nongkrong dalam perspektif hadis -...
TRANSCRIPT
NONGKRONG DALAM PERSPEKTIF HADIS
Skripsi
Diajukan Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh
Gelar Sarjana Theologi Islam (S.Th.I)
Oleh:
Ana Fauziah
NIM. 107034001574
PROGRAM STUDI TAFSIR-HADIS
FAKULTAS USHULUDDIN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
1435 H./2014 M.
NONGKRONG DALAM PERSPEKTIF HADIS
Skripsi
Diajukan Kepada Fakultas Ushuluddin
Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh
Gelar Sarjana Theologi Islam (S.Th.I.)
Oleh:
Ana Fauziah
NIM. 107034001574
Pembimbing:
Dr. Atiyatul Ulya, MA NIP. 19700112 199603 2 001
PROGRAM STUDI TAFSIR-HADIS
FAKULTAS USHULUDDIN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
1435 H./2014 M.
i
LEMBAR PERNYATAAN
Dengan ini saya menyatakan bahwa:
1. Skripsi ini merupakan hasil karya asli saya yang diajukan untuk memenuhi
salah satu persyaratan memperoleh gelar strata 1 di UIN Syarif Hidayatullah
Jakarta.
2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini telah saya cantumkan
sesuai dengan ketentuan yang berlaku di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
3. Jika kemudian hari terbukti bahwa karya ini bukan hasil karya asli saya atau
merupakan hasil jiplakan dari karya orang lain, maka saya bersedia menerima
sanksi yang berlaku di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
Jakarta, 13 Mei 2014
Ana Fauziah
ii
TIM PENGUJI SKRIPSI
Skripsi ini telah diuji pada Sidang Terbuka pada:
Hari, tanggal : Selasa, 13 Mei 2014
Pukul : 10.00 – 11.30 WIB
Pembimbing : Dr. Atiyatul Ulya, MA
Ketua Sidang : Dr. Lilik Ummi Kaltsum, MA
Sekretaris : Jauhar Azizy, MA
Tim Penguji : 1. Rifqi Muhammad Fathki, MA
2. Muhammad Zuhdi Zaini, MA
iii
PERSETUJUAN PARA PENGUJI
Skripsi berjudul “NONGKRONG DALAM PERSPEKTIF HADIS” telah
diujikan dalam sidang munaqasyah Fakultas Ushuluddin UIN Syarif Hidayatullah
Jakarta, pada 13 Mei 2014. Skripsi ini telah diterima sebagai salah satu syarat
memperoleh gelar Sarjana Theologi Islam (S.Th.I) pada Program Studi Tafsir-
Hadis.
Jakarta, 13 Mei 2013
Sidang Munaqasyah,
Ketua Merangkap Anggota, Sekretaris Merangkap Anggota,
Dr. Lilik Ummi Kaltsum, MA Jauhar Azizy, MA
NIP. 19711003 199903 2 001 NIP. 19820821 200801 1 012
Anggota,
Penguji I Penguji II
Rifqi Muhammad Fatkhi, MA Muhammad Zuhdi Zaini, MA
NIP. 19770120 200312 1 003 NIP. 19650817 200003 1 001
Pembimbing,
Dr. Atiyatul Ulya, MA
NIP. 19700112 199603 2 001
ii
ABSTRAK
Ana Fauziah“Nongkrong dalam Perspektif Hadis”.
Skripsi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 2014.
Penelitian ini didasari atas fenomena kebiasaan kaum remaja masa
kini, yang cenderung memilih nongkrong dan berkumpul bersama teman-
temannya untuk mengekspresikan luapan emosi. Namun, dari fenomena
nonnegatif, mulai obrolan yang tidak jelas, ledekan terhadap teman sendiri,
membicarakan kekurangan orang lain atau yang disebut dengan ghibah.
Bahkan tidak hanya itu, dalam kegiatan nongkrong terkadang ditemui
kegiatan negatif seperti: merokok, berjudi, minum-minuman keras, dan lain-
lain. Dengan kebiasaan kegiatan ini kemungkinan terbentuklah sebuah
komunitas tertentu atau disebut dengan “genk”, baik sekumpulan genk
motor, premanisme dan lain-lain. Inilah yang disebabkan kenakalan remaja
yang suka nongkrong di pinggir jalan.
Nonkrong adalah sebuah kegiatan yang melibatkan pembicaraan
segala macam hal, mulai dari yang remeh sampai yang serius. Pengertian
lain mengatakan nongkrong adalah sebuah kegiatan berkumpul yang tidak
mempunyai tujuannya
Penelitian ini berisi penggambaran nongkrong sebagaimana makna yang
terkandung dalam kitab Ṣaḥīḥ al-Bukhārī serta memberikan informasi
tambahan tentang topik yang dibahas, berkaitan dengan nongkrong di
pinggir jalan seperti Kenakalan Remaja, Problem Remaja, Kriminologi dan
Remaja. Juga menjelaskan hadis Nabi tentang tema tersebut dengan
memaparkan segala aspek yang terkandung dalam hadis tersebut serta
menerangkan makna-makna yang tercakup di dalamnya. Bahwa pada masa
nabi dahulu, kegiatana nongkrong sudah merupakan kebiasaan yang wajar.
Namun dalam hal ini, nabi memperbolehkan menongkrong dengan
ketentuan-ketentuan yang sudah nabi tentukan seperti; menjawab salam,
menundukkan pandangan, tidak mengganggu dan beramar ma’ruf nahi
munkar.
iii
KATA PENGANTAR
Kematian ini tidak akan menghilangkan seorang lelaki Akan tetapi kematian telah menghilangkan ilmunya
Sepanjang masa orang-orang bisa meminum airnya
Tapi sekarang bagaikan gelas yang kosong
Hidupnya dipenuhi dengan ilmu yang menjadikan cahaya Dan takwa yang menjadikan tujuan (Penyair: Ibn Dārid)
Puji Syukur kehadirat Allah swt., Dzat yang memberikan nikmat,
yakni hembusan nafas, pandangan mata, sehingga dapat memandang
indahnya alam semesta dan nikmat-nikmat lain yang tidak mampu dihitung
oleh hamba-Nya. Penulis panjatkan atas segala rahmat dan karunia-Nya.
Ṣalawat serta salam semoga selalu tercurahkan kepada sosok Raḥmatan li
al-‘Ālamīn, cahaya di atas cahaya, manusia paling sempurna, Nabi
Muhammad saw., Rasul penutup para Nabi, serta doa untuk keluarga,
sahabat, dan para pengikutnya hingga zaman menutup mata.
Alḥamdulillāh, berkat rahmat dan ‘inayah Allah swt. penulis dapat
menyelesaikan skripsi ini. Penyelesaian skripsi ini adalah karena
keterlibatan berbagai pihak yang jika tanpanya karya ini tidak akan
terwujud. Kepada beliau-beliau penulis menyampaikan terima kasih dan
penghargaan yang setinggi-tingginya.
Melalui upaya dan usaha yang melelahkan, akhirnya dengan limpahan
karunia-Nya lah, penulis dapat menyelesaikan skripsi ini dengan sebaik-
baiknya. Berbagai kesulitan, cobaan dan hambatan yang penulis rasakan
dalam penyusunan skripsi ini, alḥamdulillāh dapat teratasi berkat tuntunan
iv
serta bimbingan-Nya dan bantuan dari berbagai pihak. Oleh karena itu,
penulis ingin menyampaikan ungkapan rasa terima kasih yang sedalam-
dalamnya kepada:
1. Bapak Prof. Dr. Komaruddin Hidayat, selaku Rektor UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta.
2. Bapak Prof. Dr. Masri Mansoer, MA., selaku Dekan Fakultas
Ushuluddin UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, beserta para pembantu
Dekan.
3. Ibu Dr. Lilik Ummi Kaltsum, MA., selaku Ketua Jurusan Tafsir Hadis
yang baru. Bapak Jauhar Azizy, MA., selaku Sekretaris Jurusan Tafsir
Hadis.
4. Bapak Dr. Bustamin, M.Si., yang selalu tersenyum demi para
mahasiswa untuk semangat dalam belajar.
5. Ibu Dr. Atiyatul Ulya, MA., selaku pembimbing yang selalu
memberikan didikasinya kepada penulis, bersabar memberikan ilmu
dan bimbingannya selama penulis berada di bawah bimbingannya.
6. Seluruh dosen Fakultas Ushuluddin yang telah memberikan
didikasinya mendidik penulis, memberikan ilmu, pengalaman, serta
pengarahan kepada penulis selama masa perkuliahan.
7. Dan yang paling terpenting adalah kedua orang tuaku tercinta,
ayahanda Alm. H. Mifthussurur dan ibunda Hj. Atikah Hasanah, serta
Mama Tjijik Mursyidah, yang telah mengarahkan, dengan penuh kasih
sayang tanpa pamrih, tak pernah lelah dan tak bosan dalam
v
memberikan dukungan moral maupun materil, serta do’a yang selalu
membanjiri hati buah hatimu ini.
8. Suami tercinta Muhammad Zacky, anal-anakku Rufaidatul Jinan dan
Nawwal Fakhriya. Kakakku M. Fawaid - Mbak Ike dan si bungsu
Muhtar, Adik ipar Naily Yasin beserta suami, Mbak Kiki yang selalu
mensupport, Adik-adikku tercinta Fahmi dan Lukman, yang setia
antar jemput dan nemenin anak-anak saat ke kampus. mana kalian
senantiasa memberikan dukungan dan do’a.
9. Untuk sahabatku Siti Fatimah Zahro, yang senasib seperjuangan
mengarungi lika-liku kuliah dan skripsi. Dan kepada teman-teman se
angkatan 2007 Tafsir Hadis yang tidak bisa disebutkan satu-persatu
yang selalu kompak memberikan warna-warni indahnya persahabatan.
10. Kepada pihak-pihak yang turut membantu dan berperan dalam proses
penyelesaian skripsi ini, namun luput untuk penulis sebutkan, tanpa
mengurangi rasa terima kasih penulis.
Harapan penulis semoga skripsi ini sedikit banyak dapat bermanfaat
bagi pembaca dan semoga Allah swt. selalu memberkahi dan membalas
semua kebaikan pihak-pihak yang turut serta membantu penyelesaian
skripsi ini.
Āmīn yā Rabb al-Ālamīn.
Ciputat, 13 Mei 2014
vi
PEDOMAN TRANSLITERASI
A. Konsonan
gh ═ غ r ═ ر ’ ═ ء
f ═ ف z ═ ز b ═ ب
q ═ ق s ═ س t ═ ت
k ═ ك sh ═ ش th ═ ث
l ═ ل ṣ ═ ص j ═ ج
m ═ م ḍ ═ ض ḥ ═ ح
n ═ ن ṭ ═ ط kh ═ خ
w ═ و ẓ ═ ظ d ═ د
h ═ ة/ه (ayn) ‘ ═ ع dh ═ ذ
y ═ ي
B. Vokal dan Diftong
Vokal Pendek Vokal Panjang Diftong
═ a ا— ═ ā ى ═ ī
═ i ى— ═ á وو ═ aw
═ u و— ═ ū يو ═ ay
C. Keterangan Tambahan
1. Kata sandang ال (alif lam maʽrifah) ditransliterasi dengan al-, misalnya
al-dhimmah. Kata sandang (الذمة) al-āthār dan (اآلثار) ,al-jizyah (الجزية)
ini menggunakan huruf kecil, kecuali bila berada pada awal kalimat.
vii
2. Tashdīd atau shaddah dilambangkan dengan huruf ganda, misalnya al-
muwaṭṭaʽ.
3. Kata-kata yang sudah menjadi bagian dari bahasa Indonesia, ditulis
sesuai dengan ejaan yang berlaku, seperti al-Qur’an, hadis dan lainnya.
viii
DAFTAR ISI
LEMBAR PERNYATAAN .......................................................................
ABSTRAK ...................................................................................................
KATA PENGANTAR ................................................................................
PEDOMAN TRANSLITERASI ................................................................
DAFTAR ISI ...............................................................................................
BAB I PENDAHULUAN ..........................................................................
A. Latar Belakang Masalah ..........................................................
B. Pembatasaan dan Perumusan Masalah ....................................
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian ...............................................
D. Kajian Pustaka .........................................................................
E. Metodologi Penelitian .............................................................
F. Sistematika Penulisan ..............................................................
BAB II NONGKRONG DALAM PERSPEKTIF SOSIOLOGI
REMAJA ...................................................................................
A. Pengertian Nongkrong .............................................................
B. Faktor yang Menyebabkan Remaja Suka Menongkrong ........
1. Faktor Internal …………………………………………...
2. Faktor Eksternal …………………………………………
C. Dampak Positif dan Negatif dari Nongkrong ..........................
1. Ghibah (membicarakan keburukan orang lain) .................
2. Merokok ............................................................................
i
ii
iii
vi
viii
1
1
8
9
10
11
12
14
14
16
18
18
19
21
26
ix
3. Berjudi dan Minum-minuman Keras ................................
4. Terciptanya Aksi Geng Motor ..........................................
BAB III KAJIAN MATAN HADIS TENTANG NONGKRONG DI
PINGGIR JALAN ....................................................................
A. Nongkrong dalam Pandangan Hadis .......................................
1. Menundukan Pandangan ...................................................
2. Tidak Mengganggu ...........................................................
3. Menjawab Salam ...............................................................
4. Menyuruh Kebaikan dan Melarang Kejelekan .................
B. Penjelasan Faedah Hadis dan Istinbth Hukum ........................
C. Kehujjahan Hadis ....................................................................
D. Asbabul Wurud .......................................................................
BAB IV PENUTUP ....................................................................................
A. Kesimpulan ..............................................................................
B. Saran ........................................................................................
DAFTAR PUSTAKA .................................................................................
31
35
38
38
42
46
47
49
52
63
63
68
68
68
70
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Hadis1 atau Sunnah
2 merupakan salah satu sumber ajaran Islam yang
menduduki posisi yang sangat signifikan, baik secara stuktural maupun
fungsional. secara struktural menduduki posisi kedua setelah al-Qur‟an, namun
jika dilihat secara fungsional, ia merupakan bayan terhadap ayat-ayat al-Qur‟an
yang bersifat „am, mujmāl, atau muṭlāq.3
Hadis Nabi saw dalam pandangan umat Islam merupakan salah satu
sumber ajaran Islam yang secara struktural menduduki posisi kedua setelah al-
Qur‟an. Secara fungsional hadis merupakan bayan (penjelas) terfhadap al-Qur‟an.
Sehingga hadis mempunyai posisi yang sangat signifikan dan strategis dalam
menjelaskan ayat-ayat al-Qur‟an yang masih global. Oleh karena itu, sebagai
ummat Islam sangat berkepentingan untuk menggali butir-butir ajaran Islam yang
terdapat dalam hadis-hadis tersebut.4
Dalam kaitannya dengan fungsi dan kedududkan hadis Nabi terhadap al-
Qur‟an, Allah swt telah menerangkannya dalam QS. al-Naḥl/ 44:
1 Hadis berasal dari bahasa arab; al-Ḥadīth jamaknya al-Aḥādīth, al-Ḥadīthan dan al-
Ḥudthan. Secara bahasa kata ini memiliki banyak arti, antara lain: al-Jadîd (yang baru) dan al-
Khabar (kabar atau berita). Lihat Endang Soetari, Ilmu Hadis (Bandung: Amal Bakti Press, 1997),
cet. 2, h. 1. 2 Sunnah secara etimologi berarti “tata cara”. Walaupun secara bahasa Hadis dan Sunnah
berbeda, akan tetapi dari sudut terrminologis menurut ahli hadis tidak membedakan keduanya.
Menurut mereka baik berupa perkataan, perbuatan, penetapan, maupun sifat-sifat beliau dan sifat-
sifat ini baik berupa sifat-sifat fisik, moral, maupun perilaku, dan hal itu baik sebelum beliau
menjadi Nabi maupun sebelumnya. Lihat Ali Mustafa Yakub, Kritik Hadis (Jakarta: Pustaka
Firdaus, 2008), cet. Ke-5, h. 32-33. 3 Said Agil Husain al-Munawwar, Asbabul Wurud (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2002),
Cet I, h. 3. 4 Sayyid Agil Husein al-Munawwar, Studi Hadis Nabi (Jogjakarta: Pustaka Pelajar,
2001), cet. ke -1, h. 8.
2
“Dan Kami turunkan kepadamu al-Qur‟an, agar kamu menerangkan pada
umat manusia apa yang telah diturunkan kepada mereka dan supaya
mereka memikirkan,” (QS. al-Naḥl: 44).
Hadis Nabi saw sebagai penjelas al-Qur‟an, secara teologis juga dapat
memberi inspirasi untuk membantu menyelesaikan problematika yang muncul
dalam masyarakat kontemporer sekarang. Karena, bagaimanapun tampaknya
disepakati bahwa pembaharuan pemikiran Islam atau rektualisasi ajaran Islam
harus mengacu kepada teks-teks yang menjadi landasan ajaran Islam, yakni al-
Qur‟an dan hadis.5
Al-Fāruqī mengemukakan bahwa manusia adalah makhluk religius, yaitu
makhluk yang kesadarannya terfokus pada kehadiran Tuhan sebagai suatu yang
bersifat sentral. Ungkapan tersebut menegaskan bahwa bagi manusia, posisi
Tuhan adalah pusat dalam kehidupannya. Tuhan adalah tempat bergantung segala
sesuatu.6
Sudah merupakan fitrah bagi manusia untuk saling berinteraksi. Berbagi
cerita, bersenda gurau, dan bertukar pikiran, adalah hal yang wajar untuk
dilakukan. Apalagi manusia memang diperintahkan untuk saling menasehati,
saling belajar dan mengajarkan, saling meringankan beban serta kesusahan, dan
mendukung kebahagiaan satu sama lain.7
5 M. Syuhudi Ismail, Hadīts Nabi Menurut Pembela, Pengingkar dan Pemalsunya
(Jakarta: Gema Insani Press, 1995), h. 14. 6 Al-Faruqi, Prinsip-prinsip Islam (Bandung: PT Al-Ma‟arif, 1997), h. 78. 7 Agus Hery, “Nongkrong” di Pinggir Jalan Sambil Menebar Kebaikan”, artikel ini
diakses pada tanggal 23 februari 2014 dari http://alifmagz.com/?p=14258
3
Untuk memenuhi kebutuhan berinteraksi dan bersosialisasi itu, berkumpul
dengan teman atau saudara di berbagai tempat untuk menghabiskan waktu
bersama adalah hal wajar untuk saling bertukar pikiran, mengobrol dan lain
sebagainya. Salah satu tempat yang biasa digunakan untuk keperluan tersebut,
seperti yang sudah sangat umum ditemui dalam kebiasaan pergaulan masyarakat
adalah di pinggir jalan.8 Sering para laki-laki, khususnya yang berusia muda,
duduk berkumpul di pinggir jalan, menghabiskan waktu mereka sambil
mengobrol atau melakukan kegiatan lainnya. kegiatan inilah yang mengantarkan
mereka menjadi sosok yang “nakal”.
Namun banyak faktor yang menjadi pencetus dari kenakalan remaja. Salah
satu yang akan dibahas ini adalah nongkrong di pinggir jalan yang berkaitan
dengan keluarga. Keluarga merupakan sosialisasi manusia yang terjadi pertama
kali sejak lahir hingga perkembangannya menjadi dewasa. Itulah sebabnya
sebelum berlanjut kepada kenakalan remaja yang disebabkan oleh faktor yang
lebih banyak lagi, maka akan lebih baik mulai memperhatikan dari permasalahan
yang paling mendasar yaitu akibat dari nongkrong tersebut.
William J. Goode mengartikan keluarga sebagai suatu satuan sosial
terkecil yang dimiliki manusia sebagai makhluk sosial yang ditandai adanya
kerjasama ekonomi. Fungsi keluarga adalah berkembang biak, mensosialisasi atau
mendidik anak, menolong, melindungi, dan sebagainya.9 Keluarga dapat dibagi
menjadi bermacam-macam, seperti keluarga inti, keluarga besar, dan lain-lain.
8 Agus Hery, “Nongkrong” di Pinggir Jalan Sambil Menebar Kebaikan”, artikel ini
diakses pada tanggal 23 Februari 2014 dari http://alifmagz.com/?p=14258 9 William J. Goode, Sosiologi Keluarga, terj. Lailahanoum Hasyim (Jakarta: Bina Aksara,
1983), h. 44.
4
Tetapi dalam kenyataannya, lebih sering keluarga dideskripsikan dengan
gambaran keluarga inti yaitu keluarga yang terdiri dari ayah, ibu, dan saudara
kandung. Secara idealnya, keluarga adalah ayah dan ibu yang bersatu dan bahu-
membahu dalam mendidik dan membimbing. Ayah dan ibu adalah panutan anak
sejak kecil hingga remaja dan hal tersebut akan berlangsung terus menurus sampai
mereka memiliki anak lagi dan berlanjut terus seperti ini. Peran keluarga sangat
penting bagi sosialisasi anak di masa perkembangnnya.10
Berdasarkan asumsi ini,
maka keluarga memiliki peran yang sangat signifikan dalam menciptakan
individu-individu dengan berbagai macam bentuk kepribadiannya dalam
masyarakat.11
Di zaman era globalisasi dan modernisasi seperti sekarang ini kenakalan
remaja semakin mengkhawatirkan. Perlu adanya bimbingan dan pendekatan
secara psikologis agar kenakalan remaja tidak semakin parah. Banyak hal yang
menjadi penyebab kenakalan remaja, salah satu di antaranya adalah mengenai
latar belakang remaja itu sendiri. Setiap remaja memiliki lingkungan yang
berbeda-beda serta latar belakang ekonomi yang berbeda-beda, pergaulan,
keluarga, pendidikan dan seterusnya. Pergaulan yang salah menjadi salah satu
penyebab terjadinya kenakalan remaja. Apalagi di zaman sekarang ini dengan
alasan modernisasi para remaja ingin mencoba sesuatu yang seharusnya tak pantas
dikerjakan. Misalnya penggunaan obat terlarang seperti narkoba, minum-
minuman keras, pergaulan bebas dan sebagainya. Apabila kenakalan remaja
10 Abu Ahmadi, Ilmu Sosial Dasar (Jakarta: Rineka Cipta, 1997), h. 89. 11 Darmansyah, Ilmu Sosial Dasar (Surabaya: Usaha Nasional, 1986), h. 77.
5
dibiarkan begitu saja, tentu akan merusak masa depan mereka sendiri, terlebih
masa depan bangsa ini.12
Kenakalan remaja biasanya dilakukan oleh remaja-remaja yang gagal
dalam menjalani prosesproses perkembangan jiwanya, baik pada saat remaja
maupun pada masa kanak-kanaknya. Masa kanak-kanak dan masa remaja
berlangsung begitu singkat, dengan perkembangan fisik, psikis, dan emosi yang
begitu cepat. Secara psikologis, kenakalan remaja merupakan wujud dari konflik-
konflik yang tidak terselesaikan dengan baik pada masa kanak-kanak maupun
remaja para pelakunya. Seringkali didapati bahwa ada trauma dalam masa
lalunya, perlakuan kasar dan tidak menyenangkan dari lingkungannya, maupun
trauma terhadap kondisi lingkungannya, seperti kondisi ekonomi yang
membuatnya merasa rendah diri.13
Kegiatan nongkrong di pinggir jalan ini, bukannya dilarang sama sekali.
Namun, karena berada di tempat umum yang terbuka dan bersinggungan dengan
kepentingan banyak orang lain yang juga menggunakan jalan tersebut untuk
berbagai keperluan, maka ada adab-adab yang perlu diperhatikan.14
Rasulullah saw. bersabda:
ث نا عبد العزيز ي عن ابن ممد عن زيد ي عن ابن أسلم عن ث نا عبد الله بن مسلمة حد حدأن اسول الله صلى الله عل ه وسلم قال إياكم واللوس ع اا بن يساا عن أ سع د اادا
12 Didi, “Kenakalan Remaja dan Solusi Perspektif Islam”, artikel ini diakses pada tanggal
17 februari 2014 dari http://rururudididi.blogspot.com/ 13 Eva Emania Eliasa, “Kenakalan Remaja: Penyebab dan Solisinya”, artikel ini diakses
pada tanggal 25 Februari 2014 dari
http://staff.uny.ac.id/sites/default/files/tmp/Microsoft%20Word%20-
%20KENAKALAN%20REMAJA_PENYEBAB%20DAN%20SOLUSI_.pdf 14
Agus Hery, “Nongkrong” di Pinggir Jalan Sambil Menebar Kebaikan”, artikel ini
diakses pada tanggal 23 februari 2014 dari http://alifmagz.com/?p=14258
6
بال رقات قالوا يا اسول الله ما بد لنا من مالسنا ن تحدث ف ها ف قال اسول الله صلى الله عل ه وسلم إن أب تم فأع وا ال ريق حقه قالوا وما حق ال ريق يا اسول الله قال غض البصر
15.وك اا وا الس واامر بالمعروو والن ه عن المن ر
Dikisahkan oleh Abdullah Ibn Maslamah mengatakan kepada kami „Abd
al-„Azīz berarti putra Muḥammad Zaid berarti anak Aslam dari „Aṭā bin
Yasār dari Abū Sa‟id al-Hudrī bahwa Rasulullah saw bersabda: Berhati-
hatilah duduk-duduk di pinggir jalan. Para sahabat bertanya, “Ya
Rasulullah, bagi kami sesuatu yang tidak dapat kami tinggalkan. Dalam
berkumpul (majelis) itu kami berbincang-bincang.” Nabi Saw menjawab,
“Kalau memang suatu keharusan maka berilah jalanan itu haknya.”
Mereka bertanya lagi, “Apa yang dimaksud haknya itu, ya Rasulullah?”
Nabi Saw menjawab, “Palingkan pandanganmu (dari memandang kaum
wanita) dan jangan menimbulkan gangguan. Jawablah tiap ucapan salam
dan beramar ma‟ruf nahi mungkar.” (HR. al-Bukhārī dan Muslim).
Berkumpul tanpa tujuan yang jelas, tentu saja membuang waktu yang
sangat berharga dengan percuma. Ketika hal ini dilakukan di pinggir jalan, maka
tidak hanya membuang waktu, kemungkinan untuk menimbulkan keburukan juga
meningkat. Hal-hal seperti ini telah menjadi sebuah kelaziman dikalangan
remaja. Padahal remaja atau pemuda adalah harapan agama dan
bangsa. Merupakan sebuah tonggak harapan, yang menjadi agent of change,
social control dan iron stock.
Dampak negatif lain yang dapat ditimbulkan oleh orang-orang yang
melakukan aktifitas di jalan seperti duduk-duduk di pinggir jalan ialah adanya
perbuatan-perbuatan atau ucapan-ucapan yang dapat menghina dan meremehkan
orang lain. Padahal perbuatan dan perkataan seperti itu sangat bertentangan
dengan al-Qur‟an, yaitu:
15 Diriwayatkan oleh al-Bukhari dalam Kitāb al-Maẓālim (46), Bāb Afnaitu al-Dūr wa al-
Julūs Fihā (22). Lihat Muḥammad Fu‟ād „Abd al-Bāqi, Al-Lū‟lū‟ wa Marjān Fimā Ittaqafa „Alaihi
al-Shaikhānī al-Bukhārī wa Muslim, terj. Arif Rahman Hakim, Kumpulan Hadis Shahih Bukhari-
Muslim (Sukoharjo Jawa Tengah: Insan Kamil Solo, 2013), cet. 11, h. 641-642.
7
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah sekumpulan orang laki-laki
merendahkan kumpulan yang lain, boleh jadi yang ditertawakan itu lebih
baik dari mereka. dan jangan pula sekumpulan perempuan merendahkan
kumpulan lainnya, boleh jadi yang direndahkan itu lebih baik. Dan
janganlah suka mencela dirimu sendiri dan jangan memanggil dengan
gelaran yang mengandung ejekan. seburuk-buruk panggilan adalah
(panggilan) yang buruk sesudah iman dan barangsiapa yang tidak
bertobat, maka mereka itulah orang-orang yang zalim. Hai orang-orang
yang beriman, jauhilah kebanyakan purba-sangka (kecurigaan), karena
sebagian dari purba-sangka itu dosa. dan janganlah mencari-cari
keburukan orang dan janganlah menggunjingkan satu sama lain. Adakah
seorang diantara kamu yang suka memakan daging saudaranya yang
sudah mati? Maka tentulah kamu merasa jijik kepadanya. dan
bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Penerima taubat
lagi Maha Penyayang”. (QS. al-Hujurāt [49]: 11-12).
Melihat fenomena yang terjadi seperti itu, maka penting sekali untuk
mengetahui hal-hal yang mungkin dapat dijadikan sebagai pegangan dan pedoman
dalam menyikapi hal tersebut, mengingat bahwa aktifitas seperti duduk-duduk di
pinggir jalan yang sering dilakukan oleh sebagian masyarakat merupakan sesuatu
yang sudah menjadi kebiasaan.
Informasi yang menjelaskan secara tegas tentang kewajiban yang harus
dilaksanakan oleh orang-orang yang duduk-duduk di pinggir jalan dan apa saja
dampak negatif yang ditimbukan di dalamnya serta bagaimana bagaimana
perkembangan nongkrong itu sendiri dari masa kemasa. Membahas satu hadis
8
yang menjelaskan tentang nongkrong di pinggir jalan termasuk sesuatu yang
sangat penting. Karena hadis tersebut diharapkan dapat menjadi solusi untuk
menjawab salah satu problem yang dihadapi masyarakat pada masa sekarang ini.
Penelitian ini juga sekaligus dapat dijadikan sebagai bukti bahwa sumber hukum
Islam ini masih tetap relevan atau tidak jika dikontekskan pada zaman sekarang.
Dari pemaparan di atas, penulis merasa tergugah untuk melihat lebih jauh
lagi bagaimana sesungguhnya hadis memberikan landasan atau pedoman hukum
terhadap persoalan nongkrong di pinggir jalan. Oleh karena itu penulis memilih
judul “NONGKRONG DALAM PERSPEKTIF HADIS”.
B. Pembatasaan dan Perumusan Masalah
Ada banyak masalah atau dampak buruk dari kegiatan nongkrong
dipinggir jalan yang sering ditimbulkan oleh mereka atau para remaja (khususnya)
yang hobi nongkrong ini seringkali menimbulkan efek yang negatif. Semisal,
bergunjing/ghibah, merokok, berjudi, minum-minuman keras dan lain sebagainya.
Penulis dalam melakukan penelitian ini melakukan pembatasan agar dalam
penelitian ini lebih terfokus dan tidak melebar dari koridor penelitian yang penulis
lakukan.
Dalam pelacakan kata إياكم والجلوس dalam kutūb al-Sittah, penulis
menemukan terdapat dalam riwayat al-Bukhārī dalam Kitāb al-Maẓālim, Bāb
Afnaitu al-Dūr wa al-Julūs Fihā (2333 dan 2465) dan Bāb Qauluhu [Ya Iyuhā al-
Ladhīna] (6229). Riwayat Muslim dalam Bāb al-Nahy „an al-Julūs (2121 dan
5685) dan Bāb Man Ḥaq al-Julūs (2161 dan 5774). Riwayat Abī Dawūd dalam
Bāb fī al-Julūs fī al-Ṭuruqāt (4817) dan Bāb fī al-Julūs (4815).
9
Untuk menghindari pembiasan dalam memahami penelitian ini, penulis
memberikan batasan mengenai penelitian ini hanya menggunakan hadis riwayat
al-Bukhārī dalam Kitāb al-Maẓālim, Bāb Afnaitu al-Dūr wa al-Julūs Fihā. Hadis
ini yang berkaitan Nongkrong di pinggir jalan sebagai sebuah metode ilmiah
dalam tataran teoritis, bagaimana kondisi disaat hadis ini ada pada masa nabi
sehingga penulis perlu menyajikan asbabul wurud dari hadis ini untuk
menyingkronisasikannya dengan kondisi kekinian, termasuk menggali substansi
matan hadis dan muatan-muatan yang terkandung di dalamnya.
Adapun perumusan masalah dalam penelitian ini adalah bagaimana
pemaknaan nongkrong dalam pandangan hadis Nabi?
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian
Sejalan dengan permasalahan di atas, orientasi penelitian ini diarahkan
pada upaya memahami serta menganalisis kandungan hadis. Jelasnya, penelitian
ini bertujuan untuk:
1. Untuk mengetahui bagaimana pemaknaan nongkrong dalam
pandangan hadis.
Manfaat dari penulisan skripsi ini:
1. Memberikan gambaran bahwa bagaimana pemaknaan nongkrong yang
baik dan sesuai dengan anjuran nabi.
2. Agar dapat mengungkap data-data hadis yang bekaitan dengan
nongkrong di pinggir jalan dan menemukan bukti data kualitas hadis
yang dapat dijadikan pedoman.
10
3. Memenuhi tugas akhir perkuliahan untuk mencapai gelar kesarjanaan
Strata Satu (S-1) pada jurusan Tafsir Hadis Fakultas Ushuluddin dan
Filsafat Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.
D. Kajian Pustaka
Untuk menghindari terjadinya kesamaan pembahasan pada skripsi ini
dengan skripsi yang lain, terlebih dahulu penulis menelusuri kajian-kajian yang
pernah dilakukan atau memiliki kesamaan. Selanjutnya hasil penelusuran ini akan
menjadi acun penulis untuk tidaka mengangkat metodologi atau pendekatan yang
sama, sehingga kajian yang penulis lakukan tidak terkesan plagiat dari kajian yang
telah ada.
Berdasarkan pengamatan pencarian yang penulis lakukan, penulis belum
menemukan skripsi yang secara khusus membahas tentang nongkrong di pinggir
jalan dalam perspektif hadis. Hanya ada satu skripsi yang membahas tentang tema
“Hak Bagi Pengguna Jalan dalam Kitāb Sunan Abū Dawud”16
. yang mana judul
tersebut hanya menjelakan hadis tentang hak bagi pengguna jalan saja dan
meneliti atau mentakhrij sanad dan matannya.
Kajian yang penulis lakukan dalam skripsi ini berbeda dengan yang
dilakukan oleh Akhmad Nggufron, walaupun membahas tema yang hampir sama,
namun Akhmad Nggufron hanya fokus kepada pentakhrijan hadis, sedangkan
skripsi ini lebih fokus mendalami bagaimana hadis memandang kebiasaan
nongkrong yang sering dilakukan oleh masyarakat khususnya para remaja yang
16 Akhmad Nggufron “Hak Bagi Pengguna Jalan Dalam Kitab Sunan Abu Daud” (Skripsi
Program Studi Tafsir Hadis Fakultas Ushuluddin UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2010)
11
sering dijumpai di pinggir jalan, sehingga nabi perlu memberi batasan seperti apa
nongkrong yang dianjurkan. melihat dampak negatif dari nongkrong di pinggir
jalan ini sering meresahkan warga yang melintasi jalan.
E. Metodologi Penelitian
Metode penelitian adalah suatu cara atau teknis yang dilakukukan dalam
penelitian ilmiah yaitu proses dalam ilmu pengetahuan yang dijalankan untuk
memperoleh fakta-fakta dan prinsip-prinsip dengan hati-hati dan sistematis untuk
mewujudkan kebenaran.17
Untuk mencapai hasil yang optimal, sistematis, metodis, juga secara moral
dapat diperanggungjawabkan, maka sebuah penelitian atau penulisan haruslah
mempunyai metode tertentu sebagai sebuah sistem atuaran yang menentukan jalan
untuk mencapai pengertian baru pada bidang ilmu pengetahuan tertentu.
Dalam penulisan skripsi ini, penulis menggunakan Library Research
(penelitian kepustakaan), yaitu penelitian yang dilakukan dengan cara mengkaji
dan menelaah sumber atau buku-buku yang ada relevansinya dengan tema yang
akan dikaji lebih dalam.18
Karena data yang digunakan berasal dari bahan-bahan
kepustakaan. Adapun sumber penulis terbagi menjadi dua kategori, yaitu sumber
primer dan sumber data sekunder. Sumber data primernya adalah penggambaran
pemaknaan nongkrong sebagaimana makna yang terkandung dalam kitab Ṣaḥīḥ
al-Bukhārī. Sedangkan data sekunder,19
yaitu data yang memberikan informasi
17 Mardalis, Metode Penelitian Suatu Pendekatan Proposal (Jakarta: Bumi Aksara, 1995),
h. 24. 18 Suharsimi Arikunto, Prosedur Penelitian: Suatu Pendekatan Praktek (Jakarta: PT
Rineka Cipta, 1996), h. 245. 19 Winarno Surahman, Pengantar Penelitian Ilmiah (Bandung: Tarsito, 1982), h. 140.
12
tambahan tentang topik yang dibahas, berkaitan dengan nongkrong seperti
Kenakalan Remaja, Problem Remaja, Kriminologi dan Remaja serta buku-buku
yang bersifat melengkapi seperti yang sejenisnya.
Lankah pembahasan yang penulis lakukan dalam penulisan skripsi ini
adalah memakai metode deskriptif-analitis20
yaitu menjelaskan hadis Nabi tentang
pemaknaan nongkrong dalam hadis tersebut sebagaimana dalam Sharaḥ Fatḥ al-
Bārī karya Ibn Ḥajar al-Asqalānī yang penulis pilih.
Adapun pedoman yang dipergunakan dalam penulisan ini adalah buku
“Pedoman Akademik-Tehnik Penulisan Makalah dan Skripsi” yang disusun oleh
Fakultas Ushuluddin dan Filsafat UIN Syarif Hidayatullah jakarta, tahun 2006-
2007.
F. Sistematika Penulisan
Skripsi ini terbagi menjadi empat bab, setiap bab terdiri dari beberapa sub-
sub bab yang dimaksudkan untuk mempermudah dalam penyususnan serta
mempelajarinya, dengan sistematika sebagai berikut:
Bab pertama merupakan pendahuluan yang terdiri dari latar belakang
masalah, perumusan dan pembatasan masalah, tujuan dan manfaat penelitian,
metodologi penilitian, kajian pustaka dan sistematika penulisan.
Bab kedua membahas tentang Nongkrong dalam Perspekif Sosiologi
Remaja. Juga akan dibahas tentang pengertian nongkrong, faktor yang
menyebabkan seseorang/remaja suka nongkrong, dampak positif dan negatif
nongkrong, serta bagaimana cara mengatasi remaja yang suka menongkrong.
20 Nizar Ali, Memahami Hadis Nabi: Metode dan Pendekatan (Yogyakarta: YPI al-
Rahmah, 2001), h. 29.
13
Bab ketiga membahas Kajian Matan Hadis Tentang Nongkrong di Pinggir
Jalan yang meliputi di antaranya: Nongkrong dalam pandangan hadis Nabi;
seperti Menundukan Pandangan, tidak mengganggu orang yang melintas di jalan,
menjawab salam dan menyuruh kebaikan. pembahasan selanjutnya penulis juga
membahas tentang penjelasan faedah hadis dan istinbath hukum, kehujjahan
hadis, serta Asbabul Wurud hadis Nongkrong di Pinggir jalan.
Bab empat, bab ini merupakan penutup yang terdiri dari kesimpulan yang
didasarkan pada keseluruhan uraian dan pembahasan yang telah dijelaskan pada
bab-bab sebelumnya, juga memuat saran-saran yang diperlukan.
14
BAB II
NONGKRONG DALAM PERSPEKTIF SOSIOLOGI REMAJA
Pada bab ini, penulis mengulas berbagai permasalahan yang dialami oleh
kalangan remaja saat ini. Dengan ini penulis bermaksud untuk mengetahui
bagaimana kondisi remaja yang suka nongkrong, apakah ada dampak positif
ataukah ada dampak negatif yang ditimbulkan. Maka, perlu adanya kajian lebih
serius agar memberi manfaat bagi setiap kalangan. Oleh karena itu penulis
memberi gambaran sebagai berikut:
A. Pengertian Nongkrong
Pengertian nongkrong dalam kamus besar Bahasa Indonesia berasal dari
kata tongkrong/ tong.krong/me.nong.krong artinya: “ berjongkok, duduk-duduk
saja karena tidak bekerja, berada di suatu tempat1. Mira mengartikan nongkrong
sebagai kongko-kongko bersama teman, biasanya seumur, melibatkan
pembicaraan segala macam hal, mulai dari yang remeh sampai yang serius.2
Berbeda dengan Andre, ia mengartikan kata itu berarti “sedang duduk nongkrong
di suatu tempat/lokasi”. Bisa dilakukan sendiri atau dengan teman-teman.3 Selain
Mira dan Andre, Mantos mengartikan nongkong sebuah kegiatan jongkok sambil
ngobrol tidak jelas tujuannya. Bisa memakan waktu sangat lama.4 Nongkrong,
kata ini pasti sudah tidak asing lagi buat anak anak yang bisa di bilang gaul.
1 Kamus Besar Bahasa Indonesia Online, artikel ini diakses pada tanggal 11 Januari 2014
dari http://kbbi.web.id/tongkrong 2 Mira, “Arti Kata Nongrong”, artikel ini diakses pada tanggal 11 Januari 2014 dari
http://kitabgaul.com/word/nongkrong 3 Andre, “Kongkow”, artikel ini diakses pada tanggal 11 Januari 2014 dari
http://kitabgaul.com/word/kongkow 4 Mantos, “Nongkrong”, artikel ini diakses pada tanggal 11 Januari 2014 dari
http://kamusslang.com/arti/nongkrong
15
Dalam beberapa orang nongkrong itu punya arti, sebagian arti nongkrong adalah
sebagai tempat ketemu teman dan sharing dan sebagiannya lagi sedang galau.5
Dalam arti lain, nongkrong merupakan gabungan dari dua kata yaitu
„ngonkong‟ dan „nagkring‟, namu lebih dikenal sebagai kegiatan berkumpul,
berbincang, bercanda dan bersantai disuatu tempat yang dilakukan sendiri ataupun
beramai-ramai.6
Istilah nongkrong mungkin sudah tidak asing lagi dilingkungan
masyarakat, ketika mendengar kata nongkrong mungkin yang terbayang adalah
anak muda, gitar-gitaran, nyanyi-nyanyian, teriak-teriak, atau kegiatan yang
mengacu pada hal yang tidak bermanfaat atau bahkan meresahkan orang sekitar.7
Di zaman Rasulullah Budaya nongkrong ini sudah tidak bisa lagi
dilepaskan dalam lingkungan masyarakat umum. sehingga pada suatu hari Rasul
mendapati para sahabat yang asyik menongkrong di pinggir jalan. Rasul bersabda,
“Berhati-hatilah duduk-duduk di pinggir jalan”. Para sahabat menjawab, “Ya
Rasulullah, bagi kami sesuatu yang tidak dapat kami tinggalkan. Dalam
berkumpul itu kami berbincang-bincang.” Nabi saw menjawab, “Kalau memang
suatu keharusan, maka berilah jalan itu haknya.” Mereka bertanya lagi, “Apa yang
dimaksud haknya itu, ya Rasulullah?” Nabi saw menjawab, “Palingkan
pandanganmu dan jangan menimbulkan gangguan. Jawablah tiap ucapan salam
dan ber-amar ma’rūf nahī munkar.” (HR. al-Bukhārī dan Muslim)
5 Yudha Prayogi, “Arti Nongkrong”, artikel ini diakses pada tanggal 11 Januari 2014 dari
http://wekawek.blogspot.com/2012/08/arti-nongkrong.html 6 Shane, “Arti Nongkrong”, artikel ini diakses pada tanggal 15 Januari 2014 dari
http://shanexa.wordpress.com/author/shanexa/ 7 Shane, “Apa Sih itu Nongkrong”, artikel ini diakses pada tanggal 15 Januari 2014 dari
http://shanexa.wordpress.com/2013/02/13/apa-sih-itu-nongkrong/
16
Melihat penjelasan Nabi di atas, nongkrong bukanlah kegiatan yang
dilarang sama sekali dalam Islam, namun ada batasan-batasan disana yang harus
ditaati seperti menundukkan pandangan, menjawab salam dan lain sebagainya.
namun dikalangan masyarakat umum, nongkrong lebih banyak dilakukan oleh
anak-anak muda atau remaja untuk menghabiskan waktu senggang mereka. jika
saja hal yang mereka lakukan mengacu pada apa yang telah nabi anjurkan dalam
menongkrong, itu akan menjadi kegiatan nongkrong yang positif. Namun
faktanya, nongkrong tak lagi banyak memberi manfaat baik bagi pengguna jalan
ataupun warga sekitar. kejahatan seperti mabuk-mabukan, mengggoda pengguna
jalan, merokok bahkan berjudi menjadi pemandangan yang biasa ditemukan
ketika ada sekelompok orang nongkrong di pinggir jalan.
Dengan fenomena remaja yang suka nongkrong di tepi jalan, hendaklah
ada tindakan-tindakan pencegahan yang dapat mengurangi penjamuran remaja
yang suka nongkrong ini karena jika dibiarakan akan menimbulkan hal-hal yang
tidak diinginkan.
Hendaklah para remaja-remaja ini dibimbing dan dibina ke perkumpulan
ceramah-ceramah atau tausiah agama, karena selain mempererat kekuatan umat
Muslim juga akan menghindari dari dampak negatif nongkrong yang tidak
bermanfaat ini.
B. Faktor Yang Menyebabkan Remaja Suka Menongkrong
Perkembangan sosial pada masa remaja menuntut remaja untuk
memisahkan diri dari orang tuanya dan menuju ke arah teman-teman sebayanya.
Hal itu merupakan proses perkembangan remaja, yaitu bahwa secara naluriah
17
anak itu mempunyai dorongan untuk berkembang dari posisi “dependent”
(ketergantungan) ke posisi “independent” (bersikap mandiri). Melepaskan diri
dari orang tuanya merupakan salah satu bentuk dari proses perkembangan
tersebut.8 Menurut Erikson ditinjau dari perkembangan sosial menamakan proses
ini sebagai pencarian identitas diri, yaitu menuju pembentukan diri ke arah
individualitas yang mantap dimana hal ini merupakan aspek penting dalam
perkembangan diri menuju kemandirian. Remaja adalah tingkat
perkembangan anak yang telah mencapai jenjang menjelang dewasa, pada jenjang
ini kebutuhan remaja telah cukup kompleks, cakrawala interaksi sosial dan
pergaulan remaja telah cukup luas. Dalam penyesuaian diri terhadap
lingkungannya, remaja telah mulai memperlihatkan dan mengenal berbagai norma
pergaulan, yang berbeda dengan norma yang berlaku sebelumnya di dalam
keluarganya, Remaja menghadapi berbagai lingkungan, bukan saja bergaul
dengan berbagai umur. Dengan demikian, remaja mulai memahami norma
pergaulan dengan kelompok remaja, kelompok anak-anak, kelompok dewasa, dan
kelompok orang tua.
8 Syamsu Yusuf, Psikologi perkembangan Anak dan Remaja (Jakarta: Citra Press, 2001),
h. 123.
18
Kehidupan sosial remaja ditandai dengan menonjolnya fungsi intelektual
dan emosional. Remaja sering mengalami sikap hubungan sosial yang tertutup
sehubungan dengan masalah yang dialaminya. Menurut Erick Erison, bahwa masa
remaja terjadi masa krisis, masa pencarian jati diri. Dia berpendapat bahwa
penemuan jati diri seseorang didorong oleh sosiokultural.Pergaulan remaja
banyak diwujudkan dalam bentuk kelompok-kelompok, baik kelompok besar
maupun kelompok kecil.9
Faktor yang mempengaruhi kenakalan remaja terbagi menjadi dua bagian,
yakni faktor remaja itu sendiri (internal) dan faktor dari luar (eksternal).
1. Faktor Internal
Krisis identitas: Perubahan biologis dan sosiologis pada diri remaja
memungkinkan terjadinya dua bentuk integrasi. Pertama, terbentuknya perasaan
akan konsistensi dalam kehidupannya. Kedua, tercapainya identitas peran.
Kenakalan ramaja terjadi karena remaja gagal mencapai masa integrasi kedua.
Kontrol diri yang lemah: Remaja yang tidak bisa mempelajari dan
membedakan tingkah laku yang dapat diterima dengan yang tidak dapat diterima
akan terseret pada perilaku „nakal‟. Begitupun bagi mereka yang telah mengetahui
perbedaan dua tingkah laku tersebut, namun tidak bisa mengembangkan kontrol
diri untuk bertingkah laku sesuai dengan pengetahuannya.
2. Faktor Eksternal
Faktor ini sangat berpengaruh besar terhadap remaja saat ini, antara lain:
9 Sari Yunita, Fenomena dan tantangan Remaja Menjelang Dewasa (Yogyakarta:
Brilliant Books, 2011), h. 30-31.
19
a. Keluarga dan Perceraian orangtua, tidak adanya komunikasi antar
anggota keluarga, atau perselisihan antar anggota keluarga bisa
memicu perilaku negatif pada remaja. Pendidikan yang salah di
keluarga pun, seperti terlalu memanjakan anak, tidak memberikan
pendidikan agama, atau penolakan terhadap eksistensi anak, bisa
menjadi penyebab terjadinya kenakalan remaja. Ini menunjukkan
bahwa faktor yang berkenaan dengan orangtua secara umum tidak
mendukung banyak, sedangkan sikap sekolah ternyata dapat
menjembatani hubungan antara kenakalan teman sebaya dan prestasi
akademik.10
b. Teman sebaya yang kurang baik
Teman sebaya adalah hubungan individu pada anak-anak atau remaja
dengan tingkat usia yang sama serta melibatkan keakraban yang relatif
besar dalam kelompoknya.11
c. Komunitas/lingkungan tempat tinggal yang kurang baik.12
C. Dampak Positif dan Negatif dari Nongkrong
Kegiatan ini banyak sekali dilakukan oleh banyak orang bahkan hampir
semua orang. Kegiatan “nongkrong” di sini ialah berkumpul dalam suatu
kumpulan untuk menbicarakan pelajaran (berdiskusi), berkumpul untuk
melakukan ekstrakulikuler dan lain-lain. Contohnya yaitu wawasan dapat
10 Atmasasmita Romli, Problem Kenakalan Anak-anak Remaja (Bandung: Yuridis Sosk
Kriminologi, 1993), h. 56. 11 Jhon W santrock, Psikologi Pendidikan (Jakarta: Prenada Media Group, 2009), h. 114. 12 Haryanto, “Kenakalan Remaja”, artikel ini diakases pada tanggal 23 Maret 2014 dari
http://belajarpsikologi.com/kenakalan-remaja/
20
bertambah, saling memahami sesama teman, saling bertukar pikiran dengan
sesama teman “nongkrong” dan masih banyak lagi.
Tujuan utama nongkrong dalam kegiatan positif adalah meningkatkan
generasi muda yang berakhlak mulia, bermoral yang baik, berbudi pekerti yang
baik, sedangkan tujuan yang lain adalah menunjang kreavitas generasi muda dan
mengikuti semua kegiatan yang baik guna melancarkan komunikasi antarpelajar,
di samping itu pula dapat meningkatkan minat siswa dan mengembangkan bakat
pada diri siswa, namun bila dikaitkan program di sekolah tujuan “nongkrong”
yang bersifat positif yaitu:
1. Menanamkan rasa cinta kepada Sang Pencipta contohnya mengikuti
kegiatan Rohis dan Rokris.
2. Mempererat tali silaturrahmi antarpelajar.
3. Mengarahkan siswa agar tidak terjerumus pada hal-hal yang negatif.
4. Membuat siswa agar dapat bertemu dengan temannya.
5. Meningkatkan rasa kepedulian antar siswa.13
Adapun dampak nongkrong, nongkrong biasanya identik dengan
menghabiskan waktu secara sia-sia bersama dengan teman-teman. Sebenarnya
masih ada banyak kegiatan bermanfaat lain yang bisa dilakukan, namun karena
faktor solidaritas sesama teman, bisa memaksa seseorang yang tidak suka
nongkrong menjadi anak nongkrong. Orang yang gemar nongkrong akan rela
menghabiskan banyak waktunya untuk berkumpul dengan teman-temannya.
13 Suli, “Mengharap Generasi Penerus Bangsa”, artikel ini diakses pada 14 Mei 2014 dari
http://nongkrongdisiniyuk.blogspot.com/2012/05/mengharap-generasi-penerus-bangsa.html
21
Hal yang sering dijumpai ketika ada satu perkumpulan biasanya
pembahasan yang mereka bicarakan tidak luput dari membicarakan seseorang
terlebih mereka sering membahas tentang kekurangannya. inilah yang
dikhawatirkan pula oleh nabi sehingga beliau pun juga menganjurkan untuk
menjauhi nongkrong di pinggir jalan sebab tepi jalan adalah majelis setan seperti
hadis beliau yang berbunyi;
ا ف إا الن اإا( ا الن ن ف اإ ا س سيإ ا إ ن ا ف إ ن ف ا ف إ يل14
.(
“Sesungguhnya (tepi) jalanan itu adalah salah satu dari jalan-jalan setan
atau neraka”.
Berkumpul tanpa tujuan yang jelas, tentu saja dapat menyebabkan
membuang waktu yang sangat berharga dengan percuma. Ketika hal ini
dilakukan di pinggir jalan, maka tidak hanya membuang waktu, kemungkinan
untuk menimbulkan keburukan juga meningkat. Beberapa kegiatan/aktivitas yang
dilakukan oleh orang-orang yang suka nongkrong:
1. Ghibah (membicarakan keburukan orang lain)
Nongkrong adalah tempat faforit untuk berkumpul bersama teman-teman.
Banyak hal yang dilakukan disaat menongkrong salah satunya adalah mengobrol,
biasanya obrolan yang paling asyik diperbincangkan adalah menceritakan
kejelakan seseorang. Seorang muslim menggunjing saudaranya sesama muslim
tanpa merasa berdosa sedikitpun. Mereka asyik dengan gunjingannya itu, dan
puas mengupas tuntas kejelekan, kelemahan, dan kesalahan saudaranya, yang
14 Lihat Fatḥ al-Bārī, 11/12-13
22
semestinya dicintai, dikasihi dan dijaga nama baiknya karena Allah. Inilah yang
disebut dengan ghibah.
Secara bahasa, kata “ghibah” (غ ة) berasal dari akar kata “ghāba,
yaghību” ( yang artinya tersembunyi, terbenam, tidak hadir, dan tidak (غ بايغ ب
tampak. Kita sering menyebut kata “ghaib”, yang berarti tidak hadir.
Pengertian ghibah secara istilah adalah mengatakan sesuatu yang benar
tentang seseorang di belakangnya tetapi hal itu tidak disukai oleh orang yang
dibicarakan.15
Atau dalam definisi lain ghibah diistilahkan dengan perbuatan
membicarakan sesuatu yang terdapat pada diri seorang Muslim, sedang ia tidak
suka (jika hal itu disebutkan) baik dalam soal jasmaniahnya, agamanya,
kekayaannya, hatinya, akhlaknya, bentuk lahiriahnya dan sebagainya.
Sebagaimana definisi ini telah diterangkan dalam sebuah hadis:
ث نا إساعيل عن العالء عن أبيو عن أب ىري رة أن ث نا يي بن أيوب وق ت يبة وابن حجر قالوا حد حدذكرك » قال . قالوا اللو ورسولو أعلم . «أتدرون ما الغيبة » قال - صلى اهلل عليو وسلم-رسول اللو
إن كان فيو ما ت قول ف قد اغتبتو وإن » قيل أف رأيت إن كان ف أخى ما أقول قال . «أخاك با يكره 16.«ل يكن فيو ف قد ب هتو
Dikisahkan Yaḥya bin Ayyūb dan Qutaiba dan Ibn Ḥajar mengatakan
Ismā‟īl memberitahu kami tentang Ala dari ayahnya dari Abu Hurairah
bahwa Rasulullah saw telah bersabda: “Apakah kalian mengetahui apa itu
ghibah?” Para sahabat menjawab, “Allah dan Rasul-Nya lebih
mengetahui.” Beliau bersabda: “(Ghibah itu) adalah engkau mengatakan
tentang saudaramu mengenai apa yang ia benci.” Dikatakan kepada beliau:
“Apakah pendapatmu jika yang ada pada saudaraku sesuai apa yang saya
katakan.” Beliau bersabda: “Jika yang ada padanya sesuai apa yang
engkau katakan, maka itulah ghibah, dan jika tidak sesuai yang ada
padanya, maka sungguh engkau telah mendustakannya.” (HR. Muslim).
15 Ahmad Syahrin Thoriq, “Ghibah”, artikel ini diakses pada 1 Februari 2014 dari
http://nahnudai.blogspot.com/ 16 Muslim, Ṣaḥīḥ Muslim, bāb Taḥrim al-Ghaibah, juz 8, h. 21.
23
Shaikh Abū Isḥāq al-Ḥuwainī menjelaskan dalam sebuah atsar disebutkan
bahwa Ibn Mas‟ūd ra berkata:”Ghibah adalah engkau menyebutkan apa yang kau
ketahui pada saudaramu, dan jika engkau mengatakan apa yang tidak ada pada
dirinya berarti itu adalah kedustaan”,17
Contoh ghibah misalnya kita mengatakan
tentang seseorang: ”Dia dari keturunan orang rendahan, atau dia akhlaknya jelek,
orang yang pelit, atau dia pendusta, dia tukang makan atau dengan perkataan „si
fulan lebih baik dari pada dia‟ dan lain-lain.
Ulama sepakat tentang keharaman perbuatan ghibah. Bahkan sebagian
para ulama ahli tafsir dan ahli fiqih berpendapat bahwa ia termasuk dari golongan
dosa besar. Imām al-Qurṭubī menjelaskan dalam tafsirnya, “Tidak ada perbedaan
pendapat dikalangan para ulama bahwa ghibah termasuk dosa besar, dan barang
siapa mengghibah seseorang, maka ia harus bertaubat kepada Allah.18
Sebagaimana firman-Nya:
ااا ا اا اا ا اااااا ا
ا ااا ا ا ا اا ا اا ا اا ا ا
ا ااااا
Hai orang-orang yang beriman, jauhilah kebanyakan purba-sangka
(kecurigaan), karena sebagian dari purba-sangka itu dosa. dan janganlah
mencari-cari keburukan orang dan janganlah menggunjingkan satu sama
lain. Adakah seorang diantara kamu yang suka memakan daging
saudaranya yang sudah mati? Maka tentulah kamu merasa jijik
kepadanya. dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha
Penerima taubat lagi Maha Penyayang. (QS. al-Hujurāt: [49]:12)
17 Kitab al-Samt no 211, berkata Shaikh Abū Isḥāq al-Ḥuwainī: “Rijal-nya (para
perawinya) thiqah (terpercaya)” 18 Abū „Abdillāh Muḥammad al-Qurṭubī, al-Jāmi’ li Aḥkām al-Qur’ān, terj.
Fathurrahman dan Ahmad Hotib, Ta‟līq: Muḥammad Ibrahīm al-Hifnawī, takhrīj: Maḥmūd Ḥamid „Uthmān, (Jakarta: Pustaka Azzam, 2008), juz 16, h. 109.
24
Dari ayat yang telah disebutkan Allah swt telah menyamakan ghibah
dengan perbuatan kanibal, yakni memakan daging sesama manusia yang bahkan
telah menjadi bangkai. Ini adalah gambaran sangat buruknya ghibah seperti
buruknya kanibalisme yang juga amat sangat dibenci oleh jiwa manusia.
Gambaran buruknya perbuatan ghibah juga diberikan oleh Rasulullah
dalam sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Qais: „Amrū bin Al-„Aṣ ra melewati
bangkai seekor bighal (hewan hasil persilangan kuda dengan keledai), lalu beliau
berkata, “Demi Allah, salah seorang dari kalian memakan daging bangkai ini
(hingga memenuhi perutnya) lebih baik baginya daripada ia memakan daging
saudaranya (yang Muslim).” (HR. al-Bukhārī).19
Al-Ᾱmīr al-Ṣan‟ānī menjelakan sebagaimana al-Zarkashī berkata: “Dan
sungguh aneh orang yang menganggap bahwasanya memakan bangkai dan daging
manusia sebagai dosa besar, (tetapi) tidak menganggap bahwasanya ghibah juga
sebagai dosa besar, padahal Allah menempatkan ghibah sebagaimana memakan
bangkai daging manusia. Hadis-hadis yang memperingatkan ghibah sangat
banyak sekali yang menunjukan kerasnya pengharaman ghibah.20
Imām al-Ghazālī dan Imām al-Baihāqī meriwayatkan sebuah hadis bahwa
Rasulullah saw bersabda, “Janganlah sekali-kali kamu melakukan pergunjingan,
karena pergunjingan itu lebih berat dari perzinaan. Karena, jika seseorang yang
berzina kemudian bertobat maka Allah mengampuninya. Sedangkan penggunjing
19 Lihat al-Qurṭubī, al-Jāmi’, h. 110. 20 Muḥammad bin al-Amīr al-Ṣan‟ānī, Subūl al-Salām Syarah Bulūgh al-Marām (Beirut:
Dār Ibn Jauzī, 1421), 45.
25
tidak akan diampuni Allah, sebelum orang yang digunjingkan itu
memaafkannya.”
Adapun bahaya ghibah sebagaimana peringatan Allah dan Rasul-Nya
tentang larangan berbuat ghibah dalam kehidupan, karena dapat merusak
hubungan persaudaraan sesama Muslim (ukhuwah islāmīyah). Padahal kita
diperintahkan untuk saling bersaudara, saling menghargai, dan saling
menguatkan.
Ghibah dapat merusak keharmonisan keluarga, tetangga, teman sekerja
dan siapapun, bahkan dapat memecah-belah dan meruntuhkan sebuah organisasi
atau negara. Sejarah telah membuktikan, bagaimana sebab-sebab terjadinya
perpecahan yang melanda umat Islam dulu dan sekarang di antaranya adalah
ketika ghibah sudah meraja-lela.
Rasulullah saw pernah naik ke atas mimbar dan menyeru dengan suara
yang lantang:
سلمي وال ت عي روا وال ت تبعوا عوراتم يا معشر من آمن بلسانو ول ي فض اإليان إل ق لبو ال ت ؤذوا امل
ف نو من ي تب عورة أخيو المسلم ت تب اهلل عورتو ومن ي تب اهلل ي ف و لو ولو و رحلو
“Wahai segenap manusia yang masih beriman dengan lisannya, namun
iman itu belum meresap ke dalam hatinya, janganlah kalian menyakiti
kaum muslimin, dan janganlah kalian melecehkan mereka, dan janganlah
kalian mencari-cari kesalahan-kesalahan mereka. Karena sesungguhnya
barangsiapa yang sengaja mencari-cari kejelekan saudaranya sesama
muslim maka Allah akan mengorek-ngorek kesalahan-kesalahannya. Dan
barang siapa yang dikorek-korek kesalahannya oleh Allah maka
pasti akan dihinakan, meskipun dia berada di dalam bilik
rumahnya.” (HR. al-Tirmidhī)
26
Demikian juga ghibah bisa menyebabkan rusaknya akhlaq, hati dan
jatuhnya kehormatan seorang muslim. Padahal kita diperintahkan untuk menjaga
hal-hal tersebut dari kerusakan.
2. Merokok
Di antara kemaksiatan yang tersebar di tengah masyarakat Muslim dan
banyak orang yang terjebak padanya adalah perbuatan nongkrong dibarengi
dengan ghibah dan merokok. Tidak tersembunyi bagi orang yang memahami
(maqaṣid sharī’ah) kemaslahatan yang diinginkan oleh syari‟at bahwa merokok
adalah perbuatan yang diharamkan, hal itu dilihat dari beberapa segi:
Pertama; Rokok termasuk barang yang buruk dan Allah swt telah
berfirman:
ا ا ا ا ااا ا ا ا ا ا
ا ا اا ا اا ا اا ا ا
ا ا ا ا ااا ااا ا ا ا
اا ا اا اا ااااا
“(yaitu) orang-orang yang mengikut rasul, Nabi yang Ummi yang
(namanya) mereka dapati tertulis di dalam Taurat dan Injil yang ada di
sisi mereka, yang menyuruh mereka mengerjakan yang ma'ruf dan
melarang mereka dari mengerjakan yang mungkar dan menghalalkan
bagi mereka segala yang baik dan mengharamkan bagi mereka segala
yang buruk dan membuang dari mereka beban-beban dan belenggu-
belenggu yang ada pada mereka. Maka orang-orang yang beriman
kepadanya. memuliakannya, menolongnya dan mengikuti cahaya yang
terang yang diturunkan kepadanya (al-Qur’an), mereka Itulah orang-
orang yang beruntung.” (QS. al-A‟rāf: 157)
27
Tidak diragukan lagi bahwa merokok termasuk keburukan, dan tidak ada
yang mengingkari bahayanya kecuali orang yang sombong, atau orang yang
mengikuti hawa nafsu, dan banyak orang meminum khamar serta kecanduan
dengan obat-obat terlarang karena diawali oleh rokok lalu berkembang kepada
yang labih bahaya, sekalipun mereka telah diingatkan: bahwa penelitian medis
menunjukkan 80% dari orang yang kecanduan obat-obat terlarang dimulai dari
merokok.
Kedua; Merokok adalah bentuk menjerumuskan diri pada kehancuran.
Allah swt berfirman: “...dan janganlah kamu menjatuhkan dirimu sendiri ke
dalam kebinasaan dan berbuat baiklah, sesungguhnya Allah mencintai orang-
orang yang berbuat kebaikan”.(QS. al-Baqarah: 195).
Di dalam al-Ṣaḥīhainī dari Abī Hurayrah ra bahwa Nabi Muhammad saw
bersabda, “Barangsiapa yang menelan racun lalu dia membunuh dirinya dengan
racun tersebut, maka racun itu akan berada pada tangannya yang akan
ditelannya di dalam api nerakan Jahannam dia kekal untuk selamanya padanya,
dan barangsiapa yang membunuh dirinya dengan besi, maka besi itu di
tangannya yang akan memukul perutnya di dalam neraka Jahannam untuk
selama-lamanya”.21
Di dalam al-Ṣaḥīhainī dari Thābit al-Dhahāk bahwa Nabi
Muhammad saw bersabda, “Barangsiapa yang membunuh dirinya dengan sesuatu
di dunia maka dia akan disiksa dengannya pada hari kiamat”.22
Dan tidak diragukan lagi bahwa apabila orang yang merokok mati
disebabkan oleh rokok tersebut maka dia dianggap telah membunuh dirinya
21 Al-Bukhārī no: 5778 dan Muslim: no: 109 22 Al-Bukhārī no: 6105 dan Muslim: no: 110
28
dengan kandungan racun yang terdapat di dalam rokok sekalipun proses
terbunuhnya tersebut agak lambat, sebab tidak ada perbedaan antara para ulama
bahwa orang yang melangkah untuk membunuh dirinya baik dia mati dengan
cepat atau lambat, dia tetap berdosa dengan perbuatannya tersebut.
Ketiga: Merokok dapat mengganggu kesehatan badan. Dan para dokter
telah memperingatkan dengan keras terhadap akibat merokok ini, mereka berkata,
“Rokok tersebut mengandung beberapa unsur racun, di antaranya adalah racun
nikotin, dan seandainya dua tetes racun ini diteteskan pada mulut anjing maka dia
pasti mati pada saat yang sama, dan jika diteteskan pada mulut onta sejumlah lima
tetes maka dia akan mati pada saat yang sama dan seorang dokter pernah berkata,
“Sesungguhnya jumlah nikotin yang teradapat pada satu batang rokok sudah
cukup untuk membunuh manusia jika dituangkan pada manusia melalui urat leher,
dan disebutkan dalam sebuah cerita bahawa dua orang bersaudara saling bertaruh
siapakah di antara mereka berdua yang paling banyak merokok, maka salah
seorang dari mereka mati sebelum mengisap rokok yang ke tujuh belas dan yang
lain sebelum habis mengisap rokok yang ke delapan belas.
Di antara penyakit yang ditimbulkan oleh merokok adalah penyakit
kanker. Para dokter berkata, “Sesungguhnya banyak para penderita kanker yang
mengidap penyakit ini disebabkan oleh merokok, begitu juga dengan penyakit
lever dan saluran alat pernapasan. Diriwayatkan oleh Imām Aḥmad di dalam
musnadnya dari Ibn Abbās bahwa Nabi Muhammad saw bersabda, “Tidak ada
mudharat dan memudharatkan orang lain”.23
23 Musnad Imām Aḥmad: 1/313
29
Keempat: Mengisap rokok adalah bentuk menyia-nyiakan harta.
Allah swt berfirman: “Sesungguhnya pemboros-pemboros itu adalah saudara-
saudara setan dan setan itu adalah sangat ingkar kepada Tuhannya.(QS. al-Isrā‟:
27). Tidak diragukan lagi bahwa perokok adalah orang yang paling pemboros,
seandainya kita melihat seseorang yang sedang memegang uang di tangannya lalu
dia membakarnya maka kita akan mengatakan bahwa dia gila.
Diriwayatkan oleh al-Turmudhī di dalam sunannya dari Abī Barzah al-
Aslāmī bahwa Nabi Muhammad saw bersabda, “Tidak akan melangkah dua kaki
seorang hamba pada hari kiamat sehingga dia akan ditanya tentang umurnya di
manakah dia habiskan, tentang ilmunya apakah yang diperbuat dengannya,
tentang hartanya dari manakah dia dapatkan dan kemanakah disalurkan”.24
Kelima: Bahaya merokok tidak hanya terhenti pada pelakunya, bahkan
bahayanya bisa menyebar kepada istrinya, anak-anaknya, keluarga dan teman
duduknya dan hal itu telah diakui oleh para dokter, bahkan tindakan ini telah
membawa pada tercemarnya udara dengan gas beracun yang dipancarkannya, dan
telah dijelaskan dalam hadits sebelumnya: Tidak ada mudharat dan
memudharatkan orang lain”.25
Keenam: Merokok akan menimbulkan bau tidak sedap yang bersumber
dari mulut, badan dan pakaian perokok, dia akan menganggu teman duduknya,
terlebih pada saat memasuki mesjid dan bercampur dengan orang-orang yang
shalat. Nabi Muhammad saw telah memerintahkan kepada orang yang
menebarkan bau bawang untuk keluar dari mesjid, padahal kedua barang tersebut
24 Al-Turmudhī dalam Sunannya: 4/612 no: 2426 25 Musnad Imām Aḥmad: 1/313
30
dihalalkan oleh Allah swt, lantas sekeras apakah larangannya jika perkara tersebut
berkaitan dengan perokok?. Dan Nabi Muhammad saw bersabda, “Barangsiapa
yang telah memakan bawang merah dan bawang putih serta bawang bakung
maka janganlah dia mendekati mesjid kita, sebab para malaikat merasa
terganggu dengan sesuatu yang bisa menganggu anak Adam”.26
Di antara perkara yang perlu diingat bahwa harus memboikot semua toko-
toko yang menjajakan racun kepada manusia, dan sebaliknya mendukung toko-
toko yang tidak menjual rokok, dan inilah bentuk kerja sama dalam urusan
kebaikan dan taqwa. Allah swt berfirman: Dan tolong-menolonglah kamu dalam
(mengerjakan) kebaikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat
dosa dan pelanggaran. Dan bertakwalah kamu kepada Allah, sesungguhnya Allah
amat berat siksa-Nya. (QS. al-Mā‟idah: 2)
Sebagian orang terkadang berkata: Aku tidak bisa meninggalkan rokok,
maka dikatakan kepadanya: Anda mampu meninggalkan rokok pada bulan
ramadhan lebih dari sepuluh jam, maka masalahnya adalah membutuhkan tekad
dan keinginan yang kuat, banyak orang yang telah mencobanya dan merasa bosan
pada saat pertama, namun karena Allah swt telah mengetahui kebaikan niatnya
maka Dia membantunya dan akhirnya meninggalkan merokok. Allah swt
berfirman: Dan orang-orang yang berjihad untuk (mencari keridhaan)
Kami, benar-benar akan Kami tunjukkan Kepada mereka jalan-jalan Kami. Dan
sesungguhnya Allah benar-benar beserta orang-orang yang berbuat baik. (QS.
al-Ankabūt: 69)
26 Ṣaḥīḥ Muslim: no: 564 dan Ṣaḥīḥ al-Bukhārī: no: 854
31
Terdapat banyak klinik untuk menanggulangi kecanduan merokok, yang
dikelola oleh orang-orang profesional, dan Allah swt memberikan manfaat dengan
keberadaanya sebab banyak para pecandu rokok meninggalkan rokok setelah
mereka mendatangi poliklinik ini dan berobat dengan semestinya.
Diriwayatkan oleh Imām Aḥmad dari Abī Qatadah dan Abī Daḥma‟
bahwa Nabi Muhammad saw bersabda, “Sesungguhnya tidaklah engkau
meninggalkan sesuatu karena Allah kecuali Dia akan menggantikan bagimu
dengan sesuatu yang lebih baik darinya”.27
3. Berjudi dan Minum-minuman Keras
Secara etimologi, khamr berasal dari kata “khamar” (ف ف فا ) yang bermakna
satara (ف ف فا ), artinya menutupi. Sedang khammara (ف ن فا ) berarti memberi ragi.
Adapun al-khamr diartikan arak, segala yang memabukkan.28
Adapun menurut
tafsir al-Lubāb terdapat empat sebab mengapa disebut khamr. Pertama karena
menutupi akal, kedua dari kata “khimār” yang bermakna menutupi
wanita, ketiga dari “al-khamaru” yang berarti sesuatu yang bisa dipakai
bersembunyi dari pohon dan tumbuhan atau dengan kata lain semak-semak, dan
yang keempat dari “Khāmir” yang bermakna orang yang menyembunyikan
janjinya.29
Secara terminologi, terdapat berbagai qaul ulama mengenai pengertian
khamr. Di dalam tafsir al-Alūsī, disebutkan bahwa makna khamr ialah zat yang
27 Musnad Imām Aḥmad dan sanadnya shahih dengan syarat Muslim: 1/62 28 Ahmad Warson Munawwir, Al-Munawwir Kamus Arab-Indonesia (Surabaya: Pustaka
Progresif, 1997), h. 368 29 Tafsir al-Lubāb dalam CD ROM al-Maktabah al-Syamilah (Pustaka Ridwan:2008), h.
57.
32
memabukkan dan terbuat dari sari anggur atau semua zat (minuman) yang dapat
menutupi dan menghilangkan akal (هوا ا سك ا ا خذا اعص ا اعلبا اكيا ايخ ا اعقيا
.( يغ ها ا ألش بة30
Sedangkan menurut pendapat Abū Ḥanifah, yang dimaksud khamr adalah
nama jenis minuman yang dibuat dari perasan anggur sesudah dimasak hingga
mendidih serta mengeluarkan buih dan kemudian menjadi bersih kembali. Sari
dari buih itulah yang memabukkan.31
Dengan definisi ini kita dapat menarik
kesimpulan bahwa menurut Abū Ḥanifah jenis minuman yang tidak terbuat dari
anggur tidak disebut khamr melainkan masuk kategori nabīdz (ذ ). Ini juga
merupakan pendapat ulama-ulama Kuffah, al-Nakhā‟ī, al-Thaurī dan Abī Lailā.
Namun menurut penulis sendiri, baik itu khamr maupun nabīdz ketika
mengandung zat yang dapat memabukkan dan menghilangkan akal, maka
hukumnya sama saja, yaitu haram. Sebagaimana sabda Rasulullah ketika ditanya
Ᾱ‟ishah tentang hal tersebut:
ث نا أبو اليمان أخب رنا شعيب عن الزىرى قال أخب رن أبو سلمة بن عبد الرحن أن عائشة - حدعن البت وىو نبيذ العسل ، - صلى اهلل عليو وسلم - قالت سئل رسول اللو - رضى اهلل عنها
كل شراب أسكر ف هو » - صلى اهلل عليو وسلم - وكان أىل اليمن يشربونو ، ف قال رسول اللو .« حرام
Dikisahkan Abū al-Yamān mengatakan kepada kami Shu‟aib dari Zuhrī
mengatakan kepadaku Abū Salamah bin Abd al-Raḥmān meriwayatkan
dari Ᾱ‟ishah ra, ia berkata, pernah ditanyakan kepada Rasulullah saw.
tentang bit'u (minuman keras yang terbuat dari madu dan biasa dikonsumsi
30 Al-Alūsi, Rūḥ al-Ma’ānī dalam CD ROOM al-Maktabah al-Syamilah (Pustaka
Ridwan, 2008) h. 123. 31 Al-Alūsi, Rūḥ al-Ma’ānī dalam CD ROOM al-Maktabah al-Syamilah (Pustaka
Ridwan, 2008), h. 167.
33
penduduk Yaman). Lantas Rasulullah saw. bersabda, “Semua minuman
yang memabukkan hukumnya haram.”32
ا
Yang menjadi illat pada hadits tersebut adalah “memabukkan”. Oleh
karena itu, minum nabīdz selagi tidak memabukkan itu dipebolehkan. Adapun
hadis yang memperbolehkan meminum nabīdz adalah sabda Rasulullah yang
diriwayatkan dari Muslim:
ث نا ضرار بن مرة أبو سنان عن مارب د بن ف يل حد ث نا مم د بن عبد اللو بن ني حد ث نا مم وحدن هيتكم عن » - صلى اهلل عليو وسلم-بن دثار عن عبد اللو بن ب ريدة عن أبيو قال قال رسول اللو
33.«النبيذ إال ف سقاء فاشربوا ف األسقية كلها وال تشربوا مسكرا
Sedangkan menurut al-Thabari dalam tafsirnya, al-khamr ialah segala
jenis minuman yang dapat menutupi akal كياش با ا اعقيا س ها اغ ىاعل ه.34
Adapun menurut jumhur ulama‟ (Mālikī, Shāfi‟ī dan Ḥanbalī), yang dimaksud
dengan khamr ialah semua zat/barang yang memabukkan baik sedikit maupun
banyak. Hal ini sesuai dengan hadis Rasulullah saw dari Ibn „Umar:
ث نا يي د بن حات قاال حد د بن المث ن ومم ث نا مم عن عب يد اللو أخب رنا - وىو القطان - وحدكل مسكر خر وكل » قال - صلى اهلل عليو وسلم-ناف عن ابن عمر قال وال أعلمو إال عن النب
35.«خر حرام
Menceritakan Muḥammad bin al-Muthannā dan Muḥammad bin Ḥatim
mengatakan kepada kami Yaḥyā al-Qaṭṭān dari „Ubaidillah mengatakan
Nāfi‟ dari Ibn „Umar berkata, aku tahu tidak hanya tentang Nabi saw
bersabda: Setiap yang memabukkan adalah khamr dan setiap khamr itu
haram. (HR. Muslim).
32 Lihat Ṣaḥīḥ al-Bukhārī, hadits no. 5158. 33 Muslim, Ṣaḥīḥ Muslim, bāb al-Nahī „an al-Intibādhī, juz 13, no. 286. 34 Ibn Jarīr al-Ṭabarī, Tafsīr al-Ṭabarī dalam CD ROOM al-Maktabah al-Syamilah
(Pustaka Ridwan:2008) h. 34. 35 Lihat Ṣaḥīḥ Muslim, hadits no. 3735.
34
Setidaknya ada 26 sahabat yang meriwayatkan hadits tersebut dengan
berbagai macam lafaznya.
Kemudian al-Maysir, dalam bahasa Arab, judi disebut ا س , yang berasal
daripada akar kata yasira atau yasura yang bererti menjadi mudah
atau yasara (memudahkan). Hal ini dapat difahami kerana judi menjanjikan
keuntungan tanpa melalui cara yang wajar sebagaimana diajarkan dalam Islam.
Muḥammad Rashīd Riḍā, cendekiawan Islam yang berasal dari Mesir
menafsirkan kata maysir dalam al-Qur‟an sebagai permainan untuk mencari
keuntungan tanpa menggunakan akal dan bekerja keras.36
Al-Maisir (perjudian) terlarang dalam syariat Islam, dengan dasar al-
Qur‟an, al-Sunnah, dan ijma‟. Dalam al-Qur‟an, terdapat firman Allah swt,
ااا ا ا ا ا ا اا ا ا
ا ا ااااا
Hai orang-orang yang beriman, Sesungguhnya (meminum) khamar,
berjudi, (berkorban untuk) berhala, mengundi nasib dengan panah,
adalah Termasuk perbuatan syaitan. Maka jauhilah perbuatan-perbuatan
itu agar kamu mendapat keberuntungan. (QS. al-Ma‟idah: 90).
Dari al-Sunnah, terdapat sabda Rasulullah saw dalam Ṣaḥīḥ al-Bukhārī,
ث نا الليث عن عقيل عن ابن شهاب قال أخب رن حيد بن عبد الرحن أن ث نا يي بن بكي حد حدمن حلف منكم ف قال ف حلفو بالالت » - صلى اهلل عليو وسلم - أبا ىري رة قال قال رسول اللو
.«ف ليتصد . ومن قال لصاحبو ت عال أقامرك . ف لي قل ال إلو إال اللو . والعزى
Menceritakan Yahya bin Bakir memberitahu kami Laith tentang „Aqīl Ibn
Shihāb mengatakan, mengatakan kepada saya Ḥumaid bin „Abd al-
36 Rahman, “Pengertian Berjudi dalam Islam dan Jenis Berjudi” artikel ini diakses pada
tanggal 12 Februari 2014 dari http://hildadamayanti48.wordpress.com/2012/09/15/pengertian-berjudi-dalam-islam-dan-jenis-berjudi/
35
Raḥmān sesungguhnya Abū Hurayrah berkata: Rasulullahsaw bersabda:
“Barangsiapa yang menyatakan kepada saudaranya, „Mari, aku bertaruh
denganmu.‟ maka hendaklah dia bersedekah.” (HR. Bukhārī dan
Muslim).37
4. Terciptanya Aksi Geng Motor
Berawal dari sekedar nongkrong, anak-anak muda yang mengatas
namakan solidaritas akan menciptakan satu perkumpulan demi mendukung aksi
mereka. Menurut beberapa psikolog, remaja itu cenderung hidup berkelompok
(geng) dan selalu ingin diakui identitas kelompoknya di mata orang lain. Oleh
sebab itu, sikap perilaku yang muncul diantara mereka itu sulit untuk dilihat
perbedaannya. Tidak sedikit para remaja yang terjerumus ke dunia hitam, karena
pengaruh teman pergaulannya. Karena takut dikucilkan dari kelompok/gengnya,
maka seorang remaja cenderung menurut saja dengan segala tindak-tanduk yang
sudah menjadi konsensus anggota geng tanpa berfikir lagi plus-minusnya.
Maraknya kriminalitas yang dilakukan geng motor terjadi akibat rasa
frustasi para remaja yang tidak dapat menyalurkan energinya. “Kita harus melihat
fenomena kriminalitas geng motor ini secara menyeluruh. Fenomena sosial ini
terjadi akibat perilaku atau tindakan kekerasan yang dicontohkan oleh orang
dewasa, termasuk guru dan orang tua serta media yang ditonton masyarakat,” ujar
Ketua Komisi Nasional (Komnas) Perlindungan Anak Aris kepada Republika,
Jumat (21/2).
Lebih lanjut Aris mengatakan, anak-anak dan remaja yang tidak dapat
menyalurkan energinya ke arah positif akan cenderung mendaur ulang perilaku
kekerasan yang dicontohkan oleh orang dewasa.
37 Al-Bukhārī, Ṣaḥīḥ al-Bukhārī, bāb kullu lahwī bi ithli idza shahalihi, juz 21, no. 74.
Muslim, Ṣaḥīḥ Muslim, bāb man ḥalafa bi illati wa al-izzī, juz 5, no. 81.
36
Mereka mengimplementasikan perilaku kekerasan itu dalam berbagai
bentuk, misalnya perkumpulan geng motor, pencurian, mabuk-mabukan dan
bentuk kriminalitas lainnya.
Untuk mengatasi kenakalan remaja, termasuk kriminalitas geng motor,
tutur Aris, diperlukan pengembangan ketahanan keluarga yang kuat dari segi
pendidikan agama, etika, moral dan rumah yang ramah terhadap perilaku
anak. Dengan ketahanan keluarga yang kuat, jelas Aris, anak-anak tidak akan
mudah terjerumus melakukan tindakan kriminal.38
Kemudian kita harus mengenal apa itu Geng Motor? Pengertian geng
motor adalah sekumpulan orang memiliki hobi bersepeda motor yang membuat
kegiatan berkendara sepeda motor secara bersama sama baik tujuan konvoi
maupun touring dengan sepeda motor. pengertian geng motor ini sebenarnya
berawal dari sebuah kecenderungan hobi yang sama dari beberapa orang, namun
belakangan geng motor semakin meresahkan masyarakat.
Pengertian geng motor memang melekat dengan kekerasan, hal ini karena
beberapa geng motor belakangan telah berubah dari kumpulan hobi mengendarai
motor menjadi hobi menganiaya orang, hingga hobi melakukan aksi perampokan.
Geng motor awalnya berkembang di kota bandung, namun sekarang geng motor
bisa kita temukan hampir di setiap kota seperti Jakarta, Surabaya, Medan bahkan
merembet ke kota-kota kecil seperti kediri, malang, siantar dan sebagainya.
Semua geng motor sebaiknya dimusnahkan saja, sebab tidak memiliki manfaat
38 Januri, “Kriminalitas Geng Motor Akibat Rasa Frustasi Remaja” artikel ini diakses
pada tanggal 14 Februari 2014 dari http://www.republika.co.id/berita/nasional/jabodetabek-nasional/14/02/21/n1by5d-kriminalitas-geng-motor-akibat-rasa-frustasi-remaja
37
apapun bagi masyarakat, bahkan hanya menyebabkan kenakalan remaja yang
parah, juga bahkan menyebabkan pemborosan BBM.39
39 Siraj “Pengertian Geng Motor-Kenakalan Remaja”, artikel ini diakses „pada tanggal 30
februari 2014 dari http://www.kemhan.com/2012/04/pengertian-geng-motor-kenakalan-remaja.html
38
BAB III
KAJIAN MATAN HADIS TENTANG NONGKRONG
DI PINGGIR JALAN
Pada bab ini adalah bab inti dari penelitian yang penulis lakukan. Penulis
dalam bab ini melakukan kegiatan penelitian mengenai kualitas hadis (dari segi
sanad dan matan).
Langkah pertama dalam bab ini, penulis menampilkan hadis-hadis yang
akan diteliti dengan menampilkan juga terjemahnya. Kegiatan selanjutnya, penulis
melakukan kegiatan takhrij hadis (untuk memudahkan mengetahui hadis-hadis
dengan jalur-jalur sanad yang lain, redaksi-redaksi yang sama, ataupun makna
hadis yang sama).
A. Nongkrong dalam Pandangan Hadis
Abū Sa‘id al-Khudrī ra berkata, bahwa Nabi saw bersabda:
ث نا عبد العزيز ي عن ابن ممد عن زيد ي عن ابن أسلم عن عطاء بن ث نا عبد اللو بن مسلمة حد حدأن رسول اللو صلى اللو عل و وسلم قال إياكم واللوس بالطرقات قالوا يسار عن أ سع د اادري
ث ف ها ف قال رسول اللو صلى اللو عل و وسلم إن أب تم يا رسول اللو ما بد لنا من مالسنا ن تحدلم فأعطوا الطريق حقو قالوا وما حق الطريق يا رسول اللو قال غض البصر وكف الذى ورد الس
1.والمر بالمعروو والن ه عن المن ر
Dikisahkan oleh ‗Abdullāh ibn Maslamah mengatakan kepada kami ‗Abd
al-‘Azīz berarti putra Muḥammad Zaid berarti anak Aslam dari ‗Atā bin
Yasār dari Abū Sa‘id al-Hudrī bahwa Rasulullah saw bersabda: Berhati-
hatilah duduk-duduk di pinggir jalan. Para sahabat bertanya, “Ya
Rasulullah, bagi kami sesuatu yang tidak dapat kami tinggalkan. Dalam
1 Diriwayatkan oleh al-Bukhārī dalam Kitāb al-Mudhālim (46), Bāb Afnaitu al-Dūr wa
al-Julūs Fihā (22). Lihat Muḥammad Fu‘ād ‗Abd al-Bāqi, Al-Lū‟lū‟ wa Marjān Fimā Ittaqafa
„Alaihi al-Shaikhānī al-Bukhārî wa Muslim, terj. Arif Rahman Hakim, Kumpulan Hadis Ṣaḥiḥ
Bukhārī-Muslim (Sukoharjo Jawa Tengah: Insan Kamil Solo, 2013), cet. 11, h. 641-642.
39
berkumpul (majelis) itu kami berbincang-bincang.” Nabi Saw menjawab,
“Kalau memang suatu keharusan maka berilah jalanan itu haknya.”
Mereka bertanya lagi, “Apa yang dimaksud haknya itu, ya Rasulullah?”
Nabi Saw menjawab, “Palingkan pandanganmu (dari memandang kaum
wanita) dan jangan menimbulkan gangguan. Jawablah tiap ucapan salam
dan beramar ma‟ruf nahi mungkar.” (HR. al-Bukhārī dan Muslim).
Makna lafadz Hadis
Adalah kalimat yang digunakan untuk mentahdzir (memberikan إ ي اك م
peringatan keras) terhadap sesuatu.
sehinggaطس ق mufrodnya adalah ,طسق Adalah jama' dari الطسك ق اإ
kalimat ini adalah merupakan جمع اجمع(dobel jama').
.Tempat menghindar atau lari ال بكدي
.Yaitu menahan الق ط
سإ .Menundukkan pandangan dari yang diharamkan ق ط الق ق
دط اسيالقمإ .Menjawab salam orang yang lewat زق
Tidak mengganggu orang yang lewat, baik dengan ucapan اق ط ألقذقى
maupun perbuatan.
Ibn Ḥajar menjelaskan bahwa konteks hadis dapat diketahui bahwa
larangan itu bersifat tanzih (menjahui hal-hal yang dibenci atau tidak baik), agar
orang yang duduk tidak kewalahan menunaikan kewajibannya. Adapun perintah
untuk menundukkan pandangan adalah sebagai isyarat untuk menghindari fitnah
(godaan) yang ditimbulkan oleh orang yang lewat, seperti wanita dan lainnya.
40
Sedangkan perintah menahan gangguan adalah sebagai isyarat untuk menjahukan
diri dari perbuatan menghina dan membicarakan keburukan orang lain. Lalu,
perintah menjawab salam adalah sebagai isyarat untuk menghormati orang yang
lewat. Sementara amar ma'rūf nahī munkar adalah isyarat untuk menerapkan
semua yang diisyaratkan dan meninggalkan semua yang tidak disyaratkan.2
Ibn Ḥajar juga menjelaskan bahwa hadis di atas terdapat hujjah bagi
mereka yang mengatakan bahwa hukum yang ditetapkan berdasarkan metode
sādd al-dzari‟ah (menutup pintu kerusakan) hanya merupakan anjuran melakukan
perbuatan yang lebih utama, bukan suatu keharusan, sebab pada awalnya Nabi
saw melarang nongkrong (duduk-duduk) untuk menghilangkan kerusakan dari
akarnya. Namun, ketika mereka mengatakan ―Tidak ada pilihan lain bagi kami
kecuali duduk di tempat itu‖.3 Dengan demikian, larangan pertama hanya sebagai
bimbingan kepada apa yang lebih baik, termasuk kebiasaan remaja saat ini.
Dari hadis ini dapat disimpulkan pula bahwa menolak kerusakan lebih
diutamakan dari pada meraih kemaslahatan. Hal itu dikarenakan pada mulanya
Nabi saw menganjurkan mereka untuk tidak nongkrong di jalanan, meskipun bagi
yang menunaikan hak jalan akan mendapatkan pahala. Yang demikian itu karena
berhati-hati untuk mencapai keselamatan lebih ditekankan dari pada ingin
mendapatkan tambahan kebaikan.4
2 Al-Imām al-Ḥāfiẓ Ibn Ḥajar al-Asqalanī, Fatḥ al-Bārī Sharḥ Ṣaḥiḥ al-Bukhārī, terj.
Amiruddin, Fatḥ al-Bārī: Penjelasan Kitab Ṣaḥiḥ al-Bukhārī (Jakarta: Pustaka Azzam, 2007), h.
57. 3 Al-Imām al-Ḥāfiẓ Ibn Ḥajar al-Asqalanī, Fatḥ al-Bārī Syar Ṣaḥiḥ al-Bukhārī, terj.
Amiruddin, Fatḥ al-Bārī: Penjelasan Kitab Ṣaḥiḥ al-Bukhārī, h. 57. 4 Al-Imām al-Ḥāfiẓ Ibn Ḥajar al-Asqalanī, Fatḥ al-Bārī Syar Ṣaḥiḥ al-Bukhārī, terj.
Amiruddin, Fatḥ al-Bārī: Penjelasan Kitab Ṣaḥiḥ al-Bukhārī, h. 58.
41
Redaksi matan hadis tentang nongkrong di pinggir jalan tersebut
menjelaskan tentang salah satu kewajiban yang harus dilaksanakan oleh orang
yang duduk di pinggir jalan. Kewajiban tersebut ialah mencegah diri dari ucapan
maupun perbuatan yang dapat menyakiti para pengguna jalan. Namun, apabila
redaksi matan tersebut dilihat dengan pendekatan dilālah al-ishārah, maka akan
dapat ditarik suatu makna yang dapat memberikan suatu pemahaman tentang hak
yang seharusnya diterima oleh para pengguna jalan. Hak tersebut adalah terhindar
dari ucapan maupun perbuatan negatif dari orang-orang yang duduk di pinggir
jalan. Atau dengan kata lain mereka merasa aman dan nyaman melewati jalan
sebab tidak ada ucapan maupun perbuatan yang dapat mengganggu mereka dalam
melewati jalan.
Suatu saat Rasulullah saw berjalan melewati beberapa orang sahabat yang
sedang duduk-duduk di pekarangan rumah salah seorang dari mereka. Di antara
mereka adalah Abū Ṭalḥaḥ ra, lalu beliau menegur mereka agar tidak melakukan
hal itu. Namun para sahabat menyampaikan kepada Rasulullah saw, bahwa
mereka perlu duduk-duduk untuk memperbincangkan suatu urusan. Lalu Nabi
saw berpesan kepada mereka, bahwa jika memang hal itu diperlukan dan tidak
bisa ditinggalkan, maka mereka wajib memenuhi hak-hak orang lain yang
melewati mereka, di antaranya yang disebutkan dalam hadis ini ada empat macam
hak, yaitu:
42
1. Menundukan Pandangan
Secara bahasa, سإ berarti menahan, mengurangi (gadhdh al-baṣar) ق ط الق ق
atau menundukkan pandangan5. Namun bukan berarti menutup atau memejamkan
mata hingga tidak melihat sama sekali. Yang dimaksud ال س di sini adalah
menjauhkan atau menjaga pandangan dari sesuatu yang di haramkan,6 seperti
melihat wanita-wanita yang melintas atau menggunakan jalan. Memandang pada
sesuatu yang diharamkan rentan dengan timbulnya fitnah dan perbuatan maksiat.
Untuk menghindari timbulnya fitnah tersebut, maka bagi orang-orang yang
duduk-duduk di jalan harus mampu untuk menjaga pandangan mereka dari
sesuatu yang dapat menimbulkan fitnah dan perbuatan dosa.
Nabi Muhammad saw memerintahkan kepada orang-orang yang sedang
duduk di pinggir jalan untuk menjaga pandangan, agar mereka terhindar dari
timbulnya fitnah sebab memandang orang-orang yang lewat baik laki-laki
maupun perempuan.7
Substansi makna yang terkandung dalam redaksi tersebut menjelaskan
tentang kewajiban yang harus dilaksanakan oleh orang yang duduk-duduk di
pinggir jalan. Kewajiban tersebut adalah menjaga pandangan mereka dari sesuatu
yang bisa menimbulkan fitnah. Sedangkan redaksi yang menjelaskan tentang hak
yang harus diterima oleh para pengguna jalan secara teks tidak disebutkan.
Namun, apabila teks tersebut dipahami dengan menggunakan dilālah al-ishārah,
5 Berasal dari kata ق ي yang berarti اق ي (menahan) atau وق ق ق (mengurangi) atau ق ق ق
(menundukkan). Lihat: Tajul „Arus 1/4685, dan Maqāyis al-Lughah 4/306. 6 Abū Ṭayyib Muḥammad Symas al-Ḥāq, „Aun al-Ma‟būd Sharḥ Sunan Abī Dāwud, vol.
13 (Lebanon: Dār al-Fikr, t.th), 115; Ibn Ḥamzah, al-Bayān wa…, vol. 2, 118. 7 Badr al-Dīn, „Umdah al-Qāri…, vol. 13, 13; Aḥmad bin ‗Alī bin Ḥajar al-‗Asqalānī,
Fatḥ al-Bārī bi Sharḥ Ṣaḥīḥ Bukhārī (Lebanon: Dār al-Fikr, 1996), vol. 5, h. 407.
43
maka substansi makna yang terkandung di dalamnya akan memberikan suatu
pemahaman tentang hak yang seharusnya diterima oleh para pengguna jalan.
Pemahaman tentang adanya hak tersebut diambil dari kesimpulan redaksi matan
yang menjelaskan tentang kewajiban bagi orang yang duduk di pinggir jalan.
Ibn Ḥajar menceritakan ,‖Maka Nabi saw menyebutkan gadhdh al-baṣar
(menundukkan pandangan) untuk mengisyaratkan keselamatan dari fitnah karena
lewatnya para wanita (yang bukan mahram) maupun yang lainnya. Menyebutkan
kaff al-adhā (tidak mengganggu atau menyakiti orang) untuk mengisyaratkan
keselamatan dari perbuatan menghina, menggunjing orang lain ataupun yang
serupa. Menyebutkan perihal ‗menjawab salam‘ untuk mengisyaratkan keharusan
memuliakan atau mengormati orang yang melewatinya. Menyebutkan perihal
‗memerintahkan kepada kebaikan dan melarang kemungkaran‘ untuk
mengisyaratkan keharusan mengamalkan apa yang disyari‘atkan dan
meninggalkan apa yang tidak disyari‘atkan.‖
Beliau melanjutkan,‖Dalam hal ini terdapat dalil bagi yang berpendapat
bahwa sādd al-dzarā‟ī (menutup jalan menuju keburukan) merupakan bentuk
keutamaan saja bukan suatu kewajiban, karena (dalam hadis ini), pertama kali
yang Nabi saw larang adalah duduk-duduk (di tempat tersebut) guna
memberhentikan mereka dari hal itu. Lalu ketika para sahabat mengatakan ―kami
perlu duduk-duduk‖, barulah Nabi saw menjelaskan tujuan pokok dari larangan
beliau. Sehingga diketahuilah, bahwa larangan yang pertama kali itu adalah untuk
44
mengarahkan kepada yang lebih baik. Dari sini pula diambil kaidah, bahwa
‗mencegah keburukan lebih diutamakan daripada mendatangkan kebaikan.8
Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa redaksi hadis tersebut apabila
dipahami dengan menggunakan dilālah al-'ibārah, maka akan memberikan
pemahaman bahwa orang yang duduk di pinggir jalan harus bisa menjaga
pandangan mereka dari sesuatu yang diharamkan agar terhindar dari timbulnya
fitnah.9 Sedangkan hak yang seharusnya diterima oleh para pengguna jalan dapat
dipahami dengan menggunkan dilālah al-isyārah bahwa mereka berhak terhindar
dari pandangan orang yang duduk di pinggir jalan yang bisa menimbulkan fitnah.
Dengan kata lain— سإ adalah—menahan pandangan (gadhdh al-baṣar) ق ط الق ق
dari apa yang diharamkan oleh Allah swt dan rasul-Nya10
. Sebagaimana firman-
Nya dalam QS. al-Nūr: 30-31:
8 Aḥmad bin ‗Alī bin Ḥajar al-‗Asqalānī, Fatḥ al-Bārī bi Sharḥ Ṣaḥīḥ Bukhārī, vol. 11,
h.135 9 Luqman, ―Menahan Pandangan‖, artikel ini diakses pada tanggal 11 Januari 2014 dari
http://hikmah32.wordpress.com/2010/05/31/menahan-pandangan-gadh-dhul-bashar/ 10 Tafsir al-Ṭabarī 19/154, Ibn Kathīr 6/41
45
Katakanlah kepada orang laki-laki yang beriman: "Hendaklah mereka
menahan pandanganya, dan memelihara kemaluannya; yang demikian itu
adalah lebih suci bagi mereka, Sesungguhnya Allah Maha mengetahui
apa yang mereka perbuat". Katakanlah kepada wanita yang beriman:
"Hendaklah mereka menahan pandangannya, dan kemaluannya, dan
janganlah mereka Menampakkan perhiasannya, kecuali yang (biasa)
nampak dari padanya. dan hendaklah mereka menutupkan kain kudung
kedadanya, dan janganlah Menampakkan perhiasannya kecuali kepada
suami mereka, atau ayah mereka, atau ayah suami mereka, atau putera-
putera mereka, atau putera-putera suami mereka, atau saudara-saudara
laki-laki mereka, atau putera-putera saudara lelaki mereka, atau putera-
putera saudara perempuan mereka, atau wanita-wanita Islam, atau
budak- budak yang mereka miliki, atau pelayan-pelayan laki-laki yang
tidak mempunyai keinginan (terhadap wanita) atau anak-anak yang belum
mengerti tentang aurat wanita. dan janganlah mereka memukulkan
kakinyua agar diketahui perhiasan yang mereka sembunyikan. dan
bertaubatlah kamu sekalian kepada Allah, Hai orang-orang yang beriman
supaya kamu beruntung. (QS. al-Nūr: 30-31).
Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai
pengetahuan tentangnya. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan
hati, semuanya itu akan diminta pertanggungan jawabnya. (QS. al-Isrā‘:
36)
Bagaimana jika tidak sengaja melihat kepada sesuatu yang diharamkan
untuk melihatnya? Jawabannya ada pada hadits yang diriwayatkan oleh al-Imām
Abū Dawd tentang pesan Nabi saw kepada ‗Alī bin Abī Ṭālib ra. :
قال رسول اللو صلى اللو عل و وسلم لعل يا عل ل ت تبع النظرة النظرة فإن لك الول ول ست لك اا رة
Rasulullah saw bersabda kepada ‗Alī: ―Wahai ‗Alī, janganlah engkau
ikutkan pandangan pertama dengan pandangan yang lain (berikutnya),
sesungguhnya bagimu pandangan yang pertama tidak pandangan yang
lainnya (berikutnya).‖
46
2. Tidak Mengganggu
Abū Ṭayyīb menjelaskan yang dimaksud ا ألذى ialah mencegah
perbuatan, ucapan maupun isyarat yang bisa menyakiti orang-orang yang lewat
dan menggauli mereka dengan baik.11
Definisi tersebut memberikan suatu
pengertian bahwa bagi orang-orang yang duduk di jalan harus menjauhi segala
perbuatan, ucapan maupun isyarat yang bisa menyakiti para pengguna jalan.
Termasuk kategori ا ألذى adalah menjauhi ghībah, berprasangka buruk,
menghina orang yang lewat, mempersempit jalan, menakut-nakuti dan mencegah
orang yang lewat jalan tersebut.
Al-Hāfizh Ibn Ḥajar berkata bahwa kemungkinan yang dikehendaki
dengan ا ألذى ialah mencegah seseorang jangan sampai menyakiti orang lain.
Maksudnya, bahwa bagi orang yang duduk di jalan harus mampu untuk mencegah
dirinya maupun orang lain agar tidak melakukan perbuatan yang dapat menyakiti
orang lain.
Menurut al-Qādlī ‗Iyāḍ bahwa yang dikehendaki dengan ا ألذى ialah
mencegah dari menyakiti orang yang lewat dengan cara duduk-duduk di jalan
sehingga menyebabkan jalan menjadi sempit. Termasuk ا ألذى adalah berkata
dengan baik. Karena perkataan yang baik bisa menyebabkan keharmonisan
hubungan diantara sesama.12
Nabi saw. memerintahkan ا ألذى kepada orang-
11 Al-Allamah al-Muḥaqqīq al-Muḥāddīth al-Kabīr Abū Ṭayyib Muḥammad Shams al-
Ḥāq bin Amīr ‗Alī bin Maqsūd ‗Alī Al-Ṣiddīq al-‗Aẓīm Abādī, „Aun Al Ma‟būd „Ala Sharḥ Sunan
Abī Dawud, Ta‘līq: Imām Ibn Qayyīm al-Jauzīyah (Jakarta: Pustaka Azzam, 2009), vol. 13, 116.
Juga lihat Ibn Ḥamzah al-Ḥusainī, al-Bayān wa al-Ta'rīf fī Asbābi Wurūd al-Ḥadīth, vol. 2, h. 118. 12 Ibn Ḥajar, Fatḥ al-Bārī…, vol. 11, 12.
47
orang yang duduk di pinggir jalan bertujuan agar mereka terhindar dari
melakukan perbuatan atau ucapan yang bisa menyakiti orang lain.13
3. Menjawab Salam
Ibn Ḥajar menjelaskan yang dikehendaki dengan زد اسالم di sini ialah
menjawab salam dari orang-orang yang lewat yang mengucapkan salam
kepadanya. Dalam menjawab salam ini mengindikasikan adanya menghormati
kepada orang-orang yang lewat sehingga mereka merasa aman dan nyaman dalam
melewati jalan.14
Dalam redaksi matan Hadis menjelaskan tentang kewajiban yang harus
dilaksanakan oleh orang-orang yang ingin tetap melakukan aktifitas duduk-duduk
di pinggir jalan. Kewajiban tersebut ialah menjawab salam dari orang-orang yang
lewat. Dari pemaknaan semacam itu apabila diambil mafhūm muwāfaqah-nya
maka akan memberikan suatu pemahaman bahwa menghormati orang yang
sedang lewat merupakan kewajiban yang harus dipenuhi juga.
Redaksi matan tersebut juga memberikan suatu isyarat tentang suatu hak
yang seharusnya diterima oleh para pengguna jalan. Hak tersebut ialah dihormati
dan dijawab salamnya apabila ia mengucapkan salam kepada orang-orang yang
duduk dipinggir jalan.
Sedangkan dalam redaksi hadis lain menyebutkan bahwa termasuk
kewajiban yang harus dilakukan oleh orang-orang yang duduk di pinggir jalan
ialah menebarkan salam. Sebagaimana redaksi Hadis di bawah ini:
13 Badr al-Dīn, 'Umdah…, vol. 13, 13. 14 Ibn Ḥajar, Fatḥ al-Bārī…, vol. 5, 406; Ibn Hamzah, Al-Bayān wa…, vol. 2, h. 118.
48
ث نا أبو إسحاق عن الب راء ث نا شعبة حد صلى اهلل أن رسول اللو : أ ب رنا أبو الول د الط السى حدب ل وأفشوا » :عل و وسلم مر بناس جلوس من النصار ف قال إن كنتم ل بد فاعلني فاىدوا الس
15«السلم ، وأع نوا المظلوم Abū al-Walīd al-Ṭayālisī telah menceritakan kepada kami, Shu‘bah telah
bercerita pada kami, Abū Ishāq telah bercerita pada kami dari al-Barā:
Bahwa Rasulullah saw. lewat bertemu dengan sahabat Anshar yang sedang
duduk-duduk, kemudian beliau bersabda: ―Apabila kamu semua tetap
melakukannya, maka tunjukkanlah orang yang berjalan, tebarkanlah
salam, dan tolonglah orang yang dianiaya.‖
Baik menjawab salam maupun mengucapkan salam pada dasarnya
mempunyai tujuan yang tidak berbeda yaitu menghormati orang yang lewat
sehingga mereka merasa aman dan nyaman dalam melewati jalan tersebut. Karena
mereka merasa bahwa orang-orang yang duduk di pinggir jalan telah memberikan
izin untuk melewati jalan tanpa adanya gangguan.
Abū ‗Umar berkata bahwa memulai mengucapkan salam itu hukumnya
sunat menurut kesepakatan para ulama. Adapun etika dalam memulai salam
adalah sebagaimana yang telah disebutkan dalam sebuah Hadis Nabi saw.
sebagai berikut:
حدثن عقبة بن م رم حدثنا أبو عاصم عن ابن جريج ح وحدثن ممد بن مرزوق حدثنا روح حدثنا ابن جريج أ ربين زياد أن ثابتا مول عبد الرمحن بن زيد أ ربه أنو مسع أبا ىريرة يقول قال
رسول اهلل صلى اهلل عل و وسلم يسلم الراكب على املاشى واملاشى على القاعد والقل ل على ال ثري ―Uqbah bin Mukram telah menceritakan pada saya, Abū ‗Ᾱṣim telah
menceritakan pada kami dari Ibn Juraij. Tahwīl al-sanad Muḥammad bin
Marzūq telah menceritakan kepada saya, Rauh telah menceritakan pada
kami, Ibn Juraij telah bercerita pada kami, Ziyād telah memberitakan pada
saya, bahwa Tsabit telah bercerita kepadanya, bahwa ia telah mendengar
Abū Hurayrah berkata: ―Rasulullah saw bersabda: ― Hendaknya orang
15 Al-Dārimī, Sunan…, vol. 2, h. 282.
49
yang naik kendaraan memberi salam pada orang yang berjalan kaki, orang
yang berjalan mengucapkan salam pada orang yang duduk, dan orang
yang jumlahnya sedikit memberi salam pada orang yang jumlahnya
banyak.‖ (HR. Muslim No.4019).16
Adapun menjawab salam hukumnya adalah wajib jika sendirian. Hukum
wajib tersebut akan menjadi fardlu kifayah apabila orang yang menjawab salam
tersebut jumlahnya banyak. Sebab menjawab salam yang telah dilakukan oleh
salah satu dari mereka sudah bisa menggugurkan kewajiban bagi yang lainnya.17
4. Menyuruh Kebaikan dan Melarang Kejelekan
Tentang ―memerintahkan kepada yang ma‘ruf dan mencegah dari yang
munkar‖, maka Allah swt memerintahkannya dalam firman-Nya:
Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru
kepada kebajikan, menyuruh kepada yang ma'ruf dan mencegah dari yang
munkar; merekalah orang-orang yang beruntung. (QS. Ali ‗Imrān: 104)
Dan di antara wasiat Luqman kepada anaknya:
Hai anakku, dirikanlah shalat dan suruhlah (manusia) mengerjakan yang
baik dan cegahlah (mereka) dari perbuatan yang mungkar dan
bersabarlah terhadap apa yang menimpa kamu. Sesungguhnya yang
demikian itu Termasuk hal-hal yang diwajibkan (oleh Allah). (QS.
Luqmān: 17).
16 Yang Berkendaraan Memberi Salam Kepada yang Berjalan, dan yang Sedikit Kepada
yang Banyak 17 Muḥammad bin Khulaifah al-Washtānī, Ikmāl al-Mu‟allim (Lebanon: Dār al-Kutūb al-
‗Ilmīyyah, 2008), h. 323.
50
Merealisasikan amar ma‟rūf nahī munkar merupakan salah satu sebab
utama diperolehnya kebaikan dan kejayaan oleh pendahulu umat ini (para
sahabat), sebagaimana difirmankan oleh Allah swt:
Kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia,
menyuruh kepada yang ma'ruf, dan mencegah dari yang munkar, dan
beriman kepada Allah. Sekiranya ahli kitab beriman, tentulah itu lebih
baik bagi mereka, di antara mereka ada yang beriman, dan kebanyakan
mereka adalah orang-orang yang fasik. (QS. Ali ‗Imrān : 110).
Dari Abū Zhar ra, bahwa Rasulullah saw bersabda:
)) وأمر بالمعروو صدقة ون ه عن من ر صدقة ((Dan menyuruh (manusia) kepada yang baik adalah shadaqah, dan
mencegah (mereka) dari perbuatan mungkar adalah shadaqah … [HR
Muslim, hadis no. 1674]
Demikianlah hak-hak dan adab-adab ketika seseorang duduk-duduk di tepi
jalanan, atau yang semisalnya. Al-Ḥāfiẓ Ibn Ḥajar menyebutkan adab-adab atau
hak-hak jalan yang lain sebagai berikut:
- Berkata yang baik. Sebagaimana dijelaskan dalam hadis Abū Ṭalḥah ra.18
- Memberi petunjuk jalan kepada musafir dan menjawab orang yang bersin
jika dia bertahmid19
sebagaimana terkandung dalam hadis Abū Hurayrah
ra.
- Menolong orang yang kesusahan dan menunjukkan jalan bagi orang yang
tersesat, sebagaimana tertuang dalam hadis ‗Umar ra dalam riwayat Abū
18 Shahih Muslim, no. 2161 19 Yakni, bila seorang yang bersin mengucapkan ―alhamdulillah‖, maka yang mendengar
wajib mendo‘akannya dengan mengucapkan ―yarhamukallah‖ –semoga Allah merahmatimu
51
Dawud20
, demikian juga dalam Mursal Yaḥyā bin Ya‘mur dan dalam
riwayat al Bazzār.
- Menolong orang yang terzhalimi dan menebarkan salam, seperti dijelaskan
dalam hadis al-Barrā‘ ra dalam riwayat Aḥmad dan al-Tirmidhī.
- Membantu orang yang membawa beban berat, sebagaimana tertuang
dalam hadits Ibn Abbās ra dalam riwayat al Bazzār.
- Banyak berdzikir kepada Allah, sebagaimana teriwayatkan dalam hadis
Sahl bin Ḥanif ra dalam riwayat al-Ṭabaranī.
- Membimbing orang yang bingung, seperti yang terpaparkan dalam hadis
Wahshī bin Ḥarb ra dalam riwayat al-Ṭabaranī.
Kemudian Ibn Ḥajar mengatakan: ―Semua yang terdapat dalam hadis-
hadis tersebut ada empat belas adab‖.21
Hal-hal yang tersebut di atas mengandung faidah tentang kesempurnaan
Islam yang mengajarkan kepada umatnya tentang berbagai aspek kehidupan,
termasuk yang berkaitan dengan hak-hak jalan dan adab-adab ketika duduk-duduk
di tempat-tempat yang biasa dilewati oleh khalayak manusia. Sekaligus
menunjukan, kebaikan dan keindahan ajaran Islam, yakni apabila hal-hal di atas
diamalkan oleh manusia, niscaya akan mendatangkan kedamaian dan ketentraman
dalam kehidupan mereka di dunia.
20 Hadits no. 4181 21 Aḥmad bin ‗Alī bin Ḥajar al-‗Asqalānī, Fatḥ al-Bārī bi Sharḥ Ṣaḥīḥ Bukhārī, vol. 11,
h.13
52
B. Penjelasan Faedah Hadis dan Istinbath Hukum
Di antara tujuan agama kita adalah untuk mengangkat derajat masyarakat
Islam kepada hal-hal yang agung, kemuliaan akhlaq dan keluhuran etika.
Sebaliknya, menjauhkan seluruh elemennya dari setiap budipekerti yang jelek dan
pekerjaan yang hina. Islam juga menginginkan terciptanya masyarakat yang
diliputi oleh rasa cinta dan damai serta mengikat mereka dengan rasa
persaudaraan (ukhuwwah) dan kecintaan.
Hadits diatas menunjukkan kesempurnaan dienul Islam dalam syari‘at,
akhlaq, etika, menjaga hak orang lain serta dalam seluruh aspek kehidupan. Ini
merupakan tasyr‘i yang tidak ada duanya dalam agama atau aliran manapun.
Asal hukum terhadap hal yang berkenaan dengan ―jalan‖ dan tempat-
tempat umum adalah bukan untuk dijadikan tempat duduk-duduk, karena
implikasinya besar, diantaranya:
1) Menimbulkan fitnah
2) Mengganggu orang lain baik dengan cacian, kerlingan ataupun julukan
3) Mengintip urusan pribadi orang lain
4) Membuang-buang waktu dengan sesuatu yang tidak bermanfaat.
Rasulullah saw dalam hadis diatas memaparkan sebagian dari kode etik
yang wajib diketahui dan dipatuhi oleh para pengguna jalan, yaitu:
1) Memicingkan mata dan mengekangnya dari melihat hal yang haram; sebab
―jalan‖ juga digunakan oleh kaum wanita untuk lewat dan memenuhi
kebutuhan mereka. Jadi, memicingkan mata dari hal-hal yang diharamkan
termasuk kewajiban yang patut diindahkan dalam setiap situasi dan
53
kondisi. Allah berfirman: “Katakanlah kepada laki-laki yang beriman:
“Hendaklah mereka menahan pandangannya, dan memelihara
kemaluannya; yang demikian itu adalah lebih suci bagi mereka,
sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang mereka perbuat”. (QS.
al-Nūr [24]: 30).
2) Mencegah adanya gangguan terhadap orang-orang yang berlalu lalang
dalam segala bentuknya, baik skalanya besar ataupun kecil seperti
menyakitinya dengan ucapan yang tidak layak; cacian, makian, ghibah,
ejekan dan sindiran. Bentuk lainnya adalah gangguan yang berupa
pandangan ke arah bagian dalam rumah orang lain tanpa seizinnya.
Termasuk juga dalam kategori gangguan tersebut; bermain bola di
halaman rumah orang, sebab dapat menjadi biang pengganggu bagi
tuannya, dan lainnya.
3) Menjawab salam; para ulama secara ijma‘ menyepakati wajibnya
menjawab salam. Allah swt berfirman: “Apabila kamu dihormati dengan
suatu penghormatan, maka balaslah pernghormatan itu dengan yang lebih
baik atau balaslah (dengan yang serupa)…”. (QS. al-Nisa‘ [4]: 86).
Dalam hal ini, seperti yang sudah diketahui bahwa hukum memulai salam
adalah sunnah dan pelakunya diganjar pahala. Salam adalah ucapan
hormat kaum muslimin yang berisi doa keselamatan, rahmat dan
keberkahan.
4) Melakukan amar ma‘ruf nahi mungkar; ini merupakan hak peringkat
keempat dalam hadits diatas dan secara khusus disinggung disini karena
54
jalan dan semisalnya merupakan sasaran kemungkinan terjadinya banyak
kemungkaran.
5) Banyak nash-nash baik dari al-Kitab maupun al-Sunnah yang menyentuh
prinsip yang agung ini, diantaranya firman Allah swt: ―dan hendaklah ada
diantara kamu segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan dan
menyuruh kepada yang ma‘ruf dan mencegah dari yang mungkar…‖. (QS.
Āli ‗Imrān: [3]: 104).
6) Dalam hadis Nabi saw bersabda: ―barangsiapa diantara kamu yang melihat
kemungkaran, maka hendaklah dia mencegahnya dengan tangannya; jika
dia tidak mampu, maka dengan lisannya; dan jika tidak mampu, maka
dengan hatinya; yang demikian itulah selemah-lemah iman‖.
Banyak sekali nash-nash lain yang menyebutkan sebagian dari kode etik
yang wajib diketahui dan dipatuhi oleh para pengguna jalan, di antaranya:
1) Berbicara dengan baik,
2) Menjawab orang yang bersin (orang yang bersin harus mengucapkan
alhamdulillah sedangkan orang yang menjawabnya adalah dengan
mengucapkan kepadanya yarhamukallāh),
3) Membantu orang yang mengharapkan bantuan,
4) Menolong orang yang lemah,
5) Menunjuki jalan bagi orang yang sesat di jalan,
6) Memberi petunjuk kepada orang yang dilanda kebingungan,
55
7) Mengembalikan kezhaliman orang yang zhalim, yaitu dengan cara
mencegahnya.22
Kemudian kata ( biasanya digunakan untuk memberi (... إ ي اك م ق امجك ك م ق
peringatan sebagai perintah agar menjauhi sesuatu yang buruk dan maknanya
sama dengan melarangnya. Jadi maknanya adalah ―jauhilah oleh kalian hal
tersebut‖ atau ―janganlah kalian melakukan hal itu‖. Seperti dalam sebuah hadis
Nabi saw bersabda ( رإ ق yang artinya, “jauhilah perkataan dusta” atau ( إ ي اك م ق املق
“janganlah kalian berdusta”. Tapi apakah suatu perintah itu harus berarti wajib,
atau apakah suatu larangan harus berarti haram? berikut penjelasannya:
- Kata (الطسك ق ا ) adalah bentuk jamak dari (الطسكق ), sedangkan (الطسكق ) adalah
bentuk jamak dari (سإ ق yang artinya adalah jalan. Al-Imām al-Bukhārī ( الي
menyebutkannya dalam judul bab untuk hadis ini di kitab al-Maẓālim dengan
ungkapan (دق ا عك .guna menunjukkan kesamaan makna antara keduanya ( ا ط
Hal itu dikuatkan oleh hadis Abū Ṭalḥah ra dalam Ṣaḥiḥ Muslim, hadis no.
2161 ketika Nabi saw mengungkapkan dengan kata (دق ا عك dan Imām ( ا ط
Muslim menyebutkannya dalam judul bab untuk hadis ini di kitab al-Salām
dengan kata ( سإ قإ Kemudian Imām al-Bukhārī –dalam judul bab yang .( الي
sama di kitab al-Maẓālim– menyebutkan kata ( ق مىإ ق ادط زإ ), yang artinya adalah
pekarangan (halaman rumah), guna menunjukkan kesamaan hukumnya
dengan jalanan (selama pekarangan atau halaman rumah tersebut terbuka dan
biasa dilewati oleh orang banyak). Itu didukung dengan hadis Abū Ṭalḥah ra
dalam riwayat Muslim, ketika Abū Ṭalḥah ra berkata:
22 Muslim, ―Kode Etik Bagi Pengguna Jalan‖, artikel ini diakses pada 14 Mei 2014 dari
http://ranselhijau.wordpress.com/2009/04/18/kode-etik-bagi-pengguna-jalan/#more-231
56
كنا ق عودا بالفن ة، ف اء رسول اهلل مال م ولم ال الصعدات : ف قال ―Ketika kami sedang duduk-duduk di halaman (pekarangan rumah), lalu
datanglah Rasulullah saw kemudian berkata,‘Kenapa kalian duduk-duduk
di (tepi) jalanan?‘.‖
Sa‘id bin Manṣūr menambahkan –dengan menukil– dari Mursāl Yaḥyā bin
Ya‘mūr ungkapan berikut:
))فإن ها سب ل من سبل الش طان أو النار ((Sesungguhnya (tepi) jalanan itu adalah salah satu dari jalan-jalan setan
atau neraka.23
Itulah alasan kenapa Nabi saw melarang mereka duduk-duduk di tepi
jalanan atau semisalnya. Termasuk pula warung-warung dan balkon-balkon yang
tinggi yang berada di atas orang-orang yang lewat.24
- Perkataan para sahabat ―sesungguhnya kami perlu duduk-duduk untuk
berbincang-bincang‖.
Dalam riwayat Muslim (hadis no. 2161) dari hadis Abū Ṭalḥah ra terdapat
tambahan kata-kata ―dan untuk saling mengingatkan (menasihati)‖. Dari
riwayat ini pula diketahui, bahwa yang mengucapkan perkataan tersebut
adalah Abū Ṭalḥah ra.25
Al-Qāḍī ‗Iyāḍ berkata,‖Dalam perkataan sahabat tersebut terdapat dalil yang
menunjukkan, bahwa perintah Rasulullah saw kepada mereka itu tidak untuk
kewajiban, melainkan bersifat anjuran dan keutamaan. Karena, kalau mereka
memahaminya sebagai kewajiban, tentu mereka tidak akan merajuk kepada
23 [Lihat Fatḥ al-Bārī, 11/12-13] 24 [Fatḥ al-Bārī, 5/135]. 25 [Lihat Fatḥ al-Bārī, 5/135].
57
Rasulullah saw seperti itu. Dan hal ini dijadikan dalil oleh mereka yang
berpendapat bahwa perintah-perintah itu tidak mengandung kewajiban.‖
Ibn Ḥajar berkomentar: ―Namun, ada kemungkinan bahwa mereka
mengharapkan adanya nasakh (penghapusan hukum kewajiban tersebut) untuk
meringankan apa yang mereka adukan perihal keperluan mereka melakukan
hal itu, dan hal ini didukung oleh apa yang tersebut dalam Mursal Yaḥyā bin
Ya‘mūr, di sana terdapat kata-kata ‗maka mereka mengira bahwa hal itu
merupakan keharusan (kewajiban)‘.‖
- Perkataan ―jika kalian tidak bisa melainkan harus duduk-duduk, maka berilah
hak jalan tersebut‖. Ibn Ḥajar berkata, ‖Dari alur pembicaraan ini jelaslah,
bahwa larangan (duduk-duduk di tepi jalanan atau semisalnya) dalam hadis
ini adalah untuk tanzih (yang bermakna makruh bukan haram), agar tidak
mengendurkan orang yang duduk-duduk untuk memenuhi hak (jalan) yang
wajib ia penuhi‖ .26
Imam an-Nawawi rahimahullah berkata, ―… dan maksudnya adalah bahwa
duduk-duduk di tepi jalanan itu dimakruhkan‖.
- Perkataan ―(hak jalan adalah) ghaḍḍ al-baṣar (menundukkan pandangan),
kaff al-adza (tidak mengganggu atau menyakiti orang), menjawab salam,
memerintahkan kepada kebaikan dan melarang kemungkaran‖.27
Ibn Ḥajar rahimahullah berkata, ‖Maka Nabi saw menyebutkan ghaḍḍ al-
baṣar (menundukkan pandangan) untuk mengisyaratkan keselamatan dari
fitnah karena lewatnya para wanita (yang bukan mahram) maupun yang
26 [Fatḥ al-Bārī, 5/135]. 27 [Syarh Shahih Muslim, 14/120].
58
lainnya. Menyebutkan kaff al-adza (tidak mengganggu atau menyakiti orang)
untuk mengisyaratkan keselamatan dari perbuatan menghina, menggunjing
orang lain ataupun yang serupa. Menyebutkan perihal ‗menjawab salam‘
untuk mengisyaratkan keharusan memuliakan atau mengormati orang yang
melewatinya. Menyebutkan perihal ‗memerintahkan kepada kebaikan dan
melarang kemungkaran‘ untuk mengisyaratkan keharusan mengamalkan apa
yang disyari‘atkan dan meninggalkan apa yang tidak disyari‘atkan.‖
Beliau melanjutkan, ‖Dalam hal ini terdapat dalil bagi yang berpendapat
bahwa sadhdh al-dzarā‟i (menutup jalan menuju keburukan) merupakan bentuk
keutamaan saja bukan suatu kewajiban, karena (dalam hadits ini), pertama kali
yang Nabi saw larang adalah duduk-duduk (di tempat tersebut) guna
memberhentikan mereka dari hal itu. Lalu ketika para sahabat mengatakan ―kami
perlu duduk-duduk‖, barulah Nabi saw menjelaskan tujuan pokok dari larangan
beliau saw. Sehingga diketahuilah, bahwa larangan yang pertama kali itu adalah
untuk mengarahkan kepada yang lebih baik. Dari sini pula diambil kaidah, bahwa
‗mencegah keburukan lebih diutamakan daripada mendatangkan kebaikan‘.‖ 28
Imām al-Nawāwī berkata, ‖Nabi saw telah mengisyaratkan tentang alasan
larangan beliau, bahwa hal itu dapat menjerumuskan kepada fitnah dan dosa
ketika ada para wanita (yang bukan mahramnya) atau selainnya yang melintasi
mereka, dan bisa berlanjut hingga memandang ke arah wanita-wanita tersebut
(secara bebas), atau membayangkannya, berprasangka buruk terhadap wanita-
wanita tersebut, atau terhadap setiap orang yang lewat. Dan di antara bentuk
28 [Fatḥ al-Bārī, 5/135].
59
mengganggu atau menyakiti manusia adalah menghina (mengejek) orang yang
lewat, berbuat ghibah (menggunjingya) atau yang lainnya, atau terkadang tidak
menjawab salam mereka, tidak melakukan amar ma‟rūf nahī munkar, serta
alasan-alasan lainnya yang bila dia berada di rumah dapat selamat dari hal-hal
seperti itu. Termasuk menyakiti (orang lain) pula bila mempersempit jalan orang-
orang yang ingin lewat, atau menghalangi para wanita, atau yang lainnya yang
ingin keluar menyelesaikan kebutuhan mereka dikarenakan ada orang-orang yang
duduk di tepi jalanan.‖29
Suatu hal yang perlu diperhatikan bahwa hasil penelitian matan tidak mesti
sejalan dengan hasil penelitian sanad. Karena penelitian Hadis integral satu
dengan lainnya yaitu antara unsur-unsur Hadis, maka otomatis penelitian terhadap
sanad harus diikuti dengan penelitian terhadap matan. Untuk mengetahui kualitas
matan Hadis ini bisa dilakukan dengan cara:
1. Membandingkan Hadis satu dengan Hadis yang lain yang temanya sama.
Kalau dilihat dari beberapa redaksi Hadis di atas, maka Hadis yang
driwayatkan dari al-Bukhārī, Muslim dan Aḥmad bin Ḥanbal tidak ada
perbedaan yang signifikan dalam matan Hadisnya. ada satu hadis yang
diriwayatkan oleh Abū Dawud, al-Tirmidhī dan al-Dārimī berbeda redaksi
matannya. Namun, substansi Hadis tersebut tidak bertentangan dengan makna
Hadis yang lainnya.30
29 [Syarah Shahih Muslim, 14/120]. 30 Hadis yang diriwayatkan dalam kitab Ṣaḥiḥ al-Bukhārī
ث نا أبو عمر ح بن م سرة عن زيد بن أسلم عن عطاء بن يسار عن أ سع د اادريي ر اللو عنو ث نا معاذ بن ف الة حد عن النبي صلى اللو عل و حدث ف ها قال فإذا أب تم إل الم ال فأعطوا الطريق حقها قالوا وما حق الطريق ا ى مالسنا ن تحد وسلم قال إياكم واللوس على الطرقات ف قالوا ما لنا بد إن
قال غض البصر وكف الذى ورد السلم وأمر بالمعروو ون ه عن المن ر
60
2. Hadis tersebut juga tidak bertentangan dengan akal dengan alasan bahwa
larangan melakukan aktifitas nongkrong di pinggir jalan bagi orang yang
tidak mampu untuk melaksanakan kewajibannya, maka akan membawa
kebaikan bagi dirinya dan juga orang lain. Begitu juga, adanya pembolehan
melakukan aktifitas seperti itu disyaratkan harus dapat melaksanakan
ketentuan-ketentuan dari Nabi saw sehingga dapat terhindar dari sesuatu yang
tidak diinginkan.
3. Tidak bertentangan dengan sharī‟at Islam, karena tujuan agama Islam ialah
menciptakan kedamaian dan menolak sesuatu yang di benci.31
Dengan adanya
ث نا زى ر عن زيد بن أسلم عن عطاء بن يسار عن أ سع د اادريي ر اللو عنو د أ ب رنا أبو عامر حد ث نا عبد اللو بن مم أن النب صلى اللو عل و وسلم حد
ث ف ها ف قال إذ أب تم إل الم ل فأعطوا الطريق حقو قالوا وما حق الطريق يا قال إياكم واللوس بالطرقات ف قالوا يا رسول اللو ما لنا من مالسنا بد ن تحدرسول اللو قال غض البصر وكف الذى ورد السلم والمر بالمعروو والن ه عن المن ر
Ṣaḥiḥ Muslim
ثن ح بن م سرة عن زيد بن أسلم عن عطاء بن يسار عن أ سع د اادريي ثن سويد بن سع د حد عن النبي صلى اللو عل و وسلم قال إياكم حدث ف ها قال رسول اللو صلى اللو عل و وسلم فإذا أب تم إل الم ل فأعطوا الطريق حقو واللوس ف الطرقات قالوا يا رسول اللو ما لنا بد من مالسنا ن تحد
د المدين ح و قالوا وما حقو قال غض البصر وكف الذى ورد السلم والمر بالمعروو والن ه عن المن ر ث ناه يي بن يي أ ب رنا عبد العزيز بن مم و حدسناد مث لو ث نا ابن أ فديك أ ب رنا ىشام ي عن ابن سعد كلها عن زيد بن أسلم بذا ال د بن رافع حد ث ناه مم حد
Sunan al-Tirmidhī
ث نا شعبة عن أ إسحق عن الب راء و يسمعو منو ث نا أبو داود حد ث نا ممود بن غ لن حد أن رسول اللو صلى اللو عل و وسلم مر بناس من النصار وىم حدب ل جلوس ف الطريق ف قال إن كنتم ل بد فاعلني ف ردوا السلم وأع نوا المظلوم واىدوا الس
Sunan al-Dārimī
ث نا أبو إسحاق عن الب راء ث نا شعبة حد إن كنتم ل » :صلى اهلل عل و وسلم مر بناس جلوس من النصار ف قال أن رسول اللو : أ ب رنا أبو الول د الط السى حدب ل وأفشوا السلم ، وأع نوا المظلوم «بد فاعلني فاىدوا الس
Musnad Aḥmad bin Ḥanbal
د عن زيد بن أسلم عن عطاء بن يسار عن أ سع د اادريي قال ث نا زى ر بن مم ث نا عبد الرمحن حد قال رسول اللو صلى اللو عل و وسلم إياكم واللوس حدث ف ها قال فأما إذا أب تم إل الم ل فأعطوا الطريق حقو قالوا يا رسول اللو فما حق الطريق قال ف الطرقات قالوا يا رسول اللو ما لنا من مالسنا بد ن تحد
غض البصر وكف الذى ورد السلم والمر بالمعروو والن ه عن المن ر
ث نا ىشام عن زيد عن عطاء بن يسار عن أ سع د اادريي ث نا عبد الملك حد عن النبي صلى اللو عل و وسلم قال إياكم واللوس بالطرقات قالوا يا رسول حدث ف ها قال فأعطوا الطريق حقها قالوا وما حق الطريق يا رسول اللو قال غض البصر وكف الذى والمر بالمعروو والن ه عن اللو ما لنا من مالسنا بد ن تحد
المن ر 31 Shihāb al-Dīn Abī al-‗Abbās Aḥmad bin Muḥammad, Irshād al-Sāri li Sharḥ Ṣaḥīḥ al-
Bukhārī, vol. 13 (Lebanon: Dār al-Kutūb al-‗Ilmīyyah, 2009), h. 238.
61
tuntunan dalam Hadis tersebut, maka akan tercipta saling menghormati dan
terhindar dari sesuatu yang dibenci.
4. Kandungan Hadis di atas tidak bertentangan dengan al-Qur‘ān, bahkan ada
kesesuaian dengan surat al-Nūr (24) ayat 30 dan 31, al-Ḥujurāt (49) ayat 11
dan 12, al-Nisā‘ (4) ayat 86, dan al-Taubah (9) ayat 71.
“Katakanlah kepada orang laki-laki yang beriman: "Hendaklah mereka
menahan pandanganya, dan memelihara kemaluannya; yang demikian itu
adalah lebih suci bagi mereka, Sesungguhnya Allah Maha mengetahui
apa yang mereka perbuat". Katakanlah kepada wanita yang beriman:
"Hendaklah mereka menahan pandangannya, dan kemaluannya, dan
janganlah mereka Menampakkan perhiasannya, kecuali yang (biasa)
nampak dari padanya. dan hendaklah mereka menutupkan kain kudung
kedadanya, dan janganlah Menampakkan perhiasannya kecuali kepada
suami mereka, atau ayah mereka, atau ayah suami mereka, atau putera-
putera mereka, atau putera-putera suami mereka, atau saudara-saudara
laki-laki mereka, atau putera-putera saudara lelaki mereka, atau putera-
putera saudara perempuan mereka, atau wanita-wanita Islam, atau
budak- budak yang mereka miliki, atau pelayan-pelayan laki-laki yang
tidak mempunyai keinginan (terhadap wanita) atau anak-anak yang belum
mengerti tentang aurat wanita. dan janganlah mereka memukulkan
kakinyua agar diketahui perhiasan yang mereka sembunyikan. dan
bertaubatlah kamu sekalian kepada Allah, Hai orang-orang yang beriman
supaya kamu beruntung.” (QS. al-Nūr [24]: 30-31)
62
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah sekumpulan orang laki-laki
merendahkan kumpulan yang lain, boleh jadi yang ditertawakan itu lebih
baik dari mereka. dan jangan pula sekumpulan perempuan merendahkan
kumpulan lainnya, boleh jadi yang direndahkan itu lebih baik. Dan
janganlah suka mencela dirimu sendiri dan jangan memanggil dengan
gelaran yang mengandung ejekan. seburuk-buruk panggilan adalah
(panggilan) yang buruk sesudah iman dan barangsiapa yang tidak
bertobat, maka mereka itulah orang-orang yang zalim. Hai orang-orang
yang beriman, jauhilah kebanyakan purba-sangka (kecurigaan), karena
sebagian dari purba-sangka itu dosa. dan janganlah mencari-cari
keburukan orang dan janganlah menggunjingkan satu sama lain. Adakah
seorang diantara kamu yang suka memakan daging saudaranya yang
sudah mati? Maka tentulah kamu merasa jijik kepadanya. dan
bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Penerima taubat
lagi Maha Penyayang”. (QS. al-Hujurāt [49]: 11-12)
“Apabila kamu diberi penghormatan dengan sesuatu penghormatan,
Maka balaslah penghormatan itu dengan yang lebih baik dari padanya,
atau balaslah penghormatan itu (dengan balasan yang serupa).
Sesungguhnya Allah memperhitungankan segala sesuatu.” (QS. al-Nisa‘
[4]: 86)
“Dan orang-orang yang beriman, lelaki dan perempuan, sebahagian
mereka (adalah) menjadi penolong bagi sebahagian yang lain. mereka
menyuruh (mengerjakan) yang ma'ruf, mencegah dari yang munkar,
mendirikan shalat, menunaikan zakat dan mereka taat pada Allah dan
63
Rasul-Nya. mereka itu akan diberi rahmat oleh Allah; Sesungguhnya
Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.” (QS. al-Taubah [9]: 71)
Dengan demikian, matan Hadis yang diteliti berkualitas maqbūl. Karena
telah memenuhi kriteria-kriteria yang dijadikan sebagai tolak ukur matan Hadis
yang dapat diterima.
C. Kehujjahan Hadis
Dari segi kehujjahan hadis tentang nongkrong di pinggir jalan sudah jelas
bahwa hadis ini adalah hadis yang shahih, dilihat dari para perawi yang
meriwayatkan hadis ini seperti Imām Bukhārī, Muslim dan lainnya yang sudah
teruji kredibilitasnya maka hadis tentang nongkrong di pinggir jalan ini layak
untuk dijadikan pegangan atau hujjah.
Dengan demikian Hadis ini bisa dijadikan sebagai ḥujjah atau landasan
dalam pengambilan sebuah hukum serta bisa diamalkan. Sebab kandungan ajaran
moral yang terkandung dalam Hadis ini tidak bertentangan dengan beberapa tolak
ukur yang dijadikan barometer dalam penilaian, bahkan kandungan Hadis ini
selaras dengan pesan moral yang terdapat dalam al-Qur‘an.
D. Asbabul Wurud
Sabāb al-wurūd Hadis yang dijadikan sebagai obyek penelitian ialah
adanya pertanyaan dari sahabat tentang hak jalan yang harus dipenuhi oleh orang-
orang yang duduk di pinggir jalan setelah mereka menyatakan keberatan atas
larangan dari Nabi saw.32
32 Ibn Ḥamzah al-Ḥusainī al-Ḥanafī, Al-Bayān wa al-Ta'rīf fī Asbāb Wurūd al-Ḥadīth al-
Sharīf, vol. 2 (Madinah: Al-Thaqafah, 1999), h. 118.
64
Dalam redaksi Hadis yang diteliti terdapat susunan kata ا اج yang
menurut ulama ahli nahwu disebut sebagai susunan اتحر س . Taḥdhīr adalah
ungkapan untuk mengingatkan mukhāṭāb agar menjauhi hal yang dibenci. Pada
dasarnya susunan taḥdhīr mencakup pada tiga hal, yaitu: 1) Al-Muḥadhdhīr, ialah
orang yang mengingatkan; 2) Al-Muḥadhdhār, ialah orang yang diingatkan; dan
3) Al-Muḥadhdhār minhu, ialah sesuatu yang diharapkan untuk dijauhi.33
Tiga komponen di atas apabila diterapkan dalam susunan taḥdhīr yang
terdapat dalam matan Hadis, maka al-Muḥādhdhīr-nya adalah Rasulullah saw.
Sedangkan al-Muḥadhdhār-nya ialah sahabat Nabi, dan Muḥadhdhār minhu-nya
berbentuk aktifitas duduk-duduk di jalan.
Substansi makna yang terkandung dalam Hadis tersebut pada dasarnya
berisi larangan untuk melakukan aktifitas duduk-duduk di jalan. Hal ini bisa
dilihat dari adanya teguran Nabi kepada para sahabatnya yang sedang melakukan
akifitas duduk-duduk di jalan.
Imām al-Qurṭubī berkata bahwa para ulama memahami larangan tersebut
bukan bersifat haram, tetapi larangan tersebut lebih mengarah kepada سد ارز ئع
(mencegah sesuatu yang menjadi perantara timbulnya perbuatan yang negatif) dan
menunjukkan sesuatu kebaikan.34
Perkataan para sahabat ―sesungguhnya kami perlu duduk-duduk untuk
berbincang-bincang‖. Dalam riwayat Muslim (hadis no. 2161) dari hadis Abū
Ṭalḥah ra terdapat tambahan kata-kata ―dan untuk saling mengingatkan
33 Jamāl al-Dīn ‗Abdullāh bin Hishām, Audlah al-Masālik, vol. 4 (Lebanon: Dār al-Fikr,
1994), h. 70. 34 Badr al-Dīn Abī Muḥammad Maḥmūd bin Aḥmad al-‗Ainī, „Umdah al-Qarī Sharḥ
Ṣaḥīḥ al-Bukhārī, vol. 13 (Lebanon: Dār al-Fikr, t.th), 13.
65
(menasihati)‖. Dari riwayat ini pula diketahui, bahwa yang mengucapkan
perkataan tersebut adalah Abū Ṭalḥah ra.35
Al-Qāḍī ‗Iyāḍ berkata,‖Dalam perkataan sahabat tersebut terdapat dalil
yang menunjukkan, bahwa perintah Rasulullah saw kepada mereka itu tidak untuk
kewajiban, melainkan bersifat anjuran dan keutamaan. Karena, kalau mereka
memahaminya sebagai kewajiban, tentu mereka tidak akan merajuk kepada
Rasulullah saw seperti itu. Dan hal ini dijadikan dalil oleh mereka yang
berpendapat bahwa perintah-perintah itu tidak mengandung kewajiban.‖
Ibn Ḥajar rahimahullah berkomentar: ―Namun, ada kemungkinan bahwa
mereka mengharapkan adanya nasakh (penghapusan hukum kewajiban tersebut)
untuk meringankan apa yang mereka adukan perihal keperluan mereka melakukan
hal itu, dan hal ini didukung oleh apa yang tersebut dalam Mursāl Yaḥyā bin
Ya‘mūr, di sana terdapat kata-kata ‗maka mereka mengira bahwa hal itu
merupakan keharusan (kewajiban)‘.‖ 36
• Perkataan ―jika kalian tidak bisa melainkan harus duduk-duduk, maka berilah
hak jalan tersebut‖. Ibn Ḥajar berkata,‖Dari alur pembicaraan ini jelaslah,
bahwa larangan (duduk-duduk di tepi jalanan atau semisalnya) dalam hadis ini
adalah untuk tanzih (yang bermakna makruh bukan haram), agar tidak
mengendurkan orang yang duduk-duduk untuk memenuhi hak (jalan) yang
wajib ia penuhi‖. Imām al-Nawāwī rahimahullah berkata, ―… dan maksudnya
adalah bahwa duduk-duduk di tepi jalanan itu dimakruhkan‖. 37
35 [Lihat Fatḥ al-Bārī, 5/135]. 36 Aḥmad bin ‗Alī bin Ḥajar al-‗Asqalānī, Fatḥ al-Bārī bi Sharḥ Ṣaḥīḥ Bukhārī, vol. 11
(Lebanon: Dār al-Fikr, 1996), 11. 37 [Syarh Shahih Muslim, 14/120].
66
Menurut Al-Qādli ‗Iyādl, larangan ini tidak menunjukkan hukum wajib.
sebab jika di fahami demikian niscaya para sahabat tidak menyatakan rasa
keberatannya atas larangan Nabi seraya berkata: م بد اى مه مج اسى وتحدث ه ,
ungkapan inilah yang menjadi landasan bahwa larangan itu tidak wajib. Al-Hāfizh
Ibn Hajar berkata bahwa pernyataan sahabat tersebut mengandung kemungkinan
adanya harapan sahabat supaya hukum larangan tersebut di-naskh oleh Nabi
saw.38
Mendengar keberatan para sahabatnya atas larangan itu, maka Nabi saw.
mensyaratkan pada mereka beberapa hal yang harus di patuhi ketika duduk-duduk
dijalan seraya bersabda: ن ب ت عل الس ق ح ه agar terhindar dari hal-hal yang
bisa menimbulkan kerusakan. Maksudnya adalah jika seseorang tidak dapat
menghindar kecuali harus duduk-duduk dijalan untuk mengadakan perjanjian,
membicarakan sesuatu yang berkaitan dengan urusan-urusan agama maupun
kemaslahatan urusan dunia, dan menghibur diri dengan berbicara sesuatu yang
diperbolehkan oleh sharā‟, maka ia harus memenuhi hak-hak jalan yang diajarkan
oleh Nabi saw.39
Dalam Hadis tersebut Rasulullah saw. melarang duduk di pinggir jalan.
Kemudian beliau membolehkannya dengan catatan harus menunaikan hak-hak
jalan tersebut sebagai syarat pembolehannya. Larangan tersebut ditujukan bagi
mereka yang tetapi ingin duduk di pinggir jalan tetapi tidak menunaikan syarat-
syarat tadi. Padahal duduk di tempat tersebut dibolehkan bagi mereka yang dapat
menjamin dirinya menunaikan syarat-syarat dibolehkannya duduk di pinggir
38 Aḥmad bin ‗Alī bin Ḥajar al-‗Asqalānī, Fatḥ al-Bārī bi Sharḥ Ṣaḥīḥ Bukhārī, h. 11. 39 Aḥmad bin ‗Alī bin Ḥajar al-‗Asqalānī, Fatḥ al-Bārī bi Sharḥ Ṣaḥīḥ Bukhārī, h. 12.
67
jalan. Dengan demikian, jelaslah perbedaan antara larangan Nabi saw. dan
pembolehannya. Hadis ini juga menunjukkan bolehnya mempergunakan jalan-
jalan umum untuk menjalankan aktifitas selama tidak menimbulkan bahaya bagi
para pengguna jalan.40
Secara akal hak-hak yang harus dipenuhi tersebut bukan hak yang harus
diberikan kepada jalan tetapi hak tersebut merupakan hak yang harus diterima
oleh para pengguna jalan. Karena jalan merupakan benda yang mati yang tidak
mungkin untuk dapat menerima hak-hak tersebut. Hal ini dapat dianalogikan
dengan firman Allah swt yang berbunyi سأل ا س (dan bertanyalah pada desa),
secara logika tidak mungkin seseorang bertanya pada desa yang merupakan benda
mati, tetapi yang dimaksud ialah bertanya pada penduduk desa.
Oleh karena itu nabi memberi batasan kepada ummatnya yang gemar
nongkrong di pinggir jalan seperti; menundukkan pandangan, tidak mengganggu,
menjawab salam dan menyuruh pada kebaikan dan melarang kejelekan. jika di
antara batasan-batasan diatas tidak dapat dipenuhi maka nabi menganjurkannya
untuk menghindari nongkrong dipinggir jalan karena mudlorotnya lebih besar dari
manfaatnya.
40 Abī Ja‘far al-Ṭahāwī, Musykil al-Āthār, vol. 1 (Lebanon: Dār al-Kutub al-‗Ilmiyyah,
t.th), 43.
68
BAB IV
PENUTUP
A. Kesimpulan
Dari penelitian yang sudah dilakukan dapat disimpulkan sebagai berikut:
Nongkrong dipinggir jalan adalah kegiatan yang biasa dilakukan oleh para
sahabat. Pada awalnya, nabi melarang sahabat yang biasa nongkrong dipinggir
jalan karena melihat banyaknya mudlorot yang ditimbulkan di dalamnya. Namun,
karena menjadi suatu kebiasaan dan tidak semua nongkrong menimbulkan
dampak negatif maka nabi membolehkan dengan memberi ketentuan-ketentuan di
dalamnya seperti:
1) Terhindar dari pandangan orang yang duduk di jalan yang bisa
menimbulkan fitnah;
2) Terhindar dari ucapan maupun perbuatan yang negatif dari orang-orang
yang duduk di pinggir jalan;
3) Dihormati dan dijawab salamnya apabila ia mengucapkan salam; dan
4) Diperintah untuk melakukan kebaikan dan dicegah dari perbuatan yang
munkar.
B. Saran
Manusia yang mulia bukanlah yang banyak harta bendanya, tinggi
kedudukannya, tampan rupanya ataupun keturunan bangsawan, akan tetapi yang
69
terpuji akhlaknya. Baik akhlak terhadap Allah swt. maupun akhlak terhadap
sesama manusia.
Kunci akhlak yang baik adalah dari hati yang bersih. Dan hati yang bersih
adalah hati yang selalu mendapatkan cahaya dan sinar dari Allah SWT. Dengan
sinar itu, hati akan dapat melihat dengan jelas mana akhlak yang baik dan mana
akhlak yang buruk. Mana perbuatan terpuji dan mana perbuatan yang tercela.
Maka dari itu, berdoa kepada Allah swt. adalah upaya yang tepat untuk
mendapatkan cahaya dari-Nya
Aktifitas duduk-duduk di pinggir jalan merupakan perbuatan yang sudah
menjamur di masyarakat. Perbuatan tersebut seharusnya diimbangi dengan
pengetahuan mereka terhadap tatanan agama yang mengatur berbagai perilaku
manusia diantaranya ialah yang berkaitan dengan hak yang harus diberikan
kepada para pengguna jalan. Sehingga perbuatan tersebut tidak membawa dampak
yang negatif bagi orang lain.
Kajian terhadap hadis tentang hak bagi pengguna jalan dalam skripsi ini
tentunya masih banyak sekali kekurangan-kekurangan yang perlu untuk
disempurnakan, untuk itu diharapkan kajian ini dapat lanjutkan dengan lebih teliti
dan mendalam. Sehingga kajian ini akan menjadi kontribusi bagi masyarakat pada
umumnya lebih-lebih bagi umat Islam.
70
DAFTAR PUSTAKA
al-„Abbās Aḥmad bin Muḥammad, Shihāb al-Dīn Abī. Irsyād al-Sāri li Sharḥ
Ṣaḥīḥ al-Bukhārī, Lebanon: Dar al-Kutub al-„Ilmiyyah, 2009.
Al-Alūsi. Rūḥ al-Ma’ānī dalam CD ROOM al-Maktabah al-Syamilah, Pustaka
Ridwan, 2008.
Arikunto, Suharsimi. Prosedur Penelitian: Suatu Pendekatan Praktek, Jakarta: PT
Rineka Cipta, 1996.
Ali, Nizar. Memahami Hadis Nabi: Metode dan Pendekatan, Yogyakarta: YPI al-
Rahmah, 2001.
Ahmadi, Abu. Ilmu Sosial Dasar, Jakarta: Rineka Cipta, 1997.
Akhmad Nggufron “Hak Bagi Pengguna Jalan Dalam Kitab Sunan Abu Daud”
(Skripsi Program Studi Tafsir Hadis Fakultas Ushuluddin UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta, 2010.
al-Bāqi, Muḥammad Fu‟ād „Abd. Al-Lū’lū’ wa Marjān Fimā Ittaqafa ‘Alaihi al-
Shaikhānī al-Bukhārī wa Muslim, terj. Arif Rahman Hakim, Kumpulan
Hadis Shahih Bukhari-Muslim, Sukoharjo Jawa Tengah: Insan Kamil
Solo, 2013.
Darmansyah. Ilmu Sosial Dasar, Surabaya: Usaha Nasional, 1986.
Al-Faruqi. Prinsip-prinsip Islam, Bandung: PT Al-Ma‟arif, 1997.
Goode, William J. Sosiologi Keluarga, terj. Lailahanoum Hasyim, Jakarta: Bina
Aksara, 1983.
al-Ḥanafī, Ibn Ḥamzah al-Ḥusaini. Al-Bayān wa al-Ta'rīf fī Asbāb Wurūd al-
Hadīth al-Sharīf, Madinah: Al-Tsaqafah, 1999.
Hishām, Jamāl al-Dīn „Abdullāh bin. Audlah al-Masālik, Lebanon: Dār al-Fikr,
1994.
Ismail, M. Syuhudi. Hadīts Nabi Menurut Pembela, Pengingkar dan Pemalsunya,
Jakarta: Gema Insani Press, 1995.
Ibn Ḥajar al-Asqalanī, Al-Imam al-Ḥāfiẓ. Fatḥ al-Bārī Syar Shahih al-Bukhari,
terj. Amiruddin, Fathul Baari: Penjelasan Kitab Shahih al-Bukhari,
Jakarta: Pustaka Azzam, 2007.
----------, Fatḥ al-Bārī bi Syarh Shahīh Bukhāri, Lebanon: Dār al-Fikr, 1996.
71
al-Munawwar, Said Agil Husain. Asbabul Wurud, Yogyakarta: Pustaka Pelajar,
2002.
----------. Studi Hadis Nabi, Jogjakarta: Pustaka Pelajar, 2001.
Munawwir, Ahmad Warson. Al-Munawwir Kamus Arab-Indonesia, Surabaya:
Pustaka Progresif, 1997.
Mardalis. Metode Penelitian Suatu Pendekatan Proposal, Jakarta: Bumi Aksara,
1995.
Mahmūd bin Ahmad al-„Ainī, Badruddīn Abī Muhammad. ‘Umdah al-Qarī Sharḥ
Shahīh al-Bukhārī, Lebanon: Dār al-Fikr, t.th.
al-Qurṭubī, Abū „Abdillāh Muḥammad. al-Jāmi’ li Aḥkām al-Qur’ān, terj.
Fathurrahman dan Ahmad Hotib, Ta‟līq: Muḥammad Ibrahīm al-
Hifnawī, takhrīj: Maḥmūd Ḥamid „Uthmān, Jakarta: Pustaka Azzam,
2008.
Romli, Atmasasmita. Problem Kenakalan Anak-anak Remaja, Bandung: Yuridis
Sosk Kriminologi, 1993.
Surahman, Winarno. Pengantar Penelitian Ilmiah, Bandung: Tarsito, 1982.
Soetari, Endang. Ilmu Hadis, Bandung: Amal Bakti Press, 1997.
Symas al-Haq, Abū Thayyib Muhammad. ‘Aun al-Ma’būd Syarh Sunan Abī
Dāwud, Lebanon: Dar al-Fikr, th.
Santrock, Jhon W. Psikologi Pendidikan, Jakarta: Prenada Media Group, 2009.
al-Ṣan‟ānī, Muḥammad bin al-Amīr. Subūl al-Salām Syarah Bulūgh al-Marām,
Beirut: Dār Ibn Jauzī, 1421.
al-Ṭahāwī, Abī Ja‟far. Musykil al-Āthār, Lebanon: Dār al-Kutūb al-„Ilmiyyah, t.th.
al-Ṭabarī, Ibn Jarīr. Tafsīr al-Ṭabarī dalam CD ROOM al-Maktabah al-Syamilah,
Pustaka Ridwan: 2008.
Tafsir al-Lubāb dalam CD ROM al-Maktabah al-Syamilah, Pustaka Ridwan:
2008.
al-Wasytani, Muhammad bin Khulaifah. Ikmāl Ikmāl al-Mu’allim, Lebanon: Dar
al-Kutub al-„Ilmiyyah, 2008.
Yakub, Ali Mustafa. Kritik Hadis, Jakarta: Pustaka Firdaus, 2008.
72
Yusuf, Syamsu. Psikologi perkembangan Anak dan Remaja, Jakarta: Citra Press,
2001.
Yunita, Sari. Fenomena dan tantangan Remaja Menjelang Dewasa, Yogyakarta:
Brilliant Books, 2011.
Website
Rahman, “Pengertian Berjudi dalam Islam dan Jenis Berjudi” artikel ini diakses
pada tanggal 12 Februari 2014 dari
http://hildadamayanti48.wordpress.com/2012/09/15/pengertian-berjudi-
dalam-islam-dan-jenis-berjudi/
Januri, “Kriminalitas Geng Motor Akibat Rasa Frustasi Remaja” artikel ini
diakses pada tanggal 14 Februari 2014 dari
http://www.republika.co.id/berita/nasional/jabodetabek-
nasional/14/02/21/n1by5d-kriminalitas-geng-motor-akibat-rasa-frustasi-
remaja
Siraj “Pengertian Geng Motor-Kenakalan Remaja”, artikel ini diakses „pada
tanggal 30 februari 2014 dari
http://www.kemhan.com/2012/04/pengertian-geng-motor-kenakalan-
remaja.html
Haryanto, “Kenakalan Remaja”, artikel ini diakases pada tanggal 23 Maret 2014
dari http://belajarpsikologi.com/kenakalan-remaja/
Ahmad Syahrin Thoriq, “Ghibah”, artikel ini diakses pada 1 Februari 2014 dari
http://nahnudai.blogspot.com/
Kamus Besar Bahasa Indonesia Online, artikel ini diakses pada tanggal 11 Januari
2014 dari http://kbbi.web.id/tongkrong
Mira, “Arti Kata Nongrong”, artikel ini diakses pada tanggal 11 Januari 2014 dari
http://kitabgaul.com/word/nongkrong
Andre, “Kongkow”, artikel ini diakses pada tanggal 11 Januari 2014 dari
http://kitabgaul.com/word/kongkow
Mantos, “Nongkrong”, artikel ini diakses pada tanggal 11 Januari 2014 dari
http://kamusslang.com/arti/nongkrong
Yudha Prayogi, “Arti Nongkrong”, artikel ini diakses pada tanggal 11 Januari
2014 dari http://wekawek.blogspot.com/2012/08/arti-nongkrong.html
Shane, “Arti Nongkrong”, artikel ini diakses pada tanggal 15 Januari 2014 dari
http://shanexa.wordpress.com/author/shanexa/
73
Shane, “Apa Sih itu Nongkrong”, artikel ini diakses pada tanggal 15 Januari 2014
dari http://shanexa.wordpress.com/2013/02/13/apa-sih-itu-nongkrong/
Didi, “Kenakalan Remaja dan Solusi Perspektif Islam”, artikel ini diakses pada
tanggal 17 februari 2014 dari http://rururudididi.blogspot.com/
Eva Emania Eliasa, “Kenakalan Remaja: Penyebab dan Solisinya”, artikel ini
diakses pada tanggal 25 Februari 2014 dari
http://staff.uny.ac.id/sites/default/files/tmp/Microsoft%20Word%20-
%20KENAKALAN%20REMAJA_PENYEBAB%20DAN%20SOLUSI
_.pdf
Agus Hery, “Nongkrong” di Pinggir Jalan Sambil Menebar Kebaikan”, artikel ini
diakses pada tanggal 23 februari 2014 dari http://alifmagz.com/?p=14258
Agus Hery, “Nongkrong” di Pinggir Jalan Sambil Menebar Kebaikan”, artikel ini
diakses pada tanggal 23 februari 2014 dari http://alifmagz.com/?p=14258
Agus Hery, “Nongkrong” di Pinggir Jalan Sambil Menebar Kebaikan”, artikel ini
diakses pada tanggal 23 Februari 2014 dari
http://alifmagz.com/?p=14258