n karangasem kulonprogo...

36

Upload: others

Post on 08-Oct-2019

7 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

MEDIA Komunikasi dan Informasi Pusat Pengembangan dan Pemberdayaan Pendidik dan Tenaga Kependidikan Ba-hasa ini merupakan salah satu media informasi dan komunikasi antar-unit di lingkungan Departemen Pendidikan

Nasional, terutama antara PPPPTK Bahasa dengan PPPPTK lain, LPMP, Direktorat-Direktorat yang relevan, pendidik, dan tenaga kependidikan bahasa.

Media Informasi dan Komunikasi ini memuat informasi tentang kebahasaan dan pengajarannya serta kegiatan yang berkaitan dengan pendidikan dan pelatihan guru bahasa. Kami mengundang para pembaca untuk berperan serta menyumbangkan buah pikiran yang sesuai dengan misi media ini, berupa pendapat atau tanggapan tentang bahasa, pengajarannya, dan ulasan tulisan pada media ini serta tulisan di bidang non-pendidikan bahasa.

Kami akan memperbaiki redaksional tulisan atau meringkas naskah yang akan terbit tanpa mengubah materi pokok tulisan.

Bagi penulis yang artikel atau tulisan beritanya dimuat akan diberi honorarium yang pantas. [E]

Nama geografi, khususnya nama kota/wilayah di Indonesia, ada

yang ditulis dalam dua bentuk: ada yang dipisah dan ada pula yang di-rangkai. Untuk keseragaman penu-lisan nama geografi itu, Pusat Bahasa bekerja sama dengan Bakosurtanal*, telah menetapkan pembakuannya.

Pada prinsipnya nama geografi ditulis dalam satu kata atau serang-kai, kecuali (1) yang terdiri dari tiga unsur atau lebih dan (2) yang berupa arah mata angin. Dengan demikian, nama wilayah geografi yang hanya terdiri atas dua unsur ditulis serang-kai. Berikut contohnya:

Di pihak lain, nama wilayah geo-grafi yang terdiri dari tiga unsur atau lebih tetap ditulis terpisah. Misal-nya:

Ogan Komering UluOgan Komering Ilir

Karangasem Kulonprogo TulungagungBandaaceh Jayapura MusirawasBiaknumfor Kotabaru PematangsiantarJayawijaya Bungotebo Deliserdang

Yapenwaropen Jayapura TanjungbalaiTanjungjabung Majalengka Labuhanbatu

Sukabumi Banjarnegara BanyuwangiBanyumas Nusakambangan BanjarmasinTanatoraja Salatiga PangkajeneAcehbesar Kualatungkal Bukittinggi

Baritokuala Kapuashulu PangkalpinangPalangkaraya Balikpapan Tanahlaut

Baturaja Bulukumba BandarlampungRejanglebong Parepare MuaraenimBatanghari Sangihetalaud Banyumas

Padangpanjang Padangpariaman PurbalinggaUjungpandang Tanahdatar Tasikmalaya

Arah mata angin yang digunakan sebagai nama wilayah geografi juga tetap ditulis terpisah meskipun na-ma wilayah itu hanya terdiri dari dua unsur. Misalnya:

Jakarta BaratKalimantan Utara

Sumatra BaratJawa Barat

Nama daerah/wilayah geografi yang masih ditulis dalam bahasa daerah tetap ditulis sesuai dengan nama aslinya, tidak diindonesiakan atas pertimbangan tertentu, seperti pertimbangan sejarah, asal-usul dae-rah, atau budaya khas daerah setem-pat. Misalnya:

Banyuasin (bukan Airasin)Kalianyar (bukan Sungaibaru)

Tanahabang (bukan Tanah-merah)

Sumber: Buku Praktis Bahasa Indonesia/Dendy Sugono (ed.). Jakarta: Pusat bahasa, 2003.

*Badan Koordinasi Survei dan Pemetaan Nasional

Para pembaca yang budiman, pada edisi

akhir tahun ini Ekspresi hadir dalam

suasana peringatan hari guru. Berbagai upaya dilakukan

pemerintah untuk meningkatkan kualitas pendidikan,

mulai dari penetapan alokasi dana sebesar 20% dalam

APBN hingga menetapkan peringatan hari guru yang

setiap tahunnya diupacarakan setiap tanggal 25 Novem-

ber. Diawali dengan artikel utama tentang parameter

peningkatan kualitas pendidikan dari sisi profesionalitas

guru. Mereka adalah manusia terpilih secara intelektual

dan dengan rasional memilih profesi ini sebagai pilihan

hidup dengan berbagai konsekuensinya.

Artikel mengenai lintas budaya mengupas tentang

urgensi pengajaran nilai budaya dalam pemelajaran ba-

hasa. Seperti kata pepatah, lain ladang lain belalang,

lain lubuk lain ikannya, seperti itulah antara bahasa dan

budaya dua aspek yang integral agar komunikasi dapat

terjalin dengan baik.

Bagi peminat analisis tes, topik berikutnya yang juga

penting adalah pengenalan terhadap model statistik un-

tuk analisis data tes. Model Rasch, ditemukan oleh ahli

statistik asal Denmark. Selanjutnya pembaca akan mene-

mukan strategi belajar dan metode audio-lingual dalam

pemelajaran bahasa. Fungsi alih kode dapat menjadi in-

spirasi bagi pengajar bahasa asing untuk mendekatkan-

nya dengan bahasa ibu.

Satu artikel dari pengamat pendidikan membawa kita

pada penyadaran bahwa peran orang tua sangan penting

dalam pemelajaran bahasa Inggris bagi pembelajar belia.

Edisi kali ini diakhiri dengan berita foto seputar program

kegiatan yang dilaksanakan PPPPTK Bahasa.

Akhir kata, Ekspresi hadir untuk memperkaya penge-

tahuan bidang bahasa dan bidang pendidikan pada

umumnya. Semoga bermanfaat.

Senarai Bahasa

Salam Redaksi

Laporan Utama

Guru, Masihkah Nomor Satu? [4]

Bahasa dan Sastra

Lintas Budaya dalam Pengajaran Bahasa

Asing [6]

Penerapan Model Rasch pada Tes Biner

[12]

Peran Guru Bahasa Inggris dan Orang Tua

bagi Pemelajar Belia [14]

How Learning Styles Affect Learners’

Strategies and Activities in Language

Learning [23]

What the Audio-Lingual Method Offers

to English Language Teachers: An Oral

Proficiency-Based Critical Discussion

[27]

Fungsi Alih Kode dalam Diklat Bahasa

Inggris [32]

Serambi Foto

Pembina Kepala PPPPTK Bahasa Muhammad Hatta Penanggung Jawab Kasi Data dan Informasi Nurlaila Salim Pemimpin

Redaksi Adriati Redaktur Pelaksana Gunawan Widiyanto Redaktur Erlia Novita, Ririk Ratnasari, Lenni Nurliana, Puspita

Dara Pratiwi, Sugihartati Puji Rahayu Reporter Neneng Tsani, Joko Sukaton Desain Sampul dan Tata Letak Yusup

Nurhidayat Distribusi dan Sirkulasi Widayat, Farida AR Alamat Redaksi Pusat Pengembangan dan Pemberdayaan Pendidik

dan Tenaga Kependidikan Bahasa Seksi Data dan Informasi Jl. Gardu, Srengseng Sawah, Jagakarsa, Jakarta Selatan 12640

Kotak Pos 7706 JKS LA Telp. (021) 7271034, 7868570 Faks. (021) 7271032 Website: www.pppptkbahasa.net

� Edisi 12 Tahun VI Desember 2008

LAGU Hymne Guru terde-ngar menggaung di

lapangan upacara hari itu, Selasa 25 Nopember 2008. Hari itu adalah hari yang istimewa bagi lebih dari 2,7 juta guru di seluruh Indonesia. Pasalnya, mereka baru saja merayakan hari besar dalam sejarah profesi mereka. Guru merupakan profesi yang istimewa.

Ditilik dari asal katanya, guru be-rasal dari bahasa Sansekerta ”guru” yang apabila diartikan secara harfiah adalah ”berat”. Merujuk arti tersebut, tugas seorang guru memang tidak ringan. Hal ini karena seorang guru tidak hanya menjadi teladan bagi muridnya tetapi juga menjadi teladan bagi masyarakat sekitarnya, sebagai-mana ungkapan dalam bahasa Jawa, ”guru” itu ”digugu” dan ”ditiru”.

Menjadi seorang guru memang bukan pekerjaan yang mudah, da-ri tahun ke tahun guru semakin di-tuntut untuk profesional, dan tan-tangan yang dihadapi juga semakin sulit. Oleh karena itulah, melalui peringatan hari guru ini pemerintah mengajak semua pihak yang terkait dengan dunia pendidikan, khususnya guru, untuk meningkatkan profesi-onalisme, kesejahteraan, perlindung-an, dan martabat guru untuk mewu-judkan pendidikan yang bermutu.

Untuk membentuk guru yang profesional pemerintah telah mener-

bitkan UU No. 14 tahun 2005. Dalam UU itu dikatakan, seorang guru di-tuntut memiliki empat kompetensi, yakni (1) kompetensi profesional, (2) kompetensi pedagogik, (3) kom-petensi kepribadian, dan (4) kompe-tensi sosial.

Kompetensi kepribadian dan so-sial merupakan alat bantu untuk meng-ukur martabat guru. Kehidupan dunia yang semakin global dan persaingan yang ketat membuat orang semakin berpikir instan demi mengejar jati diri dan identitas. Tidak jarang manusia-manusia modern ini hanya berpikir cepat untuk meraih semua keinginan sehingga mereka tidak segan untuk menempuh jalan pintas, kursi empuk, jabatan, titel. Bahkan keilmuan pun tak jarang disergap melalui cara-cara yang tidak bermoral, penyuapan, ko-rupsi, dan berbagai cara praktis amor-al lainnya. Dalam kondisi masyarakat yang sedemikian carut marut inilah guru dituntut untuk tetap konsisten di jalur kejujuran dan moral serta me-langgengkan petuah, petatih-petitih agar tidak hanya menjadi slogan mo-ral yang kehilangan jiwa spritualnya.

Ditilik dari unsur kata, kompe-tensi pedagogik adalah kemampuan mengelola pemelajaran peserta didik yang meliputi pemahaman terha-dap peserta didik, perancangan dan pelaksanaan pemelajaran, evaluasi hasil belajar, dan pengembangan

Terpujilah wahai engkau ibu bapak guruNamamu akan selalu hidup dalam sanubarikuSetiap baktimu akan kuukir di dalam hatikuEngkau sebagai pelita dalam kegelapan......

MENJADI SEORANG GURU MEMANG

BUKAN PEKERJAAN YANG MUDAH, DARI TAHUN KE TAHUN GURU SEMAKIN

DITUNTUT UNTUK PROFESIONAL, DAN TANTANGAN YANG DIHADAPI JUGA SEMAKIN SULIT.

RirikRatnasari

peserta didik untuk mengaktualisa-sikan berbagai potensi yang dimili-kinya. Keahlian mendidik merupakan syarat mutlak yang harus dimiliki oleh seorang guru. Keahlian ini tidak akan bisa tergantikan oleh teknologi secanggih apapun karena mendidik merupakan kodrat insaniyah.

Sebagaimana dicatat dalam ba-nyak buku dan peraturan bahwa men-didik adalah mengubah perilaku sese-orang menjadi lebih baik. Untuk itu, keahlian ini menjadi keharusan yang tidak dapat ditawar lagi. Mendidik bukanlah pekerjaan yang mudah, mendidik tidak hanya menyiapkan dan merancang seperangkat pro-gram pemelajaran tetapi juga meli-batkan aspek-aspek psikologis yang menyangkut perkembangan jiwa dan pengembangan potensi siswa. Dalam konteks inilah, guru dituntut dan sekaligus ditantang untuk dapat mengelola kelas dan emosi siswa. Guru harus mampu mengarahkan dan memotivasi siswa untuk menca-pai kehidupan yang bermartabat.

Menengok sejenak ke belakang, pada masanya dulu guru dianggap sebagai mahadewa yang serbatahu. Guru merupakan rujukan tempat bertanya tentang segala hal, bukan hanya oleh anak didiknya melainkan

juga oleh masyarakat di sekitarnya. Dengan kata lain, guru merupakan sumber informasi. Namun, peran guru tersebut kini telah digantikan oleh “anak buah” teknologi yang leb-ih canggih. Lewat media televisi dan internet masyarakat dapat mengak-ses informasi secara lebih cepat dan akurat. Oleh karena itu, guru harus selalu memutakhirkan (update) ke-mampuan akademis dan pengetahu-annya tentang perkembangan dunia.

Profesionalisme dan kesejahtera-an adalah ibarat dua sisi dari seke-ping mata uang, kedunya mempunyai peran penting yang komplementer. Untuk menjadi guru yang profesional harus ada jaminan kesejahteraan bagi kehidupannya. Hal ini logis karena bagaimanapun profesionalime harus ditopang dengan tingkat kesejahtera-an dan ia harus memenuhi unsur well educated, well trained, well paid.

Di mata masyarakat, profesional-isme guru belum begitu diakui seba-gaimana profesi lainnya seperti dok-ter atau pengacara. Ini terjadi akibat kebijakan pemerintah dalam bidang pendidikan yang tidak mempunyai konsep dan arah yang jelas dan berkesinambungan. Sampai saat ini,

guru masih menjadi profesi yang ter-buka sehingga seseorang yang tidak belajar ilmu pendidikan (pedagogis), asalkan mau mengajar dapat saja menjadi guru.

Banyak di antara guru yang tidak mencintai profesinya secara total dan tulus karena pada umumnya mereka memilih profesi guru sebagai pilihan kedua (baca: keterpaksaan) di te-ngah sulitnya mencari pekerjaan. Hal ini pun telah disadari oleh pemerin-tah sebagaimana dalam amanat men-teri pendidikan, yang dibacakan oleh pemimpin upacara bahwa sejak dulu pemerintah menyadari bahwa tidak mudah mendapatkan guru yang pro-fesional.

Mempersembahkan pendidikan bermutu kepada bangsa ini memang bukanlah pekerjaan yang ringan, perlu komitmen dan kerja sama semua pihak. Sebagai sebuah reflek-si, patut dipertanyakan, masihkah guru menjadi orang nomor satu yang memerdekakan generasi Indonesia dari belenggu kebodohan, dan keni-staan di tengah tuntutan yang juga semakin berat? [E]

� Edisi 12 Tahun VI Desember 2008

WidiyatmokoWidyaiswara Bahasa Jerman

PPPPTK Bahasa

Pendahuluan

Bahasa merupakan alat komunikasi dalam kehidupan sehari-hari. Dengan bahasa, komunikasi dapat berjalan dengan

lancar dan baik. Namun, adakalanya bahasa justru dapat meng-hambat komunikasi. Hambatan dalam berkomunikasi mengaki-batkan gagasan, keinginan, dan perasaan penutur tidak tercapai dengan baik. Menurut Hymes, pemahaman latar belakang budaya antarpenutur merupakan salah satu faktor penunjang terjadinya suatu komunikasi yang baik.

Beberapa pakar bahasa mengemukakan teori tentang hubung-an bahasa dan kebudayaan. Ada yang mengatakan bahwa bahasa itu merupakan bagian dari kebudayaan. Seperti yang didefinisikan oleh Nababan bahwa semua sistem komunikasi yang digunakan oleh manusia yang salah satunya adalah bahasa, termasuk dalam pengertian kebudayaan (Chaer 2004:164). Pendapat lain menga-takan bahwa antara bahasa dan kebudayaan saling berhubungan (Wardhaugh 1986: 211). Hubungan bahasa dan kebudayaan dapat bersifat subordinatif dan koordinatif. Menurut Koentjaraningrat, hubungan bahasa dan kebudayaan bersifat subordinatif karena ba-hasa merupakan bagian dari suatu kebudayaan. Bahasa merupak-an salah satu unsur universal yang terkandung dalam kebudaya-an yang ada di dunia. Unsur-unsur lainnya adalah sistem religi dan upacara keagamaan, sistem dan organisasi kemasyarakatan, sistem pengetahuan, kesenian, sistem mata pencaharian hidup, dan sistem teknologi dan peralatan (Koentjaraningrat, 1990:2). Hubungan koordinatif bersifat saling memengaruhi dan mempu-

nyai kedudukan yang sama tinggi dan sederajat. Kebudayaan mengatur interaksi dan sistem organisasi kema-syarakatan, sedangkan kebahasaan adalah suatu sistem yang digunakan sebagai sarana untuk berinteraksi dalam lingkup masyarakat tertentu.

Definisi budaya menu-rut Brown adalah konteks tempat kita hidup, berpikir, merasakan, dan berhubungan dengan orang lain. Budaya adalah “perekat” yang meng-hubungkan sekelompok orang. Di sinilah bahasa memainkan peran positifnya dalam hubun-gan antarmanusia. Jika bahasa tidak dipahami oleh penutur dan petutur, ia dapat menjadi penghambat dalam komuni-kasi. Dalam pengajaran bahasa asing seorang pendidik ditun-tut memahami benar budaya dari bahasa yang diajarkan. Pendidik yang berperan sebagai fasili-tator diharapkan dapat menjelaskan makna perbedaan antara budaya asing dan budaya sendiri. Berbekal sejumlah pengetahuan tersebut, peserta didik dapat mengenal, menghargai budaya lain, dan lebih mengenal budayanya sendiri. Dengan demikian, mereka dapat mempelajari suatu konsep dan berpikir secara kritis bagaimana dapat berkomunikasi dengan bahasa asing sekaligus memahami budaya dari ba-hasa tersebut.

Pepatah dalam berbagai bahasa berikut ini memberikan gambaran yang jelas mengenai pentingnya pemahaman lintas budaya dalam pengajaran bahasa asing: andere Län-der andere Sitte; different fish differ-ent pond; Likulil bilad Tsaqobah; gô ni itte wa gô ni shitagae (kalau masuk desa, mengikuti desa); lain ladang lain belalang; lain lubuk lain ikan-

nya. Pepatah itu kurang lebih berarti bahwa setiap negara atau bangsa mempunyai budaya yang berbeda. Oleh karena itu, diperlukan pemaha-man lintas budaya dalam berkomu-nikasi antarpenutur yang berlainan budaya (Schwerdtfeger, 2001: 80).

PembahasanMenurut Kluckhohn (dalam Koentja-raningrat, 1990), sistem nilai budaya dalam semua kebudayaan di dunia se-benarnya menyangkut lima masalah pokok dalam kehidupan manusia, yakni (1) hakikat dari hidup manusia (MH), (2) hakikat dari karya manusia (MK), (3) hakikat dari kedudukan ma-nusia dalam ruang waktu (MW), (4) hakikat dari hubungan manusia den-gan alam sekitarnya (MA), dan haki-kat dari hubungan manusia dengan sesamanya (MM). Pada hakikat nilai budaya sebagai hubungan antarma-nusia (MM), yang ditekankan adalah hubungan manusia yang dapat berupa hubungan vertikal maupun horizon-tal. Pada pola kebudayaan hubungan vertikal, manusia berpedoman pada orang-orang yang dianggap senior, pemimpin atau atasan. Di sisi lain,

dalam hidup ini manusia menganggap bahwa hubungan horizontal antarma-nusia dengan adalah sesamanya lebih penting. Untuk memelihara hubungan antarmanusia diperlukan sarana inter-aksi, salah satunya adalah bahasa.

Bahasa adalah ungkapan dari bu-daya. Penggunaan bahasa dalam kehidupan sehari-hari di suatu masyarakat adalah refleksi dari cara hidup dan berpikir masyarakat tersebut. Contohnya adalah masyarakat Indonesia. Koentjaraningrat (1990) mengemukakan bah-wa buruknya kemampuan berbahasa Indonesia seba-gian besar orang Indonesia karena dipengaruhi oleh si-kap mental kurang baik yang dimiliki oleh sebagian besar orang Indonesia. Sifat-sifat itu adalah mentalitas yang senang menerabas, mental-

itas yang meremehkan mutu, sifat tidak percaya terhadap diri sendiri, sifat tidak disiplin, dan sifat tidak bertanggung jawab. Mentalitas yang senang menerabas sebenarnya bersifat universal dan ada pada hampir semua kebudayaan di dunia. Dalam masyara-kat Indonesia, sifat negatif ini sangat menonjol. Dalam berbahasa, perilaku itu tercermin pada keinginan untuk menggunakan bahasa dengan baik tetapi tanpa keinginan untuk bela-jar. Sikap “yang penting pokoknya mengerti” ini menghasilkan digunak-annya bahasa secara asal saja.

Kebutuhan akan pentingnya kuali-tas suatu hasil karya juga belum men-jadi budaya bagi sebagian besar pen-duduk Indonesia. Kita sudah merasa senang apabila kita sudah menyele-saikan suatu pekerjaan, tanpa me-mikirkan mutu. Dalam perilaku ber-bahasa, sikap meremehkan mutu ini

BAHASA ADALAH UNGKAPAN DARI BUDAYA. PENGGUNAAN BAHASA DALAM KEHIDUP­AN SEHARI­HARI DI SUATU MASYARAKAT ADALAH RE­FLEKSI DARI CARA HIDUP

DAN BERPIKIR MASYARAKAT TERSEBUT.

� Edisi 12 Tahun VI Desember 2008

BUDAYA SANGAT MEME­

NGARUHI PERILAKU

BERBAHASA. BUDAYA

MERUPAKAN BAGIAN

YANG INTEGRAL DARI

INTERAKSI ANTARA

BAHASA DAN PIKIRAN.

POLA BUDAYA, ADAT

DAN CARA HIDUP DI­

EKSPRESIKAN MELALUI

BAHASA. (BROWN, 1994)

tercermin dari penggunaan bahasa yang tidak memerhatikan kaidah.

Selain itu, serangkaian kegagalan dalam bidang usaha pembangunan yang dialami bangsa Indonesia sejak kemerdekaan sampai sekarang menye-babkan sikap tidak percaya terhadap diri sendiri semakin meningkat. Dalam perilaku berbahasa, sikap tidak per-caya terhadap diri sendiri ini tercermin dalam sikap yang lebih menghargai orang atau bangsa lain, menggunakan bahasa asing dan menomorduakan bahasa Indonesia. Penulisan Welcome alih-alih Selamat Datang dan Push dan Pull di pintu masuk alih-alih dorong dan tarik adalah sedikit contoh dari cerminan sikap tidak percaya diri itu.

Sifat tidak disiplin bangsa Indo-nesia juga tercermin dalam hal ber-bahasa Indonesia. Sikap tidak berdi-siplin dalam berbahasa dapat terlihat pada penggunaan bahasa yang tidak mengikuti aturan atau kaidah ba-hasa, misalnya “Dia punya mau tidak begitu” yang seharusnya “Kemauan-nya tidak begitu”.

Sikap selanjutnya yang memenga-ruhi kerancuan berbahasa Indonesia adalah sikap tidak bertanggung jawab terhadap tugas atau pekerjaan yang harus diselesaikan. Kesukaran hidup, kemiskinan, dan kekurangan tenaga memaksa orang Indonesia untuk men-curahkan perhatiannya kepada lebih dari satu pekerjaan dan kewajiban. Sikap tidak bertanggung jawab dalam berbahasa tercermin pada kurangnya perhatian pengguna bahasa Indone-sia terhadap penalaran bahasa yang benar. Sebagai contoh adalah kali-mat “Uang iuran anggota terpaksa dinaikkan karena sudah lama tidak naik”. Alasan kenaikan iuran itu tidak bertanggung jawab dan tidak atau kurang dapat diterima. Alasan yang lebih dapat diterima misalnya adalah

“Karena sudah tidak sesuai dengan biaya-biaya yang dikeluarkan”.

Dari paparan di atas terlihat de-ngan jelas bahwa budaya sangat meme-ngaruhi perilaku berbahasa. Budaya merupakan bagian yang integral dari interaksi antara bahasa dan pikiran. Pola budaya, adat dan cara hidup diekspresikan dalam bahasa (Brown, 1994). Bahasa adalah bagian budaya dan budaya adalah bagian dari bahasa. Pemerolehan bahasa kedua dan/atau bahasa asing berarti juga pemerolehan budaya kedua dan/atau budaya asing.

Dalam kaitannya dengan belajar bahasa khususnya bahasa asing, ba-nyak hambatan dihadapi oleh pem-belajar karena adanya perbedaan bu-daya antara dua bahasa dan bangsa. Perbedaan ini merentang mulai dari tata bahasa sampai dengan makna yang ingin dicapai dari setiap ujaran. Tujuan pembelajaran bahasa asing (bahasa Inggris, Jerman, Perancis, Jepang, Arab, dan Mandarin) di Indo-nesia adalah agar para peserta didik memiliki kemampuan dasar dalam keterampilan mendengarkan, ber-bicara, membaca, dan menulis untuk berkomunikasi secara sederhana.

Untuk dapat berkomunikasi dalam bahasa asing, peserta didik dituntut untuk memiliki kompetensi struktur atau unsur bahasa, kompetensi lin-tas budaya, kosakata yang memadai, dan aspek pelafalan (Schwerdtfeger 2001: 80). Mohon diperhatikan con-toh kalimat berikut:

1. Mampir ke rumah!2. Komm doch mal vorbei! 3. Drop in my house, please!Pada tiap-tiap kalimat di atas ter-

kandung empat aspek, yakni kosakata, unsur bahasa atau struktur, pelafalan, dan nilai budaya. Ditinjau dari struk-turnya, ketiga kalimat di atas adalah kalimat perintah atau imperatif, yang

Interpretasi:Sebagai ungkapan perhatian untuk

mempererat hubungan sosial.

Harapan, Tindakan:Ada kesepakatan sebelum berkunjung (hanya untuk minum kopi atau makan

kue).

Interpretasi:Sebagai undangan yang

wajib dipenuhi.

Harapan, Tindakan:Persahabatan yang tidak

dibatasi oleh waktu, dengan jamuan makan.

diawali dengan kata kerja mampir pada kalimat (1), drop in pada kalimat (2), dan komm pada kalimat (3). Keti-ganya diakhiri dengan tanda seru. Dil-ihat dari segi kosakatanya, kalimat (1) terdiri dari kata “mampir”, “ke”, dan “rumah”; kalimat (2) terdiri dari kata komm, doch, mal, dan vorbei. Kalimat (2) teridiri dari kata drop in, my, dan house. Sementara itu, dilihat dari segi makna budaya, ketiga kalimat terse-but masing-masing memiliki makna yang berbeda sesuai dengan budaya dari bangsa yang bersangkutan.

Ketiga kalimat tersebut, meskipun diungkapkan dengan bahasa yang berbeda, pada prinsipnya mempunyai maksud yang sama. Akan tetapi, ka-limat-kalimat tersebut dimaknai berbeda berdasarkan latar belakang budaya masing-masing. Kalimat (1) bagi orang Indonesia diartikan bu-kan sebagai tawaran yang harus di-penuhi melainkan sebagai ajakan yang sifatnya bisa “basa basi” atau sekadar sopan santun dalam tatan-an kehidupan sosial. Makna budaya pada kalimat (2) bagi orang Jerman berfungsi sebagai sarana untuk mem-pererat hubungan sosial.

Akan tetapi, untuk memenuhi ajakan atau undangan diperlukan tata cara tersendiri, misalnya orang harus membuat kesepakatan terlebih dahulu kapan ia akan berkunjung. Kita tidak dapat langsung berkunjung ke rumah orang tersebut begitu men-dengar ajakannya untuk mampir ke rumah. Undangan ke rumah biasanya hanya untuk minum kopi atau teh dan makan roti. Undangan makan bi-asanya hanya ditujukan kepada kera-bat atau teman dekat.

Apabila kalimat (2) diucapkan oleh orang Jerman kepada orang Arab, kemungkinan besar akan ter-jadi kesalahpahaman. Kesalahpaha-

man ini terjadi karena adanya per-bedaan budaya yang memengaruhi penafsiran kalimat (2).

Bagi orang Arab, kalimat itu merupakan tawaran atau undangan yang wajib dipenuhi, sedangkan bagi orang Jerman ajakan itu hanya seba-gai tanda untuk mempererat hubun-gan sosial. Berkaitan dengan hal ini, Helmut Lüger (1993) menggambar-kan skema kesalahpahaman komuni-kasi antara orang Jerman dan orang Arab yang sedang belajar bahasa Jer-man. (lihat Skema 1)

Kalau kita perhatikan skema di atas, tidak terdapat perbedaan bu-daya antara penutur (budaya 2) dan petutur (budaya 2). Hal ini karena mereka sama-sama orang Jerman. Ad-anya kesamaan budaya antara penutur dan petutur menyebabkan kemungki-nan kesalahpahaman budaya dalam berkomunikasi sangat kecil terjadi. Pada komunikasi antara orang Jerman (penutur—budaya 2) dengan orang Arab (petutur—budaya 1) yang se-dang berada di Jerman dalam rangka belajar bahasa Jerman, terdapat salah

persepsi dalam berkomunikasi. Hal ini disebabkan adanya perbedaan latar belakang budaya dalam menafsirkan kalimat (2). Bagi orang Arab, kalimat tersebut merupakan suatu undangan yang harus dipenuhi dan pada kunjun-gan itu akan diakhiri dengan jamuan makan. Bagi orang Jerman, kalimat (2) merupakan ungkapan perhatian dan digunakan untuk mempererat hubun-gan sosial. Namun, ajakan itu bisa di-penuhi dengan ketentuan bahwa harus ada kesepakatan sebelumnya. Perte-muan itu biasanya hanya untuk mi-num kopi atau teh pada sore hari dan tidak selalu diakhiri dengan jamuan makan seperti yang diharapkan oleh orang Arab.

Perlu pula dikemukakan bahwa ada beberapa norma yang harus di-perhatikan pada kunjungan keluarga di Jerman (dan di Eropa pada umum-nya), yakni (1) ada kesepakatan waktu berkunjung sebelumnya, (2) datang tepat waktu, (3) mengenakan pakaian sesuai dengan undangan, (4) pada pesta yang resmi, laki-laki harus men-genakan stelan jas, (5) minta maaf jika

10 Edisi 12 Tahun VI Desember 2008

ww

D ALAM MENGAJARKAN

BAHASA ASING, SE­

ORANG PENDIDIK SEHA­

RUSNYA MENJELASKAN

MAKNA BUDAYA YANG

TERDAPAT PADA SETIAP

UJARAN YANG DIAJARKAN

UNTUK MENGHINDARI

SALAH PENAFSIRAN.

terlambat datang, (6) tanpa undangan yang jelas, tidak diperbolehkan mem-bawa anak atau teman, (7) diperbo-lehkan membawa cokelat untuk anak yang mengundang, (8) jika membawa minuman alkohol (Wein) hendaknya diberikan pada tuan rumah laki-laki, (9) jika membawa bunga harus diberi-kan kepada tuan rumah perempuan, (10) jika undangan dilakukan pada sore hari diharuskan pulang sebelum tiba waktu makan malam, (11) undan-gan makan malam harus berakhir se-belum pukul 24, dan (12) tidak sopan jika setelah makan, beberapa menit kemudian langsung pulang.

Berdasarkan contoh di atas, dalam mengajarkan bahasa asing, seorang pendidik seharusnya menjelaskan makna budaya yang terdapat pada setiap ujaran yang diajarkan untuk menghindari salah penafsiran. De-ngan penjelasan ini, pembelajar akan dapat memahami budaya lain di luar budaya sendiri. Pemahaman terhadap cara pandang yang berbeda tentang dunia akan menumbuhkan perilaku positif—misalnya mengadopsi nilai-nilai positif dari budaya lain—dan terbuka terhadap perbedaaan lintas budaya.

Dalam konteks ini, akulturasi tidak dapat dihindarkan ketika sese-orang belajar bahasa asing. Begitu pula yang terjadi dengan siswa kita. Di dalam benak mereka—bahkan sering terungkap secara langsung—akan timbul berbagai macam pertanyaan tentang atau reaksi terhadap segala sesuatu yang berbeda dengan adat atau kebiasaan yang berlaku di ling-kungannya. Reaksi senang mengenal sesuatu yang baru, kebimbangan ter-hadapnya, menerima sebagian dan menolak sebagian lainnya, sampai pada akhirnya menerima segala per-bedaan yang ada merupakan tahap-

tahap yang harus dilewati oleh pem-belajar bahasa asing.

Guru sebagai fasilitator berperan sebagai terapis dalam proses akultur-asi ini. Banyak cara dapat dilakukan guru baik di dalam maupun di luar kelas untuk membantu siswa mele-wati tahap-tahap tersebut. Donahue dan Parsons (dalam Brown, 1994) memberikan beberapa alternatif ma-teri dan teknik yang dapat diterapkan guru di kelas, di antaranya adalah bermain peran, membaca, menonton film, dan bermain stimulasi.

Untuk memudahkan guru me-merankan sosok terapis ini, di sini dijelaskan 3 kategori informasi lintas budaya, yakni (1) pengetahuan bu-daya yang menyangkut pengetahuan kognitif, (2) pengetahuan budaya untuk komunikasi dalam kehidupan sehari-hari, dan (3) pengetahuan lin-tas budaya yang menyangkut perbe-daan antara budaya asing dan budaya sendiri (Schümann, 2004)). Kompe-tensi kognitif, psikomotorik, afektif, dan sosial siswa sangat berperan besar dalam pemerolehan dan pemahaman lintas budaya.

Pengetahuan budaya yang me-nyangkut pengetahuan kognitif me-liputi fakta dan data tentang negara yang bahasanya sedang kita pelajari. Contohnya adalah letak geografis suatu negara, musim, jumlah negara bagian atau provinsi, jumlah penduduk. Pen-getahuan budaya untuk komunikasi dalam kehidupan sehari-hari lebih menekankan keperluan mendasar un-tuk hidup. Contoh untuk kategori ini adalah cara membeli tiket kereta api, cara menyapa orang, cara memulai percakapan, etika bertelepon, etika berkunjung, etika berlalu lintas, dan etika bersulang. Pengetahuan lintas budaya menyangkut perbedaan antara budaya asing dan budaya sendiri. Hal

11

ww

ini lebih menekankan pemahaman, toleransi dan penghargaan terhadap budaya asing, dan pengenalan ter-hadap budaya sendiri. Sebagai contoh adalah peran ayah dalam keluarga, penyelenggaraan pesta, peran bina-tang peliharaan, dan tradisi minum minuman beralkohol.

PenutupDalam pengajaran bahasa asing, as-pek budaya sangat penting untuk dipahami dan diajarkan karena ba-hasa merupakan bagian yang tidak dapat dipisahkan dari budaya. Baha-sa dan budaya mempunyai hubungan yang sangat erat karena seseorang belum tentu memahami suatu ma-syarakat meskipun ia telah mema-hami bahasa mereka.

Oleh sebab itu, diperlukan pema-haman lintas budaya untuk mengu-rangi dan bahkan menghilangkan ke-salahpahaman dalam berkomunikasi antarpenutur yang berlainan budaya. Kekeliruan dalam memahami dan me-maknai budaya lain akan menimbul-kan dampak negatif tidak saja bagi siswa atau pembelajar bahasa asing tetapi juga bagi masyarakat. [E]

Daftar PustakaBrown, H. Douglas. Principles of

Language Learning and Teaching Third Edition. Prentice Hall Regents, 1994.

C. Schwerdtfeger, Inge. Gruppenarbeit und innere Diffrenenzierung. Goethe Institut Inter Nationes, München, 2001.

Chaer, Abdul dan Agustina Leonie. Sosiolinguistik: Perkenalan Awal. Rineka Cipta, Jakarta, 2004.

Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Balai Pustaka, 1993.

Dietrich Müller, Bernd. Wortschatzarbeit und Bedeutungsvermittlung. Langen-scheidt. Kassel, München, Tuebingen, 1994.

Hardjono, T. Kontakte Deutsch 1: Bahasa Jerman untuk Sekolah Menengah Umum. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1993.

Helmut Lüger, Heinz. Routinen und Rituale in der Alltagskommunikation. Deutsches Institut für Fernstudien an der Universität Tübingen (DIFF), Langenscheidt, Berlin, 1993.

http://www.acs.appstate.edu/-mcgowant/hymes.htm

Koentjaraningrat. Kebudayaan Mentalitas dan Pembangunan. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 1990.

Macaire, Dominique dan Hosch, Wolfram. Bilder in der Landeskunde. Langenscheidt, Kassel, München, Tübingen, 1996.

Mulyana, Dedi dan Jalaludin Rakh-mat. Komunikasi Antarbudaya: Panduan Berkomunikasi dengan Orang-Orang Berbeda Budaya. Ed. Ke-2. Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 1998.

Nababan, Sri Utari Subyakto. Metodo-logi Pengajaran Bahasa. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 1993.

Omagio Hadley, Alice. Teaching Language in Context. Heinle & Heinle Publishers, Boston Massachusetts.

Schümann, Anja. Spaß mit Landeskunde und redaktion-D: Bahan Seminar 21—22 Juni 2004. Goethe Institut, 2004.

Wardhaugh, Ronald. An Introduction to Sociolinguistics, New York, 1986.

BAHASA DAN

BUDAYA MEMPU­

NYAI HUBUNGAN YANG

SANGAT ERAT KARENA

SESEORANG BELUM TEN­

TU MEMAHAMI SUATU

MASYARAKAT MESKIPUN

IA TELAH MEMAHAMI

BAHASA MEREKA.

12 Edisi 12 Tahun VI Desember 200812 Edisi 12 Tahun VI Desember 2008

WidiatmokoWidyaiswara Bahasa Inggris PPPPTK Bahasa

GEORG RASCH (1901—1980) ADALAH SEORANG AHLI MATEMATIKA, AHLI STATISTIK, DAN AHLI PSIKOMETRIK ASAL DENMARK. IA DIKENAL KARENA MENGEMBANGKAN SATU MODEL PENGUKURAN YANG DIKENAL SEBAGAI MODEL RASCH. DIA BELAJAR DENGAN R.A. FISHER DAN JUGA SEBENTAR DENGAN RAGNAR FRISCH. RASCH TERPILIH

MENJADI ANGGOTA LEMBAGA INTERNASIONAL STATISTIK PADA TAHUN 1948.

PADA TAHUN 1919, RASCH MULAI BELAJAR MATEMATIKA DI UNIVERSITAS KOPENHAGEN. DIA MENYELESAIKAN GELAR MASTER PADA TAHUN 1925 DAN MENERIMA GELAR DOKTOR DALAM BIDANG SAINS PADA TAHUN 1930. KARENA TIDAK DAPAT MENEMUKAN PEKERJAAN DALAM BIDANG MATEMATIKA, PADA TAHUN 1930-AN IA BERALIH PROFESI SEBAGAI KONSULTAN STATISTIK. DALAM KAPASITASNYA INI DIA BEKERJA ATAS BERBAGAI MACAM BIDANG, TERMASUK BIDANG BIOLOGI

PERTUMBUHAN. (SUMBER: HTTP://EN.WIKIPEDIA.ORG/WIKI/GEORG_RASCH)

Penerapan Model Rasch pada Data Tes Biner

13 13

Pengantar

Pada 1960 dan diperluas pada 1980, buku berjudul Probabilis-

tic Models for Some Intelligence and Attainment Tests yang ditulis oleh seorang matematikawan Denmark Georg Rasch mengenalkan model sta-tistik untuk analisis data tes. Model itu kemudian lebih dikenal sebagai model Rasch. Model ini selanjutnya dapat diterapkan untuk data tes biner dan data tes politomi. Penerapannya pada data tes biner berlaku untuk ra-gam tes bentuk objektif yang hingga kini masih umum digunakan.

Rasch mengemukakan bahwa mo-del yang dikenalkannya itu memiliki properti yang luar biasa. Karena di-yakini bahwa properti itu berkepenti-ngan untuk meningkatkan pengukur-an di disiplin ilmu-ilmu sosial dan perilaku, Rasch menghabiskan sisa waktu 20 tahunnya untuk mengeks-plorasi properti dan implikasi data tes itu. Rasionalnya, properti yang dikenalkan oleh Rasch itu dapat dipahami dengan mempertimbang-kan dua orang peserta tes A dan B dengan abilitas θA (baca: theta A) dan θB (baca: theta B). Manakala dua peserta tes itu merespon sejumlah butir tes dan kemudian sejumlah bu-tir tes N10 yang direspon betul oleh peserta tes A tetapi direspon salah oleh peserta tes B itu dihitung dan sejumlah butir tes N01 yang direspon betul oleh peserta tes B tetapi dir-espon salah oleh peserta tes A itu juga dihitung, perbedaan abilitas dua peserta tes itu dapat diestimasi dengan menggunakan logaritma nat-uralis dengan model Rasch:

ln(N10/N01)

Yang menarik dari model Rasch itu adalah bahwa hubungan antara perbedaan abilitas yang dijadikan

parameter θA dan θB dan penghitung-an N10 dan N01 tentang respon betul dan respon salah itu berlaku untuk semua butir tes yang terpilih. De-ngan perkataan lain, manakala re-spon peserta tes A dan peserta tes B terhadap sejumlah butir tes itu konsisten dengan model, perbedaan abilitas di antara dua peserta tes itu dapat diestimasi secara sederhana dengan menghitung kesempatan sukses yang ditunjukkan dengan respon betul dan kesempatan gagal yang ditunjukkan dengan respon salah tanpa harus mengetahui atau mengestimasi taraf kesukaran butir tesnya.

Seperangkat butir tes (mis., butir bertaraf-sukar mudah dan bertaraf-sukar sukar, butir bernomor urut gan-jil dan bernomor urut genap) dapat digunakan untuk memeroleh suatu estimat tentang abilitas relatif dari peserta tes A dan peserta tes B yang diperoleh dari tabel sederhana beri-kut ini. Kemungkinan untuk memer-oleh suatu estimat tentang abilitas relatif dari peserta tes A dan peserta tes B yang tidak bergantung pada butir-butir tesnya dianggap sebagai kemungkinan perbandingan objektif (objective comparison). Kemungkinan perbandingan objektif itu merupakan inti dari pengukuran objektif.

Model RaschDalam bentuk yang paling umum, model Rasch dimulai dengan gagasan tentang variabel pengukuran dengan dua objek A dan B yang berada di lokasi atau garis kontinum ζA (baca: xi A) dan ζB (baca: xi B). Kemungkin-an untuk mengestimasi lokasi rela-tif objek A dan B pada variabel ini bergantung pada ketersediaan dua kejadian yang dapat diamati, yakni: satu kejadian X yang mengindikasi-

kan bahwa ζB melampaui ζA dan satu kejadian Y yang mengindikasikan bahwa ζA melampaui ζB. Kemudian, model Rasch mengaitkan perbedaan antara objek A dan B terhadap ke-jadian X dan Y yang dilakukan de-ngan persamaan:

ζB–ζA=ln(PX/PY)

dengan PX sebagai probabilitas peng-amatan X dan PY sebagai probabilitas pengamatan Y. Kesempatan PX/PY untuk mengamati X dan bukan Y ber-gantung hanya pada arah dan jarak ζB dari ζA. Suatu estimat tentang per-bedaan antara objek A dan B pada variabel pengukuran dapat diperoleh manakala terdapat beragam peluang yang independen untuk melakukan pengamatan baik kejadian X maupun kejadian Y. Pada kondisi ini, ζB–ζA dapat diestimasi dengan mengguna-kan persamaan

ln(PX/PY)=ln(Nx/Ny)

dengan PX dan PY sebagai proporsi ke-jadian X dan Y, dan Nx dan Ny sebagai jumlah kejadian X dan Y pada pelu-ang pengamatan Nx+Ny.

Penerapan pada Data Tes BinerModel Rasch secara umum dapat dite-rapkan pada tes dengan respon betul 1 dan respon salah 0 terhadap suatu butir. Tiap-tiap peserta tes n dianggap memiliki abilitas θn dan tiap-tiap butir tes i dianggap memiliki taraf kesukar-an butir bi. Abilitas peserta tes dan taraf kesukaran butir tes dapat dire-presentasikan sebagai lokasi atau garis kontinum pada variabel yang diukur.

Dalam hal ini, kejadian X yang dapat diamati merupakan keberhasi-lan peserta tes n pada butir tes i dan kejadian Y yang dapat diamati meru-pakan kegagalan peserta tes n pada butir tes i, yang dapat dilihat pada

1� Edisi 12 Tahun VI Desember 2008

tabel berikut ini: Model Rasch yang diterapkan pada kondisi ini adalah

θn–b1=ln(P1/P0)

Manakala peserta tes n memiliki beragam upaya untuk merespon butir i secara independen, perbedaan θn–b1

antara abilitas peserta tes n dan taraf kesukaran butir i dapat diestimasi de-ngan menggunakan persamaan

ln(P1/P0)=ln(N1/N0)

Meskipun ia secara teoretik benar dan dapat diterapkan di berbagai situasi, metode itu ternyata tidak praktis un-tuk mengestimasi θn–b1 dari data tes karena peserta tes tidak diberikan kesempatan yang beragam pada butir tes yang sama (manakala ada, peserta tes tidak akan memberikan respon secara independen). Untuk menges-timasi perbedaan θn–b1 dari data tes, diperlukan estimasi θn dari peserta tes n terhadap sejumlah butir tes dan es-timasi b1 dari butir yang direspon oleh sejumlah peserta tes. Dengan per-kataan lain, taraf kesukaran butir dan abilitas peserta tes harus diestimasi secara simultan. Salah satu metode estimasi parameter taraf kesukaran butir dan abilitas peserta tes secara simultan adalah metode Prox.

Di dalam penerapan model Rasch pada data tes, setiap peserta tes me-miliki garis atau lokasi imajiner pada variabel yang diukur. Dua peserta tes m dan n memiliki garis atau lo-kasi imajiner θm dan θn. Manakala peserta tes m dan n merespon suatu butir yang sama dan respon-respon mereka bersifat independen satu dari lainnya, perbedaan antarkedua peserta tes itu menjadi

θn– θm=ln(P10/P01)

dengan P10 sebagai model probabilitas peserta tes n dan bukan peserta tes

m yang berhasil merespon butir dan P01 sebagai probabilitas peserta tes m dan bukan peserta tes n yang berhasil merespon butir. Persamaan itu meru-pakan model Rasch yang diterapkan pada perbandingan dua peserta tes dengan variabel ukurnya. Dua kejadi-an amatan itu mencakupi keberhasil-an satu peserta tes dan kegagalan peserta tes lainnya pada suatu butir tes yang dapat ditampilkan pada ta-bel berikut ini. Dalam perbandingan antara peserta tes m dan n, tidak ada yang dapat menunjukkan adanya taraf kesukaran butir oleh dua peserta tes ini. Hal ini disebabkan oleh penerap-an model Rasch yang berlaku untuk setiap butir tes. Kesempatan sukses peserta tes n sebagaimana ditunjuk-kan oleh adanya salah satu dari dua peserta tes itu berhasil dan lainnya gagal berlaku sama untuk setiap butir tes dan hanya bergantung pada abili-tas relatif peserta tes m dan n.

Karena kesempatan sukses P10/P01 berlaku sama untuk setiap butir tes, perbedaan θn–θm dapat diestimasi sebagai ln(N10/N01) dengan N10 seba-gai banyaknya butir tes yang dires-pon betul oleh peserta tes n tetapi direspon salah oleh peserta tes m dan N01 sebagai banyaknya butir tes yang direspon betul oleh peserta tes m tetapi direspon salah oleh peser-ta tes n. Manakala data tes sesuai dengan model Rasch, abilitas relatif dua peserta tes dapat diestimasi de-ngan menggunakan seleksi butir tes tanpa menghiraukan taraf kesukaran butir tes atau karakteristik lainnya. Dengan menggunakan multiple pair-wise comparisons, dimungkinkan untuk mengestimasi lokasi relatif ba-nyaknya peserta tes dengan variabel pengukuran yang sama.

Di dalam aplikasi model Rasch pada data tes, setiap butir tes ber-

1� Edisi 12 Tahun VI Desember 2008

DENGAN MENG­

GUNAKAN MULTIPLE

PAIRWISE COMPARI-

SONS, DIMUNGKINKAN

UNTUK MENGESTIMASI

LOKASI RELATIF BA­

NYAKNYA PESERTA TES

DENGAN VARIABEL

PENGUKURAN YANG

SAMA.

1�

lokasi imajiner pada variabel yang sedang diukur. Dua butir tes i dan j berlokasi imajiner bi dan bj. Manakala butir tes i dan j direspon oleh peserta tes yang sama dan respon peserta tes pada butir i dan j saling independen, perbedaan antarbutir tes itu adalah

bi–bj=ln(P01/P10)

dengan P10 sebagai probabilitas pe-serta tes yang berhasil pada butir tes i tetapi gagal pada butir tes j dan P01 sebagai probabilitas peserta tes yang berhasil pada butir tes j tetapi gagal pada butir tes i. Model Rasch yang di-terapkan pada perbandingan dua bu-tir tes dengan dua kejadian amatan yang melibatkan keberhasilan peser-ta tes pada satu butir tes tetapi gagal pada butir tes yang lain dapat dilihat pada tabel berikut ini. Dalam per-bandingan butir tes i dan j, tidak ada yang dapat dikatakan tentang abili-tas peserta tes yang merespon butir-butir tes itu. Hal ini disebabkan oleh penerapan model Rasch yang berlaku untuk setiap peserta tes. Kesempatan sukses pada butir tes i dengan mem-pertimbangkan bahwa satu peserta tes berhasil pada satu butir tes tetapi gagal pada butir tes lainnya berlaku sama untuk setiap peserta tes dan hanya bergantung pada taraf kesu-karan relatif butir tes i dan j.

Karena kesempatan sukses P01/P10 berlaku sama untuk setiap peserta tes, perbedaan bi-bj dapat diestimasi sebagai

ln(N01/N10)

dengan N10 sebagai banyaknya peser-ta tes yang berbutir tes i betul tetapi j salah dan N01 sebagai banyaknya peserta tes yang berbutir tes j be-tul tetapi i salah. Manakala data tes sesuai dengan model Rasch, taraf kesukaran relatif dua butir tes i dan

j dapat diestimasi dengan menggu-nakan sekelompok peserta tes tanpa memerhatikan abilitas mereka atau karakteristik lainnya. Dengan meng-gunakan multiple pairwise compari-sons, dimungkinkan untuk menges-timasi lokasi relatif sejumlah butir tes pada suatu variabel pengukuran.

Ancaman Objektivitas dengan Daya Pembeda ButirDi dalam model yang disarankan untuk analisis data tes, di samping lokasi parameter abilitas θn untuk se-tiap peserta tes dan lokasi taraf kes-ukaran butir tes bi untuk setiap butir tes i, parameter daya pembeda butir ai diberlakukan untuk setiap butir tes i. Contoh model yang demikian itu adalah model teori ciri laten 2-parameter, yakni

ai(θn–bi)=ln(P1/P0)

Manakala mengikuti langkah-langkah pada model Rasch dan mem-pertimbangkan respon independen dari dua peserta tes m dan n pada satu butir tes i, model 2-parameter dapat diperoleh, yakni

ai(θn– θm)=ln(P10/P01)

dengan P10 sebagai probabilitas peserta tes n dan bukan peserta tes m yang berhasil pada butir tes i dan P01 sebagai probabilitas peserta tes m dan bukan peserta tes n yang ber-hasil pada butir tes i. Kesempatan sukses peserta tes n dan kegagalan peserta tes m dengan menyatakan bahwa salah satu dari dua peserta tes itu berhasil dan lainnya gagal akan tidak berlaku sama untuk setiap bu-tir tes. Hal ini tentu disebabkan oleh adanya daya pembeda butir tes.

Untuk membandingkan lokasi peserta tes m dan n pada variabel pengukuran, tidak dimungkinkan

1�

DAPAT DIKATAKAN

BAHWA MODEL RASCH

MERUPAKAN MODEL

PENGUKURAN OBJEKTIF.

PENGEMBANGAN MODEL

INI KE DALAM MODEL

LAINNYA, SEPERTI

MODEL 2­PARAMETER,

HANYALAH SEBAGAI

MODEL STATISTIK.

1� Edisi 12 Tahun VI Desember 2008

untuk mengabaikan kekhasan butir-butir tes yang terlibat. Perbandingan parameter abilitas peserta tes n dan m pada variabel pengukuran selan-jutnya bergantung tidak hanya pada dua kejadian amatan (1,0) dan (0,1), tetapi juga pada daya pembeda butir yang direspon oleh dua peserta tes. Dengan demikian, model 2-parame-ter tidak memberikan perbandingan yang objektif sebagaimana yang digambarkan oleh Rasch. Karena ti-dak dimungkinkan untuk membuat perbandingan yang objektif pada dua peserta tes dengan model 2-pa-rameter, tidak dimungkinkan untuk mengondisikan suatu butir tes secara mendalam di luar prosedur estimasi lokasi banyaknya peserta tes pada variabel pengukuran. Dengan per-kataan lain, ketidakmampuan untuk membuat objective pairwise compar-isons peserta tes mengesampingkan kemungkinan untuk membuat ukur-an yang objektif pada variabel itu.

SimpulanManakala data

tes sesuai dengan model Rasch, dimungkinkan un-

tuk membuat perbandingan yang objektif dengan pengertian bahwa perbandingan dua parameter peserta tes tidak bergantung pada detailnya suatu butir tes yang digunakan un-tuk membuat perbandingan itu.

Perbandingan dua parameter bu-tir tes tidak bergantung pada de-tailnya peserta tes yang merespon butir-butir tes itu. Kemungkinan perbandingan objektif adalah kunci pengukuran yang objektif. Estimat lokasi sejumlah peserta tes pada suatu variabel pengukuran dapat di-peroleh dengan merasionalisasi hasil multiple pairwise comparisons.

Singkatnya, beberapa hal dapat disimpulkan, yakni: (a) tiap-tiap parameter pada model Rasch adalah suatu lokasi pada variabel penguku-ran yang dimaksud, (b) model Rasch selalu dinyatakan sebagai perbedaan antara dua parameter lokasi, (c) model Rasch memerlukan dua kejadi-an amatan X dan Y, dan (d) model Rasch mencontohkan

bagaimana perbe-daan lokasi menyebabkan probabili-tas untuk mengamati X dan bukan Y.

Penerapan model Rasch untuk data tes biner merupakan aplikasi model pengukuran yang paling sempurna. Parameter lain, yakni daya pembeda butir, yang sering diikutkan ke dalam model Rasch dapat mengancam per-bandingan yang objektif sebagaima-na didefinisikan oleh Rasch. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa model Rasch merupakan model pen-gukuran objektif. Pengembangan model ini ke dalam model lainnya, seperti model 2-parameter, hanyalah sebagai model statistik. [E]

Pustaka RujukanBond, Trevor G. dan Fox,

Christine M. (2001). Applying the Rasch Model: Fundamental Measurement in the Human Sciences. Mahwah, New Jersey: Lawrence Erlbaum Associates.

Rasch, Georg. (1980). Probabilistic Models for

Some Intelligence and Attainment Tests. Edisi perluasan. Chicago: The University of Chicago.

"PENERAPAN MODEL R

ASCH UNTUK DATA TE

S BINER MERUPAKAN

APLIKASI MODEL PENGUKURA

N YANG PALING SEMPURNA.

PARAMETER LAIN, YAK

NI DAYA PEMBEDA BU

TIR, YANG SERING

DIIKUTKAN KE DALAM MODEL RASCH DAPAT MENGANCAM

PERBANDINGAN YANG

OBJEKTIF SEBAGAIMA

NA DIDEFINISIKAN

OLEH RASCH."

1� Edisi 12 Tahun VI Desember 2008

1�

Peran Guru Bahasa Inggris dan Orang Tua bagi Pemelajar Belia

LATAR

KEGIATAN BELAJAR DAN MENGAJAR BAHASA INGGRIS DALAM

KOMUNITAS PERSEKOLAHAN DI NEGERI KITA HAMPIR

SENANTIASA MENJADI BAHAN PERBINCANGAN DAN KAJIAN

YANG SIGNIFIKAN OLEH PARA PEMINAT PENDIDIKAN BAHASA

ASING INI. SALAH SATU KEGIATAN EDUKASIONAL ITU ADALAH

PENGAJARAN BAHASA INGGRIS UNTUK PEMELAJAR BELIA

(PBIPB), YANG PREFERENSI PENGINGGRISANNYA SECARA LAZIM

ADALAH TEACHING ENGLISH FOR YOUNG LEARNERS (TEYL).

1�

JoeniRatnawati*

The younger you are, the easier it seems to

be to learn a language. [Fromkin et al,

1990:369]

*Penulis adalah pemerhati pengajaran bahasa Inggris, tinggal di Depok, Jawa Barat.

1� Edisi 12 Tahun VI Desember 2008

Berkenaan dengan perkara ini, se-bagian ahli (pengajaran) bahasa

menyokong pandangan bahwa peme-lajar usia belia lebih mudah mempela-jari dan lebih cepat memperoleh ba-hasa Inggris tanpa banyak kesulitan. Secara neurologis, hal ini juga bisa bermakna bahwa pemelajar usia belia, yang merentang dari usia 6 hingga 10 tahun, memiliki daya pikir atau otak yang masih fleksibel dan elastis. Den-gan demikian, penyerapan bahasanya menjadi lebih lancar dan mudah kare-na daya serap pemelajar seusia itu berfungsi secara otomatis.

Namun, ada faktor dan pemang-ku kepentingan (stakeholder) lain yang memengaruhi kelebihlancaran dan kelebihmudahan pemelajar be-lia untuk memperoleh bahasa Ing-grisnya, yakni materi ajar, orang tua, dan guru. Secara strategis, guru sungguh memainkan peran penting dalam mengajarkan bahasa Inggris kepada pemelajar belia.

Pertanyaannya, bagaimana sepa-tutnya guru memainkan peran itu?

Bagaimana pula orang tua mengam-bil langkah dalam hal ini? Tulisan ini menjawab kedua pertanyaan itu sekaligus merefleksikan pengala-man yang hendak penulis kongsi (share) dengan pembaca, peminat atau praktisi PBIPB.

Peran Guru Bahasa Inggris Pada dasarnya dapat dikatakan bah-wa kegiatan mengajar bahasa Inggris kepada pemelajar belia bukanlah perkara yang gampang. Dinyatakan demikian karena seorang pemelajar belia tidak pernah merasakan perlu dan pentingnya bahasa itu. Untuk itu, peran berikut ini kiranya bisa dimainkan oleh guru.

1. Kegemaran Mengajar Bagi seorang guru bahasa Inggris

untuk pemelajar belia, memiliki kecin-taan kepada bahasa Inggris, kegema-ran dan ketertarikan mengajar bahasa, dan kesenangan terhadap dunia kebe-liaan adalah perkara yang tidak bisa dinihilkan. Ketiganya menjadi pra-syarat psikologis baginya. Dinyatakan

KEGIATAN MENGAJAR

BAHASA INGGRIS

KEPADA PEMELAJAR BELIA

BUKANLAH PERKARA

YANG GAMPANG KARENA

SEORANG PEMELAJAR BELIA

TIDAK PERNAH MERASAKAN

PERLU DAN PENTINGNYA

BAHASA ITU.

1�

demikian karena dalam hal ini guru ti-dak hanya mengajar, tetapi juga men-gurus dan mengasuh pemelajar belia. Singkatnya, ia mesti menjadi pecinta bahasa Inggris, penggemar pengajaran bahasa, dan pehobi dunia kebeliaan.

2. PersonalitasSecara personal, guru sepatutnya

memiliki kepribadian yang menye-nangkan (lovely personality), minda yang berdaya cipta (creative mind), daya ingat yang kuat, perilaku ke-bapakan atau keibuan, dan rasa tang-gung jawab dan tugas. Sering bermu-rah senyum sepanjang masa, kaya dengan cerita pendek, lelucon, dan teka-teki pada dirinya, dan memper-lakukan pemelajar sebaik memper-lakukan anaknya sendiri merupak-an cara terbaik. Dengan demikian, pemelajar merasa dikasihsayangi.

3. Kedayakhayalan, Kedayacip-taan, dan Kedayatemuan

Ada baiknya guru menjadi sosok yang berdaya khayal (imaginative)

dan berdaya cipta (creative) dengan cara memainkan berbagai peran tat-kala mengajar. Sekadar contoh, ia bisa memperkenalkan permainan (game) tatkala masuk ke ruang kelas dan me-nyapa “Hello boys”, “Stand up”. “I am standing up”. “How are you learners? ““Fine, thank you.” Teacher “thank you, sit down”. Semua ini bisa mena-rik pemelajar, yang bisa mereka tiru dan lakukan sebagaimana gurunya.

Selanjutnya, guru bisa memilih salah satu pemelajar untuk memrak-tikkannya, dengan menyuruhnya ke-luar dari ruang kelas, kemudian meng-izinkannya masuk kembali dengan menyapa teman-temannya. Pemela-jar lainnya akan merasa ingin sekali mencoba dan melakukannya. Seorang guru yang berdaya cipta tentu bisa menggunakan apa pun di sekitarnya di dalam kelas tatkala mengajar.

Guru juga perlu berdaya temu (in-novative) supaya ia bisa menciptakan situasi yang alami, yang pemelajar bisa merespon dengan mudah dan sederhana. Perkara ini mempraang-

PEMELAJAR USIA BELIA

LEBIH MUDAH MEMPE­

LAJARI DAN LEBIH CEPAT

MEMPEROLEH BAHASA ING­

GRIS TANPA BANYAK KE­

SULITAN KARENA SECARA

NEUROLOGIS, ANAK USIA 6

HINGGA 10 TAHUN, MEMI­

LIKI DAYA PIKIR ATAU OTAK

YANG MASIH FLEKSIBEL

DAN ELASTIS.

20 Edisi 12 Tahun VI Desember 2008

kan sebagai salah satu acuan, den-gan adaptasi secara kontekstual.

7. Pelatihan Bahasa Inggris Guru pun perlu mengikuti pelatih-

an mengajar bahasa Inggris untuk pemelajar belia. Dunia kebeliaan adalah dunia yang unik. Usia belia bukanlah usia yang kita praanggap-kan setakat ini bahwa ia mencakupi pemelajar yang datang ke ruang ke-las dengan tangan dan minda yang kosong (empty vessel) sehingga ia perlu diisi oleh guru.

Untuk itu, diperlukan ancangan dan teknik pengajaran yang sesuai dengan usia itu. Selain metode peng-ajaran, minimal, dari pelatihan itu diperoleh gambaran global tentang PBIPB, pengetahuan deskriptif ten-tang dunia kebeliaan, karakteristik pemelajar belia secara generik, dan strategi mengidentifikasi karakter-istik itu, yang mencakupi seperti apa mereka, apa yang mereka suka, dan apa yang membedakannya dari pemelajar dewasa.

Karakteristik yang lengket pada pemelajar belia itu misalnya adalah bahwa pemelajar belia sudah memiliki seperangkat naluri, kemahiran, dan karakteristik yang akan membantu-nya belajar bahasa Inggris, seperti kesiapsediaan daya khayal yang ia miliki, kegembiraannya menemukan dan menciptakan sesuatu yang lucu, kesangatmahirannya memakai keter-batasan bahasa yang ia miliki secara kreatif, bagusnya daya tafsir terha-dap makna tanpa perlu memahami kata demi kata.

Dan, yang lebih penting, peme-lajar belia merasa senang sekali ber-bicara (delight in talking). Dengan latar pengetahuan yang diperoleh dari pelatihan itu, paling tidak guru

gapkan bahwa guru semestinya memiliki daya ingat yang baik se-hingga ia bisa mengingat kembali situasi serupa dengan mudah.

4. Model PeranGuru menjadikan dirinya seba-

gai model peran bagi pemelajar, karena penggunaan bahasanya akan ditiru oleh pemelajar. Un-tuk itu, peniruan (imitations) dan ujaran (utterances) pola-pola kebahasaan bisa membuat peme-lajar merasa berhasil dan percaya diri. Bagaimanapun, pemelajar belia adalah yang terbaik dalam hal meniru (best imitator).

5. DramatisasiSebagian praktisi PBIPB ber-

pandangan bahwa pemelajar belia mempelajari bahasanya secara ko-operatif dan kolaboratif dengan te-man sejawatnya. Untuk itu, kiranya guru bisa menggunakan permain-an sosio-dramatis sebagai teknik pengajarannya. Melalui kegiatan permainan (games) dan pendrama-tisasian situasi, guru bisa memberi kesempatan kepada pemelajar un-tuk menggunakan bahasa secara fasih tanpa merasa frustasi.

6. MotivasiSlogan yang sepatutnya di-

miliki oleh guru untuk pemelajar adalah “Besarkan hatinya dan berikan pujian padanya.” Tujuan akhir sepanjang pemelajarannya adalah menjaga supaya pemelajar senantiasa memiliki motivasi yang tinggi. Secara teknis sebagai gam-baran konkret, guru bisa meng-gunakan cerita atau kisah dalam pengajarannya. Buku seperti A Story A Day kiranya dapat diguna-

21

bisa memikirkan ancangan strategis untuk memintarkan pemelajar belia (di bawah asuhannya).

Peran Orang TuaBahasa Inggris yang diajarkan di dalam kelas relatif dikatakan belum mencukupi kebutuhan pemelajar belia untuk menjadikannya penutur yang kompeten di dunia nyata. Untuk itu, penggunaan bahasa Inggris di luar kelas, dalam hal ini dalam ranah ke-luarga, menjadi sebuah keniscayaan.

Dalam konteks inilah, peran orang tua begitu penting untuk di-mainkan. Hal ini bermakna bahwa sokongan yang diberikan dan masa yang diluangkan orang tua di rumah cukup membantu memintarkan anaknya sebagai pemelajar belia. Sokongan itu dapat berupa fasilitas bahan cetak dan elektronik.

Sebagai contoh, buku seperti Barney and BJ beserta semua varian aktivitasnya (Going to the Fair, Going to the Dentist, Going to the Library, Going to the Police Station, Going to the Doctor, Going to the Fire Station, Going to the Farm, Going to the Zoo, Going to the Pet Shop, Going to the Grocery Store, Going to School) kiran-ya dapat digunakan. Sementara itu, untuk media elektronik, orang tua bisa mendedahkan (expose) anaknya pada televisi. Dengan demikian, anak akan lebih mudah memperoleh bahasa Inggrisnya manakala ia lebih banyak terdedah pada bahasa di rumah dan kebiasaan memakainya.

Selain itu, orang tua bisa meng-ajari anaknya di rumah dengan mem-berikan kosa kata keseharian dan la-zim, yang begitu dekat dengan mere-ka. Sekadar contoh sebagai gambaran konkret, orang tua bisa mengajak anaknya berbicara, menirukan, dan menjelaskan perihal ungkapan-ung-

kapan sederhana bahasa Inggris da-lam konteks keindonesiaan, seperti What is your name?, How old are you?, Where do you live?.

Sementara itu, kosa kata yang berdimensi persekitaran rumah bisa juga diajarkan secara prosesif dan kumulatif, misalnya door, window, wall, lamp, desk, table.

PenutupPada dasarnya dapat dikatakan bahwa keberhasilan atau kegagalan guru ba-hasa Inggris bagi pemelajar belia akan banyak bergantung pada strategi bagaimana dia berusaha membuat ba-hasa Inggris menarik bagi pemelajar.

Sudah semestinya ia mengadopsi dan mengadaptasi metode dan teknik pengajaran yang mutakhir dan mo-dern yang bisa menarik perhatian pemelajar dan memberi elan (spirit) kepada pemelajar belia untuk meng-gunakan bahasa Inggris dalam aneka situasi. Peran orang tua pun tidak bisa dinafikan. Singkat kata, peran guru dan orang tua begitu saling mengisi demi keberhasilan pemelajar belia memperoleh bahasa Inggrisnya. Gambaran mudahnya, guru menjadi orang tua pertama di kelas dan orang tua menjadi guru kedua di rumah.

Sebagai penutup, masih tersisa isu dan perkara pelik tentang PBIPB yang bisa diangkat dan dibincang-kan. Bagaimana guru menyikapi, baik secara pedagogis maupun meto-dologis, pemelajar belia dengan hete-rogenitas usia? Pemelajar belia yang berusia 6 tahun tentu berbeda de-ngan yang berusia 9 tahun, bukan? Bagaimana pula konteks memain-kan peran? Boleh jadi, karakteris-tik pemelajar belia yang terbentang dalam tulisan ini sungguh berbeda dengan karakteristik pemelajar be-lia yang Anda jumpai. [E]

22 Edisi 12 Tahun VI Desember 2008

23

NellyMartinStaf PPPPTK Bahasa

23

INTRODUCTIONDURING THE PAST DECADES, A CONSIDERABLE AMOUNT OF RESEARCH HAS BEEN

CONDUCTED TO INVESTIGATE THE NON-LANGUAGE FACTORS THAT INFLUENCE A LEARNER

IN LEARNING A SECOND OR FOREIGN LANGUAGE. THE LEARNER’S AGE, APTITUDE,

ATTITUDE AND MOTIVATION ARE NOT THE ONLY FACTORS THAT TREMENDOUSLY AFFECT

THE LEARNING PROCESS. LEARNING STYLES ALSO IMPORTANTLY CONTRIBUTE TO THE

SUCCESS OF LANGUAGE LEARNING.

The purpose of the paper is to examine how learning styles

can affect learning strategies, and the activities given in classrooms. Ehrman (1998) and Oxford (1994) state that learning styles have a significant impact on how a learner chooses some strategies and can greatly influence the learning outcomes.

In addition, Sharp (2006) and Witkin, Moore & Goodenough (1977) state that learning styles will help teachers understand learners’ condition better so that they are able to facilitate the learning process by selecting

appropriate activities to accommodate all types of learners.

THEORETICAL BACKGROUNDLearning StylesThe notion of learning styles encompasses cognitive, affective and personality aspects of an individual. Reid (1998) and Brown (1994) argue that they refer not only to cognitive aspect, but also to personality and affective cases. Keefe (1974 as cited in Reid, 1998) agrees that emotion and cognition are two important aspects that greatly influence learning styles. He argues that the physical,

affective and cognitive domains are the essential factors that take part in the internalizing process of how the learner develops learning styles.

Another fact about learning styles is that they are acquired and internalized unconsciously (Jie & Xiaoqing, 2006; Reid, 1998 & Kinsella, 1998). They believe that learning styles embrace the unconscious individual learners traits, while learning strategies are the external behaviors selected consciously by the learners in order to process the new skills and information and to make their learning more efficient.

Edisi 12 Tahun VI Desember 20082�

In addition, Brown (1994) believes that learning styles are a consistent tendency of an individual, of which personality and intellectuality take part that are unique from each learner. A learning style is often referred to as an individual’s preference or the personal and stable characteristics of a learner.

In line with that, Reid (1998) agrees that they are unconscious traits and cannot be improved through teaching, while strategies refer to some different ways to achieve the goals that the learners have set. Moreover, they may vary from one moment to another moment and from time to time (Brown 1994). So, the distinctions between learning styles and strategies are the levels of unconsciousness, intentionality, stability and awareness (Brown 1994).

To define and list learning styles is, unfortunately, not an easy task since there is a long list that would emerge. As Brown (1994) elaborates there are innumerable styles that have been defined by some experts, such as Ausabel (1968) who discovered that there are at least 18 different styles and Hill (1972 ) who listed 29 different styles.

In line with them, Brown (1994) also identified that there are a great numbers of learning styles. Furthermore, several studies have been conducted in this subject area. Gardner (1983 as cited in Christison, 1998) introduces the seven multiple intelligences that range from linguistics to intrapersonal intelligences.

In addition, Reid (1998) notes that Kolb in 1984 studied and established the Kolb experiential learning models and Reinert in 1976 introduced the perceptual learning styles. However, there are only a few of them that have received attention in second language acquisition.

Learning StrategiesAs mentioned earlier, learning strategies are the conscious steps and behaviors selected by a learner to facilitate their learning (Brown,1994; Oxford,1994; Reid, 1995,1998). There are a variety of ways to assess learners’ strategies, such as through observations, questionnaires and surveys (Brown1994) and interviews with learners (Oxford1994). There are a considerable number of learning strategies that are available for learners.

The strategies that involve self-planning, self-managing and self-correcting, self-thinking and self-monitoring are considered the metacognitive strategies (Brown,1994; Oxford,1989). The strategies that involve the learners’ affective and psychological feeling to

connect with others and interact socially in the learning process are considered socioaffective strategies (Brown,1994) or affective strategies (Oxford,1994). The cognitive strategies, however, are viewed as the strategies to analyze, to absorb and to manipulate the learning material and to link the new learned information and knowledge to an existing schemata (Brown,1994 ; Oxford,1994).

DISCUSSIONThe Strategies and the Activities for Field-Independent and Field-Dependent LearnersAs mentioned earlier, there are a considerable number of learning styles, yet the writer would like to discuss the field independent/dependent learning styles. These styles have been interesting to discuss since they are considered the most researched topic (Pitchers, 2002, Wooldrigde 1995 as cited in Wooldridge & Bartolf, 2006) and as the most dynamic styles that still have some room for new innovations (Witkin & Goodenough, 1981, as cited in Wooldridge & Bartolf, 2006).

As for the teachers and practitioners, this topic is theoretically evasive (Erhman,1998). In addition, there is some on-going discussion about how to define the terms appropriately. As the name suggests, the field-dependent style is defined as the absence of the idea of being “ independent” and is likely assumed to carry a negative meaning. Also, there is also another discussion whether the styles should be included strictly to cognitive style or referred to the personality factor and whether the field-dependence is the process of negating the field independence or it is on its own character (Erhman,1998).

Aside from the discussion of the term, the notion of the field-independence is described as the ability to view and analyze the specific data (Brown, 1994, Witkin et al 1977, Erhman,1998, Wooldridge & Bartolf, 2006). Field-independent learners are able to distinguish parts from the whole and are not easily interrupted by their surrounding, which means they can read a book in a noisy area (Brown, 1994). That is why Erhman (1998) views this ability as the skill to see things out of context.

However, as they tend to see the general idea, they likely fail to “see a relationship to a whole” (Brown 1994, p. 106). Psychologically, field-independent learners are considered individuals who are competitive, analytical, intrinsically motivated, disciplined, dominant, self-

2� 2�

confident, task-oriented and independent and are more focused with longer attention spans (Brown, 1994; Erhman,1995; Witkin et al 1971). Therefore, field-independent individuals will learn more if they have a lecture and note-taking time (Frank, 1984 as cited from Wooldridge & Bartolf, 2006) and will be learn more efficiently through deductive lessons (Brown, 1994).

The classroom activities that can accommodate field-independent learners may vary from analysis, scrutinizing details, mastering exercises, doing drills and deductive designs and other focused activities (Brown, 1994). Moreover, they will perform more efficiently if they have some room to develop their own learning strategies. Therefore, they will greatly improve their learning if they apply self-monitoring, self-management and self-evaluation from the metacognitive strategies.

On the other hand, field-dependent learners excel at viewing things as a general and large view as well as a relationship of an idea. They are able to skim and get the gist easily. However, they tend to fail to view things without any context and any unstructured forms (Erhman,1998 & Wooldridge & Bartolf, 2006). The field-dependent learners “engage a global organization of the surrounding field and perceive parts of the field as fluent” (Wooldridge & Bartolf 2006, p.239) and they are influenced greatly by the environment so they need to have specific and detailed feedback and extrinsic motivation that makes them tend to be more socialized (Witkin 1971; Brown, 1994;Erhman,1998;Oxford, 1989; Sharp 2006 ;Witkin et al 1977;Wooldridge & Bartolf, 2006).

This motivates them to look toward others for reinforcement of opinions and attitudes. Therefore, teachers are expected to reinforce them by giving positive feedback and compliment their achievement, which will ignite their motivation to improve their performance. Opposite from field-independent learners, field-dependent individuals are considered empathy, socially oriented, less achievement-oriented, less competitive, social person with a warm personality and thoughtful towards others (Brown, 1994; Erhman1995;Witkin et al 1974;Wooldridge, 1995 as cited by Wooldridge & Bartolf, 2006). Thus, it is highly suggested for the teacher to have group discussions, planned activities, structured presentation and texts, and explicit and effective instruction in order to facilitate their learning.

Moreover, more structured objectives, and an outline and a handout during a presentation would be

Edisi 12 Tahun VI Desember 20082�

certainly recommended in order to make their learning efficient (Witkin and Goodenough, 1981). It is crucial to present the structured materials, as field-dependent learners will have greater difficulty in understanding as compared to the counterparts, if the materials lack clear structure (Wooldridge & Bartolf, 2006).

In addition, the teacher should pay more attention in selecting the types of the texts, since the field-dependent learners are undoubtedly interested in social matter; the socially related material will benefit them (Wooldridge & Bartolf, 2006 & Witkin, 1977, Brown, 1994). Thus, the strategies that are useful for the field-dependent learner are inferencing, contextualizing (considered as cognitive strategies) and cooperation, which refers to socio-affective strategies.

ConclusionAfter reviewing several learning styles and strategies in second/foreign language learning, it is salient to realize that all individuals have their own strengths and weaknesses with their own learning styles that must be encouraged in order to achieve the ultimate goal of learning (Reid, 1995). In addition, “learning styles are value-neutral, that means that no style is more superior than the other and they exist as on wide continuum” (Reid 1995, p.xiii). Reid also states that “it may be to assume that learners should be either field-independent or field-dependent: it is more likely that persons have general inclinations (p.xiii).

Moreover, by given certain contexts, the students “can exercise a sufficient degree of an appropriate style” (Brown 1994, p. 108). Therefore, it would be an ideal collaboration between the teacher and the learner to explore more about each learner’s learning style so that learning objectives can be achieved through selecting the proper learning strategies and classroom activities. [E]

REFERENCESBrown, H.D (1994). Principles of Language Learning and

Teaching: Attitudes, Orientations, and Motivations in Language Learning: third edition. Englewood Cliffs, NJ: Prentice Hall Regents.

Christison, M.A (1998). Student-Generated Inventory for Secondary and Young Adult Learners. In J. Reid (Ed.), Understanding Learning Styles in the Second Language Classroom (pp. 160-166). Boston: Heinle & Heinle Publishers.

Ehrman, M.E (1998). Field Independence, Field Dependence, and Field Sensitivity in Another Light. In J. Reid (Ed.), Understanding Learning Styles in the Second Language Classroom (pp. 62-70). Boston: Heinle & Heinle Publishers.

Jie, L. & Xiaoqing, Q. (2006). Language Learning Styles and Learning Strategies of Tertiary-Level English Learners in China. RELC Journal, 37(67), 68-90.

Kinsella, K. (1995). Understanding and Empowering Diverse Learners in the ESL Classroom. In J. Reid (Ed.), Learning Styles in the ESL/EFL Classroom (pp. 170-194). Boston: Heinle & Heinle Publishers.

Oxford, R. (1994). Language Learning Strategies: An Update. Retrieved Oct. 25, 2007, from http://://www.cal.org/resources/digest/oxford01.html

Reid, J. M. (1987). The Learning Style Preferences of ESL Students. TESOL Quarterly, 21(1), 87-111.

Reid, J.M (1995). Learning Styles in the ESL/EFL Classroom. In J. Reid (Ed.), Learning Styles in the ESL/EFL Classroom (pp. viii-xvii). Boston: Heinle & Heinle, Publishers.

Reid, J.M (1998). Learning Styles Issues. In J. Reid (Ed.), Understanding Learning Styles in the Second Language Classroom (pp. xi-xiv). Boston: Heinle & Heinle Publishers.

Sharp, J.E (2006). Rationale and Strategies for Using Kolb Learning Style Theory in The Classroom. In R. R Sims & S.J Sims (Ed.), Learning Styles And Learning (pp. 115-128). New York, NY: Nova Science Publishers, Inc.

Witkin, H., Moore, C., & Goodenough, D (1977). Field-Dependent and Field-independent Cognitive Styles and Their Educational Implications. Review of Educational Research, 47(1), 1-64.

Wooldridge,B (1995). Increasing the Effectiveness of University/College Instruction: Integrating the Results of Learning Style Research into Course Design and Delivery. In R.R Sims and S.J Sims (Eds). The Importance of Learning Styles: Understanding the Implications for Learning, Course Design, and Education (pp.49-67). Westport, Connecticut: Greenwood Press.

Wooldridge,B & Melanie Haimes-Bartolf (2006). The Field Dependence/Filed Independence Learning Styles: Implications for Adult Student Diversity, Outcomes, Assessment and Accountability. In R. R Sims & S.J Sims (Ed.), Learning styles and learning (pp. 237-257). New York, NY: Nova Science Publishers, Inc.

2�

Introduction

The Audio-Lingual Method (ALM) may be regarded as one of the most popular language teaching methods

ever created (Nunan, 1995). For decades, the method was so popular in second or foreign language classrooms to teach English, French, German, and Dutch. Although ALM is no longer as popular as it used to be, it is interesting to discuss the strengths and weaknesses of the method compared to other methods. It is expected that the results of the discussion in this article will be useful to provide a deeper understanding in English language teaching both theoretically and practically.

This article critically discusses the strengths and weaknesses of Audio-Lingual Method in comparison to Communicative Language Teaching (CLT) and Grammar Translation Method (GTM). The article will not cover every aspect of language teaching in ALM such as teaching materials, pedagogic grammar, the use of L2 as the only medium of instructions, and contrastive analysis, since many have attempted to do so. Instead, it will only focus on areas that related to oral proficiency such as communicative competence and pronunciation teaching, given the importance of oral proficiency in terms of successful second language acquisition.

In doing so, it starts with presenting the historical background of ALM as well as its underlining theory and principles. Afterwards, a critical discussion that examines the weaknesses of the method will come up in the second section. This section makes a comparison between ALM and CLT in terms of building communicative competence by focusing on two points: the inadequacy of behaviorist theory of language learning and the limited interaction in ALM classrooms. What appears after that section is a discussion of the strength of ALM in terms of teaching pronunciation.

A slight comparison between ALM and GTM will take place in this third section. Finally, the article will briefly conclude the discussion and give some practical recommendations for English language pedagogy.

How was ALM Developed? What are the Principles?Richards and Rogers (2001) describe that during the World War II the USA was in a great need of training the soldiers to achieve conversational proficiency in foreign languages. However, it is seldom that traditional methods such as Grammar Translation Method (GTM) can result in oral fluency. For this reason, a task to develop a new method that can build strong oral fluency was given to some linguists in American Council of Learned Societies.

Those linguists were successful to establish the Army Specialized Training Program (ASTP) in 1942. In that program, soldiers were trained intensively to improve their oral skills. Although the program lasted for only two years, the effects remained in the following years when the principles emerged in a new method called the Audio-Lingual Method (ALM) (Brooks, 1960).

In the 1950s, the Behaviorist theory of Skinner’s was flourished and its influence touched the ALM classrooms (Rivers, 1964). Assuming that language is similar to human behaviors, Skinner (1957) asserts that language mastery can be seen as a process of stimulus-response-reinforcement. He further suggests that habit formation is the best way to learn a second or foreign language. Implicationally, the occurrence of behaviors in language classrooms is dependent of three elements: stimulus, response, and reinforcement. Whereas a stimulus serves to elicit and trigger response, reinforcement serves to mark the response as being appropriate or inappropriate and encourages the repetition of the response. Teachers therefore need to reinforce

*Dosen Fakultas Seni dan Humaniora UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta

MochamadSubhanZein*

2�

Edisi 12 Tahun VI Desember 20082�

students to allow the possibility of the desired behavior to occur again and become a good habit (Brooks, 1960). On the other hand, language errors should be prevented at all cost, because they lead to the formation of bad habits (Larsen-Freeman, 1986).

Since language learning is seen as a process of habit formation, drillings such as backward, build-up, chain, substitution and transformation play a great role in ALM classrooms. The idea is that the more often a language focus is repeated, the stronger the habit and the greater results in learning can be achieved. Only when learners are able to perform well in the drillings they are able to make the language patterns become habits (Bowen, 1967).

To find out what language focus should be drilled, ALM relies heavily on the structural linguistics theory. In structural linguistics, a language is viewed and described structurally. Elements of language are viewed structurally because they are assumed to be produced in a linearly structured way. It is then followed by an exhaustive description of language samples at any structural level from phonemic systems to phrases, clauses, and sentences (Richards and Rogers, 2001).

Dealing with students, teachers in ALM classrooms are expected to develop activities that can enable students to practice listening and speaking (Saitz, 1967) through drillings, yet maintained the authority role. They should initiate most interaction in ALM classrooms, especially when they give instructions as well as explanation in the target language (L2). Students, on the other hand, only have the opportunity to interact when they take turn in practicing dialogues.

In terms of pronunciation, Fries (1945) set forth a fundamental aspect of teaching pronunciation for ALM classrooms. He argues that the use of minimal pairs (words such as sheep-ship, rag-rack, face-vase, etc.) is essential in order to build students’ phonetic awareness in sound distinction and sound articulation. In doing so, they were initially given abundant opportunity to listen to the targeted sounds. After that, they were trained to imitate the sounds in isolated words and sentences. It is then followed up with practice in stress, rhythm, and intonation. Each of these procedures was applied in order to achieve what is called native-like pronunciation. As students practice these over and over, it is expected that the skills will eventually become habits that can be used automatically in conversation.

After briefly presenting the historical background and some principles of ALM, we shall now turn to discuss the principlen te following section.

Communicative Competence: ALM vs. CLTIn regard to the communicative competence which is defined as “the overall underlying knowledge and ability for language use” (Hymes, 1971, p. 13), ALM falls short to equip students to be able to use the language communicatively. There are two reasons for this: first, the inadequacy of behaviorist theory and second, the lack of interaction in the classrooms.

It is true that behaviorist theory is very appealing to many language teachers, yet it does not provide strong foundation to explain how people can use language to communicate. According to Chomsky (1959), the behaviorist theory is unsatisfactory in explaining how language is acquired and how it is used for communication. Given the aspect of language creativity that allows children to routinely create new set of sentences they never heard before, it is hard to say that they can learn and produce a large set of sentences through repetition. For this reason, Chomsky (1975) states that habit formation not the reason that allows children to communicate. Rather, it is the innate ability, or Language Acquisition Device (LAD), that allows children to make use of intricate structure to communicate. In other words, the only reasons why children can acquire language shortly and effortlessly is the genetically endowed device (LAD) that allows them to do so, not habit formation.

A pedagogical implication for this notion is that repetition in drillings-an integral aspect in the process of habit formation in ALM classrooms- is insufficient to build communicative competence. Drillings, on the contrary, will only make students more concentrate to accuracy rather than fluency as articulated by Byrne (1980), Harmer (1982) and Valette (1983). By focusing more on structural changes and neglecting the communicative function of language, ALM thus fails to build communicative competence (Littlewood, 1981). This explains why most ALM students cannot transfer the acquired skills “to real communication outside the classroom”, despite strong ability that they show in using the language in drilled-patterns activities (Richards & Rogers, 2001, p. 65).

Based on the notion that “communication only takes place when we make use of sentences to perform a variety of different acts of an essentially social nature” (Widdowson, 1972, p. 17), CLT proponents, in contrast, believe that drillings is important but not the most important one. In CLT classrooms, practice is true important, but it does not mean employing a large number

2�

Foto 1: Penyerahan hadiah bagi tiga peserta terbaik pada Diklat Tingkat Dasar Guru Bahasa SMA/MA Jerman (B1) kerja sama PPPPTK Bahasa dengan Goethe Institut Jakarta.

Foto 2: Salah seorang peserta TOT Guru Bahasa Jepang SMA Tingkat Regional tengah menuliskan hasil diskusi kelompok untuk di-presentasikan.

Foto 3: Suasana pembagian daging hewan kurban Idul Adha 1429/2008 pada warga sekitar lingkungan PPPPTK Bahasa.

Foto 4: Para peserta Diklat Kepala Sekolah tampak tengah berdiskusi di tengah sesi materi diklat.

Foto 5: Tampak para peserta Diklat Tingkat Tinggi Guru Bahasa SMA/MA Jerman (B2) kerja sama PPPPTK Bahasa dengan Goethe Institut Jakarta berdikusi dalam membuat materi presentasi.

Foto 6: Penatar dari The Japan Foundation terlihat sedang berdikusi dengan peserta Diklat Tingkat Lanjut Guru Bahasa Jepang SMA/MA.

Foto 7: Salah seorang penatar sedang memberikan materi pada Diklat Tingkat Dasar Guru Bahasa Mandarin.

Foto 8: Kepala PPPPTK Bahasa beserta para pejabat serta keluarga besar pegawai PPPPTK Bahasa berkumpul bersama dalam acara silatura-him sekaligus halal bihalal di Sariater, Subang.

Foto 9: Para peserta sedang berdiskusi dan bekerja dengan tim dalam Work-shop Testen und Prüfen Multiplikator Bahasa Jerman.

Foto 10: Kepala PPPPTK Bahasa beserta Kabag Umum tengah menutup kegiatan Program BERMUTU Pelatihan Provincial Core Team (PCT) dan Dictrict Core Team (DCT) bagi KKG dan MGMP di Hotel Pramesthi, Bogor.

Foto 11: Sebagai wujud kepedulian sosial terhadap masyarakat, PPPPTK Bahasa memberikan santunan kepada warga sekitar pada bulan Ramadhan kemarin.

Foto 12: Para pegawai PPPPTK Bahasa tengah mengikuti upacara pada Hari Sumpah Pemuda ke-80 yang diikuti juga oleh peserta diklat bahasa Jerrman B2.

Edisi 12 Tahun VI Desember 200830

addition, interactivity in doing learning task is important to give rise to differing levels of learner and teacher involvement (Wright, 1987). To sum up, only when interaction among learners is abundant, then the opportunity of developing communicative competence can exist. Examining how the interaction is conducted, it is fair to say that ALM does not allow abundant opportunity for interaction that can contribute to communicative competence.

On the other hand, CLT develops meaning-based, conventional, appropriate, and interactional type of communication (Richards, 1983). The interactional type of communication in CLT is intended to give students the opportunity to use the language for their own purposes, that is, to make use of language as a means of communication (Brumfit, 1980). The rationale is only when communication activities that employ social interaction, discourse enactments, and active negotiation of meaning occur, can full acquisition be triggered (Widdowson, 1990). Research of scholars suggests that some activities such as role play (Robinson, 1981) and group-work (Long and Porter, 1985) are proven to be useful to accomplish this interaction-oriented communication needs. As a consequence, CLT classrooms are full of activities that allow students to do role play, group-work and discussion-in which each of them enables students to interact and develop their communicative competence. Through this consideration of classroom interaction, it can be found another weakness of ALM in comparison to CLT.

Strong PronunciationEven though intelligibility is the paramount concern for learners (Jenkins, 2004) and that aiming for native like pronunciation may result in aspersions on learners’ group loyalty (Gatbonton, Trofimovich, Magid, 2005), achieving native-like pronunciation is still favorable. Many learners might even want to be as close as possible to English native speakers. To put in another way, many of them want to be able to produce the native-like pronunciation, rather than keeping their native accent. Their reason to do so is in order to be identified as good language learners and to actively participate once they live in the L2 community (Kubota, 2006).

Related to that, ALM can help learners to achieve native-like pronunciation. ALM views the sound system of English as a fundamental aspect of learning and expects students to be able to sound like English native speakers (Fries, 1945). Consequently, a set of teaching procedures that

of repetition over and over. Rather, it means “the use of language in numerous situations” (Stevens, 1983, p. 268) and implies that practice only appears when it enables students to use language in various occasions. That is why CLT does not use drillings as much as ALM does when it comes to building communicative competence. Even when drillings occur in CLT the intention is not to develop habit formation, as opposed to ALM, but to make the language as part of students’ conscious awareness before can be used in communication.

In terms of achieving communicative competence through interaction, the limitation of ALM is apparent (Williams & Burden, 1997). Interaction in ALM classrooms is fairly limited. Although there is student-student interaction, the type of interaction is constrained to occasions when they just memorize a dialogue and take turn to act it out. In addition, the interaction is mainly teacher-directed, which means interaction only occurs when the teacher directs it, either through drillings and dialogue-patterns or through explanation.

Because the students only use the language in the structured-drillings, it is clear from the situation that they cannot use it for real communication activities. In other words, this limited interaction reveals the exposure to use the language for communication is also limited, even in the classroom. This limited interaction, of course, will not contribute to successful communication, because successful communication in the classrooms needs two-ways interaction (Rivers, 1987). Only when students are able to exchange ideas interactively can they have comprehensible output in order to build communicative competence (Swain, 1985). In

AUDIO-LINGUAL METHOD (ALM) HAS CLEAR LIMITATION IN TERMS OF BUILDING REAL

ORAL PROFICIENCY, ESPECIALLY IN TERMS OF COMMUNICATIVE COMPETENCE. THE REASON IS

TWOFOLD. FIRST, THE BEHAVIORIST THEORY THAT UNDERLIES ALM PRINCIPLES IS INADEQUATE

IN PROVIDING SOUND FOUNDATION TO ALLOW STUDENTS TO USE LANGUAGE COMMUNICATIVELY.

THE REASON IS SIMPLE: COMMUNICATIVE COMPETENCE CANNOT BE BUILT FROM DRILLINGS BECAUSE LANGUAGE IS NOT HABIT FORMATION.

SECOND, THE METHOD DOES NOT ALLOW ABUNDANT PROVISION FOR STUDENTS TO INTERACT.

31

emphasizes pronunciation can be seen in ALM classrooms. In doing so, students are trained to listen to distinguish sounds in L2 by using minimal pairs. They then continue with pronouncing the sounds in isolated words before being able to produce the sounds in complete sentences. These practices are repeated for a couple of times until students are able to produce the targeted sounds. In addition, there are also specific practices in relation to stress, rhythm, and intonation (Bowen, 1967). The results are remarkable. There are lots of students who can acquire native-like pronunciation, regardless of their age. A project carried out by Fries (1965) with Japanese learners shows that ALM is a powerful tool to eliminate their native accent and acquire native-like pronunciation in English.

The fact that ALM is very strong in pronunciation is a true strength compared to Grammar Translation Method (GTM) that does not pay attention to oral language at all (Howatt & Widdowson, 2004). GTM aims to acquire ability in reading and writing in L2, so it requires students to memorize grammar rules and do grammar exercises afterwards. Students were also asked to do reading comprehension questions and translate the reading passage. Instructions are given in L1 to explain grammatical terms. This reveals that there is no L2 model provided, which means no input in oral language-including in pronunciation-is provided. Because GTM does not employ any activity that can improve students’ pronunciation, the results show that students’ of GTM classrooms are lack of oral proficiency, including poor pronunciation (Larsen-Freeman, 1986). From this point, comparing ALM and GTM is a huge contrast, because one is very strong in pronunciation, whereas the other is not.

ALM procedures in teaching pronunciation have been supported by numerous scholars. By asserting that prosody should be given equal proportion in addition to individual sounds, scholars such as De Bot and Mailfert (1982), Kelly (2000), Jenkins (2004), and Field (2005) implicitly strengthen the procedures that have been applied in ALM classrooms. In other words, they give another evidence of how teaching pronunciation can benefit from teaching pronunciation procedures applied in ALM. However, it is necessary that strategies such as adjusting voice quality setting (Esling & Wong, 1983) and integrating pronunciation and spelling system (Acton, 1984) and Dickerson (1985) should also be taken into account in order to help students to improve their pronunciation. This will also make teaching pronunciation offers lots of variance instead of merely teaching individual sounds and practicing stress and intonation.

Conclusion and RecommendationsIn conclusion, Audio-Lingual Method (ALM) has clear

limitation in terms of building real oral proficiency, especially in terms of communicative competence. The reason is twofold. First, the behaviorist theory that underlies ALM principles is inadequate in providing sound foundation to allow students to use language communicatively. The reason is simple: communicative competence cannot be built from drillings because language is not habit formation. Second, the method does not allow abundant provision for students to interact. As a consequence, this limited classroom interaction diminishes the opportunity for students to build their communicative competence. On the other hand, Communicative Language Teaching (CLT) is abundant of procedures that allow interaction among learners in order to build communicative competence. For this reason, teachers cannot depend on ALM in building communicative competence but they can apply procedures of CLT. Regardless of these criticisms, ALM is clearly beneficial in teaching pronunciation. Armed with ALM powerful procedures and some strategies in teaching pronunciation, those who want to acquire native-like pronunciation may be benefited from this method. This is a clear advantage that teachers can obtain from the Audio-Lingual Method.

Having examined the Audio-Lingual Method, several recommendations can be made to benefit English language teaching pedagogy. First, it is necessary that teachers provide opportunities to students to use the language as much as possible. Teachers should facilitate learning by providing interesting and challenging activities in role play, games, group work, and discussion that can promote interaction between students. By doing so, it is expected that students can develop their communicative competence. Second, ALM drillings alone are proven to be most beneficial to attain native-like pronunciation, yet further consideration on teaching pronunciation should also be taken into consideration. For instance, it is necessary that teachers pay sufficient attention to stress, rhythm, and intonation when teaching pronunciation and not only to sound distinction and sound articulation. Employing strategies such as adjusting voice quality setting as well as integrating pronunciation and the English spelling system is also useful to help students with their pronunciation. These recommendations are in relation of what is centralized in post-method pedagogy (Kumaravadivelu, 2006) because the most important thing for teachers is not following a certain method but embracing what advantages a method

31

Edisi 12 Tahun VI Desember 200832

offers for English language pedagogy as well as building critical analysis of their own teaching practices. [E]

ReferencesActon, W. (1984) Changing Fossilized Pronunciation. TESOL

Quarterly, 18 (1), 71-85.Bowen, J.D. (1967). Techniques and Procedures in Second

Language Learning. Huezon City: Phoenix Publishing.Brooks, N. (1960). Language and Language Learning-Theory

and Practice. New York: Harcourt, Brace, & World, Inc.Brumfit, C. (1980). Ideology, Communication and Learning

to Use English. TESOL Quarterly, 34(3), 169-172.Byrne, S. (1980). English Teaching Perspective. Essex:

Longman.Chomsky, N. (1959). A Review of B.F. Skinner’s Verbal

Behavior. Language, 35(1), 26-58._______. (1975). Reflections on Language. London: Temple

Smith.De Bot, K. & Mailfert, K. (1982). The Teaching of Intonation:

Fundamental Research and Classroom Applications. TESOL Quarterly, 16/2, 71-89.

Dickerson, W. (1985). The Invisible: A Case for Spelling in Pronunciation Learning. TESOL Quarterly, 19(2), 303-334.

Esling, J.H. & Wong, R.F. (1983) Voice Quality Settings and the Teaching of Pronunciation. TESOL Quarterly, 17(1), 89-95.

Field, J. (2005). ‘Intelligibility and the Listener: The Role of Lexical Stress’. TESOL Quarterly, 39 (3), 399-424.

Fries, C. (1945). Teaching and Learning English as a Foreign Language. Toronto: The University of Michigan Press.

Fries, C. (1965). A New Approach to Language Learning. In H.B. Allen (Ed.), Teaching English as a Second Language: A Book of Readings (pp. 84-87). New Delhi: McGraw-Hill Publishing Company.

Gatbonton, E., Trofimovich, P., Magid, M. (2005) Learners’ Ethnic Group Affiliation and L2 Pronunciation Accuracy: A Sociolinguistic Investigation. TESOL Quarterly, 39(3), 489-511.

Hymes, D.H. (1971). On Communicative Competence. In C.J. Brumfit, & K. Johnson (Eds.), The Communicative Approach to Language Teaching (pp. 5-26). Oxford University Press.

Jenkins, J. (2000). The Phonology of English as an Inter-national Language. Oxford: Oxford University Press.

Jenkins, J. (2004). ‘Research in Teaching Pronunciation and Intonation’. Annual Review of Applied Linguistics, 24(1), 109-125.

Kelly, G. (2000). How to Teach Pronunciation. Edinburgh: Longman.

Kubota, M. (2006). Comments on Jennifer Jenkins’ “Implementing an International Approach to English Pronunciation: The Role of Teacher Attitudes and Identity. TESOL Quarterly, 40(3), 604-609.

Kumaravadivelu, B. (2006). TESOL Methods: Changing Tracks, Challenging Trends. TESOL Quarterly, 40(1), 59-81.

Larsen-Freeman, D. (1986). Techniques and Principles in Language Teaching. Oxford: Oxford University Press.

Littlewood, W. Communicative Language Teaching: An Introduction. Cambridge: Cambridge University Press.

Long, M.H. & Porter, P. (1985). Group Work, Interlanguage Talk, and Second Language Acquisition. Applied Linguistics, 19(2), 207-228.

Nunan, D. (1995). Language Teaching Methodology: A Textbook for Teachers. Hertfordshire: Phoenix ELT.

Robinson, P.G. (1981). Role Playing and Class Participation. ELT Journal, 35(4), 384-386.

Richards, J.C. (1983). Communicative Needs in Foreign Language Learning. ELT Journal, 39/4, 111-120.

Richards, J. & Rogers, T.S. (2001). Approaches and Methods in Language Teaching (2nd ed.). Cambridge: Cambridge University Press.

Rivers, W.M. (1964). The Psychologist and the Language Teacher. Chicago: The University of Chicago Press.

Rivers, W.M. (1987). Interactive Language Teaching. Cambridge: Cambridge University Press.

Swain, M. (1985). Communicative Competence: Some Roles of Comprehensible Input and Comprehensible Output in its Development. In Gass, S.M. & Madden, C.G. (Eds.), Input in Second Language Acquisition (pp. 235-253). Rowley: Newbury House.

Saitz. R.L. (1965). Large-Classes and the Oral-Aural Method. In H.B. Allen (Ed.) Teaching English as a Second Language: A Book of Readings (pp. 322-325). New Delhi: McGraw-Hill Publishing Company.

Stevens, F. (1983). Activities to Promote Learning and Communication in the Second Language Classroom. TESOL Quarterly, 17(2), 259-272.

Valette, R.M. (1973). Developing and Evaluating Communication Skills in the Classroom. TESOL Quarterly, 7(4), 407-424.

Williams, M. & Burden, R.L. (1997). Psychology for Language Teachers. Cambridge: Cambridge University Press.

Widdowson, (1990). Aspects of Language Teaching. Oxford: OUP.Widdowson, H. G. (1972). The Teaching of English as

Communication. ELT Journal, 27(1), 15-19.Wright, T. (1987). Roles of Teachers and Learners. Oxford:

Oxford University Press.

3333

Pengantar

Dalam jagat pendidikan dan pela-tihan (diklat) bahasa, pendiklat

atau widyaiswara (WI) tentu tidak asing lagi dengan istilah alih kode, karena sangat mungkin mereka kerap menggunakannya tatkala mendiklat guru bahasa di kelas. Alih kode secara umum dalam kajian Sosiolinguistik merupakan fenomena yang natural un-tuk menunjukkan karakteristik kedwi-bahasaan dan ia secara luas dapat diamati di berbagai ranah dalam ma-syarakat anekabahasa (multilingual) dan anekabudaya (multikultural), ter-masuk ranah pendiklatan bahasa itu, utamanya kelas diklat bahasa Inggris. Yang menarik adalah bahwa ia tidak hanya bisa terjadi dalam wacana WI sebagai pemeran serta diklat yang satu, tetapi juga bisa terjadi dalam wacana guru bahasa sebagai peme-ran diklat yang lain. Memang, bagi seorang WI, penggunaan alih kode di kelas diklat bahasa Inggris tidak disokong oleh banyak pendidik dan sepatutnya diminimalkan atau malah sebaiknya dihindari.

Akan tetapi, minimal dan sebaik-nya ia memiliki pemahaman tentang fungsi alih kode dan alasan yang men-dasarinya. Pemahaman ini akan mem-

bekalinya dengan kesadaran yang tinggi akan penggunaannya dalam wacana kelas dan mengarahkannya ke pendiklatan yang lebih baik, apakah selanjutnya ia akan mengeliminasi atau mendominasi penggunaannya selama berlangsungnya pendiklatan itu, baik diklat tingkat dasar, lanjut, menengah, maupun tinggi. Pemakaian alih kode dalam wacana guru bahasa pun boleh jadi memiliki fungsi. Selain itu, persoalan alih kode ternyata me-munculkan pertelingkahan. Tulisan ini berkaitan dengan fungsi alih kode dalam wacana WI, guru, dan perteling-kahan itu.

Cakupan dan BatasanSecara definitif, Numan dan Carter (2001:275) membatasi alih kode se-bagai sebuah fenomena peralihan dari satu bahasa ke bahasa lainnya dalam wacana yang sama. Istilah wacana dalam tulisan ini dibatasi pada penggunaan bahasa oleh WI dan guru secara wajar dan alami dalam latar kelas diklat. Istilah kode digunakan untuk hanya mencakupi bahasa dan bahasa yang dijadikan alih kode adalah bahasa ibu (Indo-nesia) guru dan bahasa Inggris yang guru ingin memiliki kompetensi di bidangnya tatkala mengikuti diklat.

Selanjutnya, baik WI maupun guru dalam tulisan ini diperlaku-kan sama-sama sebagai pemeran serta (partisipan) diklat, mengikuti

paradigma Hymes (1968), yakni bahwa partisipan adalah semua pihak yang terbabit dalam suatu peristiwa tutur (speech event) (Su-wito, 1985:32). Kegiatan diklat ba-hasa Inggris termasuk salah satu contoh peristiwa tutur.

Alih Kode dalam Masyarakat Dwibahasa Sebelum fungsi alih kode dari perspektif WI dan guru dibahas, ada baiknya dibincangkan pemakaian alih kode yang terjadi dalam konteks yang natural, yakni fungsinya dalam wacana individu bilingual (dwibaha-sawan). Menurut Trudgill (2000:105), penutur bahasa beralih kode untuk memanipulasi, memengaruhi dan membatasi situasi sebagaimana mere-ka harapkan, dan untuk menyam-paikan nuansa makna dan maksud personal. Berpijak dari sini, dapat dikatakan bahwa alih kode dapat digunakan untuk ekspresi diri dan merupakan suatu cara untuk memodi-fikasi bahasa demi kepentingan dan maksud personal.

Selain itu, alih kode berfungsi un-tuk membangun keakraban hubung-an interpersonal di antara anggota masyarakat bilingual. Dalam per-spektif ini, ia dapat diklaim sebagai wahana untuk menciptakan solildar-itas linguistis, utamanya antara in-dividu-individu yang berbagi identi-tas etnokultural yang sama. Untuk menjelaskan hal ini, dialog yang dikutip dan diadaptasi dari Holmes (1992:275) berikut dapat dipertim-bangkan. (lihat boks hal. 35)

GunawanWidiyantoStaf PPPPTK Bahasa

Fungsi Alih Kode dalam Diklat Bahasa Inggris

3� Edisi 12 Tahun VI Desember 2008

Dari contoh di atas, dapat di-amati bahwa Sara dan Maryam bera-lih kode dari bahasa Inggris ke ba-hasa Indonesia selama berlangsung-nya percakapan. Peralihan bahasa yang dilakukan oleh para pelibat percakapan itu mencerminkan iden-titas etnisnya dan berfungsi sebagai jembatan yang membangun soli-daritas di antara mereka, yang juga berhubung kait dengan tingginya tingkat keakraban tersebut.

Fungsi alih kode dalam konteks yang natural sebagaimana telah di-sebutkan di atas boleh jadi memili-ki kemiripan dengan penerapannya dalam kelas bahasa Inggris. Dalam membangun hubungan antara peng-gunaan dan fungsi alih kode dalam konteks yang otentik dan penggu-naan dan fungsi alih kode dalam kelas bahasa Inggris, ada baiknya dicatat bahwa sebuah kelas bahasa adalah sebuah kelompok sosial. Oleh karena itu, fenomena tentang wacana harian yang terjadi secara natural dari setiap kelompok sosial manapun sungguh potensial diter-apkan dalam dan sahih untuk kelas bahasa manapun juga.

Fungsi Alih Kode WIPemakaian alih kode oleh WI tidak senantiasa ditunjukkan secara sadar, dalam arti bahwa WI tidak senantiasa menyadari fungsi dan akibat proses alih kode tersebut. Oleh karena itu, dalam beberapa hal, ia boleh jadi di-anggap sebagai perilaku yang tanpa sadar dan terjadi secara otomatis. Meskipun demikian, disadari atau tidak, ia memiliki fungsi dasar yang bermanfaat dalam lingkungan pem-belajaran bahasa. Fungsi ini, sebagai-mana dinyatakan oleh Mattson dan Burenhult (1999:61), mencakupi alih topik, fungsi afektif, dan fungsi repeti-tif. Untuk memperoleh pemahaman mengenai ketiga fungsi tersebut, per-lu kiranya dijelaskan mengenai ketiga fungsi itu masing-masing.

Dalam kasus alih topik, WI meng-ubah bahasanya menurut topik yang sedang dibincangkan. Hal ini ter-utama dapat diamati dalam pengajar-an mata diklat tata bahasa, yang WI menggeser bahasanya ke bahasa ibu (mother tongue) gurunya dalam membahas topik-topik tertentu ten-tang tata bahasa yang diajarkan saat itu. Dalam hal ini, perhatian guru di-curahtumpahkan pada pengetahuan baru dengan adanya penggunaan alih kode dan penggunaan bahasa ibu.

Dalam konteks ini, secara analogis dapat dinyatakan bahwa sebuah jem-batan yang menghubungkan antara bahasa ibu dan bahasa Inggris diba-ngun untuk memindahkan (transfer) muatan baru, dan makna dijelaskan dengan cara ini pula, sebagaimana dinyatakan oleh Cole (1998) bahwa seorang WI bisa mengeksploitasi pengalaman belajar bahasa pertama sebelumnya yang dimiliki guru un-tuk meningkatkan pemahaman guru mengenai bahasa keduanya.

3� Edisi 12 Tahun VI Desember 2008

3�

(The Bahasa Indonesia is in italics. THE TRANSLATION IS IN CAPITALS)Sara: “I think everyone’s here except Maryam.”John: “She said she might be a bit late but actually I think that’s her

arriving now.”Sara: “You’re right. Hai Maryam. Masuklah. Apa kabar?” (HI MARYAM.

COME IN. HOW ARE YOU?)Maryam: “Halo sahabatku. Aku baik-baik saja. Have you started yet?”

(HELLO MY FRIEND. I AM FINE)

Fungsi kedua alih kode adalah fungsi afektif, yakni ia digunakan untuk mengungkapkan emosi. Dalam hal ini, alih kode dilakukan oleh WI untuk membangun solidaritas dan keakraban hubungan dengan guru. Hal ini bermakna, sesorang dapat berkontribusi alih kode untuk men-ciptakan sebuah lingkungan bahasa di dalam kelas. Hal ini pun bukanlah senantiasa sebuah proses sadar yang dilakukan WI.

Fungsi ketiga alih kode dalam latar kelas adalah fungsi repetitif. Dalam hal ini, WI melakukan alih kode untuk memindahkan pengetahuan yang per-lu bagi guru demi kejelasan. Dengan mengacu pada bahasa Inggris sebagai bahasa sasarannya, WI beralih kode ke bahasa ibu untuk memperjelas makna, dan cara ini menekankan pentingnya muatan bahasa Inggris demi pemaham-an yang efisien.

Namun, kecenderungan meng-ulangi pengajaran dalam bahasa ibu bisa menumbuhkan perilaku guru yang tak diinginkan. Seorang peme-lajar yang begitu yakin bahwa peng-ajaran dalam bahasa Inggris akan diikuti oleh terjemahannya dalam ba-hasa ibu boleh jadi kehilangan minat-nya dalam mendengarkan pengajaran sebelumnya, yang akan memiliki kon-sekuensi akademis yang negatif; kare-na guru terdedahkan dengan wacana bahasa Inggris yang begitu terbatas.

Fungsi Alih Kode GuruSebagiamana WI melakukan alih kode, guru pun sebagai pemeran ser-ta diklat juga tidak senantiasa sadar akan alasan untuk beralih kode de-ngan berbagai fungsi dan akibatnya. Meskipun tidak disadari bahwa alih kode dilakukan oleh guru, ia me-miliki empat fungsi. Fungsi terse-but, sebagaimana dinyatakan oleh

Eldridge (1996:305-307), mencakupi kesepadanan (equivalence), floor-holding, pengulangan pernyataan (reiteration), dan kendali konflik (conflict control).

Fungsi pertama alih kode guru ada-lah kesepadanan. Dalam hal ini, guru menggunakan bahasa ibu yang sepadan dengan butir leksikal tertentu dalam ba-hasa Inggris dan oleh karenanya ia ber-alih kode ke bahasa ibunya. Proses ini lazimnya berkaitan dengan lemahnya kompetensi linguistik dalam bahasa In-ggris, yang membuatnya menggunakan butir leksikal bahasa ibunya tatkala ia tidak memiliki kompetensi untuk men-jelaskan butir leksikal tertentu dalam bahasa Inggris.

Dengan demikian, kesepadanan ber-fungsi sebagai mekanisme defensif bagi guru karena ia memberinya kesempatan untuk melanjutkan komunikasi dengan menjembatani jurang pemisah sebagai akibat dari kurangnya kompetensi ba-hasa Inggris yang ia miliki.

Fungsi kedua adalah floor holding. Selama berlangsungnya percakapan dalam bahasa Inggris, guru mengisi jeda (stopgap) dengan menggunakan bahasa ibunya. Hal ini menyiratkan bahwa ada suatu mekanisme yang digunakan oleh guru untuk meng-hindari jurang pemisah dalam ko-munikasi, yang mungkin merupakan akibat dari kurangnya kefasihan dalam bahasa Inggris. Pada galibnya pemelajar yang beralih kode untuk

floor holding lazimnya memiliki ma-salah serupa, yakni bahwa mereka kurang bisa mengingat kembali lek-sikon atau struktur bahasa Inggris yang sesuai. Konsekuensinya, fung-si alih kode ini memiliki efek yang negatif pada pembelajaran bahasa Inggris karena ia boleh jadi mengaki-batkan hilangnya kefasihan dalam jangka panjang.

Fungsi ketiga alih kode adalah pengulangan pernyataan, yang di-latarbelakangi oleh kondisi bahwa sebuah pesan atau konsep sudah dis-ampaikan, ditekankan, dijelaskan, dan ditransmisikan dalam satu kode tetapi ia belum dimengerti (Eldridge, 1996:306). Dalam konteks ini, pesan dalam bahasa Inggris diulang oleh guru dengan bahasa ibunya, yang dengannya ia mencoba memberinya makna melalui teknik pengulangan. Ada dua alasan yang mendasarinya.

Pertama, ia boleh jadi tidak me-mindahkan makna secara sama per-sis ke dalam bahasa Inggris. Kedua, guru berpikir bahwa lebih sesuai dan pantas melakukan alih kode untuk menunjukkan pada WI bahwa ia me-mahami konsep yang disampaikan WI. Fungsi terakhir alih kode guru adalah kendali konflik. Untuk pemakaian ba-hasa oleh guru yang secara potensial mengandung konflik, yang bermakna bahwa guru cenderung menghindari kesalahpahaman atau menuturkan kata-kata secara tak langsung demi

3�

3� Edisi 12 Tahun VI Desember 2008

tujuan tertentu, alih kode merupakan suatu strategi untuk memindahkan makna yang tersirat.

Alasan utama akan kecenderung-an menggunakan alih kode dalam konteks ini bisa beragam sesuai de-ngan kebutuhan, tujuan, dan maksud guru. Tambahan pula, kurangnya lek-sikon yang secara kultural sepadan (culturally equivalent lexis) di antara bahasa ibu dan bahasa Inggris—yang bisa melanggar pemindahan makna yang tersirat—pemakaian alih kode untuk kendali konflik ini sungguh bermanfaat; oleh karenanya kemung-kinan terjadinya kesalahpahaman bisa dihindari.

Pertelingkahan tentang Alih KodePenggunaan alih kode dalam kelas ternyata memicu pertelingkahan di antara dua pihak, yakni pihak yang bersetuju dan pihak yang tidak ber-setuju. Banyak WI, yang menyokong diterapkannya teknik komunikatif sebagai salah satu mekanisme diklat bahasa Inggris, tidak sependapat de-ngan penggunaan bentuk apapun bahasa ibu selama berlangsungnya kegiatan diklat di kelas.

Sementara itu, yang mendukung digunakannya bahasa ibu dalam ben-tuk alih kode memberi isyarat bahwa ia bisa menjadi strategi yang efek-tif dalam berbagai aspek. Berkaitan dengan hal ini, Cook dan Eldridge adalah dua orang yang kurang setuju digunakannya alih kode di kelas. Cook (2002:333) menangani persoalan ini, yang berkenaan dengan kelas multi-lingual, dengan mengatakan bahwa penerapan alih kode dalam kelas yang tidak berbagi bahasa ibu yang sama bisa menimbulkan masalah, karena be-berapa guru akan merasa terabaikan.

Dengan demikian, sebaiknya para guru berbagi bahasa ibu yang sama

manakala alih kode akan diterapkan di dalam pengajaran. Perkara lain yang perlu dicatat dalam hal ini adalah bahwa kompetensi WI mengenai ba-hasa ibunya juga memainkan peran vital manakala kontribusi yang positif dari alih kode memang diharapkan.

Sementara itu, Eldridge (1996:309) menyatakan bahwa pemelajar tidak memiliki jaminan bahwa pendengar-nya (audience) akan berbagi penge-tahuan tentang bahasa ibunya. Pers-pektif ini menghubungkaitkan inter-aksi guru dengan penutur jati bahasa Inggris, karena pemahaman timbal balik tidak mungkin terjadi manakala pemelajar beralih kode selama ber-langsungnya komunikasi.

Sementara itu, ahli bahasa yang mendukung eksistensi alih kode seper-ti Skiba (1997) menyatakan bahwa tatkala alih kode digunakan karena kekurangmampuan penutur ber-bahasa Inggris, ia sebetulnya lebih berfungsi menyinambungkan ujaran daripada menghadirkan interferensi dalam bahasa. Dalam hal ini, alih kode berfungsi sebagai elemen pendukung dalam komunikasi informasi dan in-teraksi sosial; dan oleh karenanya ia berfungsi pula untuk tujuan komuni-katif, dalam arti bahwa ia digunakan sebagai wahana pemindahan makna (a tool for transference of meaning).

PenutupPada dasarnya dapat dinyatakan

bahwa fungsi alih kode dalam kelas bahasa Inggris berkait rapat dengan penggunaannya dalam masyarakat bilingual. Berkaitan dengan semua hal yang telah dibentangkan, dapat dikatakan bahwa alih kode dalam kelas bahasa tidak selalu merupakan sebuah halangan atau kekurangan dalam kegiatan diklat bahasa Inggris tetapi dianggap sebagai suatu strategi

yang berguna dalam interaksi di kelas manakala ia memang ditujukan untuk memperjelas makna dan memindah-kan pengetahuan secara efisien.

Namun, perlu dicatat dan diingat bahwa dalam jangka panjang, tatka-la guru melakukan interaksi dengan penutur jati bahasa Inggris, alih kode sungguh potensial merupakan hambatan yang mencegah terjadin-ya pemahaman timbal balik (mutual intelligibility). Oleh karena itu, seorang WI memainkan peran vital untuk mencegah terjadinya keru-sakan jangka panjang dalam pembe-lajaran bahasa Inggris. [E] [E]

Pustaka AcuanCole, S .1998. The Use of L1 in

Communicative English Class-rooms. The Language Teacher, 22:11-13.

Cook, V. 2002. Portraits of the L2 User. Clevedon: Multilingual Matters.

Eldridge, J. 1996. Code-Switching in a Turkish Secondary School. ELT Journal, 50,4: 303-311.

Holmes, Janet. 1992. An Introduction to Sociolinguistics. London:Longman.

Mattsson, A & Burenhult-Mattsson, N. (1999). Code-Switching in Second Language Teaching of French. Working Papers 47: 59-72.

Numan, D. and Carter, D. 2001. Teaching English to Speakers of Other Languages. Cambridge: Cambridge University Press

Skiba, Richard. 1997. Code Switching as a Countenance of Language Interference. The Internet TESL Journal. 3,10 <http://iteslj.org/Articles/Skiba-CodeSwitching.html>.

Suwito. 1985. Sosiolinguitik Pengantar Awal. Surakarta: Sebelas Maret.

Trudgill, P. 2000. Sociolinguistics. London: Penguin.

3� Edisi 12 Tahun VI Desember 2008