naskah publikasi
TRANSCRIPT
![Page 1: naskah publikasi](https://reader038.vdokumen.com/reader038/viewer/2022100601/5572118d497959fc0b8f2368/html5/thumbnails/1.jpg)
PENGARUH TINGKAT PENDIDIKAN TERHADAP TINGKAT PENGETAHUAN MASYARAKAT MENGENAI ANTIBIOTIKA DI
KECAMATAN MERGANGSAN KOTA YOGYAKARTA TAHUN 2011
SKRIPSI
Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Farmasi (S. Farm.)
Program Studi Farmasi
Oleh:
Sisilia Rani Thoma
NIM : 078114141
FAKULTAS FARMASIUNIVERSITAS SANATA DHARMA
YOGYAKARTA2012
1
![Page 2: naskah publikasi](https://reader038.vdokumen.com/reader038/viewer/2022100601/5572118d497959fc0b8f2368/html5/thumbnails/2.jpg)
ABSTRACT
Antibiotic is one of medicine used by public in self-medication. This study is aimed at evaluation the influencing of educational level to the study participants’ knowledge of antibiotic. This study was done at Mergangsan Subdistric Yogyakarta Municipality Indonesia.
As non-experimental method, this study using descriptive analytic design and cross sectional approach, with 119 participants involved. Participants were recruited using purposive sampling. Data were collected by the list of questionnaires which is consisted 40 questions about antibiotic, and spearman rank test was used to analyze the data.
Results of the study show the educational level of participants (n=119) are Elementary School level 7,56%, Junior High School level 15,13%, Senior High School level 56,30% and University Graduated level 21,01%. Level of knowledge about antibiotic: 47,90% good, 46,22% fair, and 5,88% poor. In conclusion, educational level of participants does not affect the level of participants’ knowledge about antibiotic.
Keywords: educational level, knowledge level, antibiotic
INTISARI
Antibiotika adalah salah satu obat yang digunakan oleh masyarakat dalam pengobatan mandiri. Penelitian ini bertujuan untuk mengevaluasi tingkat pendidikan mempengaruhi pengetahuan masyarakat mengenai antibiotika. Penelitian ini dilakukan di Kecamatan Mergangsan Kota Yogyakarta.
Penelitian ini menggunakan metode non-eksperimental, dengan desain analitik deskriptif dan pendekatan cross sectional, serta jumlah responden yang terlibat dalam penelitian ini sebesar 119 responden. Pengambilan sampel dilakukan secara purposive sampling. Data penelitian diperoleh dari kuesioner yang terdiri dari 40 pernyataan mengenai antibiotika, dan uji spearman rank.
Hasil penelitian menunjukkan tingkat pendidikan responden (n=119) terdiri dari: SD sebesar 7,56%, SMP sebesar 15,13%, SMA sebesar 56,30%, dan Perguruan tinggi sebesar 21,01%. Tingkat pengetahuan mengenai antibiotika: 47,90% responden memiliki tingkat pengetahuan tinggi, 46,22% responden memiliki tingkat pengetahuan sedang dan 5,88% responden memiliki tingkat pengetahuan rendah mengenai antibiotika. Berdasarkan hasil yang diperoleh, dapat disimpulkan bahwa tingkat pendidikan tidak mempengaruhi tingkat pengetahuan masyarakat mengenai antibiotika di Kecamatan Mergangsan Kota Yogyakarta.
Kata Kunci: tingkat pendidikan, tingkat pengetahuan, antibiotika
2
![Page 3: naskah publikasi](https://reader038.vdokumen.com/reader038/viewer/2022100601/5572118d497959fc0b8f2368/html5/thumbnails/3.jpg)
I. Latar Belakang
Data yang diperoleh dari Gudang Farmasi Dinas Kesehatan Kota
Yogyakarta mengenai distribusi antibiotika di Kecamatan Mergangsan
Yogyakarta periode 01 Januari s/d 30 September 2010 menunjukkan bahwa
terdapat enam jenis antibiotika oral yang didistribusikan dalam jumlah lebih dari
5000 cap/tab. Jumlah tersebut menunjukkan banyaknya masyarakat yang
menggunakan antibiotika. Oleh karenanya, dibutuhkan pengetahuan yang
memadai mengenai antibiotika untuk mencegah penggunaan antibiotika yang
tidak rasional.
Pengetahuan merupakan domain yang sangat penting untuk terbentuknya
perilaku seseorang (Notoatmodjo, 2002). Salah satu faktor yang dapat
mempengaruhi pengetahuan adalah tingkat pendidikan seseorang. Seseorang
dengan pendidikan tinggi akan memiliki cakupan informasi yang lebih luas
sehingga pengetahuannya akan lebih banyak daripada orang yang berpendidikan
rendah (Broewer,1993). Dengan demikian, seseorang dengan pendidikan yang
lebih tinggi akan membentuk perilaku yang lebih baik. Dalam penggunaan
antibiotika, diharapkan orang yang berpendidikan tinggi akan lebih bijak
menggunakan antibiotika karena cakupan pengetahuan yang dimilikinya lebih
luas daripada orang yang berpendidikan rendah. Dengan demikian, penggunaan
antibiotika yang tidak rasional dapat dikurangi dan kejadian resistensi antibiotika
dapat dihindari.
Pendidikan adalah suatu proses perubahan sikap dan tata laku
seseorang/kelompok orang dalam usahanya mendewasakan manusia melalui suatu
upaya pengajaran dan pelatihan (Kamus Besar Bahasa Indonesia, 1994:204).
Menurut UU No.2 tahun 1989, Bab V Pasal 12: “Jenjang pendidikan yang
termasuk jalur pendidikan sekolah terdiri atas Pendidikan Dasar, Pendidikan
Menengah dan Pendidikan Tinggi”.
Sebelumnya telah ada penelitian mengenai hubungan antara tingkat
pendidikan dengan tingkat pengetahuan dan penelitian mengenai penggunaan
antibiotika dikalangan PSK di Yogyakarta. Dari hasil penelitian tersebut diketahui
bahwa tingkat pendidikan dengan tingkat pengetahuan mengenai kontrasepsi
3
![Page 4: naskah publikasi](https://reader038.vdokumen.com/reader038/viewer/2022100601/5572118d497959fc0b8f2368/html5/thumbnails/4.jpg)
memiliki hubungan positif langsung. Semakin tinggi tingkat pendidikan seseorang
akan meningkatkan pengetahuannya mengenai kontrasepsi. Sedangkan hubungan
antara tingkat pendidikan dengan tindakan akseptor KB mengenai kontrasepsi
merupakan hubungan positif tidak langsung (Prastiwi, 2009). Pengetahuan tentang
antibiotika di kalangan PSK di lokasi Pasar Kembang Yogyakarta dapat
dikategorikan cukup tinggi yaitu sebesar 84,1% mengetahui dan sisanya sebesar
15,9% tidak mengetahui (Suhadi dan Sutama, 2005).
Antibiotika adalah obat yang digunakan untuk membunuh atau
melemahkan pertumbuhan bakteri dan beberapa jamur (National Institute of
Allergy and Infectious Deseases, 2009). Penggunaan antibiotika yang tidak
rasional dapat menimbulkan terjadinya resistensi antibiotika. Resistensi
antibiotika merupakan kejadian dimana antibiotika kekurangan kemampuannya
untuk mengontrol atau membunuh pertumbuhan mikrobia. Dengan kata lain,
bakteri menjadi resisten dan dapat melanjutkan untuk memperbanyak diri pada
kondisi kadar terapi antibiotika (APUA, 2010). Ketidaktepatan dalam penggunaan
antibiotika meliputi kesalahan dalam dosis atau interval pemberian, lama
pemberian terlalu lama ataupun terlalu singkat, antibiotika yang digunakan bukan
antibiotika yang tepat karena masih tersedia antibiotika lain yang lebih efektif dan
lebih murah. Resistensi bakteri terhadap antibiotika berpotensi meningkatkan
biaya pengobatan. Keadaan ini menyebabkan jenis bakteri yang awalnya dapat
diobati dengan antibiotika ringan akhirnya memerlukan jenis antibiotika yang
lebih kuat (antibiotika generasi berat) untuk menanganinya yang dapat
meningkatkan biaya pengobatan. Jika bakteri ini menyebar ke lingkungan dan
penggunaan antibiotika yang tidak rasional terus terjadi maka suatu saat tidak
akan ada antibiotika yang dapat membunuh bakteri yang terus bermutasi ini. Hal
ini akan menyebabkan infeksi yang diakibatkan oleh bakteri tidak dapat diobati
sehingga angka kematian akan melonjak (Judarwanto, 2006).
Penggunaan antibiotika yang tidak rasional dapat disebabkan karena
kurangnya pengetahuan mengenai antibiotika. Oleh karenanya, untuk
meminimalisasi kejadian resistensi antibiotika diperlukan pengetahuan yang baik
tentang antibiotika.
4
![Page 5: naskah publikasi](https://reader038.vdokumen.com/reader038/viewer/2022100601/5572118d497959fc0b8f2368/html5/thumbnails/5.jpg)
II. Permasalahan
Berdasarkan latar belakang yang telah dikemukakan, timbul
permasalahan untuk diteliti :
a. Seperti apakah karakteristik demografi masyarakat Kecamatan Mergangsan
Yogyakarta?
b. Seperti apakah tingkat pendidikan masyarakat Kecamatan Mergangsan
Yogyakarta?
c. Seperti apakah pengetahuan masyarakat Kecamatan Mergangsan Yogyakarta
mengenai pengertian umum antibiotika, cara memperoleh antibiotika, tempat
memperoleh antibiotika, cara penggunaan antibiotika, aturan penggunaan
antibiotika serta pengertian umum resistensi antibiotika?
d. Seperti apakah tingkat (tinggi, sedang, rendah) pengetahuan masyarakat
Kecamatan Mergangsan Yogyakarta tentang antibiotika?
e. Apakah tingkat pendidikan mempengaruhi tingkat pengetahuan masyarakat
Kecamatan Mergangsan Yogyakarta mengenai antibiotika?
f. Darimana masyarakat Kecamatan Mergangsan Yogyakarta memperoleh informasi
mengenai antibiotika?
III. Bahan, Alat, dan Cara Penelitian
A. Jenis dan Rancangan Penelitian
Alat bantu yang digunakan untuk mengukur tingkat pendidikan, tingkat
pengetahuan responden mengenai antibiotika, dan sumber perolehan informasi
responden adalah kuesioner. Jenis penelitian ini adalah non eksperimental karena
peneliti tidak memberikan perlakuan atau intervensi pada responden penelitian.
Rancangan penelitian yang digunakan adalah analitik deskriptif karena data yang
diperoleh kemudian dianalisis dan selanjutnya dideskripsikan dengan metode
statistik dan deskripsi kualitatif. Metode penelitian yang digunakan adalah survey
dengan pendekatan Cross Sectional yaitu pengambilan data dilakukan dalam
suatu waktu tertentu saja (Umar, 2010).
B. Subyek Penelitian
5
![Page 6: naskah publikasi](https://reader038.vdokumen.com/reader038/viewer/2022100601/5572118d497959fc0b8f2368/html5/thumbnails/6.jpg)
Subyek penelitian yang digunakan adalah masyarakat Kecamatan
Mergangsan baik laki-laki atau perempuan dengan kriteria inklusi subyek adalah
tingkat pendidikan yang telah ditamatkan minimal SD. Kriteria eksklusi subyek
meliputi: masyarakat yang sedang atau telah menempuh pendidikan formal yang
berkaitan dengan ilmu kesehatan (dokter, dokter gigi, dokter hewan, apoteker,
perawat, ahli gizi, analis kesehatan, bidan) dan masyarakat yang telah
memperoleh informasi mengenai antibiotika dari pendidikan non formal
(penyuluhan, seminar).
C. Tata Cara Penelitian
1. Studi pustaka
Penelitian ini dimulai dengan studi pustaka, yaitu membaca literatur-
literatur atau website yang berhubungan dengan tingkat pendidikan, tingkat
pengetahuan, antibiotika, pengaruh tingkat pendidikan terhadap tingkat
pengetahuan, pembuatan kuesioner, metodologi penelitian, statistik, dan
perhitungan data yang diperlukan.
2. Penentuan lokasi penelitian dan besar sampel
Penentuan lokasi penelitian yaitu kecamatan dilakukan secara purposive.
Dari kecamatan tersebut kemudian dihitung jumlah RT secara keseluruhan dan
dipilih 10% dari jumlah tersebut untuk menjadi lokasi penelitian. Penentuan besar
sampel dilakukan secara random dengan metode cluster sampling. Pertama-tama
dihitung jumlah RT secara keseluruhan dalam kecamatan tersebut. Dari total
jumlah RT, akan diambil sebanyak 10% secara random untuk di cluster. Dari
setiap RT yang terpilih akan diambil 10% populasi yang memenuhi kriteria
inklusi secara purposive untuk dijadikan sampel uji. Jumlah RT di Kecamatan
Mergangsan adalah sebanyak 216 RT sehingga akan diambil 22 RT untuk
dijadikan lokasi pengambilan sampel. Responden yang terlibat dalam penelitian
ini berjumlah 119 orang.
D. Uji validitas dan realibilitas instrumen
Uji validitas yang digunakan dalam penelitian ini adalah validitas isi
(Content Validity) yang diestimasi lewat pengujian terhadap isi tes dengan analisis
rasional atau melalui Professional Judgment. Professional yang dimaksud adalah
6
![Page 7: naskah publikasi](https://reader038.vdokumen.com/reader038/viewer/2022100601/5572118d497959fc0b8f2368/html5/thumbnails/7.jpg)
seorang apoteker. Uji reliabilitas yang digunakan dalam penelitian ini adalah uji
reliabilitas terpakai yaitu hasil uji responden sekaligus dipakai untuk uji
reliabilitas. Uji reliabilitas terpakai ini digunakan untuk menghemat waktu karena
terbatasnya waktu penelitian dan luasnya cakupan wilayah penelitian. Reliabilitas
instrumen dilakukan pada 30 orang responden dan dihitung menggunakan alat
ukur uji statistik Cronbach Alpha Nilai reliabilitas dari instrumen penelitian ini
adalah 0,759 lebih besar dari nlai r-tabelnya yaitu 0,361 sehingga instrumen
penelitian ini cukup reliabel untuk digunakan.
E. Uji normalitas instrumen
Hasil uji normalitas menunjukkan bahwa tingkat pengetahuan memiliki
nilai p>0,05 sehingga distribusi datanya dikatakan normal sedangkan sebaran data
pada variabel tingkat pendidikan memiliki nilai p<0,05 sehingga distribusi
datanya dikatakan tidak normal. Adanya variabel yang sebaran datanya tidak
normal ini menjadi dasar untuk menganalisis data dengan korelasi Spearman rank
(Patria, 2010).
IV. Hasil Penelitian dan Pembahasan
A. Karakterisktik Demografi Responden Responden dalam penelitian ini sebagian besar berada pada rentang usia
35-49 tahun (44,54%) dan berjenis kelamin perempuan (52,10%). Melihat data
ini, diharapkan tingkat pengetahuan responden mengenai antibiotika akan tinggi
karena semakin tinggi usia seseorang akan mempengaruhi pengetahuan yang
dimilikanya. Wanita lebih peduli terhadap kesehatan dibanding kaum pria
sehingga pengetahuan yang dimilikinya mengenai kesehatan pun lebih banyak
dibanding pria (Anna, Chandra, 2011).
B. Tingkat Pendidikan Responden
Dari 119 responden yang terlibat dalam penelitian ini, tingkat pendidikan
responden yang paling banyak adalah SMA (56,30%) sedangkan yang terendah
adalah SD (7,56%). Melihat jumlah ini diharapkan responden di Kecamatan
Mergangsan Yogyakarta banyak yang memiliki tingkat pengetahuan tinggi
mengenai antibiotika.
7
![Page 8: naskah publikasi](https://reader038.vdokumen.com/reader038/viewer/2022100601/5572118d497959fc0b8f2368/html5/thumbnails/8.jpg)
C. Pengetahuan Responden Mengenai Antibiotika
1. Pengetahuan responden mengenai pengertian umum antibiotika
Dari hasil penelitian diketahui bahwa sebagian besar responden belum
tahu bahwa antibiotika hanya digunakan untuk mengobati penyakit karena infeksi
bakteri. Responden yang tidak tahu menjawab antibiotika adalah obat yang dapat
digunakan untuk mengobati penyakit karena infeksi bakteri dan virus atau pun
virus saja. Dari hasil penggolongan pengetahuan responden mengenai pengertian
umum antibiotika, diketahui bahwa sebagian besar responden memiliki
pengetahuan yang sedang mengenai antibiotika (54,62%).
22,69%
54,62%
22,69%
TinggiSedangRendah
Gambar 5. Perbandingan Pengetahuan Responden Mengenai Pengertian Umum Antibiotika
Hasil tersebut menunjukkan bahwa pengetahuan responden di Kecamatan
Mergangsan mengenai pengertian umum antibiotika dapat dikatakan masih rendah
karena sebagian besar responden belum tahu mengenai pengertian umum
antibiotika.
2. Pengetahuan responden mengenai cara memperoleh antibiotika
Pengetahuan responden mengenai cara memperoleh antibiotika dinilai
dari pernyataan mengenai cara memperoleh antibiotika oral dan topikal yang
seharusnya. Pada kenyataannya, semua antibiotika oral tergolong dalam obat
keras sehingga hanya dapat diperoleh dengan resep dokter (American Academy of
Family Physicians, 2009). Dalam penggolongan OWA (Obat Wajib Apotek),
terdapat beberapa jenis antibiotika topikal yang tergolong dalam obat wajib
apotek. Antibiotika yang tergolong dalam OWA ini dapat diperoleh dari apotek
8
![Page 9: naskah publikasi](https://reader038.vdokumen.com/reader038/viewer/2022100601/5572118d497959fc0b8f2368/html5/thumbnails/9.jpg)
tanpa resep dokter sedangkan obat topikal lain yang tidak tergolong OWA hanya
dapat diperoleh dengan resep dokter.
37,81%
39,50%
22,69%
TinggiSedangRendah
Gambar 7. Perbandingan Tingkat Pengetahuan Responden Mengenai Cara Memperoleh Antibiotika
Hasil tersebut menunjukkan bahwa sebagian besar responden Kecamatan
Mergangsan tidak tahu mengenai cara memperoleh antibiotika yang benar.
3. Tempat Memperoleh antibiotika responden
Sebagian besar responden di Kecamatan Mergangsan Yogyakarta
memperoleh antibiotika dari rumah sakit (99,16%) dan apotek (98,32%). Hal ini
sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang menyatakan bahwa antibiotika
hanya dapat diperoleh dari rumah sakit dan apotek. Sebagian kecil responden
menjawab memperoleh antibiotika dari sumber yang tidak rasional seperti mantri,
toko obat, sisa obat anggota keluarga yang lain, pengecer obat, dan warung.
49,58%
36,13%
14,29%
TinggiSedangRendah
Gambar 9. Perbandingan Tingkat Pengetahuan Responden Mengenai Tempat Memperoleh Antibiotika
Data tersebut menunjukkan bahwa sebagian besar responden Kecamatan
Mergangsan Yogyakarta memperoleh antibiotika dari sumber yang tepat yaitu
9
![Page 10: naskah publikasi](https://reader038.vdokumen.com/reader038/viewer/2022100601/5572118d497959fc0b8f2368/html5/thumbnails/10.jpg)
rumah sakit dan apotek namun, pengetahuan responden secara umum mengenai
tempat memperoleh antibiotika yang benar masih kurang.
4. Pengetahuan responden mengenai cara penggunaan antibiotika
Penggunaan antibiotika yang benar adalah harus diminum sampai habis
(American Academy of Family Physicians, 2009).
44,54%
27,73%
27,73%
TinggiSedangRendah
Gambar 11. Perbandingan Tingkat Pengetahuan Responden Mengenai Cara Penggunaan Antibiotika
Hasil tersebut menunjukkan bahwa sebagian besar (55,46%) responden
tidak tahu mengenai cara penggunaan antibiotika yang benar karena beranggapan
bahwa antibiotika digunakan hanya sampai gejala penyakit hilang.
5. Pengetahuan responden mengenai aturan penggunaan antibiotika
Sebagian besar responden memiliki pengetahuan yang tinggi mengenai
aturan penggunaan antibiotika (47,90%).
47,90%
40,43%
11,76%
TinggiSedangRendah
Gambar 13. Perbandingan Tingkat Pengetahuan Responden Mengenai Aturan Penggunaan Antibiotika
10
![Page 11: naskah publikasi](https://reader038.vdokumen.com/reader038/viewer/2022100601/5572118d497959fc0b8f2368/html5/thumbnails/11.jpg)
Hasil tersebut menunjukkan bahwa pengetahuan responden di Kecamatan
Mergangsan Yogyakarta mengenai aturan penggunaan antibiotika masih tergolong
rendah.
6. Pengetahuan responden mengenai resistensi antibiotika
Dari hasil penggolongan tingkat pengetahuan responden, mengenai
resistensi antibiotika diketahui bahwa sebagian besar responden memiliki
pengetahuan yang tinggi mengenai resistensi antibiotika (gambar 15).
67,23%
23,53%
9,24%
TinggiSedangRendah
Gambar 15. Perbandingan Tingkat Pengetahuan Responden Mengenai Resistensi Antibiotika
Responden yang memiliki pengetahuan yang sedang dan rendah kurang
memahami bahwa penggunaan antibiotika secara tidak teratur dapat menyebabkan
terjadinya resistensi antibiotika. Mereka juga tidak tahu bahwa resistensi
antibiotika adalah kekebalan bakteri terhadap antibiotika. Hasil ini menunjukkan
bahwa pengetahuan masyarakat Kecamatan Mergangsan Yogyakarta mengenai
resistensi antibiotika cukup tinggi yaitu sebesar 67,23%.
D. Pengetahuan Responden Mengenai Antibiotika Secara Umum
Tingkat pengetahuan dikatakan tinggi jika responden mampu menjawab
benar lebih dari 70% pernyataan. Tingkat pengetahuan dikatakan sedang jika
responden mampu menjawab 50%-70% pernyataan benar dan dikatakan rendah
jika hanya mampu menjawab kurang dari 50% pernyataan benar (Nursalam,
2003).
11
![Page 12: naskah publikasi](https://reader038.vdokumen.com/reader038/viewer/2022100601/5572118d497959fc0b8f2368/html5/thumbnails/12.jpg)
47,90%
46,22%
5,88%
TinggiSedangRendah
Gambar 17. Perbandingan Tingkat Pengetahuan Responden Mengenai Antibiotika Secara Umum
Berdasarkan penggolongan tingkat pengetahuan diketahui bahwa
sebagian besar responden memiliki tingkat pengetahuan yang tinggi mengenai
antibiotika (47,90%). Sebesar 46,22% responden memiliki pengetahuan yang
sedang mengenai antibiotika dan 5,88% memiliki pengetahuan yang rendah
mengenai antibiotika.
E. Pengaruh Tingkat Pendidikan terhadap Tingkat Pengetahuan Responden
Mengenai Antibiotika
Untuk melihat apakah tingkat pendidikan mempengaruhi tingkat
pengetahuan responden mengenai antibiotika dilakukan uji korelasi Spearman
rank antara tingkat pendidikan responden dengan tingkat pengetahuan responden
mengenai antibiotika. Hasil korelasi menunjukkan nilai korelasinya sebesar 0,225
namun tidak signifikan (p=0,14) sehingga dapat diabaikan. Oleh karenanya, dapat
dikatakan tidak ada hubungan antara tingkat pendidikan masyarakat Kecamatan
Mergangsan Kota Yogyakarta dengan tingkat pengetahuan masyarakat mengenai
antibiotika.
12
![Page 13: naskah publikasi](https://reader038.vdokumen.com/reader038/viewer/2022100601/5572118d497959fc0b8f2368/html5/thumbnails/13.jpg)
F. Sumber Informasi Antibiotika yang Diperoleh Responden
1. Sumber informasi interpersonal
Informasi mengenai antibiotika paling banyak diperoleh responden dari dokter
(92,44%), apoteker (68,07%).
0.00%
20.00%
40.00%
60.00%
80.00%
100.00%92.44%
68.07%66.39%
50.42%
19.33%
63.03%
33.61%
53.78%
Sumber informasi
Per
sent
ase
jum
lah
resp
onde
n
Gambar 18. Distribusi Sumber Informasi Interpersonal Responden
Apoteker sebagai seorang ahli seharusnya dapat memaksimalkan
perannya sehingga diharapkan perolehan informasi terbanyak diperoleh dari
apoteker. Informasi yang diberikan oleh seorang apoteker diharapkan akan
lebih lengkap dan tepat.
2. Sumber informasi media cetak
Perolehan informasi mengenai antibiotika dari media cetak di
kelompokkan menjadi empat sumber utama yaitu dari koran/surat kabar, brosur
kesehatan, leaflet kesehatan, dan majalah kesehatan. Ringkasan hasilnya dapat
tersaji dalam histogram berikut:
13
![Page 14: naskah publikasi](https://reader038.vdokumen.com/reader038/viewer/2022100601/5572118d497959fc0b8f2368/html5/thumbnails/14.jpg)
0.00%
20.00%
40.00%
60.00% 36.97%
57.98%47.90% 44.54%
Sumber informasi
Per
sen
tase
ju
mla
h r
esp
on
den
Gambar 19. Distribusi Sumber Informasi Media Cetak Responden
Dari data tersebut (gambar 19) diketahui bahwa sebagian besar
masyarakat memperoleh informasi dari brosur kesehatan (57,98%) dan leaflet
kesehatan (47,90%).
3. Sumber informasi media elektronik
Perolehan informasi antibiotika dari media elektronik dikelompokkan
menjadi tiga sumber informasi utama yaitu radio, internet dan media televisi.
Ringkasan hasilnya tersaji dalam histogram berikut:
Radio Internet Televisi0.00%
10.00%20.00%30.00%40.00%50.00%
25.21%
42.02% 42.02%
Sumber informasi
Per
sen
tase
ju
mla
h
resp
on
den
Gambar 20. Distribusi Sumber Informasi Media Elektronik Responden
Dari data tersebut (gambar 20) diketahui bahwa sebagian besar
masyarakat memperoleh informasi dari internet (42,02%) dan televisi (42,02%).
Perolehan informasi mengenai antibiotika dari radio paling sedikit diperoleh
masyarakat (25,21%).
14
![Page 15: naskah publikasi](https://reader038.vdokumen.com/reader038/viewer/2022100601/5572118d497959fc0b8f2368/html5/thumbnails/15.jpg)
V. Kesimpulan dan Saran
A. Kesimpulan
1. Karakteristik demografi masyarakat Kecamatan Mergangsan adalah berusia 20-60
tahun dengan persentase tertinggi berusia 35-49 tahun (44,54%) dan persentase
terendah berusia 50-64 tahun (11,76%) dengan jenis kelamin perempuan
(52,10%) dan laki-laki (47,90%).
2. Tingkat pendidikan masyarakat Kecamatan Mergangsan Yogyakarta adalah SMA
sebesar 56,30%, Perguruan Tinggi sebesar 21,01%, SMP sebesar 15,13% dan SD
sebesar 7,56%.
3. Masyarakat Kecamatan Mergangsan Yogyakarta paling banyak mengetahui
tentang resistensi antibiotika (78,99%) dan paling sedikit mengetahui tentang cara
memperoleh antibiotika (63,19%).
4. Jumlah masyarakat Kecamatan Mergangsan Yogyakarta yang memiliki tingkat
pengetahuan tinggi mengenai antibiotika adalah sebesar (47,90%), sedang
(46,22%), dan rendah (5,88%).
5. Tingkat pendidikan tidak mempengaruhi tingkat pengetahuan masyarakat
Kecamatan Mergangsan Yogyakarta mengenai antibiotika.
6. Sumber informasi masyarakat Kecamatan Mergangsan Yogyakarta 92,44% dari
dokter (sumber informasi interpersonal), 57,98% dari brosur kesehatan (media
cetak), 42,02% dari internet dan televisi (media elektronik).
B. Saran
1. Meningkatkan peran apoteker dalam hal pemberian informasi tentang obat
khususnya antibiotika bagi masyarakat.
2. Memanfaatkan media televisi sebagai sarana untuk menyampaikan informasi
mengenai antibiotika kepada masyarakat karena televisi merupakan media yang
sering digunakan masyarakat.
3. Bagi peneliti selanjutnya dapat melakukan identifikasi faktor-faktor yang
mempengaruhi tingkat pengetahuan.
15
![Page 16: naskah publikasi](https://reader038.vdokumen.com/reader038/viewer/2022100601/5572118d497959fc0b8f2368/html5/thumbnails/16.jpg)
VI. Daftar Pustaka
AAFP, 2009, Controlling Antibiotic Resistance: Will We Someday See Limited Prescribing Autonomy?, American Academy of Family Physicians, http://www.aafp.org/afp/2001/0315/p1034.html, diakses tanggal 13 November 2010.
Anna, L.K., Chandra, A., 2011, Kaum Lelaki Kurang Peduli Kesehatan, http://health.kompas.com/read/2011/02/17/15371631/www.kompas.com, diakses tanggal 31 Oktober 2011.
APUA, 2010, What is Antibiotic Resistance and Why is it a problem?, Alliance for The Prudent Use of Antibiotic, http://www.tufts.edu/med/apua/about_issue/antibiotic_res.shtml, diakses tanggal 16 November 2010.
Azwar, S., 2007, Reliabilitas dan Validitas, Edisi ke-3, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, hal. 45.
Broewer, 1993, Pola Pikir Pendidikan, Dinas Pendidikan, Yogyakarta, hal. 7-10.
Brooks, G.F., Butel, J.S., and Morse, S.A., 2005, Mikrobiologi Kedokteran (Medical Microbiology), edisi pertama, diterjemahkan dan diedit oleh Mudihardi, H.E., Kuntaman, Wasito, E.B., Mertaniasih, N.M., Harsono, S., Alimsardjono, L., Penerbit Salemba Medika, Jakarta, hal. 228-229.
Damanik, 2009, Hubungan Tingkat Pendidikan dengan Tingkat Pengetahuan Wanita Usia 20-40 tahun di Kelurahan Polonia Kecamatan Medan Polonia Tentang Sadari Sebagai Salah Satu Cara Untuk Mendeteksi Dini Kanker Payudara, Skripsi, Universitas Sumatera Utara, Medan, hal. 41.
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1994, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Indonesia, Balai Pustaka, Jakarta, hal. 204.
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 2002, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Indonesia, Balai Pustaka, Jakarta, hal. 204.Direktorat Jenderal Pelayanan Kefarmasian dan alat kesehatan.
Djuang, M. H., 2009, Hubungan Antara Karakteristik Masyarakat dengan Penggunaan Antibiotik yang Diperoleh Secara Bebas di Medan, Skripsi, Universitas Sumatera Utara, Medan, 23.
Glantz, S. A., 2005, Primer of Biostatistics, 6th ed., The Mc Graw-Hill Companies, USA, pp 296
16
![Page 17: naskah publikasi](https://reader038.vdokumen.com/reader038/viewer/2022100601/5572118d497959fc0b8f2368/html5/thumbnails/17.jpg)
Harkness, R., 1989, Interaksi Obat, diterjemahkan oleh Agoes, G., Widianto, M.B., Penerbit ITB, Bandung, hal. 17-18.
Judarwanto, W., 2006, Penggunaan Antibiotika Irasional Pada Anak, ISSN : 2085-871X | Edisi Vol.8/XVIII/November 2006 – KESEHATAN, inovasi online, ppi jepang, diakses tanggal 22 november 2010.
Keputusan Menteri Kesehatan No.347/MenKes/SK/VII/1990 tentang Obat Wajib Apotek.
Kuncoro, M., 2009, Metode Riset untuk Bisnis & Ekonomi (Bagaimana Meneliti & Menulis Tesis?), Edisi 3, Penerbit Erlangga, Jakarta, hal. 188.
National Institute of Allergy and Infectious Deseases, 2009, Antimicrobial (Drug)Resistance, http://www.niaid.nih.gov/topics/antimicrobialResistance/Understanding/Pages/definitions.aspx, diakses tanggal 24 september 2010.
Notoatmodjo, S., 2002, metodologi penelitian kesehatan, 2nd ed. Jakarta: Rineka cipta.
Nursalam, 2003, Konsep dan Penerapan Metodologi Penelitian ilmu Keperawatan, Salemba Medika, Jakarta.
Patria, B., 2010, Uji Normalitas, http://inparametric.com/bhinablog/download/ujinormalitas.pdf
Prastiwi, 2009, Hubungan Tingkat Pendidikan Terhadap Perilaku Akseptor KB Tentang Kontrasepsi di Puskesmas Kabupaten Sleman, Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta, hal. 31-32.
Suhadi R., dan Sutama I.M.A., 2005,Studi Pemilihan dan Penggunaan Antibiotika Di Kalangan Pekerja Seks Komersial (PSK) di Lokasi Pasar Kembang Yogyakarta, Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta.
Suparlan, P., 1995, Masyarakat Terasing dalam Masyarakat Indonesia, Ed. 1, , Yayasan Obor Indonesia, Jakarta, hal. 214.
Tirtarahardja, U., dan La Sulo, S.L., 2008, Pengantar Pendidikan, Edisi Revisi, PT Rineka Cipta, Jakarta, hal. 76-77.
Umar, H., 2010, Desain Penelitian Manajemen Strategik (Cara Mudah Meneliti Masalah-Masalah Manajemen Strategik untuk Skripsi, Tesis, dan Praktik Bisnis), Seri Desain Penelitian Bisnis-No.3, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta, hal. 8, 68.
17
![Page 18: naskah publikasi](https://reader038.vdokumen.com/reader038/viewer/2022100601/5572118d497959fc0b8f2368/html5/thumbnails/18.jpg)
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 2, 1989, Sistem Pendidikan Nasional, http://www.dikti.go.id/Archive2007/uu_no2_1989.htm, diakses tanggal 23 November 2010.
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (UU SISDIKNAS 2003).
Undang-Undang Obat Keras St. No.149, tanggal 22 desember 1949, Undang-Undang Obat keras.
Widianti, E., Sriati, A., dan Hernawaty, T., 2007, Pengetahuan Pasien Mengenai Gangguan Psikomatik dan Pencegahannya di Puskesmas Tarogong Garut, Laporan Penelitian, Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Padjajaran, Bandung.
18