naskah bugis
TRANSCRIPT
KAMASUTRA BUGIS
(Domestifikasi dan Rekonsiliasi Ajaran Islam dengan Budaya Bugis tentang Adab
Senggama Suami Istri dalam Kitta’ Assikalaibinengeng)
Sangat mungkin La Paddaga Abd al-Rahim tidak bermaksud melakukan dekonstruksi atas
cara, etika atau adab senggama berhubungan (adab) seperti ditulis dalam naskah Kitab
Kamasutra (India), Serat Centini (Jawa), Serat Nitimani (Jawa). Dalam isi naskah KA ini,
Abd al-Rahim dengan sangat jelas memerikan secara konsistensi nuansa agama (sufistik)
yang tidak ditemukan dalam Kamasutra, Serat Centini dan Serat Nitimani. Karena itu,
Naskah KA ini bisa disebut sebagai “Text goes beyond Kamasutra, Centini and Nitimani”.
Disebut seperti itu, karena ia tidak hanya mementingkan kenikmatan dan kepuasaan seks,
tetapi lebih dari itu KA sekaligus mementingkan kualitas hubungan sampai pada
pengaruhnya terhadap kualitas anak yang akan dilahirkan dan keterpeliharaan seorang istri
baik jasmani maupun rohani.
A. Latar Belakang
Teologi seksualitas dalam kajian naskah kuno khususnya dalam naskah Kitta’
Assikalaibinengeng (selanjutnay disebut KA) akan dikaji tidak dalam pengertian
persaingan agama dengan budaya Bugis. Tetapi, KA akan diperbincangkan justru
sebagai sebuah naskah berusaha merekonsiliasi adat atau tradisi Bugis dengan ajaran
Fiqih tentang adab senggama (jima’). Naskah KA yang akan diteliti ditulis pada abad
ke 18 oleh La Paddaga Abd al-Rahim.1 Besar kemungkinan beliau adalah seorang
Ulama penulis yang sekaligus sebagai ahli tarekat karena isi naskah KA banyak
dibumbui dengan warna tasawuf.
1S.Paeni, Katalog Nusantara: Sulawesi Selatan, (Makassar: Universitas Hasanuddin
kerjasama the Ford Foundation, 2003).
2
Studi tentang manuskrip Bugis, Makassar dan Mandar yang kemudian lebih
dikenal dengan nama “lontaraq” belum banyak terjamah baik oleh sarjana Lokal
maupun sarjana Barat. Bagi Fachruddin A.Enre, lontaraq merupakan pustaka atau
naskah yang berisikan sejarah, hukum atau pemerintahan.2 Dalam kaitan dengan
keberadaan lontaraq, Muhlis Hadrawi seorang filolog dari Universitas Hasanuddin
Makassar, menjelaskan bahwa terdapat kurang lebih 4.000 manuskrip kuno Bugis
yang masih tersebar di beberapa sentra naskah seperti di Kabupaten Bone, Barru,
Soppeng, Wajo, Sidrap, dan Sinjai yang belum terdokumentasi. Sementara hal yang
sama juga berlaku untuk naskah kuno Makassar yang banyak tersebar di kabupten
Makassar, Gowa, Takalar, Jeneponto.3
Perkembangan sejarah tradisi tulis orang Bugis dapat dibagi menjadi tiga
zaman. Dalam hal ini, Ambo Enre membagi periodisasi menjadi masa awal (sampai
pada tahun 1605). Periode awal berakhir setelah masuknya Islam di Sulawesi Seatan.
Kedua, masa pertengahan (1605-1905) dimulai dengan masuknya Islam dan berakhir
dengan takluknya semua kerajaan di Sulawesi Selatan di bawah kekuasaan Belanda.
2Fachruddin Ambo Enre, Ritumpanna Welenrennge: Sebuah Episoda Sastra Bugis Klasik
Galigo, (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia kerjasama Ecole Francaise d’Extreme Orient dan Fakultas
Sastra Universitas Indonesia, 1999).
3Muhlis Hadrawi, menyebutkan terdapat sejumlah 4.048 naskah kuno (lontara’) lainnya telah
terdokumentasi dan disimpan dalam bentuk mikrofilm di Badan Arsip Nasional Makassar dan masuk
katalog. Lihat: Muhlis Hadrawi “Naskah Kuno Bugis-Makassar Tak Tergarap” dalam
http://oase.kompas.com/read/xml/2009/04/19/01285570/manuskrip.bugis-makassar.tak.tergarap
tanggal 19 April 2009. Diakses tanggal 4 Juni 2009
3
Ketiga, masa baru (1905-1942) berakhir pada masa pendudukan Jepang.4 Dari sini
bisa dilihat bahwa titik singgung karya tulis Bugis keagamaan berada pada masa
pertengahan yakni ketika Islam dianut sebagai agama kerajaan pada tahun 1605 oleh
kerajaan Goa. Pada era tersebut, corak keislaman yang dikembangkan di daerah
Bugis Makassar sangat bernuansa sufistik. Pengetahunan syariah belum terlalu
ditonjolkan, kalupun ada hanya sebatas ibadah praktis saja.
Sementara itu, sejarah awal perjumpaan Islam dengan masyarakat Bugis-
Makassar berlangsung secara damai. Hal ini sangat mugkin terjadi karena warna
Islam yang dibawa para dai (muballig) lebih bercorak tasawuf yang lebih akomodatif
dibanding Islam-Syariah. Sementara itu, tasawuf5 merupakan tema dominan yang
dibicarakan dalam koteks keislaman Nusantara. Hal ini disebabkan karena ajaran
Islam yang dibawa para penganjur Islam pada abad ke 13 lebih banyak berkarakter
sufi yang cukup kental. Tasawuf atau sufisme. Sekitar 4.000 manuskrip klasik Bugis-
Makassar beraksara lontara’ dan Arab belum terdokumentasi. Sejumlah 4.048
lontara’ lainnya telah terdokumentasi dan disimpan dalam bentuk mikrofilm di Badan
4Fachruddin Ambo Enre, Ritumpanna Welenrennge: Sebuah Episoda Sastra Bugis Klasik
Galigo, (1999), h. 88.
5Secara etimologi kata “tasawuf” berarti bulu domba (wol). Pada mulanya, kata tasawuf
ditunjukkan pada sekelompok orang yang ingin hudup sederhana dan menjalani hidup sebagai orang-
orang miskin dengan memakai kain suf (wol kasar). Lihat, Oman Fathurahman, Tanbih al-Masyi al-
Mansub Ila Tariq al-Qusyasyiyy: Tanggapan As-Sinkili Terhadap Kontroversi Doktrin Wujudiyah di
Aceh pada Abad XVII, (Suntingan Teks dan Analisa Isi), (Jakarta: Thesis pada Program Studi Susastra
Program Pascasarjana Universitas Indonesia, 1998), h. 1. Selanjutnya lihat pula, Harus Nasution, Islam
Ditinjau dari Berbagai Aspeknya, (Cet. VI; Jakarta: Universitas Hasanuddin, 1986), h. 72.
4
Arsip Nasional Makassar dan masuk katalog. Akan tetapi, katalog itu tidak lengkap
atau keliru mendeskripsikan naskah sehingga menyulitkan peneliti.
Dalam konteks tradisi tulis bangsa Bugis-Makassar, dikenal ada dua genre
sastra sebagai tradisi tulis yakni Lontaraq (prosa) dan Sureq (puisi). Cense
mendefinisikan lontaraq, sebagai naskah tulis tangan berisi silsilah, catatan hairan
atau kumpulan berbagai catatan terutama yang menyangkut catatan.6 Kalau definisi
ini dipakai maka Kitta’ Assikalaibinengeng (selanjutnya dipakai KA) tidak bisa
dikategorikan sebagai lontaraq. Sebabnya, karena struktur KA berbentuk narasi-
prosa. Untungnya, definisi lontaraq kemudian diperluas oleh A. Zainal dengan
membuat kategori-kategori. Menurutnya, kategori tersebut dibagi menjadi lontarq
attoriolong (sejarah), adeq (adat istiadat), ulu ada (perjanjian), allopi-loping
(pelayaran), panguriseng (silisilah), pallaoruma (pertanian), dan lontaraq bilang
(nujum-hisab).7 Oleh karena itu, KA ini merupakan genre sastra Bugis yang
dikategorikan sebagai lontaraq ade, karena naskah ini menjelaskan tata krama dalam
berhubungan suami istri.
Oleh karena itu, penelitian ini berusaha mengkaji salah satu naskah kuno
Bugis “Kitta’ Asikalaibinengeng” (kit asiklaibienGE) yang boleh saja diklaim
sebagai Kamasutra versi Bugis. Isi naskah kuno ini serupa tapi tidak sama dalam
6Fachruddin Ambo Enre, Ritumpanna Welenrengnge: Sebuah Episoda Sastra Bugis Klasik
Galigo, (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia bekerjasama dengan Ecole Francaise d’Extreme Orient dan
Fakultas Sastra Universitas Indonesia, 1999), h. 86.
7Fachruddin Ambo Enre, Ritumpanna Welenrengnge: (1999), h. 86.
5
Kamasutra (India) atau Serat Centini dan Serat Nitimani (Jawa), Ars Amatoria, The
Art of Love, (Romawi). Mencermati isi naskahnya, dapat dipastikan bahwa KA ditulis
setelah kedatangan Islam di Nusantara yakni di atas tahun 1605. Di sinilah letak
menariknya KA sebagai objek kajian dalam penelitian ini.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, maka masalah yang akan dikaji dalam
penelitian ini adalah persoalan yang terkait dengan naskah Kitta’ Assikalaibinengeng
(KA) yang ditulis oleh La Paddaga Abd al-Rahim. Masalah yang merupakan
kegelisahan intelektual peneliti adalah pandangan pengarang sebagai seorang Muslim
tentang hubungan suami istri (jima’) yang sesuai dengan ajaran Islam dan adat-
istiadat masyarakat Bugis.
1. Apakah naskah Kitta’ Assikalaibinengeng (KA) merupakan naskah tunggal
atau multi?
2. Apakah naskah Kitta’ Assikalaibinengeng (KA) bernilai filologis sehingga
memungkinkan untuk menghasilkan edisi teks?
C. Tujuan Penelitian
1. Menentukan varian atau variasi naskah Kitta’ Assikalaibinengeng (KA)
2. Menelusuri nilai filologis naskah Kitta’ Assikalaibinengeng (KA) serta
melakukan penyuntingan (edisi).
6
D. Sistematika Penulisan
Penelitian ini terdiri atas lima bab. Bab pertama sebagai bab pendahuluan
yang berisi latar belakang, rumusan masalah, tujuan penelitian, metode dan
sistematika penulisan. Bab pertama ini berfungsi sebagai petunjuk bagaimana
penelitian ini dilakukan.
Bab dua merupakan bab tentang kritik teks yang berusaha memerikan secara
detail inventarisasi naskah dan deskripsi naskah.
Bab ketiga edisi teks dan terjemahan KA berisi tentang tujuan dan metode
suntingan teks KA, pertanggungan transliterasi, transliterasi KA serta terjemahan teks
KA.
Bab keempat penutup berisi kesimpulan-kesimpulan dan implikasi penelitian.
7
BAB II
KRITIK TEKS
A. Pengantar
Kritik teks terhadap naskah dalam Kitta’ Akkalaibinengeng (KA) diarahkan
untuk menjelaskan varian sekaligus versi KA yang lebih utuh dan lengkap. Meskipun
penulisan naskah pada dasarnya tunggal, termasuk Kitta’ Akkalaibinengeng (KA),
namun fenomena penyalinan naskah pada era selanjutnya dilakukan secara berulang-
ulang. Menurut, Achadiati Ikram seperti dikutip O. Fathurahman, justru karena proses
penyalinan naskah yang berulang tersebut telah menimbulkan perbedaan, perubahan
dan bahkan penyimpangan dari naskah pertama baik yang disengaja maupun yang
tidak.8 Oleh karena itu, KA dipandang sebagai naskah multi seperti diakui sendiri
oleh banyak filolog lokal termasuk Muhlis Hadrawi. Namun demikian, variasi bacaan
bisa dipahami sebagai bentuk kreasi penyalin agar bisa diterima oleh pembacanya.9
B. Inventarisasi Naskah
Dari hasil penelusuran naskah Kitta’ Assikalaibinengeng (KA) yang dalam
Katalog Sulawesi Selatan disebut “Bunga Rampai Lontara” merupakan milik
Bannase dari Lawo Kabupaten Soppeng yang tersimpan dalam Perpustakaan Utama
8Oman Fathurahman, Tanbih al-Masyi al-Mansub Ila Tariq al-Qusyasyiyy: Tanggapan As-
Sinkili Terhadap Kontroversi Doktrin Wujudiyah di Aceh pada Abad XVII, (Suntingan Teks dan
Analisa Isi), (1998), h. 9. Lihat pula, Achadiati Ikram, Filologia Nusantara, (Jakarta: Pustaka Jaya,
1997), h. 33.
9 Oman Fathurahman, Tanbih al-Masyi al-Mansub Ila Tariq al-Qusyasyiyy, (1998), h. 9
8
UNHAS (Universitas Hasanuddin) dengan kode pencarian No.
01/MKH/23/Unhas/UP. Naskah ini dapat ditemukan pada Rol. 45 No. 23.
Perlu disampaikan bahwa naskah yang kami teliti diperoleh dari Museum
Warisan Budaya dan Peradaban UIN Alauddin Makassar, yang sejatinya dibawa
untuk kepentingan pelatihan tanpa melalui proses inventarisasi melalui katalog.10
Dan
pada saat kami melakukan penelusuran naskah pada Perpustakaan Nasional,
informasi yang diperoleh adalah bahwa naskah tersebut berikut variasinya hanya
terdapat di Perpustakaan Universitas Hasanuddin Makassar dan mikrofilmnya dapat
ditemui di Arsip Nasional. Keterbatasan waktu tidak memungkinkan kami untuk
menelusuri ke tempat-tempat yang dimaksud.
Namun, menurut Muhlis Hadrawi ketika melakukan penelusuran dalam
rangka penelitian tesis, versi atau mungkin saja varian lain dari Kitta’
Assikalaibinengeng (KA) terdapat dalam Arsip Nasional. Menurut beliau, masih
terdapat 26 versi lain. Seperti diakui Hadrawi, mulanya versi dan varian lain naskah
KA adalah milik Raja Bone yang diambil (curi) oleh Belanda pada tahun 1905.
Sayangnya, peneliti belum mempunyai akses untuk menggunakan naskah KA versi
Raja Bone sebagai bahan interteks sampai proposal ini ditulis.11
Singkatnya, dalam proses inventarisasi naskah, kami hanya memiliki satu
buah naskah sehingga tidak ada naskah pembanding.
10
Sangat disayangkan, karena terikat oleh agenda pelatihan, kami baru dapat mengakses
katalog justru setelah tulisan ini ditransliterasi dan diterjemah. 11
Muhlis Hadrawi “Naskah Kuno Bugis-Makassar Tak Tergarap” dalam
http://oase.kompas.com/read/xml/2009/04/19/01285570/manuskrip.bugis-makassar.tak.tergarap
tanggal 19 April 2009. Diakses tanggal 4 Juni 2009
9
C. Deskripsi Naskah
Naskah KA terdiri atas 350 halaman dengan menggunakan aksara Bugis dan
Arab. Naskah KA berukuran 16,5 x 10,5 cm dan tersimpan dalam rol 45 nomor 23.
Tulisan pada naskah ini menggunakan dua bahasa yakni Bugis dan Arab dengan
menggunakan kertas dengan cap air (watermark) bergambar Gajah dan Pohon
Kelapa. Dari segi struktur penulisan, La Paddaga Abd al-Rahim dalam naskah KA
menggunakan 13 baris dalam satu halaman yang terdiri atas rata-rata 3 sampai 4 kata
diluar tanda titik.
Kolofon naskah KA ini diletakkan pada halaman terakhir. Pada bagian atas
tertulis “Qaul al-Haq kemudian diteruskan dengan kalimat “salama majeppu sure
bate limanna La Paddaga Abd al-Rahim sure appunangenna mutosa, kunie monro
bicaranna allaibinengenna orowane makunraiyye, salama temarulle”. Dari
keterangan ini dipastikan bahwa penulis naskah ini adalah La Paddaga Abd al-Rahim.
Halaman awal teks naskah KA tidak ditemukan sehingga tidak diketahui
apakah naskah ini dimulai dengan basmalah dan assalamu alaikum sebagaimana
lazimnya tulisan-tulisan yang bernuansa agama Islam. Dari segi isi naskah, belum
dapat dipastikan corak tasawuf12
apakah yang mewarnai isi naskah ini terutama pada
pasal assikalaibinengeng (adab atau etika senggama) suami istri.
12
Sangat patut diduga unsur sufistik atau warna tasawuf dalam naskah KA ini karena dalam
kitab fiqih Jima’ penjelasan mendetail mengenai hubungan suami istri ini tidak ditemukan. Sementara
itu, gerakan tasawuf baik yang beraliran Khalwati, Qadiriyah, Naqsyabandi sangat massif pada saat
nasakah ini ditulis.
10
Kitab Assikelebenengeng, selanjutnya disebut KA, ditulis oleh Lapa’ddaga
Abd al-Rahim yang berisi tata cara jima’ (hubungan suami istri) dalam konsep
budaya Bugis. Naskah ini bisa juga disebut sebagai “Kitab Kamasutra Bugis”. Genre
isi naskah ini sangat variatif karena ia berisi ajaran fiqih dan akhlak tetapi
menggunakan tasawuf (sufistik) sebagai system penjelas.
Kitab Assikelebenengeng (KA) ini menjelaskan bahwa kualitas hubungan itu
jauh lebih baik dari pada frekuensi hubungan suami sitri. Menurut Kitab ini
pemanasan (foreplay), konsetrasi, ketenangan dalam hubungan suami istri sangat
penting. Di samping itu, KA juga memposisikan suami sebagai pihak yang lebih
dominan dalam hubungan ini.
Kitab ini tidak seperti buku-buku seks yang mengajarkan jenis dan gaya
bersetubuh seperti buku Kamasutra versi India. KA merupakan kitab yang
menjelaskan cara mengelola birahi seorang suami kearah yang lebih baik dan secara
spiritual. Secara umum, KA menjelaskan bagaimana peran suami dalam hubungan
suami istri, waktu-waktu yang baik dalam bersenggama, akomodasi ajaran fiqh
(syariat Islam) dalam bersenggama, cara merawat tubuh pasangan suami-istri, tata
cara (adab) berhubungan yang banyak dibumbui dengan nuansa sufistik misalnya
mengelaborasi zikir dan nafas pada saat berhubngan. Klaim besar kitab ini adalah
mencoba melakukan rekonsliasi antara ajaran Islam (fiqih nikah) dan adat dan budaya
Bugis dalam dunia senggama suami istri.
Singkatnya, substansi naskah Assikalaibineng menyajikan pengetahuan
tentang hubungan seks mulai konsep filosofi seks, pengetahuan alat reproduksi,
11
tahapan atau prosedur hubungan, doa-doa, mantra-mantra, teknik perangsangan,
posisi dan gaya persetubuhan, teknik sentuhan, penentuan jenis kelamin anak,
pengendalian kehamilan, waktu baik dan buruk dalam persetubuhan, tata cara
pembersihan tubuh, pengobatan kelamin, serta perlakuan-perlakuan seksual lainnya.
12
BAB III
SUNTINGAN TEKS KITTA’ AKKALAEBINENGENG (KA)
A. Tujuan dan Metode
1. Tujuan
Tujuan pokok edisi teks ini adalah menyajikan teks KA yang dapat dipahami
dengan jelas, sehingga kandungan isinya dapat bermanfaat bagi pembaca secara luas.
2. Metode
Dalam proses pengeditan digunakan metode kritik, sehingga kesalahan
penulisan dalam teks asli akan dibetulkan dengan mempertimbangkan konteks
bacaan. Seperti telah dipaparkan sebelumnya, naskah KA memiliki banyak versi
(multi). Namun, karena katerbatasan waktu, pada saat penyusunan proposal ini kami
belum dapat menelusuri versi-versi lainnya sehingga untuk sementara kami
mengasumsikan naskah KA ini sebagai naskah tunggal.
B. Pertanggungjawaban Transliterasi
Teks KA yang menjadi objek penelitian ini ditulis dengan menggunakan
bahasa dan aksara Bugis yang hanya bisa dibaca dan difahami oleh kalangan tertentu
saja. Oleh karena itu, pengalihaksaraan (transliterasi) ke dalam aksara Latin akan
sangat membantu masyarakat luas, khususnya bagi mereka yang tidak dapat
membaca aksara Bugis.
13
Kegiatan transliterasi ini meliputi pemberian pungtuasi, titik, koma, titik koma,
tanda hubung dan pembagian paragraf, karena teks KA tidak menggunakan tanda-
tanda yang dikenal dalam bahasa Indonesia tersebut. Bahkan, penggunaan tanda baca
“ .” yang biasanya digunakan sebagai tanda titik pada naskah-naskah Bugis
umumnya, dan biasanya memiliki fungsi sebagai tanda akhir kalimat, ternyata pada
naskah KA tanda tersebut justru digunakan sebagai pemisah kata, sehingga setiap
kata diselingi dengan tanda “.”.
Berikut ini beberapa prinsip yang dijadikan landasan dalam proses
penyuntingan:
1. Pembagian paragraf yang dibuat berdasarkan kesatuan ide serta penggunaan
pungtuasi, dimaksudkan untuk memudahkan pemahaman isi teks.
2. Perbaikan teks meliputi penggantian, penambahan, dan penghapusan bacaan
yang dianggap menyimpang. Bacaan pengganti diusahakan berasal dari teks
pendukung, dan jika tidak dijumpai, maka bacaan langsung diperbaiki berdasarkan
konteks bacaan, sedangkan bacaan teks standar yang diganti, diletakkan dalam aparat
kritik.
3. Nomor di akhir sebuah kata, yang ditulis agak naik ke atas, menunjukkan
adanya catatan dalam aparat kritik mengenai kata tersebut.
4. Kata dari teks pendukung ditulis dalam aparat kritik hanya jika berbeda
dengan kata pada teks standar.
5. Dalam suntingan teks KA ini, ada beberapa tanda yang digunakan, yaitu:
- (angka) : untuk menandai nomor halaman pada teks asli, seperti (1).
14
- (…) : untuk menandai adanya teks yang hilang
- /…/ : untuk menandai bacaan yang diganti dan bersumber pada teks
pendukung.
- \…\ : untuk menandai bacaan yang diganti atau ditambahkan dan
tidak berdasar pada teks pendukung.
- <…> : untuk menandai bacaan yang ditambahkan, dan berasal dari teks
pendukung.
6. Pemakaian huruf besar pada awal kalimat atau penyebutan lain didasarkan
pada sistem EYD dalam bahasa Indonesia.
C. Transliterasi
Pedoman transliterasi yang digunakan adalah sebagai berikut:
Bugis Latin Bugis Latin
k
g
G
K
p
b
m
P
t
d
n
R
Ka
Ga
Nga
Ngka
Pa
Ba
Ma
Mpa
Ta
Da
Na
Nra
c
j
N
C
y
r
l
w
s
a
h
Ca
Ja
Nya
Nca
Ya
Ra
La
Wa
Sa
A
ha
15
Aksara Bugis hanya memiliki huruf vokal dengan pola sebagai berikut:
a= a ai= i au= u ea= e ao= o aE= ë
(seperti bunyi “e” dalam kata “lemari”)
Meskipun dalam aksara bugis tidak dikenal huruf mati (konsonan), maupun
huruf panjang (maad) dan dobol (tasydiid), namun dalam bahasa tutur ada. Sehingga
dalam proses transliterasi naskah KA ini, penulis melakukan penyesuaian dengan
bahasa tutur dengan berpedoman pada konteks bacaan. Adapun untuk bunyi panjang
dan tasydid, ditulis dengan cara berikut:
ā = bunyi “a” panjang
ī = bunyi “i” panjang
ū = bunyi “u” panjang
ō = bunyi “o” panjang
ē = bunyi “e” panjang
ê = bunyi “ë” panjang
tasydid ditandai dengan huruf dobol, seperti tukkū
Contoh:
Naskah asli Transliterasi Murni
Transliterasi yang
disesuaikan dengan
bahasa tutur
tukuai aulun Tuku’i uluna Tukkū’i ulunna
16
D. Alih Aksara
[…]13
namasīrīna Ali dena namette’ nalaona nalēwū, tukkū’i ulunna, tukkū
ajūna, pitumpenni pitungngesso. Naiyya Ipātima laōni teddū’i Ali, iya napuada
Ipātima: “oto’kko mai munyamêngiwi ininnawāmu”. Makkadai Ali: “Iyapa kuwōto’
mupissêngipa’ surë’ paddiatungmu ri Allah ta’āla”. Makkadai Ipātima: “Oto’komai
kupissêngiko, nabitta sallallahu alihi wasallama missëngngi, naiyye mallinrungnge
maleka’e mani missëngngi”. Makkadai Ali: “Ō..Patima, mutāroi dōsa ri Alla Ta’āla
telluttaunni (2) sibawāmu muinappa mupodangnga”. Makkadai Ipātima: “millaud
dampengnga’ ri Alla Ta’āla kuettōpa rīko tëkkupissëngiko, kumangingngī mennang
tājengngi pammāse rīko, nade’ adammu. Ōtokko mai kupangūjuko lao ri Nabitta ri
pallawangënna wanuawae”. Monro natokkonna Ali māla jenne’ sëmpājang nainappa
massëmpājang. Napurāna massëmpājang nalaona ribolāna Nabitta,naenre’na tūdang,
nacabbēruna Nabitta mītai menettunna. Nakkadāna Nabitta SAW: (3) “Āga
muakkattai Ali?” Makkadai Ali: “iyya wakkattai mettana madōsa ri Alla Ta’āla
tëkku palëttu’na paddeatunna ri Alla Ta’āla Ipātima, nabitta’ mani missëngngi
alëttukënna, tamasei lāloa tapaissengiya’ puang gaukënna.” Nacabberūna Nabita
SAW nakkadāna: “Ō..Ali, nōko ri palla’e muāla bua-bua iyya mupoji’e
mupoleyangëngngi benēmu”. Makkadai Ali: “Tania bua-bua wakkattai lao rīdi”.
Makkadai Nabitta: “naoko muala bua-bua”. Naoni Ali mala panāsa, nanrei cipu’e
napoleyangëngngi Ipātima (4) cipu’e. Apa iyya sara’na makkunraiyye
13
Halaman 1 pada naskah asli telah hilang.
17
ripoleyāngengngi napojie, mao cedde’ mua. Nanaona Nabitta ri palla’na naobbīni Ali,
makkadai Nabitta: “Ō..Ali, naono mai muitai ilmu eppā’e ripallailaingeng eppāe
rimakkunrai eppāe napanurungnge Alla Ta’āla. Sewwaniritu, masarolebbi, pakeanna
nabitta napammanarëngngëngngi natakkajënnë’na Ali pattëttêkiwi pakita ukī’e.
Nakkedana Nabitta: “Ō Ali āja’ mupalembai ri kërtasa’e atimmuna missëngngi”,
makkadai Ali: “pa’gūruna’ puang”, makkadai nabitta’: (5) “Ō Ali muissënniga ilmu
mangoloe ri Alla Ta’āla ammulanna nyawae, ammulanna mannie, apa iyya
missëngngi ammulangnge, ri Alla Ta’ala, apa iyya mannie pōlei ri Alla Ta’āla sibāwa
elo’na mato (6)
pannëssaengngi allaibinengëngnge narekko ēloki (31) massīta فصل
makkunraitta. Takarāwai bubunna, takkadana: “ alēpu’ko السالم عليكن يا باب الرحون
tëttong ribubunna Ipātima”, takarāwasi arōna takkadasi: “Muhamma’ mallëbba’ di
arōna Ipātima”, tapalēlesi pakkarawāta riposīna takkadasi: “Nabi Adam mallëbba di
posīna Ipātima”, makkadasiki: “Ō puang timpakëngnga tangë’na babanna penëddinna
Ipātima mupatabbukkarëkka penëddinna Ipātima”, takarāwasi babangnge takkadasi: ”
,”ale alusu’na Ali mattama sūju’ ri ale alusu’na Ipātima السالم عليكن يا صادق األهنين
tomakkadasi: “Ō Patima tinppa’i bunga sibollōmu (32) nauttama lasurūla nattëmmu
nyawae”, tapauttamani kallāta angkanna purae dipanre pīso, nainappasi passū’i,
tarokīsêngngi ribabangnge rikatawwanna makkunraie, iyyanae okinae هللا ,
tapauttamasi paimëng kallāta, nappasë’ta taparolai, muttamai nappasë’ta taputtama’
toi kallāta angkanna wekka tëllu, tarampëssi kallāta tarampëttōsi nappasë’ta. Marakko
waliwali muparisaliwëng lāngī’i manninna iblis. Mupadecengiwi paimëng
18
muparolaiwi nappasë’mu angka pakkullēmu. Narekko napoleino penëdding
manyamëng (33) padecengini parengngërrangmu ri Alla Ta’āla mupattungkë’
tungkêkenni intinna mannimmu saddaewe أأأ narekko pājani musëdding mitti
mannimmu puadani rilalëng atimmu ودود هن هانك manni iyakkasang asëng tongëng-
tongëmmu mannie. Puppungngi alemu mujaji. Manni mani mānika murampenni
kallāmu, muwakkatënningngi katawwammu musappūru’i mutenrë’ toi babangnge,
mupadecengiwi pappëssë’mu narekko murampëngngi jarimmu, musinru’i wekka
tëllu babangnge, mugasa’i datujari muakkadāna: “junnu’ memëngngi atikku
massatinja ribadakku, ala junnu ala mappakajunnu, ala cuci ala mappakacuci, Nabi
Muhamma’ (34) mapaccikku. Paddiyāla ودود هن هانك mani diparēwë’ mani
diyapparewêki, tūwo diparadde tūwo diapparaddëki, alusu’ dipassewwa alusu’,
dipassewwai mattappā di rupakku, maccaiyyā ri ulīku, jaji cenninrāra nasalipūriya
ulëng tēpu, tëmmāte tëmmatowa, tūwo malōlo pulāna كن فيكن “ . Taisō’i temmë’ni
nainappana mōki’i alepu’e di posīna makkunraiyye di ulu atinna, di edda’na, diūki
dapangngi ri bubunna (35)
Iyyanaritu riyasëng orowāne maissëng, makkunrai manrāpi. Iyyatōnaritu
goncinna tangë’na surugae. Muëssë’i wekka tëllu mubācai dowangnge أتر أبتزيوهنا
de’na ritu namalērē makkunraimmu (56) توت.
E. Terjemah Naskah
[…] Ali dalam keadaan malu dan tidak berbicara sepatah kata pun, kemudian
dia pergi berbaring dengan melipat kaki dan kepala selama tujuh hari tujuh malam.
19
Fatimah pergi membangunkan dan berkata: “bangunlah, salurkan hasratmu”. Ali
menjawab: “Saya akan bangun setelah kamu memberitahukan Sure Paddiatummu14
kepada Allah SWT”. Fatimah pun berkata: “Bangunlah, akan kusampaikan, Nabi
SAW yang mengetahuinya, sedangkan yang tersembunyi hanya malaikat yang
mengetahuinya”. Ali berkata: “Wahai Fatimah, engkau membiarkan dosa kepada
Allah, dan baru memberitahukanku setelah tiga tahun kita bersama”. Fatimah pun
berkata: “Saya mohon ampun kepada Allah SWT dan juga kepadamu karena tidak
memberitahukanmu akan hal ini, aku telah jenuh menunggu Pammase12
darimu, tapi
engkau hanya diam. Bangunlah, saya akan mempersiapkanmu menuju kepada Nabi
yang berada di antara dua benua”. Maka bangunlah Ali mengambil air sembahyang,
lalu melaksanakan shalat. Setelah shalat, dia menghadap kepada Rasulullah SAW.
Nabi pun tersenyum melihat menantunya, dan berkata: “Apa tujuan kamu Ali?” Ali
menjawab: “Telah lama saya berdosa kepada Allah SWT karena tidak menyampaikan
“harapan” Fatimah kepada Allah, hanya Rasulullah SAW yang mengetahui caranya,
maka aku mengharap sudilah kiranya Rasulullah memberitahukanku”. Nabi
tersenyum dan berkata: “Hai Ali, turunlah ke taman dan petik buah-buahan yang
engkau sukai dan persembahkan kepada istrimu”. Ali pun berkata: “Bukanlah buah-
buahan yang kuharapkan darimu”. Nabi berkata: “turunlah memetik buah-buahan”.
Maka Ali pun turun mengambil buah nangka, dia memakannya sebagian dan
membawakan Fatimah (3) sebagian. Karena perempuan senang apabila diberikan
14
Penggalan ini sengaja tidak diterjemahkan karena dikhawatirkan akan mereduksi maknanya,
sebab tidak ditemukan kata yang benar-benar sepadan dalam bahasa Indonesia.
20
sesuatu yang disukai, walau cuma sedikit. Kemudian Nabi turun ke taman dan
memanggil Ali. Beliau berkata: “Wahai Ali, kemarilah dan perhatikan empat ilmu
yang berbeda yang diturunkan oleh Allah tentang wanita. Yang pertama, yang paling
afdhal, pakaian Rasulullah yang diwarikan kepada kita”. Ali pun terkesima
memperhatikan tulisan itu. Lalu Nabi berkata: “Wahai Ali, jangan salin dalam kertas,
tapi tanamkan dalam hatimu,” lalu Ali berkata: “Kalau begitu, ajarilah aku!”. Lalu
Nabi berkata: (5) “Wahai Ali, apakah engkau telah mengetahui tentang keluasan
pengetahuan Allah, asal usul nyawa, asal usul mani, karena yang mengetahui semua
itu adalah Allah, karena mani berasal dari Allah begitu juga dengan kehendak (6)
yang menjelaskan tentang kehidupan suami istri. Jika anda (31) ingin فصل
berhubungan dengan istri, sentuh ubun-ubunnya sambil membaca السالم عليكن يا باب
alif berdiri di ubun-ubun Fatimah, selanjutnya raba dadanya dengan membaca الرحون
“Muhammad terhampar di dada Fatimah”, lalu pindahkan rabaan ke arah pusarnya
sambil membaca: “Nabi Adam terhampar di pusar Fatimah”, lalu membaca: “Ya
Allah, bukakanlah pintu perasaan Fatimah, bukakanlah pintu hatinya”, selanjutnya
rabahlah “pintu” sambil mengucapkan: “ tubuh halus Ali السالم عليكن يا صادق األهنين
masuk bersujud dalam tubuh halus Fatimah”, lalu membaca “Ya Fatimah, bukalah
kelopak bunga sibollomu (32) agar lasurula masuk dan jiwa menyatu”, selanjutnya
masukkanlah “kalam”mu hingga batas khitanan, lalu keluarkan dan gunakan
(kalammu itu, ed.) menulis lafal هللا dipintu kemaluan istri, masukkan kembali
“kalam”mu sambil menarik nafas. Tarik nafasmu setiap kali memasukkan “kalam”,
lakukan hingga tiga kali, lalu cabut sambil menghembuskan nafas, jauhkan Iblis.
21
Selanjutnya, perbaiki kembali dengan mengatur nafas dan melanjutkannya sesuai
kemampuanmu. Saat engkau merasakan orgasme (33) konsentrasikan pikiranmu
kepada Allah, setiap tetes ucapkan أأأ , jika air mani telah berhenti menetes, ucapkan
dalam hati ودود هن هانك manni iyakkasang nama hakikimu wahai mani, himpunlah
dirimu hingga “menjadi”. (Baca) manni mani manika sambil mencabut “kalam”mu,
pegang dan usap sambil menekan “pintu”, tekan dengan baik-baik saat menarik
tanganmu mengusap “pintu” itu tiga kali, sentuh dengan jari tengah sambil
mengucapkan: “Junub hatiku beristinja dijasadku, Muhammad kesucianku. Mani
dikembalikan, mani yang kembali, hidup yang ditanam hidup yang menanam, ruh
yang ditauhidkan dan ruh yang mentauhidkan, bercahaya di wajahku, bersinar pada
kulitku, menjadi pengasihan, aku diselimuti bulan purnama, tak akan mati tak akan
tua, selalu muda ,Isap dan telan lalu tulislah alif di pusar istri, ulu hati .“كن فيكن
pangkal kerongkongan, dan tulis dhamma pada bagian ubun-ubun.
Itulah yang disebut lelaki (suami) yang berpengetahuan dan wanita (isteri)
yang arif. Dan ini pulalah kunci pintu surga. Tekan tiga kali sambil membaca أتر
.niscaya istri anda akan awet (abtaziiwimunaa) أبتزيوهنا
22
BAB IV
P E N U T U P
A. Kesimpulan
Berdasarkan penelitian yang dilakukan, diperoleh kesimpulan sebagai berikut:
1. Naskah Kitta’ Assikalaibinengeng (KA) memiliki sejumlah versi dan varian,
hingga mencapai 26 versi yang sebagian besarnya terdapat dalam koleksi
Perpustakaan Hasanuddin Makassar dan dalam bentuk mikrofilm di Arsip
Nasional. Meski demikian, yang ditemukan dalam penelitian ini masih
terbatas pada satu naskah.
2. Naskah Kitta’ Assikalaibinengeng (KA) memiliki nilai filologis sehingga
memungkinkan untuk disunting. Dan dengan demikian dapat diakses oleh
masyarakat luas, termasuk mereka yang tidak memahami aksara dan bahasa
Bugis.
B. Implikasi Penelitian
Naskah-naskah keagamaan yang tertulis dalam bahasa Bugis memiliki arti
penting baik dalam memperkaya khazanah budaya nusantara maupun dalam
memahami corak pemikiran keislaman yang berkembang di tanah air. Oleh karena
itu, perlu mendapat perhatian serius dari semua pihak, terutama para akademisi yang
bernaung di bawah payung Departemen Agama.
23
Perlunya kerja sama yang harmonis dan terarah antara pihak Litbang
Departemen Agama dengan lembaga-lembaga pendidikan tinggi agama di daerah
dalam meningkatkan kuantitas maupun kualitas penelitian naskah-naskah keagamaan,
baik melalui pelatihan yang berkesinambungan, maupun dalam bentuk pendanaan.
24
DAFTRAR PUSTAKA
S. Paeni, Katalog Nusantara: Sulawesi Selatan, Makassar: Universitas Hasanuddin
kerjasama the Ford Foundation, 2003
Ambo Enre, Fachruddin, Ritumpanna Welenrennge: Sebuah Episoda Sastra Bugis
Klasik Galigo, Jakarta: Yayasan Obor Indonesia kerjasama Ecole Francaise
d’Extreme Orient dan Fakultas Sastra Universitas Indonesia, 1999
Hadrawi, Muhlis, “Naskah Kuno Bugis-Makassar Tak Tergarap” dalam
http://oase.kompas.com/read/xml/2009/04/19/01285570/manuskrip.bugis-
makassar.tak.tergarap tanggal 19 April 2009. Diakses tanggal 4 Juni 2009
Fathurahman, Oman, Tanbih al-Masyi al-Mansub Ila Tariq al-Qusyasyiyy:
Tanggapan As-Sinkili Terhadap Kontroversi Doktrin Wujudiyah di Aceh pada
Abad XVII, (Suntingan Teks dan Analisa Isi), Jakarta: Thesis pada Program
Studi Susastra Program Pascasarjana Universitas Indonesia, 1998
Nasution, Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya, Cet. VI; Jakarta: Universitas
Hasanuddin, 1986
Achadiati Ikram, Filologia Nusantara, Jakarta: Pustaka Jaya, 1997