demokratisasi di indonesia: agenda penting reformasi yang

29
64 DEMOKRATISASI DI INDONESIA: Refleksi atas Institusionalisasi Demokrasi dalam UUD, UU Pemda, dan UU Pilkada Muhammad Aqil Irham Abstrak Institusionalisasi demokrasi di Indonesia menjadi salah satu agenda penting Reformasi yang gencar dilaksanakan pasca- tumbangnya Orde Baru pada 1998. Namun demikian, institusionalisasi ini nampaknya belum menghasilkan kestabilan dalam sistem perpolitikan hingga saat ini. Dalam mengevaluasi jalannya proses institusionalisasi yang telah dilakukan sejauh ini, beberapa persoalan mendasar mesti kita cermati, antara lain persoalan terkait desentralisasi dan otonomi daerah. Terkait hal ini, penting juga untuk menelaah berbagai perubahan dalam proses pemilihan kepala daerah. Dengan menerapkan perspektif neo-institusionalisme dalam mendekati persoalan-persoalan tersebut, tulisan ini ditujukan untuk melakukan refleksi atas UUD, UU Pemda, dan UU Pilkada. Melalui refleksi ini akan dapat kita lihat bagaimana sebenarnya proses institusionalisasi demokrasi berlangsung di Indonesia hingga hari ini. Kata Kunci: Institusionalisasi, desentralisasi, Otonomi Daerah Pendahuluan Pasca-Orde Baru proses institusionalisasi atau reformasi institusional dalam agenda demokratisasi di Indonesia mengalami perubahan terus-menerus dalam agenda lima tahunan. Hari ini perubahan itu belum menghasilkan kemapanan dan kestabilan. Padahal kemapanan dan kestabilan ini penting untuk mengarah pada Dosen Fakultas Ushuluddin IAIN Raden Intan Lampung

Upload: others

Post on 15-Oct-2021

7 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: DEMOKRATISASI DI INDONESIA: agenda penting Reformasi yang

64

DEMOKRATISASI DI INDONESIA:Refleksi atas Institusionalisasi Demokrasi dalam UUD, UU

Pemda, dan UU Pilkada

Muhammad Aqil Irham

Abstrak

Institusionalisasi demokrasi di Indonesia menjadi salah satuagenda penting Reformasi yang gencar dilaksanakan pasca-tumbangnya Orde Baru pada 1998. Namun demikian,institusionalisasi ini nampaknya belum menghasilkankestabilan dalam sistem perpolitikan hingga saat ini. Dalammengevaluasi jalannya proses institusionalisasi yang telahdilakukan sejauh ini, beberapa persoalan mendasar mesti kitacermati, antara lain persoalan terkait desentralisasi danotonomi daerah. Terkait hal ini, penting juga untuk menelaahberbagai perubahan dalam proses pemilihan kepala daerah.Dengan menerapkan perspektif neo-institusionalisme dalammendekati persoalan-persoalan tersebut, tulisan ini ditujukanuntuk melakukan refleksi atas UUD, UU Pemda, dan UUPilkada. Melalui refleksi ini akan dapat kita lihat bagaimanasebenarnya proses institusionalisasi demokrasi berlangsung diIndonesia hingga hari ini.

Kata Kunci: Institusionalisasi, desentralisasi, Otonomi Daerah

PendahuluanPasca-Orde Baru proses institusionalisasi atau reformasi

institusional dalam agenda demokratisasi di Indonesia mengalamiperubahan terus-menerus dalam agenda lima tahunan. Hari iniperubahan itu belum menghasilkan kemapanan dan kestabilan.Padahal kemapanan dan kestabilan ini penting untuk mengarah pada

Dosen Fakultas Ushuluddin IAIN Raden Intan Lampung

Page 2: DEMOKRATISASI DI INDONESIA: agenda penting Reformasi yang

M. Aqil Irham: DEMOKRATISASI DI INDONESIA...

65 Jurnal TAPIs Vol.11 No.2 Juli-Desember 2015

aspek yang lebih fundamental, yaitu perubahan struktural,institusional, dan kultural, serta penyiapan aktor-aktor dalamimplementasinya. Untuk memenuhi kepentingan ini harus adaformulasi tentang bagaimana proses perubahan institusional mestidilakukan secara inklusif dan partisipatif agar hasilnya mendapatkanlegitimasi dari publik.

Setiap rezim pemerintahan selalu berbeda dalam halkebijakannya. Hal itu dapat diketahui secara jelas baik dari zamanOrde Lama Soekarno, Orde Baru Soeharto, maupun Reformasi eraHabibie dan pasca-Reformasi Abdurrahman Wahid, Megawati, SusiloBambang Yudhoyono, hingga Joko Widodo saat ini. Padapemerintahan Orde Baru terdapat dua produk undang-undang yangterkait secara langsung dengan sentralisasi, desentralisasi,dekonsentrasi, dan tata acara pemilihan kepala daerah. Kedua undang-undang tersebut adalah UU No. 5 Tahun 1975 tentang PemerintahanDaerah dan UU No. 9 Tahun 1975 tentang Pemerintahan Desa. Sejakitu tidak pernah dilakukan amandemen sama sekali sampai jatuhnyaSoeharto pada 1998. Ketika Habibie menggantikan Soeharto, lahirlahUU baru untuk menggantikan UU lama yang dipandang tidakdemokratis dan tidak cocok lagi dengan era Reformasi, yakni UU No.22 Tahun 1999 tentang Otonomi Daerah. Perkembangan selanjutnya,UU No. 32 Tahun 2004 lahir di era Megawati. UU ini menjadi rujukandan payung hukum dalam pemilihan kepala daerah secara langsungsebelum akhirnya digantikan oleh UU No. 22 Tahun 2014 tentangPemilihan Kepala Daerah dan UU No. 23 Tahun 2014 tentangPemerintahan Daerah.

UU No. 5 Tahun 1975 tentang Pemerintahan Daerah dan UUNo. 9 Tahun 1975 tentang Pemerintahan Desa memuat konsepsentralisasi, desentralisasi, dan dekonsentrasi. Kedua UU ini ditujukanuntuk melakukan pengaturan kewenangan-kewenangan di tingkatpusat, daerah, dan desa dalam struktur pemerintahan Indonesia.Termasuk dalam hal ini tata cara pemilihan kepala daerah, serta posisikecamatan dan desa dalam hierarki pemerintahan. Pemerintah provinsimerupakan perpanjangan pemerintah pusat di daerah, sedangkanpemerintahan kabupaten dan kota madya merupakan implementasi

Page 3: DEMOKRATISASI DI INDONESIA: agenda penting Reformasi yang

M. Aqil Irham: DEMOKRATISASI DI INDONESIA...

66Jurnal TAPIs Vol.11 No.2 Juli-Desember 2015

dari desentralisasi dan dekonsentrasi. Bupati dan wali kotabertanggung jawab kepada gubernur sebagai wakil pemerintah pusatdi daerah.

Di zaman Orde Baru pemilihan kepala daerah dilaksanakanmelalui musyawarah mufakat antar dan lintas fraksi di DPRD. Sidangparipurna dilakukan untuk memilih tiga nama yang kemudiandiusulkan ke pemerintah pusat (dalam hal ini Menteri Dalam Negeri)melalui gubernur sebagai wakil pemerintah pusat di daerah. Satu namalantas ditetapkan untuk dilantik oleh Mendagri. Pada umumnyakomposisi kepala daerah berasal dari latar belakang ABRI, Birokrat,atau Golkar (ABG). Kepala daerah umumnya merupakan ”kiriman”dari pusat; sebagian besar merupakan tentara aktif berpangkat kolonel,kemudian birokrat (PNS karier), dan sebagian kecil adalah politisisipil dari Golkar. Tidak ada mekanisme pemilihan di parlemen. Setiapanggota haknya tergerus oleh dominasi fraksi yang merupakanperpanjangan partai, sehingga demokrasi menjadi semu. Bila anggotamelawan kebijakan fraksi dan parpol, maka ia bisa dikenai sanksi“recall”.

Di era Reformasi, melalui implementasi UU No. 22 Tahun1999, pemilihan kepala daerah dilaksanakan secara demokratis diparlemen dengan cara voting ”satu orang satu suara”. Setiap anggotaparlemen memiliki kekuasaan penuh dan hak-hak yang terartikulasisecara independen. Era ini merupakan era liberalisme politik lokal.Meskipun ada tekanan dari fraksi dan partai politik, sering kaliditemukan seorang anggota DPRD bisa berbeda pilihan dengan apayang telah ditetapkan oleh fraksinya karena konsep ”recall” sudahtidak ada lagi. Fraksi hanya memiliki fungsi untuk meloloskan calonyang memenuhi syarat dukungan 15% kursi di DPRD. Adapunpemilihannya merupakan hak anggota. Melalui demokrasi parlementerini telah lahir politisi-politisi lokal yang berusaha memengaruhi partaidan anggota parlemen secara langsung.Lahirnya UU No. 32 Tahun 2004 mengawali implementasi pemilihankepala daerah secara langsung yang umum, bebas, dan rahasia,

Page 4: DEMOKRATISASI DI INDONESIA: agenda penting Reformasi yang

M. Aqil Irham: DEMOKRATISASI DI INDONESIA...

67 Jurnal TAPIs Vol.11 No.2 Juli-Desember 2015

sebagaimana pemilu legislatif untuk memilih anggota DPR, DPRD,dan DPD. Desentralisasi mengembalikan keseimbangan hubunganbupati dan gubernur sebagai wakil pemerintah pusat di daerah. Calonkepala daerah dan wakil kepala daerah yang akan maju dalam pilkadalangsung harus mendapatkan dukungan dari partai politik atau aliansipartai politik yang memenuhi kuota 15% suara hasil pemilu dan/atau15% kursi di parlemen. Setelah ditetapkan oleh partai politik, kandidatakan didaftarkan ke KPU dan ditetapkan sebagai peserta pemilu.Dalam sejarah demokrasi di Indonesia, inilah pertama kalinyadilaksanakan pemilihan secara langsung untuk menentukan bupati,wali kota, dan gubernur.

Sekalipun hasil pemilu telah ditetapkan oleh KPU, masih adacelah hukum bagi kandidat yang tidak menerima dan tidak mengakuikemenangan kandidat lain, yakni dengan cara melakukan gugatanhukum di MK. Bila MK sudah memberikan putusan, makaselanjutnya kandidat terpilih bisa diproses ke Mendagri untuk di-SK-kan dan kemudian dilantik. Di balik hadirnya demokrasi lokal denganmekanisme yang demikian, terdapat gejala semakin menguatnyaoligarki partai dan elite, serta munculnya dinasti politik dan politikkartel yang sesungguhnya merupakan upaya pembajakan demokrasi.Fenomena inilah yang kemudian menjadi parasit dan residu demokrasidi Indonesia, bahkan hingga hari ini. Menggunakan neo-institusionalisme sebagai perangkat analitis dalam mendekatipersoalan desentralisasi dan institusionalisasi demokrasi di Indonesia,tulisan ini hendak melakukan refleksi atas konstitusi dan perundang-undangan yang mengatur persoalan tersebut. Perundang-undanganyang dimaksud mencakup UU Pemerintahan Daerah (Pemda) dan UUPemilihan Kepala Daerah (Pilkada)

Kerangka TeoriTeori neo-institusionalisme berkembang dalam ilmu-ilmu

sosial, baik politik, ekonomi, maupun sosiologi. Teori ini berangkatdari pemahaman terhadap kata kunci “institusi” yang selalu dikaitkandengan seperangkat nilai yang menciptakan keteraturan sosial yangdikonstruksi, diproduksi, dan direproduksi oleh aktor dalam

Page 5: DEMOKRATISASI DI INDONESIA: agenda penting Reformasi yang

M. Aqil Irham: DEMOKRATISASI DI INDONESIA...

68Jurnal TAPIs Vol.11 No.2 Juli-Desember 2015

masyarakat. Berbagai ahli memberikan banyak ragam versi dalammendefinisikan institusi. Perspektif sosiologis menekankanpentingnya peran kekuasaan dan aktor sosial dalam menciptakaninstitusi. Dalam hal ini, konsep-konsep utama yang dapat membantumenjelaskan institusi di antaranya konsepsi tentang peraturan (rules),sumber daya (resources), dan keterampilan sosial (social skill)(Fligstein, 1998).

Konsepsi struktur dan aktor dalam perumusan institusi dapatdicermati dari pendapat yang dikutip oleh Fligstein (1998) di bawahini: Partai politik, ideologi, voting dan tradisi aktivisme politikberpengaruh terhadap tingkah laku politik kelompok. Organisasi daninstitusi politik membatasi aktor politik. Piersen (1995)menggambarkan dua tipe metafora sosial, yaitu “unintendedconsequences” dan “path dependence” yang menandakan bahwaorganisasi dan institusi politik dapat dan sering kali melakukanpengaturan pembatasan terhadap kecenderungan yang dikehendakioleh aktor politik. Pembuat undang-undang akan mengatur institusiagar dapat digunakan untuk mencapai tujuan yang mereka tidakrencanakan. Undang-undang memberi pembatasan tindakan aktor.Aktor menggunakan logika tertentu untuk menetapkan apa-apa yangdikehendaki mereka secara baik. Sebaliknya, Steinmo dan Thelen(1994) melihat aktor bisa berfungsi sebagai entrepreuner institusi danpolitik. Mereka menjelaskan lebih jauh bahwa dalam kondisi-kondisitertentu, misalnya proses-proses politik dan kecenderungan aktor bisabersifat endogen dalam proses membangun institusi. Aktor akanmenjadi eksis bila inovatif untuk membangun aliansi yangmengorganisir kembali kehendak kelompok.

Dengan demikian, dapat diambil suatu pemahaman bahwastruktur dan aktor saling interaktif dalam merumuskan institusi. Aktorinternal dalam sebuah organisasi maupun aktor eksternal di luarorganisasi adalah entrepreuner penting dari sebuah perubahanstruktural dan institusional. Kendala yang sering ditemukan adalahketidaksamaan akses sumber daya antara aktor internal dan eksternal

Page 6: DEMOKRATISASI DI INDONESIA: agenda penting Reformasi yang

M. Aqil Irham: DEMOKRATISASI DI INDONESIA...

69 Jurnal TAPIs Vol.11 No.2 Juli-Desember 2015

organisasi dalam menentukan proses perubahan. Apalagi dalam ranahpolitik, pertarungan merebut sumber daya otoritatif dan alokatifmenjadi perjuangan politik para aktor yang sering kalimemarginalisasi kelompok-kelompok lain.

Perspektif neo-institusionalis acap digunakan beberapa penelitidalam penelitian tentang desentralisasi dan demokratisasi pasca-OrdeBaru di Indonesia (Buehler, 2004; Buehler dan Tan, 2007; Duncan,2007). Perspektif neo-institusionalis merupakan perspektif globalyang diterapkan oleh negara-negara maju pada negara-negara DuniaKetiga. Perspektif ini mendorong wacana pemerintahan yang baik(good governance), masyarakat sipil (civil society), modal sosial(social capital), demokratisasi, serta desentralisasi melalui prosesinstitusionalisasi. Dalam konteks Indonesia, institusionalisasi UUOtonomi Daerah dipandang sebagai upaya yang efektif menujuperubahan politik dalam rangka melahirkan pemerintahan yangkredibel dan baik. Institusionalisasi melalui amandemen konstitusi danperubahan UU Paket Politik juga merupakan pendekatan yangmendorong proses demokratisasi menjadi lebih akseleratif dan masif.

Refleksi Terhadap UUUDDemokrasi merupakan gelombang baru di banyak negara,

termasuk Indonesia, yang hadir dengan berbagai varian. Di tiap-tiapnegara demokrasi memiliki corak tersendiri sesuai karakteristikmasyarakatnya. Masyarakat komunal dan kolektif dengan tradisi danbudaya kohesif terkristalisasi dalam ideologi nonliberal sepertisosialisme, komunisme, dan Pancasila, sebagaimana dianut olehnegara-negara Eropa Timur, Amerika Latin, dan sebagian Asia,termasuk Indonesia.1

1 Konsep demokrasi Pancasila merupakan sebuah jalan baru dalammembangun kekuatan politik melalui basis sosiologis masyarakat Indonesia, yaitusifat kegotong-royongan, solidaritas sosial, dan kolektivitas. Struktur masyarakatmajemuk nusantara memiliki ikatan kohesivitas dan tingkat integrasi yang amattinggi dalam semangat kebersamaan. Fakta empirik dan historis ini yangmenginspirasi bapak pendiri bangsa merumuskan dasar negara Pancasila yang jugamenjadi konstruksi demokrasi khas Indonesia.

Page 7: DEMOKRATISASI DI INDONESIA: agenda penting Reformasi yang

M. Aqil Irham: DEMOKRATISASI DI INDONESIA...

70Jurnal TAPIs Vol.11 No.2 Juli-Desember 2015

Melalui globalisasi, gesekan dan dialektika ideologismengarah pada konvergensi—saling mengakomodasi—sebagai gejalabaru demokratisasi. Gejala ini nampak jelas dalam demokrasi liberalAmerika Serikat dewasa ini yang secara terbuka mengangkat isu danjargon strategis kaum sosialis. Begitu pun China yang membuka diriterhadap liberalisasi. Fenomena dialektika serupa juga terjadi dalamsejarah Indonesia, hingga mempertaruhkan demokrasi yang berbasisideologi Pancasila dalam pembentukan konstitusi,2 khususnyademokrasi politik dalam mengatur mekanisme pemilihan kepalanegara/pemerintahan dan kepala daerah serta demokrasi sosial-ekonomi.

Relasi antaraktor politik sejak awal selalu diwarnai persoalanideologis. Perdebatan ideologi liberalis, sosialis, komunis, danPancasilais selalu menjadi argumentasi intelektual untuk melegitimasipilihan-pilihan politik aktor. Para pendiri bangsa sendiri menggagasdemokrasi Indonesia sebagai langkah menolak demokrasi Barat.Demokrasi Indonesia kemudian dibangun di atas dasar ideologiPancasila, yaitu demokrasi “permusyawaratan perwakilan” dalambentuk negara kesatuan. Demokrasi ini pun diimplementasikan dalampemilihan pemimpin baik di tingkat nasional maupun lokal.Sayangnya setiap perubahan tersebut senantiasa lebih banyak diiringioleh politik kepentingan elite ketimbang hasil kajian konseptual yangmatang dan mekanisme publik.

Sebagai konsekuensi dari proses globalisasi sejak awal-awalberdirinya negara bangsa Indonesia, Indonesia tidak bisa menghindardari peta kekuatan dunia. Hal ini sangat jelas terlihat dalam perjalanan“demokrasi ala Indonesia” yang pernah mewujud dalam beberapabentuk. Indonesia pernah mengaplikasikan demokrasi liberal padaPemilu 1955, demokrasi terpimpin pasca-dibubarkan Konstituante danDekrit Presiden 5 Juli 1959 hingga penetapan Soekarno sebagai

2 Manifesto NASAKOM sebagian fakta sejarah di mana ideologi Pancasilaharus berbenturan dengan realitas, kepentingan elite politik, dan pertarungankekuasaan yang tak dapat dielakkan.

Page 8: DEMOKRATISASI DI INDONESIA: agenda penting Reformasi yang

M. Aqil Irham: DEMOKRATISASI DI INDONESIA...

71 Jurnal TAPIs Vol.11 No.2 Juli-Desember 2015

presiden seumur hidup, dan demokrasi permusyawaratan/perwakilandi MPR dan DPRD dalam pemilihan presiden dan kepala daerahselama masa Orde Baru.3 Sejak Reformasi muncul istilah demokrasiperwakilan4 dan demokrasi langsung,5 baik untuk pemilihan presidenmaupun kepala daerah. Sejak 1959 hingga berakhirnya kekuasaanSoekarno pada 1969, dan selama pemerintahan Orde Baru hinggakeruntuhannya pada 1998, demokrasi Pancasila belum bisadilaksanakan sepenuhnya dalam realitas kehidupan berbangsa,bernegara, dan bermasyarakat (Asshiddiqie, 2011).

Bagaimana konstruksi demokrasi Pancasila memengaruhirumusan konstitusi dalam sejarah Indonesia selalu dilatari olehdinamika politik yang berkembang pada masanya. Konstruksi tersebutbisa bertahan, berubah, bahkan ditafsirkan sesuai selera pemegangkekuasaan. Di era Reformasi amandemen UUD sudah dilakukanempat kali, di mana makna kedaulatan rakyat dalam memilihpemimpin juga ditafsirkan dengan berbagai cara.

Amandemen pertama dalam Sidang Umum MPR 14-21Oktober 1999 tidak mengubah tafsir kedaulatan rakyat yangdiimplementasikan melalui mekanisme“permusyawaratan/perwakilan” dalam memilih presiden. Amandemenketiga pada Sidang Tahunan MPR 1-9 November 2001 mengubahpasal 1 ayat 2 UUD 1945 menjadi: “Kedaulatan berada di tanganrakyat dan dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar.” Pasal inimenghapus kewenangan lembaga MPR untuk menjalankansepenuhnya kedaulatan rakyat dan berimplikasi pada pasal 6A yangkemudian berbunyi: “Presiden dan Wakil Presiden dipilih dalam satupasangan secara langsung oleh rakyat.”

Setahun sebelumnya, dalam Sidang Umum MPR 7-18 Agustus2000 dilakukan amandemen kedua yang mengubah aturan tentangpemerintahan daerah. Sebelumnya, pasal 18 UUD 1945 yang

3 Mekanisme pemilihan di DPRD melalui rapat fraksi-fraksi yangmengusulkan tiga nama dan diajukan ke presiden untuk ditetapkan satu namamelalui Mendagri sesuai dengan UU No. 5/1974.

4 Sesuai dengan UU No. 22/1999.5 Menurut UU No. 32/2004.

Page 9: DEMOKRATISASI DI INDONESIA: agenda penting Reformasi yang

M. Aqil Irham: DEMOKRATISASI DI INDONESIA...

72Jurnal TAPIs Vol.11 No.2 Juli-Desember 2015

menganut sistem permusyawaratan menyebutkan: “Pembagian daerahIndonesia atas daerah besar dan ketjil, dengan bentuk susunanpemerintahannja ditetapkan dengan undang2, dengan memandang danmengingati dasar permusjawaratan dalam sistem pemerintahan negara,dan berhak asal-usul dalam daerah2 jang bersifat istimewa.” Pasal inidiamandemen menjadi pasal 18 ayat 1-5. Di ayat 4 disebutkan:“Gubernur, bupati dan wali kota masing-masing sebagai kepala daerahprovinsi, kabupaten dan kota dipilih secara demokratis.” Pasal inisangat jelas menghapus klausa “... dengan memandang danmengingati dasar permusjawaratan dalam sistem pemerintahannegara” yang dimaksudkan dalam risalah sidang BPUPKI sebagaidemokrasi perwakilan.

Beberapa argumentasi menjadi alasan mengapa perubahandilakukan dalam hal pemerintahan daerah. Salah satunya,sebagaimana diungkapkan oleh Lukman Hakim Syaifuddin,kedaulatan rakyat dimaknai sebagai musyawarah langsung.6

Menurutnya, suasana batin opini publik dan kehendak mayoritasmenjadi pertimbangan pembedaan tersebut. Kehendak daerah untukmenempuh jalan demokratis dalam menentukan kepala daerah dankepemimpinan lokal juga menguat di era Reformasi. Sejumlah daerahmeminta kewenangan lebih banyak daripada sebelumnya danmenuntut hak otonom. Artinya, fenomena sosiologis yang adamemperlihatkan bahwa masyarakat menghendaki demokrasi langsung.Menurut Syaifuddin, hal ini dimaksudkan untuk menjamin danmengakui keragaman lokal dalam hal pemilihan kepala daerahmasing-masing. Pemilihan tersebut mungkin saja dilaksanakan denganmusyawarah mufakat, permusyawatan/perwakilan, aklamasi padasistem dinasti yang masih eksis di daerah tertentu (contohnya, DaerahIstimewa Yogyakarta), atau mekanisme-mekanisme alternatif lain

6 Wawancara dengan Lukman Hakim, Wakil Ketua DPR RI, tanggal 19Maret 2013, pukul 14.24.

Page 10: DEMOKRATISASI DI INDONESIA: agenda penting Reformasi yang

M. Aqil Irham: DEMOKRATISASI DI INDONESIA...

73 Jurnal TAPIs Vol.11 No.2 Juli-Desember 2015

yang dipandang masih dalam koridor demokratis oleh daerah yangbersangkutan. Dalam konteks ini peraturan perundang-undanganharusnya tidak seragam, seperti UU No. 22 Tahun 1999 dan UU No.32 Tahun 2004. Sebaliknya, legislasi seharusnya memberikan ruangkesempatan bagi daerah untuk menentukan mekanismenya sendiri.

Sejalan dengan dasar pemikiran yang diungkapkan olehSyaifuddin di atas, Jimly Asshiddiqie (2010: 223) memandang pasal18, 18A, dan 18B UUD 1945 hasil amandemen kedua telah mengubahformat negara kesatuan statis menjadi negara kesatuan dinamis yangmengandung unsur-unsur federalis dan pengaturan otonomi pluralissebagai prinsip dasar dalam mengatur hubungan pusat dan daerah.Menurut Asshiddiqie, dengan mengacu pada pasal tersebut setiapdaerah dimungkinkan menyelenggarakan pemilihan kepala daerahdengan caranya sendiri-sendiri sesuai kemampuan dan kesiapanmasing-masing. Dalam konteks ini, apakah masing-masing daerahmemerlukan UU tersendiri yang berbasiskan kondisi dan karakteristikdaerah bersangkutan, seperti yang sudah dimiliki oleh daerah-daerahistimewa seperti Yogyakarta,7 Jakarta,8 Aceh,9 dan Papua?10

Bukankah otonomi merupakan wujud penyerahan kekuasaan danotoritas dari pemerintah pusat ke daerah-daerah?

Mengingat daerah-daerah memiliki keragaman potensi alam,sumber daya manusia, dan kearifan lokal, maka diperlukan UUpluralis yang mengatur otonomi dan memperjelas urusan-urusan apasaja yang menjadi urusan lokal dan mana saja yang untuk menjamin

7 UU RI No. 13 tentang Keistimewaan Daerah Istimewa Yogyakartadidasarkan pada historisitas Kesultanan Ngayogyakarta Hadiningrat dan KadipatenPakualaman yang telah mempunyai wilayah, pemerintahan, dan penduduksebelum lahirnya negara Kesatuan Republik Indonesia pada tanggal 17 Agustus1945.

8 UU No. 29/2007 tentang Pemerintahan Provinsi Daerah Khusus Ibu KotaJakarta sebagai Ibu Kota Negara Kesatuan Republik Indonesia.

9 UU RI No. 18/2001 tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi DaerahIstimewa Aceh sebagai Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam.

10 Perppu Republik Indonesia No. 1 Tahun 2008 tentang Perubahan atasUndang-Undang Nomor 21 tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi ProvinsiPapua.

Page 11: DEMOKRATISASI DI INDONESIA: agenda penting Reformasi yang

M. Aqil Irham: DEMOKRATISASI DI INDONESIA...

74Jurnal TAPIs Vol.11 No.2 Juli-Desember 2015

kepentingan, agenda, dan tujuan nasional. Persoalan tentangdemokrasi mana yang dipilih sebagai tafsir kedaulatan rakyat, apakahdemokrasi perwakilan ataukah demokrasi langsung, dapat menemukansolusinya dengan menerapkan pengakuan nasional atas desentralisasidemokrasi sesuai karakteristik masyarakat di tiap-tiap daerah. Dalamkonteks ini, esensi mekanisme pemilihan kepala daerah tidak hanyamenyangkut aspek elektoral, tetapi juga otonomi masyarakat.

Mencermati kedua UUD di atas, UUD 1945 dan UUDS 1950,pasal 18 dan 131 mengatur beberapa hal. Pertama, mengaturpembagian daerah besar dan kecil. Daerah besar yang dimaksudadalah provinsi, yang dibagi lagi menjadi daerah kecil kabupaten/kota.Kedua, mengatur prinsip susunan pemerintahan di daerah besar dankecil tersebut. Ketiga, mengatur mekanisme pemilihan pimpinan didaerah tersebut. Keempat, mengatur hak daerah otonom untukmengurus rumah tangganya sendiri. Kelima, mengatur tugas-tugas diluar urusan rumah tangga yang diberikan oleh pemerintah ke daerah.Keenam, pengakuan pemerintah atas hak-hak lokalitas mengingatsecara historis daerah-daerah tersebut memiliki keistimewaan.Di antara kedua UUD, terdapat perbedaan dalam hal pengaturanotonomi daerah dan pengakuan terhadap hak-hak tradisional danistimewa yang berlaku di daerah. Dalam hal otonomi UUDS 1950lebih tegas dengan menyebut secara eksplisit otonomi seluas-luasnyadalam konteks mengurus rumah tangga sendiri dan tugas pembantuan.Namun demikian, kedua pasal ini memiliki kesamaan dalammenerapkan konsep demokrasi yang didasarkan pada prinsippermusyawaratan/perwakilan. Dalam artian, susunan pemerintahandaerah akan diatur melalui UU dan proses pemilihannya dilakukanmelalui DPRD setempat yang berwenang menyelenggarakandemokrasi perwakilan.

Perbedaan pasal dalam kedua UUD tentu mendapat responsdari daerah-daerah. Pada awal-awal kemerdekaan dan dalam usianegara bangsa yang relatif muda, isu tentang pembagian kekuasaanpusat dan daerah sangat sensitif. Hal ini menyebabkan potensi

Page 12: DEMOKRATISASI DI INDONESIA: agenda penting Reformasi yang

M. Aqil Irham: DEMOKRATISASI DI INDONESIA...

75 Jurnal TAPIs Vol.11 No.2 Juli-Desember 2015

“pembangkangan” daerah menggeliat. Spirit untuk memisahkan diridari NKRI semakin besar dan menemukan pijakannya dari UUD RISketika NKRI berubah bentuk menjadi federalisme di tahun 1949.Ketidakpuasan daerah tidak hanya sampai di situ. Di saat-saatjatuhnya Orde Baru dan bangkitnya Reformasi, gerakan-gerakandaerah yang ingin merdeka masih saja menghantui, seperti di Acehdan Papua. Bahkan Timor Timur akhirnya lepas dari pangkuanIndonesia setelah rakyatnya melakukan referendum.

Bila dicermati, perbedaan kedua UUD secara prinsipiil sangatbertentangan. UUD 1945 pasal 18 secara meyakinkan menyatakanbahwa bentuk negara Indonesia adalah kesatuan. Sementara itu,UUDS 1950 masih “berbau” federalisme Konstitusi RIS 1949. Pasal131 UUDS 1950 secara terang-terangan menyebutkan kata “otonomi”di ayat 1 dan “otonomi seluas-luasnya” di ayat 2. Di ayat 3 nampaksecara eksplisit niat pemerintah menerapkan tugas pembantuan kepadadaerah otonom di luar urusan rumah tangganya sendiri. Dalam tarik-menarik perumusan pasal 18 dan pasal 131 di atas isu yang amatmendesak adalah desentralisme, otonomi daerah, dan federalismeyang selalu disuarakan oleh aktor-aktor daerah.

Pasca-UUDS 1950, lebih tepatnya pasca-pemilu pertama 1955dan lembaga Konstituante sebagai hasilnya, tidak berhasil dilahirkankonstitusi baru, apalagi rumusan baru kerangka hubungan pemerintahpusat dan daerah. Dekrit Presiden sebagai langkah yang diambil untukmengatasi kebuntuan tersebut menyatakan “kembali ke UUD 1945”—terkait pemerintahan daerah, kembali ke pasal 18 UUD 1945. Di saatkerangka desentralisasi belum sempat dipikirkan secara konseptual,kebijakan terpusat justru terjadi melalui demokrasi terpimpin yangmeneguhkan semangat sentralisme. Kondisi tersebut tidak mengalamiperubahan sekalipun telah terjadi peralihan tampuk kekuasaan dariSoekarno ke Soeharto di kemudian hari.

Pemerintahan Orde Baru bahkan semakin memantapkansentralisme melalui payung hukum UU No. 5 Tahun 1974 tentangPemerintahan Daerah dan UU No. 5 Tahun 1979 tentangPemerintahan Desa. Pada periode ini aspirasi dan kehendak daerahyang disuarakan aktor-aktor lokal nyaris tak terdengar dalam

Page 13: DEMOKRATISASI DI INDONESIA: agenda penting Reformasi yang

M. Aqil Irham: DEMOKRATISASI DI INDONESIA...

76Jurnal TAPIs Vol.11 No.2 Juli-Desember 2015

mengangkat kepentingan daerah. Amandemen kedua di era Reformasiyang melahirkan rumusan baru pasal 18, 18A, dan 18B UUD 1945tidak sederas arus aspirasi daerah yang muncul ketika pembahasanpasal 18 UUD 1945 sebelum amandemen dan pasal 131 UUDS 1950.Dalam perumusan pasal 18 hasil amandemen kedua lebih banyakperan aktor-aktor politik internal negara di DPR dan MPR yangberkoalisi dengan aktor-aktor partai politik.

Beberapa ketetapan MPR juga telah dikeluarkan untukmenunjukkan dukungan terhadap penyelenggaraan otonomi.11 Palingtidak ada beberapa topik sentral dan penting yang harus disarikan dariUUD 1945 dan Tap MPR tersebut.Pertama, soal pembagian daerah sebagai bagian dari NKRI.Pembagian daerah sebagai daerah besar dan daerah kecil di dalampasal 18 hasil amandemen kedua dieksplisitkan menjadi daerahprovinsi, kabupaten, dan kota.

Kedua, konsekuensi dari pembagian daerah adalah adanyapembagian kekuasaan antara pemerintahan pusat dan daerah. Untukitu, di daerah-daerah terdapat pemerintahan daerah.Ketiga, tidak terdapat pembagian daerah yang secara eksplisit disebutdaerah desa. Konsekuensinya, tidak disebut-sebut pula tentangpemerintahan desa. Padahal pasal 18 UUD 1945 sebelum amandemen

11 Pertama, hasil sidang MPRS tahun 1966 yaitu Tap MPRS No.XXI/MPRS/1966 tentang Pemberian Otonomi seluas-luasnya kepada daerah.Kedua, di akhir rezim Orde Baru dan hadirnya gelora reformasi tuntutan daerahmenguat kembali yaitu di tahun 1998 yang mendorong MPR RI mengakomodasiaspirasi daerah dan melahirkan Tap MPR No. XV/MPR/1998 tentangPenyelenggaraan otonomi daerah, Pengaturan, Pembagian dan PemanfaatanSumber Daya Nasional yang berkeadilan, serta Perimbangan Keuangan pusat danDaerah dalam Kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia. Dari Tap MPR inimelahirkan UU No. 22/1999 tentang pemerintahan daerah dan UU No. 25/1999tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah. Kemudianyang ketiga ialah ketetapan MPR No. IV/MPR/2000 tentang RekomendasiKebijakan dalam Penyelenggaraan Otonomi Daerah.

Page 14: DEMOKRATISASI DI INDONESIA: agenda penting Reformasi yang

M. Aqil Irham: DEMOKRATISASI DI INDONESIA...

77 Jurnal TAPIs Vol.11 No.2 Juli-Desember 2015

dan penjelasannya memberi kerangka dasar rujukan yuridis bagikeberadaan daerah desa dan pemerintahan desa.Keempat, pemerintah daerah memiliki kewenangan mengatur danmengurus daerah dan pemerintahannya sendiri.

Kelima, pemerintahan daerah adalah kepala daerah dan DPRD.Keenam, persoalan menyangkut mekanisme pemilu kepala daerah dananggota DPRD. Khusus pemilu kepala daerah mekanismenyadinyatakan dengan “dipilih secara demokratis”. Kata “demokratis” inimenghilangkan makna demokrasi substantif ala Indonesia yangdirumuskan bapak pendiri bangsa pada pasal 18 UUD 1945 asli yanglebih operasional dan tidak mengundang tafsir maupun perdebatan,yaitu dalam kalimat: “... dengan memandang dan mengingati dasarpermusjawaratan dalam sistem pemerintahan Negara, dan berhak asal-usul dalam daerah2 jang bersifat istimewa.” Selain itu, juga dalamteks pasal 131 UUDS 1950 yang bunyinya persis seperti pasal 18 diatas namun dengan tambahan: “… dan dasar perwakilan....” Lebihlengkapnya: “… dengan bentuk susunan pemerintahannja ditetapkandengan undang2, dengan memandang dan mengingati dasarpermusjawaratan dan dasar perwakilan dalam sistem pemerintahanNegara.”

Ketujuh, pemerintah daerah memiliki hak membuat danmenetapkan peraturan terkait dengan otonomi dan tugas pembantuan.Kedelapan, relasi pemerintah pusat dan daerah yang berhubungandengan keuangan, pelayanan umum, SDA, diatur secara adil danselaras.

Kesembilan, adanya pengakuan negara terhadap satuan-satuanpemerintahan daerah yang khas, khusus, dan istimewa serta kesatuan-kesatuan masyarakat hukum dan adat. Kesembilan intisari dari UUD1945 hasil amandemen kedua tersebut harus menjadi pilar-pilar yangmenopang implementasinya di tataran undang-undang dan peraturanlain yang lebih operasional.

Rangkaian perubahan konstitusi, ketetapan MPRS dan MPRsebagaimana yang telah disebutkan di atas mendorong pembentukanundang-undang tentang pemerintahan daerah dan berbagai peraturanpemerintah. Pertanyaan besarnya adalah apakah sesungguhnya yang

Page 15: DEMOKRATISASI DI INDONESIA: agenda penting Reformasi yang

M. Aqil Irham: DEMOKRATISASI DI INDONESIA...

78Jurnal TAPIs Vol.11 No.2 Juli-Desember 2015

membuat para ahli, masyarakat, dan penentu kebijakan belummenemukan formula yang tepat dan kebijakan yang ajek? Apakahpenyebabnya adalah pertarungan antaraktor yang kurang seimbangdalam perdebatan akademik maupun politik dalam perumusankonstitusi? Apakah kurang optimalnya artikulasi kepentingan danaspirasi daerah yang diperjuangkan oleh aktor-aktor daerah di levelnasional? Ataukah rumusan seluruh kebijakan tidak berbasiskepentingan masyarakat?

Refleksi UU Pemda Dan UU PilkadaPasca-Reformasi kata “demokratis” dalam pasal 18 ayat 4

UUD 1945 diterjemahkan dalam dua undang-undang. Pertama,melalui UU No. 22 Tahun 1999 kata “secara demokratis” masihdiimplementasikan dalam kerangka demokrasi perwakilan melaluiDPRD. Kedua, UU No. 32 Tahun 2004 menerjemahkan katademokratis menjadi pemilihan kepala daerah secara langsung. Dengandemikian, kata demokratis dalam UUD 1945 mengalami tafsir ganda,yaitu melalui mekanisme DPRD dan secara langsung. Perdebatan atastafsir ganda ini kemudian menjadi materi pembahasan yang alot,bahkan memakan waktu yang relatif lama, dalam sidang-sidangKomisi II DPR RI dalam rangka merevisi UU No. 32 Tahun 2004.Persoalan ini akhirnya diputuskan secara dramatis pada sidangparipurna DPR RI tanggal 26 September 2014 dengan disahkannyaUU No. 22 Tahun 2014 tentang Pilkada. Pengesahan tersebut segeradisusul oleh dikeluarkannya Perppu No. 1/2014 oleh Presiden SusiloBambang Yudhoyono.

Di awal Reformasi terdapat UU No. 22 Tahun 1999 yangmenyebabkan terjadinya penyerahan urusan secara drastis ke daerah,khususnya kabupaten/kota. Dalam konteks otonomi seluas-luasnya,pemerintah pusat dan provinsi mempunyai kewenangan terbatas yangdiatur dalam Peraturan Pemerintah No. 25 Tahun 2000. Di era initerjadi ketegangan antara kepala daerah dengan DPRD terkaitkecenderungan luas ditolaknya laporan pertanggungjawaban kepala

Page 16: DEMOKRATISASI DI INDONESIA: agenda penting Reformasi yang

M. Aqil Irham: DEMOKRATISASI DI INDONESIA...

79 Jurnal TAPIs Vol.11 No.2 Juli-Desember 2015

daerah oleh DPRD. Di bidang kepegawaian juga terjadi distorsikebijakan yang menimbulkan primordialisme yang dipandangmembahayakan persatuan dan kesatuan bangsa serta menyuburkanrasa kedaerahan yang sempit. Berbagai persoalan tersebut telahmenggiring ke arah dilakukannya perubahan terhadap UU No. 22Tahun 1999 hingga dikeluarkannya UU No. 32 Tahun 2004 sebagaipengganti.

UU No. 32 Tahun 2004 mencari keseimbangan antaradesentralisasi dan sentralisasi dengan menerapkan asas dekonsentrasidan asas pembantuan yang secara historis tidak lepas dari pengaruhpelaksanaan otonomi dan desentralisasi zaman Belanda yangmembagi empat daerah otonom.12 Dalam konteks ini, revisi UU No.32 Tahun 2004 yang diajukan pemerintah selalu berubah pendirian—sebelumnya otonomi terbatas diberlakukan di provinsi dan otonomiseluas-luasnya di kabupaten/kota, dan akhirnya otonomi ditetapkan ditingkat provinsi. Sebagai konsekuensi bentuk negara kesatuantentunya titik keseimbangan sentralisasi dan desentralisasi harusdidasari basis teori yang kuat agar produk yang dikeluarkan dapatberlaku stabil.

Pembahasan Daftar Inventaris Masalah (DIM) di Komisi IIDPR mendapatkan perhatian dari beberapa kelompok kerja aliansiNGO. Sebagai penyumbang pendapat kedua (second opinion),kelompok-kelompok kerja aliansi NGO ini melakukan FGD dankonsultasi publik. Arus utama isu yang mengemuka adalah fenomenapemilukada yang rentan konflik, pemerintahan lokal yang korup, sertanetralitas birokrasi yang buruk. Selain itu, mengemuka pula isutentang kerangka konseptual otonomi daerah dan desentralisasi didalam negara kesatuan. Dari hasil pengamatan peneliti, pembahasan

12 Pertama, daerah otonom provinsi dan juga sebagai daerah administratifprovinsi. Kedua, daerah Keresidenan Administratif. Ketiga, daerah KabupatenOtonom yang juga sekaligus sebagai daerah Administratif. Keempat, Daerahotonom Kota. Daerah otonom di luar Jawa juga diatur pasca-1930 yaituGroepsgemeenschap Palembang, Groepsgemeenschap Minangkabau,Groepsgemeenschap Tapanuli, dll., namun keburu penyerahan Belanda kepadaJepang. Setelah Jepang sudah tidak lagi berjalan otonomi daerah (1958: 14-15).

Page 17: DEMOKRATISASI DI INDONESIA: agenda penting Reformasi yang

M. Aqil Irham: DEMOKRATISASI DI INDONESIA...

80Jurnal TAPIs Vol.11 No.2 Juli-Desember 2015

yang diinisiasi oleh aktor-aktor internal negara dan aktor-aktoreksternal nonnegara berlangsung secara terpisah dan berdiri sendiri-sendiri. Komisi II dalam sidang-sidangnya tidak melibatkan kelompokNGO; sebaliknya, aliansi NGO tidak mengundang Komisi II atauKemendagri dalam diskusi-diskusi mereka.Berdasarkan naskah akademik draf revisi UU No. 32 Tahun 2004yang diajukan pemerintah, beberapa problem pemilukada danpemerintahan daerah disebabkan oleh berbagai faktor. Pertama,konflik horizontal di daerah. Kedua, biaya politik yang mahal. Ketiga,konflik antara kepala daerah dengan wakil kepala daerah. Keempat,korupsi politik dan dinasti kepala daerah yang semakin meningkat.Kelima, titik tekan otonomi daerah yang ambigu—apakah di tingkatprovinsi atau kabupaten/kota—berimplikasi pada tata cara pemilukadaserta posisi ganda gubernur sebagai kepala daerah sekaligus wakilpemerintah pusat di daerah. Keenam, pijakan yuridis posisi wakilkepala daerah memiliki kelemahan, apakah sebagai jabatan politis(political appointee) yang merupakan satu paket dengan kepala daerahatau jabatan karier (administrative appointee). Ketujuh, persoalandalam membedakan legitimasi otoritas gubernur, yakni sebagaiperpanjangan tangan pemerintah pusat di daerah ataukah sebagaikepala daerah tingkat I.

Faktor-faktor di atas secara garis besar dapat dikelompokkanke dalam dua domain pembahasan. Pertama, pembahasan tentangposisi provinsi dan kabupaten/kota sebagai daerah otonom. Persoalanini merupakan penerapan asas desentralisasi. Dalam hal ini provinsidan kabupaten/kota memiliki kewenangan besar dalam mengatur danmengurus urusan-urusan teritorial dan kepentingan-kepentingandaerah setempat. Hal ini juga memiliki relevansi dengan kewenanganpemerintah yang meletakkan kebijakan dekonsentrasi dan tugaspembantuan.

Kedua, pembahasan tentang implementasi dari domainpertama melahirkan gagasan-gagasan terkait mekanisme dan tata carapemilihan kepala daerah. Hal ini mengingat kepala daerah akan

Page 18: DEMOKRATISASI DI INDONESIA: agenda penting Reformasi yang

M. Aqil Irham: DEMOKRATISASI DI INDONESIA...

81 Jurnal TAPIs Vol.11 No.2 Juli-Desember 2015

menjalankan fungsi pemerintahan daerah dan mengemban amanatkepentingan masyarakat lokal. Kedua domain ini telah diajukan olehpemerintah dalam draf RUU Pemerintahan Daerah dan RUU Pilkada.Kedua draf RUU tersebut sudah diajukan ke DPR dan telah dibahassecara intensif baik di Komisi II maupun lintas Komisi. RUUPemerintahan Daerah dibahas dalam sidang Pansus, sedangkan RUUPilkada dibahas dalam sidang-sidang Kelompok Kerja (Pokja)Pilkada. Pembahasan mengenai dua tema besar ini dapat dilihat dalamuraian berikut.Pada rapat penyusunan revisi UU Pilkada, aktor-aktor internal negaraterpecah menjadi dua kutub utama. Hal ini membuat dinamikaperjalanan RUU mengalami negosiasi yang alot. Pembahasan utamatentang demokrasi lokal, apakah melalui mekanisme demokrasiperwakilan atau langsung di setiap level/susunan pemerintahandaerah, dapat dibedakan dalam dua kurun waktu yang berbeda.Pertama, pada awal usulan revisi pemerintah berpendirian kokohmemperjuangkan pemilihan kepala daerah melalui mekanisme DPRDuntuk provinsi dan kabupaten/kota. Posisi pertama ini konsisten danrelevan dengan naskah akademik yang disiapkan. Kedua, mayoritasanggota Komisi II menolak usulan pemerintah tersebut. Setelahdilakukan lobi-lobi intensif pemerintah mengubah posisinya, darimemperjuangkan usulan mekanisme DPRD untuk pemilihan kepaladaerah di semua tingkatan menjadi di tingkatan provinsi saja,sedangkan untuk kabupaten/kota pemilihannya dilakukan secaralangsung. Pada posisi kedua ini pemerintah mendekonstruksi basisteori yang dibangun naskah akademik mereka sendiri.Argumentasi yang kemudian dibangun untuk posisi kedua tersebut,bahwasanya posisi gubernur harus kuat sebagai wakil pemerintah didaerah serta memiliki kewibawaan dan kekuatan penuh untukmengawal kepentingan nasional, mengoordinasikan pembangunanantar-kabupaten/kota, sekaligus membantu pemerintah melakukanpengawasan. Adapun kabupaten/kota sebagai unit dasar pelayananmasyarakat dan pelaksana pembangunan langsung yang dekat denganbasis rakyat, secara ideal harus patuh, taat, dan hormat terhadap posisigubernur dalam menjamin ketercapaian tujuan pembangunan nasional.

Page 19: DEMOKRATISASI DI INDONESIA: agenda penting Reformasi yang

M. Aqil Irham: DEMOKRATISASI DI INDONESIA...

82Jurnal TAPIs Vol.11 No.2 Juli-Desember 2015

Sebagaimana terlihat, argumentasi ini dibarengi gagasan untukmembedakan basis legitimasi di kedua tingkatan pemerintahan daerah.Argumentasi dan pandangan mutakhir pemerintah tersebutberimplikasi terhadap eksistensi penyelenggara pemilu (KPU danBawaslu) yang terancam; juga berimplikasi pada bagaimanamengakomodasi calon perseorangan yang tidak memiliki perwakilandi DPRD.13

Aliansi/koalisi terbatas antara Partai Demokrat, PPP, danKementerian Dalam Negeri mengusung gubernur dipilih melaluiDPRD provinsi. Di sisi lain, Golkar, PDIP, PKS, dan Gerindramemperlihatkan ketidaksetujuannya dengan usulan ini (padaperkembangan selanjutnya pasca-Pilpres 2014, terdapat perubahansikap Golkar, Gerindra, PKS; mereka menghendaki pemilihan kepaladaerah melalui DPRD). Dukungan untuk pemilihan kepala daerahmelalui DPRD juga berasal dari ormas PBNU, berdasarkan hasilkajian para ulama dalam Munas NU di Cirebon.

Argumentasi pemerintah yang didukung Partai Demokrat danPPP untuk membedakan basis legitimasi gubernur dan bupati/walikota dalam rangka memperkuat posisi gubernur dipandang dapatmenciptakan ketertutupan struktur kekuasaan dari kontrol publiksebagaimana yang pernah dipraktikkan melalui UU No. 22 Tahun1999. Kontrol publik tidak dapat mengakses bentuk-bentuk permainanpolitik uang antara kandidat dengan partai politik dan anggotanya di

13 Sesuai dengan usulan terbaru RUU, calon gubernur adalah pesertapemilihan yang diusulkan oleh fraksi atau gabungan fraksi DPRD Provinsi atausebutan lainnya yang didaftarkan di KPU Provinsi, namun panlih tetap dibentukoleh DPRD. Dengan draf ini sangat jelas pemerintah meniadakan calonperseorangan dalam kontestasi. PKB, PKS, Gerindra dan Hanura menyebut calonperseorangan yang di daftar ke KPU Provinsi. Dalam konteks ini Golkarmempertanyakan mengapa DPRD membentuk panitia pemilih bukankah sudah adaKPU Provinsi, sama penting pertanyaannya mengapa gubernur dipilih melaluiDPRD.

Page 20: DEMOKRATISASI DI INDONESIA: agenda penting Reformasi yang

M. Aqil Irham: DEMOKRATISASI DI INDONESIA...

83 Jurnal TAPIs Vol.11 No.2 Juli-Desember 2015

DPRD. Bila mekanisme ini diulang kembali meskipun hanya untukDPRD provinsi, maka akan mendorong pertarungan menjadi anggotaDPRD provinsi lebih kompetitif karena kedaulatan atas sumber dayadimonopoli oleh DPRD provinsi. Kekuasaan akan semakin didominasipartai politik sebagai satu-satunya sumber rekrutmen kandidat kepaladaerah. Partai-partai besar dan partai-partai koalisi pemenang pemiluberpeluang besar menguasai sumber daya politik dan sumber dayamodal di daerah.

Sebagai bukti empirik, sekalipun diberi peluang melaluikeputusan MK di tahun 2008, calon perseorangan tidak pernahmampu mengimbangi dominasi kandidat dari partai politik. Kebijakanuntuk memperkuat basis masyarakat dalam memproduksi kader-kaderpemimpin nonparpol luput dari pasal-pasal di dalam perundang-undangan, bahkan tidak diidentifikasi di dalam DIM-nya. Kekuasaanpun semakin berputar-putar di kelembagaan negara yang dikooptasioleh kepentingan elite partai politik. Dampaknya, tentu saja kekuasaandi tingkat masyarakat semakin terdesak ke pinggiran sehinggaagregasi dan artikulasi kepentingan rakyat untuk naik ke poros utamakekuasaan terhalangi.

Hasil evaluasi menunjukkan penyelenggaraan pemilihanumum kepala daerah secara langsung sejak 2005 belum bisadiimbangi dengan agregasi dan artikulasi kepentingan serta partisipasipublik dalam proses pembuatan kebijakan. Dapat dibayangkan betapasuara masyarakat akan semakin tersumbat apabila pemilihan kepaladaerah dilakukan melalui DPRD. Pintu-pintu kekuasaan tentunya akandikuasai oleh semakin sedikit orang. Koalisi aktor gubernur danpimpinan DPRD akan semakin kokoh, sementara masyarakat sipilakan semakin tertinggal daya kekuasaan dan politik artikulatifnya.Kasus dinasti dan korupsi politik seperti kasus dinasti Ratu Atut diBanten dan tertangkapnya Ketua Mahkamah Konstitusi Akil Mochtarmerupakan akibat dari pembatasan pengawasan publik, di satu sisi,serta mahalnya demokrasi sebagai akibat sentralisme partai politik dansengketa hasil yang berakhir di MK, di sisi lain.

Tak dapat dibantah, substansi dari tarik-menarik kepentingandi kalangan partai politik di DPR, DPD, dan pemerintah adalah dalam

Page 21: DEMOKRATISASI DI INDONESIA: agenda penting Reformasi yang

M. Aqil Irham: DEMOKRATISASI DI INDONESIA...

84Jurnal TAPIs Vol.11 No.2 Juli-Desember 2015

rangka distribusi, redistribusi, pembagian, dan perebutan sumberdaya-sumber daya potensial di daerah agar tetap bisa dikontrol oleh“pusat”. Yang dimaksud dengan “pusat” di sini bukan sajapemerintah, tetapi juga pemusatan kekuasaan partai politik. Perubahanmendasar naskah akademik yang diusung pemerintah sebagai basisilmiah revisi UU No. 32 Tahun 2004 menjadi “berantakan” tatkalaberkompromi secara pragmatis dalam dua kali kesempatan. Pertama,ketika mengikuti arus parlemen sebelum pilpres yang bersikerasdengan pemilukada langsung. Kedua, ketika mengikuti arus KoalisiMerah Putih pasca-pilres 2014 yang mendorong pilkada melaluiDPRD. Lebih inkonsisten lagi ketika Presiden Susilo BambangYudhoyono mengeluarkan Perppu pasca-ditetapkannya UU No. 22Tahun 2014.

Dinamika di atas memperlihatkan bagaimana ketidaksetaraandaya dalam mengoptimalisasi sumber-sumber kekuasaanmenimbulkan ketimpangan penguasaan sumber daya, di manakekuasaan yang bertumpuk di tingkat atas semakin mendominasi danmelemahkan daya kekuasaan di tingkat masyarakat. Absennyakelompok-kelompok masyarakat dalam setiap perumusan kebijakanbaik di tingkat legislasi maupun pembuatan peraturan lainnyamenandakan ketidakberdayaan masyarakat untuk memperkuat danmemperbesar sumber-sumber kekuasaannya. Sementara itu, pemiliksumber-sumber kekuasaan seperti partai politik di legislatif danpemerintah di eksekutif semakin menancapkan akar kekuasaanmereka melalui proses legislasi.

Isu lainnya adalah mengenai kandidat kepala daerah dan wakilkepala daerah yang akan maju dalam pemilu kepala daerah, apakahkeduanya diajukan sebagai satu paket atau tidak. Pemerintahmenghendaki pemilihan kepala daerah tanpa disertai wakil kepaladaerah. Ini sangat nampak dalam draf judul revisi UU No. 32 Tahun2004 yang menyebutkan undang-undang tersebut tentang “pemilihankepala daerah”, bukan “pemilihan kepala daerah dan wakil kepaladaerah”. Pendirian ini memperoleh tantangan dari anggota Komisi II

Page 22: DEMOKRATISASI DI INDONESIA: agenda penting Reformasi yang

M. Aqil Irham: DEMOKRATISASI DI INDONESIA...

85 Jurnal TAPIs Vol.11 No.2 Juli-Desember 2015

dari PDIP dan Hanura yang mengusulkan perubahan draf judul RUUmenjadi “pemilihan umum gubernur, bupati dan wali kota” denganmemasukkan pilkada ke dalam rezim pemilu. Berkaitan dengan posisiwakil kepala daerah, penginisiasi revisi UU menganggap bahwaselama ini wakil kepala daerah tidak mendapatkan otoritas yang kuatdalam kepemimpinan.

Hanya Partai Demokrat yang mendukung usulan Kemendagriuntuk memilih kepala daerah tanpa wakil. Namun di sisi lain, PartaiDemokrat juga memberikan perhitungan geografis wilayah. Denganmempertimbangkan beban administratifnya, suatu wilayah yang luasdapat menyertakan pemilihan wakil kepala daerah. Gagasan iniditolak oleh sebagian besar partai karena dianggap akan menurunkanlegitimasi wakil kepala daerah jika kepala daerah memiliki halangantetap dalam menjalankan tugasnya. Status wakil kepala daerah sebagaijabatan karier (bukan jabatan politik) akan sangat mengganggustabilitas saat kepala daerah berhalangan memimpin. UsulanKemendagri juga ditolak anggota Pokja asal PPP dan PKB yangmemosisikan kepala daerah dan wakil kepala daerah pada derajat yangsama.

Isu lain yang tak kalah hangat diperdebatkan adalah metodepemilu. Tiga fraksi, PKS, PAN, Hanura, berpendapat perlu dilakukanpemilu kepala daerah serentak dan meniadakan threshold 30%. KPUsebagai lembaga otonom juga setuju dengan diadakannya pilkadaserentak. Metode ini dianggap dapat meningkatkan efisiensi danefektivitas penyelenggaraan pemilu. Konsekuensinya, munculmasalah lain dalam penyelesaian sengketa pilkada. Apabiladilaksanakan serentak, penyelesaian sengketa pilkada akan sangatmerepotkan Mahkamah Konstitusi karena menumpuknya berkasperkara di pusat, padahal sumber daya personil hakim di MK sangatterbatas. Oleh karena itu, pemerintah mengusulkan untuk memangkaskewenangan MK dan mendistribusikannya ke daerah. Draf usulanpemerintah ini tentu mendapat reaksi penolakan dari legislatif karenamemperumit prosedur dan memperlemah otoritas penengahpenyelesaian pilkada. Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) danPengadilan Tinggi (PT) tidak memiliki otoritas sebesar MK. Di sisi

Page 23: DEMOKRATISASI DI INDONESIA: agenda penting Reformasi yang

M. Aqil Irham: DEMOKRATISASI DI INDONESIA...

86Jurnal TAPIs Vol.11 No.2 Juli-Desember 2015

lain, penguasa petahana akan lebih mudah mengintervensi pengadilan-pengadilan tersebut.

Isu berikutnya mengenai pendanaan pilkada. Beberapa partaipolitik di legislatif menginginkan pendanaan pilkada diambil darikantong pemerintah pusat. Hal ini dimaksudkan untuk menjaganetralitas pilkada. Petahana sangat potensial untuk mengintervensipenyelenggaraan pilkada apabila pendanaannya dari APBD. Usulanini berangkat dari kasus Provinsi Lampung di mana gubernurnya tidakmenganggarkan dana pemilukada dalam APBD-P dengan berbagaialasan. Lampung adalah salah satu daerah yang “diperintah” olehpemerintah pusat untuk melaksanakan pemilukada di tahun 2013karena di tahun 2014 ada pemilu nasional. Terkait persoalan diLampung ini pihak Kemendagri dinilai sangat lemah dan tidakkonsisten dalam mendesak KPUD dan gubernur untuk menjalankansurat edarannya agar menganggarkan pendanaan pemilukada diAPBD-P 2013. Adapun KPU dan Bawaslu menginginkan adanyaanggaran yang digabung dari pemerintah pusat dan pemerintahdaerah. Hal ini merupakan cara untuk mengefisienkan pelaksanaanpilkada.

Masalah lain adalah tumbuhnya dinasti politik. Dari tabel diatas terlihat sikap partai politik mengenai isu politik dinasti yangbegitu marak diberitakan oleh berbagai media massa nasional.Sebagian besar partai politik berpendapat bahwa politik dinasti harusdicegah melalui regulasi. Namun di sisi lain, PKS dan PDIPmendukung kelonggaran aturan mengenai hubungan kekerabatandengan petahana. PKS memberikan solusi yang sangat moderatif.Sebagai partai kader yang memiliki sistem rekrutmen sistematik, PKSmengusulkan publikasi sistem rekrutmen melalui partai politik. PartaiDemokrat mengambil posisi menolak politik dinasti karena dalamkonteks pemilihan kepala daerah pertarungannya lebih didominasi

Page 24: DEMOKRATISASI DI INDONESIA: agenda penting Reformasi yang

M. Aqil Irham: DEMOKRATISASI DI INDONESIA...

87 Jurnal TAPIs Vol.11 No.2 Juli-Desember 2015

Partai Golkar dan PDIP.14 Posisi ini tentu akan sangat didukung olehpartai yang kalah telak dalam pertarungan di daerah. Partai Demokrattidak punya cukup sumber daya dalam melakukan transformasistruktural terkait isu ini. Namun sebagai kekuatan dominan dilegislatif, Partai Demokrat dapat menjadi penyeimbang yang kuat.Pertimbangan mereka yang mendukung kelonggaran politik dinastiadalah bahwa pembatasan dinasti politik berimplikasi padapembatasan hak-hak sipil dalam pemilu, hal mana berpotensimelanggar hak asasi manusia. Sebagian kalangan legislatorberargumen, jika tetap diloloskan pasal pembatasan iniberkemungkinan besar dibatalkan di sidang MK karena akan adagugatan judicial review.

Diskusi mengenai penekanan otonomi daerah dalam proseslegislasi tidak memunculkan penjelasan yang mendetail. Sikap partaipolitik cenderung masih belum memperlihatkan suatu kesimpulanyang argumentatif. Seperti halnya Partai Demokrat, mereka masihmengajukan pertanyaan: desentralisasi harusnya diimplementasikanpada tingkat apa? Di sisi lain, Dirjen Otda mengajukan pandanganbahwa kabupaten/kota tetap menjadi eksekutor dari desentralisasi.Perdebatan ini cenderung tidak memberikan jawaban. Persoalan utamayang sedang dihadapi adalah otoritas gubernur yang sangat terbatasdalam mengawal kelangsungan desentralisasi. Kondisi saat inimemperlihatkan keterbatasan otoritas gubernur dalam mengontrolpembangunan daerah.

Selain pembahasan di Komisi II, ide-ide yang cukup substantifjuga digagas para pemangku kepentingan. Kelompok NGO yangberada di bawah payung Pokja Otda melakukan serangkaian seminar,workshop, dan diskusi terbatas tentang otoritas dalam desentralisasiguna membedah draf RUU Pemda yang dibahas antara pemerintahdan legislatif. Diskusi Pokja Otda koalisi sipil ini menghasilkan

14 Sampai tanggal 24 September 2013, Partai Golkar sudah memenangkansekitar 61% pemilihan kepala daerah di seluruh Indonesia, baik itu melalui koalisiataupun tidak. Selain itu, PDIP memenangkan pemilihan kepala daerah di pusat-pusat penumpukan populasi penduduk Indonesia, seperti DKI Jakarta dan JawaTengah.

Page 25: DEMOKRATISASI DI INDONESIA: agenda penting Reformasi yang

M. Aqil Irham: DEMOKRATISASI DI INDONESIA...

88Jurnal TAPIs Vol.11 No.2 Juli-Desember 2015

beberapa kesimpulan mengenai penguatan peran gubernur dan semualembaga yang berada pada tingkat provinsi. Pokja Otda jugamengajukan pandangan terkait otoritas gubernur untuk menguji danmembatalkan perda yang dibuat di tingkat kabupaten/kota. Penguatanposisi gubernur ini akan meningkatkan efektivitas dan efisiensiotonomi daerah. Kabupaten dan kota akan menjadi bagian kontrol danbagian dari evaluasi kinerja gubernur.

Isu lain yang juga didiskusikan dalam pertemuan-pertemuanini adalah politik uang. Baik pada pertemuan Pokja Otda maupunKomisi II, persoalan politik uang dianggap sebagai isu sentral.Pelaporan pendanaan kampanye dipandang masih belum transparanoleh Bawaslu. Politik uang selalu menjadi persoalan yang sulitdideteksi, meskipun menjadi perbincangan dalam praktik demokrasilokal. Politik uang bahkan sudah dianggap wajar dan harus adasebagai persyaratan untuk menang. Fenomena semacam ini memangdianggap sebagai fenomena yang selalu ada di dalam praktikdemokrasi, sekalipun di negara-negara maju yang tingkatdemokrasinya sudah melembaga secara modern. Oleh karena itu,proses legislasi perlu berusaha melakukan pembatasan terhadap ruanggerak “penyakit demokrasi” ini. Tetapi perdebatan tentangnya masihbelum menghasilkan poin-poin yang substantif. Bagaimanapun politikuang adalah hal yang mustahil dihapuskan dalam politik Indonesia,mengingat kebanyakan masyarakatnya masih terjerat kemiskinan.Politik uang seolah-olah sudah menjadi keharusan untuk menggalangdukungan.

Perjalanan UU No. 32 Tahun 2004 memang penuh denganlika-liku. Setelah mengalami dua kali revisi dengan dikeluarkannyaUU No. 8 Tahun 2005 tentang Penerapan Perppu No. 3 Tahun 2005dan UU No. 12 Tahun 2008, keluar pula putusan MK No. 73/PUU-IX/2011. Putusan MK ini mengabulkan sebagian permohonan ujimateriil atas UU No. 32 Tahun 2004 sebagaimana telah diubahdengan UU No. 12 Tahun 2008. Salah satu implikasi paling pentingdari dikeluarkannya putusan MK tersebut adalah dalam hal penyidikan

Page 26: DEMOKRATISASI DI INDONESIA: agenda penting Reformasi yang

M. Aqil Irham: DEMOKRATISASI DI INDONESIA...

89 Jurnal TAPIs Vol.11 No.2 Juli-Desember 2015

kepala daerah persetujuan dari presiden tidak diperlukan, kecualikepala daerah bersangkutan akan ditahan.

Perkembangan terakhir, pada 23 September 2014 DPR RImengesahkan RUU Pemda menjadi UU No. 23 Tahun 2014 tentangPemerintahan Daerah. UU ini merupakan hasil dari “pemecahan” UUNo. 32 Tahun 2004 menjadi tiga undang-undang. Dua UU yang lainadalah UU No. 6 Tahun 2014 tentang Desa dan UU No. 22 Tahun2014 tentang Pemilihan Kepala Daerah. Dengan perkembanganterakhir ini, perbedaan posisi antara gubernur dan wali kota/bupatidipertegas. Kendati sama-sama merupakan kepala daerah yang dipilihsecara langsung, namun gubernur sekaligus ditempatkan sebagai wakilpemerintah pusat. Adapun wali kota/bupati ditempatkan sebagaikepala daerah otonom dengan menerapkan asas desentralisasi.

PenutupProses institusionalisasi demokrasi di tingkat makro diwarnai

relasi antaraktor di pemerintahan yang dipengaruhi oleh partai politik.Dalam hal ini proses politik tersebut lebih banyak berisikan tawar-menawar ketimbang pembahasan hal-hal substansial. Hal ini secarajelas nampak pada draf RUU Pilkada dan RUU Pemda yang disahkandalam sidang paripurna DPR 23 September 2014. Draf kedua RUUtersebut belum secara komprehensif menggambarkan problempemilukada dan otonomi daerah yang terjadi secara faktual di daerah-daerah. Alam pikiran mereka disesaki oleh persoalan bagaimanamenata kepentingannya sendiri. Pasca-Pilpres 2014 Koalisi MerahPutih mengubah pandangan di saat-saat habisnya masa tugas DPR,dari yang awalnya sebagian besar di antara mereka mendukungdemokrasi langsung menjadi mendukung demokrasi perwakilan.

Demikian pula di tingkat meso, keterlibatan para pemangkukepentingan, akademisi, NGO, dan publik dalam prosesinstitusionalisasi tidak dimanfaatkan secara maksimal. Kondisi initerlihat dari temuan lapangan yang menunjukkan ormas dan NGOseperti NU, FITRA, KPPUD, JPPR, ataupun ICW merasa tidakdilibatkan secara langsung dalam proses institusionalisasi ataupembahasan UU terkait pilkada dan otonomi daerah yang dilakukan

Page 27: DEMOKRATISASI DI INDONESIA: agenda penting Reformasi yang

M. Aqil Irham: DEMOKRATISASI DI INDONESIA...

90Jurnal TAPIs Vol.11 No.2 Juli-Desember 2015

aktor-aktor pemerintahan seperti Kemendagri dan DPR (Komisi II).Selain itu, hasil telaah DIM selama sidang di Komisi II hanyamemetakan hal-hal parsial seperti pemilukada apakah harus langsungatau perwakilan, efisiensi anggaran, paket kepala daerah dan wakilkepala daerah, politik dinasti, anggaran pemilukada, perselisihansengketa hasil, titik tekan otonomi, dan penguatan kewenanganprovinsi. Hal-hal substansial tentang korupsi demokrasi, transparansipendanaan partai politik dan kandidat (membatasi intervensikorporasi, cukong/bandar), prinsip persamaan kesempatan dan aksesantar-kandidat dalam rekrutmen dan pencalonan kepala daerah,politisasi birokrasi, pelayanan publik, dan fungsi representasikelompok masyarakat yang mendorong partisipasi dan pengawasansosial belum berhasil diidentifikasi dalam pasal-pasal revisi.

Dengan kata lain, perubahan institusional belum mencakuphak otonomi masyarakat di daerah dan hanya mengatur aspekpemilihan (election) dalam pemilukada. Untuk itu, penulismengajukan sebuah usul perubahan, yaitu memperkuat aspek demosbaik pada tahap pemilihan maupun pasca-pemilihan di semua levelperubahan institusional, yaitu amandemen UUD 1945, legislasi, danregulasi. Penguatan demos dalam tahap pemilihan meliputi seleksi danrekrutmen calon kepala daerah yang harus dilakukan secara langsungdengan melibatkan masyarakat. Kondisi ini tidak mungkin dicapaihanya melalui perubahan UU Pilkada. Keterlibatan masyarakat dalamseleksi dan rekrutmen calon kepala daerah dalam pilkada harus diikutidengan perubahan undang-undang mengenai partai politik yang sangatterkait dengan penyelenggaraan pilkada. Yang menjadi akarpermasalahan, dalam proses legislasi koordinasi antaraktor di internalnegara tidak melibatkan para pemangku kepentingan dan aktor-aktoreksternal yang berasal dari NGO dan masyarakat sipil.

Daftar Pustaka

Page 28: DEMOKRATISASI DI INDONESIA: agenda penting Reformasi yang

M. Aqil Irham: DEMOKRATISASI DI INDONESIA...

91 Jurnal TAPIs Vol.11 No.2 Juli-Desember 2015

Ali, As’ad Said, Negara Pancasila Jalan Kemaslahatan Berbangsa.Jakarta: LP3ES, 2009.

Aspinall, Edward and Greg Fealy, ed, Local Power and Politics inIndonesia. Singapore: ISEAS, 2003.

Aspinall, Edward and Marcus Mietzner, Problems of Democratisationin Indonesia, Election, Institution and Society. Singapore:ISEAS, 2010.

Effendi, Tadjuddin Noer, Demokrasi dan Demokratisasi: Proses danProspek dalam Sebuah Dunia yang Sedang Berubah.Yogyakarta: CCSS and Pustaka Pelajar, 2003.

Erb, Maribert and Priyambudi Sulistiyanto, Deepening Democracy inIndonesia? Direct Elections for Local Leaders (Pilkada).Singapore: ISEAS, 2009.

Hadiz, Vedi R. Dinamika Kekuasaan Ekonomi Politik Indonesiapasca-Soeharto. Jakarta:LP3ES, 2005.

------, The Localization of Power in Southeast Asia, 2007.------, Localising Power in Post-Authoritarian Indoneisa: A Southeast

Asia Perspectives. California: Stanford, 2010.------ and Richard Robinson, Reorganising Power in Indonesia: The

Politics of Oligarchy in an Age of Markets. Curzon: Routledge,2004.

Hanif, Hasrul, Mengembalikan Daulat Warga Pesisir: Partisipasi,Representasi dan Demokrasi di Aras Lokal. Yogyakarta:Pustaka Pelajar, 2008.

Nungtjik, A. R, Menudju Otonomi Daerah Seluas-luasnja. Djakarta,1958.

North, Douglass C, Institutions, Institutional Change and EconomicPerformance. Camrbidge: Cambridge University Press, 1990.

Phillips, KevinAmerican Dynasty, Aristocracy, Fortune, and thePolitics of Deceit in the House of Bush. New York: The PenguinGroup, 2004.

Sherlock, Stephen, Struggling to Change: The Indonesian Parliamentin an Era of Reformasi. Canberra: Centre for DemocraticInstitutions, 2003.

Page 29: DEMOKRATISASI DI INDONESIA: agenda penting Reformasi yang

M. Aqil Irham: DEMOKRATISASI DI INDONESIA...

92Jurnal TAPIs Vol.11 No.2 Juli-Desember 2015

Silaen, Victor, Prospek Demokrasi di Negara Pancasila. Jakarta:Permata Aksara, 2012.

Wasistiono, Sadu, “Desentraliasi, Demokratisasi dan PembentukanGood Governnance.” In Desentralisasi & Otonomi Daerah,edited by Syamsudin Haris. Jakarta: LIPI Press, 2005.

Wiratmoko, Nick T. dkkYang Pusat dan yang Lokal: AntaraDominasi, Resistensi, dan Akomodasi Politik di Tingkat Lokal.Salatiga: Pustaka Pelajar dan Pustaka Percik, 2004.

Mietzner, Marcus. “Local Democracy: Old Elite Are Still in Power,But Direct Elections Now Give Voters A Choice.” Jurnal InsideIndonesia 85, 2006.

------, “Comparing Indonesia’s Party System of the 1950s and the PostSuharto Era.” Journal of Southeast Asian Studies 39(3): 431-53. 2008.------, “Peluang bagi Masyarakat Marginal.” Jurnal Politik Lokal &Social-Humaniora (Oktober 2001), 2001.“Senjakala Kapitalisme dan Krisis Demokrasi.” 2009. Prisma,

Majalah Pemikiran Sosial Ekonomi 28, Juni.Webber, Douglas. 2006. “Consolidated Patrimonial Democracy?

Democratization in Post Suharto Indonesia.” Democratization13(3): 396-429.

Datta, Indraneel, Parliamentary Politics in Soeharto’s Indonesia1987-98, PhD thesis, School of Oriental and African Studies.London: University of London, 2002.

Muhtadi, Burhanuddin, “Defisit Demokrasi.” Kompas, 12 Mei, 2011.Sujatmiko, Iwan G, “Warga Negara, Pemilu dan Demokrasi

Transformatif.” Kompas, 9 Juli, 2009.UU Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah.UU Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah.