makalah farsos citra farmasi

21
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sejak masa Hipocrates (460-370 SM) yang dikenal sebagai “Bapak Ilmu Kedokteran”, belum dikenal adanya profesi Farmasi. Seorang dokter yang mendignosis penyakit, juga sekaligus merupakan seorang “Apoteker” yang menyiapkan obat. Semakin lama masalah penyediaan obat semakin rumit, baik formula maupun pembuatannya, sehingga dibutuhkan adanya suatu keahlian tersendiri. Dampak revolusi industri merambah dunia farmasi dengan timbulnya industri-industri obat, sehingga terpisahlah kegiatan farmasi di bidang industri obat dan di bidang “penyedia/peracik” obat (apotek). Dalam hal ini keahlian kefarmasian jauh lebih dibutuhkan di sebuah industri farmasi dari pada apotek. Dapat dikatakan bahwa farmasi identik dengan teknologi pembuatan obat. Pendidikan farmasi berkembang seiring dengan pola perkembangan teknologi agar mampu menghasilkan produk obat yang memenuhi persyaratan dan sesuai dengan kebutuhan. Kurikulum pendidikan bidang farmasi disusun lebih ke arah teknologi pembuatan obat untuk menunjang keberhasilan para anak didiknya dalam melaksanakan tugas profesinya. Bahaya swamedikasi telah bayak dilaporkan para peneliti. Sebagai contoh, di Australia dan Inggris ada 1

Upload: evy-fitria-rahmawati

Post on 26-Dec-2015

295 views

Category:

Documents


24 download

DESCRIPTION

farmasi sosial

TRANSCRIPT

Page 1: Makalah Farsos Citra Farmasi

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Sejak masa Hipocrates (460-370 SM) yang dikenal sebagai “Bapak Ilmu

Kedokteran”, belum dikenal adanya profesi Farmasi. Seorang dokter yang mendignosis

penyakit, juga sekaligus merupakan seorang “Apoteker” yang menyiapkan obat. Semakin

lama masalah penyediaan obat semakin rumit, baik formula maupun pembuatannya, sehingga

dibutuhkan adanya suatu keahlian tersendiri. Dampak revolusi industri merambah dunia

farmasi dengan timbulnya industri-industri obat, sehingga terpisahlah kegiatan farmasi di

bidang industri obat dan di bidang “penyedia/peracik” obat (apotek). Dalam hal ini keahlian

kefarmasian jauh lebih dibutuhkan di sebuah industri farmasi dari pada apotek. Dapat

dikatakan bahwa farmasi identik dengan teknologi pembuatan obat.

Pendidikan farmasi berkembang seiring dengan pola perkembangan teknologi agar

mampu menghasilkan produk obat yang memenuhi persyaratan dan sesuai dengan kebutuhan.

Kurikulum pendidikan bidang farmasi disusun lebih ke arah teknologi pembuatan obat untuk

menunjang keberhasilan para anak didiknya dalam melaksanakan tugas profesinya.

Bahaya swamedikasi telah bayak dilaporkan para peneliti. Sebagai contoh, di

Australia dan Inggris ada kencenderungan untuk mengurangi biaya pengobatan dengan

mengganti status obat obat etikal menjadi obat bebas. Sayangnya, kecenderungan ini bukan

hanya mengurangi biaya, melainkan juga meningkatkan risiko salah pakai obat (medication

misuse). Gejala ini dilaporkan oleh N. Charupatanapong.

1

Page 2: Makalah Farsos Citra Farmasi

Sementara itu, peranan etiologi atas kesalahan pemakaian obat bebas telah di

identifikasi untuk banyak kondisi. Salah satu contoh adalah gagal ginjal dan penyakit ginjal,

yang bisa muncul karena pemakaian analgesik secara berlebihan. Pemakaian laksatif yang

berlebihan sebagai obat pencahar juga dapat menimbulkan gangguan cairan elektrolit tubuh.

Tidak jarang pula orang keracunan difenhidramin yang terdapat dalam antihistamin.

Pemakaian vitamin secara berlebihan adalah salah satu contoh penyalahgunaan pemakaian

obat bebas. Kecenderungan untuk hidup sehat dan keinginan untuk mencegah penyakit

membuat banyak orang tergiur meminum vitamin dan pelengkap makanan lainnya secara

berlebihan.

1.2 Tujuan

Agar Mahasiswa mengetahui bagaimana citra farmasi di Indonesia, lebih mengerti

segala bentuk kegiatan kefarmasian serta mengetahui fungsi dan peranannya sebagai

petugas kesehatan dan mampu memberikan informasi yang tepat , tentang penggunaan obat

kepada masyarakat sehingga tercapai hasil yang sebagaimana mestinya.

2

Page 3: Makalah Farsos Citra Farmasi

BAB II

PEMBAHASAN

2.1 Citraan Farmasi

Kesehatan merupakan factor penting dalam usaha memajukan kesejahteraan bangsa,

sehingga usaha disektor kesehatan merupakan hal yang mutlak diperhatikan, dalam hal ini

obat merupakan unsur yang tidak dapat dipisahkan dari masalah kesehatan. Penyediaan obat

yang memadai dapat menunjang keberhasilan usaha pemerintah dibidang kesehatan.

Kini banyak sekali perusahaan atau organisasi dan orang-orang yang mengelolanya

sangat sensitif menghadapi publik-publik mereka yang kritis. Dalam suatu penelitian

terhadap seratus top eksekutif, lebih dari 50% menganggap “penting sekali untuk memelihara

publik yang baik”. Sekarang ini banyak sekali perusahaan atau organisasi memahami sekali

perlunya memberi perhatian yang cukup untuk membangun suatu citra yang menguntungkan

bagi suatu perusahaan tidak hanya dengan melepaskan diri terhadap terbentuknya suatu kesan

publik negatif. Dengan perkataan lain, citra perusahaan adalah fragile Commodity (komoditas

yang rapuh atau mudah pecah). Namun kebanyakan perusahaan juga meyakini bahwa citra

perusahaan yang posotif adalah esensial, sukses yang berkelanjutan dan dalam jangka

panjang.

Untuk membangun citra yang positif dibenak konsumen, maka pesan yang

disampaikan perlu untuk dikomunikasikan kepada target sasaran. Informasi-informasi

tersebut dapat dikomunikasikan melalui strategi promosi yang digunakan haruslah dapat

mencapai target sasaran yang telah ditentukan. Salah satu cara untuk menyampaikan pesan-

pesan tersebut adalah melalui personal selling. Cara yang dilakukannya yaitu mencari dan

mengembangkan pelanggan baru serta menyampaikan informasi mengenai produk dan jasa

perusahaan.

Citra memegang peran yang penting dalam sebuah profesi. Citra dihasilkan dari

akumulasi pengalaman masyarakat terhadap suatu profesi. Ketika masyarakat merasa puas,

merasa terbantu dan profesi tersebut memberikan manfaat yang nyata bagi masyarakat, maka

masyarakat akan memberi kepercayaan yang tinggi terhadap profesi tersebut, hasil akhirnya

citra profesi tersebut akan tinggi, begitu juga sebaliknya.

3

Page 4: Makalah Farsos Citra Farmasi

 Lalu bagaimana dengan Citra Apoteker?

Mari kita lihat di Kanada. Studi yang dilakukan di Kanada tahun 2003 oleh CFP

(Canadian Foundation for Pharmac) mengenai persepsi pasien terhadap apotek menyatakan

persepsi pasien bahwa apoteker menduduki peringkat no 2 untuk kriteria “siapa yang paling

bertanggung jawab terhadap kesehatan seorang pasien” (lihat gambar bawah). Hal ini

menggambarkan betapa kuatnya persepsi dan kepercayaan masyarakat selaku konsumen

mengenai mengenai apoteker di Kanada.

Bagimana dengan di Australia. Studi Roy Morgan Research (2010),mengenai persepsi

masyarakat Australia terhadap urutan profesi kesehatan yang paling ramah, Perawat

menempati posisi pertama, Apoteker menempati posisi ke-2 (kenaikan 1% di banding tahun

2009)  dan dokter menempati posisi yang ke-3 (penurunan 3% dibanding tahun 2009).

Selama 4 tahun berturut-turut posisi tersebut tidak mengalami perubahan.

No Profesi

Satuan %

2005 2007 2008 2009 2010

1 Perawat 89 91 89 89 89

2 Apoteker 84 85 86 84 85

3 Dokter 79 81 79 82 79

4 Guru 74 78 78 76 73

Sumber: Roy Morgan Research, 2010

Ternyata Hasil survey Roy Morgan Research tidak jauh berbeda dengan survey yang

dilakukan Gallup Polls. Gallup Polls melakukan surveynya terhadap masyarakat Amerika,

dari hasil surveynya, untuk kategori profesi yang paling ramah dan paling memegang etik,

apoteker menempati posisi yang ke-2, perawat menempati posisi yang pertama, sedangkan

dokter menempati posisi yang ke-3. Hasil survey dari Gallup Polls ternyata untuk urutan 4

teratas tidak mengalami perubahan dalam beberapa tahun, ada perubahan persentase tapi

urutan tidak mengalami perubahan.

4

Page 5: Makalah Farsos Citra Farmasi

Sumber: www.gallup.com

Pertanyaan yang muncul kemudian “Lalu bagaimana dengan persepsi masyarakat

terhadap apoteker di Indonesia?”, apakah persepsi masyarakat terhadap apoteker sudah

sebaik persepsi masyarakat mengenal apoteker di Kanada, Australia dan Amerika.

Pada beberapa kesempatan bertemu dengan teman sejawat baik formal maupun

informal saya masih sering mendengar keluhan bahwa PP 51/2009 cenderung membelenggu

kebebasan apoteker. Para teman sejawat tersebut berargumentasi bahwa keharusan apoteker

berada di apotek, misalnya, membuat apoteker tidak lagi bisa “nyambi” cari “objekan”

padahal “take home pay” seorang apoteker yang berpraktek sepenuh hari tidak sepadan

dengan waktu yang dikorbankan. Ada juga argumentasi lain, terutama dari mereka yang

sudah mapan, bahwa keharusan tersebut terlalu mengada-ada karena buktinya selama ini

tanpa apotekerpun apotek dapat beroperasi dengan baik. Dan masih banyak lagi argumentasi

lain yang pada prinsipnya tidak setuju dengan pengaturan praktek kefarmasian dalam PP

51/2009 khususnya di sektor pelayanan. Dalam menjawab keberatan para sejawat diatas saya

biasanya menggunakan pendekatan “spiritual” bahwa pada hakekatnya praktek kefarmasian

adalah konsekuensi logis dari memilih apoteker sebagai profesi, yang notabene tidak lepas

dari unsur pengabdian. Seseorang yang menyandang jabatan publik sebagai apoteker dan

kosekuen mengemban amanahnya tidak bisa melepaskan diri dari kewajiban untuk mematuhi

PP 51/2009.

5

Page 6: Makalah Farsos Citra Farmasi

Meskipun tidak persis sama, tapi bisa juga dianalogikan dengan keharusan seorang

notaris membacakan akte sebelum ditandatangai dihadapan kliennya. Dalam konteks ini, sang

notaris tidak pernah mendelegasikan pembacaan akte dan penjelesannya kepada orang lain.

Tapi untuk urusan mengonsep atau membuat draft akte bisa saja sang notaris mendelegasikan

kepada orang lain. Makna yang tersirat adalah, klien harus menunggu atau datang kembali

lain waktu bila notaris tidak ada ditempat. Sesuai dengan definisinya, Apoteker adalah

seorang sarjana farmasi yang telah menyelesaikan program pendidikan profesi apoteker.

Jabatan publik sebagai apoteker dengan sendirinya akan melekat kepada mereka yang telah

selesai menempuh pendidikan apoteker dan mengucapkan sumpah. Seorang apoteker yang

akan menjalankan praktek kefarmasian harus memiliki surat tanda registrasi apoteker dan

memiliki surat ijin praktek atau surat ijin kerja.

Akan tetapi, seorang apoteker  masih mempunyai kebebasan memilih untuk tidak

menjalankan praktek kefarmasian sepanjang yang bersangkutan bekerja diluar area praktek

kefarmasian. Mudahnya, bila ada apoteker yang menjadi dosen, bekerja di Badan POM atau

Depkes, bekerja di industri farmasi tetapi bukan sebagai penanggungjawab produksi atau

quality control mereka terbebas dari aturan PP 51/2009.

Begitu juga bagi mereka yang menjadi pegawai bank atau pegawai pajak. Apalagi

bagi mereka yang memutuskan untuk menjadi ibu rumah tangga. Jadi jelaslah bahwa bahwa

praktek kefarmasian adalah domain bagi apoteker yang konsekuen untuk menjalankan

amanah profesinya. Dengan mengelaborasi secara kontekstual seperti tersebut diatas maka

rasanya saya yakin bahwa sejawat yang keberatan dengan PP 51/2009 sebenarnya adalah

mereka yang selama ini sudah mapan dengan mata pencahariannya tetapi “mengkapitalisasi”

ijazah apotekernya di apotek. Bagi mereka aturan dalam PP 51/2009 memang akan mengusik

zona kenyamanannya. Tapi tidak demikian bagi sejawat yang benar-benar menjiwai makna

keprofesian dan secara sadar memahami makna lafal sumpah/janji yang mereka ucapkan

sewaktu dilantik sebagai apoteker. Oleh sebab itu ijinkanlah saya menggarisbawahi bahwa PP

51/2009 memang hanya ditujukan bagi apoteker yang akan berpraktek. Bagi sejawat yang

tidak setuju dengan PP 51/2009, sejawat masih tetap berhak menyandang jabatan publik

sebagai apoteker namun tidak diperkenankan menyelenggarakan praktek kefarmasian. Bila

sejawat melanggar, maka akan terkena sangsi sebagaimana tertuang dalam pasal 198 UU

36/2009 tentang kesehatan.

6

Page 7: Makalah Farsos Citra Farmasi

2.2 Farmasi Masa Depan Dengan Prinsip Moderate Dan Open Mind Terhadap

Perubahan Zaman

2.2.1 Pandangan Masyarakat terhadap Apoteker

Menurut Drs. M. Dani Pratomo, Apt, MM sebagai ketua IAI (ikatan apoteker

Indonesia) tahun 2005 mengatakan bahwa masih banyak masyarakat yang tidak mengetahui

apa tugas apoteker yang sebenarnya. Ini dikarenakan di Indonesia penggunaan obat sudah

terlalu mudah diakses oleh masyarakat padahal obat yang sesungguhnya adalah racun yang

memerlukan pengaturan yang tepat. Menurut pandangan beliau juga apoteker tidak dilatih

sesuai dengan pekerjaan yang sebenarnya sesuai pharmaceutical care untuk menghadapi

pasien. Sehingga mereka kurang begitu terampil ketika lulus.

Di Indonesia masyarakat umum mengenal apoteker sebagai tenaga kedua setelah

dokter. Ini terbukti dengan anggapan dan pendapat masyarakat yang mengutarakan bahwa

apoteker memiliki kerja sebagai penerjemah resep, orang yang mempersiapkan obat dan

penjaga apotek Padahal apoteker telah diakui sebagai profesi layaknya dokter gigi, dokter,

perawat dan dokter hewan. Sebuah profesi pastilah memiliki kualifikasi untuk bekerja secara

professional dan mempunyai undang-undang yang mendukung pekerjaannya. Bila

dibandingkan dengan keadaan tersebut, maka ini menjadi suatu masalah besar bagi farmasi

untuk diselesaikan.

2.2.2 Farmasi di Masa yang Akan Datang

BPOM adalah badan resmi di Indonesia yang berhak memberi ijin untuk beredarnya

produk obat, obat herbal, makanan dan minuman yang boleh beredar di Indonesia. Namun

dalam sebagian besar pertimbangan untuk regulasi dan pemilihan kepalanya yang ada di

lembaga tersebut bukanlah orang farmasi. Pekerjaan tersebut dilakukan oleh menteri

kesehatan yang diwakili oleh profesi kedokteran. Sehingga farmasi Indonesia terasa belum

bebas sepenuhnya dan diakui sebagai profesi yang mampu berkembang walaupun banyak

berdiri pabrik-pabrik besar farmasi di negara ini. Sisi psikologi untuk mendukung farmasi

dari sisi kepemimpinan dan interaksi dengan orang lain.Karena pencitraan profesi ini

tidaklah berhasil jika hanya ditinjau dari satu sisi saja. Seorang apoteker haruslah

mengusahakan pembelajaran seumur hidup untuk mengikuti kemajuan zaman, ilmu

pengetahuan dan teknologi. Serta mempertimbangkan aspek nine star of pharmacist yang

7

Page 8: Makalah Farsos Citra Farmasi

diajarkan di fakultas farmasi universitas airlangga bahwa farmasi adalah juga sebagai care

giver, decision maker, communicator, leader, manager, life long learner, teacher, researcher

dan pharmapreneur.

2.2.3 Farmasi dalam paradigma ontologis

Sudah menjadi pendapat umum bahwa filsafat adalah induk/ibu dari segala macam

ilmu pengetahuan.Dengan demikian dapat dipahami bahwa ilmu pengetahuan pada mulanya

hanya ada satu yaitu filsafat. Akan tetapi karena filsafat yang memang hanya mempersoalkan

hal-hal yang umum, abstrak dan universal, maka ia semakin tidak mampu menjawab

persoalan-persoalan hidup yang konkret, positif praktis dan pragmatis.

Melihat kenyataan di atas, berkembang berbagai jenis ilmu pengetahuan khusus

menurut objek studinya masing-masing, seperti ilmu pengetahuan humaniora, ilmu

pengetahuan sosial, ilmu pengetahuan agama, dan ilmu pengetahuan alam.Sedangkan secara

kualitatif jenis-jenis ilmu pengetahuan itu berkembang sifatnya mulai dari yang teoritis

sampai pada yang praktis teknologis.

Farmasi ditinjau dari kelahirannya hingga perkembangannya tidak dapat dilepaskan

dari kelahiran dan perkembangan ilmu pengetahuan secara universal yang pondasinya

dibangun oleh dua entitas, yakni filsafat moral dan filsafat alam.

Filsafat moral melahirkan Behavior Sciences atau ilmu-ilmu tentang prilaku manusia.

Oleh karena manusia itu memang merupakan objek istimewa bagi penyelidikannya sendiri,

maka mungkin juga diselidiki dari sudut tingkah lakunya, bukanlah tindakan yang sesuai

dengan tingkah yang lain-lain yang bukan manusia, melainkan yang khusus bagi manusia,

yaitu tindakan-tindakan yang terdorong oleh kehendaknya diterangi oleh budinya (moralnya).

Sedangkan dalam filsafat alam (cosmologia), menyelidiki alam ini, yang oleh filsafat

alam dicari inti alam itu, apakah sebenarnya alam itu, apakah sebenarnya isi alam pada

umumnya, dan apa hubungannya satu sama lain serta hubungannya dengan ada-mutlak. Alam

ini merupakn ada yang tidak mutlak, karena adanya tidak dengan niscaya.Segala isi alam

dengan adanya sendiri itu mungkin banyak tak ada. Tetapi dalam alam itu adalah sesuatu

yang mempunyai kedudukan istimewa, yang menyelidiki semua itu : Manusia (Human

Being).

8

Page 9: Makalah Farsos Citra Farmasi

Penyelidikan terhadap alam melahirkan berbagai cabang ilmu ke dalam ilmu-ilmu

sebagai Pure Sciences yakni Fisika, Biologi, Kimia, dan Matematika.Keempat ilmu alam itu

merupakan kerangka dasar yang membangun ilmu-ilmu terapan yang berbasis kealaman

seperti ilmu kesehatan, ilmu teknik, ilmu pertanian, dan lain sebagainya.

Farmasi ditinjau dari objek materinya, memiliki kerangka dasar dari ilmu-ilmu alam;

Kimia, Biologi, Fisika dan Matematika.Sedangkan ilmu farmasi ditinjau dari objek formalnya

merupakan ruang lingkup dari ilmu-ilmu kesehatan.Secara historis ilmu farmasi

dikembangkan dari medical sciences, yang berdasarkan kebutuhan yang mendesak perlunya

pemisahan ilmu farmasi sebagai ilmu pengobatan dari ilmu kedokteran sebagai ilmu tentang

diagnosis.

Ilmu farmasi pada perkembangan selanjutnya mengadopsi tidak hanya ilmu kimia,

biologi, fisika, dan matematika, melainkan termasuk pula dari ilmu-ilmu terapan seperti

pertanian, teknik, ilmu kesehatan, bahkan dari behavior science.

2.2.4 Farmasi dalam paradigma epistemologi

Secara umum farmasi terdiri dari farmasi teoritis dan farmasi praktis.Farmasi secara

teoritis dibangun oleh beberapa cabang ilmu pengetahuan, yang secara garis besarnya terdiri

dari farmasi fisika, kimia farmasi, farmasetika, dan farmasi sosial.Selanjutnya farmasi praktis

terdiri dari dua bagian besar yakni farmasi industri, dan farmasi pelayanan.

Pertama, Farmasi Industri adalah ruang lingkup penerapan ilmu-ilmu farmasi teoritis,

dan tempat pengabdian bagi ahli-ahli farmasi (farmasis) yang berorientasi pada produksi

bahan baku obat, dan obat jadi, dan perkembangan selanjutnya juga meliputi kosmetika dan

makanan-minuman. Dalam farmasi dikenal adanya industri farmasi yang menghasilkan

produk farmasi moderen yang bahan bakunya merupakan bahan baku sintetis, dan industri

obat tradisional yang memproduksi obat-obatan dengan menggunakan bahan alam sebagai

bahan baku yang menghasilkan obat Fitofarmaka, baik industri farmasi maupun industri obat

tradisional kesemuanya berorientasi pada produk farmasi berkualitas, yakni aman, manjur,

harga terjangkau dan tidak merusak ekosistem lingkungan ekologis.

Kedua, Farmasi Pelayanan yakni pengabdian disiplin ilmu farmasi

(farmasis/apoteker) pada unit-unit pelayanan kesehatan (apotek, rumah sakit, badan

pengawasan, dan unit-unit kesehatan lainnya).Pengabdian farmasis/apoteker pada farmasi

pelayanan meliputi distribusi obat-obatan dari industri farmasi hingga ke unit-unit pelayanan

9

Page 10: Makalah Farsos Citra Farmasi

kesehatan, pelayanan informasi obat terhadap masyarakat dan tenaga-tenaga paramedis, dan

monitoring penggunaan obat oleh masyarakat dan terhadap penderita (pasien).Peranan

farmasis/apoteker di unit-unit pelayanan kesehatan menjadi sangat penting, dan berorientasi

pada pemberian obat rasional empirik, yakni pemberian obat yang tepat dosis, tepat pasien,

tepat indikasi, dan harga terjangkau.

Farmasi industri dan farmasi pelayanan saling terkait, dan berinteraksi antara satu

sama lain dalam satu orientasi, yakni health orientation, untuk seluruh lapisan masyarakat

tanpa kecuali. Farmais/apoteker di dalam menjalankan pengabdiannya di bidang kefarmasian

diikat oleh sebuah etika yang disebut kode etik apoteker (etika farmasi).

2.2.5 Farmasi dalam paradigma etika

Pemberdayaan farmasi dalam bidang pengabdian kesehatan tidak hanya terbatas pada

bagaimana meningkatkan derajat kesehatan masyarakat, tetapi harus bernuansa lebih luas,

yaitu bagaimana meningkatkan kualitas SDM dan kualits kehidupan, maka peranan farmasi

hendaknya bukan hanya terbatas pada bagaimana menemukan obat, tetapi jauh lebih kedepan

bagaimana mengembangkannya dan membantu masyarakat agar mereka mau dan mampu

menjaga kesehatannya dengan baik serta menjadikan industri farmasi dan unit-unit pelayanan

kefarmsian sebagai sarana untuk meningkatkan derajat kehidupan dan penghidupan yang

layak bagi sebagian besar masyarakat dan ummat manusia seluruhnya.

Mengingat bahwa tingkat kemampuan masyarakat sangat bervariasi, selain

menyebabkan bervariasinya penyakit yang diderita dan yang paling penting adalah

kemampuan mereka untuk membayar biaya kesehatan juga sangat bervariasi.Hal ini

merupakan tantangan tersendiri bagi farmasis/apoteker untuk pemberian alternatif obat-

obatan yang dapat memenuhi tuntutan masyarakat sehingga seluruh masyarakat dapat

terlayani dengan baik, terutama masyarakat yang berpendapatan rendah.

Untuk hal tersebut di atas, sangat dibutuhkan kerjasama antara farmasis/apoteker dengan

pihak-pihak terkait (interdisipliner), dan didukung oleh wawasan luas yang berorientasi pada

kesehatan yang paripurna dan hedonistik, produktif manusiawi, serta berwawasan lingkungan

yang ekologis, bernuansa pada kesejakteraan yang universal.

Dengan perspektif filsafat ilmu pengetahuan maka telaah farmasi sebagai sebuah

cabang ilmu pengetahuan dapat memberikan pencerahan bagi arah perkembangan farmasi

kini dan masa datang.Penyelenggara pendidikan farmasi memiliki peran yang eksklusif

10

Page 11: Makalah Farsos Citra Farmasi

dalam menentukan visi pengabdian farmasis/apoteker bagi kemaslahatan ummat

manusia.Kurikulum pendidikan farmasi harus segera direvisi yang tidak hanya melahirkan

tenaga ahli dibidang kefarmasian yang berdaya intelektual, tapi juga berdaya moral.

Farmasis/apoteker yang berdaya intelektual dan berdaya moral haruslah menjunjung

tinggi nilai-nilai keadilan dan nilai kejujuran dalam menjalankan profesinya.Setiap keputusan

yang diambil, pilihan yang ditentukan, penilaian yang dibuat hendaknya selalu mengandung

dimensi etika.Khusus dalam bidang pelayanan kefarmasian penulis ingin menggaris bawahi

bahwa sarana pelayanan harus mngikuti paradigma asuhan kefarmasian dimana

farmasis/apoteker harus ada di tempat.

Di lain pihak patut dicermati bahwa minat penyelenggara pendidikan tinggi baik

negeri maupun swasta di Indonesia cukup tinggi. Sesuai data ISFI tahun 2006 tercatat 60

perguruan tinggi di Indonesia yang mengelola pendidikan farmasi dengan jumlah luaran

kurang lebih 20.000 Apoteker hingga tahun 2007. Penulis berharap kiranya kecenderungan

ini tidak justru karena ‘pangsa pasarnya’ yang memang cukup banyak diminati. Akan tetapi,

kecenderungan ini hendaknya berangkat dari itikat turut mendorong dalam mengembangkan

kefarmasian di segala bidang

11

Page 12: Makalah Farsos Citra Farmasi

BAB III

PENUTUP

Kesimpulan

Untuk membangun citra yang positif dibenak konsumen, maka pesan yang disampaikan

perlu untuk dikomunikasikan kepada target sasaran. Informasi-informasi tersebut dapat

dikomunikasikan melalui strategi promosi yang digunakan haruslah dapat mencapai target sasaran

yang telah ditentukan

NO

Profesi

Satuan %

2005 2007 2008 2009 2010

1 Perawat 89 91 89 89 89

2 Apoteker 84 85 86 84 85

3 Dokter 79 81 79 82 79

4 Guru 74 78 78 76 73

Ada pun pendapat dari Roy Morgan Research, dan Gallup Polls

Farmasi Masa Depan Dengan Prinsip Moderate Dan Open Mind Terhadap

Perubahan Zaman

1. Pandangan Masyarakat terhadap Apoteker2. Farmasi dalam paradigma ontologis

3. Farmasi di Masa yang Akan Datang

4. Farmasi dalam paradigma epistemologi

5. Farmasi dalam paradigma etika

12

Page 13: Makalah Farsos Citra Farmasi

DAFTAR PUSTAKA13

Page 14: Makalah Farsos Citra Farmasi

Anonimus. 2011. “Profesi Farmasi di Indonesia”

dalam google. Jakarta:http://www.google.com.

11 November 2011 pukul 21.00 WIB.

Anonimus. 2011. “Sejarah Farmasi Dunia” dalam

google. Jakarta:http://www.google.com. 11

November 2011 pukul 21.30 WIB.

Afdhal, Ahmad Fuad. 2011. Farmasi Sosial. Jakarta :

Samitra Media Utama.

Noor, Wildan Alfian. 2011. “Farmasi Masa Depan

Dalam Dengan Prinsip Moderate dan Open Mind

Terhadap Perubahan Zaman” dalam google.

Jakarta:http://www.google.com. 11 November

2011 pukul 22.00 WIB.

14