bahan bugis - makassar

21
Sulit dibayangkan, betapa dari ibu kota ini, Kerajaan Belanda pernah mengatur dan menguasai jajahannya, paling sedikit sepuluh kali lebih luas dari wilayah Belanda, yang kemudian menjadi Indonesia. Justru, karena keengganannya untuk melepaskan seluruh Hindia Belanda sebagai jajahannya menjelang akhir 1949, meskipun Den Haag tidak sanggup lagi menghadapi tekanan-tekanan politik militer, maka timbullah konflik antara Republik Indonesia (RI) dan Belanda tentang status wilayah yang disebut Irian Barat. Dan, asal mula konflik itu lahir di ibu kota ini. Sekilas sejarah diplomatik ini, saya sampaikan kepada sejumlah diplomat muda Indonesia yang dikirim oleh Departemen Luar Negeri ke pusat masalah internasional Klingendaal, di luar Den Haag, untuk dibekali penambahan pengetahuan dan peluasan wawasan mereka selama tiga bulan. Saudara Mulya Wirana yang bertugas sebagai Kuasa Usaha ad interim pada Kamis malam, 6 April lalu, menyelenggarakan pertemuan dengan para diplomat Indonesia tersebut. Mereka telah menyelesaikan pendidikan di Sekolah Pendidikan Luar Negeri. Delapan belas orang sebagai pilihan unggul mendapat kesempatan mengikuti program khusus di Klingendaal. Wajah- wajah mereka serba cerdas kelihatannya. Saya tekankan betapa pentingnya mempelajari sejarah diplomatik RI. "Tahukah Anda, bahwa apa yang dikenal sebagai masalah Irian (Papua) berasal mula di ibu kota Den Haag ini?" Mereka kelihatannya ingin tahu. * Setelah Belanda melancarkan serangan umum terhadap RI pada bulan Desember 1948 yang hanya menguasai wilayah "selebar daun lontar" (istilah Jenderal Sudirman, panglima besar TNI), ia berhasil menduduki ibu kota perjuangan Yogyakarta dan menangkap pimpinan republik, khususnya Presiden Soekarno dan Wakil Presiden/Perdana Menteri Moh Hatta serta sejumlah anggota kabinet. Namun Jenderal Sudirman, meskipun baru mengalami operasi paru- paru, dan para perwira lainnya masih sempat meninggalkan

Upload: akhmad-arifin

Post on 03-Jul-2015

568 views

Category:

Documents


16 download

TRANSCRIPT

Page 1: Bahan BUgis - Makassar

Sulit dibayangkan, betapa dari ibu kota ini, Kerajaan Belanda pernah mengatur dan menguasai jajahannya, paling sedikit sepuluh kali lebih luas dari wilayah Belanda, yang kemudian menjadi Indonesia.

Justru, karena keengganannya untuk melepaskan seluruh Hindia Belanda sebagai jajahannya menjelang akhir 1949, meskipun Den Haag tidak sanggup lagi menghadapi tekanan-tekanan politik militer, maka timbullah konflik antara Republik Indonesia (RI) dan Belanda tentang status wilayah yang disebut Irian Barat. Dan, asal mula konflik itu lahir di ibu kota ini.

Sekilas sejarah diplomatik ini, saya sampaikan kepada sejumlah diplomat muda Indonesia yang dikirim oleh Departemen Luar Negeri ke pusat masalah internasional Klingendaal, di luar Den Haag, untuk dibekali penambahan pengetahuan dan peluasan wawasan mereka selama tiga bulan.

Saudara Mulya Wirana yang bertugas sebagai Kuasa Usaha ad interim pada Kamis malam, 6 April lalu, menyelenggarakan pertemuan dengan para diplomat Indonesia tersebut. Mereka telah menyelesaikan pendidikan di Sekolah Pendidikan Luar Negeri. Delapan belas orang sebagai pilihan unggul mendapat kesempatan mengikuti program khusus di Klingendaal. Wajah-wajah mereka serba cerdas kelihatannya. Saya tekankan betapa pentingnya mempelajari sejarah diplomatik RI.

"Tahukah Anda, bahwa apa yang dikenal sebagai masalah Irian (Papua) berasal mula di ibu kota Den Haag ini?" Mereka kelihatannya ingin tahu.

*

Setelah Belanda melancarkan serangan umum terhadap RI pada bulan Desember 1948 yang hanya menguasai wilayah "selebar daun lontar" (istilah Jenderal Sudirman, panglima besar TNI), ia berhasil menduduki ibu kota perjuangan Yogyakarta dan menangkap pimpinan republik, khususnya Presiden Soekarno dan Wakil Presiden/Perdana Menteri Moh Hatta serta sejumlah anggota kabinet.

Namun Jenderal Sudirman, meskipun baru mengalami operasi paru-paru, dan para perwira lainnya masih sempat meninggalkan Yogyakarta. Maka, dilancarkanlah suatu perang rakyat terhadap kekuatan militer Belanda yang modern itu.

Serangan Belanda itu, juga telah mencetuskan reaksi sengit di kalangan internasional. Dewan Keamanan PBB bersidang di Paris dan mengutuk tindakan Belanda yang dianggap telah melanggar norma hukum internasional karena perundingan antara RI dan Belanda masih berlangsung.

Serangan Belanda itu, juga telah merubah pandangan para pemimpin negara-negara federal yang sementara itu telah didirikan Belanda di wilayah yang berhasil diduduki secara militer. Para tokoh-tokoh yang biasanya dianggap sebagai antek-antek Belanda, mulai bersikap lebih simpatik pada perjuangan para pemimpin RI.

Kombinasi tekanan-tekanan inilah: perjuangan gerilya TNI bersama rakyat, perubahan sikap tokoh- tokoh Indonesia yang disponsori Belanda di daerah pendudukannya, dan desakan Dewan Keamanan PBB dengan dorongan India dan Australia, telah memaksa Belanda untuk mengakui kegagalan jalan militer yang ditempuhnya.

Page 2: Bahan BUgis - Makassar

Den Haag menugaskan seorang diplomat ulung Dr J H Van Royen untuk membuka perundingan dengan pimpinan RI yang resminya adalah tawanan politik mereka di Pulau Bangka. Belanda menyatakan bersedia mengakui kedaulatan Indonesia Merdeka dengan beberapa persyaratan. Yogyakarta sebagai ibu kota RI dan kesultanan Yogyakarta sebagai wilayah RI dipulihkan.

Langkah berikut adalah menempa suatu kesepakatan menyeluruh untuk mengatur berakhirnya kolonialisme Belanda dan berkuasanya Indonesia Merdeka. Suatu perundingan perdamaian digelar yang dikenal sebagai Konperensi Meja Bundar. Itu berlangsung di Den Haag dari pertengahan Agustus sampai awal November 1949.

Tiga delegasi berpartisipasi: delegasi Kerajaan Belanda dan dua delegasi dari Indonesia. Yang satu adalah delegasi RI dipimpin oleh Moh Hatta dan, yang satu lagi, delegasi negara-negara federal yang awalnya didirikan Belanda tapi sudah berpihak pada RI. Dalam delegasi RI duduk seorang wakil TNI Kol TB Simatupang yang membawa tim sendiri (Letkol Daan Yahya, Mayor Haryono, Mayor Sasraprawira, Kol Laut Subyakto, dan kemudian, Komodor AURI Suryadarma).

Des Alwi pernah cerita betapa kota Den Haag ramai dengan tokoh- tokoh delegasi dari Indonesia bersama anggota sekretariat dan para wartawan Indonesia, al Rosihan Anwar. Des Alwi pada waktu itu mahasiswa di London dan datang untuk menjumpai "Oom" Hatta. Ia secara bercanda menyebut tim TNI yang dipimpin Kol TB Simatupang sebagai tentara pendudukan RI di Den Haag.

Berminggu-minggu lamanya perundingan KMB berlangsung. Melalui diplomasi, Belanda ingin meredusir kekalahannya (yakni, meninggalkan jajahannya) dan mengamankan kepentingannya.

Di bidang finansial-ekonomi, delegasi-delegasi Indonesia mengalah. Sebagian besar hutang-hutang Belanda diwarisi oleh Republik Indonesia Serikat, suatu tatanan kenegaraan yang merupakan syarat Belanda. Juga investasi Belanda dijamin dengan kebebasan mentransfer keuntungannya. Di bidang militer, setelah perundingan yang alot, Belanda mengakui bahwa TNI adalah satu-satunya organisasi militer di Indonesia. Dan tentara Hindia Belanda (KNIL) dibubarkan, enam bulan setelah upacara pengalihan kedaulatan pada akhir Desember 1949. Tapi ada satu masalah yang hampir menyebabkan kegagalan KMB. Sampai akhir konperensi yang telah ditetapkan oleh Bung Hatta harus berakhir pada awal November 1949, Belanda ngotot bahwa pengalihan kedaulatan atas wilayah Hindia-Belanda tidak berlaku untuk "residensi Nieuw Guinea" (Irian Barat, Irian Jaya kemudian Papua).

Pada saat-saat terakhir yang serba tegang menjelang 2 November 1949, Komisi PBB yang ikut hadir menyampaikan usul kompromi; "Wilayah itu tetap dibawah administrasi Belanda tapi selama setahun melalui perundingan akan dicarikan jalan keluar tentang status masa depannya."

Yang paling gigih menolak kompromi dalam bentuk apapun sebenarnya adalah Anak Agung Gde Agung, tokoh delegasi negara-negara federal.

Bung Hatta sebagai pemimpin delegasi RI menghadapi dilema. Menolak usul kompromi Komisi PBB berarti pulang ke Yogya dengan tangan hampa. Menerimanya, dapat menimbulkan keretakan di dalam negeri karena Presiden Sukarno telah menyatakan kepada

Page 3: Bahan BUgis - Makassar

Dr Van Royen yang berkunjung ke Yogyakarta untuk pamit bahwa dia adalah "seorang fanatikus" untuk mempertahankan wilayah paling timur itu.

Akhirnya dengan hati berat Bung Hatta menerima usul kompromi Komisi PBB itu. Kol Simatupang menyampaikan di rapat delegasi, kalau setelah setahun tidak dicapai penyelesaian, maka akan timbul konflik antara dua negara berdaulat. Dan Indonesia sebagai negara berdaulat, kalau terpaksa, akan menerapkan TNI sebagai kekuatan militer yang telah diakui. Pada akhirnya "Irian Barat" sebagai masalah antar negara baru diselesaikan setelah 12 tahun, bukan setahun seperti disepakati oleh Konferensi Meja Bundar.

*

Ada beberapa catatan yang dapat disimpulkan tentang masalah Irian Barat yang mungkin ada relevansinya untuk memahami kompleksitas situasi Papua sekarang.

Pertama, jangan biarkan sebuah konflik diplomatik ngambang dengan perumusan kesepakatan yang tidak konkrit implementasinya. Pasal 2 dari Protokol Penyerahan Kedaulatan yang mengatakan bahwa status "residensi Niew Guinea" akan ditentukan melalui perundingan selama setahun terlalu fleksibel yang membuka peluang bagi Belanda untuk tetap bertahan di Irian Barat.

Kedua, selama 12 tahun beberapa variasi dinamika politik telah berlangsung yang dampaknya mungkin terasa sampai sekarang. Selama 12 tahun telah berlangsung radikalisasi dalam dinamika politik Indonesia. Presiden Soekarno berhasil mengkonsentrasikan kekuasaan pada dirinya melalui Demokrasi Terpimpin. Dan dalam periode ini PKI muncul sebagai kekuatan politik yang menonjol. Sedangkan di Irian Barat, Belanda kecuali mendorong pembangunan infrastruktur dan pendidikan, bereksperimen dengan model negara merdeka. Satu generasi angkatan muda Papua pernah berkenalan dengan propaganda politik Belanda ini.

Ketiga, berbagai pendekatan Indonesia di PBB pada pihak Belanda untuk mencari penyelesaian akhirnya gagal maka diputuskanlah untuk menempuh jalan militer. Dan persiapan ekspedisi militer di bawah pimpinan Mayor Jenderal Soeharto (kemudian menjadi Presiden RI) dilakukan secara besar-besaran. Kalau sampai berlangsung, maka Operasi Mandala merupakan ekspedisi gabungan militer yang terbesar dalam sejarah RI. Namun pada saat terakhir Operasi Mandala dibatalkan, karena pada 15 Agustus 1962 telah tercapai suatu paket persetujuan dengan pihak Belanda di gedung PBB di New York. Agaknya dapat diduga bahwa suatu mentalitas tentara pendudukan sulit dihindarkan, ketika Irian Jaya kembali dibawah naungan kedaulatan RI.

Mentalitas "tentara pendudukan " mungkin tanpa disadari melekat pada sementara pejabat-pejabat yang kemudian ditugaskan dari Jakarta.

Mungkin juga Presiden Soeharto sendiri sebagai mantan Panglima Operasi Merdeka cenderung menangani propinsi Irian Jaya dari sudut pandang seorang panglima sebuah tentara pendudukan.

Karena itu, amatlah penting bahwa Undang-Undang Otonomi Khusus untuk Papua (UU No 21 Tahun 2003) dilaksanakan secara utuh dan tulus. Justru karena produk hukum itu ikut dipersiapkan oleh para intelektual Papua yang bertekad supaya masyarakat Papua tetap

Page 4: Bahan BUgis - Makassar

menjadi bagian dari nasion Indonesia, maka pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono-Jusuf Kalla patut mendorong pelaksanaan otonomi khusus di Papua.

*http://www.suarapembaruan.com/News/2006/04/15/Editor/edit02.htm

Status Sosial dan Kepribadian Masyarakat Bugis Tradisional

Posted by Fawwaz Mughny on May - 2 - 2011

Setidak-tidaknya menjelang akhir abad kesembilan belas, ciri-ciri pribadi merupakan suatu pertimbangan penting, tidak hanya dalam penunjukan para penguasa dan pemimpin, melainkan juga dalam pengabsahan status sosial lewat perkawinan. Kedudukan sosial seseorang ditetapkan oleh siapa yang bisa dikawini olehnya sendiri ataupun oleh anak lelakinya. Di beberapa kerajaan, terutama Wajo, seseorang yang kedudukan kelasnya secara formal tidak cukup tinggi dapat membeli (lewat pembayaran kepada keluarga pengantin wanita) derajat kemurnian darah untuk memungkinkan dilangsungkannya perkawinan. Apabila dimiliki keluwesan semacam itu, tidak hanya keturunan tetapi kualitas pribadi orang tersebut tentu bakal dipertimbangkan, khususnya kedudukan dan kekayaannya. Dikatakan bahwa anak-anak perempuan bangsawan dapat saja kawin dengan cendekiawan, orang kaya, pahlawan (serdadu), atau ulama, sebab dalam keadaan bahaya raja toh membutuhkan kebijaksanaan dari kaum cendekiawan, kekayaan dari orang kaya, keberanian dari para serdadu, dan doa dari alim ulama.

Jadi, itu bukan suatu sistem kelas yang sama sekali tertutup. Secara relatif adalah mudah bagi seorang perempuan untuk menaikkan derajatnya lewat perkawinan (dan keluarganya ikut menikmati kenaikan prestise ini sampai batas tertentu), tetapi seorang laki-laki dapat meningkatkan statusnya hanya dengan mendapatkan kedudukan atau kekayaan lewat usahanya sendiri. Kompetisi, yang merupakan ciri khas dari suatu masyarakat yang berorientasikan prestasi, dengan demikian ternyata hadir juga dalam apa yang secara sepintas lalu tampak sebagai suatu masyarakat yang dihubungkan dengan status. Orientasi pada prestasi ini dicerminkan dalam karakterisasi kepribadian pria yang dikehendaki yaitu bercita-cita tinggi, mempunyai daya saing, agresif, bangga, berani, dan sadar akan status. Orang semacam itu dipandang mampu untuk berhasil dalam masyarakat dan untuk meningkatkan prestise dan kedudukannya sendiri serta kelompok keluarganya.

Usaha seorang laki-laki untuk meningkatkan status sosialnya akan terancam oleh setiap penurunan status dari seorang sanak keluarga wanita, misalnya kalau seorang saudara perempuannya kawin dengan seseorang di bawahnya. Dengan demikian, perkawinan sudah diatur dengan seseorang yang sesuai yaitu ketika sang gadis masih sangat muda, seringkali malah baru berumur tiga belas atau empat belas tahun. Gadis diharapkan bersikap halus, pemalu dan penurut. Mereka dilindungi terhadap hubungan dengan orang lak-laki di luar keluarga dekatnya. Juga, dianggap tidak layak bagi seorang perempuan untuk berada sendiri dengan seorang laki-laki yang bukan keluarga dekatnya. Kejadian semacam itu membawa malu kepada keluarga, dan kalau orang perempuan itu bermartabat, dianggap membawa bencana bagi kerajaan. Kemudian menjadi kewajiban orang laki-laki yang terhina, khususnya saudara laki-lakinya, untuk membalas dengan membunuh orang yang bersalah itu. Kalau perempuan tersebut belum kawin, rasa malu dapat dihindari hanya kalau pasangan itu dapat

Page 5: Bahan BUgis - Makassar

dikawinkan secara resmi. Suatu upacara perdamaian dengan keluarga pihak wanita dapat diselenggarakan, sebelum pasangan yang malang itu tertangkap dan dibunuh.

Dalam suasana persaingan dan balas dendam ini, tidak mengherankan kalau orang-orang Bugis dan Makassar seringkali digambarkan berwatak panas, keras kepala, sombong, dan sukar diatur.

Sistem Pemerintahan Tradisional Masyarakat Bugis Makassar

Posted by Fawwaz Mughny on May - 2 - 2011

Masyarakat dibagi menjadi tiga kelas besar yaitu aristokrasi, orang merdeka, dan budak. Orang-orang merdeka merupakan bagian terbesar penduduk, Sembilan puluh persen lebih. Adapun budak, baik secara turun temurun maupun orang-orang yang terikat utang, merupakan satu kelompok kecil di bagian masyarakat paling bawah, sedangkan bangsawan merupakan lapisan masyarakat sangat tipis di atas. Namun, golongan bangsawanlah yang menguasai tanah dan memegang posisi monopoli atas kekuasaan. Golongan ini memisahkan diri dari golongan masyarakat lainnya lewat diberlakukannya peraturan pengeluaran yang ketat, penggunaan sebutan-sebutan khusus seperti Andi, Karaeng, Arung, Datu dan sebagainya, dan larangan keras terhadap para putri bangsawan untuk kawin dengan pria dari lapisan bawahannya. Larangan ini, bersama-sama dengan peraturan bahwa semua anak dari pria bangsawan termasuk kelas itu, memastikan bahwa keturunan yang diakui dari kaum bangsawan adalah orang bangsawan juga. Pekerjaan utama bangsawan adalah bidang pemerintahan, khususnya mengatur penggunaan tanah dan menyelesaikan persengketaan. Baik kedudukan politik maupun kekuasaan ekonomi berkaitan erat dengan status kelas, karena pada umumnya diterima bahwa tidak ada orang yang dapat memaksakan kekuasaan atas orang lain yang berpangkat lebih tinggi daripada dia sendiri.

Dilihat dari bawah, para anggota bangsawan semuanya dianggap sebagai ana’ karaeng (anak raja), tetapi di kalangan bangsawan sendiri dilakukan pembedaan yang sangat teliti. Unsure patrilinier dan matrilinier kedua-duanya berlaku. Setiap anak yang ayahnya bangsawan adalah bangsawan juga, apapun kelas ibunya, akan tetapi, di kalangan bangsawan tinggi tingkatan ditentukan oleh kelas sang ibu. Tingkatan tertinggi, ana’ matola atau anak patola, adalah anak-anak perempuan keturunan bangsawan asli. Tingkatan terendah di kalangan bangsawan adalah anak-anak yang ibunya adalah orang bebas, atau budak, mereka dikenal sebagai ana’ cera’. Di antara kedua tingkatan itu, dalam keanekaragaman peringkat yang hamper tidak terhitung, adalah anak-anak yang kedua orangtuanya dari kalangan bangsawan akan tetapi salah seorang, atau kedua-duanya bukan ana’ matola. Raja dan kepala-kepala yang penting lainnya dapat saja laki-laki atau perempuan, tetapi haruslah ana’ matola.

Para pemimpin utama kerajaan seringkali adalah sanak keluarga dekat raja, yang tingkatannya sama tinggi atau hamper sama tinggi dengan sang penguasa sendiri. Dalam beberapa hal mereka ini adalah penguasan bagian wilayah kerajaan atau kerajaan bawahan, dalam hal lain mereka tampak mempunyai fungsi riil sebagai bagian dari kelompok kerajaan. Para pemimpin senior ini merupakan hadat, yaitu dewan yang fungsi utamanya ialah member nasehat kepada raja dan membantunya dalam memecahkan persengketaan, tetapi juga mempunyai kekuasaan besar dalam pemilihan dan penurunan seorang raja.

Page 6: Bahan BUgis - Makassar

Sekalipun raja yang sedang memerintah mempunyai pengaruh besar dalam menetapkan seorang pengganti, hadat inilah yang secara formal menegaskan pilihan tersebut. Menurut tradisi, sifat-sifat seorang raja yang dikehendaki adalah bahwa ia (laki-laki atau perempuan) haruslah jujur, mampu, murah hati dan berani. Ada kepercayaan umum bahwa sifat-sifat semacam itu diwarisi, dan dengan demikian didapati terutama sekali di kalangan kaum bangsawan tertinggi, golongan ana’ matola, sekalipun hadat mengakui bahwa ada raja kemungkinan determinisme genetika mereka salah dalam menilai kualitas kepemimpinan. Tentulah seorang calon dari keturunan murni akan mendapat perhatian utama, karena kewibawaan orang semacam itu akan kurang dipertanyakan jika dibanding dengan kewibawaan seseorang yang berderajat lebih rendah, betapapun bijaksana atau beraninya.

Seseorang yang berhak menjadi raja karena keturunan, yang ditunjuk demikian oleh penguasa sebelumnya, dan yang memperlihatkan sifat-sifat kepemimpinan yang diharapkan, dapat memusatkan perhatian pada pengembangan kekayaan, wilayah, dan kekuasaan kerajaan. Seseorang yang kekurangan satu di antara persyaratan ini mungkin sekali harus memusatkan diri pada usaha mempertahankan kedudukannya terhadap orang lain yang berdarah lebih murni, atau lebih bersemangat, yang juga menyatakan berhak atas tahta.

Bagaimanapun, keberhasilan akan bergantung untuk sebagian besar pada hubungan penguasa dengan para pemimpin bawahan atau pada kemampuannya menghimpun jumlah pengikut yang cukup besar, yang kesetiaannya dapat diandalkan oleh penguasa tersebut. Dalam beberapa kejadian kelompok keluarga penguasa merupakan inti dari pengikut. Akan tetapi karena ada persaingan untuk kedudukan dalam kelompok keluarga tersebut, para anggota yang dipandang berstatus hampir sama dan karena perluasan kekuatan memerlukan jumlah pengikut yang lebih besar, maka seorang penguasa karena kebutuhan akan berpaling ke luar lingkungan keluarga. Salah satu cara untuk mendapatkan pengikuti yang setia adalah memberi tanah kedudukan.

Teknik-teknik kepemimpinan tradisional lain yang dikenal, yang dapat digunakan baik untuk menghimpun pengikut maupun dalam proses memerintah yang sebenarnya, digambarkan sebagai: bujuk, justai, dan pukul. Bujuk atau pujian, harus yang pertama-tama dicoba, kalau ini gagal, berikan janji, mungkin kedudukan tinggi boleh ditawarkan tetapi tidak perlu dipenuhi. Dan akhirnya, bagi mereka yang menolak bujukan, kekerasan dapat diterapkan untk mendatangkan hasil yang diingini. Tetapi yang tersebut belakangan harus diterapkan dengan hati-hati, sebab seorang lawan yang terdesak sampai ke satu sudut akan lebih menyukai kematian daripada kompromi, ini karena menyerah dipandang sebagai aib yang tidak tertanggungkan.

Kaum bangsawan dari tingkatan lebih rendah memerintah satuan-satuan bawahan kerajaan, atau menjadi anggota pengikut pribadi penguasa. Ada keluwesan yang cukup besar dalam komposisi wilayah kerajaan. Sekalipun batas-batas satuan tertentu, atau “wilayah inti”, mungkin ditetapkan cukup tepat, para pemimpin wilayah bawahan ini, terutama yang terletak di perbatasan antara kerajaan-kerajaan besar, mungkin saja mengalihkan kesetiaan mereka kepada penguasa lainnya yang menurut anggapan mereka lebih mampu memberikan kedamaian bahkan perlindungan, atau kesempatan untuk mengumpulkan kekayaan dan petualangan. Karena kekeluargaan diperhitungkan secara bilateral, dan karena terjadi banyak hubungan perkawinan di kalangan bangsawan Sulawesi Selatan, kebanyakan pemimpin sedikit banyak bersaudara satu sama lain, dan juga dengan para pemimpin yang lebih tinggi dan yang lebih rendah. Hubungan dengan kerajaan-kerajaan lain, dengan pemimpin bawahan atau dengan para pengikut, seringkali diperkuat dengan perkawinan, dan perkawinan itu

Page 7: Bahan BUgis - Makassar

sendiri merupakan ungkapan formal dari hubungan yang sederajat atau lebih rendah dari pihak-pihak yang terlibat.

Hierarki para pemimpin dan kerajaan ini berada di atas masyarakat desa, dan dianggap telah berkembang daripadanya. Desa-desa tampaknya mula-mula dihuni oleh para anggota dari satu kelompok keluarga, yang bersama memuja suatu hiasan, atau barang, yang dipandang mengandung kekuatan gaib dan diwarisi dari para leluhur yang mula-mula memilikinya. Kepercayaan pada kekuatan gaib pusaka keluarga itu merupakan suatu pusat pemersatu untuk kelompok keluarga itu. Dan kepercayaan pada kekuatan gaib tempat-tempat tertentu seperti gua, pegunungan, puncak gunung, pohon, telaga memberikan kohesi spiritual kepada masyarakat desa itu ketika orang-orang yang bukan keluarga pindah ke daerah tersebut. Tampaknya, telah terjadi migrasi intern yang cukup besar dalam daerah Bugis dan Makassar, dan tidak hanya orang-orang asing masuk ke dalam desa yang sudah ada, melainkan kelompok-kelompok penduduk desa akan memisahkan diri dari permukiman induk dan mendirikan desa bawahan di dekatnya. Setiap masyarakat desa memilih pemimpinnya sendiri, biasanya dari keturunan pendiri desa. Hubungan dipertahankan antara permukiman asal dan permukiman yang kemudian timbul daripadanya, secara keseluruhan hal ini kelak mungkin merupakan inti suatu kerajaan kecil.

Mungkin mula-mula sebagai sarana untuk menyelesaikan persengketaan antara satuan-satuan yang berdekatan, atau sebagai pertahanan terhadap gangguan dari kelompok-kelompok yang lebih jauh dan lebih kuat, maka para pemimpin satuan lalu membentuk suatu dewan yang berkuasa, yaitu hadat dan selanjutnya para pemimpin ini memilih di antara mereka seorang penguasa konfederasi. Tiap satuan tetap mempunyai otonomi cukup besar dalam mengatur urusan mereka sendiri, dan kekuasaan kepala federasi itu sangat bergantung pada hubungannya dengan para pemimpin bawahan dan pada kewibawaan pribadinya.

Hubungan berdasar perjanjian antara penguasa dan rakyat ditandai dengan sumpah yang diambil dalam upacara penobatan, atau dalam upacara-upacara yang lebih sering untuk masa tanam dan masa panen. Dalam upacara penobatan, hadat biasanya bertindak sebagai wakil rakyat. Pada pokoknya, penguasa berjanji untuk memberikan keadilan dan perlindungan terhadap lawan dan kelaparan, yakni sebagai imbalan bagi kesetiaan rakyat dan atas kesediaan mereka membajak dan memanen tanahnya.

Kata kunci untuk artikel ini:

I Lagaligo

Bisa dibilang I Lagaligo Putra Sawerigading merupakan perpaduan antara mitos dan sejarah. Namun demikian, I Lagaligo sudah terlanjur melegenda baik di tanah Bugis maupun di daerah lain bahkan menjadi legenda dunia yang dibicarakan banyak orang. Dari  sekian versi tentang Sejarah Bugis I Lagaligo PUtra Sawerigading dapat kami paparkan secara ringkas di sini.

Epik ini dimulai dengan penciptaan dunia. Ketika dunia ini kosong (merujuk kepada Sulawesi Selatan), Raja Di Langit, La Patiganna, mengadakan suatu musyawarah keluarga dari beberapa kerajaan termasuk Senrijawa dan Peretiwi dari alam gaib dan membuat

Page 8: Bahan BUgis - Makassar

keputusan untuk melantik anak lelakinya yang tertua, La Toge’ langi’ menjadi Raja Alekawa (Bumi) dan memakai gelar Batara Guru. La Toge’ langi’ kemudian menikah dengan sepupunya We Nyili’timo’, anak dari Guru ri Selleng, Raja alam gaib. Tetapi sebelum Batara Guru dinobatkan sebagai raja di bumi, ia harus melalui suatu masa ujian selama 40 hari, 40 malam. Tidak lama sesudah itu ia turun ke bumi, yaitu di Ussu’, sebuah daerah di Luwu’, sekarang wilaya Luwu Timur dan terletak di Teluk Bone.

Batara Guru kemudian digantikan oleh anaknya, La Tiuleng yang memakai gelar Batara Lattu’. Ia kemudian mendapatkan dua orang anak kembar yaitu Lawe atau La Ma’dukelleng atau Sawerigading (Putera Ware’) dan seorang anak perempuan bernama We Tenriyabeng. Kedua anak kembar itu tidak dibesarkan bersama-sama. Sawerigading ingin menikahi We Tenriyabeng karena ia tidak tahu bahwa ia masih mempunyai hubungan darah dengannya. Ketika ia mengetahui hal itu, ia pun meninggalkan Luwu’ dan bersumpah tidak akan kembali lagi. Dalam perjalannya ke Kerajaan Tiongkok, ia mengalahkan beberapa pahlawan termasuklah pemerintah Jawa Wolio yaitu Setia Bonga. Sesampainya di Tiongkok, ia menikah dengan putri Tiongkok, yaitu We Cudai.

Sawerigading digambarkan sebagai seorang kapten kapal yang perkasa dan tempat-tempat yang dikunjunginya antara lain adalah Taranate (Ternate di Maluku), Gima (diduga Bima atau Sumbawa), Jawa Rilau’ dan Jawa Ritengnga, Jawa Timur dan Tengah), Sunra Rilau’ dan Sunra Riaja (kemungkinan Sunda Timur dan Sunda Barat) dan Melaka. Ia juga dikisahkan melawat surga dan alam gaib. Pengikut-pengikut Sawerigading terdiri dari saudara-maranya dari pelbagai rantau dan rombongannya selalu didahului oleh kehadiran tamu-tamu yang aneh-aneh seperti orang bunian, orang berkulit hitam dan orang yang dadanya berbulu.

Sawerigading adalah ayah I La Galigo (yang bergelar Datunna Kelling). I La Galigo, juga seperti ayahnya, adalah seorang kapten kapal, seorang perantau, pahlawan mahir dan perwira yang tiada bandingnya. Ia mempunyai empat orang istri yang berasal dari pelbagai negeri. Seperti ayahnya pula, I La Galigo tidak pernah menjadi raja.

Anak lelaki I La Galigo yaitu La Tenritatta’ adalah yang terakhir di dalam epik itu yang dinobatkan di Luwu’.

Isi epik ini merujuk ke masa ketika orang Bugis bermukim di pesisir pantai Sulawesi. Hal ini dibuktikan dengan bentuk setiap kerajaan ketika itu. Pemukiman awal ketika itu berpusat di muara sungai dimana kapal-kapal besar boleh melabuh dan pusat pemerintah terletak berdekatan dengan muara. Pusat pemerintahannya terdiri dari istana dan rumah-rumah para bangsawan. Berdekatan dengan istana terdapat Rumah Dewan (Baruga) yang berfungsi sebagai tempat bermusyawarah dan tempat menyambut pedagang-pedagang asing. Kehadiran pedagang-pedagang asing sangat disambut di kerajaan Bugis ketika itu. Setelah membayar cukai, barulah pedagang-pedagang asing itu boleh berniaga. Pemerintah selalu berhak berdagang dengan mereka menggunakan sistem barter, diikuti golongan bangsawan dan kemudian rakyat jelata. Hubungan antara kerajaan adalah melalui jalan laut dan golongan muda bangsawan selalu dianjurkan untuk merantau sejauh yang mungkin sebelum mereka diberikan tanggung jawab. Sawerigading digambarkan sebagai model mereka.

Rumpun bugis  Pajaga Makkunrai (seni pertunjukan tradisional Bugis) Pajoge Angkong ( tari pajaga makkunrai)

Page 9: Bahan BUgis - Makassar

Sere Bissu maggiri ( upacara adat di Kab. Pangkep oleh parra bissu) Maddoja Bine (mitos sangiangseri dan meong palo di Kab. Barru) Pajaga Bone Balla (tari bangsawan  diistana kerajaan Luwu) Salonreng (Tari petua Kerajaan dipakai diberbagai upacara Kerajaan Gowa) Paddekko ( pertunjukan rakyat menyamput panen) Sere jaga (hulu dari pertujukan Pakarena) Dengka Tulembang (permainan Rakyat menyambut panen) Kondo Buleng (teater rakyat makassar) Gandrang Bulo (permainan anak-anak makassar dangan nyanyian-nyanyian jenaka) Pasempa ( permainan rakyat masyarakat Balangloe Kab. Jeneponto) Rumpun Mandar Tudduq Sarabadang (ragam tudduq tari dari daerah Mandar) Pallake (Sandra Tari, bisa dipentaskan diberbagai upacara atau pelantikan Raja) Mappande Banua (Upacara adat 7 hari 7 malam ) Sayyang Pattudu (Upacara adat Rumpun Mandar) Pangayo (tari tradisional pangayo) Paranding ( tarian perang rumpun toraja) Pagellu (tari bangsawan rumpun toraja) Ma`badong (pada upacara kematian Rambu solo) Burake (tari penyembahan ats kepercayaan Alu todolo) Ma`papangan (Ritual atau upacara adat Rumpun Toraja) Kaliao ( prisai yang digunakan perang) Pasere ( tari peninggalan Kerajaan Tondong dan Bulo-bulo Kab. Sinjai) Mappadendang Ogi ( upacara menjelang tanam dan sesudah panen padi, serta

menyambut pasang dan sesudah surut air danau tempe)

 

Alat-alatt Musik Tradisional Sulawesi Selatan

 

Genrang Ogi (gendang Bugis) Gandang Simbuang (gendang toraja) Suling lembang (suling toraja) Suling Bulatta (suling bugis) Gesong Kesong (keso-keso `dipakai oleh pasinrilik) Bacing Pacing (menyerupai pui-pui, terbuat dari bambu berukuran 10 cm dan terdapat

lidah sebagai sumber getar bunyi) Appo, Anak Bacing. kacaping,Gandrang Mangkasarak

Tradisi dan kepercayaan Masyarakat Islam Bugis Makassar Sumber : http://pangkep.go.id/

1. Tradisi Pembacaan Kitab Barzanji

Page 10: Bahan BUgis - Makassar

Seperti diketahui. Agama islam masuk di Sulawesi Selatan dengan cara yang sangat santun terhadap kebudayaan dan tradisi masyarakat Bugis Makassar. Bukti nyata terhadap kesantunan Islam terhadap budaya dan tradisi Bugis Makassar dapat dilihat dalam tradisi-tradisi keislaman yang berkembang di Sulawesi Selatan hingga kini.

Seperti tradisi mabbarazanji, yakni tradisi pembacaan Barzanji. Sebuah kitab yang berisi sejarah. Nabi Muhammad SAW dalam setiap hajatan dan acara doa-doa selamatan, bahkan ketika membeli kendaraan baru, dan lain sebagainya. Tradisi Mabbarazanji ini merupakan bukti terjadinya asimilasi damai antara budaya Bugis Makassar.

Sebelum kedatangan Islam di Sulawesi Selatan, setiap ada acara atau ritual adat maka seringkali diisi acara pembacaan naskah I La Galigo dan Meongpalo KarellaE. Tampaknya para penyebar agama Islam tidak berusaha mematikan kreatifitas tradisional orang Bugis Makasar, tapi mengislamkanya dengan jalan mengganti bacaan sejarah kehidupan Rasullullah muhammad SAW.

Bukti lain adanya kenyataan bahwa Islam yang berkembang di Sulawesi Selatan adalah islam mistik, Konon ketiga penyiar islam. Datuk Ditiro, Datuk Patimang, Datuk ri Bandang, memang sengaja diutus ke Sulawesi Selatan untuk menyiarkan islam, karena ketiganya adalah penganut islam yang kuat di bidang sufistik (tasawuf). Hal ini dimaksudkan untuk mensinergikan pengetahuan mistik masyarakan Bugis Makassar, yang notabene mereka pelajari dari naskah I La Galigo da Lontara-lontara peninggalan nenek moyang mereka.

Begitu pula pembacaan barzanji (mabbarazanji/akbarazanji) pada setiap perayaan siklud hidup, sebut saja midalnya perayaan : alahere (kelahiran anak), aqeqah (aqiqah),

Appasunna(khitanan), appatamma (menamatkan pendidikan atau bacaan al-quran), appabunting (perkawinan), menre bola (naik rumah), naik ri makkah (akan berangkat ke tanah suci menunaikan ibadah haji), ammateang (kematian), dan lain sebagainya. Pasal perayaan-perayaan tersebut diatas sangat sarat dengan simbol-simbol “kepercayaan lama”

2. Tradisi Perayaan Mulid Nabi, “Ammaudhu”

Dalam masyarakat Bugis makassar, masih sangat kental perayaan-perayaan hari-hari besar islam dengan nuansa dan warna sinkretisme, seperti perayaan Maulid nabi muhammas SAW dengan rentetan acaranya sebagai berikut:

* Appakaramula* Ammone baku* Ammode baku* Angngantara kanre maudu* Pannarimang kanre maudu* A’rate (assikkiri)* Pammacang salawa* Pattoanang* Pabbageang kanre maudu

Perayaan hari – hari besar islam juga menghadirkan pembacaan :"zikiri Barazanji”, selain maulid nabi adalah : Isra Mi’raj, sepuluh muharram, bahkan pada hari raya Idul Fitri dan Idul Adha, masih banyak masyarakat menyelenggarakan barzanji atau mengundang “pabaca

Page 11: Bahan BUgis - Makassar

doank” (pembaca doa, biasanya imam kampung atau anrong guru) kerumahnya untuk membacakan segala jenis dan rupa makanan, yang diiringi bau asap kemenyan.

3. Tradisi Berziarah

Tradisi berziarah biasanya dilaksanakan usai pelaksanaan acara penting dalam hidup seseorang, seperti usai melaksanakan acara perkawinan maka kedua mempelai mengunjungi kuburan (berziarah) ke makam keluarga dan nenek moyangnya.

Tradisi berziarah umum dilaksanakan masyarakat usai melaksanakan sholat Idul Fitri. Sehabis dari masjid atau lapangan langsung menuju ke kuburan umum untuk menziarahi kuburan keluarganya. Disana mereka menabur bunga seraya memanjatkan doa keselamatan keluarga yang telah mendahuluinya serta keselamatan dan berkah bagi yang hidup.

4. Tradisi Memulai Mengaji dan Nipatamma

Tradisi ini berkenaan dengan permulaan mengaji bagi anak-anak di kampong yang “mengaji kampong”.Biasanya dipersyaratkan sebelum memulai mengaji di tuan guru atau pada “guru pangngaji”. Membawa pisang beberapa sisir kerumah sang guru. Pisang itu nantinya “di baca” dirumah sang guru. Sekarang ini, hantaran pisang adapula yang menggantinya dengan barang kebutuhan sembako, seperti beras atau gula untuk sang guru.

Berbesa halnya dengan guru TK/TPA yang umum dikenal sekarang ini, sang guru mengaji (guru panggaji) ini biasanya tidak digaji tapi cukup di balas dengan keharusa anak – anak mengaji ini mengangkat kan air untuk kebutuhan sehari-hari sampai penuh tempat air (baranneng) sang guru. Dalam melakukan tugas ini, anak-anak mengaji saling berganti satu sama lain memenuhi air baranneng tersebut.

Setelah anak-anak mengaji ini menamatkan qur-an kecil (Dzuz amma) atau qur-an besar (30 djuz) maka dipersyaratkan untuk”Nipatamma”, yaitu tradisi mengakhiri suatu kumpulan bacaan dengan hantaran makanan berupa pisang beberapa sisir, makanan sokko’ (beras ketan), yag didalamnya terdapat ayam,telur dan lain sebagainya yang dibaca dalam satu “kappara”(wadah makanan yang disajikan).

5. Tridisi Maleppe (Lebaran)

Tradisi ini bertepatan dengan perayaan hari raya Idul Fitri dan Idul Adha. Secara umum, tradisi dikenal dengan istilah “lebaran” atau “Maleppe”. Sesuai melaksanakan sholat idul fitri atau idul adha. Masyarakat berbondong-bondong saling mengunjungi satu sama lain sesame kerabat handai taulan. Kegiatan kunjung – mengunjung ini di sebut “assiara” (silaturahmi).

Biasa pada rumah-rumah penduduk, umum disajikan makanan khas lebaran, seperti burasa, mandura atau ketupat(ketupat) serta sajian makanan ayam dan ikan bandeng. Pada masyarakat yang masih berbekas kepercayaan lamanya, sajian makanan lebaran tersebut terlebih dahulu harus “dibaca”oleh puang anre guru atau daeng imam (pemuka agama/imam).

6. Tradisi Perayaan 10 muharram (asyura)

Tradisi ini biasanya ditandai dengan ramainya masyarakat Bugis Makassar pada daerah-daerah pedalaman membuat bubur yang di sebut “jepe syura”. Bubur tersebut dihiasi dengan

Page 12: Bahan BUgis - Makassar

berbagai macam potongan-potongan panjang telur dadar warna-warni, tumpi-tumpi kecil, ikan, udang, dan lain sebagainya.

7. Tradisi Je’ne – je’ne Sappara

8. Kepercayaan masyarakat Tentang makhluk Halus

Meski dalam islam,hanya umum dikenal syetan dan jin sebagai penggoda manusia dalam berbuat amal kebajikan, amun bagi orang Bugis Makassar, terkadang lebih takut kepasa “mahkluk halus” yang dianggap suka mengganggu dan menimbulkan malapetaka bagi manusia, seperti poppo (peppo), parakang, kalimpao, dan dongga(longga).

Orang-orang tua Bugis Makasar juga terkadang menanamkan kepercayaan itu pada anaknya dengan berusaha menakuti-akutinya bahwa di suatu tempat, ada popponya, ada parakangnya dan lain sebagainya.Parakang sebenarnya berwujud manusia, tetapi dalam mencari mangsanya ia berubah wujud menjadi binatang, kerbau, sapi, atau anjing.

Orang yang menjadi “Parakang” biasanya tidak mengetahui bahwa dirinya parakang sebab yang berubah hanyalah rohnya. Parakang mengganggu mangsanya dengan memakan dan menyedot organ tubuh bagian dalam seprti hati, usus, dan jantung.(Ahmad Saransi,2003).

Itulah sebabnya seperti lazin kita dengar, “parakkang paiso pallo”. Saat ini sudah jarang kita dengar orang memperbincangkan parakang ini. Terakhir kali penulis mendengarnya dari cerita penduduk pangkep sekitar tahun 1980-an.Tidak pernah juga ada keterangan mengenai orang yang mempunyai “ilmu parakan” itu. Cerita tentang parakan ini umumnya berkembang dari mulut ke mulut di daerah-daerah pedalaman. Karena itu, bisa jadi cerita tentang parakang ini hanya cerita rekayasa atau strategi orang-orang tua dulu untuk menentramkan anaknya agar tidak menangis atau dengan maksud lain.

9. Kepercayaan Masyarakat Mengenai “Allo Nakasa”

Masyarakat Bugis Makasar pangkep juga memiliki kepercayaan mengenai hari-hari pantangan, yang lazim disebut “allo nakasa”. Hari-hari nakasa merupakan hari-hari yang dianggap terlarang melakukan berbagai macam kegiatan dan tindakan, terutama tindakan yang menentukan dalam hidup manusia, seperti penentuan hari menikah, memulai usaha dagang, memulai tanam padi (turun sawah),merantau atau bepergian jauh dan melakukan upacara-upacara adat.

Nakasa terbagi 2 yaitu Nakasa tahunan dan nakada bualanan. Nakasa tahun nan jatuh pada tanggal satu syura (Muharram) dan dalam sepanjang tahun hari tanggal jatuhnya satu muharram itu dianggap “hari Nakasa”. Sementara , nakasa bulanan dilihat berdasarkan perhitunga tertentu, seperti perhitungan esso sibokoreng dan waktu hari pasar.0

Share10

Manusia Bugis, Tradisi, Seni dan Religi

Page 13: Bahan BUgis - Makassar

Senin, 23 Agustus 2010   Hampir semua jenis kesenian tradisional di Sulawesi Selatan - selalu terkait antara religi, tradisi, dan seni. Kenyataan ini memperlihatkan kepada kita betapa kompleksnya kesenian tradisional yang ternyata tidaklah sesederhana seperti yang dibayangkan, di dalamnya terdapat inner power yang bersangkut paut dengan sukma pemilik kesenian itu. Karena itu, manakala seseorang ingin mengusung sebuah kesenian sakral di luar konteksnya tanpa memperhitungkan kesakralannya dan perasaan pendukungnya, maka sukma ini kehilangan auranya, dan yang tertinggal adalah sebuah onggokan kreativitas yang tak berjiwa.

Dalam  Bugis Religion yang terdapat dalam The Encyclopedia of Religion, Mircea Eliade antara lain menulis bahwa meskipun orang-orang Bugis telah menjadi Islam dan beriman, tapi mereka masih memelihara sejumlah tradisi yang bersumber dari elemen-elemen pra-Islam, seperti bissu dan kitab suci La Galigo.. Berbagai ajaran Islam dan Bugis yang mengandung spirit dan unsur-unsur yang sama diadaptasikan dan didialogkan yang kemudian memunculkan warna-warni kebudayaan Islam dengan wajah Bugis, atau kebudayaan Bugis dengan wajah Islam.

Patotoqé sebagai Dewata Séuawaé (dewata yang tunggal) yang diadopsi dari konsep Allah yang Maha Esa - padahal di dalam La Galigo, Dewa tidaklah tunggal, ia beranak-pinak - atau sebaliknya, kita menemukan konsep siriq yang kemudian diadaptasikan dengan konsep jihad. Puncak dari semua itu adalah dikukuhkannya Islam dalam sistem Pangngaderreng di Sulawesi Selatan yang merupakan falsafah hidup manusia Bugis, baik sebagai individu maupun sebagai anggota masyarakat. Ada 5 unsur yang saling mengukuhkan dalam konsep Pangngaderreng ini yaitu, 1) wariq (sistem protokoler kerajaan), 2) adeq (adat-istiadat), 3) bicara (sistem hukum), 4) rapang (pengambilan keputusan berdasarkan perbandingan), dan 5) saraq (syariat Islam). Empat dari yang pertama dipegang oleh Pampawa Adeq (pelaksana adat), sedangkan yang terakhir dipegang oleh Paréwa Saraq (perangkat syariat).

La Galigo sebagai kitab suci dan sumber religi bagi penganut agama To ri Olo orang Bugis mewariskan sejumlah tradisi yang saling kait-mengait dengan berbagai upacara suci dan sakral. Dalam upacara suci dan sakral itu selalu diiringi dengan pemotongan hewan dan pembacaan sureq La Galigo. Itulah kemudian yang dikenal dengan upacara: mappano bine (upacara menidurkan benih padi) menjelang tanam padi.; maccéraq tasiq upacara persembahan dewa laut, ménréq baruga upacara peresmian balairung tempat berlangsungnya upacara keduniaan berlangsung; mattemu taung mengunjungi dan menziarahi kuburan leluhur mereka, dan masih banyak lagi. Semua upacara itu dibarengi berbagai kesenian dan pembacaan episode-episode La Galigo yang episodenya disesuaikan dengan isi dan upacara yang berlangsung. Kesenian yang mengiringinya antara lain séré bissu (joget bissu) maggiriq (para bissu menari sambil menusuk badannya dengan badik) massureq (membaca La galigo), maggenrang (bermain gendang), massuling lontaraq (meniup suling diiringi nyanyian La Galigo), mallae-lae, dan sebagainya.

Seluruh rangkaian upacara ini dilaksanakan oleh tiga komponen yang saling melengkapi, yaitu: 1) Pendeta Bissu, pendeta banci yang bertugas memimpin upacara ritual, 2) sanro, praktisi di belakang layar yang bertugas menyiapkan

Page 14: Bahan BUgis - Makassar

seluruh perlengkapan upacara, dan 3) passureq, pembaca dan penembang La Galigo.

Karena itu, Bissu, sanro, passureq, dan para dewan adat adalah empat warga Bugis yang merupakan pemelihara dan pengawal La Galigo yang berada di garda paling depan yang siap mempertaruhkan apa saja demi kesucian ajaran La Galigo. Mereka pernah ditangkap bahkan dibunuh pada zaman DI-TII berkecamuk di Sulawesi Selatan, mereka pernah dipaksa menjadi Hindu atau dirazia melalui “operasi tobat” di zaman Orde Baru. Mereka tidak bergeming sedikitpun.

Ini memperlihatkan bahwa religi, tradisi, dan seni dalam La Galigo di Sulawesi Selatan memperlihatkan suatu rangkaian sistem yang merupakan satu kesatuan struktural dan fungsional. Karya La Galigo itu sendiri sebagai teks yang berbentuk sastra tak perlu lagi diperdebatkan, konvensi sastranya yang 5 suku kata pada setiap larik yang mencapai ribuan bait, alurnya yang datar, kilas balik dan pembayangan, kompleksitas karakter tokohnya, dan kemasan temanya yang rumit membuat orang susah memahami bagaimana sebuah karya sastra lama ini memiliki semua dimensi sastra modern. Itulah yang menempatkannya sebagai warga sastra dunia.

Sumangeq dan ininnawa begitulah orang Bugis menyebut “sukma” dan “hati nurani” dari prinsip-prinsip hidup yang diwarisinya dari La Galigo. Dengan sumangeq dan ininnawa itulah mereka mengarungi seribu dunia dan menerjemahkannyanya ke dalam kehidupan dunia kekinian.