naskah publikasi
DESCRIPTION
sdfTRANSCRIPT
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Timur Tengah adalah wilayah yang tidak pernah lepas dari adanya konflik
yang senantiasa mewarnai dinamika di kawasan tersebut. Berbagai macam konflik
senantiasa terjadi sejak zaman sebelum masehi hingga saat ini. Salah satu konflik
yang hingga saat ini terus terjadi ialah konflik antara Israel dan Palestina. Konflik
tersebut secara historis dilandasi oleh pengesahan deklarasi Balfour pada 1917.
Deklarasi tersebut secara umum berisi tentang yang penyetujuan pembentukan
sebuah Negara Yahudi di Palestina oleh Arthur James Balfour, yang pada saat itu
menjabat sebagai menteri luar negeri Inggris. Implementasi deklarasi tersebut
akhirnya terealisasi pada 1948, dimana Israel secara resmi menyatakan
kemerdekaannya.
Konflik antara Israel, negara-negara Arab dan Palestina pada mulanya
diawali oleh adanya deklarasi kemerdekaan Israel pada 1948, yang kemudian
direspon negara-negara Arab dengan serangannya ke Israel. Perseteruan negara-
negara Arab dengan Israel masih terus berlanjut dengan adanya perang pada 1967.
Dimana pada perang tersebut pihak Israel selalu berhasil memukul negara-negara
Arab. Kegagalan negara-negara Arab pada perang 1967 kemudian menyebabkan
tumbuhnya gerakan kemerdekaan Palestina oleh Organisasi Pembebasan Palestina
(PLO). Pada akhir 1960-an dan awal 1970-an, beberapa kelompok militer
Palestina melancarkan berbagai gelombang serangan terhadap warga-warga Israel
1
di seluruh dunia. Sejak itulah konflik antara Israel dan Palestina semakin
meruncing. Hingga saat ini konflik antara Israel dan Palestina belum juga
menemukan resolusi yang pas bagi kedua belah pihak.
Terhambatnya perdamaian antara Israel dan Palestina berkaitan erat
dengan faktor pemimpin di masing-masing pihak, termasuk juga di pihak Israel.
Pemimpin yang juga bertugas sebagai pengambil kebijakan mempunyai peranan
penting dalam menentukan arah politik luar negeri negara yang dipimpinnya.
Dalam artian politik luar negeri atau tindakan suatu negara terhadap negara lain
merupakan gambaran dari visi pemimpinnya.
Di Israel faktor individu terpilih yang berhasil mengisi kursi posisi
Perdana Menteri merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi arah politik
luar negeri negara tersebut, khususnya politik luar negeri terhadap Palestina.
Setidaknya hal tersebut dapat terlihat dalam rezim lima Perdana Menteri terakhir.
Dimana terjadi fluktuasi politik luar negeri pada masing-masing rezim Perdana
Menteri sejak pertengahan decade silam.
Dimulai pada tahun 1996, ketika Benjamin Netanyahu terpilih sebagai
Perdana Menteri di bawah dukungan partai Likud, politik luar negeri terhadap
Palestina dapat dikatakan merupakan politik aneksasi atau politik perluasan
wilayah. Tiga tahun kemudian, Ehud Barak berhasil memenangi pemilihan umum,
mengalahkan calon incumbent Benjamin Netanyahu. Dibawah kepemimpinan
Ehud Barak yang berangkat dari partai Buruh, sebenarnya terdapat harapan akan
terciptanya proses perdamaian kembali dengan Palestina, setelah sebelumnya
sempat tersendat selama tiga tahun pada masa kepemimpinan Benjamin
2
Netanyahu. Hanya saja krisis politik internal begitu mendominasi pada masa
kepemimpinannya. Sehingga upaya penciptaan perdamaian dengan Palestina yang
telah direncanakan sebelumnya seringkali terganggu oleh friksi-friksi internal
dalam parlemen (Knesset) yang dipimpinnya.
Hanya dua tahun berselang, atau lebih tepatnya pada tahun 2001, kursi
Perdana Menteri kembali jatuh dalam genggaman partai Likud. Kali ini Ariel
Sharon berhasil menduduki kursi tersebut menggantikan Ehud Barak. Dibawah
kepemimpinan Sharon, politik luar negeri Israel terhadap Palestina dapat
dikatakan merupakan politik luar negeri kekerasan. Dalam artian politik luar
negeri Israel terhadap Palestina pada masa itu cenderung menggunakan kekerasan,
dengan dalih sebagai bentuk eksistensi Israel.1
Tahun 2005, parlemen (Knesset) Israel kembali mengadakan pemilihan
umum. Pada Pemilihan Umum ini, Ariel Sharon berhasil untuk menduduki posisi
Perdana Menteri. Hanya saja kemenangan Sharon pada 2005 berbeda dengan
sebelumnya, karena pada pemilihan umum tersebut ia disokong oleh partai
Kadima, yaitu partai baru hasil bentukan Ariel Sharon dan beberapa politisi
lainnya yang membelot dari partai Likud. Pasca “pembelotan” Sharon tersebut,
politik luar negeri Israel, khususnya terhadap Palestina, menjadi berbeda dari
sebelumnya. Fakta tersebut memperlihatkan bagaimana peralihan pemikiran
seorang pemimpin negara mempengaruhi politik luar negeri negara tersebut.
Masa kepemimpinan Ariel Sharon berakhir pada bulan April 2006 ketika
ia tidak lagi dapat aktif karena kondisi kesehatannya yang semakin memburuk.
Pada saat itu pula Ehud Olmert langsung ditunjuk sebagai Perdana Menteri. 1 Ibid, hal. 167
3
Dibawah rezim Ehud Olmert, yang juga berasal dari partai Kadima, politik luar
negeri Israel terhadap Palestina lebih berorientasi pada keamanan nasional. Ini
terlihat dari kebijakannya dalam melakukan balasan terhadap serangan-serangan
roket pejuang Palestina sepanjang akhir 2008.2 Kepemimpinan Ehud Olmert
akhirnya selesai pada awal tahun 2009. Perdana Menteri pengganti Ariel Sharon
tersebut digantikan oleh Benjamin Netanyahu dari partai Likud.
Terpilihnya kembali Benjamin Netanyahu sebagai Perdana Menteri secara
langsung berpengaruh terhadap politik luar negeri Israel di Palestina. Seperti pada
masa kepemimpinannya yang pertama, politik luar negeri Israel pada saat ini
adalah politik aneksasi atau upaya perluasan wilayah Israel terhadap Palestina.
Setidaknya hal tersebut terlihat dari kebijakan pembangunan pemukiman Yahudi
di Jerusalem Timur sepanjang tahun 2010. Fenomena ini memperlihatkan bahwa
terjadi peningkatan agresifitas politik luar negeri Israel terhadap Palestina dalam
hal upaya aneksasi atau perluasan wilayah terhadap Palestina. Melihat fakta
tersebut menarik untuk diamati penyebab peningkatan agresifitas politik luar
negeri Israel di bawah rezim Benjamin Netanyahu.
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang diatas, penulis berupaya untuk menjelaskan
latar belakang yang mempengaruhi agresifitas politik luar negeri Israel pada masa
Benjamin Netanyahu dengan rumusan masalah sebagai berikut: “Mengapa politik
luar negeri Israel terhadap Palestina menjadi semakin agresif di bawah
kepemimpinan Benjamin Netanyahu pasca Pemilihan Umum Israel tahun 2009?”2 http:// news.bbc.co.uk./2/hi/middle_east/4135680.stm , diakses pada 1 Maret 2011
4
1.3 Tujuan Penelitian
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui faktor-faktor yang
menyebabkan terjadinya peningkatan agresifitas kebijakan luar negeri Israel
terhadap Palestina dibawah kepemimpinan Benjamin Netanyahu pasca
PEMILIHAN UMUM Israel tahun 2009, dimana rasionalitas pengambilan
kebijakan oleh Netanyahu merupakan aspek yang akan dijelaskan dalam tulisan
ini.
1.4 Manfaat Penelitian
Dalam penelitian ini terdapat dua manfaat, yaitu manfaat secara teoritis
dan manfaat secara praktis. Berikut penjelasan dari dua manfaat tersebut:
1.4.1 Manfaat Teoritis
Dengan adanya penelitian ini maka akan memperluas wacana dan kajian
dalam ilmu hubungan internasional yang terfokus pada pendekatan mikro yang
menunjukkan proses pembentukan persepsi dan rasionalitas pemimpin suatu
negara dalam pengambilan kebijakan politik luar negeri.
1.4.2 Manfaat Praktis
Penulis berharap dengan adanya penelitian ini akan dapat menambah
wawasan pembaca, baik mahasiswa maupun umum, dengan temuan-temuan yang
ada dalam penelitian ini sehingga dapat menjadi interpretasi tersendiri serta dapat
dilanjutkan dalam bentuk penelitian-penelitian lain yang sejenis.
5
1.5 Studi Terdahulu
Penulisan skripsi ini mengambil kajian pustaka dengan judul Strategi
Zionisme Ortodoks Dalam Politik Luar Negeri Israel Terhadap Palestina 3 ,
yang telah dilakukan oleh Mohamad Fadhila Arif Firmansyah sebagai studi
terdahulu yang berfungsi sebagai pembanding terhadap penelitian yang dibuat
oleh penulis. Kajian pustaka tersebut secara umum menyebutkan bahwa
Fenomena invasi Israel ke Palestina tidak terlepas dari hubungan dan dominasi
dari gerakan politik Zionis Yahudi.
Gerakan Zionis adalah gerakan nasional kaum Yahudi yang merupakan
suatu gerakan yang mendorong untuk berdiaspora kembali pada tanah Palestina,
sebagaimana yang telah dijelaskan oleh Theodore Herzl dalam bukunya yang
berjudul Der Judenstaat. Dalam buku tersebut Herzl juga menyerukan kepada
kaum Yahudi agar mereka bersatu untuk membentuk sebuah negara-bangsa
dengan Palestina sebagai tanah air atau wilayah kaum Yahudi dengan Yerusalaem
Timur (Al-Quds) sebagai Ibukota negaranya.
Seruan atau doktrin Theodore Herzl ini merupakan awal dari konflik Israel
dengan Palestina yang terus berlangsung hingga kini. Doktrin itu pula yang
menjadi landasan gerakan politik kaum Zionis Ortodoks untuk memasukkan
kepentingan politisnya dalam perumusan kebijakan dan politik luar negeri Israel
untuk menginvasi Palestina. Hasil penelitian tersebut mengungkap bahwa strategi
zionis ortodoks untuk dapat masuk pada politik pemerintahan Israel dengan cara
3 M. Fadhila Arif Firmansyah, 2011, Strategi Zionisme Ortodoks Dalam Politik Luar Negeri Israel Terhadap Palestina, Skripsi Universitas Muhammadiyah Malang.
6
mendominasi pada parlemen yaitu menggunakan partai Likud sebagai kendaraan
politik, sehingga dapat memegang kekuasaan tertinggi pada Perdana Menteri.
Kajian pustaka berikutnya dalam penulisan skripsi ini ialah skripsi dengan
judul Konflik HAMAS dengan FATAH: Keterlibatan Israel, 4 oleh Arissa
Fauziarachman. Kajian pustaka tersebut secara umum menyebutkan bahwa
sejak Hamas memenangkan pemilihan umum legislatif pada tanggal 25 Januari
2006 hingga pembentukan kabinet darurat Palestina oleh Presiden Mahmoud
Abbas dari unsur Fatah pada Juni 2007, ditemukan bukti bahwa ada dua motif
keterlibatan Israel dalam konflik.
Pertama, Israel menginginkan yang memimpin Palestina adalah pihak
yang loyal dan mau berkompromi dengannya. Terpilihnya Hamas meresahkan
Israel, karena pemikiran dan garis perjuangan Hamas dianggap mengancam
eksistensi dan kepentingannya. Sehingga, konflik antara Hamas dengan Fatah
ditujukan untuk menggulingkan Hamas dari peta perpolitikan Palestina dan
mendorong Fatah untuk kembali memerintah Palestina. Kedua, Israel menyadari
bahwa konflik Hamas dengan Fatah akan menghancurkan Palestina. Sehingga,
alasan keterlibatan Israel berikutnya adalah untuk melanggengkan konflik antara
Hamas dengan Fatah, yang akan mengganggu fokus kedua kubu berkuasa di
Palestina itu dari tujuan utama mereka untuk memperjuangkan nasib rakyat
Palestina dan menuntut wilayah kepada Israel.
4 Arrisa Fauziarrachman, 2009, HAMAS dan Fatah: Keterlibatan Israel. Skripsi Universitas Airlangga Surabaya, dalam http://adln.lib.unair.ac.id/go.php?id=gdlhub-gdl-s1-2009-fauziarachman 10585&PHPSESSID= f7cd4 3e8de 1c0e6d 9491e 41c775726 cb, diakses pada 9 Februari 2011.
7
Secara umum tulisan tersebut juga berkaitan langsung dengan kebijakan-
kebijakan luar negeri Israel di Palestina pada tahun tersebut, atau lebih tepatnya
pada masa kepemimpinan Perdana Menteri Ehud Olmert. Dimana pada tahun
tersebut Olmert menetapkan kebijakan tentang kesediaan kompromi untuk
perdamaian dengan Palestina, meskipun pada tahun-tahun kedepanya hal tersebut
sangat sulit direalisasikan, mengingat kemenangan pihak Hamas pada Pemilihan
Umum Palestina 2006, yang mana Hamas sendiri merupakan partai politik yang
secara keras menentang pendudukan Israel di Palestina.
Kedua kajian pustaka diatas secara umum menjelaskan mengenai upaya
Israel menguasai Palestina. Perbedaan keduanya terletak pada analisis data beserta
fokus kajian yang dilakukan oleh masing-masing penulis. Kajian pustaka pertama
menggambarkan tentang strategi gerakan Zionis dalam upayanya menduduki
wilayah Palestina, dengan jalan politik melalui penguasaan kursi pemerintahan di
Israel. Sedangkan kajian pustaka kedua menjelaskan tentang keterlibatan Israel
dalam konflik Hamas dan Fatah di Palestina sabagai upaya negara tersebut untuk
menguasai wilayah Palestina.
Sama halnya dengan kedua kajian pustaka diatas, penelitian yang
dilakukan oleh penulis juga membahas tentang upaya peguasaan Israel terhadap
Palestina. Hanya saja fokus kajian dalam penelitian ini lebih menekankan pada
penjelasan faktor yang menyebabkan agresifitas politik luar negeri Israel dalam
upayanya untuk menguasai wilayah Palestina.
1.6 Kerangka Pemikiran
1.6.1 Kerangka Konseptual
8
1.6.1.1 Konsep Politik Luar Negeri
Secara umum tidak ada satu pengertian tunggal dan tepat dalam
perumusan definisi politik luar negeri. Variatifnya definisi mengenai politik luar
negeri, membuat studi mengenai politik luar negeri menjadi kompleks, seperti
yang disampaikan oleh Rousenau dan Hermann.5 Seperti halnya Kissinger yang
memahami politik luar negeri sebagai perpanjangan politik domestic, para teoritisi
lain juga mempunyai pemikiran yang berbeda-beda dalam mendefinisikan konsep
politik luar negeri. Beberapa diantaranya seperti Lorenz dan Laswell6, yang
memakai pendekatan individu dalam mendefinisikan politik luar negeri. Menurut
Laswell, politik luar negeri adalah hasil dari upaya kepribadian aktor politik
dalam memproyeksikan dirinya pada suatu objek publik dan kemudian
merasionalisasikan tindakan itu dengan dalih kepentingan publik. Argumen
Laswell tersebut tentunya didasarkan atas pengamatan dan juga pengalaman
historisnya. Dengan demikian faktor individu merupakan salah satu pendekatan
yang dapat menjelaskan konsep politik luar negeri.
1.6.1.2 Konsep Agresifitas
Agresifitas adalah istilah umum yang dikaitkan dengan adanya perasaan
marah permusuhan atau tindakan melukai pihak lain baik dengan tindakan
kekerasan langsung maupun tidak langsung. Tindakan agresi merupakan tindakan
yang disengaja oleh pelaku untuk mencapai tujuan tertentu. Secara umum
5 Ibid6 Mohtar Mas’oed, 1991, Studi Hubungan Internasional: Tingkat Analisa dan Teorisasi, Jakarta: LP3ES, hal. 12
9
agresifitas dapat dilihat dari adanya indikasi berupa meningkatnya intensitas sikap
atau tindakan yang merugikan pihak lain guna mencapai tujuan tertentu. 7
Dalam penelitian ini indikator agresifitas politik luar negeri Israel terhadap
Palestina ialah adanya akselerasi serangan terhadap Hamas, meningkatnya
pembangunan pemukiman Yahudi di Jerusalem Timur, serta semakin ketatnya
politik isolasi yang diterapkan oleh Israel di jalur Gaza. Konsep agresifitas ini
merupakan konsep yang sesuai digunakan dalam penulisan skripsi ini. Hal
tersebut terlihat jelas dari meningkatnya upaya Netanyahu dalam melakukan
aneksasi terhadap wilayah Palestina pasca kepemimpinan Ariel Sharon dan Ehud
Olmert yang notabene pada masa itu politik luar negeri Israel sedikit melunak,
dengan ditandai adanya penandatanganan roadmap perdamaian oleh Ariel Sharon.
1.6.2 Kerangka Teoritis
1.6.2.1 Teori Persepsi
Kerangka dasar pemikiran yang diambil penulis menggunakan konsep
ataupun teori-teori yang berkaitan erat dengan judul yang dipilih oleh penulis.
Adapun kerangka dasar pemikiran yang digunakan oleh penulis dalam penelitian
ini lebih merujuk pada teori persepsi dalam pengambilan kebijakan yang
dinyatakan oleh Ole R. Holsti.
Mengenai hubungan antara citra, persepsi, dan perilaku internasional, Bruce
Russet dan Harvey Starr menjelaskannya sebagai berikut. Dalam proses
pembuatan keputusan politik luar negeri pada awalnya timbul suatu situasi atau
masalah. Sebelum situasi atau masalah itu muncul untuk ditanggapi oleh para
7http://digilib.unnes.ac.id/gsdl/collect/skripsi/archives/HASH01d1/0a617f0b.dir/doc.pdf , diakses pada 4 Mei 2011, pukul 22.10 WIB.
10
pembuat keputusan, ada tiga hal yang terjadi. Pertama, ada semacam stimulus dari
lingkungan. Kedua, tentu ada upaya untuk mempersepsi stimulus itu. Ini adalah
proses yang diterapkan oleh individu untuk menyeleksi, menata, dan menilai
informasi yang masuk tentang dunia sekitarnya. Ketiga, harus ada upaya
menafsirkan stimulus yang telah dipersepsi itu. Persepsi dan penafsiran itu sangat
tergantung pada citra yang ada dalam benak si pembuat keputusan.
Tahapan-tahapan yang telah dijelaskan oleh Russet dan Starr digambarkan
oleh Ole R. Holsti dalam sebuah diagram yang menggambarkan persepsi dan
hubungannya dengan citra dan sistem keyakinan. Menurut Ole R. Holsti, sistem
keyakinan terdiri dari serangkaian citra yang membentuk keseluruhan kerangka
acuan atau sudut pandang seseorang. Citra-citra itu meliputi realitas masa lalu,
masa kini, dan realitas yang diharapkan di masa depan, dan preferensi nilai
tentang apa yang seharusnya terjadi. Demikianlah teori persepsi ini telah
diuraikan melalui beberapa sudut pandang para pakar.8
Jika teori ini diaplikasikan terhadap politik luar negeri Israel di Palestina
pasca Pemilihan Umum Israel tahun 2009, pandangan Holsti tentang nilai dan
keyakinan tersebut ternyata dimiliki oleh Israel, yang terwakili oleh Perdana
Menteri Benjamin Netanyahu selaku pengambil kebijakan. Artinya nilai dan
sistem keyakinan yang dimiliki oleh Netanyahu yang diperoleh dari informasi
atau wawasan yang ia dapatkan sangat berpengaruh dalam pengambilan kebijakan
terkait politik luar negeri Israel di Palestina. Hal ini terlihat dari latar belakang
Benjamin Netanyahu yang merupakan pemimpin partai Likud, yang tentunya
8 Ibid, hal. 20-21
11
sangat memahami ideologi partai yang di pimpinnya tersebut, yaitu menolak
dengan tegas berdirinya negara Palestina.
Latar belakang pengambilan kebijakan luar negeri Israel terhadap
Palestina oleh Netanyahu menurut teori persepsi dipengaruhi oleh nilai dan
keyakinannya yang bersumber dari informasi dan pengetahuan yang diterimanya,
kemudian membentuk konstruksi berpikir Netanyahu. Konstruksi berpikir
Netanyahu tersebut kemudian mempengaruhi sistem keyakinan yang secara
relative memunculkan kecenderungan pandangannya dalam mengambil kebijakan
terhadap Palestina.
1.7 Metode Penelitian
1.7.1 Ruang Lingkup Penelitian
Dalam penelitian ini diperlukan adanya ruang lingkup penelitian,
tujuannya adalah agar pembahasan masalah berkembang ke arah sasaran yang
tepat dan tidak keluar dari kerangka permasalahan yang ditentukan. Ruang
lingkup atau batasan dalam penelitian ini meliputi batasan materi dan batasan
waktu. Batasan materi dari penelitian ini adalah kebijakan luar negeri Israel di
Palestina pasca Pemilihan Umum Israel tahun 2009. Adapun batasan waktu
dalam penelitian ini mencakup tahun 2009, khususnya pasca Pemilu Israel
hingga 2010.
1.7.2 Jenis Penelitian
Jenis penelitian yang digunakan penulis dalam tulisan ini adalah penelitian
eksplanatori atau eksplanasi, dengan menggunakan metode penelitian kualitatif.
12
Penelitian eksplanasi bertujuan untuk menjelaskan hubungan antara dua gejala
variable. Penelitian ini bertitik tolak pada pertanyaan dasar “mengapa”. Melalui
penelitian eksplanasi akan dapat diketahui bagaimana korelasi antara dua atau
lebih variable baik pola, arah, sifat, bentuk, maupun kekuatan hubungannya.
Dalam penelitian eksplanasi terdapat beberapa tipe penjelasan yang
dipergunakan unuk menjawab pertanyaan dasar dalam penelitian. Tipe penjelasan
tersebut meliputi Causal Eksplanation, Structural Eksplanation, dan Intrepetive
Explanation. Adapun tipe penjelasan penelitian eksplanasi dalam penelitian ini
adalah Causal Eksplanation, yang merupakan penjelasan tentang apa penyebab
dari beberapa peristiwa atau fenomena. Penjelasan kausal merupakan tipe yang
sangat umum dari penjelasan yang digunakan jika hubungan adalah satu tentang
sebab akibat.9
1.7.3 Variabel Penelitian dan Tingkat Analisa
Dalam studi Hubungan Internasional, tingkat analisa diperlukan untuk
menjelaskan fenomena internasional yang hendak diteliti. Russet dan Starr
membagi tingkat analisa menjadi enam tingkat yang meliputi individu dan sifat
kepribadiannya, peranan yang dijalankan pembuat keputusan, struktur pemerintah,
masyarakat tempat mereka tinggal, jaringan hubungan antar pembuat keputusan,
dan sistem internasional. Sedangkan menurut John Spainer, terdapat tiga tingkatan
analisa dalam studi Hubungan Internasional, yang meliputi tingkat individu,
negara bangsa, dan sistem internasional.10
9 Ulber Silalahi, 2009, Metode Penelitian Sosial. Bandung: Refika Aditama, hal. 2610 Mas’oed, Mohtar, 1990, Ilmu Hubungan Internasional: Disiplin dan Metodologi, Jakarta: LP3ES
13
Mohtar Mas’oed membagi tingkat analisa kedalam lima tingkat yang
meliputi individu, kelompok individu, Negara-bangsa, kelompok Negara dalam
suatu regional, dan sistem internasional.11 Tingkat analisa dapat diidentifikasi
melalui beberapa variable. Variabel tersebut meliputi unit analisa atau variable
dependen, yaitu variable yang hendak dijelaskan, serta unit eksplanasi atau
variable independen, yaitu variable yang hendak diamati.
Judul penelitian ini adalah Peningkatan Agresifitas Politik Luar Negeri
Israel Terhadap Palestina Dalam Periode Pemerintahan Benjamin Netanyahu
Tahun 2009-2010. Dari judul tersebut kita dapat mengidentifikasi variabel-
variabel dalam ilmu hubungan internasional.12 Penelitian ini memiliki dua variable
yaitu politik luar negeri Israel ke Palestina sebagai unit eksplanasinya atau
variabel independenya atau variable yang digunakan untuk menjelaskan variable
analisa. Sedangkan peningkatan agresifitas kebijakan luar negeri Israel di
Palestina pada masa Benjamin Netanyahu sebagai unit analisanya atau variable
dependen dalam penelitian ini. Dimana penyebab agresifitas kebijakan luar negeri
Israel di Palestina pasca Pemilu Israel tahun 2009 akan dijelaskan oleh penulis.
Dilihat dari pembagian diatas, maka dapat diketahui bahwa level analisa
dalam skripsi ini adalah induksionis, dimana unit eksplanasinya lebih tinggi dari
unit analisanya yaitu pengaruh individu yang terwakili dalam sosok Benjamin
Netanyahu sebagai kepala negara yang mempengaruhi politik luar negeri negara
Israel terhadap Palestina. Dalam hal ini variable independen atau unit eksplanasi
mempengaruhi variabel dependen atau unit analisa.
11 Ibid12 Ibid
14
1.7.4 Metode Pengumpulan Data
Untuk mendapatkan data-data yang dibutuhkan, penulis menggunakan
metode pengumpulan data yang bersifat studi pustaka untuk lebih mengakuratkan
penelitian dari sisi keilmuan. Metode ini dilaksanakan dengan cara mencari data-
data yang berkaitan dengan topic permasalahan yang diangkat melalui penelitian
terhadap buku, tulisan, artikel, yang mana lokasi penelitian selain perpustakaan
pusat UMM dan laboratorium Hubungan Internasional, disamping itu tentunya
media cetak dan elektronik juga akan dijadikan sebagai sumber data guna
melengkapi kebutuhan bahan tulisan ini.
1.7.5 Metode Analisa Data
Untuk memaparkan dan menjelaskan secara mendalam mengapa terjadi
peningkatan agresifitas kebijakan luar negeri Israel terhadap Palestina dibawah
kepemimpinan Benjamin Netanyahu pasca Pemilu 2009, penulis akan
menggunakan metode argumentative. Dimana dalam metode argumentative ini
penulis terlebih dahulu melihat persoalan, kemudian melakukan analisa terhadap
kondisi-kondisi yang dinilai tidak normal atau mempunyai kekhususan
dibandingkan yang lainnya dalam persoalan internasional.
1.8 Hipotesis
Peningkatan agresifitas politik luar negeri Israel terhadap Palestina
ditandai dengan meningkatnya upaya aneksasi wilayah Palestina, seperti
pembangunan pemukiman Yahudi di Tepi Barat. Peningkatan tersebut
dipengaruhi oleh nilai, keyakinan, dan pengetahuan yang mempengaruhi persepsi
15
dan pemikiran Benjamin Netanyahu yang terlihat dalam agresifitas politik luar
negeri Israel terhadap Palestina pada tahun 2009-2010.
Benjamin Netanyahu merupakan pemimpin partai Likud yang berhasil
menduduki kembali posisi Perdana Menteri pasca keberhasilannya dalam
pemilihan umum 2009. Partai Likud sendiri merupakan kekuatan politik kanan-
tengah di Israel yang mempunyai sikap keras terhadap Palestina, termasuk
menolak dengan tegas berdirinya negara Palestina. Ideologi yang terkandung
dalam partai tersebut adalah ideologi “rasisme” yang bersumber pada kitab
Talmud, yaitu kitab suci yang digunakan sebagai pedoman golongan Yahudi
Ortodoks. Dalam salah satu ajarannya, kitab tersebut memaparkan tentang
dibolehkannya orang-orang Yahudi untuk mengambil hak orang-orang non-
Yahudi.13 Ajaran-ajaran yang terkandung dalam kitab Talmud selanjutnya
dipergunakan sebagai landasan dasar ideologi partai Likud.
Sebagai pimpinan partai Likud yang telah berkuasa selama bertahun-
tahun, Netanyahu tentu sangat memahami ideologi partai yang dipimpinnya
tersebut. Hal itulah yang kemudian mendasari pembentukan sistem keyakinan
Benjamin Netanyahu. Berdasarkan pemahaman tersebut, peningkatan agresifitas
politik Israel terhadap Palestina dapat dijelaskan melalui beberapa faktor yaitu,
Pertama, Adanya keyakinan Netanyahu tentang tanah yang dijanjikan (The
Promise Land), sesuai dengan doktrin Theodore Herzl, yang kemudian
membentuk nilai atau keinginan dari Netanyahu untuk menduduki Palestina.
13 K.H. Toto Tasmara, 2010, Yahudi: Mengapa Mereka Berprestasi, Jakarta: Sinergi Publishing, hal. 182
16
Kedua, adanya fakta sejarah tentang riwayat pernah ditempatinya tanah
Palestina oleh kaum Yahudi. Hal tersebut berlanjut dengan upaya pendudukan
kembali wilayah Palestina oleh kaum Yahudi, yang berujung pada adanya konflik
Israel-Palestina yang tidak kunjung usai. Fakta tersebut kemudian mempengaruhi
pembentukan perspektif Netanyahu yang memandang bahwa konflik tersebut
merupakan ancaman bagi Israel. Kombinasi antara nilai atau keinginan dan fakta
yang membentuk perspektif Netanyahu menjadi acuan dalam pengambilan
kebijakan luar negeri Israel terhadap Palestina. Dengan demikian peningkatan
politik luar negeri Israel terhadap Palestina dipengaruhi oleh persepsi dan sistem
keyakinan Benjamin Netanyahu.
1.9 Struktur Penulisan
Penelitian ini akan dijabarkan dalam beberapa bab. Pembagian bab
disesuaikan dengan urutan kerangka pemikiran yang membentuk keseluruhan dari
penelitian ini. Secara sederhana format kajian atau sistematika penulisan dalam
penelitian ini dijabarkan secara urut dari bab pertama hingga bab terakhir.
Bab satu merupakan bab pendahuluan yang terdiri dari Latar Belakang
Masalah, Rumusan permasalahan, Kajian Pustaka, Kerangka Teoritis, Metode
Penelitian, Hipotesa, dan Struktur Penulisan. Selanjutnya bab dua akan
menjelaskan tentang sejarah aneksasi dan fluktuasi politik luar negeri negara
Israel yang meliputi sejarah aneksasi beserta fluktuasi politik luar negeri Israel.
Adapun bab ketiga akan menjelaskan penyebab peningkatan agresifitas kebijakan
luar negeri Israel di Palestina dalam periode kepemimpinan Benjamin Netanyahu
17
tahun 2009-2010. Dan bab terakhir akan memberikan kesimpulan dan rangkuman
dari argumen yang dikemukakan dalam bab-bab sebelumnya.
18
BAB II
SEJARAH ANEKSASI DAN FLUKTUASI POLITIK LUAR NEGERI
ISRAEL TERHADAP PALESTINA
2.1 Sejarah Israel
Negara Israel adalah sebuah negara kecil di pinggiran timur Laut Tengah.
Secara geografis, negara yang terletak di bagian barat daya Asia tersebut,
dikelilingi oleh sejumlah negara Arab. Di sebelah utara ada Lebanon, di timur ada
Yordania dan Suriah, dan di barat daya ada Mesir. Selain itu, negara yang
berbahasa utama Arab dan Ibrani tersebut juga dikelilingi oleh dua wilayah
otoritas Palestina, yaitu Jalur Gaza dan Tepi Barat.14 Sedangkan secara
demografis, menurut data yang tercantum dalam ensiklopedi Negara dan Bangsa
Asia, Israel terdiri dari 83 persen bangsa Yahudi, dan selebihnya adalah bangsa
Arab dan Palestina yang telah lama mendiami wilayah tersebut. Dilihat dari
sejarahnya, bangsa Yahudi yang saat ini merupakan mayoritas di Israel, berasal
dari lebih dari 70 negara.15 Hal tersebut disebabkan oleh adanya migrasi besar-
besaran bangsa Yahudi yang terjadi pada akhir abad ke-19 hingga awal abad ke-
20, sebagai akibat dari adanya Doktrin Herzl tentang adanya tanah yang dijanjikan
(The Promise Land).16
14 Riza Sihbudi, 2007, Menyandera Timur Tengah: Ketidakbijakan AS dan Israel atas Negara-Negara Muslim, Jakarta: Mizan, hal. 425, Lihat juga Inu Kencana, 2005, Perbandingan Sistem Pemerintahan, Bandung:Refika Aditama.15 Lihat Ensiklopedia Umum, 2002, Negara dan Bangsa: Asia, Jilid, Jakarta: PT. Ikrar Mandiriabadi, hal. 916 Migrasi bangsa Yahudi yang telah terdiaspora ke Tanah Palestina, terjadi dalam empat tahap. Tahap pertama terjadi pada tahun 1882-1924. Pada masa ini jumlah imigran belum terlalu banyak, akan tetapi secara politis sangat berperan besar dalam perluasan wilayah yang
19
2.2 Sistem Politik dan Pemerintahan Israel
Israel merupakan negara republik yang menganut sistem demokrasi
parlementer yang meliputi kekuasaan legislative, eksekutif, dan yudikatif. Ketiga
kekuasaan ini saling dipisahkan dan bekerja saling mengawasi (check and
balance). Kekuasaan eksekutif dipegang oleh pemerintah yang bertanggung jawab
kepada kekuasaan legislative (Knesset). Kekuasaan yudikatif adalah independen.
Sementara itu presiden adalah kepala negara dan symbol pemersatu negara
Israel.17
Presiden dipilh oleh Knesset untuk masa jabatan lima tahun. Walaupun
kekuasaannya terbatas, kedudukan Presiden mempunyai prestise yang tinggi.
Presiden bisa menunjuk anggota Knesset untuk membuat pemerintah baru
menyusul adanya pemilihan umum atau ia dapat membubarkan pemerintahan
yang sedang berjalan. Secara umum jabatan presiden dalam pemerintahan Israel
hanyalah jabatan seremonial.
2.3 Politik Luar Negeri Israel
Secara umum politik luar negeri merupakan kebijakan yang diambil oleh
pemerintah suatu negara atau komunitas politik lainnnya dalam hubungan
dengan negara dan actor bukan negara di dunia internasional. Politik luar negeri
kelak akan menjadi negara Israel. Tahap kedua ialah tahun 1925-1948. Sedangkan tahap ketiga berlangsung pada 1948-1954. Pada periode tersebut, imigran yang datang banyak berasal dari wilayah Asia dan Afrika. Tahap keempat berlangsung tahun 1954 hingga sekarang. Pada periode ini, para imigran diseleksi untuk mengurangi jumlah buruh yang tidak produktif. Baca Inu Kencana, 2005, Perbandingan Sistem Pemerintahan, Bandung:Refika Aditama. Lihat juga Riza Sihbudi, 2007, Menyandera Timur Tengah: Ketidakbijakan AS dan Israel atas Negara-Negara Muslim. Jakarta: Mizan, hal. 42517 Ibid, hal. 157
20
menjembatani batas wilayah dalam negeri dan lingkungan internasional.18 Wujud
dari politik luar negeri bisa berupa hubungan diplomatic,pengeluaran doktrin,
pembuatan aliansi, pencanangan tujuan jangka panjang maupun jangka pendek.19
Naomi Chazan menggambarkan politik luar negeri Israel sebagai:
“ ...directly reflects shifting ideological concerns, perceptions, and priorities. Zionist ideology is the linchpin of the definition of israeli national objectives and the fundamental prism of israel's interaction in the global arena.”20
Mengacu pada definisi diatas, secara umum politik luar negeri Israel
dijalankan berdasarkan kepentingan dalam negerinya. Maka, segala kebijakan
luar negerinya sedapat mungkin diharapkan mampu memberikan manfaat yang
besar bagi kehidupan dalam negeri. Hal tersebut mengacu pada sejarah
berdirinya negara Israel yang merasa keamanan dalam negerinya merupakan salah
satu fungsi diplomatic internasionalnya.21
2.3.1 Politik Luar Negeri Israel Terhadap Palestina
Seperti yang dijelaskan sebelumnya bahwa politik luar negeri Israel
merupakan perpanjangan tangan dari poltik domestik yang didasarkan atas
kebutuhan dalam negerinya. Dalam hal ini sikap Israel terhadap negara-negara
18 Abubakar Eby Hara, 2011, Pengantar Analisis Politik Luar Negeri: Dari Realisme Sampai Konstruktivisme, Bandung: Nuansa, hal. 13
19 K.J. Holsti, 1983, International Politics: a Framework for Analysis. (4th. Ed. Ed). London: Prentice Hall, p.97 dalam Ibid. Seperti halnya Holsti, definisi yang luas mengenai politik luar negeri juga diberikan oleh Christoper Hill yang mengatakan politik luar negeri sebagai jumlah hubungan luar resmi yang dilakukan oleh actor independen (biasanya negara) dalam hubungan internasional. Lihat Christoper Hill. 2003. The Changing Politics of Foreign Policy. Basingstoke: Palgrave MacMillan, p.3 dalam Ibid.
20 Naomi Chazan, Judith Kipper, and Harold H. Saunders (ed), 1991, The Middle East in Global Perspective, Colorado: United State of America by Westview Press, hal. 10421 Inu Kencana, 2005, Perbandingan Sistem Pemerintahan, Bandung:Refika Aditama, hal. 165
21
lain, termasuk Palestina merupakan sikap yang didasarkan atas kebutuhan atau
politik dalam negeri. Politik luar negeri Israel terhadap Palestina secara umum
dapat dikatakan bertujuan akhir untuk menganeksasi wilayah Palestina. Hal ini
terlihat jelas dari berbagai upaya aneksasi yang terus dilakukan oleh Israel.
Aneksasi merupakan suatu hal yang menjadi tujuan bersama kaum
Yahudi di Israel. Hanya saja, cara yang dipakai untuk mencapai tujuan tersebut
berbeda-beda, tergantung rezim yang berkuasa di Negara Yahudi tersebut. Dalam
hal ini individu yang menduduki kursi Perdana Menteri sangat menentukan Politik
Luar Negeri Israel terhadap Palestina.
2.3.1.1 Sejarah Aneksasi Tanah Palestina oleh Israel
Upaya aneksasi wilayah Palestina telah dilakukan oleh kaum Yahudi
Zionis jauh sebelum berdirinya negara Israel. Aneksasi tanah Palestina tersebut
bertujuan untuk menguasai secara penuh wilayah Palestina, yang mana hal itu
dilandasi oleh ideologi Zionisme yang menjadi keyakinan bangsa Yahudi Zionis,
dan membentuk persepsi para pemimpin Israel selanjutnya. Dilihat dari sisi
historis terdapat empat tahapan yang menunjukkan upaya aneksasi terhadap tanah
Palestina.
Tahapan pertama aneksasi wilayah Palestina berjalan pada awal terjadinya
imigrasi bangsa Yahudi ke tanah Palestina pada awal abad ke-20, yang merupakan
akibat dari adanya doktrin Herzl melalui buku Der Judenstaat. Pada masa itu
aneksasi terhadap wilayah Palestina dilakukan oleh orang-orang Yahudi Zionis
dengan cara membeli sebagian tanah yang dimiliki oleh warga Arab-Palestina.22
Tahapan kedua proses aneksasi wilayah Palestina terjadi dalam selang waktu 22 Z.A. Maulani, 2002, Zionisme: Gerakan Menaklukkan Dunia, Jakarta:Daseta, hal. 15
22
setahun pasca perang dunia kedua atau pada tahun 1946-1947. Dalam kurun
waktu tersebut terjadi imigrasi besar-besaran kaum Yahudi ke tanah Palestina
pasca berakhirnya perang dunia kedua.
Kemenangan Israel pada perang Arab-Israel pada 1948 merupakan awal
dari tahapan ketiga proses aneksasi tanah Palestina oleh kaum Yahudi Zionis yang
telah terlembagakan dalam bentuk negara Israel. Hasil dari perang petama Arab-
Israel tersebut ialah berhasil dikuasainya 77 persen wilayah Palestina. Tahap
keempat dari proses aneksasi tanah Palestina oleh Israel terjadi setelah tahun
1967. Pasca kemenangan Israel pada 1967, berbagai upaya terus dlakukan oleh
Israel untuk memperluas penguasaannya atas wilayah Palestina.
2.3.1.2 Fluktuasi Politik Luar Negeri Israel Terhadap Palestina
Politik luar negeri Israel terhadap Palestina senantiasa mengalami
fluktuasi. Salah satu factor naik turunnya politik luar negeri Israel terhadap
Palestina ialah rezim yang berkuasa di Israel. Faktor terpilihnya individu yang
memenangi posisi Perdana Menteri dalam pemilihan umum, sangat berpengaruh
terhadap politik luar negeri yang diterapkan terhadap Palestina. Palestina sendiri
secara resmi dideklarasikan pada tahun 1988 pada pertemuan Dewan Nasional
Palestina di Aljazair, setelah sebelumnya dirintis oleh PLO.23 Dalam pembahasan
berikut akan dijelaskan gambaran umum politik luar negeri Israel terhadap
Palestina dalam periode kepemimpinan Perdana Menteri Israel sejak tahun 1988
hingga periode kedua kepemimpinan Benjamin Netanyahu, yang menunjukkan
adanya fluktuasi politik luar negeri Israel terhadap Palestina.
23 Reza Sihbudi, Op Cit, hal. 460
23
Dimulai pada tahun 1988, ketika kursi Perdana Menteri Israel diduduki
oleh Yitzhak Shamir, politik luar negeri Israel terhadap Palestina diwarnai oleh
adanya pengusulan negosiasi dengan Palestina yang berujung pada jatuhnya
pemerintahan Yitzhak Shamir.24 Pada periode selanjutnya, Israel dibawah
kepemimpinan Yitzhak Rabin menyetujui penandatanganan Perjanjian Oslo I dan
II, yang berakibat pada terbunuhnya Yitzhak Rabin pada 1995.
Tahun 1996, yaitu masa kepemimpinan pertama Benjamin Netanyahu,
pada awal pemerintahannya Perdana Menteri yang memenangi pemilihan umum
dibawah dukungan partai Likud tersebut mengeluarkan kebijakan berupa
penempatan warga Yahudi di Hebron sebagai upaya aneksasi terhadap wilayah
tersebut. Menjelang akhir pemerintahannya, Netanyahu sempat menandatangani
perjanjian Wye River. Penandatanganan perjanjian tersebut melalui proses yang
cukup alot,mengingat Netanyahu sempat melakukan penolakan, sebelum didesak
oleh dunia internasional. Penandatanganan perjajian Wye River juga menandai
adanya upaya perdamaian dengan Palestina. Kebijakan tersebut secara tidak
langsung membuat Netanyahu gagal terplih kembali pada pemilihan umum yang
diselenggarakan oeh parlemen (Knesset) pada 2001, yang berhasil dimenangkan
oleh Ehud Barak.25
Pada masa pemerintahan Ehud Barak, yang berasal dari partai buruh,
sebenarnya terdapat harapan akan terciptanya proses perdamaian kembali dengan
Palestina. Hal tersebut ditandai dengan adanya penandatanganan perjanjian Camp
24 Riza Sihbudi, 2007, Menyandera Timur Tengah: Ketidakbijakan AS dan Israel atas Negara-Negara Muslim, Jakarta: Mizan, hal. 46025 Musthafa Abd. Rahman, 2002, Dilema Israel: Antara Krisis Politik dan Perdamaian,
Jakarta: Kompas, hal. 170
24
David pada tahun 2000. Hanya saja tindak lanjut dari perjanjian tersebut tidak
menemui titik terang. Hal tersebut disebabkan oleh ketidaktiadaan kesepakatan
antara Ehud Barak dan Yasser Arafat sebagai pemimpin Palestina.26
Ehud Barak selanjutnya digantikan oleh Ariel Sharon pada 2001. Pada
masa awal kepemimpinannya, Ariel Sharon mengeluarkan kebijakan berupa
instruksi untuk melakukan penyerangan terhadap warga sipil Palestina. Akan
tetapi pada tahun 2004, Perdana Menteri yang naik dengan sokongan partai Likud
tersebut mengeluarkan kebijakan berupa penyerahan 21 wilayah Israel di Gaza
terhadap Palestina.27 Kebijakan tersebut sekali lagi menandai adanya upaya
perdamaian dengan Palestina oleh Israel dan sekaligus menandai akhir dari
kebersamaan Ariel Sharon dengan Partai Likud, dimana Sharon kemudian
mendirikan partai baru bernama parta Kadima.
Bersama partai Kadima, Ariel Sharon berhasil menduduki kembali posisi
Perdana Menteri pada pemilihan umum yang diselenggarakan oleh parlemen
(Knesset) pada tahun 2005. Hanya saja, Sharon tidak sempat menyelesaikan masa
jabatannya, hingga pada tahun 2006 ia digantikan oleh Ehud Olmert. Masa
kepemimpinan Ehud Olmert diwarnai oleh penyerangan terhadap jalur Gaza pada
akhir 2008. Tahun 2009, parlemen Israel kembali mengadakan pemilihan umum
yang berhasil menempatkan kembali Benjamin Netanyahu sebagai Perdana
Menteri. Dibawah rezim Netanyahu, kebijakan luar negeri Israel terhadap
Palestina menjadi semakin agresif. Hal tersebut terlihat dari berlangsungnya
26 Ibid, hal. 17727 http:// news.bbc.co.uk./2/hi/middle_east/4135680.stm , diakses pada 1 Maret 2011
25
pembangunan pemukiman Yahudi di Jerusalem Timur yang menandai keinginan
Israel untuk melakukan aneksasi terhadap wilayah Palestina.
Berbagai fakta diatas menunjukkan gambaran umum politik luar negeri
Israel terhadap Palestina. Sesuai dengan definisi politik luar negeri Israel menurut
Naomi Chazan yang menyebut politik luar negeri Israel sebagai cerminan
ideologi, persepsi, dan prioritas,28 maka terlihat jelas bagaimana masing-masing
rezim menjalankan politik luar negeri Israel terhadap palestina, yang tentunya
berbeda satu dengan yang lainnya. Perbedaan persepsi dan prioritas pada
masing-masing rezim tersebut secara langsung berpengaruh terhadap fluktuasi
politik luar negeri Israel terhadap Palestina. Pemaparan mengenai fluktuasi
politik luar negeri Israel terhadap Palestina, seperti yang tercantum diatas,
tentunya akan memberikan gambaran yang jelas tentang bagaimana perubahan
persepsi perdana menteri Israel berpengaruh terhadap politik luar negeri Israel
terhadap Palestina.
BAB III
FAKTOR PENINGKATAN AGRESIFITAS POLITIK LUAR NEGERI
ISRAEL TERHADAP PALESTINA PADA MASA BENJAMIN
NETANYAHU
28 Naomi Chazan, Judith Kipper, and Harold H. Saunders (ed), 1991, The Middle East in Global Perspective, Colorado: United State of America by Westview Press, hal. 104
26
Dalam bab ini, peneliti akan menjelaskan tentang faktor-faktor yang
mempengaruhi peningkatan agresifitas politik luar negeri Israel terhadap Palestina
tahun 2009-2010. Faktor-faktor tersebut meliputi persepsi Benjamin Netanyahu
terhadap Palestina, dimana penilaian tersebut dipengaruhi oleh sistem keyakinan
dan fakta subjektif.
Pengaruh dari persepsi Benjamin Netanyahu terlihat dari adanya
kebijakan-kebijakan luar negeri Israel terhadap Palestina yang menunjukkan
adanya peningkatan agresifitas politik luar negeri Israel terhadap Palestina pada
tahun 2009-2010. Oleh sebab itu, sistematika analisis pada bab ini akan
didahulukan dengan pemaparan peningkatan agresifitas politik luar negeri Israel
pada masa Benjamin Netanyahu terhadap Palestina. Berikutnya penjelasan akan
dilanjutkan dengan analisis faktor-faktor yang mempengaruhi peningkatan
agresifitas politik luar negeri Isrtael terhadap Palestina pada masa Benjamin
Netanyahu.
3.1 Agresifitas Politik Luar Negeri Israel Terhadap Palestina Masa
Pemerintahan Benjamin Netanyahu
Terpilihnya kembali Benjamin Netanyahu sebagai Perdana Menteri, secara
langsung telah mempengaruhi politik luar negeri Israel terhadap Palestina. Jika
kita melihat kepemimpinan Benjamin Netanyahu, baik pada kepemimpinan
pertama hasil Pemilihan Umum tahun 1996 maupun kepemipinan kedua hasil
27
Pemilu pada tahun 2009, menurut penulis tidak terdapat adanya perubahan sikap
Benjamin Netanyahu dalam memandang Palestina, seperti tercermin dalam politik
luar negeri maupun perilaku Israel terhadap Palestina semasa rezim
kepemimpinan Netanyahu. Baik pada kepemimpinan pertama maupun
kepemimpinan periode kedua, Netanyahu tidak pernah melonggarkan
kebijakannya terhadap Palestina seperti yang pernah ditunjukan oleh Yitzhak
Rabbin, Ariel Sharon maupun Ehud Olmert.29 Setidaknya hal tersebut terlihat dari
adanya upaya pembangunan pemukiman Yahudi di Jerusalem Timur sepanjang
tahun 2010, pendudukan Gaza, penyerangan terhadap kekuatan-kekuatan di
Palestina yang berpotensi mengancam upaya aneksasi Israel, seperti Hamas,
Gerakan Intifada, maupun politik isolasi terhadap Palestina dengan alasan
keamanan.30
3.2 Faktor Peningkatan Agresifitas Politik Luar Negeri Israel Terhadap
Palestina
3.2.1 Sistem Keyakinan Benjamin Netanyahu: Ajaran Talmud, Doktrin
Herzl, dan Ideologi Partai Likud
Menurut Ole R. Holsti, persepsi seorang pemimpin dipengaruhi oleh
sistem keyakinan yang terdiri dari serangkaian citra yang membentuk keseluruhan
kerangka acuan atau sudut pandang seseorang. Citra-citra itu meliputi realitas
29 Menurut penulis, longgarnya politik luar negeri Israel terhadap Palestina pada masa Yitzak Rabbin misalnya, dalam perjanjian Oslo. Sedangakan pada masa Ariel Sharon, ditunjukan dengan adanya kesepakatan dan penandatanganan Roadmap perdamaian melalui penandatanganan KTT perdamaian Laut Merah pada tahun 2003 yang kemudian diteruskan oleh Ehud Olmert.
30 Pada masa Netanyahu, banyak terdapat peristiwa yang mengarah pada bentuk politik Isolasi Israel terhadap Palestina, seperti pemblokiran jalaur-jalur bantuan luar negeri dan bantuan kemanusiaan lainnya, penyeragan terhadap kapal Mavi Marmara, dan lain-lain. Lihat pula dalam AS Sudah Tahu Semua Rencana Israel di Palestina, dalam http://eramuslim.com/read/2010/07/03/05224278/, diakses pada 9 Juli 2011, pukul 22.10 WIB
28
masa lalu, masa kini, dan realitas yang diharapkan di masa depan (fakta), dan
preferensi nilai tentang apa yang seharusnya terjadi. Jadi sistem keyakinan
menjalankan peran yang sangat penting bagi seseorang.
Sistem keyakinan itu membuatnya berorientasi terhadap lingkungan,
mengorganisasikan persepsi sebagai penuntun tindakan, dan bertindak sebagai
saringan dalam menyeleksi informasi dalam setiap situasi. Selanjutnya sistem
keyakinan akan mempengaruhi pembentukan persepsi individu dalam
pengambilan kebijakan. Dalam kasus peningkatan agresifitas politik luar negeri
Israel terhadap Palestina, sistem keyakinan Benjamin Netanyahu yang
mempengaruhi persepsinya meliputi ajaran kitab Talmud, doktrin Herzl, dan
ideologi partai Likud.
3.2.2 Persepsi Benjamin Netanyahu
Dalam hal pengambilan kebijakan politik luar negeri Israel terhadap
Palestina, persepsi pemimpin Israel, yang terwakili dalam sosok Benjamin
Netanyahu mempunyai andil penting dalam meningkatnya agresifitas politik luar
negeri negara yang dipimpinnya tersebut terhadap Palestina seperti yang telah
dijelaskan dalam sub bab di atas. Sesuai dengan pendekatan persepsi oleh Ole R.
Holsti, bahwa persepsi seorang Benjamin Netanyahu terbentuk dari adanya sistem
keyakinannya, yang meliputi ajaran kitab Talmud, doktrin Theodore Herzl, dan
ideologi partai Likud, serta fakta-fakta yang mendukung sistem keyakinannya itu,
yang diperkuat oleh proyeksi dan stereotip Benjamin Netanyahu terhadap
Palestina. Menurut Holsti, persepsi seorang pengambil kebijakan, dapat dilihat
melalui indikasi berupa pernyataannya terhadap objek yang ia lihat. Dalam
29
penelitian ini, persepsi Benjamin Netanyahu dapat terlihat dari pernyataan-
pernyataannya mengenai ancaman Hamas dan kewilayahan Palestina.
Mengenai kewilayahan Palestina, Benjamin Netanyahu secara umum
berpandangan bahwa tanah Palestina adalah tanah yang dijanjikan untuk bangsa
Yahudi, dan mutlak sepenuhnya untuk dikuasai oleh Israel. Hal tersebut diperkuat
oleh pernyataan Benjamin Netanyahu pada Mei 2009, dimana pada waktu itu ia
mengatakan bahwa:
”Saya tak mengatakan dua negara untuk dua rakyat. Kita perlu memberikan penjelasan mengenai hal ini. Apakah ini berarti negara Hamas? Saya harap tidak. Jadi, bagaimana saya yakin ini bukanlah sebuah negara Hamas, sebuah entitas yang mengancam Israel? Saya pikir ini pertanyaan mendasar,”31
Melalui pernyataannya tersebut, secara jelas Benjamin Netanyahu
melakukan penolakan terhadap adanya opsi two state solution dalam perundingan
dengan Palestina. Artinya, Israel dibawah rezim Netanyahu akan tetap melakukan
aneksasi dan perluasan wilayah terhadap Palestina melalui pembangunan
pemukiman Yahudi di Jerusalem Timur.
Berkaitan dengan potensi ancaman Hamas dan gerakan intifada Palestina,
Netanyahu secara umum memandang bahwa keberadaan Hamas merupakan
ancaman bagi keamanan Israel. Hal itu diperkuat oleh pernyataannya sebelum ia
menduduki posisi perdana menteri, dimana pada Januari 2009, ia mengatakan
bahwa:
“Pada waktu sampai berakhirnya suatu hari, tidak akan ada yang bisa melarikan diri dari tugas untuk menjatuhkan pemerintahan Hamas ... Jika pemerintah
31http://haadillahtulizzah.multiply.com/journal/item/164 , diakses pada 13 September 2011, pukul 15.09 WIB.
30
memutuskan untuk mengadopsi tujuan ini, kita juga akan kembali melakukan itu.”32
Pernyataan Netanyahu di atas secara jelas menggambarkan persepsinya
tentang Hamas, dan gerakan-gerakan radikal pejuang Palestina yang dalam
pandangannya merupakan ancaman bagi keamanan Israel. Secara tidak langsung,
pernyataannya tersebut juga menjadi gambaran bagaimana kebijakan yang akan
diterapkannya terhadap Hamas dan Palestina ketika ia terpilih menjadi perdana
menteri. Hal tersebut diperkuat oleh pernyataannya dalam kampanye pemilihan
umum Israel tahun 2009, dimana ia menegaskan bahwa salah satu tujuannya ialah
memusnahkan Hamas, dan membunuh seluruh pemimpinnya.
3.2.3 Penilaian Benjamin Netanyahu Mengenai Palestina
Dalam pendekatan mikro pengambilan kebijakan luar negeri, Ole R.
Holsti mengemukakan bahwa terdapat dua proses pengambilan kebijakan oleh
pemimpin di suatu negara yaitu proses secara langsung dan proses secara tidak
langsung. Secara tidak langsung, proses pengambilan kebijakan di suatu Negara
dipengaruhi oleh persepsi seorang pengambil kebijakan yang diperkuat oleh
sistem keyakinannya dan fakta-fakta yang yang mendukung sistem keyakinannya
tersebut. Sedangkan, secara langsung, pengambilan kebijakan di suatu negara
dipengaruhi oleh penilaian pemimpin tersebut terhadap objek yang
dicitrakannya.33 Penilaian tersebut merupakan pengaruh dari adanya sistem
keyakinan yang dianut oleh pengambil kebijakan di suatu negara. Selain itu,
penilaian tersebut juga diperkuat oleh adanya fakta-fakta yang mendukung sistem
keyakinannya tersebut.
32 http://www.Netanyahu.org/, diakses pada 15 September 2011, pukul 05.56 WIB33 Lihat bagan 1.1 pada Bab I, hal. 17
31
Mengacu pada pendekatan Ole R. Holsti, terlihat jelas bagaimana
penilaian Benjamin Netanyahu mempunyai relasi kuat terhadap keputusan yang
diambilnya. Nilai dalam pandangan Ole R. Holsti, merupakan suatu citra tentang
apa yang seharusnya terjadi, yang dipengaruhi oleh sistem keyakinan dan fakta
yang memperkuat sistem keyakinan individu tersebut.34 Dalam pengambilan
kebijakan, Netanyahu menjadikan penilaiannya sebagai acuan langsung dalam
pengambilan kebijakan. Dengan demikian sistem keyakinan yang telah dijelaskan
sebelumnya, merupakan aspek penting yang mempengaruhi Netanyahu dalam
pengambilan kebijakan. Landasan berpikir tersebut selanjutnya berpengaruh pada
penilaian Benjamin Netanyahu, yang mana penilaian tersebut akan menjadi acuan
langsung dalam pengambilan kebijakan.
Ini terlihat dari pernyataannya:
“Yerusalem selalu milik kami, akan selamanya menjadi milik kami dan tidak akan pernah lagi dibagi”35
Atas dasar penilaiannya tersebut kebijakan-kebijakan yang diambilnya
tentunya simetris dengan tujuan dari Zionisme, dimana tujuan dari Zionisme
sendiri ialah mendirikan sebuah Negara Yahudi di tanah Palestina. Karena itu,
berbagai kebijakan yang ditetapkannya, khususnya peningkatan politik luar negeri
Israel terhadap Palestina, dilandaskan atas penilaian dan pandangan subjektif
Netanyahu terhadap Palestina.
34 Mohtar Mas’oed. 1992. Ilmu Hubungan Internasional:Tingkat Analisa dan Teorisasi. Jakarta:LP3ES, hal. 22
35 http://eramuslim.ubik.net/berita/Palestina/Netanyahu-yerusalem-akan-selalu-menjadi-milik- kita.htm, diakses pada 14 September 2011, pukul 15.08 WIB
32
BAB IV
PENUTUP
4.1 Kesimpulan
Pasca Pemilu Israel 2009, yang ditandai dengan naiknya Benjamin
Netanyahu sebagai Perdana Menteri, agresifitas politik luar negeri Israel terhadap
Palestina mengalami peningkatan. Hal ini terlihat dari adanya upaya akselerasi
aneksasi dan isolasi terhadap Palestina, serta berbagai upaya preventif terhadap
segala ancaman dari Hamas dan gerakan intifada. Berdasarkan rumusan masalah
33
penelitian ini, penulis memberikan kesimpulan bahwa peningkatan agresifitas
politik luar negeri Israel terhadap Palestina pasca pemilihan umum Israel tahun
2009, dipengaruhi oleh persepsi dan penilaian Benjamin Netanyahu terhadap
Palestina. Mengacu pada sebagian besar pernyataan-pernyataan yang pernah
disampaikan Netanyahu mengenai masalah Palestina, penulis berasumsi bahwa
secara umum persepsi Netanyahu mengenai masalah Palestina terklasifikasikan
menjadi dua tema besar, yang meliputi kewilayahan Palestina, dan potensi
ancaman dari Hamas dan gerakan intifada.
Mengenai kewilayahan Palestina, Netanyahu memiliki persepsi bahwa
tanah Palestina adalah tanah yang dijanjikan untuk bangsa Yahudi, dan mutlak
sepenuhnya untuk dikuasai oleh Israel. Sedangkan mengenai potensi ancaman dari
Hamas, Netanyahu secara umum memandang bahwa keberadaan Hamas
merupakan ancaman bagi keamanan Israel. Ini terlihat dari adanya upaya-upaya
preventif terhadap segala potensi ancaman yang dapat menghalangi maupun
mengganggu poltik luar negeri Israel terhadap Palestina. Hal tersebut oleh Holsti
disebut sebagai proyeksi yaitu tindakan untuk melindungi diri dari hal-hal yang
jika dibiarkan dapat menimbulkan kecemasan dan keresahan. Atas dasar
persepsinya itu, kebijakan luar negeri Israel pada masa Netanyahu mengalami
peningkatan dibandingkan pada periode pemerintahan sebelumnya.
Ajaran kitab Talmud, doktrin Theodore Herzl, dan ideologi yang
terkandung dalam partai Likud merupakan sistem keyakinan yang membentuk
persepsi serta penilaian Benjamin Netanyahu. Ajaran dalam kitab Talmud telah
menjadi ideologi, prinsip, serta arahan bagi perumusan kebijakan negara dan
34
pemerintah Israel, dan menjadi pandangan hidup orang Yahudi pada umumnya.
Kitab Talmud juga menjadi dasar ideologi Zionisme yang diperkuat oleh adanya
doktrin Herzl. Ideologi Zionisme sendiri kemudian menjadi landasan utama partai
Likud, yaitu partai kanan tengah Israel, tempat Benjamin Netanyahu meniti karir
politiknya dari awal hingga menduduki posisi sebagai perdana menteri. Sebagai
seorang keturunan Zionis dan pemimpin partai Likud, Benjamin Netanyahu tentu
memahami ajran kitab Talmud dan doktrin Herzl yang senantiasa ia pelajari
semenjak masa kanak-kanak hingga dewasa, serta ideologi partai Likud yang
bersumber dari kitab Talmud dan doktrin Herzl. Sistem keyakinan dari Benjamin
Netanyahu tersebut juga berpengaruh terhadap penilaian Benjamin Netanyahu
terhadap Palestina, yang mana penilaiannya tersebut menjadi acuan langsung
dalam menetapkan kebijakan luar negerinya terhadap Palestina.
4.2 Saran
Dalam perkembangannya permasalahan antara Israel dan Palestina
semakin sulit untuk menemukan jalan tengah bagi kedua belah pihak. Hal ini
terlihat dari semakin seringnya konflik bersenjata antara Hamas dengan tentara
Israel. Ini dapat dilihat dari adanya wacana pengadaan perang terhadap Hamas,
oleh Israel pada tahun 2011. Selain itu, upaya perundingan perdamaian dengan
Palestina mengenai wilayah Tepi Barat, mengalami kebuntuan pasca berhentinya
moratorium pembangunan pemukiman pada Oktober 2011, dan tidak adanya
inisiatif dari Israel, khususnya Benjamin Netanyahu, untuk memperpanjang
moratorium, dan mengadakan perundingan kembali dengan pihak Palestina.
35
Mengacu pada fakta tersebut, agresifitas politik luar negeri Israel terhadap
Palestina semakin mengalami peningkatan dibawah kepemimpinan Benjamin
Netanyahu.
Penelitian mengenai pengaruh persepsi seorang pemimpin suatu negara
terhadap kebijakan luar negeri negara yang dipimpinnya, merupakan penelitian
yang menarik. Karena itu penulis menyarankan, agar penelitian selanjutnya
dengan pendekatan yang sama, dilakukan dengan mengambil batasan waktu yang
cukup panjang. Pengumpulan naskah-naskah pidato, dan berbagai rekaman
pernyataan-pernyataan pemimpin negara yang akan diteliti, juga perlu dilakukan
agar peneliti dapat melihat serta menyimpulkan secara jelas, bagaimana persepsi
seorang pemimpin negara yang ditelitinya.
DAFTAR PUSTAKA
Buku :
Abd. Rahman, Musthafa. 2002. Dilema Israel: Antara Krisis Politik dan
Perdamaian. Jakarta: Kompas
Eby Hara, Abubakar. 2011. Pengantar Analisis Politik Luar Negeri: Dari
Realisme Sampai Konstruktivisme. Bandung: Nuansa
Jones, Walter S. 1992. Logika Hubungan Internasional. Jakarta:Gramedia
Kencana, Inu. 2005. Perbandingan Sistem Pemerintahan. Bandung:Refika
Aditama.
36
Kipper, Judith, and Saunders , Harold (ed.). 1991. The Middle East in Global
Perspective, Colorado: United State of America by Westview Press
Kuncahyono , Trias, 2008, Jerusalem: Kesucian, Konflik, dan Pengadilan Akhir,
Jakarta: PT Kompas Media Nusantara
Mas’oed, Mohtar. 1990. Ilmu Hubungan Internasional: Disiplin dan Metodologi.
Jakarta: LP3ES
---------------------, 1991. Studi Hubungan Internasional: Tingkat Analisa dan
Teorisasi. Jakarta: LP3ES
Sihbudi, Reza. 2007. Menyandera Timur Tengah: Ketidakbijakan AS dan Israel
atas Negara-Negara Muslim. Jakarta: Mizan
Silalahi, Ulber. 2009. Metode Penelitian Sosial. Bandung: Refika Aditama
Tasmara, K.H. Toto. 2010. Yahudi: Mengapa Mereka Berprestasi. Jakarta:
Sinergi Publishing
Z.A. Maulani. 2002. Zionisme: Gerakan Menaklukkan Dunia. Jakarta: Daseta
Skripsi:
Firmansyah, M. Fadhila Arif. 2011. Strategi Zionisme Ortodoks Dalam Politik
Luar Negeri Israel Terhadap Palestina. Skripsi Universitas Muhammadiyah
Malang.
Ensiklopedia:
Ensiklopedia Umum. 2002. Negara dan Bangsa: Asia, Jilid 3. Jakarta: PT. Ikrar
Mandiriabadi
Internet:
37
Agus Irawan. 2009. Rahasia Dendam Israel-Jejak Berdarah Israel di Palestina
dan Dunia Arab. Jakarta: Kinza Book dalam
http://sayangkalyantiga.blogspot.com/2011/03/kebijakan-luar-negeri-israel-
terhadap.html, diakses pada 3 juni 2011, pukul 15.12 WIB
Alpert, Zalman. The Maggid Of Netanyahu. The Jewish Press. Retrieved July 29,
2009, dalam http://en.wikipedia.org/wiki/Benjamin_Netanyahu, diakses pada 8
September 2011 pukul 11.33 WIB.
Arrisa Fauziarrachman. 2009. HAMAS dan Fatah: Keterlibatan Israel. Skripsi
Universitas Airlangga Surabaya,dalam http://adln.lib.unair.ac.id/go.php?
id=gdlhub-gdl-s1-2009-fauziarachman 10585&PHPSESSID= f7cd4 3e8de
1c0e6d 9491e 41c775726 cb, diakses pada 9 Februari 2011.
Dedy Jayadiputra, Politik luar negeri PM. Benjamin Netanyahu terhadap
perjanjian Wye River (1996 -1999). Kumpulan tesis Universitas Indonesia.
Jakarta, dalam http://www.lontar.ui.ac.id/opac/themes/libri2/detail.jsp?
id=92736&lokasi=lokal, diakses pada 9 Juni 2011, pukul 14.56 WIB
Demolition of Gaza Homes Completed". Ynetnews.com, dalam
http://en.wikipedia.org/wiki/Israel's_unilateral_disengagement_plan, diakses pada
1 Agustus 2011.
Gracia Paramitha. 2011. Seluk Beluk Politik Luar Negeri, dalam
<http://theamazinggrace.web.id/test-seluk-beluk-politik-luar-negeri-p13.html,
diakses pada 2> Maret 2011
http:// news.bbc.co.uk./2/hi/middle_east/4135680.stm , diakses pada 1 Maret 2011
http://digilib.unnes.ac.id/gsdl/collect/skripsi/archives/HASH01d1/0a617f0b.dir/
38
doc.pdf, diakses pada 4 Mei 2011, pukul 22.10 WIB.
http://www.google.co.id/imgres?imgurl=http://sahabatalaqsha.com/nws/
wpcontent/uploads/2010/05/Tanah-Palestina-yang-dicaplok-Israel-dari-tahun-ke-
tahun.-Warna-hijau-menunjukkan wilayahPalestina.-buchanan.org>
http://indonesian.irib.ir/index.php?
option=com_content&view=article&id=24766&catid=26&Itemid=88 diakses
pada 7 Juli 2011, pukul 13.33 WIB.
http:// news.bbc.co.uk./2/hi/middle_east/4135680.stm , diakses pada 1 Maret 2011
http://www.dw-world.de/dw/article/0,,4025458,02.html, diakses pada 29
November 2010 pukul 19.15 WIB
http://eramuslim.com/read/2010/07/03/05224278/AS Sudah Tahu Semua Rencana
Israel di Palestina.htm, diakses pada 9 Juli 2011, pukul 22.10 WIB
http://internasional.kompas.com/read/2010/07/03/05224278/
Israel.Tak.Akan.Minta.Maaf, diakses pada 9 Juli 2011 pukul 22.24 WIB
http://internasional.kompas.com/read/2009/02/04/11140873/
Jika.Terpilih.Netanyahu.Janji.Tumpas.Hamas, diakses pada 9 Juli 2011 pukul
23.22 WIB
http:// news.bbc.co.uk./2/hi/middle_east/4135680.stm , diakses pada 1 Maret 2011
http://haadillahtulizzah.multiply.com/journal/item/164, diakses pada 13
September 2011, pukul 15.09 WIB.
http://www.enduringamerica.com/june-2009/2009/6/26/israel-palestine-how-
netanyahu-demolished-the-plan-a-of-the.html, diakses pada 14 September 2011,
pukul 1.39 WIB.
39
http://articles.latimes.com/2009/nov/26/world/la-fg-israel-settlements26-
2009nov26, diakses pada 14 September 2011, pukul 1.55 WIB.
http://www.rense.com/general92/bribe.htm, diakses pada 14 September 2011,
pukul 12.20 WIB
http://www.voanews.com/indonesian/news/Israel-Tak-akan-Perpanjang-
Moratorium-Pembangunan-Permukiman-102738474.html, diakses pada 14
September 2011, pukul 12.21
http://www.netanyahu.org/, diakses pada 15 September 2011, pukul 5.56 WIB
http://mondoweiss.net/2009/09/netanyahu-likens-hamas-to-nazis-attacking-
england.html., diakses pada 14 September 2011, pukul 12.42 WIB
http://en.netanyahu.org.il/blog/2010/06/statement-by-prime-minister-netanyahu-
%E2%80%9Cno-love-boat%E2%80%9D/, diakses pada 14 September 2011,
pukul 12.57 WIB
http://eramuslim.com/read/2010/07/03/05224278/AS Sudah Tahu Semua Rencana
Israel di Palestina.htm, diakses pada 9 Juli 2011, pukul 22.10 WIB
http://eramuslim.ubik.net/berita/palestina/netanyahu-yerusalem-akan-selalu-
menjadi-milik-kita.htm, diakses pada 14 September 2011, pukul 15.08 WIB
http://en.netanyahu.org.il/blog/2010/06/statement-by-prime-minister-netanyahu-
%E2%80%9Cno-love-boat%E2%80%9D/, diakses pada 14 September 2011,
pukul 12.57 WIB
http://www.eramuslim.com/berita/dunia/netanyahu-saya-bangga-pada-tentara-
israel.htm, diakses pada 14 September 2011, pukul 16.19 WIB
http://www.tempo.co/hg/timteng/2010/06/01/brk,20100601-251719,id.html,
40
diakses pada 14 September 2011, pukul 17.04 WIB
ip.sg.or.id/2006/07/14/rakyat-sipil-menjadi-korban-serangan-israel/, diakses pada
23 Juli 2011, pukul 11.08 WIB.
Israel_stealing_palestine.jpg&imgrefurl=http://sahabatalaqsha.com/nws/%3Fp
%3D2842&usg=__B95dVaIDaB1rFRmMgQKOld80wCU=&h=539&w=809&sz
=51&hl=id&start=20&zoom=1&itbs=1&tbnid=dwjKak1JvxpOMM:&tbnh=95&t
bnw=143&prev=/search%3Fq%3Dperluasan%2Bwilayah%2Bisrael%26hl%3Did
%26biw%3D1024%26bih%3D509%26gbv%3D2%26tbm
%3Disch&ei=yYvGTdmiOsatrAfOnJjmBA, diakses pada 8 Mei 2011, pukul
19.39 WIB.
judaism.about.com › Hebrew & Israel › Middle East Peace Process, diakses pada 5
Juni 2011 pukul 19.23 WIB
Schiffman, Lawrence H. 1991. From Text to Tradition: A History of Second
Temple and Rabbinic Judaism. Ktav Publishing House. pp. 60–79. ISBN 0-
88125-371-5, dan Har-el, Menashe. 1977. This Is Jerusalem. Canaan Publishing
House. pp. 68–95. ISBN 0866280022, dalam
http://en.wikipedia.org/wiki/Jerusalem, diakses pada 17 Juli 2011, pukul 19.57
WIB.
www.scribd.com/doc/32430728/Sistem-Pemerintahan-Israel , diakses pada 29 Juni
2011, pukul 16.23 WIB.
41
42