoral, namun juga merencanakan tata ru-ang wilayah, memberdayakan sumber daya manusia, serta mengoptimalkan penerapan teknologi informasi dan ko-munikasi. l

Popularitas pariwisata

Ponggok merupakan wujud keberhasilan

lembaga desa dalam mengoptimalkan potensi desanya.

Menengok Pesona Desa Ponggok

Desa MajuDesa Maju

42 Info Desa Oktober, 2016 Oktober, 2016 Info Desa 43

Seperti yang dialami di Desa Kewar, Kecamatan Lamaknen, Kabupaten Belu, Nusa Tenggara Timur. Pen-garuh historis karena terpisahnya Timor Timur dari Indonesia dan berdiri sebagai negara Timor Leste menyebabkan hambatan tersendiri bagi Desa Kewar. Posisinya yang be-rada di garda terdepan wilayah Indo-nesia tidak serta merta menjadikan Desa Kewar enjadi prioritas dalam pembangunan.

Pasca pecahnya wilayah, Desa Ke-war mendapatkan serbuan warga yang tidak mau bergabung dengan Timor Leste. Tentunya ini menjadi beban tersendiri dalam mengakomo-dir pertambahan penduduk. Selain itu Desa Kewar juga sempat kesuli-tan air karena jauhnya sumber mata air. Warga harus mengambil air dari sumber air yang berjarak sekitar 80 kilometer. Selain itu, Desa Kewar juga tertinggal dalam hal komuni-kasi. jaringan komunikasi tersendat dan lambat karena kurangnya sarana pendukung komunikasi yang mema-dai.

Selain itu, menurut Direktur Jen-deral (Dirjen) Pembangunan Dae-rah Tertentu Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Terting-gal, dan Transmigrasi (Kemendes PDTT) Suprayoga Hadi, kurang majunya daerah perbatasan disebabkan oleh pe-ngembangan yang ma-sih terpaku pada dua aspek keamanan dan kesejahteraan saja, kurang pada aspek investment. “Perbatasan se-lalu tertinggal ka-rena tidak dianggap sebagai growth area namun hanya dianggap daerah tertinggal yang perlu disejahterakan saja,” ungkapnya. Pembangunan perbatasan harusn-ya berorientasi pada investasi da-lam konteks pembangunan untuk menarik peluang investasi.

Upaya AkselerasiUpaya dalam menanggulangi kondisi miris di Desa Kewar ini belum terinte-grasi. Beberapa bantuan yang diper-oleh Desa Kewar diantaranya dari TNI untuk pembangunan bak air, kemu-dian Telkomsel yang membangun BTS

untuk meningkatkan sarana komunikasi.

Dalam mengakselerasi kawasan perbatasan seperti Desa Kewar terus diupayakan berbagai program dan dibentuk dalam

integrasi. Kemen-terian Desa, Pemba-

ngunan Daerah Terting-gal, dan Transmigrasi melalui

Direktorat Jenderal Pembangunan dan Pemberdayaan Masyarakat Desa te-lah mengembangkan program unggulan berdasar tiga) pendekatan yang disebut sebagai pilar Desa Membangun Indone-sia, yakni Jaring Komunitas Wiradesa,

Lumbung Ekonomi Desa, dan Lingkar Budaya Desa.

Saat ini, Desa Kewar masuk dalam lokus dari pelaksanaan program pembangunan dan pemberdayaan masyarakat desa yang ber-dasar pada Indeks Desa. Desa Kewar menjadi satu dari 5.000 Desa Sangat Tertinggal dari 15.000 Desa yang ditetapkan menjadi lokus dari pelaksanaan program pembangunan dan pemberdayaan masyarakat desa.

Sedangkan untuk menjalankan pemba-ngunan berorientasi investasi, Kemende-sa PDTT pada 2015 menerbitkan buku profil potensi daerah perbatasan. Dalam buku profil yang disusun bersama Uni-versitas Gadjah Mada ini memetakan potensi yang ada untuk dieksplor dan diekspos. Buku profil tersebut diharap-kan bisa menjadi panduan bagi investor. Pemerintah daerah juga didorong untuk pro aktif dalam mendekati investor. Be-berapa upaya yang dilakukan dan disin-ergikan ini diharapkan mampu melepas-kan Desa Kewar dan kawasan perbatasan lainnya dari kondisi miris. l

Indeks Desa: 0,49062

Status: Sangat

Tertinggal

Problematika kawasan perba-tasan di Indonesia tidak han-ya sekedar menegaskan garis batas negara. Perbatasan se-bagai bagian dari wilayah ne-

gara pengelolaannya tidak boleh terlepas dari kebijakan maupun peraturan yang bersifat nasional. Demi terwujudnya ling-kungan yang kondusif dan berkeadilan sosial. Kondisi geografis dan historis yang ada juga masih ditemui sebagai hambatan dalam membangun perbatasan.

Masalah di perbatasan esensinya lima hal pokok. Pertama aspek kedaulatan negara, yaitu ketegasan pada batas wilayah secara fisik. Kedua kaitannya dengan penegakan hukum dan masih maraknya aktivitas ilegal. Ketiga ma-salah infrastruktur. Keempat pengua-tan SDM dan kelima adalah masalah kelembagaan dan investasi. Empat poin pertama merupakan aspek security (keamanan) dan prosperity (kesejah-teraan).

Agar Tak Pilu di Kabupaten BeluPembangunan perbatasan harusnya berorientasi pada investasi dalam konteks pembangunan untuk menarik peluang investasi.

JenteraJentera

44 Info Desa Oktober, 2016 Oktober, 2016 Info Desa 45

Berdasarkan parameter In-deks Desa 2015, desa-desa di perbatasan masih did-ominasi dengan desa yang memiliki status tertinggal

dan sangat tertinggal. Disebutkan dalam IDM bila 644 desa (45%) adalah bersta-tus tertinggal dan 635 dsa (44%) bersta-tus sangat tertinggal. Dengan rata-rata IDM desa perbatasan adalah 0,498 se-dangkan rata rata IDM nasional adalah 0,566, tergambar bila tingkat kesejahte-raan desa perbatasan masih rendah.

Dengan IDM 0,4699, desa-desa di Ka-bupaten Malinau, Kalimantan Utara menyandang status sangat tertinggal. Malinau adalah kabupaten baru yang dibentuk pada 1999 sebagai pemekaran Kabupaten Bulungan. Wilayah Malinau seluas 42.620,70 Km yang terdiri dari 15 kecamatan dengan 109 desa dengan komposisi 5 kecamatan berbatasan lang-sung dengan Sarawak Malaysia, 6 keca-

matan di wilayah pedalaman dan 4 keca-matan di perkotaan.

Kondisi ini membuat Malinau meng-hadapi dua masalah khas daerah per-batasan. Pertama adalah distribusi hasil dan pembangunan yang tidak merata terutama disebabkan kondisi geografis. Masalah distribusi pembangunan ini juga akibat rezim sistem pemerintahan yang bersifat sentralistik. Semuanya datang dari pusat dan masyarakat bawah hanya sebagai penerima pasif. Akibatnya, banyak masyarakat lokal yang kemudian merasa rendah diri dengan budaya sen-diri. Kebijakan hidup warisan nenek mo-yang yang berharga mulai ditinggalkan.

Kemudian hal kedua adalah terbatasnya akses informasi dan pendidikan karena sarana dan prasarana yang minim. Ku-rangnya perhatian pada dua poin utama ini menyebabkan berkurangnya kesem-patan mendapatkan pekerjaan yang layak,

Wajah Gerbang Dema

di MalinauWarga desa didorong menggali kembali kebijakan lokal sesuai

dengan kondisi sosial dan budaya setempat.

JenteraJentera

46 Info Desa Oktober, 2016 Oktober, 2016 Info Desa 47

peemrintah pusat utnuk mensinergikan kebijakan yang sesuai dengan kebutuhan desa-seda tertinggal di Malinau.

Semenjak dipimpin oleh Bupati Jansen Tipa Padan pada 2011 Malinau mulai berjuang melepaskan status keterting-galannya. Dengan yang latar akademis dan hasil pengalaman panjang dan pe-nelitian, Bupati Jansen merumuskan tata pengelolaan pemerintahan daerah yang disebut Gerbang Dema (Gerakan Desa Membangun). Adapun detail tata laksana pemerintahan berbasis Gerbang Dema itu dituliskan secara detail dalam buku ber-judul, Revolusi dari Desa: Saatnya dalam Pembangunan Percaya Sepenuhnya Ke-pada Rakyat.

Gerbang DemaGerbang Dema menjadi visi dan lang-kah dalam pembangunan Malinau. Dalam mengentaskan ketertinggalan, koordinasi penanggulangan kemis-kinan ditempatkan pada lembaga pemerintah yang berpengaruh di ta-ngan orang yang berpengaruh sebagai penanggung jawab. Untuk perenca-

naan, anggaran, implementasi dan eva-luasi berlangsung melalui mekanisme umum kabupaten.

Sebagai implementasi dari Gerbang Dema ini, dalam melakukan tata kelola wilayah sekitar 50% wewenang diberikan kepada pemerintahan tingkat desa. Pemerintah desa dinilai sebagai yang tahu persis apa yang menjadi pokok permasalahan dan apa yang harus dilakukan. Pemberian kepercayaan ini sekaligus mendorong masyarakat mengga-li kembali kebijakan lokal sesuai dengan kondisi masyarakat. Diharapkan dengan kesesuaian pola pe-nanganan, masalah bisa diatasi secara lebih cepat dan efisien karena masyarakat bisa melak-sanakan tugas dengan cara-cara yang awam bagi mereka.

Sebelumnya, kepala desa yang sebagian besar adalah kepala suku, hanya menjadi orang yang canggung duduk di kursi kan-tor lurah dan tidak tahu apa yang harus dilakukan. Lewat pendelegasian kewe-nangan ini mereka bisa berperan aktif. Selain itu juga didukung dengan pem-bangunan infrastruktur yang memadai. Tower komunikasi, bandara, dan jalan terusan yang memudahkan akses pendu-duk ke wilayah Indonesia.

Dalam menuju desa mandiri ada tiga ta-hapan yang dicanangkan. Pertama adalah pra-swasembada dimana ciri-cirinya ma-sih desa tradisional, tidak ada pengaruh luar, produktivitas rendah dengan penda-patan hanya dari sektor primer. kedua pada tahap swasembada sebagian, desa seting-kat lebih maju daripada desa pra-swasem-bada. Lalu adat istiadat dan tradisi meng-alami transisi dengan pengaruh luar mulai

tampak sehingga pola pikir lebih progresif dan bidang peker-

jaan lebih banyak. Dengan perubahan yang dialami

berdampak pada pen-dapatan penduduk desa mulai berkem-bang dari sektor primer ke sekunder.

Produktivitas me-ningkat sejalan dengan

perbaikan prasarana desa.

Tahap yang ketiga, yaitu swasembada. Pada tahapan ini kapabilitas desa seting-kat lebih maju daripada desa swasembada sebagian dengan ciri-ciri adat istiadat dan tradisi melibatkan hubungan antar-pri-badi yang lebih rasional. Dengan sumber pendapatan beralih ke sektor tersier maka penghasilan warga mulai lebih beragam. Terlebih lagi dengan aplikasi teknologi baru yang meningkatkan produktivitas. Dengan produktivitas yang tinggi makan tinggi diimbangi dengan prasarana yang memadai. l

Indeks Desa: 0,4699

Status: Sangat

Tertinggal

yang artinya mengurangi kesempatan menaikkan taraf hidup. Dua hal tersebut juga menyebabkan tingginya angka pe-ngangguran dan jumlah warga miskin di Malinau.

Kondisinya geografis yang sulit dijangkau dari Indonesaa malah membuat Malinau lebih dekat dengan negara tetangga Ma-laysia. Karena keterbatasan yang dihadapi, meski sering ada perlakuan buruk Negeri Jiran terhadap warga Indonesia, pendu-duk Malinau lebih mudah memenuhi ke-butuhan hidup sehari-hari dari Malaysia. Mata uang Ringgit dan bahasa Melayu juga banyak dipakai di Malinau. Hal ini tentu-nya menjadi tantangan yang mesti dihada-pi pemimpin daerah di Malinau.

Kondisi geografis memang menjadi penghambat namun bila ditelisik lebih dalam, geografis Malinau yang sebagian besar adalah hutan menyimpan potensi untuk dimanfaatkan dan menghasilkan

produk-produk hutan khas daerah Ka-limantan. Di kabupaten ini terdapat Ta-man Nasional Kayan Mentarang dengan luas 1.360.050,00 ha yang tentunya me-nyimpan potensi untuk pariwisata.

Langkah Maju Pemimpin DaerahDengan beragam masalah yang ada, tekad dan semangat mengentaskan ketertinggalan perbatasan yang tentu membutuhkan bukan sekedar alokasi anggaran dan rencana pembangunan. Persoalan yang membelenggu dan mendekap perbatasan mencerminkan problem struktural dan paradigma pem-bangunannya sehingga tindakan afirma-si dan perlindungan yang menyeluruh diperlukan untuk menjaga keutuhan. Pemimpin yang cakap dan visoner pun diperlukan untuk memimpin masyara-kat sekaligus menjadi jembatan dengan

JenteraJentera

48 Info Desa Oktober, 2016 Oktober, 2016 Info Desa 49

Sudah sepuluh tahun, Uju Hardi (45) bersama keluar-ganya tinggal di Dusun Pa-dasan yang merupakan ba-gian dari Unit Permukiman

Transmigrasi (UPT) Mekar Sari, Lombok Tengah. Sempat berpindah-pindah tempat tinggal pasca tempat tinggalnya di Desa Kabul terkena dampak pembangunan Bendungan Peleumbik, Uju kemudian menempati UPT Mekar Sari pada 2005.

“Sekarang tinggal di sini lebih enak. Dulu meskipun punya tanah luas, tapi pengha-silan yang saya peroleh tidak bisa men-cukupi kebutuhan keluarga,” kata Uju yang terlihat bahagia ketika ditemui Info Desa pada Oktober tahun lalu.

Kebahagiaan Uju bukan tanpa sebab. Di atas tanah seluas 1 hektare, pendapatan-

nya meningkat berlipat-lipat. “Sekarang pendapatan saya per tahun sebesar Rp 8 juta dari menanam padi gogo rancah. Le-bih besar dibandingkan sewaktu saya ma-sih tinggal di Desa Kabul, yaitu Rp 2 juta per 6 bulan,” katanya membandingkan.

Itu baru dari satu jenis tanaman. Selain padi, Uju juga menanam jagung, kedelai, jambu mete, sampai kayu mahoni. Dari jagung, dia menceritakan mendapat tam-bahan penghasilan sebesar Rp 10 juta tiap 3 bulan dari hasil produksi jagung yang mencapai rata-rata 5 ton.

Meski penghidupannya di UPT Mekar Sari saat ini lebih baik, Uju masih khawa-tir tentang masa depannya, terlebih soal status lahan permukiman yang ditem-patinya dan juga lahan usahanya. “Kami ingin mendapatkan sertifikat atas lahan

permukiman dan lahan usaha yang kami kerjakan supaya kami lebih tenang da-lam bekerja,” ujarnya berharap.

Reforma agrariaHarapan Uju juga menjadi harapan war-ga transmigran lain yang tersebar dari Aceh sampai Papua untuk mendapatkan sertifikat tanah. “Kalau Sertifikat Hak Mi-lik atau SHM sudah terbit, transmigran memiliki ketenangan dalam pengelolaan tanah, artinya dia bisa memanfaatkan tanah tersebut secara optimal. Dengan dio-lah secara optimal, maka akan meningkat-kan kesejahteraan ekonomi transmigran, pengembangan wilayah, maupun keta-hanan pangan nasional,” kata Tukiman, Plt Direktur Penyediaan Tanah Transmigrasi Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi.

Dalam konteks reforma agraria, pekerjaan rumah Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi saat ini adalah menyelesaikan proses sertifikasi HPL seluas 0,6 juta hektare sampai 2019.

SERTIFIKASI TANAH

Agar Transmigran Tenang Bekerja

Transmigrasi

50 Info Desa Oktober, 2016

Tukiman mengatakan, Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi memiliki komitmen kuat untuk menyelesaikan proses sert-ifikasi tanah bagi transmigran. “Dalam konteks reforma agraria 9 juta hektare, pekerjaan rumah kami saat ini adalah menyelesaikan proses sertifikasi HPL atau Hak Pengelolaan seluas 0,6 juta hektare sampai 2019,” ujarnya.

Mengacu pada RPJMN 2014-2019, Tukiman menuturkan, Tanah Objek Reforma Agraria (TORA) dilaksanakan melalui redistribusi aset dan legalisa-si aset. Baik redistribusi aset maupun legalisasi aset, besaran jumlah lahan sebagai bagian dari kebijakan reforma agraria yang dicanangkan pemerintah masing-masing sebesar 4,5 juta hektare.

“Legalisasi aset artinya pemerintah memberikan sertifikat aset berupa tanah kepada transmigran yang selama ini belum ada kepastian hukum sehingga mempunyai kepastian hukum,” ujarnya.

Dari 4,5 juta hektare legalisasi aset, 0,6 juta hektare merupakan tanah transmi-grasi yang belum bersertifikat, sementara 3,9 juta hektare lainnya untuk sertifikat masyarakat umum. Se-dangkan dari 4,5 juta hektare redistribusi aset, 0,4 juta hektare di an-taranya untuk Hak Guna Usaha (HGU) dan tanah telantar, dan 4,1 juta hek-tare pelepasan kawasan hutan.

“Itu skematik soal reforma agraria yang kami bahas bersama dengan Bappe-nas, Kementerian Agraria dan Tata Ruang, Kemen-terian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Kementerian Dalam Negeri, dan Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Terting-gal, dan Transmigrasi,” katanya.

Tukiman menuturkan, proses penerbi-tan SHM didahului dengan penerbitan sertifikat HPL. Hal ini sesuai dengan UU

No 15 tahun 1997 pasal 24 ayat 1, yang menyebutkan bahwa tanah yang diper-oleh untuk penyelenggaraan transmigra-si sebagaimana dimaksud dalam pasal 24 diberikan dengan hak pengelolaan sesuai dengan peraturan perundangan yang berlaku. “Artinya, pasal 24 ayat 1 ini mengharuskan tanah yang dikelola transmigrasi harus berstatus HPL ter-lebih dahulu,” tuturnya.

Proses penerbitan sertifikat HPL dimu-lai dari usulan pihak Dinas Tena-

ga Kerja dan Transmigrasi di tingkat kabupaten, kemu-

dian diajukan ke kantor pertanahan, lalu ke kan-wil BPN, untuk selanjut-nya diajukan ke Menteri

Agraria dan Tata Ruang/Kepala BPN, dan keluar

persetujuan menteri beru-pa SK HPL. Proses berikut-

nya, SK HPL diajukan kembali ke kantor pertanahan untuk

diterbitkan sertifikat HPL. “Batasan waktunya 3 bulan sejak turunnya SK HPL,” katanya.

Tukiman menjelaskan, pers-yaratan mengurus sertifikat HPL

mencakup 11 persyaratan pokok, antara lain usulan dari Kepala Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi tingkat kabu-paten, surat RT/RW, penjelasan pihak kehutanan di tingkat kabupaten yang menyatakan lahan transmigran tidak

berada di kawasan hutan, serta dileng-kapi dengan peta. Selain itu, persyaratan pengurusan sertifikat HPL juga dileng-kapi dengan penjelasan Kepala Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi di ting-kat kabupaten yang menyatakan bahwa lahan transmigran bukan milik pihak manapun.

“Ini sesuai dengan kebijakan penyediaan tanah bagi transmigran yang bersifat clean dan clear. Clean artinya bersih dari kepemilikan orang lain di mana tanah yang ditempati transmigran bukan mi-lik masyarakat, perusahaan, tidak ada kepemilikan ganda, dan tidak berada di dalam kawasan hutan. Sedangkan clear terkait dengan luas lahan, letak, dan pa-tok-patok tanahnya harus jelas,” ujarnya.

Diakui Tukiman, penyediaan lahan bagi transmigran memiliki tiga titik persing-gungan, yaitu kawasan hutan, okupansi masyarakat, dan perusahaan. “Jika lahan bagi transmigran masuk kawasan hutan, kita teliti kembali,” ujarnya.

Setelah terbit sertifikat HPL, maka bisa diproses sertifikat SHM-nya. Jika SHM sudah terbit, maka tanah tersebut sudah menjadi milik transmigran. “Ending dari pekerjaan kita adalah menerbitkan SHM untuk lahan pekarangan, lahan usaha 1, dan lahan usaha 2,” ujar Tukiman sambil memastikan bahwa warga transmigran tidak dikenakan biaya untuk penerbitan sertifikat HPL hingga SHM. “Semua la-yanan tersebut gratis bagi transmigran.” l

áTukimanPlt Direktur Penyediaan

Tanah Transmigrasi Kementerian Desa,

Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi.

Transmigrasi

Oktober, 2016 Info Desa 51

arus perpindahan penduduk yang tidak terarah dari desa ke kota-kota besar.

Asisten III Bidang Kesejahteraan Rakyat Setda Provinsi Sumsel, Ahmad Najib mengatakan, Sumsel bangga dengan Kabupaten Banyuasin yang telah men-jadi salah satu daerah lumbung pangan di Sumsel. “Selain membantu pencip-taan kawasan penyangga pertumbuhan ekonomi, salah satu daerah ketahanan pangan di Sumsel adalah Kabupaten Banyuasin,” katanya.

Selain di Banyuasin, Ahmad Najib me-ngatakan, daerah lumbung pangan lain di Sumsel ialah OKU Timur, Ogan Ilir, dan Pagaralam. Wakil Bupati Banyuasin Suman Asra Supriono mengatakan, ma-syarakat Kabupaten Banyuasin sebagian besar merupakan warga transmigrasi. Ada sekitar 50 persen warga transmigra-si berada di 500 lebih desa dan kelurahan di Banyuasin.

Dia menjelaskan KTM Telang ini dituju-kan menciptakan sentral bisnis, peluang usaha, dan yang terpenting meningkat-kan pendapatan warga transmigrasi. Meski disebut daerah lumbung pangan, kata Suman, petani selama ini menjual hasil produksi padi mereka ke tengku-lak. Oleh karena itu, Suman berharap, pemerintah dapat mengambil alih pe-masaran hasil produksi petani.

Diversifikasi panganDalam sebuah kesempatan, Direk-tur Jenderal Pengembangan Kawasan Transmigrasi, Kementerian Desa, Pem-bangunan Daerah Tertinggal, dan Trans-migrasi, Roosari Tyas Wardani mengata-kan, program transmigrasi yang selama ini diselenggarakan ditujukan untuk pe-ngembangan sentra produksi pangan. Diharapkan, beberapa daerah trans-migrasi dapat menghasilkan berbagai komoditas pangan unggulan, termasuk perkebunan, perikanan dan peternakan, sehingga daerah transmigrasi dapat memberikan kontribusi secara signifikan terhadap produksi pangan nasional, dan juga pendistribusian pangan ke berbagai wilayah Indonesia.

Roosari berharap, daerah-daerah trans-migrasi yang berada di luar Pulau Jawa dapat bertransformasi menjadi lumbung pangan nasional, bahkan dunia. Ini lan-taran lahan untuk bercocok tanam masih tersedia cukup luas di daerah transmi-grasi. Roosari menyebutkan salah satu contoh daerah transmigrasi yang ber-hasil adalah KTM Telang, Kabupaten Banyuasin, Sumatera Selatan.

KTM Telang merupakan kawasan yang melingkupi 79 desa dalam kawasan transmigrasi, 21 di antaranya merupakan eks transmigrasi dan 50 lebih lainnya

penduduk asli setempat. KTM Telang te-lah mengembangkan berbagai bidang us-aha seperti agro bisnis dan agro industri untuk pengembangan ekonomi dan pe-ngembangan wirausaha. KTM ini juga te-lah mengembangkan penangkaran benih kedelai dan padi.

Roosari mengatakan, benih kedelai ber-label ungu varietas Tanggamus, Anjos-moro, Kepak Kuning, Kepak Hijau itu ditanam di lahan seluas 10 hektare dan mampu menghasilkan total produksi sebanyak 25 ton. Produksi kedelai itu rencananya digunakan sebagai benih berlabel biru untuk dikembangkan pada musim tanam berikutnya. Proses pem-benihan itu sendiri dilakukan oleh se-buah lembaga pembenihan yang dikelola bersama masyarakat.

Sementara itu, hasil produksi padi di KTM Telang mencapai 5 ton padi untuk tiap satu hektare. Dalam pilot project yang sudah dilakukan di lahan seluas 200 hektare, jumlah gabah kering giling yang dapat di-hasilkan diperkirakan mencapai 1.000 ton.

Selain padi, warga transmigran juga mengusahakan tanaman pangan lain yang menjadi sumber karbohidrat, se-perti jagung, ubi kayu, dan ubi jalar. Pe-nanaman tanaman pangan selain beras ini merupakan upaya untuk menciptakan diversifikasi pangan. l

Pemerintah pusat menilai kota terpadu mandiri atau KTM di kawasan transmi-grasi Sumatera Selatan dapat menjadi model pengem-

bangan transmigrasi nasional. Menteri Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi Eko Putro Sandjojo me-ngatakan pihaknya tengah mengembang-kan 48 KTM di Tanah Air.

“Salah satunya KTM Telang di Kabupa-ten Banyuasin, modelnya sangat bagus dan menjadi skala besar usaha dan pen-ciptaan lumbung pangan. Melalui KTM ini akan menjadi model percontohan satu desa satu produk, di Indonesia,” kata Menteri Eko saat melakukan kunjungan kerja di Kantor Pengelola KTM Telang,

Desa Mulya Sari Kabupaten Banyuasin, Selasa, 7 September 2016.

Dia mengemukakan KTM Telang saat ini menjadi sentra produksi padi dan industri perberasan yang mencakup tiga kecamatan dari 34 desa. Pembangunan kawasan transmigrasi itu sendiri dimu-lai pada 2008 dan diharapkan mampu berkembang menjadi pusat pengem-bangan komoditas pangan dan embrio pusat pertumbuhan baru.

Eko mengatakan, pihaknya akan terus meningkatkan sinergitas dan kolabora-

si antar kementerian, lembaga terkait, BUMN, swasta, pemerintah dan ma-syarakat agar KTM dapat berkembang lebih maju sebagai pusat agribisnis dan agroindustri.

“Dengan menggaet Perum Bulog, per-bankan dan pihak terkait lainnya, kita jadikan KTM Telang sebagai model per-contohan di Indonesia,” ujarnya.

Dia memaparkan pengembangan KTM kawasan transmigrasi juga diharapkan dapat berfungsi sebagai peyangga ibukota kabupaten, sehingga dapat mengurangi

KTM TELANG

Model Lumbung Pangan NasionalKTM Telang saat ini menjadi sentra produksi padi dan industri perberasan yang mencakup tiga kecamatan dari 34 desa. Diharapkan mampu berkembang menjadi pusat pengembangan komoditas pangan.

TransmigrasiTransmigrasi

52 Info Desa Oktober, 2016 Oktober, 2016 Info Desa 53

Jauh dari hingar bingar perko-taan bukan berarti Desa Pen-tingsari, yang terletak di Desa Umbulharjo, Kecamatan Cangkringan, Sleman, Yog-

yakarta, tak bisa maju. Dengan potensi yang besar karena berlokasi dekat dengan Gunung Merapi, warga desa Pentingsari telah mengembangkan wisata alam dan wisata budaya di desanya. “Untuk wisata alam, desa kami sudah ada 9 komunitas jeep yang melayani wisata lava tour,” kata Suyatmi, kepala Desa Umbulharjo pekan terakhir September lalu.

Kepada Menteri Desa Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi, Eko Putro Sardjojo, yang mengunjungi Desa Pentingsari September lalu, Suyatmi menceritakan bahwa pada awalnya de-sanya hanya bisa menyewa jeep. “Namun secara bertahap sekarang sudah menjadi milik komunitas jeep desa kami,” jawab Suyatmi, kepala desa perempuan yang dilantik setahun yang lalu.

Selain wisata alam, Desa Pentingsari juga telah melakukan wisata budaya dengan menyediakan penginapan untuk wisata live in (merasakan hidup di desa). “Bebe-rapa kali kami kedatangan wisatawan dari luar negeri, mereka live in di Pentingsari selama beberapa hari,” tambah Suyatmi.

Menteri Eko pun bersemangat mengikuti tanya-jawab seputar potensi Desa Pen-tingsari ini. Selepas tanya-jawab yang penuh canda tawa, Eko juga menyempat-kan diri berkeliling di kebun hidroponik Karang Kedempel. Kepada Eko, anggota Penggerak Swadaya Masyarakat (PSM),

Balai Besar Latihan Masyarakat (BBLM) Yogyakarta menjelaskan seputar pena-naman bawang merah dan sawi sendok.

Melihat kebun hidroponik milik warga, Eko pun berharap ada pelatihan pen-dukung bagi masyarakat, seperti admin-istrasi, manajemen keuangan, dan mana-jemen BUM Desa, untuk pengembangan perekonomian desa. Apalagi, dana desa semakin meningkat dari tahun ke tahun. “Tahun ini 46,8 trilliun, tahun depan ke-mungkinan akan naik menjadi 70 trilli-un. Kalau disalurkan, setiap desa akan mendapat 400-800 juta,” kata Eko. l

Mengolah Potensi untuk Tingkatkan Ekonomi

Lensa Inspirasi Lensa Inspirasi

54 Info Desa Oktober, 2016 Oktober, 2016 Info Desa 55

Selatan merupakan daerah potensial dalam kegiatan industri mikro dan kecil yang banyak mengembangkan industri minuman dan industri kopra. “Industri manufaktur mikro dan kecil yang dikembangkan masyarakat Su-lawesi Utara pada umumnya berbahan dasar hasil pertanian,” kata Kepala Badan Pusat Statistik (BPS) Provinsi Sulut, Moh Edy Mahmud di Manado.

Kopra asal Sulut bahkan telah diekspor ke sejumlah negara menyusul permin-taan yang cukup tinggi. Negara-negara tersebut antara lain Singapura, India, Cina, Korea Selatan, dan Afrika Selatan. Pada 2014, bungkil kopra yang diek-spor ke lima negara tersebut mencapai 157.934 ton dan mampu menghasilkan devisa bagi negara sebesar 32,03 juta dolar AS.

Menurut Kepala Dinas Perindustrian dan Perdagangan Provinsi Sulut Jenny Karouw, permintaan bungkil kopra pa-ling banyak datang dari Singapura. Hal itu tercermin dari volume dan nilainya yang paling besar, yakni 93.934 ton de-ngan nilai 18,49 juta dolar AS. Kemudian ke India sebanyak 42.650 ton dengan sumbangan devisa sebesar 8,49 juta dolar AS.

Sementara itu, bungkil kopra yang di-ekspor ke Korsel sebanyak 6.300 ton de-ngan nilai 1,57 juta dolar AS dan ke Cina sebanyak 5.145 ton dengan nilai 1,15 juta dolar AS.

Jenny mengatakan lima negara tersebut sudah dikenal sebagai pasar potensial bagi komoditas unggulan Sulut. Hanya saja untuk bungkil kopra atau produk turunan kopra merupakan pasar baru. “Bungkil kopra yang diekspor ke negara tersebut telah melalui proses pengolahan minyak goreng yang dilakukan pabrik pengolahan di Sulut,” ujarnya.

Bungkil kopra itu diminati pasar interna-sional, padahal banyak masyarakat Sulut yang tidak memanfaatkan produk terse-but. “Kebanyakan dalam proses pem-buatan minyak kelapa, bungkilnya hanya dibuang begitu saja, padahal mampu

memberikan nilai cukup besar bagi pe-tani kelapa atau daerah,” kata dia.

Disperindag akan terus memfasilitasi petani kelapa dan pengekspor agar te-rus berinovasi dengan produk turunan kelapa. “Produk turunan kelapa jika dikembangkan akan memberikan ratu-san produk, namun di Sulut saat ini yang diekspor baru minyak kelapa kasar, mi-nyak goreng, kopra, bungkil dan tepung kelapa,” ujar Jenny.

Sepanjang tahun ini, ekspor ribuan ton bungkil kopra ke India juga meningkat karena permintaannya yang cukup tinggi dari waktu ke waktu.

“Pada akhir Maret 2016, bungkil kopra yang diekspor ke India sebanyak 6.300

ton dan mampu menghasilkan devisa sebesar USD1,05 juta,” kata Jenny.

India merupakan pasar ekspor bungkil kopra yang paling potensial, sehingga pengekspor harus menjaga dan memper-tahannya. Jenny mengatakan, perminta-an bungkil kopra yang cukup tinggi dari India harus dimanfaatkan dengan baik karena mampu meningkatkan pendapa-tan petani.

Untuk itu, pengekspor Sulut juga, ka-tanya, harus menjaga daya saing agar tetap tinggi dan mampu bersaing de-ngan negara lain. Di sisi lin, Disperin-dag berjanji akan terus memfasilitasi petani kelapa dan eksportir agar terus berinovasi dengan produk turunan ke-lapa. l

Industri Manufaktur Mikro dan Kecil memang banyak tersebar di Sulawesi Utara (Sulut), se-perti di Kabupaten Minahasa Utara, Kabupaten Minaha-

sa Selatan, Kabupaten Minahasa, Kabupaten Kepulauan Sangihe, dan Kabupaten Bolaang Mongon-dow Selatan. Namun hasil ola-han kopra hingga kini masih menjadi komoditas unggulan, bahkan mendominasi industri manufaktur mikro dan kecil di Sulut.

Di antara daerah tersebut, Ka-bupaten Minahasa dan Minahasa

Kopra yang Melanglang Buana

Kopra asal Sulut diekspor ke sejumlah negarA, seperti; Singapura, India, Cina, Korea Selatan, dan Afrika Selatan

S elama paruh pertama 2016, hasil produksi kelapa belum begitu mengembirakan di Su-

lut. Ketua Asosiasi Petani Kelapa Sulut George Umpel mengatakan, hasil produksi selama semester I/2016 belum menunjukkan pening-katan dari tahun sebelumnya.

Menurutnya, dampak El Nino, akan benar-benar pulih pada 2017. “Be-lum membaik, banyak petani belum bisa memenuhi kebutuhan perusa-haan,” tuturnya. Kendati demikian, harga kopra tidak terlalu tenggelam. Apeksu memantau harga beli kopra di petani masih di atas Rp10.000.

Dalam kondisi produksi yang be-lum juga stabil, petani juga di-hadapkan pada penurunan harga

jual kopra, baik di dalam maupun luar negeri. Menurutnya, pola pemberian harga yang tidak men-guntungkan petani juga terjadi di tingkat internasional.

Pada kondisi saat ini, ujar George, pengumpul memiliki peranan pent-ing sebagai mediator antara petani dan perusahaan. Dia menconto-hkan, jika ada pengumpul yang mendapat kontrak harga yang tinggi, maka petani akan diuntung-kan, meski pasokan produksinya terbatas.

“Sekarang produksi belum pulih, ta-hun depan baru akan kembali. Per-cuma juga kalau harga tinggi, tapi petani tidak bisa memberi pasokan banyak,” ujarnya. l

Dalam Cengkeraman

El Nino

Karya Karya

56 Info Desa Oktober, 2016 Oktober, 2016 Info Desa 57

60

74 80

72Building

The Rural Economy With

Creativity

YESAYA MAYOR:The Protector

of the Birds of Paradise in

Mansar

Inspiration From

Technologically Literate Villages

VILLAGES INDEX:Human Capital, Key

To Rural Development Progress

English Section

This is the story of Eko Putro Sandjojo, the Minister of Village, Development of Disadvantaged Regions and Transmigration, about

Umbul Ponggok, a tourist attraction in Ponggok Village, Klaten, Central Java. The minister said he was amazed at the changes that were taking place in the village. “In the past, Umbul Ponggok was a neglected bathing place, and then with a creative touch, the old bathing place became the most popular location for underwater photography,” shared Minister Sandjojo during one of his official visits to Sentani, Jayapura last September.

“As a result, the revenue of the bathing place, which used to be only Rp 5 million per year, increased significantly to Rp 6.5 billion per year with a net profit of Rp 3.5 billion,” he added.

According to Sandjojo, the success of Ponggok Village in developing its tourism potential is closely associated with the creativity of the village officials. “Creativity is the key to economic development in villages. We need village heads who are creative and courageous. This is because, often times, villages that do not have priorities in developing their potential do not have a clear developmental direction. So, if they really want to develop their tourism, then develop it and focus on that aspect,” he said.

The Ministry of Village, Development of Disadvantaged Regions, and Transmigration, Secretary General Anwar Sanusi said that the spirit of the Village Law today provides a wider space for villages to develop themselves. “Villages are no longer the object (of development) that accepts any program from the central, district or provincial governments. Therefore, the innovative capacity of a village head is important in building a village. Innovative here means that the village head is able to capture the opportunities and potentials that exist within the village, and to capitalize in a production space that can eventually

provide added values to the village and improve the welfare of the rural communities,” he said.

In addition to being innovative, according to Sanusi, a village head’s ability to carry out a good communication strategy and technical capabilities in the field of government administration are also needed to build a village. “If these three basic assets can be capitalized properly, they will be the main driver of the rise of villages in Indonesia. Our job is to make way for the village heads to realize their goals in building villages. Every village head should be able to build a dream together,” he said.

Not SupermanThe House of Representatives Commission V Chairman Fary Djemi Francis said that the village leadership of today is much better than that of five years ago. “This is because today the

Village Law has enabled villages to be independent. We hope that some v the items in the framework of the village’s independence can be implemented by them, so that activities relating to community empowerment can have a clearer direction,” he said.

Francis said he hoped that with the support from the villagers, the village officials can learn from each other. “If they can learn from each other, with the many activities available, we hope that the development of human resources in both the public and the apparatus can be improved. I think the village officials are ready, as long as the rules, regulations, and mechanisms are clear. They must do what they can for the village. Therefore, it should be much better than the village apparatus that existed before the new Village Law was enforced,” he said.

Rusnadi Padjung, specialized staff to the Minister of Village, Development of Disadvantaged Regions, and

Building The Rural Economy With Creativity

Creativity is the key to economic development in villages. The village head is also required to have a good communication strategy, wisdom, leadership and persona, and to provide a good example.

Cover StoryCover Story

60 Info Desa Oktober, 2016 Oktober, 2016 Info Desa 61

Transmigration, said when it comes to leadership in the village, you cannot consider only the village head, but the whole system. “In this context, a village head is not superman who knows everything. It is much more important for the village head to have the wisdom, leadership and persona, and to provide an example to the community in building the village,” he said.

Bantaeng Regent Nurdin Abdullah said he preferred to lead by examples in Bantaeng. “An exemplary leader should work with the heart. This means that I must be an example of a good leader to all of the local officers and the people of Bantaeng. I have to start from myself, start from the smallest things, and never procrastinate,” he said.

Abdullah took building the culture of cleanliness for example. He said that he had never banned his residents from proposing a local regulation on the prohibition of littering. “However, I try to build a culture of cleanliness in advance, starting with providing a cleaner environment, sanitation facilities and infrastructure,” he said. The strategy has paid off. From 2009 to 2016, Bantaeng Regency was rewarded with the Adipura environmental award from the central government.

Hugua, the former regent of Wakatobi, implemented a different approach. He preferred to reform the bureaucracy and conduct a mental revolution on local government officials to improve their professionalism. “The main challenges in Wakatobi come from the bureaucrats.

They generally work because there are employment benefits. Therefore, there needs to be a mental revolution that begins from the mindset to raise local culture and appreciate differences,” he said.

To change the mindset of bureaucrats, Hugua developed a program. The program was designed to establish equality, encourage officials to recognize facts from perception and implement the U theory. “The impact of my program will be felt 10 years later, because it creates change from the inside,” said the former regent, who had served Wakatobi for two periods since 2006. “As a result, the character of the community and government officials in Wakatobi is better than those of other regencies. They have a better understanding of mutual cooperation.” l

On The Shoulders of The Village Head

In the context of rural development and empowerment of rural communities, a village head is required to have a number of

breakthroughs. This is very reasonable, because, on the shoulders of the village head lies the public mandate to make the village that they

lead more developed and prosperous. What are the requirements that must be met by the village head to carry out the mandate?

~Eko Putro Sandjojo, Minister of Village, Development of Disadvantaged Regions, and Transmigration

The village head must be creative and bold. Creativity is the main key in building a village, in addition to the village head focusing on the develop-ment of a single main commodity.

The village head is expected to not only concentrate on the development of infrastructure, but also be capable of empowering the community, creating a sustainable economic chain, and driv-ing the business and economic sector. l

�Anwar Sanusi, Secretary General of The Ministry of Village, Development of Disadvantaged Regions, and

Transmigration

The village head could be a pioneer and an example to build the village in accordance with the character and the ability of each village.

The village head is required to have a high accountability for the use of village funds.

The village head should be innovative, which means that he/she is able to cap-ture the opportunities and potentials that exist within the village, and then able to capitalize in a production space that adds value to the village and improve the welfare of the rural communities.

The village head has a specific tech-nical competence, such as the village fund management, reporting, and planning. l

The village head must have the wisdom, leadership, persona, responsibility, example, and emphaty for the people.

The village head must have integrity and honesty. Honesty will result in the village head’s high integrity and motivation to work. l

}Rusnadi Padjung, Specialized Staff of the Ministry of Development and Society

Cover StoryCover Story

62 Info Desa Oktober, 2016 Oktober, 2016 Info Desa 63

EKO PUTRO SANDJOJOThe Minister of Village,

Development of Disadvantaged Regions, and Transmigration

Cover Story Cover Story

64 Info Desa Oktober, 2016 Oktober, 2016 Info Desa 65

In line with the vision of the third Nawa Cita – the nine programs of President Joko Widodo’s administration – which is to build Indonesia from the periphery, the

government is continuously encouraging the economic growth of rural areas and villages. This support is realized through the village fund distribution. “The government’s commitment to build Indonesia from the periphery is no longer mere rhetoric,” said the Village, Development of Disadvantaged Regions, and Transmigration Minister Eko Putro Sandjojo during his official visit to Sentani, Jayapura, at the end of September.

Minister Sandjojo said he hoped that the village funds can provide a bigger impact on rural development. Therefore, village heads are expected to not only concentrate on the development of infrastructure, but also empower the community by creating a sustainable economic chain and driving the business and economic sector. “Villages in Indonesia need leaders who are creative and courageous, so that they can establish development priorities. Oftentimes, villages that do not have priorities in developing their potential do not have a clear developmental direction. If they really want to develop their tourism, then develop and focus on that aspect,” he said.

Excerpts:

What has been the government’s tangible

commitment in building Indonesia from the periphery?The government’s commitment to build Indonesia from the periphery by strengthening rural areas and villages within the united country is actually no longer in the realm of rhetoric. The implementation of village fund distribution has been carried out. In fact, the plan is to keep increasing the amount of funds distributed to the villages. In 2015, the amount of funds given to villages was around Rp 22.7 trillion, and then it was increased to Rp 46.8 trillion in 2016. In 2017, the plan is to raise it again to Rp 70 trillion, and then to Rp 103 trillion in 2018. And by 2019, the funds will reach Rp 111 trillion.

What are should be considered so that the funds reach their intended target and what are the challenges?Currently, there are 74,754 villages spread across Indonesia, and next year, the number will increase to 74,954 following the expansion plan. In average, the fund designated for each village is amounted to Rp 600-700 million. With the addition of the ADD (Village Fund Allocation) fund which comes from the district and the province’s assistance, each village can receive more than $1 billion. For the first time in the world, villages are given the authority to manage their own development funds. So far, the distribution of village funds still faces some challenges, primarily due to

Creative and Courageous Leaders are Needed to Build Villages

Cover Story

66 Info Desa Oktober, 2016

limited rural infrastructure and community capacity. However, with the information and communication technology coming to villages, these problems can be minimized, and I hope in the future such problem will no longer exist.

What leadership concept should the villages and rural areas use to increase their potential as they take advantage of the village funds provided by the government?In order for the government village funds to have a broader impact, village heads are expected to not only concentrate on building infrastructure. Some of the funds should also be set aside for community empowerment. This means that in order to create a sustainable economic chain, it is necessary to build village enterprises and cooperatives which in turn can drive the business and economic sector. Business development should also pay attention to three important principles, which are focusing on one commodity, then building a product with sufficient economies of scale, and creating post-harvest facilities. If these things were not done, the distribution of funds would be meaningless. In addition, with a focus on the flagship program, it will also be easier for the government to implement e-commerce in rural areas.

Which villages have successfully managed and sustained their economy based on their own potential?

There are some. An example is Ponggok Village in Klaten which managed to create a tourism destination out of a place that originally lacked economical appeal. There was a neglected old bathing place that – with the creative installation of motorcycles, sofas, tricycles and other interesting things inside the pool – has become the most popular location for underwater photo sessions. As a result, the bathing place that used to generate only Rp 5 million per year now is able to generate Rp 6.5 billion per year with a net profit of Rp 3.5 billion per year.

Other than that?Currently, the number of visitors who want to learn about village management in Ponggok Village has increased. This condition is used by Ponggok Village to increase the income of residents who are willing to turn their homes into homestays. These residents receive Rp 5 million of aid from the village head to build a decent toilet. Guests who stay there are charged Rp 50,000 a day, which includes three meals.

As a supporting component of tourism, Ponggok Village is now growing rapidly and already has a food court and a mini market. Unwilling to stop at this success, Ponggok Village will be developing its water business further. It has applied for an Rp 18 billion loan through BNI to build a water park.

What about other regions?

During my visit to Nendali Village in Jayapura, Papua, I also noticed a similar thing although in a different case and scale. Although the volume of its success is not as big as that of Ponggok, this village has at least properly applied the principles of local economic development and empowerment. In groups, the villagers established Village-Owned Enterprises (BUMDes) which engage in fish farming and fish feed processing factory.

This effort began to be developed by the community after the village received funds in 2015. In 2016, Nendali Village receives a total fund of Rp 1.76 billion, including the Villages Fund from the State Budget amounting to Rp 857 million, and then the Village Fund Allocation (ADD) from the Regency amounting to Rp 779 million, as well as the prospect fund from the Province of Papua amounting to Rp 112 million. Some of these funds are used to build fish cages that are set up on Lake Sentani. From these fish cages, Nendali Village has now increased its revenue.

When talking about leaders, what kind of leaders is needed in villages and rural periphery in Indonesia today?Creative and courageous. Creativity is the key, in addition to focusing on a single commodity. Oftentimes, villages that do not have priorities in developing their potential do not have a clear developmental direction. If they really want to develop their tourism, then develop and focus on that aspect. Such is the case of villages that have chosen to develop their agriculture. Learn the problems, and then find the solution. If they need help and assistance from the government, just say so, because there are also training and community empowerment in the Ministry of Village, Development of Disadvantaged Regions, and Transmigration. This includes management training. If possible, some village cadres should join the management training to enrich their knowledge. l

Cover Story

Oktober, 2016 Info Desa 67

An Exemplary LeaderWhen asked about the leadership approach that he used in building Bantaeng, Abdullah mentioned setting examples as his approach. “An exemplary leader should work with the heart. This means that I must be an example of a good leader to all of the local officers and the people of Bantaeng,” he said. That example is also implied in the song lyrics he creates, “Start from yourself, start from the smallest things, and do not ever procrastinate.”

Abdullah said that human resource is the main pillar of regional, and even national, development. Therefore, his government pays real attention to the field of education by including a budget for education in the Regional Budget. “The figure is still maintained above 25 percent from year to year,” he said.

Regent Abdullah has also developed an innovation called “Guru Menjemput Murid” (Teachers Pick-Up Students) to make schools become a magnet for all students in Bantaeng. The impact of this innovation is quite significant. “The school participation rate on the elementary level continues to increase until it reaches 100 percent, since the school becomes a comfortable place for children of school age,” he said.

Another innovation in the field of education takes the form of school aids for university students from Bantaeng, as well as scholarships for children and teachers in the region. “For the village officials, we are working with Hasanuddin University and the Finance and Development Supervisory Agency (BPKP) in providing regular training on village administration and village financial management to increase the capacity of the village officials,” he said. l

In 2009, or one year after being inaugurated as Bantaeng Regent in 2008, Nurdin Abdullah launched Bantaeng as technology-based seed regency. One of the goals is to increase people’s income from agriculture business done on a very limited land.

Which sectors are your priorities in building villages in Bantaeng?

Based on the Statistics Indonesia data, about 74 percent of Bantaeng population currently works in the agricultural sector. Therefore, the agricultural sector remains the most favorite. Given the relatively narrow territory of Bantaeng, which is 395.83 square kilometers, we have only limited agricultural land. In 2009, we announced Bantaeng as Technology-Based Seed Regency, assuming that the price of seeds was much higher than the conventional production of consumption material, in addition to increasing people’s income from agricultural businesses done on a very limited land.

Since 2014 until today, Bantaeng has been a technology-based seed regency in which the seeds of paddy, corn, taro and onion produced by farmers have been sent to various regions. In addition, we also develop the seeds of tilapia fish to meet the market demand for freshwater fish consumption, which continues to increase. In addition to agriculture

and fisheries, in 2017, we will prioritize infrastructure development so that there will no longer be damaged roads in Bantaeng, because roads are the center of the economy for the community.

What efforts have you done to realize self-sufficiency in terms of food in Bantaeng?

In addition to encouraging the villages to be barns in their respective territories, we direct the realization of food-sufficient villages in Bantaeng towards developing food diversification. Therefore, training efforts in the cultivation and processing of local food become the annual program of the related Local Government Unit of Work (SKPD).

Which villages are already included in the category of advanced and superior in terms of food security?

In the context of food security, the number of advanced and superior villages continues to increase. We develop region-based barns, because we admit that coastal villages only rely on fisheries and the marine sector, and as a result, those villages experience reduced food availability and security. Examples of the food self-sufficient villages that exist today are Layoa Village, Papanloe Village, Pa’bumbungang Village, Bonto Tiro Village and Mamampang Village. l

Technology-Based Seed Regency

Bantaeng Regent Nurdin Abdullah still remembers clearly what happened eight years ago. At the time, in 2008, a group of religious

scholars came to his residence at the faculty housing complex of Hasanuddin University, Makassar to ask him to compete in the first direct election in Bantaeng. “They wanted to reduce my enjoyment at the time, when I was still a director in one of the Japanese companies in Indonesia,” Abdullah recalled.

Receiving the request, Abdullah did not show his willingness right away. He needed to discuss it with his family. A few days later, thousands of Bantaeng residents came to his office. They asked for his willingness in becoming a candidate for Bantaeng regent. “Armed with the great confidence that all people of Bantaeng had in me, I finally accepted their request to go forward as one of the candidates for Bantaeng regent,” he said.

Abdullah was eventually elected to lead Bantaeng Regency for the period of 2008-2013. He was given the mandate to bring back the glory days of Bantaeng as the center of government, academic

and trade activities. “I want to make Bantaeng a self-sufficient, leading region in accordance with three pillars of development, which put Bantaeng as a service city, a technology-based seed regency, and an industrial development center in the southern part of South Sulawesi,” he said.

His commitment was not without reason. On being self-sufficient, he saw that villages in Bantaeng at the time did not have any appeal, shown by the high number of villagers leaving the village to work in the city or even abroad. Another reason was the fact that the village’s infrastructure was still minimal and its human resources were not capable of managing the village’s potentials. “The use of villages as an economic power was not optimal at the time,” he said.

Seeing these conditions, Abdullah did not stay silent. He developed the “One Billion One Village” program to address inequality in the allocation of development activities in villages so that they could accelerate. “A billion here does not mean that we allocated one billion rupiah per village in cash, but that the development programs and activities were spread evenly across the villages,” he said. As a result, as many as 46 villages have been able to accelerate in various fields of development.

Two years later, Abdullah formed BUMDes (Village-Owned Enterprises). He provided each village with an additional capital of Rp 100 million and pick-up vehicles as a means of transport for agricultural products and plantation crops that were managed by BUMDesa. “At the time, people were having difficulties marketing the agricultural products and plantation crops because of the limited means of transport,” he said.

The Leadership of Nurdin Abdullah“Start from yourself, start from the smallest things, and do not ever procrastinate.”

Cover Story

68 Info Desa Oktober, 2016 Oktober, 2016 Info Desa 69

Cover Story

Hugua and The Mental Revolution of Bureaucrats

His inspiration came in the morning. Hugua already knew for a long time that the unhealthy behavior and mentality of his office

heads, sector chiefs and section heads should be put to an end. “Every time I got on a speed boat to leave Wakatobi for business matters, they would find ways to go as well or laze around outside the office,” the former Regent of Wakatobi

shared his story on the unhealthy behavior of his subordinates.

Hugua then devised a strategy. At the time, Wakatobi had already had its own airport. He would ask his aide to turn on the speed boat and leave Wakatobi, while he took the plane. “I wanted to trap these people. I wanted to know if it was true that when I departed, these people would also leave the office,” he explained his strategy.

Taking the route to Kendari, Makassar and back again to Buton, Hugua left Thursday morning to be back in Wakatobi on Friday morning at 9 o’clock. He was right. Arriving at the office, he found that his office heads, sector chiefs, section heads, expert staffs and specialized staffs were not in the room. “In the room, I only saw 16

of my staffs and one secretary working. The percentage of employees who were present was only 15 percent,” he said.

After obtaining the data of the absent employees, the next day Hugua gathered them in a hall for an event called “Sabtu Gemilang” (“Glorious Saturday”). The

carpet was stretched. Hugua came without wearing the uniform. Previously, he had called and assigned three tribal chiefs with different tasks: to read a prayer against disasters, a spiritual prayer and a prayer for salvation. “Those whom I asked to come were confused, because in front of the hall there were people chanting prayers,” he said.

At the meeting, Hugua stripped his regent identity

and positioned himself as a father to his staffs. “Consider me as your parent and you as my children in

one household,” he said, opening the conversation. “Now what are you going to say so that I can be a good father and you righteous children in order to improve the household, because yesterday I did not like what you did,” Hugua said. During the meeting, Hugua asked his staffs not to be angry, and instead, he asked them to criticize him. “Those who can give me harsher and sharper criticism are my eternal friend. Because comrades, your positions can improve,” he said.

After a long wait, nobody said a word; but then one of his staffs who finally spoke up. “What I do not like about you as a parent is because you often go out, which results in us not having a parent. Our rights are also cut for too many times by the office heads,” he said.

The staff’s statement revealed the recurring problem of the time. “The Sabtu Gemilang meeting was the origin of the bureaucratic reform that I ran in Wakatobi,” said Hugua, who authored the book Reformasi Birokrasi Out of the Box (Out of the Box Bureaucracy Reformation).

Changing the mindsetAfter the meeting, Hugua then designed a program to change the mindset of his bureaucrats. “The main challenges in Wakatobi come from the bureaucrats. They generally work because there are employment benefits. Therefore, there needs to be a mental revolution that begins from a revolution of the mind to raise the local culture and appreciate differences,” he said.

The program was designed to establish equality, train officials to separate facts from perception and introduce the “U” theory. Hugua positioned himself as a mentor or coach rather than a regent. “By becoming a mentor, I came to strengthen each person so that they can become an important force in building Wakatobi in the future,” he said.

Hugua says, it is important to establish equality between the government and the people. “Based on my experience, there are a lot of local government officials who cannot promote equality and solidarity among the villagers because they put themselves higher than the people,” he said. The program was carried out for seven days, wherein rural government apparatus was requested to exercise humility.

The second part of the program, distinguishing facts from perceptions, was also conducted for seven days. Hugua said this idea came from Wakatobi government officials who always increased their budget every year without producing anything new. “This was so bad because they worked based on perceptions rather than facts. They did not see the facts on the ground – so many projects were abandoned and planning was done on the table, not on the field,” he said.

If this was not mitigated, Hugua said, the long-term impact on development would be very dangerous. “If the government apparatus continued to work based on perceptions, this would be very dangerous for the planning of national development, especially the village budget,” he said.

The third approach that Hugua implemented to change the mindset of bureaucrats was by introducing the “U” Theory. If the process was illustrated, the stages of the changing the mindset of bureaucrats would form the letter U. It starts from the process of downloading. In this process, people do not want to listen. “Although they have a bachelor’s degree, they do not want to use their eyes and ears to listen. This type of people tends to be ignorant,” he said.

The second process is seeing. According to Hugua, this type of people usually sees first before doing. “People like this are usually authoritarian and like to protest. This type of people is still merely seeing,” he said. The third process is sensing. People of this type, said Hugua, have begun to feel and sense. “People of this type have already begun to consider the opinions of others. They already use their eyes and ears to listen further. It is easy to talk with this kind of people. They realize that in fact they are just an ordinary person. Communication is already there and this type of people is democratic,” he said.

The fourth process is presensing. “This type of people has understood that all human beings will face God. They realize how small they are in God’s eyes. Other people’s opinions are so important that they cannot be ignored. This kind of person can listen a lot more. The questions that arise at this level are who am I and what can I do to improve the universe. After that, this type of leader can finally act, plan, actuate and control,” he said.

Hugua said that his program had been given to all office heads, section heads, the majority of school principals and most teachers. “The impact of this model of training will be felt 10 years later because it creates changed from the inside,” said the former regent of Wakatobi who served two periods since 2006. “As a result, the character of the community and government officials in Wakatobi is better than those in other regencies. They have a better understanding of mutual cooperation.” l

Establishing equality, distinguishing facts from perceptions and introducing the “U” Theory were some of the former Wakatobi regent’s programs to create change.

HuguaFormer Regent of

Wakatobi

Cover Story Cover Story

70 Info Desa Oktober, 2016 Oktober, 2016 Info Desa 71

VILLAGES INDEX

Human Capital, Key To Rural Development Progress

Who builds a village? Is it the government or the villagers? Harry Heriawan Saleh, the main

researcher of the Ministry of Village, Development of Disadvantaged Regions, and Transmigration, has the answer. “The one who builds a village is none

other than the people or the villagers. The government only facilitates,” he said.

Saleh said that villagers are both the subject and the beneficiary of the fruits of development. “This is in line with the developmental goal which places the welfare of the people first,” Saleh told Info Desa regarding the research on Villages Index in his office, Thursday, October 13, 2016.

Harry said, the research on Villages Index was conducted from 2015 to 2016 to determine which villages were classified as disadvantaged, and located in the eastern part and on the outer islands or at the border of Indonesia. “At the end

of 2016, we hope that we can deliver the key words for the Ministry of Village, Development of Disadvantaged Regions and Transmigration and the other 17 ministries involved in the acceleration of rural development program in order to determine the development objective so that it is right on target,” he said.

Harry added that the Villages Index research was conducted using the quantitative method with the source of the research data be based upon the Village Potential Statistics issued once every three years by Statistics Indonesia and the Android-based Survey Monkey. “We also conducted a field verification to compare the secondary data with the facts on the ground,” he said.

In the research process, Harry said, after a total of 74,754 villages had been rated, 15,000 villages which spread across seven areas of development in Indonesia (Papua, Maluku, Sulawesi, Kalimantan, Nusa Tenggara, Sumatra, Java and Bali) received interventions. “Of those 15,000 villages that we intervened, the hope is that – in the next five years, by name and by address – 5,000 villages will grow to become developing villages and at least 2,000 will become self-sufficient, meeting the target of the government of President Joko Widodo and Vice President Jusuf Kalla as written in the National Medium Term Development Plan 2014-2019,” he said.

These interventions, Harry said, were tailored to the needs of each village. “For example, in village A, we conducted the intervention in the field of human resources, while in village B, its social capital aspect was the one we intervened,” he explained.

Human resources or human capital and social capital are two of the eight capitals of the sustainable livelihood approach that receive interventions from the research team. The other six capitals include natural, financial, infrastructure or man-made, location, spiritual and intellectual capitals.

Harry said that the sustainable livelihood approach assumes that people’s lives

have many goals; not only to earn a higher income, but also to improve the degree of health and education, and to reduce vulnerability and risk. Therefore, this approach emphasizes the functions of eight community assets that include human capital, social capital, infrastructure/physical/man-made capital, natural capital, financial capital, location capital, spiritual capital, and intellectual capital, which are complementary to each other in increasing social resilience in the event of a livelihood system shock.

“Human capital, intellectual capital, and spiritual capital are prioritized in rural development. When those three things have been prioritized, we can move on to the aspects of financial capital, infrastructure capital, and so on,” said Harry.

In the Villages Index research, Harry said the research team considers four dimensions in rural development. They are environment, economic, social and infrastructure. “We place the environment in the first dimension due to the philosophy which believes that the earth and everything in it are intended for the wellbeing of humans. However, the economic activities undertaken by the villagers should not fall outside the value system that exists within the community,” he said.

Harry made an example out of the Subak irrigation system in Bali, where its social and cultural systems integrate with its environment. “If this system was applied in villages throughout Indonesia, the economic activities undertaken by communities would not interfere with the preservation and sustainability of local natural resources,” he said.

Harry said that the basic principles of rural development adhere to at least four bases, which include sustainable development, people-centered develop-ment, sustainable livelihood and disaster resilience. These principles are based on the approach of sustainable develop-ment, people-centered development, sustainable livelihood approach, and community disaster resilience,” he said.

Harry said he hoped that the Villages Index research will able to provide guidance to stakeholders; not only the Ministry of Village, Development of Disadvantaged Regions and Transmigration, but also the other 17 ministries involved in the acceleration of rural development, so as to help them formulate specific policies for rural development in Indonesia. “This research becomes the most strategic and the biggest homework for us to find a specific formula for the development of each village in Indonesia,” he concluded. l

Rural development will not be possible without quality human capital.

Research Research

72 Info Desa Oktober, 2016 Oktober, 2016 Info Desa 73

The framework of the development of a village is described in Figure 1 of the Rural Development Process.

activist. “I began to motivate the youth to plant seeds and conduct reforestation in the barren deforested land of Arborek Village,” he recalled.

The seeds of local plantations were brought to the forest and planted on the land cleared by illegal logging practices. Not only seeds of large wooden trees like rubber, Yesaya Mayor also planted forest orchids. He simply separated several plants from their existing clusters and then planted or stuck them on nearby trees.

Additionally, he encouraged the villagers to fill oyster shells with water and place them in the forest so that birds and other animals could drink. His love for the Papuan wildlife can also be seen from the sign boards placed around the village.

Villagers were persuaded to help create an ideal habitat for the birds of paradise by not catching or hunting them. Meanwhile, Mayor spent months of his time alone to observe the birds’ life pattern from feeding to mating and nesting. To gaze the beauty of the birds of paradise, he created several observation spots under the trees, where the birds were usually spotted.

His efforts paid off. Arborek and Sawinggrai Villages have become favorite destinations for tourists to watch the beauty of the birds of paradise. Tourists usually visit during the bird’s mating season between December and February. At these times, the male birds will make some dancing moves to attract the female birds, providing their audience with an unforgettable sight.

Aside from the bird’s attraction, flora preservation has also become a magnet for tourism in Meos Mansar District. This potential was managed by Mayor and some local villagers, who built harbor and inns as supporting facilities. As a result, the local community gained economic benefits from visiting tourists. It was only reasonable that in 2012, Mayor was named the winner of the Non-Government Forestry Educator category in Wana Lestari Natural Conservation and Reforestation Contest in West Papua Province.

YESAYA MAYOR:

The Protector of the Birds of Paradise in Mansar

Who would not want to visit the heaven on earth in West Papua? The lowland forest of Raja Ampat

is home to hundreds of endangered birds species. In the meantime, its colorful marine life is a feast for the eyes. Unfortunately, the native inhabitants live in poverty because the area lacks infrastructure.

This situation had forced Yesaya Mayor and his colleagues to engage in illegal logging activities to make ends meet. As a result, drought and wood scarcity hit Meos Mansar District in Raja Ampat Regency. During the long drought, most fountains ran dry, leaving a deep remorse in Mayor’s heart.

Mayor’s past mistakes in turn transformed him into an environmental observer and

From replanting cleared forests and providing water for birds to preserving local culture, Yesaya Mayor does everything he can to preserve the purity of Raja Ampat.

PersonaPersona

74 Info Desa Oktober, 2016 Oktober, 2016 Info Desa 75

Ó Yesaya Mayor second person from the right

As Raja Ampat is becoming more popular throughout the world, Yesaya Mayor begins to be more concerned about the increasing number of visitors, as he believes it could pose a threat on the preservation of local culture. Besides, he would not want anyone to modernize the face of his land only to attract more visitors.

Moreover, there is also the fact that youth is easily attracted to foreign culture; traditional arts are no longer interesting for them. “Our local potential needs to be maintained so that the native culture and characteristics of Raja Ampat can be preserved,” he said.

Hence, Mayor has started to teach traditional music and dances to children in Raja Ampat at his home. His good intention caught the attention of a State-Owned Enterprise, which later provided him with a new studio called Sawinggrai Home of Art and Culture.

Not only the new place is more appropriate for artistic youth, it can also be a featured tourism object in Raja Ampat. As a matter of fact, since the studio was established, Mayor and its members were often invited to perform in other places, such as Jayapura and Jakarta.

However, Mayor is not yet satisfied with all those achievements. He also initiated a conservational system area located 100 meters from the harbor. It means, anyone within that radius is not allowed to catch or take any kind of marine produce. The system has made snorkeling activities there very special. Just by swimming around the harbor, tourists can witness a variety of fish and corals in different shapes and forms.

Decades after illegal logging took place in Meos Mansar District, the seeds planted by Mayor have grown to be large and luxuriant. When asked about his motivation, he answered, “People may never forget about our genuine culture and forest. Only by having a sense of belonging that we can preserve the authenticity of Raja Ampat.” l

Persona Persona

76 Info Desa Oktober, 2016 Oktober, 2016 Info Desa 77

For more than ten years, Uju Hardi (45) and his family have been the residents of Padaasan Village, a part of the Mekar Sari

Transmigration Settlement Unit (Unit Permukiman Transmigrasi / UPT Mekar Sari) in Central Lombok. Having lived in several places after his former home in Kabul Village was affected by the construction plan of Peleumbik Dam, Hardi eventually moved to UPT Mekar Sari in 2005.

“It is more comfortable living here now. From the rice field, I get around Rp 8 million a year. Back then when I lived in Kabul Village, I could only get Rp 2 million per six month,” Hardi said happily when speaking to Info Desa on October last year.

Although his life in UPT Mekar Sari is now much better, Hardi is still worried about his future, especially regarding the status of his settlement and cultivated land. “We would like to get a certificate for our settlement land and our cultivated land, so that we can work in peace,” he said, hopeful.

Agrarian ReformHardi’s hope to own a land certification is shared by other transmigrants across

the country, from Aceh to Papua. “When the certificate of ownership is published, transmigration settlers can manage their lands in peace, so they can utilize their lands optimally. When utilized optimally, the lands can help improve the settlers’ economic welfare, regional development, and, therefore, the national food security,” said Tukiman, the acting director of the Provision of Transmigration Land at the Ministry of Village, Development of Disadvantaged Regions and Transmigration.

Tukiman said that the Ministry is highly committed in completing the land certification process for transmigration settlers. “In the context of the 9-million-hectare agrarian reform, our current homework is to complete the certification process for the management rights of 600,000 hectares of land before 2019,” he said.

Referring to the 2014-2019 National Medium-Term Development Plan, Tukiman explained that the Agrarian Reform Object Land (TORA) is implemented through redistribution and legalization of assets. The total area for the redistribution and legalization

of assets planned as parts of the government’s agrarian reform policy is 4.5 million hectares each.

“Legalization of assets requires the government to provide asset certificates, in this case land certificates, to transmigration settlers to give them legal certainty,” he said.

Of the 4.5 million hectares of legalized assets, 600,000 hectares are uncertified transmigration lands, while the other 3.9 million hectares are publicly certified. On the other hand, of 4.5 million hectares of redistributed assets, 400,000 hectares are lands

with cultivated rights and abandoned lands, while the other 4.1 million hectares are released forest area.

“The goal of our work is to publish property right

certificates for yard area, first cultivated lands and second cultivated lands,” Tukiman said, also confirming that transmigration settlers cannot be charged any fee for the property right certificate published. “All of the services are provided free of charge for transmigration settlers.” l

The state government suggested that KTMs in transmigration areas in South Sumatera could be-come models for national

transmigration development. The Village, Development of Disadvantaged Regions and Transmigration Minister Eko Putro Sandjojo said that his ministry had de-veloped 48 KTMs throughout the country.

“One of them is the KTM Telang in Banyuasin Regency. The model is really good and has become a large-scale business and created a food barn. Through the KTM, we can create an exemplary model of one-village-one-product in Indonesia,” he said during a visit to the Management Office of KTM Telang in Mulya Sari Village, Banyuasin Regency on Tuesday, September 7, 2016.

He said that KTM Telang was the center of rice production and rice industry, which

included three districts from 34 villages. The development of transmigration settlement area was started in 2008, and expected to grow to become the center of food commodities development and the embryo of a new development center.

Ahmad Najib, the third assistant for public welfare at the Regional Secretariat of South Sumatra, said South Sumatra was proud of Banyuasin Regency for becoming one of the province’s food barn areas. “In addition to helping to create the economic growth buffer zone, Banyuasin Regency is also one of the food security areas in South Sumatra,” he said.

Banyuasin Vice Regent Suman Asra Supriono said that the people of Banyuasin Regency mostly consisted of transmigration settlers. About 50 percent of the transmigration settlers were located in more than 500 villages in Banyuasin. He explained that KTM

Telang was intended for the creation of business centers, business opportunities, and, most importantly, revenue improvement for transmigration settlers.

Food DiversificationIn one occasion, Roosari Tyas Wardani, the director general of transmigration area development at the Ministry of Village, Development of Disadvantaged Regions, and Transmigration, said that the transmigration program was intended for the development of food production centers. Several transmigration areas are expected to produce a variety of prime food commodities from plantations, fisheries and livestock, so that transmigration areas can significantly contribute to the national food production and distribution throughout Indonesia.

Roosari said that an example of a successful transmigration area was KTM Telang in Banyuasin Regency, South Sumatra. KTM Telang has succeeded in developing purple-labeled soybean seed from Tanggamus, Anjosmoro, Kepak Kuning, and Kepak Hijau varieties which were cultivated in a 10-hectare field and generated a total of 25 metric tons of produce. In the meantime, rice production in KTM Telang has reached 5 metric tons from each hectare.

Besides rice, transmigration settlers also cultivate other food crops that are sources of carbohydrate such as corn, cassava and sweet potato. Planting crops other than rice is an attempt to create food diversification. l

In the context of Agrarian Reform, the current homework of the Ministry of Village, Development of Disadvantaged Regions and Transmigration is to finish the certification process for the management rights of 600,000 hectares of land before 2019.

The Independent Integrated City (KTM) of Telang is currently the center of rice production and rice industry which consists of three districts from 34 villages. It is expected to grow to become the center of food commodities development.

KTM TELANG

Models for National Food Barn

LAND CERTIFICATION

Giving Transmigration Settlers a Chance to Work in Peace

TukimanThe acting Director of

Provision of Transmigration Land of the Ministry of

Village, Development of Disadvantaged Regions, and

Transmigration

Save Village Save Village

78 Info Desa Oktober, 2016 Oktober, 2016 Info Desa 79

Residents and officials in a number of villages in Indonesia are already familiar with the vocabulary in the field of information

technology, such as applications, websites or social media. Not only are they knowledgeable, they have used those very technologies to advance their village.

Take Dermaji Village at Lumbir District in Banyumas Regency, Central Java for example. In 2012, Dermaji had begun to implement computer software to support administrative tasks and public service. It has been actively utilizing websites and social network sites to promote its potential. According to Bayu Setyo Nugroho, the village head, the village information system also helps speed up the dissemination of information to the public. It is therefore not surprising that Dermaji becomes the Information and Communication Technology Village (Destika) 2016 of the Ministry of Communication and Information (Kemkominfo).

The benefits of applying information technology are also felt by the Ponggok Water Tourism Village in Polanharjo District, Klaten, Central Java. The failure of conventional promotion methods through pamphlets drove Tirta Mandiri, a village-owned enterprise (BUMDes), to turn to social networking. Unexpectedly the response was outstanding. A photograph of Umbul Ponggok beauty went viral on Instagram, YouTube, Facebook and Twitter, and in turn attracted thousands of tourists. According to Gatot Jiwandono, BUMDes Tirta Mandiri’s public relations officer, around 500 to 600 people visit Umbul Ponggok on weekdays, while on holidays the number can reach between 2,000 and 3,000 people. The long holiday of May 2016 even saw up to 14,000 tourists visiting the 40-by-70-meter natural pool.

The provincial government of Bali is also utilizing web portals to introduce and control the Mandara Integrated

Rural Development Movement (Gerbang Sadu Mandara/GSM). The report on the Rp 1.2 billion fund for Balinese villages can be monitored through www.gerbangsadumandara.provbali.info.

The successful application of information technology goes hand-in-hand with the role of village institutions in connecting residents with the central government. Village-Owned Enterprises (BUMDes), for example, creates the initiative to manage village potentials.

A real example can be seen from the alacrity of BUMDes Tirta Mandiri in Ponggok Village to actively and professionally look for investors, promote and manage the village’s products. As a result, not only has Ponggok Village excelled in the tourism sector, it also has been able to expand its farms to include the aquaculture of tilapia, prawn and koi.

The GSM program in Bali can run smoothly thanks to the distribution of venture capital from BUMDes. Poor people who borrow from BUMDes are

charged a one-percent interest without collateral. Meanwhile, people with better financial condition are subject to an interest rate decided at the village meeting. With such mitigated system as this, the benefits of populist economics will be more visible. l

Inspiration From Technologically Literate Villages

Dermaji Village, Ponggok Village and the villages in Bali are evidence of the important role of information technology in empowering rural communities.

Save Village Save Village

80 Info Desa Oktober, 2016 Oktober, 2016 Info Desa 81

Online Village is the window of a village. Here’s an analogy to illustrate the importance of establishing the Online

Village portal for the development of various villages in Indonesia.

This web-based application can be accessed from desa.kemendesa.go.id. According to, Helmiati, the head of Data and Information Centre (Media Centre) at the Ministry of Village, Development of Disadvantaged Regions and Transmigration (Kemendesa PDTT), Online Village aims not only to motivate villagers to be more tech-savvy, but also to facilitate the central government’s decision-making process. “There is no need to travel far to visit a village anymore; just by looking at its website, you can see which villages need help or intervention from the government,” she said.

To that end, Kemendesa PDTT has already provided all the means necessary, from servers and applications

to training. Of these three aspects, the training of human resources requires the most attention. There will be a village official who becomes the application administrator that uploads the village data. He could be the village head, secretary or other officials.

Aditia Hendra Krishna, the head of Information Systems Development and Information Technology Resource of Media Centre, added that so far the trainings are carried out in the villages or districts. However, with more than 75,000 villages, the training will be held in the Community Training Center in the future. “Hopefully, the application administrator candidates from different villages will gather, learn about the technology, and share

the knowledge to other villages,” he said.

In 2015, there were 560 villages that were exposed to the program. The goal is to reach 200 more villages in five regions: East Kalimantan, South Sulawesi, Central Java, East Nusa Tenggara (NTT) and West Papua. l

6 MAIN COMPONENTS OF AN ONLINE VILLAGE

• Village Profile: Displays information

about the brief history of the

village, boundaries and population

data.

• Village Activities: Features a variety

of news or village activities.

• Product Highlights: Displays the

village’s featured products, eg.

cattle, weaving or crafts.

• Statistics: Contains information

that is integrated with the

application of other villages and

the Village Potentials. The data

displayed are those of education,

health, telecommunication and

power facilities.

• Village Map: Shows the location of

the village, integrated with a map

from Google Maps.

• Village Legislation: Contains

information on the laws or

regulations of each village.

Discovering Online Village

Helmiati Head of Data and

Information Centre (Media Centre)

Kemendesa PDTT

Save Village

82 Info Desa Oktober, 2016