naskah bugis

24
KAMASUTRA BUGIS (Domestifikasi dan Rekonsiliasi Ajaran Islam dengan Budaya Bugis tentang Adab Senggama Suami Istri dalam Kitta’ Assikalaibinengeng) Sangat mungkin La Paddaga Abd al-Rahim tidak bermaksud melakukan dekonstruksi atas cara, etika atau adab senggama berhubungan (adab) seperti ditulis dalam naskah Kitab Kamasutra (India), Serat Centini (Jawa), Serat Nitimani (Jawa). Dalam isi naskah KA ini, Abd al-Rahim dengan sangat jelas memerikan secara konsistensi nuansa agama (sufistik) yang tidak ditemukan dalam Kamasutra, Serat Centini dan Serat Nitimani. Karena itu, Naskah KA ini bisa disebut sebagai “Text goes beyond Kamasutra, Centini and Nitimani”. Disebut seperti itu, karena ia tidak hanya mementingkan kenikmatan dan kepuasaan seks, tetapi lebih dari itu KA sekaligus mementingkan kualitas hubungan sampai pada pengaruhnya terhadap kualitas anak yang akan dilahirkan dan keterpeliharaan seorang istri baik jasmani maupun rohani. A. Latar Belakang Teologi seksualitas dalam kajian naskah kuno khususnya dalam naskah Kitta’ Assikalaibinengeng (selanjutnay disebut KA) akan dikaji tidak dalam pengertian persaingan agama dengan budaya Bugis. Tetapi, KA akan diperbincangkan justru sebagai sebuah naskah berusaha merekonsiliasi adat atau tradisi Bugis dengan ajaran Fiqih tentang adab senggama (jima’). Naskah KA yang akan diteliti ditulis pada abad ke 18 oleh La Paddaga Abd al-Rahim. 1 Besar kemungkinan beliau adalah seorang Ulama penulis yang sekaligus sebagai ahli tarekat karena isi naskah KA banyak dibumbui dengan warna tasawuf. 1 S.Paeni, Katalog Nusantara: Sulawesi Selatan, (Makassar: Universitas Hasanuddin kerjasama the Ford Foundation, 2003).

Upload: diby-schatzi-pieterson

Post on 01-Dec-2015

405 views

Category:

Documents


30 download

TRANSCRIPT

Page 1: Naskah Bugis

KAMASUTRA BUGIS

(Domestifikasi dan Rekonsiliasi Ajaran Islam dengan Budaya Bugis tentang Adab

Senggama Suami Istri dalam Kitta’ Assikalaibinengeng)

Sangat mungkin La Paddaga Abd al-Rahim tidak bermaksud melakukan dekonstruksi atas

cara, etika atau adab senggama berhubungan (adab) seperti ditulis dalam naskah Kitab

Kamasutra (India), Serat Centini (Jawa), Serat Nitimani (Jawa). Dalam isi naskah KA ini,

Abd al-Rahim dengan sangat jelas memerikan secara konsistensi nuansa agama (sufistik)

yang tidak ditemukan dalam Kamasutra, Serat Centini dan Serat Nitimani. Karena itu,

Naskah KA ini bisa disebut sebagai “Text goes beyond Kamasutra, Centini and Nitimani”.

Disebut seperti itu, karena ia tidak hanya mementingkan kenikmatan dan kepuasaan seks,

tetapi lebih dari itu KA sekaligus mementingkan kualitas hubungan sampai pada

pengaruhnya terhadap kualitas anak yang akan dilahirkan dan keterpeliharaan seorang istri

baik jasmani maupun rohani.

A. Latar Belakang

Teologi seksualitas dalam kajian naskah kuno khususnya dalam naskah Kitta’

Assikalaibinengeng (selanjutnay disebut KA) akan dikaji tidak dalam pengertian

persaingan agama dengan budaya Bugis. Tetapi, KA akan diperbincangkan justru

sebagai sebuah naskah berusaha merekonsiliasi adat atau tradisi Bugis dengan ajaran

Fiqih tentang adab senggama (jima’). Naskah KA yang akan diteliti ditulis pada abad

ke 18 oleh La Paddaga Abd al-Rahim.1 Besar kemungkinan beliau adalah seorang

Ulama penulis yang sekaligus sebagai ahli tarekat karena isi naskah KA banyak

dibumbui dengan warna tasawuf.

1S.Paeni, Katalog Nusantara: Sulawesi Selatan, (Makassar: Universitas Hasanuddin

kerjasama the Ford Foundation, 2003).

Page 2: Naskah Bugis

2

Studi tentang manuskrip Bugis, Makassar dan Mandar yang kemudian lebih

dikenal dengan nama “lontaraq” belum banyak terjamah baik oleh sarjana Lokal

maupun sarjana Barat. Bagi Fachruddin A.Enre, lontaraq merupakan pustaka atau

naskah yang berisikan sejarah, hukum atau pemerintahan.2 Dalam kaitan dengan

keberadaan lontaraq, Muhlis Hadrawi seorang filolog dari Universitas Hasanuddin

Makassar, menjelaskan bahwa terdapat kurang lebih 4.000 manuskrip kuno Bugis

yang masih tersebar di beberapa sentra naskah seperti di Kabupaten Bone, Barru,

Soppeng, Wajo, Sidrap, dan Sinjai yang belum terdokumentasi. Sementara hal yang

sama juga berlaku untuk naskah kuno Makassar yang banyak tersebar di kabupten

Makassar, Gowa, Takalar, Jeneponto.3

Perkembangan sejarah tradisi tulis orang Bugis dapat dibagi menjadi tiga

zaman. Dalam hal ini, Ambo Enre membagi periodisasi menjadi masa awal (sampai

pada tahun 1605). Periode awal berakhir setelah masuknya Islam di Sulawesi Seatan.

Kedua, masa pertengahan (1605-1905) dimulai dengan masuknya Islam dan berakhir

dengan takluknya semua kerajaan di Sulawesi Selatan di bawah kekuasaan Belanda.

2Fachruddin Ambo Enre, Ritumpanna Welenrennge: Sebuah Episoda Sastra Bugis Klasik

Galigo, (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia kerjasama Ecole Francaise d’Extreme Orient dan Fakultas

Sastra Universitas Indonesia, 1999).

3Muhlis Hadrawi, menyebutkan terdapat sejumlah 4.048 naskah kuno (lontara’) lainnya telah

terdokumentasi dan disimpan dalam bentuk mikrofilm di Badan Arsip Nasional Makassar dan masuk

katalog. Lihat: Muhlis Hadrawi “Naskah Kuno Bugis-Makassar Tak Tergarap” dalam

http://oase.kompas.com/read/xml/2009/04/19/01285570/manuskrip.bugis-makassar.tak.tergarap

tanggal 19 April 2009. Diakses tanggal 4 Juni 2009

Page 3: Naskah Bugis

3

Ketiga, masa baru (1905-1942) berakhir pada masa pendudukan Jepang.4 Dari sini

bisa dilihat bahwa titik singgung karya tulis Bugis keagamaan berada pada masa

pertengahan yakni ketika Islam dianut sebagai agama kerajaan pada tahun 1605 oleh

kerajaan Goa. Pada era tersebut, corak keislaman yang dikembangkan di daerah

Bugis Makassar sangat bernuansa sufistik. Pengetahunan syariah belum terlalu

ditonjolkan, kalupun ada hanya sebatas ibadah praktis saja.

Sementara itu, sejarah awal perjumpaan Islam dengan masyarakat Bugis-

Makassar berlangsung secara damai. Hal ini sangat mugkin terjadi karena warna

Islam yang dibawa para dai (muballig) lebih bercorak tasawuf yang lebih akomodatif

dibanding Islam-Syariah. Sementara itu, tasawuf5 merupakan tema dominan yang

dibicarakan dalam koteks keislaman Nusantara. Hal ini disebabkan karena ajaran

Islam yang dibawa para penganjur Islam pada abad ke 13 lebih banyak berkarakter

sufi yang cukup kental. Tasawuf atau sufisme. Sekitar 4.000 manuskrip klasik Bugis-

Makassar beraksara lontara’ dan Arab belum terdokumentasi. Sejumlah 4.048

lontara’ lainnya telah terdokumentasi dan disimpan dalam bentuk mikrofilm di Badan

4Fachruddin Ambo Enre, Ritumpanna Welenrennge: Sebuah Episoda Sastra Bugis Klasik

Galigo, (1999), h. 88.

5Secara etimologi kata “tasawuf” berarti bulu domba (wol). Pada mulanya, kata tasawuf

ditunjukkan pada sekelompok orang yang ingin hudup sederhana dan menjalani hidup sebagai orang-

orang miskin dengan memakai kain suf (wol kasar). Lihat, Oman Fathurahman, Tanbih al-Masyi al-

Mansub Ila Tariq al-Qusyasyiyy: Tanggapan As-Sinkili Terhadap Kontroversi Doktrin Wujudiyah di

Aceh pada Abad XVII, (Suntingan Teks dan Analisa Isi), (Jakarta: Thesis pada Program Studi Susastra

Program Pascasarjana Universitas Indonesia, 1998), h. 1. Selanjutnya lihat pula, Harus Nasution, Islam

Ditinjau dari Berbagai Aspeknya, (Cet. VI; Jakarta: Universitas Hasanuddin, 1986), h. 72.

Page 4: Naskah Bugis

4

Arsip Nasional Makassar dan masuk katalog. Akan tetapi, katalog itu tidak lengkap

atau keliru mendeskripsikan naskah sehingga menyulitkan peneliti.

Dalam konteks tradisi tulis bangsa Bugis-Makassar, dikenal ada dua genre

sastra sebagai tradisi tulis yakni Lontaraq (prosa) dan Sureq (puisi). Cense

mendefinisikan lontaraq, sebagai naskah tulis tangan berisi silsilah, catatan hairan

atau kumpulan berbagai catatan terutama yang menyangkut catatan.6 Kalau definisi

ini dipakai maka Kitta’ Assikalaibinengeng (selanjutnya dipakai KA) tidak bisa

dikategorikan sebagai lontaraq. Sebabnya, karena struktur KA berbentuk narasi-

prosa. Untungnya, definisi lontaraq kemudian diperluas oleh A. Zainal dengan

membuat kategori-kategori. Menurutnya, kategori tersebut dibagi menjadi lontarq

attoriolong (sejarah), adeq (adat istiadat), ulu ada (perjanjian), allopi-loping

(pelayaran), panguriseng (silisilah), pallaoruma (pertanian), dan lontaraq bilang

(nujum-hisab).7 Oleh karena itu, KA ini merupakan genre sastra Bugis yang

dikategorikan sebagai lontaraq ade, karena naskah ini menjelaskan tata krama dalam

berhubungan suami istri.

Oleh karena itu, penelitian ini berusaha mengkaji salah satu naskah kuno

Bugis “Kitta’ Asikalaibinengeng” (kit asiklaibienGE) yang boleh saja diklaim

sebagai Kamasutra versi Bugis. Isi naskah kuno ini serupa tapi tidak sama dalam

6Fachruddin Ambo Enre, Ritumpanna Welenrengnge: Sebuah Episoda Sastra Bugis Klasik

Galigo, (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia bekerjasama dengan Ecole Francaise d’Extreme Orient dan

Fakultas Sastra Universitas Indonesia, 1999), h. 86.

7Fachruddin Ambo Enre, Ritumpanna Welenrengnge: (1999), h. 86.

Page 5: Naskah Bugis

5

Kamasutra (India) atau Serat Centini dan Serat Nitimani (Jawa), Ars Amatoria, The

Art of Love, (Romawi). Mencermati isi naskahnya, dapat dipastikan bahwa KA ditulis

setelah kedatangan Islam di Nusantara yakni di atas tahun 1605. Di sinilah letak

menariknya KA sebagai objek kajian dalam penelitian ini.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang di atas, maka masalah yang akan dikaji dalam

penelitian ini adalah persoalan yang terkait dengan naskah Kitta’ Assikalaibinengeng

(KA) yang ditulis oleh La Paddaga Abd al-Rahim. Masalah yang merupakan

kegelisahan intelektual peneliti adalah pandangan pengarang sebagai seorang Muslim

tentang hubungan suami istri (jima’) yang sesuai dengan ajaran Islam dan adat-

istiadat masyarakat Bugis.

1. Apakah naskah Kitta’ Assikalaibinengeng (KA) merupakan naskah tunggal

atau multi?

2. Apakah naskah Kitta’ Assikalaibinengeng (KA) bernilai filologis sehingga

memungkinkan untuk menghasilkan edisi teks?

C. Tujuan Penelitian

1. Menentukan varian atau variasi naskah Kitta’ Assikalaibinengeng (KA)

2. Menelusuri nilai filologis naskah Kitta’ Assikalaibinengeng (KA) serta

melakukan penyuntingan (edisi).

Page 6: Naskah Bugis

6

D. Sistematika Penulisan

Penelitian ini terdiri atas lima bab. Bab pertama sebagai bab pendahuluan

yang berisi latar belakang, rumusan masalah, tujuan penelitian, metode dan

sistematika penulisan. Bab pertama ini berfungsi sebagai petunjuk bagaimana

penelitian ini dilakukan.

Bab dua merupakan bab tentang kritik teks yang berusaha memerikan secara

detail inventarisasi naskah dan deskripsi naskah.

Bab ketiga edisi teks dan terjemahan KA berisi tentang tujuan dan metode

suntingan teks KA, pertanggungan transliterasi, transliterasi KA serta terjemahan teks

KA.

Bab keempat penutup berisi kesimpulan-kesimpulan dan implikasi penelitian.

Page 7: Naskah Bugis

7

BAB II

KRITIK TEKS

A. Pengantar

Kritik teks terhadap naskah dalam Kitta’ Akkalaibinengeng (KA) diarahkan

untuk menjelaskan varian sekaligus versi KA yang lebih utuh dan lengkap. Meskipun

penulisan naskah pada dasarnya tunggal, termasuk Kitta’ Akkalaibinengeng (KA),

namun fenomena penyalinan naskah pada era selanjutnya dilakukan secara berulang-

ulang. Menurut, Achadiati Ikram seperti dikutip O. Fathurahman, justru karena proses

penyalinan naskah yang berulang tersebut telah menimbulkan perbedaan, perubahan

dan bahkan penyimpangan dari naskah pertama baik yang disengaja maupun yang

tidak.8 Oleh karena itu, KA dipandang sebagai naskah multi seperti diakui sendiri

oleh banyak filolog lokal termasuk Muhlis Hadrawi. Namun demikian, variasi bacaan

bisa dipahami sebagai bentuk kreasi penyalin agar bisa diterima oleh pembacanya.9

B. Inventarisasi Naskah

Dari hasil penelusuran naskah Kitta’ Assikalaibinengeng (KA) yang dalam

Katalog Sulawesi Selatan disebut “Bunga Rampai Lontara” merupakan milik

Bannase dari Lawo Kabupaten Soppeng yang tersimpan dalam Perpustakaan Utama

8Oman Fathurahman, Tanbih al-Masyi al-Mansub Ila Tariq al-Qusyasyiyy: Tanggapan As-

Sinkili Terhadap Kontroversi Doktrin Wujudiyah di Aceh pada Abad XVII, (Suntingan Teks dan

Analisa Isi), (1998), h. 9. Lihat pula, Achadiati Ikram, Filologia Nusantara, (Jakarta: Pustaka Jaya,

1997), h. 33.

9 Oman Fathurahman, Tanbih al-Masyi al-Mansub Ila Tariq al-Qusyasyiyy, (1998), h. 9

Page 8: Naskah Bugis

8

UNHAS (Universitas Hasanuddin) dengan kode pencarian No.

01/MKH/23/Unhas/UP. Naskah ini dapat ditemukan pada Rol. 45 No. 23.

Perlu disampaikan bahwa naskah yang kami teliti diperoleh dari Museum

Warisan Budaya dan Peradaban UIN Alauddin Makassar, yang sejatinya dibawa

untuk kepentingan pelatihan tanpa melalui proses inventarisasi melalui katalog.10

Dan

pada saat kami melakukan penelusuran naskah pada Perpustakaan Nasional,

informasi yang diperoleh adalah bahwa naskah tersebut berikut variasinya hanya

terdapat di Perpustakaan Universitas Hasanuddin Makassar dan mikrofilmnya dapat

ditemui di Arsip Nasional. Keterbatasan waktu tidak memungkinkan kami untuk

menelusuri ke tempat-tempat yang dimaksud.

Namun, menurut Muhlis Hadrawi ketika melakukan penelusuran dalam

rangka penelitian tesis, versi atau mungkin saja varian lain dari Kitta’

Assikalaibinengeng (KA) terdapat dalam Arsip Nasional. Menurut beliau, masih

terdapat 26 versi lain. Seperti diakui Hadrawi, mulanya versi dan varian lain naskah

KA adalah milik Raja Bone yang diambil (curi) oleh Belanda pada tahun 1905.

Sayangnya, peneliti belum mempunyai akses untuk menggunakan naskah KA versi

Raja Bone sebagai bahan interteks sampai proposal ini ditulis.11

Singkatnya, dalam proses inventarisasi naskah, kami hanya memiliki satu

buah naskah sehingga tidak ada naskah pembanding.

10

Sangat disayangkan, karena terikat oleh agenda pelatihan, kami baru dapat mengakses

katalog justru setelah tulisan ini ditransliterasi dan diterjemah. 11

Muhlis Hadrawi “Naskah Kuno Bugis-Makassar Tak Tergarap” dalam

http://oase.kompas.com/read/xml/2009/04/19/01285570/manuskrip.bugis-makassar.tak.tergarap

tanggal 19 April 2009. Diakses tanggal 4 Juni 2009

Page 9: Naskah Bugis

9

C. Deskripsi Naskah

Naskah KA terdiri atas 350 halaman dengan menggunakan aksara Bugis dan

Arab. Naskah KA berukuran 16,5 x 10,5 cm dan tersimpan dalam rol 45 nomor 23.

Tulisan pada naskah ini menggunakan dua bahasa yakni Bugis dan Arab dengan

menggunakan kertas dengan cap air (watermark) bergambar Gajah dan Pohon

Kelapa. Dari segi struktur penulisan, La Paddaga Abd al-Rahim dalam naskah KA

menggunakan 13 baris dalam satu halaman yang terdiri atas rata-rata 3 sampai 4 kata

diluar tanda titik.

Kolofon naskah KA ini diletakkan pada halaman terakhir. Pada bagian atas

tertulis “Qaul al-Haq kemudian diteruskan dengan kalimat “salama majeppu sure

bate limanna La Paddaga Abd al-Rahim sure appunangenna mutosa, kunie monro

bicaranna allaibinengenna orowane makunraiyye, salama temarulle”. Dari

keterangan ini dipastikan bahwa penulis naskah ini adalah La Paddaga Abd al-Rahim.

Halaman awal teks naskah KA tidak ditemukan sehingga tidak diketahui

apakah naskah ini dimulai dengan basmalah dan assalamu alaikum sebagaimana

lazimnya tulisan-tulisan yang bernuansa agama Islam. Dari segi isi naskah, belum

dapat dipastikan corak tasawuf12

apakah yang mewarnai isi naskah ini terutama pada

pasal assikalaibinengeng (adab atau etika senggama) suami istri.

12

Sangat patut diduga unsur sufistik atau warna tasawuf dalam naskah KA ini karena dalam

kitab fiqih Jima’ penjelasan mendetail mengenai hubungan suami istri ini tidak ditemukan. Sementara

itu, gerakan tasawuf baik yang beraliran Khalwati, Qadiriyah, Naqsyabandi sangat massif pada saat

nasakah ini ditulis.

Page 10: Naskah Bugis

10

Kitab Assikelebenengeng, selanjutnya disebut KA, ditulis oleh Lapa’ddaga

Abd al-Rahim yang berisi tata cara jima’ (hubungan suami istri) dalam konsep

budaya Bugis. Naskah ini bisa juga disebut sebagai “Kitab Kamasutra Bugis”. Genre

isi naskah ini sangat variatif karena ia berisi ajaran fiqih dan akhlak tetapi

menggunakan tasawuf (sufistik) sebagai system penjelas.

Kitab Assikelebenengeng (KA) ini menjelaskan bahwa kualitas hubungan itu

jauh lebih baik dari pada frekuensi hubungan suami sitri. Menurut Kitab ini

pemanasan (foreplay), konsetrasi, ketenangan dalam hubungan suami istri sangat

penting. Di samping itu, KA juga memposisikan suami sebagai pihak yang lebih

dominan dalam hubungan ini.

Kitab ini tidak seperti buku-buku seks yang mengajarkan jenis dan gaya

bersetubuh seperti buku Kamasutra versi India. KA merupakan kitab yang

menjelaskan cara mengelola birahi seorang suami kearah yang lebih baik dan secara

spiritual. Secara umum, KA menjelaskan bagaimana peran suami dalam hubungan

suami istri, waktu-waktu yang baik dalam bersenggama, akomodasi ajaran fiqh

(syariat Islam) dalam bersenggama, cara merawat tubuh pasangan suami-istri, tata

cara (adab) berhubungan yang banyak dibumbui dengan nuansa sufistik misalnya

mengelaborasi zikir dan nafas pada saat berhubngan. Klaim besar kitab ini adalah

mencoba melakukan rekonsliasi antara ajaran Islam (fiqih nikah) dan adat dan budaya

Bugis dalam dunia senggama suami istri.

Singkatnya, substansi naskah Assikalaibineng menyajikan pengetahuan

tentang hubungan seks mulai konsep filosofi seks, pengetahuan alat reproduksi,

Page 11: Naskah Bugis

11

tahapan atau prosedur hubungan, doa-doa, mantra-mantra, teknik perangsangan,

posisi dan gaya persetubuhan, teknik sentuhan, penentuan jenis kelamin anak,

pengendalian kehamilan, waktu baik dan buruk dalam persetubuhan, tata cara

pembersihan tubuh, pengobatan kelamin, serta perlakuan-perlakuan seksual lainnya.

Page 12: Naskah Bugis

12

BAB III

SUNTINGAN TEKS KITTA’ AKKALAEBINENGENG (KA)

A. Tujuan dan Metode

1. Tujuan

Tujuan pokok edisi teks ini adalah menyajikan teks KA yang dapat dipahami

dengan jelas, sehingga kandungan isinya dapat bermanfaat bagi pembaca secara luas.

2. Metode

Dalam proses pengeditan digunakan metode kritik, sehingga kesalahan

penulisan dalam teks asli akan dibetulkan dengan mempertimbangkan konteks

bacaan. Seperti telah dipaparkan sebelumnya, naskah KA memiliki banyak versi

(multi). Namun, karena katerbatasan waktu, pada saat penyusunan proposal ini kami

belum dapat menelusuri versi-versi lainnya sehingga untuk sementara kami

mengasumsikan naskah KA ini sebagai naskah tunggal.

B. Pertanggungjawaban Transliterasi

Teks KA yang menjadi objek penelitian ini ditulis dengan menggunakan

bahasa dan aksara Bugis yang hanya bisa dibaca dan difahami oleh kalangan tertentu

saja. Oleh karena itu, pengalihaksaraan (transliterasi) ke dalam aksara Latin akan

sangat membantu masyarakat luas, khususnya bagi mereka yang tidak dapat

membaca aksara Bugis.

Page 13: Naskah Bugis

13

Kegiatan transliterasi ini meliputi pemberian pungtuasi, titik, koma, titik koma,

tanda hubung dan pembagian paragraf, karena teks KA tidak menggunakan tanda-

tanda yang dikenal dalam bahasa Indonesia tersebut. Bahkan, penggunaan tanda baca

“ .” yang biasanya digunakan sebagai tanda titik pada naskah-naskah Bugis

umumnya, dan biasanya memiliki fungsi sebagai tanda akhir kalimat, ternyata pada

naskah KA tanda tersebut justru digunakan sebagai pemisah kata, sehingga setiap

kata diselingi dengan tanda “.”.

Berikut ini beberapa prinsip yang dijadikan landasan dalam proses

penyuntingan:

1. Pembagian paragraf yang dibuat berdasarkan kesatuan ide serta penggunaan

pungtuasi, dimaksudkan untuk memudahkan pemahaman isi teks.

2. Perbaikan teks meliputi penggantian, penambahan, dan penghapusan bacaan

yang dianggap menyimpang. Bacaan pengganti diusahakan berasal dari teks

pendukung, dan jika tidak dijumpai, maka bacaan langsung diperbaiki berdasarkan

konteks bacaan, sedangkan bacaan teks standar yang diganti, diletakkan dalam aparat

kritik.

3. Nomor di akhir sebuah kata, yang ditulis agak naik ke atas, menunjukkan

adanya catatan dalam aparat kritik mengenai kata tersebut.

4. Kata dari teks pendukung ditulis dalam aparat kritik hanya jika berbeda

dengan kata pada teks standar.

5. Dalam suntingan teks KA ini, ada beberapa tanda yang digunakan, yaitu:

- (angka) : untuk menandai nomor halaman pada teks asli, seperti (1).

Page 14: Naskah Bugis

14

- (…) : untuk menandai adanya teks yang hilang

- /…/ : untuk menandai bacaan yang diganti dan bersumber pada teks

pendukung.

- \…\ : untuk menandai bacaan yang diganti atau ditambahkan dan

tidak berdasar pada teks pendukung.

- <…> : untuk menandai bacaan yang ditambahkan, dan berasal dari teks

pendukung.

6. Pemakaian huruf besar pada awal kalimat atau penyebutan lain didasarkan

pada sistem EYD dalam bahasa Indonesia.

C. Transliterasi

Pedoman transliterasi yang digunakan adalah sebagai berikut:

Bugis Latin Bugis Latin

k

g

G

K

p

b

m

P

t

d

n

R

Ka

Ga

Nga

Ngka

Pa

Ba

Ma

Mpa

Ta

Da

Na

Nra

c

j

N

C

y

r

l

w

s

a

h

Ca

Ja

Nya

Nca

Ya

Ra

La

Wa

Sa

A

ha

Page 15: Naskah Bugis

15

Aksara Bugis hanya memiliki huruf vokal dengan pola sebagai berikut:

a= a ai= i au= u ea= e ao= o aE= ë

(seperti bunyi “e” dalam kata “lemari”)

Meskipun dalam aksara bugis tidak dikenal huruf mati (konsonan), maupun

huruf panjang (maad) dan dobol (tasydiid), namun dalam bahasa tutur ada. Sehingga

dalam proses transliterasi naskah KA ini, penulis melakukan penyesuaian dengan

bahasa tutur dengan berpedoman pada konteks bacaan. Adapun untuk bunyi panjang

dan tasydid, ditulis dengan cara berikut:

ā = bunyi “a” panjang

ī = bunyi “i” panjang

ū = bunyi “u” panjang

ō = bunyi “o” panjang

ē = bunyi “e” panjang

ê = bunyi “ë” panjang

tasydid ditandai dengan huruf dobol, seperti tukkū

Contoh:

Naskah asli Transliterasi Murni

Transliterasi yang

disesuaikan dengan

bahasa tutur

tukuai aulun Tuku’i uluna Tukkū’i ulunna

Page 16: Naskah Bugis

16

D. Alih Aksara

[…]13

namasīrīna Ali dena namette’ nalaona nalēwū, tukkū’i ulunna, tukkū

ajūna, pitumpenni pitungngesso. Naiyya Ipātima laōni teddū’i Ali, iya napuada

Ipātima: “oto’kko mai munyamêngiwi ininnawāmu”. Makkadai Ali: “Iyapa kuwōto’

mupissêngipa’ surë’ paddiatungmu ri Allah ta’āla”. Makkadai Ipātima: “Oto’komai

kupissêngiko, nabitta sallallahu alihi wasallama missëngngi, naiyye mallinrungnge

maleka’e mani missëngngi”. Makkadai Ali: “Ō..Patima, mutāroi dōsa ri Alla Ta’āla

telluttaunni (2) sibawāmu muinappa mupodangnga”. Makkadai Ipātima: “millaud

dampengnga’ ri Alla Ta’āla kuettōpa rīko tëkkupissëngiko, kumangingngī mennang

tājengngi pammāse rīko, nade’ adammu. Ōtokko mai kupangūjuko lao ri Nabitta ri

pallawangënna wanuawae”. Monro natokkonna Ali māla jenne’ sëmpājang nainappa

massëmpājang. Napurāna massëmpājang nalaona ribolāna Nabitta,naenre’na tūdang,

nacabbēruna Nabitta mītai menettunna. Nakkadāna Nabitta SAW: (3) “Āga

muakkattai Ali?” Makkadai Ali: “iyya wakkattai mettana madōsa ri Alla Ta’āla

tëkku palëttu’na paddeatunna ri Alla Ta’āla Ipātima, nabitta’ mani missëngngi

alëttukënna, tamasei lāloa tapaissengiya’ puang gaukënna.” Nacabberūna Nabita

SAW nakkadāna: “Ō..Ali, nōko ri palla’e muāla bua-bua iyya mupoji’e

mupoleyangëngngi benēmu”. Makkadai Ali: “Tania bua-bua wakkattai lao rīdi”.

Makkadai Nabitta: “naoko muala bua-bua”. Naoni Ali mala panāsa, nanrei cipu’e

napoleyangëngngi Ipātima (4) cipu’e. Apa iyya sara’na makkunraiyye

13

Halaman 1 pada naskah asli telah hilang.

Page 17: Naskah Bugis

17

ripoleyāngengngi napojie, mao cedde’ mua. Nanaona Nabitta ri palla’na naobbīni Ali,

makkadai Nabitta: “Ō..Ali, naono mai muitai ilmu eppā’e ripallailaingeng eppāe

rimakkunrai eppāe napanurungnge Alla Ta’āla. Sewwaniritu, masarolebbi, pakeanna

nabitta napammanarëngngëngngi natakkajënnë’na Ali pattëttêkiwi pakita ukī’e.

Nakkedana Nabitta: “Ō Ali āja’ mupalembai ri kërtasa’e atimmuna missëngngi”,

makkadai Ali: “pa’gūruna’ puang”, makkadai nabitta’: (5) “Ō Ali muissënniga ilmu

mangoloe ri Alla Ta’āla ammulanna nyawae, ammulanna mannie, apa iyya

missëngngi ammulangnge, ri Alla Ta’ala, apa iyya mannie pōlei ri Alla Ta’āla sibāwa

elo’na mato (6)

pannëssaengngi allaibinengëngnge narekko ēloki (31) massīta فصل

makkunraitta. Takarāwai bubunna, takkadana: “ alēpu’ko السالم عليكن يا باب الرحون

tëttong ribubunna Ipātima”, takarāwasi arōna takkadasi: “Muhamma’ mallëbba’ di

arōna Ipātima”, tapalēlesi pakkarawāta riposīna takkadasi: “Nabi Adam mallëbba di

posīna Ipātima”, makkadasiki: “Ō puang timpakëngnga tangë’na babanna penëddinna

Ipātima mupatabbukkarëkka penëddinna Ipātima”, takarāwasi babangnge takkadasi: ”

,”ale alusu’na Ali mattama sūju’ ri ale alusu’na Ipātima السالم عليكن يا صادق األهنين

tomakkadasi: “Ō Patima tinppa’i bunga sibollōmu (32) nauttama lasurūla nattëmmu

nyawae”, tapauttamani kallāta angkanna purae dipanre pīso, nainappasi passū’i,

tarokīsêngngi ribabangnge rikatawwanna makkunraie, iyyanae okinae هللا ,

tapauttamasi paimëng kallāta, nappasë’ta taparolai, muttamai nappasë’ta taputtama’

toi kallāta angkanna wekka tëllu, tarampëssi kallāta tarampëttōsi nappasë’ta. Marakko

waliwali muparisaliwëng lāngī’i manninna iblis. Mupadecengiwi paimëng

Page 18: Naskah Bugis

18

muparolaiwi nappasë’mu angka pakkullēmu. Narekko napoleino penëdding

manyamëng (33) padecengini parengngërrangmu ri Alla Ta’āla mupattungkë’

tungkêkenni intinna mannimmu saddaewe أأأ narekko pājani musëdding mitti

mannimmu puadani rilalëng atimmu ودود هن هانك manni iyakkasang asëng tongëng-

tongëmmu mannie. Puppungngi alemu mujaji. Manni mani mānika murampenni

kallāmu, muwakkatënningngi katawwammu musappūru’i mutenrë’ toi babangnge,

mupadecengiwi pappëssë’mu narekko murampëngngi jarimmu, musinru’i wekka

tëllu babangnge, mugasa’i datujari muakkadāna: “junnu’ memëngngi atikku

massatinja ribadakku, ala junnu ala mappakajunnu, ala cuci ala mappakacuci, Nabi

Muhamma’ (34) mapaccikku. Paddiyāla ودود هن هانك mani diparēwë’ mani

diyapparewêki, tūwo diparadde tūwo diapparaddëki, alusu’ dipassewwa alusu’,

dipassewwai mattappā di rupakku, maccaiyyā ri ulīku, jaji cenninrāra nasalipūriya

ulëng tēpu, tëmmāte tëmmatowa, tūwo malōlo pulāna كن فيكن “ . Taisō’i temmë’ni

nainappana mōki’i alepu’e di posīna makkunraiyye di ulu atinna, di edda’na, diūki

dapangngi ri bubunna (35)

Iyyanaritu riyasëng orowāne maissëng, makkunrai manrāpi. Iyyatōnaritu

goncinna tangë’na surugae. Muëssë’i wekka tëllu mubācai dowangnge أتر أبتزيوهنا

de’na ritu namalērē makkunraimmu (56) توت.

E. Terjemah Naskah

[…] Ali dalam keadaan malu dan tidak berbicara sepatah kata pun, kemudian

dia pergi berbaring dengan melipat kaki dan kepala selama tujuh hari tujuh malam.

Page 19: Naskah Bugis

19

Fatimah pergi membangunkan dan berkata: “bangunlah, salurkan hasratmu”. Ali

menjawab: “Saya akan bangun setelah kamu memberitahukan Sure Paddiatummu14

kepada Allah SWT”. Fatimah pun berkata: “Bangunlah, akan kusampaikan, Nabi

SAW yang mengetahuinya, sedangkan yang tersembunyi hanya malaikat yang

mengetahuinya”. Ali berkata: “Wahai Fatimah, engkau membiarkan dosa kepada

Allah, dan baru memberitahukanku setelah tiga tahun kita bersama”. Fatimah pun

berkata: “Saya mohon ampun kepada Allah SWT dan juga kepadamu karena tidak

memberitahukanmu akan hal ini, aku telah jenuh menunggu Pammase12

darimu, tapi

engkau hanya diam. Bangunlah, saya akan mempersiapkanmu menuju kepada Nabi

yang berada di antara dua benua”. Maka bangunlah Ali mengambil air sembahyang,

lalu melaksanakan shalat. Setelah shalat, dia menghadap kepada Rasulullah SAW.

Nabi pun tersenyum melihat menantunya, dan berkata: “Apa tujuan kamu Ali?” Ali

menjawab: “Telah lama saya berdosa kepada Allah SWT karena tidak menyampaikan

“harapan” Fatimah kepada Allah, hanya Rasulullah SAW yang mengetahui caranya,

maka aku mengharap sudilah kiranya Rasulullah memberitahukanku”. Nabi

tersenyum dan berkata: “Hai Ali, turunlah ke taman dan petik buah-buahan yang

engkau sukai dan persembahkan kepada istrimu”. Ali pun berkata: “Bukanlah buah-

buahan yang kuharapkan darimu”. Nabi berkata: “turunlah memetik buah-buahan”.

Maka Ali pun turun mengambil buah nangka, dia memakannya sebagian dan

membawakan Fatimah (3) sebagian. Karena perempuan senang apabila diberikan

14

Penggalan ini sengaja tidak diterjemahkan karena dikhawatirkan akan mereduksi maknanya,

sebab tidak ditemukan kata yang benar-benar sepadan dalam bahasa Indonesia.

Page 20: Naskah Bugis

20

sesuatu yang disukai, walau cuma sedikit. Kemudian Nabi turun ke taman dan

memanggil Ali. Beliau berkata: “Wahai Ali, kemarilah dan perhatikan empat ilmu

yang berbeda yang diturunkan oleh Allah tentang wanita. Yang pertama, yang paling

afdhal, pakaian Rasulullah yang diwarikan kepada kita”. Ali pun terkesima

memperhatikan tulisan itu. Lalu Nabi berkata: “Wahai Ali, jangan salin dalam kertas,

tapi tanamkan dalam hatimu,” lalu Ali berkata: “Kalau begitu, ajarilah aku!”. Lalu

Nabi berkata: (5) “Wahai Ali, apakah engkau telah mengetahui tentang keluasan

pengetahuan Allah, asal usul nyawa, asal usul mani, karena yang mengetahui semua

itu adalah Allah, karena mani berasal dari Allah begitu juga dengan kehendak (6)

yang menjelaskan tentang kehidupan suami istri. Jika anda (31) ingin فصل

berhubungan dengan istri, sentuh ubun-ubunnya sambil membaca السالم عليكن يا باب

alif berdiri di ubun-ubun Fatimah, selanjutnya raba dadanya dengan membaca الرحون

“Muhammad terhampar di dada Fatimah”, lalu pindahkan rabaan ke arah pusarnya

sambil membaca: “Nabi Adam terhampar di pusar Fatimah”, lalu membaca: “Ya

Allah, bukakanlah pintu perasaan Fatimah, bukakanlah pintu hatinya”, selanjutnya

rabahlah “pintu” sambil mengucapkan: “ tubuh halus Ali السالم عليكن يا صادق األهنين

masuk bersujud dalam tubuh halus Fatimah”, lalu membaca “Ya Fatimah, bukalah

kelopak bunga sibollomu (32) agar lasurula masuk dan jiwa menyatu”, selanjutnya

masukkanlah “kalam”mu hingga batas khitanan, lalu keluarkan dan gunakan

(kalammu itu, ed.) menulis lafal هللا dipintu kemaluan istri, masukkan kembali

“kalam”mu sambil menarik nafas. Tarik nafasmu setiap kali memasukkan “kalam”,

lakukan hingga tiga kali, lalu cabut sambil menghembuskan nafas, jauhkan Iblis.

Page 21: Naskah Bugis

21

Selanjutnya, perbaiki kembali dengan mengatur nafas dan melanjutkannya sesuai

kemampuanmu. Saat engkau merasakan orgasme (33) konsentrasikan pikiranmu

kepada Allah, setiap tetes ucapkan أأأ , jika air mani telah berhenti menetes, ucapkan

dalam hati ودود هن هانك manni iyakkasang nama hakikimu wahai mani, himpunlah

dirimu hingga “menjadi”. (Baca) manni mani manika sambil mencabut “kalam”mu,

pegang dan usap sambil menekan “pintu”, tekan dengan baik-baik saat menarik

tanganmu mengusap “pintu” itu tiga kali, sentuh dengan jari tengah sambil

mengucapkan: “Junub hatiku beristinja dijasadku, Muhammad kesucianku. Mani

dikembalikan, mani yang kembali, hidup yang ditanam hidup yang menanam, ruh

yang ditauhidkan dan ruh yang mentauhidkan, bercahaya di wajahku, bersinar pada

kulitku, menjadi pengasihan, aku diselimuti bulan purnama, tak akan mati tak akan

tua, selalu muda ,Isap dan telan lalu tulislah alif di pusar istri, ulu hati .“كن فيكن

pangkal kerongkongan, dan tulis dhamma pada bagian ubun-ubun.

Itulah yang disebut lelaki (suami) yang berpengetahuan dan wanita (isteri)

yang arif. Dan ini pulalah kunci pintu surga. Tekan tiga kali sambil membaca أتر

.niscaya istri anda akan awet (abtaziiwimunaa) أبتزيوهنا

Page 22: Naskah Bugis

22

BAB IV

P E N U T U P

A. Kesimpulan

Berdasarkan penelitian yang dilakukan, diperoleh kesimpulan sebagai berikut:

1. Naskah Kitta’ Assikalaibinengeng (KA) memiliki sejumlah versi dan varian,

hingga mencapai 26 versi yang sebagian besarnya terdapat dalam koleksi

Perpustakaan Hasanuddin Makassar dan dalam bentuk mikrofilm di Arsip

Nasional. Meski demikian, yang ditemukan dalam penelitian ini masih

terbatas pada satu naskah.

2. Naskah Kitta’ Assikalaibinengeng (KA) memiliki nilai filologis sehingga

memungkinkan untuk disunting. Dan dengan demikian dapat diakses oleh

masyarakat luas, termasuk mereka yang tidak memahami aksara dan bahasa

Bugis.

B. Implikasi Penelitian

Naskah-naskah keagamaan yang tertulis dalam bahasa Bugis memiliki arti

penting baik dalam memperkaya khazanah budaya nusantara maupun dalam

memahami corak pemikiran keislaman yang berkembang di tanah air. Oleh karena

itu, perlu mendapat perhatian serius dari semua pihak, terutama para akademisi yang

bernaung di bawah payung Departemen Agama.

Page 23: Naskah Bugis

23

Perlunya kerja sama yang harmonis dan terarah antara pihak Litbang

Departemen Agama dengan lembaga-lembaga pendidikan tinggi agama di daerah

dalam meningkatkan kuantitas maupun kualitas penelitian naskah-naskah keagamaan,

baik melalui pelatihan yang berkesinambungan, maupun dalam bentuk pendanaan.

Page 24: Naskah Bugis

24

DAFTRAR PUSTAKA

S. Paeni, Katalog Nusantara: Sulawesi Selatan, Makassar: Universitas Hasanuddin

kerjasama the Ford Foundation, 2003

Ambo Enre, Fachruddin, Ritumpanna Welenrennge: Sebuah Episoda Sastra Bugis

Klasik Galigo, Jakarta: Yayasan Obor Indonesia kerjasama Ecole Francaise

d’Extreme Orient dan Fakultas Sastra Universitas Indonesia, 1999

Hadrawi, Muhlis, “Naskah Kuno Bugis-Makassar Tak Tergarap” dalam

http://oase.kompas.com/read/xml/2009/04/19/01285570/manuskrip.bugis-

makassar.tak.tergarap tanggal 19 April 2009. Diakses tanggal 4 Juni 2009

Fathurahman, Oman, Tanbih al-Masyi al-Mansub Ila Tariq al-Qusyasyiyy:

Tanggapan As-Sinkili Terhadap Kontroversi Doktrin Wujudiyah di Aceh pada

Abad XVII, (Suntingan Teks dan Analisa Isi), Jakarta: Thesis pada Program

Studi Susastra Program Pascasarjana Universitas Indonesia, 1998

Nasution, Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya, Cet. VI; Jakarta: Universitas

Hasanuddin, 1986

Achadiati Ikram, Filologia Nusantara, Jakarta: Pustaka Jaya, 1997