tantangan binadamai: kegagalan demokratisasi pasca konflik

20
Tantangan Binadamai: Kegagalan Demokratisasi Pasca Konflik Sipil di Afghanistan Irza Khurun’in Abstrak Tulisan ini mengambil tema mengenai tantangan yang sering dihadapi pada proses binadamai pasca konfik. Penulis fokus pada binadamai di Afghanistan pasca 2001. Konflik di Afghanistan merupakan konflik yang rumit dan berkepanjangan. Pihak internasional pun mengambil peran untuk penciptaan perdamaian yang berkelanjutan. Namun, binadamai yang dilakukan di Afghanistan terhitung sejak tahun 2002 hingga 2006 tidak berbuah demokrasi. Binadamai dan demokrasi merupakan dua hal yang konstitutif. Demokrasi menjadi tujuan utama dalam transisi politik suatu negara pasca konflik, khususnya negara yang sebelumnya menganut rezim otoriter, demokrasi dianggap sebagai obat bagi penyelesaian konflik dan penciptaan perdamaian berkelanjutan. Selanjutnya, penulis menggunakan pendekatan postwar democratic transition untuk menganalisis kegagalan binadamai di Afghanistan. Keyword: Binadamai, Afghanistan, Post war Democratic Transition Pendahuluan Binadamai adalah aspek penting dalam sebuah kondisi pasca konflik. Binadamai bertujuan untuk menciptakan perdamaian positif (Positive peace) dan perdamaian berkelanjutan (sustainable peace). Namun, seringkali binadamai dijadikan sebagai pintu masuk ide-ide demokrasi melalui pendekatan ‘Liberal Democratic Peace Theory’. Gagasan Liberal Democratic Peace Theory adalah meyakini bahwa demokrasi liberal sebagai jalan untuk menciptakan perdamaian yang berkelanjutan. Sayangnya, kondisi konflik di tiap-tiap negara memiiki karakteristik yang berbeda-beda yang tidak bisa hanya menggunakan satu kacamata pendekatan saja. Oleh karenanya, pendekatan yang banyak digunakan dalam proses peacekeeping maupun peacebuilding justru jarang berbuah demokrasi dan rentan menimbulkan

Upload: others

Post on 28-Oct-2021

14 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: Tantangan Binadamai: Kegagalan Demokratisasi Pasca Konflik

Tantangan Binadamai: Kegagalan Demokratisasi Pasca Konflik

Sipil di Afghanistan

Irza Khurun’in

Abstrak

Tulisan ini mengambil tema mengenai tantangan yang sering dihadapi

pada proses binadamai pasca konfik. Penulis fokus pada binadamai di

Afghanistan pasca 2001. Konflik di Afghanistan merupakan konflik yang rumit

dan berkepanjangan. Pihak internasional pun mengambil peran untuk penciptaan

perdamaian yang berkelanjutan. Namun, binadamai yang dilakukan di

Afghanistan terhitung sejak tahun 2002 hingga 2006 tidak berbuah demokrasi.

Binadamai dan demokrasi merupakan dua hal yang konstitutif. Demokrasi

menjadi tujuan utama dalam transisi politik suatu negara pasca konflik,

khususnya negara yang sebelumnya menganut rezim otoriter, demokrasi

dianggap sebagai obat bagi penyelesaian konflik dan penciptaan perdamaian

berkelanjutan. Selanjutnya, penulis menggunakan pendekatan postwar

democratic transition untuk menganalisis kegagalan binadamai di Afghanistan.

Keyword: Binadamai, Afghanistan, Post war Democratic Transition

Pendahuluan

Binadamai adalah aspek penting dalam sebuah kondisi pasca konflik.

Binadamai bertujuan untuk menciptakan perdamaian positif (Positive peace) dan

perdamaian berkelanjutan (sustainable peace). Namun, seringkali binadamai

dijadikan sebagai pintu masuk ide-ide demokrasi melalui pendekatan ‘Liberal

Democratic Peace Theory’. Gagasan Liberal Democratic Peace Theory adalah

meyakini bahwa demokrasi liberal sebagai jalan untuk menciptakan perdamaian

yang berkelanjutan.

Sayangnya, kondisi konflik di tiap-tiap negara memiiki karakteristik yang

berbeda-beda yang tidak bisa hanya menggunakan satu kacamata pendekatan saja.

Oleh karenanya, pendekatan yang banyak digunakan dalam proses peacekeeping

maupun peacebuilding justru jarang berbuah demokrasi dan rentan menimbulkan

Page 2: Tantangan Binadamai: Kegagalan Demokratisasi Pasca Konflik

96 | JURNAL TRANSFORMASI GLOBAL VOL 3 NO 1

konflik jenis baru. Seklipun tidak menutup kemungkinan pendekatan liberal

democratic peace theory juga berhasil di beberapa tempat, seperti Timor Leste,

Namibia, Macedonia, Mozambik. Sedangkan, kegagalan binadamai dapat dilihat

di Aghanistan, Irak, Rwanda, dan Kosovo.

Afghanistan menjadi salah satu contoh aktivitas binadamai yang gagal

berbuah demokrasi. Menarik untuk melihat kegagalan di Afghanistan, pertama

konflik yang terjadi di Afghanistan adalah berkepanjangan dengan konstelasi

konflik yang rumit. Banyak aktor yang terlibat di dalamnya, termasuk Saudi

Arabia, Iran, Taliban, Al-Qaeda, dan tidak terlepas keterlibatan AS. Konflik sipil

di Afghanistan tercatat berawal sejak tahun 1978 hingga sekarang. Kedua,

Afghanistan merupakan negara yang paling rentan terjadi konflik. Berdasarkan

data The Guardian, ditahun 2014, Afghanistan adalah negara kedua yang paling

rentan terjadi konflik dengan skor 3,42, yakni satu posisi di bawah Suriah.1

Ketiga, Afghanistan merupakan negara yang paling banyak mendapatkan bantuan

luar negeri untuk mengatasi konflik sipil Afghanistan termasuk untuk

pembangunan pasca konflik. Berdasarkan data dari Organization for Economic

Co-operation and Development (OECD) Afghanistan adalah negara penerima

bantuan luar negeri terbanyak dada periode 2011-2012, yakni total bantuan

sebesar US$ 5,811 juta.2 Keempat, Afghanistan telah menandatangani Bonn

Agreement di tahun 2001 yang merupakan perjanjian damai untuk mengakhiri

perang sipil. Namun, konflik di Afghanistan masih terus berlanjut dan stabilitas

keamanan dan politik masih rendah.

Dari uraian di atas, muncul pertanyaan, yakni “mengapa binadamai di

Afghanistan tidak berbuah demokrasi?” Untuk menganalisis hal tersebut,

penulis menggunakan konsep Postwar democratic transitions. Argumen yang

dibangun dalam tulisan ini adalah kegagalan binadamai di Afghanistan dan tidak

membuahkan demokrasi karena faktor-faktor berikut, pertama adalah kurangnya

kapasitas administrasi; kedua karena kegagalan pendekatan analisis konflik;

1 http://www.theguardian.com/news/datablog/2014/jun/18/global-peace-index-2014-every-

country-ranked 2 Anup Shah, 2014, Foreign Aid for Development Assistance, (daring),

<http://www.globalissues.org/article/35/foreign-aid-development-assistance> diakses pada 20

Desember 2015.

Page 3: Tantangan Binadamai: Kegagalan Demokratisasi Pasca Konflik

Irza Khurun’in Tantangan Bina Damai: Kegagalan Demokratisasi…| 97

ketiga karena spillover geopolitik di Afghanistan; keempat karena minimnya

sumberdaya dalam pelaksanaan mandat peacebuilding.

Postwar Democratic Transition, sebuah pendekatan konseptual

Binadamai adalah aktivitas yang dilakukan untuk memulihkan kondisi

sebuah negara pasca perang. Tujuannya adalah untuk menciptakan stabilitas

keamanan dan perdamaian yang berkelanjutan. School of Conflict Analysis and

Resolution mendefinisikan bendamai sebagai proses dan aktivitas yang berkiatan

dengan penyelesaian konflik dan penciptaan perdamaian berkelanjutan.

Binadamai hampir sama dengan resolusi konflik, namun menitikberatkan pada

pembangunan sosial dan ekonomi yang stabil karena merujuk pada kenyataan

bahwa tidak serta merta ketika konflik berakhir dapat secara otomatis

menciptakan stabilitas yang berkelanjutan. Sedangkan John Paul Lederach

mendefinisikan binadamai sebagai konsep yang komprehensif, memuat proses

pendekatan, dan tahapan yang diperlukan untuk mentransformasikan konflik

menuju kondisi damai yang berkelanjutan. Intinya, binadamai adalah proses

rekonstruksi dan transformasi negara dari kondisi konflik menuju kondisi damai

dan berkelanjutan.

Merujuk pada definisi di atas, menjadi paradoks ketika demokrasi menjadi

goal utama dari aktivitas binadamai. Seperti yang diungkapkan oleh Fortna bahwa

stabilitas perdamaian dalam misi binadamai merupakan tujuan yang kedua,

sedangkan tujuan utamanya adalah demokrasi dalam masyarakat internasional.3

Lebih lanjut lagi, argumen tersebut banyak diamini oleh para pengkaji konflik.

Binadamai bertujuan untuk membawa perdamaian dan demokrasi ke

dalam host countries. Singkat kata, binadamai adalah membangunan sebuah

negara guna memberdayakan negara, merekonstruksi lembaga negara, sehingga

3 Christoph Zurcher, et. al, 2013, Cotly Democracy: Peacebuilding and Democratization After

War, Tansford: Stanford University Press, Hlm. 20.

Page 4: Tantangan Binadamai: Kegagalan Demokratisasi Pasca Konflik

98 | JURNAL TRANSFORMASI GLOBAL VOL 3 NO 1

negara mampu menyediakan keamanan fisik dan ekonomi terhadap

masyarakatnya.4

Binadamai seringkali membawa perdamaian, namun jarang berbuah

demokrasi. Bukti kesuksesan transisi demokrasi pasca perang tidak menunjukkan

hasil yang memuaskan. Terhitung sejak tahun 1989, dalam 19 major

peacebuilding operations yang dilancarkan oleh PBB, dua negara berhasil

menganut liberal democracy, tujuh negara dalam kondisi elcetoral democracy,

tujuh negara menganut electoral authoritarian, dan tiga negara lainnya menganut

fully closed authoritarian.5

Binadamai merupakan proses yang interaktif. Artinya, banyak pihak yang

harus terlibat untuk mencapai kesuksesan. Sebagai sebuah proses yang interaktif,

binadamai tidak hanya melibatkan pihak yang berkonflik namun juga antara

aktivis perdamaian dan elit politik yang memenangkan kursi pemerintahan, yang

mana interaksi tersebut secara tegas membentuk proses perdamaian beserta hasil

akhirnya.6 Faktor penentu utama dalam binadamai adalah perbedaan/persamaan

prioritas antara aktivis perdamaian dengan elit domestik.7 Maka dibutuhkan

persamaan kepentingan antara aktivis perdamaian dengan elit politik di host

country.

Menurut Zurcher, dkk (2013) interaksi yang ada dalam proses binadamai

adalah antara pemerintah termasuk elit domestik, masyarakat sipil, mantan

kombatan dan pemberontak atau pihak yang terlibat konflik secara langsung, aktor

internasional, dan aktivis perdamaian. Sedangkan untuk melihat sukses atau

gagalnya sebuah aktivitas binadamai, belum ada tolak ukur yang pasti. Namun

secara umum, Zurcher (2013) menyebutkan keberhasilan atau kegagalan

binadamai dalam dilihat melalui faktor-faktor berikut ini. Pertama, level produk

domestik bruto suatu negara; kedua, intensitas dan tipe konflik; ketiga, modalitas

penyelesaian pascaperang; dan keempat adalah footprint misi binadamai.

4 Ibid., Zurcher, et. al., 2013, Hlm. 20. 5 Ibid., Zurcher, et. al., 2013, Hlm. 2. 6 Ibid., Zurcher, et. al.,, 2013, Hlm. 5. 7 Ibid., Zurcher, et. al, 2013, Hlm. 5.

Page 5: Tantangan Binadamai: Kegagalan Demokratisasi Pasca Konflik

Irza Khurun’in Tantangan Bina Damai: Kegagalan Demokratisasi…| 99

Sejauh ini tidak ada eksplanasi yang konsisten untuk menjelaskan

mengapa binadamai jarang berbuah demokrasi. Zurcher dkk. (2013) mencoba

memberikan penjelasan secara umum terkait dengan minimnya demokratisasi

dalam binadamai pasca konflik. Kegagalan binadamai dalam menghasilkan

demokrasi dapat disebabkan oleh kurangnya kapasitas administrasi; kegagalan

pendekatan analisis konflik; spillover geopolitik; dan minimnya sumberdaya

dalam pelaksanaan mandat peacebuilding.8

Kapasitas administrasi adalah kemampuan pemerintah suatu negara dalam

menjalankan perannya guna menerapkan demokrasi dan perdamaian

berkelanjutan. Kapasitas administrasi di sini berkaitan dengan transparansi dan

akuntabilitas pemerintahan, termasuk tingkat korupsi suatu negara.

Kedua, kegagalan pendekatan analisa konflik. Seringkali aktivis binadamai

kurang cermat dalam melihat akar penyebab konflik di suatu negara. Bisa jadi

konflik tersebut merupakan warisan dari masa kolonialisme. Argumen lain adalah

konflik sipil akibat perebutan kekuasaan. Namun, yang biasa dijadikan sebagai

faktor utama adalah rezim yang represif dan korup menjadi penyebab terjadinya

konflik sipil di suatu negara. Maka, dibutuhkan analisa konflik yang tepat untuk

mencari akar penyebab konflik, sehingga resolusi konflik yang diperoleh menjadi

tepat sasaran.

Ketiga, Faktor spillover kawasan juga mempengaruhi proses demokratisasi

paska perang.9 Kondisi geopolitik suatu negara dapat berpengaruh pada proses

transformasi konflik. Ketika negara tetangga atau negara-negara di regional

tertentu mengalami konflik, maka rentan bagi negara yang berkonflik untuk

mencapai damai yang berkelanjutan. Stabilitas kawasan/neighbourhood yang

buruk dapat membahayakan proses demokratisasi pasca perang.10

Keempat adalah minimnya sumberdaya dalam pelaksanaan mandat

peacebuilding. Mandat yang tidak memadai, kurangnya personel, dan

8 Ibid., Zurcher, et. al.,, 2013, Hlm. 131. 9 Ibid., Zurcher, et. al.,, 2013, Hlm. 103. 10 Ibid., Zurcher, et. al.,, 2013, Hlm. 103.

Page 6: Tantangan Binadamai: Kegagalan Demokratisasi Pasca Konflik

100 | JURNAL TRANSFORMASI GLOBAL VOL 3 NO 1

implementasi yang buruk menjadi salah faktor yang mempengaruhi kegagalan

atau kesuksesan binadamai.11

Keempat faktor tersebut menjadi variabel yang digunakan oleh penulis

untuk melihat mengapa binadamai di Afghanistan gagal berbuah demokrasi.

Untuk memperkuat argumen, penulis menambahkan satu variabel yang diambil

dari konsep binadamai sebagai interaksi. Yakni, bagaimana interaksi antara elit

politik domestik dengan aktivis perdamaian. Dari penjelasan yang dipaparkan

oleh Zurcher, dkk., ketika elit politik domestik dan aktivis perdamaian memiliki

kepentingan yang sama yaitu demokratisasi, maka tujuan binadamai dapat dengan

mudah dicapai.

Sejarah singkat Konflik Sipil di Afghanistan

Perang sipil di Afganistan terjadi sejak 1978, yang melibatkan kehadiran

militer berkepanjangan dari Amerika Serikat, Uni Soviet, dan sejumlah negara-

negara Barat. Sebelumnya, di tahun 1970-an terjadi perubahan kekuasaan di kubu

pemerintahan Afghanistan. King Zahir Shah yang telah memimpin selama kurang

lebih 40 tahun, digulingkan di tahun 1973. Terjadi pendudukan Uni Soviet atas

Afghanistan di tahun 1979 hingga 1989. Maka muncul pertarungan ideologi yang

pro dan anti komunis yang selanjutnya secara terbuka terjadi konflik sipil di tahun

1978 dan perang saidara di antara berbagai kelompok suku Afghanistan. Lebih

dari 1 juta warga Afghanistan meninggal dunia akibat konflik ini, namun Uni

Soviet berhasil di pukul mundur tahun 1992.12

Kemudian tahun 1996 Taliban merebut ibukota Afghanistan, Kabul, dan

mendirikan Islamic Emirate of Afghanistan yang hanya mendapat pengakuan dari

Arab Saudi, Pakistan, dan Uni Emirat Arab. Sedangkan Islamic State of

Afghanistan masih tetap diakui internasional sebagai pemerintahan yang

berdaulat. Konflik sipil antara Taliban dengan pemerintah Afghanistan ini yang

11 Ibid., Zurcher, et. al.,, 2013, Hlm. 131. 12http://wilsonquarterly.com/quarterly/spring-2014-afghanistan/interactive-timeline-war-in-

afghanistan/

Page 7: Tantangan Binadamai: Kegagalan Demokratisasi Pasca Konflik

Irza Khurun’in Tantangan Bina Damai: Kegagalan Demokratisasi…| 101

kemudian memperpanjang sejarah kelam perang sipil di Afghanistan. Akar

konflik di Afghanistan adalah konflik etnis.

Mulai muncul keterlibatan AS yang pada tahun 1998 meuncurkan

serangan rudal di pangkalan militansi Afghanistan, Osama Bin Laden, yang

dituduh telah membom kedutaan besar AS di Afrika.13 Pendudukan Taliban di

Afghanistan menjadi legitimasi bagi AS dan negara sekutu untuk melakukan

intervensi kemanusiaan di Afghanistan. Ditambah dengan tragedi 9/11 tahun 2001

di AS sekaligus menjadi turning point peningkatan intervensi militer AS di

Afghanistan. PBB tidak ambil diam atas konflik tersebut, hingga pada Desember

2001 kelompok berkonflik di Afghanistan bersepakat untuk menandatangai Bonn

Agreement yang berarti untuk menghentikan pertarungan dan membentuk

pemerintahan sementara.14

Di tahun 2001 ini awal dari major peacebuilding operations, yakni operasi

binadamai yang dilakukan secara besar-besaran oleh PBB. Tujuannya adalah

untuk menyebarkan oeprasi perdamaian dan misi perdamaian ke daerah-daerah

rentan dan pasca konflik untuk membantu menciptakan perdamaian

berkelanjutan.15 Hamid Karzai ditunjuk sebagai pemimpin interim di Afghanistan

hingga selanjutnya secara resmi menjadi kepala negara di Afghanistan setelah

pemilu tahun 2004.

13 http://www.bbc.com/news/world-south-asia-12024253 14 http://www.bbc.com/news/world-south-asia-12024253 15http://www.canadainternational.gc.ca/prmny-mponu/canada_un-canada_onu/positions-

orientations/peace-paix/peace-operations-paix.aspx?lang=eng

Page 8: Tantangan Binadamai: Kegagalan Demokratisasi Pasca Konflik

102 | JURNAL TRANSFORMASI GLOBAL VOL 3 NO 1

Analisis Kegagalan Binadamai di Afghanistan

Kegagalan binadamai di Afghanistan dapat dilihat melalui indikator-

indikator berikut ini. Pertama tingkat GDP Afghanistan yang rendah, yakni

peringkat 13 terbawah. GDP per kapita Afghanistan tahun 2013 adalah sebesar

US$ 660, US$ 654 di tahun 2014, dan US$ 615 di tahun 2015.16 Padahal, di posisi

teratas ditempati oleh Luxemburg dengan GDP perkapita sebesar US$ 103,187 di

tahun 2015.17 Beirkut ini adalah data dari World Bank terkait dengan tingkat GDP

di Afghanistan.

Tingkat GDP di Afghanistan.

Gambar 1. Tingkat GDP Afghanistan dari 2006-2014

Sumber : http://data.worldbank.org/country/afghanistan

Gambar 2. GDP Afghanistan dalam Angka

Sumber : http://data.worldbank.org/country/afghanistan

16 http://knoema.com/sijweyg/gdp-per-capita-ranking-2015-data-and-charts 17 http://knoema.com/sijweyg/gdp-per-capita-ranking-2015-data-and-charts

Page 9: Tantangan Binadamai: Kegagalan Demokratisasi Pasca Konflik

Irza Khurun’in Tantangan Bina Damai: Kegagalan Demokratisasi…| 103

Kedua, outcome demokrasi di Afghanistan. Tingkatan demokrasi menjadi

salah satu indikator bahwa binadamai di Afghanistan tidak berbuah demokrasi.

Level demokrasi di Afghanistan adalah rendah jika dibandingkan dengan negara-

negara lain di dunia. Gambar di bawah ini merupakan perbandingan level

demokrasi Afghanistan dengan negara-negara dunia.

Gambar 3. Level Demokrasi di Afghanistan

Sumber : http://knoema.com/GDI2015JAN/democracy-index-2014?country=1001570-afghanistan

Tabel 1. Level Demokrasi di Afghanistan menurut Freedom House

Sumber: https://freedomhouse.org/report/freedom-world/2012/afghanistan-0

Ketiga, tingkat indeks pembangunan manusia di Afghanistan. Melalui

indeks pembangunan manusia, dapat melihat sejauh mana pembangunan yang

• 2012 Score

• Status : Not Free

• Freedom Rating

6.0 (1=Best, 7=worst)

• Civil Liberties

6.0 (1=Best, 7=Worst)

• Political Rights

6.0 (1=Best, 7=Worst)

Page 10: Tantangan Binadamai: Kegagalan Demokratisasi Pasca Konflik

104 | JURNAL TRANSFORMASI GLOBAL VOL 3 NO 1

dilakukan di oleh pemerintah Afghanistan. Berdasarkan data UNDP, di tahun

2002, skor HDI (Human Development Index) Afghanistan mendapatkan skor

0.345. Pada tahun 2015, HDI Afghanistan berada pada ranking 169 dari 187

negara dunia.18

Indikator yang keempat adalah high adoption cost, low action. Yaitu, biaya

yang dibutuhkan dalam pelaksanaan misi binadamai disebut sebagai adoption

cost. Adoption cost Afghanistan adalah yang tertinggi pada tahun tersebut, yakni

periode 2002-2006. Namun, cost tersebut tidak diimbangi dengan hasil yang

dicapai. Adoption cost justru dijadikan ‘ladang’ finansial bagi elit politik di

Afganistan. Tingginya biaya binadamai terlihat dalam gambar berikut:

Gambar 4. Adoption Cost dalam misi-misi binadamai antara tahun 2002-2006

Sumber : Zurcher, et al., 2013.

Dari keempat indikator tersebut dapat ditarik kesimpulan bahwasanya

binadamai yang dilaksanakan di Afghanistan pasca perang sipil adalah gagal dan

tidak membuahkan demokrasi. Untuk menganalisis faktor-faktor penyebab

kegagalan binadamai di Afghanistan, penulis menggunakan konsep postwar

18 http://www.undp.org/content/undp/en/home/librarypage/hdr/2014-human-development-

report.html

Page 11: Tantangan Binadamai: Kegagalan Demokratisasi Pasca Konflik

Irza Khurun’in Tantangan Bina Damai: Kegagalan Demokratisasi…| 105

democratic transition. Penulis menggunakan lima faktor penyebab kegagalan

demokratisasi di Afghanistan yang diuraikan pada bagian berikut ini.

1. Afghanistan: Kapasitas Administrasi Rendah, Tingkat Korupsi Tinggi

Kapasitas administrasi dan tingkat korupsi menjadi faktor penting penyebab

kegagalan demokratisasi dalam binadamai pasca konflik. Afghanistan memiliki

kapasitas adminitrasi yang rendah. Hal itu terbukti melalui tingginya korupsi di

Afghanistan. Konflik dan korupsi adalah dua hal yang berjalan beriringan.

Keduanya merupakan konsep yang saling berkaitan. Konflik dapat berpengaruh

pada tingkat korupsi di suatu negara. Pun sebaliknya, tingginya tingkat korupsi

memicu kesenjangan sosial yang dapat berujung pada konflik. Analis kebijakan di

seluruh dunia kembali berfikir akan implikasi korupsi bagi perdamaian di sebuah

negara.

Transparency International tahun 2014 menyebutkan Afghanistan sebagai

salah satu negara dalam indeks persepsi korupsi terkecil. Indeks persepsi korupsi

(IPK) adalah cerminan suatu negara atas persepsi publik terhadap korupsi elit

politik yang menduduki jabatan fungsional pemerintahan. Sekalipun IPK ini tidak

bisa menjadi satu-satunya acuan mengenai tingkat korupsi suatu negara, namun

bisa menjadi referensi tingkat korupsi. Afghanistan berada di posisi keempat IPK

terendah setelah Somalia, Korea Utara, dan Sudan.19

Korupsi muncul sebagai salah satu faktor kegagalan demokratisasi di

Afghanistan. Adanya korelasi antara korupsi, instabilitas politik, dan konflik

menjadi penguat mengapa korupsi adalah faktor penting yang perlu diperhatikan

dalam proses binadamai. Terlebih ketika aliran dana dalam proses binadamai

tidaklah kecil. Maka, ketika dana tersebut tidak tersalurkan dengan baik akibat

adanya korupsi, maka proses demokratisasi dalam binadamai pun sulit untuk

dicapai.

Ketika kontrak sosial dalam suatu negara lemah, mendorong angka korupsi

yang tinggi. Hal itu pula yang menyebabkan proses binadamai tidak berjalan

19 World Bank, 2011, Hlm. 7-8 dalam International, T. (2015). Corruption Perception Index.

(daring), <https://www.transparency.org/cpi2014/results> diakses pada 29 September 29, 2015

Page 12: Tantangan Binadamai: Kegagalan Demokratisasi Pasca Konflik

106 | JURNAL TRANSFORMASI GLOBAL VOL 3 NO 1

mulus dan bahkan cenderung memantik konflik baru. Negara berkewajiban untuk

menjamin kesejahteraan masyarakat, namun hal itu sulit tercapai karena, lagi-lagi,

penyalahgunaan wewenang para elit pemegang kekuasaan. Kondisi tersebut

memicu kekecewaan. Maka, dari ulasan tersebut dapat disimpulkan bahwa negara

yang terindikasi tinggi tingkat korupsinya memiliki sistem politik, administrasi

publik, dan lembaga ekonomi yang lemah20.

2. Pendekatan Analisa Konflik Sipil Afghanistan yang Tidak Tepat Sasaran

Dalam pelaksanaan aktivitas binadamai, penting untuk melihat akar

penyebab konflik di Afghanistan. Sehingga penyelesaian konflik dapat dilakukan

secara maksimal. Banyak asumsi yang bermunculan dalam melihat konflik di

Afghanistan. beberapa pengkaji melihat bahwa konflik di Afghanistan adalah

konflik etnis, sehingga metode penyelesaiannya adalah melalui etnis-etnis yang

berkonflik. Namun, kebanyakan melihat bahwa perebutan kekuasaan antara etnis,

yang dipicu dengan adanya sistem pemerintahan yang tidak demokratis. Kondisi

yang seringkai menjadi dasar diberlakukannya demokratisasi di Afghanistan.

Menurut Zurcher, penyelesaian konflik di Afghanistan tidak dapat hanya

melihat dari dua kondisi tersebut. Kondisi lokal di Afganistan mempengaruhi

praktik binadamai. Banyaknya kelompok-kelompok militan di Afghanistan,

menjadikan konflik etnis sulit untuk dikendalikan. Tier Warlord, yakni adanya

keterlibatan militer dalam pemerintahan menjadi pemicu konflik di Afghanistan

terus berlangsung. Selain itu, regional strongmen yang ada di Afghanistan

menjadi aktor penting dalam konflik di Afghanistan. Regional strongmen melihat

visi peacebuilder adalah ancaman atas otonominya dan wilayah kekuasannya

(lahan). Di sisi lain, regional strongmen dan warlord dijadikan sebagai alat bagi

pihak internasional yang ingin berkepentingan dalam konflik, salah satunya

Amerika Serikat yang memberikan dukungan terhadap regional strongmen dan

warlord. Banyak regional strongmen dan warlord menerima dukungan

20 Ibid., Transparency International, 2014, Hlm. 16.

Page 13: Tantangan Binadamai: Kegagalan Demokratisasi Pasca Konflik

Irza Khurun’in Tantangan Bina Damai: Kegagalan Demokratisasi…| 107

substansial dari Amerika Serikat.21 Misalnya, warlord yang mendukung kebijakan

war on terror Amerika Serikat akan mendapatkan assistance. Kondisi yang

demikian seringkali luput dari sudut pandang aktivis perdamaian.

Konflik sipil di Afghanistan merupakan konfik yang rumit. Akar penyebab

konflik pun beragam. Keterlibatan Taliban dan Al-Qaeda menjadi faktor penting

untuk dianalisis dalam mencari penyelesaian konflik. Ditambah dengan invasi

militer Amerika Serikat pasca 9/11 yang justru menambah runyam kondisi

perpolitikan di Afghanistan. Ketika dunia internasional menitikfokuskan pada Al-

Qaeda dengan memborbardir Afghanistan, justru menimbulkan masalah baru.

Perang sipil di Afghanistan terjadi antara 1996-2001 yang mana berakhir

secara ambigu. Selama menjadi negara transisi, antara tahun 2001-2004,

Afghanistan dipimpin oleh Hamid Karzai. Namun, Presiden Karzai juga enggan

untuk melepaskan jaringan patronase di Afghanistan.22 Jaringan patronase23

seperti ini juga dapat dengan mudah memicu konflik karena adanya ketidakpuasan

masyarakat terhadap pemerintahan yang sedang berjalan.

3. Afghanistan dan Neighborhood Matters

Faktor spillover kawasan juga mempengaruhi proses demokratisasi paska

perang. Mekanisme spillover di Afghanistan melalui penularan konflik dan

dukungan aktor regional.24 Stabilitas kawasan/neighborhood yang buruk

membahayakan proses demokratisasi paska perang. Presiden Karzai yang terpilih

dalam Bonn Agreement juga tidak lebih baik dari pemerintahan sebelumnya dalam

menghadapi Taliban dan spillover konflik di negara-negara tetangga.

Afghanistan berbatasan langsung dengan Iran, Pakistan, Tajikistan,

Turkmenistan, Uzbekistan, dan Cina. Afghanistan juga berbatasan dengan

Kashmir, kawasan konflik yang diperebutkan oleh India dan Pakistan. Terlepas

21 Op. Cit., Zurcher, et. al., 2013. 22 Op. Cit., Zurcher, et. al., 2013. 23 Patronase adalah hubungan antara apa yang disebut sebagai ‘patron’ dan ‘klien’. 24 Op. Cit., Zurcher, et. al., 2013, Hlm. 103.

Page 14: Tantangan Binadamai: Kegagalan Demokratisasi Pasca Konflik

108 | JURNAL TRANSFORMASI GLOBAL VOL 3 NO 1

dari kekuatan regional, dua negara di kawasan Afghanistan dapat secara signifikan

mempengaruhi konflik Afghanistan, yakni Pakistan dan Iran.

Pakistan misalnya, yang memegag peranan penting dalam mensponsori

kekuatan untuk Taliban sehingga memegang kunci stabilitas di Afghanistan.25

Hubungan keduanya telah renggang, yang mana Pakistan menyalahkan

Afghanistan atas tuduhannnya telah menyembunyikan teroris di wilayahnya.

Sementara Afghanistan menyalahkan Islamadan yang menjadi kendalam

perdamaian dan stabilitas di Afghanistan.26

Di sisi lain, Iran juga memiliki kepentingan strategis yang signifikan di

Afghanistan. DI beberapa waktu silam, Iran mendukung kelompok-kelompok

Syiah. Iran juga berkepentingan untuk mendukung pemerintahan pasca

Najibulloh. Namun, pasca 2001 Iran melihat Afghanistan sebagai pro AS.27

Berbeda dengan Pakistan yang memberikan dukungan terhadap Taliban,

Iran di posisi yang sebaliknya. Iran melihat Taliban sebagai perpanjangan tangan

dari Pakistan dan Arab Saudi. Oleh karenanya, Iran cenderung melawan

pendudukan Taliban di Afghanistan. Di periode konflik sipil Afghanistan, tahun

1996-2001, Iran memberikan dukungan terhadap Northern Alliance dan meng-

counter dominasi Taliban.28

Melalui penjelasan di atas, terlihat bahwa negara-negara di kawasan Asia

Barat sangat mengambil peranan penting akan terjadinya stabilitas di Afghanistan.

Selain berdampak pada preferensi demokrasi, spillover konflik juga memberikan

efek terhadap adoption cost. Biaya pelaksanaan binadamai menjadi semakin

besar, karena aktivitasnya terhambat karena instabilitas kawasan yang secara

langsung memberikan efek terhadap demokratisasi.

25 Smruti S. Pattanaik, 2013, Afghanistan and Its Neighbourhood, Institute fo Defense Studies and

Analyses, Hlm. 14 26 Ibid., Pattanaik, 2013, Hlm. 19. 27 Ibid., Pattanaik, 2013, Hlm. 20. 28 Ibid., Pattanaik, 2013, Hlm. 20.

Page 15: Tantangan Binadamai: Kegagalan Demokratisasi Pasca Konflik

Irza Khurun’in Tantangan Bina Damai: Kegagalan Demokratisasi…| 109

4. Pelaksanaan Mandat Peacebuilding di Afghanistan, Sudahkah Memadai?

Major peacebuilding operations di Afghanistan secar aresmi dilakukan

pada periode 2002-2006 yang mana pada saat itu kualitas demokrasi di

Afghanistan adalah electoral authoritarian dengan unstable democratic.29 Zurcher

menyebutkan bahwa jenis konfliknya adalah konflik identitias untuk perebutan

kekuasaan dengan jumlah pemberontah lebih dari satu.

Skala misi peacebuilding di Afghanistan dalam periode 2002-2006 adalah

US$ 8,000,000 dengan totoal personil baik sipil maupun militer tercatat sebanyak

28, 905 orang.30 Saat itu populasi di Afghanistan sebanyak 27,770,000 jiwa.31

Cakupan misinya adalah penegakan perdamaian, reformasi sektor keamanan, dan

peningkatan kekuatan legislatif dengan tanpa adanya kepolisian eksekutif dan

penguatan power eksekutif.32 Lama mandat binadamai yang dijalankan di

Afghanistan adalah selama 105 bulan.

Mandat binadamai di Afghanistan diantaranya adalah33

• Rekonstruksi untuk pihak-pihak yang rentan

• Pembiayaan untuk program reintegrasi

• Membangun local governance yang kuat

• Mendesain keseimbangan etnis dan institusi keamanan profesional

• Menguatkan institusi di level grass roots untuk resolusi

• Memberdayakanpemimpin sipil

• Membangun ketertiban hukum

• Promote dinamika pemimpin lokal (pemuda dan perempuan)

• Menekankan komitmen finansial dan politik yang berkelanjutan

Dari mandat tersebut, terlihat bahwa proyek binadamai terlalu ambisius

dan kurang peka melihat kondisi riil di Afghanistan. sedangkan implementasi

mandat, dari segi personil kurang memadai. Lebih dari itu, kondisi politik

domestik di Afghanistan membutuhkan penanganan yang lebih spesifik. Karena

banyak local strongmen dan warlord yang justru mengambil peluang dengan

adanya proyek binadamai ini. Maka, dapat disimpulkan bahwa, mandat binadamai

29 Op. Cit., Zurcher, et al., 2013, Hlm. 12. 30 Op. Cit., Zurcher, et al., 2013, Hlm. 60. 31 Op. Cit., Zurcher, et al., 2013, Hlm. 60. 32 Op. Cit., Zurcher, et al., 2013, Hlm. 60. 33 Op. Cit., Zurcher, et.al., 2013.

Page 16: Tantangan Binadamai: Kegagalan Demokratisasi Pasca Konflik

110 | JURNAL TRANSFORMASI GLOBAL VOL 3 NO 1

yang terlalu ambisius dengan tanpa memperhatikan pola implementasinya, justru

membawa pada kegagalan demokraitsasi di Afghanistan.

5. Elit Politik Domestik Afghanistan vs Aktivis Perdamaian

Dalam proses binadamai, penting untuk melihat interaksi antara elit politik

domestik dengan aktivis perdamaian. Aktor-aktor yang pentignuntuk dilibatkan

adalah pemerintah pusat, masyarakat sipil, kelompok pemberontak, elit politik

internasional atau regional, dan aktivis perdamaian. Menurut Zurcher dkk (2013),

untuk menyukseskan proyek binadamai, penitng untuk menjalin interaksi aktor-

aktor tersebut, khususnya adalah elit politik domestik Afghanistan dan aktivis

perdamaian.

Ketika dua aktor penting tersebut memiliki preferensi yang sama, yakni

demokratisasi, maka akan mudah melakukan pencapaian tersebut. Namun, apa

yang terjadi di Afghanistan adalah suatu hal yang paradoks. Di negara yang

mengalami perang sipil yang lama, memiliki ketidakpercayaan sosial yang tinggi,

serta proses binadamai yang diambil dengan pendekatan comunity-based yang

lebih pada local strongmen dan warlord, memunculkan kondisi paradoks. Yakni,

di satu sisi kerjasama dengan local strongmen dan warlord hanya menyentuh

sebagian kecil tanpa konsensus lokal. Sementara di sisi lain, hal itu mencoba

membuat lanskap politik yang lebih inklusif.34

Menyoroti kontradiksi tersebut, justru lokal politik domestik Afghanistan

mengambil kesempatan guna mencapai kepentingannya. Banyaknya aliran dana

yang mengalir ke Afghanistan menjadi pintu bagi elit politik untuk mendapatkan

dana. Asumsi pelaku binadamai di Afghanisan adalah dengan menjalin kerjasama

dengan elit politik domestik termasuk local strongmen dan warlord, maka

diharapkan dapat memperlancar demokratisasi di Afghanistan.35 Di satu sisi,

mereka berkepentingan terhadap aliran dana, di sisi lain mereka juga memiliki

34 Ibid., Marika Theros, 2012., Hlm. 1. 35 Roger Mac Ginty, 2010, Warlords and The Loberal Peace: State-building in Afghanistan,

<http://www.gsdrc.org/document-library/warlords-and-the-liberal-peace-state-building-in-

afghanistan/> diakses pada 1 Januari 2016.

Page 17: Tantangan Binadamai: Kegagalan Demokratisasi Pasca Konflik

Irza Khurun’in Tantangan Bina Damai: Kegagalan Demokratisasi…| 111

kepentingan untuk melanggengkan kekuasaan di Afghanistan. Sedangkan aktivis

perdamaian melalui mandat binadamainya berusaha untuk menciptakan

perdamaian yang berkelanjutan dan instalasi demokrasi di Afghanistan. Maka,

sulit untuk mencapai persamaan preferensi antara elit politik domestik dan aktivis

perdamaian di Afghanistan.

Di Afghanistan, otoritas politik terfragmentasi baik secara internal maupu

eksternal, yang mana masing-masing aktor tersebut mmiliki kepentingan dan

agenda sendiri-sendiri. Maka semakin sulit untuk mengidentifikasi mana yang

memiliki kepemilikan, kekuasan, dan yang tidak akuntabel. Kurangnya kejelasan

dalam peran dan tanggung jawab memungkinkan elit politik, domestik maupun

asing mengalihkan tanggung jawab dan melarikan diri dari tanggung

akuntabilitas.

Seorang pejabat tingkat tinggi di Afghanistan bahkan menyarankan bahwa

skenario binadamai terbaik adalah dengan memufungsikan koalisi antar panglima

perang yang berbeda dan kelompok militansi lain, atau disebut dengan pendekatan

tier warlord, karena tidak bisa untuk melakukan perbaikan langsung pada sistem

di Afghanistan.36 Pendekatan ini yang kurang dijamah oleh para aktivis

perdamaian. Peacbuilders terlalu system-centered dalam melakukan proses

binadamai.

Namun, melalui pendeketan tier warlord, banyak masyarakat yang

kontras. Masyarakat melihat bahwa warlodisme adalah titik pangkal

ketidakamanan yang ada di Afghanistan. masalah korupsi, pemerintahan yang

predator, warlodisme, dan ekonomi politik ekslusif menjadi pemicu utama

ketidakamanan dan perekrutan kelompok militansi Taliban.37

Sedangkan pendekatan sistem juga tidak bisa dengan mudah diaplikasikan

di Aghanistan. Demokrasi, alih-alih memberikan kebebasan kepada rakyat,

sebaliknya, kelompok masyarakat yang tidak sejalan dengan kepentingan elit

banyak mendapatkan tekanan dan kekerasan. Masyarakat internasional berbicara

36 Marika Theros, 2012, Understanding Local Ownership in Peacebuilding Operations in

Afghanistan, Berlin: Friedrich Ebert Stiftung, Hlm. 8 37 Ibid., Marika Theros, 2012., Hlm. 9.

Page 18: Tantangan Binadamai: Kegagalan Demokratisasi Pasca Konflik

112 | JURNAL TRANSFORMASI GLOBAL VOL 3 NO 1

hanya untuk kalangan elit politik asing, pejabat pemerintah, dan pelaku bersenjata,

sedangkan masyarakat di lingkar yang lebih luas lagi, yang suaranya tidak

terwakili, tidak memiliki legitimasi yang luas.38 Salah satu pendapat dari elit

Afghanistan mengatakan bahwa

“Dari awal, pemain internasional hanya mendukung para panglima

perang (warlord). Dan ketika ada kunjungan dari donatur asing, mereka

menemui komandan perang dan mengabaikan masyarakat sipil dan

pasukan demokratis”39

Tensi kepentingan politik domestik dan internasional semakin dalam dari

waktu ke waktu dan mengisi ruang pasca invasi AS ke Afghanistan tahun 2001.

Di negara yang mengalami perang sipil yang lama, memiliki ketidakpercayaan

sosial yang tinggi, serta proses binadamai yang diambil dengan pendekatan

comunity-based yang lebih pada local strongmen dan warlord, memunculkan

kondisi paradoks. Yakni, di satu sisi kerjasama dengan local strongmen dan

warlord hanya menyentuh sebagian kecil tanpa konsensus lokal. Sementara di sisi

lain, hal itu mencoba membuat lanskap politik yang lebih inklusif.40

Penutup

Dari uraian di atas, disimpulkan bahwasanya binadamai di Afganistan

adalah contoh binadamai yang gagal dengan beberapa empat indikator kegagalan

yang telah dijelaskan di atas. Empat indikator kegagalan tersebut diantaranya

adalah tingkat GDP yang masih rendah yang menunjukkan bahwa kondisi

ekonomi masih belum stabil, oucome demokrasi yang rendah, indeks

pembangunan manusia, dan high adoption-low action. Kesimpulan yang kedua,

faktor-faktor kegagalan binadamai di Afghanistan yang tidak berbuah demokrasi

ada lima diantaranya adalah, yang pertama kapasitas administrasi rendah dan

tingkat korupsi tinggi; kedua pendekatan analisa konflik sipil yang tidak tepat

sasaran; ketiga kondisi geopolitik Afghanistan; keempat pelaksanaan mandat

peacebuilding yang tidak memadai; dan yang kelima adalah tidak adanya

38 Ibid., Marika Theros, 2012., Hlm. 9. 39 Ibid., Marika Theros, 2012., Hlm. 9. 40 Ibid., Marika Theros, 2012., Hlm. 1.

Page 19: Tantangan Binadamai: Kegagalan Demokratisasi Pasca Konflik

Irza Khurun’in Tantangan Bina Damai: Kegagalan Demokratisasi…| 113

persamaan preferensi antara elit politik domestik Afghanistan dengan aktivis

perdamaian. Dari uraian tersebut dapat diambil satu kesimpulan utama yakni ada

“pemerkosaan” instalasi demokrasi dalam proses binadamai di Afghanistan.

REFERENSI

Carnegie Endowment For International Peace. (2014). Corruption, The

Unrecognized Threat to International Security. Washington DC: Carnegie

Endowment for International Peace.

MacGinty, Roger, 2010, Warlords and The Loberal Peace: State-building in

Afghanistan, <http://www.gsdrc.org/document-library/warlords-and-the-

liberal-peace-state-building-in-afghanistan/> diakses pada 1 Januari

2016.

ECD. (2009). Integrity in Statebuilding Anti-Corruption with a Statebuilding

Lens. Paris: OECD.

Pattanaik, Smruti S., (2013), Afghanistan and Its Neighbourhood, Institute fo

Defense Studies and Analyses.

Shah, Anup, (2014), Foreign Aid for Development Assistance, (daring),

<http://www.globalissues.org/article/35/foreign-aid-development-

assistance> diakses pada 20 Desember 2015.

Marika Theros, 2012, Understanding Local Ownership in Peacebuilding

Operations in Afghanistan, Berlin: Friedrich Ebert Stiftung.

Transparency International. (2014). Corruption as A Threat to Stability and

Peace. London: Transparency International Deutschland.

Transparency International. (2015). Corruption Perception Index. Retrieved

September 29, 2015, from Transparency Web site:

https://www.transparency.org/cpi2014/results

World Bank, 2011, Hlm. 7-8 dalam International, T. (2015). Corruption

Perception Index. (daring),

<https://www.transparency.org/cpi2014/results> diakses pada 29

September 29, 2015

Page 20: Tantangan Binadamai: Kegagalan Demokratisasi Pasca Konflik

114 | JURNAL TRANSFORMASI GLOBAL VOL 3 NO 1

Zurcher, Christoph, et. al, 2013, Cotly Democracy: Peacebuilding and

Democratization After War, Tansford: Stanford University Press, Hlm. 20.

Website

http://www.theguardian.com/news/datablog/2014/jun/18/global-peace-index-

2014-every-country-ranked

http://wilsonquarterly.com/quarterly/spring-2014-afghanistan/interactive-timeline-

war-in-afghanistan/

http://www.bbc.com/news/world-south-asia-12024253

http://www.canadainternational.gc.ca/prmny-mponu/canada_un-

canada_onu/positions-orientations/peace-paix/peace-operations-

paix.aspx?lang=eng

http://knoema.com/sijweyg/gdp-per-capita-ranking-2015-data-and-charts

http://www.undp.org/content/undp/en/home/librarypage/hdr/2014-human

development-report.html