new farsos,citra farmasi

39
BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Dari segi kata, Farmasi didefinisikan sebagai ilmu penyediaan bahan obat, dari sumber alam atau sintetik yang sesuai, untuk disalurkan dan digunakan pada pengobatan dan pencegahan penyakit. Farmasi mencakup pengetahuan mengenai identifikasi, pemilahan (selection), aksi farmakologis, pengawetan, penggabungan, analisis, dan pembakuan bahan obat (drugs) dan sediaan obat (medicine). Pengetahuan kefarmasian mencakup pula penyaluran dan penggunaan obat yang sesuai dan aman, baik melalui resep (prsecription) dokter berizin, dokter gigi, dan dokter hewan, maupun melalui cara lain yang sah, misalnya dengan cara menyalurkan atau menjual langsung kepada pemakai. Paradigma yang berkembang dimasyarakat, Apoteker atau Farmasis sebagai seseorang yang ahli dibidang farmasi lebih dikenal sebagai pembuat obat di pabrik, 1

Upload: welfin-d-rich

Post on 24-Oct-2015

406 views

Category:

Documents


37 download

TRANSCRIPT

Page 1: New Farsos,Citra Farmasi

BAB I

PENDAHULUAN

I.1. Latar Belakang

Dari segi kata, Farmasi didefinisikan sebagai ilmu penyediaan bahan obat, dari

sumber alam atau sintetik yang sesuai, untuk disalurkan dan digunakan pada

pengobatan dan pencegahan penyakit. Farmasi mencakup pengetahuan mengenai

identifikasi, pemilahan (selection), aksi farmakologis, pengawetan, penggabungan,

analisis, dan pembakuan bahan obat (drugs) dan sediaan obat (medicine). Pengetahuan

kefarmasian mencakup pula penyaluran dan penggunaan obat yang sesuai dan aman,

baik melalui resep (prsecription) dokter berizin, dokter gigi, dan dokter hewan,

maupun melalui cara lain yang sah, misalnya dengan cara menyalurkan atau menjual

langsung kepada pemakai.

Paradigma yang berkembang dimasyarakat, Apoteker atau Farmasis sebagai

seseorang yang ahli dibidang farmasi lebih dikenal sebagai pembuat obat di pabrik,

atau penjual obat di apotek. Di Indonesia, profesi farmasis mulai menggeliat, walau

masih perlu meniti jalan panjang.

JAKARTA (Media): ISFI menilai apoteker masih menjadi pedagang obat,

bukan profesi. Sementara itu, Badan POM meminta para apoteker memungut

keuntungan dari jasa profesi, bukan harga obat. Ketua Umum Badan Pimpinan Pusat

Ikatan Sarjana Farmasi Indonesia (BPP ISFI) Ahaditomo melihat dari perspektif

sekarang, apoteker hanya sebagai penjual obat.

Kesimpulan yang didapat dalam berbagai forum internasional, baik forum

WHO seperti Nairobi Conference, International Conference on DrugRegulatory

1

Page 2: New Farsos,Citra Farmasi

Authorities (ICDRA) maupun forum profesi seperti World Conference onClinical

Pharmacology & Therepeutics, yang mengakui bahwa pelayanan informasi obat

merupakan salah satu kebutuhan kritis yang saat ini belum dipenuhi. Hal ini

memberikan kesan dan citra yang kurang baik bagi apoteker. Masyarakat tentunya

merasa sekali kekuranghadiran apoteker dalam setiap melayani langsung kepada

pasien. Di mata mereka, sosok apoteker semakin tidak jelas kedudukan spesifiknya.

Dan dampak lanjutannya, sedikit banyak masyarakat akan meremehkan peran dan

fungsi apoteker di apotek.

Terkait dengan hal – hal yang telah dituliskan, melalui makalah ini penulis

berharap para tenaga kesehatan khususnya para tenaga farmasi dapat meningkatkan

mutu pelayanan di beberapa bidang, diantaranya pelayanan rumah sakit, apotek,

pemasaran farmasi, industri, dan sosial. Dengan meningkatnya mutu pelayanan maka

citra farmasi pun dapat terangkat.

2

Page 3: New Farsos,Citra Farmasi

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

II.1. Farmasis

II.1.1. Pengertian Farmasis

Farmasis adalah suatu profesi dibidang kesehatan yang meliputi kegiatan-

kegiatan di bidang penemuan, pengembangan, produksi, pengolahan, peracikan dan

distribusi obat.

Farmasis adalah tenaga ahli yang mempunyai kewenangan dibidang

kefarmasian melalui keahlian yang diperolehnya selama pendidikan tinggi

kefarmasian. Sifat kewenangan yang berlandaskan ilmu pengetahuan ini memberinya

semacam otoritas dalam berbagai aspek obat atau proses kefarmasian yang tidak

dimiliki oleh tenaga kesehatan lainnya. Farmasi sebagai tenaga kesehatan yang

dikelompokkan profesi, telah diakui secara universal. Lingkup pekerjaannya meliputi

semua aspek tentang obat, mulai penyediaan bahan baku obat dalam arti luas,

membuat sediaan jadinya sampai dengan pelayanan kepada pemakai obat atau pasien

(ISFI, Standar Kompetensi Farmasi Indonesia, 2004).

Jika kita berbicara tentang spesifikasi ilmu, bidang ilmu farmasi dapat

dikelompokkan menjadi 4, yaitu: farmasi komunitas, farmasi klinik, farmasi industri

dan farmasi regulatori (pendidikan dll). Farmasi komunitas yang dimaksud sering kita

identikkan dengan kata “apoteker”. Perannya yang spesifik adalah bersentuhan

langsung dengan pasien untuk menyerahkan obat (dispending) dan memberikan

informasi dan edukasi yang benar tentang obat. Posisinya adalah sebagai rekan kerja

3

Page 4: New Farsos,Citra Farmasi

dokter. Namun, baru-baru ini seperti kita tahu bahwa dokter sedang berusaha untuk

mereformasi sistem dispensing (penyerahan) obat. Tak bisa kita sangkal juga bahwa

pelayanan apoteker memang sangat kurang. Dalam hal ini yang patut mendapat

sorotan utama bukanlah sistemnya, namun orang-orang yang berada dalam sistem

tersebut.

Bidang farmasi industri dan regulatori bergerak pada pengembangan ilmu

pengetahuan dan tehnologi di bidang kefarmasian. Sepintas memang bidang ini

seolah-olah hampir sama dengan bidang yang ditekuni oleh para ahli kimia. Namun

tetap saja peran farmasi industri tidak dapat digantikan oleh para ahli kimia, karena

dalam penelitian dan pengembangan obat dibutuhkan juga ilmu yang spesifik

(misalnya farmakokinetik dll) dan ilmu ini tidak dipelajari oleh sarjana yang lain.

Spesifikasi dari farmasi klinik berkaitan dengan analisis dan penegakan

diagnosa suatu penyakit serta cara penanganannya. Pemahaman yang mendalam

terhadap ilmu biokimia dan anatomi fisiologi manusia merupakan ilmu dasar yang

sangat diperlukan pada bidang farmasi ini, namun diperlukan juga pengetahuan yang

mendalam mengenai pengobatan dan obat (termasuk sampai pada tingkat molekuler),

inilah salah satu hal yan membedakan sarjana farmasi dengan sarjana biokimia

maupun biologi.

Selintas Sejarah Kefarmasian Indonesia

1. Periode Zaman Penjajahan sampai Perang Kemerdekaaan

Tonggak sejarah kefarmasian di Indonesia pada umumnya diawali dengan pendidikan

asisten apoteker semasa pemerintahan Hindia Belanda.

2. Periode Setelah Perang Kemerdekaan Sampai dengan Tahun 1958

Pada periode ini jumlah tenaga farmasi, terutama tenaga asisten apoteker mulai

bertambah jumlah yang relatif lebih besar. Pada tahun 1950 di Jakarta dibuka sekolah

4

Page 5: New Farsos,Citra Farmasi

asisten apoteker Negeri (Republik) yang pertama , dengan jangka waktu pendidikan selama

dua tahun. Lulusan angkatan pertama sekolah asisten apoteker ini tercatat sekitar 30 orang,

sementara itu jumlah apoteker juga mengalami peningkatan, baik yang berasal dari

pendidikan di luar negeri maupun lulusan dari dalam negeri.

3. Periode Tahun 1958 sampai dengan 1967

Pada periode ini meskipun untuk memproduksi obat telah banyak dirintis, dalam

kenyataannya industri-industri farmasi menghadapi hambatan dan kesulitan yang cukup

berat, antara lain kekurangan devisa dan terjadinya sistem penjatahan bahan baku obat

sehingga industri yang dapat bertahan hanyalah industri yang memperoleh bagian jatah

atau mereka yang mempunyai relasi dengan luar negeri. Pada periode ini, terutama antara

tahun 1960 – 1965, karena kesulitan devisa dan keadaan ekonomi yang suram, industri

farmasi dalam negeri hanya dapat berproduksi sekitar 30% dari kapasitas produksinya.

Oleh karena itu, penyediaan obat menjadi sangat terbatas dan sebagian besar berasal dari

impor. Sementara itu karena pengawasan belum dapat dilakukan dengan baik banyak

terjadi kasus bahan baku maupun obat jadi yang tidak memenuhi persyaratan

standar.Sekitar tahun 1960-1965, beberapa peraturan perundang-undangan yang penting

dan berkaitan dengan kefarmasian yang dikeluarkan oleh pemerintah antara lain :

(1) Undang-undang Nomor 9 tahun 1960 tentang Pokok-pokok Kesehatan

(2) Undang-undang Nomor 10 tahun 1961 tentang barang

(3) Undang-undang Nomor 7 tahun 1963 tentang Tenaga Kesehatan, dan

(4) Peraturan Pemerintah Nomor 26 tahun 1965 tentang Apotek. Pada periode ini pula ada hal

penting yang patut dicatat dalam sejarah kefarmasian di Indonesia, yakni berakhirnya apotek

dokter dan apotek darurat.

5

Page 6: New Farsos,Citra Farmasi

II.1.2. Pengertian Citra

Image atau Citra didefinisikan sebagai a picture of mind, yaitu suatu gambaran

yang ada di dalam benak seseorang. Citra dapat berubah menjadi buruk atau negatif,

apabila kemudian ternyata tidak didukung oleh kemampuan atau keadaan yang

sebenarnya.

Bentuk citra berhubungan dengan cara dimana farmasi didefinisikan dalam

pikiran masyarakat terdiri dari sisi fungsi dan sisi aura sifat psikologis. farmasis harus

berusaha keras untuk membangun citra yang akan menarik para pelanggan. Analisa

yang cermat mengenai faktor-faktor yang mempengaruhi pembangunan citra akan

membantu seorang farmasis berstrategi pada pasar pelayanan kesehatan yang berdaya

sains tinggi ini.

Ada beberapa jenis citra menurut Frank Jefkins yaitu

a. Mirror image (Citra bayangan). Citra ini melekat pada orang dalam atau

anggota-anggota organisasi – biasanya adalah pemimpinnya – mengenai

anggapan pihak luar tentang organisasinya. Citra ini seringkali tidak tepat,

bahkan hanya sekedar ilusi, sebagai akibat dari tidak memadainya informasi,

pengetahuan ataupun pemahaman yang dimiliki oleh kalangan dalam

organisasi itu mengenai pendapat atau pandangan pihak-pihak luar.

b. Current image (Citra yang berlaku).Citra yang berlaku adalah suatu citra atau

pandangan yang dianut oleh pihak-pihak luar mengenai suatu organisasi. Citra

ini sepenuhnya ditentukan oleh banyak-sedikitnya informasi yang dimiliki oleh

mereka yang mempercayainya.

c. Multiple image (Citra majemuk).Yaitu adanya image yang bermacam-macam

dari publiknya terhadap organisasi tertentu yang ditimbulkan oleh mereka yang

6

Page 7: New Farsos,Citra Farmasi

mewakili organisasi kita dengan tingkah laku yang berbeda-beda atau tidak

seirama dengan tujuan atau asas organisasi kita.

d. Corporate image (Citra perusahaan).Apa yang dimaksud dengan citra

perusahaan adalah citra dari suatu organisasi secara keseluruhan, jadi bukan

sekedar citra atas produk dan pelayanannya.

e. Wish image (Citra yang diharapkan).Citra harapan adalah suatu citra yang

diinginkan oleh pihak manajemen atau suatu organisasi. Citra yang diharapkn

biasanya dirumuskan dan diterapkan untuk sesuatu yang relatif baru, ketika

khalayak belum memiliki informasi yang memadai mengenainya.

7

Page 8: New Farsos,Citra Farmasi

IMAGE/ CITRA

MARKETCORPORATE

PROFESIONAL

II.2. Citra Farmasi

II.2.1. Kerangka Konsep

Komponen citra farmasi :

Konsep citra terbentuk dari beberapa sisi :

1. Citra perusahaan farmasi ditentukan oleh pengalaman, media massa dan

sumber lainnya.

2. Ketika pasien bertukar informasi mengenai pengalamannya dengan pihak lain,

maka akan terbentuk citra pasien yang konsisten berdasarkan penilaian pasien

terhadap produk dan perbandingan di antara beberapa pesaing.

3. Profesionalisme akan ditunjukkan melalui perilaku, sikap dan kepercayaan

kepada organisasi untuk memenuhi harapan pasien terhadap pelayanan.

II.2.2. Citra Perusahaan

Citra perusahaan adalah pandangan pasien mengenai kebijakan perusahaan

terhadap lingkungan sosial, karyawan, pasien dan individu lainnya. Kepercayaan,

ketahanan dan tanggung jawab adalah faktor penting dalam pendistribusian produk

farmasi maupun dalam pelayanan. Tanpa memperhatikan jenis produk yang

disalurkan, pasien ingin tahu produk atau pelayanan yang mereka dapatkan di saat

yang tepat. Jika dibutuhkan, mereka dapat bertanya lebih lanjut kepada para ahli.

8

Page 9: New Farsos,Citra Farmasi

Selain itu, jika ada masalah mereka ingin tahu bahwa masalah itu akan terselesaikan

dengan cepat.

II.2.3. Citra Pasar

Perhatian utama produk dan pelayanan adalah citra pasar. Citra pasar adalah

bagaimana pasien dan penyedia pelayanan kesehatan menilai harga produk dan

pelayanan dibandingkan dengan para pesaing. Jika pasien percaya bahwa mereka

mendapatkan harga yang pantas dari produk atau pelayanan, maka mereka akan terus

membeli produk atau pelayanan itu.

Pasien berharap harga yang masuk akal, konsisten dan adil. Banyak

perusahaan menggunakan sistem komputer yang canggih, mesin penyalur otomatis

dan proses klaim elektronik untuk mengontrol harga dan untuk menjamin kebijakan

harga yang konsisten.

Jaminan informasi, pelayanan kesehatan di rumah dan konsultasi profesional

adalah pelayanan yang dapat digunakan untuk membentuk citra pasar yang diinginkan

perusahaan. Pasien menyerahkan jaminan pelayanan berkelanjutan dan menunggu

komitmen agen terhadap pelayanan pasien. Kemudian, pasien akan mendapatkan

keuntungan lebih bila menjadi anggota dan akan terfasilitasi atas pengembangan

hubungan pasien dan kepercayaan.

II.2.4 Citra Professional

Citra profesional terfokus pada komitmen terhadap kualitas pelayanan

kesehatan dan kebutuhan pendidikan publik terkait penggunaan obat. Sebuah model

konsep citra profesional dikemukakan oleh “ Hall “ menyatakan bahwa ada

penyesuaian antara sisi struktural dan sisi sikap dalam profesionalisme. Aspek

9

Page 10: New Farsos,Citra Farmasi

struktural akan menghubungkan pelatihan profesional, pengetahuan, kode etik,

komitmen pelayanan dan ekonomi pekerjaan.

Sedangkan sisi sikap profesionalisme terpusat pada bagaimana tenaga

kesehatan memandang pekerjaannya dan bagaimana hal ini tergabung ke dalam

kerangka kognitif profesioanlisme. Secara umum, seperti yang disebutkan pada

penelitian sebelumnya, ada hubungan terbalik antara profesionalisme dengan birokrasi.

Selain itu, penelitian yang dilakukan pada tahu 1960 dan tahun 1970 itu

nebgungkapkan keinginan umum farmasis untuk memperbaiki citra mereka dan

mengembangkan pelayanan terhadap pasien.

10

Page 11: New Farsos,Citra Farmasi

BAB III

CITRA FARMASI

III.1. Sejarah Farmasis

Sejak masa Hipocrates (460-370 SM) yang dikenal sebagai Bapak Ilmu

Kedokteran, belum dikenal adanya istilah farmasis. Seorang dokter yang mendiagnosis

penyakit sekaligus berperan sebagai “Apoteker” yang menyiapkan obat. Pada tahun

1240 M, Raja Jerman Frederick II memerintahkan pemisahan secara resmi antara

Farmasi dan Kedokteran dalam dekritnya yang terkenal “Two Silices“. Dari sejarah ini,

satu hal yang perlu direnungkan adalah bahwa akar ilmu farmasi dan ilmu

kedokteran adalah sama. Walaupun kedua bidang ilmu ini memiliki akar yang sama,

tapi pastilah terdapat perbedaan diantara keduanya sehingga Frederick II mengeluarkan

kebijakan tersebut.

Dalam sejarah, profesi dokter dibedakan dengan apoteker. Pada awal abad ke-13

belumdikenal istilah Apoteker atau Pharmacist. Yang ada hanya seorang Penyembuh

(healer,shaman, dukun, tabib, sinshe dsb.) yang memeriksa penyakit pasien

kemudianmemberikan pula obat yang diperlukan. Praktek seperti ini saya kira bukan

asing dinegara kita malahan masih sangat banyak. Di Eropa praktek seperti ini diikuti

dengancermat sehingga ditemukan bahwa ini banyak merugikan pasien karena tidak ada

" check and balance". Karena perkembangan di bidang obat kemudian sangat pesat,

disadari bahwa satu orang tidak dapat menguasai semua ilmu. Maka pada tahun 1240 di

negaraKerajaan Sicilia untuk pertama kalinya dikeluarkan undang-undang yang

memisahkan pekerjaan Dokter dan Apoteker. Dokter hanya boleh memeriksa pasien dan

menulis reseptetapi obat dibuat dan diserahkan oleh Apoteker.

11

Page 12: New Farsos,Citra Farmasi

Farmasi sebagai profesi di Indonesia sebenarnya relatif masih muda dan baru

dapat berkembang secara berarti setelah masa kemerdekaan. Pada zaman penjajahan,

baik pada masa pemerintahan Hindia Belanda maupun masa pendudukan Jepang,

kefarmasian di Indonesia pertumbuhannya sangat lambat, dan profesi ini belum dikenal

secara luas oleh masyarakat. Sampai proklamasi kemerdekaan Republik Indonesia, para

tenaga farmasi Indonesia pada umumnya masih terdiri dari asisten apoteker dengan

jumlah yang sangat sedikit.

Tenaga apoteker pada masa penjajahan umumnya berasal dari Denmark, Austria,

Jerman dan Belanda. Namun, semasa perang kemerdekaan, kefarmasian di Indonesia

mencatat sejarah yang sangat berarti.

III.2. Farmasis di Mata Masyarakat

JAKARTA (Media): ISFI menilai apoteker masih menjadi pedagang obat, bukan

profesi. Sementara itu, Badan POM meminta para apoteker memungut keuntungan dari

jasa profesi, bukan harga obat. Ketua Umum Badan Pimpinan Pusat Ikatan Sarjana

Farmasi Indonesia (BPP ISFI) Ahaditomo melihat dari perspektif sekarang, apoteker

hanya sebagai penjual obat.

Kesimpulan yang didapat dalam berbagai forum internasional, baik forum WHO

seperti Nairobi Conference, International Conference on DrugRegulatory Authorities

(ICDRA) maupun forum profesi seperti World Conference onClinical Pharmacology &

Therepeutics, yang mengakui bahwa pelayanan informasi obatmerupakan salah satu

kebutuhan kritis yang saat ini belum dipenuhi.Kesenjangan ini memberikan kesan dan

citra yang kurang baik bagi profesi apoteker.Masyarakat tentunya merasa sekali

kekuranghadiran apoteker dalam setiap melayanilangsung kepada pasien. Di mata

mereka, sosok apoteker semakin tidak jelas kedudukanspesifiknya. Dan dampak

12

Page 13: New Farsos,Citra Farmasi

lanjutannya, sedikit banyak masyarakat akan meremehkan peran dan fungsi apoteker di

apotek.

Jika mencermati realita yang ada tentang peran, fungsi, dan posisi farmasis

sebagai profesi kesehatan yang kini tampak belum menunjukkan tajinya di masyarakat,

maka dapat ditarik suatu benang merah tentang penyebab terjadinya hal ini, yaitu lack

of self confidence. Kelemahan terbesar profesi farmasis adalah bahwasanya farmasis

masih belum pe-de dalam berinteraksi dengan profesi kesehatan lainnya. Sumber

ketidak pe-dean ini ditengarai dari maha luasnya ilmu farmasis yang jika tidak

dimonovalenkan makaakan mengakibatkan farmasis hanya akan menguasai outer skin

dari multi disiplin ilmukefarmasian. Tapi satu hal yang pasti adalah farmasis di bumi

Indonesia ini sedang berevolusi menuju suatu gerbang transformasi ke arah perbaikan.

Selain itu merosotnya profesi apoteker di mata masyarakat bukanlah semata

kesalahan APA saja, tapi merupakan bagian dari rusaknya sistem yang ada di negara

kita, termasuk sistem kesehatan secara umum, contoh yang nyata: sistem perasuransian

kesehatan yang tidak jalan. Faktor lain adalah organisasi profesi dibuat bukan untuk

menegakkan peraturan tapi malah melindungi anggotanya demi menegakkan harkat dan

martabat profesinya.

Paradigma farmasis Indonesia saat ini dikenal dengan akronim “SI-ADI” yang

merupakan kependekan dari “Simpan, Ambil dan Distribusi”. Terkesan hanya dari sisi

managerialnya saja, lalu apa gunanya ilmu-ilmu yang lain? Kalau begitu, sarjana

ekonomi lebih cocok daripada farmasis itu sendiri karena mereka yang lebih patut

dijuluki “MANAGEMENT EXPERTS”. Terapi pengobatan pasien tidaklah sesederhana

berobat ke dokter, ambil obat ke apotek lalu pulang. Obat, pada hakekatnya adalah

racun bagi tubuh, yang bila tidak digunakan secara tepat akan membahayakan bagi

pasien. Disinilah peran penting farmasis dibutuhkan. Karena pasien hanya mempunyai

13

Page 14: New Farsos,Citra Farmasi

sedikit pengetahuan tentang obat atau bahkan tidak sama sekali. Dengan tidak

mengurangi rasa hormat, sesungguhnya tugas farmasis lebih banyak dibandingkan

dokter. Dokter hanyalah sebagai inisiator mulainya terapi. Namun dalam proses sampai

akhir terapi adalah bagian farmasis. Selama ini farmasis hanya bekerja di belakang layar

yang kurang mendapatkan perhatian langsung dari masyarakat umum. Keberhasilan

terapi sering dikaitkan dengan jasa dokter tanpa melibatkan jasa farmasis. Jika kita mau

belajar dari negara tetangga kita, Malaysia, farmasis sangatlah dihargai karena farmasis

mempunyai peranan dan manfaat yang penting bagi pasien. “Professional Fee” farmasis

di Malaysia tidak hanya diperoleh dari jasa managerialnya saja, namun juga dari jasa

konsultasi. Hampir sama dengan dokter, untuk mengeluarkan resep, dokter memperoleh

“Professional Fee”.

Dalam Undang-Undang (UU) Kesehatan Nomor 23 Tahun 1992 telah diatur

tentang peranan profesi apoteker, yakni pembuatan, termasuk pengendalian mutu

sediaan farmasi, pengamanan, pengadaan, penyimpanan dan distribusi obat, pengelolaan

obat, pelayanan obat atas resep dokter, pelayanan informasi obat serta pengem- bangan

obat dan obat tradisional.Sejalan dengan itu, pemerintahpun secara spesifik telah

mengeluarkan PeraturanPemerintah Nomor 25 tentang tugas dan fungsi apoteker di

apotek, yaitu sebagai tempat pengabdian profesi apoteker yang paling sering

berhubungan langsung dengan masyarakat dan tempat pelayanan kefarmasian yang

dilakukan secara profesional. Keberadaan ini juga diakui dan tertuang dalam Etika

Profesi Apoteker, yaitu, ” Apoteker akan menyampaikan kebenaran informasi obat yang

diberikan berdasarkan ilmu pengetahuan yang sesuai dan bertanggung jawab secara

profesional dan kemanusiaan.”Kalau ternyata dalam realisasinya peran apoteker ini

belum memenuhi tugas dan fungsinya, hal ini dapat disebabkan oleh beberapa faktor:

14

Page 15: New Farsos,Citra Farmasi

1. Umumnya sebagian besar apoteker bukanlah sebagai Pemilik Sarana

apotek ( PSA ). Mereka bekerja hanya sebagai penanggungjawab, selebihnya

yang berperan aktif adalah PSA. Sehingga bekerja di apotek bukan sebagai

pekerjaan pokok tetapi pekerjaansambilan. Waktu kerja mereka lebih

difokuskan dan dicurahkan untuk pekerjaan pokoknya. Maka tak heran bila

seorang apoteker bisa bekerja di beberapa tempat atau berwiraswasta. Jam

kerja di apotek biasa mereka lakukan setelah waktu kerja pokok mereka

selesai, itu pun hanya beberapa jam.Alasan ini sebenarnya sangat manusiawi

sekali, karena gaji bekerja di apotek dirasa belum mampu memenuhi

kebutuhan hidup mereka. Walaupun gaji ini sebenarnya sudahsebanding

dengan pekerjaan mereka, pada saat peran apoteker belum optimal,

merekamenjalankan sesuai dengan fungsi dan tugasnya.

2. Terjadinya pergeseran fungsi apotek yang orientasinya semakin dominan ke

bisnisdibanding orientasi sosial. Pergeseran ini mengakibatkan peran sosial

apoteker sebagai pemberi informasi obat kepada pasien tidaklah menjadi

penting sepanjang usaha apotek yang dikelolanya tetap survive. Pelayanan

cepat dan harga obat yang murah menjadi titik yang strategis. Sehingga

kegiatan bisnis disini hampir tak ada bedanya dengan usaha bentuk lain, yang

penting untung sebesar-besarnya. Masyarakat sendiri ternyata

tidak mempedulikan, yang penting dapat obat murah dan pelayanan cepat.

3. Kurang siapnya apoteker, terutama apoteker lulusan baru, dalam

mempersiapkan bekal pengetahuan untuk bekerja di apotek. Cita-cita mereka

selama kuliah, inginnya bekerja di industri karena gajinya lebih besar dan

jenjang karier menjanjikan. Selain itu pemikiran mereka sudah terpola bahwa

15

Page 16: New Farsos,Citra Farmasi

kerja di apotek terkesan santai dan tidak membutuhkan jam kerja yang banyak.

Bahkan kadang-kadang jadwal kunjungannyatidak tentu.

II I .3. Pengembangan Citra Farmasi

III.3.1.Farmasis yang Professional

Dengan berupaya mengembalikan kembali keberadaan profesi apoteker di

Indonesia yang ditunjang pengetahuan, ketrampilan dan keahlian dalam pelayanan

kefarmasian, di masa depan akan memberikan justifikasi yang kuat karena fungsi dan

peran apoteker ini semakin jelas. Keberadaan ini pada akhirnya menjadi kunci

kemajuan usaha apotek, yang tentunya akan berdampak menaikan kesejahteraan

apoteker dan menjadikan apotek sebagai pekerjaan pokok. Sikap perilaku

profesionalisme yang didukung keinginan selalu berbuat benar, merupakan wujud

realisasi yang menopang sistem dan aturan yang di tentukan mulus berjalan. Sikap

profesionalisme yang dicirikan oleh seorang apoteker akan tercermin pada :

a. Selalu berniat melaksanakan kebajikan dengan tidak mementingkan keuntungan

materi semata, sehingga terpancar dalam bentuk sikap objektif, menjaga diri dan

independen.

b. Bekerja berdasarkan keahlian dan kompeten sehingga mampu menjalankan

profesi secara bebas dan otonom.

c. Mempunyai klasifikasi teknis dan moral yang tinggi dengan ketaatan dan

pengamalan sumpah profesi, kode etik dan standar profesi.

Dapat ditarik kesimpulan bahwa seorang apoteker yang profesional memiliki 3 unsur

utama : keahlian, tanggung jawab, dan norma-norma yang mengatur kegiatan profesi.

Farmasis profesional harus mampu mengaplikasikan asuhan kefarmasian di apotik

tempat dia bekerja. Asuhan kefarmasian yang dimaksud :

16

Page 17: New Farsos,Citra Farmasi

a. Kemampuan menyediakan dan memberikan pelayanan yang baik, mengambil

keputusan yang tepat, kemampuan berkomunikasi antar profesi, menempatkan

diri sebagai pimpinan dalam situasi multidisipliner, kemampuan mengelola SDM

secarac efektif, selalu belajar sepanjang karir dan membantu pendidikan dan

memberi peluang untuk meningkatkan pengetahuan.

b. Dapat mengelola persediaan farmasi dan perbekalan kesehatan lainya yang

meliputi perencanaan, pengadaan, penyimpanan dan pelayanan sesuai dengan

ketentuan perundang-undangan yang berlaku.

c. Menyelenggarakan kegiatan pelayanan profesional berdasarkan prosedur

kefarmasian dan etika profesi.

d. Mampu melaksanakan KIE (Komunikasi, Informasi dan Edukasi) mengenai

obat.

e. Memberikan konseling kepada pasien yang akan meningkatkan kepatuhan pasien

pada terapi obat.

f. Dapat melakukan pelayanan residensial (Home Care).

g. Apoteker dapat memberikan nasehat, memilih obat dan keamananya serta

keefektifan penggunaan pada ”pengobatan sendiri”pengobatan sendiri.

h. Dapat bekomunikasi antar profesi dalam pemakaian obat dan sebagai bagian dari

pembuat keputusan klinis bersama spesialis yang lain. Sebagai seorang yang ahli

dalam hal obat-obatan kerena pendidikannya, apoteker harus selalu dikenal dan

dapat dihubungi sebagai sumber nasehat yang benar tentang obat-obatan dan

masaalah pengobatan.

17

Page 18: New Farsos,Citra Farmasi

III.3.2 Pengembangan dan Professionalisme Farmasis

Sebagai anggota tim pelayanan kesehatan yang terdiri dari pasien dan profesi

kesehatan yang bertanggung jawab untuk kepedulian kesehatan pasien, apoteker harus

memiliki kompetensi guna melakukan fungsi-fungsi yang berbeda-beda di apotik.

Konsep the seven-star pharmacist diperkenalkan aleh WHO dan diambil oleh FIP

(ISFI Dunia) pada tahun 2000 sebagai kebijaksanaan tentang praktek pendidikan

farmasi yang baik (Good Pharmacy Education Practice) meliputi sikap apoteker

sebagai pemberi pelayanan (care giver), pembuat keputusan (decision-maker),

communicator, manager, pembelajaran jangka panjang (life-long learner), guru

(teacher) dan pimpinan (leader).

a. Care-giver.

Dalam memberikan pelayanan mereka harus memandang pekerjaan mereka

sebagai bagian dan terintegrasi dengan sistem pelayanan kesehatan dan profesi

lainya. Pelayanan harus dengan mutu yang tinggi.

b. Decision- maker.

Penggunaan sumber daya yang tepat, bermanfaat, aman dan tepat guna seperti

SMD, obat-obatan, bahan kimia, perlengkapan, prosedur dan pelayanan harus

merupakan dasar kerja dari apoteker.

c. Communicator.

Apoteker adalah merupakan posisi ideal untuk mendukung hubungan antara

dokter dan pasien dan untuk memberikan informasi kesehatan dan obat-obatan

pada masyarakat. Apoteker harus memiliki ilmu pengetahuan dan rasa percaya

diri dalam berintegrasi dengan profesi lain dan masyarakat. Komunikasi ini

dapat dilakukan secara verbal (langsung), non verbal, mendengarkan dan

kemampuan menulis.

18

Page 19: New Farsos,Citra Farmasi

d. Manager.

Apoteker harus dapat mengelola sumber daya (SDM, fisik, dan keuangan), dan

informasi secara efektif.

e. Life- long learner

Adalah tak mungkin memperoleh semua ilmu pengetahuan di sekolah farmasi

dan masih dibutuhkan pengalaman seseorang apoteker dalam karir yang lama.

Konsep-konsep, prinsip-prinsip, komitmen untuk pelajaran jangka panjang

harus dimulai disamping yang diperoleh di sekolah dan selama bekerja.

Apoteker harus belajar bagaimana menjaga ilmu pengetahbuan dan

ketrampilan mereka tetap up to date.

f. Teacher

Apoteker mempunyai tanggung jawab untuk membantu pendidikan dan

pelatihan generasi berikutnya dan masyarakat.

g. Leader.

Dalam situasi pelayanan multi disiplin atau dalam wilayah dimana pemberi

pelayanan kesehatan lainya ada dalam jumlah yang sedikit, apoteker diberi

tanggung jawab untuk menjadi pemimpin dalam semua hal yang menyangkut

kesejahteraan pasien dan masyarakat. Seorang apoteker yang memegang

peranan sebagai pemimpin harus mempunyai visi dan kemampuan memimpin.

Untuk menerapkan konsep the seven-star pharmacist , seorang apoteker dapat

mengembangkan kompetensi dengan meningkatkan pengetahuan, ketrampilan dan

perilaku untuk dapat melaksanakan interaksi langsung dengan pasien. Kemampuan

tersebut dapat diperoleh dengan :

a. Mengikuti perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi dalam pelayanan

kefarmasian.

19

Page 20: New Farsos,Citra Farmasi

b. Mengikuti penataran dan uji kompetensi yang diselengarakan oleh Perguruan

Tinggi bekerja sama dengan Organisasi Profesi (ISFI).

c. Memahami kewajiban apoteker terhadap penderita, teman sejawat, sejawat

petugas kesehatan lainya sesuai dengan kode etik profesi secara benar.

III.3.3.Penelitian Terbaru Mengenai Professionalisme dan Citra Farmasis

Dengan adanya perubahan pada dunia pemeliharaan kesehatan, kemajuan

pemeliharaan kesehatan diri dan keinginan farmasi untuk lebih terlibat dalam

pemeliharaan kesehatan pasien, maka citra farmasi harus ditingkatkan kembali. Seperti

selera orang terhadap pakaian, hobi, atau makanan yang berubah – ubah, image

farmasi juga berubah sejak penelitian di tahun 1960 dan 1970 dilakukan. Beberapa

pertanyaan pada penelitian terkini memasukkan masalah identifikasi profesional citra

farmasi dan sikap farmasi terhadap profesinya.

Di tahun 1984, sebuah penelitian dilakukan untuk melihat apakah pasien dapat

mengenal farmasis saat berada di apotek, mengidentifikasi kartu pengenal dan

membedakan farmasis dari staff lain. Peneliti menyarankan agar masing – masing

berada pada tempatnya saat pasien datang untuk pertama kalinya ke apotek.

Hasil penelitian menyatakan bahwa farmasis dapat dikenali dari pakaiannya

sebanyak 69 (65,1%). Hasil pengolahan data mengungkapkan bahwa kemampuan

mengenali farmasis berbeda untuk tiap jenis apotik. Apotik berantai memperoleh nilai

tertinggi yaitu 88% sedangkan kemampuan membedakan farmasis dari staff lain

diperoleh angka 52 (62,7%). Kesimpulannya, identitas profesi adalah penting bagi

farmasis karena memudahkan pasien untuk mencarinya saat akan konsultasi. Ketika

farmasis tampil berbeda, maka dia harus memikirkan cara untuk menciptakan citra

profesionalnya. Karena farmasis memainkan peran utama dalam memonitor terapi

20

Page 21: New Farsos,Citra Farmasi

obat untuk pengobatan pasien jangka panjang, maka farmasis berada pada posisi yang

paling terlihat dan dapat membuat sebuah kontribusi penting dalam membangun citra

profesional perusahaan.

Pelayanan konsultasi, opini publik, keterlibatan komunitas, kode etik, iklan

pelayanan farmasi dan pelayanan farmasetika memiliki pengaruh positif kuat terhadap

citra profesional farmasi. Farmasis harus memiliki perhatian terhadap lingkungan

kerjanya dan kemungkinan hilangnya otonomi dalam penyaluran obat, sedangkan

yang memiliki penilaian negatif oleh farmasis adalah iklan harga obat resep dokter dan

pelayanan pesan antar.

Direktur apotik dan staff administrasi harus terlibat dalam mempersiapkan

pelayanan jangka panjang dengan mendiskusikan bagaimana informasi ini dapat

digunakan untuk meningkatkan citra profesional farmasi.

Hal lain yang terungkap pada penelitian ini adalah bahwa kesopanan

profesional merupakan hal terpenting dalam membangun citra positif perusahaan.

Farmasis harus menarik, berpengetahuan luas dan mau mendengar kebutuhan

pasiennya. Semua unsur ini dapat dihimpun ke dalam kebijakan apotik. Pasien akan

memilih apotik yang memiliki lingkungan kerja yang positif dan memiliki tingkat

kebersamaan yang baik antar staffnya.

Iklan dapat digunakan untuk meningkatkan aspek profesional perusahaan.

Selain bentuk iklan standar juga dapat melalui jurnal profesi, pusat pelayanan umum,

rumah sakit, perawatan di rumah, fasilitas perawatan jangka panjang dan apotik.

Berdasarkan hasil penelitian, perhatian akan lebih ditunjukkan pada pelayanan

profesional dan pelayanan apotik profesional yang disediakan perusahaan daripada

harga resep obat dokter. Promosi lain dapat pula melalui radio atau pengiriman brosur

lewat pos. Banyak pasien merasa senang dengan perkenalan pribadi saat hari ulang

21

Page 22: New Farsos,Citra Farmasi

tahun, perayaan tahunan atau peristiwa spesial lainnya. Peluang lainnya untuk

meningkatkan citra perusahaan yaitu dengan mengirimkan tulisan pada koran lokal.

III.3.4.Strategi Meningkatkan Citra

a. Pendidikan pasien

Ada banyak cara yang bisa digunakan untuk mengenalkan pasien pada aspek

profesional pelayanan perawatan jangka panjang. Pelatihan atau seminar dapat

diselenggarakan agar pasien memahami pengobatan yang mereka jalani.

Seminar – seminar ini juga dapat memberikan dorongan bagi staff perawatan

di rumah dan fasilitas perawatan jangka panjang lainnya untuk menjamin

pemenuhan keperluan pasien dan penyembuhannya.

Cara manual juga dapat dikembangkan dan disebarkan pada staff administrasi

mengenai ketersediaan pelayanan pendidikan. Cara lain untuk meningkatkan

citra yaitu dengan iklan yang memberikan informasi medis seperti informasi

mengenai pengobatan.

b. Pelayanan masyarakat

Keterlibatan dalam masyarakat dapat meningkatkan citra perusahaan misalnya

dalam bentuk sponsor kegiatan atletik, organisasi kemasyarakatan di kegiatan

keagamaan. Program – program yang menggunakan obat dapat dilaksanakan

dengan menghadirkan dokter, apoteker, atau perawat dengan target penduduk

dewasa. Selain itu, dukungan keuangan untuk program – program liburan,

kegiatan amal atau sosial, dan program untuk penderita cacat dapat

meningkatkan citra positif perusahaan. Dukungan waktu dan keuangan akan

dihargai warga masyarakat dan kehadiran di tengah mereka akan menarik

pasien pada bisnis.

22

Page 23: New Farsos,Citra Farmasi

c. Jaringan pelayanan terpadu

Hubungan interorganisasi tercipta saat dua atau lebih organisasi saling bertukar

sumber daya berupa uang, fasilitas fisik dan material, pasien, rujukan, atau

staff pelayanan teknis. Jaringan interorganisasi dapat bertindak sebagai sebuah

unit dan membuat keputusan, melakukan tindakan, dan mengejar tujuan serupa

pada sebuah organisasi berotonomi. Beberapa tujuan dari hubungan ini adalah

untuk mendirikan sebuah titik distribusi untuk menjaga keberlangsungan

pelayanan pasien

Oleh karena itu, tujuan untuk memperoleh sumber daya yang normal tidak

akan tersedia apabila sebuah organisasi bertindak sendirian. Citra perusahaan akan

meningkat melalui sebuah hubungan dengan perusahaan lain yang telah memiliki citra

terkenal dan dihormati. Salah satu tujuan merubah bentuk pelayanan kesehatan adalah

untuk membentuk sebuah jaringan sistem pelayanan terorganisir. Sistem ini

menyediakan pelayanan terpadu yang terkoordinasi dengan pelayanan klinis maupun

sistem keuangan yang dapat dipertanggung jawabkan.

Selain memperbanyak kontak dengan pasien, farmasis juga harus menambah

pelayanan farmasetik terpadu, menambah akses informasi bagi pasien dan lebih

banyak berinteraksi dengan tenaga kesehatan lain.

Jika farmasis tidak mempromosikan kualitas profesional mereka sebagai strategi

untuk meningkatkan citra, maka persepsi publik terhadap farmasis akan mengalami

kemunduran.

23

Page 24: New Farsos,Citra Farmasi

BAB IV

KESIMPULAN

Dari hasil diskusi yang telah dilakukan oleh kelompok kami, maka diperoleh kesimpulan

sebagai berikut :

a. Citra Farmasi adalah kesan, perasaan, gambaran dari masyarakat terhadap farmasis;

kesan yang sengaja diciptakan dari farmasis.

b. Faktor - faktor pengembangan profesionalisme farmasi terdiri dari :

Care-giver

Life long learner

Teacher

Decision- maker

Leader

Manager

Comunicator

c. Strategi yang dapat meningkatkan citra farmasi terdiri dari :

Pendidikan pasien

Pelayanan masyarakat

Jaringan pelayanan terpadu

24

Page 25: New Farsos,Citra Farmasi

DAFTAR PUSTAKA

Sari IP. Motivasi Konsumen Terhadap Layanan Informasi dan Konsultasi Obat di Apotek

Kota Yogyakarta. Majalah Farmasi Indonesia 2001;12(2):80-84.

Depkes RI. Standar Pelayanan Farmasi Komunitas. Jakarta: Direktorat Bina Farmasi

Komunitas dan Klinik Ditjen Pelayanan Farmasi dan Alat Kesehatan, 2004.

Sudibyo S, et al. Faktor-faktor yang Berhubungan dengan Kepuasan Pasien Rawat Jalan dan

Rawat Inap di Puskesmas (Analisis Data SKRT 2004). Bulletin Penelitian Kesehatan

2008;3:135-144.

Matmunah N. Medicaction Error di Apotek. Pendidikan Berkelanjutan ISFI Cabang Solo, 13

Januari 2007. http://www.ums.ac.id.

Badan Pimpinan Pusat Sarjana Farmasi Indonesia. Standar Farmasis Komunitas. Jakarta:

BPP-ISFI 2002:1-20.

Ingerani, et al. Tingkat Kepuasan Pelanggan Terhadap Pelayanan Kesehatan di Propinsi DKI

Jakarta. Laporan Penelitian Kerjasama Dinkes Prop.DKI Jakarta dan Badan Litbangkes

Depkes RI. Jakarta, 2002.

www.wikipedia.com

www.google.com

25