naskah publikasi nursaefuloh
DESCRIPTION
skripsiTRANSCRIPT
masukan…………..
1.perbaiki dulu klonten isinya baru buat naspub2.karena akan berubah apabila pembahasanya berubah
ANALISIS HAMBATAN TERAPI BERMAIN ANAK TIDAK DILAKUKAN OLEH PERAWAT DI RUMAH SAKIT
NASKAH PUBLIKASI
Diajukan untuk Memenuhi Sebagai SyaratMencapai Derajat Sarjana
Oleh:NURSYAEFULLOH FIBRIANTORO
0911020077
PROGRAM STUDI ILMU KEPERAWATANFAKULTAS ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH PURWOKERTO
2013ANALISIS HAMBATAN TERAPI BERMAIN ANAK TIDAK
DILAKUKAN OLEH PERAWAT DI RUMAH SAKIT
Nursyaefulloh Fibriantoro1, Sodikin2, Sri Suparti3
ABSTRAK
Latar Belakang : Bermain merupakan metode anak berinteraksi dengan lingkungan dimana anak tinggal, mengungkapkan tidak hanya perasaan cinta, tetapi perasaan gelisah ataupun frustasi juga dapat diungkapkan dalam bermain. Perawat di rumah sakit pada dasarnya mengetahui tentang keharusan memberikan terapi bermain pada anak yang dirawat, tetapi dikarenakan keterbatasan waktu dan tenaga, akhirnya perawat tidak memprioritaskan pemberian terapi tersebut.Tujuan : Untuk mengetahui hambatan-hambatan perawat tidak melakukan terapi bermain di Rumah Sakit. Metode : penelitian ini menggunakan metode explanatory research dengan rancangan cross sectional design. Populasi adalah semua perawat yang bekerja di Ruang Cempaka RSUD Dr. R. Goetheng Taroenadibrata Purbalingga, Ruang Kantil RSUD Banyumas dan Ruang Gladiol RS Wijaya Kusuma 04.03.01 Purwokerto sebanyak 38 perawat. Pengambilan sampel menggunakan metode total sampling. Instrumen yang digunakan kuesioner. Analisa data secara univariat, bivariat dan multivariat.Hasil : Ada hubungan antara tingkat pengetahuan dan sikap (p value1= 0,015 dan p value2=0,019), dengan terapi bermain tidak dilakukan di Rumah Sakit dan tidak ada hubungan antara lama kerja, sarana prasarana dan tingkat pendidikan (p value1=1,000, p value2=0,507 dan p value3=1,000) dengan terapi bermain tidak dilakukan di Rumah Sakit. Variabel yang paling dominan dalam penelitian ini adalah tingkat pengetahuan terhadap terapi bermain anak tidak dilakukan di RSUD Dr. R. Goetheng Taroenadibrata Purbalingga, RSUD Banyumas dan RS Wijaya Kusuma 04.03.01 Purwokerto dengan nilai OR = 9.444.Kesimpulan dan Saran : Terapi bermain merupakan suatu tindakan keperawatan yang bertujuan untuk menurunkan efek hospitalisasi yang dialami pasien anak. Perawat sangat perlu memahami prinsip terapi bermain yang diberikan sehingga dalam pemberian asuhan keperawatan pada anak akan selalu berpegang pada prinsip atraumatic care.
Kata kunci : Hambatan, Terapi Bermain, Rumah Sakit, dan Perawat
1Mahasiswa Program Studi Ilmu Keperawatan Fakultas Ilmu Kesehatan Universitas Muhammadiyah Purwokerto2Staf Pengajar Fakultas Ilmu Kesehatan Universitas Muhammadiyah Purwokerto3Staf Pengajar Fakultas Ilmu Kesehatan Universitas Muhammadiyah Purwokerto
PENDAHULUAN
Atraumatic care merupakan asuhan terapeutik yang bertujuan sebagai terapi
terhadap anak yang sedang sakit. Pentingnya asuhan terapeutik ini adalah bahwa
ilmu pengetahuan dan teknologi di bidang pediatrik telah berkembang begitu
pesatnya, setiap prosedur tindakan yang diberikan kepada anak akan tetap
menimbulkan trauma, rasa nyeri, marah, cemas dan takut pada anak. Tidak dapat
dipungkiri bahwa sampai saat sekarang ini belum ada teknologi yang dapat
mengatasi masalah yang timbul akibat adanya dampak yang ditimbulkan dalam
perawatan. Maka dari itu, sangat dibutuhkan perhatian khusus dari tenaga
kesehatan, khususnya perawat dalam memberikan asuhan keperawatan sebagai
tindakan pada anak maupun orang tua (Hidayat, 2011).
Supartini (2004) mengemukakan bahwa perawat merupakan salah satu
anggota tim kesehatan yang bekerja dengan anak dan orang tua. Perawat anak
mempunyai peran yang begitu penting, diantaranya sebagai pembela (advocacy),
pendidik, konselor, koordinator, pembuat keputusan etik, perencanaan, Pembina
hubungan terapeutik, pemantau, evaluator dan peneliti. Perawat dituntut sebagai
pembela bagi anak ataupun orang tua saat mereka membutuhkan suatu
pertolongan, tidak dapat mengambil keputusan ataupun menentukan pilihan, dan
menyakinkan keluarga untuk menyadari segala pelayanan kesehatan yang
diberikan dilakukan dengan melibatkan keluarga.
Hidayat (2008) mengungkapkan bahwa perawatan anak di rumah sakit
merupakan pengalaman yang penuh dengan stress, baik bagi anak maupun orang
tua. Perasaan, seperti takut, cemas, tegang, nyeri, dan perasaan yang tidak
menyenangkan lainnya, sering kali dialami anak. Solikhah (2011) mengemukakan
bahwa kecemasan merupakan sifat yang paling banyak anak tunjukan selama
perawatan di rumah sakit. Untuk itu, anak memerlukan media yang dapat
mengekspresikan perasaan tersebut dan mampu bekerja sama dengan petugas
kesehatan selama dalam perawatan.
Pelaksanaan terapi bermain sering ditemukan adanya kendala, menurut
Muntamah (2007) Perawat di rumah sakit pada dasarnya mengetahui tentang
keharusan memberikan terapi bermain pada anak yang dirawat, tetapi dikarenakan
keterbatasan waktu dan tenaga, akhirnya perawat tidak memprioritaskan
pemberian terapi tersebut. Dilain sisi tingkat pendidikan dan pengalaman kerja
tentunya akan mempengaruhi pengetahuan perawat dalam memberikan terapi
bermain pada anak.
Francischinelli, Amorim & Fernandes (2012), mengemukakan hasil
penelitian yang dilakukan mereka bahwa kebanyakan perawat memiliki
pengetahuan yang banyak tentang terapi bermain dan pengguaannya diatur oleh
aturan rumah sakit. Dalam prakteknya, tidak dilakukan secara rutin dalam praktek
sehari-hari mereka (18,6%) dikarenakan perawat mengalami kesulitan (37%)
seperti kurangnya waktu (9,3%).
Berdasarkan studi pendahuluan yang dilakukan di RSUD Banyumas, RSUD
Dr. R. Goetheng Taroenadibrata dan RS Wijaya Kusuma Purwokerto di peroleh
hasil bahwa terapi bermain tidak dilaksanakan dikarenakan waktu yang terbatas
dan tenaga perawat kurang kompeten untuk melakukan terapi bermain.
Berdasarkan kondisi yang melatar belakangi dengan mencermati hal tersebut di
atas, penulis tertarik untuk meneliti tentang “Analisis Hambatan Terapi Bermain
Anak Tidak Dilakukan Oleh Perawat Di RSUD Dr. R. Goetheng Tarunadibrata
Purbalingga, RSUD Banyumas dan Rumah Sakit Wijaya Kusuma 04.03.01
Purwokerto”
METODE PENELITIAN
Penelitian ini merupakan penelitian Explanatory Research. Penelitian ini
berusaha menjawab pertanyaan bagaimana, mengapa atau kenapa karena
penelitian ini berusaha menjelaskan bagaimana dan mengapanya suatu keadaan
(Budiharto, 2008). Penelitian ini menggunakan pendekatan cross sectional,
artinya mengadakan pengamatan sekali terhadap beberapa variable dalam waktu
yang bersamaan (Notoatmodjo, 2010).
Subjek penelitian ini adalah perawat yang bekerja di ruang anak RSUD Dr.
R. Goetheng Taroenadibrata Purbalingga, RSUD Banyumas dan RS Wijaya
Kusuma 04.03.01 Purwokerto. yang memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi
berjumlah 38 responden.
Proses penelitian dimulai dengan pengumpulan data yaitu mengisi kuesioner
yang telah disediakan peneliti. Setiap responden mengisi kuesioner tersebut. Data
yang telah terkumpul ditabulasi dan dianalisis menggunakan uji statistik yaitu uji
univariat menggunakan deskriptif frequencies test untuk melihat karakteristik
responden, uji bivariat menggunakan chi square test untuk mengetahui hubungan
variabel independent dan dependen penelitian, dan uji multivariat menggunakan
regresi logistic sederhana untuk mengetahui variabel yang paling dominan dalam
penelitian.
HASIL PENELITIAN
Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Januari – Mei 2013 di Ruang Anak
RSUD. Dr. R. Goetheng Tarunadibrata Purbalingga, RSUD Banyumas dan RS
Wijaya Kusuma 04.03.01 Purwokerto dengan responden penelitian berjumlah 38
responden. Penelitian ini menggunakan uji statistik univariat dan bivariat. Analisis
univariat dalam penelitian ini digunakan untuk menjelaskan atau mendeskripsikan
karakteristik masing-masing variabel yang sudah dilakukan penelitian yang
berupa karakteristik responden, sedangkan analisis bivariat dalam penelitian ini
menggunakan uji chi square untuk menganalisis hambatan terapi bermain anak
tidak dilaksanakan oleh perawat di Rumah Sakit.
Analisis Univariat
a. Karakteristik responden
Tabel 1 Distribusi Frekuensi Umur Responden
Karakteristik Responden n %1. Umur
≤ 30 tahun>30 tahun
2216
57.942.1
Jumlah 38 100.0
Dari tabel 1 dapat dideskripsikan bahwa sebagian besar responden
berumur kurang dari 30 tahun berjumlah 22 responden (57.9%) dibandingkan
dengan responden yang berumur lebih dari 30 tahun yang berjumlah 16
responden (42.1%).
Tabel 2 Distribusi Frekuensi Jenis Kelamin
Karakteristik Responden n %1. Jenis kelamin
Laki-lakiPerempuan
830
21.178.9
Jumlah 66 100.0
Hasil deskripsi frekuensi pada tabel 4.2 dapat diinterpretasikan data
bahwa jenis kelamin yang paling mendominasi adalah perempuan berjumlah
30 responden (78.9%) sedangkan laki-laki berjumlah 8 responden (21.1%).
b. Lama Kerja
Tabel 3 Distribusi Frekuensi Lama Kerja
Lama Kerja n %< 10 tahun≥ 10 tahun
2612
68.431.6
Jumlah 38 100.0
Berdasarkan tabel 3 dapat dijelaskan deskripsi dan interpretasi data
bahwa paling banyak responden bekerja kurang dari 10 tahun yaitu 26
responden (68.4%), sedangkan responden bekerja lebih dari 10 tahun
berjumlah 12 responden (31.6%).
c. Sarana Prasarana
Tabel 4 Distribusi Frekuensi Sarana Prasarana
Sarana Prasarana n %TersediaTidak Tersedia
1523
39.560.5
Jumlah 38 100.0Dari tabel 4 diatas dapat dideskripsikan data bahwa penelitian ini
berjumlah 38 responden. Distribusi frekuensi sarana prasarana yang
menyatakan tidak tersedia berjumlah 23 responden (60.5%) merupakan yang
paling banyak dalam penelitian ini dan yang menyatakan sarana prasarana
tersedia berjumlah 15 responden (39.5%).
d. Tingkat Pendidikan
Tabel 5 Distribusi Frekuensi Tingkat Pendidikan
Pendidikan N %D3S1
335
86.813.2
Jumlah 38 100.0
Berdasarkan tabel 5 diatas dapat diinterpretasikan data bahwa penelitian
ini berjumlah 38 responden. Distribusi frekuensi tingkat pendidikan
responden dengan kriteria D3 berjumlah 33 responden (86.8%) merupakan
tingkat pendidikan yang paling banyak dalam penelitian ini dan kriteria S1
berjumlah 5 responden (13.2%).
e. Tingkat Pengetahuan
Tabel 6 Distribusi Frekuensi Tingkat Pengetahuan
Pengetahuan N %BurukBaik
2612
68.431.6
Jumlah 38 100.0
Berdasarkan tabel 6 diatas dapat dideskripsikan bahwa penelitian ini
berjumlah 38 responden. Proporsi variabel tingkat pengetahuan dengan
kriteria baik 12 responden (31.6%) dan kriteria buruk berjumlah 26
responden (68.4%) merupakan kriteria yang paling banyak didalam penelitian
ini.
f. Sikap
Tabel 7 Distribusi Frekuensi Sikap
Sikap N %BurukBaik
929
23.776.3
Jumlah 38 100.0
Berdasarkan tabel 7 diatas dapat diinterpretasikan data bahwa penelitian
ini berjumlah 38 responden. Distribusi frekuensi variabel sikap paling
banyak responden dalam kriteria baik yaitu berjumlah 29 responden (76.3%)
sedangkan responden dalam kategori buruk berjumlah 9 responden (23.7%).
g. Terapi Bermain
Tabel 8 Distribusi Frekuensi Terapi Bermain
Terapi Bermain N %Dilaksanakan Tidak Dilaksanakan
1919
50.050.0
Jumlah 38 100.0
Berdasarkan tabel 8 diatas dapat diinterpretasikan data bahwa penelitian
ini berjumlah 38 responden. Distribusi frekuensi terapi bermain kategori
dilaksanakan ataupun tidak dilaksanakan dalam posisi seimbang artinya
sama-sama berjumlah 19 responden (50.0%) menyatakan tidak dilaksanakan
ataupun dilaksanakan.
Analisis Bivariat
a. Hubungan lama kerja perawat dengan terapi bermain anak tidak
dilakukan di RSUD Dr. R. Goetheng Taroenadibrata Purbalingga,
RSUD Banyumas dan RS Wijaya Kusuma 04.03.01 Purwokerto
Tabel 9 Distribusi Responden lama kerja perawat dengan terapi bermain anak tidak dilakukan di RSUD Dr. R. Goetheng Taroenadibrata Purbalingga,
RSUD Banyumas dan RS Wijaya Kusuma 04.03.01 Purwokerto
Lama kerja perawat
Terapi bermain anakTotal OR
(95% CI)P-ValueDilaksanakan
Tidak dilaksanakan
N % N % N %< 10 tahun≥ 10 tahun
136
50.050.0
136
50.050.0
2612
100.0100.0
1,000(0.255-3.928)
1,000Jumlah 19 50.0 19 50.0 38 100.0
Berdasarkan hasil analisis pada tabel 9 diatas bahwa terdapat sebanyak
13 responden (50.0%) perawat yang bekerja kurang dari 10 tahun tidak
melaksanakn terapi bermain anak. Sedangkan diantara perawat yang bekerja
lebih dari 10 tahun terdapat 6 responden (50.0%) yang tidak melaksanakan
terapi bermain pada anak. Hasil uji statistik diperoleh nilai p-value = 1,000,
maka dapat disimpulkan bahwa tidak ada perbedaan proporsi lama kerja
perawat dengan terapi bermain anak tidak dilakukan (tidak ada hubungan
yang signifikan antara lama kerja perawat dan terapi bermain tidak dilakukan
pada anak). Dari hasil analisis diperolah nilai OR = 1,000, artinya perawat
yang sudah bekerja kurang dari 10 tahun berpeluang 1 kali untuk tidak
melakukan terapi bermain pada anak dibandingkan perawat yang sudah
bekerja lebih dari 10 tahun.
b. Hubungan sarana prasarana dengan terapi bermain anak tidak
dilakukan di RSUD Dr. R. Goetheng Taroenadibrata Purbalingga,
RSUD Banyumas dan RS Wijaya Kusuma 04.03.01 Purwokerto
Tabel 10 Distribusi responden sarana dan prasarana yang tersedia dengan terapi bermain anak tidak dilakukan di RSUD Dr. R. Goetheng Taroenadibrata
Purbalingga, RSUD Banyumas dan RS Wijaya Kusuma 04.03.01 Purwokerto
Sarana Prasarana
Terapi bermain anakTotal OR
(95% CI)P-ValueDilaksanakan
Tidak dilaksanakan
N % N % N %TersediaTidak tersedia
910
60.043.5
613
40.056.5
1523
100.0100.0
1.950(0.520-7.312)
0.507Jumlah 19 50.0 19 50.0 38 100.0
Berdasarkan hasil analisis pada tabel 10 diatas bahwa terdapat sebanyak
13 responden (56.5%) responden yang menyatakan sarana prasarana tidak
tersedia sehingga terapi bermain anak tidak dilakukan. Sedangkan diantara
responden menyatakan sarana prasarana tersedia berjumlah 6 responden
(40.0%) yang tidak melakukan terapi bermain anak. Hasil uji statistik
diperoleh nilai p-value=0.507, maka dapat disimpulkan bahwa tidak ada
perbedaan proporsi sarana prasarana yang tersedia dengan terapi bermain
anak tidak dilakukan perawat (tidak ada hubungan yang signifikan antara
sarana prasarana dan terapi bermain anak tidak dilakukan). Dari hasil analisis
diperolah nilai OR = 1.950, artinya sarana prasarana yang tidak tersedia
mempunyai peluang 2 kali untuk tidak melakukan terapi bermain pada anak
dibandingkan sarana prasarana bermain yang tersedia di Rumah Sakit.
c. Hubungan tingkat pendidikan dengan terapi bermain anak tidak
dilakukan di RSUD Dr. R. Goetheng Taroenadibrata Purbalingga,
RSUD Banyumas dan RS Wijaya Kusuma 04.03.01 Purwokerto
Tabel 11 Distribusi responden variabel tingkat pendidikan dengan terapi bermain anak tidak dilakukan di RSUD Dr. R. Goetheng Taroenadibrata Purbalingga,
RSUD Banyumas dan RS Wijaya Kusuma 04.03.01 Purwokerto
Tingkat pendidikan
Terapi bermain anakTotal OR
(95% CI)P-ValueDilaksanakan
Tidak dilaksanakan
N % N % N %D3S1
163
48.560.0
172
51.540.0
335
100.0100.0
1.594(0.235-10.817)
1.000Jumlah 19 50.0 19 50.0 38 100.0
Berdasarkan hasil analisis pada tabel 11 diatas bahwa terdapat sebanyak
17 responden (51.5%) perawat yang berpendidikan D3 tidak melakukan
terapi bermain pada anak. Sedangkan diantara perawat yang berpendidikan
S1 terdapat 2 responden (40.0%) yang tidak melakukan terapi bermain pada
anak. Hasil uji statistik diperoleh nilai p-value=1.000, maka dapat
disimpulkan bahwa tidak ada perbedaan proporsi tingkat pendidikan
responden dengan terapi bermain anak tidak dilakukan (tidak ada hubungan
yang signifikan antara tingkat pendidikan dengan terapi bermain anak tidak
dilakukan). Dari hasil analisis diperolah nilai OR = 1.594, artinya perawat
yang berpendidikan D3 mempunyai peluang 2 kali untuk tidak melakukan
terapi bermain pada anak dibandingkan perawat yang berpendidikan S1.
d. Hubungan tingkat pengetahuan dengan terapi bermain anak tidak
dilakukan di RSUD Dr. R. Goetheng Taroenadibrata Purbalingga,
RSUD Banyumas dan RS Wijaya Kusuma 04.03.01 Purwokerto
Tabel 12 Distribusi responden variabel tingkat pengetahuan dengan terapi bermain anak tidak dilakukan di RSUD Dr. R. Goetheng Taroenadibrata Purbalingga,
RSUD Banyumas dan RS Wijaya Kusuma 04.03.01 Purwokerto
Tingkat pengetahuan
Terapi bermain anakTotal OR
(95% CI)P-ValueDilaksanakan
Tidak dilaksanakan
N % N % N %BurukBaik
910
34.683.3
172
65.416.7
2612
100.0100.0
9.444(1.692-52.732)
0.015Jumlah 19 50.0 19 50.0 38 100.0
Berdasarkan hasil analisis pada tabel 12 diatas bahwa terdapat sebanyak
17 responden (65.4%) perawat yang mempunyai pengetahuan kategori buruk
tidak melakukan terapi bermain pada anak. Sedangkan diantara perawat yang
tingkat pengetahuan dalam kategori baik, ada 2 responden (16.7%) yang tidak
melakukan terapi bermain pada anak. Hasil uji statistik diperoleh nilai p-
value=0.015, maka dapat disimpulkan bahwa ada perbedaan proporsi tingkat
pengetahuan dengan terapi bermain anak tidak dilakukan (ada hubungan yang
signifikan antara tingkat pengetahuan dengan terapi bermain pada anak tidak
dilaksanakan). Dari hasil analisis diperolah nilai OR = 9.444, artinya perawat
yang mempunyai pengetahuan kategori buruk mempunyai peluang 9 kali
untuk tidak melakukan terapi bermain pada anak dibandingkan perawat yang
berkategori baik dalam tingkat pengetahuannya.
e. Hubungan sikap dengan terapi bermain anak tidak dilakukan di RSUD
Dr. R. Goetheng Taroenadibrata Purbalingga, RSUD Banyumas dan RS
Wijaya Kusuma 04.03.01 Purwokerto
Tabel 13 Distribusi responden variabel sikap dengan terapi bermain anak tidak dilakukan di RSUD Dr. R. Goetheng Taroenadibrata Purbalingga, RSUD
Banyumas dan RS Wijaya Kusuma 04.03.01 Purwokerto
Sikap
Terapi bermain anakTotal OR
(95% CI)P-ValueDilaksanakan
Tidak dilaksanakan
N % N % N %BurukBaik
118
11.162.1
811
88.937.9
929
100.0100.0
13.091(1.436-119.338)
0.019Jumlah 19 50.0 19 50.0 38 100.0
Berdasarkan hasil analisis pada tabel 13 diatas bahwa terdapat sebanyak
11 responden (37.9%) perawat yang bersikap baik tidak melakukan terapi
bermain pada anak. Sedangkan diantara perawat yang bersikap buruk
terdapat, 8 responden (88.9%) yang tidak melakukan terapi bermain pada
anak. Hasil uji statistik diperoleh nilai p-value=0.019, maka dapat
disimpulkan bahwa ada perbedaan proporsi sikap dengan terapi bermain anak
tidak dilakukan (ada hubungan yang signifikan antara sikap dengan terapi
bermain pada anak tidak dilakukan di Rumah Sakit). Dari hasil analisis
diperolah nilai OR = 13.091, artinya perawat yang bersikap buruk
mempunyai peluang 13 kali untuk tidak melakukan terapi bermain pada anak
dibandingkan perawat yang mempunyai sikap baik.
Analisis Multivariat
Analisis multivariat dalam penelitian ini untuk melihat atau mempelajari
hubungan beberapa variabel (lebih dari satu variabel) independen dengan satu
atau beberapa variabel dependen (umumnya satu variabel dependen). Dalam
penelitian ini uji yang digunakan adalah regresi logistic berganda yaitu untuk
menganalisis hubungan satu variabel independen atau lebih dengan satu variabel
dependen yang bersifat dikotom atau binary. dalam penelitian ini untuk
mengetahui hubungan variabel yang paling berpengaruh atau dominan antara lama
kerja, sarana prasarana, tingkat pendidikan, tingkat pengetahuan, sikap dengan
terapi bermain anak tidak dilakukan di Rumah Sakit.
Pada pengujian dengan menggunakan regresi logistic sebelumnya variabel
independen dilakukan analisis bivariat terlebih dahulu dengan variabel
independen. Pada lampiran nilai tabel ominibus test of model coefficient variabel
yang signifikan (p-value < 0.25) dapat dilanjutkan ke tahap multivariat adalah
variabel tingkat pengetahuan (p-value = 0.004) dan sikap (p-value = 0.005).
Setelah dilakukan seleksi bivariat kemudian dilanjutkan kepemodelan multivariat,
hasilnya dapat dilihat pada tabel 14 dibawah ini :
Tabel 14 Analisis Regresi Logistic Berganda Analisis Hambatan Terapi Bermain Anak Tidak Dilakukan di RSUD Dr. R.
Goetheng Taroenadibrata Purbalingga, RSUD Banyumas dan RS Wijaya Kusuma 04.03.01 Purwokerto
Variabel B Sig Exp (B)95% C.I for EXP (B)
Lower Uppera. Tingkat pengetahuan 2.245 0.010 9.444 1.692 52.732
Dari tabel 14 diatas dapat dinterpretasikan bahwa responden yang tingkat
pengetahuan dalam kategori buruk berpeluang 9 kali terapi bermain pada anak
tidak dilakukan di Rumah Sakit dibandingkan responden tingkat pengetahuan
dalam kategori baik.
Melihat variabel mana yang paling besar pengaruhnya terhadap variabel
dependen, dilihat dari nilai Exp (B) untuk variabel yang signifikan, semakin besar
nilai Exp (B) berarti semakin besar pengaruhnya terhadap variabel dependen yang
dianalisis. Dalam penelitian ini dapat disimpulkan bahwa variabel yang paling
dominan atau berpengaruh terhadap terapi bermain tidak pada anak tidak
dilakukan di Rumah Sakit adalah variabel tingkat pengetahuan dimana nilai Exp
(B) = 9.444.
PEMBAHASAN
1. Analisis Univariat
a. Karakteristik Responden
Berdasarkan hasil penelitian bahwa sebagian besar responden
berumur kurang dari 30 tahun berjumlah 22 responden (57.9%)
dibandingkan dengan responden yang berumur lebih dari 30 tahun yang
berjumlah 16 responden (42.1%). Dalam hasil deskripsi frekuensi pada
pada tabel 4.2 penelitian ini juga dapat diinterpretasikan data bahwa jenis
kelamin yang paling mendominasi adalah perempuan berjumlah 30
responden (78.9%) sedangkan laki-laki berjumlah 8 responden (21.1%).
Peneliti mengambil pandangan bahwa sebagian responden telah
mencapai usia dewasa, sehingga mereka akan lebih mudah memahami
dan beradaptasi dalam menghadapi perilaku dan kondisi pada anak, serta
dapat membantu anak untuk beradaptasi dengan lingkungan Rumah Sakit
dan pengobatan dengan sikap kedewasaan mereka dikarenakan
lingkungan yang penuh kasih sayang, cukup membentuk rangsangan dan
memberikan dampak yang besar pada anak (Agustina, 2012).
b. Lama kerja perawat
Berdasarkan hasil penelitian yang diperoleh tentang lama kerja
responden dapat dijelaskan deskripsi dan interpretasi data bahwa paling
banyak responden bekerja kurang dari 10 tahun yaitu 26 responden
(68.4%), sedangkan responden bekerja lebih dari 10 tahun berjumlah 12
responden (31.6%).
Hal ini menunjukkan bahwa responden memiliki pengetahuan yang
cukup dan mempunyai pengalaman yang matang (5-20 tahun) tentang
prinsip dalam terapi bermain bagi anak yang mengalami hospitalisasi,
seperti kondisi kesehatan anak, keamanan dan kenyamanan pada anak
(Wong, et al, 2009).
c. Sarana prasarana
Berdasarkan hasil analisis peneltian ini dapat dideskripsikan data
bahwa penelitian ini berjumlah 38 responden. Distribusi frekuensi sarana
prasarana yang menyatakan tidak tersedia berjumlah 23 responden
(60.5%) merupakan yang paling banyak dalam penelitian ini dan yang
menyatakan sarana prasarana tersedia berjumlah 15 responden (39.5%).
Hal ini menunjukkan bahwa pelaksanaan terapi bermain belum
optimal dilakukan. Untuk terwujudnya sikap perawat agar menjadi
tindakan di perlukan faktor pendorong di Rumah Sakit, seperti
tersedianya sarana prasarana dan fasilitas terapi bermain yang memadai
(Agustina, 2012).
d. Tingkat Pendidikan
Berdasarkan hasil penelitian dapat diinterpretasikan data bahwa
penelitian ini berjumlah 38 responden. Distribusi frekuensi tingkat
pendidikan responden dengan kriteria D3 berjumlah 33 responden
(86.8%) merupakan tingkat pendidikan yang paling banyak dalam
penelitian ini dan kriteria S1 berjumlah 5 responden (13.2%).
Peneliti menyatakan bahwa responden sudah cukup mahir dalam
melakukan terapi bermain dilihat dari tingkat pendidikan, dikarenakan
kompetensi pendidikan yang ditempuh terdapat suatu keahlian untuk
melaksanakan terapi bermain pada anak.
e. Tingkat Pengetahuan
Berdasarkan hasil penelitian dapat dideskripsikan data bahwa
penelitian ini berjumlah 38 responden. Proporsi variabel tingkat
pengetahuan dengan kriteria baik 12 responden (31.6%) dan kriteria
buruk berjumlah 26 responden (68.4%) merupakan kriteria yang paling
banyak didalam penelitian ini.
Peneliti menyatakan bahwa terlalu banyaknya beban kerja perawat
sehingga untuk mengembangkan atau belajar kembali terapi bermain
akan terasa kesulitan.
Bermain merupakan aktivitas yang dapat dilakukan anak sebagai
upaya stimulasi pertumbuhan dan perkembangannya dan bermain pada
anak di Rumah Sakit menjadi media bagi anak untuk mengekspresikan
perasaa, relaksasi dan distraksi perasaan yang tidak nyaman. Oleh karena
itu, penting sekali para perawat memahami konsep dan implikasinya
pada anak, terutama selama dalam perawatan di Rumah Sakit, sebagai
bagian dari asuhan keperawatan yang harus dijalankan (Supartini, 2004).
f. Sikap
Berdasarkan analisis hasil penelitian dapat diinterpretasikan data
bahwa penelitian ini berjumlah 38 responden. Distribusi frekuensi
variabel sikap paling banyak responden dalam kriteria baik yaitu
berjumlah 29 responden (76.3%) sedangkan responden dalam kategori
buruk berjumlah 9 responden (23.7%).
Hal ini dimungkinkan karena kurangnya motivasi perawat dalam
melaksanakan terapi bermain pada anak. Menurut Darnin (2003) faktor
yang paling berperan dalam terapi bermain adalah perawat itu sendiri.
g. Terapi bermain
Berdasarkan hasil penelitian melalui analisis dan pengolahan data
dapat diinterpretasikan data bahwa penelitian ini berjumlah 38
responden. Distribusi frekuensi terapi bermain kategori dilaksanakan
ataupun tidak dilaksanakan dalam posisi seimbang artinya sama-sama
berjumlah 19 responden (50.0%) menyatakan tidak dilaksanakan ataupun
dilaksanakan.
Bermain tidak hanya berfungsi untuk kesenangan anak, tetapi dapat
menjadi satu media yang dapat mengekspresikan perasaan cemas, takut,
nyeri, dan rasa bersalah sehingga ada anggapan bahwa permainan yang
terapeutik adalah aktifitas yang sehat dan diperlukan untuk kelangsungan
tumbuh kembang anak dan memungkinkan untuk dapat menggali dan
mengekspresikan perasaan dan pikiran anak. Dengan demikian, kegiatan
bermain harus menjadi bagian integral dari pelayanan kesehatan anak di
Rumah Sakit (Supartini, 2004).
2. Analisis Bivariat
a. Hubungan lama kerja perawat dengan terapi bermain anak tidak
dilakukan di RSUD Dr. R. Goetheng Taroenadibrata Purbalingga, RSUD
Banyumas dan RS Wijaya Kusuma 04.03.01 Purwokerto
Berdasarkan hasil analisis pada tabel 9 diatas bahwa terdapat
sebanyak 13 responden (50.0%) perawat yang bekerja kurang dari 10
tahun tidak melaksanakan terapi bermain anak. Sedangkan diantara
perawat yang bekerja lebih dari 10 tahun terdapat 6 responden (50.0%)
yang tidak melaksanakan terapi bermain pada anak.
Hasil uji statistik diperoleh nilai p-value = 1,000, maka dapat
disimpulkan bahwa tidak ada perbedaan proporsi lama kerja perawat
dengan terapi bermain anak tidak dilakukan (tidak ada hubungan yang
signifikan antara lama kerja perawat dan terapi bermain tidak dilakukan
pada anak). Dari hasil analisis diperolah nilai OR = 1,000, artinya
perawat yang sudah bekerja kurang dari 10 tahun berpeluang 1 kali untuk
tidak melakukan terapi bermain pada anak dibandingkan perawat yang
sudah bekerja lebih dari 10 tahun.
Peneliti menyatakan bahwa semakin lama seseorang bekerja, maka
semakin berpengalaman pula dalam bekerja. Perawat yang mempunyai
pengalaman bekerja akan mendapatkan suatu pengalaman-pengalaman
yang gagal terlebih dahulu untuk selanjutnya menjadikan pengalaman
tersebut menjadi suatu tindakan yang lebih baik dari pengalaman
sebelumnya.
Penelitian ini sejalan dengan penelitiannya Agustina (2011) bahwa
responden penelitiannya paling banyak mempunyai pengalaman bekerja
antara 5-10 tahun, hal ini dikarenakan karena kebijakan rumah sakit
untuk memberikan suatu pelayanan yang prima dalam keperawatan anak,
dimana perawat yang bekerja lebih dari 10 tahun ditempatkan di
pelayanan yang tidak membutuhkan terlalu banyak aktifitas.
b. Hubungan sarana prasarana dengan terapi bermain anak tidak dilakukan
di RSUD Dr. R. Goetheng Taroenadibrata Purbalingga, RSUD
Banyumas dan RS Wijaya Kusuma 04.03.01 Purwokerto
Berdasarkan hasil analisis pada tabel 10 diatas bahwa terdapat
sebanyak 13 responden (56.5%) responden yang menyatakan sarana
prasarana tidak tersedia sehingga terapi bermain anak tidak dilakukan.
Sedangkan diantara responden menyatakan sarana prasarana tersedia
berjumlah 6 responden (40.0%) yang tidak melakukan terapi bermain.
Hasil uji statistik diperoleh nilai p-value=0.507, maka dapat
disimpulkan bahwa tidak ada perbedaan proporsi sarana prasarana yang
tersedia dengan terapi bermain anak tidak dilakukan perawat (tidak ada
hubungan yang signifikan antara sarana prasarana dan terapi bermain
anak tidak dilakukan). Dari hasil analisis diperolah nilai OR = 1.950,
artinya sarana prasarana yang tidak tersedia mempunyai peluang 2 kali
untuk tidak melakukan terapi bermain pada anak dibandingkan sarana
prasarana bermain yang tersedia di Rumah Sakit.
Agustina (2012) menyatakan dalam penelitiannya bahwa tersedianya
sarana prasarana bermain dan fasilitas bermain memungkinkan untuk
dilaksanakannya terapi bermain pada anak. Adanya prosedur ketetapan
yang telah dibuat merupakan pedoman bagi perawat sebagai acuan dalam
pelaksanaan terapi bermain. Dengan demikian, hal ini menunjukkan
dengan tidak tersedianya sarana prasarana atau fasilitas terapi bermain
akan sejalan dengan terapi bermain tidak dilakukan perawat di Rumah
Sakit.
c. Hubungan tingkat pendidikan dengan terapi bermain anak tidak
dilakukan di RSUD Dr. R. Goetheng Taroenadibrata Purbalingga, RSUD
Banyumas dan RS Wijaya Kusuma 04.03.01 Purwokerto
Berdasarkan hasil analisis pada tabel 11 diatas bahwa terdapat
sebanyak 17 responden (51.5%) perawat yang berpendidikan D3 tidak
melakukan terapi bermain pada anak. Sedangkan diantara perawat yang
berpendidikan S1 terdapat 2 responden (40.0%) yang tidak melakukan
terapi bermain pada anak. Hasil uji statistik diperoleh nilai p-
value=1.000, maka dapat disimpulkan bahwa tidak ada perbedaan
proporsi tingkat pendidikan responden dengan terapi bermain anak tidak
dilakukan (tidak ada hubungan yang signifikan antara tingkat pendidikan
dengan terapi bermain anak tidak dilakukan). Dari hasil analisis
diperolah nilai OR = 1.594, artinya perawat yang berpendidikan D3
mempunyai peluang 2 kali untuk tidak melakukan terapi bermain pada
anak dibandingkan perawat yang berpendidikan S1.
Notoatmodjo (2005) menyatakan bahwa konsep dasar pendidikan
adalah suatu proses belajar yang berarti di dalam pendidikan itu terjadi
proses pertumbuhan, perkembangan, atau perubahan ke arah yang lebih
dewasa, lebih baik, dan lebih matang pada diri individu, kelompok atau
masyarakat. Pendidikan yang tinggi dengan sendirinya membangun
pengetahuan dan pemahaman perawat tentang cara bagaimana prosedur
terapi bermain pada anak dilakukan di Rumah Sakit, sehingga perawat
yang berpendidikan tinggi cenderung dapat melaksanakan terapi bermain
secara lebih baik dibandingkan perawat yang berpendidikan lebih rendah.
d. Hubungan tingkat pengetahuan dengan terapi bermain anak tidak
dilakukan di RSUD Dr. R. Goetheng Taroenadibrata Purbalingga, RSUD
Banyumas dan RS Wijaya Kusuma 04.03.01 Purwokerto
Berdasarkan hasil analisis pada tabel 12 diatas bahwa terdapat
sebanyak 17 responden (65.4%) perawat yang mempunyai pengetahuan
kategori buruk tidak melakukan terapi bermain pada anak. Sedangkan
diantara perawat yang tingkat pengetahuan dalam kategori baik, ada 2
responden (16.7%) yang tidak melakukan terapi bermain pada anak.
Hasil uji statistik diperoleh nilai p-value=0.015, maka dapat disimpulkan
bahwa ada perbedaan proporsi tingkat pengetahuan dengan terapi
bermain anak tidak dilakukan (ada hubungan yang signifikan antara
tingkat pengetahuan dengan terapi bermain pada anak tidak
dilaksanakan). Dari hasil analisis diperolah nilai OR = 9.444, artinya
perawat yang mempunyai pengetahuan kategori buruk mempunyai
peluang 9 kali untuk tidak melakukan terapi bermain pada anak
dibandingkan perawat yang berkategori baik dalam tingkat
pengetahuannya.
Peneltian ini diperkuat Francischinelli (2011) dalam jurnalnya yang
menyatakan bahwa sikap perawat dalam pelaksanaan terapi bermain di
Rumah Sakit dalam kriteria kurang baik, yang artinya terapi bermain
tidak dijalankan secara rutin setiap harinya, hal ini terjadi dikarenakan
pengetahuan yang kurang cukup dimiliki oleh perawat ruangan.
e. Hubungan sikap dengan terapi bermain anak tidak dilakukan di RSUD
Dr. R. Goetheng Taroenadibrata Purbalingga, RSUD Banyumas dan RS
Wijaya Kusuma 04.03.01 Purwokerto
Berdasarkan hasil analisis pada tabel 13 diatas bahwa terdapat
sebanyak 11 responden (37.9%) perawat yang bersikap baik tidak
melakukan terapi bermain pada anak. Sedangkan diantara perawat yang
bersikap buruk terdapat, 8 responden (88.9%) yang tidak melakukan
terapi bermain pada anak. Hasil uji statistik diperoleh nilai p-
value=0.019, maka dapat disimpulkan bahwa ada perbedaan proporsi
sikap dengan terapi bermain anak tidak dilakukan (ada hubungan yang
signifikan antara sikap dengan terapi bermain pada anak tidak dilakukan
di Rumah Sakit). Dari hasil analisis diperolah nilai OR = 13.091, artinya
perawat yang bersikap buruk mempunyai peluang 13 kali untuk tidak
melakukan terapi bermain pada anak dibandingkan perawat yang
mempunyai sikap baik.
Penelitian ini sejalan dengan penelitiannya Agustina (2011) yang
menyatakan bahwa ada hubungan sikap dengan pelaksanaan terapi
bermain di Rumah Sakit, dimana berkurangnya faktor pendukung seperti
tersedianya sarana dan prasarana terapi bermain akan sejalan dengan
sikap perawat yang kurang dalam melaksanakan terapi bermain tersebut.
Sikap menurut Thurstone dalam Azwar (2009) adalah derajat afek
positif/ afek negatif yang dikaitkan dengan suatu obyek psikologis. Sikap
adalah keadaan mental dan syaraf dari kesiapan, yang diatur melalui
pengalaman yang memberikan pengaruh dinamik atau terarah terhadap
respon individu pada semua obyek dan situasi yang berkaitan dengannya.
Dari sini sikap dapat diartikan sebagai suatu kecenderungan subyek
berespon suka/ tidak suka terhadap suatu obyek. Dalam penelitian ini
yang berperan sebagai subyek yaitu perawat dan obyeknya yaitu tindakan
keperawatan terapi bermain.
3. Analisis Mulivariat
a. Variabel tingkat pengetahuan yang paling dominan atau berpengaruh
terhadap terapi bermain anak tidak dilakukan di RSUD Dr. R. Goetheng
Taroenadibrata Purbalingga, RSUD Banyumas dan RS Wijaya Kusuma
04.03.01 Purwokerto
Dari tabel 14 diatas dapat dinterpretasikan bahwa responden yang
tingkat pengetahuan dalam kategori buruk berpeluang 9 kali terapi
bermain pada anak tidak dilakukan di Rumah Sakit dibandingkan
responden tingkat pengetahuan dalam kategori baik.
Melihat variabel mana yang paling besar pengaruhnya terhadap
variabel dependen, dilihat dari nilai Exp (B) untuk variabel yang
signifikan, semakin besar nilai Exp (B) berarti semakin besar
pengaruhnya terhadap variabel dependen yang dianalisis. Dalam
penelitian ini dapat disimpulkan bahwa variabel yang paling dominan
atau berpengaruh terhadap terapi bermain pada anak tidak dilakukan di
Rumah Sakit adalah variabel tingkat pengetahuan dimana nilai Exp (B) =
9.444.
Peneliti menyatakan bahwa pengetahuan merupakan dasar
pelaksanaan terapi bermain pada perawat, dikarenakan tanpa
pengetahuan yang kompeten terapi bermain dapat dilakukan sesuai
prosedur dan mencapai tujuan yang maksimal dalam pelaksanaannya.
Sehingga apabila perawat tidak mengetahui tentang terapi bermain,
secara tidak langsung pelaksanaan terapi bermain tidak akan dilakukan
oleh perawat.
Salah satu cara memperoleh pengetahuan menurut Notoatmodjo
(2003) dengan berdasarkan pengalaman pribadi. Pengalaman ini
merupakan sumber pengetahuan atau pengalaman itu merupakan suatu
cara untuk memperoleh kebenaran pengetahuan. Pengalaman pribadi
yang merupakan cara untuk memperoleh pengetahuan, selanjutnya
pengalaman dapat menjadi acuan untuk bertindak melakukan sesuatu.
KESIMPULAN DAN SARAN
Berdasarkan hasil penelitian dan pembahsan dapat ditarik kesimpulan, sebagai
berikut :
1. Umur responden dan jenis kelamin sebagian besar responden berumur kurang
dari 30 tahun berjumlah 22 responden (57.9%) dan jenis kelamin yang paling
banyak adalah perempuan berjumlah 30 responden (78.9%).
2. Tidak ada hubungan lama kerja perawat dengan terapi bermain anak tidak
dilakukan di Rumah Sakit hasil uji statistik diperoleh nilai p-value=1,000,
dari hasil analisis diperolah nilai OR = 1,000, artinya perawat yang sudah
bekerja kurang dari 10 tahun berpeluang 1 kali untuk tidak melakukan terapi
bermain pada anak dibandingkan perawat yang sudah bekerja lebih dari 10
tahun.
3. Tidak ada hubungan sarana prasarana dengan terapi bermain anak tidak
dilakukan di Rumah Sakit hasil uji statistik diperoleh nilai p-value=0.507,
dari hasil analisis diperolah nilai OR = 1.950, artinya sarana prasarana yang
tidak tersedia mempunyai peluang 2 kali untuk tidak melakukan terapi
bermain pada anak dibandingkan sarana prasarana bermain yang tersedia di
Rumah Sakit.
4. Tidak ada hubungan tingkat pendidikan dengan terapi bermain anak tidak
dilakukan di Rumah Sakit hasil uji statistik diperoleh nilai p-value=1.000,
maka dari hasil analisis diperolah nilai OR = 1.594, artinya perawat yang
berpendidikan D3 mempunyai peluang 2 kali untuk tidak melakukan terapi
bermain pada anak dibandingkan perawat yang berpendidikan S1.
5. Ada hubungan tingkat pengetahuan dengan terapi bermain anak tidak
dilakukan di Rumah Sakit hasil uji statistik diperoleh nilai p-value=0.015,
dari hasil analisis diperolah nilai OR = 9.444, artinya perawat yang
mempunyai pengetahuan kategori buruk mempunyai peluang 9 kali untuk
tidak melakukan terapi bermain pada anak dibandingkan perawat yang
berkategori baik dalam tingkat pengetahuannya.
6. Ada hubungan sikap dengan terapi bermain anak tidak dilakukan di Rumah
Sakit hasil uji statistik diperoleh nilai p-value=0.019, dari hasil analisis
diperoleh nilai OR = 13.091, artinya perawat yang bersikap buruk
mempunyai peluang 13 kali untuk tidak melakukan terapi bermain pada anak
dibandingkan perawat yang mempunyai sikap baik.
7. Variabel yang paling dominan dalam penelitian ini adalah tingkat
pengetahuan terhadap terapi bermain anak tidak dilakukan di RSUD Dr. R.
Goetheng Taroenadibrata Purbalingga, RSUD Banyumas dan RS Wijaya
Kusuma 04.03.01 Purwokerto dengan nilai OR = 9.444.
Selanjutnya, mengacu pada hasil penelitian, disarankan beberaoa hal :
1. Bagi Perawat
Sebagai informasi tambahan dalam pelaksanaan terapi bermain agar dapat
dilakukan di Rumah Sakit sehingga dapat memperbaiki kekurangan apabila
terdapat faktor yang menyebabkan terapi bermain tidak dilakukan oleh
perawat.
2. Bagi Rumah Sakit
Sebagai dasar perbaikan kebijakan dalam pelaksanaan terapi bermain oleh
perawat di Ruang Anak, agar efek hospitalisasi pada semua anak dapat
diminimalisir.
3. Bagi Peneliti Selanjutnya
Sebagai referensi tambahan dalam melaksanakan penelitian selanjutnya
tentang faktor pelaksanaan terapi bermain di Rumah Sakit yang dilakukan
oleh perawat.
DAFTAR PUSTAKA
Agustina, (2012). Faktor-faktor yang mempengaruhi pelaksanaan terapi bermain. Jurnal Keperawatan Klinis. Vol. 3 (01), 2302-4380.
Azwar, Saefudin. (2009). Sikap manusia: Teori dan pengukurannya. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Budiharto. (2008). Metodologi penelitian kesehatan dengan contoh bidang ilmu kesehatan gigi. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC.
Damin, S. (2003). Riset keperawatan: Sejarah dan metodologi. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC.
Francischinelli, Amorim, & Fernandes. (2012). Routine use of therapeutic play in the care of hospitalized children: Nurses perceptions. Acta Paul Enferm, 25 (1), 18-23.
Hidayat. A. (2008). Pengantar ilmu keperawatan anak 1.Jakarta: Salemba Medika.
. (2011). Pengantar ilmu kesehatan anak untuk pendidikan kebidanan. .Jakarta: Salemba Medika.
Muntamah, U. (2007). Fenomena pengetahuan perawat tentang terapi bermain pada anak usia prasekolah yang dirawat di ruang anak rs st. Elisabeth semarang. Skripsi yang tidak dipublikasikan. Abstract. Ungaran: Akper Ngudi Waluyo Ungaran.
Notoatmodjo. (2003). Pendidikan dan perilaku kesehatan. Jakarta : PT. Rineka Cipta.
, (2005). Metodologi penelitian kesehatan. Jakarta : PT. Rineka Cipta.
. (2010). Metodologi penelitian kesehatan. Jakarta: PT. Rineka Cipta
Solikhah, U. (2011). Therapeutic peer play sebagai upaya menurunkan kecemasan anak sekolah selama hospitalisasi. Jurnal Keperawatan Soedirman, 6 (1), 20-30.
Supartini, Y. (2004). Buku ajar konsep dasar keperawatan anak. Jakarta: Buku Kedokteran EGC.
Wong, D.L., Hockenberry, M., Wilson, D., Winkelstein, M.L., & Schwartz, P. (2009). Buku ajar keperawatan pediatric edisi 6 volume 2. Jakarta : Penerbit Buku Kedokteran EGC.