nkp 7

41
MARKAS BESAR KEPOLISIAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA SEKOLAH STAF DAN PIMPINAN PERKEMBANGAN GEO POLITIK DAN DEMOKRASI PADA OTONOMI DAERAH JUDUL STRATEGI POLRI DALAM MENANGANI DAMPAK KONFLIK ELIT POLITIK GUNA MEMANTAPKAN OTONOMI DAERAH DALAM RANGKA MEWUJUDKAN KAMTIBMAS YANG MANTAP BAB I PENDAHULUAN 1. Latar belakang Keamanan dan ketertiban masyarakat merupakan kondisi ideal yang hendak diwujudkan dalam mendukung berlangsungnya pembangunan nasional sehingga memberikan kesempatan luas kepada masyarakat untuk berkiprah dan meningkatkan kehidupan dan penghidupannya. Reformasi yang bercirikan demokratisasi dan keterbukaan telah mendorong perubahan politik dan format negara dari sentralisasi ke desentralisasi melalui kebijakan otonomi daerah. Perubahan politik dan demokrasi tersebut telah mengubah perilaku masyarakat yang mengekspresikan kebebasannya secara leluasa. Demikian pula, elit politik daerah yang memiliki kekuatan signifikan dalam percaturan 1

Upload: lean-dha

Post on 13-Dec-2015

285 views

Category:

Documents


2 download

DESCRIPTION

Bab I

TRANSCRIPT

MARKAS BESARKEPOLISIAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA SEKOLAH STAF DAN PIMPINAN

PERKEMBANGAN GEO POLITIK DAN DEMOKRASI PADA OTONOMI DAERAH

JUDUL

STRATEGI POLRI DALAM MENANGANI DAMPAK KONFLIK ELIT POLITIK

GUNA MEMANTAPKAN OTONOMI DAERAH

DALAM RANGKA MEWUJUDKAN KAMTIBMAS YANG MANTAP

BAB I

PENDAHULUAN

1. Latar belakang

Keamanan dan ketertiban masyarakat merupakan kondisi ideal yang hendak diwujudkan

dalam mendukung berlangsungnya pembangunan nasional sehingga memberikan

kesempatan luas kepada masyarakat untuk berkiprah dan meningkatkan kehidupan dan

penghidupannya.

Reformasi yang bercirikan demokratisasi dan keterbukaan telah mendorong perubahan

politik dan format negara dari sentralisasi ke desentralisasi melalui kebijakan otonomi

daerah. Perubahan politik dan demokrasi tersebut telah mengubah perilaku masyarakat

yang mengekspresikan kebebasannya secara leluasa. Demikian pula, elit politik daerah

yang memiliki kekuatan signifikan dalam percaturan politik dan pemerintahan daerah

tidak jarang menampilkan perilakunya yang bersebrangan dengan konsep berpolitik dan

berdemokrasi yang sesungguhnya. Apalagi dengan adanya Pilkada langsung dimana

peran partai politik menjadi signifikan, maka peran elit politik sangat mewarnai kondisi

politik yang ada di daerah.

Hubungan antar elit politik di daerah seringkali diwarnai dengan konflik kepentingan

yang tidak hanya berada di wilayah politik, tetapi merembes ke bawah hingga di tingkat

grassroot. Konflik politik yang melibatkan masa menimbulkan konflik destruktif yang

1

bukan hanya merugikan perkembangan politik, tetapi juga membuat kerawanan

Kamtibmas. Untuk itu, Polri dituntut untuk dapat mencegah dan menanggulangi berbagai

dampak perkembangan politik dan demokrasi di daerah, khususnya menghadapi konflik

elit politik di daerah yang berimbas kepada kerawanan Kamtibmas.

Berdasarkan pemikiran tersebut, NKP ini akan memfokuskan pembahasan kepada konflik

elit politik daerah yang menyebabkan muncurnya kerawanan Kamtibmas.

2. Pokok permasalahan

Konflik elit politik di daerah daerah, menyebabkan kerawanan Kamtibmas dan terjadinya

tindakan tindakan anarkisme massa.

3. Persoalan

a. Tujuan Otda tidak dihayati oleh elit politik daerah

b. Masyarakat mudah terkena isu politik

c. Kerja sama Polri dengan Pemda lemah

d. Bagaimana upaya pemecahan masalahnya

4. Ruang lingkup

Pembahasan NKP ini dibatasi pada konflik elit politik, yakni pengurus partai politik,

anggota DPRD dari partai politik, dan tokoh politik di daerah yang berdampak kepada

Kamtibmas.

5. Tata urut penulisan.

Bab I Pendahuluan berisi latar belakang, pokok permasalahan dan persoalan, ruang

lingkup dan tata urut penulisan.

Bab II Kajian kepustakaan, berisi teori dan pandangan ahli mengenai perkembangan

politik dan demokrasi dan EFAS-IFAS

Bab III Kondisi faktual, berisi kondisi dampak konflik elit politik daerah terhadap

kamtibmas saat ini.

Bab IV Faktor-faktor yang mempengaruhi, terdiri atas faktor eksternal meliputi Peluang

dan Kendala dan Faktor Internal yang terdiri atas Kekuatan dan Kelemahan

Bab V Kondisi Ideal, yakni dampak konflik elit politik daerah terhadap kamtibmas yang

diharapkan

2

Bab VI Upaya pemecahan masalah yang meliputi penyusunan visi, misi, tujuan, sasaran,

kebijakan, dan strategi yang dikaji melalui analisis EFAS-IFAS.

Bab VII Penutup yang terdiri dari Kesimpulan dan Rekomendasi.

3

BAB II

KAJIAN KEPUSTAKAAN

6. Teori kultur Politik dan demokrasi

Budaya politik merupakan deskripsi konseptual yang menggambarkan

komponen-komponen budaya politik dalam tataran masif (dalam jumlah besar), atau

mendeskripsikan masyarakat di suatu negara atau wilayah, bukan per-individu. Hal ini

berkaitan dengan pemahaman, bahwa budaya politik merupakan refleksi perilaku warga

negara secara massal yang memiliki peran besar bagi terciptanya sistem politik yang

ideal1. Dari pengertian di atas dapat dipahami bahwa budaya politik berkaitan dengan

sikap masyarakat, yakni refleksi perilaku masyarakat terhadap sistem politik yang ada.

Hubungan antara budaya politik dan demokratisasi sangat erat. Budaya politik memiliki

pengaruh penting dalam perkembangan demokrasi. Demokratisasi tidak berjalan baik

apabila tidak ditunjang oleh terbangunnya budaya politik yang sesuai dengan prinsip-

prinsip demokrasi.

Dalam merespons tuntutan perubahan, kemungkinan munculnya dua sikap yang

secara diametral bertentangan, yaitu "mendukung" (positif) dan kemungkinan pula

"menentang" (negatif), sulit dielakkan. Sebagai sebuah proses perubahan dalam

menciptakan kehidupan politik yang demokratis, realisasi demokratisasi juga dihadapkan

pada kedua kutub yang bertentangan itu, yaitu budaya politik masyarakat yang

mendukung (positif) dan yang menghambat (negatif) proses demokratisasi.

Budaya politik yang matang termanifestasi melalui orientasi, pandangan, dan

sikap individu terhadap sistem politiknya. Budaya politik yang demokratis akan

mendukung terciptanya sistem politik yang demokratis. Budaya politik demokratis

adalah suatu kumpulan sistem keyakinan, sikap, norma, persepsi dan sejenisnya yang

menopang terwujudnya partisipasi. Budaya politik yang demokratis merupakan budaya

politik yang partisipatif, yang diistilahkan sebagai civic culture. Karena itu, hubungan

antara budaya politik dan demokrasi (demokratisasi) dalam konteks civic culture tidak

dapat dipisahkan.

1 R. Siti Zuhro, Suara Karya, 25 Maret 2010

4

Adanya fenomena demokrasi atau tidak dalam budaya politik yang berkembang

di suatu masyarakat tidak hanya dapat dilihat dari interaksi individu dengan sistem

politiknya, tetapi juga interaksi individu dalam konteks kelompok atau golongan dengan

kelompok dan golongan sosial lainnya. Dengan kata lain, budaya politik dapat dilihat

manifestasinya dalam hubungan antara masyarakat dan struktur politiknya, dan dalam

hubungan antarkelompok dan golongan dalam masyarakat itu2.

Agenda demokratisasi seharusnya dipandang berdimensi horizontal (pengaturan

hubungan antarinstitusi politik utama) dan vertikal yang membuka ruang bagi akses

warga untuk terlibat dalam proses politik dan pemerintahan. Keduanya bisa saling

memperkuat dan berjalan simultan. Untuk itu, diperlukan upaya memupuk vitalitas

demokrasi seperti pengembangan nilai dan keterampilan demokrasi di kalangan warga,

meningkatkan akuntabilitas dan responsivitas terhadap kepentingan publik dan

meningkatkan checks and balances dan rasionalitas politik di antara lembaga-lembaga

kekuasaan. Dengan melakukan hal tersebut, jalan bagi demokrasi menjadi lebih terbuka.

7. Teori konflik

Konflik adalah adanya oposisi atau pertentangan pendapat antara orang-orang, kelompok-

kelompok atau organisasi-organisasi3. Konflik kelompok biasanya timbul dalam kondisi-

kondisi berikut:

a. dianutnya nilai-nilai baru oleh anggota-anggota kelompok tertentu;

b. sebuah kesulitan atau problem baru, dihadapi oleh kelompok dimana para anggotanya

mempersepsinya dengan cara-cara yang berbeda-beda;

c. peranan seorang anggota di luar kelompok tersebut bertentangan dengan peranan

angota tersebut di dalam kelompok itu.

Konflik terbagi dua macam, yaitu:

a. Konflik-konflik substantive (substantive conflicts), yaitu ketidak sesuaian paham

tentang hal-hal yang substansial, seperti tujuan-tujuan, kebijaksanaan-kebijaksanaan,

dan lain-lain.

2 Ibid 2010

3 Winardi, 1994, Teori Konflik, Jakarta: Gramedia, hal 5

5

b. Konflik-konflik emosional (emotional conflicts), yaitu konflik yang timbul karena

perasaan marah, ketidakpercayaan, ketidak senangan, takut dan sikap menentang

dan sebagainya.

Konflik dapat berupa konflik destruktif dan konstruktif. Konflik destruktif

menimbulkan kerugian, sedangkan konflik konstruktif menimbulkan keuntungan-

keuntungan. Konflik yang terjadi di masyarakat pada umumnya menjadi sebab

terjadinya berbagai perilaku yang bersifat destruktif dapat berupa kerusuhan massal

yang menimbulkan kerugian, seperti kerusakan dan kehancuran harta benda bahkan juga

menelan korban jiwa.

Konflik destruktif yang menurut Meliala4 disebut dimensi negatif tentang konflik

memiliki ciri-ciri sebagai berikut:

a. Dekat dengan kekerasan bahkan darah

b. Penuh amarah, emosional

c. Kondisi setelah musyawarah atau kata sepakat tidak bisa lagi

berjalan/ dicapai

d. Boleh dan bisa berbuat apa saja

e. Intensi untuk mendestruksi

Unjuk rasa pada dasarnya adalah konflik yang mengandung potensi yang menjurus

ke arah destruktif bahkan bisa berkembang menjadi kekerasan meliputi tindakan,

perkataan, sikap, yang menyebabkan kerusakan secara fisik, mental, sosial atau

lingkungan.

8. EFAS-IFAS

EFAS-IFAS adalah bagian dari analisa SWOT adalah identifikasi berbagai faktor secara

sistimatis untuk merumuskan strategi perusahaan analisis ini didasarkan pada logika yang

dapat memaksimalkan kekuatan dan peluang, namun bersamaan dapat meminimalkan

kelemahan dan ancaman5. Teori ini sangat relevan untuk digunakan dalam menganalisa

kekuatan dan kelemahan organisasi dalam upaya mengetahui hakekat ancaman dan

peluang agar pimpinan dapat menentukan langkah pengambilan keputusan.

4 Meliala, 2007, Mungkinkah Mewujudkan Polisi Yang Bersih, Jakarta: Kemitraan

5 Rangkuti F, 2010, Analisi SWOT: Teknik Membedah Kasus Bisnis, Jakarta: Gramedia, hal.8

6

Adapun penggunaan teori ini pada penulisan nastrap ini adalah dititik beratkan pada

kondisi Polantas dari berbagai aspek sehingga setiap pimpinan akan dapat dengan mudah

melaksanakan Audit Kesehatan Organisasinya untuk mengetahui kelemahan kelemahan

yang ada di dalam kesatuannya sehingga memudahkan dalam mencari solusinya dan

membuat suatu kebijakan tentang hal tersebut, metode analisa SWOT adalah analisis

kekuatan (Strengths), analisis kelemahan (Weaknesses), analisis peluang (Opportunities),

dan analisis ancaman (Threats) yang dilakukan dilakukan dengan table-tabel analisa yang

telah ditetapkan.

7

BAB III

KONDISI FAKTUAL

9. Tujuan Otda tidak dihayati oleh elit politik daerah

Otonomi daerah dilaksanakan dalam rangka demokratisasi yang menjadi amanat

reformasi. Tujuannya untuk mewujudkan keadilan dan pemerataan serta memacu

peningkatan pelayanan dan kesejahteraan masyarakat. Keadilan dalam arti bahwa

masyarakat daerah yang memiliki potensi penting dapat dirasakan masyarakat yang

bersangkutan, sedangkan pemerataan dalam arti kue nasional dapat dimanfaat secara

merata kepada semua daerah. Sedangkan peningkatan pelayanan karena semakin

dekatnya pusat pemerintahan dengan masyarakatnya, yang semua itu diarahkan untuk

mempercepat kesejahteraan masyarakat secara keseluruhan.

Tujuan otonomi daerah tersebut di atas ternyata belum sepenuhnya dihayati oleh para elit

politik daerah sehingga perilaku mereka bertentangan dengan tujuan otonomi itu sendiri.

Misalnya KKN dalam penanganan proyek-proyek APBD yang ditumpangi kepentingan

politik partai. Dalam Harian Pikiran Rakyat 5 Agustus 2009 diberitakan bahwa beberapa

anggota pimpinan partai dan sebagian anggota DPRD di Tasikmalaya ikut berebut

proyek Pemda. Disinyalir ada oknum yang bermain di lingkungan panitia tender yang

berusaha memenangkan salah satu perusahaan yang dibackingi tokoh politik setempat6.

Dengan demikian tujuan otonomi daerah untuk meningkatkan kesejahteraan seluruh

rakyat di Indonesia agak menyimpang dimanfaatkan oleh kelompok kelompok politik

untuk kepentingan pribadi ataupun kepentingan politiknya. Mengingat dalam berpolitik

memerlukan dana yang kuat agar memperoleh dukungan di masyarakat. Parta politik

memerlkukan keuangan yang kuat untuk melanggengkan kekuasaannya, dimana budaya

politik yang tumbuh subuh ditengah masyarakat adalah kontrak politik dengan janji janji

atau kesepakatan pemenuhan kebutuhan suatau kelompok. Seperti contoh dalam Pilkada

Bupati di daerah Bali hampir seluruh kandidat melaksanakan kontrak sosial dengan

desa/kelurahan untuk memberikan bantuan apabila bisa memenangkan Pilkada, sudah

barang tentu dengan jumlah uang yang banyak. Demikian juga masyarakat akan

memberikan siuaranya dengan imbalan uang. Setelah Pilkkada selesai , untuk memenuhi

janji janji para pemenang maka memanfaatkan segala sumberdaya untuk kepentingan

6 Harian Pikiran Rakyat, 5 Agustus 2009

8

pribadi dan politiknya sehingga menyebabkan keresahan keresan dan konflik politik

yang sering berakhir dengan unjuk rasa dan aksi anarkisme.

10. Masyarakat mudah terkena isu politik

Masyarakat di tingkat paling bawah pada umumnya berpendidikan dan ekonomi terbatas

sangat rentan terhadap isu dan mudah emosi. Sifat emosional masyarakat biasanya

disebabkan karena tekanan ekonomi atau politik yang dipicu oleh pengaruh yang datang

berupa isu-isu yang memancing emosi. Isu-isu idiologis, politis, dan SARA biasanya

menjadi pemicu yang sangat kuat untuk membakar emosi masa. Dalam era otonomi

daerah, situasi yang rawan terjadi pada saat Pilkada langsung pada pra, proses, maupun

pasca pelaksanaannya. Salah satu bentuk kerawanan Pilkada diberitakan dalam Harian

Media7. Ketua Komisi Pemilihan Umum Samosir, Megianto Sinaga, dan komisioner

Risonti Panjaitan, kemarin siang hingga tadi malam disandera massa di Tomok, Samosir,

Sumatera Utara. Penyandera adalah pendukung pasangan calon kepala daerah yang tidak

puas atas Pilkada Samosir. Penyekapan selama 12 jam itu dipicu emosi massa yang

menduga banyak pemilih “siluman”. Menurut Megianto, awalnya dia dan Risonti

Panjaitan diminta ke Simanindo untuk menjelaskan kehadiran mahasiswa dari Medan,

namun malah disandera massa. ’’Bahkan status Risonti Panjaitan sebagai pendeta juga

dihina massa,’’kata Megianto kepada wartawan, Kamis (10/6) malam. Penyekapan

berakhir setelah KPU Samosir didampingi Panitia Pengawas Pilkada berunding dengan

massa. Pilkada Samosir diikuti 7 pasangan. Hasil perhitungan sementara, pasangan

Mangindar Simbolon - Mangadap Sinaga memperoleh 22.996 suara (37,08%), diikuti

pasangan Obel Sihol Sagala - Tigor Simbolon dengan 19.533 suara (31,50%).

11. Kerja sama Polri dengan Pemda lemah

Pasca otonomi daerah, Pemda kabupaten/ kota memiliki otonomi yang luas, sementara

organisasi Polri masih bersifat sentralistik, karena itu kerja sama Polri dengan Pemda

masih terkendala organisasi dan sistem koordinasi yang lemah. Hal ini dibuktikan

dengan adanya kebijakan Pemda yang tidak sinkron dengan program yang

dikembangkan Polri. Misalnya dalam penegakan Perda yang dilakukan oleh Sat Pol PP

yang mengakibatkan terjadinya pelanggaran hukum, baik yang dilakukan oleh

masyarakat maupun Sat Pol PP sendiri. Akibatnya Polri sebagai penanggung jawan

dalam penegakan hukum dan pemeliharaan Kamtibmas mendapatkan getahnya. 7 Harian Media 11 Juni 2010

9

Lemahnya koordinasi Polri dengan Pemda menimbulkan berbagai kearawanan sosial

yang mengancam Kamtibmas seperti yang terjadi dalam kerusuhan Koja yang

menimbulkan korban jiwa. Kompas8 memberitakan: Korban bentrokan antara warga dan

satpol dalam aksi penertiban makam Mbah Priok di Kompleks Pelabuhan Tanjung Priok,

Jakarta Utara bertambah menjadi 130 orang. Direktur Rumah Sakit Umum Daerah

(RSUD) Koja, Togi Asman merinci, jumlah korban anggota Satpol PP Sebanyak 66

orang, warga sipil tercatat 54 orang, dan aparat kepolisian sebanyak 10 orang. "Hingga

malam ini total korban ada 130 orang yang ke Koja," kata Togi, di RSUD Koja, Jakarta.

Peristiwa itu terjadi sebagai akibat lemahnya koordinasi dan kerja sama antara Polri

dengan Pemda DKI khususnya dengan Sat Pol PP.

BAB IV

8 Kompas, 14 April 2010

10

FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI

12. Faktor internal

a. Kekuatan

1) Polri memiliki kekuatan yang siap digerakkan untuk mengatasi gangguan

kamtibmas diseluruh Indonesia.

2) Polri telah mereformasi diri dengan meningkatkan pelayanan disegala lini dengan

program Quik Wins mencegah dan menanggulangi gangguan kamtibmas.

3) Polri telah menjalin hubungan koordinasi yang baik dengan para elit politik di

tingkat nasional maupun daerah

4) Polri mendapat dukungan dari pemrintah untuk mengamankan pelaksanaan

otonomi daerah

5) Polri memiliki strategi Polmas dalam mengidentifikasi masalah dan mengajak

masyarakat untuk mampu memecahkan permasalahannya dengan musyawarah

mufakat

b. Kelemahan

1) Pemahaman anggota Polri terhadap konflik politik rendah

2) Komunikasi Polri dengan elit politik ditingkat legislatif dan eksekutif serta

kekuatan politik terutama arus bawah masih kurang

3) Hubungan Polri dengan Pemda dalam hal masalah masalah kemanan dan keretiban

masyarakat masih lemah

4) Adanya pola prilaku yang mengkaitkan bantuan Pemda ke Polri sebagai kewajiban

dan apabila tidak mendapat bantuan muncul konflik antara Polri dan Pemda.

5) Polri jarang melakukan pembinaan terhadap instansi istansi pengemban fungsi

kepolisian seperti Sat Pol PP Pemda.

13. Faktor eksternal.

11

a. Peluang

1) Undang-undang No.32 tentang Otda

2) Pemda mendukung Polri untuk menangani tindak pidana yang terjadi di instansi

pemerintah maupun elit polituik.

3) Partai politik mendukung Polri untuk menangani kejahatan kejahatan yang terjadi

yang mengatasnamakan politik maupun gangguan kamtibmas yang lainnya.

4) Tokoh masyarakat bisa menjadi media, dapat diberdayakan dalam menyelesaikan

konflik elit politik

5) Masyarakat merasa butuh rasa aman dan ketertiban, bebas dari konflik konflik.

b. Kendala

1) Masih ada arogansi Pemda, yang ingin Polri mau melaksanakan tujuan politik

Pemerintah

2) Masih ada arogansi elit partai politik, yang mementingkan kelompok atau

partainya.

3) Masyarakat masih rentan terhadap isu politik

4) Masyarakat masih euforia kebebasan yang kebablasan

5) Masih ada tokoh masyarakat yang haus kekuasaan pengaruh

BAB V

12

KONDISI IDEAL

14. Tujuan Otda dapat dihayati oleh elit politik daerah

Tujuan Otda untuk meningkatkan pelayanan dan kesejahteraan masyarakat yang merata

dan berkeadilan dapat dihayati dengan baik oleh elit politik daerah, sehingga seluruh

kekuatan politik memiliki visi yang sama untuk mencapai tujuan tersebut. Elit politik

daerah akan bekerja sama dalam memajukan daerah dan mengenyampingkan

kepentingan partai dan golongan. Kepentingan partai politik pada saat Pilkadan

langsung dilakukan dengan etika politik yang tinggi sehingga persaingan di tingkat elit

tidak melibatkan kekuatan masa.

Kesadaran elit politik dalam memperjuangkan kepentingan politiknya dengan cara yang

etis dan mendahulukan kepentingan umum dibandingkan dengan kepentingan politik

mereka memiliki kontribusi yang positif terhadap Kamtibmas, sehingga persaingan

politik di tingkat elit tidak membuat kerawanan Kamtibmas yang mengganggu

implementasi Otda. Elit politik menghilangkan kepentingan sektoralnya atau

kepentingan partainya dengan mengutamakan kepentingan umum dan berpikir bahwa

parta politim bukanlah milik pendukungnya tetapi milik seluruh rakyat Indonesia. Tujuan

Otonomi daerah untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat hendaknya menjadi Visi

dan Missi dari seluruh elit politik untuk bergandengan tangan mencapainya melalui

kebersamaa, tidak ada yang saling curiga mencurigai.

15. Masyarakat tahan terhadap isu politik

Masyarakat daerah semakin cerdas dan terbuka sehingga mampu memilih berbagai

informasi yang datang kepada mereka. Masyarakat memiliki ketahanan dalam

menghadapi isu-isu yang memancing emosi, bahkan dapat mencegah dan menghindari

datangnya para provokator yang mengambil keuntungan politik. Ketahanan masyarakat

tersebut disebabkan karena kedewasaan politik dan daya tangkal yang kuat sehingga

dapat menghindarkan diri dari pengaruh negatif yang dapat mengganggu keamanan dan

ketertiban. Dengan demikian,

isu-isu politik yang akan dapat memancing emosi masa dapat dicegah karena masyarakat

memiliki daya tahan yang kuat sehingga tidak mudah terpropvokasi. Guna mewujudkan

daya tahan dalam perpolitikan maka para elit politik harus memberikan cotoh dengan

etika dan budaya politik yang santun dalam memecahkan permasalahan permasaklahan

13

sosial yang muncul ditengah tengah masyarakat. Jangan mengembang sikap sebagai

provokator untuk memenuhi keinginan yang hendak dicapai dengan membuat issu yang

negatif yang dapat memicu keresahan dan tindakan anarkis para pendukungnya.

16. Kerja sama Polri dengan Pemda kuat

Polri dan Pemda memilki persepsi yang sama tentang perlunya keamanan yang kondusif

bagi pembangunan daerah, karena kerja sama diantara keduanya dapat dijalin dan

dipadukan sehingga menjadi kekuatan yang sinergis. Pemda yang memilki Sat Pol PP

sebagai penegakan Perda selalu berkoordinasi dan bekerja sama dengan Polri, baik dalam

perencanaan maupun dalam pelaksanaan operasi. Kesamaan visi antara Polri dengan

Pemda serta kerja sama yang sinergis melahirkan kesadaran Pemda dan DPRD untuk

memberikan bantuan APBD untuk mendukung pelaksanaan tugas Polri di daerah.

Kerjasama Pemerintah Daerah tidak hanya dilakukan oleh undur pimpinan antara Bupati,

Kapolres, gubernur dengan Kapolda, tetapi juga kerjasama lintas instansi dengan

melakukan kegiatan bersama sama, baik dalam pelayanan, perlindungan, pengayoman

masyarakat. Polri dan pemda saling mhormat menghormati menjungjung tinggi tugasnya

masing masing, Pemda tidak boleh menarik Polri untuk memenangkan kepentingan

politiknya. Demikian juga Polri tidak boleh memandang bantuan Pemda dalam

operasional Polri berupa dukungan keuangan dikaitkan dengan keseriusan Pemda

membangun kerjasama dengan Polri. Artinya Pemda yang tidak memberikan bantuan

kepada Polri dianggap tidak berkawan akhirnya muncul jarak antara Polri dan pemda

yang bersumber dari masalah keuangan. Dewasa ini Pemda tidak boleh memberikan

bantuan tanpa dipertanggungjawabkan, semua harus dip[ertanggungjawabkan dan kalau

terjadi penyimpangan akan berurusan dengan KPK.

BAB VI

14

UPAYA PEMECAHAN MASALAH

17. Analisis strategi :

a. Teori Kultur Politik dan Demokrasi.

Menurut R. Siti Zuhro, dalam harian Suara Karya, 25 Maret 2010, menyatakan bahwa

budaya politik merupakan diskripsi konseptual yang menggambarkan komponen

komponen budaya politik dalam tataran jumlah besar atau mendeskripsikan

masyarakat disuatu negara atau wilayah, bukan perindividu. Dengan demikian prilaku

elit politik akan berpengaruh terhadap prilaku pendukungngnya secara massal yang

memiliki peran besar bagi terciptanya keamanan dan keretiban didalam masyarakat.

Budaya politik yang dianut oleh elit politik berkaitan dengan sikap masyarakat yakni

refleksi masyarakat terhadap pimpinan politik yang mereka dukung dan percayai.

Dalam merespon tuntutan para pendukung politiknya dan adanya perubahan geo

politik para elit politik tidak terlepas dari kewajibannya untuk memenuhi kepentingan

partai dan para pendukungnya dikatikan dengan budaya politik yang tumbuh subur

menyatakan bahwa “ tidak ada teman yang abadi di kancah politik, yang ada

hanyalah kepentingan abadi”. Para elit politik pada zaman ini belum memiliki

kematangan dalam politik sebagai konsekuensi logis dari baru tumbuh kembangnya

era demokrasi di Indonesia yang menyebabkan yang mampu muncul sebagai elit

politik mereka yanh memiliki masa, yang mampu mengkondisikan masa dengan uang

tidak didukung oleh kompetensi pendidikan dibidang perpolitikkan, sebagai contoh

banyak anggota DPR/DPRD atau Bupati yang memiliki ijazah paket C atau paket D,

ada yang dari tukang becak, penjudi, tukang mabuk, sehingga ketika terpilih menjadi

pimpinan masuk dalam elit politik mendidposisi surat saja tidak bisa dan akhirnya

dalam tatakepemerintahannya sistemnya adalah memaksakan kehendak yang akhirnya

melahirkan konflik elit politik.

b. Teori Konflik.

Menurut Winardi, dalam bukunya Teori Konflik (1994), menyatakan konflik adalah

adanya oposisi atau perttentangan pendapat antara orang orang, kelompok-kelompok

atau organisasi organisasi yang muncul dalam berbagai kondisi. Bila kita kaitkan

dengan sistem demokrasi multi partai di Indonesia, maka masing masing partai

memiliki tujuan tujuan yang hendak dicapainya dalam rangka membesarkan

15

partainya dan melanggengkan kekuasaannya. Masing masing elit polistik

membberikan atau mensosialisasikan nilai nilai kepada anggotanya yang menjadi

pedoman dalam kehidupan berpartai. Banyak yang dapat kita lihat konflik dalam

kehidupan perpolitikan Indonesia terbagi menjadi dua antara lain : Konflik

Substantif yaitu ketidak sesuaian paham tentang hal hal yang substansial, seperti

tujuan tujuan dan kebijakan kebijakan. Konflik substansial banyak terjadi ketika

sedang berlangsung pemilihan Legislatif dan Kepala daerah baik tingkat nasional

maupun tingkat daerah yang disebabkan oleh perbedaan tujuan tujuan dan kebijakan

partai partai dalam pemenangan pemilihan untuk duduk dilegislatif maupun duduk

sebagai kepala pemerintahan. Sering kita lihat hampir seluruh pelaksanaan pilkada

diwarnai oleh konflik konflik yang melahirkan tidak kekerasan (Meliala – 2007),

Seperti Pilkada di Toli Toli menyebkan terbakarnya 3 kantor camat yang dibakar

oleh pendukung yang tidak puas. Demikian juga konflik Substansial banyak terjadi

dalam sistem kepemerintahan yang diakibatkan oleh keinginan pemerintah untuk

memaksakan kehendanya kepada rakyat. Sebagai contoh kita lihat kasus Sat Pol PP

di tanjung priok memperebutkan kuburan Mbah Priok. Konflik berdarah ini terjadi

karena adanya tujuan tujuan dan kebijakan dari Pemda DKI untuk memanfaatkan

atau memperluas pelabuhan Tanjung Priok tanpa memperhatikan masyarakat selaku

ahli waris tanah tersebut. Yang kedua adalah Konflik Emosional yang timbul karena

perasaan marah, ketidak percayaan, ketidaksenangan, takut dan sikap menentang.

Konflik ini banyak terjadi dalam kehidupan sehari hari dimana persoalan pribadi

dibawa ke elit politik. Bila elit politik memiliki permasalahan dengan orang atau

instansi yang tidak mampu diatasi sendiri maka mereka akan mengerahkan massanya

untuk membela kepentingan sehingga menimbulkan keresahan keresahan didalam

masyarakat.

c. Analisis IFAS

16

Tabel 1

INTERNAL FACTORS ANALYSIS SUMMARY

NO FAKTOR STRATEGI

INTERNAL

BOBOT

0,0-1,0

RATING

1-9

BOBOT

X

RATING

KET

KEKUATAN

1. Polri memiliki kekuatan

memadai dalam menagkal

gangguan ktm

0,10 5 0,50

2. Reformasi pelayanan Polri

dengan Quick wins

0,10 5 0,50

3. Hub koor Polri dengan elit

politik

0,05 6 0,30

4 Dukungan pemerintah berupa

Dipa

0,10 3 0,30

5 Polri memiliki strategi Polmas 0,05 4 0,20

Jumlah 0,5 1,80

KELEMAHAN

1 Pemahaman anggota Polri

terhadap konflik elit politik

0,10 5 0,50

2. Komunikasi Polri dengan

kekuatan politik

0,10 4 0,40

3. Hubungan Polri dengan Pemda 0,05 4 0,20

4 Konflik antara Pimpinan Polri

dengan Pemda

0,10 3 0,30

5 Pembinaan terhadap pengemban

fungsi kepolisian /Sat Pol PP

0,15 3 0,45

17

TOTAL 0,5 1,85

TOTAL 1,00 3,65

d. Analisis EFAS

Tabel 2

EXTERNAL FACTORS ANALYSIS SUMMARY

NO.FAKTOR STRATEGI

EKSTERNAL

BOBOT

0,0-1,0

RATING

1-9

BOBOT X

RATINGKET

PELUANG

1. Undang-undang No.32 tentang

Otda

0,15 6 0,90

2. Pemda terbuka untuk diajak kerja

sama

0,10 4 0,40

3. Partai politik mulai terbuka 0,10 4 0,40

4. Tokoh masyarakat bisa menjadi

media

0,10 6 0,60

5 Masyarakat merasa butuh rasa

aman

0,05 4 0,20

Jumlah 0,5 2,50

KENDALA

1. Masih ada arogansi Pemda 0,10 7 0,70

2. Masih ada arogansi elit politik 0,10 5 0,50

3. Masyarakat masih rentan

terhadap isu politik

0,15 4 0,60

4. Masyarakat masih euforia

kebebasan

0,10 3 0,30

18

5 Masih ada tokoh masyarakat

yang haus pengaruh

0,05 4 0,20

Jumlah 0,5 2,30

TOTAL 1,00 4,80

e. Posisi Polri

Berdasarkan perhitungan di atas, maka posisi Polri dalam menangani konflik elit

politik di daerah adalah sebagai berikut:

Berdasarkan matrik di atas dapat dilihat bahwa total skor IFAS (3,65) dan EFAS

(4,80), posisi organisasi berada pada kolom kuadran Va yaitu pertumbuhan melalui

integrasi horizontal, artinya strategi Polri masih dalam pertumbuhan strategi

konsentrasi melalui integrasi horizontal. Ini berarti bahwa kunci utama strategi ini

adalah konsolidasi organisasi secara horizontal, dengan tujuan utama membangun

kerja sama dengan pihak lain agar kebijakan yang telah ditetapkan dapat tercapai.

Dengan demikian pada strategi ini tidak ada perubahan arah kebijakan atau strategi

19

yang telah ada karena tidak akan memperoleh keuntungan apapun, tetapi

mengimplementasikan kebijakan melalui implementasi strategi.

Berdasarkan matrik tersebut di atas, organisasi yang berada pada sel ini, kunci

kegiatan utama yang dapat dilakukan antara lain:

1) Meningkatkan kualitas personal organisasi, yaitu pimpinan dan anggota Polri.

2) Mengembangkan organisasi melalui kerja sama dengan organisasi lain, yaitu

Partai Politik dan Pemda.

3) Memperluas kegiatan operasional di berbagai bidang yang berkaitan langsung

maupun tidak langsung dengan masalah pemeliharaan Kamtibmas di daerah.

Hasil analisis EFAS-IFAS di atas menunjukkan pula bahwa faktor internal

lebih kecil dari faktor eksternal. Ini berarti bahwa membangun grand strategi

memecahkan masalah penanganan konflik elit politik berbentuk diversifikasi, yakni

Polri harus menggunakan kekuatan yang ada serta menghindarkan kendala dengan

melakukan kerja sama dengan berbagai pihak yang terlibat dalam memecahkan

masalah dampak konflik elit politik terhadap Kamtibmas.

f. Analaisis SFAS

Tabel 3

STRATEGIC FACTORS ANALYSIS SUMMARY

NO

FAKTOR STRATEGI KUNCI BOBOT RATING SKOR JANGKA WAKTU

JP JM JP

1 Polri memiliki strategi Polmas 0,10 3 0,30 X

2 Pemahaman anggota Polri

terhadap konflik elit politik

0,10 5 0,50 X X X

3 Komunikasi Polri dengan

kekuatan politik

0,05 4 0,20 X

4 Hubungan Polri dengan Pemda 0,05 4 0,20 X

5 Pemberdayaan hubungan dengan 0,15 3 0,40 X X

20

masyarakat / tokoh masyarakat

6 Peningkatan Hub Koor dg elit

politik

0,10 4 0,40 X X

7 Pembinaan fungsi kepolisian

/Satpol PP

0,10 4 0,40 X X

8 Pengamanan pelaksanaan OTDA 0,10 6 0,60 X X X

9 Masyarakat masih rentan

terhadap isu politik

0,15 4 0,60 X X X

10 Masyarakat masih euforia

kebebasan

0,10 3 0,30 X

TOTAL 1,00

18. Konsepsi strategi

a. Visi

Terwujudnya Polri yang mampu menangani dampak konflik elit politik daerah

terhadap kamtibmas sehingga otonomi daerah berlangsng lancar dan kamtibmas yang

mantap terwujud

b. Misi

1) Melaksanakan pembinaan kemampuan SDM Polri yang profesional dalam

menangani konflik elit politik

2) Melaksanakan hubungan koordinasi dan kerja sama yang baik antara Polri dan

partai politik daerah

3) Mewujudkan sinergitas Polri dan Pemda menangani Kamtibmas

4) Memantapkan partnership / kerja sama yang baik antara Polri dengan elemen

masyarakat daerah

c. Tujuan

1) Terciptanya pemeliharaan Kamtibmas yang handal

2) Terciptanya sistuasi Kamtibmas di daerah kondusif di daerah

3) Terciptanya kerja sama Polri dengan elit politik daerah

4) Teciptanya sinergitas kekuatan Polri, Pemda, dan partai politik

d. Sasaran

21

1) Kamtibmas yang kondusif di daerah

2) Tergalangnya elit politik dan tokoh masyrakat

3) Komunikasi yang harmonis antara Polri dengan elit politik

4) Mencegah dan menindak konflik elit politik.

e. Strategi

1) Jangka Pendek

a) Memantapkan implementasi strategi Polmas

b) Meningkatkan komunikasi Polri dengan kekuatan politik

c) Meningkatkan hubungan Polri dengan Pemda

d) Mengurangi euforia kebebasan masyarakat

2) Jangka Sedang

a) Pemberdayaan masyarakat

b) Memantapkan kerja sama dengan Pemda / Sat pol PP

c) Meningkatkan kerja sama Polri dengan Partai politik

3) Jangka Panjang

a) Meningkatkatkan pemahaman anggota Polri terhadap konflik elit politik

b) Memantapkan pengamanan Otonomi daerah.

c) Memantapkan ketahanan masyarakat terhadap isu politik

19. Implementasi strategi.

a. Implementasi Jangka Pendek ( 1-

2 tahun)

1) Memantapkan implementasi strategi Polmas

a) Melaksanakan penyegaran dengan pendidikan dan latihan Polmas di SPN

SPN selama satu minggu

b) Polmas membuat pelaporan khusus tentang masalah konflik konflik elit

politik di desa binaannya

c) Setiap anggota Polmas diberikan target untuk membangun forum forum

kemitraan minimal seminggu sekali.

d) Melaksanakan tatapmuka, anjangsana, silahturahmi kepada tokoh tokoh elit

politik dan tokoh masyarakat secara berkala.

2) Meningkatkan komunikasi Polri dengan kekuatan politik

22

a) Karo Bimmas, Kasat Bimmas dan petugas Polmas melaksanakan safari

kamtibmas bergandengan dengan elit politik

b) Petugas polmas setiap saat melaksanakan penggalangan kepada tokoh tokoh

elit politik yang nakal maupun yang menjadi tokoh panutan.

c) Melaksanakan sarasehan dengan tokoh masyarakat bagaimana mewujudkan

kamtibmas yang mantap dan mencegah konflik.

3) Meningkatkan hubungan Polri dengan Pemda

a) Membuat kesepakatan MOU penanganan tindak pidanan dan konflik konflik

yang terjadi di lintas istansi.

b) Melaksanakan pelatihan fungsi kepolisian atau melatih Sat pol PP tata beladiri

Polri dan senam Borgol

c) Menyelenggarakan peningkatan kerja sama dibidang operasi tindak pidana

ringan dengan Sat Pol PP.

d) Kerjasama penertiban masalah masalah sosial yang muncul di wilayah.

4) Mengurangi euforia kebebasan masyarakat

a) Bekerjasama dengan unsur Media Massa baik cetak maupun elektronika untuk

setiap minggu membuat tajuk kebebsan dalam era demokrasi otonomi daerah,

mana yang boleh , mana yang tidak boileh.

b) Bekerjasama dengan Instansi terkait menyelenggarakan peningkatan

penyuluhan hukum kepada masyarakat

c) Menyelenggarakan pembinaan Siskamling.

b. Implementasi Jangka Sedang. (2

– 3 tahun).

1) Pemberdayaan masyarakat / tokoh masyarakat

a) Bersama sama dengan tokoh masyarakat menyusun perencanaan

pembangunan kamtibmas termasuk pencegahan konflik elit politik.

b) Melaksanakan penggalangan kepada tokoh partai politik dan tokoh

masyarakat yang vocal, yang nakal dan yang menjadi panutan untuk

membantu tugas tugas polisi dengan membuat jaring intelijen, FKPM dan

jaringan kring reserse.

c) Menyelenggarakan kerja sama dengan LSM, dalam rangka mengatasi konflik

elit politik dan dampaknya dengan membuat perencanaan, action plan, dan

pengendaliannya.

23

2) Peningkatan hubungan koordinasi dengan Elit Politik.

a) Petugas Polri baik Intel, Polmas dan Reserse dengan kringsersenya mengajak

para elit politik untuk tergugah membangun kamtibmas yang mantap

dilingkungannya.

b) Merekrut elit politik menjadi tokoh tokoh dalam FKPM dan menugaskan

untuk bersama sama menyusun program kamtibmas.

3) Pembinaan terhadap pengemban fungsi Kepolisian / Sat pol PP

a) Melaksanakan pelatihan pelatihan terhadap instansi pemerintah dan swasta

yang mengemban fungsi kepolisian seperti Satpam, Bantuan keamanan Desa

(Bankamdes) maupun satpol PP untuk dapat digerakkan dalam menaggulangi

gangguan gangguan kamtibmas utamanya konflik sosial ditengah masyarakat.

b) Merencanakan latihan gabungan antara Polri dengan pengemban fungsi

kepolisian dalam menangani gangguan kamtibmas yang bersifat kontijensi.

c) Bekerjasama dengan lembaga lembaga pelatihan manajemen disaster bersama

sama dengan unsur pengemban fungsi kepolisian baik di kepemerintahan

maupun kamswakarsa.

c. Implementasi Jangka Panjang

1) Meningkatkatkan pemahaman anggota Polri terhadap politik

a) Menyelenggarakan pelatihan tentang politik bagi anggota Polri

b) Menyelenggarakan peningkatan kemampuan komunikasi anggota Polri dengan

parpol

c) Menyelenggarakan peningkatan keterampilan angota Polri dalam kerja sama

dengan Parpol

2) Meningkatkan peran tokoh masyarakat

a) Menyelenggarakan peningkatan peran tokoh masyarakat dalam harkamtibmas

b) Menyelenggarakan peningkatan komunikasi dengan tokoh pemuda

c) Menyelenggarakan peningkatan kerja sama Polri dengan tokoh masyarakat

3) Memantapkan ketahanan masyarakat terhadap isu politik

a) Menyelenggarakan peningkatan kesadaran masyarakat terhadap

Harkamtibmas

b) Menyelenggarakan peningkatan daya tangkal masyarakat terhadap gangguan

Kamtibmas

24

c) Menyelenggarakan peningkatan kemampuan masyarakat dalam deteksi dini

kerawanan Kamtibmas

BAB VII

PENUTUP

20. Kesimpulan.

a. Tujuan Otonomi Daerah untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat yang adil

beradab, dan mewujudkan kamtibmas sebagai modal dasar pembangunan nasional

masih dirasakan kurang karena masih diwarnai adanya perebutan pengaruh dan

kekuasaan para elit politik dalam membangun daerahnya, sehingga sering muncul

konflik konflik elit politik yang menyangkut perebutan kekuasaan dan masalah rejeki

atau keuangan, menyebabkan munculnya gangguan kamtibmas karena adanya

pengerahan pengerahan masa oleh elit politik untuk mencapai tujuan politik

kelompoknya. Konflik elit politik tidak jarang diwarnai oleh tindakan tindakan

anarkis massa seperti pembakaran, pengerusakan fasilitas pribadi, kelompok maupun

fasilitas umum yang dapat menyebabkan keresah dan ketakutan ditengah tengah

masyarakat. Untuk mencegah dampak dari konflik elit politik diperlukan kematangan

dalam berpolitik dan melaksanakan budaya politik yang santun saling menghormati

dan mementingkan kepentingan umum.

b. Masyarakat Indonesia pada umunya sangat mudah terkena issu issu politik di Bali

dikenal dengan “Suryak Siu” (Sorak Seribu), maksudnya adalah kalau sudah tokoh

elit politik yang dipercaya mengerahkan salah dan benar tidak perlu langsung

dilaksanakan beramai ramai yang sering melanggar aturan yang telah ada. Masyarakat

belum memiliki ketahanan dalam menghadapi isu-isu yang memancing emosi, bahkan

dapat tidak dapat mencegah dan menghindari datangnya para provokator yang

mengambil keuntungan politik. Kelemahan masyarakat tersebut disebabkan karena

belum adanya kedewasaan politik dan daya tangkal yang kuat sehingga dapat

menghindarkan diri dari pengaruh negatif yang dapat mengganggu keamanan dan

ketertiban. Dengan demikian, isu-isu politik yang dapat memancing emosi masa

belum dapat dapat dicegah karena masyarakat belum memiliki daya tahan yang kuat

sehingga mudah terpropvokasi.

25

c. Pasca otonomi daerah, Pemda kabupaten/ kota memiliki otonomi yang luas,

sementara organisasi Polri masih bersifat sentralistik, karena itu kerja sama Polri

dengan Pemda masih terkendala organisasi dan sistem koordinasi yang lemah. Hal ini

dibuktikan dengan adanya kebijakan Pemda yang tidak sinkron dengan program yang

dikembangkan Polri. Misalnya dalam penegakan Perda yang dilakukan oleh Sat Pol

PP yang mengakibatkan terjadinya pelanggaran hukum, baik yang dilakukan oleh

masyarakat maupun Sat Pol PP sendiri. Akibatnya Polri sebagai penanggung jawan

dalam penegakan hukum dan pemeliharaan Kamtibmas mendapatkan getahnya

d. Faktor- faktor yang mempengaruhi meliputi faktor internal, berupa kekuatan yang

meliputi jumlah anggota Polri memadai, hubungan Polri dengan Pemda terjalin,

pemahaman anggota Polri tentang Otda cukup, komunikasi Polri dengan partai politik

terjalin, dan Polri memiliki strategi Polmas. Kelemahan mencakup pemahaman

anggota Polri terhadap politik rendah, komunikasi Polri dengan kekuatan politik

rendah, hubungan Polri dengan Pemda lemah, implementasi Polmas belum merata,

dan hubungan dengan masyarakat kurang. Sedangkan faktor eksternal meliputi:

Peluang terdiri dari Undang-undang No.32 tentang Otda, Pemda terbuka untuk diajak

kerja sama, Partai politik mulai terbuka, tokoh masyarakat bisa menjadi media, dan

masyarakat merasa butuh rasa aman. Kendala terdiri dari masih ada arogansi Pemda,

arogansi partai politik, masyarakat masih rentan terhadap isu politik, masyarakat

masih euforia kebebasan, dan Masih tokoh masyarakat yang haus pengaruh.

e. Pemecahan masalah dilakukan dengan menetapkan strategi Jangka Pendek, terdiri

dari memantapkan implementasi strategi Polmas, meningkatkan komunikasi Polri

dengan kekuatan politik, meningkatkan hubungan Polri dengan Pemda, dan

mengurangi euforia kebebasan masyarakat. Jangka Sedang meliputi meningkatkan

hubungan Polri dengan masyarakat, memantapkan kerja sama dengan Pemda, dan

meningkatkan kerja sama Polri dengan Partai politik. Sedangkan Jangka Panjang

meliputi meningkatkatkan pemahaman anggota Polri terhadap politik, meningkatkan

peran tokoh masyarakat, dan memantapkan ketahanan masyarakat terhadap isu

politik.

26

21. Rekomendasi.

a. Kepimpinan Polri di daerah harus terbuka dan mampu menjalin kerja

sama dengan kekuatan-kekuatan politik di daerah.

b. Para Perwira dijajaran diwajibkan untuk melakukan penggalangan

terhadpa tokoh elit politik seperti permainan bola satu petugas mengawasi satu

lawan atau tokoh tokoh yang vokal , nakal dan sangat berpengaruh harus digalang

ditempel terus.

c. Pendekatan kepada elit politik tidak hanya dilakukan secara formal

tetapi lebih banyak secara informa.

d. Anggota Polri wajib mnendapat pendidikan politik agar mnampu

menangani kasus kasus yang beraroma politik.

27

DAFTAR PUSTAKA

Harian Kompas 14 April 2010

Harian Media 11 Juni 2010

Meliala, A (2005), Mungkinkah Mewujudkan Polisi Yang Bersih, Jakarta: Kemitraan

Suparlan Parsudi (2004) Bunga Rampai Ilmu kepolisian Indonesia, Jakarta:Yayasan Pengenbangan Kajian Ilmu Kepolisian

Tim Pokja Reformasi Polri, (1999) Reformasi Menuju Polri yang profesional, Jakarta

Undang-undang No.2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia

Rangkuti F, 2010, Analisi SWOT: Teknik Membedah Kasus Bisnis, Jakarta: Gramedia

R. Siti Zuhro, Suara Karya, 25 Maret 2010

Winardi, 1994, Teori Konflik, Jakarta: Gramedia

28