neuroanatomi

27
NEUROANATOMI Bilamana salah satu komponen dari susunan neuromuscular tidak menjalankan tugas sebagaimana mestinya, maka akan timbul gangguan gerakan voluntary. Berdasarkan komponen susunan neuromuskular mana yang terkena lesi, maka gangguan gerakan voluntar itu dapat berupa: 1. kelumpuhan, yaitu hilangnyatenaga otot sehingga gerak voluntar sukar atau sama sekali tidak bisa dilakukan akibat lesi di: a. susunan piramidal b. final common path c. ’motor end plate’ dan d. otot 2. hilangnya ketangkasan gerakan voluntar (namun dengan utuhnya tenaga muskular) akibat lesi di susunan ekstrapiramidal, yaitu di: a. ganglia basalia b. serebelum Segala sesuatu yang mengganggu fungsi atau merusak kawasan susunan saraf disebut lesi. Suatu lesi dapat berupa kerusakan pada jaringan fungsional akibat perdarahan, trombosis atau embolisasi. Dapat juga karena peradangan, degenerasi dan penekanan oleh proses desak ruang dan sebagainya. Suatu lesi yang melumpuhkan fungsi kawasan yang didudukinya dikenal sebagai lesi paralitik

Upload: royjohannesn

Post on 08-Nov-2015

28 views

Category:

Documents


8 download

DESCRIPTION

neuro

TRANSCRIPT

NEUROANATOMIBilamana salah satu komponen dari susunan neuromuscular tidak menjalankan tugas sebagaimana mestinya, maka akan timbul gangguan gerakan voluntary. Berdasarkan komponen susunan neuromuskular mana yang terkena lesi, maka gangguan gerakan voluntar itu dapat berupa: 1. kelumpuhan, yaitu hilangnyatenaga otot sehingga gerak voluntar sukar atau sama sekali tidak bisa dilakukan akibat lesi di:a. susunan piramidal

b. final common path

c. motor end plate dan

d. otot

2. hilangnya ketangkasan gerakan voluntar (namun dengan utuhnya tenaga muskular) akibat lesi di susunan ekstrapiramidal, yaitu di:

a. ganglia basalia

b. serebelum

Segala sesuatu yang mengganggu fungsi atau merusak kawasan susunan saraf disebut lesi. Suatu lesi dapat berupa kerusakan pada jaringan fungsional akibat perdarahan, trombosis atau embolisasi. Dapat juga karena peradangan, degenerasi dan penekanan oleh proses desak ruang dan sebagainya. Suatu lesi yang melumpuhkan fungsi kawasan yang didudukinya dikenal sebagai lesi paralitik sebagai tandingan dari lesi iritatif, yaitu lesi yang merangsang daerah yang didudukinya. Gambar kelumpuhan akibat lesi paralitik di susunan piramidal dari komponen UMN susunan neuromuskuler berbeda sekali dengan gambar kelumpuhan akibat lesi paralitik di final common path, motor end plate, dan otot. Karena itu, maka kelumpuhan yang pertama dinamakan kelumpuhan UMN dan yang kedua kelumpuhan LMN. Kelumpuhan UMN dicirikan oleh tandatanda kelumpuhan UMN, yaitu tanda-tanda yang khas bagi disfungsi susunan UMN. Adapun tanda-tanda kelumpuhan UMN itu ialah:1. Tonus otot meninggi atau hipertonia

Gejala tersebut di atas terjadi karena hilangnya pengaruh inhibisi kortex motorik tambahan terhadap inti-inti intrinsik medula spinalis. Jadi, sesungguhnya hipertonia merupakan ciri khas bagi disfungsi komponenn ekstrapiramidal susunan UMN. Hipertonia tidak akan bangkit, bahkan tonus otot menurun, bilamana lesi paralitik merusak hanya korteks motorik primer saja. Hipertonia menjadi jelas sekali apabila korteks motorik tambahanan (area 6 dan 4s) ikut terlibat dalam lesi paralitik. Walaupun demikian lesi paralitik di mana saja yang mengganggu komponen piramidal, akan selamanya ikut melibatkan komponen ekstrapiramidal. Lesi di kapsula interna mengganggu seraut-serabut kortikobulbar/-spinal dan juga serabut-serabut frotopontin, temporoparietopontin, berikut serabut-serabut kortikostriatal, yang ikut menyusun lintasan sirkuit striatal utama. Hal itu berarti bahwa komponen piramidal dan ekstrapiramidal mengalami gangguan secara bersama. Pada hakekatnya kedua komponen tersebut akan mengalami nasib yang sama, oleh karena sepanjang perjalanannya sampai tiba pada tempat tujuan terakhirnya, lintasan piramidal dan ekstrapiramidal berada di kawasan yang sama yaitu di pedunkulus serebri, pes pontis, piramis, dan funikulus posterolateralis/ daerah sulkomarginal.Hipertonia yang mengiringi kelumpuhan UMN tidak melibatkan semua otot skeletal, melainkan otot-otot fleksor seluruh lengan serta otot aduktor bahu dan pada tungkai segenap otot-otot ekstensornya serta otot-otot plantarfleksi kaki. Tergantung pada jumlah serabut penghantar impuls ekstrapiramidal dan piramidal yang terkena gangguan, anggota gerak yang lumpuh dapat memperlihatkan hipertonia dalam posisi fleksi atau ekstensi. Hal ini dapat disaksikan pada kelumpuhan UMN yang melanda bagian bawah tubuh (= paraplegia) akibat lesi transversal di medula spinalis di atas intumesensia lumbosakralis. Apabila paraplegia disebabkan oleh lesi yang terutama merusak serabut-serabut penghantar impuls piramidal saja, maka paraplegianya menunjukkan hipertonia dalam posisi ekstensi, yang secara singkat disebut paraplegia dalam ekstensi. Apabila jumlah serabut penghantar impuls esktrapiramidal (serabut retikulospinal dan vestibulospinal) ikut terlibat dalam lesi, maka paraplegia menunjukkan hipertonia dalam posisi fleksi (= paraplegia dalam fleksi). 2. hipereflkesia

refleks adalah gerak ott skeletal yang bangkit sebagai jawaban atas suatu perangsangan. Gerak otot reflektorik yang timbul atas jawaban stimulasi terhadap tendon dinamakan refleks tendon. Misalnya, refleks tendon lutut adalah kontraksi otot kuadrisep femoris yang bangkit sebagai jawaban atas diketuknya tendon lutut. Pada kerusakan di wilayah susunan UMN, refleks tendon lebih peka daripada keadaan biasa (normal). Keadaan abnormal itu dinamakan hiperefleksia. Dalam hal ini gerak otot bangkit secara berlebihan, kendatipun perangsangan pada tendon sangat lemah. Hiperefleksia merupakan keadaan setelah impuls inhibisi dari susunan piramidal dan ekstrapiramidal tidak dapat disampaikan kepada motorneuron.Refleks tendon merupakan refleks spinal yang bersifat segmental. Ini berarti bahwa lengkung refleks disusun oleh neurun-neuron yang berada di satu segmen. Tetapi ada juga gerak otot reflektorik, yang lengkung refleks segmentalnya berjalin dengan lintasan-lintasan UMN yang ikut mengatur efektornya. Hal ini dijumpai pada refleks kulit dinding perut. Pada lesi UMN, refleks tersebut menutun atau hilang.3. Klonus

Hiperefleksia sering diiringi oleh klonus. Tanda ini adalah gerak otot reflektorik, yang bangkit secara berulang-ulang selama perangsangan masih berlangsung. Pada lesi UMN kelumpuhan nya disertai oleh klonus kaki, yang dapat dibangkitkan sebagai berikut. Tungkai diletakkan dalam posisi fleksi di lutut dan dipergelangan kaki, kemudian kaki didorsofleksikan secara maksimal dan tetap dipertahankan dalam posisi itu untuk sementara waktu. Akibat penarikan tendon Achilles yang berkepanjangan itu, kaki bergerak berselingan dorsofleksi dan plantarfleksi secara reflektorik. Di samping klonus kaki, di klinik dapat dijumpai juga klonus lutut. Cara pembangkitannya ialah sebagai berikut. Penarikan pada tendon otot kuadrisep femoris melalui pendorongan tulang patela ke arah distal akan menghasilkan kontraksi otot kuadriseps femoris secara berulang-ulang selama masih dilakukannya pendorongan patelar itu. 4. refleks patologis

gerak otot reflektorik dapat ditimbulkan pada setiap orang yang sehat. Inilah yang dinamakan refleks fisiologik. Pada kerusakan UMN dapat disaksikan adanya refleks-refleks yang tidak dapat dibangkitkan pada orang-orang yang sehat. Maka dari itu, refleks tersebut dinamakan refleks patologik. Hingga kini mekanismenya belum jelas. Pada tangan, gerak otot reflektorik yang patologik itu berupa fleksi jari-jari atas perangsangan (goresan) terhadap kuku jari tengah. Refleks patologik itu dikenal sebagai refleks Trommer Hoffmann.

Pada kaki, gerak otot reflektorik patologik berupa gerakan dorsoekstensi ibu jari kaki serta pengembangan jari-jari kaki lainnya, sebagai jawaban atas penggoresan terhadap bagian lateral telapak kaki (refleks Babinsky) atau kulit sekitar maleolus lateralis (refleks Chaddock), atau kulit yang menutupi os tibia (refleks Oppenheim), atau atas pijatan pada betis (refleks Gordon) ataupun atas pijatan pada tendon Achiles (refleks Schaeffer).5. Tidak ada atrofi pada otot-otot yang lumpuh

Sebagaimana sudah diuraikan di muka, motoneuron dengan sejumlah serabut-serabut otot yang disarafinya menyusun satu kesatuan motorik. Kesatuan fisiologik ini mencakup juga hubungan timbal balik antara kehidupan motoneuron dan serabut-serabut otot yang disarafinya. Runtuhnya motoneuron akan disusul dengan kemusnahan serabut-serabut otot yang tercakup dalam kesatuan motoriknya. Oleh karena itu, maka otot-otot yang terkena menjadi kurus/ kecil. Di dalam klinik keadaan otot-otot tersebut dinamakan atrofi. Dalam hal kerusakan pada serabut-serabut penghantar impuls motorin UMN, motoneuron tidak dilibatkan. Ia hanya dibebaskan dari kelola UMN. Oleh karena itu otot-otot yang lumpuh karena lesi UMN tidak akan memperlihatkan atrofi. Namnun demikian, otot yang lumpuh masih dapat mengecil, bukan karena serabut-serabut otot musnah, melainkan mereka menjadi ramping akibat pengangguran (karena otit tidak dapat bergerak). Atrofi karena pengangguran dikenal sebagai disuse atrophy.

6. Refleks automatisme spinalJika motoneuron tidak lagi mempunyai hubungan dengan korteks motorik primer dan korteks motorik tambahan bukanlah berarti bahwa ia tidak berdaya menggerakan otot. Ia masih dapat digalakkan oleh rangsang yang datang dari bagian susunan saraf pusat di bawah tingkat lesi. Gerakan yang bangkit akibat perangsangan tersebut dinamakan refleks automatisme spinal. Yang sering disaksikan pada seorang hemiplegik ialah lengan yang lumpuh bergerak pada waktu menguap. Pada penderita paraplegik akibat lesi transversal di medula spinalis bagian atas dapat dijumpai kejang fleksi lutut sejenak padahal kedua tungkai lumpuh, apabila penderita terkejut.

Tanda-tanda kelumpuhan UMN yang tersebut di atas dapat seluruhnya atau sebagian saja ditemukan pada tahap kedua masa setelah terjadinya lesi UMN. Pada tahap pertamanya, yaitu langsung setelah lesi UMN terjadi, tanda-tanda kelumpuhan UMN tidak dapat disaksikan. Tahap pertama ini berlangsung 1 sampai 3 minggu. Jika lesinya terletak di korteks motorik, kurun waktu tahap pertama panjang sekali. Sebaliknya, lesi di kapsula interna mempunyai tahap pertama yang singkat.

Lesi paralitik di susunan LMN berarti suatu lesi yang merusak motoneuron, aksonnya, motor end plate, atau otot-otot skeletal, sehingga tidak terdapat gerakan apapun, walaupun impuls motorik dapat tiba pada motoneuron. Kelumpuhan yang timbul itu disertai tanda-tanda LMN sebagai berikut:a. Seluruh gerakan, baik yang voluntar maupun yang reflektorik tidak dapat dibangkitkan. Ini berarti bahwa kelumpuhan disertai oleh:a. Hilangnya refleks tendon (arefleksia) danb. Tak adanya refleks patologik

b. Karena lesi LMN itu, maka bagian eferen lengkung refleks berikut gamma loop, tidak berfungsi lagi, sehingga:c. tonus otot hilang

c. Musnahnya motoneuron berikut dengan aksonnya berarti pula bahwa kesatuan motorik runtuh, sehingga:d. atrofi otot cepat terjadiKELUMPUHAN UMN

Pada umumnya kelumpuhan UMN melanda sebelah tubuh sehingga dinamakan hemiparesis, hemiplagia, atau hemiparalisis, karena lesinya menduduki kawasan susunan piramidal sesisi. Ketiga istilah yang bermakna kelumpuhan sesisi badan itu digunakan secara bebas, walaupun hemiparesis sesungguhnya berarti kelumpuhan sesisi badan yang ringan dan hemiplagia atau hemiparalisis berarti kelumpuhan sesisi badan yang berat. Dalam uraian selanjutnya ketiga-tiganya akan digunakan secara bebas tanpa pengarahan pada derajat keberatannya.

Di batang otak daerah susunan piramidal dilintasi oleh akar saraf otak ke-3, ke-6, ke-7, dan ke-12, sehingga lesi yang merusak kawasan piramidal batang otak sesisi mengakibatkan hemiplagia yang melibatkan saraf otak secara khas dan dinamakan hemiplegia alternans.

Lesi sesisi atau hemilesi yang sering terjadi di otak jarang dijumpai di medula spinalis, sehingga kelumpuhan UMN akibat lesi di medula spinalis pada umumnya berupa tertraplegia atau paraplegia.

Kelumpuhan Umn dibagi dalam:

1. hemiplegia akibat hemilesi di kerteks motorik primer

2. hemiplegia akibat hemilesi di kapsula interna3. hemiplegia alternans akibat hemilesi di batang otak, yang dapat dirinci dalam:

a. sindrom hemiplegia alternans di mesensefalonb. sindrom hemiplegia alternans di pons

c. sindrom hemiplagia alternans di medua spinalis

4. tetraplegia/ kudariplegia dan para plegia akibat lesi di medula spinalis di atas tingkat konus. Hemiplagia akibat hemilesi di korteks motorik primer

Kerusakan pada seluruh korteks piramidalis sesisi menimbulkan kelumpuhan UMN pada belahan tubuh sisi kontralateral. Keadaan tersebut dikenal sebagai hemiparalisis atau hemiplegia. Kerusakan yang menyeluruh, tetapi belum meruntuhkan semua neuron korteks piramidalis sesisi, menimbulkan kelumpuhan pada belahan tubuh kontraleteral yang ringan sampai sedang. Dalam hal ini digunakan istilah hemiparesis. Hemiparesis dekstra, jika sisi kanan tubuh yang lumpuh dan hemiparesis sinistra jika belahan tubuh kiri yang lumpuh.

Walaupun belahan tubuh kanan atau kiriyang lumpuh, pada umumnya terdapat perbedaan derajat kelumpuhan antara lengan dan tungkai yang terkena. Perbedaan lebih nyata jika hemiplagia disebabkan oleh lesi vaskular di tingkat korteks dan hampir tidak ada perbedaan jika lesi penyebabnya bersifat vaskular di kapsula interna. Hal itu dapat dimengerti bila diketahui bahwa pertama: pada umumnya infark disebabkan oleh penyumbatan salah satu arteri belaka, dan kedua: korteks motorik primer diperdarahi oleh cabang kortikal dari dua arteri , yaitu arteri serebri anterior dan cabang kortikal arteri serebri media, sedangkan di tingkat kapsula interna kawasan tersebut kortikospinal yang menyalurkan impuls untuk gerakan lengan dan tungkai diperdarahi oleh satu arteri yang sama, yaitu arteri lentikulostriata.

Jika ditinjau lebih teliti, kelumpuhan itu benar-benar melanda seluruh otot skeletal sesisi tubuh, berikut otot-otot wajah, pengunyah, dan penelan. Namun, oleh karena ada otot-otot yang memiliki hubungan dengan kedua sisi korteks motorik primer, maka pada sisi tubuh yang lumpuh terdapat otot-otot yang tampaknya tidak lumpuh. Otot-otot tersebut adalah otot-otot leher, thoraks, abdomen, dan selanjutnya otot-otot wajah, rahang bawah, farings, dan larings, yang perlu dijelaskan lebih terinci. Pada tahap pertama hemiparesis karena lesi kortikal sesisi, otot-otot wajah yang berada di atas fisura palpebra masih dapat digerakan secara wajar. Pada tahap pertama ini, lidah menunjukkan kelumpuhan pada sisi kontralateral, yang dapat diungkapkan jika lidah dikeluarkan secara aktif oleh penderita. Ia akan menyimpang ke sisi yang lumpuh. Kelumpuhan-kelumpuhan tersebut pada tahap berikutnya akan memperlihatkan perbaikan, bahkan dapat sembuh kembali dengan sempurna, kendatipun kelumpuhan pada anggota gerak cukup jelas.

Kelumpuhan sesisi pada otot-otot yang dipersarafi oleh n. Vagus dan n. Glosofaringeus sebagai gejala bagian dari hemiplagia adakalanya jelas tetapi bisa juga sukar diungkapkannya. Tetapi pada tahap dini, kelumpuhan otot-otot tersebut dapat dapat disimpulkan oleh adanya kesukaran menelan.

Pada penyumbatan cabang kortikal a.serebri media, terjadi kelumpuhan pada bagian bawah wajah sisi kontralateral, lidah belahan kontralateral dan otot-otot leher dan lengan sisi kontralateral . lesi kortikal akibat trombosis cabang a.serebri media itu sangat mungkin melibatkan sebagian dari daerah tungkai atas sehingga tungkai sisi kontralateral lumpuh ringan.

Jika pada suatu tumor di sekitar falks serebri menekan pada kedua sisi korteks piramidalis maka kedua daerah somatotopik kedua tungkai bisa mengalami gangguan, sehingga terjadi kelumpuhan UMN pada kedua tungkai (paraplegia).

Lesi yang merusak korteks piramidalis jarang terbatas pada area 4 saja, melainkan melibatkan daerah di depan dan di belakangnya juga. Dalam hal itu gejala pengiring hemiplagia bisa berupa hipestesia atau gangguan berbahasa.

Sehubungan dengan ikut terlibatnya area 4s, 6, dan 8, maka hemiplagia piramidal akibat lesi di tingkat korteks disertai gejala-gejala tambahan. Adapun gejala-gejala itu ialah: hipertonia yang bersifat spastik, forced crying dan forced laughing, dan deviation conjugee.

Hipertonia yang mengiringi kelumpuhan UMN memperlihatkan ciri-ciri tertentu. Akibat lesi di sekitar korteks motorik primer, resistensi yang dirasakan ketika anggota gerak difelksikan dan diekstensikan secara pasif meningkat secara sinambung. Oleh karena itu, maka hipertonia semacam itu disebut spastisitas.Hemiplagia akibat hemilesi di kapsula interna

Kawasan kapsula interna dilewati juga oleh serabut-serabut susunan ekstrapiramidal. Maka karena itu kelumpuhan akibat lesi di kapsula interna hampir selamnya disertai hipertonia yang khas. Lagipula tanda-tanda UMN lainnya cepat timbul secara jelas. Hipertonia akibat lesi paralitik di kawasan susunan piramidal, yang disebut spastisitas, hanya dapat ditemukan pada sekelompok otot tertentu yang lumpuh saja, sehingga menimbulkan suatu pola gerakan abnormal. Misalnya mengepal dapat dilakukan dengan lancar, tetapi bilamana setelah itu kepala disuruh dibuka, jari-jari tangan tidak berdaya untuk mengembangkannya. Tergantung pada arteri yang tersumbat, maka lesi vaskular yang merusak kapsula interna dapat melibatkan bangunan-bangunan fungsional lainnya juga, yaitu radiasio optica, nukleus caudatus dan putamen. Oleh karena itu, maka hemiplegia akibat lesi kapsular memperlihatkan tanda-tanda kelumpuhan UMN yang dapat disertai rigiditas, atetosis, distonia, tremor, atau hempianopia. Gangguan bahasa tidak menyertai hemiplgegia kapsular, oleh karena mekanisme neuronalnya terjadi di tuingkat kortikal.

Karena lesi di susunan piramidal, terutama akibat lesi di korteks motorik primer dan kapsula interna, gerakan sekutu patologik dapat disaksikan pada anggota gerak yang lumpuh ringan ketika gerakan voluntar tertentu dilakukan. Sifat patologiknya dapat dijelaskan oleh karena pada orang normal gerakan sekutu itu tidak timbul.

Hemiplegia Alternans

Kerusakan unilateral pada jaras kortikobulbar/ kortikospinal di tingkat batang otak menimbulkan sindrom hemiplegia alternans. Sindrom tersebut terdiri atas kelumpuhan UMN yang melanda otot-otot belahan tubuh kontralateral yang berada dibawah tingkat lesi, sedangkan setingkat lesinya terdapat kelumpuhan LMN, yang melanda otot-otot yang disarafi oleh saraf kranial yang terlibat dalam lesi. Tergantung pada lokasi lesi paralitiknya, dapatlah dijumpai sindrom hemiplegia alternans di mesensefalon, pons, dan medua oblongata. 1. Sindrom hemiplegia alternans di mesensefalonDijumpai bilamana hemilesi di batang otak menduduki pedunkulus serebri di tingkat mesensefalon. N.okulomotorius (N.III) yang hendak meninggalkan mesensefalon melalui permukaan ventral melintasi daerah yang terkena lesi, sehingga ikut terganggu fungsinya. Hemiplegia alternans dimana nervus okulomotorius ipsilateral ikut trelibat dikenal sebagai hemiplegia alternans n.okulomotorius atau sindrom dari Weber.

Adapun manifestasi kelumpuhan N.III itu ialah:a. paralisis m.rectus internus (medialis), m.rectus superior, m.rectus inferior, m.oblikus inferior, dan m.levator palpebra superior, sehingga terdapat strabismus divergen, diplopia juga melihat ke seluruh jurusan, dan ptosisb. paralisis m.sfingter pupil, sehingga terdapat pupil yang melebar (midriasis).Hemiparesis alternans yang ringan sekali tidak saja disertai oleh paresis ringan N.III, akan tetapi dilengkapi juga dengan adanya gerakan involunter pada lengan dan tungkai yang paretik ringan (di sisi kontralateral) itu. Sindrom ini dikenal sebagai sindrom Benedikt.2. Sindrom hemiplegia alternans di pons

Sindrom hemiplegia alternans di pons disebabkan oleh lesi vaskular unilateral. Lesi vaskular di pons dapat dibagi dalam:1. lesi paramedian akibat penyumbatan salah satu cabang dari rami perforantes medialis a.basilaris2. lesi lateral, yang sesuai dengan kawasan perdarahan cabang sirkumferens yang pendek3. lesi di tegmentum bagian rostral pons akibat penyumbatan a.serebeli superior4. lesi di tegmentum bagian kaudal pons, yang sesuai dengan kawasan perdarahan cabang sirkumferens yang panjang.Hemiplegia alternans akibat lesi di pons adalah selamanya kelumpuhan UMN yang melibatkan belahan tubuh sisi kontralateral, yang berada di bawah tingkat lesi, yang berkombinasi dengan kelumpuhan LMN pada otot-otot yang dipersarafi oleh nervus abdusens (N.VI) atau nervus facialis (N.VII).

Jenis-jenis hemiplegia alternans di pons berbeda karena adanya selisih derajat kelumpuhan UMN yang melanda lengan dan tungkai berikut dengan gejala pelengkapnya yang terdiri atas kelumpuhan LMN N.VI atau N.VII dan gejala-gejala okular. Penyumbatan parsial terhadap salah satu cabang dari rami perforantes medialis a.basilaris sering disusul oleh terjadinya lesi-lesi paramedian. Manifestasi lesi semacam ini ialah hemiplegia kontralateral, yang pada lengan lebih berat ketimbang tungkai. Jika lesi paramedian itu terjadi secara bilateral, maka kelumpuhan terlukis di atas terjadi ada kedua belah tubuh. 3. sindrom hemiplegia alternans akibat lesi di medula oblongatakawasan-kawasan vakularisasi di medula oblongata ternyata sesuai dengan area lesi-lesi yang mendasari sinrom hemiplegia alternans di medua oblongata. Bagian paramedian medula oblongata diperdarahi oleh cabang a.vertebralis. bagian lateralnya mendapat vaskularisasi dari a.serebeli inferior posterior, sedangkan bagian dorsalnya diperdarahi oleh a.spinalis posterior dan a.serebelli inferior posterior. Lesi unilateral yang menghasilkan hemiplegia alternans sudah jelas harus menduduki kawasan piramis sesisi dan harus dilintasi oleh radiks nervus hipoglossus. Maka dari itu kelumpuhan UMN yang terjadi melanda belahan tubuh kontralateral yang berada di bawah tingkat leher dan diiringi oleh kelumpuhan LMN pada belahan lidah sisi ipsilateral. Itulah sindrom hemiplegia alternans nervus hipoglossus atau sindrom medular medial.Tetraplegia/Kuadriplegia dan Paraplegia Akibat Lesi di Medula SpinalisTiap lesi di medula spinalis yang merusak daerah jaras kortikospinal lateral menimbulkan kelumpuhan UMN pada otot-otot bagian tubuh yang terletak di bawah tingkat lesi. Lesi yang memotong melintang (transversal) medula spinalis pada tingkat servikal misalnya C5- mengakibatkan kelumpuhan UMN pada otot-otot tubuh yang berada di bawah C5, yaitu sebagian dari otot-otot kedua lengan yang berasal dari miotoma C6-C8, lalu otot-otot toraks dan abdomen serta segenap mukulatur kedua tungkau. Kelumpuhan semacam itu dinamakan tetraplegia atau kuadriplegia. Lesi transversal yang merusak segmen C.5 itu tidak saja memutuskan jaras kortikospinal lateral, melainkan ikut memmotong segenap lintasan asendens dan desendens lain. Di samping itu kelompok motoneuron yang berada di dalam segmen C-5 ikut terusak. Ini berarti bahwa pada tingkat lesi kelumpuhan itu bersigat LMN. Akibat ikut terputusnya lintasan somatosensorik dan lintasan autonom neurovegetatif asendens dan desendens, maka dari tingkat lesi ke bawah, penderita kuadriplegik:a. tidak dapat merasakan perasaan apapun

b. tidak bisa buang air besar dan kecil

c. tidak memperlihatkan reaksi neurovegetatif

Lesi transversal yang memotong medua spinalis pada tingkat torakal atau lumbal atas mengakibatkan kelumpuhan, yang pada dasarnya serupa dengan yang telah diluksikan di atas, yaitu: pada tingkat lesi terjadi kelumpuhan LMN dan dibawah tingkat lesi terdapat kelumpuhan UMN. Kelumpuhan LMN di tingkat lesi melanda kelompok otot yang merupakan sebagian kecil dari muskulatur toraks atau abdomen. Lesi di segmen-segmen lumbal paling bawah dan sakral merusak motoneuron-motoneuron berikut dengan terminalia serabut-serabut kortikospinal, sehingga kelumpuhan kedua tungkai akibat lesi itu bersifat LMN. Paraplegia dan kuadriplegia dapat disebabkan oleh infeksi (mielitis transversa). Satu sampai dua segmen medula spinalis dapat terusak sekaligus. Infeksi langsung dapat terjadi melalui embolik septik, luka terbuka dari tulang belakang, penjalaran osteomilelitis atau perluasan proses meningitis piogenik. Proses patologik yang mendesak/ menindih medula spinalis dari samping dapat menghasilkan sindrom Brown Sequard. Gambaran penyakit yang pada permulaan menyerupai sindrom Brown Sequard dan kemudian terjadi kuadriplegia atau paraplegia secara berangsur-angsur dikenal sebagai sindrom kompresi medula spinalis. Selain pada mielitis dan kompresi medula spinalis, kelumpuhan UMN akibat gangguan terhadap serabut-serabut kortikospinal dapat dijumpai juga pada penderita amyotrophic lateral sclerosis. Penyebabnya adalah slow viral infection. Infeksi viral itu merusak serabut-serabut kortikospinal dan motoneuron di trunkus serebri dan medula spinalis secara selektif.KELUMPUHAN LMN

Kelumpuhan LMN timbul akibat kerusakan pada final common path dan otot. Istilah ini mencakup lower motoneuron dan aksonnya.Kelumpuhan LMN akibat lesi di motoneuron

Jika motoneuron mengalami gangguan yang membahayakan kehidupannya, maka timbullah aktivitas yang membangkitkan gerak otot halus. Gerak otot yang sangat halus, yang dikenal sebagai fibrilasi, tidak dapat dideteksi secara visual. Gerak otot halus yang dapat dilihat dengan mata tanpa menggunakan alat disebut fasikulasi. Gejala ini merupakan ungkapan bahwa motoneuron berada dalam keadaan kurang sehat. Dalam pada itu, motoneuron masih dapat digalakkan, namun sudah menunjukkan kepekaan yang berlebihan.

Motoneuron-motoneuron berkelompok di kornu anterior dan dapat mengalami gangguan secara selektif atau terlibat dalam satu lesi bersama dengan bangunan di sekitarnya, sehingga di dalam klinik dikenal sindrom lesi di kornu anterius, sindrom lesi yang selektif merusak motoneuron dan funikulus anterolateralis dan sindrom lesi di substansia grisea sentralis.

1. Sindrom lesi di kornu anterius

Penyakit yang disebabkan oleh lesi yang khusus merusak motoneuron, ialah poliomielitis anterior akut. Pada umumnya kelompok motoneuron di segmen-segmen intumesensia servikalis atau lumbali merupakan substrat tujuan infeksi viral.Di samping proses infeksi, lesi vaskular akibat arteriosklerosis dan sifilis meningovaskular dapat menduduki kornu anterius. Kelumpuhan LMN yang timbul tidak berbeda dengan kelumpuhan akibat poliomielitis. Tanpa prodomal yang khas pagi penyakit infeksi, kelumpuhan LMN akibat lesi vaskular itu bermanifestasi secara mendadak, terutama pada orang-orang kaum tua dan jompo.

2. Sindrom lesi yang selektif merusak motoneuron dan jaras kortikospinalKarena sebab yang belum diketahui, motoneuron trunkus serebri dan medula spinalis dalam kombinasi dengan serabut-serabut kortikobulbar/ kortikospinal dalam kombinasi dengan serabut-serabut kortikobulbar/ kortikospinal dapat berdegenerasi. Beberapa patogenesis yang mungkin telah dikemukakan, yaitu poliomielitis yang kronik, penyakit keturunan, slow viral infection, dan akibat toksin yang berlokasi di substansia grisea sentralis. Kerusakan yang sistematik melanda kornu anterius dan jaras kortikubulbar/-spinal, menimbulkan kelumpuhan yang disertai tanda-tanda LMN dan UMN secara berbauran. Terutama pada tahap dini, kombinasi terlihat begitu jelas. Atrofi dan fasikulasi pada otot-otot tenar, hipotenar, dan interosea berkombinasi dengan hiperfleksi dan adanya refleks patologis. Tetapi pada tahap lanjut tanda-tanda UMN akan lenyap dan hanya tanda-tanda LMN saja yang tertinggal.

3. Sindrom lesi yang merusak motoneuron dan funikulus anterolateralisLesi yang menduduki kornu anterius dan dua per tiga bagian medial dari funikulus anterolateralis disebabkan oleh penyumbatan a.spinalis anterior. Maka sindrom tersebut lebih dikenal dengan nama sindrom a.spinalis anterior. Di funikulus anterolateralis terdapat serabut-serabut spinotalamik yang menghantarkan impuls perasaan protopatik. Dan a.spinalis anterior adalah arteri tunggal yang memperdarahi bagian ventral kedua belahan medula spinalis. Penyumbatan arteri tersebut mengakibatkan lesi vaskular (infark) pada satu sampai beberapa segmen, sehingga menimbulkan: kelumpuhan LMB bilateral pada otot-otot yang dipersarafi oleh motoneuron-motoneuron yang terkena lesi, hilangnya perasaan akan nyeri, suhu, dan perabaan pada bagian tubuh secara bilateral dari tingkat lesi ke bawah, dan masih utuhnya kemampuan untuk merasakan rangsang gerak, getar, sikap, dan posisi bagian tubuh.

4. Sindrom lesi tunggal di pusat substansia grisea

Lesi tunggal, yang berupa lubang di pusat substansia grisea sentralis, sekali-sekali dapat dijumpai. Itulah yang dinamakan siringomelia. Lubang tersebut dapat terjadi karena suatu gangguan pada waktu kanalis sentralis dibentuk, atau karena terjadi penyusupan spongioblas di kanalis sentralis pada tahap embrional; atau karena terjadi perdarahan pada tahap embrional.Dalam hal itu terjadi kelumpuhan LMN (akibat runtuhnya motoneuron), adanya disosiasi sensibilitas (akibat hancurnya serabut-serabut spinotalamik di komisura alba ventralis) dan hilangnya reaksi neurovegetatif (akibat musnahnya neuron-neuron di kornu lateral) pada bagian tubuh yang merupakan kawasan sensorik dan motorik segmen-segmen yang diduduki siringomielia. Oleh karena ia sering berlokasi di intumesensia servikalis, maka daerah tubuh yang terkena ialah kedua lengan. Dalam hal ini ditemukan kelumpuhan LMN yang melanda otot-otot tenar, hipotenar, dan interosea. Kelumpuhan LMN Akibat Lesi di Radiks Ventralis

Radiks ventralis merupakan berkas akson-akson metoneuron. Di situ dapat terjadi peradangan sebagai komplikasi radang selaput araknoid. Juga proses imunopatologik dapat melanda semua radiks ventralis sepanjang medula spinalis berikut dengan segenap radiks dorsalis. Selanjutnya, radiks ventrikalis dapat mengalami gangguan setempat, misalnya: penekanan akibat nukleus pulposus yang menjebol ke dalam ruang kanalis vertebralis atau penekanan oleh eksostosis atau neoplasma. 1. Kelumpuhan akibat kerusakan pada seluruh radiks ventralis

Kelumpuhan LMN yang disebabkan oleh kerusakan pada radiks ventralis dicirikan oleh adanya fibrilasi. Sebenarnya fenomen elektromiografik itu mengungkapkan keadaan otot yang mengalami denervasi. Kelumpuhan LMN paling sering dijumpai pada otot-otot anggota gerak, berikut kelompok otot di sekitar persendian bahu dan pinggul. Gejala-gejala gangguan sensorik dan neurovegetatif dapat melengkapi gambaran penyakit kelumpuhan LMN tersebut, yang dalam keseluruhannya dikenal sebagai radikulitis akibat araknoiditis. 2. kelumpuhan akibat kerusakan pada radiks ventralis setempat

Kelumpuhan LMN yang terjadi akibat kerusakan radiks ventralis dari satu atau dua segmen saja, tidak akan mempunyai arti, jika yang dilanda otot yang menyusun muskulatur thoraks atau abdomen. Lain halnya dengan jika otot anggota gerak yang terkena kelumpuhan, kecanggungan gerakan voluntar dapat dideteksi oleh pasien sendiri dan juga oleh dokter yang memeriksanya. Proses patologik yang mengganggu radiks ventralis (dan dorasli) setempat, pada umumnya lebih jelas (dan juga lebih dini) diungkapkan oleh gangguan terhadap radiks dorsalisnya. Lesi yang mengganggu satu radiks menimbulkan gejala motorik dan sensorik yang khas. Kelumpuhan dan defisit sensoriknya atau nyerinya kedua-duanya menunjukkan sifat radikular, yang berarti, yang terkena kelainan adalah kawasan satu dermatom dan satu miotom saja.Kelumpuhan Akibat Kerusakan pada Pleksus Brakialis

Radiks ventralis dan radiks dorsalis bergabung di foramen intervertebra, sehingga menjadi satu berkas, yang dikenal sebagai saraf spinal. Sesuai dengan foramen intervertebra yang dilaluinya, ia dinamakan n.spinalis servikalis, n.spinalis thorakalis, dan seterusnya. Di tingkat thorakal dan lumbal atas saraf spinal langsung berlanjut sebagai saraf perifer. Tetapi di tingkat intumesensia servikalis dan lumbosakralis saraf spinal menghubungi satu dengan lain melalui percabangan anastomosis masing-masing sehingga membentuk anyaman, yang dinamakan pleksus servikalis dan pleksus brachialis. Kemudian, anyaman serabut saraf di pleksus brakialis itu berlanjut ke kawasan bahu dan ketiak sebagai 3 berkas yang dikenal sebagai fasikulus dan merupakan induk saraf perifer bagi lengan. Maka kelumpuhan yang melanda lengan dapat dibedakan dalam kelumpuhan lengan akibat lesi di pleksus brakialis atau di fasikulus atau pun di saraf perifer.

Kelumpuhan akibat lesi di pleksus brakialis dapat disebabkan oleh lesi yang merusak secara menyeluruh atau setempat.

Pada sindrom pleksus brakialis akibat proses difus di seluruh pleksus brakialis terdapat kelumpuhan LMN dengan fibrilasi dan nyeri spontan, yang dapat bergandengan dengan parestesia. Walaupun terdapat manifestasi yang menyeluruh pada lengan dan bahu, pada umumnya gejala-gejala abnormal yang berat terdapat di kawasan motorik dan sensorik C-5 dan C-6 saja. Kelumpuhan akibat lesi di pleksus lumbosakralis

Kelumpuhan akibat lesi di fasikulus

Kelumpuhan akibat lesi di saraf perifer