naskah kebijakan hiu - 10aug2016 - final - materi meeting ... filei analisis kebijakan kebutuhan...

83
i ANALISIS KEBIJAKAN KEBUTUHAN REGULASI PENETAPAN STATUS PERLINDUNGAN TERBATAS IKAN HIU (Tidak Dilindungi dan Apendiks/Non Apendiks CITES) DIREKTORAT KONSERVASI DAN KEANEKARAGAMAN HAYATI LAUT DIREKTORAT JENDERAL PENGELOLAAN RUANG LAUT KEMENTERIAN KELAUTAN DAN PERIKANAN 2016

Upload: dotruc

Post on 09-Jun-2019

230 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: Naskah Kebijakan Hiu - 10Aug2016 - Final - materi meeting ... filei ANALISIS KEBIJAKAN KEBUTUHAN REGULASI PENETAPAN STATUS PERLINDUNGAN TERBATAS IKAN HIU (Tidak Dilindungi dan Apendiks/Non

i

ANALISIS KEBIJAKAN

KEBUTUHAN REGULASI

PENETAPAN STATUS PERLINDUNGAN TERBATAS IKAN HIU

(Tidak Dilindungi dan Apendiks/Non Apendiks CITES)

DIREKTORAT KONSERVASI DAN KEANEKARAGAMAN HAYATI LAUT

DIREKTORAT JENDERAL PENGELOLAAN RUANG LAUT

KEMENTERIAN KELAUTAN DAN PERIKANAN

2016

Page 2: Naskah Kebijakan Hiu - 10Aug2016 - Final - materi meeting ... filei ANALISIS KEBIJAKAN KEBUTUHAN REGULASI PENETAPAN STATUS PERLINDUNGAN TERBATAS IKAN HIU (Tidak Dilindungi dan Apendiks/Non

KATA PENGANTAR

Tingkat keanekaragaman hayati laut Indonesia diperkirakan menjadi salah satu yang

tertinggi di dunia sehingga dapat dikatakan sebagai the center of marine biodiversity in the world.

Salah satu sumber daya laut yang telah dimanfaatkan, baik untuk kepentingan penelitian, budaya

dan ekonomi, oleh masyarakat adalah ikan hiu. Wilayah perairan Indonesia sendiri memiliki

hampir sepertiga dari total spesies hiu di seluruh dunia. Memperhatikan jumlah atau keberadaan

spesies hiu yang banyak di perairan Indonesia, maka sudah seyogyanya pemerintah, masyarakat,

serta seluruh pihak yang berkepentingan untuk bersama-sama mengupayakan keberlangsungan

atau kelestarian sumber daya ikan hiu itu sendiri. Sehingga, sumber daya ikan hiu dapat

dimanfaatkan secara berkelanjutan dengan terus memperhatikan prinsip konservasi atau aspek

pengelolaan dan perlindungannya.

Upaya perlindungan dan pengelolaan perikanan hiu secara komprehensif di Indonesia

merupakan hal yang sangat penting dan mendesak untuk dilakukan. Selain itu, implementasi

rencana aksi perlindungan dan pengelolaan sumber daya ikan hiu secara nasional dapat

ditempuh dalam beberapa tahapan atau paling tidak dengan membuat proyek-proyek

percontohan yang mengarah pada pelaksanaan yang utuh dari Rencana Aksi Nasional.

Selanjutnya, sebagai salah satu negara yang telah mengesahkan konvensi internasional, seperti

Convention on International Trade in Endangered Species of Wild Fauna and Flora (CITES),

Indonesia tentu perlu menyesuaikan peraturan atau legislasi nasional di dalam negeri dengan

regulasi internasional, secara khusus yang menangani perdagangan satwa liar, dalam hal ini ikan

hiu.

Penetapan status perlindungan ikan hiu di Indonesia perlu diatur lebih lanjut dalam

peraturan perundang-undangan di tingkat nasional. Tujuan dari peraturan ini adalah untuk

memastikan bahwa sumber daya ikan hiu dapat dimanfaatkan secara lestari tanpa

mengesampingkan upaya perlindungannya. Dokumen ini diharapkan dapat digunakan sebagai

salah satu acuan untuk penyusunan peraturan perlindungan ikan hiu di Indonesia. Ucapan terima

kasih disampaikan kepada pihak-pihak yang telah berkontribusi dalam penyusunan dokumen ini.

Jakarta, Maret 2016

Penyusun

i

Page 3: Naskah Kebijakan Hiu - 10Aug2016 - Final - materi meeting ... filei ANALISIS KEBIJAKAN KEBUTUHAN REGULASI PENETAPAN STATUS PERLINDUNGAN TERBATAS IKAN HIU (Tidak Dilindungi dan Apendiks/Non

ii

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR i

DAFTAR ISI ii

I. PENDAHULUAN 1

1.1 Latar Belakang 1

1.2. Maksud, Tujuan dan Sasaran 3

1.3. Ruang Lingkup 3

II. DATA, INFORMASI DAN STATUS PENGELOLAAN TERKINI 4

2.1. Informasi Biologi Hiu 4

2.2. Perikanan Hiu di Indonesia 10

2.3 Regulasi Nasional Tentang Perlindungan Hiu 29

III. RANCANGAN KEBIJAKAN PENGELOLAAN HIU 34

3.1 Landasan Hukum 34

3.2 Tujuan Penyusunan Regulasi 37

3.3 Permasalahan Dalam Pengelolaan Hiu 37

3.4 Kebutuhan dan Pilihan Pengaturan 39

3.5 Usulan Kerangka Kebijakan/Pengaturan 52

IV. KESIMPULAN DAN REKOMENDASI 55

REFERENSI 79

Page 4: Naskah Kebijakan Hiu - 10Aug2016 - Final - materi meeting ... filei ANALISIS KEBIJAKAN KEBUTUHAN REGULASI PENETAPAN STATUS PERLINDUNGAN TERBATAS IKAN HIU (Tidak Dilindungi dan Apendiks/Non

1

I. PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Berdasarkan data yang dirilis oleh Direktorat Jenderal Perikanan Tangkap (2015),

Kementerian Kelautan dan Perikanan Republik Indonesia, total produksi perikanan tangkap untuk

kelompok hiu di Indonesia pada Tahun 2014 mencapai 49.020 Ton dengan nilai produksi

mencapai Rp. 677.900.570.000,-. Dari jumlah tersebut, kelompok hiu lanjaman (Carcharhinus spp.)

merupakan hiu yang paling banyak ditangkap dengan prosentase sebesar 63,47%, kemudian hiu

Tikus/Monyet (Alopias spp.) sebesar 22,54% dan yang ketiga terbesar ditempati oleh kelompok

hiu botol (Squalus spp.) sebesar 11,21% dari total tangkapan (sumber: Buku Data Statistik Perikanan

Tangkap Indonesia, 2015). Tingginya produksi ini cukup beralasan karena Indonesia mempunyai

wilayah penangkapan yang luas dan merupakan salah satu habitat utama hiu di dunia.

Perairan Indonesia, berdasarkan data yang dipublikasi oleh Direktorat Konservasi Kawasan

dan Jenis Ikan, Direktorat Jenderal Kelautan, Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil, Kementerian Kelautan

dan Perikanan, terdapat 114 jenis hiu di ditemukan di perairan Indonesia (Direktorat Konservasi

Kawasan dan Jenis Ikan, 2013). Hal ini tentu membuktikan bahwa perairan laut Indonesia memiliki

tingkat keragaman spesies hiu yang tinggi. Sumberdaya hiu telah menjadi sumber penghasilan

utama bagi beberapa kalangan masyarakat tertentu, terutama mereka yang menggantungkan

hidupnya pada produk perikanan tersebut, mulai dari nelayan penangkap, pengumpul, penjual

dan pengolah hasil perikanan hiu dan pari di beberapa daerah. Hampir semua bagian tubuh hasil

tangkapan dimanfaatkan oleh nelayan setempat, namun sirip menjadi produk utama yang di

proses secara lokal dan dijual dalam bentuk kering ke kota-kota besar di Indonesia, bahkan

kemudian diekspor ke negara-negara seperti Hongkong, Singapura dan Jepang (Suzuki, 2002).

Sementara dagingnya diasap atau dikeringkan untuk dijual di pasar lokal, begitu pula kulit, hati

dan rahangnya dimanfaatkan untukberbagai keperluan. Dalam beberapa dekade terakhir, tren

penangkapan hiu telah makin berkembang mulai dari perikanan longline berskala kecil menjadi

perikanan komersial dengan target tangkapanbeberapa jenis hiu yang bernilai tinggi seperti hiu

botol (Squalidae dan Centrophoridae), hiu/pari lontar (Rhynchobatidae) dan hiu-hiu besar

(Carcharhinidae, Lamnidae, Alopiidae dan Sphyrnidae), baik sebagai target maupun tangkapan

sampingan.

Page 5: Naskah Kebijakan Hiu - 10Aug2016 - Final - materi meeting ... filei ANALISIS KEBIJAKAN KEBUTUHAN REGULASI PENETAPAN STATUS PERLINDUNGAN TERBATAS IKAN HIU (Tidak Dilindungi dan Apendiks/Non

2

Hal tersebut menandakan bahwa secara sosial ekonomi, komoditas perikanan hiu

merupakan salah satu komoditas penting bagi sebagian masyarakat, serta telah memberikan

manfaat ekonomi bagi kesejahteraan masyarakat yang terkait dengan perikanan hiu. Walaupun

kebanyakan kegiatan penangkapan ikan tidak menangkap ikan hiu sebagai target tangkapannya,

namun komoditas tersebut menjadi komponen penting bagi hasil tangkapan mereka. Kondisi ini

lambat laun telah meningkatkan tingkat eksploitasi terhadap sumber daya hiu di perairan

Indonesia.

Di lain pihak, ikan hiu umumnya menempati posisi puncak didalam rantai makanan di laut

dan diyakini berperan penting didalam menjaga dan mengatur keseimbangan ekosistem,

sehinggaapabila keberadaannya di alam terancam, dikhawatirkan dapatmerubah tatanan alamiah

dalam struktur komunitas yangberakibat pada terganggunya keseimbangan suatu ekosistem.

Secara umum ancaman terhadap kelangsungan hidup ikan hiu di alam telah mengakibatkan

penurunan jumlah populasi yang dikarenakan beberapa hal sebagai berikut:

a. Eksploitasi hiu yang berlebihan dan dilaksanakan secara terus menerus tanpa

mempertimbangkan kelangsungan hidup dari populasi hiu di alam (Stevens dkk. 2000;

Jackson dkk. 2001; );

b. Kurangnya peraturan pengelolaan dan perlindungan sumber daya ikan hiu yang

mendukung kelangsungan hidup spesies hiu pada habitatnya (Techera and Klein, 2011);

c. Permintaan pasar internasional yang mengakibatkan harga jual sirip hiu yang tinggi dan

cenderung memicu upaya perburuan dan perdagangan ilegal (Clarke dkk. 2005;

Giangaspero and Ghafri, 2014);

d. Kerusakan habitat, polusi dan degradasi lingkungan (Storelli dkk. 2002; Gallagher dkk.

2012; Dulvy dkk. 2014; Vegter dkk. 2014);

e. Rendahnya pemahaman dan kepedulian dari masyarakat pesisir yang berprofesi sebagai

nelayan dan masyarakat umum terkait peran ekologis dari spesies hiu dalam ekosistem

laut dan terbatasnya upaya untuk melakukan konservasi spesies (Simpfendorfer dkk. 2011;

Barbosa-Filho dkk. 2014).

f. Adanya praktek finning yang dilakukan oleh nelayan yaitu sirip ikan hiu diambil namun

bagian tubuh hiu yang lain tidak dimanfaatkan dan dibuang kembali ke laut (Clarke dkk.

2005; Biery dan Pauly, 2012; Dharmadi dkk. 2015).

Page 6: Naskah Kebijakan Hiu - 10Aug2016 - Final - materi meeting ... filei ANALISIS KEBIJAKAN KEBUTUHAN REGULASI PENETAPAN STATUS PERLINDUNGAN TERBATAS IKAN HIU (Tidak Dilindungi dan Apendiks/Non

3

Memperhatikan pentingnya sumber daya hiu baik secara ekonomi maupun lingkungan

bagi bangsa Indonesia, maka sudah seyogyanya pemerintah, masyarakat, serta seluruh pihak

yang berkepentingan untuk bersama-sama mengupayakan keberlangsungan atau kelestarian

sumber daya ikan hiu itu sendiri. Sehinggga, sumber daya ikan hiu dapat dimanfaatkan secara

berkelanjutan dengan terus memperhatikan aspek pengelolaan dan perlindungan serta

kelestariannya.

1.2. Maksud, Tujuan dan Sasaran

Maksud : mengkaji isu dan permasalahan pengelolaan hiu di tingkat nasional dikaitkan

dengan ancaman kepunahan spesies hiu tertentu, status pengelolan, regulasi yang ada saat ini

dan tuntutan pemenuhan ketentuan CITES dalam perdagangan internasional hiu.

Tujuan : sebagai bahan pertimbangan bagi pengambil kebijakan untuk memformulasikan

regulasi dalam pengelolaan perikanan hiu dengan mempertimbangkan kepentingan nasional

untuk memanfaatkan potensi ekonominya secara lestari serta memenuhi ketentuan internasional

terkait, seperti CITES.

Sasaran : pengguna dokumen ini adalah pemerintah, pemerintah daerah, pelaku usaha dan

pihak-pihak lain yang terkait dengan mata rantai pengelolaan hiu di Indonesia.

1.3. Ruang Lingkup

Target Spesies : hiu yang dimaksudkan dalam dokumen ini adalah spesies hiu dan pari

ekonomis penting, tidak termasuk hiu yang dilindungi berdasarkan regulasi nasional.

Sistematika : dokumen naskah kebijakan konservasi hiu disajikan dalam 4 (empat) bab, yaitu:

Bab 1. Pendahuluan; memuat latar belakang, maksud, tujuan, sasaran dan ruang lingkup.

Bab 2. Data, Informasi dan Status Pengelolaan Terkini; memuat informasi biologi, informasi

biologi, status perikanan hiu dan regulasi yang terkait dengan perikanan hiu.

Bab 3. Rancangan Kebijakan Pengelolaaan Hiu

Bab 4. Kesimpulan

Page 7: Naskah Kebijakan Hiu - 10Aug2016 - Final - materi meeting ... filei ANALISIS KEBIJAKAN KEBUTUHAN REGULASI PENETAPAN STATUS PERLINDUNGAN TERBATAS IKAN HIU (Tidak Dilindungi dan Apendiks/Non

4

II. DATA, INFORMASI DAN STATUS PENGELOLAAN TERKINI

2.1. Informasi Biologi Hiu

2.1.1 Klasifikasi

Ikan hiu merupakan anggota kelompok ikan-ikan bertulang rawan yang termasuk ke dalam

Kelas Chondrichthyes. Sebagian besar jenis hiu yang umum dikenal berasal dari sub Kelas

Elasmobranchii. Sub Kelas ini terdiri dari dua kelompok besar yaitu kelompok ikan hiu (sharks) dan

pari (rays). Lebih dari 500 jenis hiu ditemukan pada perairan di seluruh dunia, mulai dari perairan

tawar hingga ke laut dalam (Compagno, 2001; Compagno et al., 2005). Adapun klasifikasi

kelompok ikan hiu menurut Last et al. (2010) adalah sebagai berikut:

Kelas : Chondrichthyes

Sub Kelas : Holocephali (Hiu hantu)

Bangsa : Chimaeriformes

Suku : Chimaeridae

Sub Kelas : Elasmobranchii (Hiu dan pari)

Bangsa : Hexanchiformes

Suku : Hexanchidae

Bangsa : Squaliformes

Suku : Centrophoridae (hiu botol)

Suku : Dalatiidae

Suku : Etmopteriidae

Suku : Somniosidae

Suku : Squalidae (hiu taji)

Bangsa : Squatiniformes

Suku : Squatinidae

Bangsa : Lamniformes

Suku : Pseudocarcharinidae

Suku : Mitsukurinidae

Suku : Megachasmidae

Suku : Lamnidae (hiu mako)

Suku : Alopiidae (hiu tikus)

Bangsa : Heterodontiformes

Suku : Heterodontidae

Bangsa : Orectolobiformes

Suku : Orectolobidae

Suku : Ginglymostomatidae

Suku : Hemiscyllidae

Suku : Stegostomatidae

Suku : Rhincodontidae (hiu paus)

Bangsa : Carcharhiniformes

Suku : Scyliorhinidae (Hiu tokek)

Suku : Proscylliidae

Page 8: Naskah Kebijakan Hiu - 10Aug2016 - Final - materi meeting ... filei ANALISIS KEBIJAKAN KEBUTUHAN REGULASI PENETAPAN STATUS PERLINDUNGAN TERBATAS IKAN HIU (Tidak Dilindungi dan Apendiks/Non

5

Suku : Triakidae

Suku : Hemigaleidae

Suku : Carcharhinidae (hiu buas)

Suku : Sphyrnidae (hiu martil)

Wilayah Indo Pasifik Barat diyakini merupakan pusat dari keanekaragaman ikan-ikan

bertulang rawan (chondrichthyan) di dunia (Compagno, 1984). Jumlah jenis ikan Elasmobranchii di

wilayah Indo Pasifik Barat diperkirakan sekitar 245 jenis, dengan jumlah jenis hiu mencapai 41%

dari jumlah tersebut (Compagno, 1990; Compagno, 2002). Sebagai salah satu negara yang berada

di dalam kawasan tersebut, perairan Indonesia juga diyakini memiliki keragaman jenis ikan hiu dan

pari yang tinggi.

Berdasarkan studi dari berbagai literatur dan hasil penelitian hingga tahun 2010, telah

mencatat setidaknya 218 jenis ikan hiu dan pari ditemukan di perairan Indonesia, yang terdiri dari

114 jenis hiu, 101 jenis pari dan tiga jenis ikan hiu hantu yang termasuk ke dalam 44 suku (Fahmi,

2010; 2011; Allen & Erdman, 2012). Dari 44 suku ikan bertulang rawan tersebut di atas, hanya

sekitar 26 jenis hiu dari 10 marga dan enam suku yang bernilai nilai ekonomi tinggi untuk

diperdagangkan siripnya di pasaran nasional maupun internasional. Jenis-jenis hiu dari suku

Carcharhinidae, Lamnidae, Alopiidae dan Sphyrnidae merupakan kelompok hiu yang umum

dimanfaatkan siripnya karena anggota dari kelompok-kelompok ikan hiu tersebut umumnya

berukuran besar. Di lain pihak, terdapat beberapa jenis pari yang memiliki bentuk tubuh seperti

hiu (shark like) seperti ikan-ikan dari suku Rhynchobatidae, Rhinobatidae, Rhinidae dan Pristidae,

banyak dimanfaatkan pula siripnya bahkan ada yang memiliki harga yang relatif lebih tinggi di

pasaran dibandingkan sirip ikan hiu itu sendiri.

Adanya kelompok-kelompok pari yang mempunyai morfologi seperti hiu dan oleh orang

awam mengkategorikan sebagai jenis hiu, menyebabkan adanya kesalahpahaman mengenai

istilah hiu secara umum. Sebagai contoh, Suku Rhynchobatidae lebih dikenal dengan sebutan hiu

lontar atau hiu bandrong, Suku Rhinidae dikenal dengan sebutan hiu pari, hiu barong atau hiu

kupu-kupu, sedangkan Suku Pristidae lebih dikenal dengan sebutan hiu gergaji dibandingkan

dengan nama aslinya yaitu pari gergaji atau ikan gergaji (Gambar 1). Salah satu ciri yang

membedakan antara kelompok hiu dan pari adalah letak insangnya. Walaupun pada beberapa

jenis ikan pari memiliki bentuk tubuh seperti hiu, namun letak insangnya selalu berada di bawah

(ventral), berbeda dengan letak insang dari kelompok hiu yang selalu berada di bagian sisi kiri dan

kanan (lateral) tubuhnya.

Page 9: Naskah Kebijakan Hiu - 10Aug2016 - Final - materi meeting ... filei ANALISIS KEBIJAKAN KEBUTUHAN REGULASI PENETAPAN STATUS PERLINDUNGAN TERBATAS IKAN HIU (Tidak Dilindungi dan Apendiks/Non

6

Secara umum, kelompok ikan hiu merupakan kelompok ikan bertulang rawan yang paling

beragam jenisnya di Indonesia. Kelompok ikan hiu terbagi dalam tujuh bangsa (ordo) dan 26 suku

(famili). Kelompok ikan hiu yang paling umum dijumpai dan paling beragam jenisnya adalah dari

Suku Carcharhinidae. Suku tersebut berkontribusi sekitar 14% dari total jumlah jenis ikan

bertulang rawan yang ditemukan di Indonesia atau sekitar 27% dari jumlah total jenis hiu yang

ada di Indonesia. Jumlah total jenis hiu dari suku ini di Indonesia tercatat sekitar 31 jenis.

Gambar 1. Pristis microdon Latham, 1794

Sumber: Economically Important Shark and Rays of Indonesia (White, W.T., Last, P.R., Stevens,

J.D., Yearsley, G.K., Fahmi and Dharmadi, 2006)

2.1.2 Keanekaragaman

Keanekaragaman jenis hiu bervariasi tergantung dari kedalaman, habitat dan kondisi

geografisnya (Compagno, 2001). Kelompok ikan hiu menempati habitat yang sangat luas dan

dapat ditemukan pada hampir semua tipe perairan (Last & Compagno, 2002). Beberapa jenis hiu

ada yang hidup di daerah paparan benua, dari daerah pasang surut hingga kedalaman 200 m;

daerah lereng benua (slope) mulai dari kedalaman 200 meter hingga lebih dari 2000 meter; ada

yang hidup bebas sebagai ikan di laut lepas (oseanik) atau menghuni berbagai macam habitat

tergantung dari pola adaptasi dan tingkah lakunya (Compagno, 2002, Last & Compagno, 2002).

Sementara menurut Priede et al. (2006), kedalaman tertinggi yang pernah tercatat dimana ikan

hiu pernah ditemukan adalah pada kedalaman 3700 meter di bawah permukaan laut. Secara

umum, kondisi hidrografi merupakan faktor penting dalam menentukan keragaman dan

komunalitas fauna hiu di dunia (Compagno, 2002).

Keragaman tertinggi ikan hiu di Indonesia umumnya berada di daerah paparan benua,

mulai dari perairan pantai hingga tepian benua (kedalaman hingga 150 m). Wilayah paparan

benua di Indonesia meliputi perairan-perairan di sekitar pulau Sumatera, Kalimantan dan Jawa,

Page 10: Naskah Kebijakan Hiu - 10Aug2016 - Final - materi meeting ... filei ANALISIS KEBIJAKAN KEBUTUHAN REGULASI PENETAPAN STATUS PERLINDUNGAN TERBATAS IKAN HIU (Tidak Dilindungi dan Apendiks/Non

7

yang merupakan bagian dari paparan benua Asia, sedangkan Pulau Irian merupakan bagian dari

paparan benua Australia. Sekitar 51% dari kelompok ikan hiu yang ada di perairan Indonesia

ditemukan di daerah paparan benua tersebut. Hal ini berarti kebanyakan ikan-ikan hiu yang

banyak diburu nelayan karena siripnya, berada pada wilayah perairan ini. Sebagai contoh, dari 31

jenis ikan hiu dari Suku Carcharhinidae, terdapat 20 jenis (64%) yang ditemukan di perairan

paparan benua. Beberapa jenis hiu yang biasa dimanfaatkan siripnya dan ditemukan di perairan

paparan benua antara lain adalah dari kelompok ikan hiu lanjaman seperti Carcharhinus

amblyrhynchos, C. brevipinna, C. falciformis, C. limbatus dan C. Sorrah (Fahmi & Dharmadi, 2013).

Bentuk tubuh dan ukuran ikan hiu bervariasi tergantung dari jenis dan pengelompokannya.

Secara umum, ikan hiu memiliki bentuk tubuh memanjang dan terdiri dari tiga bagian tubuh, yaitu

kepala, badan dan ekor. Ukuran tubuhnya sangat bervariasi, mulai dari yang terkecil sebesar

lebar tangan orang dewasa (sekitar 15 cm) seperti hiu pigmi (Squaliolus laticaudus), hingga hiu

terbesar dengan tubuh mencapai panjang belasan meter seperti hiu paus (Rhyncodon typus).

Namun pada umumnya ukuran ikan hiu adalah sekitar satu meter. Dari sekitar 114 jenis hiu yang

diketahui ditemukan di wilayah perairan Indonesia, lebih dari separuhnya merupakan jenis ikan hiu

yang berukuran kecil, yaitu yang memiliki panjang tubuh maksimum sekitar satu meter.

Sedangkan ikan hiu yang berukuran sedang (panjang maksimum sekitar 2,5 meter) dan hiu yang

berukuran besar (panjang maksimum di atas 2,5 meter) memiliki proporsi yang hampir sama,

yaitu sekitar 20%. Tabel 1 di bawah merupakan pengelompokan suku dan jenis hiu berdasarkan

ukuran panjang maksimumnya.

Tabel 1. Pengelompokan suku dan jumlah jenis ikan hiu berdasarkan ukuran maksimumnya

(panjang total, m) di perairan Indonesia (Fahmi & Dharmadi, 2013).

SUKU Kecil Sedang Besar

< 1m < 2,5m > 2,5m

Hexanchidae - 2 1

Centophoridae 4 4 -

Dalatiidae 2 - -

Etmopteridae 4 - -

Somniosidae 2 1 -

Squalidae 4 1 -

Squatinidae - 2 -

Heterodontidae - 1 -

Ginglymostomatidae - - 1

Hemiscyllidae 12 1 -

Page 11: Naskah Kebijakan Hiu - 10Aug2016 - Final - materi meeting ... filei ANALISIS KEBIJAKAN KEBUTUHAN REGULASI PENETAPAN STATUS PERLINDUNGAN TERBATAS IKAN HIU (Tidak Dilindungi dan Apendiks/Non

8

SUKU Kecil Sedang Besar

< 1m < 2,5m > 2,5m

Orectolobidae - 3 -

Rhincodontidae - - 1

Stegostomatidae - - 1

Megachasmidae - - 1

Pseudotriakidae - - 1

Mitsukurinidae - - 1

Alopiidae - - 2

Lamnidae - - 2

Odontaspididae - - 2

Pseudocarchariidae 1 - -

Scyliorhinidae 12 - -

Proscylliidae 1 - -

Triakidae 5 - -

Hemigaleidae 3 1 -

Carcharhinidae 10 10 11

Sphyrnidae - 2 2

TOTAL 60 28 26

Ikan-ikan hiu yang berukuran besar umumnya adalah ikan yang hidup di perairan lepas

pantai, memiliki sebaran yang luas ataupun memiliki kemampuan bermigrasi. Sangat jarang

ditemui ikan hiu yang berukuran besar di perairan dekat pantai, kecuali jenis-jenis tertentu yang

memiliki sebaran luas seperti jenis hiu macan (Galeocerdo cuvier), hiu lembu (Carcharhinus leucas)

maupun hiu paus (Rhincodon typus). Umumnya mereka berada dekat dengan pantai pada saat

bereproduksi maupun mencari makan, makanan ikan hiu dapat berupa ikan-ikan dan invertebrata

kecil maupun hewan laut lainnya seperti penyu, lumba-lumba ataupun anjing laut yang berada

dekat perairan pantai.

Sebagai hewan predator, umumnya ikan hiu dilengkapi oleh deretan gigi-gigi yang tajam

dan rahang yang kuat, agar dapat menangkap mangsanya dengan efektif dan cepat. Morfologi

ikan hiu yang ada sekarang ini merupakan hasil evolusi dan adaptasi selama beribu-ribu tahun.

Oleh karena itu kelompok ini diposisikan sebagai predator puncak di dalam rantai makanan.

Secara alamiah, ikan hiu tidak memiliki predator atau musuh alami yang harus mereka hindari,

sehingga di dalam siklus hidupnya, kelompok ikan ini tidak mengembangkan strategi khusus untuk

melindungi diri dari predator pemangsa. Tidak seperti halnya ikan-ikan bertulang sejati yang

beradaptasi terhadap ancaman predator dengan memiliki jumlah anak yang banyak agar

kemungkinan bertahan hidup hingga dewasanya (survival rate) tinggi, kelompok ikan hiu

Page 12: Naskah Kebijakan Hiu - 10Aug2016 - Final - materi meeting ... filei ANALISIS KEBIJAKAN KEBUTUHAN REGULASI PENETAPAN STATUS PERLINDUNGAN TERBATAS IKAN HIU (Tidak Dilindungi dan Apendiks/Non

9

umumnya memiliki jumlah anak yang sedikit dengan pertumbuhan yang lambat. Kondisi tersebut

terbentuk secara evolusioner dan alamiah agar populasi ikan hiu secara alami tetap stabil di alam.

Salah satu strategi ikan hiu untuk menghindar dari predator lain adalah dengan cara

menempatkan anak-anak hiu di tempat yang jauh dari hiu-hiu dewasa yang berukuran besar. Ikan

hiu betina yang sedang mengandung biasanya memisahkan diri dari kelompoknya dan akan

melahirkan anaknya di perairan dangkal atau perairan pantai yang jauh dari habitat dimana hiu-

hiu dewasa berada. Hal ini dilakukan agar anak-anaknya tidak dimangsa oleh ikan-ikan hiu yang

lebih besar. Induk hiu berada di perairan dangkal atau peraian pantai hanya untuk melahirkan

anaknya kemudian langsung kembali ke habitat asalnya, bahkan mereka tidak makan atau

mencari makan selama periode melahirkan tersebut.

Ikan hiu umumnya hidup secara soliter, namun beberapa jenis ada yang ditemukan hidup

secara mengelompok. Banyak jenis ikan hiu yang hidup secara mengelompok hanya berdasarkan

umur, ukuran atau jenis kelamin yang sama. Ikan hiu jantan akan hidup terpisah dari ikan-ikan hiu

betina sepanjang siklus hidupnya. Mereka akan hidup bersama pasangannya hanya pada saat

musim kawin dan bukan untuk mencari makan. Perilaku seperti ini ditemukan antara lain pada

ikan hiu biru/hiu karet (Prionace glauca) dan beberapa jenis ikan hiu taji (Squalus spp.). Ikan-ikan

hiu tersebut dapat menemukan pasangannya walaupun dalam jarak yang berjauhan dengan

mengandalkan sistem sensor yang kompleks dan tingkah laku khusus selama musim kawin.

2.1.3 Peranan Hiu dalam Ekosistem

Secara umum, hiu merupakan predator tingkat pertama yang menempati posisi puncak

dalam rantai makanan di laut. Sebagai predator puncak, hiu memangsa hewan-hewan yang

berada pada tingkat tropik di bawahnya. Secara alamiah, hiu umumnya memangsa hewan-hewan

yang lemah dan sakit sehingga hanya menyisakan hewan-hewan yang masih sehat untuk tetap

bertahan hidup di alam. Selain itu, hiu cenderung memangsa hewan yang tersedia di alam dalam

jumlah yang melimpah sehingga menjadi relatif lebih mudah ditangkap. Dengan demikian, secara

tidak langsung hiu ikut menjaga dan mengatur keseimbangan ekosistem laut dengan melakukan

seleksi dalam ekosistem dan mengatur jumlah populasi hewan-hewan di dalam tingkat tropik

yang lebih rendah. Berkurangnya jumlah predator puncak di suatu lokasi, dapat mengakibatkan

meningkatnya jumlah populasi hewan tertentu yang menjadi mangsanya, sehingga terjadi

dominansi jenis tertentu yang memonopoli sumber daya yang ada di dalam suatu komunitas.

Page 13: Naskah Kebijakan Hiu - 10Aug2016 - Final - materi meeting ... filei ANALISIS KEBIJAKAN KEBUTUHAN REGULASI PENETAPAN STATUS PERLINDUNGAN TERBATAS IKAN HIU (Tidak Dilindungi dan Apendiks/Non

10

Dengan demikian, keberadaan predator dalam suatu ekosistem dapat menjaga keragaman dan

kekayaan jenis di alam (Steenhof & Kochert, 1988; Frid et al., 2007).

Seiring dengan semakin meningkatnya aktivitas penangkapan hiu oleh manusia,

keberadaan hiu di alam semakin terancam dan populasinya semakin lama semakin menurun.

Berdasarkan hasil penelitian, berkurangnya jumlah hiu di dalam suatu ekosistem berdampak pada

berubahnya tatanan alamiah dalam struktur komunitas yang berakibat pada terganggunya

keseimbangan suatu ekosistem. Sebagai contoh, berkurangnya jumlah hiu yang memangsa

gurita di perairan Tasmania, Australia berdampak pada meningkatnya populasi gurita di alam,

namun di lain pihak, populasi lobster yang merupakan mangsa dari gurita semakin lama semakin

menurun akibat pemangsaan oleh gurita yang melimpah tersebut (Mojetta, 1997). Contoh lain

adalah di dalam ekosistem terumbu karang, hilangnya hiu sebagai predator puncak di perairan

terumbu karang di wilayah Karibia mengakibatkan meningkatnya populasi ikan-ikan herbivora dan

omnivora di lokasi tersebut yang mengakibatkan vegetasi di laut menjadi berkurang sehingga

ikan-ikan yang masih muda (juvenil) dan biota bentik lainnya kehilangan makanan dan tempat

perlindungannya. Hal ini akhirnya berdampak pada kolapsnya ekosistem terumbu karang tersebut

(Bascompte et al., 2005).

Jejaring makanan merupakan penghubung keterkaitan antar organisme-organisme yang

hidup di suatu ekosistem yang di dalamnya terdapat rantai-rantai makanan yang saling

berhubungan. Terputusnya rantai makanan yang ada di puncak dapat merusak jejaring makanan

yang sudah terbentuk dan seimbang sehingga mengakibatkan terganggunya keseimbangan

ekosistem (Paine, 1996; Myers & Worms, 2005; Ferretti et al., 2010). Dengan demikian,

mempertahankan keseimbangan di dalam ekosistem sangatlah penting karena semua organisme

yang hidup di dalamnya saling membutuhkan dan saling ketergantungan satu sama lain.

2.2 Perikanan Hiu di Indonesia

2.2.1 Produksi

Berdasarkan Data Statistik Perikanan Tangkap Indonesia tahun 2014, produksi hiu selama

periode 2004 sampai dengan 2014 secara garis besar menunjukkan tren penurunan (Gambar 2).

Data produksi ikan hiu di dalam statistik perikanan nasional sudah dibagi ke dalam masing-masing

kelompok jenis hiu. Kelompok jenis hiu tersebut antara lain adalah cucut botol (Squalus spp.),

cucut lanjaman (Carcharhinus spp.), cucut martil/capingan (Eusphyra blochi, Sphyna spp.) cucut

Page 14: Naskah Kebijakan Hiu - 10Aug2016 - Final - materi meeting ... filei ANALISIS KEBIJAKAN KEBUTUHAN REGULASI PENETAPAN STATUS PERLINDUNGAN TERBATAS IKAN HIU (Tidak Dilindungi dan Apendiks/Non

11

tikus/monyet (Alopias spp.), dan mako (Isurus spp). Data produksi ikan hiu selama periode tersebut

sebagaimana Tabel 2 dan grafik di bawah ini.

Tabel 2. Data Produksi Perikanan Hiu 2010 – 2014 (dalam Ton)

No Nama Lokal Nama Ilmiah TAHUN

2010 2011 2012 2013 2014

1 Cucut botol Squalus spp. 2,585 4,014 3,281 3,863 5,494

2 Cucut lanjaman Carcharhinus spp. 26,454 23,934 28,116 33,681 31,113

3 Cucut

martil/capingan Eusphyra blochi, Sphyna spp. 3,438 3,394 1,497 529 658

4 Cucut tikus /

monyet Alopias spp. 12,890 18,240 8,792 13,229 11,051

5 Mako Makaira mazarra 733 632 350 966 704

Total 46,100 50,214 42,036 52,268 49,020

Gambar 2. Volume Produksi Perikanan Hiu 2004 – 2014

Page 15: Naskah Kebijakan Hiu - 10Aug2016 - Final - materi meeting ... filei ANALISIS KEBIJAKAN KEBUTUHAN REGULASI PENETAPAN STATUS PERLINDUNGAN TERBATAS IKAN HIU (Tidak Dilindungi dan Apendiks/Non

12

2.2.2 Daerah Penangkapan

Penangkapan hiu dilakukan hampir di seluruh wilayah perairan Indonesia, namun luasnya

perairan Indonesia tersebut menjadi salah satu kendala dalam melakukan pengelolaan perikanan

hiu. Untuk mempermudah dalam melakukan pengelolaan perikanannya, Pemerintah Indonesia

melalui Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor PER.01/MEN/2009 tentang Wilayah

Pengelolaan Perikanan Republik Indonesia telah menetapkan satuan wilayah pengelolaan

perikanan di Indonesia (Gambar 3). Peraturan Menteri tersebut telah menetapkan wilayah

Indonesia terbagi menjadi 11 Wilayah Pengelolaan Perikanan (WPP) yang terbentang dari perairan

Selat Malaka hingga Laut Arafura.

Gambar 3. Peta Wilayah Pengelolaan Perikanan di Indonesia

Wilayah-wilayah potensial perikanan hiu di Indonesia meliputi wilayah barat Sumatera

(WPP 572), selatan Jawa, Bali dan Nusa Tenggara (WPP 573), Laut Natuna dan Selat Karimata

(WPP 711), Laut Jawa (WPP 712) dan Laut Arafura (WPP 718). Secara umum, wilayah perikanan

yang paling dieksploitasi sumber daya hiunya adalah di perairan selatan Indonesia (Samudera

Hindia), yang merupakan habitat dari ikan-ikan hiu oseanik dan semi oseanik, yang menjadi target

buruan nelayan untuk diambil siripnya. Setiap wilayah pengelolaan perikanan memiliki potensi

perikanan dan jenis hiu yang berbeda-beda, tergantung dari karakteristik perairan dan habitat

Page 16: Naskah Kebijakan Hiu - 10Aug2016 - Final - materi meeting ... filei ANALISIS KEBIJAKAN KEBUTUHAN REGULASI PENETAPAN STATUS PERLINDUNGAN TERBATAS IKAN HIU (Tidak Dilindungi dan Apendiks/Non

13

yang ada di dalamnya. Daerah-daerah yang menjadi sentra produksi perikanan hiu dan wilayah

pengelolaan perikanannya di Indonesia tercantum pada Tabel 3 di bawah ini.

Tabel 3. Sentra produksi perikanan hiu di Indonesia beserta WPPnya.

Daerah Sentra Produksi Hiu Cakupan WPP

Sibolga, Sumatera utara WPP 572

Muara Baru, Jakarta WPP 712, WPP 718, WPP 573

Muara Angke, Jakarta WPP 712, WPP 713, WPP 711, WPP 573

Palabuhanratu, Jawa Barat WPP 573, WPP 572

Cilacap, Jawa Tengah WPP 573

Prigi, Jawa Timur WPP 573

Surabaya, Jawa Timur WPP 712, WPP 713, WPP 573

Benoa, Bali WPP 573, WPP 713, WPP 714

Tanjungluar, NTB WPP 573

Kupang, NTT WPP 573

Hampir seluruh wilayah perairan Samudera Hindia merupakan daerah penangkapan

potensial untuk ikan hiu. Hal ini terlihat dari sebagian besar sentra produksi hiu di Indonesia

mendapatkan hasil tangkapan hiu dari wilayah perairan tersebut. Walaupun memiliki wilayah

tangkapan hiu yang sama, namun setiap daerah memiliki tujuan daerah penangkapan yang

berbeda-beda karena berbagai pertimbangan, antara lain ukuran kapal yang digunakan,

kemampuan jelajah kapal, lama waktu operasional penangkapan selama di laut, dan jenis

tangkapan ikan dari waktu ke waktu.

2.2.3 Alat Penangkapan Ikan

Hiu dapat tertangkap dengan berbagai tipe Alat Penangkap Ikan (API) Umumnya tipe API

yang digunakan untuk menangkap hiu adalah pancing dan jaring (Dharmadi & Fahmi, 2003). Alat

penangkap ikan pancing terdiri dari berbagai macam alat tangkap, mulai dari pancing tangan,

pancing rawai dasar dan rawai permukaan. Pancing rawai memiliki berbagai macam model

tergantung dari tujuan penggunaannya, namun dalam konteks ini, pancing rawai dibagi menjadi

pancing rawai yang digunakan khusus untuk menangkap hiu atau yang lebih dikenal dengan

Page 17: Naskah Kebijakan Hiu - 10Aug2016 - Final - materi meeting ... filei ANALISIS KEBIJAKAN KEBUTUHAN REGULASI PENETAPAN STATUS PERLINDUNGAN TERBATAS IKAN HIU (Tidak Dilindungi dan Apendiks/Non

14

rawai hiu, dan pancing rawai yang kadang dapat menangkap hiu sebagai hasil tangkapan

sampingan seperti rawai tuna. Sedangkan alat tangkap jaring juga terdiri dari berbagai tipe alat

tangkap dan peruntukannya, baik yang khusus digunakan untuk menangkap hiu seperti jaring hiu,

maupun berbagai alat tangkap jaring yang menangkap hiu sebagai hasil tangkapan sampingan

seperti trawl, jaring dasar (fish net), pukat cincin (purse seine) dan jaring insang tuna.

2.2.4 Produk Ekspor Hiu

a. Loka Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Laut Serang

Produk hiu diekspor dijumpai dalam berbagai bentuk produk, baik hiu hidup, glondongan

utuh, potongan bagian-bagian organ tertentu, maupun dalam bentuk olahan siap saji. Dalam

rangka dalam rangka melaksanakan Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor

34/PERMEN-KP/2015 tentang Perubahan atas Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor

59/PERMEN-KP/2014 tentang Larangan Pengeluaran Ikan Hiu Koboi (Carcharhinus longimanus)

dan Hiu Martil (Sphyrna spp.) dari Wilayah Negara Republik Indonesia ke Luar Wilayah Negara

Republik Indonesia serta permintaan surat keterangan dari Badan Karantina Ikan, maka Loka

Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Laut (LPSPL) Serang telah menyelenggarakan pelayanan

identifikasi hiu dan pari terhadap berbagai bentuk produk yang dikelompokkan menjadi 8, antara

lain :

a. Produk utuh hiu, termasuk hiu hidup untuk akuarium hias dan hiu utuh glondongan beku.

b. Produk daging olahan hiu, termasuk daging steak, daging slice, dan daging potongan.

c. Produk sirip hiu, termasuk sirip hiu kering dan hisit beku.

d. Produk tulang hiu, termasuk tulang dari bagian kepala, tulang punggung, tulang sirip, tulang

ekor.

e. Produk jebreng, merupakan bagian jaringan elastis kartilage yang terdapat pada tulang

belakang.

f. Produk minyak hiu.

g. Produk kulit hiu, baik dalam bentuk lembaran maupun potongan kecil.

Page 18: Naskah Kebijakan Hiu - 10Aug2016 - Final - materi meeting ... filei ANALISIS KEBIJAKAN KEBUTUHAN REGULASI PENETAPAN STATUS PERLINDUNGAN TERBATAS IKAN HIU (Tidak Dilindungi dan Apendiks/Non

15

Produk-produk dapat dijelaskan secara rinci (Gambar 4), sebagai berikut :

a. Produk Utuh Hiu

1) Produk Hiu Hidup

2) Produk Hiu Utuh Beku Tanpa Sirip dan Kepala

Page 19: Naskah Kebijakan Hiu - 10Aug2016 - Final - materi meeting ... filei ANALISIS KEBIJAKAN KEBUTUHAN REGULASI PENETAPAN STATUS PERLINDUNGAN TERBATAS IKAN HIU (Tidak Dilindungi dan Apendiks/Non

16

b. Produk Daging Olahan Hiu

c. Produk Sirip Hiu

1) Produk Sirip Hiu Kering

Page 20: Naskah Kebijakan Hiu - 10Aug2016 - Final - materi meeting ... filei ANALISIS KEBIJAKAN KEBUTUHAN REGULASI PENETAPAN STATUS PERLINDUNGAN TERBATAS IKAN HIU (Tidak Dilindungi dan Apendiks/Non

17

2) Produk Hisit Hiu Beku

d. Produk Tulang Hiu

1) Produk Tulang Kepala Hiu

Page 21: Naskah Kebijakan Hiu - 10Aug2016 - Final - materi meeting ... filei ANALISIS KEBIJAKAN KEBUTUHAN REGULASI PENETAPAN STATUS PERLINDUNGAN TERBATAS IKAN HIU (Tidak Dilindungi dan Apendiks/Non

18

2) Produk Tulang Punggung Hiu

3) Produk Tulang Sirip Hiu

4) Produk Tulang Ekor Hiu

Page 22: Naskah Kebijakan Hiu - 10Aug2016 - Final - materi meeting ... filei ANALISIS KEBIJAKAN KEBUTUHAN REGULASI PENETAPAN STATUS PERLINDUNGAN TERBATAS IKAN HIU (Tidak Dilindungi dan Apendiks/Non

19

e. Produk Jebreng Hiu

f. Produk Minyak Hiu

g. Produk Kulit Hiu

Page 23: Naskah Kebijakan Hiu - 10Aug2016 - Final - materi meeting ... filei ANALISIS KEBIJAKAN KEBUTUHAN REGULASI PENETAPAN STATUS PERLINDUNGAN TERBATAS IKAN HIU (Tidak Dilindungi dan Apendiks/Non

20

Pengawasan perdagangan produk perikanan Indonesia baik di dalam maupun luar negeri

dilakukan dibawah Direktorat Jenderal Pengolahan dan Pemasaran Hasil Perikanan, Kementerian

Kelautan dan Perikanan (KKP). Seluruh perdagangan hasil perikanan ke luar negeri pada

hakikatnya diatur dan diawasi oleh Direktorat Perdagangan Internasional KKP, namun pencatatan

data ekspor dan impor hasil perikanan dilakukan oleh Pusat Data statistik dan Informasi Perikanan

KKP yang bekerja sama dengan Biro Pusat Statistik (BPS). Data ekspor impor hasil perikanan,

termasuk di dalamnya data ekspor produk ikan hiu, dikumpulkan dan dikompilasi oleh Kantor Bea

dan Cukai dan Badan Karantina Ikan, KKP.

Pada data statistik ekspor perikanan Indonesia, komoditi ekspor hiu dibedakan atas empat

kelompok yaitu produk sirip hiu kering (dried fins), sirip hiu basah (salted fins), daging hiu beku

(frozen sharks nei) dan kelompok produk hiu (sharks fresh or chiled). Produk perikanan hiu yang

paling umum diekspor ke luar negeri adalah sirip hiu kering, yang mana di dalamnya juga

termasuk sirip pari gitar dan pari cermin/bandrong (Suku Rhyncobathidae dan Rhinobatidae). Di

dalam data statistik ekspor perikanan Indonesia, hanya sirip hiu yang tercatat secara khusus,

sedangkan bagian tubuh hiu ataupun pari seperti tulang rawan, kulit dan insang, dikelompokkan

bersama-sama dengan bagian hiu lainnya (kelompok produk hiu). Sementara itu, minyak hiu

dikelompokkan bersama dengan jenis minyak ikan lainnya, sehingga sangat sulit untuk dapat

diketahui jumlah produksinya (Blaber, 2006).

Produk sirip hiu biasanya diekspor ke beberapa negara di Asia seperti Jepang, Hong Kong,

Singapura, Cina, Malaysia dan Taiwan. Daging hiu yang berupa fillet biasanya diekspor ke

Singapura selain diperdagangkan di dalam negeri, sedangkan daging yang telah dikeringkan dan

diasinkan kadang dikirim juga ke Banglades dan Sri Lanka.

Berdasarkan komposisi jenis produknya, terdapat pergeseran jenis produk hiu yang

diperdagangkan. Sejak tahun 1991 hingga 1998, produk ekspor daging hiu lebih mendominasi

dalam hal jumlah ekspornya, namun setelah tahun 1999, ekspor sirip hiu semakin meningkat dan

mendominasi jumlah produk hiu yang diekspor ke luar negeri.

Sejak tahun 2003, jumlah ekspor sirip hiu di Indonesia mulai mengalami penurunan.

Sebagai contoh, pada tahun 2005, jumlah ekspor sirip hiu baik yang kering maupun yang basah

(diasinkan) sejumlah 829.162 kg, namun pada tahun 2006 menurun menjadi hampir 50% yaitu

485.092 kg. Hampir separuh produk sirip ikan hiu dari Indonesia diekspor ke Jepang, kemudian

diikuti oleh Hong Kong, Singapura dan Malaysia. Di lain pihak, Provinsi Jawa Timur diketahui

sebagai daerah eksportir sirip hiu terbesar di Indonesia, diikuti oleh Jakarta, Sulawesi Selatan,

Page 24: Naskah Kebijakan Hiu - 10Aug2016 - Final - materi meeting ... filei ANALISIS KEBIJAKAN KEBUTUHAN REGULASI PENETAPAN STATUS PERLINDUNGAN TERBATAS IKAN HIU (Tidak Dilindungi dan Apendiks/Non

21

Sumatera Utara dan Riau. Surabaya merupakan daerah yang menjadi tempat para pengumpul

besar sirip hiu yang mengekspor barang komoditas hiu tersebut ke luar negeri. Sirip-sirip hiu yang

dikumpulkan di Surabaya umumnya berasal dari beberapa daerah seperti Nusa Tenggara, Bali

dan Kalimantan. Para pengumpul sirip hiu di daerah umumnya mengirimkan barang

dagangannya ke pengumpul besar yang ada di Kota Surabaya untuk kemudian diekspor.

• Loka Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Laut Serang

Dalam rangka melaksanakan Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor

34/PERMEN-KP/2015 tentang Perubahan atas Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor

59/PERMEN-KP/2014 tentang Larangan Pengeluaran Ikan Hiu Koboi (Carcharhinus longimanus)

dan Hiu Martil (Sphyrna spp.) dari Wilayah Negara Republik Indonesia ke Luar Wilayah Negara

Republik Indonesia, serta permintaan surat keterangan dari Badan Karantina Ikan, maka Loka

Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Laut (LPSPL) Serang menyelenggarakan pelayanan

identifikasi hiu dan pari untuk membuktikan apakah produk hiu dan pari yang akan diekspor

bukan termasuk jenis yang dilarang diekspor atau jenis yang dilindungi Peraturan Perundangan.

Pelayanan tersebut diselenggarakan sejak keluarnya Peraturan Menteri Kelautan dan

Perikanan Nomor 59/PERMEN-KP/2014 tentang Larangan Pengeluaran Ikan Hiu Koboi

(Carcharhinus longimanus) dan Hiu Martil (Sphyrna spp.) dari Wilayah Negara Republik Indonesia

ke Luar Wilayah Negara Republik Indonesia yang efektif dilakukan pada bulan November 2014.

Namun, saat itu Loka PSPL Serang hanya menyelenggarakan identifikasi dan pemeriksaan sampai

dengan penerbitan Berita Acara Pemeriksaan, sedangkan Surat Keterangan Rekomendasi Ekspor

masih diterbitkan oleh Direktur Konservasi Kawasan dan Jenis Ikan.

Sejak bulan Maret 2015, Loka PSPL Serang efektif menyelenggarakan pelayanan identifikasi

hiu dan pari, penerbitan Berita Acara Pemeriksaan, hingga penerbitan Surat Keterangan

Rekomendasi Ekspor untuk wilayah kerja Loka PSPL Serang (Bangka Belitung, Bengkulu, Lampung,

Banten, DKI Jakarta, Jawa Barat, Jawa Tengah, dan Yogyakarta). Diagram jumlah pelayanan

identifikasi terhadap waktu dapat menunjukkan frekuensi ekspor seperti pada gambar berikut ini :

Page 25: Naskah Kebijakan Hiu - 10Aug2016 - Final - materi meeting ... filei ANALISIS KEBIJAKAN KEBUTUHAN REGULASI PENETAPAN STATUS PERLINDUNGAN TERBATAS IKAN HIU (Tidak Dilindungi dan Apendiks/Non

22

Gambar 5. Jumlah BAP Identifikasi (pelayanan identifikasi terhadap waktu serta grafik frekuensi

yang menunjukkan trend ekspor meningkat).

Page 26: Naskah Kebijakan Hiu - 10Aug2016 - Final - materi meeting ... filei ANALISIS KEBIJAKAN KEBUTUHAN REGULASI PENETAPAN STATUS PERLINDUNGAN TERBATAS IKAN HIU (Tidak Dilindungi dan Apendiks/Non

23

Sejak bulan November 2014 hingga April 2016, jumlah ekspor hiu dalam kilogram berdasarkan jenis produk dapat dilihat pada gambar berikut

ini:

Gambar 6. Jumlah produk yang dieskpor (satuan: kg) berdasarkan bentuk produk.

10,363.50

1,277,095.35

468,310.07

134,655.20

1,876.00 50.00 5,035.00

0

100,000

200,000

300,000

400,000

500,000

600,000

700,000

800,000

900,000

1,000,000

1,100,000

1,200,000

1,300,000

1,400,000

Hiu Utuh Daging Hiu Sirip Hiu Tulang Hiu Jebreng Hiu Minyak Hiu Kulit Hiu

Jumlah Ekspor Tiap Produk (kg) November 2014 - April 2016

Page 27: Naskah Kebijakan Hiu - 10Aug2016 - Final - materi meeting ... filei ANALISIS KEBIJAKAN KEBUTUHAN REGULASI PENETAPAN STATUS PERLINDUNGAN TERBATAS IKAN HIU (Tidak Dilindungi dan Apendiks/Non

24

Persentase jumlah produk diekspor juga dapat

disajikan pada diagram lingkaran seperti gambar berikut ini :

Gambar 7. Persentase jumlah produk diekspor sejak November 2014 sampai April 2016

Page 28: Naskah Kebijakan Hiu - 10Aug2016 - Final - materi meeting ... filei ANALISIS KEBIJAKAN KEBUTUHAN REGULASI PENETAPAN STATUS PERLINDUNGAN TERBATAS IKAN HIU (Tidak Dilindungi dan Apendiks/Non

25

Data produksi ekspor per-bulan tiap produk sejak bulan November 2014 sampai dengan bulan April 2016 dapat disajikan pada diagram batang

sebagai berikut :

Gambar 8. Jumlah produk yang dieskpor (kilogram) tiap bulan berdasarkan bentuk produk.

-

50,000.00

100,000.00

150,000.00

200,000.00

250,000.00

300,000.00

350,000.00

400,000.00

450,000.00

Hiu Utuh

Daging Hiu

Sirip Hiu

Tulang Hiu

Jebreng Hiu

Minyak Hiu

Kulit Hiu

Page 29: Naskah Kebijakan Hiu - 10Aug2016 - Final - materi meeting ... filei ANALISIS KEBIJAKAN KEBUTUHAN REGULASI PENETAPAN STATUS PERLINDUNGAN TERBATAS IKAN HIU (Tidak Dilindungi dan Apendiks/Non

26

Spesies hiu yang terekspor oleh beberapa perusahaan eksportir dan melalui beberapa

pintu keluar ekspor (Bandara Soekarno-Hatta Jakarta, Pelabuhan Tanjung Priok Jakarta, Pelabuhan

Tanjung Mas Semarang, Bandara Ahmad Yani Semarang, dan Bandara Adi Sucipto Yogyakarta)

adalah sebagai berikut :

1) Aetoplatea zonura

2) Alopias Superciliosus

3) Alopias spp.

4) Carcharhinus albimatginatus

5) Carcharhinus amblyrhincoides

6) Carcharhinus brevipinna

7) Carcharhinus dussumieri

8) Carcharhinus falciformis

9) Carcharhinus leucas

10) Carcharhinus limbatus

11) Carcharhinus melanopterus

12) Carcharhinus obscurus

13) Carcharhinus plumbeus

14) Carcharhinus signatus

15) Carcharhinus sorrah

16) Chiloscyllium punctatum

17) Galeocerdo cuvier

18) Galeocerdo spp.

19) Galeorhinus galeus

20) Hemiscylium halmahera

21) Isurus calukus

22) Isurus oxyrinchus

23) Morullus chryophekadi

24) Nebrius ferugineus

25) Negaprion brevirotris

26) Orectolobus ornatus

27) Prionace glauca

Page 30: Naskah Kebijakan Hiu - 10Aug2016 - Final - materi meeting ... filei ANALISIS KEBIJAKAN KEBUTUHAN REGULASI PENETAPAN STATUS PERLINDUNGAN TERBATAS IKAN HIU (Tidak Dilindungi dan Apendiks/Non

27

2.2.5 Rantai Perdagangan Hiu

Rantai perdagangan hiu di Indonesia cenderung panjang dan kompleks, mulai dari tingkat

nelayan, pengepul, unit pengolahan, eksportir hingga negara pengimpornya. Rantai perdagangan

di tingkat pengepul adalah tingkat perdagangan hiu paling kompleks di Indonesia. Menurut

Zainudin (2011), banyaknya tingkatan dalam pengepul menyebabkan susahnya membangun

sistem keterlacakan untuk mengetahui asal-usul ikan hiu yang ditangkap. Sistem keterlacakan ikan

(tracibility) adalah sangat penting saat ini dalam sistem pengelolaan dan perdagangan perikanan,

karena beberapa negara pembeli ikan sudah menerapkan dan mensyaratkan adanya dokumen

keterlacakan bagi semua jenis ikan yang akan masuk ke negara tersebut seperti halnya catch

certificate yang diterapkan oleh Uni Eropa sejak awal tahun 2010. Catch certificate adalah sistem

yang dibangun oleh para ahli perikanan untuk mengurangi ancaman penurunan sumberdaya

perikanan yang diakibatkan oleh perikanan yang illegal, tak terlaporkan dan tak diatur (illegal,

unreported and unregulated – IUU fishing).

Beberapa bandara internasional, seperti di Jakarta, Surabaya, Denpasar dan Medan,

merupakan bandara-bandara utama yang digunakan oleh banyak eksportir ikan hiu mengirim

produknya ke luar negeri. Untuk produk hiu dari Cilacap, umumnya diekspor melalui Jakarta dan

sebagian kecil lainnya diekspor melalui transportasi laut ke Jepang, sedangkan produk hiu dari

Lombok (Tanjungluar) dikirim melalui Surabaya dan Jakarta. Negara-negara utama tujuan ekspor

produk hiu dari Indonesia antara lain adalah Jepang, Cina, Taiwan dan Hong Kong, selain itu juga

diekspor ke Korea Selatan, Singapura dan Malaysia . Bandara-bandara utama tersebut dapat

dijadikan basis untuk mendukung sistem pengendalian dan pemantauan pengelolaan perikanan

hiu di Indonesia dengan melakukan sistem pengontrolan dan pengawasan di pintu keluar (ekspor)

produk hiu Indonesia ke luar negeri. Sedangkan produk hiu yang dihasilkan oleh kapal penangkap

ikan di beberapa wilayah di Indonesia, tidak hanya ditujukan untuk ekspor, namun juga untuk

pemenuhan kebutuhan konsumen domestik, seperti halnya produk hiu yang didaratkan di

Juwana, Pati, Rembang, Pontianak, Wakatobi dan beberapa daerah lainnya (Zainudin, 2011).

Namun demikian untuk memperoleh data dan informasi produk hiu yang dipasarkan di dalam

negeri dan luar negeri masih perlu dikembangkan metode yang tepat agar diperoleh hasil kajian

yang dapat menjawab permasalahan tentang pemasaran hiu .

Page 31: Naskah Kebijakan Hiu - 10Aug2016 - Final - materi meeting ... filei ANALISIS KEBIJAKAN KEBUTUHAN REGULASI PENETAPAN STATUS PERLINDUNGAN TERBATAS IKAN HIU (Tidak Dilindungi dan Apendiks/Non

28

2.2.6 Sosial Ekonomi Perikanan Hiu

Analisis studi aspek sosial-ekonomi perikanan hiu telah dilakukan pada tahun 2004-2005 di

beberapa daerah di Indonesia. Hasil analisis menunjukkan bahwa produksi hiu memberikan

kontribusi signifikan terhadap pendapatan nelayan, baik yang menghasilkan hiu sebagai target

utama ataupun merupakan tangkapan sampingan. Pendapatan yang diterima oleh nelayan

umumnya tergantung pada sistem bagi hasil yang berlaku, meskipun pada beberapa lokasi ada

pula yang menganut sistem gaji. Adapun sistem bagi hasil diberlakukan secara umum pada

beberapa lokasi produksi hiu di Indonesia. Misalnya untuk seorang anak buah kapal (ABK) di

Tanjungluar (NTB), Sungai Liat (Kalsel), dan Sungai Kakap (Kalbar) setiap tahunnya mendapatkan

masing-masing sebanyak Rp 20,8 juta, Rp 24,1 juta, dan Rp 8,5 juta. Sedangkan ABK yang

menangkap hiu yang hanya sebagai hasil tangkapan sampingan di Kedonganan (Bali) dan Batang

(Jawa Tengah) masing-masing memperoleh penghasilan Rp 27,7 juta dan Rp 22,4 juta per tahun.

Perbandingan nilai tambah dari hasil komoditas perikanan tersebut di beberapa daerah

adalah 3,5% di Kedonganan dan 290% dari ikan hiu di Sungai Kakap. Tinggi rendahnya

pendapatan nelayan hiu di beberapa daerah tersebut berkaitan dengan frekuensi kegiatan

penangkapan ikan. Pendapatan berdasarkan tipe usaha produk hiu di beberapa daerah juga

berbeda. Untuk usaha pengasinan memberikan pendapatan lebih tinggi (Rp. 32 juta/tahun)

dibanding usaha fillet daging hiu yang masing-masing memperoleh pendapatan Rp. 17

juta/tahun.

Implikasi dari kajian sosial ekonomi perikanan hiu adalah bahwa upaya dapat diarahkan

pada penciptaan nilai tambah dan perumusan mekanisme teknis untuk mengurangi produksi

menjadi penting dalam mengembangkan Rencana Aksi Pengelolaan Hiu dan Pari (NPOA sharks

and rays). (Purnomo & Apriliani, 2007). Pengurangan produksi dan meningkatkan nilai tambah

dapat dilakukan dengan cara meningkatkan kualitas pengolahannya. Berdasarkan analisis ekonomi

disimpulkan bahwa komoditi ikan hiu telah memberikan kontribusi signifikan terhadap

pendapatan nelayan yang menangkap ikan hiu sebagai target tangkapan atau sampingan.

Pentingnya komoditas ikan hiu bagi sebagian nelayan yang terkait dengan perikanan hiu

perlu menjadi catatan khusus bagi pemangku kepentingan di dalam menerapkan langkah-langkah

pengelolaan hiu di Indonesia. Dengan adanya tekanan internasional untuk menyelamatkan

populasi hiu di alam, pemerintah Indonesia diminta untuk menerapkan upaya-upaya konservasi

dan pembatasan tangkapan hiu di wilayah perairannya. Untuk itu pemerintah perlu mengkaji lebih

dalam seberapa besar implikasi dari adanya peraturan yang akan membatasi atau memperketat

Page 32: Naskah Kebijakan Hiu - 10Aug2016 - Final - materi meeting ... filei ANALISIS KEBIJAKAN KEBUTUHAN REGULASI PENETAPAN STATUS PERLINDUNGAN TERBATAS IKAN HIU (Tidak Dilindungi dan Apendiks/Non

29

usaha penangkapan hiu terhadap nelayan yang terlibat langsung dengan komoditi tersebut.

Selain itu, perlu diupayakan alternatif sumber pendapatan selain dari perikanan hiu dengan tanpa

merubah terlalu banyak pola dan budaya kerja nelayan tersebut apabila diterapkan pembatasan

atau pengelolaan perikanan secara lebih ketat di wilayah-wilayah pengelolaan perikanan

Indonesia.

2.3 Regulasi Nasional Tentang Perlindungan Hiu

Pemerintah Indonesia mempunyai komitmen yang kuat untuk melakukan upaya

perlindungan terhadap beberapa spesies yang statusnya terancam punah.Penyebab ancaman

kepunahan dapat disebabkan oleh beberapa hal, ada yang disebabkan karena penangkapan

berlebih dan kerusakan habitat, namun ada juga spesies tertentu yang rentan terancam punah

karena karakteristik biologinya yaitu spesies tertentu yang secara alami jumlahnya di habitat alam

sedikit.

Penetapan status perlindungan terhadap suatu spesies pada dasarnya bertujuan untuk

menjamin agar spesies tersebut tetap berada dihabitatnya sehingga dapat berkembang biak

secara alamiah dengan melarang segala bentuk pemanfaatan yang bersifat ekstraktif. Beberapa

keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan tentang perlindungan hiu diantaranya adalah:

a. Kepmen KP Nomor 18 Tahun 2013 tentang penetapan status perlindungan hiu paus.

b. Permen KP Nomor 57 Tahun 2014 tentang larangan pengeluaran hiu martil dan hiu

koboi dari wilayah negara Republik Indonesia dengan masa berlaku sampai dengan 31

Nopember 2015.

c. Permen KP Nomor 34 Tahun 2015 tentang perubahan Permen KP No. 57 tahun 2014

tentang larangan pengeluaran hiu martil dan hiu koboi dari wilayah negara Republik

Indonesia yang berlaku sampai dengan 31 Desember 2016.

2.3.1 Kepmen KP Nomor 18 Tahun 2013

Ikan hiu paus atau Rhincodon typus terdistribusi di perairan tropis yang hangat di seluruh

dunia, kecuali di Laut Mediterania. IUCN mengklasifikasikan ikan hiu paus dalam kelompok

vulnerable atau rentan terhadap ancaman kepunahan (IUCN 2014). Selanjutnya, ikan hiu paus

telah dimasukan dalam daftar apendik II CITES pada Konferensi Para Pihak (Conference of Parties)

ke-12 tahun 2002 di Santiago, Chile dan mulai berlaku efektif sejak tanggal 13 Februari 2003.

Page 33: Naskah Kebijakan Hiu - 10Aug2016 - Final - materi meeting ... filei ANALISIS KEBIJAKAN KEBUTUHAN REGULASI PENETAPAN STATUS PERLINDUNGAN TERBATAS IKAN HIU (Tidak Dilindungi dan Apendiks/Non

30

Dengan demikian, sebagai negara anggota Konvensi CITES, Indonesia perlu

mengimplementasikan peraturan perlindungan untuk ikan hiu paus yang berlaku secara nasional.

Dalam rangka menjaga dan menjamin keberadaan dan ketersediaan ikan hiu paus (Rhincodon

typus), perlu dilakukan perlindungan penuh terhadap ikan hiu paus. Hal ini dilakukan oleh

Indonesia setelah 10 tahun ikan hiu paus dimasukan dalam daftar apendik II CITES. Peraturan

terkait perlindungan terhadap ikan hiu paus di Indonesia telah ditetapkan melalui Keputusan

Menteri Kelautan dan Perikanan Republik Indonesia Nomor 18/Kepmen-Kp/2013 Tentang

Penetapan Status Perlindungan Penuh Ikan Hiu Paus (Rhincodon typus). Oleh karena itu,

pemanfaatan ikan hiu paus pada seluruh atau sebagian siklus hidupnya, pemanfaatan bagian

tubuhnya beserta produk turunannya dilarang berdasarkan peraturan perundang-undangan.

Namun demikian, pemanfaatan ikan hiu paus dapat dilakukan untuk tujuan penelitian dan

pengembangan. Kendala yang dihadapi dalam implementasi peraturan di Indonesia terkait

perlindungan penuh ikan hiu paus adalah wilayah migrasi ikan hiu paus yang sangat luas (dari

Australia bagian barat sampai pada perairan laut di negara-negara Asia Tenggara, termasuk

Indonesia), kegiatan perikanan hiu atau penangkapan hiu untuk tujuan komersial, perdagangan

produk turunan ikan hiu karena permintaan pasar yang tinggi dan rendahnya pemahaman

masyarakat nelayan untuk melakukan upaya konservasi jenis ikan khususnya ikan hiu paus.

2.3.2 Permen KP Nomor 57 Tahun 2014

Dalam rangka menjamin dan mendukung pengembangan sumberdaya perikanan yang

berkelanjutan melalui pengelolaan yang tepat, konservasi dan pemanfaatan secara optimal dari

potensi sumber daya ikan, maka Kementerian Kelautan dan Perikanan mengeluarkan Peraturan

Menteri Kelautan dan Perikanan Republik Indonesia nomor 57/Permen-KP/2014 tentang

Perubahan Kedua atas Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor Per.30/Men/2012

tentang Usaha Perikanan Tangkap di Wilayah Pengelolaan Perikanan Negara Republik Indonesia.

Secara umum, peraturan ini dibuat untuk mewujudkan pengelolaan sumber daya perikanan yang

bertanggung jawab dan untuk menanggulangi kegiatan Illegal, Unrepoted and Unregulated (IUU)

Fishing di Wilayah Pengelolaan Perikanan Negara Republik Indonesia. Secara khusus, Peraturan

Menteri ini mengatur hasil tangkapan sampingan (bycatch) yang secara ekologi terkait dengan

(ecologically related species) perikanan tuna. Salah satu hasil tangkapan sampingan dari perikanan

tuna adalah ikan hiu yaitu hiu monyet (thresher shark atau Alopias spp.). Dengan adanya

Page 34: Naskah Kebijakan Hiu - 10Aug2016 - Final - materi meeting ... filei ANALISIS KEBIJAKAN KEBUTUHAN REGULASI PENETAPAN STATUS PERLINDUNGAN TERBATAS IKAN HIU (Tidak Dilindungi dan Apendiks/Non

31

Peraturan Menteri in diharapkan setiap kapal penangkap ikan yang beroperasi di wilayah

pengelolaan perikanan Republik Indonesiaakan melakukan upaya perlindungan atau konservasi

terhadap hasil tangkapan sampingan yaitu ikan hiu. Namun demikian, sanksi administratif berupa

pencabutan SIPI yang diberikan terhadap segala bentuk pelanggaran yang dilakukan terhadap

hasil tangkapan sampingan ini kemungkinan kurang memberikan efek jera terhadap pelaku/kapal

penangkap ikan, sehingga praktek ilegal masih akan terus berlanjut tanpa mempertimbangkan

kelestarian sumber daya ikan hiu di habitat alamnya.

2.3.3 Permen KP Nomor 34 Tahun 2015

Hal-hal yang menjadi pertimbangan terhadap pengimplementasian Peraturan Menteri

No.34 Tahun 2015 adalah dampak dari pelaksanaan peraturan menteri ini terhadap perekonomian

masyarakat nelayan, pengawasan terhadap peredaran spesies (hiu koboi: Carcharhinus

longimanus; dan hiu martil: Sphyrna spp.) serta produk turunannya, dan persiapan implementasi

ketentuan CITES terhadap perdagangan internasionalikan hiu dan produk turunannya. Peraturan

Menteri ini hanya mengatur larangan untuk kegiatan ekspor dan tidak mempengaruhi sumber

pendapatan nelayan yang berprofesi sebagai nelayan penangkap hiu. Dengan demikian,

masyarakat masih diperbolehkan untuk melakukan kegiatan penangkapan dan perdagangan di

dalam negeri. Namun, tidak bisa dipastikan volume produksi dari setiap wilayah perikanan

pengelolaan perikanan dikarenakan luas wilayah perairan laut Indonesia yang sangat luas. Selain

itu, adanya kecenderungan pengetahuan pada level nelayan bahwa seluruh spesies hiu telah

dilarang untuk ditangkap/diperdagangkan atau dilindungi. Pemahaman ini sangat perlu untuk

diubah melalui upaya sosialisasi yang intensif dari pemerintah sehingga impelementasi dari

Peraturan Menteri ini akan menjadi efektif di tingkat nelayan. Selanjutnya, upaya pengawasan

terhadap implementasi Peraturan Menteri ini telah dilakukan dengan mengatur mekanisme tata

cara pemberian rekomendasi perdagangan hiu melalui Keputusan Direktur Konservasi Kawasan

dan Jenis Ikan No.1519/KP3K.2/VIII/2015 Tentang Standar Operasional Prosedur (SOP) Tata Cara

Pemberian Rekomendasi Perdagangan Hiu dan Pari. Melalui mekanisme ini, diharapkan dapat

mendukung proses pengawasan dan penegakan hukum terkait larangan ekspor beberapa spesies

hiu yang masuk dalam appendiks CITES.

Hiu koboi (Carcharhinus longimanu) dan hiu martil Sphyrna spp) yang dilarang untuk

diekspor telah berlaku efektif dalam appendiks II CITES sejak tanggal 14 September 2014. Sebagai

Page 35: Naskah Kebijakan Hiu - 10Aug2016 - Final - materi meeting ... filei ANALISIS KEBIJAKAN KEBUTUHAN REGULASI PENETAPAN STATUS PERLINDUNGAN TERBATAS IKAN HIU (Tidak Dilindungi dan Apendiks/Non

32

negara yang telah meengesahkan konvensi internasional, dalam hal ini CITES, maka Indonesia

perlu melakukan tindakan konservasi terhadap spesies yang masuk dalam daftar appendiks CITES

sehingga perdagangan spesies tersebut tidak akan mengancam kelestarian di habitat alamnya.

Untuk mendukung implementasi dari Peraturan Menteri ini, maka diperlukan data atau informasi

yang akurat tentang spesies yang diperdagangkan dalam appendiks II CITES terkait distribusi

spesies, status populasi, tren populasi, tingkat keterancaman, status perdagangan dan

pemanfaatan spesies, informasi aktual/terkini tentang dampak perdagangan, monitoring populasi,

dan upaya pengaturan dan pengelolaan. Data tersebut merupakan bagian penting dari dokumen

non-detriment findings (NDF). Selain itu, penetapan kuota ekspor spesimen dari spesies yang

masuk dalam appendix II CITES (secara khusus spesies hiu yang diatur dalam Peraturan Menteri

ini) diperlukan untuk memastikan bahwa kegiatan perdagangan spesies tersebut tidak akan

mengakibatkan ancaman, kepunahan spesies atau mengganggu kelestarian spesies tersebut di

alam.

2.3.4 Permen KP Nomor 12 Tahun 2012

Disamping pemanfaatan sumber daya ikan, termasuk ikan hiu, pada wilayah perairan laut

Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE), Indonesia juga memiliki hak yang sama dengan negara lain untuk

memanfaatkan sumber daya ikan di laut lepas (bagian dari laut yang tidak termasuk dalam ZEEI,

laut teritorial Indonesia, perairan kepulauan Indonesia, dan perairan pedalaman

Indonesia).Adapun pemanfaatan sediaan ikan yang beruaya jauh (highly migratory fish stocks) dan

sediaan ikan yang beruaya terbatas (straddling fish stocks) di laut lepas perlu dilaksanakan

berdasarkan standar internasional sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (2) Undang-Undang

Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan, sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang

Nomor 45 Tahun 2009 dimana pengelolaan perikanan di luar wilayah pengelolaan perikanan

Republik Indonesia diselenggarakan berdasarkan peraturan perundang-undangan, persyaratan,

dan/atau standar internasional yang diterima secara umum.

Peraturan Menteri ini secara spesifik mengatur bahwa setiap kapal penangkap ikan yang

melakukan penangkapan ikan di laut lepas yang memperoleh hasil tangkapan sampingan

(bycatch) yang secara ekologis terkait dengan (ecologically related species) perikanan tuna berupa

hiu, burung laut, penyu laut, mamalia laut termasuk paus, dan hiu monyet wajib melakukan upaya

perlindungan atau tindakan konservasi. Selanjutnya, setiap kapal penangkap ikan yang

Page 36: Naskah Kebijakan Hiu - 10Aug2016 - Final - materi meeting ... filei ANALISIS KEBIJAKAN KEBUTUHAN REGULASI PENETAPAN STATUS PERLINDUNGAN TERBATAS IKAN HIU (Tidak Dilindungi dan Apendiks/Non

33

menangkap, memindahkan, mendaratkan, menyimpan, dan/atau menjual hiu monyet (Thresher

sharks) dari semua family Alopiidae baik utuh maupun bagiannya dikenakan sanksi (peringatan,

pembekuan sementara SIPI atau SIKPI dalam periode 2 sampai 3 bulan, pencabutan SIPI atau

SIKPI). Namun, sanksi tersebut masih cukup ringan karena tidak menyertakan sanksi denda

ataupun pidana penjara sehingga kemungkinan tidak memberikan efek jera yang signifikan

kepada kapal penangkap dan kapal pengangkut ikan yang tidak mematuhi persyaratan dan/atau

standar internasional yang ditetapkan oleh Regional Fisheries Management Organization

(RFMO)serta tidak melakukan tindakan konservasi terhadap sumber daya ikan hiu.

2.3.5 Permen KP Nomor 48 Tahun 2014 tentang Log Book Penangkapan Ikan

Log book penangkapan ikan merupakan laporan harian tertulis nakhoda mengenai kegiatan

perikanan dan operasional harian kapal penangkap ikan. Data dan informasi dari log book

penangkapan ikan merupakan hal yang sangat penting dalam pengelolaan sumber daya ikan.

Peraturan Menteri No.48 Tahun 2014 merupakan perubahan atas Peraturan Menteri Kelautan dan

Perikanan Nomor No.18 Tahun 2010 tentang Log Book Penangkapan Ikan. Untuk efektifitas

implementasi Peraturan Menteri ini, sangat diharapkan setiap kapal penangkap ikan untuk

memberikan informasi yang akurat tentang data hasil tangkapan ikan, termasuk ikan hiu, sehingga

akan mendukung dan mempermudah proses pendataan terhadap hasil tangkapan ikan hiu yang

didaratkan oleh kapal penangkap ikan.Dalam hal ini, hasil tangkapan sampingan (bycatch), yaitu

ikan hiu, harus dilaporkan oleh nakhoda kepada kepala pelabuhan pangkalan sesuai dengan

SIPI.Selain itu, terjaganya kualitas data tersebut menjadi sangat penting agar log book dapat

memberi gambaran pemanfaatan sumber daya ikan, termasuk ikan hiu, sehingga dapat menjadi

dasar pengelolaan perikanan, khususnya pengelolan perikanan hiu di Indonesia.

Page 37: Naskah Kebijakan Hiu - 10Aug2016 - Final - materi meeting ... filei ANALISIS KEBIJAKAN KEBUTUHAN REGULASI PENETAPAN STATUS PERLINDUNGAN TERBATAS IKAN HIU (Tidak Dilindungi dan Apendiks/Non

34

III. RANCANGAN KEBIJAKAN PENGELOLAAN HIU

3.1 Landasan Hukum

3.1.1 UU No.45/2009 jo UU No.31/2004 tentang Perikanan

Undang-Undang Nomor 31 tahun 2004 tentang perikanan sebagaimana telah diubah

dengan Undang-Undang Nomor 45 tahun 2009 merupakan payung hukum dalam pengelolaan

sumber daya ikan. Pada Pasal 7 ayat (1) disebutkan bahwa dalam rangka mendukung kebijakan

pengelolaan sumberdaya ikan Menteri mempunyai beberapa otoritas, diantaranya :

jumlah tangkapan yang diperbolehkan di wilayah pengelolaan perikanan Republik Indonesia;

a. ukuran atau berat minimum jenis ikan yang boleh ditangkap;

b. kawasan konservasi perairan;

c. jenis ikan yang dilarang untuk diperdagangkan, dimasukkan, dan dikeluarkan kedan dari

wilayah Republik Indonesia;

d. jenis ikan yang dilindungi.

Mandat tersebut dengan jelas menegaskan bahwa untuk menjaga kelestarian sumber daya

ikan Menteri dapat menetapkan suatu aturan dalam rangka melindungi dan melestarikan jenis

ikan. Kegiatan penangkapan hiu yang terjadi saat ini belum ada aturan yang secara tegas

mengatur tata kelola perikanan hiu yang dikhawatirkan dapat menyebabkan spesies tersebut

terancam punah. Upaya pemantauan dan pengendalian terhadap penangkapan hiu masih belum

dapat dilakukan dengan baik. Data-data dasar yang menjadi landasan pengelolaan belum

tersedia secara memadai, hal ini diperparah lagi dengan adanya indikasi kuat telah terjadinya IUU

fishing dalam jumlah yang cukup besar sehingga dapat mengancam kelestarian sumberdaya hiu

di Indonesia.

3.1.2 PP No. 60/2007 tentang Konservasi Sumber Daya Ikan

Peraturan Pemerintah Nomor 60 tahun 2007 tentang konservasi sumber daya ikan

merupakan aturan turunan dari Undang-Undang nomor 31 tahun 2004 tentang perikanan dan

perubahannya Undang-Undang Nomor 45 tahun 2009. Konservasi sumber daya ikan adalah

upaya untuk perlindungan, pelestarian dan pemanfaatan sumber daya ikan, termasuk ekosistem,

jenis dan genetik untuk menjamin keberadaan, ketersediaan dan kesinambungannya dengan

tetap memelihara dan meningkatkan kualitas nilai dan keanekaragaman sumber daya ikan.

Page 38: Naskah Kebijakan Hiu - 10Aug2016 - Final - materi meeting ... filei ANALISIS KEBIJAKAN KEBUTUHAN REGULASI PENETAPAN STATUS PERLINDUNGAN TERBATAS IKAN HIU (Tidak Dilindungi dan Apendiks/Non

35

Konservasi sumber daya ikan pada level ekosistem saat sudah cukup berkembang dengan

dicadangkan dan ditetapkannya beberapa kawasan konservasi perairan, baik yang dikelola oleh

pusat dalam bentuk Kawasan Konservasi Perairan Nasional (KKPN) maupun yang dikelola oleh

daerah dalam bentuk Kawasan Konservasi Perairan Daerah (KKPD). Program konservasi pada level

jenis dan level genetik belum begitu banyak dilakukan. Sebelum adanya Kementerian Kelautan

dan Perikanan program konservasi jenis dilakukan oleh Kementerian Kehutanan melalui Ditjen

PHKA, dengan ditetapkannya status perlindungan beberapa jenis ikan melalui Peraturan

Pemerintah No 7 tahun 1999 tentang Pengawetan Tumbuhan dan Satwa. Sejak disyahkannya

Undang-Undang Nomor 31 tahun 2004 tentang Perikanan, mandat konservasi sumber daya ikan

menjadi urusan Kementerian Kelautan dan Perikanan.

Dalam Pasal 21 disebutkan bahwa konservasi sumber daya ikan dilakukan dengan tujuan

untuk melindungi jenis ikan yang terancam punah, mempertahankan keanekaragaman jenis ikan,

memelihara keseimbangan dan kemantapan ekosistem, dan memanfaatkan sumberdaya ikan

secara berkelanjutan. Program konservasi jenis ikan pada dasarnya tidak hanya mengatur tentang

perlindungan semata, tetapi juga ditekankan bahwa sumber daya jenis ikan tersebut dapat

dimanfaatkan oleh masyarakat, tentu saja dengan cara-cara yang berkelanjutan. Beberapa hal

yang dilakukan di antaranya dengan mengembangkan alat penangkap ikan ramah lingkungan,

sehingga kegiatan penangkapan yang dilakukan tidak sampai pada tahap membahayakan

kelestarian sumber daya ikan itu sendiri.

Penetapan status perlindungan jenis ikan merupakan salah satu upaya dalam rangka

implementasi program konservasi jenis ikan, dengan ditetapkannya status perlindungan ini

diharapkan dapat memberikan pembatasan yang jelas dalam rangka pemanfaatan jenis ikan

tertentu yang mengalami ancaman kepunahan, langka dan endemik. Aturan pelaksanaan dalam

penetapan status perlindungan jenis ikan terancam punah, langka dan endemik ini diatur melalui

Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor PER.35/MEN/2013 tentang Tata Cara

Penetapan Status Perlindungan Jenis Ikan.

3.1.3 Permen KP No. 35/2013 tentang Tata Cara Penetapan Status Perlindungan Jenis

Ikan

Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan (Permen KP) No. 35 tahun 2013 merupakan

perubahan dari Permen KP No. 3 tahun 2010 tentang “Tata Cara Penetapan Status Perlindungan

Jenis Ikan” (Kementerian Kelautan dan Perikanan 2013). Proses penetapan status perlindungan

Page 39: Naskah Kebijakan Hiu - 10Aug2016 - Final - materi meeting ... filei ANALISIS KEBIJAKAN KEBUTUHAN REGULASI PENETAPAN STATUS PERLINDUNGAN TERBATAS IKAN HIU (Tidak Dilindungi dan Apendiks/Non

36

jenis ikan mengacu pada Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 35 tahun 2013.

Terdapat 5 tahapan yang harus dilalui dalam penetapan status perlindungan, yaitu:

a. Usulan inisitif;

b. Konsultasi publik;

c. Penyusunan dokumen analisis kebijakan;

d. Permintaan rekomendasi ilmiah ke Otoritas Keilmuan;

e. Penetapan status perlindungan oleh Menteri Kelautan dan Perikanan;

Usulan inisiatif penetapan status perlindungan dapat diajukan oleh pemerintah, pemerintah

daerah, perguruan tinggi, lembaga swadaya masyarakat ataupun individu.

Konsultasi publik dilakukan untuk mendapatkan masukan langsung dari pemangku

kepentingan terkait usulan penetapan status perlindungan. Hasil kegiatan konsultasi publik dapat

menjadi salah satu pertimbangan dalam penetapan kebijakan usulan status perlindungan.

Pemangku kepentingan dapat berasal dari pemerintah daerah, pakar, perguruan tinggi, lembaga

swadaya masyarakat, pelaku usaha dan tokoh masyarakat.

Penyusunan dokumen analisis kebijakan dimaksudkan untuk mengkaji usulan inisiatif dan

memberikan bahan pertimbangan kepada Menteri sebelum suatu spesies ditetapkan status

perlindungannya. Selain itu, dokumen analisis kebijakan juga diharapkan dapat memberikan

gambaran tentang kemungkinan dampak yang ditimbulkan, terutama dampak ekonomi kepada

masyarakat dan pelaku usaha. Pemerintah dan pemerintah dapat melakukan langkah-langkah

antisipasi agar penetapan status perlindungan tersebut tidak memberikan dampak ekonomi yang

besar kepada masyarakat.

Permintaan rekomendasi ilmiah ke Otoritas Keilmuan dimaksudkan untuk mendapatkan

masukan ilmiah terkait usulan penetapan status perlindungan. Berdasarkan Peraturan Pemerintah

Nomor 7 tahun 2007 otoritas ilmiah yang ditunjuk oleh pemerintah adalah Lembaga Ilmu

Pengetahuan Indonesia. Rekomendasi ilmiah dari otoritas keilmuan tersebut menjadi salah satu

pertimbangan penting bagi menteri dalam menindaklanjuti usulan inisiatif dan menentukan tipe

status perlindungan. Penetapan status perlindungan oleh Menteri Kelautan dan Perikanan

dilakukan dengan mempertimbangkan hasil telaah dalam dokumen analisis kebijakan dan surat

rekomendasi ilmiah yang diterbitkan oleh Otoritas Keilmuan.

Page 40: Naskah Kebijakan Hiu - 10Aug2016 - Final - materi meeting ... filei ANALISIS KEBIJAKAN KEBUTUHAN REGULASI PENETAPAN STATUS PERLINDUNGAN TERBATAS IKAN HIU (Tidak Dilindungi dan Apendiks/Non

37

3.1.4 Keputusan Presiden Nomor 43 Tahun 1987 Tentang Ratifikasi CITES

Convention on International Trade in Endangered Species of Wild Faunda and Flora (CITES)

merupakan konvensi tentang perdagangan internasional tumbuhan dan satwa liar dan telah

diratifikasi oleh Indonesia melalui Keputusan Presiden RI Nomor 43 Tahun 1978. Sebagai signatory

member state CITES, Indonesia berkewajiban untuk mengikuti dan mengimplementasikan

keputusan yang telah disepakati oleh para pihak dalam sidang konvensi CITES.

Pada Conference of the Parties 16 (CoP-16) CITES di Bangkok yang dilaksanakan pada bulan

Maret 2013, lima spesies hiu masuk dalam daftar Apendiks II, empat spesies diantaranya terdapat

di wilayah Indonesia yaitu : tiga spesies hiu martil (Sphyrna lewini, S. mokarran, dan S. zygaena)

dan Hiu Koboi (Carcharhinus longimanus). Pada konvensi tersebut dua spesies pari manta juga

masuk dalam daftar apendiks II yaitu manta oseanik (Manta birostris) dan manta karang (Manta

alfredi).

3.2 Tujuan Penyusunan Regulasi

Tujuan yang ingin dicapai dalam penyusunan regulasi terkait kebijakan pengelolaan hiu

adalah, sebagai berikut:

a. Memberikan kepastian hukum dan menghilangkan rasa takut nelayan dan pelaku usaha

dalam memanfaatkan sumberdaya ikan hiu secara berkelanjutan sesuai dengan ketentuan

perundangan;

b. Mengurangi praktek finning, yaitu penangkapan hiu yang hanya mengambil bagian sirip,

bagian lainnya dibuang ke laut;

c. Mencegah terjadinya eksploitasi berlebihan terhadap sumber daya ikan hiu;

d. Meningkatkan ketelusuran produk hiu yang dimanfaatkan dan diedarkan; dan

e. Mengendalikan perdagangan internasional sumber daya ikan hiu melalui perijinan khusus

bagi pedagang pengumpul dan eksportir.

3.3 Permasalahan Dalam Pengelolaan Hiu

Beberapa permasalahan yang masih dihadapi dalam pengelolaan,penerapan regulasi dan

ketentuan internasional terkait dengan pemanfaatan sumber daya ikan hiu diantaranya adalah:

a. Regulasi : Indonesia mempunyai keragaman spesies hiu yang cukup besar yaitu lebih dari

100 spesies. Ketersediaan regulasi yang ada saat ini baru mengatur tujuh spesies hiu yaitu:

perlindungan penuh hiu paus (Rhincodon typus), larangan ekspor tiga spesies hiu martil

Page 41: Naskah Kebijakan Hiu - 10Aug2016 - Final - materi meeting ... filei ANALISIS KEBIJAKAN KEBUTUHAN REGULASI PENETAPAN STATUS PERLINDUNGAN TERBATAS IKAN HIU (Tidak Dilindungi dan Apendiks/Non

38

(Sphyrna lewini, S. mokarran dan S. zygaena), dan hiu koboi (Carcarhinus longimanus)

serta larangan menangkap dua spesies hiu tikus genus Alopias diwilayah Samudera Hindia.

b. CITES : Tiga aspek ketentuan CITES terkait perdagangan internasional spesies yang masuk

dalam apendiks II yaitu aspek ketelusuran, aspek keberlanjutan dan aspek legalitas belum

dapat diimplementasikan dalam perdagangan produk olahan hiu. Hambatan yang

dihadapi diantaranya adalah:

� Ketelusuran : aspek ketelusuran menyangkut semua informasi dalam mata rantai

pemanfaatan yang meliputi : lokasi penangkapan, alat tangkap yang digunakan, data

kapal penangkap, identitas nelayan yang menangkap, lokasi pendaratan, identitas

pengolah, hingga mata rantainya sampai ke tingkat eksportir. Produk olahan hiu

diekspor dalam berbagai bentuk seperti: sirip kering, sirip kering sudah diolah tanpa

kulit, daging, tulang dan kulit. Produk-produk olahan tersebut sulit dibedakan

berdasarkan spesies, karena belum ada aturan yang mewajibkan adanya pembedaan

berdasarkan spesies. Selain itu pengelompokan olahan produk hiu umumnya

berdasarkan bentuk dan proses pengolahannya, seperti sirip asin, sirip beku dan lain-

lain.

� Keberlanjutan : aspek keberlanjutan terkait dengan mekanisme pemanfaatan yang

dilakukan untuk menjaga agar sumber daya ikan hiu dapat tetap lestari. Ada beberapa

contoh penerapan aspek keberlanjutan dalam pengelolaan sumber daya ikan, seperti :

perlindungan habitat penting, pengaturan ukuran dan musim tangkap hingga

pengaturan kuota tangkap. Sampai dengan ini Indonesia belum mempunyai regulasi

yang secara spesifik mengatur pemanfaatan sumber daya ikan hiu. Berdasarkan hasil

kegiatan pendataan yang dilakukan oleh Badan Litbang Kelautan dan Perikanan serta

UPT B/L Pengelolaan Sumber Daya Pesisir dan Laut menunjukkan bahwa hasil

tangkapan ikan hiu sebagian besar merupakan ikan hiu anakan. Dalam konteks

pengelolaan sumber daya, semua sumber daya ikan yang ditangkap sebaiknya

diberikan kesempatan untuk melakukan pemijahan secara alami, sehingga laju

rekrutmen tetap terjaga.

� Legalitas : aspek legalitas terkait dengan pelaku usaha, dalam artian semua pelaku

usaha hiu harus mempunyai ijin khusus untuk pemanfaatan hiu dan membentuk

sebuah assosiasi usaha, sehingga pengendalian terhadap pemanfaatan lebih mudah

dilakukan. Saat ini belum ada regulasi khusus yang mengatur mekanisme tersebut.

Page 42: Naskah Kebijakan Hiu - 10Aug2016 - Final - materi meeting ... filei ANALISIS KEBIJAKAN KEBUTUHAN REGULASI PENETAPAN STATUS PERLINDUNGAN TERBATAS IKAN HIU (Tidak Dilindungi dan Apendiks/Non

39

c. Bycatch: berdasarkan hasil beberapa kajian diketahui bahwa hiu bukan target

penangkapan nelayan, namun karena adanya kesamaan tempat hidup maka hiu sering

kali tertangkap dalam kegiatan penangkapan ikan, bahkan dalam jumlah yang besar.

Tingginya harga sirip hiu di pasar internasional menyebabkan hiu menjadi tangkapan

sampingan yang diharapkan dalam kegiatan penangkapan ikan.

3.4 Kebutuhan dan Pilihan Pengaturan

Beberapa hal yang perlu dipertimbangkan dalam menentukan pilihan regulasi yang akan

diambil untuk menjaga kesinambungan sumber daya ikan hiu diantaranya adalah:

a. Sumber daya ikan hiu merupakan jenis sumber daya yang dapat diperbaharui, ini berarti

bahwa pemanfaatan sumber daya ini dapat tetap dilakukan dengan tetap

memperhatikan aspek kelestariannya.

b. Secara biologi (jumlah anakan yang dihasilkan relatif sedikit) sehingga kelompok ikan hiu

rawan mengalami ancaman kepunahan dan diperlukan penerapan prinsip kehati-hatian

dalam melakukan pengelolaannya.

c. Secara global telah terjadi penurunan populasi sumber daya ikan hiu, termasuk di wilayah

Indonesia. Perlindungan terhadap jenis hiu tertentu yang saat ini telah terancam punah

perlu dilakukan sehingga tidak mengalami kepunahan.

d. Sorotan internasional terhadap perikanan hiu di Indonesia cukup tinggi oleh karena itu

pemerintah diharapkan dapat melakukan langkah pengelolaan yang lebih baik dalam

menjawab isu internasional tersebut.

e. Konvensi tentang perdagangan internasional tumbuhan dan satwa liar (CITES)

mempunyai perhatian yang besar terhadap ancaman kepunahan hiu yang disebabkan

karena perdagangan internasional. Ada kecenderungan untuk memasukkan semua jenis

hiu yang diperdagangkan secara internasional ke dalam apendiks CITES.

f. Berdasarkan beberapa kajian yang telah dilakukan sebelumnya diketahui bahwa produksi

hiu di Indonesia terutama berasal dari hasil tangkapan sampingan, hal ini disebabkan

karena kesamaan habitat antara hiu dan ikan yang menjadi target penangkapan.

g. Kepentingan ekonomi masyarakat dalam pemanfaatan sumber daya ikan hiu agar tetap

diperhatikan sehingga regulasi yang akan disusun dan diimplementasikan tidak

memberikan dampak yang besar terhadap penurunan sumber pendapatan masyarakat;

Page 43: Naskah Kebijakan Hiu - 10Aug2016 - Final - materi meeting ... filei ANALISIS KEBIJAKAN KEBUTUHAN REGULASI PENETAPAN STATUS PERLINDUNGAN TERBATAS IKAN HIU (Tidak Dilindungi dan Apendiks/Non

40

h. Regulasi yang akan disusun diharapkan dapat menjawab permasalahan yang dihadapi

dalam pengelolaan perikanan hiu.

i. Regulasi yang disusun harus dapat diimplementasikan di tingkat lapangan dan dapat

diawasi dengan mudah sehingga regulasi tersebut dapat berlaku secara efektif.

3.4.1 Penetapan Menjadi Jenis Dilindungi

Penetapan suatu spesies menjadi spesies yang dilindungi dapat menjadi salah satu opsi

pilihan regulasi dalam pengelolaan hiu. Beberapa hal yang perlu dipertimbangkan dalam

penetapan status perlindungan hiu diantaranya adalah:

a. Penetapan suatu spesies menjadi jenis yang dilindungi harus memenuhi kriteria sebagai

berikut: terancam punah, langka, endemik, fekunditas rendah dan populasi yang mengalami

penurunan secara drastis. Selain itu, penetapan status perlindungan dapat dilakukan untuk

spesies tertentu yang dianggap lebih bernilai penting keberadaannya di alam dibandingkan

dimanfaatkan sebagai sebuah produk perikanan, ataupun sebagai komitmen nasional terhadap

resolusi yang bersifat internasional. .

b. Penetapan status perlindungan mempunyai payung hukum yang kuat sebagaimana telah

dimandatkan dalam Undang-Undang Nomor 31 tahun 2004 jo Undang-Undang Nomor 45

tahun 2009 tentang Perikanan dan Peraturan Pemerintah Nomor 60 Tahun 2007 tentang

Konservasi Sumber Daya Ikan.

c. Pelanggaran terhadap ketentuan perlindungan mempunyai konsekuensi hukum yang jelas

sehingga lebih mudah dalam pengimplementasiannya di tingkat lapangan;

d. Penetapan status perlindungan dapat menjadi kurang efektif untuk mengurangi laju jumlah

tertangkapnya hiu karena banyaknya hiu tertangkap sebagai hasil tangkapan sampingan;

e. Adanya resistensi sebagian masyarakat nelayan terhadap kebijakan yang dikeluarkan oleh KKP,

apabila kebijakan yang dikeluarkan tidak disertai dengan solusi jangka pendek bagi masyarakat

nelayan, sehingga penerbitan status perlindungan perlu mempertimbangkan waktu yang

sesuai dan pertimbangan yang matang.

3.4.2 Tata Kelola dan Pengendalian Pemanfaatan

Jika memperhatikan dokumen Indonesian Biodiversity Strategy and Action Plan (IBSAP) 2015-

2020, potensi keanekaragaman hayati di Indonesia harus dapat dikelola secara baik dan bijaksana

Page 44: Naskah Kebijakan Hiu - 10Aug2016 - Final - materi meeting ... filei ANALISIS KEBIJAKAN KEBUTUHAN REGULASI PENETAPAN STATUS PERLINDUNGAN TERBATAS IKAN HIU (Tidak Dilindungi dan Apendiks/Non

41

sehingga dapat tetap lestari dan memberikan manfaat yang sebesar-besarnya bagi rakyat dan

bangsa Indonesia. Masuknya beberapa spesies hiu dalam daftar apendik CITES tidak dimaknai

bahwa sumber daya tersebut tidak boleh dimanfaatkan, namun pemanfaatannya harus dilakukan

dengan kontrol yang ketat. Ada tiga aspek utama yang harus dilakukan Indonesia jika ingin

memanfaatkan sumber daya hiu dengan tetap memenuhi ketentuan CITES, yaitu:

a. Aspek Keberlanjutan; Menyiapkan regulasi dan upaya pengelolaan yang dapat menjamin

agar sumber daya ikan hiu dapat tetap lestari;

b. Ketelusuran; Menyiapkan instrumen pengelolaan agar mata rantai perdagangan hiu

mempunyai keterlacakan yang tinggi, mulai dari kegiatan penangkapan, pengolahan

sampai produk tersebut diperdagangkan secara internasional;

c. Legalitas; Menyiapkan regulasi dan instrumen pengelolaan yang mewajibkan semua

pemanfaat hiu mempunyai legalitas dan mempunyai izin resmi. Hal ini dimaksudkan

untuk lebih memudahkan dalam melakukan kontrol pemanfaatan.

Beberapa opsi pengaturan atau tata kelola perikanan hiu yang dapat dilakukan dalam

rangka pemenuhan ketentuan internasional dan mendukung upaya pengelolaan sumber daya

ikan hiu di Indonesia adalah, sebagai berikut:

a. Penentuan Ukuran Tangkap Minimum dan Nilai Ekonomisnya

Penentuan ukuran tangkapan minimum (Tabel 4) bagi jenis-jenis hiu ditetapkan

berdasarkan ukuran ketika mencapai tingkat kedewasaan, yang diasumsikan hasil

tangkapan pada ukuran tersebut merupakan ukuran ikan yang sudah bereproduksi

sehingga proses rekrutmen diharapkan tetap berlangsung.Langkah tersebut diharapkan

merupakan upaya agar populasi di alam tetap terjaga sehingga pemanfaatannya dapat

tetap lestari. Penetapan ukuran tangkapan minimum dibagi berdasarkan tiga kelompok

ukuran maksimum ikan hiu (Lampiran 1) untuk memudahkan implementasi dan

pengawasan di lapangan (Fahmi & Dharmadi, 2013). Selanjutnya, sumber daya ikan hiu

yang dimanfaatkan oleh masyarakat dapat dikelompokkan berdasarkan nilai

ekonomisnya (Tabel 5).

Page 45: Naskah Kebijakan Hiu - 10Aug2016 - Final - materi meeting ... filei ANALISIS KEBIJAKAN KEBUTUHAN REGULASI PENETAPAN STATUS PERLINDUNGAN TERBATAS IKAN HIU (Tidak Dilindungi dan Apendiks/Non

42

Tabel 4. Penentuan Ukuran Minimum Tangkap Ikan Hiu Berdasarkan Kelompok Ukurannya

No Nama Ilmiah Nama Umum Nama lokal Ukuran saat

dewasa

Ukuran

minimum

tangkap

KELOMPOK HIU KECIL

1 Atelomycterus marmoratus Coral Catshark Hiu tokek, Hiu tokek karang 45-50 cm 60 cm

2 Carcharhinus dussumieri / tjutjot Whitecheek Shark Hiu lanjaman 75 cm 75 cm

3 Carcharhinus macloti Hardnose Shark Hiu aron 70–75 cm 75 cm

4 Carcharhinus sealei Blackspot Shark Hiu lanjaman 70-80 cm 75 cm

5

Chiloscyllium plagiosum

Whitespotted

Bambooshark Hiu bongo, cucut dolok 50–65 cm 75 cm

6 Chiloscyllium punctatum Brownbanded

Bambooshark

Hiu batu, hiu bongo, hiu gedok 67–70 cm 75 cm

7 Hemigaleus microstoma Sicklefin Weasel Shark Hiu kacang, hiu pilus 75-80 cm 75 cm

8 Hemitriakis indroyonoi Indonesian Houndshark Hiu kacang, hiu meong, karil 90-100 cm 75 cm

9 Pseudocarcharias kamoharai Crocodile Shark Hiu tongar 74-90 cm 75 cm

10 Rhizoprionodon acutus Milk Shark Hiu pilus, hiu plen,mungsing, hiu pisang 70–80 cm 75 cm

11 Scoliodon laticaudus Spadenose Shark Hiu plen, hiu kejen 45–50 cm 75 cm

12 Squalus spp. Spurdog sharks Hiu taji, hiu senget 60-80 cm 75 cm

13 Loxodon macrorhinus Sliteye Shark Hiu kejen 80–90 cm 90 cm

14

Mustelus manazo

Sparse-spotted

Smoothhound Hiu kacang, hiu air, cucut londer 85-100 cm 90 cm

15 Carcharhinus melanopterus Blacktip Reef Shark Hiu karang sirip hitam, hiu mada, kluyu

karang

95–120 cm 100 cm

Page 46: Naskah Kebijakan Hiu - 10Aug2016 - Final - materi meeting ... filei ANALISIS KEBIJAKAN KEBUTUHAN REGULASI PENETAPAN STATUS PERLINDUNGAN TERBATAS IKAN HIU (Tidak Dilindungi dan Apendiks/Non

43

No Nama Ilmiah Nama Umum Nama lokal Ukuran saat

dewasa

Ukuran

minimum

tangkap

16 Orectolobus leptolineatus Indo Wobbegong Hiu kodok, hiu lepang 85–95 cm 100 cm

17 Heptranchias perlo Sharpnose Sevengill

Shark

Hiu kucing, Hiu areuy 75–105 cm 100 cm

18 Centrophorus spp. Gulper sharks Hiu botol, cucut botol 80-100 cm 100 cm

KELOMPOK HIU SEDANG

1 Carcharhinus amblyrhynchoides Graceful Shark Hiu lanjaman 105–115 cm 150 cm

2 Carcharhinus amblyrhynchos Grey Reef Shark Hiu lanjaman karang, merak bulu 125–140 cm 150 cm

3 Carcharhinus sorrah Spot-tail Shark Hiu lanjaman, lanyam 105–120 cm 150 cm

4 Dalatias licha Kitefin Shark Hiu botol, hiu beurit, cucut botol 100-120 cm 150 cm

5 Hemipristis elongata Fossil Shark Hiu monas, hiu buas 110-120 cm 150 cm

6

Hexanchus nakamurai Bigeye Sixgill Shark

Hiu minyak, Hiu meong, kejen pasir, hiu

areuy 125-145 cm 150 cm

7 Triaenodon obesus Whitetip Reef Shark Hiu karang sirip putih, hiu bokem,hiu

coklat

105–120 cm 150 cm

8 Stegostoma fasciatum Zebra Shark Hiu belimbing 170 cm 200 cm

KELOMPOK HIU BESAR

1 Alopias pelagicus Pelagic Thresher Hiu monyet, hiu lancur , hiu tikus ,

cucut pedang, tikusan

240-260 cm; 250 cm

2 Alopias superciliosus Bigeye Thresher Hiu monyet, hiu lancur, hiu tikus, paitan 275-341 cm 250 cm

3 Carcharhinus albimarginatus Silvertip Shark Hiu sonteng, lanjaman 190–200 cm 250 cm

4 Carcharhinus brevipinna Spinner Shark Hiu lanjaman, hiu lonjor, merak bulu 190–220 cm 250 cm

Page 47: Naskah Kebijakan Hiu - 10Aug2016 - Final - materi meeting ... filei ANALISIS KEBIJAKAN KEBUTUHAN REGULASI PENETAPAN STATUS PERLINDUNGAN TERBATAS IKAN HIU (Tidak Dilindungi dan Apendiks/Non

44

No Nama Ilmiah Nama Umum Nama lokal Ukuran saat

dewasa

Ukuran

minimum

tangkap

5 Carcharhinus falciformis Silky Shark Hiu lanjaman, hiu lonjor 183–225 cm 250 cm

6 Carcharhinus leucas Bull Shark Hiu buas, Cucut bekeman, Hiu bujit ,

hiu kebo

200–220 cm 250 cm

7 Carcharhinus limbatus Common Blacktip Shark Hiu kejen, merak bulu, hiu lanjaman 165–195 cm 250 cm

8 Carcharhinus longimanus Oceanic Whitetip Shark Hiu koboy 180–200 cm 250 cm

9 Carcharhinus obscurus Dusky Shark Hiu merak bulu, hiu lanjaman 257–300 cm 250 cm

10 Galeocerdo cuvier Tiger Shark Hiu macan, mungsing jara 250–350 cm 250 cm

11 Isurus oxyrinchus Shortfin Mako Hiu tenggiri, hiu anjing, hiu mako 195- 240 cm 250 cm

12 Isurus paucus Longfin Mako

Hiu tenggiri, hiu mako bersirip panjang,

hiu anjing 205–230 cm 250 cm

13 Prionace glauca Blue shark Hiu karet, hiu selendang, hiu biru 210–220 cm 250 cm

14 Sphyrna lewini Scalloped Hammerhead Hiu martil, hiu caping, hiu caping, hiu

bingkoh

170–230 cm 250 cm

15 Sphyrna mokarran

Great Hammerhead

Hiu martil, hiu caping, hiu caping, hiu

bingkoh 235–300 cm 250 cm

16 Sphyrna zygaena

Smooth Hammerhead

Hiu martil, hiu caping, hiu caping, hiu

bingkoh 250-265 cm 250 cm

Page 48: Naskah Kebijakan Hiu - 10Aug2016 - Final - materi meeting ... filei ANALISIS KEBIJAKAN KEBUTUHAN REGULASI PENETAPAN STATUS PERLINDUNGAN TERBATAS IKAN HIU (Tidak Dilindungi dan Apendiks/Non

45

Tabel 5. Kelompok Ikan Hiu Berdasarkan Nilai Ekonomisnya

No Nama Ilmiah Nama Umum Nama lokal Ekonomis Penting

Ya Tidak

KELOMPOK HIU KECIL

1 Atelomycterus marmoratus Coral Catshark Hiu tokek, Hiu tokek

karang ˅

2 Carcharhinus dussumieri / tjutjot Whitecheek Shark Hiu lanjaman ˅

3 Carcharhinus macloti Hardnose Shark Hiu aron ˅

4 Carcharhinus sealei Blackspot Shark Hiu lanjaman ˅

5 Chiloscyllium plagiosum Whitespotted

Bambooshark

Hiu bongo, cucut dolok ˅

6 Chiloscyllium punctatum Brownbanded

Bambooshark

Hiu batu, hiu bongo, hiu

gedok

˅

7 Hemigaleus microstoma Sicklefin Weasel Shark Hiu kacang, hiu pilus ˅

8 Hemitriakis indroyonoi Indonesian Houndshark Hiu kacang, hiu meong,

karil

˅

9 Pseudocarcharias kamoharai Crocodile Shark Hiu tongar ˅

10 Rhizoprionodon acutus Milk Shark Hiu pilus, hiu

plen,mungsing, hiu

pisang

˅

Page 49: Naskah Kebijakan Hiu - 10Aug2016 - Final - materi meeting ... filei ANALISIS KEBIJAKAN KEBUTUHAN REGULASI PENETAPAN STATUS PERLINDUNGAN TERBATAS IKAN HIU (Tidak Dilindungi dan Apendiks/Non

46

No Nama Ilmiah Nama Umum Nama lokal Ekonomis Penting

Ya Tidak

11 Scoliodon laticaudus Spadenose Shark Hiu plen, hiu kejen ˅

12 Squalus spp. Spurdog sharks Hiu taji, hiu senget ˅

13 Loxodon macrorhinus Sliteye Shark Hiu kejen ˅

14 Mustelus manazo Sparse-spotted

Smoothhound

Hiu kacang, hiu air, cucut

londer

˅

15 Carcharhinus melanopterus Blacktip Reef Shark Hiu karang sirip hitam,

hiu mada, kluyu karang ˅

16 Orectolobus leptolineatus Indo Wobbegong Hiu kodok, hiu lepang ˅

17 Heptranchias perlo Sharpnose Sevengill

Shark

Hiu kucing, Hiu areuy ˅

18 Centrophorus spp. Gulper sharks Hiu botol, cucut botol ˅

KELOMPOK HIU SEDANG

1 Carcharhinus amblyrhynchoides Graceful Shark Hiu lanjaman ˅

2 Carcharhinus amblyrhynchos Grey Reef Shark Hiu lanjaman karang,

merak bulu ˅

3 Carcharhinus sorrah Spot-tail Shark Hiu lanjaman, lanyam ˅

4 Dalatias licha Kitefin Shark Hiu botol, hiu beurit,

cucut botol ˅

Page 50: Naskah Kebijakan Hiu - 10Aug2016 - Final - materi meeting ... filei ANALISIS KEBIJAKAN KEBUTUHAN REGULASI PENETAPAN STATUS PERLINDUNGAN TERBATAS IKAN HIU (Tidak Dilindungi dan Apendiks/Non

47

No Nama Ilmiah Nama Umum Nama lokal Ekonomis Penting

Ya Tidak

5 Hemipristis elongata Fossil Shark Hiu monas, hiu buas ˅

6 Hexanchus nakamurai Bigeye Sixgill Shark Hiu minyak, Hiu meong,

kejen pasir, hiu areuy ˅

7 Triaenodon obesus Whitetip Reef Shark Hiu karang sirip putih,

hiu bokem,hiu coklat

˅

8 Stegostoma fasciatum Zebra Shark Hiu belimbing ˅

KELOMPOK HIU BESAR

1 Alopias pelagicus Pelagic Thresher Hiu monyet, hiu lancur ,

hiu tikus , cucut pedang,

tikusan

˅

2 Alopias superciliosus Bigeye Thresher Hiu monyet, hiu lancur,

hiu tikus, paitan ˅

3

Carcharhinus albimarginatus Silvertip Shark Hiu sonteng, lanjaman ˅

4 Carcharhinus brevipinna Spinner Shark Hiu lanjaman, hiu lonjor,

merak bulu ˅

5 Carcharhinus falciformis Silky Shark Hiu lanjaman, hiu lonjor ˅

6 Carcharhinus leucas Bull Shark Hiu buas, Cucut

bekeman, Hiu bujit , hiu

kebo

˅

7 Carcharhinus limbatus Common Blacktip Shark Hiu kejen, merak bulu,

hiu lanjaman ˅

Page 51: Naskah Kebijakan Hiu - 10Aug2016 - Final - materi meeting ... filei ANALISIS KEBIJAKAN KEBUTUHAN REGULASI PENETAPAN STATUS PERLINDUNGAN TERBATAS IKAN HIU (Tidak Dilindungi dan Apendiks/Non

48

No Nama Ilmiah Nama Umum Nama lokal Ekonomis Penting

Ya Tidak

8 Carcharhinus longimanus Oceanic Whitetip Shark Hiu koboy ˅

9 Carcharhinus obscurus Dusky Shark Hiu merak bulu, hiu

lanjaman ˅

10 Galeocerdo cuvier Tiger Shark Hiu macan, mungsing

jara ˅

11 Isurus oxyrinchus Shortfin Mako Hiu tenggiri, hiu anjing,

hiu mako ˅

12

Isurus paucus Longfin Mako Hiu tenggiri, hiu mako

bersirip panjang, hiu

anjing

˅

13 Prionace glauca Blue shark Hiu karet, hiu selendang,

hiu biru ˅

14 Sphyrna lewini Scalloped Hammerhead Hiu martil, hiu caping,

hiu caping, hiu bingkoh ˅

15 Sphyrna mokarran Great Hammerhead Hiu martil, hiu caping,

hiu caping, hiu bingkoh ˅

16 Sphyrna zygaena Smooth Hammerhead Hiu martil, hiu caping,

hiu caping, hiu bingkoh ˅

Page 52: Naskah Kebijakan Hiu - 10Aug2016 - Final - materi meeting ... filei ANALISIS KEBIJAKAN KEBUTUHAN REGULASI PENETAPAN STATUS PERLINDUNGAN TERBATAS IKAN HIU (Tidak Dilindungi dan Apendiks/Non

49

b. Kewajiban Pendaratan Hiu Secara Utuh

Sebagai salah satu upaya pengelolaan perikanan hiu yang berkelanjutan, jumlah upaya

tangkapan haruslah terkontrol dan terdata dengan baik. Dalam upaya perbaikan

pendataan hasil tangkapan hiu di Indonesia, penerapan upaya ketelusuran serta

mempermudah upaya pengawasan dan identifikasi, pendaratan hasil tangkapan ikan hiu

baik sebagai target maupun hasil tangkapan sampingan haruslah dalam bentuk utuh.

Hal ini berarti setiap individu hiu yang didaratkan harus tetap memiliki sirip, kepala dan

ekor yang masih melekat di tubuhnya. Kebijakan ini perlu dilakukan sebagai langkah

Indonesia dalam menyikapi sorotan negatif dunia internasional terkait adanya praktek

finning yang dilakukan sebagian nelayan penangkap hiu di Indonesia. Selain itu, upaya

ini dapat mengurangi jumlah hiu yang tertangkap (kapasitas palka umumnya terbatas

dan umumnya diperuntukkan bagi ikan target, misalnya tuna), juga dapat mendorong

agar pemanfaatan hiu menjadi optimal karena bagian tubuh hiu lainnya (selain sirip)

dapat diolah menjadi produk lain yang bernilai ekonomi. Tentu saja ketentuan

pendaratan hiu dalam kondisi utuh ini ditujukan bagi semua jenis hiu yang ditemukan di

perairan Indonesia (Lampiran 2), terutama yang berukuran dewasa dan jenis hiu yang

tidak dilindungi undang-undang, sementara hiu yang dalam kondisi hamil dan anakan

tetap harus dilepaskan kembali dalam kondisi hidup.

Gambar 9. Contoh Tanda Lahir pada spesies Hiu Lanjaman, Carcharhinus amblyrhynchos

Sumber: Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia

Ciri Tanda Lahir

Page 53: Naskah Kebijakan Hiu - 10Aug2016 - Final - materi meeting ... filei ANALISIS KEBIJAKAN KEBUTUHAN REGULASI PENETAPAN STATUS PERLINDUNGAN TERBATAS IKAN HIU (Tidak Dilindungi dan Apendiks/Non

50

Gambar 10. Contoh spesies hiu Triaenodon obesus yang sedang hamil

Sumber: Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia

c. Pembatasan Pelabuhan Pengeluaran

Pengelolaan perikanan hiu di Indonesia dapat dilakukan dengan melakukan pembatasan

pelabuhan pengeluaran. Tujuan pengaturan ini adalah untuk memudahkan pendataan

terhadap perdagangan sumber daya ikan hiu (fokus utama pada pelabuhan laut dan

udara). Untuk mendukung implementasi pengaturan pelabuhan pengeluaran,

pemerintah dan stakeholders terkait perlu mengidentifikasi dan menetapkan pelabuhan

pengeluaran hiu yang dominan, memperkuat kapasitas sumber daya manusia pada

pelabuhan pengeluaran yang telah ditentukan, membangun komunikasi dalam

membuat kebijakan tentang pelabuhan pengeluaran dilintas kementrian terkait,

penyiapan petunjuk pelaksanaan dan petunjuk teknis bersama antar kementrian dalam

memperkuat sistem ketelusuran (traceability) produk yang akan diperdagangkan,

sinergitas program bersama dengan kementerian atau lembaga yang memiliiki

kewenangan di pelabuhan dan bandara, integrasi tim dan program pengawasan kepada

sistem Kementerian Perhubungan yang terdapat di pelabuhan, pembentukan sistem

terpadu untuk pelabuhan pengeluaran, dan komunikasi terbuka lintas kementerian

dengan melakukan pertemuan khusus untuk pemberian mandat pengawasan sumber

daya ikan hiu.

Page 54: Naskah Kebijakan Hiu - 10Aug2016 - Final - materi meeting ... filei ANALISIS KEBIJAKAN KEBUTUHAN REGULASI PENETAPAN STATUS PERLINDUNGAN TERBATAS IKAN HIU (Tidak Dilindungi dan Apendiks/Non

51

d. Penerapan Kuota Tangkap dan Kuota Ekspor

Pengelolaan perikanan hiu melalui kuota hasil tangkapan perlu dilakukan, mengingat

beberapa faktor yang dapat menjadi pertimbangan yaitu menurunnya produksi hiu,

hilangnya salah satu jenis pari dari suku Pristidae (pari gergaji), banyaknya tangkapan hiu

yang hanya diambil siripnya dan dagingnya dibuang ke laut pada perikanan rawai tuna.

Kuota terhadap total hasil tangkapan tahunan sering dilakukan untuk hewan yang

berumur panjang seperti hiu, pari, paus, halibut, cod, sehingga kuota terhadap hasil

tangkapan hiu baik diterapkan di Indonesia. Kuota tahunan akan mengontrol kematian

karena penangkapan, tetapi mungkin akan mendorong nelayan untuk menangkap lebih

intensif pada saat musim penangkapan karena mengejar target jumlah kuota yang

dibatasi. Namun demikian metode ini memerlukan perhatian melalui pemantauan ketat

agar penegakan hukum dapat berjalan efektif. Sampai saat ini kuota hasil tangkapan

(misalnya dalam jumlah individu per spesies dan produk turunannya seperti sirip) belum

dapat diterapkan untuk perikanan hiu, mengingat keterbatasan sistem pendataan hasil

tangkapan. Salah satu cara yang lebih mudah adalah dengan memberlakukan kuota

ekspor, dimana kuota diterapkan terhadap produk-produk hiu yang akan di ekspor ke

pasaran luar negeri.

e. Larangan Penangkapan Hiu di Dalam Kawasan Konservasi

Perlindungan habitat perlu dilakukan terhadap lokasi-lokasi yang diduga sebagai tempat

memijah atau berkembang biak bagi ikan hiu. Penentuan suatu kawasan suaka hiu

merupakan komponen penting dalam langkah pengelolaan sebagai tindakan yang

paling mudah untuk memberikan perlindungan dan tempat untuk hiu dapat

berkembang biak dan mengembalikan jumlah populasinya di alam. Penerapan ini dapat

dilakukan pada daerah yang telah menetapkan larangan tangkap jenis ikan hiu dan

seluruh kawasan konservasi perairan di Indonesia.

f. Penerapan Mekanisme CITES untuk Semua Spesies Hiu

Sebagai negara yang telah mengesahkan konvensi internasional yaitu CITES, pemerintah

berkewajiban mengikuti mekanisme perdagangan internasional khusus spesimen dan

produk turunan yang masuk apendiks CITES. Pengaturan ini bertujuan untuk melakukan

kontrol terhadap pelaku usaha yang melakukan perdagangan (ekspor, impor, re-ekspor

Page 55: Naskah Kebijakan Hiu - 10Aug2016 - Final - materi meeting ... filei ANALISIS KEBIJAKAN KEBUTUHAN REGULASI PENETAPAN STATUS PERLINDUNGAN TERBATAS IKAN HIU (Tidak Dilindungi dan Apendiks/Non

52

dan introduksi dari laut) sumber daya ikan hiu. Selain itu, pengaturan ini mendukung

posisi pemerintah dalam hal kepatuhan terhadap konvensi internasional. Sehubungan

dengan rencana Kementerian Kelautan dan Perikanan untuk menjadi Otoritas Pengelola

CITES atau Management Authority khusus spesies akuatik, maka pengaturan ini berkaitan

dengan implementasi teks konvensi CITES yang fokus pada regulasi perdagangan

spesimen (Artikel III, IV, V dan VI) dan implementasi regulasi terkait resolusi (resolution)

dan keputusan (decision) yang dimandatkan oleh Conference of the Parties (CoP) dan

komite CITES.

3.5 Usulan Kerangka Kebijakan/Pengaturan

Salah satu isu yang banyak mendapat sorotan dunia internasional adalah isu "shark finning".

Praktek finning ini selain dianggap kejam juga merupakan pemborosan sumber daya, karena

hanya bagian sirip saja yang dimanfaatkan sedangkan bagian lainnya dibuang ke laut (discard).

Praktek ini disinyalir banyak dilakukan oleh armada kapal berukuran besar seperti kapal tuna

longline yang menangkap hiu sebagai hasil tangkapan sampingan. Praktek ini dilakukan karena

sirip memiliki nilai ekonomis yang tinggi serta keterbatasan palka yang diperuntukkan untuk ikan

target.

Salah satu opsi untuk menghentikan praktek finning yaitu dengan memberlakukan

ketentuan peraturan yang mempersyaratkan untuk mendaratkan hasil tangkapan hiu secara utuh.

Beberapa negara yang telah memberlakukan ketentuan terkait dengan pendaratan hiu secara

utuh diantaranya: Kostarika, Ekuador, Oman, Afrika Selatan, Uni Eropa, dan beberapa negara

bagian di Australia. Ketentuan tersebut memberikan keuntungan yang antara lain:

• Sumber daya ikan hiu yang tertangkap, baik sebagai tangkapan sampingan maupun sebagai

target penangkapan, dapat dimanfaatkan seutuhnya untuk kepentingan ekonomi;

• Menurunkan jumlah tangkapan hiu secara drastis, dikarenakan adanya pembatasan jumlah

tangkapan sesuai dengan kapasitas palka kapal;

• Ketentuan pendaratan hiu secara utuh pada umumnya tidak akan memberatkan nelayan

tradisional dan nelayan skala kecil di Indonesia, dikarenakan selama ini nelayan tersebut

hampir semuanya memanfaatkan seluruh bagian tubuh hiu yang tertangkap;

• Regulasi ini memberikan dampak positif dalam meningkatkan kemudahan dan akurasi data

perikanan hiu serta dapat mendukung upaya monitoring perikanan hiu di tingkat lokal dan

Page 56: Naskah Kebijakan Hiu - 10Aug2016 - Final - materi meeting ... filei ANALISIS KEBIJAKAN KEBUTUHAN REGULASI PENETAPAN STATUS PERLINDUNGAN TERBATAS IKAN HIU (Tidak Dilindungi dan Apendiks/Non

53

nasional. Pengawasan terhadap jenis-jenis hiu yang dilarang/dilindungi lebih mudah

dilakukan, dikarenakan hiu akan lebih mudah untuk diindentifikasi.

Kesulitan yang mungkin timbul dalam penerapan peraturan dimaksud antara lain:

• Perlunya kesiapan dan jumlah personil aparat pengawasan serta enumerator/petugas

pencatatan di sentra-sentra pendaratan ikan untuk melakukan pengawasan dan proses

identifikasi seluruh spesies hiu yang didaratkan;

• Belum tersedianya peraturan yang mengatur kewenangan untuk melakukan penyitaan dan

penanganan barang sitaan, terutama untuk bagian tubuh hiu yang didaratkan tidak secara

utuh dan jenis hiu yang dilindungi, menyulitkan petugas pengawas dalam penindakan

terhadap pelanggaran di lapangan.

3.5.1 Ketentuan Pelarangan Penangkapan Hiu Anakan/Juvenil:

Berdasarkan sifat biologinya, hiu pada umumnya memiliki laju pertumbuhan yang lambat,

berumur panjang, lambat dalam mencapai matang seksual dan memiliki jumlah anakan yang

sedikit (Coleman, 1996; Camhi et al., 1998; Stevens et al., 2000; Bonfil, 2002; Cavanagh et al.,

2003). Dengan demikian, hiu menjadi sangat rentan terhadap laju kematian karena penangkapan

(Hoenig & Gruber, 1990). Apabila sudah tereksploitasi secara berlebihan, akan mengakibatkan ikan

hiu menjadi sangat mudah terancam punah jika dibandingkan dengan kelompok ikan yang lain.

Oleh karena itu, populasi hiu hanya dapat terpelihara dengan mengontrol tingkat upaya

penangkapan yang tidak mengganggu jumlah sediaannya (Camhi et al., 1998; Musick, 2003;

Cortes, 2000).

Banyaknya hiu yang masih muda atau belum dewasa yang tertangkap dapat menggangu

keseimbangan populasi ikan di alam karena dapat menyebabkan terjadinya pengurangan

populasi ikan-ikan dewasa yang pada akhirnya mengakibatkan terganggunya proses rekrutmen

dan jumlah populasinya di alam. Membatasi atau melarang kegiatan penangkapan ikan hiu yang

berukuran kecil dengan pertimbangan bahwa proses pencapaian kematangan secara biologi yang

lambat (Senko dkk. 2013) atau usia pertama kali matang seksual ikan hiu tergolong lama (Stevens

dkk. 2000). Regulasi perlindungan spesies hiu berdasarkan ukuran tangkapan terutama pada fase

juvenil akan berdampak pada menurunnya ancaman terhadap kelestarian sumber daya ikan hiu

dan meningkatnya populasi hiu di alam.

Page 57: Naskah Kebijakan Hiu - 10Aug2016 - Final - materi meeting ... filei ANALISIS KEBIJAKAN KEBUTUHAN REGULASI PENETAPAN STATUS PERLINDUNGAN TERBATAS IKAN HIU (Tidak Dilindungi dan Apendiks/Non

54

Keuntungan pelarangan penangkapan hiu pada fase juvenile. Yaitu:

• Menurunkan tingkat ancaman terhadap populasi hiu anakan dan menjaga proses rekrutmen

dan ketersediaan ikan-ikan dewasa;

• Target penangkapan hiu berukuran juvenile dapat dialihkan kepada target penangkapan hiu

yang memiliki daur hidup pendek yang secara alami, ukurannya tidak terlalu besar seperti hiu

yang berada di habitat karang. Namun hal ini juga harus disikapi secara hati-hati dalam

pelaksanaannya.

Kesulitan yang mungkin timbul dalam penerapan peraturan dimaksud antara lain:

• Bagaimana pelaksanaan pengawasan terhadap hiu dewasa yang tertangkap pada saat

kondisi mengandung, sehingga ketika didaratkan dan dilakukan pengolahan terdapat ikan hiu

juvenil yang dikeluarkan dari dalam tubuh hiu tersebut;

• Bagaimana cara membedakan dan mengidentifikasi antara hiu juvenile dengan jenis-jenis hiu

yang memiliki daur hidup pendek dan secara ukuran biasanya ukurannya kecil;

Page 58: Naskah Kebijakan Hiu - 10Aug2016 - Final - materi meeting ... filei ANALISIS KEBIJAKAN KEBUTUHAN REGULASI PENETAPAN STATUS PERLINDUNGAN TERBATAS IKAN HIU (Tidak Dilindungi dan Apendiks/Non

55

IV. KESIMPULAN DAN REKOMENDASI

Berdasarkan paparan dan analisa sebagaimana disampaikan pada bagian sebelumnya maka

dapat disimpulkan beberapa hal sebagai berikut:

a. Perlunya pengaturan untuk penentuan ukuran tangkap minimum, kewajiban pendaratan

hiu secara utuh, pembatasan pelabuhan pengeluaran, penerapan kuota tangkap dan

kuota ekspor, larangan penangkapan hiu di dalam kawasan konservasi, dan penerapan

mekanisme CITES untuk semua spesies hiu dalam hal ketelusuran produk.

b. Untuk spesies hiu tertentu yang status populasinya sudah mengalami ancaman kepunahan

dapat ditetapkan menjadi spesies yang dilindungi. Pemilihan tipe status perlindungan

harus dipertimbangkan secara cermat, mengingat hiu tertangkap sebagai by-catch

sehingga sulit pengimplementasiannya di tingkat lapangan.

c. Penetapan regulasi yang mengatur tata kelola perikanan hiu secara keseluruhan, mulai

dari kegiatan penangkapan, pendaratan, pengolahan dan perdagangan merupakan

pilihan regulasi yang paling sesuai dalam rangka pemenuhan ketentuan internasional

dengan tetap memerhatikan aspek kelestarian sumberdaaya dan kepentingan ekonomi

masyarakat.

d. Penetapan habitat penting hiu sebagai kawasan konservasi (suaka perikanan) serta

penerapan no take zone di kawasan-kawasan konservasi.

Langkah pertama yang harus ditindaklanjuti adalah menetapkan status perlindungan jenis

ikan hiu secara keseluruhan. Upaya penetapan perlindungan terbatas pada ikan hiu anakan dan

indukan hiu yang sedang hamil perlu mendapat perhatian. Selain itu, pilihan untuk perlindungan

secara utuh/penuh ikan hiu di dalam kawasan konservasi perairan perlu segera ditetapkan.

Page 59: Naskah Kebijakan Hiu - 10Aug2016 - Final - materi meeting ... filei ANALISIS KEBIJAKAN KEBUTUHAN REGULASI PENETAPAN STATUS PERLINDUNGAN TERBATAS IKAN HIU (Tidak Dilindungi dan Apendiks/Non

56

Lampiran 1. Gambar ikan hiu berdasarkan kelompok ukurannya

Hiu Berukuran Kecil

Atelomycterus marmoratus Carcharhinus dussumieri / tjutjot

Carcharhinus macloti Carcharhinus sealei

Carcharhinus melanopterus Rhizoprionodon acutus

Hemigaleus microstoma Hemitriakis indroyonoi

Loxodon macrorhinus Mustelus manazo

Scoliodon laticaudus Orectolobus leptolineatus

Page 60: Naskah Kebijakan Hiu - 10Aug2016 - Final - materi meeting ... filei ANALISIS KEBIJAKAN KEBUTUHAN REGULASI PENETAPAN STATUS PERLINDUNGAN TERBATAS IKAN HIU (Tidak Dilindungi dan Apendiks/Non

57

Chiloscyllium plagiosum Chiloscyllium punctatum

Heptranchias perlo Pseudocarcharias kamoharai

Squalus spp. Centrophorus spp.

Hiu Berukuran Sedang

Carcharhinus amblyrhynchoides Carcharhinus amblyrhynchos

Carcharhinus sorrah Triaenodon obesus

Hemipristis elongata Stegostoma fasciatum

Hexanchus nakamurai Dalatias licha

Page 61: Naskah Kebijakan Hiu - 10Aug2016 - Final - materi meeting ... filei ANALISIS KEBIJAKAN KEBUTUHAN REGULASI PENETAPAN STATUS PERLINDUNGAN TERBATAS IKAN HIU (Tidak Dilindungi dan Apendiks/Non

58

Hiu Berukuran Besar

Alopias pelagicus Alopias superciliosus

Carcharhinus albimarginatus Carcharhinus brevipinna

Carcharhinus falciformis Carcharhinus leucas

Carcharhinus limbatus Carcharhinus longimanus

Carcharhinus obscurus Prionace glauca

Isurus oxyrinchus Isurus paucus

Page 62: Naskah Kebijakan Hiu - 10Aug2016 - Final - materi meeting ... filei ANALISIS KEBIJAKAN KEBUTUHAN REGULASI PENETAPAN STATUS PERLINDUNGAN TERBATAS IKAN HIU (Tidak Dilindungi dan Apendiks/Non

59

Galeocerdo cuvier Sphyrna lewini

Sphyrna mokarran Sphyrna zygaena

Page 63: Naskah Kebijakan Hiu - 10Aug2016 - Final - materi meeting ... filei ANALISIS KEBIJAKAN KEBUTUHAN REGULASI PENETAPAN STATUS PERLINDUNGAN TERBATAS IKAN HIU (Tidak Dilindungi dan Apendiks/Non

60

Lampiran 2. Daftar 113 (Seratus Tiga Belas) Spesies Ikan Hiu di Indonesia

No. Nama Ilmiah Nama Umum Nama Lokal Gambar (Tanpa Skala)

1 Heptranchias perlo Sharpnose sevengill shark Hiu areuy (Jawa Barat), Hiu

kucing (Bali), cucut kapukan

(Jakarta)

2 Hexanchus griseus Bluntnose sixgill shark Cucut meong (Jawa), Hiu

tahu putih (Lombok)

3 Hexanchus nakamurai Bigeyed sixgill shark Hiu areuy (Jawa Barat), Hiu

minyak, meong, kejen pasir

(Lombok)

4 Centrophorus

atromarginatus

Dwarf gulper shark Hiu botol (Jawa Barat), Hiu

taji (Lombok), Hiu senget

(Bali)

5 Centrophorus lusitanicus Lowfin Gulper Shark Hiu botol (Jawa Barat), Hiu

taji (Lombok), cucut botol

(Jakarta)

6 Centrophorus isidon Blackfin gulper shark Hiu botol (Jawa Barat), Hiu

taji (Lombok), cucut botol

(Jakarta)

Page 64: Naskah Kebijakan Hiu - 10Aug2016 - Final - materi meeting ... filei ANALISIS KEBIJAKAN KEBUTUHAN REGULASI PENETAPAN STATUS PERLINDUNGAN TERBATAS IKAN HIU (Tidak Dilindungi dan Apendiks/Non

61

No. Nama Ilmiah Nama Umum Nama Lokal Gambar (Tanpa Skala)

7 Centrophorus

moluccensis

Smallfin gulper shark Hiu botol danten (Jawa

Barat), Hiu taji (Lombok), Hiu

senget (Bali), cucut botol

8 Centrophorus niaukang Taiwan gulper shark Hiu botol karang (Jawa

Barat), Hiu taji (Lombok), Hiu

senget (Bali) 9 Centrophorus squamosus Leafscale gulper shark Hiu botol (Jawa Barat), Hiu

taji (Lombok), cucut botol

(Jakarta)

10 Deania calcea Birdbeak dogfish Hiu botol monyong (Jawa

Barat)

11 Deania quadrispinosum Longsnout dogfish Hiu botol

12 Dalatias licha Kitefin shark Hiu beurit (Jawa Barat)

13 Isistius brasiliensis Cookiecutter shark Hiu pemotong

14 Etmopterus evansi Blackmouth lanternshark Hiu lentera

Page 65: Naskah Kebijakan Hiu - 10Aug2016 - Final - materi meeting ... filei ANALISIS KEBIJAKAN KEBUTUHAN REGULASI PENETAPAN STATUS PERLINDUNGAN TERBATAS IKAN HIU (Tidak Dilindungi dan Apendiks/Non

62

No. Nama Ilmiah Nama Umum Nama Lokal Gambar (Tanpa Skala)

15 Etmopterus lucifer Blackbelly lanternshark Hiu perut hitam

16 Etmopterus pusillus Smooth lanternshark Hiu lentera

17 Etmopterus splendidus Splendid lanternshark Hiu lentera

18 Zameus squamulosus Velvet dogfish Hiu beurit (Jawa Barat), cucut

botol (Jakarta)

19 Centroselachus crepidater Longnose velvet dogfish Hiu botol

20 Cirrhigaleus barbifer Mandarin dogfish Hiu tinggam hitam

(Sumatra), Hiu taji (Lombok)

21 Squalus edmundsi Western longnose spurdog Hiu botol (Jawa Barat), Hiu

taji (Lombok), Hiu senget

(Bali)

Page 66: Naskah Kebijakan Hiu - 10Aug2016 - Final - materi meeting ... filei ANALISIS KEBIJAKAN KEBUTUHAN REGULASI PENETAPAN STATUS PERLINDUNGAN TERBATAS IKAN HIU (Tidak Dilindungi dan Apendiks/Non

63

No. Nama Ilmiah Nama Umum Nama Lokal Gambar (Tanpa Skala)

22 Squalus hemipinnis Indonesian shortsnout

spurdog

Hiu botol

23 Squalus megalops Shortnose spurdog Hiu botol (Jawa Barat), Hiu

taji (Lombok), Hiu senget

(Bali), cucut botol (Jakarta)

24 Squalus montalbani Philippines spurdog Hiu botol

25 Squalus nasutus Western longnose spurdog Hiu botol (Jawa Barat), Hiu

taji (Lombok), Hiu senget

(Bali)

26 Squatina legnota Indonesian angelshark Hiu kodok (Lombok)

Page 67: Naskah Kebijakan Hiu - 10Aug2016 - Final - materi meeting ... filei ANALISIS KEBIJAKAN KEBUTUHAN REGULASI PENETAPAN STATUS PERLINDUNGAN TERBATAS IKAN HIU (Tidak Dilindungi dan Apendiks/Non

64

No. Nama Ilmiah Nama Umum Nama Lokal Gambar (Tanpa Skala)

27 Nebrius ferrugineus Tawny nurse shark Hiu gedebong, Hiu gedok

(Lombok), Hiu bisu (Jawa)

28 Heterodontus zebra Zebra bullhead shark Hiu zebra

29 Chiloscyllium arabicum Arabian carpetshark Hiu bongo hitam, cucut

dolok hitam (Jawa)

30 Chiloscyllium griseum Grey bamboo shark Hiu tekok

31 Chiloscyllium hasselti Indonesian bambooshark Hiu Tekok

32 Chiloscyllium plagiosum Whitespotted bamboo shark Hiu bongo, cucut dolok

(Jawa)

33 Chiloscyllium indicum Ridgebacked bamboo shark Hiu bongol, cucut dolok

(Jawa)

34 Chiloscyllium punctatum Grey carpetshark Hiu batu, Hiu bongo, Hiu

gedok (Lombok), cucut

Page 68: Naskah Kebijakan Hiu - 10Aug2016 - Final - materi meeting ... filei ANALISIS KEBIJAKAN KEBUTUHAN REGULASI PENETAPAN STATUS PERLINDUNGAN TERBATAS IKAN HIU (Tidak Dilindungi dan Apendiks/Non

65

No. Nama Ilmiah Nama Umum Nama Lokal Gambar (Tanpa Skala)

dolok (Jawa)

35 Hemiscyllium galei Cenderwasih epaulette shark Hiu tokek

36 Hemiscyllium henryi Henry's epaulette shark Hiu tokek

37 Hemiscyllium halmahera Halmahera epaulette shark Hiu tokek

38 Hemiscyllium freycineti Indonesian speckled carpet

shark

Hiu tokek

39 Hemiscyllium hallstromii Papuan epaulette shark Hiu tokek

Page 69: Naskah Kebijakan Hiu - 10Aug2016 - Final - materi meeting ... filei ANALISIS KEBIJAKAN KEBUTUHAN REGULASI PENETAPAN STATUS PERLINDUNGAN TERBATAS IKAN HIU (Tidak Dilindungi dan Apendiks/Non

66

No. Nama Ilmiah Nama Umum Nama Lokal Gambar (Tanpa Skala)

40 Hemiscyllium strahani Hooded carpetshark Hiu tokek

41 Hemiscyllium trispeculare Speckled carpetshark Hiu tokek

42 Orectolobus leptolineatus Indonesian wobbegong Hiu kodok, Hiu lepang

(Lombok), Hiu jenggot

(Jawa)

43 Eucrossorhinus

dasyapogon

Tasselled wobbegong Hiu kodok

44 Stegostoma fasciatum Zebra shark Hiu belimbing (Jawa), kluyu

blimbingan (Lombok)

Page 70: Naskah Kebijakan Hiu - 10Aug2016 - Final - materi meeting ... filei ANALISIS KEBIJAKAN KEBUTUHAN REGULASI PENETAPAN STATUS PERLINDUNGAN TERBATAS IKAN HIU (Tidak Dilindungi dan Apendiks/Non

67

No. Nama Ilmiah Nama Umum Nama Lokal Gambar (Tanpa Skala)

45 Megachasma pelagios Megamouth shark Hiu mulut besar

46 Pseudotriakis microdon False catshark Hiu tahu (Lombok)

47 Alopias pelagicus Pelagic thresher shark Hiu monyet, Hiu lancur (Bali),

Hiu tikus (Lombok), cucut

pedang (Jakarta), tikusan

(Cilacap)

48 Alopias superciliosus Bigeye thresher shark Hiu monyet, Hiu lancur (Bali),

Hiu tikus (Lombok), paitan

(Cilacap)

49 Isurus oxyrhynchus Shortfin Mako shark Hiu tenggiri, Hiu anjing, Hiu

mako, Hiu kakap

50 Isurus paucus Longfin mako shark Hiu tenggiri, Hiu mako

bersirip panjang, Hiu anjing

Page 71: Naskah Kebijakan Hiu - 10Aug2016 - Final - materi meeting ... filei ANALISIS KEBIJAKAN KEBUTUHAN REGULASI PENETAPAN STATUS PERLINDUNGAN TERBATAS IKAN HIU (Tidak Dilindungi dan Apendiks/Non

68

No. Nama Ilmiah Nama Umum Nama Lokal Gambar (Tanpa Skala)

51 Carcharodon carcharias Great white shark Hiu putih

52 Mitsukurina owstoni Goblin shark Hiu hantu

52 Cetorhinus maximus Basking shark Hiu penjemur

55 Carcharhias taurus Sand tiger shark Hiu lanjaman

56 Odontaspis ferox Smalltooth sand tiger shark Hiu anjing

57 Pseudocarcharias

kamoharai

Crocodile shark Hiu tongar (Jawa Barat)

Page 72: Naskah Kebijakan Hiu - 10Aug2016 - Final - materi meeting ... filei ANALISIS KEBIJAKAN KEBUTUHAN REGULASI PENETAPAN STATUS PERLINDUNGAN TERBATAS IKAN HIU (Tidak Dilindungi dan Apendiks/Non

69

No. Nama Ilmiah Nama Umum Nama Lokal Gambar (Tanpa Skala)

58 Apristurus platyrhynchus Flatnose catshark Hiu mulut datar

59 Apristurus sibogae Pale catshark Hiu tokek

60 Apristurus spongiceps Spongehead catshark Hiu tokek

61 Atelomycterus baliensis Bali catshark Hiu tokek (Bali)

62 Atelomycterus erdmanni Spotted-belly catshark Hiu tokek

63 Atelomycterus

marmoratus

Coral catshark cucut tokek, Hiu tokek

64 Cephaloscyllium cooki Cook’s swellshark Hiu tokek

Page 73: Naskah Kebijakan Hiu - 10Aug2016 - Final - materi meeting ... filei ANALISIS KEBIJAKAN KEBUTUHAN REGULASI PENETAPAN STATUS PERLINDUNGAN TERBATAS IKAN HIU (Tidak Dilindungi dan Apendiks/Non

70

No. Nama Ilmiah Nama Umum Nama Lokal Gambar (Tanpa Skala)

65 Cephaloscyllium pictum Painted swellshark Hiu tokek

66 Halaelurus boesemani Speckled catshark Hiu tokek

67 Halaelurus maculosus Indonesian speckled catshark Hiu tokek

68 Parmaturus lanatus Velvet catshark Hiu tokek

69 Scyliorhinus garmani Brownspotted catshark Hiu tokek

70 Proscyllium habereri Graceful catshark Hiu tokek

Page 74: Naskah Kebijakan Hiu - 10Aug2016 - Final - materi meeting ... filei ANALISIS KEBIJAKAN KEBUTUHAN REGULASI PENETAPAN STATUS PERLINDUNGAN TERBATAS IKAN HIU (Tidak Dilindungi dan Apendiks/Non

71

No. Nama Ilmiah Nama Umum Nama Lokal Gambar (Tanpa Skala)

71 Hemitriakis indroyonoi Indonesian houndshark Hiu kacang (Bali), Hiu meong

(Lombok), karil (Jawa Barat),

cucut londer

72 Iago garricki Longnose hound shark Hiu karang, karil (Jawa Barat)

73 Mustelus griseus Spotless smooth-hound Hiu tokek

74 Mustelus manazo Starspotted smooth-hound Hiu karang, karil (Jawa Barat)

75 Mustelus widodoi Whitefin smoothhound Hiu kacang (Bali), Hiu air

(Lombok), cucut londer

(Jawa)

76 Chaenogaleus

macrostoma

Hooktooth shark Hiu pilus, Hiu kacang (Jawa)

77 Hemipristis elongata Fossil shark Hiu monas

Page 75: Naskah Kebijakan Hiu - 10Aug2016 - Final - materi meeting ... filei ANALISIS KEBIJAKAN KEBUTUHAN REGULASI PENETAPAN STATUS PERLINDUNGAN TERBATAS IKAN HIU (Tidak Dilindungi dan Apendiks/Non

72

No. Nama Ilmiah Nama Umum Nama Lokal Gambar (Tanpa Skala)

78 Paragaleus tengi Straight-tooth weasel shark Hiu kacang, Hiu pasir

79 Carcharhinus

albimarginatus

Silvertip shark Hiu plen (Bali), Hiu sonteng

(Lombok), cucut lanjaman,

Hiu lanyam (Jawa)

80 Carcharhinus altimus Bignose shark merak bulu (Lombok)

81 Carcharhinus

amblyrhynchoides

Graceful shark cucut lanjaman (Jawa)

82 Carcharhinus

amblyrhynchos

Grey reef shark Hiu lonjor, merak bulu

(Lombok), cucut lanjaman,

Hiu lanyam (Jawa)

83 Carcharhinus

amboinensis

Pigeye shark Hiu buas (Jawa), merak bulu

(Lombok)

Page 76: Naskah Kebijakan Hiu - 10Aug2016 - Final - materi meeting ... filei ANALISIS KEBIJAKAN KEBUTUHAN REGULASI PENETAPAN STATUS PERLINDUNGAN TERBATAS IKAN HIU (Tidak Dilindungi dan Apendiks/Non

73

No. Nama Ilmiah Nama Umum Nama Lokal Gambar (Tanpa Skala)

84 Carcharhinus borneensis Borneo shark Hiu lanjaman

85 Carcharhinus brevipinna Spinner shark Hiu plen (Bali), Hiu lonjor,

merak bulu (Lombok), cucut

lanjaman (Jawa)

86 Carcharhinus dussumieri Widemouth blackspot shark cucut lanjaman (Jawa)

87 Carcharhinus falciformis Silky shark mungsing (Bali), Hiu lonjor

(Lombok), cucut lanjaman,

Hiu lanyam (Jawa)

88 Carcharhinus hemiodon Pondicherry shark Cucut Lanjaman, Hiu Bujit,

Lanyam, Merak Bulu,

Mungsing (Indonesian)

89 Carcharhinus leucas Bull shark Hiu buas, cucut bekeman

(Jawa)

90 Carcharhinus limbatus Blacktip Shark Hiu kejen, merak bulu

(Lombok), cucut lanjaman,

Hiu lanyam (Jawa)

Page 77: Naskah Kebijakan Hiu - 10Aug2016 - Final - materi meeting ... filei ANALISIS KEBIJAKAN KEBUTUHAN REGULASI PENETAPAN STATUS PERLINDUNGAN TERBATAS IKAN HIU (Tidak Dilindungi dan Apendiks/Non

74

No. Nama Ilmiah Nama Umum Nama Lokal Gambar (Tanpa Skala)

91 Carcharhinus longimanus Oceanic whitetip shark Hiu koboy, cucut koboy

(Jawa)

92 Carcharhinus macloti Hardnose shark Hiu aron (Jawa)

93 Carcharhinus

melanopterus

Blacktip reef shark Hiu mada, kluyu karang

(Lombok)

94 Carcharhinus obscurus Dusky shark merak bulu (Lombok), cucut

lanjaman, Hiu lanyam (Jawa)

95 Carcharhinus plumbeus Sandbar shark Hiu teteri (Lombok), cucut

lanjaman (Jawa)

96 Carcharhinus sealei Blackspot shark Cucut lanjaman (Jawa)

Page 78: Naskah Kebijakan Hiu - 10Aug2016 - Final - materi meeting ... filei ANALISIS KEBIJAKAN KEBUTUHAN REGULASI PENETAPAN STATUS PERLINDUNGAN TERBATAS IKAN HIU (Tidak Dilindungi dan Apendiks/Non

75

No. Nama Ilmiah Nama Umum Nama Lokal Gambar (Tanpa Skala)

97 Carcharhinus sorrah Spottail shark mungsing (Bali), merak bulu

(Lombok), cucut lanjaman,

lanyam (Jawa)

98 Galeocerdo cuvier Tiger shark mungsing jara (Bali), Hiu

macan (Lombok), Hiu omas

(Jawa)

99 Glyphis glyphis Speartooth shark Hiu lanjaman

100 Glyphis sp. Speartooth shark Hiu lanjaman

101 Lamiopsis tephrodes Borneo broadfin shark Hiu bujit

102 Loxodon macrorhinus Slender dog shark Hiu kejen

Page 79: Naskah Kebijakan Hiu - 10Aug2016 - Final - materi meeting ... filei ANALISIS KEBIJAKAN KEBUTUHAN REGULASI PENETAPAN STATUS PERLINDUNGAN TERBATAS IKAN HIU (Tidak Dilindungi dan Apendiks/Non

76

No. Nama Ilmiah Nama Umum Nama Lokal Gambar (Tanpa Skala)

103 Negaprion acutidens Sharptooth lemon shark Hiu lanjaman

104 Prionace glauca Blue shark Hiu aer (Bali), Hiu karet

(Lombok), Hiu lalaek, cucut

selendang (Jawa)

105 Rhizoprionodon acutus Milk shark Hiu pilus, Hiu plen,mungsing,

Hiu pisang

106 Rhizoprionodon oligolinx Grey sharpnose shark Hiu pilus, Hiu pisang

107 Rhizoprionodon taylori Australian sharpnose shark Hiu pilus

108 Scoliodon laticaudus Spadenose shark mungsing, Hiu kejen

109 Triaenodon obesus Whitetip reef shark Hiu bokem, Hiu karang (Bali),

Hiu coklat (Lombok), Hiu

karang buas

(Jawa)

Page 80: Naskah Kebijakan Hiu - 10Aug2016 - Final - materi meeting ... filei ANALISIS KEBIJAKAN KEBUTUHAN REGULASI PENETAPAN STATUS PERLINDUNGAN TERBATAS IKAN HIU (Tidak Dilindungi dan Apendiks/Non

77

No. Nama Ilmiah Nama Umum Nama Lokal Gambar (Tanpa Skala)

109 Eusphyra blochii Winghead shark Hiu caping (Jawa), Hiu capil

(Bali), Hiu bingkoh (Lombok)

110 Sphyrna lewini Scalloped hammerhead Hiu caping (Jawa), Hiu capil

(Bali), Hiu bingkoh (lombok)

111 Sphyrna mokarran Great hammerhead Hiu caping (Jawa), Hiu capil

(Bali), Hiu bingkoh (Lombok)

112 Sphyrna zygaena Smooth hammerhead Hiu caping (Jawa), Hiu capil

(Bali), Hiu bingkoh (Lombok)

Page 81: Naskah Kebijakan Hiu - 10Aug2016 - Final - materi meeting ... filei ANALISIS KEBIJAKAN KEBUTUHAN REGULASI PENETAPAN STATUS PERLINDUNGAN TERBATAS IKAN HIU (Tidak Dilindungi dan Apendiks/Non

78

REFERENSI

Barbosa-Filho, M. L. V., Schiavetti, A., Alarcon, D. T. & Costa-Neto, E. D. (2014). Shark is

the man!”: Ethnoknowledge of Brazil’s South Bahia fishermen regarding shark

behaviors. Journal of Ethnobiology and Ethnomedicine, DOI: 10.1186/1746-4269-10-

54.

Biery, L. & Pauly, D. (2012). A global review of species-specific shark-fin-to-body-mass

ratios and relevant. Journal of Fish Biology, 80, 1643–1677.

Blaber, S. J. M., Dichmont, C. M., White, W., Buckworth, R., Sadiyah, L., Iskandar, B. (2009).

Elasmobranchs in southern Indonesianfisheries: the fisheries, the status of the

stocks and managementoptions. Review of Fish Biology and Fisheries, 19, 367–391.

Clarke, S. C., McAllister, M. K., & Michielsens, C. G. J. (2005). Estimates of shark species

composition and numbers associated with the shark fin trade based on Hong Kong

auction data. J. Northw. Atl. Fish. Sci, 35, 453–465.

Dharmadi., Fahmi., & Satria, F. (2015). Fisheries management and conservation of sharks in

Indonesia. African Journal of Marine Science, 37, 249-258.

Direktorat Jenderal Perikanan Tangkap. (2015). Statistik perikanan tangkap di laut menurut

wilayah pengelolaan perikanan negara Republik Indonesia (WPP-NRI), 2005-2014.

Kementerian Kelautan dan Perikanan.

Direktorat Konservasi Kawasan dan Jenis Ikan. (2013). Tinjauan status perikanan hiu dan

upaya konservasinya di Indonesia. Direktorat Jenderal Kelautan, Pesisir dan Pulau-

Pulau Kecil. Kementerian Kelautan dan Perikanan.

Dulvy, N. K., Fowler, S. L., Musick, J. A., Cavanagh, R. D., Kyne, P. M., Harrison, L. R.,

Carlson, J. K., Davidson, L. N. K., Fordham, S. V., Francis, M. P., Pollock, C. M.,

Simpfendorfer, C. A., Burgess, G. H., Carpenter, K. E., Compagno, L. J. V., Ebert, D.

A., Gibson, C., Heupel, M. R., Livingstone, S. R., Sanciangco, J. C., Stevens, J. D.

Valenti, S., White, W. T. (2014). Extinction risk and conservation of the world’s

sharks and rays. DOI: http://dx.doi.org/10.7554/eLife.00590

Fahmi., & Dharmadi. (2015). Pelagic shark fisheries of Indonesia's eastern indian ocean

fisheries management region. African Journal of Marine Science, 37, 259–265.

Page 82: Naskah Kebijakan Hiu - 10Aug2016 - Final - materi meeting ... filei ANALISIS KEBIJAKAN KEBUTUHAN REGULASI PENETAPAN STATUS PERLINDUNGAN TERBATAS IKAN HIU (Tidak Dilindungi dan Apendiks/Non

79

Ferretti, F., Worm, B., Britten, G. L., Heithaus, M.R, & Lotze, H. K. (2010). Patterns and

ecosystem consequences of shark declines in the ocean. Ecology Letters, 13, 1055–

1071.

Gallagher, A. J., Kyne, P. M. & Hammerschlag, N. (2012). Ecological risk assessment and its

application to elasmobranch conservation and management. Journal of Fish

Biology, doi:10.1111/j.1095-8649.2012.03235.x.

Giangaspero, M., & Salim Al Ghafri, M. K. (2014). Poaching: A threat for vulnerable wild

animal species in Oman. Trop Med Surg. doi:10.4172/2161-1173.1000e121.

IUCN. (2014). A quarter of sharks and rays threatened with extinction. Accessed on

February 23, 2016 at http://www.iucn.org/?14311/A-quarter-sharks-and-rays-

threatened-with-extinction.

Jackson, J. B. C., Kirby, M. X., Berger, W. H., Bjorndal, K. A., Botsford, L. W., Bourque, B. J.,

& Warner, R. R. (2001). Historical overfishing and the recent collapse of coastal

ecosystems. Science, 293, 629–637.

Kementerian Kelautan dan Perikanan. (2013). Peraturan menteri nomor 35 tahun 2013

tentang tata cara penetapan status perlindungan jenis ikan.

Senko, J., White, E. R., Heppell, S. S., & Gerber, L. R. (2013). Comparing bycatch mitigation

strategies for vulnerable marine megafauna. Animal Conservation, 17, 5–18.

Simpfendorfer, C. A., Heupel, M. R., White, W. T., & Dulvy, N. K. (2011). The importance of

research and public opinion to conservation management of sharks and rays a

synthesis. Marine and Freshwater Research, 62, 518–527.

Stevens, J. D., Bonfil, R., Dulvy, N. K., & Walker, P. A. (2000). The effects of fishing on

sharks, rays, and chimaeras (chondrichthyans), and the implications for marine

ecosystems. Journal of Marine Science, 57, 476–494.

Storelli, M., Giacominelli-Stuffler, R., Marcotrigiano, G. (2002). Mercury accumulation and

speciation in muscle tissue of different species of sharks from Mediterranean Sea,

Italy. Bull Environ Contam Toxicol, 68, 201–10.

Techera, E. J., & Klein, N. (2011). Fragmented governance: Reconciling legal strategies for

shark conservation and management. Marine Policy, 35, 73–78.

Page 83: Naskah Kebijakan Hiu - 10Aug2016 - Final - materi meeting ... filei ANALISIS KEBIJAKAN KEBUTUHAN REGULASI PENETAPAN STATUS PERLINDUNGAN TERBATAS IKAN HIU (Tidak Dilindungi dan Apendiks/Non

80

Vegter, A. C., Barletta, M., Beck, C., Borrero, J., Burton, H., Campbell, M. L., Costa, M. F.,

Eriksen, M., Eriksson, C., Estrades, A., Gilardi, K. V. K., Hardesty, B. D., Ivar do Sul, J.

A., Lavers, J. L., Lazar, B., Lebreton, L., Nichols, W. J., Ribic, C. A., Ryan, P. G.,

Schuyler, Q. A., Smith, S. D. A., Takada, H., Townsend, K. A., Wabnitz, C. C. C.,

Wilcox, C., Young, L. C., & Hamann, M. (2014). Global research priorities to mitigate

plasticpollution impacts on marine wildlife. Endangered Species Research, 25, 225–

247.