muluk demokratisasi administrasi publik dalam pemerintahan
TRANSCRIPT
1
NEW PUBLIC SERVICE DAN PEMERINTAHAN
LOKAL PARTISIPATIF
M.R. Khairul Muluk
Staf Pengajar Administrasi Publik Universitas Brawijaya Kandidat Doktor Ilmu Administrasi di Universitas Indonesia
Sistem administrasi publik di Negara Kesatuan Republik Indonesia mengenal tiga
tingkatan pemerintahan, yakni pemerintahan pusat, pemerintahan propinsi, dan
pemerintahan kabupaten atau kota. Secara resmi tidak terdapat tingkatan pemerintahan di
luar hal tersebut. Dengan demikian, semua urusan pemerintahan dibagi habis dalam tiga
tingkatan pemerintahan tersebut. Namun demikian masih terdapat satu jenis pemerintahan
lain yang memperoleh tempat khusus baik dalam peraturan perundang-undangan maupun
dalam kajian administrasi publik. Jenis pemerintahan tersebut adalah pemerintahan lokal
yang dimanifestasikan baik dalam bentuk pemerintahan kelurahan maupun desa.
Penyelenggaraan administrasi publik di berbagai tingkatan pemerintahan ini pada dasarnya
tidak terlepas dari perkembangan pemikiran administrasi publik. Tulisan ini bertujuan
untuk membahas perkembangan pemikiran mutakhir tentang administrasi publik dan
berusaha meletakkannya dalam jenis pemerintahan sub-regional yang cukup strategis,
yakni pemerintahan lokal.
Kajian dan praktek administrasi publik di berbagai negara terus berkembang.
Berbagai perubahan terjadi seiring dengan berkembangnya kompleksitas persoalan yang
dihadapi oleh administrator publik. Kompleksitas ini ditanggapi oleh para teoritisi dengan
terus mengembangkan ilmu administrasi publik. Denhardt & Denhardt mengungkapkan
bahwa terdapat tiga perspektif dalam administrasi publik.1 Perspektif tersebut adalah old
public administration, new public management, dan new public service.2 Perspektif
1 Janet Vinzant Denhardt and Robert B. Denhardt. The New Public Service: Serving, Not Steering. (New
York: M.E. Sharpe, 2004). 2 Senada dengan pembagian tiga perspektif dalam administrasi publik ini, Tony Bovaird dan Elke Loffler
(2003) juga mengemukakan pandangan yang sangat mirip. Kedua penulis tersebut menyimpulkan bahwa terdapat tiga pendekatan dalam administrasi publik, yakni public administration, public management, dan public governance. Tiga pendekatan ini mirip dengan tiga perspektif yang dijelaskan oleh Denhardt & Denhardt, namun dengan istilah yang berbeda. Baik Bovaird & Loffler dan Denhardt & Denhardt mengemukakan adanya pendekatan baru administrasi publik sebagai
2
pertama yang merupakan perspektif klasik berkembang sejak tulisan Woodrow Wilson di
tahun 1887 yang berjudul “the study of administration”. Terdapat dua gagasan utama
dalam perspektif ini. Gagasan pertama menyangkut pemisahan politik dan administrasi.
Administrasi publik tidak secara aktif dan ekstensif terlibat dalam pembentukan kebijakan
karena tugas utamanya adalah implementasi kebijakan dan penyediaan layanan publik.
Dalam menjalankan tugasnya, administrasi publik menampilkan netralitas dan
profesionalitas. Administrasi publik diawasi oleh dan bertanggung jawab kepada pejabat
politik yang dipilih.3
Gagasan kedua menyangkut nilai yang dikedepankan oleh perspektif ini, bahwa
administrasi publik seharusnya berusaha sekeras mungkin untuk mencapai efisiensi dalam
pelaksanaan tugasnya. Efisiensi ini dapat dicapai melalui struktur organisasi yang terpadu
dan bersifat hierarkis. Gagasan ini terus berkembang melalui para pakar seperti Frederick
Winslow Taylor (1923) dengan “scientific management”, Leonard D. White (1926) dan
W.F. Willoughby (1927) yang mengembangkan struktur organisasi yang sangat efisien,
dan Gullick & Urwick (1937) yang sangat terkenal dengan akronimnya POSDCORB.4
Dengan mengacu pada dua gagasan utama tersebut, perspektif ini menaruh
perhatian pada fokus pemerintahan pada penyediaan layanan secara langsung kepada
masyarakat melalui badan-badan publik. Perspektif ini berpandangan bahwa organisasi
publik beroperasi paling efisien sebagai suatu sistem tertutup sehingga keterlibatan warga
negara dalam pemerintahan dibatasi. Perspektif ini berpandangan pula bahwa peran utama
administrator publik dibatasi dengan tegas dalam bidang perencanaan, pengorganisasian,
pengelolaan pegawai, pengarahan, pengkoordinasian, pelaporan, dan penganggaran.5
Selama masa berlakunya perspektif old public administration ini, terdapat dua
pandangan utama yang lainnya yang berada dalam arus besar tersebut. Pertama adalah
pandangan Herbert A. Simon yang tertuang dalam karya klasiknya (1957) “administrative
behavior”. Simon mengungkapkan bahwa preferensi individu dan kelompok seringkali
berpengaruh pada berbagai urusan manusia. Organisasi pada dasarnya tidak sekedar
berkenaan dengan standar tunggal efisiensi, tetapi juga dengan berbagai standar lainnya.
Konsep utama yang ditampilkan oleh Simon adalah rasionalitas. Manusia pada dasarnya
kelanjutan dari pendekatan public management. Pendekatan baru tersebut adalah new public service menurut Denhardt & Denhardt atau public governance menurut Bovaird & Loffler.
3 Denhardt & Denhardt, op.cit., pp. 5-7. 4 Ibid., pp. 7-8. 5 Ibid., pp. 11-12.
3
dibatasi oleh derajat rasionalitas tertentu yang dapat dicapainya dalam menghadapi suatu
persoalan, sehingga untuk mempertipis batas tersebut manusia bergabung dengan yang
lainnya guna mengatasi segala persoalannya secara efektif. Meski nilai utama yang hendak
dijadikan dasar bertindak manusia adalah rasionalitasnya, namun Simon mengungkapkan
bahwa dalam organisasi manusia yang rasional adalah yang menerima tujuan organisasi
sebagai nilai dasar bagi pengambilan keputusannya. Dengan demikian orang akan berusaha
mencapai tujuan organisasi dengan cara yang rasional dan menjamin perilaku manusia
untuk mengikuti langkah yang paling efisien bagi organisasi. Dengan pandangan ini
akhirnya posisi rasionalitas dipersamakan dengan efisiensi. Hal ini tampak dalam
pandangan Denhardt & Denhardt bahwa “for what Simon called ‘administrative man,’
the most rational behavior is that which moves an organization efficiently toward its
objective.”6
Pandangan berbeda kedua dalam perspektif old public administration adalah public
choice (pilihan publik). Pandangan ini merupakan penafsiran baru atas perilaku
administrasinya Simon, dan yang lebih dekat dengan pandangan economic man. Teori
pilihan publik ini didasarkan pada tiga asumsi kunci.7 Pertama, teori ini memusatkan
perhatian pada individu dengan asumsi bahwa pengambil keputusan perorangan adalah
orang yang rasional, mementingkan dirinya sendiri, dan berusaha memaksimalkan manfaat
yang diperolehnya. Dengan demikian, seseorang senantiasa berusaha mencari keuntungan
sebesar-besarnya dengan pengorbanan sekecil-kecilnya. Kedua, teori ini memusatkan
perhatian pada public goods (komoditas publik) sebagai output dari badan-badan publik.
Ketiga, teori ini didasarkan pada asumsi bahwa situasi keputusan yang berbeda akan
menghasilkan pendekatan yang berbeda dalam penentuan pilihan. Dengan alasan ini, teori
pilihan publik berupaya menstrukturasi proses pembuatan keputusan sehingga dapat
mempengaruhi pilihan-pilihan manusia. Hal ini merupakan kunci beroperasinya badan-
badan publik. Teori pilihan publik inilah yang merupakan jembatan penghubung antara old
public administration dengan new public management.
Perspektif administrasi publik kedua, new public management, berusaha
menggunakan pendekatan sektor swasta dan pendekatan bisnis dalam sektor publik. Selain
berbasis pada teori pilihan publik, dukungan intelektual bagi perspektif ini berasal dari
public policy schools (aliran kebijakan publik) dan managerialism movement. Aliran 6 Ibid. p. 9. 7 Ibid, pp. 10-11.
4
kebijakan publik dalam beberapa dekade sebelum ini memiliki akar yang cukup kuat dalam
ilmu ekonomi, sehingga analis kebijakan dan para ahli yang menggeluti evaluasi kebijakan
terlatih dengan konsep market economics, costs and benefit, dan rational models of choice.
Selanjutnya, aliran ini mulai mengalihkan perhatiannya pada implementasi kebijakan, yang
selanjutnya mereka sebut sebagai public management. Penggunaan istilah yang berbeda ini
dilakukan untuk membedakannya dari public administration dengan mengabaikan fakta
bahwa keduanya memiliki perhatian yang sama, yakni implementasi kebijakan publik.
Denhardt & Denhardt mengakui bahwa public administration merupakan sinonim
dengan public management, namun jika antara keduanya ada yang membedakan maka
istilah public management cenderung bias pada interpretasi ekonomi terhadap perilaku
manajerial sementara istilah public administration cenderung dipergunakan dalam ilmu
politik, sosiologi, atau analisis organisasi.8
Dukungan intelektual dari managerialism movement berakar dari pandangan bahwa
keberhasilan sektor bisnis dan publik bergantung pada kualitas dan profesionalisme para
manajernya. Kemajuan dapat dicapai melalui produktivitas yang lebih besar, dan
produktivitas ini dapat ditingkatkan melalui disiplin yang ditegakkan oleh para manajer
yang berorientasi pada efisiensi dan produktivitas. Untuk memainkan peran penting ini,
para manajer harus diberi “the freedom to manage” dan bahkan “the right to manage.”9
Secara praktek, gerakan manajerialis memperoleh pengaruh besar dalam reformasi
administrasi publik di berbagai negara maju, seperti Selandia Baru, Australia, Inggris, dan
Amerika Serikat. Di Inggris, reformasi administrasi publik dijalankan sejak masa PM
Margaret Thatcher. Dukungan intelektual dalam gerakan ini di Inggris tampak dari karya
Emmanual Savas10 dengan “Privatization”nya, Normann Flynn 11dengan “Public Sector
Management”nya. Di Amerika Serikat, gerakan ini memperoleh popularitas besar berkat
karya terkenal David Osborne dan Ted Gaebler, Reinventing Government.12 Gerakan ini
menyebar ke seluruh dunia sehingga menjadi inspirasi utama di banyak negara dalam
8 Ibid., p. 20. 9 Ibid., pp. 21-22. 10 Emanuel S. Savas. 2000. Privatization and Public-Private Partnerships. (New York : Chatam House
Publishers). 11 Norman Flynn. 1990. Public Sector Management. (Brighton: Wheatsheaf). 12 David Osborne and Ted Gaebler. Reinventing Government : How the Entrepreneurial Spirit is
Transforming the Public Sector. (New York : A William Patrick Book, 1992).
5
mereformasi administrasi publik baik dengan melakukan privatisasi gaya Inggris atau
dengan gerakan mewirausahakan birokrasi gaya Amerika Serikat.
Perspektif ini menekankan penggunaan mekanisme dan terminologi pasar sehingga
memandang hubungan antara badan-badan publik dengan pelanggannya sebagai layaknya
transaksi yang terjadi antara penjual dan pembeli. Peran manajer publik berubah karena
ditantang untuk selalu menemukan cara-cara baru dan inovatif dalam mencapai tujuan,
atau menswastakan berbagai fungsi yang semula dijalankan oleh pemerintah. Manajer
publik didesak untuk “mengarahkan bukannya mengayuh,” yang bermakna bahwa beban
pelayanan publik tidak dijalankan sendiri tetapi sebisa mungkin didorong untuk dijalankan
oleh pihak lain melalui mekanisme pasar. Dengan demikian manajer publik memusatkan
perhatian pada akuntabilitas kepada pelanggan dan kinerja tinggi, restrukturisasi badan-
badan publik, mendefinisi ulang misi organisasi, menyederhanakan proses administrasi,
dan mendesentralisasi pembuatan keputusan.
Gambaran yang lebih utuh tentang perspektif new public management ini dapat
dilihat dari pengalaman Amerika Serikat sebagaimana tertuang dalam sepuluh prinsip
“reinventing government” karya Osborne & Gaebler. Prinsip-prinsip tersebut adalah:
catalytic government: steering rather than rowing, community-owned government:
empowering rather than serving, competitive government: injecting competition into
service delivery, mission-driven government: transforming rule-driven organizations,
results-oriented government: funding outcomes not inputs, customer-driven government:
meeting the needs of the customer not the bureaucracy, entreprising government: earning
rather than spending, anticipatory government: prevention rather than cure, decentralized
government: from hierarchy to participation and team work, market-oriented government:
leveraging change through the market.13
PERSPEKTIF BARU ADMINISTRASI PUBLIK
Perspektif new public management memperoleh kritik keras dari banyak pakar
seperti Wamsley & Wolf (1996), Box (1998), King & Stivers (1998), Bovaird & Loffler
(2003), dan Denhardt & Denhardt (2003). Mereka memandang bahwa perspektif ini,
seperti halnya perspektif old public administration, tidak hanya membawa teknik
administrasi baru namun juga seperangkat nilai tertentu. Masalahnya terletak pada nilai-
13 Ibid.
6
nilai yang dikedepankan tersebut seperti efisiensi, rasionalitas, produktivitas dan bisnis
karena dapat bertentangan dengan nilai-nilai kepentingan publik dan demokrasi. Jika
pemerintahan dijalankan seperti halnya bisnis dan pemerintah berperan mengarahkan
tujuan pelayanan publik maka pertanyaannya adalah siapakah sebenarnya pemilik dari
kepentingan publik dan pelayanan publik? Atas dasar pemikiran tersebut Denhardt &
Denhardt memberikan kritik terhadap perspektif new public management sebagaimana
yang tertuang dalam kalimat “in our rush to steer, perhaps we are forgetting who owns the
boat.”14
Menurut Denhardt & Denhardt, karena pemilik kepentingan publik yang
sebenarnya adalah masyarakat maka administrator publik seharusnya memusatkan
perhatiannya pada tanggung jawab melayani dan memberdayakan warga negara melalui
pengelolaan organisasi publik dan implementasi kebijakan publik. Perubahan orientasi
tentang posisi warga negara, nilai yang dikedepankan, dan peran pemerintah ini
memunculkan perspektif baru administrasi publik yang disebut sebagai new public service.
Warga negara seharusnya ditempatkan di depan, dan penekanan tidak seharusnya
membedakan antara mengarahkan dan mengayuh tetapi lebih pada bagaiamana
membangun institusi publik yang didasarkan pada integritas dan responsivitas. Pada
intinya, perspektif baru ini merupakan “a set of idea about the role of public
administration in the governance system that place public service, democratic governance,
and civic engagement at the center.”15
Perspektif new public service mengawali pandangannya dari pengakuan atas warga
negara dan posisinya yang sangat penting bagi kepemerintahan demokratis. Jati diri warga
negara tidak hanya dipandang sebagai semata persoalan kepentingan pribadi (self interest)
namun juga melibatkan nilai, kepercayaan, dan kepedulian terhadap orang lain. Warga
negara diposisikan sebagai pemilik pemerintahan (owners of government) dan mampu
bertindak secara bersama-sama mencapai sesuatu yang lebih baik. Kepentingan publik
tidak lagi dipandang sebagai agregasi kepentingan pribadi melainkan sebagai hasil dialog
dan keterlibatan publik dalam mencari nilai bersama dan kepentingan bersama.16
Perspektif new public service menghendaki peran administrator publik untuk
melibatkan masyarakat dalam pemerintahan dan bertugas untuk melayani masyarakat.
14 Denhardt & Denhardt, op.cit., p. 23. 15 Ibid., p. 24. 16 Denhardt & Denhardt, op.cit., p. 170.
7
Dalam menjalankan tugas tersebut, administrator publik menyadari adanya beberapa
lapisan kompleks tanggung jawab, etika, dan akuntabilitas dalam suatu sistem demokrasi.
Administrator yang bertanggung jawab harus melibatkan masyarakat tidak hanya dalam
perencanaan tetapi juga pelaksanaan program guna mencapai tujuan-tujuan masyarakat.
Hal ini harus dilakukan tidak saja karena untuk menciptakan pemerintahan yang lebih baik
tetapi juga sesuai dengan nilai-nilai demokrasi. Dengan demikian, pekerjaan administrator
publik tidak lagi mengarahkan atau memanipulasi insentif tetapi pelayanan kepada
masyarakat.17
Secara ringkas, perspektif new public service dapat dilihat dari beberapa prinsip
yang dilontarkan oleh Denhardt & Denhardt.18 Prinsip-prinsip tersebut adalah: Pertama
adalah serve citizens, not customers. Karena kepentingan publik merupakan hasil dialog
tentang nilai-nilai bersama daripada agregasi kepentingan pribadi perorangan maka abdi
masyarakat tidak semata-mata merespon tuntutan pelanggan tetapi justeru memusatkan
perhatian untuk membangun kepercayaan dan kolaborasi dengan dan diantara warga
negara. Kedua, seek the public interest. Administartor publik harus memberikan
sumbangsih untuk membangun kepentingan publik bersama. Tujuannya tidak untuk
menemukan solusi cepat yang diarahkan oleh pilihan-pilihan perorangan tetapi
menciptakan kepentingan bersama dan tanggung jawab bersama. Ketiga, value citizenship
over entrepreneurship. Kepentingan publik lebih baik dijalankan oleh abdi masyarakat dan
warga negara yang memiliki komitmen untuk memberikan sumbangsih bagi masyarakat
daripada dijalankan oleh para manajer wirausaha yang bertindak seolah-olah uang
masyarakat adalah milik mereka sendiri. Keempat, think strategically, act democratically.
Kebijakan dan program untuk memenuhi kebutuhan publik dapat dicapai secara efektif dan
bertanggungjawab melalui upaya kolektif dan proses kolaboratif. Kelima, recognize that
accountability is not simple. Dalam perspektif ini abdi masyarakat seharusnya lebih peduli
daripada mekanisme pasar. Selain itu, abdi masyarakat juga harus mematuhi peraturan
perundang-undangan, nilai-nilai kemasyarakatan, norma politik, standar profesional, dan
kepentingan warga negara. Keenam, serve rather than steer. Penting sekali bagi abdi
masyarakat untuk menggunakan kepemimpinan yang berbasis pada nilai bersama dalam
membantu warga negara mengemukakan kepentingan bersama dan memenuhinya daripada
mengontrol atau mengarahkan masyarakat ke arah nilai baru. Ketujuh, value people, not 17 Ibid. 18 ibid., pp. 42-43.
8
just productivity. Organisasi publik beserta jaringannya lebih memungkinkan mencapai
keberhasilan dalam jangka panjang jika dijalankan melalui proses kolaborasi dan
kepemimpinan bersama yang didasarkan pada penghargaan kepada semua orang.
Munculnya perspektif new public service ini didukung oleh beberapa tulisan lain
yang berkembang beberapa tahun sebelumnya sebagai reaksi terhadap dominasi perspektif
new public management di berbagai belahan dunia. Pertama, Wamsley & Wolf (1996)
melakukan kritik keras atas reinventing government dengan menyunting buku berjudul
“refounding democratic public administration.” Wamsley & Wolf mengumpulkan banyak
tulisan yang melukiskan betapa pentingnya melibatkan masyarakat dalam administrasi
publik dalam posisi sebagai warga negara bukan sekedar sebagai pelanggan. Buku tersebut
menekankan betapa pentingnya democratic government yang mengedepankan partisipasi
masyarakat dalam administrasi publik.19 Tulisan Little dalam buku tersebut yang berjudul
“thinking government: bringing democratic awareness to public administration”
menjelaskan konsepsi democratic public administration dengan memaparkan konsekuensi
tiga substansi demokrasi. Government of the people berarti pemerintahan masyarakat akan
membawa legitimasi bagi administrasi publik. Government by the people berarti menjamin
adanya representasi administrator publik dan akuntabilitas administrasi publik terhadap
masyarakat. Government for the people berarti bahwa administrasi publik akan benar-
benar menjalankan kepentingan publik, bukan kepentingan birokrasi.20
Tulisan lainnya dipersembahkan oleh King & Stivers (1998) dengan judul
‘government is us: public administration in an anti-government era.” Gagasan yang
diusung ke dua penulis tersebut adalah seyogyanya administrasi publik memandang warga
negara sebagai warga negara bukan sekedar sebagai pelanggan karena pemerintahan itu
adalah milik masyarakat. Untuk itu, tema utama buku tersebut tertuang dalam ungkapan
“Government is Us is a democratic public administration that involves active citizenship
and active administration.”21 Yang dimaksud dengan active administration adalah tidak
sekedar meningkatkan kekuasaan administrasi tetapi memperkuat kerja kolaboratif dengan
warga negara. Untuk itu, administrator publik seharusnya berbagi kuasa dengan 19 Gary L. Wamsley,. and James F. Wolf (ed.) Refounding democratic public administration: modern
paradoxes, postmodern challenges. (Thousand Oaks, California: Sage Publications, 1996). 20 John H. Little. “Thinking government: bringing democratic awareness to public administration” in Gary L.
Wamsley,. and James F. Wolf (ed.) Refounding democratic public administration: modern paradoxes, postmodern challenges. (Thousand Oaks, California: Sage Publications, 1996), Pp. 327-350.
21 Cheryl Simrell King and Camilla Stivers. Government is us: public administration in an anti-government era. (Thousand Oaks, California: Sage Publications, 1998). P. 195.
9
masyarakat dan mengurangi kendali terhadap masyarakat serta meningkatkan kepercayaan
kepada masyarakat melalui kolaborasi penyelenggaraan pemerintahan dengan masyarakat.
Pemerintahan masyarakat ini merupakan partisipasi integratif antara masyarakat aktif
dengan administrator aktif untuk memenuhi kebutuhan, tujuan, dan sasaran bersama.
PEMERINTAHAN LOKAL PARTISIPATIF
Perspektif new public service juga memperoleh dukungan intelektual dari karya
Box (1998) yang berjudul “citizen governance”. Karya ini sekaligus juga menjelaskan
bahwa gagasan dari perspektif ini juga telah merambah administrasi publik pada tingkatan
pemerintahan daerah. Box menyarankan bahwa pemerintahan daerah seyogyanya
direstrukturisasi sehingga mampu meningkatkan keterlibatan masyarakat dalam proses
kepemerintahan. Box mengungkapkan bahwa terdapat empat prinsip yang dipergunakan
untuk menjelaskan mengapa demokratisasi administrasi publik perlu dilakukan pada
tingkatan pemerintahan daerah.22
Pertama adalah the scale principle yang menjelaskan bahwa terdapat beberapa
fungsi yang lebih tepat diatur dan diurus pada tingkatan pemerintah pusat dan terdapat
beberapa fungsi lain yang lebih tepat diatur dan diurus pada tingkatan pemerintahan
daerah. Jika penyelenggaraan suatu fungsi ingin melibatkan partisipasi masyarakat yang
lebih besar maka sebaiknya diberikan pada tingkatan pemerintahan daerah karena lebih
memungkinkan masyarakat berpartisipasi lebih aktif dan efektif.
Kedua adalah the democracy principle yang menjelaskan bahwa pada dasarnya
proses pemerintahan seharusnya melibatkan masyarakat. Prinsip menekankan perlunya
pembahasan kebijakan dan pengambilan keputusan secara terbuka dan bebas. Partisipasi
masyarakat merupakan kunci penyelenggaraan prinsip ini.
Ketiga adalah the accountability principle yang menjelaskan bahwa pemerintahan
pada dasarnya adalah milik masyarakat. Oleh karena itu, akuntabilitas publik berarti
pertanggung jawaban kepada masyarakat sebagai pemilik pemerintahan. Untuk mencapai
akuntabilitas publik dibutuhkan keterlibatan masyarakat dalam proses kebijakan bersama
dengan para wakilnya dan administrator publik. Akuntabilitas publik menuntut adanya
22 Richard C. Box. Citizen governance: Leading American communities into the 21st century. (Thousand
Oaks: Sage Publications. 1998), p. 163.
10
keterkaitan langsung warga masyarakat dengan penyusunan dan pelaksanaan program-
program publik.
Keempat adalah the rationality principle yang menjelaskan bahwa proses
partisipasi publik dalam pemerintahan daerah haruslah ditanggapi secara rasional.
Pengertian rasional dalam hal ini lebih mengacu pada kesadaran dan pengakuan bahwa
proses partisipasi membutuhkan waktu yang memadai, pemikiran yang cermat,
kesempatan kepada masyarakat untuk menyatakan pendapatnya, perlunya mendengar
beragam pendapat yang muncul serta penghargaan atas perbedaan pendapat.23
Berdasarkan seluruh uraian di atas, perspektif new public service membawa angin
perubahan dalam administrasi publik. Perubahan ini pada dasarnya menyangkut perubahan
dalam cara memandang masyarakat dalam proses pemerintahan, perubahan dalam
memandang apa yang dimaksud dengan kepentingan masyarakat, perubahan dalam cara
bagaimana kepentingan tersebut diselenggarakan, dan perubahan dalam bagaimana
administrator publik menjalankan tugas memenuhi kepentingan publik. Perspektif ini
mengedepankan posisi masyarakat sebagai warga negara dalam konteks penyelenggaraan
pemerintahan. Perspektif ini membawa upaya demokratisasi administrasi publik.
Pelayanan kepada masyarakat merupakan tugas utama bagi administrator publik sekaligus
sebagai fasilitator bagi perumusan kepentingan publik dan partisipasi masyarakat dalam
pemerintahan. Perspektif ini juga mengakui bahkan menuntut adanya partisipasi
masyarakat dalam berbagai jenjang pemerintahan, termasuk daerah. Dalam
penyelenggaraan pemerintahan lokal, partisipasi masyarakat merupakan unsur penting
dalam perspektif new public service, yang merupakan perspektif baru dalam administrasi
publik.
Penyelenggaraan pemerintahan daerah secara partisipatoris pada dasarnya dapat
dilakukan dengan berbagai cara. Norton menjelaskan bahwa ada empat bentuk partisipasi
masyarakat dalam praktek pemerintahan daerah di seluruh dunia. Pertama adalah referenda
yang dilaksanakan untuk mengambil keputusan terhadap isu-isu vital di daerah tersebut.
Kedua adalah konsultasi dan kerjasama dengan masyarakat sesuai kebutuhan dan tuntutan
lokal. Ketiga adalah penempatan pejabat lokal yang diisi berdasarkan prosedur pemilihan
(elected member) sebagai bentuk pemerintahan perwakilan sehingga para pejabat memiliki
akuntabilitas yang lebih besar kepada masyarakat. Keempat adalah melakukan
23 Ibid., pp. 20-21.
11
desentralisasi kepada unit-unit pemerintahan yang lebih kecil dalam lingkup daerah itu
sendiri. Bentuk yang keempat ini seringkali disebut dengan decentralization within cities.24
Desentralisasi dalam bentuk partisipasi yang keempat tersebut dapat diterjemahkan
secara luas sehingga meliputi desentralisasi secara politis, administratif, fungsional,
maupun ekonomis. Desentralisasi secara ekonomis berarti terjadi pembentukan badan
usaha milik daerah atau penyerahan sebagaian fungsi pemerintah daerah kepada usaha
swasta. Desentralisasi secara fungsional berarti pembentukan lembaga fungsional untuk
menjalan urusan tertentu dari pemerintah daerah. Dalam kebijakan pemerintahan daerah di
Indonesia, decentralization within cities diterjemahkan secara langsung dalam dua
pengertian yakni desentralisasi secara administratif dan politik.
Desentralisasi secara administrasi yang dilakukan oleh pemerintah daerah
diwujudkan dalam bentuk pemerintahan kelurahan. Pemerintahan kelurahan pada dasarnya
dipilih dan dibentuk untuk memberikan layanan kepada masyarakat yang memiliki corak
perkotaan. Nilai dasar yang hendak dikembangkan dalam penyelenggaraan pemerintah
kelurahan adalah efisiensi struktural sehingga kebutuhan masyarakat perkotaan yang lebih
bersifat majemuk, dinamis, individualistis lebih terpenuhi. Aparat pemerintah kelurahan
seluruhnya diisi berdasarkan prosedur pengangkatan (selected officer) sehingga merupakan
pejabat birokrasi dengan jalur karir yang terintegrasi dengan perangkat daerah lainnya.
Secara umum, karena merupakan bagian integral dari pemerintah daerah maka
akuntabilitas pemerintah kelurahan lebih kuat pada pemerintah daerah dibandingkan
kepada masyarakat.
Desentralisasi secara politis dilakukan oleh pemerintah daerah dengan
menyerahkan sebahagian urusan dan dana yang ada kepada pemerintah desa. Pemerintahan
desa dipilih dan dibentuk dengan dasar melestarikan nilai-nilai tradisional yang sudah
berkembang dalam corak masyarakat pedesaan. Corak masyarakat demikian bercirikan
adanya iklim paguyuban, cenderung statis, dan cenderung homogen. Nilai dasar yang
hendak dikembangkan dalam pemerintahan desa adalah partisipasi dalam penyelenggaraan
pemerintahan. Pejabat pemerintah desa diisi berdasarkan prosedur pemilihan (elected
officer). Dengan demikian, masyarakat sejak awal telah terlibat secara langsung dalam
menentukan pejabat pemerintahan desa. Pamong desa ini tidak memiliki jalur karir
birokrasi yang terintegrasi dengan perangkat daerah lainnya. Karena dipilih oleh 24 Alan Norton. International handbook of local and regional government: a comparative analysis of
advanced democracies. (Cheltenham: Edwar Elgar, 1994).
12
masyarakat dan pengambilan keputusan desa dilangsungkan secara musyawarah maka
akuntabilitas publik dari pemerintah desa kepada masyarakat lebih besar dibandingkan
dengan akuntabilitas publik pemerintah kelurahan kepada mayarakat.
Berdasarkan karakteristik pemerintahan desa sebagaimana dijelaskan di atas maka
unit pemerintahan ini merupakan laboratorium yang tepat untuk menjalankan perspektif
new public service. Posisi penting desa sebagai pengejawantahan pemerintahan lokal
dalam demokratisasi administrasi publik didukung pula oleh Diana Conyers yang
mengatakan bahwa tingkatan yang lebih tepat bagi partisipasi ideal adalah pada level
komunitas desa. Pendapat ini dilatari alasan bahwa partisipasi membutuhkan batasan-
batasan masyarakat dan keterjangkauan masyarakat terhadap proses partisipasi. Dengan
mempertimbangkan bahwa tidak mudah menentukan batas-batas masyarakat dan bahwa
tidak satupun komunitas yang sifatnya sederhana dan merupakan kesatuan yang homogen
maka partisipasi masyarakat akan dapat berlangsung ideal justeru pada tingkatan
pemerintahan desa.25
Dukungan penerapan partisipasi masyarakat dalam pemerintahan pada level desa
juga dikemukakan oleh Timothy D. Sisk, dkk. Ada tiga pertimbangan mendasar mengapa
hal ini terjadi. Pertama, penerapan secara lebih nyata subsidiarity principle, yakni prinsip
yang menyatakan bahwa keputusan seharusnya dibuat pada level yang paling dekat dengan
rakyat sepanjang ia masih layak dan tidak memerlukan koordinasi regional dan nasional.
Kedua, pengutamaan capaian partisipasi yang efektif yang diyakini sebagai situasi
partisipasi ketika warga memiliki peluang yang sama dan memadai untuk mengungkapkan
keinginan mereka, mengajukan pertanyaan tentang agenda tertentu, dan mengartikulasikan
alasan untuk mengesahkan suatu kebijakan. Ketiga, penguatan sistem demokrasi pada aras
lokal merupakan basis utama bagi penguatan sistem demokrasi pada jenjang pemerintahan
yang lebih tinggi sehingga sistem demokrasi suatu negara akan menjadi lebih efektif dan
berkelanjutan.26
Dengan mengacu pada pendapat Box, Conyers, dan Sisk, dkk. Maka dapat
dimengerti mengapa perspektif new public service mestinya dapat diterapkan secara lebih
efektif pada pemerintahan desa dibandingkan tingkatan pemerintahan lainnya. Peluang
25 Diana Conyers. Perencanaan sosial di dunia ketiga: suatu pengantar. (Yogyakarta: Gadjah Mada
University Press, 1992) 26 Timothy D. Sisk, et.al. Democracy at the local level: the International IDEA Handbook on participation,
conflict management, and governance. (Stockholm: International Institute for Democracy and Electoral Assistance, 2001).
13
pemerintahan desa secara partisipatif di Indonesia telah terbuka lebar seiring terjadinya
perubahan pengaturan pemerintahan desa dari UU No. 5 tahun 1979 menjadi UU No. 22
tahun 1999. Landasan pemikiran dalam pengaturan pemerintahan desa dalam UU era
reformasi tersebut adalah pengakuan atas keanekaragaman, partisipasi, otonomi asli,
demokratisasi, dan pemberdayaan masyarakat. Sebagai perwujduan demokrasi dalam
pemerintahan desa maka dibentuklah di setiap desa sebuah Badan Perwakilan Desa atau
sebutan lainnya yang sesuai dengan budaya setempat. Fungsi yang diemban lembaga ini
adalah legislasi dan pengawasan terhadap pelaksanaan Peraturan Desa, Anggaran
Pendapatan dan Belanja Desa, dan Keputusan Kepala Desa. Melalui UU ini pula
demokratisasi pemerintahan desa berjalan sesuai dengan budaya asli setempat. Namun
demikian, sebenarnya terdapat keraguan tentang apakah budaya setempat sebagaimana
diinginkan masih ada dan bertahan hidup setelah 20 tahun terjadi perubahan melalui UU
No. 5 tahun 1979. Hal ini tentu memerlukan pengkajian secara seksama.
Penelitian yang dilakukan oleh Desna Aromatica tentang Pemerintahan Nagari di
Sumatera Barat dan Andreas Bernath Sekolengo tentang Perbandingan antara BPD dan
Mosalaki di Nusa Tenggara Timur menarik untuk disimak. Temuan dari dua kajian
tersebut menunjukkan bahwa Pemerintahan Desa pasca berlakunya UU 22 tahun 1999
memang menunjukkan adanya pertanda kemajuan penyelenggaraan pemerintahan yang
demokratis dan berbasis pada budaya lokal. Namun hal lain yang perlu dicermati sebagai
hasil dari temuan tersebut adalah budaya patrimonial di masyarakat yang diteliti juga
masih sangat kuat. Ketaatan masyarakat pada elit lokal sedemikian kuatnya sehingga
pemerintahan bersifat elitis karena penyelenggara pemerintahan desa adalah elit lokal
tradisional. Meski hal ini dapat diterima secara umum oleh masyarakat namun muncul
pertanda non-demokratis seperti tertutupnya peluang masyarakat pendatang sebagai
pamong desa dan penentuan pemimpin desa berdasarkan garis keturunan. Ini berarti
menunjukkan bahwa tidak setiap orang memiliki kesempatan yang sama untuk menjadi
pejabat publik. Kondisi ini tentu perlu dicermati di masa mendatang karena dapat
mempengaruhi corak pemerintahan desa di Indonesia.
Kini UU No. 22 tahun 1999 telah diperbaharui menjadi UU No. 32 tahun 2004.
Banyak pihak mengkritik kebijakan baru sebagai telah mengurangi otonomi desa dan
memperkuat posisi Negara terhadap desa.27 Pada dasarnya penyelenggaraan urusan desa
27 Abdur Rozaki, dkk. Prakarsa desentralisasi dan otonomi desa. (Yogyakarta: IRE, 2005).
14
tidak mengalami perubahan namun secara kelembagaan terdapat perubahan yang cukup
berarti. Badan Perwakilan Desa kini berubah menjadi Badan Permusyawaratan Desa.
Perubahan nomenklatur ini didasarkan pada pertimbangan untuk mengoptimalkan proses
pembuatan keputusan bersama dalam rangka penyelenggaraan pemerintahan desa dan
tidak dimaksudkan untuk menciptakan kondisi check and balance antara Kepala Desa dan
BPD. Dalam peraturan baru ini, Kepala Desa tidak lagi bertanggung jawab kepada BPD
namun secara substansial lebih bertanggung jawab Kepada Kepala Daerah. Ini berarti
hubungan desa dengan pemerintahan supra desa dalam UU No. 32 tahun 2004 lebih kuat
dibandingkan UU No. 22 tahun 1999.
Terlepas dari polemik yang ada dalam penerapan UU No. 32 tahun 2004 dan
sejumlah masalah yang masih tersisa, secara mendasar kini pemerintahan desa dianggap
jauh lebih demokratis dibandingkan pengaturan dalam UU No. 5 tahun 1979 karena
adanya pengakuan terhadap keanekaragaman, partisipasi masyarakat, otonomi asli dan
demokratisasi. Kondisi ini sebenarnya merupakan landasan yang kuat bagi penerapan
perspektif baru administrasi publik, new public service. Karena partisipasi masyarakat
yang ideal lebih dapat terlaksana pada komunitas yang lebih kecil maka sesuai dengan
subsidiarity principle perspektif baru administrasi publik akan terlaksana dengan lebih baik
pada pemerintahan desa. Jika penyelenggaraan pemerintahan desa dapat berlangsung
secara partisipatif maka partisipasi masyarakat dalam tingkatan pemerintahan yang lebih
tinggi dapat diharapkan dapat terjadi.
15
DAFTAR PUSTAKA
Aromatica, D. “Perubahan pemerintahan desa menjadi pemerintahan nagari dalam rangka otonomi
daerah: suatu studi pada Pemerintah Nagari Salayo Kecamatan Kubung Kabupaten Solok Propinsi Sumatera Barat.” Skripsi tidak dipublikasikan pada Jurusan Administrasi Publik Universitas Brawijaya. Malang: 2004.
Bovaird, T. & Loffler, E. (ed.). Public Management and Governance. (London: Routledge, 2003).
Box, R.C. Citizen governance: Leading American communities into the 21st century. (Thousand Oaks: Sage Publications. 1998)
Conyers, D. Perencanaan sosial di dunia ketiga: suatu pengantar. (Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 1992)
Denhardt, J.V. & Denhardt, R.B. The New Public Service: Serving, Not Steering. (New York: M.E. Sharpe, 2004).
Flynn, N. Public Sector Management. (Brighton: Wheatsheaf, 1990).
King, C.S. & Stivers, C. Government is us: public administration in an anti-government era. (Thousand Oaks, California: Sage Publications, 1998).
Little, J.H. “Thinking government: bringing democratic awareness to public administration” in Gary L. Wamsley,. and James F. Wolf (ed.) Refounding democratic public administration: modern paradoxes, postmodern challenges. (Thousand Oaks, California: Sage Publications, 1996).
Norton, A. International handbook of local and regional government: a comparative analysis of advanced democracies. (Cheltenham: Edwar Elgar, 1994)
Osborne, D. & Gaebler, T. Reinventing Government : How the Entrepreneurial Spirit is Transforming the Public Sector. (New York : A William Patrick Book, 1992).
Rozaki, A. dkk. Prakarsa desentralisasi dan otonomi desa. (Yogyakarta: IRE, 2005).
Savas, E.S. Privatization and Public-Private Partnerships. (New York : Chatam House Publishers, 2000).
Sekolengo, A.B. “Fungsi BPD dan Lembaga Adat (Mosalaki) dalam penyelenggaraan pemerintahan desa: suatu studi di Desa Sokoria, Kecamatan Ndona Timur, Kabupaten Ende, Propinsi Nusa Tenggara Timur.” Skripsi tidak dipublikasikan pada Jurusan Administrasi Publik Universitas Brawijaya. Malang: 2004.
Sisk, T.D., et.al. Democracy at the local level: the International IDEA Handbook on participation, conflict management, and governance. (Stockholm: International Institute for Democracy and Electoral Assistance, 2001).
Wamsley, G.L. & Wolf, J.F. (ed.) Refounding democratic public administration: modern paradoxes, postmodern challenges. (Thousand Oaks, California: Sage Publications, 1996).