0$.1$ 7(2/2*, .(0$7,$1 80$7 +,1'8 ', %$/, .$-,$1 7(.6

13
85 ABSTRACT I. PENDAHULUAN Manusia adalah mahluk bereksistensi dalam kehidupan. Dalam keadaan tersebut, manusia akan selalu diselimuti akan kehidupan yang nantinya akan menunggu kematian. Hal ini dikarenakan bilamana manusia hidup, bahwa kematian adalah pasti. Di dalam ajaran Hindu, kehidupan di dunia ini adalah untuk memperbaiki kualitas hidup sebelumnya dan mendapat kehidupan yang lebih baik setelahnya. Sehingga prosesi kematian sebagai tahapan akhir kehidupan manusia dalam ajaran Hindu dibuatkan sebuah ritual yang disebut dengan istilah ngaben. Upacara pengabenan yang diyakini bisa mempercepat proses pembebasan suksma sarira (badan halus) dari stula sarira (badan kasar). Sang suksma sarira yang hadir sebagai jiwatman (pemberi hidup) pada setiap mahluk diharapkan dapat bersatu kembali dengan sang paramatma, sedangkan stula sarira-nya dikembalikan kepada asalnya yaitu menjadi panca maha bhuta. Oleh karena itu, pelaksanaan upacara pengabenan sebagai salah satu bentuk penghormatan kepada arwah leluhur wajib hukumnya bagi setiap umat Hindu. Penghormatan kepada para leluhur sepertinya bukanlah hal yang berlebihan karena berkat jasanya memberikan pemeliharaan serta perawatan sejak dalam kandungan sampai dewasa, menyebabkan manusia mampu berdiri sendiri dan menikmati kehidupan ini. Belaian kasih orang tua selalu menyelimuti anak- anaknya ketika mereka kedinginan, demikian pula tetesan keringat dan deraian air mata selalu menyirami anak-anaknya ketika mereka kepanasan. Berdasarkan atas kenyataan tersebut maka tidaklah salah jika disebutkan pelaksanaan upacara pengabenan merupakan Death is something that will definitely happen but it is uncertain when it will come. For Hindus death is the process of the soul's journey to Paramatman. So that the journey of the Atma does not have obstacles it needs to be assisted by carrying out the death ceremony, hereinafter referred to as Pitra Yad. Pitra yadnya implementation is one way to break away from the tri ties of citizens in order to achieve happiness now and happiness to come. The meaning of the death ceremony according to the Yama Purwana Tattwa Text is to accelerate the process of the union of souls with paramatman. Through this understanding of theology of death it is hoped that Hindus can choose the desired form of death ceremony according to their preferred character, and even write a will to their families about the desired form of death ceremony in accordance with their beliefs, even though in essence the titles of Brahma, Vishnu, Shiva or Mahadeva are designations for The almighty God, namely Brahman himself. Keywords: Theology of Death, The Text of Yama Purwana Tattwa MAKNA TEOLOGI KEMATIAN UMAT HINDU DI BALI (KAJIAN TEKS YAMA PURWANA TATTWA) I Made Pasek Subawa Institut Hindu Dharma Negeri Denpasar E-mail : [email protected]

Upload: others

Post on 14-Feb-2021

25 views

Category:

Documents


1 download

TRANSCRIPT

  • 85

    ABSTRACT

    I. PENDAHULUANManusia adalah mahluk bereksistensi

    dalam kehidupan. Dalam keadaan tersebut,manusia akan selalu diselimuti akan kehidupanyang nantinya akan menunggu kematian. Halini dikarenakan bilamana manusia hidup,bahwa kematian adalah pasti. Di dalam ajaranHindu, kehidupan di dunia ini adalah untukmemperbaiki kualitas hidup sebelumnya danmendapat kehidupan yang lebih baiksetelahnya. Sehingga prosesi kematian sebagaitahapan akhir kehidupan manusia dalam ajaranHindu dibuatkan sebuah ritual yang disebutdengan istilah ngaben. Upacara pengabenanyang diyakini bisa mempercepat prosespembebasan suksma sarira (badan halus) daristula sarira (badan kasar). Sang suksma sarirayang hadir sebagai jiwatman (pemberi hidup)pada setiap mahluk diharapkan dapat bersatukembali dengan sang paramatma, sedangkan

    stula sarira-nya dikembalikan kepada asalnyayaitu menjadi panca maha bhuta.

    Oleh karena itu, pelaksanaan upacarapengabenan sebagai salah satu bentukpenghormatan kepada arwah leluhur wajibhukumnya bagi setiap umat Hindu.Penghormatan kepada para leluhur sepertinyabukanlah hal yang berlebihan karena berkatjasanya memberikan pemeliharaan sertaperawatan sejak dalam kandungan sampaidewasa, menyebabkan manusia mampu berdirisendiri dan menikmati kehidupan ini. Belaiankasih orang tua selalu menyelimuti anak-anaknya ketika mereka kedinginan, demikianpula tetesan keringat dan deraian air mata selalumenyirami anak-anaknya ketika merekakepanasan. Berdasarkan atas kenyataan tersebutmaka tidaklah salah jika disebutkanpelaksanaan upacara pengabenan merupakan

    Death is something that will definitely happen but it is uncertain when it will come. ForHindus death is the process of the soul's journey to Paramatman. So that the journey of the Atmadoes not have obstacles it needs to be assisted by carrying out the death ceremony, hereinafterreferred to as Pitra Yad. Pitra yadnya implementation is one way to break away from the tri tiesof citizens in order to achieve happiness now and happiness to come. The meaning of the deathceremony according to the Yama Purwana Tattwa Text is to accelerate the process of the unionof souls with paramatman. Through this understanding of theology of death it is hoped thatHindus can choose the desired form of death ceremony according to their preferred character,and even write a will to their families about the desired form of death ceremony in accordancewith their beliefs, even though in essence the titles of Brahma, Vishnu, Shiva or Mahadeva aredesignations for The almighty God, namely Brahman himself.

    Keywords: Theology of Death, The Text of Yama Purwana Tattwa

    MAKNA TEOLOGI KEMATIAN UMAT HINDU DI BALI(KAJIAN TEKS YAMA PURWANA TATTWA)

    I Made Pasek SubawaInstitut Hindu Dharma Negeri Denpasar

    E-mail : [email protected]

  • 86

    Volume 3, No. 2, September 2019 ISSN : 2580-7544

    bagian dari pitra yadnya didasari oleh pitra rna(hutang jasa kepada leluhur).

    Pelaksanaan upacara yang meriahsering menimbulkan pertanyaan bahkandianggap sebagai salah satu bentuk pemborosanbelaka, sehingga timbulah pertanyaan-pertanyaan, apakah dengan melaksanakanupacara pitra yadnya yang meriah bisamenyebabkan arwah leluhur masuk svarga?,selanjutnya bagaimana dengan keluarga yangditinggalkan?, apakah tidak lebih baik jikabiaya tersebut, digunakan untuk kepentinganpemeliharaan keluarga yang ditinggalkan.Berkenaan dengan pertanyaan-pertanyaantersebut lebih lanjut diuraikan dalam Teks YamaPurwana Tattwa yang memuat dengan jelastentang tatacara pelaksanaan upacara pitrayadnya mulai dari tingkat yang sangatsederhana sampai yang meriah. Melalui teksYama Purwana Tattwa masyarakat diberikanpilihan dalam pelaksanaan upacara pitrayadnya dapat disesuaikan dengan kemampuanyang melaksanakan sehingga tidak membebanikehidupan keluarga yang ditinggalkan.

    II. PEMBAHASAN2.1 Makna Penyucian Mayat (Nusang Sawa)Menurut Teks Yama Purwana Tattwa.

    Umat Hindu meyakini melaluipelaksanaan upacara pitra yadnya, maka sangatma akan dapat meninggalkan badanwadagnya dengan tenang sehingga dapatmencapai kebahagiaan yang abadi disisi DewaBrahma, seperti yang dijelaskan dalam teksYama Purwana Tattwa. Selanjutnya Teks YamaPurwana Tattwa menjelaskan bahwa; agarperjalanan Sang Atma menuju Paramatmamenjadi lancar hendaknya dibantu denganmelaksanakan upacara pengabenan danmemukur atau nyekah yang diakhiri denganpelaksanaan upacara nuntun dewa hyang ataumen-sthana-kan roh yang baru disucikan disanggah kemulan. Upacara Nuntun DewaHyang menurut Lontar Leburgangsa disebutNilapati (Wiana, 1998: 87). Upacara ini

    dimaksudkan supaya roh yang sudah menyatudengan Bhattara Guru (di-sthana-kan di rongtiga), tidak kembali menjelma (Ida PedandaMpu Mahabhirudaksa) dalam (Titib, 2006:259).

    Sejalan dengan itu Herts (dalamKoentjaraningrat, 1985.29), mengungkapkanbahwa upacara kematian tidak lain dari padaupacara inisiasi. Pernyataan ini sejalan denganpaparan Teks Yama Purwana Tattwa mengingatprosesi penyucian melingkupi keseluruhanprosesi upacara kematian yang dimulai daripenyucian terhadap jasad yang mau diabensampai pada penyucian atmanya. Penyucianterhadap jasad yang mau diaben meliputipenyucian secara sekala (nyata) dan niskala(tidak nyata). Penyucian mayat secara sekala(nyata) disebut nusang sawa. Adapun prosesipenyucian mayat (nusang sawa) menurut TeksYama Purwana Tattwa adalah sebagai berikut:

    Iti tingkah nusang sawa; 1) pabresihan, 2)pengerekaan, 3) pangulungan, 4) rurubkajang, 5) kreb sinom, 6) lis senjattha, 7)tirtha panglukatan, 8) tirtha pengentas, 9)tirtha hning 10) tirtha pengentas, 11) pajatiTingkah; 1, sisig 2, ambuh 3, toya anyar 4,ngenahang kamben pengulungan 5, lengis6, ptat swah bunga, mameka, boreh, minyakkumkuman, byakaonan, matirtha,ngenahang rurub kajang, mabakti,ngenahang pangrekaan, raris matirthapengentas tur gulung, magnah ring petine.

    Terjemahannya:Pelaksanaan penyucian mayat(nusangsawa); 1. pabresihan, 2. pangrekan,3. pangulungan, 4. rurub kajang, 5. kerebsinom, 6. elis sanjata 5, 7 tirta panglukatan,8. tirta pinunas, 9. tirta suci, 10. tirtapangentas, 11 pejati.Pelaksanaan selanjutnya 1 sisig, 2 ambuh, 3air bersih, 4 kain pembungkus, 5 minyakwangi, 6 sisir, petat dan bunga, bercermindiolesi bedak harum, minyak kumkuman,byakaon, diperciki air suci, diisi rurubkajang, sembahyangkan, diisi pangrekan,

  • 87

    lalu diperciki tirta pangetas dan dibungkusditaruh dalam peti (YPT-13b).

    Teks Yama Purwana Tattwa di atasmenjelaskan bahwa prosesi menyucikan mayat(nusang sawa) wajib dilaksanakan baik secarasekala (nyata) maupun secara niskala (tidaknyata). Secara sekala prosesi menyucikanmayat meliputi: 1) dimandikan dengan airbersih, 2) dibersihkan giginya (mesisig), 3)dikeramasi (ambuh), 4) disirami air kembang(kumkuman), 5) dipakaikan busana (pakaian)yang baru selengkapnya, dipakaikan sisir petat(sisir yang terbuat dari bambu yang giginyalonggar dengan harapan rambutnya tidakkusut), selanjutnya disisir rapi, dibedakin,dicerminin, diisi minyak wangi, 6) dipindahkanke pepaga (tempat tidur khusus yang disiapkanuntuk mayat) yang sudah diisi tikar halus. TeksYama Purwana Tattwa juga menegaskanbahwa: isin galeng sawane don bingin, donkroya wnang don dapdap, yang terjemahannyapada saat memandikan mayat (nusang sawa)hendaknya dipakaikan bantal kepala yangisinya daun beringin atau daun kroya, bilamanatidak ada boleh diganti dengan daun dapdap(YPT-5b).

    Sarana upacara yang digunakan padasaat ngeringkes mayat juga mempunyai maknasimbolik tertentu yaitu: 1) cermin yangdiletakkan pada mata mayat saat ngeringkesbermakna agar arwah yang meninggal selalubercermin pada dirinya dengan memperhatikanperbuatan-perbuatannya di masa lampau,apakah cenderung ke subha karma atau keasubha karma, selanjutnya bisa dijadikan acuankemana ia akan mengarah pada kehidupannyayang akan datang, sesudah itu kalau ia harusmenjelma kembali agar matanya menjadi lebihtajam mengamati jalan yang akan ditelusurisehingga tidak tersesat. 2) Daun intaran yangdiletakkan pada kedua alis mata mayatbermakna agar dalam penjelmaan nanti alisnyamenjadi indah dan tidak tidak cacat (Sastra,2005: 62). 3) Baja yang diletakkan pada gigi

    mayat bermakna agar dalam penjelmaannyayang akan datang sad ripunya lebih terkendali,dan giginya menjadi lebih kuat. 4) Pembersihankuku dengan pisau temutik atau silet bermaknaagar panca budindra dan panca karmendryayang melekat pada diri orang yang meninggaljadi berkurang, selain itu kebersihan fisiknyaselalu terjaga. 5) memasang bunga melati padalobang hidung mayat bermakna agar iasenantiasa mencium bau harum apalagiharumnya bumi, dengan demikian pikirannyalebih terkonsentrasi ke hal-hal yang bersifatspiritual, dan jika lahir nanti diharapkanmembawa nama harum seharum bunga melati.6) Minyak wangi seperti halnya bau yangditebarkan oleh minyak tersebut bermaknasebagai petunjuk agar pada kelahirannya yangakan datang dapat menebarkan bau harum didunia ini. 8) Anget-angetan yang dalamkeseharian diolah sebagai parem dan digunakansebagai obat, misalnya kalau kena flu, batukdan penyakit-penyakit ringan lainnya. Dalamhal ini anget-angetan bermakna sebagai obatatau penyembuh penyakit-penyakit ringan,sehingga ketika menghadap Sang Hyang Yamabadan wadagnya dalam keadaan sehat walafiatlahir dan bathin. 9) Daun terung yangdisemburkan oleh keturunannya pada kelaminmayat bermakna sebagai lambang kelahiran.10) Umbi sekapa atau gadung (umbi tumbuhanmelata) yang digunakan untuk menggosokbadan mayat ketika dimandikan, bermakna agarpada kelahirannya yang akan datang kulitnyamenjadi putih gading seperti umbi sekapatersebut (Sastra, 2005: 59). Memasang tali itik-itik; pada saat memasang diusahakan berbentukangka delapan yaitu terdiri dari dua angka nol.Hal ini memiliki makna agar raga sarira (stulasarira) badan wadag maupun suksma sarira(roh) tetap utuh, sehingga jika menitis nantimasih dalam satu kesatuan (Sastra, 2005: 58).

    Setelah penyucian secara sekala dengansarana dan prasarananya, prosesiselanjutnya adalah menyucikan mayat(nusang sawa) dengan menggunakan

    MAKNA TEOLOGI KEMATIAN UMAT HINDU...(I Made Pasek Subawa, 85-97)

  • 88

    Volume 3, No. 2, September 2019 ISSN : 2580-7544

    berbagai tirtha. Adapu beberapa tirthayang dipergunakan dalam pelaksanaanupacara pengabenan menurut Teks YamaPurwana Tattwa yaitu:Di pemuhunan; 1, ngentas sawa 2, matoyapanembak 3, ngenahang kajang 4, matirthapanglukatan 5, tirtha pinunas 6, tirtha hning7, tirtha pangentas 8, ngenahang adegang9, pengutangan pisang jati 10, ngenjutin.

    Terjemahannya:Di tempat pembakaran; 1. ngentas mayat, 2.diperciki tirtha penembak, 3. menaruhkajang, 4. diperciki tirtha panglukatan, 5.tirhta pinunas, 6. tirtha suci, 7. tirthapangentas, 8. menaruh adegan, 9.pangutangan pisang jati, 10. mulaipembakaran (YPT-8a).

    Memperhatikan struktur atau rangkaianupacara penyucian mayat (nusang sawa) dansarana-sarana yang dipergunakan dalam prosesipenyucian tersebut menyiratkan betapapentingnya kesucian itu bagi umat Hindu baiksemasih hidup maupun sesudah mati. Dalamsetiap tahapan mengandung makna bahwamanusia harus selalu berada dalam keadaansuci, tinggal di tempat yang disucikan dansenantiasa berusaha untuk menjagakesuciannya lahir dan bathin. Kesucian adalahpersyaratan utama bagi umat Hindu dalamusahanya untuk memutuskan tali reinkarnasi(kelahiran yang berulang-ulang) sehinggaakhirnya dapat lebur dengan sang pencipta yangdisebut Moksa.

    2.2 Makna RitualPelaksanaan upacara kematian menurut

    Teks Yama Purwana Tattwa menggunakanbermacam-macam bentuk bebanten atausesajen. Sesajen dibuat denganmempergunakan sarana tertentu, antara lain:bunga, buah-buahan, daun tertentu misalnyasirih serta makanan seperti nasi dan lauk pauk,jajan dan sebagainya, disamping sarana yangsangat penting lainnya seperti api dan air (Titib,

    2003: 134). Sehubungan dengan hal tersebut,selanjutnya dijelaskan beberapa makna bantenyang dipergunakan dalam pelaksanaan upacarakematian menurut Teks Yama Purwana Tattwasebagai berikut:

    2.2.1 Makna DyuskamaligiDyuskamaligi adalah satu soroh sesajen

    yang digunakan pada saat melaksanakanupacara ngaben. Menurut Teks Yama PurwanaTattwa, dyuskamaligi digunakan dalampelaksanaan Upacara Pengabenan SwasthaGheni, seperti dejelaskan dalam teks di bawahini:

    tumuli ayabin bubur pirata, ketupat pesor,saji punjungan putih kuning, dyus kamaligi,anyut ikang puspa lingga ikang kampuhnia,prasida sahika kramanya.

    Terjemahannya:Kemudian dihaturkan bubur pirata, ketupatpesor, sesajen punjungan putih, dyuskamaligi, setelah itu buanglah puspa linggaitu sampai pembungkusnya kesungai ataukelaut, begitulah rangkaian pelaksanaannya(YPT-3a).

    Teks Yama Purwana Tattwamenjelaskan, bagi orang yang memilihmelaksanakan Upacara Pengabenan SwasthaGheni, setelah selesai pembakaran, abu tulangdisirami air dan tirtha penyeeb, selanjutnyatulang-tulangnya dipungut, direka, digilas padabatu atau sasenden, setelah halus dimasukkankedalam puspa lingga, setelah dipakaikanbusana dihaturkan sesajen yang salah satunyaadalah dyuskamaligi, selanjutnya dianyud kelaut. Cara membuat sesajen dyuskamaligiadalah sebagai berikut: ditanding di atas nyiruatau tempeh, di atasnya diisi taledan (biasanyadari rontal), terus dimasukan: pebresihanpayasan1, 1 soroh sancak panda, tiga kelengtebu yang panjangnya kira-kira 15 sentidicelupkan ke pewarna kuning diikat denganbenang putih, 1 soroh samuhan, 1 tandingsolasan, 1 takir isuh-isuh, 1 takir beras kuning,

  • 89

    1 lepekan diisi kertas bertuliskan padma, diatasnya ditaruh sebuah penek hamong (penekyang di atasnya ditusuki bawang jahe). Maknasesajen dyuskamaligi adalah sebagai terhadapatma yang di-aben.

    2.2.2 Makna Banten Panjang Matah danPanjang Lebeng

    Banten panjang matahdemikian pula panjang lebeng adalahmerupakan sesajen yang penggunaannyakhusus pada saat melaksanakan upacarapengabenan. Dalam melaksanakan upacarapengabenanpun tidak semuanya menggunakanbanten panjang matah demikian juga panjanglebeng. Teks Yama Purwana Tattwamenyuratkan, banten panjang matah demikianjuga panjang lebeng akan dipergunakan jikamemilih melaksanakan upacara pengabenanmadhya, uttama serta upacara mati matanem.Adapun bentuk banten panjang matahdemikian juga panjang lebeng menurut TeksYama Purwana Tattwa adalah sebagai berikut:

    Iti, nga, panjang lebeng. Lwirnya, raka, woh-wohan rangkep, banten agalah,nasimatempelos abesik mabe lanjang base,tipat akelan, jaja uli abug, makaput ambupada malalima, barak putih, nasi atandingmabe sra, nasi atanding mabe kakul, nasiatanding mabe candana, nasi dwang gulungmabe padang lepas, nasi atempelos mabeglagah, ben katipate taluh bakasem, blayagakelan mabe pesan telengis, nasi takilanmagantung disisine, sate calon balungkatupang, balung gending, nasi subengmawadah ceper mabe piling-piling, nasibantal mabe sra, jaja mapinda barong,balung cili, nga, kuping, kikil, cunguh, samilebeng, ika nga, panjang lebeng.

    Terjemahannya:Ini yang disebut panjang lebengperlengkapan: buah-buahan selengkapnya,banten agalah, satu tanding nasimatempelos, berisi lauk lanjang base (sirih),ketupat sebanyak 6 buah, jajan uli, abugdibungkus dengan ambu masing-masing 5

    buah, merah putih, satu tanding nasi diisilauk terasi, satu tanding nasi berisi lauk siput,satu tanding nasi berisi lauk cendana, duabuah lauk nasi berisi lauk padang lepas, satupelos nasi berisi lauk glagah, ketupat berisitelur asin, blayag sebanyak 6 buah berisipesan telegis, satu mangkok nasi berisi lauktelengis digantung disisinya, sate calonbalong katupang, balung gending, nasisubeng ditaruh pada ceper diisi lauk piling-piling, nasi bantal berisi lauk terasi, jajanyang berbentuk barong yang disebut balungcili, adalah telinga, kaki, hidung, semuadimasak.

    Iti, nga, panjang matah. Lwirnya, bras acatu,nyuh, taluh pada mabungkul, gegtunganbase tampelan, byu kayu a ijas maiketbenang selem, pis 5 keteng, lelampadangenep, mawadah kojong, timbul, nangka, srabarak, isen, jahe, kunyit mawadah kojong,bakaran rangkep, panak kladi 1, akah nyanekari, jinah 5 keteng bolong, katipat nasimatah magantung, taluh matah, katipat lepetmatah , taluh bebek malablab 1, otot,dagdag, jali-jali, godem, tbu mawadah ceper,bras sewarnna mewadah cepr busung,padang lepas, glagah, ambengan, pada 3,katik apesel, muncuk lidi, muncuk dapdap 3pesel, jinah mapesel dadi bsik, bnang tridatu, mwah jejahitan, ktan, injin, kamben,sate matah sewarna sate jajaringan, balunggending, balung gantung. Ika ngaranpanjang matah.

    Terjemahannya:Ini yang disebut panjang matah, antara lain;beras satu catu, kelapa, telur masing-masingsatu butir, gagetungan, srih tampelan, satutandan pisang kayu diikat dengan benanghitam, uang kepeng 5, lelampedanselengkapnya ditaruh didalam kojong, buahtiwul, buah nangka, terasi mentah lengkuas,jahe, kunir, ditaruh didalam kojong, Bakaranselengkapnya, satu batang anak pohon keladiyang masih berisi akar, uang kepeng 5,digantungkan ketupat nasi yang masihmentah, ketupat yang direbus, otot, dagdag,jail-jali, gudem, tebu ditaruh pada ceper,

    MAKNA TEOLOGI KEMATIAN UMAT HINDU...(I Made Pasek Subawa, 85-97)

  • 90

    Volume 3, No. 2, September 2019 ISSN : 2580-7544

    beras berwarna ditempatkan pada ceperjanur, padang lepas, glagah, alang-alang,masing-masing 3, katik satu ikat, pucuk lidi,pucuk dapdap, 3 ikat uang diikat manjadisatu tridatu, serta jeahitan, beras ketan, berashitam, kain, sate mentah, berbagai jenis,jejaringan, balung gending, balung gantung,itulah yang disebut panjang mentah(YPT14b-15b).

    Banten panjang matah demikian jugapanjang lebeng merupakan sesajen yangdibawa sebagai bekal oleh atma perjalanannyadalam perjalanannya menuju sunia loka. Ketikalahir ke dunia manusia ditemani oleh memiliki108 nyama bajang. Dalam perjalanannya untukkembali kepada Sang Pencipta satu persatusaudara-saudaranya itu datang menghampiriSang Atma, selanjutnya diajak ngobrol. Sebagaiucapan terima kasih karena telah menemanidalam perjalanan maka kepadanya diberikanoleh-oleh sesuai dengan kesukaannya, yaitu isibanten panjang matah dan panjang lebengtersebut. Lebih lanjut Ida Pedanda Panji Sogatamengatakan bahwa, makna banten panjangmatah dan panjang lebeng dalam pelaksanaanupacara pengabenan adalah agar Sang Atmamemperoleh keselamatan dalam perjalanannyamenuju Sang Pencipta..

    2.2.3 Makna PulagembalBanten Pulagembal sering juga disebut

    Pragembal. Penggunaan banten Pulagembaldalam pelaksanaan upacara ngaben juga tidaksetiap saat. Banten Pulagembal dipergunakanjika melaksanakan upacara pengabenanmadhya, uttama serta upacara penguburanuttama. Pulagembal berasal dari dua kata yaitupula yang dalam kaitannya dengan pengertianini diartikan Pulau. Sedangkan gembal berartikecil, dengan demikian Pulagembal diartikansebagai pulau yang kecil. Banten Pulagembalini terdiri dari dua bagian, bagian bawah disebuttatakan pulagembal, selanjutnya barulah diisitandingan pulagembalnya. Di Bali bentuk jajanpulagembal antara satu daerah dengan daerah

    lainnya agak berbeda, akan tetapi jikadiperhatikan dari jaja/kue cacalan yang dipakairata-rata melukiskan isi sebuah pulau yanglayak ditempati manusia (pulau yang subur)seperti pengharapan manusia agar dapatmencapai kemakmuran dalam hidupnya.

    Surayin dalam bukunya Seri I UpakaraYajna, Melangkah Ke Arah Persiapan Upakara-Upacara Yajna menyebutkan: unsur-unsurPulagembal terdiri dari:a. Empas mimi menggambarkan isi lautanb. Gelar gemulung menggambarkan gerak air,c. Ancak, bingin, padanglepas, ambengan,

    menggambarkan pepohonan.d. Kladi, ubi melambangkan umbi-umbian.e. Tingkih, kelongkang menggambarkan buah-

    buahan.f. Marga dua, tiga, empat melambangkan

    jalan sebagai sarana transportasi.g. Gunung, Lingga, Taman, Penganggo,

    Penampangsarad, Lelipi, Lulut emas, lulutperak, ante, dan lain-lain melambangkan isidunia ini (Surayin, 2005: 59).

    Selanjutnya sorohan pulagembal terdiridari: peras, soda, dapetan, pengiring,pengambeyan, pengapit, penyeneng, udel,kurenan, bulakan, pancoran, ungang, tagog,ancak, bingin, pengebek, dan buah jerimpen,selanjutnya dilengkapi dengan sebuah taman,tegteg, tempeh mesrombong, pasomesrombong, dan pepletikan. (Surayin,2005:105)

    Memperhatikan nama-nama kuecacalan yang digunakan dalam tetandinganpulagembal, demikian juga tatakantetandingannya, maupun sorohan yangmengikutinya dapat digambarkan bahwapulagembal merupakan lukisan atau minimalissebuah pulau, yang layak ditempati olehmanusia sehingga dianggap layak untukdipersembahkan kehadapan Ida Sang HyangWidhi. Sehingga pada saatnya nanti manusiamelepaskan diri dari kenikmatan dunia, dalamhubungannya dengan upacara pengabenan

  • 91

    diharapkan roh dapat melepaskan badankasarnya dengan ikhlas sehingga perjalanannyake sunia loka tidak terganggu.

    2.2.4 Makna BebangkitBanten Bebangkit adalah sebuah banten

    yang terdiri dari tiga bagian yaitu: tadahpebangkit ireng (hitam), tadah pebangkit putihdan balen pebangkit yang bentuknya hampirsama dengan taman hanya saja tiangnya dapatdibuat dari bambu atau lainnya bahkan adakalanya bertingkat seperti meru tergantung padatingkatannya. Pada balen pebangkit ditempelibeberapa jenis jajan sesamuhan. Baik bentuk,nama serta jumlah dari pada jajan-jajan tersebutagak berbeda-beda di beberapa tempat, tetapiselalu ada jajan yang disebut: bulan, matanai(matahari), marga (jalan), dan lawang (pintu),walaupun mungkin bentuknya ada yangberbeda-beda. Keempat jajan tersebut ditempelpada keempat dinding dan balen pebangkit dandiletakkan sedemikian rupa sehingga bulanberlawanan arah dengan matahari, margaberlawanan arah dengan lawang (Mas Putra,1982: 54-55).

    Kalau diperhatikan dari bentuk, namaserta jumlah jajan cacalan yang dipergunakandemikian juga tetandingan serta saranaupakara lain yang menyertainya, bebangkitmelambangkan alam semesta, yaitu wujuddunia sebagai makro kosmos. Sejalan dengantujuan pelaksanaan upacara kematian(pengabenan) menurut agama Hindu rohdibekali isi makrokosmos untukdipersembahkan, dengan harapan kemelekatanarwahnya akan benda-benda duniawi semakainberkurang, dan suatu saat nanti bisa sirnasehingga tercapailah tujuan agama Hindu yangdisebut Moksa.

    2.2.5 Makna Banten PemrasanPenggunaan banten pamrasan dalam

    pelaksanaan upacara kematian bukanlah halasing, hampir sebagian dari sekian banyaknyabentuk upacara kematian yang dilaksanakan

    menggunakan banten pamrasan. Bentukbanten yang dipergunakan sangat sederhana,disesuaikan dengan tingkatan upacara yangdilaksanakan, pada intinya adalah menyerahkanuang kepeng yang sudah diikat dengan benangputih, selanjutnya dibungkus dengan daundadap, kepada yang diperas yaitu cucu-cucunya. Banten pemerasan ini bermaknasebagai pengalihan status atau kedudukanseseorang secara sekala niskala. Misalnya siPitung adalah putra si A, selanjutnya diperasoleh si B, maka melalui pelaksanaan upacarapemerasan statusnya sudah dipatenkan dandiyakini secara sekala maupun niskala menjadiputranya si B. Hindu memaknai kehadiranketurunan baik anak demikian juga cucu yangsuputra merupakan berkah dan anugrah yangsangat utama, karena diyakini melalui bantuanmereka, leluhurnya akan terbebas dari neraka.

    Pelaksanaan upacara pemerasan padaupacara pengabenan merupakan aktualisasidari ilustrasi ceritera sang Jaratkaru. SangJaratkaru adalah seorang pertapa yang sangattekun. Sejak kecil ia bertapa dan hidup sebagaiseorang brahmacari. Sesudah tamat akansegala mantra, ia diperbolehkan masuk sampaike segala tempat, akhirnya dia melakukanperjalanan yang sangat jauh sampai keAyatanasthana yaitu perbatasan antara svargadan neraka. Disana ia mendapatkan leluhurnyatergantung dengan muka tertelungkup, kakidiikat, sedangkan di bawahnya jurang yangsangat dalam merupakan jalan ke neraka.Seekor tikus tinggal di dalam bambu di tepijurang itu, setiap hari mengerat ruas batangbambu.

    Hal itu dilihat oleh sang Jaratkaru,berlinang-linang air matanya menyaksikanleluhurnya kurus kering bagaikan daun keringditiup angin karena tidak pernah makan. SangJaratkaru bertanya; hal apakah yangmenyebabkan tuanku sekalian tergantung padabambu yang mau putus ini? Sedangkan dibawahnya jurang yang menganga?, hamba

    MAKNA TEOLOGI KEMATIAN UMAT HINDU...(I Made Pasek Subawa, 85-97)

  • 92

    Volume 3, No. 2, September 2019 ISSN : 2580-7544

    ingin menolong tuanku dengan seperempat atausebagian tapaku untuk dapat tuanku ke svarga.

    Mendengar semua itu leluhurnyamenjadi senang dan menjawab, saya tergantungdisini karena garis keturunan saya terputus,itulah sebabnya saya terpisah dari leluhur dantergantung disini. Ada seorang keturunan sayabernama Jaratkaru, sejak kecil dia hidupsebagai pertapa dan menjadi brahmacarisehingga putuslah keturunan kami, danbeginilah keadaan kami bagaikan seorangpendosa. Jika engkau belas kasihan kepadakami, pintalah kasihnya sang wiku Jaratkaruagar ia suka berketurunan supaya dapat pulangke leluhur dan katakan juga padanya bahwasaya menderita disini.

    Sang Jaratkaru menjawab; saya inilahJaratkaru keturunanmu, jika itu yang menjadijalanmu, sekarang saya akan pulang untukmencari istri yang namanya sama dengan sayasehingga bisa sejalan dan sesudah itu jadipertapa lagi. Selanjutnya sang Jaratkaru pulangkedunia, mencari istri sampai bertemu dengansang Jaratkaru putri Nagini, berputra sangAstika, begitu sang Astika lahir paraleluhurnyapun bebas dari derita, melayang kesvarga untuk mengenyam hasil tapanya(Zoetmulder, 2005:50).

    Berdasarkan ilustrasi ceritra ini makapada pelaksanaan upacara kematiandilaksanakan upacara pemerasan sebagaipengesahan status bahwa orang yang diabensudah memiliki cucu yang diyakini doanyadapat membantu arwah leluhurnya agar tidakdigantung di bambu petung. Ilustrasi ceriteraini pula yang menjadi dasar keyakinan umatHindu, maka pada pelaksanaan upacarakematian (pengabenan) selalu dilaksanakanupacara pemerasan terhadap cucu-cucunya

    2.2.6 Makna Bubur Pirata:Bubur Pirata adalah sesajen yang

    penggunaannya juga sangat khusus yaitusebagai persembahan kepada atma yang maudiaben atau dikubur. Dalam uraian Teks Yama

    Purwana Tattwa, semua bentuk upacarapengabenan menggunakan sesajen yangdisebut bubur pirata dan tarpana, baik ituSwastha Gheni, Pitra Yadnya, Nistha, Madhya,demikian juga Uttama. Cara pembuatan buburpirata adalah sebagai berikut: beras dicucibersih, selanjutnya dimasak menjadi buburdengan air cendana, diisi susu, diaduk-aduksampai lembut. Selanjutnya disajikan di atasdaun medori kalau tidak ada biasanya digantidengan daun dapdap. Dibuat berbentuk bundar,diisi sambal maje keling, rumput (padanglepas), ujung ilalang. Bubur Pirata merupakansimbol persembahan Sang Atma kepada DewaYama putra Dewa Surya yang menguasai hidupdan mati semua mahluk (Titib, 2006: 460).

    2.2.7 Makna beberapa Sarana Upakara1) Daun Beringin,

    Dalam melaksanakan upacara kegamaan,daun beringin sering sekali menyertainyasebagai sarana inti. Ketika pelaksanaanupacara agama dipimpin oleh seorangPandita sesajen yang ditempatkan di Suryaada yang disebut Dewa-Dewi. Untukmembuat Dewa-Dewi daun beringinmerupakan salah satu sarana inti, demikianjuga dalam pembuatan banten saraswatipemakaian daun beringin juga merupakansalah satu sarana inti. Selanjutnya menurutYama Purwana Tattwa, bantal kepala mayatterbuat dari daun beringin, demikian jugakamben Adeg Sekah. Untuk memahamimakna daun beringin dapat dilihat padaBhagawadgita :

    Aswatthah sarwawrksanamDewarsinam ca naradahGandarwanam citraratah,Siddhanam kapilo munih

    Terjemahannya :Diantara segala pepohonan Aku adalahAswattha, dan diantara para Rsi Illahi Akuadalah Narada, diantara para GandharwaAku adalah Citraratha, dan diantara paraorang sempurna Aku adalah Kapila Murni.(Masniwara, 1997:339).

  • 93

    MAKNA TEOLOGI KEMATIAN UMAT HINDU...(I Made Pasek Subawa, 85-97)

    Sri Kresna dalam kapasitasnya sebagaiTuhan yang Maha Esa memberikanpenjelasan kepada Arjuna bahwa Beliauadalah raja atau penguasa dari seluruh unsuralam semesta ini. Diantara pepohonanBeliau adalah Asawattha. Aswattha adalahnama daun beringin dalam bahasaSansekerta, sedangkan di IndonesiaAswattha disebut beringin. Atas dasarpernyataan tersebut umat Hindu meyakinibahwa daun beringin merupakanperwujudan Tuhan Yang Maha Esa,sehingga sering dijadikan sarana inti dalampembiatan sesajen.

    2) Angenan, kata angenan berasal dari kataangen yang berarti jiwa atau bathin, dengandemikian angenan adalah lambang jiwaorang yang meninggal, agar tidak lagimemikirkan kenikmatan dunia, akan tetapiterfokus akan perjalanannya.

    3) Kajang adalah kain kapan yang ditulisidengan tulisan wijaksara sebagaimanifestasi dari para Dewa. Kain putihsebagai perlambang badan kasar ataupengawak arang yang meninggal,sedangkan tulisan wija aksara sebagaiperlambang atma, dengan demikian kajangadalah wahana yang dinaiki arwah ketikamau menghadap sang Pitara (Brahman).Kajang bermacam-macam sifatnya, adayang dari pendeta seperti yang tersebut diatas, ada juga yang dari keluarga sebagailambang kasih sayang, (Wiana, 2004: 53-55). Makna kajang dalam upacarapengabenan adalah sebagai pengganti jasadorang yang meninggal.

    4) Kereb sari adalah simbolis saput atauselendang orang yang meninggal, sedangkankereb sinom adalah simbolis dari padaumpalnya.

    5) Damar kurung adalah simbolik matahariyang akan menerangi jalan yang akandilewati sang atma.

    5) Wadah atau bade adalah simbolik kendaraanyang dinaiki oleh arwah ketika menuju alamsunia loka. Bentuk wadah sangat ditentukanoleh kedudukan seseorang dalam stratakemasyarakatannya.

    6) Petulangan adalah tempat pembakaranmayat atau pengawak dari yang di aben,petulangan ini biasanya disesuaikan dengankedudukan orang yang meninggal sertabentuk serta tingkatan upacara yangdipilihnya (Pulasari, 2007: 36-39).

    7) Makna sekarura, Sekarura terbuat dari beraskuning sebagai lambang menebarkebijaksanaan, bunga jepun sebagailambang perasaan yang tulus, uang kepengsebagai unsur panca datu. Sekarura inibiasanya ditebarkan pada waktupemberangkatan mayat ke kuburan,dibarengi dengan menggoyang ubes-ubesdari burung cendrawasih yang diyakinisebagai burungnya para Dewata sehingga diBali disebut Manuk Dewata.Memperhatikan puja yang tersurat dalamDewa Puja Pitra Siwa yang berbunyi;Ongkarane namah; Pakulun sang Ayam-ayam, iki tadah sajinira beras saslulan ringdalan; aja sira amigrahani anangkaleniatmane si anu, Ongkara, Ongkara, Ongkara(Tim Penyusun, 2001: 126). Menebarsekarura bermakna sebagai laban kepadasang Manuk Dewata sebagai pengantararwah kesunia loka. Adapun maksudmemberikan laban kepada penjaga jalanagar dia tidak yang mengganggu arwahorang yang meninggal selama dalamperjalanan. Dalam aktualisasinya penebaransekarura dilakukan ketika mayatdiberangkatkan ke kuburan, di depan rumahdiputar tiga kali sebagai pertanda perpisahandengan keluarga, di prapatan jalan diputartiga kali sebagai tanda perpisahan denganwarga masyarakat, di gerbang kuburan jugadiputar tiga kali sebagai permohonan ijinkepada penjaga kuburan. Perputaran itubiasanya dari kanan mengarah ke kiri

  • 94

    Volume 3, No. 2, September 2019 ISSN : 2580-7544

    (prasawya) (bertentangan dengan jarumjam), di jalan sebagai tanda perpisahandengan warga masyarakat, sedangkan dikuburan sebagai pertanda pisahan antaraalam sekala dengan niskala(Wiana,2004:31). Ada juga yangmengemukakan bahwa putaran prasawyaadalah putaran dari bawah ke atas, yakniperjalanan sang roh dari bhur loka ke swahloka, atau peningkatan diri yang lebih kasarmenuju ke alam yang lebih halus.

    8) Makna Uang Kepeng (Pis Bolong)Penggunaan uang kepeng dalampelaksanaan upacara keagamaan bagi umatHindu bukan hal baru. Fungsi uang kepengdalam pelaksanaan upacara keagamaan baikdalam Rsi Yadnya, Dewa Yadnya, BhutaYadnya, Manusa Yadnya, apalagi PitraYadnya. Dalam Resi yadnya uang kepengdipakai sebagai sarana persembahan(sesari), yang saat ini diisi hanya beberapakeping sebagai simbolis selanjutnya dipakaiuang rupiah sebagai gantinya mengingatuang kepeng saat ini tidak lagi berfungsisebagai alat pembayaran yang sah. Dalampelaksanaan upacara Dewa yadnya fungsiuang kepeng juga tidak kalah pentingnya,misalnya dalam sarana persembahyangan(sebagai sarin kewangen) khususnya untukkewangen pedagingan. Hampir setiap adaprosesi upacara menggunakan uang kepeng,mulai dari ngeringkes sawa (mayat)membuat bekal bagi orang yang akandiaben, untuk sesari pada kewangen,daksina, penuntunan, kalung periuk tempattirthanya Ida Pedanda dan lain sebagainya.

    2.3 Makna TeologisMakna Teologis yang tersurat dalam

    Teks Yama Purwana Tattwa adalah ketika SangHyang Yama Dipati menganugrahkanwejangan suksma kepada Sang PanditaAntapan Ender, tentang tatacara mengupacaraiatma orang yang meninggal, sehingga lahirlah

    bentuk-bentuk upacara kematian. Rangkaianpelaksanaa upacara kematian menurut TeksYama Purwana Tattwa diuraikan sebagaiberikut :

    Kunang upakarania magseng dulurindaksina 1, canang 7 tanding, jinah 225, brascatur warna mawadah tembekur, gnahakenaring dadaning sawa, gesengan kabeh, ringsampuning basmi ika sawa, arengnia supitkadi cara pinipis ring watu yadyapi sasendenpada wenang rayu wadahin nyuh gading,adegakna puspa lingga tumuli ayabin buburpirata, ketupat pesor, saji punjungan putihkuning, dyus kamaligi, anyut ikang puspalingga ikang kampuhnia, prasida sahikakramanya.Kunang wekasan wenang sakama-kamaamreteka sawa karyaning angatma wedana,nga, nyekah, memukur, kunang yan sampunsah kadadia sama amanggih rahayu SangPitara, iccha pada bhatara lumingga ringjagat.

    Terjemahannya:Adapun upacara pembakaran (ngaben);setibanya dikuburan diperciki tirtapangentas, pada waktu proses pembakaranberjalan disertai daksina satu buah, canang7, uang 225 kepeng, beras empat warnaditempatkan pada tembekur, ditaruh padadada mayat, semuanya dibakar. Setelahmayat itu habis terbakar, kemudian arangnyadiambil dengan menggunakan sepit, juga bisadilakukan seperti menggiling diatas sasendenatau batu, baru ditempatkan pada bungkaknyuh gading ( kelapa gading yang muda),dibuatkan puspa lingga. Kemudiandihaturkan bubur pirata, ketupat pesor,sesajen punjungan putih, dyus kamaligi,setelah itu buanglah puspa lingga itu sampaipembungkusnya kesungai atau kelaut,begitulah rangkaian pelaksanaannya.Selanjutnya sewaktu-waktu dapatdilaksanakan upacara Atma Wedana yaituNyekah/Mamukur. Apabila ini sudahterlaksanakan Sang Atma sama-samamendapat kebahagiaan, dan para Dewatamerasa senang berada didunia ini (YPT 2b –3a).

  • 95

    MAKNA TEOLOGI KEMATIAN UMAT HINDU...(I Made Pasek Subawa, 85-97)

    Melalui teks di atas dijelaskan bahwamakna pelaksanaan upacara kematian adalahagar sang atma memperoleh kebahagiaan yangabadi disisi Dewa Brahma yaitu manifestasi IdaSang Hyang Widhi sebagai pencipta. Dengandemikian jelaslah bahwa makna upacarakematian adalah mengembalikan sang atmakepada sang paramatma (sumbernya).Selanjutnya Teks Yama Purwana Tattwamenguraikan lima (5) bentuk upacarapengabenan, dimana masing-masing bentukupacara pengabenan tersebut mempunyaimakna sendiri-sendiri seperti dijelaskan dalamteks-teks di bawah ini:

    kewala wwang mati bner tan wnangmapendem, mangde magseng juga, saikasupacarania, prasida Sang Atma molihring Bhatara Brahma, apitwi tan pabia,swastha ring Sang Hyang Aghni sidaamanggih rahayu Sang Hyang Atma.

    Terjemahannya:Hanya orang yang mati secara wajar tidakboleh dikuburkan, agar dibakar saja,disertai dengan upacara supaya roh orangtersebut mendapat tempat disisi DewaBrahma. Walaupun tanpa biaya, denganjalan upacara swasta gheni. Atma akanberhasil mendapat kebahagian yang abadi(YPT- 2b).

    Melalui teks di atas dapat dipahamibahwa jika upacara pengabenan swasthagheni, yang dipilih untuk dilksanakan makaatma orang yang diaben akan mendapatkebahagiaan yang abadi disisi Dewa Brahma,jika Pitra yadnya yang dipilih untukdilaksanakan maka sang atma akanmemperoleh kebahagiaan yang abadi disisiDewa Siwa, jika Upacara Pengabenan Nisthayang dipilih untuk dilaksanakan maka sangatma akan memperoleh kebahagiaan yangabadi disisi Dewa Siwa, jika UpacaraPengabenan Madhya atau Pranawa yangdipilih untuk dilaksanakan maka sang atmaakan memperoleh kebahagiaan yang abadi

    disisi Dewa Wisnu, jika Upacara PengabenanUttama yang dipilih untuk dilaksanakan makasang atma akan memperoleh kebahagiaan yangabadi disisi Dewa Mahadewa.

    Melalui penjelasan teks di atas dapatdipahami bahwa umat Hindu mengagungkanIda Sang Hyang Widhi dalam berbagaimanifestasinya. Ida Sang Hyang Widhi, dipujadalam berbagai bentuk sehingga ada penamaanyang berbeda-beda sesuai dengan fungsinya.Memuja Tuhan dalam berbagai bentuk ataukarakter sesuai dengan kemampuan seseorangmelukiskannya merupakan ciri khas bagi umatHindu yang disebut Adikara.

    Pada pembukaan Teks Yama PurwanaTattwa sudah menjelaskan bahwa Ida SangHyang Widhi atau Tuhan itu adalah Esa adanya,seperti yang dijelaskan dalam Teks berikut ini:

    Iki sastra Yama Purwana Tattwa, sdengBhatari Durgga ring gaganantara tumonatma sasar ring kawah agheni, apalihwarna Bhatari marupa Sang HyangYamaDipati, angamel ala-ayuning atma, wanehYani ring Loka, tumdhun ring Wanti Pura,mandadi Bhatari Uma Dewi, ri sdeng niramelinggih ring Setragung mraga BhatariDurgha Dewi. Wasitakna Padanda AtapEnder, jumujug ring linggih Bhatari, dadikagyat Bhatari, mangkrak-mingkrik kadisingha lodra, ling ira, wwang paran ikidating tan pararapan, mangke dak tugelgulunta, ridas tinugel gulunya sangjumujug linggih Bhatari, saksana datingBhatara Brahma, tka lesu gleng Bhatari.

    Terjemahannya:Ini sastra Yama Purwana Tattwa, padawaktu Dewi Durgha berada di awang-awang menjumpai roh manusia yangsedang menderita di kawah api. DisituDewi Durgha berubah menjadi SangHyang Yama Dipati yang mengetahui baikdan buruknya atma (roh). Setelah Beliaubosan di Yama Loka, kemudian Beliauturun ke Wantipura berwujud DewaUmadewi. Pada waktu beliau bersemayamdi Kuburan, beliau berwujud Dewi

  • 96

    Volume 3, No. 2, September 2019 ISSN : 2580-7544

    Durghadewi. Kemudian disebutkanPendeta Antap Ender mendatangi tempatDewi Durgha, disitu beliau tercengang danmenjerit bagaikan singa yang garang, lalubeliau berkata; manusia apa ini datangdengan tiba-tiba. Sekarang akan kupenggallehermu, hampir saja leher orang itudipenggal oleh Bhatari Durgha, segeraDewa Brahma datang menghadap, seketikaitu kemarahan Dewi Durgha menjadi reda.(YPT -1b)

    Teks di atas menjelaskan bahwa DewiDurgadewi adalah manifestasi Ida Sang HyangWidhi sebagai penguasa kuburan, Sang HyangYama Dipati adalah manifestasi Ida SangHyang Widhi sebagai penguasa atma (roh),Dewi Umadewi adalah manifestasi Ida SangHyang Widhi ketika bersemayam di Wantipura,Dewa Brahma adalah manifestasi Ida SangHyang Widhi sebagai pencipta alam semestabeserta segala isinya.

    Lebih jauh jika memperhatikan prosesingaskara yang tersurat dalam Teks YamaPurwana Tattwa, demikian juga gambarulantaganya, jelas Teks Yama Purwana Tattwamerupakan tuntunan praktis pelaksanaanupacara kematian bagi umat Hindu dengankarakter Siwaisme, sebab bagi umat Hindu yangberkarakter Buddhisme, upacara pangaskaraanadalah upacara padiksaan terhadap sang atma,yang rangkaian pelaksanaannya adalah sebagaiberikut: mayat dibersihkan/disucikan sepertiprosesi nusang sawa, dipakaikan pakaianlengkap, atmanya dipangggil dengan pujauttapi, selanjutnya dilaksanakan upacara diksa.Setelah upacara pengabenan berakhirdilanjutkan dengan Upacara Nuntun DewaHyang, tidak ada upacara ngerorasin ataunyekah. Selanjutnya gambar ulantaga bagiumat Hindu dengan karakter Buddhisme adalahberupa gambar ulat, sedangkan bagi umatHindu dengan karakter Siwaisme adalah kupu-kupu. Demikianlah Hindu dan Buddha diIndonesia pada hakikatnya adalah satu, paham

    ini sangat berbeda dengan Hindu dan Buddhadi India.

    Berdasarkan atas paparan tersebut diatas jelaslah bahwa Teologis Kematian UmatHindu di Bali Menurut Teks Yama PurwanaTattwa adalah bersatunya Jiwatman denganParamatma melalui berbagai jalan yang sudahditetapkan dalam Yama Purwana Tattwa. Jalanmanapun yang ditempuh pada akihirnya ia akantiba pada tempat yang sama, yaitu Ida SangHyang Widhi, karena pada hakikatnya Hindumeyakini Tuhan itu satu adanya, akan tetapimanifestasinyalah yang berbeda-beda.Selanjutnya melalui pelaksanaan upacarakematian diyakini; 1) keluarga yangditinggalkan dapat membayar hutangnyakepada leluhur, 2) atma leluhur bisa sampaitempat yang dituju (Tuhan Yang Maha Esa), 3)dengan demikian alam semesta akan menjaditenang sehingga para dewa akan merasanyaman disana.

    III. PENUTUPMakna Upacara Kematian Menurut

    Teks Yama Purwana Tattwa adalah untukmempercepat proses bersatunya Jiwatmandengan Paramatma (atma sebagai unsurpemberi kehidupan dengan Ida Sang HyangWidhi sebagai pencipta). Melalui kumpulanWeda Puja Pitra Siwa dijelaskan bahwa atmaakan tiba pada beberapa tempat sesuai denganbentuk upacara pengabenan yang dilaksanakanyaitu : Brahma Loka, Wisnu Loka, Siwa Loka,serta Mahadewa Loka, akan tetapi manggalaTeks Yama Purwana Tattwa dengan jelasmenguraikan bahwa Ida Sang Hyang Widhipada hakikatnya adalah Esa, akan tetapi sesuaidengan tempat, waktu serta kedaaan Beliauakan merubah dirinya sehingga orang-orangbijaksana akan menyebut Beliau dengan namayang berbeda pula.

    Melalui prosesi pengaskaraan sertasurat (gambar) ulantaga dapat dipahami bahwaTeks Yama Purwana Tattwa adalah tuntunanpelaksanaan upacara kematian bagi umat Hindu

  • 97

    dengan karakteristik Siwaistis. Dengandemikian teologi kematian umat Hindu di Balikajian Yama Purwana Tattwa adalah bersatunyajiwatman dengan paramatman. Walaupunbanyak arah yang dapat ditempuh oleh atmadalam perjalanannya menuju Paramatma, akantetapi pada hakikatnya Ida Sang Hyang Widhiitu Esa adanya.

    DAFTAR PUSTAKA

    Koentjaraningrat. 1985. Ritus Peralihan diIndonesia. Jakarta :Balai Pustaka.

    Mas, Putra, 1982. Upakara Yadnya. Denpasar.Masniwara, I Wayan, 1997. Srimad Bhagawad

    Gita Dalam Bahasa Inggris danIndonesia. Surabaya : Paramita.

    Pulasari, Jero Mangku, 2007. Pengastawa Pitrayadnya Lan Gambar-Gambar. Surabaya: Paramita.

    Sastra, I Gede Sara, 2005. Tuntunan PraktisUrutan Upacara Memandikan Mayat(Nyiramang Layon). Surabaya : Paramita.

    Surayin, Ida Ayu Putu, 2005. Pitra Yajna (SeriV Upakara Yajna), Surabaya, Paramita.

    Titib, I Made, 2003. Teologi dan Simbul-SimbulDalam Agama Hindu. Surabaya :Paramita.

    Titib, I Made, 2006. Persepsi Umat Hindu diBali Terhadap Sorga, Neraka MoksaDalam Swargarohana Parwa, PerspektifKajian Budaya. Denpasar : ParamitaSurabaya.

    Wiana, I Ketut, 1998. Berbhakti Pada Leluhur,Upacara Pitra yadnya dan UpacaraNuntun Dewa Hyang. Paramita :Surabaya.

    Wiana, I Ketut, 2004, Air dan Fungsi SaranaPersembahyangan, Paramita, Surabaya.

    Zoetmulder, P.J, 2005. Adiparwa Bahasa JawaKuno dan Indonesia. Surabaya :Paramita.

    MAKNA TEOLOGI KEMATIAN UMAT HINDU...(I Made Pasek Subawa, 85-97)