nkp 7
DESCRIPTION
Bab ITRANSCRIPT
MARKAS BESARKEPOLISIAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA SEKOLAH STAF DAN PIMPINAN
PERKEMBANGAN GEO POLITIK DAN DEMOKRASI PADA OTONOMI DAERAH
JUDUL
STRATEGI POLRI DALAM MENANGANI DAMPAK KONFLIK ELIT POLITIK
GUNA MEMANTAPKAN OTONOMI DAERAH
DALAM RANGKA MEWUJUDKAN KAMTIBMAS YANG MANTAP
BAB I
PENDAHULUAN
1. Latar belakang
Keamanan dan ketertiban masyarakat merupakan kondisi ideal yang hendak diwujudkan
dalam mendukung berlangsungnya pembangunan nasional sehingga memberikan
kesempatan luas kepada masyarakat untuk berkiprah dan meningkatkan kehidupan dan
penghidupannya.
Reformasi yang bercirikan demokratisasi dan keterbukaan telah mendorong perubahan
politik dan format negara dari sentralisasi ke desentralisasi melalui kebijakan otonomi
daerah. Perubahan politik dan demokrasi tersebut telah mengubah perilaku masyarakat
yang mengekspresikan kebebasannya secara leluasa. Demikian pula, elit politik daerah
yang memiliki kekuatan signifikan dalam percaturan politik dan pemerintahan daerah
tidak jarang menampilkan perilakunya yang bersebrangan dengan konsep berpolitik dan
berdemokrasi yang sesungguhnya. Apalagi dengan adanya Pilkada langsung dimana
peran partai politik menjadi signifikan, maka peran elit politik sangat mewarnai kondisi
politik yang ada di daerah.
Hubungan antar elit politik di daerah seringkali diwarnai dengan konflik kepentingan
yang tidak hanya berada di wilayah politik, tetapi merembes ke bawah hingga di tingkat
grassroot. Konflik politik yang melibatkan masa menimbulkan konflik destruktif yang
1
bukan hanya merugikan perkembangan politik, tetapi juga membuat kerawanan
Kamtibmas. Untuk itu, Polri dituntut untuk dapat mencegah dan menanggulangi berbagai
dampak perkembangan politik dan demokrasi di daerah, khususnya menghadapi konflik
elit politik di daerah yang berimbas kepada kerawanan Kamtibmas.
Berdasarkan pemikiran tersebut, NKP ini akan memfokuskan pembahasan kepada konflik
elit politik daerah yang menyebabkan muncurnya kerawanan Kamtibmas.
2. Pokok permasalahan
Konflik elit politik di daerah daerah, menyebabkan kerawanan Kamtibmas dan terjadinya
tindakan tindakan anarkisme massa.
3. Persoalan
a. Tujuan Otda tidak dihayati oleh elit politik daerah
b. Masyarakat mudah terkena isu politik
c. Kerja sama Polri dengan Pemda lemah
d. Bagaimana upaya pemecahan masalahnya
4. Ruang lingkup
Pembahasan NKP ini dibatasi pada konflik elit politik, yakni pengurus partai politik,
anggota DPRD dari partai politik, dan tokoh politik di daerah yang berdampak kepada
Kamtibmas.
5. Tata urut penulisan.
Bab I Pendahuluan berisi latar belakang, pokok permasalahan dan persoalan, ruang
lingkup dan tata urut penulisan.
Bab II Kajian kepustakaan, berisi teori dan pandangan ahli mengenai perkembangan
politik dan demokrasi dan EFAS-IFAS
Bab III Kondisi faktual, berisi kondisi dampak konflik elit politik daerah terhadap
kamtibmas saat ini.
Bab IV Faktor-faktor yang mempengaruhi, terdiri atas faktor eksternal meliputi Peluang
dan Kendala dan Faktor Internal yang terdiri atas Kekuatan dan Kelemahan
Bab V Kondisi Ideal, yakni dampak konflik elit politik daerah terhadap kamtibmas yang
diharapkan
2
Bab VI Upaya pemecahan masalah yang meliputi penyusunan visi, misi, tujuan, sasaran,
kebijakan, dan strategi yang dikaji melalui analisis EFAS-IFAS.
Bab VII Penutup yang terdiri dari Kesimpulan dan Rekomendasi.
3
BAB II
KAJIAN KEPUSTAKAAN
6. Teori kultur Politik dan demokrasi
Budaya politik merupakan deskripsi konseptual yang menggambarkan
komponen-komponen budaya politik dalam tataran masif (dalam jumlah besar), atau
mendeskripsikan masyarakat di suatu negara atau wilayah, bukan per-individu. Hal ini
berkaitan dengan pemahaman, bahwa budaya politik merupakan refleksi perilaku warga
negara secara massal yang memiliki peran besar bagi terciptanya sistem politik yang
ideal1. Dari pengertian di atas dapat dipahami bahwa budaya politik berkaitan dengan
sikap masyarakat, yakni refleksi perilaku masyarakat terhadap sistem politik yang ada.
Hubungan antara budaya politik dan demokratisasi sangat erat. Budaya politik memiliki
pengaruh penting dalam perkembangan demokrasi. Demokratisasi tidak berjalan baik
apabila tidak ditunjang oleh terbangunnya budaya politik yang sesuai dengan prinsip-
prinsip demokrasi.
Dalam merespons tuntutan perubahan, kemungkinan munculnya dua sikap yang
secara diametral bertentangan, yaitu "mendukung" (positif) dan kemungkinan pula
"menentang" (negatif), sulit dielakkan. Sebagai sebuah proses perubahan dalam
menciptakan kehidupan politik yang demokratis, realisasi demokratisasi juga dihadapkan
pada kedua kutub yang bertentangan itu, yaitu budaya politik masyarakat yang
mendukung (positif) dan yang menghambat (negatif) proses demokratisasi.
Budaya politik yang matang termanifestasi melalui orientasi, pandangan, dan
sikap individu terhadap sistem politiknya. Budaya politik yang demokratis akan
mendukung terciptanya sistem politik yang demokratis. Budaya politik demokratis
adalah suatu kumpulan sistem keyakinan, sikap, norma, persepsi dan sejenisnya yang
menopang terwujudnya partisipasi. Budaya politik yang demokratis merupakan budaya
politik yang partisipatif, yang diistilahkan sebagai civic culture. Karena itu, hubungan
antara budaya politik dan demokrasi (demokratisasi) dalam konteks civic culture tidak
dapat dipisahkan.
1 R. Siti Zuhro, Suara Karya, 25 Maret 2010
4
Adanya fenomena demokrasi atau tidak dalam budaya politik yang berkembang
di suatu masyarakat tidak hanya dapat dilihat dari interaksi individu dengan sistem
politiknya, tetapi juga interaksi individu dalam konteks kelompok atau golongan dengan
kelompok dan golongan sosial lainnya. Dengan kata lain, budaya politik dapat dilihat
manifestasinya dalam hubungan antara masyarakat dan struktur politiknya, dan dalam
hubungan antarkelompok dan golongan dalam masyarakat itu2.
Agenda demokratisasi seharusnya dipandang berdimensi horizontal (pengaturan
hubungan antarinstitusi politik utama) dan vertikal yang membuka ruang bagi akses
warga untuk terlibat dalam proses politik dan pemerintahan. Keduanya bisa saling
memperkuat dan berjalan simultan. Untuk itu, diperlukan upaya memupuk vitalitas
demokrasi seperti pengembangan nilai dan keterampilan demokrasi di kalangan warga,
meningkatkan akuntabilitas dan responsivitas terhadap kepentingan publik dan
meningkatkan checks and balances dan rasionalitas politik di antara lembaga-lembaga
kekuasaan. Dengan melakukan hal tersebut, jalan bagi demokrasi menjadi lebih terbuka.
7. Teori konflik
Konflik adalah adanya oposisi atau pertentangan pendapat antara orang-orang, kelompok-
kelompok atau organisasi-organisasi3. Konflik kelompok biasanya timbul dalam kondisi-
kondisi berikut:
a. dianutnya nilai-nilai baru oleh anggota-anggota kelompok tertentu;
b. sebuah kesulitan atau problem baru, dihadapi oleh kelompok dimana para anggotanya
mempersepsinya dengan cara-cara yang berbeda-beda;
c. peranan seorang anggota di luar kelompok tersebut bertentangan dengan peranan
angota tersebut di dalam kelompok itu.
Konflik terbagi dua macam, yaitu:
a. Konflik-konflik substantive (substantive conflicts), yaitu ketidak sesuaian paham
tentang hal-hal yang substansial, seperti tujuan-tujuan, kebijaksanaan-kebijaksanaan,
dan lain-lain.
2 Ibid 2010
3 Winardi, 1994, Teori Konflik, Jakarta: Gramedia, hal 5
5
b. Konflik-konflik emosional (emotional conflicts), yaitu konflik yang timbul karena
perasaan marah, ketidakpercayaan, ketidak senangan, takut dan sikap menentang
dan sebagainya.
Konflik dapat berupa konflik destruktif dan konstruktif. Konflik destruktif
menimbulkan kerugian, sedangkan konflik konstruktif menimbulkan keuntungan-
keuntungan. Konflik yang terjadi di masyarakat pada umumnya menjadi sebab
terjadinya berbagai perilaku yang bersifat destruktif dapat berupa kerusuhan massal
yang menimbulkan kerugian, seperti kerusakan dan kehancuran harta benda bahkan juga
menelan korban jiwa.
Konflik destruktif yang menurut Meliala4 disebut dimensi negatif tentang konflik
memiliki ciri-ciri sebagai berikut:
a. Dekat dengan kekerasan bahkan darah
b. Penuh amarah, emosional
c. Kondisi setelah musyawarah atau kata sepakat tidak bisa lagi
berjalan/ dicapai
d. Boleh dan bisa berbuat apa saja
e. Intensi untuk mendestruksi
Unjuk rasa pada dasarnya adalah konflik yang mengandung potensi yang menjurus
ke arah destruktif bahkan bisa berkembang menjadi kekerasan meliputi tindakan,
perkataan, sikap, yang menyebabkan kerusakan secara fisik, mental, sosial atau
lingkungan.
8. EFAS-IFAS
EFAS-IFAS adalah bagian dari analisa SWOT adalah identifikasi berbagai faktor secara
sistimatis untuk merumuskan strategi perusahaan analisis ini didasarkan pada logika yang
dapat memaksimalkan kekuatan dan peluang, namun bersamaan dapat meminimalkan
kelemahan dan ancaman5. Teori ini sangat relevan untuk digunakan dalam menganalisa
kekuatan dan kelemahan organisasi dalam upaya mengetahui hakekat ancaman dan
peluang agar pimpinan dapat menentukan langkah pengambilan keputusan.
4 Meliala, 2007, Mungkinkah Mewujudkan Polisi Yang Bersih, Jakarta: Kemitraan
5 Rangkuti F, 2010, Analisi SWOT: Teknik Membedah Kasus Bisnis, Jakarta: Gramedia, hal.8
6
Adapun penggunaan teori ini pada penulisan nastrap ini adalah dititik beratkan pada
kondisi Polantas dari berbagai aspek sehingga setiap pimpinan akan dapat dengan mudah
melaksanakan Audit Kesehatan Organisasinya untuk mengetahui kelemahan kelemahan
yang ada di dalam kesatuannya sehingga memudahkan dalam mencari solusinya dan
membuat suatu kebijakan tentang hal tersebut, metode analisa SWOT adalah analisis
kekuatan (Strengths), analisis kelemahan (Weaknesses), analisis peluang (Opportunities),
dan analisis ancaman (Threats) yang dilakukan dilakukan dengan table-tabel analisa yang
telah ditetapkan.
7
BAB III
KONDISI FAKTUAL
9. Tujuan Otda tidak dihayati oleh elit politik daerah
Otonomi daerah dilaksanakan dalam rangka demokratisasi yang menjadi amanat
reformasi. Tujuannya untuk mewujudkan keadilan dan pemerataan serta memacu
peningkatan pelayanan dan kesejahteraan masyarakat. Keadilan dalam arti bahwa
masyarakat daerah yang memiliki potensi penting dapat dirasakan masyarakat yang
bersangkutan, sedangkan pemerataan dalam arti kue nasional dapat dimanfaat secara
merata kepada semua daerah. Sedangkan peningkatan pelayanan karena semakin
dekatnya pusat pemerintahan dengan masyarakatnya, yang semua itu diarahkan untuk
mempercepat kesejahteraan masyarakat secara keseluruhan.
Tujuan otonomi daerah tersebut di atas ternyata belum sepenuhnya dihayati oleh para elit
politik daerah sehingga perilaku mereka bertentangan dengan tujuan otonomi itu sendiri.
Misalnya KKN dalam penanganan proyek-proyek APBD yang ditumpangi kepentingan
politik partai. Dalam Harian Pikiran Rakyat 5 Agustus 2009 diberitakan bahwa beberapa
anggota pimpinan partai dan sebagian anggota DPRD di Tasikmalaya ikut berebut
proyek Pemda. Disinyalir ada oknum yang bermain di lingkungan panitia tender yang
berusaha memenangkan salah satu perusahaan yang dibackingi tokoh politik setempat6.
Dengan demikian tujuan otonomi daerah untuk meningkatkan kesejahteraan seluruh
rakyat di Indonesia agak menyimpang dimanfaatkan oleh kelompok kelompok politik
untuk kepentingan pribadi ataupun kepentingan politiknya. Mengingat dalam berpolitik
memerlukan dana yang kuat agar memperoleh dukungan di masyarakat. Parta politik
memerlkukan keuangan yang kuat untuk melanggengkan kekuasaannya, dimana budaya
politik yang tumbuh subuh ditengah masyarakat adalah kontrak politik dengan janji janji
atau kesepakatan pemenuhan kebutuhan suatau kelompok. Seperti contoh dalam Pilkada
Bupati di daerah Bali hampir seluruh kandidat melaksanakan kontrak sosial dengan
desa/kelurahan untuk memberikan bantuan apabila bisa memenangkan Pilkada, sudah
barang tentu dengan jumlah uang yang banyak. Demikian juga masyarakat akan
memberikan siuaranya dengan imbalan uang. Setelah Pilkkada selesai , untuk memenuhi
janji janji para pemenang maka memanfaatkan segala sumberdaya untuk kepentingan
6 Harian Pikiran Rakyat, 5 Agustus 2009
8
pribadi dan politiknya sehingga menyebabkan keresahan keresan dan konflik politik
yang sering berakhir dengan unjuk rasa dan aksi anarkisme.
10. Masyarakat mudah terkena isu politik
Masyarakat di tingkat paling bawah pada umumnya berpendidikan dan ekonomi terbatas
sangat rentan terhadap isu dan mudah emosi. Sifat emosional masyarakat biasanya
disebabkan karena tekanan ekonomi atau politik yang dipicu oleh pengaruh yang datang
berupa isu-isu yang memancing emosi. Isu-isu idiologis, politis, dan SARA biasanya
menjadi pemicu yang sangat kuat untuk membakar emosi masa. Dalam era otonomi
daerah, situasi yang rawan terjadi pada saat Pilkada langsung pada pra, proses, maupun
pasca pelaksanaannya. Salah satu bentuk kerawanan Pilkada diberitakan dalam Harian
Media7. Ketua Komisi Pemilihan Umum Samosir, Megianto Sinaga, dan komisioner
Risonti Panjaitan, kemarin siang hingga tadi malam disandera massa di Tomok, Samosir,
Sumatera Utara. Penyandera adalah pendukung pasangan calon kepala daerah yang tidak
puas atas Pilkada Samosir. Penyekapan selama 12 jam itu dipicu emosi massa yang
menduga banyak pemilih “siluman”. Menurut Megianto, awalnya dia dan Risonti
Panjaitan diminta ke Simanindo untuk menjelaskan kehadiran mahasiswa dari Medan,
namun malah disandera massa. ’’Bahkan status Risonti Panjaitan sebagai pendeta juga
dihina massa,’’kata Megianto kepada wartawan, Kamis (10/6) malam. Penyekapan
berakhir setelah KPU Samosir didampingi Panitia Pengawas Pilkada berunding dengan
massa. Pilkada Samosir diikuti 7 pasangan. Hasil perhitungan sementara, pasangan
Mangindar Simbolon - Mangadap Sinaga memperoleh 22.996 suara (37,08%), diikuti
pasangan Obel Sihol Sagala - Tigor Simbolon dengan 19.533 suara (31,50%).
11. Kerja sama Polri dengan Pemda lemah
Pasca otonomi daerah, Pemda kabupaten/ kota memiliki otonomi yang luas, sementara
organisasi Polri masih bersifat sentralistik, karena itu kerja sama Polri dengan Pemda
masih terkendala organisasi dan sistem koordinasi yang lemah. Hal ini dibuktikan
dengan adanya kebijakan Pemda yang tidak sinkron dengan program yang
dikembangkan Polri. Misalnya dalam penegakan Perda yang dilakukan oleh Sat Pol PP
yang mengakibatkan terjadinya pelanggaran hukum, baik yang dilakukan oleh
masyarakat maupun Sat Pol PP sendiri. Akibatnya Polri sebagai penanggung jawan
dalam penegakan hukum dan pemeliharaan Kamtibmas mendapatkan getahnya. 7 Harian Media 11 Juni 2010
9
Lemahnya koordinasi Polri dengan Pemda menimbulkan berbagai kearawanan sosial
yang mengancam Kamtibmas seperti yang terjadi dalam kerusuhan Koja yang
menimbulkan korban jiwa. Kompas8 memberitakan: Korban bentrokan antara warga dan
satpol dalam aksi penertiban makam Mbah Priok di Kompleks Pelabuhan Tanjung Priok,
Jakarta Utara bertambah menjadi 130 orang. Direktur Rumah Sakit Umum Daerah
(RSUD) Koja, Togi Asman merinci, jumlah korban anggota Satpol PP Sebanyak 66
orang, warga sipil tercatat 54 orang, dan aparat kepolisian sebanyak 10 orang. "Hingga
malam ini total korban ada 130 orang yang ke Koja," kata Togi, di RSUD Koja, Jakarta.
Peristiwa itu terjadi sebagai akibat lemahnya koordinasi dan kerja sama antara Polri
dengan Pemda DKI khususnya dengan Sat Pol PP.
BAB IV
8 Kompas, 14 April 2010
10
FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI
12. Faktor internal
a. Kekuatan
1) Polri memiliki kekuatan yang siap digerakkan untuk mengatasi gangguan
kamtibmas diseluruh Indonesia.
2) Polri telah mereformasi diri dengan meningkatkan pelayanan disegala lini dengan
program Quik Wins mencegah dan menanggulangi gangguan kamtibmas.
3) Polri telah menjalin hubungan koordinasi yang baik dengan para elit politik di
tingkat nasional maupun daerah
4) Polri mendapat dukungan dari pemrintah untuk mengamankan pelaksanaan
otonomi daerah
5) Polri memiliki strategi Polmas dalam mengidentifikasi masalah dan mengajak
masyarakat untuk mampu memecahkan permasalahannya dengan musyawarah
mufakat
b. Kelemahan
1) Pemahaman anggota Polri terhadap konflik politik rendah
2) Komunikasi Polri dengan elit politik ditingkat legislatif dan eksekutif serta
kekuatan politik terutama arus bawah masih kurang
3) Hubungan Polri dengan Pemda dalam hal masalah masalah kemanan dan keretiban
masyarakat masih lemah
4) Adanya pola prilaku yang mengkaitkan bantuan Pemda ke Polri sebagai kewajiban
dan apabila tidak mendapat bantuan muncul konflik antara Polri dan Pemda.
5) Polri jarang melakukan pembinaan terhadap instansi istansi pengemban fungsi
kepolisian seperti Sat Pol PP Pemda.
13. Faktor eksternal.
11
a. Peluang
1) Undang-undang No.32 tentang Otda
2) Pemda mendukung Polri untuk menangani tindak pidana yang terjadi di instansi
pemerintah maupun elit polituik.
3) Partai politik mendukung Polri untuk menangani kejahatan kejahatan yang terjadi
yang mengatasnamakan politik maupun gangguan kamtibmas yang lainnya.
4) Tokoh masyarakat bisa menjadi media, dapat diberdayakan dalam menyelesaikan
konflik elit politik
5) Masyarakat merasa butuh rasa aman dan ketertiban, bebas dari konflik konflik.
b. Kendala
1) Masih ada arogansi Pemda, yang ingin Polri mau melaksanakan tujuan politik
Pemerintah
2) Masih ada arogansi elit partai politik, yang mementingkan kelompok atau
partainya.
3) Masyarakat masih rentan terhadap isu politik
4) Masyarakat masih euforia kebebasan yang kebablasan
5) Masih ada tokoh masyarakat yang haus kekuasaan pengaruh
BAB V
12
KONDISI IDEAL
14. Tujuan Otda dapat dihayati oleh elit politik daerah
Tujuan Otda untuk meningkatkan pelayanan dan kesejahteraan masyarakat yang merata
dan berkeadilan dapat dihayati dengan baik oleh elit politik daerah, sehingga seluruh
kekuatan politik memiliki visi yang sama untuk mencapai tujuan tersebut. Elit politik
daerah akan bekerja sama dalam memajukan daerah dan mengenyampingkan
kepentingan partai dan golongan. Kepentingan partai politik pada saat Pilkadan
langsung dilakukan dengan etika politik yang tinggi sehingga persaingan di tingkat elit
tidak melibatkan kekuatan masa.
Kesadaran elit politik dalam memperjuangkan kepentingan politiknya dengan cara yang
etis dan mendahulukan kepentingan umum dibandingkan dengan kepentingan politik
mereka memiliki kontribusi yang positif terhadap Kamtibmas, sehingga persaingan
politik di tingkat elit tidak membuat kerawanan Kamtibmas yang mengganggu
implementasi Otda. Elit politik menghilangkan kepentingan sektoralnya atau
kepentingan partainya dengan mengutamakan kepentingan umum dan berpikir bahwa
parta politim bukanlah milik pendukungnya tetapi milik seluruh rakyat Indonesia. Tujuan
Otonomi daerah untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat hendaknya menjadi Visi
dan Missi dari seluruh elit politik untuk bergandengan tangan mencapainya melalui
kebersamaa, tidak ada yang saling curiga mencurigai.
15. Masyarakat tahan terhadap isu politik
Masyarakat daerah semakin cerdas dan terbuka sehingga mampu memilih berbagai
informasi yang datang kepada mereka. Masyarakat memiliki ketahanan dalam
menghadapi isu-isu yang memancing emosi, bahkan dapat mencegah dan menghindari
datangnya para provokator yang mengambil keuntungan politik. Ketahanan masyarakat
tersebut disebabkan karena kedewasaan politik dan daya tangkal yang kuat sehingga
dapat menghindarkan diri dari pengaruh negatif yang dapat mengganggu keamanan dan
ketertiban. Dengan demikian,
isu-isu politik yang akan dapat memancing emosi masa dapat dicegah karena masyarakat
memiliki daya tahan yang kuat sehingga tidak mudah terpropvokasi. Guna mewujudkan
daya tahan dalam perpolitikan maka para elit politik harus memberikan cotoh dengan
etika dan budaya politik yang santun dalam memecahkan permasalahan permasaklahan
13
sosial yang muncul ditengah tengah masyarakat. Jangan mengembang sikap sebagai
provokator untuk memenuhi keinginan yang hendak dicapai dengan membuat issu yang
negatif yang dapat memicu keresahan dan tindakan anarkis para pendukungnya.
16. Kerja sama Polri dengan Pemda kuat
Polri dan Pemda memilki persepsi yang sama tentang perlunya keamanan yang kondusif
bagi pembangunan daerah, karena kerja sama diantara keduanya dapat dijalin dan
dipadukan sehingga menjadi kekuatan yang sinergis. Pemda yang memilki Sat Pol PP
sebagai penegakan Perda selalu berkoordinasi dan bekerja sama dengan Polri, baik dalam
perencanaan maupun dalam pelaksanaan operasi. Kesamaan visi antara Polri dengan
Pemda serta kerja sama yang sinergis melahirkan kesadaran Pemda dan DPRD untuk
memberikan bantuan APBD untuk mendukung pelaksanaan tugas Polri di daerah.
Kerjasama Pemerintah Daerah tidak hanya dilakukan oleh undur pimpinan antara Bupati,
Kapolres, gubernur dengan Kapolda, tetapi juga kerjasama lintas instansi dengan
melakukan kegiatan bersama sama, baik dalam pelayanan, perlindungan, pengayoman
masyarakat. Polri dan pemda saling mhormat menghormati menjungjung tinggi tugasnya
masing masing, Pemda tidak boleh menarik Polri untuk memenangkan kepentingan
politiknya. Demikian juga Polri tidak boleh memandang bantuan Pemda dalam
operasional Polri berupa dukungan keuangan dikaitkan dengan keseriusan Pemda
membangun kerjasama dengan Polri. Artinya Pemda yang tidak memberikan bantuan
kepada Polri dianggap tidak berkawan akhirnya muncul jarak antara Polri dan pemda
yang bersumber dari masalah keuangan. Dewasa ini Pemda tidak boleh memberikan
bantuan tanpa dipertanggungjawabkan, semua harus dip[ertanggungjawabkan dan kalau
terjadi penyimpangan akan berurusan dengan KPK.
BAB VI
14
UPAYA PEMECAHAN MASALAH
17. Analisis strategi :
a. Teori Kultur Politik dan Demokrasi.
Menurut R. Siti Zuhro, dalam harian Suara Karya, 25 Maret 2010, menyatakan bahwa
budaya politik merupakan diskripsi konseptual yang menggambarkan komponen
komponen budaya politik dalam tataran jumlah besar atau mendeskripsikan
masyarakat disuatu negara atau wilayah, bukan perindividu. Dengan demikian prilaku
elit politik akan berpengaruh terhadap prilaku pendukungngnya secara massal yang
memiliki peran besar bagi terciptanya keamanan dan keretiban didalam masyarakat.
Budaya politik yang dianut oleh elit politik berkaitan dengan sikap masyarakat yakni
refleksi masyarakat terhadap pimpinan politik yang mereka dukung dan percayai.
Dalam merespon tuntutan para pendukung politiknya dan adanya perubahan geo
politik para elit politik tidak terlepas dari kewajibannya untuk memenuhi kepentingan
partai dan para pendukungnya dikatikan dengan budaya politik yang tumbuh subur
menyatakan bahwa “ tidak ada teman yang abadi di kancah politik, yang ada
hanyalah kepentingan abadi”. Para elit politik pada zaman ini belum memiliki
kematangan dalam politik sebagai konsekuensi logis dari baru tumbuh kembangnya
era demokrasi di Indonesia yang menyebabkan yang mampu muncul sebagai elit
politik mereka yanh memiliki masa, yang mampu mengkondisikan masa dengan uang
tidak didukung oleh kompetensi pendidikan dibidang perpolitikkan, sebagai contoh
banyak anggota DPR/DPRD atau Bupati yang memiliki ijazah paket C atau paket D,
ada yang dari tukang becak, penjudi, tukang mabuk, sehingga ketika terpilih menjadi
pimpinan masuk dalam elit politik mendidposisi surat saja tidak bisa dan akhirnya
dalam tatakepemerintahannya sistemnya adalah memaksakan kehendak yang akhirnya
melahirkan konflik elit politik.
b. Teori Konflik.
Menurut Winardi, dalam bukunya Teori Konflik (1994), menyatakan konflik adalah
adanya oposisi atau perttentangan pendapat antara orang orang, kelompok-kelompok
atau organisasi organisasi yang muncul dalam berbagai kondisi. Bila kita kaitkan
dengan sistem demokrasi multi partai di Indonesia, maka masing masing partai
memiliki tujuan tujuan yang hendak dicapainya dalam rangka membesarkan
15
partainya dan melanggengkan kekuasaannya. Masing masing elit polistik
membberikan atau mensosialisasikan nilai nilai kepada anggotanya yang menjadi
pedoman dalam kehidupan berpartai. Banyak yang dapat kita lihat konflik dalam
kehidupan perpolitikan Indonesia terbagi menjadi dua antara lain : Konflik
Substantif yaitu ketidak sesuaian paham tentang hal hal yang substansial, seperti
tujuan tujuan dan kebijakan kebijakan. Konflik substansial banyak terjadi ketika
sedang berlangsung pemilihan Legislatif dan Kepala daerah baik tingkat nasional
maupun tingkat daerah yang disebabkan oleh perbedaan tujuan tujuan dan kebijakan
partai partai dalam pemenangan pemilihan untuk duduk dilegislatif maupun duduk
sebagai kepala pemerintahan. Sering kita lihat hampir seluruh pelaksanaan pilkada
diwarnai oleh konflik konflik yang melahirkan tidak kekerasan (Meliala – 2007),
Seperti Pilkada di Toli Toli menyebkan terbakarnya 3 kantor camat yang dibakar
oleh pendukung yang tidak puas. Demikian juga konflik Substansial banyak terjadi
dalam sistem kepemerintahan yang diakibatkan oleh keinginan pemerintah untuk
memaksakan kehendanya kepada rakyat. Sebagai contoh kita lihat kasus Sat Pol PP
di tanjung priok memperebutkan kuburan Mbah Priok. Konflik berdarah ini terjadi
karena adanya tujuan tujuan dan kebijakan dari Pemda DKI untuk memanfaatkan
atau memperluas pelabuhan Tanjung Priok tanpa memperhatikan masyarakat selaku
ahli waris tanah tersebut. Yang kedua adalah Konflik Emosional yang timbul karena
perasaan marah, ketidak percayaan, ketidaksenangan, takut dan sikap menentang.
Konflik ini banyak terjadi dalam kehidupan sehari hari dimana persoalan pribadi
dibawa ke elit politik. Bila elit politik memiliki permasalahan dengan orang atau
instansi yang tidak mampu diatasi sendiri maka mereka akan mengerahkan massanya
untuk membela kepentingan sehingga menimbulkan keresahan keresahan didalam
masyarakat.
c. Analisis IFAS
16
Tabel 1
INTERNAL FACTORS ANALYSIS SUMMARY
NO FAKTOR STRATEGI
INTERNAL
BOBOT
0,0-1,0
RATING
1-9
BOBOT
X
RATING
KET
KEKUATAN
1. Polri memiliki kekuatan
memadai dalam menagkal
gangguan ktm
0,10 5 0,50
2. Reformasi pelayanan Polri
dengan Quick wins
0,10 5 0,50
3. Hub koor Polri dengan elit
politik
0,05 6 0,30
4 Dukungan pemerintah berupa
Dipa
0,10 3 0,30
5 Polri memiliki strategi Polmas 0,05 4 0,20
Jumlah 0,5 1,80
KELEMAHAN
1 Pemahaman anggota Polri
terhadap konflik elit politik
0,10 5 0,50
2. Komunikasi Polri dengan
kekuatan politik
0,10 4 0,40
3. Hubungan Polri dengan Pemda 0,05 4 0,20
4 Konflik antara Pimpinan Polri
dengan Pemda
0,10 3 0,30
5 Pembinaan terhadap pengemban
fungsi kepolisian /Sat Pol PP
0,15 3 0,45
17
TOTAL 0,5 1,85
TOTAL 1,00 3,65
d. Analisis EFAS
Tabel 2
EXTERNAL FACTORS ANALYSIS SUMMARY
NO.FAKTOR STRATEGI
EKSTERNAL
BOBOT
0,0-1,0
RATING
1-9
BOBOT X
RATINGKET
PELUANG
1. Undang-undang No.32 tentang
Otda
0,15 6 0,90
2. Pemda terbuka untuk diajak kerja
sama
0,10 4 0,40
3. Partai politik mulai terbuka 0,10 4 0,40
4. Tokoh masyarakat bisa menjadi
media
0,10 6 0,60
5 Masyarakat merasa butuh rasa
aman
0,05 4 0,20
Jumlah 0,5 2,50
KENDALA
1. Masih ada arogansi Pemda 0,10 7 0,70
2. Masih ada arogansi elit politik 0,10 5 0,50
3. Masyarakat masih rentan
terhadap isu politik
0,15 4 0,60
4. Masyarakat masih euforia
kebebasan
0,10 3 0,30
18
5 Masih ada tokoh masyarakat
yang haus pengaruh
0,05 4 0,20
Jumlah 0,5 2,30
TOTAL 1,00 4,80
e. Posisi Polri
Berdasarkan perhitungan di atas, maka posisi Polri dalam menangani konflik elit
politik di daerah adalah sebagai berikut:
Berdasarkan matrik di atas dapat dilihat bahwa total skor IFAS (3,65) dan EFAS
(4,80), posisi organisasi berada pada kolom kuadran Va yaitu pertumbuhan melalui
integrasi horizontal, artinya strategi Polri masih dalam pertumbuhan strategi
konsentrasi melalui integrasi horizontal. Ini berarti bahwa kunci utama strategi ini
adalah konsolidasi organisasi secara horizontal, dengan tujuan utama membangun
kerja sama dengan pihak lain agar kebijakan yang telah ditetapkan dapat tercapai.
Dengan demikian pada strategi ini tidak ada perubahan arah kebijakan atau strategi
19
yang telah ada karena tidak akan memperoleh keuntungan apapun, tetapi
mengimplementasikan kebijakan melalui implementasi strategi.
Berdasarkan matrik tersebut di atas, organisasi yang berada pada sel ini, kunci
kegiatan utama yang dapat dilakukan antara lain:
1) Meningkatkan kualitas personal organisasi, yaitu pimpinan dan anggota Polri.
2) Mengembangkan organisasi melalui kerja sama dengan organisasi lain, yaitu
Partai Politik dan Pemda.
3) Memperluas kegiatan operasional di berbagai bidang yang berkaitan langsung
maupun tidak langsung dengan masalah pemeliharaan Kamtibmas di daerah.
Hasil analisis EFAS-IFAS di atas menunjukkan pula bahwa faktor internal
lebih kecil dari faktor eksternal. Ini berarti bahwa membangun grand strategi
memecahkan masalah penanganan konflik elit politik berbentuk diversifikasi, yakni
Polri harus menggunakan kekuatan yang ada serta menghindarkan kendala dengan
melakukan kerja sama dengan berbagai pihak yang terlibat dalam memecahkan
masalah dampak konflik elit politik terhadap Kamtibmas.
f. Analaisis SFAS
Tabel 3
STRATEGIC FACTORS ANALYSIS SUMMARY
NO
FAKTOR STRATEGI KUNCI BOBOT RATING SKOR JANGKA WAKTU
JP JM JP
1 Polri memiliki strategi Polmas 0,10 3 0,30 X
2 Pemahaman anggota Polri
terhadap konflik elit politik
0,10 5 0,50 X X X
3 Komunikasi Polri dengan
kekuatan politik
0,05 4 0,20 X
4 Hubungan Polri dengan Pemda 0,05 4 0,20 X
5 Pemberdayaan hubungan dengan 0,15 3 0,40 X X
20
masyarakat / tokoh masyarakat
6 Peningkatan Hub Koor dg elit
politik
0,10 4 0,40 X X
7 Pembinaan fungsi kepolisian
/Satpol PP
0,10 4 0,40 X X
8 Pengamanan pelaksanaan OTDA 0,10 6 0,60 X X X
9 Masyarakat masih rentan
terhadap isu politik
0,15 4 0,60 X X X
10 Masyarakat masih euforia
kebebasan
0,10 3 0,30 X
TOTAL 1,00
18. Konsepsi strategi
a. Visi
Terwujudnya Polri yang mampu menangani dampak konflik elit politik daerah
terhadap kamtibmas sehingga otonomi daerah berlangsng lancar dan kamtibmas yang
mantap terwujud
b. Misi
1) Melaksanakan pembinaan kemampuan SDM Polri yang profesional dalam
menangani konflik elit politik
2) Melaksanakan hubungan koordinasi dan kerja sama yang baik antara Polri dan
partai politik daerah
3) Mewujudkan sinergitas Polri dan Pemda menangani Kamtibmas
4) Memantapkan partnership / kerja sama yang baik antara Polri dengan elemen
masyarakat daerah
c. Tujuan
1) Terciptanya pemeliharaan Kamtibmas yang handal
2) Terciptanya sistuasi Kamtibmas di daerah kondusif di daerah
3) Terciptanya kerja sama Polri dengan elit politik daerah
4) Teciptanya sinergitas kekuatan Polri, Pemda, dan partai politik
d. Sasaran
21
1) Kamtibmas yang kondusif di daerah
2) Tergalangnya elit politik dan tokoh masyrakat
3) Komunikasi yang harmonis antara Polri dengan elit politik
4) Mencegah dan menindak konflik elit politik.
e. Strategi
1) Jangka Pendek
a) Memantapkan implementasi strategi Polmas
b) Meningkatkan komunikasi Polri dengan kekuatan politik
c) Meningkatkan hubungan Polri dengan Pemda
d) Mengurangi euforia kebebasan masyarakat
2) Jangka Sedang
a) Pemberdayaan masyarakat
b) Memantapkan kerja sama dengan Pemda / Sat pol PP
c) Meningkatkan kerja sama Polri dengan Partai politik
3) Jangka Panjang
a) Meningkatkatkan pemahaman anggota Polri terhadap konflik elit politik
b) Memantapkan pengamanan Otonomi daerah.
c) Memantapkan ketahanan masyarakat terhadap isu politik
19. Implementasi strategi.
a. Implementasi Jangka Pendek ( 1-
2 tahun)
1) Memantapkan implementasi strategi Polmas
a) Melaksanakan penyegaran dengan pendidikan dan latihan Polmas di SPN
SPN selama satu minggu
b) Polmas membuat pelaporan khusus tentang masalah konflik konflik elit
politik di desa binaannya
c) Setiap anggota Polmas diberikan target untuk membangun forum forum
kemitraan minimal seminggu sekali.
d) Melaksanakan tatapmuka, anjangsana, silahturahmi kepada tokoh tokoh elit
politik dan tokoh masyarakat secara berkala.
2) Meningkatkan komunikasi Polri dengan kekuatan politik
22
a) Karo Bimmas, Kasat Bimmas dan petugas Polmas melaksanakan safari
kamtibmas bergandengan dengan elit politik
b) Petugas polmas setiap saat melaksanakan penggalangan kepada tokoh tokoh
elit politik yang nakal maupun yang menjadi tokoh panutan.
c) Melaksanakan sarasehan dengan tokoh masyarakat bagaimana mewujudkan
kamtibmas yang mantap dan mencegah konflik.
3) Meningkatkan hubungan Polri dengan Pemda
a) Membuat kesepakatan MOU penanganan tindak pidanan dan konflik konflik
yang terjadi di lintas istansi.
b) Melaksanakan pelatihan fungsi kepolisian atau melatih Sat pol PP tata beladiri
Polri dan senam Borgol
c) Menyelenggarakan peningkatan kerja sama dibidang operasi tindak pidana
ringan dengan Sat Pol PP.
d) Kerjasama penertiban masalah masalah sosial yang muncul di wilayah.
4) Mengurangi euforia kebebasan masyarakat
a) Bekerjasama dengan unsur Media Massa baik cetak maupun elektronika untuk
setiap minggu membuat tajuk kebebsan dalam era demokrasi otonomi daerah,
mana yang boleh , mana yang tidak boileh.
b) Bekerjasama dengan Instansi terkait menyelenggarakan peningkatan
penyuluhan hukum kepada masyarakat
c) Menyelenggarakan pembinaan Siskamling.
b. Implementasi Jangka Sedang. (2
– 3 tahun).
1) Pemberdayaan masyarakat / tokoh masyarakat
a) Bersama sama dengan tokoh masyarakat menyusun perencanaan
pembangunan kamtibmas termasuk pencegahan konflik elit politik.
b) Melaksanakan penggalangan kepada tokoh partai politik dan tokoh
masyarakat yang vocal, yang nakal dan yang menjadi panutan untuk
membantu tugas tugas polisi dengan membuat jaring intelijen, FKPM dan
jaringan kring reserse.
c) Menyelenggarakan kerja sama dengan LSM, dalam rangka mengatasi konflik
elit politik dan dampaknya dengan membuat perencanaan, action plan, dan
pengendaliannya.
23
2) Peningkatan hubungan koordinasi dengan Elit Politik.
a) Petugas Polri baik Intel, Polmas dan Reserse dengan kringsersenya mengajak
para elit politik untuk tergugah membangun kamtibmas yang mantap
dilingkungannya.
b) Merekrut elit politik menjadi tokoh tokoh dalam FKPM dan menugaskan
untuk bersama sama menyusun program kamtibmas.
3) Pembinaan terhadap pengemban fungsi Kepolisian / Sat pol PP
a) Melaksanakan pelatihan pelatihan terhadap instansi pemerintah dan swasta
yang mengemban fungsi kepolisian seperti Satpam, Bantuan keamanan Desa
(Bankamdes) maupun satpol PP untuk dapat digerakkan dalam menaggulangi
gangguan gangguan kamtibmas utamanya konflik sosial ditengah masyarakat.
b) Merencanakan latihan gabungan antara Polri dengan pengemban fungsi
kepolisian dalam menangani gangguan kamtibmas yang bersifat kontijensi.
c) Bekerjasama dengan lembaga lembaga pelatihan manajemen disaster bersama
sama dengan unsur pengemban fungsi kepolisian baik di kepemerintahan
maupun kamswakarsa.
c. Implementasi Jangka Panjang
1) Meningkatkatkan pemahaman anggota Polri terhadap politik
a) Menyelenggarakan pelatihan tentang politik bagi anggota Polri
b) Menyelenggarakan peningkatan kemampuan komunikasi anggota Polri dengan
parpol
c) Menyelenggarakan peningkatan keterampilan angota Polri dalam kerja sama
dengan Parpol
2) Meningkatkan peran tokoh masyarakat
a) Menyelenggarakan peningkatan peran tokoh masyarakat dalam harkamtibmas
b) Menyelenggarakan peningkatan komunikasi dengan tokoh pemuda
c) Menyelenggarakan peningkatan kerja sama Polri dengan tokoh masyarakat
3) Memantapkan ketahanan masyarakat terhadap isu politik
a) Menyelenggarakan peningkatan kesadaran masyarakat terhadap
Harkamtibmas
b) Menyelenggarakan peningkatan daya tangkal masyarakat terhadap gangguan
Kamtibmas
24
c) Menyelenggarakan peningkatan kemampuan masyarakat dalam deteksi dini
kerawanan Kamtibmas
BAB VII
PENUTUP
20. Kesimpulan.
a. Tujuan Otonomi Daerah untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat yang adil
beradab, dan mewujudkan kamtibmas sebagai modal dasar pembangunan nasional
masih dirasakan kurang karena masih diwarnai adanya perebutan pengaruh dan
kekuasaan para elit politik dalam membangun daerahnya, sehingga sering muncul
konflik konflik elit politik yang menyangkut perebutan kekuasaan dan masalah rejeki
atau keuangan, menyebabkan munculnya gangguan kamtibmas karena adanya
pengerahan pengerahan masa oleh elit politik untuk mencapai tujuan politik
kelompoknya. Konflik elit politik tidak jarang diwarnai oleh tindakan tindakan
anarkis massa seperti pembakaran, pengerusakan fasilitas pribadi, kelompok maupun
fasilitas umum yang dapat menyebabkan keresah dan ketakutan ditengah tengah
masyarakat. Untuk mencegah dampak dari konflik elit politik diperlukan kematangan
dalam berpolitik dan melaksanakan budaya politik yang santun saling menghormati
dan mementingkan kepentingan umum.
b. Masyarakat Indonesia pada umunya sangat mudah terkena issu issu politik di Bali
dikenal dengan “Suryak Siu” (Sorak Seribu), maksudnya adalah kalau sudah tokoh
elit politik yang dipercaya mengerahkan salah dan benar tidak perlu langsung
dilaksanakan beramai ramai yang sering melanggar aturan yang telah ada. Masyarakat
belum memiliki ketahanan dalam menghadapi isu-isu yang memancing emosi, bahkan
dapat tidak dapat mencegah dan menghindari datangnya para provokator yang
mengambil keuntungan politik. Kelemahan masyarakat tersebut disebabkan karena
belum adanya kedewasaan politik dan daya tangkal yang kuat sehingga dapat
menghindarkan diri dari pengaruh negatif yang dapat mengganggu keamanan dan
ketertiban. Dengan demikian, isu-isu politik yang dapat memancing emosi masa
belum dapat dapat dicegah karena masyarakat belum memiliki daya tahan yang kuat
sehingga mudah terpropvokasi.
25
c. Pasca otonomi daerah, Pemda kabupaten/ kota memiliki otonomi yang luas,
sementara organisasi Polri masih bersifat sentralistik, karena itu kerja sama Polri
dengan Pemda masih terkendala organisasi dan sistem koordinasi yang lemah. Hal ini
dibuktikan dengan adanya kebijakan Pemda yang tidak sinkron dengan program yang
dikembangkan Polri. Misalnya dalam penegakan Perda yang dilakukan oleh Sat Pol
PP yang mengakibatkan terjadinya pelanggaran hukum, baik yang dilakukan oleh
masyarakat maupun Sat Pol PP sendiri. Akibatnya Polri sebagai penanggung jawan
dalam penegakan hukum dan pemeliharaan Kamtibmas mendapatkan getahnya
d. Faktor- faktor yang mempengaruhi meliputi faktor internal, berupa kekuatan yang
meliputi jumlah anggota Polri memadai, hubungan Polri dengan Pemda terjalin,
pemahaman anggota Polri tentang Otda cukup, komunikasi Polri dengan partai politik
terjalin, dan Polri memiliki strategi Polmas. Kelemahan mencakup pemahaman
anggota Polri terhadap politik rendah, komunikasi Polri dengan kekuatan politik
rendah, hubungan Polri dengan Pemda lemah, implementasi Polmas belum merata,
dan hubungan dengan masyarakat kurang. Sedangkan faktor eksternal meliputi:
Peluang terdiri dari Undang-undang No.32 tentang Otda, Pemda terbuka untuk diajak
kerja sama, Partai politik mulai terbuka, tokoh masyarakat bisa menjadi media, dan
masyarakat merasa butuh rasa aman. Kendala terdiri dari masih ada arogansi Pemda,
arogansi partai politik, masyarakat masih rentan terhadap isu politik, masyarakat
masih euforia kebebasan, dan Masih tokoh masyarakat yang haus pengaruh.
e. Pemecahan masalah dilakukan dengan menetapkan strategi Jangka Pendek, terdiri
dari memantapkan implementasi strategi Polmas, meningkatkan komunikasi Polri
dengan kekuatan politik, meningkatkan hubungan Polri dengan Pemda, dan
mengurangi euforia kebebasan masyarakat. Jangka Sedang meliputi meningkatkan
hubungan Polri dengan masyarakat, memantapkan kerja sama dengan Pemda, dan
meningkatkan kerja sama Polri dengan Partai politik. Sedangkan Jangka Panjang
meliputi meningkatkatkan pemahaman anggota Polri terhadap politik, meningkatkan
peran tokoh masyarakat, dan memantapkan ketahanan masyarakat terhadap isu
politik.
26
21. Rekomendasi.
a. Kepimpinan Polri di daerah harus terbuka dan mampu menjalin kerja
sama dengan kekuatan-kekuatan politik di daerah.
b. Para Perwira dijajaran diwajibkan untuk melakukan penggalangan
terhadpa tokoh elit politik seperti permainan bola satu petugas mengawasi satu
lawan atau tokoh tokoh yang vokal , nakal dan sangat berpengaruh harus digalang
ditempel terus.
c. Pendekatan kepada elit politik tidak hanya dilakukan secara formal
tetapi lebih banyak secara informa.
d. Anggota Polri wajib mnendapat pendidikan politik agar mnampu
menangani kasus kasus yang beraroma politik.
27
DAFTAR PUSTAKA
Harian Kompas 14 April 2010
Harian Media 11 Juni 2010
Meliala, A (2005), Mungkinkah Mewujudkan Polisi Yang Bersih, Jakarta: Kemitraan
Suparlan Parsudi (2004) Bunga Rampai Ilmu kepolisian Indonesia, Jakarta:Yayasan Pengenbangan Kajian Ilmu Kepolisian
Tim Pokja Reformasi Polri, (1999) Reformasi Menuju Polri yang profesional, Jakarta
Undang-undang No.2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia
Rangkuti F, 2010, Analisi SWOT: Teknik Membedah Kasus Bisnis, Jakarta: Gramedia
R. Siti Zuhro, Suara Karya, 25 Maret 2010
Winardi, 1994, Teori Konflik, Jakarta: Gramedia
28