oains
DESCRIPTION
oainsTRANSCRIPT
Obat Anti-inflamasi Nonsteroid: Ikhtisar Risiko Kardiovakuler
Abstrak: Sementara aspirin menawarkan perlindungan, obat anti-inflamasi
nonsteroid (OAINS) lainnya dapat menyebabkan efek samping dan komplikasi
kardiovaskuler yang serius. Hal ini menyebabkan pemberian peringatan umum
“kotak hitam” untuk efek samping kardiovaskuler yang disebabkan oleh OAINS.
Ikhtisar ini mengeksplorasi mekanisme berbeda yang mendasari efek protektif
aspirin, OAINS yang berhubungan dengan efek renovaskuler yang menyebabkan
hipertensi, edema, dan gagal jantung, efek kardiovaskuler yang menyebabkan
infark miokardium dan stroke, dan interaksi gangguan yang mungkin terjadi
antara OAINS dan aspirin.
Kata Kunci: OAINS; aspirin; penyakit kardiovaskuler
1. Pendahulan
Obat anti-inflamasi nonsteroid (OAINS) merupakan obat yang paling
sering diresepkan dalam kedokteran modern. OAINS sangat efektif dalam
mengurangi nyeri, demam dan inflamasi, dan jutaan pasien di seluruh dunia telah
terbantu sejak ditemukannya komponen “willow bark” yang menenangkan lebih
dari 3.500 tahun yang lalu. Lebih lanjut, aspirin, pola dasar golongan OAINS,
telah menjadi landasan pencegahan sekunder penyakit kardiovaskuler trombotik.
Akan tetapi, penggunaan OAINS berhubungan dengan beberapa efek samping
pengobatan serius, dengan morbiditas dan mortalitas terkait. Banyak efek samping
yang dapat dicegah dengan mempertimbangkan faktor risiko pasien secara ketat
dan dengan menyertakan strategi preventif.
2. Metode
Kami mencari artikel Medline berbahasa Inggris yang dipublikasikan
hingga tahun 2010 dengan menggunakan kata kunci asam asetilsalisilat, aspirin,
OAINS, COX-2 (cyclooxygenase-2), efek samping, dan kardiovaskuler. Abstrak
disaring berdasarkan relevansi dan publikasi yang berhubungan dengan aspirin
dan OAINS yang diperoleh. Referensi tambahan diidentifikasi dari daftar pustaka
laporan yang diambil dan ulasan artikel. Sumber informasi lebih lanjut diambil
dari internet.
3. Hasil dan Diskusi
3.1. Prostaglandin dan COX
Prostaglandin merupakan anggota kelompok senyawa lipid yang
diturunkan secara enzimatik dari asam lemak. Prostaglandin cepat
dimetabolisme, bekerja secara lokal, dan terlibat dalam banyak proses
yang menyebabkan inflamasi setelah cedera atau sakit, mengatur kontraksi
uterus, mempengaruhi kontraksi dan relakasi pembuluh darah, dan terlibat
dalam agregasi trombosit. Prostaglandin pertama yang ditemukan diisolasi
secara independen dari cairan mani pada tahun 1935 oleh fisiologis
Swedia Ulf von Euler dan farmakologis Inggris M.W. Goldblatt dan
dianggap sekret prostat, seperti yang tercermin dari penamaannya [1,2].
Prostaglandin ditemukan di sebagian besar jaringan dan organ dan
diproduksi oleh sel nukleatida dari asam lemak esensial: asam gamma-
linolenat, asam arakidonat, dan asam eikosapentaenoat, kecuali limfosit.
Pada awal tahun 1960-an, kedua ilmuwan Swedia dan Belanda bekerja
untuk menjelaskan mekanisme yang mendasari produksi dan aksi senyawa
tersebut. Ditemukan bahwa pada manusia, asam arakidonat dimobilisasi
dari membran sel liserofosfolipid oleh fofolipase A2. Biotransformasi
asam arakidonat yang menyertai dikatalisis oleh prostaglandin G2/H2
sintase, yang menghasilkan bentuk sekuensial prostaglandin G2 (PGG2)
dan prostaglandin H2 (PGH2) melalui aktivitas COX protein.
Prostaglandin sintase spesifik jaringan mengubah PGH2 menjadi
prostaglandin lain dan tromboxan, yang memiliki fungsi berbeda pada
jaringan berbeda. Contohnya, PGD2 terlibat dalam regulasi saat tidur dan
reaksi alergi; PGF2 mengontrol kontraksi uterus dan bronkokonstriksi, dan
tromboxan A2 (TXA2) menstimulasi konstriksi pembuluh darah dan
menginduksi agregasi trombosit. Prostasiklin (PGI2) menyebabkan dilatasi
pembuluh darah, menghambat agregasi trombosit, dan dapat memberikan
perlindungan terhadap kerusakan lapisan gaster; prostaglandin E2 (PGE2)
terlibat dalam nyeri, inflamsi, dan demam, dan juga bekerja mencegah
kerusakan gaster [3,4].
Pada tahun 1989 Phillip Needleman mengkonfirmasi kecurigaan
terhadap dua isoform COX berbeda, yang diregulasi dan bekerja dengan
cara berbeda [5]. COX-1 tampaknya hadir secara konstitusional dalam
jumlah sedikit pada kebanyakan jaringan manusia, bekerja sebagai enzim
rumah tangga dengan mengatur proses fisiologis normal seperti
pemeliharaan integritas mukosa gaster, fungsi ginjal, dan agregasi
trombosit, sedangkan COX-2 tidak terdeteksi pada sebagian besar jaringan
dalam kondisi fisiologis normal dan mengalami upregulasi secara selektif
setelah paparan mediator inflamasi atau trauma yang menyebabkan respon
inflamasi yang menyertai dan mediasi nyeri.
Kedua isoenzim COX merupakan protein terkait membran dengan
struktur 3 dimensi ujung kanal sempit panjang pada tikungan tajam, dan
menginternalisasi asam arakidonat di dekatnya yang dilepaskan ketika
terjadi kerusakan membran [6,7]. Asam arakidonat terikat dalam enzim
COX dan dibiotransformasi melalui PGG2 menjadi PGH2, yang
merupakan substrat yang menyertai sel dan enzim terminal spesifik
jaringan lainnya, seperti PGI2 sintase yang memproduksi prostasiklin,
tromboxan sintase yang memproduksi tromboxan, dan glutation S-
transferase untuk konversi menjadi PGE2.
3.1.1. Afinitas Aspirin terhadap COX
Aspirin memberikan efeknya melalui asetilasi enzim COX
non-kompetitif dan ireversibel, di mana kelompok asetil melekat
secara kovalen pada residu serin di situs enzim COX aktif yang
menyebabkan enzim COX tidak dapat diakses secara permanen
untuk biotransformasi asam arakidonat menjadi PGH2, dan dengan
demikian menghambat secara efektif produksi prostaglandin yang
menyertainya [8,9]. Sel nukleatida, seperti sel mukosa gaster dan
sel inflamasi, dapat kembali mensintesis COX-1 dan COX-2, dan
dengan demikian memperbaiki fungsi COX dan produksi
prostaglandin meskipun dihambat oleh aspirin. Di sisi lain,
trombosit tidak memiliki nukleus sel dan oleh karena itu kurang
memiliki kemampuan untuk mensitesis COX kembali. Labih
lanjut, pada trombosit, produksi TXA2 seluruhnya tergantung
COX-1, karena itu pengikatan COX-1 aspirin pada trombosit akan
mencegah produksi TXA2 secara permanen dan menghambat
agregasi trombosit selama siklus hidup trombosit, yang membuat
aspirin sebagai obat proteksi kardiovaskuler yang kuat [10,11].
3.1.2. Aspirin: Manfaat dan Risiko
Sekarang ini, indikasi utama aspirin adalah untuk mencegah
penyakit kardiovaskuler oklusif. Sebuah meta-analisis kolaboratif
data partisipan dari 16 penelitian acak pada pencegahan sekunder
penyakit kardiovaskuler, yang membandingkan aspirin jangka
panjang dengan plasebo terhadap terjadinya infark miokardium
baru atau stroke atau kematian vaskuler (17.000 orang dengan
risiko rata-rata yang tinggi, 43.000 orang-tahun, 3.306 penyakit
vaskuler serius), menunjukkan pengurangan yang signifikan secara
statistik dan klinis pada penyakit vaskuler yang serius (6,7%
dengan aspirin vs 8,2% dengan plasebo per tahun), dengan hasil
yang sama pada laki-laki dan perempuan [12]. Pengurangan risiko
ditemukan pada semua subkelompok penyakit iskemik, pada
perdarahan gastrointestinal dan ekstrakranial mayor (RR 2,69, CI
1,25-5,76, data tersedia pada 5 dari 16 penelitian). Akan tetapi,
insidens absolut kejadian perdarahan mayor lebih rendah, sekitar
0,15% per tahun, sehingga secara keseluruhan mendukung aspirin.
Untuk pencegahan primer penyakit kardiovaskuler, penulis
menarik kesimpulan yang berbeda. Ketika menganalisis data dari
enam penelitian pencegahan primer (95.000 orang pada risiko rata-
rata rendah, 660.000 orang-tahun, 3.554 penyakit vaskuler serius),
ditemukan pengurangan proporsional sebesar 12% yang signifikan
secara statistik pada penyakit vaskuler serius (0,51% dengan
aspirin vs 0,57% pada kontrol per tahun), terutama akibat
pengurangan infark miokardium yang tidak fatal (0,18% vs 0,23%
per tahun), peningkatan stroke hemoragik (0,04% vs 0,03% per
tahun) dan perdarahan gastrointestinal dan ekstrakranial mayor
(0,10% vs 0,07% per tahun) [12]. Dalam diskusi penulis
membantah bahwa pada masa modern, efek aspirin yang
mengurangi risiko dapat berkurang setengahnya akibat peresepan
obat lainnya yang dapat mengurangi risiko seperti statin,
sedangkan risiko perdarahan masih sama, yang akan menyebabkan
efek manfaat bersih pencegahan primer penyakit kardiovaskuler
pada pasien risiko rendah tidak berarti.
Meta-analisis lainnya yang mencari efek samping aspirin
dosis rendah pada 22 penelitian terkontrol plasebo acak
menemukan risiko relatif 2,07 untuk perdarahan gastrointestinal
mayor dengan aspirin, dengan peningkatan tahunan absolut sebesar
0,12% [13]. Dengan meningkatnya risiko absolut rendah ini,
jumlah yang dibutuhkan pada terapi aspirin sehingga menyebabkan
perdarahan gastrointestinal mayor adalah 833. Oleh karena itu
harus ditargetkan strategi pencegahan aspirin yang berhubungan
dengan perdarahan gastrointestinal pada pasien risiko tinggi seperti
pasien dengan perdarahan gastrointestinal sebelumnya, usia di atas
60 tahun, penggunaan kortikosteroid pada saat bersamaan, OAINS
non-aspirin, antikoagulan, penghambat trombosit dan reuptake
serotonin lainnya, infeksi Helicobacter pylori, dan kondisi
komorbid seperti diabetes melitus, gagal jantung, dan artritis
reumatoid [14,15].
Dengan menghambat COX-1 gaster, aspirin dapat
mengurangi aliran darah mukosa yang menyebabkan cedera
iskemik lokal. Aspirin juga dapat mengganggu perlindungan
spesifik tergantung prostaglandin yang melindungi mukosa gaster,
seperti lapisan mukosa tebal mengandung bikarbonat yang
melapisi bagian dalam gaster yang menyangga asam lambung
luminal dan dengan demikian melindungi dinding gaster. Apabila
perlindungan tersebut dilemahkan oleh aspirin yang menginduksi
inhibisi COX-1 gastrointestinal, gelombang cedera kedua yang
disebabkan oleh asam lambung luminal dapat memudahkan
ulserasi yang lebih dalam, perdarahan, dan bahkan perforasi
dinding gaster [16]. Strategi yang bertujuan pada pencegahan
gastropati apirin dan OAINS non-aspirin membantu memelihara
integritas dinding gaster dan lapisan mukosa, seperti pemberian
analog prostaglandin bersama-sama, atau menghambat sekresi
asam lambung, seperti antagonis reseptor histamin H2 atau
penghambat pompa proton (proton-pump inhibitor, PPI).
Penelitian pada pencegahan perdarahan gastrointestinal
rekuren seluruhnya berdasar pada strategi berbasis PPI, baik PPI vs
plasebo maupun PPI vs eradikasi H.pylori. Kolonisasi dengan
dengan H.pylori berhubungan dengan peningkatan risiko
perdarahan ulkus rekuren. Pada sebuah penelitian, 123 pasien yang
positif H.pylori yang mengalami ulkus perdarahan dengan aspirin
dosis rendah diobati dengan terapi eradikasi H.pylori dan
selanjutnya diacak terhadap lansoprazole 30 mg/hari atau plasebo
pada penambahan aspirin 100 mg/hari [17]. Pada follow up 12
bulan, angka komplikasi ulkus rekuren adalah 1,6% dengan
lansoprazole dan 14,8% dengan plasebo. Penelitian lain
membandingkan efikasi eradikasi H.pylori dengan pengobatan PPI
untuk pencegahan sekunder perdarahan ulkus aspirin [18].
Penelitian ini melibatkan 400 pasien yang positif H.pylori, 250
dengan aspirin dosis rendah dan 150 dengan OAINS yang datang
dengan perdarahan ulkus. Hanya data dari 250 pengguna aspirin
yang akan ditampilkan di sini. Setelah pengobatan ulkus dengan
omeprazole 20 mg/hari selama 8 pekan atau lebih dikonfirmasi
dengan endoskopi, pasien diberikan aspirin 80 mg/hari dan
kemudian diacak terhadap omeprazole 20 mg/hari selama 6 bulan
atau 1 pekan terapi eradikasi H.pylori yang dilanjutkan dengan
plasebo selama enam bulan. Kemungkinan perdarahan ulkus
rekuren selama periode follow up 6 bulan adalah 1,9% pada pasien
yang mendapatkan terapi eradikasi dan 0,9% pada pasien yang
diterapi dengan omeprazole [18]. Oleh karena itu, dari penelitian
tersebut dan penelitian lainnya, kami menyimpulkan bahwa pada
pasien risiko tinggi dengan perdarahan gastrointestinal akibat
aspirin sebelumnya, terapi PPI menawarkan pengurangan risiko
perdarahan rekuren yang signifikan.
3.2. Golongan Obat Anti-Inflamasi Non-Steroid
Pada tahun 1959, John Nicholson dari the Boots Company yang
berkolaborasi dengan Stuart Adams mensintesis sebuah obat dengan
komponen analgesik, antipiretik, dan anti-inflamasi yang sama dengan
aspirin. Obat tersebut dinamakan ibuprofen dan dipasarkan pada tahun
1969 dengan nama dagang Brufen, meskipun tidak lebih baik dari plasebo
pada penelitian klinis awal terhadap 18 pasien artritis reumatoid [19,20].
Akan tetapi, Ibuprofen akan menjadi OAINS non-apirin pertama yang
sangat ampuh. Sekarang ini, sekitar 50 preparat OAINS berbeda tersedia
dan merupakan obat yang paling sering diresepkan di seluruh dunia.
Indikasi utamanya adalah nyeri somatik ringan hingga sedang. Karena
efek anti-inflamasinya, OAINS secara khusus efektif pada penyakit
inflamasi seperti artritis reumatoid. OAINS dapat dikelompokkan sebagai
salisilat (dengan aspirin sebagai anggota yang menonjol), asam
arilalkanoat (diklofenak, indometasin, nabumeton, sulindak), asam 2-
arilpropionat atau profen (ibuprofen, flurbiprofen, ketoprofen, naproxen),
asam N-arilantranilat atau asam fenamat (asam mefenamat, asam
meklofenamat), derivat pirazolidin (fenilbutazon), oxicam (piroxicam,
meloxicam), sulfonanilid (nimesulid), dan lain-lain. Efikasi OAINS dapat
bervariasi tergantung pasien dan indikasi. Pada kasus yang tidak efektif,
penggantian dengan OAINS dari kelas kimia berbeda merupakan pilihan
terapeutik yang masuk akal [10].
Sebagai sebuah kelompok, komponen farmakokinetik dan
farmakodinamik OAINS beragam dan berbeda secara struktur, tetapi pada
akhirnya berbagi cara kerja yang sama. Seperti aspirin, OAINS non-
aspirin menghambat produksi prostaglandin dengan memblok enzim COX,
yang memberikan manfaat analgesik, antipiretik, dan anti-inflamasi, tetapi
berisiko meningkatkan perdarahan gastrointestinal [21]. Akan tetapi,
aspirin dan OAINS non-aspirin berbeda secara fundamental dalam caranya
menghambat enzim COX. Seperti yang disebutkan sebelumnya, aspirin
menghambat COX secara permanen melalui asetilasi non-kompetitif dan
ireversibel. Sebaliknya, OAINS non-aspirin menghambat enzim COX
secara kompetitif dan reversibel hanya selama interval dosis. Perbedaan ini
ditunjukkan oleh efeknya yang berbeda pada agregasi trombosit. Seperti
yang disebutkan sebelumnya, trombosit tidak memiliki nukleus sel seperti
sel inflamasi dan oleh karena itu tidak dapat menintesis COX kembali.
Aspirin sebagai penghambat fungsi COX ireversibel yang permanen
mencegah produksi TXA2 dan oleh karena itu menghambat agregasi
trombosit selama siklus hidup trombosit, yang membuat aspirin
merupakan obat pelindung kardiovaskuler yang kuat. Sebaliknya, akibat
pengikatan enzim COX yang bersifat kompetitif reversibel, OAINS non-
aspirin biasanya tidak menghambat agregasi trombosit untuk jangka waktu
yang lama [10].
OAINS non-aspirin klasik memblok baik isozim COX-1 maupun
COX-2 pada bermacam derajat dengan mengikat molekul arginin pada
posisi 120 setengah dari kanalnya, dengan demikian menghambat akses
asam arakidonat ke situs katalisis dan pada akhirnya menghambat sintesis
prostaglandin, PGI2, dan tromboxan [22,23].
Penemuan dua isoform COX oleh Philip Needleman pada tahun
1989 dan klarifikasi struktur 3 dimensinya memberikan alasan untuk
mengembangkan OAINS selektif COX-2 [5]. Sebuah OAINS yang ideal
akan menghambat isoform COX-2 secara selektif, dengan demikian
mengurangi inflamasi dan nyeri tanpa bekerja pada isoform COX-1, yang
dengan demikian meminimalkan toksisitas. Dikembangkan sekelompok
OAINS yang lebih besar yang memiliki ekstensi sisi rigid, yang mengikat
di dalam saku sisi unik COX-2, yang dengan demikian dapat mengakses
dan memblok COX-2 tetapi tidak dengan enzim COX-1 yang lebih sempit.
Ikatan kovalen selektif COX-2 dalam saku sisi COX-2 terbukti semi-
ireversibel, dengan demikian menghambat akses asam arakidonat ke situs
katalisis pada waktu yang lama [24]. Pada tahun 1990an, sejumlah
perusahaan farmaseutik menguji dan mengembangkan hipotesis, dan pada
tahun 1995 generasi pertama OAINS selektif COX-2, celecoxib
(Celebrex®) dan rofecoxib (Vioxx®), memasuki penelitian klinis dengan
banyak varian lain yang akhirnya disetujui untuk digunakan dalam
pengobatan nyeri, dengan indikasi utama artritis reumatoid dan
osteoartritis.
Gambar 1. Kiri: representasi skematik onhibisi COX-1 (gambar hijau besar) oleh OAINS non-selektif (gambar biru sentral). Kanal masuk ke COX-1 diblok oleh OAINS. Pengikatan dan transformasi asam arakidonat (gambar kuning di bagian dasar) dalam COX-1 dicegah. Tengah: inhibisi COX-2 oleh OAINS non-selektif (gambar biru tengah). Kanan: inhibisi COX-2 oleh OAINS selektif COX-2 (gambar merah sentral). Saku sisi COX-2 memudahkan pengikatan spesifik ekstensi rigid OAINS selektif COX-2. Kanal masuk ke COX-2 diblok. OAINS seletif COX-2 yang lebih besar tidak akan muat ke dalam kanal masuk COX-1 yang lebih sempit, yang memudahkan akses asam arakidonat ke dalam COX-1 yang tidak dihambat [23].
3.3. Bahaya yang Berhubungan dengan Penghilang Nyeri
Telah disepakati bahwa OAINS merupakan obat analgesik,
antipiretik, dan anti-inflamasi yang efektif, terutama pada penyakit artritis.
Akan tetapi, penggunaannya dibatasi oleh efek samping yang serius. Efek
samping tersebut yang paling pertama diketahui adalah bahwa OAINS
memiliki sifat toksisitas gastrointestinal aspirin yang dimediasi oleh
inhibisi efek COX-1 pada mukosa gaster. Spektrum toksisitas
gastroduodenum terkait OAINS dapat dikelompokkan menjadi tiga
kelompok: (i) gejala subjektif seperti rasa panas dalam perut, dispepsia,
nausea, dan nyeri abdomen merupakan yang paling sering terjadi pada
15%-40% pengguna OAINS dan menyebabkan 10% pengguna mengganti
atau menghentikan penggunaan OAINS; (ii) lesi superfisial mukosa
gastroduodenum seperti ulkus yang dapat menyembuh spontan; (iii) ulkus
gastroduodenum serius yang menyebabkan komplikasi mengancam jiwa
seperti perforasi, ulkuks simtomatik, dan perdarahan (perforation, ulcer,
bleeding; PUB) yang terjadi pada 1%-2% pengguna OAINS kronis dengan
angka mortalitas terkait 10%-15% [10,25,26,27]. Gejala subjektif tidak
begitu mempengaruhi perkembangan ulkus gastroduodenum. Sebagian
besar pengguna OAINS dengan gejala subjektif tidak menunjukkan
kerusakan gastroduodenum endoskopi, sedangkan 58% pasien yang datang
dengan komplikasi ulkus OAINS yang mengancam jiwa tidak mengalami
gejala prodromal [28]. Faktor risiko berkembangnya ulkus
gastroduodenum sama untuk aspirin dan risiko bertambah seiring
bertambahnya dosis OAINS [14,15]. Banyak peneliti yang telah
menyelesaikan strategi preventif toksisitas gastroduodenum terkait
OAINS. Strategi tersebut bertujuan memelihara integritas dinding gaster
dan lapisan mukosa, seperti penggunaan OAINS selektif COX-2 dan
pemberian analog prostaglandin bersama-sama, atau menghambat sekresi
asam lambung, seperti penggunaan antagonis reseptor histamin H2 atau
PPI sebagaimana yang dijelaskan mengenai aspirin [29,30,31,32,33].
Eradikasi H.pylori pada pasien tertentu dapat mengurangi risiko kerusakan
gastroduodenum lebih lanjut [34,35]. Sebuah ulasan mendetail mengenai
efek tindakan protektif gaster pada toksisitas gastrointestinal terkait
OAINS tidak termasuk dalam cakupan artikel ini.
Pada awal tahun 2000-an, fungsi endovaskuler enzim COX
terbukti memainkan bagian penting dalam trombogenesis [36]. Trombosit
teraktivasi memproduksi tromboxan TXA2 yang tergantung COX-1, yang
bekerja sebagai agonis trombosit protrombosis dan vasokonstriktor.
Endotel dan sel otot polos terdekat menghasilkan prostaglandin I2 (PGI2)
yang tergantung COX-2, terutama setelah terjadi kerusakan sel [37]. PGI2
merupakan antotrombosis penghambat trombosit dan vasodilator, dan
dengan demikian memodulasi interaksi antara trombosit teraktivasi dan
dinding endovaskuler. Kerusakan sel, plak aterosklerotik, dan shear force
lamina menyebabkan up-regulasi ekspresi COX-2 secara selektif oleh sel
endotel dalam upaya untuk memelihara homeostasis [38]. Dalam
memahami mekanisme tersebut dapat diduga bahwa sindrom klinis yang
berhubungan dengan aktivasi trombosit, inhibisi COX oleh OAINS,
khususnya OAINS selektif COX-2, dapat, meningkatkan risiko penyakit
kardiovaskuler [37]. Karena efeknya bersifat sementara dan reversibel,
hanya OAINS nonselektif dosis tinggi kontinyu yang akan menghambat
COX-1 dan COX-2. Akan tetapi, OAINS selektif COX-2 dapat sangat
mengganggu sintesis antitrombotik derivat endotel dan prostasiklin
vasodilator sambil mengurangi efek yang menghambat COX-1 pada
agregasi trombosit, dengan demikian dapat membalikkan skala
homeostasis yang mendukung trombogenesis dan vasokonstriksi [37].
Pada tahun 2004 Merck Sharp dan Dohme diminta menarik OAINS
selektif COX-2 rofecoxib (Vioxx®) dari pasaran karena hasil penelitian 18
bulan Adenomatous Polyp PRevention On Vioxx menunjukkan angka
kejadian trombosis 1,5 per 100 pasien-tahun dengan rofecoxib vs 0,78 per
100 pasien-tahun dengan plasebo (risiko relatif 1,92) [38]. Sejak saat itu
banyak penelitian yang meneliti efek OAINS selektif COX-2 dan non-
selektif terhadap penyakit kardiovaskuler dengan hasil yang bertentangan.
Sebuah meta-analisis menilai efek OAINS selektif COX-2 dan non-
selektif terhadap risiko penyakit kardiovaskuler pada data tabulasi yang
dipublikasikan dan tidak dipublikasikan dari 138 penelitian acak, yang
meliputi perbandingan OAINS selektif COX-2 vs placebo atau OAINS
selektif COX-2 vs OAINS non-selektif, dengan durasi pengobatan
sekurang-kurangnya 4 pekan [39]. Penghambat selektif COX-2
berhubungan dengan peningkatan risiko sedang penyakit vaskuler serius
dibandingkan dengan plasebo (rate ratio 1,42), yang utamanya
menyebabkan peningkatan risiko infark miokardium (rate ratio 1,86).
OAINS non-selektif dosis tinggi berhubungan dengan peningkatan risiko
vaskuler yang sama dibandingkan dengan plasebo (rate ratio 1,51 untuk
ibuprofen; 1,63 untuk diklofenak), dengan pengecualian naproxen dosis
tinggi (rate ratio 0,92) [39]. Ulasan sistematis dan meta-analisis lainnya
menilai risiko penyakit kardiovaskuler serius dengan OAINS selektif
COX-2 dan non-selektif pada 17 penelitian case-control dan 6 penelitian
kohort [40]. Penggunaan rofecoxib berhubungan dengan risiko relatif
penyakit kardiovaskuler serius yang berkaitan dengan dosis signifikan
selama bulan pertama pengobatan (risiko relatif 1,33 dengan dosis 25
mg/hari atau kurang; risiko relatif 2,19 dengan dosis lebih dari 25
mg/hari). Celecoxib tidak berhubungan dengan peningkatan risiko (risiko
relatif 1,06). Di antara OAINS non-selektif, diklofenak memiliki risiko
tertinggi (risiko relatif 1,40). Untuk OAINS nonselektif, ibuprofen (risiko
relatif 1,07), piroxicam (risiko relatif 1,06) dan naproxen (risiko relatif
0,97), tidak ditemukan hubungan yang signifikan dengan penyakit
kardiovaskuler [40]. Hasil ini sama dengan sebuah meta-analisis yang
menilai risiko komparatif infark miokardium dengan OAINS selektif
COX-2 dan non-selektif pada penelitian case-control, penelitian kohort,
dan penelitian acak terkontrol pada adenoma kolon dan artritis, yang
menemukan risiko kecil infark miokardium dengan OAINS dan obat
spesifik COX-2 rofecoxib yang menunjukkan risiko tertinggi (risiko relatif
1,25 pada 6 penelitian kohort, 387.983 pasien-tahun), mungkin
dikarenakan waktu paruh obat ini yang panjang dibandingkan dengan obat
lainnya. Data dari 14 penelitian acak terkontrol yang dikumpulkan pada
artritis dengan 45.425 pasien menunjukkan infark miokardium yang lebih
banyak dengan OAINS selektif COX-2 (odds ratio 1,6), tetapi penyakit
gastrointestinal atas serius lebih sedikit (odds ratio 0,40) [41]. Sebuah
meta analisis terakhir mengenai risiko kardiovaskuler celecoxib pada data
tingkat pasien yang dikumpulkan dari 7.950 pasien pada penelitian plasebo
terkontrol yang membandingkan celecoxib dengan plasebo untuk kondisi
selain artritis dengan follow up yang direncanakan hingga sekurang-
kurangnya tiga tahun menunjukkan peningkatan risiko pada penggunaan
obat dengan dosis yang lebih tinggi, risiko terendah dan tidak signifikan
untuk dosis 400 mg/hari (hazard ratio, 1,1) dan tertinggi untuk dosis 400
mg dua kali per hari (hazard ratio 3,1) [42].
Hubungan antara dosis dan risiko kardiovaskuler OAINS ini yang
tidak menghambat COX-1 dengan sempurna dapat disebabkan oleh derajat
inhibisi COX-2 obat, seperti yang diilustrasikan oleh penelitian García
Rodriguez [43]. Pada penelitian dengan derajat inhibisi COX-2 <90% pada
konsentrasi terapeutik ini (ibuprofen, meloxicam, celecoxib, dan
etoricoxib) berhubungan dengan RR infark miokardium 1,18 (95% CI
1,02-1,38), dibandingkan dengan RR 1,60 (95% CI 1,41-1,81) pada obat
dengan derajat inhibisi COX-2 ≥90% (rofecoxib, indometasin, diclofenak,
dan piroxicam).
Hasil kedua penelitian Danish, diperlukan peringatan khusus dalam
meresepkan OAINS selektif dan non-selektif pada pasien dengan infark
miokardium sebelumnya. Pada penelitian pertama mengenai kohort 58.432
pasien yang dipulangkan setelah infark miokardium pertamanya antara
tahun 1995 dan 2002, 9.773 dirawat kembali karena infark miokardium
dan 16.573 meninggal. Penggunaan penghambat COX-2 pada semua dosis
dan OAINS pada dosis tinggi berhubungan dengan peningkatan mortalitas,
dengan NNH rendah 13 untuk rofecoxib (95% CI 10-20), 14 untuk
celecoxib (95% CI 10-24), 45 untuk ibuprofen (95% CI 29-102), 24 untuk
diklofenak (95% CI 16-45), dan 143 untuk OAINS lain (95% CI 10-20),
secara berurutan [44]. Penelitian kedua yang dilakukan antara tahun 1997
dan 2005 menggunakan desain yang sama pada dua sampel yang tampak
sehat dari populasi Danish. Pada sampel dari 153.465 orang tanpa faktor
risiko kematian akibat NNH yang dapat dibayangkan sebelumnya, dari
semua penyebab, 14 untuk rofecoxib (95% CI 10-25), 20 untuk celecoxib
(95% CI 13-43), 432 untuk ibuprofen (95% CI 184-1251), dan 77 untuk
diklofenak (95% CI 51-158) [45].
Berdasar pada sebuah ulasan data dari penelitian klinis OAINS
terkontrol plasebo jangka panjang dan aktif, FDA menyimpulkan bahwa
peningkatan risiko penyakit kardiovaskuler serius merupakan efek kelas
untuk semua OAINS, sama antara OAINS selektif COX-2 dan non-selektif
(kecuali aspirin). Oleh karena itu FDA meminta paket seluruh OAINS
direvisi dan dimasukkan kotak peringatan peningkatan risiko penyakit
kardiovaskuler sebagaimana risiko perdarahan gastrointestinal serius dan
berpotensi mengancam jiwa. FDA juga meminta paket untuk semua
OAINS dimasukkan kontraindikasi penggunaan segera pada pasien pasca
operasi CABG (coronary artery bypass graft surgery) [46]. EMEA,
lembaga Eropa setara FDA, menarik kesimpulan berbeda dalam
pernyataannya mengenai OAINS selektif COX-2 dan non-selektif dari
2005 dan 2006. Agensi ini membedakan antara dua kelompok,
sehubungan kontraindikasi penghambat COX-2 pada pasien dengan
penyakit jantung iskemik atau stroke, dan memperingatkan penggunaan
obat tersebut pada pasien dengan faktor risiko penyakit kardiovaskuler,
memberi manfaat pada OAINS non-selektif dari keraguan [47]. Sebuah
algoritma peresepan OAINS pada pasien berdasarkan profil risiko
gastrointestinal dan kardiovaskuler yang berdasar pada panduan AHA dan
ACG ditunjukkan pada Tabel 1 [48,49,50]. Penggunaan OAINS juga
berhubungan dengan peningkatan hipertensi dan edema dan eksaserbasi
gagal jantung yang sudah ada sebelumnya. Komplikasi penggunaan
OAINS tersebut dapat dijelaskan oleh inhibisi produksi prostaglandin
vasodilator fisiologis yang diinduksi OAINS pada pasien dengan
peningkatan aktivasi sistem renin-angiotensin dan sistem saraf simpatis,
seperti halnya hipertensi atau status deplesi volume efektif, seperti gagal
jantung, sirosis, dan deplesi volume nyata. Pada keadaan tersebut
penggunaan OAINS dapat menginduksi vasokonstriksi sistemik dengan
memblok pelepasan prostaglandin vasodilator kompensasi, yang
menyebabkan peningkatan afterload dan penguranan kontraktilitas jantung
dan curah jantung [51]. Tergantung pada cadangan jantung pasien, status
volume, keseimbangan natrium, dan penggunaan obat-obat antihipertensi
tertentu (dengan pengecualian antagonis kalsium kerja lama), penggunaan
OAINS dapat menyebabkan retensi natrium dan cairan, mengeksaserbasi
gagal jantung atau meningkatkan tekanan darah rata-rata 3-6 mmHg [52].
Inhibisi prostaglandin vasodilator ginjal yang pada situasi ini
mempertahankan aliran darah ginjal dan laju filtrasi glomerulus dengan
merelaksasi resistensi preglomerulus dan melawan efek vasokonstriktor
lokal angiotensin II dan norepinefrin, dapat mengganggu keseimbangan
yang rapuh dan menyebabkan iskemia ginjal reversibel disertai penurunan
tekanan hidrolik dan laju filtrasi glomerulus, yang menyebabkan gagal
ginjal akut [53].
Table 1. Algoritma peresepan OAINS berdasarkan factor risiko gastrointestinal
(GI) dan kardiovaskuler (CV)
Risiko GI rendah
Risiko GI sedang
(1 atau 2 faktor
risiko)
Risiko GI tinggi
(lebih dari 2
faktor risiko)
Risiko CV
rendah
OAINS non-
selektif
OAINS non-
selektif + PPI atau
COX-2 + PPI
COX-2 + PPI
Risiko CV tinggi Naproxen + PPI Naproxen + PPI Tanpa OAINS
Sebuah meta-analisis pada penelitian observasional dan penelitian
klinis acak terkontrol untuk menentukan risiko gagal jantung dengan
OAINS menunjukkan peningkatan terjadinya gagal jantung sebesar 30%-
100%. Risiko ini sama antara OAINS selektif COX-2 dan non-selektif.
Akan tetapi, risiko absolut masih kecil: kurang dari satu pasien mengalami
gagal jantung akibat OAINS per seratus pasien-tahun selama bertahun-
tahun pengobatan OAINS. Gagal jantung yang sudah ada sebelumnya
berhubungan dengan risiko tertinggi. Penelitian lain menemukan
penggunaan OAINS tidak berhubungan dengan kejadian pertama gagal
jantung, tetapi hanya berhubungan dengan eksaserbasi penyakit yang
sudah ada sebelumnya [54–56].
Risiko munculnya hipertensi pada pasien tanpa riwayat hipertensi
sebelumnya diteliti dalam the Nurses’ Health Study II, sebuah penelitian
prospektif pada 80.000 wanita berusia 31 sampai 50 tahun. Pada penelitian
ini risiko relatif munculnya hipertensi setelah dua tahun follow up dengan
OAINS sebesar 1,86 dibandingkan dengan non-OAINS, dengan
pengecualian aspirin (115). Pada sebuah meta-analisis terkini dari 51
penelitian klinis acak yang melibatkan OAINS selektif COX-2, dengan
total 130.541 partisipan yang data tekanan darahnya tersedia, ditemukan
peningkatan signifikan angka insidens hipertensi pada pengguna OAINS
selektif COX-2 dibandingkan dengan placebo (rasio risiko 1,49) dan
dibandingkan dengan OAINS non-selektif (rasio risiko 1,12) [57]. Hasil
ini terutama disebabkan oleh rofecoxib (rasio risiko 1,87 vs plasebo dan
1,53 vs OAINS non-selektif) dan etoricoxib (rasio risiko 1,52 vs OAINS
non-selektif). Perbandingan OAINS selektif COX-2 dengan naproxen vs
OAINS selektif COX-2 dengan OAINS non-selektif non-naproxen
menunjukkan rasio risiko munculnya hipertensi yang lebih tinggi (COX-2
vs naproxen 1,31; COX-2 vs non-naproxen 1,08), tetapi perbedaan rata-
rata lebih kecil pada tekanan darah sistolik dan diastolik untuk naproxen
vs OAINS non-naproxen [57].
Pada sebuah penelitian mengenai efek inhibisi COX-2 terhadap
fungsi ginjal pada pasien lansia sehat dengan deplesi natrium yang diacak
terhadap rofecoxib 12,5 mg/hari, rofecoxib 25 mg/hari, indometasin 50 mg
3 kali/hari, atau plasebo selama 5 hari, ditemukan bahwa laju filtrasi
glomerulus menurun dengan signifikan dengan rofecoxib 12,5 mg
(menurun 8,4 mL/menit), rofecoxib 25 mg (menurun 7,8 mL/menit), dan
indometasin 150 mg (menurun 6,0 mL/menit) [58]. Penelitian lain dengan
desain nested case control menunjukkan bahwa rawat inap pasien gagal
ginjal akut berhubungan dengan awal penggunaan OAINS pada 121.722
pasien yang berusia lebih dari 65 tahun [59]. Risiko gagal ginjal akut
tertinggi dalam 30 hari sejak dimulainya pengobatan dan surut setelahnya.
Risiko relatif gagal ginjal akut sebanding dengan rofecoxib (risiko relatif
2,31; 95% CI, 1,73-3.08), naproxen (risiko relatif 2,42; 95% CI, 1,52-
3,85), dan OAINS non-selektif non-naproxen (risiko relatif 2,30; 95% CI,
1,60-3,32) tetapi agak rendah dengan celecoxib (risiko relatif 1,54; 95%
CI, 1,14-2,09).
Akhirnya, dengan mekanisme patofisiologis yang belum diketahui,
penggunaan OAINS juga berhubungan dengan gagal ginjal akibat nefritis
interstisial akut, nefropati membranosa, dan sindrom nefrotik dengan
minimal change. Pasien yang terkena datang dengan hematuria, pyuria,
cast sel darah putih, proteinuria, dan insufisiensi ginjal akut. Perbaikan
spontan biasanya terjadi dalam hitungan pekan hingga bulan setelah terapi
dihentikan [60]. Pemberian OAINS setelahnya harus dihindari karena
dapat terjadi relaps dengan rechallenge.
Sementara OAINS berhubungan dengan hipertensi, edema, gagal
jantung, dan insufisiensi ginjal dapat terjadi pada pasien yang
menggunakan OAINS selektif COX-2 maupun OAINS non-selektif, salah
satu perkembangan baru yang menjanjikan dapat menawarkan beberapa
perspektif. Sebuah kelas baru obat anti-inflamasi yang sedang dalam
pengembangan yaitu donor nitrat oksida (NO) yang menghambat COX
(COX-inhibiting nitric oxide (NO) donators, CINOD). CINOD didesain
untuk memberikan efek anti-inflamasi dan analgesik OAINS tetapi dengan
peningkatan keamanan gastrointestinal dan kardiovaskuler dengan
memasangkan sebuah OAINS selektif COX-2 atau OAINS non-selektif
dengan gugus yang melepaskan NO [61]. CINOD in vivo menunjukkan
komponen inhibisi COX dan anti-inflamasi serta analgesik yang sama
dengan OAINS rujukannya, sedangkan pelepasan NO menunjukkan
peningkatan aliran darah mukosa, mendorong perbaikan gaster,
menghambat agregasi trombosit, mengurangi tekanan darah sistemik, dan
mempertahankan fungsi vaskuler, jantung, dan ginjal. Sebuah CINOD
yang sedang menyempurnakan penelitian fase III-nya adalah naproxcinod,
yang memasangkan naproxen dengan gugus yang mendonorkan NO. pada
sebuah penelitian acak double-blind terkontrol plasebo dan naproxen
selama 13 pekan pada 916 pasien dengan osteoartritis, naproxcinod
mengurangi tekanan darah sistolik dengan signifikan dibanding naproxen,
terutama pada pasien hipertensi yang diterapi dengan obat yang memblok
renin-angiotensin, dengan perbedaan perubahan rata-rata 6,5 mmHg dari
tekanan darah sistolik normal antara naproxen dan naproxcinod (p < 0.02)
[62]. Ditunggu penelitian lebih lanjut.
3.4. Mengkombinasi Aspirin dengan OAINS: Iblis dalam Penyamaran?
Karena aspirin dan OAINS non-selektif mengikat enzim COX-1
trombosit, pemberian kedua obat pada waktu yang sama dapat
mengganggu manfaat aspirin terhadap penyakit kardiovaskuler trombotik.
Sebuah penelitian menguji efek ingesti 400 mg ibuprofen dua jam sebelum
dosis profilaksis regular aspirin 81 mg [63]. Kadar tromboxan serum dan
agregasi trombosit dihambat secara maksimal dengan pemberian aspirin
sebelum ibuprofen. Sebaliknya, inhibisi pembentukan tromboxan B2
serum dan agregasi trombosit dicegah dengan dosis tunggal harian
ibuprofen sebelum aspirin, sama seperti ketika diberikan dosis harian
ganda ibuprofen. Pemberian rofecoxib, asetaminofen, atau diklofenak pada
saat yang sama sebelum atau setelah aspirin tidak mempengaruhi inhibisi
trombosit [63]. Efek yang sama dengan naproxen telah dijelaskan pada
sebuah penelitian, di mana dosis tunggal naproxen dua jam sebelum
aspirin terganggu dengan efek antitrombosis aspirin [64]. OAINS non-
selektif berkompetisi dengan aspirin untuk menduduki situs pengikatan
pada COX-1 trombosit. Adanya OAINS non-selektif pada situs ini
mencegah aspirin mengikat dan menyebabkan asetilasi ireversibel sebuah
residu serin pada COX-1 [51,65]. Waktu paruh OAINS non-selektfi
spesifik menentukan durasi efek blokade aspirin yang relevan secara
klinis. Aspirin menyebabkan blokade COX yang ireversibel dan hampir
sempurna pada dosis rendah, sedangkan blokade yang disebabkan oleh
ibuprofen pada dosis terapeutik bersifat reversibel dan kurang sempurna,
yang berkurang dengan cepat di antara interval dosis, mencerminkan
waktu paruh obat yang singkat [66]. Oleh karena itu, dapat diajukan alasan
bahwa ibuprofen tidak memiliki efek inhibisi agregasi trombosit yang
diturunkan. Walaupun naproxen sendiri memiliki efek agregasi trombosit
yang kuat, penelitian yang telah disebutkan sebelumnya menunjukkan
bahwa penggunaan naproxen pada saat bersamaan juga dapat
menyebabkan inhibisi efek antitrombosis aspirin yang signifikan,
sekalipun lebih kecil daripada ibuprofen. Temuan tersebut dapat memiliki
relevansi klinis yang kuat pada pasien dengan penyakit kardiovaskuler.
Penggunaan aspirin dan ibuprofen atau naproxen pada saat yang sama
harus dihindari, atau setidaknya OAINS sebaiknya diberikan sekitar 2 jam
setelah pemberian aspirin [10]. Interaksi farmakodinamik tidak diharapkan
pada OAINS preferensi COX-2 relatif (diklofenak) atau OAINS selektif
COX-2.
4. Kesimpulan
Sekarang ini, tidak dapat dibayangkan kedokteran tanpa OAINS
aspirin atau non-aspirin, yang merupakan landasan konsep modern
pencegahan penyakit kardiovaskuler dan penghilang nyeri. Dari sebuah obat
penghilang nyeri dan antipiretik, aspirin berkembang menjadi toksin gaster
dan akhirnya sebuah pelindung yang mengatasi penyakit kardiovaskuler
tromboemboli. OAINS efektif mengatasi nyeri somatik ringan hingga berat
dengan cara yang unik, khususnya apabila berhubungan dengan penyebab
inflamasi, tetap teguh di tempatnya meskipun dilaporkan memiliki beberapa
efek samping yang merusak. Pengembangan OAINS selektif COX-2
mengurangi risiko ulserasi gastrointestinal secara signifikan, akan tetapi masih
terdapat peningkatan angka kejadian infark miokardium, gagal jantung,
hipertensi, dan insufisiensi ginjal akut. Kelas terbaru donor nitrat oksida yang
menghambat COX (CINOD) menawarkan beberapa perspektif. Efikasi
OAINS selektif COX-2 maupun OAINS non-selektif dapat bervariasi
tergantung pasien dan indikasinya. Dalam kasus yang tidak efektif,
penggantian dengan OAINS dari kelas kimia berbeda merupakan pilihan
terapeutik yang masuk akal. OAINS non-selektif seperti ibuprofen atau
naproxen dapat mengganggu efek inhibisi triombosit protektif aspirin dengan
pengikatan COX-1 kompetitif. Dokter harus memperhitungkan risiko
gastrointestinal dan kardiovaskuler dan interaksi yang mungkin pada pasien
ketika meresepkan OAINS. Harus diinformasikan kepada pasien mengenai
manfaat yang diharapkan dan risikonya. Dampak nyeri dan prioritas
menghilangkan nyeri pada pasien ditunjukkan oleh sebuah penelitian pada
pasien osteoartritis di Kanada, yang menunjukkan bahwa sebagian besar
pasien akan menerima beberapa risiko tambahan perdarahan ulkus dan sedikit
serangan jantung atau stroke untuk mengurangi nyerinya [67].
Sebagai diktum sentral dalam pengobatan OAINS, dokter harus selalu
meresepkan dosis efektif terendah untuk jangka waktu sesingkat mungkin.
Ketika memulai OAINS harus diperkirakan risiko gastrointestinal,
kardiovaskuler, dan renovaskuler. Harus diresepkan obat protektif gaster jika
diindikasikan. Pasien dengan risiko kardiovaskuler tinggi harus mendapatkan
aspirin profilaksis dosis rendah. Jika terapi OAINS tambahan diperlukan,
naproxen merupakan OAINS pilihan, dikombinasi dengan dosis PPI atau
misoprostol yang adekuat, terlepas dari ada tidaknya risiko gastrointestinal
tambahan [48]. Naproxen harus diminum dua jam setelah aspirin. OAINS
selektif COX-2 harus dihindari pada pasien dengan risiko kardiovaskuler
tinggi. Pasien dengan risiko kardiovaskuler dan gastrointestinal yang tinggi
sama sekali harus menghindari terapi OAINS.